Upload
andikhg
View
163
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REFERAT -II
RADIOFARMAKA PENCITRAAN JANTUNG DENGAN SPECTOleh:Andika Hananto Gunawan, dr.
Pembimbing:Budi Darmawan, dr., SpKN.
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN NUKLIR DAN PENCITRAAN MOLEKULERRUMAH SAKIT UMUM DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARANBANDUNG
ii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ...................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
Anatomi Arteria Koronaria dan Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner ............. 6
BAB II : RADIOFARMAKA PENCITRAAN JANTUNG DENGAN SPECT ............ 6
Radiofarmaka Pencitraan Perfusi Miokard dengan SPECT ................................... 7
Tl-201 Thallous Klorida ................................................................................. 8
Radiofarmaka untuk Pemeriksaan Perfusi Miokard Berlabel Tc-99m .......... 10
- Tc-99m Sestamibi .................................................................................... 11
- Tc-99m Tetrofosmin ................................................................................ 12
- Tc-99m Teboroxime ................................................................................ 13
- Tc-99m N-NOET .................................................................................... 13
Radiofarmaka Pencitraan SPECT Memori Iskemia (Ischemic MemoryImaging)
dengan I-123 IPPA dan I-123 BMIPP ................................................................... 14
Radiofarmaka SPECT untuk Menilai Persarafan Simpatis Jantung
dengan MIBG ......................................................................................................... 18
Radiofarmaka untuk Pemeriksaan Multiple Gated Equilibrium
Blood Pool Imaging (MUGA) ............................................................................... 22
iii
Radiofarmaka SPECT untuk Deteksi Apoptosis
dengan Tc-99m Annexin-V ..................................................................................... 24
BAB III : PENUTUP ......................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 28
1
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini kemajuan dalam bidang instrumentasi pencitraan kedokteran disertai pengembangan
radiofarmaka telah merevolusi kedokteran nuklir, khususnya kardiologi nuklir. Penilaian perfusi,
fungsi serta metabolisme miokard menggunakan radiofarmaka telah menjadi metoda yang mapan.
Beberapa radiofarmaka untuk pencitraan miokard telah tersedia, namun setiap senyawa radiofarmaka
ini tentunya memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, dan pemilihan agen/bahan radiofarmaka
yang sesuai bergantung pada sang dokter.1
Penyakit jantung koroner (PJK), stroke, serta gagal jantung kongestif (congestive heart
failure/CHF) merupakan tiga penyebab mayor dari kematian oleh karena penyakit kardiovaskuler.
Prosedur pencitraan nuklir di bidang kardiologi dewasa ini diarahkan kepada deteksi PJK dan gagal
jantung berdasarkan atas penilaian aliran darah miokardium (MBF: myocardial blood flow) serta
metabolisme substrat menggunakan radiofarmaka baik untuk modalitas SPECT maupun PET.1
Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan pencitraan perfusi miokard kualitatif
menggunakan SPECT telah diperluas mencakup kombinasi dari evaluasi perfusi, cadangan perfusi,
dan fungsi ventrikel, serta pencitraan dengan MIBG juga telah dikembangkan untuk memberikan
visualisasi ujung saraf simpatis, yang padanya biasanya terjadi perubahan pada pasien-pasien dengan
diabetes mellitus dan kardiomiopati. Makin lama tampaknya strategi pencitraan diarahkan dari terapi
kepada penekanan pada prevensi penyakit. Berbagai kemajuan dalam biologi molekular akan
memegang peran kunci dalam pendekatan antardisiplin ilmu dalam memahami lebih dalam asal
penyakit, patogenesis, serta proses penyakit jantung, dan nantinya menyentuh evaluasi atas intervensi
penyakit. Kemajuan-kemajuan biologi molekuler tersebut di antaranya adalah strategi pencitraan baru
bagi PJK, plak koroner yang rentan, aterotrombosis, angiogenesis, gagal jantung, apoptosis,
transplantasi sel punca, serta terapi gen.1
Tujuan utama dari teknik pencitraan molekuler sendiri adalah (a) deteksi dini penyakit, (b)
monitor terapi yang objektif, dan (c) prognostikasi progresi penyakit yang lebih baik.1
2
Anatomi Arteria Koronaria dan Patofisiologi Penyakit Jantung Koroner
Otot jantung diperdarahi oleh arteria koronaria. Arteria koronaria (kanan dan kiri) muncul
dari sinus koronarius kanan dan kiri aorta. Arteria koronaria utama kiri (left main coronary artery)
bercabang menjadi dua arteria: left anterior descending artery/LAD dan left circumflex artery/LCx.
Arteria koronaria kanan bercabang menjadi posterior descending artery/PDA dan suatu cabang
ventrikel kiri posterior (arteria nodalis dan arteria marginalis kanan). LAD nantinya akan
beranastomosis dengan PDA. LAD menyuplai darah bagi dua-pertiga bagian anterior septum
interventrikuler, apeks, serta dinding anterior ventrikel kanan dan kiri. LCx memiliki cabang utama,
yaitu arteria marginalis kiri, dan pada sekitar 10-15% populasi, LCx beranastomosis pula dengan
RCA membentuk pangkal dari PDA. Secara umum, LCx menyuplai dinding posterior atrium kiri dan
bagian superior dari ventrikel kiri. PDA menyuplai sepertiga posterior septum interventrikuler dan
nodus atrioventrikuler/AV. Arteria nodalis menyuplai atrium kiri dan nodus sinosurikuler/SA,
sedangkan arteria marginalis kanan menyuplai sebagian ventrikel kanan, dinding ventrikel kiri bagian
inferior, serta PDA. Arteria koronaria dan cabang-cabangnya bercabang-cabang lagi menjadi arteria-
arteria kecil kemudian arteriol-arteriol, kemudian akhirnya berakhir menjadi end arteries yang
menyuplai jaringan miokard.1,2
Gambar 1. Jantung dengan arteriakoronaria kanan dan kiri (Vallabhajosula,Molecular Imaging – Radiopharmaceuti-cals for PET and SPECT, 2009)
3
Penyakit jantung koroner dapat berujung pada iskemia miokard, infark miokard, gagal
jantung maupun kematian mendadak. Ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen otot
jantung menyebabkan iskemia miokard. Peningkatan kebutuhan oksigen dapat terjadi oleh karena
peningkatan denyut jantung atau fenomena fisiologis lain seperti peningkatan kontraksi ventrikel kiri,
tekanan dinding sistolik, kadar katekolamin, ataupun metabolisme miokard. Penurunan suplai terjadi
terutama karena spasme atau obstruksi koroner dan dalam penyakit jantung koroner biasanya iskemia
miokard terjadi sebagai akibat spasme maupun obstruksi ini. Secara klinis, iskemia miokard ini tampil
sebagai nyeri dada atau angina pektoris, dengan ataupun tanpa gambaran perubahan segmen ST pada
EKG.1
Patofisiologi penyakit jantung koroner tak dapat dipisahkan dari aterosklerosis (Yunani:
athere = akumulasi fokal; sclerosis = penebalan/pengerasan tunica intima), yang melibatkan interaksi
yang kompleks antara sel-sel endotel, sel otot polos arteri, trombosit, serta lekosit. Inflamasi vaskuler,
penimbunan lemak, kalsium serta debris seluler di dalam tunika intima menyebabkan pembentukan
plak. Plak ini berkontribusi pada remodeling vaskuler, obstruksi lumen pembuluh, abnormalitas aliran
darah, dan penurunan suplai ke otot miokard.3
Proses paling awal dari aterosklerosis adalah timbulnya “lintasan lipid” dalam tunika intima
dinding pembuluh, dan terutama mengandung makrofag pengangkut lipid, limfosit T, dan sel-sel otot
polos. Jalur atau lintasan ini dapat dijumpai baik di aorta maupun arteria koronaria pada usia yang
sangat belia. Lintasan lipid ini dapat berlanjut membentuk plak fibrosa, akibat akumulasi lipid secara
progresif yang disertai proliferasi sel-sel otot polos. Proliferasi sel-sel otot polos di dalam tunika
intima membuat penonjolan pada lesi aterosklerosis, permukaannya dapat meninggi beberapa
milimeter dari dinding sekitarnya. Sejumlah faktor molekuler seperti faktor pertumbuhan (seperti
platelet-derived growth factor/PDGF), eikosanoid (ester-ester kolesterol terhidrolisa), sitokin (contoh:
faktor nekrosis tumor, interleukin-1, serta interferon), serta nitric oxide/NO berperan penting dalam
proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos.1
Proses awal aterosklerosis tadi kemudian berlanjut dengan adanya disfungsi endotel. Plak
fibrosa yang terbentuk disusul oleh proses remodeling dan penyempitan progresif vaskuler serta aliran
darah abnormal. Ruptur dari lapisan protektif fibrosa ini akibat kelemahan atau pengikisan terhadap
4
endotel yang melingkupinya akan berakibat lepasnya material trombogenik dari plak ke aliran
sirkulasi darah. Hal ini akan membentuk lesi yang lanjut atau komplikata. Sel-sel inflamasi akan
bergerak untuk melokalisasi bagian sisi-sisi plak yang rentan tersebut. Suatu ruptur plak akan
mengakibatkan adanya pembentukan/formasi trombus, oklusi pembuluh darah parsial atau komplit,
atau organisasi trombus di dalam plak sehingga menyebabkan progresi lesi aterosklerosis lebih lanjut.
Ringkasan proses terjadinya aterosklerosis ini dapat dilihat pada Tabel 1.1,2
Tabel 1. Tipe-tipe lesi atherosklerotik. (dikutip dari Elgazzar, The PathophysiologicBasis of Nuclear Medicine, Second Edition, 2006, adaptasi dari Committee on VascularLesions of the Council on Atherosclerosis, American Heart Association)
Marcello Malpighi (1628-1694), seorang dokter berkebangsaan Italia menjelaskan adanya
lapisan dalam pembuluh darah yang disebut “endotelium vaskuler”. Pada seseorang dengan berat
tubuh 70 kg, endotel tersebut menyelubungi area seluas 700 m2 dan beratnya sekitar 1 hingga 1,5 kg.
