Upload
agus-gunardi
View
43
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
g
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang
mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis
dan epididimis. Torsio testis merupakan suatu kegawat daruratan vaskuler yang
murni dan memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak
ditangani dalam waktu singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat
menyebabkan infark dari testis, yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis
(Siroky, 2004).
Torsio testis bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering terjadi pada usia
dewasa muda (usia 10-30 tahun) dan lebih jarang terjadi pada neonatus. Puncak
insiden terjadi pada usia 13-15 tahun. Terdapat kecenderungan penurunan insiden
sesuai dengan peningkatan usia. Peningkatan insiden selama usia dewasa muda
mungkin disebabkan karena testis yang membesar sekitar 5-6 kali selama
pubertas. Testis kiri lebih sering terjadi dibanding testis kanan, hal ini mungkin
disebabkan oleh karena secara normal spermatic cord kiri lebih panjang. Pada
kasus torsio testis yang terjadi pada periode neonatus, 70% terjadi pada fase
prenatal dan 30% terjadi postnatal (Reynard, 2006).
Tumor testis jarang terjadi di Asia dan Afrika. Kejadian di seluruh dunia telah
meningkat sejak tahun 1960-an, dengan tingkat prevalensi tertinggi di
Skandinavia, Jerman, dan Selandia Baru (Einhorn LH, 2007).
Kasus torsio testis harus segera ditangani untuk menghindari hilangnya fungsi
fisiologis testis. Pembedahan torsio testis akan diikuti oleh detorsio yang akan
menyebabkan reperfusi jaringan. Reperfusi dari jaringan yang sebelumnya
iskemia dapat menyebabkan timbulnya cedera sel yang mengurangi manfaat dari
reperfusi itu sendiri. Cedera sel ini disebut cedera reperfusi. Oleh karena itu
keadaan reperfusi dapat dikatakan sebagai keadaan dilematis. Keadaan yang
diperlukan oleh jaringan tetapi juga dapat memicu cedera iskemia. Sindrom ini
sering memicu testis ipsilateral dan kontralateral menjadi infertil (Raju, et al.,
2010)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Funiculus Spermaticus
Funiculus spermaticus merupakan gabungan struktur-struktur yang
melalui canalis inguinalis dan berjalan menuju ke dan dari testis. Funiculus
spermaticus diliputi oleh 3 lapisan konsentris facia yang berasal dari
lapisan-lapisan dinding anterior abdomen. Funiculus spermaticus berawal
pada annulus inguinalis profundus yang terletak lateral terhadap arteria
epigastrica inferior struktur-struktur pada funiculus spermaticus sebagai
berikut (Snell, 2006).
a. Vas deferens
b. Arteria testicularis
c. Venae testicularis (plexus pampidiformis)
d. Pembuluh limfatik testis
e. Saraf-saraf otonom
f. Prosesus vaginalis
g. Arteria cremasterica
h. Arteria duktus deferentis
i. Ramus genitalis nervus genitofemoralis yang menyarafi musculus
cremaster
2. Scrotum
Scrotum merupakan kantong yang menonjol keluar dari bagian bawah
dinding anterior abdomen. Scrotum berisi testis, epididimis dan ujung
bawah funiculus spermaticus. Dinding scrotum mempunyai lapisan (Snell,
2006):
a. Cutis
b. Facia superficialis, musculus dartos menggantikan panniculus
spermatica externa yang berasal dari musculus oblikus externus
abdominis
2
c. Fascia cremasterica yang berasal dari musculs oblicus internus
abdominis
d. Fascia spermatica interna yang berasal dari fascia tranversalis
e. Tunica vaginalis
3. Testis
Testis adalah organ genitalia pria yang terletak di skrotum. Ukuran
testis pada orang dewasa adalah 4 x 3 x 2.5 cm dengan volume 15-25 ml
berbentuk ovoid. Testis sinistra biasanya terletak lebih rendah
dibandingkan testis dextra. Kedua buah testis terbungkus oleh jaringan
tunika albuginea yang melekat pada testis. Pada permukaan anterior dan
lateral, testis dan epididimis dikelilingi oleh tunika vaginalis yang terdiri
atas 2 lapis, yaitu lapisan viseralis yang langsung menempel ke testis dan
di sebelah luarnya adalah lapisan parietalis yang menempel ke muskulus
dartos pada dinding skrotum. Otot kremaster yang berada disekitar testis
memungkinkan testis untuk dapat digerakkan mendekati rongga abdomen
untuk mempertahankan temperatur testis agar tetap stabil (Snell, 2006;
Purnomo, 2012).
Permukaan dalam kapsula terbentang banyak septa fibrosa yang
membagi bagian dalam organ menjadi lobulus-lobulus (lobuli testis).
Dalam setiap lobulus terdapat satu sampai tiga tubuli seminiferi yang
berkelok-kelok. Tubuli seminififeri bermuara ke dalam jalinan saluran
yang dinamakan rete testis. Ductuli efferentes menghubungkan rete testis
dengan ujung atas epididimis (Snell, 2006; Martini, 2012).
Testis diperdarahi oleh arteri testicularis yang berupakan cabang
langsung aorta abdominalis. Vena testicularis keluar dari testis dan
epididymis sebagai jalinan vena yang disebut plexus pampiniformis.
