16
FRAKTUR TUBEROSITAS MAKSILA SEBAGAI KOMPLIKASI POST OPERASI : STUDI KASUS Abstrak Suatu fraktur tuberositas maksila merupakan fraktur yang jarang menimbulkan masalah bedah dan prostetik yang serius. Fraktur diamati sebagai suatu pergeseran seluruh tuberositas dan gigi secara bersamaan pada saat pencabutan menggunakan tang. Berhubungan dengan ukuran dari fraktur fragmen tulang maka fraktur dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu fraktur ringan, fraktur sedang, dan fraktur berat. Fraktur tuberositas maksila dapat mempengaruhi protesa lengkap maupun sebagian secara serius karena mengganggu kerja statsis protesa tersebut, tetapi hal tersebut sama pentingnya dalam bidang kedokteran forensik yang dianggap sebagai cedera tubuh. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menyajikan kasus tentang fraktur tuberositas maksila dalam praktik dokter gigi dan protokol melaporkan diagnosa-terapi yang dapat kita terapkan. Makalah ini juga fokus pada cara-cara mencegah timbulnya fraktur tuberositas dalam prakter umum dokter gigi sehari- hari. Makalah ini menyajikan suatu kasus fraktur tuberositas maksila pada praktek dokter gigi. Diagnosa-terapi telah dijelaskan secara rinci oleh penyaji dengan khusus memperhatikan penerapan pada penjahitan yang sesuai sebagai upaya immobilisasi. Tiga bulan setelah ekstraksi fraktur, dapat dilakukan pembedahan tanpa merusak tuberositas. Ini merupakan tujuan utama dan hasil yang diharapkan pada pasien. Pada paragraf terkahir dari makalah ini, kami menyajikan satu kesimpulan tentang fraktur tuberositas maksila sebagai suatu komplikasi yang berpotensi terjadi selama ekstraksi gigi molar pada RA. Komplikasi mungkin dapat dicegah selama seorang dokter gigi selalu berhati-hati dalam melakukan ekstraksi.

FRAKTUR TUBEROSITAS MAKSILA SEBAGAI KOMPLIKASI POST OPERASI.docx.doc

Embed Size (px)

Citation preview

FRAKTUR TUBEROSITAS MAKSILA SEBAGAI KOMPLIKASI POST OPERASI : STUDI KASUSAbstrak

Suatu fraktur tuberositas maksila merupakan fraktur yang jarang menimbulkan masalah bedah dan prostetik yang serius. Fraktur diamati sebagai suatu pergeseran seluruh tuberositas dan gigi secara bersamaan pada saat pencabutan menggunakan tang. Berhubungan dengan ukuran dari fraktur fragmen tulang maka fraktur dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu fraktur ringan, fraktur sedang, dan fraktur berat.

Fraktur tuberositas maksila dapat mempengaruhi protesa lengkap maupun sebagian secara serius karena mengganggu kerja statsis protesa tersebut, tetapi hal tersebut sama pentingnya dalam bidang kedokteran forensik yang dianggap sebagai cedera tubuh.Tujuan dari makalah ini adalah untuk menyajikan kasus tentang fraktur tuberositas maksila dalam praktik dokter gigi dan protokol melaporkan diagnosa-terapi yang dapat kita terapkan. Makalah ini juga fokus pada cara-cara mencegah timbulnya fraktur tuberositas dalam prakter umum dokter gigi sehari-hari.Makalah ini menyajikan suatu kasus fraktur tuberositas maksila pada praktek dokter gigi. Diagnosa-terapi telah dijelaskan secara rinci oleh penyaji dengan khusus memperhatikan penerapan pada penjahitan yang sesuai sebagai upaya immobilisasi. Tiga bulan setelah ekstraksi fraktur, dapat dilakukan pembedahan tanpa merusak tuberositas. Ini merupakan tujuan utama dan hasil yang diharapkan pada pasien.

