28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen yang menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. 2.2 Epidemiologi Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 – 29 tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 25% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi 5

referat farmasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sdfhsjgfhsdgfhsdgfhsdfsdgfshdfksgfhgsdhfghasdghsdgfhsdgfhgsdhfsghfsgfhsjghaghfasdff

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat ditandai adanya rasa

nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom

yang dipersarafi serabut spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari nervus

kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster dari infeksi endogen

yang menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus.

2.2 Epidemiologi

Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur

dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia

yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 – 29

tahun : 2,58 / 1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana

lebih dari 66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia

dibawah 20 tahun dan 25% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes

zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes

zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir apabila ibunya menderita herpes

zoster pada masa kehamilan. Dari hasil penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes

zoster pada anak, biasanya ditemukan pada anak - anak yang imunokompromis dan

menderita penyakit keganasan.

2.3 Etiologi

Virus Varicella zoster merupakan virus penyebab varisela dan herpes zoster.

Varicella zoster merupakan virus golongan herpesvirus. Inang dari virus ini hanya

terbatas pada manusia dan primata. Stuktur partikel virus (virion) berukuran 120-300

nm. Virion terdiri dari glikoprotein, kapsid, amplop (selubung) virus, dan

nukleokapsid yang melindungi bagian inti berisi DNA genom utas ganda. Bagian

5

nukleokapsid berbentuk ikosahedral, berdiameter 100-110 nm, dan terdiri dari 162

protein yang disebut kapsomer. Virus ini akan mengalami inaktivasi pada suhu 56-

60°C dan menjadi tidak berbahaya apabila bagian amplop (selubung) dari virus ini

rusak. Penyebaran virus ini dapat terjadi melalui pernapasan.

Gambar 1. Struktur virus Varicella zoster

2.4 Patofisiologi

Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster. Kontak

pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela

dikatakan infeksi akut primer sedangkan bila penderita varisela sembuh atau dalam

benuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah

herpes zoster.

Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini

virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang

sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam

sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat

viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa.

Sebagian virus juga menjalar melalui serat-serat sensoris dan ditransportasikan secara

sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut

terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak

bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan berubah menjadi infeksius

apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh

6

keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma,

penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif termasuk kortikosteroid dan

pada orang yang menerima transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan

kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion

sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan

melalui saraf sensoris akan sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan

timbulnya gejala klinis. Jadi, selama antibodi yang beredar di dalam darah masih

tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu

dimana antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka terjadilah reaktivasi virus

sehingga terjadi herpes zoster.

Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan

sebagai berikut: Varisela: virus mukosa saluran nafas atas multiplikasi

pembuluh darah dan limfe kulit lesi primer saraf perifer ganglion

dorsalis infeksi laten.

Herpes zoster virus teraktifasi saraf perifer kulit lesi.

Varisela terjadi di semua belahan dunia dan ditularkan melalui infeksi droplet

dari nasofaring. Pasien berada dalam fase infeksius pada hari ke-2 atau sebelum hari

ke-5 setelah timbulnya ruam. Cairan vesikel mengandung banyak virus dan perannya

dalam transmisi tidak diketahui. Lesi yang kering tidak bersifat infeksius.

Zoster umumnya bermanifestasi pada satu atau lebih ganglion spinalis

posterior atau ganglion saraf kranial, hal ini agaknya terjadi karena partikel virus

bersembunyi di dalam ganglia dalam fase dorman sejak episode awal varisela. Hal ini

menyebabkan timbulnya nyeri di sepanjang dermatom sensoris yang berhubungan

dengan ganglion tersebut.

Herpes zoster terjadi paling sering di dermatom yang memiliki densitas

tertinggi untuk dicapai oleh varisela yaitu saraf trigeminal dan ganglia spinalis

sensoris dari T1-L2. Reaktivasi VZV berhubungan dengan keadaan imuno supresi,

stres emosional, tumor yang menyerang ganglion dorsal, trauma lokal atau

manipulasi pada pembedahan spinal dan sinusitis frontal.

