Upload
jefrizal-mat-zain
View
50
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nervus 1
Citation preview
PERJALANAN NERVUS CRANIALIS I
DAN
MANIFESTASI KLINISNYA
A. PENDAHULUAN
Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan
otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat
panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf
otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui
batang otak, saraf otak kedua sampai kedua belas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak
kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk
di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1)
Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan
paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai
kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun
perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain.
Reseptor pada bagian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung dihubungkan
langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfaktori otak, yang terletak di bawah lipatan frontal
(frontal lobes). Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa
juga sebagai keluhan primer. Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira
1% dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada mereka yang berusia
lebih dari 60 tahun.(2)
B. ANATOMI & FISIOLOGI
Sistem pembauan manusia dimulai dari reseptor olfaktorius yang terdiri dari mukosa
olfactorius, fila olfaktori, bulbus olfaktorius, traktus olfaktorius, korteks (paleokorteks) unkus
lobus temporalis, dan area subkalosal3.
Mukosa olfaktorius terletak pada atap masing-masing kavitas nasal dan meluas sampai
konkha nasalis superior serta septum nasi. Pada mukosa ini dijumpai epitel olfaktorius, jaringan
ikat, pembuluh darah, dan kelenjar Bowman.yang memproduksi cairan mukus yang disebut
1
mukus olfaktorius (berfungsi sebagai pelarut aroma pembauan). Epitel olfaktorius terdiri dari
tiga tipe sel yaitu :
1. Sel olfaktorius
2. Sel penunjang/sel sustentakular
3. Sel basal
Sel olfaktorius adalah neuron-neuron bipolar yang nantinya akan membentuk saraf olfaktorius.
Sel penunjang sebagai penunjang fisik dan metabolic dari sel olfaktorius. Sel basal merupakan
sel punca (stem cell) yang dapat berdiferensiasi sebagai sel olfaktorius atau sel penunjang3.
Prosessus perifer neuron bipolar akan bergabung menjadi suatu fasikulus tak bermielin
yang disebut fila olfaktoria. Pada tiap sisi terdapat sekitar 25 fila yang selanjutnya akan
menembus foramen lamina fibrosa os ethmoid dan bergabung ke dalam bulbus olfaktorius.
Bulbus olfaktorius merupakan tonjolan otak (telesenfalon) yang terdiri dari lima lapisan yaitu :
1. Lapisan glomerular
2. Lapisan pleksiform eksternal
3. Lapisan sel mitral
4. Lapisan pleksiform internal
5. Lapisan sel granuler
Bulbus olfaktorius mengandung sinaps rumit dari sel mitral, sel tufted, dan sel granuler3.
Neuron pertama sistem olfaktorius adalah sel bipolar. Sel mitral dan sel tufted merupakan
neuron kedua sistem olfaktorius. Akson neuron-neuron ini bergabung membentuk traktur
olfaktorius masing-masing terletak di sulkus olfaktorius pada permukaan inferior. Traktur
olfaktorius akan pecah menjadi tiga jalur yaitu :
1. Stria lateralis
2. Stria intermediate
3. Stria medialis
Serabut striae lateralis berjalan di atas limen insula menuju garis semilunaris dan ambiens (area
pre-piriformis), serta berakhir di amygdala. Disinilah awal neuron ketiga sistem olfaktorius yang
berikutnya akan meluas sampai girus parahipokampus (area Broadmann 28/ entorhinal area),
yang merupakan region proyeksi kortikal primer dan pusat asosiasi sistem olfaktorius. Serabut
stria medialis berlanjut ke area di bawah korpus kallosum (area subkalosal) dan area septal.
Disini sistem olfaktorius dihubungkan dengan sistem limbik. Striae intermediate berlokasi di
2
bawah trigonum olfaktorius. Sejumlah serabut diproyeksikan ke area ini dan nampaknya tidak
terlalu penting/ berarti pada manusia3.
Gambar 1. Skema Nervus I3
3
C. ETIOLOGI GANGGUAN PENCIUMAN
Disfungsi olfaktorius dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu8 :
Gangguan konduktif atau transport
Gangguan sensorineural akibat kerusakan neuroepitel
Gangguan pada central olfaktorius dikarenakan kerusakan sistem saraf pusat
Terdapat beberapa penyebab dari gangguan olfaktorius yaitu :
1. Gangguan Nasal atau Sinus
Gangguan pada cavum nasal digolongkan dalam gangguan konduksi dan sensorineural.
