35
BAB I PENDAHULUAN Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu kegawat daruratan vaskuler yang murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis (Siroky, 2004). Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Terdapat kecenderungan penurunan insiden sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama pubertas. Testis kiri lebih sering terjadi dibanding testis kanan, hal ini mungkin disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang. Pada kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase prenatal dan 30% terjadi postnatal (Reynard, 2006). 1

Isi Referat Edited NU

Embed Size (px)

DESCRIPTION

g

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang

mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis

dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu kegawat daruratan vaskuler yang

murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak

ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat

menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis

(Siroky, 2004).

Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia

dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak

insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Terdapat kecenderungan penurunan insiden

sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda

mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama

pubertas. Testis kiri lebih sering terjadi dibanding testis kanan, hal ini mungkin

disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang. Pada

kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase

prenatal dan 30% terjadi postnatal (Reynard, 2006).

Tumor testis jarang terjadi di Asia dan Afrika. Kejadian di seluruh dunia telah

meningkat sejak tahun 1960-an, dengan tingkat prevalensi tertinggi di

Skandinavia, Jerman, dan Selandia Baru (Einhorn LH, 2007).

Kasus torsio testis harus segera ditangani untuk menghindari hilangnya fungsi

fisiologis testis. Pembedahan torsio testis akan diikuti oleh detorsio yang akan

menyebabkan reperfusi jaringan. Reperfusi dari jaringan yang sebelumnya

iskemia dapat menyebabkan timbulnya cedera sel yang mengurangi manfaat dari

reperfusi itu sendiri. Cedera sel ini disebut cedera reperfusi. Oleh karena itu

keadaan reperfusi dapat dikatakan sebagai keadaan dilematis. Keadaan yang

diperlukan oleh jaringan tetapi juga dapat memicu cedera iskemia. Sindrom ini

sering memicu testis ipsilateral dan kontralateral menjadi infertil (Raju, et al.,

2010)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

1. Funiculus Spermaticus

Funiculus spermaticus merupakan gabungan struktur-struktur yang

melalui canalis inguinalis dan berjalan menuju ke dan dari testis. Funiculus

spermaticus diliputi oleh 3 lapisan konsentris facia yang berasal dari

lapisan-lapisan dinding anterior abdomen. Funiculus spermaticus berawal

pada annulus inguinalis profundus yang terletak lateral terhadap arteria

epigastrica inferior struktur-struktur pada funiculus spermaticus sebagai

berikut (Snell, 2006).

a. Vas deferens

b. Arteria testicularis

c. Venae testicularis (plexus pampidiformis)

d. Pembuluh limfatik testis

e. Saraf-saraf otonom

f. Prosesus vaginalis

g. Arteria cremasterica

h. Arteria duktus deferentis

i. Ramus genitalis nervus genitofemoralis yang menyarafi musculus

cremaster

2. Scrotum

Scrotum merupakan kantong yang menonjol keluar dari bagian bawah

dinding anterior abdomen. Scrotum berisi testis, epididimis dan ujung

bawah funiculus spermaticus. Dinding scrotum mempunyai lapisan (Snell,

2006):

a. Cutis

b. Facia superficialis, musculus dartos menggantikan panniculus

spermatica externa yang berasal dari musculus oblikus externus

abdominis

2

c. Fascia cremasterica yang berasal dari musculs oblicus internus

abdominis

d. Fascia spermatica interna yang berasal dari fascia tranversalis

e. Tunica vaginalis

3. Testis

Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di skrotum. Ukuran

testis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2.5 cm dengan volume 15-25 ml

berbentuk ovoid. Testis sinistra biasanya terletak lebih rendah

dibandingkan testis dextra. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan

tunika albuginea yang melekat pada testis. Pada permukaan anterior dan

lateral, testis dan epididimis dikelilingi oleh tunika vaginalis yang terdiri

atas 2 lapis, yaitu lapisan viseralis yang langsung menempel ke testis dan

di sebelah luarnya adalah lapisan parietalis yang menempel ke muskulus

dartos pada dinding skrotum. Otot kremaster yang berada disekitar testis

memungkinkan testis untuk dapat digerakkan mendekati rongga abdomen

untuk mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil (Snell, 2006;

Purnomo, 2012).