7

Cidera pada saraf perifer dan ganglion saraf memicu sinyal nyeri afferent,

begitu pula inflamasi pada kulit memicu pengeluaran sinyal nosireseptor yang

selanjutnya memperberat nyeri pada kulit. Pengeluaran asam amino eksitatori dan

neuropeptida yang terjadi secara berlebihan dicetuskan oleh impuls afferent selama

fase prodormal dan akut pada herpes zoster menyebabkan rusak dan hilangnya

interneuron inhibitor pada ganglion spinalis. Rusaknya saraf pada ganglion dan saraf

perifer sangat penting dalam patogenesis dari neuralgia pascaherpetik. Kerusakan

saraf afferent primer dapat menyebabkan saraf ini hipersensitivitas dan aktif secara

spontan terhadap rangsangan perifer. Dimana secara klinis mekanisme ini berakhir

pada allodynia (Nyeri ataupun sensasi yang tidak menyenagkan yang terjadi oleh

rangasangan normal yang tidak menyakitkan).

2.5 Gambaran klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada

dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi.

Gejala konstitusi, seperti sakit kepala, malaise, dan demam, terjadi pada 5% penderita

(terutama pada anak-anak) dan timbul 1-2 hari sebelum terjadi erupsi.

Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan

8

unilateral. Jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas

pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensorik. Semua

dermatom dapat terkena, namun yang paling umum adalah T1 sampai L2. Walaupun

umumnya neuron sensoris yang terkena, neuron motorik juga dapat terkena pada 5%-

15% pasien. Erupsi mulai dengan eritema makulopapular. 12-24 jam kemudian

terbentuk vesikula yang dapat berubah menjadi pustula pada hari 3. 7-10 hari

kemudian, lesi mengering menjadi krusta. Krusta ini dapat menetap menjadi 2-3

minggu. Keluhan yang berat biasanya terjadi pada penderita usia tua. Pada anak-anak

hanya timbul keluhan ringan dan erupsi cepat menyembuh. Rasa sakit segmental pada

penderita lanjut usia dapat menetap, walaupun krustanya sudah menghilang.

Frekuensi herpes zoster menurut dermatom yang terbanyak pada dermatom torakal

(55%), kranial (20%), lumbal (15%), dan sakral (5%).6,11 Kelainan pada wajah

diakibatkan oleh gangguan nervus trigeminus (dengan ganglion gaseri) yang salah

satu gejalanya adalah herpes zoster ophtalmicus atau nervus fasialis dan otikus (dari

ganglion genikulatum) yang disebut Ramsay Hunt Sindrom.

Perkembangan ruam herpes zoster

Hari 1 Hari 2 Hari 5 Hari 6

Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:

1. Herpes zoster ophtalmikus

Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmikus

saraf trigeminus, ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali

dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti

lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsung 1 – 4 hari sebelum kelainan

9

kulit timbul, fotofobia, banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar

dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai

erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra

3. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

10

Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra

4. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra

5. Herpes zoster lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai

pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra

11

2.6 Penegakan diagnose

Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa

neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi.

Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal seperti

demam, pusing, dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema

kemudian berkembang menjadi papula dan vesikel yang dengan cepat membesar dan

menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-mula jernih, setelah beberapa hari

menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorpsi terjadi, vesikel dan bula

dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan

penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis,

apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis

mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas

vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu

dermatom.

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu

menegakkan diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian pula

pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes

serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang

mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil,

hemoragi fokal dan inflamasi ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop

elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis.

Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara

lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan

mikroskop elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan

mengukur imunoglobulin spesifik.

12

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan diantaranya isolasi virus (3-5

hari), PCR, ELISA, teknik imunofluorensi Fluorosecent Antibody to Membrane

Antigen (FAMA), yang merupakan baku emasnya.

1.Tzancksmear

- Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudian

diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin, Giemsa’s, Wright’s,

toluidine blue ataupun Papanicolaou’s. Dengan menggunakan mikroskop

cahaya akan dijumpai multinucleated giant cells.

- Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.

- Test ini tidak dapat membedakan antara virus varicella zoster dengan herpes

simpleks virus.

2.Direct fluorescent assay (DFA)

- Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk

krusta pemeriksaan dengan DFA kurang sensitif.

- Hasil pemeriksaan cepat.

- Membutuhkan mikroskop fluorescence.

- Test ini dapat menemukan antigen virus varicella zoster.

- Pemeriksaan ini dapat membedakan antara VZV dengan herpes simpleks

virus

3.Polymerase chain reaction (PCR)

- Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sangat sensitif.

