22
Artikel Review Pengertian Baru dalam Mekanisme dan Manajemen Penyakit Alergik: Dermatitis Atopik Oleh N. Novak, Departemen Dermatologi dan Alergi, Universitas Bonn, Bonn, Jerman Meningkatnya pengetahuan dalam latar belakang yang kompleks dari dermatitis atopik (DA) di tingkat genetik, imunologi dan kesehatan lingkungan bersama dengan meningkatnya pilihan diagnostik yang ada telah memicu diskusi yang terus-menerus mengenai faktor, yang secara primernya mempromote penyakit ini pada satu sisi dan mekanisme yang timbul secara sekunder sebagai suatu akibat dari modifikasi spesifik penyakit ini, pada sisi lainnya. Selain pencarian tanpa henti terhadap alat diagnostik yang terpercaya dan bermakna dalam penentuan penyakit, pendekatan terapeutik yang baru diperlukan karena kebanyakan pengobatan DA terbatas pada terapi simptomatik. Sedangkan pendekatan terapeutik yang secara selektif mengatur mekanisme patofisiologi yang menyimpang di dalam DA itu sendiri adalah lebih efektif dan menjanjikan. Kelainan atopik seperti rhinokonjungtivitis alergik, asma alergik, dermatitis atopik (DA) dan alergik makanan atau serangga kini sedang mengalami

Referat Kulit

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat Kulit

Citation preview

Page 1: Referat Kulit

Artikel Review

Pengertian Baru dalam Mekanisme dan Manajemen Penyakit Alergik:

Dermatitis Atopik

Oleh N. Novak, Departemen Dermatologi dan Alergi, Universitas Bonn, Bonn, Jerman

Meningkatnya pengetahuan dalam latar belakang yang kompleks dari

dermatitis atopik (DA) di tingkat genetik, imunologi dan kesehatan lingkungan

bersama dengan meningkatnya pilihan diagnostik yang ada telah memicu diskusi

yang terus-menerus mengenai faktor, yang secara primernya mempromote

penyakit ini pada satu sisi dan mekanisme yang timbul secara sekunder sebagai

suatu akibat dari modifikasi spesifik penyakit ini, pada sisi lainnya. Selain

pencarian tanpa henti terhadap alat diagnostik yang terpercaya dan bermakna

dalam penentuan penyakit, pendekatan terapeutik yang baru diperlukan karena

kebanyakan pengobatan DA terbatas pada terapi simptomatik. Sedangkan

pendekatan terapeutik yang secara selektif mengatur mekanisme patofisiologi

yang menyimpang di dalam DA itu sendiri adalah lebih efektif dan menjanjikan.

Kelainan atopik seperti rhinokonjungtivitis alergik, asma alergik, dermatitis

atopik (DA) dan alergik makanan atau serangga kini sedang mengalami

peningkatan. Hasilnya, kurang lebih sepertiga populasi menderita satu atau lebih

dari penyakit tersebut, yang mana memberi impak secara signifikan terhadap

kedua beban biaya perawatan kesehatan dan kualitas kehidupan pasien yang

terkena penyakit ini. Tren terbaru “bakal alergik” diinterpretasikan sebagai suatu

“efek samping” dari gaya hidup modern dengan faktor epidemiologik dan

lingkungan yang mempengaruhi manifestasi dari kelainan atopik. Dermatitis

atopik menggambarkan kelainan ekzema pada kulit, yang mengenai sampai 20%

anak-anak dan 1-3% dewasa. Dermatitis atopik dicirikan dengan lesi ekzematous

kronis, biasanya melibatkan lipatan fleksura yang mengalami kemerahan yang

meluas akibat dermatitis atopik (DA) yang berat dan berulang. Meningkatnya

pengetahuan dalam latar belakang yang kompleks di tingkat genetik, imunologi

dan kesehatan lingkungan bersama dengan meningkatnya pilihan diagnostik yang

Page 2: Referat Kulit

ada telah memicu diskusi yang terus-menerus mengenai nomenklatur yang sesuai

untuk DA, yang secara idealnya dapat mencakupi keseluruhan aspek yang

berbagai dari sifat kompleks dari DA. Selain itu, persoalan penting mengenai

faktor primer mana yang bertanggungjawab dalam perkembangan penyakit ini

dibandingkan dengan faktor yang timbul sekunder sebagai suatu akibat dari

modifikasi masih belum terjawab. Dari segi diagnostik, semakin jelas bahwa

imunoglobulin E (IgE) total dan IgE spesifik alergen didapati sangat meningkat di