Sisi dalam sel-sel endotel merupakan organ vasoaktif, yang mengatur tonus vaskuler melalui produksi
beberapa jenis zat/faktor. Sel-sel endotel mensekresi vasodilator (endothelium-derived relaxing
factor/EDRF, nitric oxide/NO, bradikinin. Prostasiklin, substansi P, histamin dan serotonin) dan
vasokonstriktor (endotelin-1/ET-1, endotelium 1, 2, dan 3, angiotensin II, tromboksan A2,
prostaglandin/PGH2) yang poten. Pada kondisi vascular bed yang normal dan sehat, vasodilatasi lebih
dominan daripada vasokonstriksi. Namun perubahan-perubahan dalam keseimbangan oksigen
miokard akan berujung pada perubahan-perubahan mendadak pada resistensi vaskuler.1
4
endotel yang melingkupinya akan berakibat lepasnya material trombogenik dari plak ke aliran
sirkulasi darah. Hal ini akan membentuk lesi yang lanjut atau komplikata. Sel-sel inflamasi akan
bergerak untuk melokalisasi bagian sisi-sisi plak yang rentan tersebut. Suatu ruptur plak akan
mengakibatkan adanya pembentukan/formasi trombus, oklusi pembuluh darah parsial atau komplit,
atau organisasi trombus di dalam plak sehingga menyebabkan progresi lesi aterosklerosis lebih lanjut.
Ringkasan proses terjadinya aterosklerosis ini dapat dilihat pada Tabel 1.1,2
Tabel 1. Tipe-tipe lesi atherosklerotik. (dikutip dari Elgazzar, The PathophysiologicBasis of Nuclear Medicine, Second Edition, 2006, adaptasi dari Committee on VascularLesions of the Council on Atherosclerosis, American Heart Association)
Marcello Malpighi (1628-1694), seorang dokter berkebangsaan Italia menjelaskan adanya
lapisan dalam pembuluh darah yang disebut “endotelium vaskuler”. Pada seseorang dengan berat
tubuh 70 kg, endotel tersebut menyelubungi area seluas 700 m2 dan beratnya sekitar 1 hingga 1,5 kg.
Sisi dalam sel-sel endotel merupakan organ vasoaktif, yang mengatur tonus vaskuler melalui produksi
beberapa jenis zat/faktor. Sel-sel endotel mensekresi vasodilator (endothelium-derived relaxing
factor/EDRF, nitric oxide/NO, bradikinin. Prostasiklin, substansi P, histamin dan serotonin) dan
vasokonstriktor (endotelin-1/ET-1, endotelium 1, 2, dan 3, angiotensin II, tromboksan A2,
prostaglandin/PGH2) yang poten. Pada kondisi vascular bed yang normal dan sehat, vasodilatasi lebih
dominan daripada vasokonstriksi. Namun perubahan-perubahan dalam keseimbangan oksigen
miokard akan berujung pada perubahan-perubahan mendadak pada resistensi vaskuler.1
4
endotel yang melingkupinya akan berakibat lepasnya material trombogenik dari plak ke aliran
sirkulasi darah. Hal ini akan membentuk lesi yang lanjut atau komplikata. Sel-sel inflamasi akan
bergerak untuk melokalisasi bagian sisi-sisi plak yang rentan tersebut. Suatu ruptur plak akan
mengakibatkan adanya pembentukan/formasi trombus, oklusi pembuluh darah parsial atau komplit,
atau organisasi trombus di dalam plak sehingga menyebabkan progresi lesi aterosklerosis lebih lanjut.
Ringkasan proses terjadinya aterosklerosis ini dapat dilihat pada Tabel 1.1,2
Tabel 1. Tipe-tipe lesi atherosklerotik. (dikutip dari Elgazzar, The PathophysiologicBasis of Nuclear Medicine, Second Edition, 2006, adaptasi dari Committee on VascularLesions of the Council on Atherosclerosis, American Heart Association)
Marcello Malpighi (1628-1694), seorang dokter berkebangsaan Italia menjelaskan adanya
lapisan dalam pembuluh darah yang disebut “endotelium vaskuler”. Pada seseorang dengan berat
tubuh 70 kg, endotel tersebut menyelubungi area seluas 700 m2 dan beratnya sekitar 1 hingga 1,5 kg.
Sisi dalam sel-sel endotel merupakan organ vasoaktif, yang mengatur tonus vaskuler melalui produksi
beberapa jenis zat/faktor. Sel-sel endotel mensekresi vasodilator (endothelium-derived relaxing
factor/EDRF, nitric oxide/NO, bradikinin. Prostasiklin, substansi P, histamin dan serotonin) dan
vasokonstriktor (endotelin-1/ET-1, endotelium 1, 2, dan 3, angiotensin II, tromboksan A2,
prostaglandin/PGH2) yang poten. Pada kondisi vascular bed yang normal dan sehat, vasodilatasi lebih
dominan daripada vasokonstriksi. Namun perubahan-perubahan dalam keseimbangan oksigen
miokard akan berujung pada perubahan-perubahan mendadak pada resistensi vaskuler.1
5
Nitric oxide/NO, prostaglandin, karbondioksida, adenosin serta ion hidrogen merupakan
beberapa mediator penting yang bertanggung jawab dalam menjaga tonus vaskuler. NO merupakan
endothelium-derived relaxing factor/EDRF terpenting. Dalam kondisi normal, NO dilepaskan secara
kontinyu, membantu menjaga status vasodilator, mencegah agregasi dan adhesi trombosit serta
menghambat proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos vaskuler. Pada disfungsi endotel, terjadi
hilangnya bioavailibilitas NO, baik karena sintesis yang berkurang maupun metabolisme NO yang
meningkat. Berbagai faktor risiko seperti merokok, diabetes mellitus, dislipidemia, hipertensi, usia
lanjut, menopause serta hiperhomosistinemia, mengakibatkan gangguan vasodilatasi endothelium
dependent, mutasi RNA messenger (mRNA) enzim nitric oxide synthetase serta destabilisasi
pascatranskripsi mRNA. Penurunan kadar NO berakibat meningkatnya adhesi dan faktor jaringan,
serta menurunnya aktivator plasminogen dan trombomodulin, pada gilirannya mengakibatkan
peningkatan pembentukan trombus dari trombosit.1
Inflamasi juga berimbas pada patogenesis PJK. Inflamasi merupakan respons yang umum sel-
sel endotel terhadap berbagai faktor yang menyerang tunika intima. Kenaikan kadar marker inflamasi,
khususnya C-reactive protein (CRP) secara tak langsung mendukung anggapan ini. Pada kasus
angina tidak stabil, kadar CRP terbukti merupakan prediktor kuat akan mortalitas dan risiko terjadinya
cardiac event dalam jangka pendek. Demikian pula infeksi kronis seperti Chlamydia pneumoniae dan
sitomegalovirus (CMV) berkaitan dengan aterosklerosis; kadar antibodi antiklamidia misalnya
terbukti berkaitan dengan risiko coronary event pada masa mendatang.3
Otot jantung sendiri memiliki dua sifat penting, yakni eksitabilitas listrik dan kontraktilitas.
Kemampuan sel otot miokard untuk berkontraksi dan membangkitkan daya yang perlu untuk menjaga
sirkulasi darah dicapai melalui fungsi kontraksi yang unik dalam dua protein sarkomer (aktin dan
miosin) yang tersusun secara anyaman miokard yang bercabang (syncitium). Untuk keperluan
pengaturan kontraksi, otot jantung diinervasi oleh saraf autonom, yang terdiri atas saraf simpatis yang
keluar dari ganglia servikalis dan ganglia torakalis superior (T1-T4), serta saraf parasimpatis dari
cabang nervus vagus. Kedua persarafan ini bekerja sama secara antagonistis dalam menentukan
kontraksi otot jantung agar homeostasis tubuh terjaga. Otot jantung juga memiliki suplai fosfat
berenergi tinggi yang diperlukan untuk kontraksi.1
6
BAB II
RADIOFARMAKA PENCITRAAN JANTUNG DENGAN SPECT
Radiofarmaka Pencitraan Perfusi Miokard dengan SPECT
Pencitraan perfusi miokard merupakan metoda noninvasif yang sudah mapan untuk menilai
aliran darah koroner, juga untuk mengidentifikasi abnormalitas dalam aliran darah arteria koronaria
dan menentukan relevansi fisiologisnya dalam fungsi dan viabilitas miokard. Pencitraan perfusi
miokard membutuhkan injeksi radiofarmaka secara intravena diikuti pencitraan ambilan regional
miokard. Paling sering pencitraan didapatkan dengan teknik tomografik (yaitu dengan SPECT: single-
photon emission computerized tomography) dengan “dipagari” (gated) menggunakan sinkronisasi
EKG. Dengan menggunakan uji stress dengan latihan fisik atau dengan bahan farmakologi, pencitraan
perfusi miokard mampu mengungkap adanya defek perfusi miokard yang tidak dtemukan pada saat
istirahat. Dalam tulisan ini, metode akuisisi pencitraan perfusi miokard sendiri tidak akan dibahas
secara sangat detil.
Radiofarmaka untuk perfusi miokard harus bersifat mendekati sifat ideal yang diperlukan
sebagai berikut:
sanggup melacak aliran darah miokard hingga seluruh jangkauan fisiologis
diambil (di-uptake) dengan cepat ( dengan kata lain: memiliki laju ekstraksi miokard yang
tinggi)
seluruhnya terekstraksi dari pembuluh darah (koefisien ekstraksi tinggi)
menunjukkan hubungan linier antara ambilan miokard dan aliran darah
tertahan di miokard untuk periode waktu yang cukup untuk pencitraan
ambilan tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan kondisi metabolik ataupun hipoksia
menunjukkan ambilan ekstrakardial yang rendah
menunjukkan redistribusi miokard
mudah pelabelannya
setelah dilabel menunjukkan stabilitas senyawa.4
7
Radiofarmaka yang paling sering dipakai untuk pencitraan perfusi miokard adalah Tl-201
thallous klorida, Tc-99m sestamibi, serta Tc-99m tetrofosmin. Tentu saja dari ketiga radiofarmaka ini
tidak ada satupun yang ideal, masing-masing memiliki kelebihan maupun kekurangan.