- Dengan metode ini dapat digunakan berbagai jenis preparat seperti scraping

dasar vesikel dan apabila sudah berbentuk krusta dapat juga digunakan

sebagai preparat, dan CSF.

- Sensitifitasnya berkisar 97 - 100%.

- Test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella zoster.

4.Biopsi kulit

Hasil pemeriksaan histopatologis : tampak vesikel intraepidermal dengan

13

degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas dijumpai

adanya lymphocytic infiltrat.

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:

1. Mengatasi infeksi virus akut

2. Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster

3. Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.

Meteanalisis dan percobaan acak terkontrol menunjukkan bahwa pemberian agen-

agen antiviral asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir yang dimulai dalam 72 jam

setelah munculnya rash, akan menurunkan beratnya penyakit dan lamanya nyeri akut,

diikuti dengan menurunnya insidens neuralgia postherpetik

Algoritma terapi

14

Terapi penunjang:

Jaga ruam agar tetap bersih dan kering

Untuk rasa tidak nyaman: kompres dingin/lotio kalamin/anestetik topikal

Anjuran memakai pakaian dari serat alami yang longgar

Edukasi mengenai penyakit herpes zoster

Catatan:

Acyclovir topikal tidak dianjurkan

Terapi antivirus oral tidak dianjurkan pada herpes zoster dengan kehamilan

Pasien imunokompromais: harus diberi terapi antivirus oral

Asiklovir Asiklovir DifosfatAsiklovir monofosfat

Asiklovir trifosfatDNA Polymerase virus

A. Antivirus untuk herpes

  Obat-obat yang efektif terhadap virus varisela zoster bekerja selama fase akut

infeksi virus dan tidak memberikan efek pada fase laten. Kecuali foskarnet, obat-obat

tersebut adalah analokpurin atau pirimidin yang menghambat sintesis virus DNA.

A. Asiklovir

Asiklovir merupakan obat antivirus yang paling banyak digunakan karena efektif

terhadap virus herpes.

1. Mekanisme kerja :

Asiklovir, suatu analog guanosin yang tidak mempunyai gugus glukosa,

mengalami monofosforilasi dalam sel oleh enzim yang di kode herpes virus,

timidin kinase. Karena itu, sel-sel yang di infeksi virus sangat rentan. Analok

monofofat diubah ke bentuk di-dan trifosfat oleh sel pejamu. Trifosfat

asiklovir berpacu dengan deoksiguanosin trifosfat (dGTP) sebagai suatu

subsrat untuk DNA polymerase dan masuk ke dalam DNA virus yang

menyebabkan terminasi rantai DNA yang premature. Ikatan yang irrevelsibel

dari template primer yang mengandung asiklovir ke DNA polymerase

melumpuhkan enzim. Zat ini kurang efektif terhadap enzim penjamu.

Timidine kinase kinase seluler

kinase seluler

2. Resistensi:

Timidin kinase yang sudah berubah atau berkurang dan polymerase DNA

telah ditemukan dalam beberapa strain virus yang resisten. Resistensi terhadap

asiklovir disebabkan oleh mutasi pada gen timidin kinase virus atau pada gen

DNA polymerase. mekanisme kerja analog purin dan pirimidin : asiklovir

15

dimetabolisme oleh enzim kinase virus menjadi senyawa intermediet.

Senyawa intermediet asiklovir(dan obat obat seperti idosuridin,

sitarabin,vidaradin, dan zidovudin) dimetabolisme lebih lanjut oleh enzim

kinase sel hospes menjadi analog nukleotida, yang bekerja menghambat

replikasi virus.

3. Indikasi : infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik local maupun sistemik (termasuk

keratitis herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal, dan

herpes labialis.) dan infeksi VZV(varisela dan herpes zoster). Karena

kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis

yang diperlukan untuk terapi kasus varisela dan zoster lebih tinggi daripada

terapi infeksi HSV.

4. Dosis : untuk herpes genital : 5Xsehari 200mg tablet, sedangkan untuk herpes

zoster ialah 4x400mg sehari.penggunaan topical untuk keratitis herpetic

adalah dalam bentuk krim ophthalmic 3% dank rim 5% untuk herpes labialis.

Untuk herpes ensefalitis, HSV berat lain nya dan infeksi VZV digunakan

asiklovir intravena 30mg/kgBB perhari.