Pada paragraf terkahir dari makalah ini, kami menyajikan satu kesimpulan tentang fraktur tuberositas maksila sebagai suatu komplikasi yang berpotensi terjadi selama ekstraksi gigi molar pada RA. Komplikasi mungkin dapat dicegah selama seorang dokter gigi selalu berhati-hati dalam melakukan ekstraksi. Suatu saat fraktur terjadi adalah penting untuk mempertimbangkan semua pilihan immobilisasi yang layak untuk memungkin penyembuhan.

Kata kunci: Fraktur tuberositas, Komplikasi, Immobilisasi.1. PENDAHULUANFraktur tuberositas maksila merupakan komplikasi yang jarang menimbulkan masalah bedah dan protesa yang serius. Fraktur tuberositas mungkin terjadi karena penggunaan elevator yang tidak adekuat (luksasi pada bagian distal gigi bungsu), dorongan yang dalam dari tang cabut dan penggunaan tang yang kuat, pencabutan molar atas yang terisolasi dengan menggunakan elevator (molar kedua dan ketiga), begitu juga selama pencabutan gigi impaksi, dan pada kasus ankylosis di tulang pada gigi molar pertama dan kedua, anomali akar pada molar atas, seperti geminasi, conscrescence, trauma multiple pada wajah dan rahang, dll.

Diagnosis fraktur tuberositas. Fraktur dapat diamati sebagai suatu pergeseran seluruh tuberositas dan gigi secara bersamaan pada saat pencabutan dengan tang. Suatu diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis dan film x-ray. Deformitas dapat diamati pada pemeriksaan selanjutnya. Suatu garis fraktur dapat di palpasi pada bagian buccal atau palatal, tetapi juga dapat terlihat pada film x-ray. Jaringan lunak bisa menjadi robek. Juga, karena cedera pada pembuluh darah, bahaya dari hematoma di bagian palatal juga memungkinkan. Pada kasus fraktur tuberositas, biasanya sinus terbuka sehingga seluruh tanda-tanda umum untuk terjadinya komplikasi tertentu juga dapat terlihat.Berhubungan dengan ukuran dari fraktur fragmen tulang maka fraktur dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu 1. fraktur ringan, selama molar diekstraksi, sebagian kecil dari fragmen tulang yang mengalami tuberositas terikat dengan akar. 2. fraktur sedang, selama molar diekstraksi, wilayah tuberositas yang terikat cukup kuat dan tidak hanya akar, tetapi lebih luas. 3. fraktur berat, garis fraktur memerlukan sebagian besar tuberositas dan berdekatan jaringan pelat pterygoideus, pembuluh darah dan otot (1).Komplikasi yang serius akibat dari fraktur tuberositas maksila telah dilaporkan di awal. Pada bukunya Dental Extraction, Coleman mengutip karya Cattlin pada 1858 dimana dilaporkan bahwa kasus tuberositas maksila dapat menyebabkan ketulian akibat gangguan pada humulus pterygoideus dan otot tensor veli palatinal, dan ini dapat merusak tuba eusthaci. Sebagai akibatnya, pada pasien mengalami penurunan gerakan mandibula secara permanent yang disebabkan oleh cedera pada otot pterygoideus dan ligamen. Pembedahan pada tengkorak mayat di Kampus kedokteran Guy, London telah menunjukkan bahwa struktur tulang dan perlekatan otot di daerah tuberositas maksila dan lateral plat pterygodieus bisa sangat bervariasi. Pemeriksaan kasus fraktur tersebut telah menunjukkan jarak antara tuberositas maksila dan bagian awal dari lateral plat pterygoideus relatif kecil yang merupakan faktor predisposisi untuk fraktur yang luas dalam kasus tersebut.

Konsekuensi terpenting pada kasus fraktur tuberositas maksila adalah sebagai berikut:

1. Prostetik: Kehilangan tuberositas dengan sejumlah konsekuensi yang tidak diiinginkan yang berhubungan dengan pekerjaan protesa: dasar gigi tiruan lengkap menjadi rusak; karena perluasan sadel yang bebas dari gigi tiruan sebagian yang tidak memungkinkan, tekanan pada sisa integumen yang meningkat, dimana pada kondisi tertentu , dapat menyebabkan pengaruh patologis dari gigi tiruan pada jaringan pendukung. Pada salah satu kasus, kerja statis dari prostesa menjadi terganggu.