Tl-201 Thallous Klorida
Tl-201 merupakan radiofarmaka pertama yang dipakai secara luas untuk sidik perfusi
miokard. Sejak akhir 1970-an, Tl-201 digunakan untuk pencitraan planar untuk mendeteksi penyakir
jantung koroner. Pada tahun 1980-an, Tl-201 merupakan bahan radiofarmaka yang paling umum
digunakan untuk pencitraan perfusi miokard dengan SPECT.5
Tl-201 adalah suatu analog kalium yang diproduksi lewat siklotron, dengan metoda peluruhan
berupa penangkapan elektron menjadi unsur stabil 201Hg sambil melepaskan terutama sinar X
berenergi 75-80 keV serta foton gamma berenergi 137 dan 167 keV yang dipakai untuk pencitraan
(rerata abundance/persentase emisi per-disintegrasi inti masing-masing berturut-turut sebesar 94,5%,
3%, dan 10%). Tl-201 yang memiliki waktu paruh fisik 73,1 jam ini di-uptake secara aktif oleh
pompa enzim Na+, K+-adenosin-trifosfatase di membran sel pada saat first pass melalui pembuluh
darah koroner. Tl-201 memiliki koefisien ekstraksi miokard sebesar 85-90%, jadi paling tinggi bila
dibandingkan dua radiofarmaka berlabel Tc-99m, yakni Tc-99m sestamibi dan Tc-99m tetrofosmin.
Konsentrasi puncak pada miokard dicapai pada 5 menit pascainjeksi (lihat juga perbandingan ambilan
beberapa radiofarmaka untuk perfusi miokard pada Gambar 2). Radiofarmaka ini dibersihkan cepat
dari darah (92% dalam 5 menit; T1/2=40 jam bagi sisa 8% tadi). Bahan ini tidak terkonsentrasi dalam
sistem hepatobilier.6,7,8
Karena terkonsentrasi terutama di ruang intrasel, Tl-201 memiliki waktu paruh biologis yang
panjang (yaitu 2,4 hari). Ekskresinya lewat urin dan feses dalam jumlah/porsi seimbang. Waktu
paruhnya yang panjang dan energi fotonnya yang rendah membawa dampak penting bagi pemilihan
agen ini untuk pemeriksaan pencitraan. Waktu paruh sepanjang ini membawa konsekuensi keharusan
pemberian agen ini hanya dalam dosis rendah agar tak menimbulkan paparan radiasi yang terlampau
besar, sementara energi foton yang rendah memaksa waktu pencitraan yang lebih lama dan timbulnya
8
lebih banyak atenuasi citra yang membuat kualitas citra menjadi buruk, khususnya pada pasien yang
obese.8
Ada sifat khusus Tl-201 yang tak dimiliki oleh radiofarmaka untuk pencitraan perfusi
miokard berlabel Tc-99m, yakni sifat redistribusinya. Tl-201 tidak tetap tinggal di dalam sel-sel
miokard setelah fase awal ekstraksi, melainkan secara kontinyu bertukar tempat dengan Tl-201 dari
sirkulasi sistemik.6 Kemampuan redistribusi Tl-201 ini, yang tidak dimiliki oleh radiofarmaka lain
dari golongan berlabel Tc-99m, menjadikan pencitraan perfusi miokard menggunakan Tl-201 ini
sebagai baku emas bagi penilaian viabilitas jaringan miokard dengan SPECT.8
Gambar 2. Hubungan antara aliran darah miokard dengan persen aktivitas farmaka baik untukPET maupun SPECT (dari Salerno dan Beller, Noninvasive Assessment of Myocardial Perfusion,Circ Cardiovasc Imaging. 2009;2:412-424)
Tl-201 tidak terperangkap secara permanen di jaringan miokard, melainkan terjadi pertukaran
yang kontinyu antara rongga ekstrasel dan intrasel, juga antara rongga ekstrasel dan intravaskuler.
Fenomena ini disebut redistribusi. Jumlah dan kecepatan pertukaran ini bervariasi dan bergantung
pada tingkat aliran darah pada area yang diinginkan (region of interest) yang akan menyebabkan
perbedaan resolusi dari perfusi pada uji stress dalam 20 atau 30 menit bila perfusi ke daerah iskemik
intak. Untuk alasan ini, pencitraan sebaiknya dimulai dalam 10 hingga 15 menit setelah injeksi pada
saat puncak uji stress (dosis pemberiannya hingga 148 MBq atau hingga 4 mCi). Rangkaian
9
pencitraan kedua berguna untuk mencitrakan redistribusi Tl-201, yaitu ekuilibrium yang
sesungguhnya, yang merupakan gambaran perfusi saat istirahat dan viabilitas. Serial/rangkaian
pencitraan kedua ini baik dikerjakan 2 hingga 4 jam pasca-injeksi pertama tadi. Pada beberapa pasien
dengan iskemia miokard yang berat, redistribusi bisa sangat lambat dan mencapai lebih dari 4 jam.
Bagi individu yang demikian ini, injeksi kedua dari radiofarmaka dengan dosis rendah (1-2 mCi) pada
saat istirahat dapat mempertinggi sensitivitas deteksi viabilitas, lalu dicitra keesokan harinya.7
Ada pula protokol penggunaan isotop ganda (dual isotope) pada hari yang sama, yakni
menggunakan Tl-201 dan Tc-99m sestamibi. Akuisisi pencitraannya dapat secara terpisah ataupun
secara simultan. Untuk pencitraan yang terpisah, mula-mula disuntikkan 111-148 MBq (3-4 mCi) Tl-
201, dengan posisi pasien tegak untuk mengurangi ambilan pada paru. Pencitraan SPECT diambil 10-
15 menit setelahnya. Setelah citra saat istirahat telah selesai, pasien menjalani uji stress dengan beban
fisik atau dengan beban farmakologi. Selanjutnya pada saat puncak pembebanan 555 MBq-1,11 GBq
(atau 15-30 mCi) Tc-99m sestamibi disuntikkan, lalu akuisisi SPECT dimulai 15 menit setelah
injeksi. Untuk uji viabilitas, pasien bisa diberi injeksi kedua thalium lalu dicitra kembali keesokan
paginya (alternatifnya, injeksi kedua thalium dapat diberikan malam hari sebelum pencitraan
keesokan paginya).8
Keuntungan protokol akuisisi terpisah dengan dual isotop ini antara lain pendeknya durasi
pemeriksaan (<2 jam), kontras pada daerah defek tampak optimal tercitra, tidak bermaknanya
pengaruh /kontribusi Tl-201 pada window Tc-99m (tidak seperti apabila memakai isotop yang sama
pada hari yang sama), masalah saling kontaminasi menjadi minimal, citra saat istirahat benar-benar
terpercaya sehingga memungkinkan evaluasi yang lebih baik atas adanya defek reversibel, uji
viabilitas juga lebih terpercaya, dosimetrinya mudah, kenyamanan pasien terjaga, serta sensitivitas
dan spesifisitasnya yang tinggi (hingga 90%).8
Adapun beberapa kekurangan protokol ini adalah: perbandingan citra stress dan saat istirahat
didapat dari dua isotop dengan karakteristik yang berbeda, ada variabilitas dalam faktor atenuasi,
perbedaan dalam resolusi citra, scatter Compton dari Tl-201 lebih besar daripada Tc-99m, ketebalan
dinding miokard pada citra dengan Tl-201 lebih besar daripada Tc-99m akibat lebih tingginya scatter
(lihat contoh pada Gambar ), evaluasi TID (transient ischemic dilation) kurang optimal karena rongga
10
ventrikel kiri lebih besar pada citra Tc-99m, sulit menilai defek reversibel yang minimal, serta
rendahnya energi foton dari Tl-201 tidak ideal untuk pasien obese.8
Untuk protokol uji Tl-201 saat istirahat dan Tc-99m sestamibi saat stress, 111 MBq (3 mCi)
Tl-201 disuntikkan pada saat istirahat. Uji pembebanan dikerjakan dalam 30 menit pasca-penyuntikan
Tl-201. Saat puncak pembebanan, 925 MBq Tc-99m sestamibi diinjeksikan, dan pencitraan SPECT
dikerjakan dalam 30 menit setelahnya.8
Keuntungan protokol akuisisi dual isotop yang simultan ini adalah sebagai berikut: tidak perlu
2 sesi pencitraan yang terpisah, mengurangi waktu akuisisi kamera, durasi pemeriksaan yang singkat,
artefak akibat gerakan lebih sedikit daripada dengan akuisisi terpisah antara saat istirahat dan dengan
stress, serta pencatatan yang tepat antara citra dari Tl-201 dan citra dari Tc-99m.8
Kelemahan protokol terakhir meliputi adanya scatter yang saling memasuki window energi
(cross talk) dan adanya downscatter, adanya kontribusi scatter dan foton primer dari Tl-201 yang
memasuki window dari Tc-99m atau sebaliknya menyebabkan turunnya kualitas citra, resolusi citra,
serta kuantitasi/perhitungan. Karena masalah downscatter ini maka protokol yang terakhir ini tidak
dianjurkan.8
Radiofarmaka untuk Pemeriksaan Perfusi Miokard Berlabel Tc-99m
Technetium-99m didapatkan dari elusi generator Molibdenum-99m. Metoda peluruhannya
adalah transisi isomerik, dengan waktu paruh fisik selama 6 jam, relatif pendek sehingga
memungkinkan pemberian dosis cukup besar (10 hingga 15 kali lebih besar daripada Tl-201). Emisi
sinar gammanya berenergi 141 kEV, suatu tingkat energi yang optimal untuk pencitraan dengan
kamera gamma. Tc-99m bebas tidak terekstraksi secara selektif di miokard, sehingga untuk bisa
menggambarkan aliran darah koroner Tc-99m harus digabungkan terlebih dahulu dengan senyawa
lain (mis. sestamibi atau tetrofosmin) yang terkonsentrasi secara selektif di miokard.
11
(Dikutip dari: Nuclear Cardiology – Technical Application, McGraw Hill Company, 2009)
Tc-99m Sestamibi
Sestamibi merupakan bahan yang mengandung tetrakis (2-methoxy isobutyl isonitrile) dan
stannous klorida (pH sekitar 5,5). Penyiapannya memerlukan penambahan radioaktif natrium
pertechnetat Tc-99m. Campuran ini digoncang dengan cukup keras, kemudian dididihkan selama 10
menit, lalu didinginkan pada suhu ruangan selama 15 menit. Setelah penyiapan ini, senyawa harus
digunakan dalam 6 jam.
