Upload
zulfikar-aidil-arif-siregar
View
17
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
b
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering
mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia,
kelenjar prostat juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada
tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai
gangguan buang air kecil. Gejala ini merupakan tanda awal Benign Prostatic
Hyperplasia (BPH).
Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna
pada populasi pria lanjut usia. Hiperplasia prostat sering terjadi pada pria diatas
usia 50 tahun (50-79 tahun) dan menyebabkan penurunan kualitas hidup
seseorang. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran
prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopik
yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar
membesar) dan kemudian bermanifes dengan gejala klinik.
Prostat hipertrofi merupakan kelainan yang sering dijumpai di klinik
urologi di Indonesia. Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat oleh karena
sebenarnya yang terjadi ialah hiperplasia dari kelenjar periuretral yang kemudian
mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer. BPH umumnya tumor jinak yang
ditemukan pada laki- laki dan kejadiannya berhubungan dengan umur, kira- kira
20% BPH ditemukan pada umur 41- 50 tahun, 50% pada umur 51-60% dan lebih
90% pada umur lebih dari 80%.
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi
saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif)
sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR PROSTAT
Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh
kapsul fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi
bagian proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior
rektum. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
kurang lebih 20 gram, dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang
paling jauh 4 cm dengan tebal 2,5 cm1.
Pada bagian anterior disokong oleh ligamentum pubo-prostatika yang
melekatkan prostat pada simpisis pubis. Pada bagian posterior prostat terdapat
vesikula seminalis, vas deferen, fasia denonvilliers dan rectum. Fasia
denonvilliers berasal dari fusi tonjolan dua lapisan peritoneum, fasia ini cukup
keras dan biasanya dapat menahan invasi karsinoma prostat ke rectum sampai
suatu stadium lanjut. Pada bagian posterior ini, prostat dimasuki oleh ductus
ejakulatorius yang berjalan secara oblique dan bermuara pada veromentanum
didasar uretra prostatika persis dibagian proksimal spingter eksterna. Pada
permukaan superior, prostat melekat pada bladder outlet dan spingter interna
sedangkan dibagian inferiornya terdapat diafragama urogenitalis yang dibentuk
oleh lapisan kuat fasia pelvis, dan perineal membungkus otot levator ani yang
tebal. Diafragma urogenital ini pada wanita lebih lemah oleh karena ototnya lebih
sedikit dan fasia lebih sedikit.
Gambar 2.1. Kelenjar prostat dan uretra
Secara histologi prostat terdiri atas 30-50 kelenjar tubulo alveolar yang
mencurahkan sekretnya ke dalam 15-25 saluran keluar yang terpisah. Saluran ini
bermuara ke uretra pada kedua sisi kolikulus seminalis. Kelenjar ini terbenam
dalam stroma yang terutama terdiri dari otot polos yang dipisahkan oleh jaringan
ikat kolagen dan serat elastis. Otot membentuk masa padat dan dibungkus oleh
kapsula yang tipis dan kuat serta melekat erat pada stroma. Alveoli dan tubuli
kelenjar sangat tidak teratur dan sangat beragam bentuk ukurannya, alveoli dan
tubuli bercabang berkali-kali dan keduanya mempunyai lumen yang lebar, lamina
basal kurang jelas dan epitel sangat berlipat-lipat. Jenis epitelnya berlapis atau
bertingkat dan bervariasi dari silindris sampai kubus rendah tergantung pada
status endokrin dan kegiatan kelenjar. Sitoplasma mengandung sekret yang
berbutir-butir halus, lisosom dan butir lipid. Nukleus biasanya satu, bulat dan
biasanya terletak basal. Nukleoli biasanya terlihat ditengah, bulat dan kecil.
Gambar 2.2 Anatomi Kelenjar Prostat Potongan Longitudinal
Menurut klasifikasi Lowsley; prostat terdiri dari lima lobus: anterior,
posterior, medial, lateral kanan dan lateral kiri. Sedangkan menurut Mc Neal,
prostat dibagi atas 4 bagian utama2:
1. Bagian anterior atau ventral yang fibromuskular dan nonglandular. Ini
merupakan sepertiga dari keseluruhan prostat. Bagian prostat yang
glandular dapat dibagi menjadi 3 zona (bagian 2,3 dan 4).
