Upload
anugrah-adi-santoso
View
58
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS
STASE ILMU BEDAH
REFERAT
HIRSCHPRUNG DISEASE
Pembimbing : dr. Iswadi, SpB-(K)BD.
Anugrah Adi Santoso J500080043
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010
PENDAHULUAN
Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai
pleksus auerbach dan pleksus meisner pada kolon.
Sembilan puluh persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat
mengenai seluruh kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA).
Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik
sehingga terjadi ileus fungsional (SPM, sardjito) dan dapat terjadi hipertrofi serta
distensi yang berlebihan pada kolon yang lebih proksimal ( IKA UI).
Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick
Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald
Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1886.
(Yoshida, 2004). Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan
bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan
peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup (Belknap, 2006), Insidensi
penyakit Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi
dengan penyakit Hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit
Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo
Jakarta (Irwan, 2003).
Kebanyakan kasus penyakit Hirschsprung sekarang didiagnosis pada masa
neonatus. Penyakit Hirschsprung sebaiknya dicurigai jika seorang neonatus tidak
mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam pertama setelah kelahiran. Walaupun
barium enema berguna untuk menegakkan diagnosis, biopsi rektum tetap menjadi
gold standard penegakkan diagnosis. Setelah diagnosis dikonfirmasi,
penatalaksanaan mendasar adalah untuk membuang jaringan usus yang
aganglionik dan untuk membuat anastomosis dengan menyambung rektum bagian
distal dengan bagian proksimal usus yang memiliki innervasi yang sehat.
Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa dekade ini dapat dikurangi dengan
peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, tekhnik pembedahan
dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan enterokolitis (Belknap, 2006).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan
kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar yang terjadi
akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar
tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Sehingga
menyebabkan terakumulasinya feses dan dilatasi kolon yang masif.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan
ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak
adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 ).
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan
penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan
terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir 3 Kg, lebih banyak laki – laki
dari pada perempuan. ( Arief Mansjoeer, 2000 ).
B. Sejarah
Ruysch (1691) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus
yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa
megakolon. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886)
melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu
diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital.
Dokter bedah asal Swedia ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya
masing-masing usia 8 dan 11 bulan yang menderita konstipasi kronis,
malnutrisi dan enterokolitis. Teori yang berkembang saat itu adalah
diyakininya faktor keseimbangan syaraf sebagai penyebab kelainan ini,
sehingga pengobatan diarahkan pada terapi obat-obatan dan simpatektomi.
Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang
signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya kelainan
patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion parasimpatis
pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu pendapatnya
tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade kemudian, Robertson
dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit
Hirschsprung disebabkan oleh gangguan peristaltik usus mayoritas bagian
distal akibat defisiensi ganglion (Irwan, 2003).
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas
tentang defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit
Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya menerangkan tentang
penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak
terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi
pengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan.
Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara meyakinkan
menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion dengan gejala
klinis yang terjadi (Irwan, 2003).
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan
merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,
melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat ketidakseimbangan
autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan simpatektomi. Keterangan
inilah yang mendorong Swenson melakukan pengangkatan segmen
aganglionik dengan preservasi spinkter ani . Okamoto dan Ueda lebuh lanjut
menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi akibat terhentinya proses
migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran cerna atas ke distal mengikuti
serabut-serabut vagal pada suatu tempat tertentu yang tidak mencapai rektum
(Irwan, 2003).
C. Anatomi
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proksimal, dan, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal
dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.
Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan (Irwan,
2003).
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua
jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus
levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi
spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi
otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus
(parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh
n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis) (Irwan, 2003).
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1.Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2.Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3.Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3
pleksus tersebut (Irwan, 2003).