Sestamibi adalah radiofarmaka kationik yang akan berdifusi ke dalam sel tanpa ada ambilan
aktif. Koefisien ekstraksinya sebesar 65%, nyata lebih rendah daripada thallium. Sestamibi
terkonsentrasi di dalam mitokondria sel miokard melalui interaksi elektrostatis akibat lebih
rendahnya elektronegativitas potensial membran. Bahan ini dibersihkan dengan cepat dari darah (T1/2-
nya 4,3 menit pada uji saat istirahat dan 1,6 menit saat uji latihan). Aliran sestamibi ke intrasel terjadi
permanen dan redistribusinya dapat diabaikan (sangat kecil). Sebagai konsekuensinya, diperlukan
adanya injeksi dan pencitraan yang terpisah antara uji rest dan stress untuk deteksi reversibilitas defek
perfusi. Jalur ekskresi utama sestamibi adalah lewat sistem hepatobilier, dan pada pemberian
sestamibi ada uptake yang nyata di hepar. Pada 5 menit pasca-injeksi pasien uji saat istirahat, 1,2%
Tabel 2. Perbandingan Radiofarmaka untuk Pencitraan Perfusi Miokard
Karakteristik Tl-201 Tc-99m-setamibi Tc-99m-tetrofosmin
Mekanisme ambilan Na/K-ATP-ase Pasif oleh mitokondria Pasif oleh mitokondria
Bersihan Sedang Lambat Lambat
Fraksi Ekstraksi 0.85 0.55–0.65 0.54
Redistribusi Ya Minimal Parsial
Pengukuran aliranperfusi
Baik Cukup Cukup
Citra Gated Buruk–Cukup Baik sekali Baik sekali
Energi foton 70 keV 140 keV 140 keV
Waktu paruh 73 jam 6 jam 6 jam
Mekanisme bersihan Renal Hepatik Hepatik
12
dosis pemberian berada di jantung sedangkan 20% dosis pemberian berada di hepar. Konsentrasi
tinggi radiofarmaka ini di hepar mengakibatkan citra SPECT yang dominan di hepar dengan resolusi
jantung yang berkompromi dengannya. Makanan atau minuman berlemak dibutuhkan untuk
mempercepat bersihan sestamibi dari sistem hepatobilier, dan cairan tambahan dapat membantu
meningkatkan mobilitas radioaktivitas di sistem gastrointestinal agar dijauhkan dari area jantung.
Namun demikian, dapat terjadi adanya aktivitas yang sangat tinggi di kolon beberapa jam berikutnya,
khususnya pada pasien dengan fleksura lienalis letak tinggi, yang juga dapat mempengaruhi citra
miokard. Karenanya, pencitraan paling baik dikerjakan setelah periode tunggu yang singkat yang
memungkinkan bersihan di sistem hepatobilier tapi juga sebelum terjadinya akumulasi di kolon
khususnya kolon transversum. Biasanya pencitraan ini berkisar mulai 10 hingga 20 menit setelah
injeksi pada saat puncak latihan dan 45 hingga 60 menit setelah injeksi farmaka pada uji stress dengan
farmakologi.
Tc-99m Tetrofosmin
Tetrofosmin merupakan senyawa nonradioaktif yang terdiri dari tetrofosmin [6,9-bis(2-
ethoxyethyl)-3,12-dioxa6,9-diphosphatetradecane] dengan stannous klorida. Radioaktif natrium
pertechnetat Tc-99m ditambahkan, campuran ini dicampur pelan selama 10 detik, lalu diinkubasi
dalam suhu kamar selama 15 menit. Penggunaan senyawa kation lipofilik ini harus dalam 12 jam
pasca-penyiapan.
Tetrofosmin memiliki koefisien ekstraksi sebesar 54%, lebih rendah daripada sestamibi.
Bahan ini terkonsentrasi di miokardium, dengan 1,2% dosis injeksi tampak dalam 5 menit. Aktivitas
latar belakang dalam darah, hepar, dan paru terukur kurang dari 5% dari dosis yang diberikan pada 10
menit pasca-injeksi. Beberapa penelitian menyampaikan bahwa tetrofosmin memiliki bersihan
hepatobilier yang lebih cepat daripada sestamibi sehingga memungkinkan pencitraan yang lebih
segera setelah injeksi dan mengurangi efek radiasi akibat ambilan di hepar. Biasanya pencitraan baik
dimulai 10 menit pasca-injeksi radiofarmaka pada uji stress dengan latihan fisik, dan 30 hingga 45
menit pasca-injeksi radiofarmaka pada uji saat istirahat atau pada uji stress dengan bahan
farmakologi.
13
Tc-99m Teboroxime
Tc-99m teboroxime adalah senyawa lipofilik netral dari kelompok asam boronat yang
digabungkan dengan tehnesium oxime. Ambilan senyawa ini tidak tergantung pada mekanisme
enzimatik ataupun transpor aktif apapun. Ekstraksi miokardium mencapai 90% (lebih tinggi daripada
ketiga senyawa yang telah dibahas di atas), namun diikuti oleh bersihan dari miokardium yang cepat
pula. Pada satu menit pasca-injeksi, hubungan antara retensi Tc-99m teboroxime di miokard terhadap
yang berada di pembuluh darah merupakan kurva aliran linear dengan kisaran yang lebar, namun
hanya dalam 5 menit retensi radiofarmaka ini berubah menjadi rendah pada kecepatan sedang hingga
tinggi. Ini disebabkan oleh tingginya laju bersihan di miokard. Hal ini menjadikan waktu pencitraan
yang sempit. Bila digunakan, radiofarmaka ini harus diberikan dalam dua injeksi terpisah, untuk uji
saat istirahat dan uji dengan beban/stress. Sebenarnya ada bukti yang menunjukkan bahwa laju
bersihan Tc-99m teboroxime yang dihasilkan oleh gambaran redistribusi saat stress dapat
membedakan iskemia dari infark miokard, demikian pula pada citra uji stress dan saat istirahat.8
Karena adanya keharusan akuisisi pencitraan yang sangat cepat dan segera, penggunaan
bahan ini secara luas tidak pernah terjadi, meskipun ada beberapa contoh citra dengan kualitas yang
bagus didapatkan dengan radiofarmaka ini. Produksi Tc-99m teboroxime secara komersil sudah
dihentikan lebih dari sepuluh tahun lalu.2
Tc-99m N-NOET
Tc-99m N-NOET [bis(N-ethoxy,N-ethyldithiocarbamato)nitrido technetium(V)] merupakan
senyawa lipofilik netral dengan biodistribusi yang selektif di miokard. Ambilan di miokard
proporsional dengan aliran darah koroner. Fraksi ekstraksi miokard lintas pertama (first pass) bahan
ini tinggi, sekitar 75–85%. Farmaka ini terredistribusi seperti halnya Tl-201 sehingga memungkinkan
pencitraan awal (uji stress) dan akhir (uji saat istirahat). Bersihan di paru berlangsung cepat. Kualitas
citra baik karena pengaruh latar belakang yang rendah. Namun bahan ini masih digunakan terbatas
untuk penelitian, penggunaan rutinnya di Amerika Serikat belum mendapat persetujuan dari FDA.2,8
14
Radiofarmaka Pencitraan SPECT Memori Iskemia (Ischemic MemoryImaging) dengan I-123
IPPA dan I-123 BMIPP
Jantung merupakan organ yang pada dasarnya bersifat aerob, yang secara kontinyu
membutuhkan dan menghasilkan komponen berenergi tinggi ATP (adenosin trifosfat) untuk
memenuhi kebutuhannya akan energi untuk berkontraksi dan menjaga keseimbangan ion. Produksi
ATP disesuaikan dengan beban kerja jantung. Laju pemecahan ATP seimbang dengan
sintesis/pembentukannya. Siklus ini bergantung pada konsumsi energi otot miokard, dan dapat
terganggu selama stres hemodinamik atau stres yang dipicu katekolamin. Produksi ATP sendiri
bergantung pada kadar arterial dari bahan-bahan metabolik, oksigen dan neurohormon. Dari antara
berbagai bahan metabolik yang tersedia dalam darah untuk konsumsi sel miokard, asam lemak bebas
rantai panjang dan glukosa dipakai untuk sekitar 90% produksi ATP dalam jantung. Asam lemak
bebas rantai panjang secara cepat dimetabolisme lewat oksidasi-β dalam mitokondria dan bertanggung
jawab atas 65-70% produksi ATP, sementara glikolisis atas 20-25% sisanya. Oksidasi asam lemak
memakai oksigen lebih banyak permolnya daripada glukosa. Walaupun kebutuhan ini mudah
dipenuhi saat kondisi aerob, akan menjadi masalah pada saat suplai oksigen berkurang.9
Pada kondisi anaerob, oksidasi asam lemak terhenti dan produksi energi bergantung pada
glikolisis dan mobilisasi glikogen. Serupa dengan hal ini, iskemia mengganggu metabolisme energi
miokard dengan melambatkan metabolisme aerob dan meningkatkan metabolisme anaerob, suatu
proses terbalik yang dikenal sebagai efek Pasteur. Maka, glukosa mengambil peran sentral bagi
produksi energi jantung saat iskemia.10
Karena pergeseran oksidasi asam lemak digolongkan sebagai indikator yang sensitif bagi
adanya iskemia miokard, maka beberapa analog asam lemak berlabel radioaktif telah diperkenalkan
untuk evaluasi fungsi sel miosit dalam kondisi normal dan sakit. Penggunaan analog asam lemak
seperti ini memungkinkan analisis metabolisme jantung dan identifikasi kejadian iskemik yang terjadi
sebelumnya, sehingga diistilahkan sebagai ‘memori iskemia’. Beberapa radiofarmaka dari asam
lemak yang dilabel dengan radionuklida iodine yang memancarkan foton (misalnya I-123 dengan
emisi γ berenergi 159 keV), yang berefek minimal pada struktur dan fungsi biokimiawi analog asam
15
lemak, berlainan dengan radioaktif lain seperti technetium-99m. Dua radiofarmaka yang paling
banyak dipelajari adalah I-123 iodophenilpentadecanoic acid (I-123 IPPA) dan I-123 β-methyl-p-
iodophenyl-pentadecanoic acid (I-123 BMIPP).