2. Zona perifer, yang merupakan 70 % dari bagian prostat yang glandular,
membentuk bagian lateral dan posterior atau dorsal organ ini. Secara
skematik zona ini dapat digambarkan seperti suatu corong yang bagian
distalnya terdiri dari apex prostat dan bagian atasnya terbuka untuk
menerima bagian distal zona sentral yang berbentuk baji. Saluran-saluran
dari zona perifer ini bermuara pada uretra pars prostatika bagian distal.
3. Zona sentral, yang merupakan 25 % dari bagian prostat yang glandular,
dikenal sebagai jaringan kelenjar yang berbentuk baji sekeliling duktus
ejakulatorius dengan apexnya pada verumontanum dan basisnya pada
leher buli-buli. Saluran-salurannya juga bermuara pada uretra prostatika
bagian distal. Zona central dan perifer ini membentuk suatu corong yang
berisikan segmen uretra proximal dan bagianventralnya tidak lengkap
tertutup melainkan dihubungkan oieh stroma fibromuskular.
4. Zona transisional, yang merupakan bagian prostat glandular yang terkecil
(5 %), terletak tepat pada batas distal sfinkter preprostatik yang berbentuk
silinder dan dibentuk oleh bagian proximal uretra. Zona transisional dan
kelenjar periuretral bersama-sama kadang-kadang disebut sebagai kelenjar
preprostatik.
Fisiologi Kelenjar Prostat
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama
sekret dari vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen.
Semen berisi sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu
dapat ditemukan enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase
asam, enzim-enzim lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi
melalui kontraksi otot polos. kelenjar prostat juga menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh
Androgen Bodies dan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.
2.2 BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)
2.2.1 Definisi
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada usia
pertengahan atau lanjut.
Gambar 2.3. Prostat Normal dan Prostat yang membesar
2.2.2 Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami
peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada
peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hyperplasia. Pada
usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan ini
dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang
berusia 80 tahun.
2.2.3 Etiologi
BPH terjadi karena proliferasi stroma dan epithelial dari glandula prostat
yang sering didapatkan gejala voiding. Dengan bertambahnya usia, akan terjadi
perubahan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi
konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer.
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
hyperplasia prostat; tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan
proses aging (menjadi tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasia prostat adalah:
1. Teori dihidrotestosteron
2. Adanya ketidakseimbangan antara estrogen-testosteron
3. Interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
4. Berkurangnya kematian sel ( apoptosis )
5. Teori stem sel
1. Teori Dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat
penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosterone di
dalam sel prostat oleh enzim 5α- reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.
DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen ( RA ) membentuk
kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth
factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak
jauh berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH,
aktivitas enzim 5α- reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada
BPH. Hal ini menyebabkan BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi
sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
2. Ketidakseimbangan Antara Estrogen-testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan
sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan
jumlah reseptor androgen dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan
terbentuknya sel –sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel
prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat menjadi lebih besar.
3. Interaksi Stroma-Epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel
prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator
( growth factor ) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT
dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan
terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma.
4. Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel ( apoptosis ) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel –sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian didegradasi oleh
enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat
dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan
seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis
menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat
sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat.
5. Teori Sel Stem
Untuk mengganti sel-sel yang telah mengalami apoptosis, selalu dibentuk
sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat
tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya
menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma atau sel
epitel.
2.2.4 Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi serta iritasi. Gejala dan
tanda obstruksi saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan
miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah
dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot
detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan dan
disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi cukup kuat
atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada
kandung kemih sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinis.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan
total sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus
terjadi, pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga
tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi menjadi
lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi. pada waktu miksi, penderita harus selalu mengedan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam
kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan
hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks,
dapat terjadi pielonefritis.
Hiperplasia Prostat
↓
Penyempitan lumen uretra posterior
↓
Tekanan intravesikal ↑
Buli-buli Ginjal dan ureter
- Hipertrofi otot detrusor - Refluks vesiko-ureter
- Trabekulasi - Hidroureter
- selula - Hidronefrosis
- divertikel buli-buli - Pionefrosis pilonefritis
- Gagal ginjal
2.2.5 Gejala Klinis
Gejala hyperplasia prostat menurut Boyarsky, dkk (1977) dibagi atas
gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan karena
penyempitan uretra pars prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar
dan kegagalan otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala-gejalanya antara lain:
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)
2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying)
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu:
a. Volume kelenjar periuretral
b. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
c. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot
detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica,
sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh, gejalanya ialah:
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan
BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem
skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS) yang
diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Sistem
skoring yang lain adalah skor Madsen-Iversen dan skor Boyarski. Skor AUA
terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan
obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-
35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.