Permukaan dalam kapsula terbentang banyak septa fibrosa yang

membagi bagian dalam organ menjadi lobulus-lobulus (lobuli testis).

Dalam setiap lobulus terdapat satu sampai tiga tubuli seminiferi yang

berkelok-kelok. Tubuli seminififeri bermuara ke dalam jalinan saluran

yang dinamakan rete testis. Ductuli efferentes menghubungkan rete testis

dengan ujung atas epididimis (Snell, 2006; Martini, 2012).

Testis diperdarahi oleh arteri testicularis yang berupakan cabang

langsung aorta abdominalis. Vena testicularis keluar dari testis dan

epididymis sebagai jalinan vena yang disebut plexus pampiniformis.

Jalinan ini bakan mengecil dan berjalan ke atas melalui canalis inguinalis.

Vena testicularis dextra mengalirkan darahnya ke vena cava inferior, dan

vena testicularis sinistra bermuara ke vena renalis (Martini, 2012).

3

Gambar 1. Struktur Anatomi Funiculus Spermaticus, Scrotum, dan Testis

(Martini, 2012)

Gambar 2. Struktur Testis

(Martini, 2012)

B. Etiologi

Masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada muskulus

dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis,

epididimis, dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan

untuk terpluntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpluntirnya testis pada

keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.

4

Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan

kelainan sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya

mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis,

pada kelainan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga

mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan

testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis

dan menggantung pada funikulus spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai

anomali bellclapper. Keadaan ini akan memudahkan testis mengalami torsio

intravaginal.

Gambar 3. Perbedaan Anatomi Testis Normal dengan Torsio Testis

(Ringdahl & Teague, 2006)

5

Faktor predisposisi lain terjadinya torsio adalah peningkatan volume

testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak

horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord

intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006).

Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio

timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi

otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan

testis kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan

terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis

(Wilson & Hillegas, 2006).

6

C. Patofisiologi

Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati

dan menjauhi rongga abdomen untuk mempertahankan suhu ideal untuk testis.

Adanya kelainan system penyanggah testis menyebabkan testis dapat

mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang

menyebabkan pergerakan berlebihan itu, antara lain (Purnomo, 2012):

1. Perubahan suhu yang mendadak (seperti saat berenang),

2. Ketakutan,

3. Latihan yang berlebihan,

4. Batuk,

5. Celana yang terlalu ketat,

6. Defekasi,

7. Trauma yang mengenai skrotum.

Terpeluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran

darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis,dan iskemia.

Akhirnya testis dapat mengalami nekrosis (Purnomo, 2012) .

7

Gambar 4. Bagan Patofisiologi Torsio Testis

(Wim De Jong, 2005)

D. Penegakkan diagnosis

Torsio testis dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila diagnosis

torsio testis masih diragukan atau pasien tidak menunjukan bukti klinis nyata

(Minevich, 2007).

8

Spasme otot kremaster

Aliran darah terhenti

Iskemia testis

Testis berotasi bebas

Nekrosis

Nyeri menjalar ke

abdomen

Impuls dari saraf

Demam Terasa terbakar saat berkemih

Stimulasi mual-muntah

dari otak

ETIOLOGI

Immobilisasi testis

Trauma testis

Tumor testis

Adescendens testicularis

Perubahan keadaan extreme

Bell-clapper

1. Tanda dan gejala

a. Anamnesis

1) Penderita mengalami nyeri akut di daerah skrotum akibat torsio

testis ini. Nyeri ini bersifat mendadak dan disertai dengan

pembengkakan pada skrotum. Sifatnya yang mendadak ini yang

membedakan torsio testis dengan epididimitis. Keadaan nyeri hebat

ini disebut dengan akut skrotum (Purnomo, 2012).

2) Jika penderitanya seorang bayi, gejalanya menjadi tidak khas,

yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui (Purnomo, 2012).

3) Biasanya penderita pernah memiliki riwayat melakukan olah raga

berat ataupun trauma tumpul ringan pada daerah tersebut

(Rothrock & Brennan, 2007).

4) Sebagian penderita juga mengalami mual dan muntah akibat akut

skrotum ini, selain itu sebagian penderita juga mengalami demam.

Namun gejala demam ini tidak tentu dialami oleh semua penderita

(Rothrock & Brennan, 2007).