2. Forensik: Fraktur tuberositas maksila dianggap suatu cedera tubuh yang sangat serius. Dari sudut pandang kedokteran forensik suatu proses pada ketidakmampuan menaksir presentase bervariasi, tergantung pada kelainan skeletal dan derajat disfungsi. Pada kasus fraktur tuberositas maksila tingkat ketidakmampuan itu dinilai dalam kisaran 10 sampai 30 % secara bertahap meningkat 1 % seiring hilngnya beberapa gigi, dan 1,5 % untuk molar pertama permanen.

Fraktur tuberositas diperlakukan kasus per kasus karena dalam prosedur terapi secara menyeluruh herus dipertimbangkan beberapa faktor seperti usia dan kondisi kesehatan umum pasien, sakit gigi sebelum extraksi, apakah sinus terbuka atau tidak, dan juga keseluruhan kondisi dari tulang alveolar yang tersisa, tingkat fraktur pada tulang, kehadirannya berlawanan dll.Secara umum, ada 3 prosedur perawatan yang diterapkan :

1. Operasi pengangkatan gigi dan fraktur tuberositas.

2. Bedah ekstraksi dengan memisahkan gigi dari tulang secara hati-hati.

3. Immobilisasi dan fiksasi pada fraktur tuberositas bersama dengan tulang.2. TUJUAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melaporkan kasus fraktur tuberositas maksila pada praktek dokter gigi dengan menampilkan penyajian terapi diagnosa dan beberapa rekomendasi untuk mencegah hal-hal yang tiidak diinginkan dalam praktek umum sehari-hari seorang dokter gigi.3. LAPORAN KASUS

3.1 Kunjungan pertama

Pasien datang ke Klinik Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi dengan keluhan gigi 27 ingin dicabut. Selama pemeriksaan medis kami diberi informasi oleh pasien bahwa pada operasi gigi secara lokal giginya tersebut tidak berhasil dicabut. Setelah itu pasien mengambil keputusan sendiri untuk menghubungi Klinik bedah mulut Fakultas Kedokteran Gigi. Setelah pemeriksaan ekstraoral diamati adanya hematoma dengan diameter dua sentimeter di daerah tepi bawah mandibula tanpa fitur khusus lainnya (Gambar 1). Hematoma dapat dilaporkan sebagai suatu percobaan ekstraksi gigi yang dilakukan oleh praktisi gigi umum dari operasi gigi secara lokal yang tidak berhasil mengekstraksi secara sempurna. Penyorotan secara intraoral memungkinkan kita untuk mengamati asimetri yang berarti dari kuadran kiri atas ke kanan dalam hubungannya pada pembesaran ridge alveolar palatinal, sementara itu tidak ada perubahan yang terlihat di bagian vestibular. Mukosa di daerah tuberositas sedikit berubah, bebas dari gangguan, dan konsistensi lunak pada saat palpasi ( beberapa hal dari hematoma atau edema). Tidak ada film x-ray yang dibuat.

Gambar 1. Hematoma pada pipi sebelah kiri

Diagnosis Tentatif: Berdasarkan pemeriksaan klinis dengan anestesi lokal dibuat diagnosa sebagai berikut:Dg: Status post tentaminem extractionis dentis 27 cum fractura tuberis maxillae suspecta

Sehubungan dengan pernyataan pasien yang mengalami perdarahan pada lubang hidung sebelah kiri terdapat juga kecurigaan adanya:

Haematosinus dan Hematoma bukal.

Terapi: jahitan ditempatkan di atas gigi. 27 untuk immobilisasi (Gambar.2), sebuah radiogram panoramic (panorex) dan alveolar retro sinar-x pada daerah 25-27 dan juga diindikasikan untuk dilakuakn x-ray pada sinus paranasal bila diperlukan. Antibiotik Ampisilin diberikan dengan dosis 500 mg (4x2) . kompres dengan air dingin sangat dianjurkan dan pemberian analgesik bila perlu, bersama dengan tablet vit.C (2x1) dan makanan lunak.