Skor Madsen-Iversen terdiri dari 6 pertanyaan yang berupa pertanyaan-
pertanyaan untuk menilai derajat obstruksi dan 3 pertanyaan untuk gejala iritatif.
Total skor dapat berkisar antara 0-29. Skor <> 20 berat. Perbedaannya dengan
skor AUA adalah dalam skor Madsen Iversen penderita tidak menilai sendiri
derajat keluhannya.
Skor Madsen-Iversen dalam bahasa Indonesia
Pertanyaan 0 1 2 3 4
Pancaran Normal Berubah-
ubah
Lemah Menetes
Mengedan
pada saat
berkemih
Tidak Ya
Harus Tidak Ya
menunggu
saat akan
miksi
BAK
terputus-
putus
Tidak Ya
Miksi tidak
tuntas
Tidak tahu Berubah-
ubah
Tidak
tuntas
1x retensi > 1x
retensi
Inkontinensia Ya
BAK sulit
ditunda
Tidak ada Ringan Sedang Berat
Miksi malam
hari
0-1 2 3-4 >4
BAK siang
hari
> 3 jam
sekali
Setiap 2-3
jam sekali
Setiap 1-2
jam sekali
< 1 jam
sekali
2.2.6 Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada perabaan prostat
harus diperhatikan :
- Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
- Adakah asimetri
- Adakah nodul pada prostat
- Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat
diraba biasanya besar prostat diperkirakan < 60 gr.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang lebih besar dari normal atau
normal (ingat tidak ada korelasi antara besar prostat dengan obstruksi yang
ditimbulkannya), permukaan licin dan konsistensi kenyal.
Pada akut retensi, buli-buli penuh (ditemukan massa supra pubis) yang
nyeri dan pekak pada perkusi.
Derajat berat hipertrofi prostat berdasarkan gambaran klinis
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat
dicapai
50-100 ml
III Batas atas prostat tidak dapat diraba > 100 ml
IV Retensi urin total
2. Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin
setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih
dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan
ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya
dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hipertrofi
prostat.
Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin
pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri.
Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran
maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun
antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau
kurang.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting untuk melihat
adanya sel leukosit, bakteri, dan infeksi. Bila terdapat hematuria, harus
diperhatikan etiologi lain seperti keganasan pada saluran kemih, batu, infeksi
saluran kemih, walaupun BPH sendiri dapat menyebabkan hematuria. Elektrolit,
kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsi ginjal dan
status metabolik.
Pemeriksaan Prostat Spesifik Antigen ( PSA ) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsi atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA < 4
ng/ml tidak perlu biopsi. Sedangkan bila nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah Prostate
Spesifik Antigen Density ( PSAD ) yaitu PSA serum dibagi dengan volume
prostat. Bila PSAD ≥ 0,15 maka sebaiknya dilakukan biopsi prostat, demikian
pula bila nilai PSA > 10 ng/ml.
2. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah foto polos abdomen, pielografi
intra vena, USG dan sistoskopi. Tujuan pemeriksaan pencitraan ini adalah untuk
memperkirakan volume BPH, menentukan derajat disfungsi buli - buli dan
volume residu urin, dan mencari kelainan patologi lain, baik yang berhubungan
maupun tidak dengan BPH.
Dari foto polos dapat dilihat adanya batu pada traktus urinarius,
pembesaran ginjal atau buli-buli. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda
metastasis dari keganasan prostat serta osteoporosis akibat kegagalan ginjal.
Dari pielografi intra vena dapat dilihat supresi komplit dari fungsi renal,
hidronefrosis dan hidroureter, fish hook appearance (gambaran ureter berbelok-
belok di vesica), indentansi pada dasar buli-buli, divertikel, residu urin, atau
filling defect di vesica.