IPPA adalah asam lemak sintetis berantai lurus dengan ujung terminal yang disubstitusi
dengan fenil agar stabil berikatan dengan radioiodin. Setelah penyuntikan radiofarmaka, 4 hingga 5%
dosis akan terlokalisir di dalam miokard. Biodistribusi, kinetika dan katabolisme IPPA adalah melalui
oksidasi-β seperti asam lemak rantai panjang yang tak difenilasi, yang menunjukkan ambilan dan
bersihan yang cepat dari miokard. Pada umumnya, asam lemak bebas beredar dalam aliran plasma
darah dalam kondisi terikat dengan albumin, dan melintasi membran sel dengan difusi pasif. Sekali
berada di dalam sel, asam lemak dapat berdifusi balik (keluar sel) atau diaktivasi oleh enzim sintetase
asil-koenzim A. Bila aktivasi tadi terjadi, asam lemak akan terperangkap dalam sel, entah mereka
masuk dalam oksidasi-β, ataukah digabungkan dalam pool lemak intrasel. Iskemia miokard akan
menghambat oksidasi beta asam lemak sehingga akan menurunkan ambilan asam lemak namun juga
memperlambat bersihan radiofarmaka dari asam lemak pada area yang mengalami iskemia ini. Pada
daerah infark miokard akan tampak daerah dengan ambilan awal yang sangat rendah, dan tidak ada
perbedaan bermakna dalam hal metabolisme seiring waktu.10
BMIPP merupakan asam lemak yang memiliki cabang rantai metil yang akan diambil masuk
ke miosit melalui salah satu protein transporter yang disebut translokase asam lemak (FAT/free acid
translocase, dikenal pula sebagai CD36), yang bertanggung jawab atas ambilan 50-80% asam lemak
total yang diambil oleh jantung. Akibat rantainya yang bercabang, BMIPP mengalami oksidasi dan
bersihan yang lebih lambat dikarenakan akan dikorporasikan/digabung ke dalam pool lemak endogen.
Retensi yang lama dalam sel akan berguna bagi pencitraan. BMIPP biasanya diberikan pada saat
puasa dan pencitraan dikerjakan 20-30 menit pascainjeksi farmaka. BMIPP merupakan indikator yang
sangat sensitif untuk menunjukkan adanya perubahan metabolik pada miokard yang mengalami
iskemia. Area dengan penurunan ambilan menunjukkan adanya iskemia namun masih viabel, dan area
ini akan menunjukkan ketidaksesuaian ambilan (mismatch) dengan ambilan FDG pada pemeriksaan
PET.9
16
Ambilan BMIPP dari plasma memasuki sel-sel miosit juga terjadi lewat protein transporter
CD36 yang ada di membran sarkolema. Sekali BMIPP masuk ke dalam sel, ia akan entah berdifusi
balik ke plasma, terakumulasi di dalam pool lipid, atau dalam jumlah terbatas mengalami oksidasi α
dan β. Konversi enzimatik BMIPP menjadi BMIPP-CoA atau triasigliserol dalam miosit merupakan
proses yang irreversibel dan tergantung pada ATP. Konversi semacam ini akan mencegah difusi balik
BMIPP ke plasma dan membuat BMIPP cukup lama ter-retensi di dalam sel. Retensi yang lama
BMIPP dalam miokard disertai oleh bersihan yang cepat dari darah dan turunnya ambilan di hepar
dan paru menghasilkan visualisasi dan citra SPECT miokard yang baik. Ambilan BMIPP oleh miosit
mencerminkan aktivasi asam lemak oleh koenzim A dan secara tak langsung menggambarkan
produksi ATP sel dari metabolisme asam lemak. Jadi dalam kondisi adanya iskemia miokard,
berkurangnya produksi ATP yang diakibatkan berkurangnya metabolisme asam lemak dicerminkan
oleh ambilan BMIPP miokard yang menurun.
Kawai dkk. (2001) meneliti penggunaan SPECT dengan BMIPP atas 87 pasien dengan
keluhan nyeri dada yang akut dibandingkan dengan SPECT saat istirahat menggunakan Tc-99m
tetrofosmin dan angiografi koronaria. Analisis data hasil penelitian menunjukkan bahwa SPECT
BMIPP dapat secara spesifik mengidentifikasi lesi iskemia pada saat sebelumnya oleh karena stenosis
ataupun spasme koroner pada pasien dengan nyeri dada akut (BMIPP vs tetrofosmin: sensitivitas =
74% vs 38%; spesifitas= 92% vs 96%). Sebagai implikasi klinisnya, dikatakan bahwa pada pasien
dengan nyeri dada yang akut, terutama pada pasien yang hasil uji perfusi saat istirahatnya normal
namun tak bisa atau dikontraindikasikan menjalani uji stress, BMIPP sangat berguna untuk
mengidentifikasi adanya iskemia yang ditunjukkan sebagai area-area dengan utilisasi/ambilan asam
lemak yang menurun. Contoh citra dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.11
Peneliti lain, Kontos dkk. (2010), mengadakan penelitian melibatkan 507 pasien dari 50
senter. Pasien yang dilibatkan merupakan pasien yang pernah mendatangi instalasi gawat darurat
dengan keluhan nyeri dada. Pasien dicitra dengan SPECT dalam 30 jam setelah gejala berakhir setelah
menerima injeksi 5 mCi BMIPP, hasilnya diinterpretasi secara semikuantitatif oleh 3 pembaca secara
blinded. Diagnosis klinis didasarkan atas gejala, EKG awal, dan kadar troponin serum, sedangkan
diagnosis akhir didasarkan atas seluruh data yang diperoleh (meliputi pula angiografi dan
17
pemeriksaan SPECT saat stress), namun tidak termasuk data pembacaan citra BMIPP. Sensitivitas
dari pemeriksaan SPECT BMIPP yang didapatkan dari masing-masing pembaca citra adalah 71%,
74%, dan 69%, sedangkan spesifisitas sebesar 67%, 54%, dan 70%. Pada kesimpulan akhir, peneliti
tersebut menambahkan bahwa tambahan data dari SPECT BMIPP atas informasi klinis yang ada
memberikan nilai tambah bagi diagnosis awal sindroma koroner akut, dan berpotensi memungkinkan
pembedaan ada atau tidak adanya sindroma koroner akut dibuat lebih awal.12
Gambar 3 (kiri). Angiogram koroner (A) dan citraTetrofosmin dan BMIPP dari wanita 65 tahun denganangina saat aktivitas.Angiogram menunjukkan stenosisberat pada LAD, sedangkan pada citra tetrofosmin saatmulai dirawat tidak tampak adanya perfusi yangabnormal. Citra BMIPP yang diambil pada hariberikutnya menunjukkan ambilan yang sangat menurunpada area apeks dan anteroseptal.
Gambar 4 (kanan). Angiogram koroner (A) dan citraTetrofosmin dan BMIPP (B) dari wanita 48 tahun denganangina saat istirahat pada pagi hari. Angiogram diambilpada tujuh hari setelah awal nyeri dada, menunjukkan takada stenosis koroner bermakna, namun setelah injeksiergonovine maleate pada arteria koronaria kanan, timbulspasme menyeluruh/total, disertai nyeri dada hebat danperubahan gambaran EKG. Setelah ISDN diberikan,spasme menghilang sempurna. Citra serial SPECTperfusi dengan tetrofosmin saat istirahat pada saat pasienmasuk dirawat di RS menunjukkan tak adanya defekperfusi yang signifikan. Citra BMIPP pada hari keduaperawatan menunjukkan adanya penurunan ambilan padaarea inferior.
18
Radiofarmaka SPECT untuk Menilai Persarafan Simpatis Jantung dengan MIBG
Jantung adalah organ yang kaya akan saraf autonom, simpatis maupun parasimpatis, yang
terlibat dalam pengaturan frekuensi dan kontraktilitas jantung. Kedua persarafan ini bekerja dalam
keseimbangan yang kompleks guna menjaga frekuensi denyut jantung dan tekanan darah dalam
kisaran yang sempit. Disfungsi autonom jantung akan mengganggu kemampuan jantung dalam
merespons kebutuhan kerja jantung, dan sering menghasilkan gejala klinis dan keterbatasan aktivitas
pasien. Disregulasi simpatis merupakan komponen menonjol dari patofisiologi gagal jantung.2 13
Pada kondisi disfungsi kronis ventrikel kiri, hal mana terdapat dalam kondisi gagal jantung
kiri, ada penurunan ambilan norepinefrin prasinaps yang bermakna dan densitas/kerapatan
adrenoseptor-β pascasinaps. Gagal jantung sendiri merupakan kondisi hiperadrenergik yang ditandai
oleh kenaikan kadar norepinefrin plasma yang menyebabkan lepasnya reseptor adrenergik-β. Hal ini
berkontribusi pada gangguan progresif fungsi sistolik ventrikel kiri dengan adanya gangguan
transduksi sinyal pascasinaps. Gangguan tonus simpatis pada gagal jantung secara langsung berkaitan
dengan progresi penyakit, prognosis, serta risiko kematian mendadak.13
Penggunaan I-123 metaiodobenzylguanidine (MIBG) untuk pencitraan jantung pertama kali
dilaporkan oleh Wieland dkk. pada tahun 1981. MIBG merupakan analog dari guanidin dan memiliki
perangai yang mirip dengan norepinefrin, suatu neurotransmiter sistem adrenergik di jantung. MIBG
berkompetisi dengan norepinefrin untuk diambil kembali (reuptake) di vesikel prasinaps. Berlainan
dengan norepinefrin, MIBG teretensi pada akhiran saraf simpatis dan sebagian besar tak dimetabolisir
(lihat Gambar 5) sehingga dapat untuk dicitrakan. Untuk pencitraan persarafan jantung, MIBG
dilabeli dengan Iodine-123. Iodine-123 sendiri merupakan radionuklida yang meluruh dengan
mekanisme penangkapan elektron (waktu paruh 13,22 jam) menjadi unsur tellurium-123 yang stabil
(waktu paruh 1,2x1013 tahun), sambil memancarkan sinar gamma berenergi 159 kEV.13
19
Gambar 5. Farmakodinamik norepinefrin/NE(gambar atas) dan MIBG (gambar bawah).Berlainan dengan NE, MIBG tetap tinggal padaakhiran saraf simpatis jantung tanpa berikatandengan reseptor simpatis (dikutip dari IntegratingCardiology for Nuclear Medicine Physicians.Movahed A, Gnanasegaran G, Buscombe JR, HallM (eds). 2009)
Protokol yang saat ini dipakai untuk pencitraan MIBG didesain untuk memperoleh informasi
yang komprehensif mengenai kondisi aktivasi fungsional dan distribusi anatomik inervasi saraf