Gambar 2. Immobilisasi pada fraktur tuberositas dengan jahitan

3.2 Kontrol pertama

Kontrol pertama dilakukan dua hari setelah kunjungan pertama. Pasien mengeluhkan rasa menggigil dan lemas namun tidak kehilangan nafsu makannya. Hematoma pada pipi sudah hilang. Pasien tidak mengeluhkan lagi perdarahan di hidung. Foto Panorex menunjukkan garis fraktur tuberositas maksila di daerah mesial gigi 27 (gambar 3). Pada film PNS x-ray tampak gangguan pada sinus maksilaris kiri yang dicurigai sebagai hematosinus (figure 4). Pada film retroalveolar x-ray menunjukkan adanya garis fraktur.Diagnosis akhir: analisa panorex, PNS dan retroalveolar x-ray film telah menjelaskan diagnosa tentative adanya masalah pada tuberositas maksilaris.

Terapi: setalah berkonsultasi dengan ahli bedah maksilofacial mengenai fraktur tuberositas maksila maka diputuskan untuk menundah pencabutan gigi 27 sampai tulang terbentuk kembali. Dan juga diputuskan bahwa terapi dilanjutkan dan disarankan untuk kontrol rutin sebelum dilakukan ektraksi gigi.

Gambar 3. Pemebesaran secara detail dari film panorex dimana garis fraktur dapat diamati.

Gambar 4. Film X-ray pada sinus paranasal nampak tidak jelas pada sinus bagian kiri.

3.3 Kontrol Lanjutan

Pemeriksaan lebih lanjut menegaskan adanya regresi dari beberapa gejala. Jahitan yang dibuat sebelumnya dilepas 10 hari setelahnya dan pada saat yang sama diberikan terapi antibiotik.3.4 Kontrol setelah 1 bulan

Setelah satu bulan dilakukan kontrol PNP sinar X yang menunjukkan transparansi normal pada kedua sinus maksilaris. Hal ini menjelaskan suatu regresi sempurna dari hematoma (gambar 5). Pada kontrol film panorex dapat dilihat adanya perbedaan yang tidak berarti pada film panorex yang dibuat saat terjadi fraktur. Pada pemeriksaan suatu pergerakan patologis yang tidak berarti dari tuberositas tidak bisa dipungkiri. Pasien diinstruksikan untuk kontrol chek-up dalam waktu 3 bulan setelah fraktur.

Gambar 5. Film Paranasal sinus X-Ray , pada kedua sinus maksilaris nampak transparans

3.5 Bedah ekstraksi pada gigi setelah 3 bulan fraktur3 bulan setelah fraktur diambil keputusan untuk melakukan bedah ekstraksi pada gigi 27 dan 25. Sesuai dengan prosedur sebagai berikut:

Dibawah anestesi lokal, insisi dibuat mengikuti prosedur Peter Nowaks dan flap mukoperiosteal diperbesar. Akar pada gigi molar kiri rahang atas dipisahkan dengan mengaplikasikan fissure pemotong yang tajam, dan masing-masing diekstraksi perlahan secara terpisah dengan gerakan memutar (gambar 6). Dengan cara ini pasien akan bebas dari trauma dengan corticotomy minimal sebelum gigi premolar kedua atas diekstraksi. Setelah itu, tepi luka bekas ekstraksi ditangani dengan bur carbide bentuk flame, flap mukoperiosteal diperkecil, disesuaikan kekurangan dan tonjolan.

Gambar 6. Pemisahan akar pada molar kedua4. Diskusi

Tuberositas maksilaris dianggap lebih cenderung untuk terjadi fraktur jika sinus maksilaris mengalami perbesaran di antara gigi sampai tuberositas sehingga membentuk dinding tulang yang tipis pada sistem dentoalveloar. Anomali gigi molar rahang atas juga mungkin memiliki kontribusi terjadinya fraktur termasuk fusi gigi, isolasi gigi, ankylosis, hipersementosis, infeksi periapikal kronis dan akar yang sangat divergen. Jika terjadi risiko fraktur selama ekstraksi, maka tindakan bedah pada gigi tersebut sangat direkomendasikan. (5,6,7)