dalam serum dari kebanyakan pasien DA. Namun begitu, terdapat satu

subkelompok dari pasien anak-anak dan dewasa dengan DA yang mana

mekanisme yang diperantarai IgE hanya berperan kecil. Dari sisi yang lain,

walaupun beberapa tipe dari IgE spesifik alergen dapat ditemukan, IgE tersebut

tidak selalunya berkaitan dengan sensitisasi yang relevan secara klinis, sehingga

peningkatan IgE total atau IgE spesifik alergen saja atau malahan hasil tes tusuk

yang positif tidak merupakan alat diagnostik yang berguna atau marker yang

terpercaya untuk menentukan berat tidaknya penyakit tersebut. Atopy patch test

(ATP), yang dilakukan dengan aplikasi alergen udara atau alergen makanan di

dalam patch test chamber yang ditempel pada kulit pasien DA akan menyebabkan

reaksi kulit ekzematous pada kulit yang terpapar setelah 24-72 jam, telah

diperkenalkan beberapa tahun yang lalu. ATP secara primernya berguna pada

pasien dengan suspek sensitisasi terhadap alergen udara atau alergen makanan,

terutamanya pada kasus di mana IgE spesifik alergen telah hilang atau tes

diagnostik yang lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Namun begitu,

sensitivitas dan spesifisitas dari APT dapat berubah-ubah dan tergantung pada tipe

alergen yang diuji dan berbagai faktor lain yang sangat sukar untuk

distandardisasikan, sehingga penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

mengoptimisasikan APT sebagai alat diagnostik standar di dalam praktek klinis.

Selain pencarian terhadap alat diagnostik yang terpercaya dan bermakna untuk

faktor-faktor pencetus pada pasien DA secara individu, pendekatan terapeutik

yang baru juga diperlukan karena kebanyakan pengobatan DA terbatas pada terapi

simptomatik saja seperti terapi anti-inflamasi atau anti-pruritus. Jelas bahwa

Page 3: Referat Kulit

pendekatan terapeutik yang secara selektif mengatur mekanisme patofisiologi

yang menyimpang di dalam DA adalah lebih efektif dan menjanjikan.

Dermatitis Atopi merupakan penyakit genetik yang kompleks

Kebanyakan pasien dengan DA memilliki riwayat keluarga positif

terhadap penyakit atopi. DA tidak merupakan penyakit monogen. Beberapa faktor

genetik berperan dalam patofisiologinya yang kompleks. Pendekatan yang

berbeda telah dilakukan dengan tujuan menemukan kandidat gen AD, yang

memberikan hasil yang cukup beragam, berangkat dari asumsi bahwa AD

mungkin dapat terjadi tidak hanya karena perubahan gen, tetapi juga subtipe AD,

misalnya pada onset awal, AD pada masa anak-anak dibandingkan dengan AD

dewasa atau AD dengan reaksi alergi yang dimediasi IgE mungkin didasari oleh

kumpulan gen yang jelas. Situasi kompleks ini membutuhkan usaha untuk

menentukan karakteristik gen pada AD atau utnuk memprediksi derajat

keparahan dan penanganan AD berdasarkan kelainan genetik.

