Upload
aglalita-jamhur-risia-tama
View
16
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sdfhsjgfhsdgfhsdgfhsdfsdgfshdfksgfhgsdhfghasdghsdgfhsdgfhgsdhfsghfsgfhsjghaghfasdff
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa
nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom
yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus
kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen
yang menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus.
2.2 Epidemiologi
Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur
dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia
yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 – 29
tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana
lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia
dibawah 20 tahun dan 25% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes
zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes
zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita herpes
zoster pada masa kehamilan. Dari hasil penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes
zoster pada anak, biasanya ditemukan pada anak - anak yang imunokompromis dan
menderita penyakit keganasan.
2.3 Etiologi
Virus Varicella zoster merupakan virus penyebab varisela dan herpes zoster.
Varicella zoster merupakan virus golongan herpesvirus. Inang dari virus ini hanya
terbatas pada manusia dan primata. Stuktur partikel virus (virion) berukuran 120-300
nm. Virion terdiri dari glikoprotein, kapsid, amplop (selubung) virus, dan
nukleokapsid yang melindungi bagian inti berisi DNA genom utas ganda. Bagian
5
nukleokapsid berbentuk ikosahedral, berdiameter 100-110 nm, dan terdiri dari 162
protein yang disebut kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-
60°C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop (selubung) dari virus ini
rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan.
Gambar 1. Struktur virus Varicella zoster
2.4 Patofisiologi
Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster. Kontak
pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela
dikatakan infeksi akut primer sedangkan bila penderita varisela sembuh atau dalam
benuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah
herpes zoster.
Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini
virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang
sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam
sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat
viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa.
Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris dan ditransportasikan secara
sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut
terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak
bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan berubah menjadi infeksius
apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh
6
keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma,
penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif termasuk kortikosteroid dan
pada orang yang menerima transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan
kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion
sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan
melalui saraf sensoris akan sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan
timbulnya gejala klinis. Jadi, selama antibodi yang beredar di dalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu
dimana antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka terjadilah reaktivasi virus
sehingga terjadi herpes zoster.
Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan
sebagai berikut: Varisela: virus mukosa saluran nafas atas multiplikasi
pembuluh darah dan limfe kulit lesi primer saraf perifer ganglion
dorsalis infeksi laten.
Herpes zoster virus teraktifasi saraf perifer kulit lesi.
Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi droplet
dari nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau sebelum hari
ke-5 setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak virus dan perannya
dalam transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak bersifat infeksius.
Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis
posterior atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus
bersembunyi di dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal ini
menyebabkan timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang berhubungan
dengan ganglion tersebut.
Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas
tertinggi untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis
sensoris dari T1-L2. Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno supresi,
stres emosional, tumor yang menyerang ganglion dorsal, trauma lokal atau
manipulasi pada pembedahan spinal dan sinusitis frontal.
7
Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent,
begitu pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang
selanjutnya memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan
neuropeptida yang terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent selama
fase prodormal dan akut pada herpes zoster menyebabkan rusak dan hilangnya
interneuron inhibitor pada ganglion spinalis. Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf
perifer sangat penting dalam patogenesis dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan
saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini hipersensitivitas dan aktif secara
spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana secara klinis mekanisme ini berakhir
pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang tidak menyenagkan yang terjadi oleh
rangasangan normal yang tidak menyakitkan).
2.5 Gambaran klinis
Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada
dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi.
Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita
(terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.
Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan
8
unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas
pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Semua
dermatom dapat terkena, namun yang paling umum adalah T1 sampai L2. Walaupun
umumnya neuron sensoris yang terkena, neuron motorik juga dapat terkena pada 5%-
15% pasien. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. 12-24 jam kemudian
terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari 3. 7-10 hari
kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3
minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak
hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada
penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah menghilang.
Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal
(55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).6,11 Kelainan pada wajah
diakibatkan oleh gangguan nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) yang salah
satu gejalanya adalah herpes zoster ophtalmicus atau nervus fasialis dan otikus (dari
ganglion genikulatum) yang disebut Ramsay Hunt Sindrom.
Perkembangan ruam herpes zoster
Hari 1 Hari 2 Hari 5 Hari 6
Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
1. Herpes zoster ophtalmikus
Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmikus
saraf trigeminus, ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali
dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti
lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsung 1 – 4 hari sebelum kelainan
9
kulit timbul, fotofobia, banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar
dibuka.
Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra
2. Herpes zoster fasialis
Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra
3. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
10
Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra
4. Herpes zoster torakalis
Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra
5. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
6. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai
pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra
11
2.6 Penegakan diagnose
Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa
neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi.
Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal seperti
demam, pusing, dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema
kemudian berkembang menjadi papula dan vesikel yang dengan cepat membesar dan
menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari
menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorpsi terjadi, vesikel dan bula
dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan
penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis,
apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis
mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas
vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu
dermatom.
Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu
menegakkan diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian pula
pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes
serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang
mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,
hemoragi fokal dan inflamasi ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop
elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis.
Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara
lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan
mikroskop elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan
mengukur imunoglobulin spesifik.
12
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan diantaranya isolasi virus (3-5
hari), PCR, ELISA, teknik imunofluorensi Fluorosecent Antibody to Membrane
Antigen (FAMA), yang merupakan baku emasnya.
1.Tzancksmear
- Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s,
toluidine blue ataupun Papanicolaou’s. Dengan menggunakan mikroskop
cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells.
- Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.
- Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes
simpleks virus.
2.Direct fluorescent assay (DFA)
- Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk
krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.
- Hasil pemeriksaan cepat.
- Membutuhkan mikroskop fluorescence.
- Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.
- Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks
virus
3.Polymerase chain reaction (PCR)
- Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.
- Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping
dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan
sebagai preparat, dan CSF.
- Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.
- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.
4.Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan
13
degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai
adanya lymphocytic infiltrat.
2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
1. Mengatasi infeksi virus akut
2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster
3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Meteanalisis dan percobaan acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian agen-
agen antiviral asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir yang dimulai dalam 72 jam
setelah munculnya rash, akan menurunkan beratnya penyakit dan lamanya nyeri akut,
diikuti dengan menurunnya insidens neuralgia postherpetik
Algoritma terapi
14
Terapi penunjang:
Jaga ruam agar tetap bersih dan kering
Untuk rasa tidak nyaman: kompres dingin/lotio kalamin/anestetik topikal
Anjuran memakai pakaian dari serat alami yang longgar
Edukasi mengenai penyakit herpes zoster
Catatan:
Acyclovir topikal tidak dianjurkan
Terapi antivirus oral tidak dianjurkan pada herpes zoster dengan kehamilan
Pasien imunokompromais: harus diberi terapi antivirus oral
Asiklovir Asiklovir DifosfatAsiklovir monofosfat
Asiklovir trifosfatDNA Polymerase virus
A. Antivirus untuk herpes
Obat-obat yang efektif terhadap virus varisela zoster bekerja selama fase akut
infeksi virus dan tidak memberikan efek pada fase laten. Kecuali foskarnet, obat-obat
tersebut adalah analokpurin atau pirimidin yang menghambat sintesis virus DNA.
A. Asiklovir
Asiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif
terhadap virus herpes.
1. Mekanisme kerja :
Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugus glukosa,
mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode herpes virus,
timidin kinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Analok
monofofat diubah ke bentuk di-dan trifosfat oleh sel pejamu. Trifosfat
asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP) sebagai suatu
subsrat untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang
menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature. Ikatan yang irrevelsibel
dari template primer yang mengandung asiklovir ke DNA polymerase
melumpuhkan enzim. Zat ini kurang efektif terhadap enzim penjamu.
Timidine kinase kinase seluler
kinase seluler
2. Resistensi:
Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA
telah ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap
asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen
DNA polymerase. mekanisme kerja analog purin dan pirimidin : asiklovir
15
dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet.
Senyawa intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin,
sitarabin,vidaradin, dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim
kinase sel hospes menjadi analog nukleotida, yang bekerja menghambat
replikasi virus.
3. Indikasi : infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik (termasuk
keratitis herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan
herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes zoster). Karena
kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis
yang diperlukan untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih tinggi daripada
terapi infeksi HSV.
4. Dosis : untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes
zoster ialah 4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic
adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk herpes labialis.
Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi VZV digunakan
asiklovir intravena 30mg/kgBB perhari.
5. Farmakokinetik : pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical.
Efektivitas pemberian topical diragukan.obat tersebar keseluruh
tubuh,termaksuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian dimetabolisme
menjadi produk yang tidak aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi
glomerular dan sekresi tubular.
6. Efek samping : Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya,
iritasi local dapat terjadi dari pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan
muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan fungsi ginjal dapat timbul
pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang menerima obat secara intravena.
B. Gansiklovir
Gansiklovir berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus
hidroksimetil padaposisi 3’ rantai samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme
kerjanya sama dengan asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir
terdapat karbon 3’ dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya
16
perpanjangan primer dengan template jadi gansiklovir bukanlah DNA chain
terminator yang absolute seperti asklovir.
