21
BAB I PENDAHULUAN Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larvaTaenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak. Dari beberapa kasus taeniasis solium yang telah diteliti maka dilaporkan bahwa kasus kasus tersebut dikarenakan masuknya babi yang dibawa oleh penduduk yang dibawa pada saat pindah ke daerah tersebut atau oleh penderita langsung yang bertransmigrasi ke daerah- daerah tersebut (Rasidi; dkk., 1990 : 379) Biasanya tidak disadari bahwa manusia dapat menjadi induk semang cacing pita, tetapi pada pertengahan abad 19, ketika cacing pita ini menyebar, sistiserkusnya ditemukan pada 2 % 1

Referat MRI Sistisarkosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larvaTaenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia.

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larvaTaenia soliumyaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara. Prevalensi taeniasis/ sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak.Dari beberapa kasus taeniasis solium yang telah diteliti maka dilaporkan bahwa kasus kasus tersebut dikarenakan masuknya babi yang dibawa oleh penduduk yang dibawa pada saat pindah ke daerah tersebut atau oleh penderita langsung yang bertransmigrasi ke daerah- daerah tersebut (Rasidi; dkk., 1990 : 379)Biasanya tidak disadari bahwa manusia dapat menjadi induk semang cacing pita, tetapi pada pertengahan abad 19, ketika cacing pita ini menyebar, sistiserkusnya ditemukan pada 2 % manusia yang diotopsi di Berlin. Tetapi sekarang, sejak tinja manusia dibuang lebih efisien, kejadian sistiserkus pada manusia banyak menurun sedemikian banyak sehingga secara praktis dapat diabaikan. KenyataannyaC. cellulosaejarang pada babi di AS.Di Bali kehadiran taeniasis solium pada penduduknya telah dikenal sejak lama yaitu dengan istilah penyakit beberasan. Berbeda dengan daerah Indonesia lainnya, hampir seluruh penduduk bali memeluk agama Hindu yang dalam upacara adat dan keagamaan atau dalam kehidupan sehari-hari penduduk mempunyai keniasaan makan -makanan tradisional yang disebut lawar, yang terbuat dari daging babi mentah atau setengah matang yang diduga menyebabkan taeniasis solium (Arwati ; Supari, 1977 : 1; sutisna : 227)Selain itu kemungkinan masih adanya penduduk, terutama di desa yang buang air besar tidak di jamban atau di kakus melainkan di sungai atau di teba (halaman rumah) sehingga tinja manusia dimakan oleh babi dan dapat mencemari pakan babi. Semuanya ini dapat memberi kesempatan daur hidup taenia- sistiserkus berlangsung tanpa hambatan. Keadaan- keadaan inilah yang mungkin masih ada dan berjalan di Bali sehingga menimbulkan kejadian- kejadian taeniasis (Waruju, 1988 : 19)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiSistisarkosis adalah penyakit parasit sistemik yang disebabkan oleh cacing pita daging yang terdapat dalam babi yakni Taenia Solium.

2.2 Cara PenularanManusia terinfeksi dengan memakan daging babi matang yang mengandung cycticerci (oral). Cycticercus berkembang menjadi cacing pita dewasa di usus dan menghasilkan sejumlah besar telur dalam feses. Kondisi yang dikenal sebagai sistisarkosis pada manusia terjadi karena menelan telur cacing pita, baik dari sumber eksternal atau dari feses orang itu sendiri(fecal).