Gambar 1. Defisiensi fungsi pertahanan kulit pada sistem imunitas alami dan adaptif berperan

dalam patofisiologi dermatitis atopi (DA). Level pertama pertahanan kulit adalah pertahanan

mekanis yang diwakili oleh stratum korneum dan bagian atas kulit. Level kedua pertahanan kulit

diwakili oleh struktur imunitas alami seperti pola pengenalan ekspresi reseptor oleh sel kulit atau

peptida antimikroba. Level ketiga pertahanan kulit adalah pertahanan seluler yang merupakan

komponen dari imunitas adaptif. DC, sel dendritik; M, sel Mast; MC, makrofag, T, sel T

Page 4: Referat Kulit

Untuk mempermudah kompleksitas ini, dapat dibagi predileksi gen

berdasarkan perbedaan bagian patofisiologi AD. Bagian ini termasuk faktor yang

meyebabkan peningkatan defisiensi pertahanan kulit pada imunitas non spesifik

dan spesifik (gambar 1). Pertahanan kulit yang menurun pada pasien AD

dicerminkan dari kulit kering yang diinduksi oleh peningkatan kehilangan air

transepidermal dan mengurangi faktor pelembab alami. Protein penting yang

diperlukan untuk menjaga formasi stratum pertahanan korneum adalah filaggrin.

Dalam 2 tahun terakhir, hilangnya fungsi pada gen filaggrin menunjukkan

hubungan yang kuat dengan AD, hal ini telah dikonfirmasi oleh beberapa studi

independen. Gambaran klinis spesifik AD telah dideskripsikan berhubungan erat

dengan mutasi gen tersebut, termasuk AD dengan onset awal dan sensitisasi

dalam jumlah besar.

Lebih lanjut, interaksi spesifik predisposisi gen dan faktor lingkungan

seperti paparan terhadap hewan pada awal-awal kehidupan tampaknya

meningkatkan risiko manifestasi dermatitis selama tahun pertama kehidupan.

Telah dilaporkan mutasi gen yang menyebabkan gangguan pertahanan kulit, yaitu

gen SPINK5 yang mengkode lymphoepithelial kazal-type related inhibitor sebuah

penghambat serine proteases. Lebih lanjut, studi juga melaporkan hubungan

modifikasi genetik pada regio gen yang mengkode enzim chymotryptic pada AD,

yang membuat penurunan fungsi dan integritas stratum korneum. Modifikasi

komponen lain pada komleks diferensiasi epidermis berperan terhadap gangguan

pertahanan kulit pada AD. Selain kemungkinan faktor genetik ini, aspek lain

seperti aktivitas serine protease yang lebih tinggi menginduksi perubahan pH dari

5.0 menjadi 5.5 sebagaimana peningkatan kehilangan air transepidermal dan

penurunan hidrasi kulit menurunkan pertahanan kulit pada AD.

Struktur yang memediasi reaksi alergi pada antigen presenting cells

Fase sensitisasi mendahului reaksi alergi. Secara khusus, sel B mulai

memproduksi IgE spesifik terhadap alergen dan molekul IgG setelah kontak

dengan alergen yang berbeda selama fase ini. Pada kasus dimana IgE berikatan

Page 5: Referat Kulit

dengan reseptor IgE di sel efekor pada reaksi alergi, seperti sel mast atau basofil,

reaksi alergi tipe segera diinduksi.

Tingginya afinitas reseptor Fc terhadap IgE, FceRI merupakan struktur

inisial memulai kaskad transduksi sinyal alergi. Pada sistem imun manusia,

bentuk tetrametrik FceRI diekspresikan oleh sel efektor alergi termasuk sel mast

dan basofil dan terdiri dari rantai-α, rantai-β, dan rantai-γ.

Gambar 2. Struktur tetrametrik dari FceRI pada sel mast dan basofil sebagai kebalikan dari

struktur trimetrik FceRI pada antigen presenting cell. DC= Sel Dendritik

Varian trimetrik FceRI dapat dideteksi pada Antigen presenting cells

(APC) dan terdiri dari rantai-α dan rantai-γ dimer pada kondisi tidak adanya

rantai-β (gambar 2B). FceRI dapat dibagi menjadi dua, yaitu IgE binding part

yang diperankan oleh subunit FceRIα dan sebagai transduksi sinyal yang

diperankan oleh subunit γ. Diasumsikan bahwa alergen yang memasuki kulit

diikat oleh molekul IgE menuju FceRI yang mengekspresikan sel dendritik.