5) Sebagian besar penderita pernah merasakan adanya episode nyeri

yang hebat seperti itu sebelumnya, namun dapat sembuh tanpa

ditangani, sehingga tidak menjadi keluhan yang berarti (Rothrock

& Brennan, 2007).

Gambar 5. Gambaran Penderita Torsio Testis

(Wilson & Hillegas, 2006)

9

2. Pemeriksaan Fisik

1) Ditemukan keadaan testis yang membengkak, testis yang

mengalami torsio akan terletak lebih tinggi dan lebih horisontal

dibandingkan dengan sisi kontra lateralnya (Purnomo, 2012).

2) Pemeriksaan refleks kremaster juga perlu dilakukan pada proses

pemeriksaan fisik. Testis yang mengalami torsio ini akan

kehilangan kemampuannya untuk melakukan refleks kremaster ini

(Agarwal, Aitken, & Alvarez, 2012). Namun, pada penderita yang

berusia di bawah 30 bulan, normal jika tidak memiliki refleks

kremaster. Tanda ini penting untuk membedakan torsio testis

dengan penyakit lain yang memiliki gejala akut skrotum (Rothrock

& Brennan, 2007).

3) Letak testis lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi

kontralateral (Minevich, 2007).

4) Pada testis yang mengalami torsio akan teraba testis yang seperti

terpelintir, sudut yang abnormal dari testis, terutama jika

dibandingkan dengan sisi kontra lateralnya dan terdapat penebalan

funikulus spermatikus (Rothrock & Brennan, 2007; (Minevich,

2007).

5) Namun, jika testis berotasi 360 atau 270 derajat, maka epididimis

kemungkinan akan terlihat seperti normal (Rothrock & Brennan,

2007).

6) Testis tampak hiperemis, eritem, dan edema yang meluas hingga

skrotum sisi kontralateral (Minevich, 2007).

7) Nyeri tidak berkurang walaupun telah dilakukan elevasi testis

(Prehn sign) (Minevich, 2007).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pada pasien torsio testis didapatkan hasil pemeriksaan penunjang

sebagai berikut (Minevich, 2007).

a. Adanya leukosit pada urin

b. Peningkatan acute fase protein (CRP)

10

c. Tidak ditemukan aliran darah menuju testis pada pemeriksaan USG

Doppler

Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila

diagnosis torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak

menunjukkan bukti klinis yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna

menentukan diagnosa banding pada keadaan akut skrotum lainnya.

Urinalisis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi

pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan

hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien. Namun

pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin dilakukan.

Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam

urin dan pemeriksaan darah yang tidak menunjukkan tanda inflamasi,

kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami

keradangan steril (Boddy, 2003).

Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP)

dapat membedakan proses inflamasi sebagai penyebab akut skrotum.

Pada pemeriksaan cairan prostat yang dilakukan untuk membedakan

epididimitis dari torsio testis. Dari 50 kasus epididimitis yang belum

memperoleh antibiotika, pasien mendapatkan cairan prostatnya penuh

dengan leukosit (Boddy, 2003).

Modalitas diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler

ultrasonografi (USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan

menggunakan technetum 99m (99mTc) pertechnetate dengan akurasi

diagnostik 90%. Kedua metode tersebut digunakan untuk menilai

aliran darah ke testis dan membedakan torsio dengan kondisi lainnya

(Iroky, 2004).

Berikut adalah gambar pada pemeriksaan doppler ultrasonografi

(USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan

technetum 99mm (99mTc) ( Iroky, 2004).

11

Gambar 6. Pemeriksaan Doppler Ultrasonografi

( Iroky, 2004)

Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan torsi akut

penurunan aliran darah di testis kiri dibandingkan dengan testis

kanan pada seorang anak 14 tahun yang mengalami nyeri akut

selama empat jam (Iroky, 2004).

Gambar 7. Doppler Ultrasonografi Menunjukan Torsi Akut

(Iroky, 2004)

Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan akhir torsi

mempengaruhi testis kanan pada anak 16 tahun yang mengalami

nyeri selama 24 jam. Terdapat peningkatan aliran darah di sekitar

testis kanan tetapi tidak adanya aliran dalam substansi testis (Iroky,

2004).

