27
 PENDAHULUAN Tetanus adalah penyakit dengan gejala utama spasme otot tanpa gangguan kesadaran. Gejala dari tetanus terutama disebabkan oleh tetanospasmin yaitu suatu eks oto ksi n ya ng dih asi lka n ole h Clost ridium tetan i. Manifes tasi kli nis ter jadi seb agai dampak eksotoksin pada sin aps ga ngli on spinal da n neuromuscular  junction, serta saraf otonom (Soedarm o, 2008 !22". Tet anus merupaka n salah satu penyak it inf eks i yan g dap at di# ega h den gan imu nis asi (Tolan, 200 8". $ndonesia mengadopsi tiga pendekatan imunisasi untuk memberikan perlindungan terhadap tetanus bagi ibu dan bayinya yaitu jangka pendek (dosis tetanus to%oid untuk ibu hamil", jangka panjang yaitu tiga dosis &aksin difteri pertusis tetanus yang diberikan kepada bayi melalui imunisasi rutin, satu dosis ulangan &aksin difteri tetanus diberikan kepada sis'a kelas satu sekolah dasar, dan &aksin tetanus to%oid dosis ulangan diberikan kepada sis'a kelas 2 dan !. an akselerasi, !  putaran imunisasi tambahan dengan sasaran 'anita usia subur ()*+! tahun" di daerah dimana #akupan imunisasi tetanus to%oid dan persalinan bersih rendah (Menkes -$, 20)2". Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. erdasarkan data dari /1, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galaka, dan data dari 3ietnam diperkirakan insiden tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 400.000 5 ).000.000 kasus per tahun (Stanfield and Galaka, )86". Tetanus pada maternal dan neonatal merupakan penyebab kematian paling sering, ak ibat pe rsal in an da n pe na ng anan ta li pu sat ya ng ti da k be rsih . Teta nus neonatorum (T7" adalah tetanus pada bayi usia hari ke ! dan 28 setelah lahir. Tetanus maternal (TM " adalah tetanus pada kehamilan dan dalam minggu setelah melahirkan (Menkes -$, 20)2". Te tanus neonatoru m menyebabkan *09 kematian perinatal dan menyumbangkan 209 kematian bayi. :ngka kejadian +4  per )00 kelahiran hidup di perkotaan dan ))+2! per )00 kelahiran hidup di  pedesaan. Sedangkan angka kej adian tetanus pada anak di rumah sakit 4+60 kasus  per tahun, *09 terjadi pada kelompok *+ tahun, !09 kelompok )+6 tahun, )89 kelompok ;)0 tahun, dan sisanya pada ba yi <)2 bulan (=usponegoro et al ., 2006". 1

REFERAT chin.docx

Embed Size (px)

Citation preview

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit dengan gejala utama spasme otot tanpa gangguan kesadaran. Gejala dari tetanus terutama disebabkan oleh tetanospasmin yaitu suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Manifestasi klinis terjadi sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction, serta saraf otonom (Soedarmo, 2008 : 322). Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (Tolan, 2008). Indonesia mengadopsi tiga pendekatan imunisasi untuk memberikan perlindungan terhadap tetanus bagi ibu dan bayinya yaitu jangka pendek (dosis tetanus toxoid untuk ibu hamil), jangka panjang yaitu tiga dosis vaksin difteri pertusis tetanus yang diberikan kepada bayi melalui imunisasi rutin, satu dosis ulangan vaksin difteri tetanus diberikan kepada siswa kelas satu sekolah dasar, dan vaksin tetanus toxoid dosis ulangan diberikan kepada siswa kelas 2 dan 3. Dan akselerasi, 3 putaran imunisasi tambahan dengan sasaran wanita usia subur (15-39 tahun) di daerah dimana cakupan imunisasi tetanus toxoid dan persalinan bersih rendah (Menkes RI, 2012).Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insiden tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 1.000.000 kasus per tahun (Stanfield and Galazka, 1984). Tetanus pada maternal dan neonatal merupakan penyebab kematian paling sering, akibat persalinan dan penanganan tali pusat yang tidak bersih. Tetanus neonatorum (TN) adalah tetanus pada bayi usia hari ke 3 dan 28 setelah lahir. Tetanus maternal (TM ) adalah tetanus pada kehamilan dan dalam 6 minggu setelah melahirkan (Menkes RI, 2012). Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7 per 100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23 per 100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus per tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan sisanya pada bayi 30x/menit; disfagia ringan

III : Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasmenya lama; laju napas>40x/menit; laju nadi > 120x/menit, apneic spell, disfagia berat

IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular) Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengan hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut dapat menetap

Sumber : Depkes RI, 2008

Penegakan DiagnosisDiagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten) (Dolin, 1995).

Anamnesis Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain, (Depkes RI, 2008): 1. Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan binatang? 2. Apakah pernah keluar nanah dari telinga? 3. Apakah pernah menderita gigi berlubang? 4. Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir? 5. Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)? Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan (Hotez and Wilfert, 2004): 1. Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari. 2. Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah. 3. Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur. 4. Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan. Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun - masa istirahat spasme makin pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus. 5. Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten. 6. Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang. 7. Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif) (Nitin et al., 1995).

Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus (Depkes RI, 2008). Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus. Nilai hitung leukosit dapat tinggi. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal. Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus. Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat. EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi. Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

Diagnosis Banding Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit (Wassilak, 1994). Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut :1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal.2. Tetani, disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.3. Keracunan striknin, minum tonikum terlalu banyak (pada anak).4. Rabies, dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemic.5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.