Pada analisis retrospektif pada sampel 1.213 pasien, Christiaens et al. melaporkan bahwa insiden terjadinya komplikasi pada rahang atas selama ekstraksi gigi molar ketiga dengan anaestesia lokal yaitu 1, 5%, sementara dengan anaestesia umum adalah 2%. Komplikasi yang paling umum terjadi pada rahang atas yaitu fraktur tuberositas dan terbentuknya celah oroantral. Dapat dipahami bahwa, komplikasi yang paling umum terdapat pada kasus ketika dokter gigi memiliki pengalaman yang kurang, atau pasien dengan umur yang sudah tua dan giginya terdapat di dalam.Semua faktor predisposisi memiliki kontribusi terhadap fraktur tuberositas maksila telah dilaporkan dalam berbagai literatur, namun kasus malpraktek dokter gigi tidak terlalu sering disebutkan. Laporan kasus Hidayet et al. mengarah pada masalah tertentu. Mereka melaporkan kecerobohan dan keteledoran dari dokter gigi. Dari rekam medik mereka diketahui bahwa dokter gigi tidak memperbaiki alveolar ridge pada daerah molar yang diekstraksi. Selain itu, para dokter gigi melakukan tekanan besar tanpa memperbaiki alveolar ridge, dan hasilnya terjadi kesulitan dalam mengekstraksi gigi tersebut. Pada bagian ini kita ingin membuat perbandingan dengan studi kasus tersebut di atas dan menegaskan bahwa kecerobohan juga adalah salah satu faktor etiologi selain bentuk morfologi berpengaruh terhadap fraktur tuberositas maksilaris yang tidak diamati oleh praktisi gigi umum pada operasi lokal. Di atas ini, pasien dipulangkan tanpa penjelasan mengenai komplikasi atau rujukan ke dokter spesialis. Kasus kami telah membuktikan bahwa fraktur tuberositas maksilaris mengakibatkan pembesaran sinus maksilaris juga bisa terjadi pada pasien yang lebih muda dengan gigi yang relatif terjaga dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa komplikasi bias disebabkan oleh pekerjaan kasar dan kecerobohan dari dokter gigi umum. Komplikasi yang terjadi dalam praktek kedokteran gigi sehari-hari adalah hal yang umum terjadi, tetapi tugas seorang dokter gigi adalah untuk merawat dan memberikan penjelasan yang jelas dan tepat kepada pasien. Penanganan dasar komplikasi dalam praktik bedah mulut adalah kewajiban dari setiap dokter gigi dan jika dia tidak dapat melakukannya maka tugasnya adalah untuk memberikan pertolongan pertama kepada pasien dan merujuknya ke unit spesialis. Dalam kasus kami, kami harus mengatasi komplikasi yang terjadi. Kami percaya bahwa pemeriksaan yang seksama akan membuat ekstraksi sukses dan potensi komplikasi bisa berkurang. Tindakan pemisahan akar secara hati - hati, yang dilakukan pada dokter gigi, akan membuat keberhasilan pada ekstraksi sulit dan yang lebih penting, adalah cara untuk mencegah komplikasi serius seperti fraktur tuberositas maksila.Fraktur tuberositas maksila tidak hanya terjadi pada ekstraksi molar dua dan tiga tetapi juga dari molar pertama menurut literatur yang tersedia. Fiksasi alveolar ridge merupakan prosedur yang direkomendasikan. Dalam kasus komplikasi akibat intervensi gigi pasien harus dirujuk ke dokter spesialis. Penerapan teknik fiksasi mengurangi perkembangan lebih lanjut, komplikasi serius dan masalah pasien, meningkatkan pada saat proses penyembuhan. (9)Dalam kasus kami fraktur tuberositas tidak dapat diamati dalam