simpatis. Protokol pencitraan lengkap meliputi pencitraan planar dan SPECT yang diambil 15 hingga
30 menit (citra awal) dan pencitraan 3 hingga 4 jam (citra akhir) setelah injeksi intravena 111 hingga
370 MBq (3 hingga 10 mCi) I-123 MIBG. Sementara orang memandang dengan citra 4 jam setelah
penyuntikan saja kita bisa menginterpretasi dan menganalisis hasilnya karena sudah mencerminkan
ambilan neuron yang aktual (sedangkan citra awal menggambarkan ambilan interstisial), namun
beberapa penelitian dari Jepang menunjukkan bahwa bersihan radiofarmaka antara citra awal dan
akhir memberikan informasi tambahan yang berharga.13
Pasien diminta berbaring pada posisi telentang/supine sedikitnya 5 menit. Citra planar awal
diambil beberapa menit setelahnya, jadi sebaiknya penyuntikan radiofarmaka dilakukan saat pasien
sudah berbaring di bawah kamera, atau bila tidak pada waktu yang mendekati pencitraan. Citra planar
diambil dari anterior selama 10 menit menggunakan window energi 159 keV ± 20%. Pasien
diposisikan sedemikian hingga seluruh jantung dan sebanyak mungkin citra toraks terliput. Posisi
19
Gambar 5. Farmakodinamik norepinefrin/NE(gambar atas) dan MIBG (gambar bawah).Berlainan dengan NE, MIBG tetap tinggal padaakhiran saraf simpatis jantung tanpa berikatandengan reseptor simpatis (dikutip dari IntegratingCardiology for Nuclear Medicine Physicians.Movahed A, Gnanasegaran G, Buscombe JR, HallM (eds). 2009)
Protokol yang saat ini dipakai untuk pencitraan MIBG didesain untuk memperoleh informasi
yang komprehensif mengenai kondisi aktivasi fungsional dan distribusi anatomik inervasi saraf
simpatis. Protokol pencitraan lengkap meliputi pencitraan planar dan SPECT yang diambil 15 hingga
30 menit (citra awal) dan pencitraan 3 hingga 4 jam (citra akhir) setelah injeksi intravena 111 hingga
370 MBq (3 hingga 10 mCi) I-123 MIBG. Sementara orang memandang dengan citra 4 jam setelah
penyuntikan saja kita bisa menginterpretasi dan menganalisis hasilnya karena sudah mencerminkan
ambilan neuron yang aktual (sedangkan citra awal menggambarkan ambilan interstisial), namun
beberapa penelitian dari Jepang menunjukkan bahwa bersihan radiofarmaka antara citra awal dan
akhir memberikan informasi tambahan yang berharga.13
Pasien diminta berbaring pada posisi telentang/supine sedikitnya 5 menit. Citra planar awal
diambil beberapa menit setelahnya, jadi sebaiknya penyuntikan radiofarmaka dilakukan saat pasien
sudah berbaring di bawah kamera, atau bila tidak pada waktu yang mendekati pencitraan. Citra planar
diambil dari anterior selama 10 menit menggunakan window energi 159 keV ± 20%. Pasien
diposisikan sedemikian hingga seluruh jantung dan sebanyak mungkin citra toraks terliput. Posisi
19
Gambar 5. Farmakodinamik norepinefrin/NE(gambar atas) dan MIBG (gambar bawah).Berlainan dengan NE, MIBG tetap tinggal padaakhiran saraf simpatis jantung tanpa berikatandengan reseptor simpatis (dikutip dari IntegratingCardiology for Nuclear Medicine Physicians.Movahed A, Gnanasegaran G, Buscombe JR, HallM (eds). 2009)
Protokol yang saat ini dipakai untuk pencitraan MIBG didesain untuk memperoleh informasi
yang komprehensif mengenai kondisi aktivasi fungsional dan distribusi anatomik inervasi saraf
simpatis. Protokol pencitraan lengkap meliputi pencitraan planar dan SPECT yang diambil 15 hingga
30 menit (citra awal) dan pencitraan 3 hingga 4 jam (citra akhir) setelah injeksi intravena 111 hingga
370 MBq (3 hingga 10 mCi) I-123 MIBG. Sementara orang memandang dengan citra 4 jam setelah
penyuntikan saja kita bisa menginterpretasi dan menganalisis hasilnya karena sudah mencerminkan
ambilan neuron yang aktual (sedangkan citra awal menggambarkan ambilan interstisial), namun
beberapa penelitian dari Jepang menunjukkan bahwa bersihan radiofarmaka antara citra awal dan
akhir memberikan informasi tambahan yang berharga.13
Pasien diminta berbaring pada posisi telentang/supine sedikitnya 5 menit. Citra planar awal
diambil beberapa menit setelahnya, jadi sebaiknya penyuntikan radiofarmaka dilakukan saat pasien
sudah berbaring di bawah kamera, atau bila tidak pada waktu yang mendekati pencitraan. Citra planar
diambil dari anterior selama 10 menit menggunakan window energi 159 keV ± 20%. Pasien
diposisikan sedemikian hingga seluruh jantung dan sebanyak mungkin citra toraks terliput. Posisi
20
jantung sebaiknya tidak terlalu ke pinggir atau terlalu ke tengah lapang pencitraan, dan penggunaan
marker radioaktif untuk penentuan batas yang konsisten sebaiknya dipakai agar hasil citra awal dan
akhir konsisten. Citra SPECT sendiri diambil menggunakan window energi 159 keV ± 20% dengan
akuisisi sirkular 180⁰ dari 45o RAO hingga 45o LPO menggunakan total 60 perhentian/frame (30
frame per-orang apabila memakai kamera dual-headed), dengan 30 detik per-frame-nya.13
Karena pencitraan MIBG melibatkan penggunaan isotop radioaktif iodium, maka walaupun
secara umum tidak ada kesepakatan mengenai penggunaan bahan-bahan penyekat iodium pada tiroid,
seperti kalium iodida, kalium perklorat, ataupun larutan Lugol, bahan-bahan ini dapat dipakai. Dari
sejarahnya bahan-bahan ini dipakai untuk menghindarkan paparan atas tiroid dari I-124 dan I-125
bebas yang berasal dari ketidakmurnian radiofarmaka. Dengan metode modern, produksi
radiofarmaka menghasilkan jumlah iodium bebas menjadi minimal, juga pada penggunaan I-123.
Maka penggunaan bahan-bahan penyekat tadi diserahkan kepada kebijakan lokal dan institusional. Di
Amerika Serikat banyak dipakai larutan SSKI (saturated solution of kalium/potassium iodide) dalam
bentuk tetes oral yang dilarutkan dalam air minum atau jus buah, diberikan 2 kali perhari selama
empat hari (=8 dosis pemberian), dimulai sore hari pada hari sebelum pemeriksaan dikerjakan.13
Dari citra planar, ambilan dan distribusi radioaktivitas di jantung dinilai secara visual.
Ambilan MIBG kemudian dihitung secara semikuantitatif setelah daerah jantung dan mediastinum
ditandai. Nilai kisaran normal bagi nisbah jantung/mediatinum (H/M Ratio) adalah antara 1,9 dan 2,8,
dengan rerata sebesar 2,2. Pasien dikatakan dengan prognosis buruk biasanya bila nilai nisbah
jantung/mediastinumnya kurang dari 1,2. Nilai nisbah ini dapat membaik setelah keberhasilan terapi
gagal jantung, dan dengan demikian menunjukkan prognosis yang membaik pula. Contoh
perbandingan dua pasien dengan nisbah janting/mediastinum yang normal dan abnormal dapat dilihat
pada Gambar 6.13
Beberapa masalah yang dapat mempengaruhi penentuan nisbah H/M antara lain rendahnya
ambilan di miokard dan adanya radioaktivitas yang cukup tinggi dari latar yang berdekatan (seperti
dari paru ataupun hepar). Nilai nisbah H/M normal tidaklah menyingkirkan adanya kelainan jantung
yang berat, karena pasien bisa saja memiliki kelainan regional yang cukup besar namun dengan
nisbah H/M normal. Beberapa faktor di luar jantung yang mempengaruhi hasil citra MIBG antara lain
21
penyakit diabetes mellitus, penggunaan obat-obat yang mempengaruhi saraf autonom sendiri
(misalnya antidepresan, obat neuropsikiatri, antiaritmia simpatomimetik, obat antihipertensi semisal
penyekat kalsium, penghambat enzim konversi angiotensin, ataupun penghambat beta), penggunaan
alat picu jantung, dan riwayat transplantasi jantung.13
Gambar 6. Penghitungan AktivitasmIBG pada jantung
A. Penghitungan nisbah metaiodo-benzylguanidine (MIBG) jantungterhadap mediastinum (heart-to-mediastinum ratio/HMR) dan lajubersihan pada citra anterior thoraks.Regions of interest (ROI) digambar diatas jantung dan mediastinum.
B. Aktivitas normal MIBG di jantungpada pasien dengan HMR sebesar 1.80.
C. Aktivitas MIBG yang sangatmenurun di jantung pada pasien denganHMR sebesar 1.10. (dari Carrio I, CowieMR, Yamazaki J, Udelzon J, Camici PG.J.Am. Coll. Cardiol. Img. 2010;3;92-100)
Dengan membandingkan aktivitas pada citra awal dan akhir, laju bersihan MIBG dapat
dihitung, sehingga memberikan suatu parameter yang mencerminkan retensi norepinefrin oleh saraf
simpatis (Gambar ). Laju bersihan ini didefinisikan sebagai persentase kerapatan cacahan di jantung
setelah disubstraksi/dikurangi aktivitas latar di mediastinum, setelah koreksi peluruhan. Ogita dkk.
(2001), lewat penelitiannya menentukan nilai normal laju bersihan ini pada subjek kontrol sebesar
9,6% ± 8,5%. Pada penelitian tersebut, pada pasien gagal jantung dengan laju bersihan MIBG lebih
daripada 27% (>2 SD dari rerata normal) didapati mortalitasnya meningkat secara dramatis bila
dibandingkan dengan pasien dengan nilai laju bersihan MIBG yang lebih rendah.14
Penggunaan analisis citra SPECT I-123 MIBG makin terpakai. Ada simpulan yang
mengatakan bahwa tampaknya denervasi regional bisa saja hanya merupakan suatu tanda utama dari
penyakit jantung, namun juga bisa merupakan area kelistrikan yang supersensitif, yang dapat memicu
potensi aritmia jantung yang letal.15 Contoh citra MIBG dapat dilihat pada Gambar 7.