12

Gambar 8. Doppler Ultrasonografi Menunjukan Akhir Torsi

(Iroky, 2004)

E. Terapi Medikamentosa dan Non Medikamentosa

1. Non operatif

Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus

spermatikus dapat mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2012).

Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu

dengan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah

torsio biasanya ke medial maka dianjurkan memutar testis ke arah lateral

terlebih dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan dicoba detorsi ke

arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi

telah berhasil. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk

memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat

menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi

harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2012).

Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di

unit gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri,

tindakan ini sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak

sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah

pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis

13

mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan

tindakan detorsi manual akan memperburuk derajat torsio (Purnomo,

2012).

2. Operatif

Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala

upaya untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan

tergantung dari lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting.

Biasanya waktu terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium,

atau prosedur diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat

dipertahankan (Purnomo, 2012).

Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis

pada arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah

testis yang mengalami torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami

nekrosis (Purnomo, 2012).

Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu (Purnomo, 2012):

a. Untuk memastikan diagnosis torsio testis

b. Melakukan detorsi testis yang torsio

c. Memeriksa apakah testis masih viable

d. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis

masih viable

e. Memfiksasi testis kontralateral

Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain

disebabkan oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio

sudah berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih

mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi dengan

alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk membuktikan

diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan untuk

melakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada testis kontralateral. Saat

pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral.

Hal ini dilakukan karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio

di lain waktu (Purnomo, 2012).

14

Jika testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi pada tunika dartos

kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi

dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada 3

tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir kembali, sedangkan

pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis

(orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.

Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam

skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga

mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari (Purnomo, 2012).

F. Prognosis

Prognosis dari torsio testis dapat di bagi menjadi 4, yaitu (S. Tekgul et

all, 2008):

1. Fertilitas

Terdapat variasi prognosis dan saling bertentangan karena belum ada

kepastian, namun dalam suatu penelitian torsio unilateral dapat berakibat

serius terhadap spermatogenesis pada 50% pasien, dimana terjadi

penurunan produksi mencapai 20%

2. Subfertilitas

Subfertilitas terjadi pada 36-39% pasien setelah terjadi torsio testis.

Artinya ditemukan antibodi yang sama antara pasien setelah terjadi torsio

testis dengan pasien infertilitas

3. Tingkat androgen

Tingkat produksi androgen mengalami penurunan pada pasien dengan

masalah setelah Torsio testis

4. Kanker testis

Pada pasien dengan masalah torsio testis memiliki risiko terkena

kanker testis sebesar 3,2 x lebih berisiko.

Secara umum jika penangan terhadap torsio testis cepat dilakukan maka

prognosisnya akan semakin membaik (bonam) (S. Tekgul et all, 2008).

15

F. Komplikasi

Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu

kegawat daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang

terlibat jelas terlihat setelah 2 jam dari torsi. Putusnya suplai darah ke testis

dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Komplikasi

torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian ini

bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Testis yang telah mengalami

nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang

terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas

dikemudian hari (Greenberg, 2005; Graham, 2009).

Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu

hilangnya testis, infeksi, infertilitas, deformitas kosmetik, kanker testis,

penurunan androgen dan masalah terhadap pembentukan sperma

(spermatogenesis) (Graham, 2009; S. Tekgul et all, 2008).

16

BAB III

PEMBAHASAN

A. Teori Baru Penatalaksanaan Torsio Testis

Prinsip penatalaksanaan torsio testis adalah tindakan untuk

mengembalikan perfusi jaringan dan mencegah hilangnya fungsi fisiologis

dari testis. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani torsio testis dapat

dikelompokkan menjadi tindakan operatif dan non operatif (Raju, et al., 2010).

Tindakan non peratif untuk menangani torio testis adalah detorsi manual

funikulus spermatikus. Detorsi manual dilakukan dengan cara memutar testis

berlawanan dengan arah torsio. Detorsi menual merupakan cara terbaik untukk

memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat

menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus

tetap dilaksanakan (Purnomo, 2012).

Tindakan operatif untuk torsio testis harus segera dilakukan mengingat

torsio testis adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan. Tujuan dilakukannya

tindakan pembedahan adalah untuk memastikan diagnosis torsio testis,

melakukan detorsi, memeriksan viabilitas testis, membuat atau memfiksasi

testis, dan memfiksasi testis kontralateral (Purnomo, 2012):.

