37
REFERAT MORBUS HIRSCHSPRUNG Pembimbing : dr. Nanok E. Susilo, SpB, SpBA Disusun oleh: Bening Putri Ramadhani Usman 1110103000084 1

Referat Morbus Hirschprung

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Hirschsprung disease

Citation preview

Page 1: Referat Morbus Hirschprung

REFERAT

MORBUS HIRSCHSPRUNG

Pembimbing :dr. Nanok E. Susilo, SpB, SpBA

Disusun oleh:Bening Putri Ramadhani Usman

1110103000084

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAHRUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA2015

1

Page 2: Referat Morbus Hirschprung

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim.

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya dan tak lupa shalawat dan salam kepada Nabi

Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat “Morbus

Hirschsprung” ini dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di RSUP Fatmawati.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada para pengajar,

fasilitator, dan narasumber SMF Ilmu Bedah RSUP Fatmawati, khususnya

dr.Nanok E. Susilo,SpB,SpBA selaku pembimbing.

Penulis menyadari bahwa penyusunan referat ini masih jauh dari

sempurna, serta banyak terdapat kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan

makalah ini. Semoga referat ini bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, Juli 2015

Penyusun

2

Page 3: Referat Morbus Hirschprung

BAB I

PENDAHULUAN

Hischsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak

dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. sembilan puluh

persen (90%) terletak pada rectosigmoid, akan tetapi dapat mengenai seluruh

kolon bahkan seluruh usus (Total Colonic Aganglionois (TCA)). Tidak adanya

ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga terjadi

ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang berlebihan pada

kolon yang lebih proksimal.1

Pasien dengan penyakit Hirschsprung pertama kali dilaporkan oleh

Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah

Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun

1886. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas

hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa

megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik

dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion.1,2

Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal

dengan perut gembung oleh kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses.

Penyakit ini disebut megakolon kongenitum dan merupakan kelainan yang

tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi usus pada neonatus. Pada penyakit

ini pleksus mienterikus tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak

dapat mengembang.1

HD terjadi pada satu dari 5000 kelahiran hidup, Insidensi penyakit

Hirschsprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara

5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat

kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan

penyakit Hirschsprung. Mortalitas dari kondisi ini dalam beberapa decade ini

dapat dikurangi dengan peningkatan dalam diagnosis, perawatan intensif

neonatus, tekhnik pembedahan dan diagnosis dan penatalaksanaan HD dengan

enterokolitis.2

3

Page 4: Referat Morbus Hirschprung

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion

di pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s). (Gambar 1)

2.2. Epidemiologi

Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko

tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai

riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down

Syndrome. Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis

atau colon transversum pada 17% kasus.

Anak kembar dan adanya riwayat keturunan meningkatkan resiko

terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5

sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi pada anak laki dan 360 kali lebih

tinggi pada anak perempuan. Penyakit hirschsprung lebih sering terjadi secara

diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari

kembaran pasien mengalami aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-

4

Gambar 1. Gambaran colon normal dan abnormal

Page 5: Referat Morbus Hirschprung

Wilson). Salah satu laporan menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan

kembar yang terkena yang kebanyakan mengalami long segment aganglionosis. 4

2.3. Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf

parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu

tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.

a) Ketiadaan sel-sel ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus

myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk

Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini

disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal

dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru

mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal untuk berkembang

menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan

sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam

lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu

migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak

pada genetik, immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya.

b) Mutasi pada RET Proto-oncogene

5

Page 6: Referat Morbus Hirschprung

Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah

ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang dan

familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular

yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen

lainnya yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B receptor

gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini

diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang

mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit

non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan

sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu

atau menghambat pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari

sistem saraf enterik. Mutasi pada protooncogene RET adalah diwariskan dengan

pola dominan autosom dengan 50-70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar

50% kasus familial dan pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen

EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5%

dari kasus, biasanya yang sporadis.

c) Kelainan dalam lingkungan

Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-

sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari

antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat

pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s disease, namun

tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, mengajukan

suatu mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini.

d) Matriks Protein Ekstraseluler

Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan

pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan

kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus

aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah

migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari

Hirschsprung’s disease.

6

Page 7: Referat Morbus Hirschprung

2.4. Anatomi dan fisiologi colon

7

Gambar 2. Anatomi colon normal

Gambar 3. Histologi colon

Page 8: Referat Morbus Hirschprung

Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis

(N. hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf

parasimpatis (N. splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis

serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani

dipersarafi oleh N. sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter

ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.

Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya

kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus

pelvik (saraf parasimpatis).

Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :

1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal

2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler

3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa

Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada

ketiga pleksus tersebut.

2.5. Patologi

8

Gambar 4. Persarafan colon

Page 9: Referat Morbus Hirschprung

Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada bagian

usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion

parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat mengembang

sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan defekasi ini kolon

proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk

megakolon.1

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon

dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang

abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian

yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik

selalu terdapat dibagian distal rectum.

Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive

dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang

disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.2

Gambar 5. Gambaran segmen aganglion pada Morbus Hirschprung

Hipoganglionosis

9

Page 10: Referat Morbus Hirschprung

Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis. Area

tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan

dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan

sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus

myentricus berkurang 50% dari normal.

Imaturitas dari sel ganglion

Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan pemeriksaan

LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki sitoplasma yang

dapat menghasilkan dehidrogenase. Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel

Schwann’s dan sel saraf lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui

dipengaruhi oleh reaksi succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah

pada minggu pertama kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh

reaksi SDH yang memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun.

Hipogenesis adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.

Kerusakan sel ganglion

Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari vaskular

atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi

Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis

seperti Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah

yang inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through

secara Swenson, Duhamel, atau Soave.

2.6. Klasifikasi penyakit Hirschsprung

Pada morbus Hirschsprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi

rectum sampai sigmoid, ini disebut penyakit Hirscsprung klasik. Penyakit ini

terbanyak (80 %) ditemukan pada anak laki – laki, yaitu lima kali lebih sering dari

pada anak perempuan. Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid

disebut Hirscsprung segmen panjang. Bila aganglionosis mengenali seluruh kolon

disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai seluruh kolon dan hampir

seluruh usus halus, disebut aganglionosis universal.

10

Page 11: Referat Morbus Hirschprung

2.7. Diagnosis

1. Anamnesis

Diagnosis penyakit ini dapat dibut berdasarkan adanya konstipasi pada

neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya

mekonium untuk dikeluarkan dalam waktu 48 jam setelah lahir. Tetapi gejala ini

biasanya ditemukan pada 6% atau 42% pasien. Gejala lain yang biasanya terdapat

adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor feeding, vomiting. Apabila

penyakit ini terjdi pada neonatus yang berusia lebih tua maka akan didapatkan

kegagalan pertumbuhan.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah jika didapatkan periode konstipasi

pada neonatus yang diikuti periode diare yang massif kita harus mencurigai

adanya enterokolitis. Pada bayi yang lebih tua penyakit hirschsprung akan sulit

dibedakan dengan kronik konstipasi dan enkoperesis. Faktor genetik adalah faktor

yang harus diperhatikan pada semua kasus. Pemeriksaan barium enema akan

sangat membantu dalam menegakkan diagnosis. Akan tetapi apabila barium

enema dilakukan pada hari atau minggu awal kelahiran maka zone transisi akan

sulit ditemukan. Penyakit hirschsprung klasik ditandai dengan adanya gambaran

spastic pada segmen distal intestinal dan dilatasi pada bagian proksimal intestinal.

2.Gejala klinik

Gambaran klinis HD dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis

mulai terlihat :

1. Periode Neonatal

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium

yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang

terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.

Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501 kasus ,

sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan 72,4% untuk

waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat

berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis

merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita HD ini, yang dapat

11

Page 12: Referat Morbus Hirschprung

menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,

meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea,

distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam. Swenson mencatat

hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis,

bahkan dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi.

2. Anak.

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi

kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik

usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces

biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap.

Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan

biasanya sulit untuk defekasi.

3. Pemeriksaan Radiologi

12

Gambar 7. Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi dan pasien kelihatan

menderita sekali

Page 13: Referat Morbus Hirschprung

Pemeriksaan yang digunakan untuk membantu mendiagnosa penyakit

Hirschsprung dapat mencakup:

1. Foto polos abdomen (BNO)

Foto polos abdomen dapat memperlihatkan loop distensi usus

dengan penumpukan udara di daerah rektum. Pemeriksaan radiologi

merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung. Pada

foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah,

meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar.

Bayangan udara dalam kolon pada neonatus jarang dapat 

bayangan udara dalam usus halus. Daerah rektosigmoid tidak terisi udara.