2.3 MorfologiKingdom: AnimaliaPhylum: PlatyhelminthesClass: CestodaOrdo: CyclophyllideaFamily: TaeneideaGenus: TaeniaSpecies:Taenia soliumCacing dewasa kemungkinan berukuran panjang 3-5 meter, namun juga ada yang panjangnya mencapai 8 meter. Bagian kepala (skoleks) Taenia solium memiliki rostelum dengan dua baris kait. Proglotid gavid panjangnya 10-12mm dan lebarnya 5-6mm serta memiliki uterus dengan jumlah cabang 7-16.2Setiap proglotida gravid berisi kira-kira 30.000-50.000 telur. Setiap telur memiliki diameter 26-34m dan berisi embrio (onkosfer) yang memiliki 6 kait (embrio hexacanth).Cacing Taenia solium mendapat nutrisi dengan cara menyerap nutrisi yang ada di usus halus. Bagian tubuh cacing ini yang digunakan untuk mengambil nutrisi inang adalah tegumen. Tubuh cacing ini terdiri atas tiga bagian yaitu skoleks, leher, dan strobila. Skoleks merupakan organ tubuh cestoda yang berfungsi untuk melekat pada dinding usus. Skoleks merupakan anggota tubuh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi spesies dalam genusTaenia.Morfologi skoleksTaenia soliumterdiri atas sebuah rostelum dan empat buah batil hisap (sucker). Rostelum dansuckertersebut dikelilingi oleh sebaris kait panjang (180 m) dan kait pendek (130 m) di mana setiap barisnya tersusun atas 22-32 kait.Stobila merupakan bagian tubuh berupa serangkaian proglotida yang berada di belakang leher. StrobilaTaenia soliumtersusun atas 800 sampai 1000 segmen (proglotida).Cacing ini tergolong sebagai hemaprodit yaitu individu yang berkelamin ganda (jantan dan betina). Kedua organ kelamin tersebut berada pada setiap segmennya. Organ kelamin jantan dari cacing ini terdiri dari testis, vas efferens, dan kantong cirrus. Organ kelamin betina dari cacing ini terdiri dari ovarium, 6 tuba fallopii, uterus, saluran vitelin, kelenjar mehlis dan vitelin,seminal receptacle, serta vagina. Pada proglotida muda, organ kelamin belum tampak dengan jelas karena belum berkembang dengan sempurna. Kedua organ kelamin ini akan tampak dan berkembang pada proglotida dewasa dan akan hilang saat menjadi proglotida gravid. Zat-zat sisa metabolisme dariTaenia soliumdewasa dan metacestodanya disebut dengan eskretori/sekretori (E/S). E/S tersebut terdiri dari glukosa, protein terlarut, asam laktat, urea, dan amoniak. Organ ekskresi yang berfungsi untuk membuang E/S keluar tubuh cacing ini terdiri daricollecting canaldanflame cell. Mekanisme pengeluaran E/S dari dalam tubuh cacing ini diawali dengan menampung E/S terlebih dahulu di dalamcollecting canal.Organ ini terletak pada dorsal tubuh dan ventral tubuh. Saatcollecting canaltelah penuh berisi E/S, metabolit tersebut selanjutnya disalurkan keluar tubuh olehflame cell.Taenia soliumdi dalam inang antaranya berupa metacestoda yang disebutCysticercus cellulosae. Sistiserkus ini memiliki ciri morfologi yaitu berupa gelembung ellipsoid yang berukuran 6-10 x 5-10 mm. Stuktur tubuh Cysticercus cellulosaeterdiri dari kulit luar, cairan antara, dan lapisan kecambah. Kulit luar yang melapisi sistiserkus ini berupa lapisan kutikula, sedangkan cairan antara berupa plasma darah dari inangnya. Lapisan kecambah berupa skoleks yang dilengkapi dua baris kait.

Perbedaan Morfologi T. Saginata dan T.Solium

Morfologi Taenia Solium

Taenia Solium

2.4 Siklus HidupPerjalanan siklus hidupTaenia soliummemerlukan dua vertebrata sebagai induk semangnya. Kedua induk semang tersebut berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Babi merupakan inang antara dariTaenia soliumdan manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan (Subahar et al. 2005).Siklus hidupTaenia soliumberawal dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang antaranya. Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalamlambung inang antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang telah menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung, dan mata (Sciutto et al. 2007).Siklus hidupTaenia soliumakan berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida gravidnya dua bulan setelah infeksi (Garcia et al. 2003). Telur infektif yang terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar lingkungan (Subahar et al. 2005).