Tindakan non operatif maupun operatif akan menyebabkan terjadinya

reperfusi jaringan. Reperfusi iskemia memicu timbulnya ROS yang

disebabkan oleh aktivasi sistem xanthine oxidase di sel parenkim atau karena

leukosit yang masuk ke jaringan intersisial. Oleh karena itu terapi detorsio

sangat mungkin dapat mencederai testis. Saat darah kembali mensuplai

jaringan, oksigen dibutuhkan untuk konversi hipoxanthine ke asam urat untuk

disuplai ke testis. Proses perubahan ini menyebabkan peningkatan produksi

radikal bebas. Radikal bebas ini bereaksi dengan lemak pada sel dan membran

mitokondria mengubah permeabilitas dan integritas sel (Raju, et al., 2010).

Oleh karena itu, terapi antioksidan dapat menjadi pilihan terapi non-hormonal

baru pada laki-laki dengan infertilitas yang diakibatkan ROS seperti pada

torsio testis (Dokmeci, 2006).

17

B. Kekurangan dan Kelebihan Teori Baru

Stres oksidatif merupakan suatu patofisiologi infertilitas pria. Begitu pula

dengan strees oksidatif yang disebabkan oleh torsio testis .Suatu penelitian

menunjukan bahwa pada keadaan infertilitas terjadi peningkatan dari ROS pada

seminal. Pada keadaan ROS yang meningkat juga diiringi peningkatan

konsentrasi LDL pada pasien hiperlipidemia, namun tidak selalu diiringi dengan

peningkatan konsentrasi HDL. Hal inilah yang memacu timbulnya stres oksidatif.

(Siti, 2009).

Stres oksidatif timbul sebagai konsekuensi peningkatan yang berlebihan dari

produksi ROS dan menyebabkan terganggunya mekanisme pertahanan oleh

antioksidan. Bersamaan dengan itu, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia

menyebabkan peningkatan ROS dan kadar lipidperoksida di jaringan yang

berasosiasi dengan penurunan efek antioksidan. Bersamaan dengan itu,

hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia menyebabkan peningkatan ROS dan

kadar lipidperoksida di jaringan yang berasosiasi dengan penurunan efek

antioksidan. Tymoquinon yang terkandung dalam Nigella sativa (Jintan Hitam)

diketahui memiliki efek antioksidan yang berperan dalam penghambat lipid

peroksida. ( Siti, 2009)

Nigella sativa memiliki berbagai efek farmakologis adapun efek Nigella

sativa yang berperan dalam meningkatkan kualitas spermatozoa adalah karena

adanya kandungan asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen utama dari

minyak Nigella sativa berperan dalam sintesis hormon testosteron dengan cara

meningkatkan aktivitas dari enzim 17 beta-hidroksisteroid dehidrogenase, enzim

ini merupakan enzim yang penting dalam jalur sintesis testosteron, di mana

hormon testosteron ini berperan dalam proses spermatogenesis (Bashandy, 2006).

Selain itu, jintan hitam juga mengandung berbagai zat yang mempunyai efek

sebagai antioksidan yang dapat menekan produksi radikal bebas yang mana

radikal bebas tersebut merupakan zat yang dapat menyebabkan kerusakan sel,

termasuk sel-sel sertoli, sel-sel leydig dan spermatozoa itu sendiri serta zat

antioksidan dari Nigella sativa juga berperan dalam melindungi sel – sel tubuh

dari stress oksidasi dan peroksidasi lipid yang berlebihan (Bashandy, 2006).

18

C. Harapan Penatalaksanaan Torsio Testis

Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dalam bidang

bedah sehingga diagnosis dini serta penanganan tepat waktu penting untuk

menyelamatkan testis dari nekrosis. Pemilihan tatalaksana torsio testis, baik

tindakan operasi maupun non operasi perlu dipertimbangkan dengan baik

berdasarkan letak dan derajat keparahan torsio. Keadaan testis setelah operasi

juga perlu diperhatikan untuk mencegah timbulnya torsio testis kembali atau

bahkan keadaan infertilitas yang akan dialami oleh penderita.