1. Mekanisme kerja : Gansiklovir diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim
fospotranverase yang dihasilkan oleh sel yang terinveksi
sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat fospotranverase yang
lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh eliminasi gangsiklovir
ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.perbedaan inilah
yang menjelaskan mengapa gansiklovi lebih superior dibandingkan dengan
asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus.
2. Resistensi : Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh
salah satu dari dua mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi
pada fospotranverase virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada
DNA polymerase virus.varian virus yang sangat resisten pada gansiklovir
disebabkan karena mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan DNA polymerase ) dan
dapat terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.
3. Indikasi : Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien immunocompromised
( misalnya : AIDS ), baik untuk terapi atau pencegahan.
4. Sediaan dan Dosis : Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg,
setiap 12 jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance
peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @ 250 mg ). Inplantsi intraocular
( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local CMV retinitis.
5. Efek samping : mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan gansiklovir.
Neotropenia terjadi pada 15-40 % pasien dan trombositopenia terjadi pada 5-20 %.
Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas
gansiklovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir.
Probenesit dan asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan
koloni stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam
penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gansiklovir.
17
C. Famsiklovir
Suatu analog asiklik dari 2’ deoksiguanosin, merupakan prodruk yang
dimetabolisme menjadi siklovir aktif. Spectrum antivirus sama dengan gansiklovir
tetapi wakyu ini disetujui hanya untuk pengobatan herpes zoster akut. Obat efektif
peroral. Efek samping termasuk sakit kepala dan mual.penelitian pada hewan
percobaan menujukan peningkatan terjadinya adenokarsinoma mamae dan toksisitas
testicular.
D. Foskarnet
Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin
atau pirimidin, obat ini adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun
aktivitas antivirus in vitro cukup luas, disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis
sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap imun yang lemah terytama
jika infeksi tersebut resisiten terhadap gansiklovir. Foskarnet bekerja dengan
menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi
rantai.
Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar
diabsorpsi peroral harus disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk
menghindari relaps jika kadarnya turun. Tersebat merata di seluruh tubuh. Lebih dari
10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan. Obat asli dikeluarkan oleh
glamerolus dan sekresi tubular masuk urine.
Efek samping termasuk nefrotoksisitas,anemia,mual dan demam. Karena kelasi
dengan kation divalent, hipokalsemia,hipomagnesemia juga terjadi selain itu
hipokalemia,hipofospatemia,kejang, dan aretmia juga pernah dilaporkan.
E. Trifluridin
Trifluridin telah menggantikan obat terdahulu, idoksuridin, pada pengobatan
topical keratokonjungtivitis yang disebabkan virus herpes simpleks. Seperti
idoksuridin, analog pirimidin ini masuk dalam DNA virus dan menghentikan
fungsinya.
18
Tiga antivirus oral yang tersedia untuk terapi herpes zoster
Obat Dosis (per hari) Lama (hari)
Asiklovir 5 x 800 mg 7-10
Famsiklovir 2 x 500 mg 7*
Valasiklovir 3 x 1000 mg 7*
Tabel 1. Obat antivirus oral dan pemakaiannya
B. Terapi kombinasi antivirus dan kortikosteroid untuk herpes zoster tanpa komplikasi
Penambahan kortikosteroid telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan
asiklovir. Manfaat steroid terdiri dari percepatan proses penyembuhan lesi dan
resolusi nyeri akut yang lebih cepat. Meskipun secara statistik signifikan, namun
manfaatnya tidak banyak. Tidak ada efek terhadap perkembangan atau durasi
neuralgia postherpetik.
Steroid belum diteliti bersama valasiklovir atau famsiklovir, jadi belum
diketahui manfaatnya. Penambahan terapi steroid perlu dipertimbangkan hanya untuk
pasien dengan gejala berat. Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi
antivirus) karena ditakutkan malah akan mendukung terjadinya replikasi virus.
Pengaruh steroid pada infeksi sekunder kulit belum diketahui. Beberapa pengarang
menyatakan bahwa steroid dapat meningkatkan risiko. Prednison 40-60 mg/hari,
merupakan pilihan yang baik jika diperlukan penggunaan steroid. Lamanya
pemberian terapi steroid untuk hasil optimal belum diketahui. Jika diberikan,
pemberian steroid bersamaan dnegan terapi antiviral nampaknya cukup beralasan.
Lamanya pemberian steroid ini tidak boleh lebih lama daripada pemberian antiviral.