D. Etiologi
Biasanya, karena bayi tumbuh dalam kandungan, kumpulan sel saraf
(ganglia) mulai terbentuk antara lapisan otot di bagian usus besar yang
panjang. Proses ini dimulai pada bagian atas dan berakhir di usus besar bagian
bawah (dubur). Pada anak-anak dengan penyakit Hirschsprung, proses ini
tidak selesai dan tidak ada ganglion di sepanjang seluruh panjang dengan dua
titik. Kadang-kadang sel-sel yang hilang dari hanya beberapa centimeter dari
usus besar.
Mengapa hal ini terjadi tidak diketahui secara pasti. Hal ini dapat
dikaitkan dengan beberapa gen mutations. Ini juga dikaitkan dengan beberapa
kelenjar endokrin neoplasia, sebuah sindrom yang menyebabkan
noncancerous Tumors di lendir membranes dan adrenal glands (terletak di
atas ginjal) dan kanker dari thyroid gland (terletak di bagian bawah leher).
Hirschsprung's tidak disebabkan oleh sesuatu yang tidak ibu selama
kehamilan. Dalam beberapa kasus, penyakit ini mungkin warisan, bahkan jika
orang tua tidak memiliki penyakit. Hirschsprung juga 10 kali lebih sering
terjadi pada anak-anak dengan Down syndrome.
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya
kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa
kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian
proksimal pada usus besar. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau
tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya
evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga
mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya
akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian proksimal
sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden,
2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk
kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.
Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul
didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal
terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon
tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).
Tidak adanya ganglion yang meliputi pleksus Auerbach yang terletak
pada lapisan otot dan pleksus Meisneri pada submukosa. serabut syaraf
mengalami hipertrofi dan didapatkan kenaikan kadar asetilkolinesterase pada
segmen yang aganglionik. ganguan inervasi parasimpatis akan menyebabkan
kegagalan peristaltik sehingga mengganggu propulsi isi usus. obstruksi yang
terjadi secara kronik akan menyebabkan distensi abdomen yang sangat besar
yang dapat menyebabkan terjadinya enterokolitis (SPM sardjito).
Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian
penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu
terkena, dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang beragam.
Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini tidak
diketahui. Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast.
Selama perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada
minggu ke 7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia
gestasi. Kemungkinan salah satu etiologi Hirschsprung adalah adanya defek
pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal.
Migrasi neuroblast yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan
neuroblast dalam bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen
aganglionik distal. Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk
pertumbuhan dan perkembangan neuronal telah terjadi pada usus yang
aganglionik. Komponen tersebut adalah fibronektin, laminin, neural cell
adhesion molecule, dan faktor neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik
menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan
elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada
perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker
yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah
dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi. Terdapat tiga pleksus
neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal (Meissner),
Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini
terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi,
sekresi, motilitas, dan aliran darah.
Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik.
Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana
relaksasi mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik.
Kendali ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat
kolinergik ini menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan
inhibisi. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak
ditemukan sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan
kontrol persarafan ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik
meningkat 2-3 kali dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga
mendominasi sistem kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos
usus. Dengan hilangnya kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak
diimbangi dan mengakibatkan ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos,
peristaltik yang tidak terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.
E. Frekuensi
Di Amerika, Penyakit Hirschsprung terjadi pada sekitar 1 dari per
5400-7200 kelahiran, tidak diketahui frekuensi yang tepat untuk seluruh
dunia, walaupun beberapa penelitian internasional melaporkan angka kejadian
sekitar 1 kasus dari 1500 hingga 7000 kelahiran.
Sekitar 20% bayi akan memiliki abnormalitas yang melibatkan sistem
neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau gastrointestinal. Penyakit
Hirschsprung telah diketahui terkait dengan penyakit dibawah ini:
SyndromeDown
SyndromNeurocristopathy
Waardenburg-Shahsyndrome
Yemenite deaf-blind syndrome
Piebaldisme
Goldberg-Shprintzen syndrome
Multiple endocrine neoplasia type II
Syndrome central hypoventilation congenital
Megacolon aganglionik yang tidak diatasi pada masa bayi akan
menyebabkan peningkatan mortalitas sebesar 80%. Mortalitas operative pada
prosedur intervensi sangat rendah.