22
Gambar 7. Contoh citra MIBG pasien dengan risiko rendah dan tinggi. (A) Citra MIBG pada pasien denganrisiko rendah, dengan nilai HMR 1,70. Perhatikan aktivitas MIBG jantung pada citra planar akhir dan distribusiregional yang normal pada citra SPECT (B) Citra MIBG pada pasien dengan risiko tinggi, dengan nilai HMR1,10. Perhatikan sangat rendahnya aktivitas di jantung pada citra planar maupun SPECT (dikutip dari Carrio I,Cowie MR, Yamasaki J, Udelson J, Camici PG. Cardiac Sympathetic Imaging with mIBG in Heart Failure, J.Am. Coll. Cardiol. Img. 2010; 3; 92-100)
Radiofarmaka untuk Pemeriksaan Multiple Gated Equilibrium Blood Pool Imaging (MUGA)
Fungsi ventrikel jantung dapat dinilai dengan dua metode penggunaan radionuklida. Metode
pertama adalah yang dikenal dengan angiokardiografi radionuklida lintas pertama (first-pass
radionuclide angiography) yang menilai transit awal radionuklida yang diberikan secara bolus
intravena saat radionuklida (radiofarmaka) ini melintasi sirkulasi sentral (sekitar jantung). Metode ini
menggunakan pengamatan hanya 15-30 detik pertama saat radiofarmaka mulai disuntikkan. Metode
kedua, yang lebih luas dipakai dewasa ini, adalah equilibrium radionuclide angiocardiography
(ERNA), yang disebut pula sebagai radionuclide angiography/RVG, MUGA (multiple gated
equilibrium blood pool imaging). Karena pemeriksaan lintas pertama menggunakan kamera gamma
planar, maka tidak akan dibahas dalam tulisan ini.16
Pemeriksaan fungsi ventrikel dengan MUGA dewasa ini biasanya menggunakan
radiofarmaka dari pelabelan sel darah merah (RBC – red blood cells) pasien sendiri dengan Tc-99m.
Bentuk tereduksi technetium diperlukan untuk pelabelan ini, dan hal ini dapat dicapai dengan
pemberian ion stannous (stannous pyrophosphate). Perlu diingat bahwa dosis optimal stannous perlu
dijaga, karena bila terlampau rendah akan menjadikan terlalu banyak Tc bebas, namun bila trelalu
tinggi akan membuat Tc-99m tereduksi sebelum masuk ke dalam eritrosit, menghasilkan kualitas
pelabelan yang buruk. Ada tiga metode pelabelan RBC dengan Tc-99m:
23
Pelabelan in vivo: merupakan pelabelan yang paling sederhana dan paling lazim dipakai. Dalam
teknik ini, injeksi stannous pirofosfat dimasukkan secara intravena sebanyak 10-20 μg/kg BB
(atau kira-kira 2-3 mg). Ion stannous akan berdifusi secara pasif melalui membran RBC. Setelah
15-30 menit, 15-25 mCi Tc-99m pertechnetat disuntikkan secara intravena. Segera setelah masuk
ke RBC, Tc-99m tereduksi akan terikat pada rantai beta hemoglobin. Efisiensi pelabelan dari
teknik ini berkisar 85-95%.
Pelabelan in vivo yang dimodifikasi: merupakan kombinasi antara pelabelan in vivo dan in vitro.
Caranya, stannous pirofosfat disuntikkan dahulu secara intravena. Lalu 30 menit kemudian 5 mL
darah diambil dengan siring/semprit berpelindung Pb, yang sebelumnya sudah diisi dengan 15-25
mCiTc-99m pertechnetat dan 1 mL larutan dekstrosa-asam sitrat sebagai antikoagulan. Darah ini
disuntikkan kembali ke dalam pembuluh vena pasien setelah diinkubasi selama 10 menit.
Efisiensi pelabelan teknik ini berkisar 92-95%.
Pelabelan secara in vitro: merupakan pelabelan yang paling kompleks dari antara ketiga teknik.
Caranya, 10-20 mL darah pasien diambil menggunakan syringe. Stannous sitrat ditambahkan
untuk memberikan ion stannous dan antikoagulan. Setelah digoyang-goyang perlahan selama 5
menit, darah tersebut disentrifugasi. Cairan plasma (supernatan) dibuang, sedangkan RBC
dicampur dengan 15-25 mCi Tc-99m pertechnetat. Sebelum diinjeksikan kembali ke tubuh
pasien, pencampuran yang baik dikerjakan dengan kembali digoyang-goyang perlahan. Untuk
pelaksanaan, tentu saja teknik ini mengharuskan sterilitas alat dan cara. Efisiensi pelabelan
teknik ini lebih dari 95%.16
Pencitraan jantung MUGA awalnya dilakukan dengan menggunakan kamera gamma planar,
dan sejak tahun 1980-an dikembangkan pemeriksaan tomografik MUGA menggunakan kamera
SPECT. Pemeriksaan tomografik ini memiliki keunggulan daripada yang planar dalam
kemampuannya mengevaluasi gerakan dinding regional jantung tanpa adanya keterbatasan akibat
gambaran ruang-ruang jantung yang saling tumpang-tindih.16
Akuisisi pencitraan idealnya menggunakan kamera gamma dengan medan pandang yang
sempit (SFOV – small field of view), yang akan menghasilkan citra beresolusi tinggi. Kamera gamma
24
dengan SFOV ini dapat diposisikan sangat dekat dengan dinding dada pasien. Kamera dengan large
field of view selain akan menghasilkan resolusi yang lebih rendah, juga memerlukan zoom.16
Sudut arah kamera dibuat agar sedapat mungkin kedua ventrikel tampak terpisah sempurna.
Posisi ini disebut best septal view dan diperoleh biasanya dengan detektor ditempatkan pada sudut 30-
60° oblik anterior kiri bagi kebanyakan pasien. Namun perlu diingat bahwa posisi jantung bervariasi
pada setiap orang sehingga untuk mendapatkan citra terbaik kadangkala perlu diambil data dari citra
beberapa proyeksi (multiple views) dengan beberapa posisi detektor, yaitu oblik anterior kanan,
anterior, oblik anterior kiri, serta lateral kiri.16
Parameter utama yang didapat dan diharapkan dari pemeriksaan MUGA adalah fraksi ejeksi
ventrikel kiri. Fraksi ejeksi (FE) ini dapat diperkirakan dengan menggambar daerah batas-batas kolom
ventrikel kiri jantung pada saat akhir sistolik dan akhir diastolik. Dengan menggunakan perangkat
lunak, komputer akan menghitung perbedaan cacahan dari tiap fase siklus jantung, lalu menghitung
fraksi ejeksi ventrikel kiri dengan rumus umum seperti berikut:16
(Cacahan saat akhir diastolik – cacahan saat akhir sistolik)FE ventrikel kiri = --------------------------------------------------------------------------------
Cacahan saat akhir diastolik
Aplikasi klinis pemeriksaan MUGA antara lain untuk membantu dan mendukung diagnosis
serta menentukan prognosis pasien dengan CAD, menentukan adanya gagal jantung kongestif sebagai
kausa kardiak dari sesak nafas, membantu menentukan adanya kardiomiopati hipertrofik ataupun
restriktif, serta memonitor kardiotoksisitas obat tertentu, seperti doxorubicin (Adriamycin).16
Radiofarmaka SPECT untuk Deteksi Apoptosis dengan Tc-99m Annexin-V
Apoptosis (istilah dari bahasa Yunani, yang harafiah merujuk pada peristiwa gugurnya
kelopak bunga atau daun dari pohonnya) merupakan proses penghancuran diri sel yang sangat tertata,
yang memainkan peran dalam menjaga homeostasis jaringan pada suatu organisme. Banyak penelitian
dewasa ini yang telah mengungkap bahwa apoptosis merupakan program bunuh diri yang utama pada
sebagian besar atau bahkan semua sel, dan bisa dipicu oleh berbagai sinyal baik ekstrinsik ataupun
intrinsik.
25
Apoptosis diketahui terkait pada hilangnya kardiomiosit baik secara akut maupun kronik
dalam infark miokard, penyakit jantung iskemik, cedera miokard saat reperfusi, berbagai bentuk
kardiomiopati, serta gagal jantung akut maupun kronik. Penelitian pada hewan maupun manusia
menunjukkan bahwa apoptosis terdeteksi pada area perbatasan otot miokard yang mengalami infark,
hal ini mengkonfirmasi peran penting apoptosis pada hilangnya kardiomiosit secara akut pada saat
infark miokard.
Dalam kondisi gagal jantung, apoptosis berkontribusi pada penurunan fungsi ventrikel.
Hilang atau matinya kardiomiosit dalam miokard akan mengakibatkan beban berlebih pada otot
jantung, dan berakibat remodelling struktur jantung (digantikan oleh jaringan parut) dan penurunan
fungsi jantung. Apoptosis sel otot jantung ini telah ditengarai sebagai satu proses inti dari progresi
kegagalan jantung. Karena apoptosis terdiri atas kaskade dari kejadian-kejadian yang terprogram, ia
dapat pada suatu tahap reversibel, dan intervensi yang tepat waktu seharusnya dapat menunda
berkembangnya kardiomiopati.
Aktivasi caspase 3, suatu penanda apoptosis, akan mengubah jenis fosfolipid di dalam kedua
lapisan lipid sarkolema (membran sel), mengakibatkan eksternalisasi fosfatidilserin (PS: phosphatidyl
serine) ke permukaan luar membran sel (lihat gambar ). Eksternalisasi PS ini berhasil dideteksi secara
noninvasif dengan pencitraan radionuklida menggunakan annexin-A5 berlabel Tc-99m.
Gambar 7. Apoptosis mengakibatkan eksternalisasi fosfatidilserin (PS) yang nantinyadideteksi dengan protein yang berafinitas tinggi terhadapnya, mis. Annexin-V
Annexin-V merupakan protein manusia dengan berat molekul 36 kd, yang memiliki afinitas
tinggi terhadap membran sel yang mengikat PS. Secara in vitro telah dikembangkan metoda deteksi
25
Apoptosis diketahui terkait pada hilangnya kardiomiosit baik secara akut maupun kronik
dalam infark miokard, penyakit jantung iskemik, cedera miokard saat reperfusi, berbagai bentuk
kardiomiopati, serta gagal jantung akut maupun kronik. Penelitian pada hewan maupun manusia
menunjukkan bahwa apoptosis terdeteksi pada area perbatasan otot miokard yang mengalami infark,
hal ini mengkonfirmasi peran penting apoptosis pada hilangnya kardiomiosit secara akut pada saat
infark miokard.
Dalam kondisi gagal jantung, apoptosis berkontribusi pada penurunan fungsi ventrikel.