Page 6: Referat Kulit

Faktor struktural mempengaruhi ekspresi varian kompleks FceRI dan

menimbulkan ketertarikan terhadap hal ini dalam beberapa tahun terakhir.

Gambar 3. Regulasi ekspresi FceRI pada antigen presenting cells (APC) manusia. Bentuk imatur

dari FceRIa (i) dapat dideteksi pada ruang intraseluler pada sel APC non atopi, sedangkan pada

APC atopi jumlah varian FceRIa imatur dan matur sama banyak. Varian FceRIα matur berikatan

dengan rantai dimer FceRIγ melakukan transportasi untuk melengkapi kompleks trimetrik FceRI

kepada permukaan sel APC pada individu dengan atopi

Konsentrasi Transforming growth factor (TGF)-β berhubungan dengan

ada atau tidak adanya IgE dan tingkat oksidasi dari kondisi lingkungan mikro

menentukan dan mengatur ekspresi FceRI permukaan pada APC baik in vivo

maupun in vitro. Ekspresi FceRI diatur secara nyata pada sel dendrtitik pasien

atopi dan non-atopi. Bentuk matur dari rantai FceRI-α dan adanya jumlah yang

cukup dari rantai FceRI-γ menentukan ekspresi FceRI pada permukaan sel

(gambar 3). Pada epidermis kulit, ekspresi FceRI pada sel dendritik berhubungan

dengan tingkat atopi individu dengan ekspresi yang lebih tinggi pada dermatitis

atopi dibandingkan dengan non dermatitis atopi. Hubungan ekspresi FceRI pada

kulit dengan level IgE serum dan peningkatn ekspresi setelah paparan terhadap

antigen pada atopy patch tests (APT) telah dilaporkan.

Page 7: Referat Kulit

Reseptor IgE bearing subtipe sel dendritik

Beberapa FceRI bearing sub-tipe telah diidentifikasi di kulit manusia

dengan dermatitis atopi. Mengenai myeloid dendritik sel, CD207+/ CD1a+,

misalnya sel Langerhans (LC) sebagai CD207-/CD1a+/FceRI+ sel dendritik yang

terdapat pada dermis, CD1c+/ FceRI+ sel dendritik mewakili sebagian besar

subpopulasi sel dendritik pada compartemen dermis.

Melihat lebih dekat pada subtipe sel dendritik yang mengekspresikan

FceRI pada kulit dan darah pada pasien dermatitis atopi mengungkapkan reseptor

IgE bearing epidermal LC, yang tidak memiliki Birbeck granula, sehingga disebut

inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC) yang menginvasi kulit pada fase

akut dan menetap selama fase kronik dermatitis atopi.

Gambar 4. Sel Langerhans (LC) menonjol pada epidermis yang sehat dan nonlesional (A),

sedangkan sel epidermal dendritik inflamatorik (IDEC) dengan cepat ditarik pada kulit saat fase

eksaserbasi dermatitis atopik (DA) (B). KC, keratinosit, MCP, protein kemoatraktan makrofag;

MDC, kemokin yag diturunkan dari makrofag, kemokin yang diaktivasi dan diatur oleh timus;

PARC, kemokin yang diaktivasi dan diatur oleh paru-paru; LCF, faktor kemoatraktan limfosit.

selama fase kronis DA. Kemungkinan besar, reseptor IgE menopang monosit

dalam darah tepi dan sel dendritik (DC) dermal yang mewakili prekursor IDEC

(Gambar 4A, B). Hipotesis ini didukung oleh pengamatan bahwa sejumlah FcεRI

menopang monosit subtipe tertentu yang menurun selama perkembangan DA

sebagai tanda untuk meningkatkan penarikan sel-sel ini pada kulit, sementara itu

menurun lagi setelah terapi berhasil dan adanya kemajuan secara klinis pada lesi.

