16
Referat FRAKTUR MAKSILA Oleh : NADYA FATMA ROSALIN 1408465726 Pembimbing: dr. HARIANTO, Sp.THT-KL KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KL

referat fraktur maksila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat fraktur maksila

Citation preview

Page 1: referat fraktur maksila

Referat

FRAKTUR MAKSILA

Oleh :NADYA FATMA ROSALIN

1408465726

Pembimbing:dr. HARIANTO, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KLFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMADPEKANBARU

2015

Page 2: referat fraktur maksila

FRAKTUR MAKSILA

I. Definisi

Fraktur maksila adalah fraktur kompleks rahang atas dan merupakan salah

satu cedera wajah yang berat. Fraktur maksila dapat terjadi akibat kecelakaan

kendaraan bermotor, terjatuh atau kecelakaan kerja, olahraga, kekerasan, dan

akibat trauma benda tumpul lainnya.1,2,3

II. Tulang maksila

Tulang maksila (maksila kiri dan kanan) merupakan bagian utama dari

wajah bagian tengah (mid face), membentuk rahang atas, pars anterior palatum

durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan sebagian dasar orbita. Bersama

palatum merupakan penyangga dari gigi atas. Mempunyai rongga udara yang

paling besar di rongga maksilofasial, rongga berbentuk piramid yang dilapisi

mukosa disebut sinus maksilaris. Rongga ini berhubungan dengan hidung dan

berfungsi sebagai resonator udara. Tempat keluarnya saraf infraorbitalis dan

pembuluh darah infraorbitalis. Bersama dengan tulang zigoma, frontal, etmoid,

sisi medial nasal membentuk rongga mata. Di posterior tulang maksila bergabung

dengan tonjolan pterigoid dari tulang sphenoid. Struktur tulang maksila kuat dan

tebal di pilar lateralnya, sedangkan pada bagian tengah dan depan tipis (rata-rata

hanya 0,5 mm).4

III. Klasifikasi

Mathog menggunakan klasifikasi fraktur maksila menjadi 3, yaitu fraktur

Le Fort I, II, dan III.5,6,7,8 Klasifikasi ini berdasarkan pengamatan Le Fort bahwa

fraktur-fraktur kerangka tulang wajah memiliki pola stereotipik.7

1

Page 3: referat fraktur maksila

Gambar 1. Fraktur maksila

1) Fraktur maksila Le Fort I5,7

Fraktur Le Fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur horizontal bagian bawah

antara maksila dan palatum/arkus alveolar kompleks. Garis fraktur

berjalan ke belakang melalui lamina pterigoid. Fraktur ini bisa unilateral

atau bilateral. Kerusakan pada fraktur Le Fort akibat arah trauma dari

anteroposterior bawah yang dapat mengenai:

Nasomaksila dan zigomatikomaksila vertikal buttress.

Bagian bawah lamina pterigoid

Anterolateral maksila

Palatum durum

Dasar hidung

Septum

Apertura piriformis

2) Fraktur maksila Le Fort II

Fraktur Le Fort II (fraktur piramid) membentuk patahan fraktur berbentuk

piramida. Garis fraktur berjalan melalui tulang hidung dan diteruskan ke

2

Page 4: referat fraktur maksila

tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infraorbita, dan menyebrang ke

bagian atas dari sinus maksila juga ke arah lamina pterigoid sampai ke

fossa pterigopalatian. Fraktur pada lamina kribriformis dan atap sel etmoid

dapat merusak sistem lakrimalis.5,7

3) Fraktur maksila Le Fort III

Fraktur Le Fort III (craniofacial dysjunction) adalah suatu fraktur yang

paling berat, di mana seluruh perleketan rangka wajah pada kranium

terputus.8 Fraktur ini memisahkan secara lengkap antara tulang dan tulang

kranial. Garis fraktur berjalan melalui sutura nasofrontal diteruskan

sepanjang taut etmoid (ethmoid junction) melalui fisura orbitalis superior

melintang kearah dinding lateral ke orbita, sutura zigomatiko frontal dan

sutura tempo-zigomatik. Fraktur Le Fort III ini biasanya bersifat kominutif

yang disebut kelainan dishface. Fraktur maksila Le Fort III ini sering

menimbulkan komplikasi intra kranial seperti timbulnya pengeluaran

cairan otak atap sel etmoid dan lamina kribriformis.5,7

IV. Diagnosis

Diagnosis untuk menegakkan fraktur maksila dapat dilakukan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Anamnesis