Siklus Hidup Taenia SoliumDaur Hidup Taenia SoliumBabi merupakan inang antara dariTaenia soliumdan manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Namun, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara dari cacing ini akibat autoinfeksi dan kontaminasi lingkungan.Siklus hidupTaenia soliumberawal dari tertelannya telur infektif cacing ini oleh inang. Telur tersebut selanjutnya akan pecah di dalam lambung inang antaranya akibat bereaksi dengan asam lambung. Onkosfer yang telah menetas selanjutnya melakukan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan ikut mengalir bersama darah ke seluruh organ. Onkosfer tersebut akan berkembang menjadi sistiserkus setelah mencapai otot, jaringan subkutan, otak, hati, jantung, dan mata.Siklus hidup pada tubuh manusiaSiklus hidupTaenia soliumakan berlanjut jika manusia sebagai inang definitifnya memakan daging babi yang mengandung sistiserkus tanpa proses pemasakan sempurna yaitu pemanasan lebih dari 60 C. Sistiserkus selanjutnya mengadakan invaginasi pada dinding usus halus manusia dan berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa ini mulai melepaskan proglotida gravidnya dua bulan setelah infeksi.. Telur infektif yang terkandung dalam penderita taeniasis inilah yang menjadi pencemar .Cacing pita dewasa akan mulai mengeluarkan telurnya dalam feses penderita taeniasis anatara 8-12minggu setelah orang tersebut terinfeksi. Sewaktu-waktu, proglotida gravid yang berisi telur akan dilepaskan dari ujung strobila cacing dewasa dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 sampai 6 segmen. Proglotida tersebut akan keluar melalui feses penderita. Telur dapat pula keluardari proglotida pada waktu berada di dalam usus manusia. Di luar tubuh manusia, telur akan menyebar ke tanah di lingkungan sekitar dan telur tersebut mampu bertahan hidup selama 5-9 bulan.Siklus hidup pada tubuh babiInfeksi akan terjadi apabila telur Taenia solium yang berembrio tertelan babi. Didalam lumen usus halus telur akan menetas dan mengeluarkan embrio (onkosfir). Selanjutnya onkosfir akan menembus dinding usus, masuk ke dalam pembuluh limfe atau ke aliran darah, dibawa ke seluruh bagian tubuh dan akan masuk ke organ-organ (predileksi) seperti otot jantung, otot lidah, otot daerah pipi, otot antar tulah rusuk, otot paha, paru-paru, hati, dan ginjal. Kista akan mulai terbentuk pada organ predileksi anatar 6-12 hari setelah infeksi. Sistiserkus kemudian terbentuk pada organ-organ tersebut dan dikenal dengan namaCysticercus Cellulosae.

Daur Hidup Taenia Solium

2.5 PatogenesisPenyebaran Taenia solium bersifat kosmopolit,terutama di negara negara yang mempunyai banyak peternakan babi dan di tempat daging babi banyak dikonsumsi seperti di eropa, Amerika Latin, Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Utara. Penyakit ini tidak pernah ditemukan di negara Islam yang melarang pemeliharaan dan mengkonsumsi babi. Kasus taeniasis atau sistiserkosis juga ditemukan pada beberapa wilayah di Indonesia, antara lain Irian Jaya, Bali, dan Sumatera Utara. Infeksi penyakit ini juga sering dialami oleh para transmigran yang berasal dari daerah daerah tersebut (Gandahusada et al.2000)Penyakit yang disebabkan cacing pita ini, sering dijumpai di daerah dimana orang orang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi daging babi yang dimasak tidak sempurna. Disamping itu kondisi kebersihan lingkungan yang jelek dan melakukan defikasi di sembarang tempat memudahkan babi mengkonsumsi tinja manusia. Penularan Taenia solium jarang terjadi di Amerika, Kanada, dan jarang sekali terjadi di Inggris, dan di negara negara skandinavia. Penularan oral vekal oleh karena kontak dengan imigran yang terinfeksi oleh Taenia solium dilaporkan terjadi dengan frekuensi yang meningkat di Amerika. Para imigran dari daerah endemis nampaknya tidak mudah untuk menyebarkan penyakit ini ke negara-negara yang kondisi sanitasinya baik