Pada gangguan konduksi, bau tidak dapat kontak dengan epitel olfaktorius sedangkan
gangguan sensorineural bau dapat melakukan kontak dengan epitel olfaktorius namun
tidak mampu mampu diproses untuk menghasilkan impuls yang akan diteruskan ke
sistem yang lebih tinggi. Contoh nya : poliposis intranasal, sinusitis kronik, dan rhinitis
alergi8.
2. Trauma kepala/ post trauma
Pada umumnya, trauma pada lobus frontal dan lobus oksipital dapat menyebabkan
gangguan penciuman. Disfungsi olfaktorius pada post trauma disebabkan oleh beberapa
mekanisme yaitu :
(1) perubahan dari traktus sinonasal
(2) robekan dari filament nervus olfaktorius
(3) kontusio cerebri dan hemoragik pada region olfaktorius.
Pada trauma kepala, pasien biasanya mengalami hematom, edema, dan avulse pada
olfactory cleft oleh karena trauma pada neuroepitel olfaktorius. Selain itu didapatkan
juga scar dengan formasi sinekia, fraktur os nasal. Hal ini dapat menghalangi partikel
bau untuk sampai ke neuroepitel olfaktorius. Axon dari reseptor olfaktorius sangat
lembut dan masuk melalui foramina kecil dari lamina kribiformis pada basal cranial dan
melakukan sinaps di bulbus olfaktorius. Adanya sobekan ataupun gesekan pada axon
selama proses trauma dapat menyebabkan disfungsi olfaktorius. Hal ini dapat terjadi
disertai dengan fraktur region naso-orbita-ethmoid region, meliputi lamina kribiformis.
Trauma kepala menyebabkan suatu contusion atau perdarahan intraparenkim. Contusion
6
dari bulbus olfaktorius atau lesi cortical pada region olfaktorius (amygdale, lobus
temporal, lobus frontal) dapat menyebablan anosmia post traumatic.
3. Infeksi saluran nafas atas
Disfungsi olfaktorius yang disebabkan karena infeksi saluran nafas atas terjadi pada 20-
30 % kasus. Dikatakan bahwa gangguan penciuman pada kasus ini sulit untuk ditangani
karena melibatkan kehilangan sensoris dari olfaktorius. Penelitian yang dilakukan oleh
Jafek and Eller pada epitel olfaktorius manusia menunjukkan bahwa hilangnya cilia
olfaktorius pada pasien dengan infeksi saluran nafas atas. Biopsi menunjukkan bahwa
cilia hilang dari dendrite olfaktorius dan hanya sedikit neuron olfaktorius serta axonnya
pada pasien infeksi saluran nafas atas. Hal ini sejalan dengan teori bahwa virus influensi
dapat mempengaruhi aktivitas silia pada epitel respiratori9.
4. Gangguan pada sistem saraf pusat
Pada umumnya, CNS disorder dapat memberikan pengaruh pada sistem olfaktorius.
Kehilangan sensitivitas penciuman merupakan gejala pertama pada penyakir
Alzheimers. Hal ini merupakan tanda dari terjadinya plaq neural, gangguan pada
neurofibrial dan kehilangan sel pada nucleus olfaktorius anterior. Selain itu, penurunan
daya penciuman terjadi pada pasien ini dikarenakan bulbus olfaktorius memiliki
hubungan yang luas dengan area otak yang mengalami kerusakan dikarenakan
Alzheimer Disease.
5. Tumor garis tengah dari fossa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus
olfaktorius (fossa etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias anosmia, sindrom Foster
Kennedy dan gangguan kepribadian jenis lobus orbitalis (hilangnya inhibisi, seperti pada
paresis umum dan penyakit Pick lobus orbital). Adenoma hipofise yang meluas ke
rostral juga dapat merusak penciuman.