Terapi dengan menggunakan minyak jintan hitam, bisa menjadi salah satu

terapi dalam menekan stress oksidatif yang menyebabkan infertiklitas pada

penderita torsio testis. Namun, keadaan minyak jintan hitam masih jarang

keberadaannya, dan dalam penyembuhan dengan metode tersebut bias

diperkirakan akan membutuhkan waktu yang lama. Disamping hal tersebut

penggunaan minyak jintan hitam juga harus disesuaikan dengan kondisi

penderita, mulai dari dosis dan pengaruhnya terhadap pengobatan yang lain,

agar tidak terjadi kesalahan dalam pengobatan.

Penelitian akan minyak jintan terhadap pemulihan akan infertilitas dari

pasien torsio testis juga harus dilakukan lebih dalam, mengingat belum

banyaknya penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh pemberian minyak

jintan pada infertilitas yang diakibatkan oleh torsio testis.

19

BAB IV

KESIMPULAN

1. Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang

mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke

testis dan epididimis.

2. Komplikasi yang ditimbulkan oleh torsio testis antara lain infertilitas, kanker

testis, penurunan androgen dan masalah terhadap pembentukan sperma

(spermatogenesis) bahkan jika tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4

hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang

selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis

3. Tanda dan gejala yang timbul diantaranya penderita mengalami nyeri akut di

daerah skrotum, mengalami mual dan muntah, keadaan testis yang

membengkak, kehilangan kemampuannya untuk melakukan refleks kremaster

dan teraba testis yang seperti terpelintir

4. Umumnya untuk menangani penderita torsio testis menggunakan detorsi

manual, pembedahan, dan orkidopeksi (fiksasi testis).

5. Teori baru pada kasus torsio testis menggunakan terapi antioksidan yang

merupakan pilihan terapi non-hormonal baru pada laki-laki dengan infertilitas

yang diakibatkan ROS seperti pada torsio testis.

6. Prognosis dari torsio testis dapat di bagi menjadi 4 yaitu fertility, subfertility,

tingkat androgen, dan kanker testis.

20

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, A., Aitken, R. J., & Alvarez, J. G. 2012. Studies on Men's Health and Fertility. New York: Springers.

Bashandy AES. 2006. “Effect of fixed oil Nigella sativa on male fertility in normal and hyperlipidemic rats”, Intl. J. Pharmacol. 2(1): 104-109.

Boddy. A.M, Madden.N.P . 2003. Rob&Smith Operative Surgery: Genitourinary Surgery, Vol 2, Operation in Urology. London : Churchill

Dokmeci, D., 2006. Testicular torsion, oxidative stress and the role of antioxidant therapy. NCBI, 48(3-4), pp. 16-21.

Einhorn, LH. 2007. Testicular cancer. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.

Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular Torsion. British Medical Journal (Overseas & Retired Doctors Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249

Greenberg, Michael. 2005. Testicular Torsion page 329. Greenberg’s Text Atlas of Emergency Medicine. Lippicott Williams – Willkins : Philadelphia

Iroky.M.B. 2004. Torsion of the testis dalam Siroky.M.B, Oates.R.D, Babayan.R.K (eds), Handbook of urology: diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelphia: Lippincot William&Wilkins.

Martini, Federic. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th ed. New York: Benjamin Cummings.

Minevich.E. 2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm

Purnomo, Basuki P. 2012. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.

Reynard.J. 2006. Oxford Handbook of Urology. New York : Oxford University Press

Raju, A. B. et al., 2010. “Evaluation of Oxidant and Anti-Oxidant Balance in Experimentally Induced Testicular Injury by Ischemia Reperfusion in Rats”, European Journal of General Medicine, 8(2), pp. 118-120.

Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD. 2006. Testicular Torsion. Columbia : American Family Physician. University of Missouri–Columbia School of Medicine:.

21

Rothrock, S. G., & Brennan, J. A. 2007. Pediatric Emergency Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Siroky.M.B. 2004. Handbook of urology: diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelpihia : Lippincot William&Wilkins

Snell, Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta EGC.

Sopia, Siti. 2009. Pengaruh Pemberian Minyak Jintah Hitam (Nigella sativa) Terhadap Motilitas Spermatozoa Tikus Wistar Hiperlipidemia. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.

Tekgul, S. H. Riedmiller. Gerharz et all. 2008. European association of urology. Guidelines on Paediatric Urology Halaman 14

Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC..

.

22