Komplikasi TetanusTabel 2 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus.

Tabel 2. Komplikasi tetanusSistem tubuhKomplikasi

Jalan napas Aspirasi*Laringospasme/obstruksi*Sedasi dihubungkan dengan obstruksi*

Respirasi Apnea*Hipoksia Tipe I* (ateletaksis, aspirasi, pneumonia) dan tipe II* Gagal napas (spasme laring, pemanjangan spasme batang tubuh, sedasi berlebihan)ARDS* Komplikasi dari pemanjangan bantuan ventilasi (contoh : pneumonia)Komplikasi trakeostomi (contoh : stenosis trakea)Emboli paruEmfisema mediastinumPenumotoraksSpasme diafragma

Kardiovaskular Takikardia*Hipertensi*Iskemia*Hipotensi*Bradikardia*TakiaritmiaBradiaritmia*Asistol*Gagal jantung*

Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan poliuriaStasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis lambungIleusDiarePerdarahan*

Lain-lain Status konvulsivusDehidrasiPenurunan berat badan*Tromboemboli*Sepsis dan gagal organ multipel*Fraktur vertebra selama spasmeAvulsi tendon selama spasme

*: komplikasi jangka panjangSumber : Depkes RI, 2008

PenatalaksanaanTujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut : 1. Penanganan spasme. 2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik. 3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan. 4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan pabrik penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia. Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau portd entree lain yang diduga seperti karies dentis dan OMSK, sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus

Tatalaksana Umum1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisiPada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia 40C 38,4C 40C

Takikardia dengan frekuensi lebih dari 120x/menit (pada neonatus >150x/menit) (+) (-)

Tetanus umum (+) (-)

Adiksi narkotika (+) (-)

Sumber : Bleck and Brauner, 1997

Skor total menunjukkan derajat keparahan dan prognosis, seperti diuraikan berikut ini: Total SkorDerajat KeparahanTingkat Mortalitas

0-1Ringan< 10 %

2-3Sedang10-20 %

4Berat20-40 %

5-6Sangat Berat>50 %

Tetanus sefalik selalu merupakan derajat berat atau sangat berat

Tetanus neonatorum selalu merupakan derajat sangat berat

Pencegahan1. Imunisasi aktifImunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.Tabel 6. Jadwal imunisasiVaksin Usia/Waktu

2 bulan 4 bulan 6 bulan 18 bulan 5 tahun 12 tahun

Vaksin dasarDPT DPT DPT

Vaksin boosterDPT DPT DT

Vaksin untuk wanita hamil/ WUS

TT 1 TT 2 TT 3

Sumber : Depkes RI, 2008

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulannya bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap, terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%, jarang ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10 tahun.11 Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi terhadap bayinya.

2. Perawatan lukaPerawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal.

KESIMPULAN

Tetanus adalah penyakit dengan gejala utama spasme otot tanpa gangguan kesadaran. Gejala dari tetanus terutama disebabkan oleh tetanospasmin yaitu suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Manifestasi klinis terjadi sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan neuromuscular junction, serta saraf otonom (Soedarmo, 2008 : 322). Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (Tolan, 2008).Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus tertinggi di Asia. Oleh karena itu diperlukan adanya upaya eliminasi tetanus di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Bleck TP, Brauner JS. Tetanus. In: Scheld WM, Whitley RJ, Dirack DT. Infections of the central nervous system. 2nd ed. Philadelphia, PA: Lippincott-Raven Publishers;1997:629-53.

Depkes RI. 2008. Penatalaksanaan Tetanus pada Anak. Jakarta : Health Technology Assesment Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dolin R, ed. Principles and practice of infectious disease. 4th ed New York: Churchill Livingstone, 1995:2173.

Hotez P, Wilfert C. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus. Dalam:Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugmans Infectious Diseases of Children. Edisi ke-11. USA: Mosby; 2004. h. 655-62.

Menkes RI. 2012. Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal. Jakarta : Mentri Kesehatan Republik Indonesia.

Nitin M. Apte and ilip R. karnad (1995-10)Short report: The spatula test: A simple Bedside Test to Diagnose Tetanus (http:www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/53/4/386).Am J Trop.Med.Hyg.pp 386-7. Accesed on February 4th, 2015.

Pan American health organization. Neonatal tetanus elimination: field guide. Pan American health organization 2005.

Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al. Tetanus. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal 99-108.

Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com. Last updated Feb 1, 2008. Accesed on February 4th, 2015.Scheld, Michael W. Infection of the central nervous system, Raven Press Ltd, New York, 1991, 603 -620.

Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Edisi ke-2. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h.322-30.

Stanfield JP, Galazka A. A neonatal tetanus is the world today. Bull World Health Organ. 1984;62:647-9.

Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008.

UNICEF, WHO, UNFPA. Maternal and Neonatal tetanus elimination by 2005: Strategy for achieving and maintaining elimination. WHO 2000.

Wassilak, SGF, Orenstein WA, Sutter RW: Tetanus toxoid.In Plotkin, SA and Mortimer, EA (eds): Vaccines. 2nd ed. Philadelphia, WB Saunders, 1994, pp 57-90.

WHO Immunization surveillance, assessment and monitoring . Diunduh pada 04 Februari 2015 dari http://www.who.int/vaccines/globalsummary/immunization/timeseries/tsincidencente.htm.

5