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi yaitu kebocoran
anastomose (5%), striktur anastomose (5-10%), obstruksi intestinal (5%),
abses pelvis (5), dan infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang termasuk
gejala obstruktif, inkontinensi, konstipasi kronik, dan enterokolitis,
komplikasi ini kebanyakan didapatkan pada pasien dengan segmen
aganglionik yang panjang. Walaupun kebanyakan pasien akan mendapatkan
permasalahan ini setelah operasi, penelitian jangka panjang telah
menunjukkan bahwa lebih dari 90% anak akan mengalami perbaikan yang
bermakna. Pasien dengan segmen aganglionik yang panjang terbukti memiliki
outcome yang lebih buruk.
Penyakit Hirschsprung tidak memiliki predileksi pada ras tertentu.
Penyakit Hirschsprung lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding
perempuan, dengan rasio sekitar 4:1. Akan tetapi, segmen aganglionik yang
panjang sering ditemukan pada pasien perempuan. Umur dimana pasien
didiagnosis memiliki penyakit Hirschsprung semakin menurun sejak satu abad
terakhir. Pada awal tahun 1900, usia median yaitu 203 tahun; mulai tahun
1950 hingga 1970, usian median menjadi 206 bulan.
Saat ini, sekitar 90% pasien dengan penyakit hirschsprung telah dapat
didiagnosis pada masa perinatal.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis
yang signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan
terhadap 501 kasus , sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu
24 jam dan 72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi
yang serius bagi penderita HD ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat
dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarhea, distensi abdomen,
feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus
Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat
pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi (Irwan, 2003).
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik
usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka
feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak
sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa
hari dan biasanya sulit untuk defekasi (Irwan, 2003).
F. Anamnesis
1. Sekitar 10% pasien memiliki riwayat penyakit yang sama pada keluarga.
Keadaan ini semakin sering ditemukan pada pasien dengan segmen
aganglion yang lebih panjang.
2. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai pada anak yang mengalami
keterlambatan dalam mengeluarkan mekonium atau pada anak dengan
riwayat konstipasi kronik sejak kelahiran. Gejala lainnya termasuk
obstruksi usus dengan muntah empedu, distensi abdominal, nafsu makan
menurun, dan pertumbuhan terhambat.
3. Ultrasound prenatal yang menunjukkan gambaran adanya obstruksi jarang
ditemukan, kecuali pada kasus dengan melibatkan seluruh bagian kolon.
4. Anak dengan usia yang lebih tua biasanya memiliki konstipasi kronik
sejak kelahiran. Mereka juga dapat menunjukkan adanya penambahan
berat badan yang buruk.
5. Sekitar 10% anak yang datang dengan diare yang disebabkan oleh
enterocolitis, dimana diperkirakan terkait dengan adanya pertumbuhan
bakteri akibat stasis. Keadaan ini dapat berkembang menjadi perforasi
kolon, yang menyebabkan sepsis.
6. Pada penelitian yang melibatkan 259 pasien, Menezes et al melaporkan
57% pasien datang dengan gejala obstruksi intestinal, 30% dengan
konstipasi, 11% dengan enterocolitis, dan 2% dengan perforasi intestinal
G. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat
menegakkan diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen
dan/atau spasme anus.
2. Imperforata ani letak rendah dengan lubang perineal kemungkinan
memiliki gambaran serupa dengan pasien Hirschsprung. Pemeriksaan fisik
yang saksama dapat membedakan keduanya.
3. Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya
ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan. Differensial
Diagnosis dari HD kita harus selalu membandingkan konstipasi, Ileus,
Iritable Bowel Syndrome, dan Gangguan Motilitas Usus.
H. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel
renal biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil
yang sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu
mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
2. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit
dan platelet preoperatif.
3. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak
ada gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi
dilakukan.
I. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
HD. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan
usus besar. Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan
diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3
tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi. Daerah transisi merupakan regio dimana ditandari
dengan terjadinya perubahan kaliber dimana kolon yang berdilatasi
normal diatas dan kolon aganglionik yang menyempit dibawah (Yoshida,
2004).
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi (Irwan,
2003).
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD,
maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-
48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal
kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun
disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid.
J. Penatalaksanaan
Seperti kelainan kongenital lainnya, HD memerlukan diagnosis klinik
secepat dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil
terapi yang sebaik-baiknya (Belknap, 2006).
Diagnosa definitif Hirschsprung adalah dengan biopsi rektal, yaitu
penemuan ketidakberaadan sel ganglion. Metode definitif untuk
mengambil jaringan yang akan diperiksa adalah dengan biopsi rektal full-
thickness. Spesimen yang harus diambil minimal berjarak 1,5 cm diatas
garis dentata karena aganglionosis biasanya ditemukan pada tingkat
tersebut. Kekurangan pemeriksaan ini yaitu kemungkinan terjadinya
perdarahan dan pembentukan jaringan parut dan penggunaan anastesia
umum selama prosedur in dilakukan.
Lebih terkini, simple suction rectal biopsy telah digunakan sebagai
teknik mengambil jaringan untuk pemeriksaan histologis. Mukosa dan
submukosa rektal disedot melalui mesin dan suatu pisau silinder khusus
memotong jaringan yang diinginkan. Keunggulan pemeriksaan ini adalah
dapat dengan mudah dilakukan diatas tempat tidur pasien. Akan tetapi,
menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung secara patologis dari sampel
yang diambil dengan simple suction rectal biopsy lebih sulit dibandingkan
pada jaringan yang diambil dengan teknik full-thickness biopsy.
Kemudahan mendiagnosis telah diperbaharui dengan penggunaan
pewarnaan asetilkolinesterase, yang secara cepat mewarnai serat saraf
yang hypertrophy sepanjang lamina propria dan muscularis propria pada
jaringan.
Baik pleksus myenteric (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meissner) tidak ditemukan pada lapisan muskuler dinding usus. Serat
saraf yang mengalami hypertrophy yang terlihat dengan pewarnaan
asetilkolinesterase juga ditemukan sepanjang lamina propria dan
muscularis propria. Sekarang ini telah terdapat pemeriksaan
imunohistokimia dengan calretinin yang juga telah digunakan untuk
pemeriksaan histologis usus aganglionik, dan terdapat penelitian yang
telah menyimpulkan bahwa pemeriksaan ini kemungkinan lebih akurat
dibandingkan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.
K. Pengobatan Medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama:
1. Untuk menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak
terdeteksi,
2. Sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif
definitif dilakukan
3. Untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan dan
elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi komplikasi
sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu, hydrasi intravena, dekompressi
nasogastrik, dan jika diindikasikan, pemberian antibiotik intravena
memiliki peranan utama dalam penatalaksanaan medis awal.
Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal tube
berlubang besar dan cairan untuk irigasi. Cairan untuk mencegah
terjadinya ketidakseimbangan elektrolit. Irigasi colon secara rutin dan
terapi antibiotik propilaksis telah menjadi prosedur untuk mengurangi
resiko terjadinya enterocolitis.
Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola pergerakan
usus yang normal pada pasien post-operatif.
L. Penanganan Operatif
Penanganan operatif
Tergantung pada jenis segmen yang terkena. pada hirschprung ultra
short dilakukan miektomi rektum, sedangkan pada bentuk short segmen,
tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan
beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode
Pull Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan
memungkinkan, dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi
terlebih dahulu. persiapan operasi meliputi dekompresi kolon dengan
irigasi rektum, stabilisasi cairan dan elektrolit, asam basa serta temperatur,
pemberian antibiotik. Perawatan pasca operasi meliputi dekompresi
abdomen dengan tetap memasang pipa rektum,antibiotik injeksi, stabiltasi
cairan dan elektrolit serta asam basa (SPM sardjito).
Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini,
yang biasanya membutuhkan biopsi rektal full-thickness. Pada umumnya,
penatalaksanaan awal yaitu dengan membuat colostomy dan ketika anak
bertum buh dan memiliki berat lebih dari 10 kg, operasi definitif dapat
dilakukan.
Standar penatalaksanaan ini dikembangkan pada tahun 1950 setelah
laporan tingginya angka kebocoran dan striktur pada prosedur tunggal
yang dideskripsikan oleh Swenson. Akan tetapi, dengan kemajuan
anastesia yang lebih aman dan monitoring hemodinamika yang lebih
maju, prosedur penarikan tanpa membuat colostomy semakin sering
digunakan. Kontraindikasi untuk prosedur tunggal ini adalah dilatasi
maksimal usus bagian proksimal, entercolitis berat, perforasi, malnutrisi,
dan ketidakmampuan menentukan zona transisional secara akurat.
Untuk neonatus yang pertama kali ditangani dengan colostomy, mulanya
zona transisi diidentifikasi dan colostomy dilakukan pada bagian
proksimal area ini. Keberadaan sel ganglion pada lokasi colostomy harus
dikonfirmasi dengan biopsi frozen-section. Baik loop atau end-stoma
dapat dikerjakan, biasanya tergantung dari preferensi ahli bedah.
Beberapa prosedur definitif telah digunakan, kesemuanya telah
memberikan hasil yang sempurna jika dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman. 3 jenis teknik yang sering digunakan adalah prosedur
Swenson, Duhamel, dan Soave. Apapun teknik yang dilakukan,
pembersihan kolon sebelum operasi definitif sangat penting.
Prosedur Swenson
1. Prosedur Swenson merupakan teknik definitif pertama yang digunakan
untuk menangani penyakit Hirschsprung
2. Segmen aganglionik direseksi hingga kolon sigmoid kemudian
anastomosis oblique dilakukan antara kolon normal dengan rektum
bagian distal
Prosedur Duhamel
1. Prosedur Duhamel pertama kali diperkenalkan pada tahun 1956
sebagai modifikasi prosedur Swenson.
2. Poin utamanya adalah pendekatan retrorektal digunakan dan
beberapa bagian rektum yang aganglionik dipertahankan
3. Usus aganglionik direseksi hingga ke bagian rektum dan rektum
dijahit. Usus bagian proksimal kemudian diposisikan pada ruang
retrorektal (diantara rektum dan sakrum), kemudian end-to-side
anastomosis dilakukan pada rektum yang tersisa
Prosedur Soave
1. Prosedur Soave diperkenalkan pada tahun 1960, intinya adalah
membuang mukosa dan submukosa dari rektum dan menarik
usus ganglionik ke arah ujung muskuler rektum aganglionik.
2. Awalnya, operasi ini tidak termasuk anastomosis formal,
tergantung dari pembentukan jaringan parut antara segmen
yang ditarik dan usus yang aganglionik. Prosedur ini kemudian
dimodifikasi oleh Boley dengan membuat anastomosis primer
pada anus.
Myomectomy anorectal
1. Untuk anak dengan penyakit Hirschsprung dengan segmen yang
sangat pendek, membuang sedikit bagian midline posterior rektal
merupakan alternatif operasi lainnya
2. Prosedur ini membuang 1 cm dinding rektal ekstramukosal yang
bermula sekitar proksimal garis dentate.
3. Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup. Pendekatan
laparaskopik sebagai penatalaksanaan penyakit Hirschsprung pertama
kali dideskripsikan pada tahun 1999 oleh Georgeson. Zona transisi
ditentukan awalnya ditentukan secara laparaskopik, diikuti dengan
mobilisasi rektum dibawah peritoneal. Mukosa transanal diseksi
dilakukan, diikuti dengan mengeluarkan rektum melalui anus dan
anastomosis. Hasil fungsional sepertinya sama dengan teknik terbuka
berdasarkan hasil jangka pendek
Makanan berserat tinggi dan mengandung buah-buahan segar
dapat mengoptimalkan fungsi usus post-operatif pada beberapa pasien.