2.6 Gejala KlinikCysticercosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh manusia. Manusia dapat terjangkit satu atau sampai ratusan sistiserkus di jaringan tubuh yang berbeda beda. Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di otak (disebut neurosistiserkosis) mata,otot, dan lapisan bawah kulit.Gejala-gejala dari cysticercosis mungkin berkembang dari beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi awal (periode inkubasi). Gejala-gejala akan tergantung pada lokasi dan jumlah dari cysticerci, meskipun banyak individu-individu dengan cysticercosis tidak akan pernah mengembangkan gejala-gejala apa saja sama sekali. Mayoritas dari pasien-pasien dengan cysticercosis yang pergi ke dokter mempunyai keterlibatan sistim syaraf pusat (neurocysticercosis atau NCC). Gejala-gejala dari neurocysticercosis mungkin termasuk yang berikut:Mual dan muntahSakit kepalaKelesuanKebingunganPerubahan-perubahan penglihatanKelemahan atau mati rasaSeizure (seringkali gejala yang mempresentasikan diri, terjadi pada kira-kira 70% dari orang-orang dengan NCC).Keterlibatan dari jaringan-jaringan tubuh lain mungkin menyebabkan pembengkakan otot keragka, kista-kista subcutaneous, dan perubahan-perubahan penglihatan dari kista-kista yang menginfeksi mata.Pada jaringan otak atau medulla spinalis, sistiserkus jarang mengalami klasifikasi. Keadaan ini sering menimbulkan reaksi jaringan dan dapat mengakibatkan serangan ayan (epilepsi), meningo ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang kadang kelainan jiwa. Hidrosefalus Internus dapat terjadi, bila timbul sumbatan aliran cairan serebrospinal. Sebuah laporan menyatakan, bahwa sebuah sistiserkus tunggal yang ditemukan dalam ventrikel IV dari otak , dapat menyebabkan kematian (Gandahusada et al.2000)

2.7 DiagnosaDapat ditegakkan dengan 2 cara :1.Menanyakan riwayat penyakit (anamnesa)Didalam anamnesis perlu ditanyakan antara lain apakah penderita pernah mengeluarkan proglotid (segmen) dari cacing pita baik pada waktu buang air besar maupun secara spontan2.Pemeriksaan TinjaTinja (feses) yang diperiksa adalah tinja sewaktu berasal dari deteksi spontan. Sebaiknya diperiksa dalam keadaansegar. Bila tidak memungkinkan untuk diperiksa segera, tinja tersebut diberi formalin 5-10% atau spirtus sebagai pengawet.Pemeriksaan tinja secara mikroskopis dilakukan antara lain dengan metode langsung (secara relatif) bahan pengencer yang dipakai NaCl 0,9 % atau Lugol. Dari satu spesimen tinja dapat digunakan menjadi empat sediaan. Bilamana ditemukan telur cacing Taenia sp, maka pemeriksaan menunjukkan hasil positif taeniasis. Pada pemeriksaan tinja secara makroskopis dapat ditemukan proglotid.Pemeriksaan dengan metode langsung ini kurang sensitif dan spesifik. Terutama telur yang tidak selalu ada dalam tinja dan secara morfologi sulit diidentifikasi. Metode pemeriksaan lain yang lebih sensitif dan spesifik misalnya teknis sedimentasi eter; anal swab; dan coproantigen (paling spesifik dan sensitif).Diagnosis dari cysticercosis adakalanya dapat menjadi sulit, dan ini mungkin memerlukan gabungan dari tes-tes dan studi-studi pencitraan untuk membuat diagnosis. Pada umumnya, bagaimanapun presentasi klinik pasien bersama dengan hasil-hasil pencitraan radiographic yang abnormal (CT scan dari otak/MRI dari otak) menjurus pada diagnosis dari neurocysticercosis. Gambar-gambar dari kista-kista dalam otak dapat ditemukan pada referensi pertama yang didaftar dibawah. Pengujian darah dapat digunakan sebagai tambahan yang berarti dalam membuat diagnosis, meskipun itu tidak selalu bermanfaat atau akurat. Tes-tes ini biasanya dilakukan oleh spesialis-spesialis lab. biopsi dari jaringan yang terpengaruh mungkin diperlukan untuk membuat diagnosis. Tes fecesjuga diperoleh karena mereka mungkin mengandung telur-telur parasit yang dapat diidentifikasi.NeurosistiserkosisDinyatakan adanya tersangka neurosistiserkosis apabila :a) Anamnesis :1. Berasal dari / berdomisili di daerah endemis taeniasis/ sistiserkosis2. Gejala Taeniasis3. Riwayat mengeluarkan proglotid4. Gejala pada mata dan gejala sistiserkosis lainnya5. Riwayat / gejala epilepsi6. Gejala peninggian tekanan intra kranial7. Gejala neurologis lainnya