Page 8: Referat Kulit

Begitu juga sebaliknya, biopsi sekuensial yang diambil sebelum dan sesudah

pemaparan alergen pada kulit pasien DA yang sudah disensitisasi saat APT

mengungkapkan adanya peningkatan sinyal kemotaktik di kulit serta invasi IDEC

dan subtipe sel proinflamatorik lainnya dalam waktu 24-48 jam setelah pemaparan

alergen dan hilangnya IDEC dari epidermis setelah pengobatan topikal dengan

takrolimus. Studi dengan LC-seperti DC yang dihasilkan secara in vitro dan

IDEC-seperti DC dalam kombinasi dengan LC dan IDEC yang terisolasi secara ex

vivo dinilai membedakan tugas LC dan IDEC. Sebuah peran penting LC dapat

dialokasikan ke fase awal. Sel Langerhans kemungkinan besar mengambil alergen

melalui FcεRI, bermigrasi ke kelenjar getah bening dan memperlengkapi secara

predominan sel T pada jenis Th2 secara in vitro. Selain itu, ikatan silang FcεRI

pada LC in vitro menyebabkan pelepasan sinyal kemotaktik yang mungkin,

bersama-sama dengan mediator kemotaktik dilepaskan oleh sel-sel kulit lainnya

berkontribusi pada penarikan subtipe sel inflamatorik, termasuk IDEC pada kulit.

Sel epidermis dendritik inflamatorik telah ditemukan sebagai penguat yang

penting pada reaksi inflamasi alergi pada kulit, yang dicerminkan dengan

pelepasan berbagai macam sitokin proinflamatorik dan kemokin dalam

menanggapi komponen mikrobial dan alergen secara in vitro. Selain itu, IDEC

memiliki kapasitas tinggi terhadap stimulasi sel T dan mungkin terlibat dalam

pengalihan penonjolan Th2 pada DA inisial menjadi DA kronis. Sebagai

tambahan pada epidermal DC, FcεRI megekspresikan DC tanpa Butiran Birbeck

yang berada di dermis.

Sel dendritik plasmasitoid (PDC), yang terkarakterisasi dengan ekspresi

antigen 2 DC turunan darah juga dilengkapi dengan FcεRI dan tingkat ekspresi

struktur ini berkorelasi dengan tingkat serum IgE. Fungsi FcεRI pada PDC masih

belum jelas, tetapi regulasi balik antara FcεRI dan TLR9 telah diamati,

menyiratkan suatu interaksi alergen dengan kemampuan mereka untuk

mengembangkan suatu respon yang efektif terhadap antigen mikroba. Sel

dendritik plasmasitoid menghubungkan imunitas bawaan dan adaptif serta

memainkan peran penting dalam pertahanan terhadap inveksi virus. FcεRI-IgE

yang menopang PDC dapat terdeteksi hanya dalam dermis pasien DA, sedangkan

Page 9: Referat Kulit

jumlah PDC di epidermis berkurang secara signifikan dibandingkan dengan

penyakit radang kulit kronis lainnya, seperti psoriasis atau dermatitis kontak.

Agregasi FcεRI pada PDC menginduksi pelepasan IL-10 dan meningkat

dalam apoptosis yang dimediasi siklus endogen IL-10 pada PDC secara in vitro.

Selanjutnya, preaktivasi PDC melalui percobaan alergen secara signifikan

mengurangi kapasitas PDC untuk menghasilkan interferon α (IFN-α) dan IFN-β

dalam menanggapi rangsangan berikutnya dengan motif virus DNA secara in

vitro. Kapasitas yang berkurang pada PDC untuk menghasilkan IFN tipe I setelah

percobaan alergen bersama dengan penurunan jumlah PDC di epidermis kulit

mungkin menjadi salah satu alasan terjadinya kerentanan yang tinggi terhadap

infeksi virus pada pasien DA. Jumlah PDC yang berkurang pada epidermis pasien

DA bila dibandingkan dengan penyakit radang kulit kronis lainnya, seperti

psoriasis, dermatitis kontak alergi, atau lupus eritematosus mungkin berdasarkan

pada penarikan yang lebih rendah sel-sel ini ke dalam kulit karena ekspresi yang

berkurang dari molekul kulit dasar pada PDC donor atopik atau angka apoptosis

PDC yang lebih tinggi yang terdapat dalam lingkungan di bawah pengaruh Th2

pada pasien DA. Selanjutnya, keseimbangan sitokin Th2 yang berlebihan dan

jumlah sensitisasi yang tinggi tampaknya mempengaruhi pasien DA subkelompok

tertentu dengan kerentanan yang tinggi terhadap infeksi virus yang disebabkan

oleh virus herpes simples, mengarah ke satu atau lebih episode eksim herpetikum.