Jika memungkinkan, riwayat cedera seharusnya didapatkan sebelum

pasien tiba di IGD. Pengetahuan tentang mekanisme cedera

memungkinkan dokter untuk mencurigai cedera yang terkait selain cedera

primer. Waktu diantara cedera atau penemuan korban dan inisiasi

pengobatan merupakan informasi yang amat berharga yang mempengaruhi

resusitasi pasien.2,7

2. Pemeriksaan fisik

Inspeksi: Epistaksis, ekimosis (periorbital, konjungtival, dan skleral),

edema, dan hematoma subkutan mengarah pada fraktur segmen maksila ke

3

Page 5: referat fraktur maksila

bawah dan belakang mengakibatkan terjadinya oklusi prematur pada

pergigian posterior.2,7 Palpasi: Palpasi harus dilakukan secara serentak

(kanan dan kiri bersama-sama), seksama, dan sistematis. Pemeriksa tanpa

gangguan kesadaran dapat diperiksa dalam posisi berbaring atau duduk.7

Manipulasi Digital: Mobilitas maksila dapat ditunjukkan dengan cara

memegang dengan kuat bagian anterior maksila diantara ibu jari dengan

keempat jari lainnya, sedangkan tangan yang satunya menjaga agar kepala

pasien tidak bergerak. Jika maksila digerakkan maka akan terdengar suara

krepitasi jika terjadi fraktur. Cerebrospinal Rhinorrhea atau Otorrhea:

Cairan serebrospinal dapat mengalami kebocoran dari fossa kranial tengah

atau anterior (pneumochepalus) yang dapat dilihat pada kanal hidung

ataupun telinga. Fraktur pada fossa kranial tengah atau anterior biasanya

terjadi pada cedera yang parah. Hal tersebut dapat dilihat melalui

pemeriksaaan fisik dan radiologi. Maloklusi Gigi: Jika mandibula utuh,

adanya maloklusi gigi menunjukkan dugaan kuat ke arah fraktur maksila.

Informasi tentang kondisi gigi terutama pola oklusal gigi sebelumnya akan

membantu diagnosis dengan tanda maloklusi ini. Pada Le Fort III pola

oklusal gigi masih dipertahankan, namun jika maksila berotasi dan

bergeser secara signifikan ke belakang dan bawah akan terjadi maloklusi

komplit dengan kegagalan gigi-gigi untuk kontak satu sama lain.2

3. Pemeriksaan penunjang

Pada kecurigaan fraktur maksila yang didapat secara klinis, pemeriksaan

radiologi dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.2,9 Pada fraktur,

terdapat tanda radiologi, yaitu tanda langsung dan tidak langsung. Tanda

langsung: nonanatomic linear lucencies, defek kortikal, fragmen tulang

tumpang tindih menyebabkan "double-density", wajah asimetris. Tanda

tidak langsung: pembengkakan jaringan lunak, udara pada periorbital atau

intrakranial, cairan dalam sinus paranasal.9 Pemeriksaan radiologi dapat

berupa foto polos, namun CT scan merupakan pilihan untuk pemeriksaan

diagnostik.9 Teknik yang dipakai pada foto polos diantaranya; waters,

4

Page 6: referat fraktur maksila

caldwell, submentovertex, dan lateral view.2,5 Jika terjadi fraktur maksila,

maka ada beberapa yang mungkin akan kita dapat dari foto polos.

Kenampakan tersebut diantaranya; opasitas pada sinus maksila, pemisahan

pada rima orbita inferior, sutura zigomatikofrontal, dan daerah nasofrontal.