5. Farmakokinetik : pemberian obat bisa secara intravena, oral atau topical.

Efektivitas pemberian topical diragukan.obat tersebar keseluruh

tubuh,termaksuk cairan serebrospinal.asiklovir sebagian dimetabolisme

menjadi produk yang tidak aktif.Ekskresi kedalam urine terjadi melalui filtrasi

glomerular dan sekresi tubular.

6. Efek samping : Efek samping tergantung pada cara pemberian. Misalnya,

iritasi local dapat terjadi dari pemberian topical; sakit kepala; diare; mual ;dan

muntah merupakan hasil pemberian oral , gangguan fungsi ginjal dapat timbul

pada dosis tinggi atau pasien dehidrasi yang menerima obat secara intravena.

B. Gansiklovir

Gansiklovir berbeda dari asiklovir dengan adanya penambahan gugus

hidroksimetil padaposisi 3’ rantai samping asikliknya.metabolisme dan mekanisme

kerjanya sama dengan asiklovir. Yang sedikit berbeda adalah pada gansiklovir

terdapat karbon 3’ dengan gugus hidroksil, sehingga masih memunginkan adanya

16

perpanjangan primer dengan template jadi gansiklovir bukanlah DNA chain

terminator yang absolute seperti asklovir.

1. Mekanisme kerja : Gansiklovir diubah menjadi ansiklovir monofosfat oleh enzim

fospotranverase yang dihasilkan oleh sel yang terinveksi

sitomegalovirus.gansiklovirmonofospat merupakan sitrat fospotranverase yang

lebih baik dibandingkan dengan asiklovir. Aktu paruh eliminasi gangsiklovir

ktrifospat sedikitnya 12 jam, sedangkan asiklovir hanya 1-2 jam.perbedaan inilah

yang menjelaskan mengapa gansiklovi lebih superior dibandingkan dengan

asiklovir untuk terapi penyakit yang disebabkan oleh sitomegalovirus.

2. Resistensi : Sitomegalovirus dapat menjadi resisten terhadap gansiklovir oleh

salah satu dari dua mekanisme.penurunan fosporilasi gansiklovir karena mutasi

pada fospotranverase virus yang dikode oleh gen UL97 atau karena mutasi pada

DNA polymerase virus.varian virus yang sangat resisten pada gansiklovir

disebabkan karena mutasi pada keduanya( Gen UL97 dan DNA polymerase ) dan

dapat terjadi resistensi silang terhadap sidofovir atau foskarnet.

3. Indikasi : Infeksi CMV, terutama CMV retinitis pada pasien immunocompromised

( misalnya : AIDS ), baik untuk terapi atau pencegahan.

4. Sediaan dan Dosis : Untuk induksi diberikan IV 10 mg/kg per hari ( 2 X 5 mg/kg,

setiap 12 jam) selama 14-21 hari,dilanjutkan dengan pemberian maintenance

peroral 3000mg per hari ( 3 X sehari 4 kapsul @ 250 mg ). Inplantsi intraocular

( intravitreal ) 4,5 mg gnsiklovir sebagai terapi local CMV retinitis.

5. Efek samping : mielosupresi dapat terjadi pada terapi dengan gansiklovir.

Neotropenia terjadi pada 15-40 % pasien dan trombositopenia terjadi pada 5-20 %.

Zidovudin dan obat sitotoksik lain dapat meningkatkan resiko mielotoksisitas

gansiklovir. Obat-obat nefrotoksik dapat mengganggu ekskresi gansiklovir.

Probenesit dan asiklovi dapat mengurangi klirens renal gansiklovir. Rekombinan

koloni stimulating factor ( G-CSF, filgastrim, lenogastrim) dapat menolong dalam

penanganan neutropenia yang disebabkan oleh gansiklovir.

17

C. Famsiklovir

Suatu analog asiklik dari 2’ deoksiguanosin, merupakan prodruk yang

dimetabolisme menjadi siklovir aktif. Spectrum antivirus sama dengan gansiklovir

tetapi wakyu ini disetujui hanya untuk pengobatan herpes zoster akut. Obat efektif

peroral. Efek samping termasuk sakit kepala dan mual.penelitian pada hewan

percobaan menujukan peningkatan terjadinya adenokarsinoma mamae dan toksisitas

testicular.