Autoreaksi IgE

Aktivasi sistem imunitas merupakan gejala khas Dermatitis Atopi.

Reaktivitas terhadap antigen sendiri dengan struktur yang homolog dengan

alergen lingkungan sebagian merupakan hasil dari molekul mimikri antara

berbagai B-sel epitop. Dalam masa lalu, ia mengamati bahwa pasien dengan AD

kronis menunjukkan autoreaktivitas IgE ke berbagai antigen manusia.

Autoreaktivitas IgE telah terbukti lebih sering hadir pada pasien dengan AD onset

awal AD dan spektrum yang luas dari sensitasi.Salah satu contoh dalam konteks

ini adalah stres-inducible enzim superoxide dismutase mangan (MnSOD), yang

Page 10: Referat Kulit

telah terbukti berperan sebagai autoallergen di AD. IgE spesifik antibodi terhadap

antigen ini telah terbukti berkorelasi dengan aktivitas penyakit.

Selanjutnya reaksi eczematous, dan T-sel yang diinduksi oleh paparan

antigen pada pasien peka, yang menunjukkan bahwa antigen mungkin

memperburuk jalannya penyakit dalam subkelompok pasien. Ini adalah relevansi

khusus untuk cosensitization ke MnSOD jamur dan MnSOD dari lipofilik ragi

Malassezia sympodialis, yang sering berkolonisasi pada kulit pasien AD. Lain

dengan intraseluler autoantigen, yang telah diidentifikasi dalam AD, adalah alpha-

rantai yang baru lahir polypeptideassociated kompleks Homs 2. Induksi Th1

rawan T-sel imun tanggapan serta IFN-c dimediasi kerusakan sel epitel dan

keratinosit dicerminkan oleh apoptosis diinduksi oleh 2 Hom s telah ditunjukkan

dalam penelitian in vitro. Namun, IgE spesifik autoantibodi terhadap protein

manusia yang terdeteksi tidak hanya dalam serum orang dewasa, tetapi juga pada

anak-anak dengan AD. Namun, jelas, bagaimana autoreaktivitas IgE persis

muncul dan mana tindakan profilaksis dapat membantu untuk menghindari proses

ini. Pengurangan IgE serum autoantibody pada pasien AD diobati dengan

imunosupresif siklosporin obat telah dilaporkan dalam literatur.

Pendekatan baru untuk pengobatan AD (Dermatitis Atopi)

Patofisiologi AD cukup kompleks dan faktor pemicu yang berbeda di

setiap individu pasien, pengobatan anti-inflamasi harus dilengkapi dengan terapi

spesifik dan individual disesuaikan.

Terapi glukokortikosteroid topikal masih merupakan terapi lini pertama

untuk AD dalam kasus yang mana anti-inflamasi yang dibutuhkan. Kalsineurin

inhibitor (CNI), seperti tacrolimus macrolactone (FK506) atau pimekrolimus

diperkenalkan sebagai alternatif untuk pengobatan topikal AD beberapa tahun

yang lalu. Kemanjuran pengobatan topikal dengan

CNI telah ditunjukkan meyakinkan dalam uji klinis. Selain pengobatan

simtomatik dengan CNIS, pendekatan preventif dengan pengobatan intermiten

teratur untuk mengurangi

Page 11: Referat Kulit

jumlah flare up dan untuk memperpanjang fase remisi yang disebut pendekatan

pro-aktif yang saat ini sedang dilakukan.