Obat ini memiliki unsur sebagai antiinflamasi dan menyebabkan efek
metabolik yang besar dan bervariasi. Kortikosteroid mengubah respon imun tubuh
terhadap berbagai rangsangan. Tambahan prednison oral terhadap pemberian
asiklovir menunjukkan berkurangnya nyeri, mempercepat penyembuhan lesi, dan
19
memungkinkan penderita pulih lebih cepat untuk kembali menjalani aktivitas sehari-
hari.
C. Vaksin varisella zoster
Agen ini menghasilkan imunisasi aktif untuk meningkatkan resistensi tehadap
infeksi. Vaksin mengandung mikroorganisme yang dilemahkan atau komponen
seluler, yang bekerja sebagai antigen. Pemberian vaksin akan merangsang produksi
antibodi dengan unsur protektif tertentu.
Nama Obat Vaksin varicella zoster
Deskripsi Preparat strain virus varicella zoster hidup yang dilemahkan. Terbukti meningkatksn imunitas terhadap virus herpes zoster (shingles) pada pasien lansia. Mengurangi timbulnya shingles pada orang berusia >60 tahun sampai sekitar 50%. Untuk yang berusia 60-69 tahun, ia mengurangi timbulnya shingles sampai 64%. Juga dapat sedikit mengurangi nyeri dibandingkan tanpa vaksinasi pada mereka yang menderita shingles.diindikasikan sebagai pencegahan herpes zoster terhadap pasien berusia >60 tahun tanpa kontraindikasi
Dosis Dewasa <>
> 60 tahun: mengikuti keseluruhan isi dalam vial, gunakan jarum steril dan spuit yang terpisah untuk menarik seluruh isi vial dan diberikan secara SC; pada lengan kanan atas
Dosis Pediatrik Tidak diindikasikan
Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas terhadap vaksin atau komponennya (misalnya gelatin, neomisin); riwayat imunodefisiensi didapat atau sekunder (misalnya leukemia, limfoma, keganasan yang mempengaruhhi sumsum tulang atau system limfatik, AIDS); terapi yang bersifat imunosupresif termasuk kortikosteroid dosis tinggi; tuberculosis aktif yang tidak diobati
Interaksin Belum ada yang dilaporkan
Kehamilan C – Risiko terhadap janin terlihat pada penelitian pada hewan, namun belum dipastikan atau belum dilakukan penelitian terhadap manusia;
20
dapat digunakan bila manfaat lebih besar daripada risiko terhadap janin
Pencegahan Efek samping umum meliputi eritema, nyeri, pembengkakan, gatal, dan inflamasi pada daerah suntuikan; juga dapat menyebabkan sakit kepala; dapat menyebabkan ruam luas akibat vaksin atau penyakit diseminata pada penderita yang menjalani terapi imunosupresif (lihat kontraindikasi); tunda vaksinasi jika terdapat demam atau penyakit akut; jangan disuntikkan secara intravaskuler; berikan dalam 30 menit; bukan merupakan pengganti vaksin virus varicella untuk anak-anak
C. Nonfarmakologi
Perawatan non farmakologi juga sangat penting. Pendidikan pasien dan
dukungan penting dalam penatalaksanaan Herpes zoster. Hal tersebut meliputi
penjelasan atas jalannya penyakit, rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan
aturan dosis antivirus. Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang
Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang resiko menular
terhadap orang yang belum pernah cacar air. Instruksikan pasien agar tetap menjaga
ruam dalam keadaan bersih dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri,
melaporkan setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan pembalut steril basah
untuk mengurangi ketidaknyamanan.
2.8 Komplikasi
Penderita yang tidak disertai keadaan penurunan imunitas, biasanya tanpa
komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi ialah adanya vesikel yang berubah
menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.
Neuralgia pascaherpetik
Nyeri merupakan komplikasi tersering herpes zoster yang membuat pasien
menderita. Pada fase akut, nyeri biasanya berkurang dalam beberapa minggu. Jika
nyerinya masih menetap lebih dari 3 bulan setelah hilangnya ruam zoster, maka
diduga pasien mengalami komplikasi neuralgia pasca herpes (NPH). Nyeri ini
dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi
21
nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai
pada orang yang menderita herpes zoster di atas usia 40 tahun, ruam yang meluas,
dan intensitas nyeri akut yang lebih berat merupakan indikator meningkatnya
risiko terjadinya NPH.
Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya
ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis optik.
Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus
secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan.
Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai
paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas,
vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.
Infeksi juga dapat menjalar ke organ dalam, misalnya paru, hepar, dan otak.
Komplikasi herpes zoster
2.9 Prognosis
Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia
tua risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat
menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan higiene
& perawatan yang teliti akan memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang
timbul akan menjadi sedikit.
22