pemeriksaan pertama. Setelah penerapan tang pada gigi No 27 pada percobaan luksasi ke vestibulum seluruh tuberositas maksila bergeser dengan mengeluarkan banyak darah dan mengalir dari sinus maksilaris. Selain itu, juga menjadi jelas bahwa bila ekstraksi dilanjutkan akan mengakibatkan kerusakan seluruh tuberositas. Dilema terbesar kita dihadapkan dengan apakah dan dengan cara apa untuk melakukan immobilisasi. Untuk melakukan imobilisasi cara paling sederhana mungkin dengan melakukan suturing, terbukti dalam jangka panjang menjadi cara yang paling efektif karena memungkinkan penyembuhan tuberositas dan mencegah cacat.Fraktur dari sebagian besar tulang di daerah tuberositas maksilaris adalah kondisi kegawatan yang luar biasa. Fraktur yang besar dari tuberositas maksilaris menunjukkan komplikasi yang besar. Tujuan terapi adalah untuk memelihara fraktur tulang in situ dan menciptakan kondisi terbaik untuk masa penyembuhan (10). Bedah ekstraksi pada gigi dan tuberositas harus dilakukan ketika gigi sebelumnya terasa sakit bila diekstraksi dan ketika tidak ada kemungkinan tuberositas untuk melekat dengan jaringan dari rahang atas. Jika bagian fraktur tuberositas kecil, atau jika gigi simptomatik saat fraktur, sebagian besar penulis menganggap bahwa itu tidak boleh ditinggalkan in situ, solusi satu-satunya dengan membuang gigi bersama dengan bagian dari tuberositas (6,11). Jika segmen alveolar mengalami avulsi dan dilepaskan dari lobus mucoperiosteal, ada kemungkinan besar tidak akan sembuh jika tidak diobati. Semua fraktur tuberositas tidak selalu termasuk kategori ini. Tulang avulsi secara perlahan harus dilepaskan dari jaringan lunak yang tersisa dengan periosteal elevator. Sebuah fistula oroantral besar tidak bisa dihindari dalam hal ini. Namun, dalam pandangan hilangnya substansi pendukung tulang, biasanya cukup masih ada dari jaringan lunak untuk memungkinkan penutupan normal. (12)Jika diperkirakan bahwa ada kemungkinan terjadi kehilngan pada tuberositas sampai tulang, gigi harus diekstraksi secara hati-hati dengan memisahkan akarnya atau keduanya yaitu mahkota dan akar, sekaligus memperbaiki tuberositas dengan kawat ligatur atau splint. Ngeow melakukan pendekatan konservatif dalam fraktur tuberositas maksilaris yang luas dengan menyajikan metode alternatif dimana gigi dicengkram dengan tang molar, menghasilkan stabilisasi pada bagian yang fraktur, dan setelah itu, dengan menggunakan Coupland elevator periosteal, tulang alveolar dipisahkan dari akar gigi, sehingga mengurangi perkembangan lebih lanjut dari garis fraktur (13). Jika gigi tidak terasa sakit, tetapi pasien datang berobat secara rutin, namun terjadi fraktur tuberositas maksila, imobilisasi dan fiksasi dari kedua gigi dan tuberositas harus dilakukan. Ahli bedah gigi klinis harus menginformasikan pasien menganai potensi komplikasi dan keuntungan berbagai prosedur perawatan sebelum hasil akhir perngobatan tercapai. Pengalaman Hidayet dan rekan-rekannya adalah bahwa harus dilakukan upaya untuk memelihara fraktur tulang yang besar, tapi di sisi lain pengambilan langsung dari partikel kecil tuberositas sekitar satu atau dua gigi adalah pilihan yang lebih baik dalam kasus fraktur tulang kecil karena berkaitan dengan pemeliharaan tulang (9).