Pada tingkat sel, sel-sel T adalah sel target utama dari CNI, yang menekan

aktivasi sel T dan proliferasi serta perubahan sekresi sitokin. Selain itu, CNI

menghambat pelepasan mediator oleh basofil dan sel mast dan berdampak pada

keratinosit fungsi dan apoptosis. Perhatian khusus harus difokuskan pada efek

CNI on APC: pimekrolimus telah dilaporkan menyebabkan penipisan PDC IDEC

dan dermal tanpa mempengaruhi LC. Tacrolimus downregulates yang ekspresi IL-

2 reseptor CD25, co-stimulasi molekul CD80 dan CD40 dan major

histocompatibility kelas I dan II pada molekul LC dari pasien AD in vitro.

Phenotypical analisis LC dan IDEC diisolasi dari kulit lesi penderita DA sebelum

dan setelah pengobatan topikal dengan salep tacrolimus, mengungkapkan sebuah

downregulation signifikan dari reseptor afinitas tinggi untuk IgE pada permukaan

sel-sel dan penurunan dalam selular kolam IDEC juga. Selain itu, jumlah IL-12

terdeteksi di epidermis berkurang setelah perawatan tacrolimus dan monosit yang

diturunkan DC diinkubasi dengan tacrolimus dirilis secara signifikan mengurangi

jumlah TNF-dan IL-12 di respon terhadap rangsangan proinflamasi, seperti LPS

atau Staphylococcal enterotoksin B. Menariknya, tacrolimus dan TGF-b1 tindakan

sinergis pada generasi LC-seperti DC in vitro, menurunkan kapasitas stimulasi

LC-seperti DC menuju sel T dan menghambat pematangan LC. Mendukung

hipotesis dari generasi konsolidasi LC diinduksi oleh tacrolimus, jumlah CD1a +

LC meningkat di epidermis pasien AD setelah pengobatan dengan tacrolimus,

sedangkan jumlah menurun IDEC. Oleh karena itu, pergeseran keseimbangan DC

membedakan ke LC mungkin major pentingnya untuk efek terapi tacrolimus dan

merupakan strategi yang menarik untuk pengobatan AD (Gambar 5).

Pendekatan lain, baru untuk mengobati subkelompok pasien dengan AD

tidak hanya gejala tetapi juga secara khusus adalah diwakili oleh alergen spesifik

imunoterapi. mayoritas pasien DA, jalannya penyakit mereka diperburuk oleh

paparan aeroalergen yang memicu menjadi penyakit yang lebih berat. Sejauh

ini ,baik inhalasi dari alergen dan kontak alergen dengan kulit dapat menginduksi

eksaserbasi DA.

Page 12: Referat Kulit

Gambar 5. Sebagai sebuah tindakan yang sudah biasa, pengobatan topikal dengan takrolimus

mungkin menggeser keseimbangan diferensiasi sel epidermal dendritik inflamatorik (IDEC)

menjadi generasi sel Langerhans (LC) dengan agak lebih menekan dan mengatur properti

penyakit.

Imunoterapi allergen spesifik telah terbukti mampu mewakili terapi

sensitisasi jangka panjang pada pasien dengan rhinitis alergi dan asma ringan

sejauh ini. Namun, ada beberapa yang tidak terkendali seperti pada beberapa studi

kontrol, yang telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan, apakah imunoterapi

alergen spesifik mungkin dapat menjadi terapi pilihan bagi pasien DA juga. Pada

kenyataannya, penurunan pada penanda serum, yang berkorelasi dengan tingkat

keparahan penyakit seperti CCL17 atau IL-16 dan penurunan IgE alergen spesifik

serta peningkatan IgG alergen spesifik dalam serum pada pasien yang diterapi

telah diamati sebagai tambahan untuk menemukan perkembangan klinis pada lesi

kulit. Pendekatan lain untuk mengobati DA termasuk terapi dengan anti-antibodi

IgE, yang telah terbukti mampu memacu perbaikan klinis dan peningkatan rasio

IgG / IgE dalam subkelompok pasien DA. Selain itu, laporan pertama tentang

keberhasilan penggunaan terapi biologi, seperti anti antibodi-CD20 atau anti

antibodi-CD11a sebagai pengobatan kasus DA yang parah memang ada.