7
Gangguan penciuman dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu12 :
1. Gangguan kuantitatif : kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia,
parosmia) atau peningkatan kepekaan penciuman (hiperosmia)
2. Gangguan kualitatif : distorsi atau ilusi dari penciuman (dysosmia atau parosmia)
3. Halusinasi penciuman dan delusi dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan
psikiatrik
4. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman.
Anosmia
Anosmia adalah hilangnya suatu penciuman yang dapat disebabkan oleh kelainan-
kelainan yaitu agenesis traktus olfaktorius (cacat bawaan), gangguan mukosa olfaktorius
(rhinitis, tumor hidung), robekan fila olfaktori akibat fraktur lamina kribrosa, destruksi bulbus
dan traktur olfaktorius akibat adanya kontusio kontrakoup, trauma region orbita, infeksi
sekitarnya seperti sinusitis ethmoid, dan inflamasi menings, tumor fossa cranial anterior seperto
meningioma fossa ethmoida/olfactory groove (yang menampilkan trias anosmia, sindrom Foster
Kennedy, dan gangguan personal lobus orbital, adenoma pituitary (yang meluas ke rostral)3.
Anosmia unilateral jarang dikeluhkan oleh pasien dan anosmia bilateral biasanya dikeluhkan
oleh pasien sebagai tidak adanya sensasi pengecapan (ageusia).
Parosmia
Parosmia atau disosmia adalah abnormalitas penciuman dimana seseorang salah persepsi
terhadap sesuatu yang ia cium. Parosmia dapat terjadi pada kasus-kasus skizofrenia, lesi-lesi
unsinatus, dan hysteria3.Parosmia juga dapat terjadi pada gangguan nasopharyngeal seperti
emphyiema sinus nasal dan ozena. Jaringan yang abnormal kemungkinan menjadi sumber bau
yang tidak menyenangkan bagi pasien. Parosmia bisa didapatkan pada pasien di usia muda atau
pertengahan yang memiliki depresi.
Halusinasi olfaktorius
9
Pasien mengaku dapat mencium bau dimana orang lain tidak mampu menciumnya
disebut dengan phantosmia. Jika pasien mengaku sering mengalami halusinasi dan memberikan
gangguan kepribadian, maka gejala yang dialami diasumsikan sebagai suatu delusi. Gabungan
antara halusinasi olfaktorius dan delusi merupakan suatu gangguan psikiatrik. Pada skizofrenia,
stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang menjadi stressor pasien.
Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. Ada beberapa pendapat yang
mempercayai bahwa kelompok amygdala nuclei adalah sumber dari halusinasi.
Agnosia Olfaktorius
Harus dipertimbangkan kelainan dimana aspek persepsi primer dari penciuman (deteksi
bau, adaptasi bau, dan mengenal kualitas berbeda dari bau yang sama) masih baik namun terjadi
ketidakmampuan untuk membedakan bau dan mengenal kualitas bau. Ketidakmampuan untuk
mengidentifikasi atau mendeskripsikan sensasi disebut agnosia. Untuk mengetahui kelainan ini
dibutuhkan tes yang khusus, seperti mencocokkan sampel, identifikasi, dan memberi nama
berbagai macam bau dan mengelompokkan dimana dua bau identik atau berbeda. Perubahan
fungsi dari olfaktorius merupakan karakteristik pasien dengan Psikosis Korsakoff dengan
alkoholik. Sebagian besar pasien Korsakoff terdapat lesi medial nucleus dorsal dari thalamus.
Beberapa penelitian dilakukan pada hewan yang menggambarkan bahwa nucleus dan
hubungannya dengan korteks orbitofrontal member efek gangguan pada diskriminasi bau.
Eichenbaum dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa kelainan penciuman dapat terjadi pada
pasien yang pernah menjalani reseksi ekstensif lobus temporal medial bilateral. Operasi ini
dipercaya telah menghilangkan aferen olfaktorius ke korteks frontal dan thalamus, namun belum
ada bukti anatomi untuk hal ini12.
E. DIAGNOSIS
10
1. Anamnesis
Dari anamnesis, didapatkan beberapa keluhan berupa dalah hilangnya daya penghiduan,
kurang tajamnya penciuman, daya penciuman yang terlalu peka, gangguan penciuman
bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau
bawang goring, penciuman yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin
, pesing dsb, maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia, bila tercium suatu modalitas
olfaktorik tanpa adanya perangsangan. Selain itu, harus diketahui gejala lain yang
mendasari misalnya kejang, gangguan memori, tanda-tanda peningkatan intracranial
(mual, muntah, sakit kepala), adanya demam, rhiore, ketajaman penglihatan13,.