Pada foto posisi tengkurap kadang-kadang terlihat jelas bayangan udara

dalam rektosigmoid dengan tanda-tanda klasik penyakit Hirschsprung.

2. Barium enema

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan

diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3

tanda khas:

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi.

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi.

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

13

Page 14: Referat Morbus Hirschprung

1. Anal manometri (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur tekanan

dalam rektum)

Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum. Ano-rektal manometri

mengukur tekanan dari otot sfingter anal dan seberapa baik seorang dapat

merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak

yang memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi

secara normal. Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan

mendorong.  Tekanan otot spinkter anal diukur selama aktivitas. Saat

memeras, seseorang mengencangkan otot spinkter seperti mencegah

sesuatu keluar. Mendorong, seseorang seolah mencoba seperti pergerakan

usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang kooperatif dan

dewasa.

14

Gambar 8. Terlihat gambar barium enema penderita hirschprung. Tampak rectum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang melebar.

Page 15: Referat Morbus Hirschprung

2. Biopsi rectum

Ini merupakan tes paling akurat untuk penyakit Hirschsprung.

Dokter mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah

mikroskop. Anak-anak dengan penyakit Hirschsprung akan tidak

memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada biopsi hisap,

jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat penghisap.

Karena tidak melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak

diperlukan anestesi. Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit

Hirschsprung tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada

jaringan contoh, biopsi full-thickness biopsi diperlukan untuk

mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung. Pada biopsi full-thicknesslebih

banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam dikeluarkan secara bedah

untuk kemudian diperiksai di bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel

ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.

2.8. Penatalaksanaan

Seperti kelainan kongenital lainnya, HD memerlukan diagnosis klinik

secepat dan intervensi terapi secepat mungkin, untuk mendapatkan hasil terapi

yang sebaik-baiknya.7

1. Preoperatif

2. Operatif

3. Post operatif

A. Preoperatif

a. Diet

Pada periode preoperatif, neonatus dengan HD terutama menderita

gizi buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan

kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar

memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian

bayi dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy danpat

15

Page 16: Referat Morbus Hirschprung

diberikan larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama

dilatasi rectal preoperative dan irigasi rectal.

b. Terapi farmakologik

Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan HD

dimaksudkan untuk mempersiapkan usus atau untuk terapi

komplikasinya.Untuk mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi

rectum dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan

irigasi tuba rectal dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral

dan intravena diberikan dalam beberapa jam sebelum pembedahan.

B. Operatif

Tergantung pada jenis segmen yang terkena.Tindakan bedah

sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi

pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan ini

dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah

enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain

dari kolostomi adalah : menurunkan angka kematian pada saat dilakukan

tindakan bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita

penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan

dilakukan anastomose.7

Tindakan Bedah Definitif

16

Page 17: Referat Morbus Hirschprung

1. Prosedur Swenson

Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit Hirschsprung

dengan metode “pull-through”. Tehnik ini diperkenalkan pertama kali oleh

Swenson dan Bill pada tahun 1948. Segmen yang aganglionik direseksi dan

puntung rektum ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan

anastomosis  langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis

masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan.

Untuk mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior.

Prosedur ini disebut prosedur Swenson I.

Pada 1964 Swenson memperkenalkan prosedur Swenson II dimana setelah

dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik, puntung rektum

ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior kemudian

langsung dilakukan sfingterektomi parsial langsung. Ternyata prosedur ini sama

sekali tidak mengurangi spasme sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi

enterokolitis pasca bedah dan bahkan pada prosedur Swenson II kebocoran

anastomosis lebih tinggi dibanding dengan prosedur Swenson I.

17

Page 18: Referat Morbus Hirschprung

2. Prosedur Duhamel.

Prosedur ini diperkenalkan pada tahun 1956 sebagai modifikasi prosedur

Swenson oleh karena pada metode Swenson dapat terjadi kerusakan nervi

erigentes yang memberi persarafan pada viscera daerah pelvis. Duhamel

melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan tersebut dengan cara

melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik melalui bagian posterior

rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi, dipasang kateter sehingga

vesika urinaria kosong dengan maksud agar visualisasi rongga abdomen lebih

jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan secara paramedian atau transversal. Arteria

hemorrhoidalis superior dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum.

Kolon proksimal dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai anus.

Perhatian khusus ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal

dengan cara menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang

aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar

refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal

dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan.

Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan

endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini segmen kolon proksimal

yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus dan dibiarkan

bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis “end to side” setinggi

18

Page 19: Referat Morbus Hirschprung

sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan pemasangan 2 buah klem

Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari anastomosis telah terjadi. Stenosis

dapat terjadi akibat pemotongan septum yang tidak sempurna.

3. Prosedur Endorectal Pull Through ( Soave )

Pada prinsipnya tehnik ini adalah merupakan diseksi ekstramukosa

rektosigmoid yang mula-mula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi.

Persiapan preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi

anorektal manual serta pemberian antibiotik.

Tahun 1960 Soave melakukan pendekatan abdominoperineal, dengan

membuang lapisan mukosa rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi

pelvis 30 derajat, irisan kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi

dan dipasang kateter.

Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium kemudian

dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan direseksi 4 cm diatas

refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon distal yang telah direseksi

kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis kearah distal. Lapisan otot secara

tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm diatas linea dentata. Lewat anus dibuat

insisi melingkar 1 cm diatas linea dentata. Kolon yang berganglion kemudian

ditarik kedistal melewati cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat

anus dipotong setelah 21 hari

19

Page 20: Referat Morbus Hirschprung

4. Prosedur Boley.

Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi

anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih dulu.

5 . Prosedur Rehbein.

Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian dilakukan

anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion dengan sisa rektum, yang

dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Tehnik ini sering menimbulkan

obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih panjang.

6. Prosedur miomektomi anorektal.

Pada pasien-pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra pendek,

pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum dapat

dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana dengan lebar 1

cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai dari proksimal linea

dentata sampai daerah yang berganglion.

7. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.

Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan

dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-iodine, mukosa

rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi

tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah

proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai

melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa.

Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi lebih

singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat diberikan

lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi masih

didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan striktur anastomosis.

20

Page 21: Referat Morbus Hirschprung

8. Posterior Sagital Neurektomi Repair for Hirschsprung Disease

Teknik ini diperkenalkan oleh Rochadi, 2005. Rincian teknik operasi 

adalah sebagai berikut:

Persiapan preoperasi :

Pemeriksaan fisik yang teliti, penilaian keadaan umum penderita, adanya

kelainan bawaan yang lain, pemeriksaan laboratorium rutin, albumin dan

pemeriksaan rontgen dievaluasi secara cermat untuk menentukan ada tidaknya

kontraindikasi pembedahan dan pembiusan. Bila ada dehidrasi, sepsis, gangguan

eletrolit, enterokolitis, anemia atau gangguan asam basa tubuh semuanya harus

dikoreksi terlebih dahulu. Pencucian rektum dilakukan dengan cara pemasangan

pipa rektum dan kemudian dimasukkan air hangat 10 ml/kg berat badan. Informed

consent dilakukan kepada keluarga meliputi cara operasi, perkiraan lama operasi,

lama perawatan, komplikasi-komplikasi,cara-cara penanganan apabila terjadi

komplikasi dan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

Jalannya operasi :

Setelah dilakukan pembiusan, kemudian dipasang pipa lambung dan

kateter. Dipasang infus pada tangan dengan menggunakan abbocath yang sesuai

dengan umur penderita. Tehnik ini dilakukan dengan posisi pasien tertelungkup.

Setelah dilakukan desinfeksi pada daerah anogluteal kemudian daerah

operasi ditutup doek steril. Irisan pertama dimulai dengan irisan kulit intergluteal

dilanjutkan membuka lapisan-lapisan otot yang menyusun “muscle complex”

secara tumpul dan tajam sehingga terlihat dinding rektum. Lapisan otot dinding

rektum dibuka memanjang sampai terlihat lapisan mukosa menyembul dari irisan

operasi. Identifikasi daerah setinggi linea dentata dilakukan dengan cara

memasukkan jari telunjuk tangan kiri ke anus. Panjang irisan adalah 1 cm

proksimal linea dentata sampai zone transisi yang ditandai dengan adanya

perubahan diameter dinding rektum. Agar supaya tidak melukai mukosa rektum

maka setelah mukosa menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari

mukosa dengan cara tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah

terpisah dari mukosa. Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5 cm

dilepaskan dari mukosa sepanjang zone spastik sampai zone transisi. Material ini

21

Page 22: Referat Morbus Hirschprung

dikirim ke bagian Patologi Anatomi untuk pemeriksaan pewarnaan hematoksilin-

eosin guna identifikasi sel ganglion Auerbach dan Meissner.2

Lapisan-lapisan otot muscle complex ditutup kembali seperti semula

dengan benang Vicryl 3/0 diikuti lapisan subkutis dengan benang plain cat-gut 2/0

dan lapisan kulit dijahit intra kutan dengan benang Vicryl 3/0. Dipasang pipa

rektum untuk mencegah terjadinya infeksi pada irisan operasi.

Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprung’s Disease ini dilakukan

satu tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull –through.

Perawatan pasca operasi :Penderita dirawat langsung dibangsal perawatan, kecuali apabila ada indikasi dirawat terlebih dahulu di Intensive Care Unit

(ICU) untuk pengamatan pasca operasi yang ketat. Pipa lambung dilepas apabila fungsi gastrointestinal telah kembali normal dan kateter

dilepas pada hari kedua perawatan. Antibiotik diberikan sampai 2 hari pasca operasi. Pengawasan yang teliti pada daerah perineum untuk

mencegah terjadinya infeksi dengan melihat ada tidaknya eritema atau selulitis. Untuk mencegah ekskoriasis diberikan salf zinc dan tiap hari

kasa betadin diganti untuk menutup irisan operasi. Apabila tidak ada komplikasi penderita dapat dipulangkan pada hari ke empat pasca

operasi. Dilatasi anorektal dimulai pada hari ke tujuh pasca operasi dengan menggunakan busi hegar nomer enam, mula-mula dikerjakan di

poliklinik dan kemudian dilanjutkan dirumah. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah terjadinya striktur. Apabila terjadi enterokolitis maka

diperlukan tindakan pencucian rektum, pemberian antibiotik dan suspensi kaolin-pektin.7

C. Post Operatif

Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal pull-

through), pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short

segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan

beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull

Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan memungkinkan,

dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi sesegera mungkin untuk

memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan anastomosis. Pemberian makanan

rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi enteral

secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering

muntah pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode

ini dan memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan. 4

22

Page 23: Referat Morbus Hirschprung

2.9. Komplikasi

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit

Hirschsprung dapat digolongkan atas :

4. kebocoran anastomose

5. stenosis

6. Ruptur kolon

7. Enterokolitis

8. gangguan fungsi spinkter

2.10. Prognosis

Akibat yang dihasilkan setelah perbaikan penyakit Hirschsprung

secara definitif adalah sulit untuk ditentukan karena terjadi konflik pada

laporan dalam literatur. Beberapa peneliti melaporkan tingkat kepuasan

tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian yang signifikan dalam

konstipasi dan inkontinensia.

Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung

membutuhkan kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia.

Umumnya, lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung

memiliki hasil memuaskan.7

BAB III

KESIMPULAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak

dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon.

23

Page 24: Referat Morbus Hirschprung

Gambaran klinis penyakit hirschprung : pada periode neonatal ada trias

gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang

terlambat(lebih dari 24 jam pertama), muntah berwarna hijau dan distensi

abdomen. Sedangkan pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol

adalah konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive), terlihat gerakan

peristaltik usus di dinding abdomen., riwayat BAB yang tak pernah normal,

letargis, demam yang tidak terlalu tinggi, nafsu makan menurun, diarrhea, distensi

abdomen yang berat, feces berbau busuk.

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada HD.

Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah,

meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan

yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah

barium enema dimana akan dijumpai 3 tanda khas :

1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang

panjangnya bervariasi.

2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah

daerah dilatasi.

3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.

Penatalaksanaan penyakit hirschprung adalah tindakan operatif dengan

prognosis umumnya, lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung

memiliki hasil memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Lesson, C Roland. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC, 1996

2. Nelson, Waldo E. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15. Jakarta : EGC, 1999

24

Page 25: Referat Morbus Hirschprung

3. Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman, Edisi 7. Jakarta : EGC,

1997

4. Warner BW. Townsend Sabiston Textbook of Surgery. Philadelphia : El-

sevier-Saunders, 2004

5. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta :

FKUI, 1985

6. R. Sjamsoehidajat and Wim de Jong. Buku ajar Ilmu Bedah, Edisi 3.

Jakarta : EGC, 2010

7. Arnold GC, Thomas MK, et al. Pediatric Surgery, 7 th edition. USA : Else-

vier Saunders, 2012

8. Michael DG, Elyanne MR. Developmental biology of enteric nervous sys-

tem : Pathogenesis of Hirschsprung’s Disease and Other Congenital Dys-

motilities. Columbia, Seminars in Pediatric Surgery, 2004; 13 : 224-35

25