Menariknya, pengobatan dengan anti antibodi-CD20 sangat menurunkan jumlah

sel B dalam darah dan juga sebagian pada kulit. Meskipun kadar IgE serum tetap

tidak berubah, pengobatan dengan anti-CD20 membuat adanya perbaikan yang

Page 13: Referat Kulit

signifikan pada lesi kulit, menyiratkan bahwa sel B sendiri memainkan peran

penting dalam DA. Sebaliknya, pengobatan dengan anti-antibodi CD11a

menunjukkan beraksi di bagian utama dengan cara penyumbatan ekstravasasi sel

T ke dalam jaringan. Bersama dengan studi terkontrol yang diperlukan untuk

mengevaluasi terapi alternatif yang dapat dipercaya pada DA, pendekatan ini terus

menjanjikan bahwa kita akan mampu memperluas penelitian dan tindakan

terapeutik untuk DA dalam waktu dekat.

Rencana untuk penelitian masa depan dan kata-kata yang dapat

disimpulkan

Dermatitis atopik merupakan salah satu penyakit kulit yang paling

kompleks. Oleh karena itu, penelitian yang dikerjakan di seluruh dunia telah telah

dilakukan untuk menjelaskan secara bertahap, berbagai aspek dan segi-segi dari

penyakit yang menarik ini. Tanpa diragukan lagi, semua wawasan baru yang

diperoleh sangat mengembangkan pengetahuan kita tentang DA sejauh ini.

Namun, masih ada banyak pertanyaan yang belum terselesaikan dan pertanyaan

baru tentang patofisiologi DA yang muncul secara terus menerus. Lebih jauh lagi,

pengobatan terhadap kasus yang parah, kasus yang ‘membandel’ dari DA, yang

menetap sampai masa dewasa masih cukup membuat frustasi dan menantang.

Oleh karena itu, banyak perhatian harus difokuskan pada pengembangan alat

diagnostik untuk mengenali risiko penanganan pasien DA yang beresiko, untuk

dapat melakukan tindakan pencegahan sesegera mungkin pada kelompok yang

berisiko.

Salah satu contoh tindakan preventif yang didasarkan wawasan dari

interaksi gen-lingkungan adalah mungkin dengan menghindari kontak dengan

alergen kucing selama awal periode kehidupan mutasi kehilangan fungsi

pembawa pada gen filaggrin, seperti yang telah ditunjukkan studi terbaru bahwa

paparan kucing saat lahir mungkin berdampak pada risiko untuk mengembangkan

eksim dalam subkelompok yang lebih mudah muncul pada anak secara genetik.

Selain itu, terapi penggantian komponen penting untuk pemeliharaan fungsi

penghalang kulit ,seperti ceramides atau komponen kompleks diferensiasi

Page 14: Referat Kulit

epidermal dan enzim lainnya yang mungkin mewakili pendekatan terapi spesifik

di masa depan. Selain itu, salah satu aspek paling penting yang kita pelajari

tentang DA dari masa lalu adalah bahwa kita perlu terus mengingat bahwa

meskipun gambaran klinis pasien DA sebagian besar hadir sangat homogen dalam

klinis praktisnya, DA mungkin saja berdasarkan pada keadaan yang sangat

heterogen dan yang aspek yang berbeda pada satu pasien. Oleh karena itu,

kelihatannya akan lebih banyak yang menjanjikan dalam mengembangkan alat

diagnostik yang baru, seperti pembacaan genetik atau imunologi untuk mampu

mengklasifikasi subkelompok pasien DA dengan hati-hati, seperti pasien DA

dengan cacat genetik penghalang kulit yang telah ditentukan, defek pada imunitas

bawaan atau adaptif atau autoreaktivitas. Ini akan menjadi sangat penting untuk

memungkinkan kita dalam menggunakan bentuk-bentuk pengobatan yang spesifik

yang akan datang seperti biologi yang berbeda, molekul kecil atau varian

pendekatan imunoterapetik untuk mengobati DA secara langsung, lebih spesifik

dan berhasil.