Cara pencitraan yang lain ialah pemeriksaan USG. Cara pemeriksaan ini
untuk prostat hipertrofi dianggap sebagai pemeriksaan yang baik oleh karena
ketepatannya dalam mendeteksi pembesaran prostat, tidak adanya bahaya radiasi
dan juga relatif murah. Pemeriksaan USG dapat dilakukan secara trans abdominal
atau transrektal (TRUS = Trans Rectal Ultrasonografi). TRUS dianggap lebih
baik untuk pemeriksaan kelenjar prostat apalagi bila menggunakan transducer
yang ’biplane’. Selain untuk mengetahui adanya pembesaran prostat pemeriksaan
USG dapat pula mendeteksi volume buli, mengukur sisa urin, dan patologi lain
seperti divertikel, tumor buli yang besar, batu buli. TRUS dapat pula mengukur
besarnya prostat yang diperlukan untuk menentukan jenis terapi yang tepat yaitu
apabila besarnya lebih dari 60 gr digolongkan besar sehingga kalau akan
dilakukan operasi dipilih operasi buka. Perkiraan besarnya prostat dapat pula
dilakukan dengan USG suprapubik atau trans urethral tetapi cara transuretral
dianggap terlalu invasif. Pengukuran volume prostat sering disebut volumetri dan
biasanya memakai rumus volume = 0,52 x d1 x d2 x d3, bila kita anggap bahwa
bentuk prostatelipsoid dan d adalah jarak panjang, lebar (pada potongan
transversal), dan panjang prostat adalah potongan sagital. Dari USG dapat
diperkirakan besarnya prostat, memeriksa massa ginjal, mendeteksi residu urin,
batu ginjal, divertikulum atau tumor buli-buli.
3. Sistoskopi
Sistoskopi sebaiknya dilakukan pada anamnesa ditemukan adanya
hematuri atau pada pemeriksaan urin ditemukan adanya mikrohematuri, untuk
mengetahui adanya kemungkinan tumor di dalam vesica atau sumber perdarahan
dari atas yang dapat dilihat apabila darah datang dari muara ureter, atau adanya
batu kecil yang radiolusent di dalam vesica. Selain itu sistoskopi dapat juga
memberi keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang uretra pars
prostatika dan melihat penonjolan prostat kedalam uretra.
4. CT-Scan atau MRI
Pencitraan dengan CT-Scaning dan Magnetic Resonance Imaging / MRI
dalam praktek jarang dipakai karena cara pemeriksaan ini mahal dan keterangan
yang diperoleh tidak terlalu banyak dibandingkan cara lain.
2.2.7 Diagnosis Banding
Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Kontraktur leher vesika
3. Batu buli-buli kecil
4. Kanker prostat
5. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang
menggunakan obat-obat parasimpatolitik.
Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Karsinoma in situ vesika
3. Infeksi saluran kemih
4. Prostatitis
5. Batu ureter distal
6. Batu vesika kecil.
2.2.8 Komplikasi
Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat
dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut1
a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Refluks Vesiko-Ureter
h. Hidroureter
i. Hidronefrosis
j. Gagal Ginjal
2.2.9 Penatalaksanaan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa
mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun adapula yang
membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena
keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi,
(2) meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini dapat
dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan endourologi yang
kurang invasif.
Tabel 1. Pilihan Terapi pada Hiperplasia Prostat Benigna
Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimalWatc
hful waiting
Penghambat adrenergik α
Prostatektomi terbuka TUMT TUBD Stent uretra TUNA
Penghambat reduktese α
Endourologi
Fisioterapi 1. TURP2. TUIP3. TULP
Elektovaporasi
Hormonal
a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat etrapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu hal
yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4) kurangi
makanan pedasadan asin, dan (5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang control dengan ditanya
keluhannya apakah menjadi lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku),
disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium, residu urin, atau uroflometri.
Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
dipikirkan terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk: (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan cara
menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT) melalui
penghambat 5α-reduktase.
Penghambat reseptor adrenergik α
Penghambat 5 α reduktase
Fitofarmaka
1) Penghambat reseptor adrenergik α.
Mengendurkan otot polos prostat dan leher kandung kemih, yang membantu
untuk meringankan obstruksi kemih disebabkan oleh pembesaran prostat di BPH.
Efek samping dapat termasuk sakit kepala, kelelahan, atau ringan.
Umumnya digunakan alpha blocker BPH termasuk tamsulosin (Flomax),
alfuzosin (Uroxatral), dan obat-obatan yang lebih tua seperti terazosin (Hytrin)
atau doxazosin (Cardura). Obat-obatan ini akan meningkatkan pancaran urin dan
mengakibatkan perbaikan gejala dalam beberapa minggu dan tidak berpengaruh
pada ukuran prostat.