2. Pemeriksaan Fisis13
Pemeriksaan fisis untuk menilai letak kelaianan pada gangguan penciuman dapat
dilakukan evaluasi nasal berupa rhinoskopi anterior dan endoscopy. Dengan cara ini,
maka dapat dievaluasi neuroepitel olfaktorius dan mengetahui jika terjadi hambatan udara
pada neuroepitel. Pada pemeriksaan nasal, mukosa nasal dievaluasi warna, struktur,
edema, imflamasi, eksudat, ulserasi, metaplasia epitel, erosi, ataupun atrofi. Jika
didapatkan rhinore purulen pada cavitas nasi, mungkin terjadi suatu rhinitis. Jika rhinore
berasal dari meatus media, maka mungkin terjadi sinusitis maxillaries dan ethmoidalis
anterior. Jika rhinore berasal dari meatus superior atau recessus sphenoethmoidalis maka
kemungkinan terjadi sinusitis ethmoidal posterior atau sphenoid. Adanya massa, polip,
adhesi, ataupun deviasi septum memiliki potensi dalam penurunan aliran udara menuju
epitel olfaktorius. Jika terjadi alergi, maka mukosa akan terlihat pucat dan edem. Paparan
polutan pabrik yang akut ataupun kronik akan memberikan gambaran metaplasia epitel
berupa edem, inflamasi, eksudat, erosi, ataupun ulserasi. Atrori dari lamina propria
menunjukkan suatu rhitnitis atrofi atau rhinitis medikamentosa. Setelah dilakukan
pemeriksaan rhinoskopi anterior, maka dilakukan tes penciuman.
11
Pemeriksaan sensoris fungsi penciuman dibutuhkan untuk memastikan keluhan
pasien, mengevaluasi kemanjuran terapi, dan menentukan derajat gangguan permanen.
1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif
Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat
sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia
untuk pemeriksaan penciuman.
a. Tes Odor stix
Tes Odor stix menggunakan sebuah pena mirip spidol yang menghasilkan
bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien
untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.
Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap
bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja
dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.
12
b. Scratch and sniff card
Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji
penciuman secara kasar.
13
c. The
University of Pennyslvania Smeel Identification Test (UPSIT)
Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat
dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini
menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff
berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling
mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,”
dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada.
Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan
sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan
penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman.
14
Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai
skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien
anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut
peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui
rangsangan trigeminal.
Dalam pemeriksaan fisis, kita juga harus memperhatikan adanya tanda-tanda demensia
(intensi, disfungsi memori, apati, disorientasi) pada pasien dengan gangguan penciuman.
Hal ini dikarenakan penurunan kemampuan penciuman merupakan gejala pertama yang
muncul pada penyakit seperti Alzheimer disease, Huntington corea, multi infarct
dementia, dan Pick Disease. Bukti adanya disorientasi, kejang, dan perubahan mood
dapat meningkatkan dan menurunkan fungsi penciuman pada pasien dengan epilepsy
15
lobus temporal. Kehilangan kemampuan penciuman dengan ada masalah pada memori
jangka pendek dapat membantu untuk menemukan adanya defisiensi vitamin B1 dan
sindrom Wernicke-Korsakoff. Perubahan kognitif (depresi, bingungm halusinasi) dapat
merupakan tanda bagi anemia defisiensi.
Pemeriksaan optikus sebagai tanda peningkatan tekanan intraocular ataupun
intracranial (papil edem) harus dilakukan dikarenakan tumor di olfactory groove atau
sphenoid ridge dapat menyebabkan Foster Kennedy syndrome, dimana dengan gejala
klinis ipsilateral anosmia atau hiposmia, atrofi opric ipsilateral, dan papiledem
kontrallateral. Pasien dengan Korsakoff sindrom, tidak hanya memiki penurunan dalam
memori dan penciuman tetapi juga dalam mendiskriminasi warna dan persepsi auditori.