Pengobatan fraktur tuberositas besar melibatkan stabilisasi bagian pergerakan tulang oleh penerapan teknik fiksasi yang kuat dalam durasi 4-6 minggu. Ekstraksi bedah mungkin bisa diusahakan suatu saat agar proses penyembuhan bisa berhasil sempurna. Jika gigi terinfeksi dan ada gejala dari radang terlihat di saat fraktur, ekstraksi harus dilakukan dengan memisahkan gingiva dan mengambil bagian terkecil dari tulang dengan tujuan menghindari pemisahan tuberositas dari periosteum. Dalam kasus kegagalan upaya pemisahan mengakibatkan pengambilan gigi yang terinfeksi dengan tuberositas berdekatan, jaringan harus ditutup dengan interrupted suturing untuk mencegah celah oroantral. Jika gigi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya infeksi atau nanah, dokter bedah melakukan penerapan autogene graft (14).

Dalam kasus kami, kami menerapkan interrupted sutures untuk immobilisasi fraktur tuberositas bersama dengan gigi. Mengingat bahwa kita tidak memiliki komplikasi sebelum menentukan solusi , yaitu ekstraksi gigi secara bedah setelah tiga bulan, pendekatan terapi sederhana terbukti sangat efektif. Seperti disebutkan sebelumnya, bedah ekstrksi dilakukan, tuberositas terpelihara utuh dan bahwa pada akhirnya tujuan kami dan hasil terbaik bagi pasien.

5. KesimpulanFraktur tuberositas maksila harus dianggap sebagai komplikasi yang potensial selama ekstraksi gigi molar rahang atas. Sebagian besar dapat dicegah dengan penerapan secara hati - hati, trauma ekstraksi diikuti oleh stabilisasi ridge dan pemisahan akar dilakukan oleh dokter gigi umum. Dalam fraktur tuberositas semua opsi fiksasi harus dipertimbangkan bertujuan untuk membantu penyembuhan. Seorang pasien harus diberitahu tentang fraktur tuberositas, diberikan pertolongan pertama dan dirujuk ke spesialis untuk pengobatan.Daftar Pustaka

1. Exodontia.info[homepage on the internet]. United kingdom: Jhon Doran [Updated 2010 August.; Cited 2010 November 22].Avaliable from: http:// www.exodontia.info/FracturedTuberosity/html/.2. Coleman F. Extraction of teeth. pp 76. London: H.K. Lewis, 1908. In Cattlin W. A paper on the form and size of the adult antrum and on the diagnosis and treatment of inflammation of the lining membrane. Tr Odont Soc 1858; 2: 3146.3. Shah N, Bridgman JB. An extraction complicated by lateral and medial pterygoid tethering of a fractured maxillary tuberosity. Br Dent J 2005;198:543-4.4. Brkic H. Doktor stomatologije u sluzbi sudskog vejestaka. Hrvatska komore dentalne medicine [serial on the internet] 2010 November [cited 2010 November 22]. Available from: http://www.hdkm.hr/?page=vjesnik,97, 1005. Howe GL. Minor oral surgery. 3rd ed. pp 118121. London: Wright, 1985.

6. Norman JE, Cannon PD. Fracture of the maxi- llary tuberosity. Oral Surg Oral Med Oral Pathol. 1967;24:459467.

7. Altonen M, Rantanen AV. Factors increasing the risk of fracture of the maxillary tuberosity du- ring tooth extraction. Pro Finn Den Soc 1976;72(5):163169.

8. Christiaens I, Reychler H. Complication after third molar extractions: retrospective analysis of 1,213 teeth. Rev Stomatol Chir Maxillofac. 2002;103(5): 269-74.

9. Hidayet B. Polat, Sinan Ay, M. Isa Kara. Maxi- llary Tuberosity Fracture Associated with First Molar Extraction: A Case Report. Eur J Dent. 2007;1(4):256259.

10. Peterson LJ. Prevention and management of sur- gical complications. In: Peterson LJ, Ellis E III, Hupp JR, Tucker MR, editors. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery. 3. St Louis: Mosby Year Book, Inc;1998.p.261.

11. Hardman EG. Surgical emergencies in the dental office.Int Dent J1984;24:245-24812. Ward-Booth P, Hausaman J-E, Schendel S, edi- tors. Maxillofacial Surgery. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1999, 1591-1610.

13. Ngeow WC. Management of the fractured maxi- llary tuberosity: an alternative method. Quin- tessence Int. 1998;29:189190.

14. Fonseca RJ. Oral and Maxillofacial Surgery. Pe- nnsylvania: W.B. Saunders. 2000;Vol.1: 430.