D. Foskarnet

Tidak seperti kebanyakan obat antivirus lainnya, foskarnet bukan analog purin

atau pirimidin, obat ini adalah fosfonoformat, suatu derivate pirofosfat. Meskipun

aktivitas antivirus in vitro cukup luas, disetujui hanya sebagai pengobatan retinitis

sitomegalic pada pasien penderita HIV dengan tanggap imun yang lemah terytama

jika infeksi tersebut resisiten terhadap gansiklovir. Foskarnet bekerja dengan

menghamabat polimerese DNA & RNA secara reversible, yang mengakhiri elongasi

rantai.

Mutasi struktur polymerase menyebabkan resistensi virus. Foskarnet sukar

diabsorpsi peroral harus disuntikan intravena, dan perlu diberikan berulang untuk

menghindari relaps jika kadarnya turun. Tersebat merata di seluruh tubuh. Lebih dari

10% masuk matriks tulang yang secara lambat dilepaskan. Obat asli dikeluarkan oleh

glamerolus dan sekresi tubular masuk urine.

Efek samping termasuk nefrotoksisitas,anemia,mual dan demam. Karena kelasi

dengan kation divalent, hipokalsemia,hipomagnesemia juga terjadi selain itu

hipokalemia,hipofospatemia,kejang, dan aretmia juga pernah dilaporkan.

E. Trifluridin

Trifluridin telah menggantikan obat terdahulu, idoksuridin, pada pengobatan

topical keratokonjungtivitis yang disebabkan virus herpes simpleks. Seperti

idoksuridin, analog pirimidin ini masuk dalam DNA virus dan menghentikan

fungsinya.

18

Tiga antivirus oral yang tersedia untuk terapi herpes zoster

Obat Dosis (per hari) Lama (hari)

Asiklovir 5 x 800 mg 7-10

Famsiklovir 2 x 500 mg 7*

Valasiklovir 3 x 1000 mg 7*

Tabel 1. Obat antivirus oral dan pemakaiannya

B. Terapi kombinasi antivirus dan kortikosteroid untuk herpes zoster tanpa komplikasi

Penambahan kortikosteroid telah dievaluasi pada pasien yang diobati dengan

asiklovir. Manfaat steroid terdiri dari percepatan proses penyembuhan lesi dan

resolusi nyeri akut yang lebih cepat. Meskipun secara statistik signifikan, namun

manfaatnya tidak banyak. Tidak ada efek terhadap perkembangan atau durasi

neuralgia postherpetik.

Steroid belum diteliti bersama valasiklovir atau famsiklovir, jadi belum

diketahui manfaatnya. Penambahan terapi steroid perlu dipertimbangkan hanya untuk

pasien dengan gejala berat. Steroid tidak boleh diberikan sendiri (tanpa terapi

antivirus) karena ditakutkan malah akan mendukung terjadinya replikasi virus.

Pengaruh steroid pada infeksi sekunder kulit belum diketahui. Beberapa pengarang

menyatakan bahwa steroid dapat meningkatkan risiko. Prednison 40-60 mg/hari,

merupakan pilihan yang baik jika diperlukan penggunaan steroid. Lamanya

pemberian terapi steroid untuk hasil optimal belum diketahui. Jika diberikan,

pemberian steroid bersamaan dnegan terapi antiviral nampaknya cukup beralasan.

Lamanya pemberian steroid ini tidak boleh lebih lama daripada pemberian antiviral.

Obat ini memiliki unsur sebagai antiinflamasi dan menyebabkan efek

metabolik yang besar dan bervariasi. Kortikosteroid mengubah respon imun tubuh

terhadap berbagai rangsangan. Tambahan prednison oral terhadap pemberian

asiklovir menunjukkan berkurangnya nyeri, mempercepat penyembuhan lesi, dan

19

memungkinkan penderita pulih lebih cepat untuk kembali menjalani aktivitas sehari-

hari.

C. Vaksin varisella zoster

Agen ini menghasilkan imunisasi aktif untuk meningkatkan resistensi tehadap

infeksi. Vaksin mengandung mikroorganisme yang dilemahkan atau komponen

seluler, yang bekerja sebagai antigen. Pemberian vaksin akan merangsang produksi

antibodi dengan unsur protektif tertentu.