Gambar 2.4. Distribusi Reseptor Alpha pada Prostat dan Vesika Urinari
2) Penghambat 5 α reduktase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 α reduktase di dalam sel
prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-
sel prostat menurun. Pembesaran prostat di BPH secara langsung tergantung pada
Pelvic Floor
External Sphincter
Internal Sphincter
Trigone
Detrusor
Prostate Gland
DHT, sehingga obat ini menyebabkan pengurangan 25% perkiraan ukuran prostat
lebih dari 6 sampai 12 bulan.
3) Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk
memperbaiki gejala akibat obstruksi parsial, tetapi data-data farmakologik tentang
kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fisioterapi sampai
sata ini belum diketahui dengan pasti. Kemungkinan fitofarmaka bekerja sebagai :
antiestrogen, antiandrogen, menurunkan kadar sex hormone binding globulin
(SHBG), inhibisi basic fibroblast growth factos (bFGF) dan epidermal growth
factor (EGF), mengacaukan metabolism prostaglandin, efek anti inflamasi,
menuruknan outflow resistance dan memperkecil volume prostat. Diantara
fitofarmaka yang banyak dipasarkan adalah: Pyegeum africanum, Serenoa repens,
Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak lainnya.
c. Terapi Invasif Minimal
Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan.
1) Microwave transurethral. Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang
menggunakan gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan
jaringan prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave
thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim gelombang mikro
melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat dipilih untuk setidaknya
111 derajat Fahrenheit. Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih
selama prosedur.
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat dilakukan secara
rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum dilaporkan menyebabkan
disfungsi ereksi atau inkontinensia. Meskipun terapi microwave tidak
menyembuhkan BPH, tapi mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi,
tegang, dan intermitensi.
Gambar 2.5. Microwave Transurethral
2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA menyetujui
transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA) sistem untuk
pengobatan BPH. Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi
tingkat rendah melalui jarum kembar untuk region prostat yang membesar.
Shields melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA
meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping
yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari
prostat (TURP).
Gambar 2.6. Transurethral Jarum Ablasi Invasif Minimal
3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas untuk
menghancurkan jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah kateter
mengandung beberapa lubang diposisikan dalam uretra sehingga balon
pengobatan terletak di tengah prostat. Sebuah komputer mengontrol suhu
air, yang mengalir ke balon dan memanaskan jaringan prostat sekitarnya.
Sistem ini memfokuskan panas di wilayah yang tepat prostat. Sekitar
jaringan dalam uretra dan kandung kemih dilindungi. Jaringan yang
hancur keluar melalui urin
Gambar 2.7. Thermotherapy dengan Air
4) Intra-Prostatic Stent
Stent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi
obstruksi karena pembesaran prostat. Stent dipasang intraluminal di antara
leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urine
dapat leluasa melewati lumen uretra prostatika. Stent temporer dipasang
selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak
mengadakan reaksi jaringan. Stent yang permanen terbuat dari anyaman
dari bahan logam super alloy, nikel atau titanium. Sayangnya setelah
pemasangan kateter ini, pasien masih merasakan keluhan miksi berupa
gejala iritatif, perdarahan uretra atau rasa tidak enak di daerah penis.
Gambar 2.8. Intra-Prostatic Stent
d. Bedah
1) Operasi transurethral.
Pada jenis operasi, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah memberikan
anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan memasukkan instrumen melalui
uretra.
Prosedur yang disebut reseksi transurethral dari prostat (TURP) digunakan
untuk 90 persen dari semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP,
alat yang disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. The resectoscope, yaitu
panjang sekitar 12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk
mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik yang memotong jaringan dan segel
pembuluh darah.
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades . kerugian dari aquades adalah
sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi sistemik dan
menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi air yang dikenal dengan
sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, somnolen dan
tekanan darah meningkat dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien
akan mengalami edema otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko
timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk tidak melakukan
reseksi lebih dari 1 jam dan haru smemasang sistostomi terlebih dauhlu sebelum
reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sistemik.