Batasi aktivitas fisik selama sekitar 6 minggu untuk penyembuhan
luka secara baik. Tujuan dari farmakoterapi untuk mengeradiksi
infeksi, mengurangi morbiditas, dan mengurangi komplikasi.
Terapi antimikroba harus komprehensif dan mencakup seluruh
patogen terkait dengan keadaan klinis. Pemilihan antibiotik juga sebaiknya
dipandu oleh tes kultur darah dan sensitivitas.
M. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter (Irwan, 2003).
1. Kebocoran anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh
ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang
tidak adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses
sekitar anastomose serta trauma colok dubur atau businasi pasca
operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi
klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai
dari abses rongga pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan
kematian (Irwan, 2003).
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan
oleh gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta
prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya
disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis
posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila
stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang
terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga
fistula perianal (Irwan, 2003).
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan
dapat berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan
kematian akibat enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan
angka 14,5% dan 18,5% masing-masing untuk prosedur Duhamel
modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya adalah 3,1%
untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel
modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan
tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan
dan elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan
wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian
antibiotika yang tepat (Irwan, 2003).
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit Hirschsprung (Megakolon Kongenital) adalah suatu kelainan
kongenital yang ditandai dengan penyumbatan pada usus besar yang terjadi
akibat pergerakan usus yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar
tidak memiliki saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Sehingga
menyebabkan terakumulasinya feses dan dilatasi kolon yang masif.
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis
yang signifikan.
Seperti kelainan kongenital lainnya, HD memerlukan diagnosis klinik
secepat dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil terapi
yang sebaik-baiknya (Belknap, 2006).
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama, yaitu untuk
menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi,
sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif
dilakukan dan untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi.
Penanganan operatif Hirschsprung dimulai dengan diagnosis dini, yang
biasanya membutuhkan biopsi rektal full-thickness. Pada umumnya,
penatalaksanaan awal yaitu dengan membuat colostomy dan ketika anak
bertum buh dan memiliki berat lebih dari 10 kg, operasi definitif dapat
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2004), Hirschprung Disease, http://www.caremark.com/wps. Download tanggal 15-6-2010.
Arief Mansjoer( 2000 ), Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3, Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Betz, Cecily & Sowden. ( 2002 ). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Alih bahasa Jan Tambayong. Jakarta : EGC
Carpenito. LJ ( 2001 ). Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Alih bahasa Monica Ester. Jakarta : EGC
Darmawan K ( 1995). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah FKUI. Binarupa Aksara. Jakarta
Hambleton, G ( 1995 ). Manual Ilmu Kesehatan Anak di RS. Alih bahasa Hartono dkk. Jakarta : Bina Rupa Aksara
Lee, Steven et all. (2005). Hirschprung Disease .http://www.emedicine.com. Download tanggal 15-6-2010
Komite Medik RSUP DR Sardjito, (1997), Standar Pelayanan Medis RSUP DR Sardjito, Bagian 3, Bab XVII, hal. 144-5, Medika FK UGM, Yogyakarta.
Nelson, W. ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak. Alih Bahasa A Samik Wahab. Jakarta : EGC.
Sabiston, (1994), Buku Ajar Bedah bagian 2, Penyakit kolon dan rektum, Bab 26, hal. 14-18, EGC, Jakarta.
Sjamsuhidajat dan Wim de jong, (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, Bagian 3, Bab 29, hal. 908-10, EGC, Jakarta.
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, (1995), Patofisiologi :Konsep Klinis, Proses-Proses Penyakit, Bab 26, hal. 409-12, EGC, Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI ( 2000 ). Ilmu Kesehatan Anak I. Jakarta : Infomedika Jakaarta.