Nama Obat Vaksin varicella zoster

Deskripsi Preparat strain virus varicella zoster hidup yang dilemahkan. Terbukti meningkatksn imunitas terhadap virus herpes zoster (shingles) pada pasien lansia. Mengurangi timbulnya shingles pada orang berusia >60 tahun sampai sekitar 50%. Untuk yang berusia 60-69 tahun, ia mengurangi timbulnya shingles sampai 64%. Juga dapat sedikit mengurangi nyeri dibandingkan tanpa vaksinasi pada mereka yang menderita shingles.diindikasikan sebagai pencegahan herpes zoster terhadap pasien berusia >60 tahun tanpa kontraindikasi

Dosis Dewasa <>

> 60 tahun: mengikuti keseluruhan isi dalam vial, gunakan jarum steril dan spuit yang terpisah untuk menarik seluruh isi vial dan diberikan secara SC; pada lengan kanan atas

Dosis Pediatrik Tidak diindikasikan

Kontraindikasi Riwayat hipersensitivitas terhadap vaksin atau komponennya (misalnya gelatin, neomisin); riwayat imunodefisiensi didapat atau sekunder (misalnya leukemia, limfoma, keganasan yang mempengaruhhi sumsum tulang atau system limfatik, AIDS); terapi yang bersifat imunosupresif termasuk kortikosteroid dosis tinggi; tuberculosis aktif yang tidak diobati

Interaksin Belum ada yang dilaporkan

Kehamilan C – Risiko terhadap janin terlihat pada penelitian pada hewan, namun belum dipastikan atau belum dilakukan penelitian terhadap manusia;

20

dapat digunakan bila manfaat lebih besar daripada risiko terhadap janin

Pencegahan Efek samping umum meliputi eritema, nyeri, pembengkakan, gatal, dan inflamasi pada daerah suntuikan; juga dapat menyebabkan sakit kepala; dapat menyebabkan ruam luas akibat vaksin atau penyakit diseminata pada penderita yang menjalani terapi imunosupresif (lihat kontraindikasi); tunda vaksinasi jika terdapat demam atau penyakit akut; jangan disuntikkan secara intravaskuler; berikan dalam 30 menit; bukan merupakan pengganti vaksin virus varicella untuk anak-anak

C. Nonfarmakologi

Perawatan non farmakologi juga sangat penting. Pendidikan pasien dan

dukungan penting dalam penatalaksanaan Herpes zoster. Hal tersebut meliputi

penjelasan atas jalannya penyakit, rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan

aturan dosis antivirus. Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang

Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang resiko menular

terhadap orang yang belum pernah cacar air. Instruksikan pasien agar tetap menjaga

ruam dalam keadaan bersih dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri,

melaporkan setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan pembalut steril basah

untuk mengurangi ketidaknyamanan.

2.8 Komplikasi

Penderita yang tidak disertai keadaan penurunan imunitas, biasanya tanpa

komplikasi. Komplikasi yang dapat terjadi ialah adanya vesikel yang berubah

menjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.

Neuralgia pascaherpetik

Nyeri merupakan komplikasi tersering herpes zoster yang membuat pasien

menderita. Pada fase akut, nyeri biasanya berkurang dalam beberapa minggu. Jika

nyerinya masih menetap lebih dari 3 bulan setelah hilangnya ruam zoster, maka

diduga pasien mengalami komplikasi neuralgia pasca herpes (NPH). Nyeri ini

dapat berlangsung sampai beberapa bulan bahkan bertahun-tahun dengan gradasi

21

nyeri yang bervariasi dalam kehidupan sehari-hari. Kecenderungan ini dijumpai

pada orang yang menderita herpes zoster di atas usia 40 tahun, ruam yang meluas,

dan intensitas nyeri akut yang lebih berat merupakan indikator meningkatnya

risiko terjadinya NPH.

Pada herpes zoster oftalmikus dapat terjadi berbagai komplikasi, di antaranya

ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, korioretinitis, dan neuritis optik.

Paralisis motorik terdapat pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat penjalaran virus

secara per kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan.

Paralisis biasanya timbul dalam 2 minggu sejak awitan munculnya lesi. Berbagai

paralisis dapat terjadi, misalnya di muka, diafragma, batang tubuh, ekstremitas,

vesika urinaria, dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.

Infeksi juga dapat menjalar ke organ dalam, misalnya paru, hepar, dan otak.

Komplikasi herpes zoster

2.9 Prognosis

Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia

tua risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat

menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan higiene

& perawatan yang teliti akan memberikan prognosis yang baik & jaringan parut yang

timbul akan menjadi sedikit.

22