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat
resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian pada suatu
waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan ke kandung kemih dan
kemudian dibuang keluar pada akhir operasi. Prosedur transurethral kurang
traumatis daripada bentuk operasi terbuka dan memerlukan waktu pemulihan
lebih pendek. Salah satu efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi
retrograde, atau ke belakang. Dalam kondisi ini, semen mengalir mundur ke
dalam kandung kemih selama klimaks bukannya keluar uretra.
Gambar 2.9. (a) alat TURP, (b) cara melakukan TURP, (c) uretra prostatika
pasca TURP
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),
prosedur ini melebar urethra dengan membuat beberapa potongan kecil di leher
kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini digunakan pada
hiperplasi prostat yang tidak tartalu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius
dan pada pasen yang umurnya masih muda.
(a)
(b)
(c)
2) Open surgery
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak dapat
digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal, dapat
digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar sangat
membesar (>100 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika kandung kemih
telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi terbuka dilakukan melalui
pendekatan suprarubik transvesikal (Freyer) atau retropubik infravesikal
(Millin). Penyulit yang dapat terjadi adalah inkontinensia uirn (3%),
impotensia (5-10%), ejakulasi retrograde (60-80%) dan kontraktur leher
buli-buli (305%). Perbaikan gejala klinis 85-100%.
3) Operasi laser
Kelenjar prostat pada suhu 60-65oC akan mengalami koagulasi dan
pada suhu yang lebih dari 100oC mengalami vaporasi. Teknik laser
menimbulkan lebih sedikit komplikasi sayangnya terapi ini membutuhkan
terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya adalah : tidak dapat
diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi (kecuali paad Ho:YAG
coagulation), sering banyak menimbulkan disuri pasca bedah yang dapat
berlangsung sampai 2 bulan, tidak langsung dapat miksi spontan setelah
operasi dan peak flow rate lebih rendah daripada pasca TURP. Serat laser
melalui uretra ke dalam prostat menggunakan cystoscope dan kemudian
memberikan beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60
detik. Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan
penyusutan.
Gambar 2.10 Operasi Laser pada Prostat
a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain,
koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik langsung ke
jaringan prostat untuk menghancurkannya.
Gambar 2.11. Interstitial laser coagulation
b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).
PVT a-energi laser tinggi untuk menghancurkan jaringan prostat. Cara
sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller ball yang
spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat, sehingga mampu
membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini cukup aman tidak
menimbulkan perdarahan pada saat operasi. Namun teknik ini hanya
diperuntukan pada prostat yang tidak terlalu besar (<50 gram) dan
membutuhkan waktu operasi yang lebih lama.
Kontrol berkala
Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
Pengobatan penghambat 5α-adrenegik
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca miksi
Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.
BAB III
KESIMPULAN
Kelenjar prostat merupakan organ tubuh pria yang paling sering
mengalami pembesaran, baik jinak maupun ganas. Dengan bertambahnya usia,
kelenjar prostat juga mengalami pertumbuhan, sehingga menjadi lebih besar. Pada
tahap usia tertentu banyak pria mengalami pembesaran prostat yang disertai
gangguan buang air kecil.
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran kelenjar prostat
yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-laki yang biasanya pada usia
pertengahan atau lanjut.
Dengan adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi
saluran kemih dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan berbagai cara
mulai dari tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif)
sampai tindakan yang paling berat yaitu operasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kozar Rosemary A, Moore Frederick A. 2005. Schwartz’s Principles of
Surgery. 8th Edition. Singapore: The McGraw-Hill Companies,Inc.
2. Purnomo, Basuki B. 2003. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-Dasar
Urologi. Edisi ke-2. Jakarta: Sagung Seto. p. 69 – 85
3. McConnel, JD, 1998. Epidemiology, Etiology, Pathophysiology and
Diagnosis of Benign Prostatic Hyperplasia. In: Wals PC, Retik AB,
Vaughan ED, Wein AJ. Campbell’s urology. 7th ed. Philadelphia: WB
Saunders Company; p.1429-52.
4. Purnomo, Basuki B. 2004 Dasar-Dasar Urologi. Edisi Kedua. Jakarta:
Sagung Seto.
5. Ramon P, Setiono, Rona. 2002. Buku Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran
Universitas Padjajaran; 203-7
6. Sabiston, David. Sabiston. 2000. Buku Ajar Bedah. Alih bahasa : Petrus.
Timan. EGC.
7. Samsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
8. Sapar dan Subroto. 2002. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Bagian
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.