b) Pemeriksaan fisik :1. Teraba benjolan / nodul sub kutan atau intra muskular satu atau lebih2. Kelainan mata (oscular cysticercosis) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh sistiserkosis3. Kelainan neurologis4. Pemeriksaan penunjang5. Pemeriksaan tinja secara makroskopis : proglotid (+)6. Pemeriksaan tinja secara mikroskopis : Telur Taenia Sp (+)7. Pemeriksaan darah tepi : Hb, Leukosit (Leukositosis), Eritrosit, hitung jenis (eosinofilia), LED (meningkat dan gula darah)8. Pungsi Lumbal sel (eosinofil meningkat 70 %),protein (meningkat 100%), glukosa (menurun 70 % dibandingkan dengan glukosa darah) NaCl.9. Pemeriksaan serologis (ELISA dan immunoblot): sistiserkosis (+) spesimen yang diperiksa berupa cairan otak (LCS) kurang lebih 2-3 cc. Tempat pemeriksaan di laboratorium yang telah ditentukan. Pengiriman spesimen cairan otak dengan tabung / botol steril dan es batu (1 derajat C) Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan foto kepala (untuk kista yang sudah mengalami kalsifikasi) dan lebih baik lagi pemeriksaan CT- Scan (Computerized Tomography Scanning) atau MRIPencitraan merupakan metode utama untuk neurosistiserkosis (Wiria, 2008). Untuk mendiagnosa neurosistiserkosis dan mengevaluasi gejala neurologis dapat dipakai CT scan dan MRI (CFSPH, 2005). CT scan adalah metode terbaik untuk mendeteksi kalsifikasi yang merupakan infeksi inaktif. CT lebih unggul daripada MRI, sebaliknya MRI lebih sensitif untuk menemukan kista di parenkim dan ekstraparenkim otak, termasuk dalam mendeteksi reaksi peradangan (Wiria, 2008). Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus (Pearson, 2009a). Pada pemeriksaan radiologis, apabila dijumpai kista yang hidup, dinding kista tidak terlihat dan cairan sistiserkus memiliki kepadatan yang sama dengan cairan serebrospinal. Ketika parasit mulai kehilangan kemampuan untuk memodulasi respon imun, pada awalnya, akan terlihat peningkatan kontras sekitar kista. Pada akhirnya, akan terlihat gambaran peningkatan kontras seperti cincin atau nodul (Garcia et al., 2002).

2.8 PrognosisPrognosis pada pasien sangat baik bila terdapat cacing dewasanya, baik bila sistiserkus dapat diambil dengan tindakan bedah, dan buruk bila terdapat parasit dalam bentuk rasemosa, terutama dalam otak. Beberapa regimen obat baru juga terbukti sangat efektif untuk membunuh sistiserkus.

BAB IIIKESIMPULAN

1. Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larvaTaenia soliumyaitu cacing pita pada babi. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak.2. Cara penularannya melalui makanan terutama daging babi atau feses yang mengandung larva/telur cacing (Oral-Fecal).3. Cysticercosis menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam tubuh manusia.4. Penegakan diagnosa dapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang meliputi pemeriksaan feses, pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan pungsi lumbal sel, dan pencitraan yaitu CT-scan atau MRI.5. Pada hasil dari pemeriksaan CT scan atau MRI, mungkin dijumpai nodul padat, kista, kista yang telah terkalsifikasi, lesi cincin, atau hidrosefalus.

15