Adanya ataksia, apraksia pada pergerakan orolingual, kelainan oculomotor,
masalah koordinasi, gangguan cara jalan, tremor, bradikinersia, dan rigiditas, serta
adanya gangguan dari kemampuan penciuman terjadi pada pasien dengan Huntington’s
chorea dan multiple sclerosis. Penurunan sensori berupa suhu, vibrasi, dan nyeri biasanya
terjadi pada pasien dengan neuropati yang mengalami hiposmia. Dalam hal ini, neuropati
dapat terjadi pada diabetes, gagal hati, serta gagal ginjal. Pada pasien dengan hepatitis,
imunidefisiensi, dan infeksi virus, hiposmia dapat terjadi bersamaan dengan polineuropati
tibe Gullain Barre. Adanya demam dan kaku kuduk dapat membantu untuk
mengidentifikasi adanya infeksi serois seperti meningitis yang dapat menyebabkan
disfungsi kemosensoris.
2. Pemeriksaan Penunjang13
Pemeriksaan laboratorium
Jika penyebab gangguan penciuman tidak jelas, maka pemeriksaan laboratorium
lengkap dapat diindikasikan untuk menemukan suatu proses infeksi, nutrisi, serta
proses hematopoietic. Untuk mengidentifikasi proses autoimun atau inflamasi dapat
dilakukan pemeriksaan sedimen eritrosit.
16
CT Scan
Sensitivitas dari Computed Tomografi (CT) pada jaringan lunak menjadikan
pemeriksaan ideal pada cavitas sinonasal. Semua cavitas nasal, sinur paranasal,
palatum durum, anterior skull base, orbit, dan nasopharyng dapat terlihat. Potongan
coronal dapat menilai anatomi dari paranasal dan region anterior nasoethmoidal.
Untuk menilai lesi vaskuler, tumor, abses, dan prosessus meningeal dan
parameningeal, CT scan dengan kontras dapat dilakukan.
MRI
MRI lebih baik dari pada CT untuk mengidentifikasi jaringan lunak namun kurang
sensitive untuk kelainan kortikal tulang. MRI dapat mengidentifikasi bulbus
olfaktorius, traktus olfaktorius, dan proses intracranial yang dapat menyebabkan
disfungsi penciuman serta lebih jelas pada potongan coronal.
Neurophisiology test
Adanya keterkaitan antara kehilangan kemampuan penciuman dan demensia pada
pasien Alzheimer’s disease dan multi-infarct dementia, maka neurophysiology test
dilakukan untuk mengidentifikasi adanya demensia. The Mini mental State
Examination adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi demensia.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan sellular neuroepitel olfaktorius dan biopsy neuroepitel dapat dilakukan.
Pada pemeriksaan ini, jaringan neuroepitel olfakorius diambil di daerah septum
dengan menggunakan forcep atau instrument khusus dan kemudian diperiksa secara
histology. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya metaplasia dari neuroepitel
olfaktorius.
F. PENATALAKSANAAN
Pasien dengan keluhan disfungsi olfaktorius harus menjalani berbagai pemeriksaan untuk
mengetahui penyebab dasarnya karena akan diterapi beradasarkan penyebab nya.
1. Penyakit nasal dan sinus.
Ada beberapa consensus yang menyatakan bahwa pasien dengan rhinitis alergi dan polip
nasal dapat diterpai dengan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid intranasak topical.
17
Kosrtikosteroid sistemik adalah anti inflamasi potensial yang bekerja dengan mengurangi
produksi mucus sehingga partikel bau dapat mencapai neuroepitel olfaktorius.
2. Trauma kepala/ post trauma
Sistem olfaktorius memiliki kemampuan untu beregenerasi.Namun demikian, pada
beberapa kasus trauma kepala berat, fungsi olfaktorius tidak mengalami perbaikan. Tidak
diketahui secara pasti factor yang dapat menyebabkan hal ini9. Onset regenerasi terjadi
tiga bulan setelah trauma, diatas satu tahun kemungkinan perbaikan sangat tipis.
Perbaikan yang cepat dpat terjadi contohnya pemisahan bekuan darah dan perbaikan yang
lambat dikarenakan regenerasi pada elemen neural. Perbaiakn secara menyeluruh dapat
berlangsung hingga 5 tahun.