Hilang atau matinya kardiomiosit dalam miokard akan mengakibatkan beban berlebih pada otot
jantung, dan berakibat remodelling struktur jantung (digantikan oleh jaringan parut) dan penurunan
fungsi jantung. Apoptosis sel otot jantung ini telah ditengarai sebagai satu proses inti dari progresi
kegagalan jantung. Karena apoptosis terdiri atas kaskade dari kejadian-kejadian yang terprogram, ia
dapat pada suatu tahap reversibel, dan intervensi yang tepat waktu seharusnya dapat menunda
berkembangnya kardiomiopati.
Aktivasi caspase 3, suatu penanda apoptosis, akan mengubah jenis fosfolipid di dalam kedua
lapisan lipid sarkolema (membran sel), mengakibatkan eksternalisasi fosfatidilserin (PS: phosphatidyl
serine) ke permukaan luar membran sel (lihat gambar ). Eksternalisasi PS ini berhasil dideteksi secara
noninvasif dengan pencitraan radionuklida menggunakan annexin-A5 berlabel Tc-99m.
Gambar 7. Apoptosis mengakibatkan eksternalisasi fosfatidilserin (PS) yang nantinyadideteksi dengan protein yang berafinitas tinggi terhadapnya, mis. Annexin-V
Annexin-V merupakan protein manusia dengan berat molekul 36 kd, yang memiliki afinitas
tinggi terhadap membran sel yang mengikat PS. Secara in vitro telah dikembangkan metoda deteksi
25
Apoptosis diketahui terkait pada hilangnya kardiomiosit baik secara akut maupun kronik
dalam infark miokard, penyakit jantung iskemik, cedera miokard saat reperfusi, berbagai bentuk
kardiomiopati, serta gagal jantung akut maupun kronik. Penelitian pada hewan maupun manusia
menunjukkan bahwa apoptosis terdeteksi pada area perbatasan otot miokard yang mengalami infark,
hal ini mengkonfirmasi peran penting apoptosis pada hilangnya kardiomiosit secara akut pada saat
infark miokard.
Dalam kondisi gagal jantung, apoptosis berkontribusi pada penurunan fungsi ventrikel.
Hilang atau matinya kardiomiosit dalam miokard akan mengakibatkan beban berlebih pada otot
jantung, dan berakibat remodelling struktur jantung (digantikan oleh jaringan parut) dan penurunan
fungsi jantung. Apoptosis sel otot jantung ini telah ditengarai sebagai satu proses inti dari progresi
kegagalan jantung. Karena apoptosis terdiri atas kaskade dari kejadian-kejadian yang terprogram, ia
dapat pada suatu tahap reversibel, dan intervensi yang tepat waktu seharusnya dapat menunda
berkembangnya kardiomiopati.
Aktivasi caspase 3, suatu penanda apoptosis, akan mengubah jenis fosfolipid di dalam kedua
lapisan lipid sarkolema (membran sel), mengakibatkan eksternalisasi fosfatidilserin (PS: phosphatidyl
serine) ke permukaan luar membran sel (lihat gambar ). Eksternalisasi PS ini berhasil dideteksi secara
noninvasif dengan pencitraan radionuklida menggunakan annexin-A5 berlabel Tc-99m.
Gambar 7. Apoptosis mengakibatkan eksternalisasi fosfatidilserin (PS) yang nantinyadideteksi dengan protein yang berafinitas tinggi terhadapnya, mis. Annexin-V
Annexin-V merupakan protein manusia dengan berat molekul 36 kd, yang memiliki afinitas
tinggi terhadap membran sel yang mengikat PS. Secara in vitro telah dikembangkan metoda deteksi
26
apoptosis menggunakan annexin-V untuk sel-sel hematopoietik, neuron, fibroblas, endotel, otot polos,
karsinoma, limfoma, dan lain-lain.
Leo Hofstra, dkk. (2000)17 meneliti pencitraan apoptosis dengan SPECT menggunakan
radiofarmaka Tc-99m Annexin-V. Tujuh pasien dengan kejadian pertama kali infark miokard akut
(diagnosis didasarkan dari gambaran khas infark pada EKG dan dikonfirmasi dengan kenaikan enzim
jantung) yang dalam kurun 6 jam pertama serangan mulai menjalani reperfusi (enam pasien dengan
PTCA primer, satu pasien lain dengan PTCA setelah kegagalan trombolisis). Satu orang sehat
dilibatkan sebagai subjek kontrol. Tc-99m Annexin-V dengan dosis sebesar 584 MBq diberikan
secara intravena 2 jam setelah tindakan reperfusi selesai, lalu citra diambil sekitar 3 jam (citra awal)
dan sekitar 20 jam (citra akhir) pasca-injeksi. Citra akhir ini diambil untuk menentukan intensitas dan
lokasi ambilan di jantung. Pada saat kontrol rutin setelah kepulangan pasien dari rumah sakit, enam
pasien menjalani pencitraan perfusi miokard dengan Tc-99m tetrofosmin atau sestamibi, dan pada
saat yang berlainan dicitra lagi dengan Tc-99m Annexin-V seperti sebelumnya. Subjek kontrol juga
menjalani seluruh serial pencitraan. Hasilnya, pada seluruh pasien, citra perfusi miokard pasca-
kepulangan pasien menunjukkan adanya defek yang sesuai dengan area ambilan Annexin-V yang
meningkat, sementara pada subjek kontrol tak tampak ambilan annexin pada area jantung dan citra
perfusi miokard tampak normal (contoh citra dua orang pasien ditampilkan pada Gambar 8 dan 9).
Gambar 8 (atas) dan 9 (bawah). CitraSPECT Tc-99m Annexin-V beberapa jamsetelah reperfusi (gambar-gambar A)menunjukkan ambilan yang sesuai denganarea defek perfusi 6-8 minggu pasca-pulang rawat (gambar-gambar B)Dikutip dari: Leo Hofstra, et al.Visualisation of cell death in vivo inpatients with acute myocardial infarction.Lancet2000;356:209–212
27
BAB III
PENUTUP
Dewasa ini telah dikembangkan berbagai radiofarmaka untuk membantu memahami fisiologi
fungsi tubuh maupun patofisiologi berbagai penyakit. Pada bab sebelumnya telah diuraikan jenis-jenis
radiofarmaka yang digunakan dalam pencitraan SPECT untuk menunjang pemahaman molekular
maupun klinis penyakit jantung. Dengan memahami sifat-sifat radiofarmaka, baik sifat fisik maupun
perangai biologisnya, diharapkan penggunaannya dalam pencitraan kedokteran nuklir, khususnya
dalam pencitraan SPECT, akan menuntun para klinisi agar dapat mendiagnosis dan menerapi pasien
dengan kelainan jantung secara lebih baik.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Vallabhajosula S. Molecular Imaging in Cardiology. in Molecular Imaging -Radiopharmaceuticals for PET and SPECT. Springer 2009, Berlin Heidelberg. P.299-323
2. Machac J. Basis of Cardiac Imaging 2: Myocardial Perfusion, Metabolism, Infarction,and Receptor Imaging in Coronary Artery Disease and Congestive Heart Failure.in ThePathophysiologic Basis of Nuclear Medicine. Elgazzar A (ed.). 2006, Second Edition.P.352-366
3. Mahmood S. Pathophysiology of Coronary Artery Disease. in Integrating Cardiology forNuclear Medicine Physicians. Movahed A, Gnanasegaran G, Buscombe JR, Hall M(eds). 2009, Springer-Verlag Berlin Heidelberg. P.23-30
4. Athar H, Heller GV. Chapter 3 - Basic Principles of Flow Tracers. in Nuclear Cardiology– Technical Applications. Heller GV, Mann A, Hendel RC (eds.). 2009, The MacGraw-Hills Companies, P.49-57
5. Pagnanelli RA, Basso DA. Myocardial Perfusion Imaging withThalium-201. J Nucl MedTechnol 2010; 38:1–3
6. GA Beller, and SR Bergmann. Myocardial Perfusion Imaging Agents: SPECT and PET.J Nucl Cardiol 2004;11:71-86
7. Baggish AL, Boucher CA. Radiopharmaceutical Agents for Myocardial PerfusionImaging. Circulation.2008;118:1668-1674
8. Hussain SS. Myocardial Perfusion Imaging Protocols: Is There an Ideal Protocol? J NuclMed Technol 2007; 35:3–9
9. Aras O, Dilsizian V. Targeting Memory Ischemic. Current Opinion inBiotechnology2007,18:46–51
10. Gnanasegaran G, Ahmed A, Croasdale J, and Buscombe JR. Chapter 19 – Planar andSPECT Radiopharmmaceuticals in Nuclear Cardiology: Current Status and Limitations.in Integrated Cardiology for Nuclear Medicine Physicians. Movahed A, GnanasegaranG, Buscombe JR, Hall M (eds). 2009, Springer-Verlag Berlin Heidelberg. P.221-9
11. Kawai Y, Tsukamoto E, Nozaki Y, Morita K, Sakurai M, Tamaki N. Significance ofReduced Uptake of Iodinated Fatty Acid Analogue for the Evaluation of Patients WithAcute Chest Pain. J Am Coll Cardiol 2002;38:1888–94
12. Kontos M, et al. Iodofiltic Acid I-123 (BMIPP) Fatty Acid Imaging Improves InitialDiagnosis in Emergency Department Patients With SuspectedAcute CoronarySyndromes – A Multicenter Trial. J Am Coll Cardiol 2010;56:290–9
13. Travin MI. Chapter 6 - Cardiac Neuronal Imaging withI-123-mIBG. in Nuclear CardiologyTechnical Application. Heller GV, Mann A, Hendel RC (eds.). 2009, The MacGraw-Hills Companies, P.85-93
14. Ogita H, Shimonagata T, Fukunami M, et al. Prognostic Significance of Cardiac I-123-metaiodobenzylguanidine Imaging for Mortality and Morbidity in Patients with ChronicHeart Failure: A Prospective Study. Heart2001;86:656–660
29
15. Luisi AJ, Suzuki G, deKemp R, et al. Regional 11C-hydroxyephedrine Retention inHibernating Myocardium: Chronic inhomogeneity of sympathetic innervation in theabsence of infarction. J Nucl Med. 2005;46:1368–1374
16. Kumar R. Chapter 29 – Multiple Gated Equilibrium Blood Pool Imaging (MUGA). inIntegrating Cardiology for Nuclear Medicine Physicians. Movahed A, Gnanasegaran G,Buscombe JR, Hall M (eds). 2009, Springer-Verlag Berlin Heidelberg. P.343-353
17. Leo Hofstra, et al. Visualisation of cell death in vivo in patients with acute myocardialinfarction. Lancet2000;356:209–212