Dari film lateral dapat terlihat fraktur pada lempeng pterigoid. Diantara

pemeriksaan CT scan, foto yang paling baik untuk menilai fraktur maksila

adalah dari potongan aksial. Namun potongan koronal pun dapat

digunakan untuk mengamati fraktur maksila dengan cukup baik. Adanya

cairan pada sinus maksila bilateral menimbulkan kecurigaan adanya

fraktur maksila.2

Gambar 2. Foto waters. Tampak adanya fraktur dan hematosinus

maksilaris kiri.1

Gambar 3. CT Scan kepala tampak fraktur pada dinding anterior sinus

maksilaris kiri1

5

Page 7: referat fraktur maksila

V. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada fraktur maksila meliputi penegakan airway, kontrol

pendarahan, penutupan luka pada jaringan lunak, dan menempatkan segmen

tulang yang fraktur sesuai dengan posisinya melalui fiksasi intermaksilari.2,5,7,8

Fiksasi Maksilomandibular. Teknik ini merupakan langkah pertama dalam

pengobatan fraktur maksila untuk memungkinkan restorasi hubungan

oklusal yang tepat dengan aplikasi arch bars serta kawat interdental pada

arkus dental atas dan bawah. Prosedur ini memerlukan anestesi umum

yang diberikan melalui nasotracheal tube. Untuk ahli bedah yang sudah

berpengalaman dapat pula diberikan melalui oral endotracheal tube yang

ditempatkan pada gigi molar terakhir. Tracheostomy biasanya dihindari

kecuali terjadi perdarahan masif dan cedera pada kedua rahang, karena

pemakaian fiksasi rigid akan memerlukan operasi selanjutnya untuk

membukannya.2,5

Akses Fiksasi. Akses untuk mencapai rangka wajah dilakukan pada

tempat-tempat tertentu dengan pertimbangan nilai estetika selain

kemudahan untuk mencapainya. Untuk mencapai maksila anterior

dilakukan insisi pada sulkus gingivobukal, rima infraorbital, lantai orbital,

dan maksila atas melalui blepharoplasty (insisi subsiliari). Daerah

zigomatikofrontal dicapai melalui batas lateral insisi blepharoplasty.

Untuk daerah frontal, nasoetmoidal, orbita lateral, arkus zigoma dilakukan

melalui insisi koronal bila diperlukan.2

Stabilisasi Plat dan Sekrup.2,5,7 Fiksasi dengan plat kecil dan sekrup lebih

disukai. Pada Le Fort I, plat mini ditempatkan pada tiap buttress

nasomaxillary dan zygomaticomaxillary. Pada Le Fort II, fiksasi tambahan

dilakukan pada nasofrontal junction dan rima infraorbital. Pada Le Fort III,

plat mini ditempatkan pada artikulasi zigomatikofrontal untuk stabilisasi.

Plat mini yang menggunakan sekrup berukuran 2 mm dipakai untuk

stabilisasi buttress maksila. Ukuran yang sedemikian kecil dipakai agar

6

Page 8: referat fraktur maksila

plat tidak terlihat dan teraba. Pengeboran untuk memasang sekrup

dilakukan dengan gurdi bor yang tajam dengan diameter yang tepat.

Sebelumnya sekrup didinginkan untuk menghindari terjadinya nekrosis

dermal tulang serta dilakukan dengan kecepatan pengeboran yang rendah.

Fiksasi maksilomandibular dengan traksi elastis saja dapat dilakukan pada

fraktur Le Fort tanpa mobilitas. Namun, apabila dalam beberapa hari

oklusi tidak membaik, maka dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi

internal.2

Cangkok Tulang Primer. Tulang yang rusak parah atau hilang saat fraktur

harus diganti saat rekonstruksi awal. Bila gap yang terbentuk lebih dari 5

mm maka harus digantikan dengan cangkok tulang. Cangkok tulang

diambil dari kranium karena aksesibilitasnya (terutama jika diakukan insisi

koronal), morbiditas tempat donor diambil minimal, dan memiliki densitas

kortikal tinggi dengan volum yang berlimpah. Pemasangan cangkokan

juga dilakukan dengan plat mini dan sekrup. Penggantian defek dinding

antral lebih dari 1.5 cm bertujuan untuk mencegah prolaps jaringan lunak

dan kelainan pada kontur pipi.2

Pelepasan Fiksasi Maksilomandibular. Setelah reduksi dan fiksasi semua

fraktur dilakukan, fiksasi maksilomandibular dilepaskan, oklusi diperiksa

kembali. Apabila terjadi gangguan oklusi pada saat itu, berarti fiksasi rigid

harus dilepas, MMF dipasang kembali, reduksi dan fiksasi diulang.2,7

Resuspensi jaringan lunak. Pada saat menutup luka, jaringan lunak yang

telah terpisah dari rangka dibawahnya ditempelkan kembali.2

Fraktur Sagital dan Alveolar Maksila. Pada fraktur ini dapat terjadi rotasi

pada segmen alveolar denta, dan merubah lebar wajah. Sebagian besar

terjadi mendekati garis tengah pada palatum dan keluar di anterior diantara

gigi-gigi kuspid. Fraktur sagital dan juga tuberositi dapat distabilkan

setelah fiksasi maksilomandibular dengan fiksasi sekrup dan plat pada tiap

buttress nasomaksilari dan zigomatikomaksila.2

7

Page 9: referat fraktur maksila

Perawatan Postoperatif Fraktur Maksila. Manajemen paska operasi terdiri

dari perawatan secara umum pada pasien seperti kebesihan gigi dan mulut,

nutrisi yang cukup, dan antibiotik selama periode perioperasi.2

VI. Komplikasi

Komplikasi awal fraktur maksila dapat berupa perdarahan ekstensif serta

gangguan pada jalan nafas akibat pergeseran fragmen fraktur, edema, dan

pembengkakan jaringan lunak. Infeksi pada luka maksilari lebih jarang

dibandingkan pada luka fraktur mandibula. Padahal luka terkontaminasi saat

tejadi cedera oleh segmen gigi dan sinus yang juga mengalami fraktur. Infeksi

akibat fraktur yang melewati sinus biasanya tidak akan terjadi kecuali terdapat

obstruksi sebelumnya. Pada Le Fort II dan III, daerah kribiform dapat pula

mengalami fraktur, sehingga terjadi rinorea cairan serebrospinal. Selain itu,

kebutaan juga dapat terjadi akibat perdarahan dalam selubung dural nervus

optikus. Komplikasi akhir dapat berupa kegagalan penyatuan tulang yang

mengalami fraktur, penyatuan yang salah, obstruksi sistem lakrimal,

anestesia/hipoestesia infraorbita, devitalisasi gigi, ketidakseimbangan otot

ekstraokuler, diplopia, dan enoftalmus. Kenampakan wajah juga dapat berubah

(memanjang, retrusi).2

VII. Prognosis

Fiksasi intermaksilari merupakan pengobatan paling sederhana dan salah

satu yang paling efektif pada fraktur maksila. Jika teknik ini dapat dilakukan

sesegera mungkin setelah terjadi fraktur, maka akan banyak deformitas wajah

akibat fraktur dapat kita eliminasi. Mandibula yang utuh dalam fiksasi ini dapat

membatasi pergeseran wajah bagian tengah menuju ke bawah dan belakang,

sehingga elongasi dan retrusi wajah dapat dihindari. Sedangkan fraktur yang baru

akan ditangani setelah beberapa minggu kejadian, dimana sudah mengalami

penyembuhan secara parsial, hampir tidak mungkin untuk direduksi tanpa full

open reduction, bahkan kalaupun dilakukan tetap sulit untuk direduksi.2

8

Page 10: referat fraktur maksila

Daftar Pustaka

1. Pramesthi E, Yusuf M. Penatalaksanaan fraktur maksilofasial dengan menggunaan mini plat. Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. RSUD dr. Soetomo Surabaya.

2. Suardi NP, Jaya AA, Maliawan S, Kawiyana S. Fraktur pada tulang maksila. SMF/Bagian Ilmu Bedah RSUP Sanglah. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Kairupan C, Monoarfa A, Ngantung J. Angka Kejadian Fraktur Tulang Fasial Di SMF Bedah BLU RSU Prof. R.D. Kandou Periode Januari 2012 Sampai Desember 2012. Journal E-Clinic (eCl), Volume 2, Nomor 2, Juli 2014.

4. Snell SR. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta. EGC 2006. p 470-1.

5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Balai Penerbit FKUI. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia. Jakarta: 2007. p 204-5.

6. Maxilla Fractur (Lefort Fractures). [Available from September, 19, 2015 http://www.fprmed.com/Pages/Trauma/Maxilla_Fracture.html]

7. Joung de W, Sjamsuhidrajat R, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta: EGC: 2000. p 417-9.

8. Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC; 1997. p 519-20.

9. UMW. Department Of Radiology. Facial and mandibular fracture. [Available from September, 24, 2015. http://www.rad.washington.edu/academics/academic-sections/msk/teaching-materials/online-musculoskeletal-radiology-book/facial-and-mandibular-fractures]

9