3. Infeksi saluran nafas atas
Pada kasus ini , tidak ada pengobatan yang spesifik yang dapat dilakukan. Beberapa studi
menjelaskan bahwa terjadi penyembuhan secara spontan dengan mekanisme yang masih
belum jelas. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami perbaikan pada 6
bulan setelah onset. Penggunaan vitamin A dan zinc masih memberikan kontroversi.
Pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan yang diterapi dengan suplemen zinc
tidak memberikan perbaikan.
4. Gangguan pada sistem saraf pusat
Pada kasus dimana tumor merupakan penyebab primer, maka pengangkatan tumor
dengan tujuan memperbaiki jalur olfaktorius merupakan terapi yang tepat. Terapi pada
meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura.
Pada pasien psikiatrik, haloperidol dapat mengontrol halusinasi dan parosmia.
Intervensi bedah dapat dilakukan yaitu eksisi dari mukosa olfaktorius pada pasien dengan
unilateral phantosmia. 9
G. PROGNOSIS
Disfungsi olfaktorius yang disebabkan oleh proses inflamasi seperti rhinosinusitis kronik dan
rhinitis alergi dilaporkan memiliki prognosis baik dengan angka penyembuhan 68-86%.
18
Prognosis dari penyembuhan sistem olfaktorius yang disebabkan oleh trauma kepala lumayan
buruk, hanya 10-38%, dilaporkan hanya 4 dari 17 (24%) pasien anosmia menunjukkan
penyembuahan yang sedikit pada fungsi olfaktorius dengan munggunakan kortikosteroid
sistemik atau topical. Hendrik 91998) menganalisa insidensi dari dsifungsi olfaktorius dari 32
kauss, 8% disebabkan oleh trauma kepala.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar.
Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: hal. 114 – 82.
2. Septinur. Anosmia. Available from :
http://septinur.blogspot.com/2010_01_01_archive.html). Acessed : 13/11/2011.
3. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta . 2010 : hal. 29-
31; 111-112
4. Netter, Frank H dkk. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. Comtan. USA. 2002
5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 2007 :hal. 697-700.
6. Monkhouse, Stanley. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge university Press.
2006. United States of America. 2006: hal.106-8
7. Barker, Roger dkk. Neuroscience at a Glance. Blackwell Science. United States of
America. 2000 : hal.68
8. Shen Jing. Olfactory Dysfunction and Disorder.Available from :
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-2003-1126.htm.
Acessed : 6/12/2011.
9. Gatchum Helen. Anosmia. Available from : Shen Jing. Olfactory Dysfunction and
Disorder.Available from :
http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-2003-1126.htm.
Acessed : 6/12/2011.
10. Lindsay,Kenneth dkk. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Third Edition. Churcill
Livingstone. London. 1997: Hal 137
19
11. Suherti. Parese Nervus Olfaktorius. Available from :
http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/parese -nervus-olfaktorius.html.
Acessed:13/11/2011
12. Irwandi. Sistem Olfaktorius. Available from :
http://dokterirwandigafima.blogspot.com/2010/07/anatomi-nervus-i.html.
Acessed:13/11/2011
13. Wilkinson Iain. Essential Neurology. Fourth Edition. Blackwell Publishing. USA. 2005:
hal. 112
14. Ropper Alan, Robert. Principles of Neurology. Eight Edition. McGraw-Hill. NewYork:
2005: hal.195-9
15. Goetz Christopher. Textbook of Clinical Neurology. Second Edition. Sauders. United
States of America L :2007. Hal. 104-9
16. Suarez Jose. Critical Care Neurology and Neurosurgery. Humana Press. New Jersey :
2004. Hal. 51-2
17. Moore, Anne. Neurosurgery Principle and Practice. Springer. London : 2005. Hal.270-5.
18. Kobayashi Masayoshi dan Richard M.Cintanzo. Olfactory Nerve Recovery Following
Mild and Severe Injury and The Efficiacy of Dexamethasone Treatment. Available from :
http://chemse.oxfordjournals.org/content/34/7/573.full. Acessed : 6/12/2011.
20