Jalinan ini bakan mengecil dan berjalan ke atas melalui canalis inguinalis.
Vena testicularis dextra mengalirkan darahnya ke vena cava inferior, dan
vena testicularis sinistra bermuara ke vena renalis (Martini, 2012).
3
Gambar 1. Struktur Anatomi Funiculus Spermaticus, Scrotum, dan Testis
(Martini, 2012)
Gambar 2. Struktur Testis
(Martini, 2012)
B. Etiologi
Masa janin dan neonatus lapisan parietal yang menempel pada muskulus
dartos masih belum banyak jaringan penyanggahnya sehingga testis,
epididimis, dan tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan
untuk terpluntir pada sumbu funikulus spermatikus. Terpluntirnya testis pada
keadaan ini disebut torsio testis ekstravaginal.
4
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan dengan
kelainan sistem penyanggah testis. Tunika vaginalis yang seharusnya
mengelilingi sebagian dari testis pada permukaan anterior dan lateral testis,
pada kelainan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis sehingga
mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum. Keadaan ini menyebabkan
testis dan epididimis dengan mudahnya bergerak di kantung tunika vaginalis
dan menggantung pada funikulus spermatikus. Kelainan ini dikenal sebagai
anomali bellclapper. Keadaan ini akan memudahkan testis mengalami torsio
intravaginal.
Gambar 3. Perbedaan Anatomi Testis Normal dengan Torsio Testis
(Ringdahl & Teague, 2006)
5
Faktor predisposisi lain terjadinya torsio adalah peningkatan volume
testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak
horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord
intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006).
Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio
timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi
otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan
testis kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan
terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis
(Wilson & Hillegas, 2006).
6
C. Patofisiologi
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati
dan menjauhi rongga abdomen untuk mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan system penyanggah testis menyebabkan testis dapat
mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang
menyebabkan pergerakan berlebihan itu, antara lain (Purnomo, 2012):
1. Perubahan suhu yang mendadak (seperti saat berenang),
2. Ketakutan,
3. Latihan yang berlebihan,
4. Batuk,
5. Celana yang terlalu ketat,
6. Defekasi,
7. Trauma yang mengenai skrotum.
Terpeluntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi aliran
darah testis sehingga testis mengalami hipoksia, edema testis,dan iskemia.
Akhirnya testis dapat mengalami nekrosis (Purnomo, 2012) .
7
Gambar 4. Bagan Patofisiologi Torsio Testis
(Wim De Jong, 2005)
D. Penegakkan diagnosis
Torsio testis dapat ditegakan berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang dilakukan apabila diagnosis
torsio testis masih diragukan atau pasien tidak menunjukan bukti klinis nyata
(Minevich, 2007).
8
Spasme otot kremaster
Aliran darah terhenti
Iskemia testis
Testis berotasi bebas
Nekrosis
Nyeri menjalar ke
abdomen
Impuls dari saraf
Demam Terasa terbakar saat berkemih
Stimulasi mual-muntah
dari otak
ETIOLOGI
Immobilisasi testis
Trauma testis
Tumor testis
Adescendens testicularis
Perubahan keadaan extreme
Bell-clapper
1. Tanda dan gejala
a. Anamnesis
1) Penderita mengalami nyeri akut di daerah skrotum akibat torsio
testis ini. Nyeri ini bersifat mendadak dan disertai dengan
pembengkakan pada skrotum. Sifatnya yang mendadak ini yang
membedakan torsio testis dengan epididimitis. Keadaan nyeri hebat
ini disebut dengan akut skrotum (Purnomo, 2012).
2) Jika penderitanya seorang bayi, gejalanya menjadi tidak khas,
yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui (Purnomo, 2012).
3) Biasanya penderita pernah memiliki riwayat melakukan olah raga
berat ataupun trauma tumpul ringan pada daerah tersebut
(Rothrock & Brennan, 2007).
4) Sebagian penderita juga mengalami mual dan muntah akibat akut
skrotum ini, selain itu sebagian penderita juga mengalami demam.
Namun gejala demam ini tidak tentu dialami oleh semua penderita
(Rothrock & Brennan, 2007).
5) Sebagian besar penderita pernah merasakan adanya episode nyeri
yang hebat seperti itu sebelumnya, namun dapat sembuh tanpa
ditangani, sehingga tidak menjadi keluhan yang berarti (Rothrock
& Brennan, 2007).
Gambar 5. Gambaran Penderita Torsio Testis
(Wilson & Hillegas, 2006)
9
2. Pemeriksaan Fisik
1) Ditemukan keadaan testis yang membengkak, testis yang
mengalami torsio akan terletak lebih tinggi dan lebih horisontal
dibandingkan dengan sisi kontra lateralnya (Purnomo, 2012).
2) Pemeriksaan refleks kremaster juga perlu dilakukan pada proses
pemeriksaan fisik. Testis yang mengalami torsio ini akan
kehilangan kemampuannya untuk melakukan refleks kremaster ini
(Agarwal, Aitken, & Alvarez, 2012). Namun, pada penderita yang
berusia di bawah 30 bulan, normal jika tidak memiliki refleks
kremaster. Tanda ini penting untuk membedakan torsio testis
dengan penyakit lain yang memiliki gejala akut skrotum (Rothrock
& Brennan, 2007).
3) Letak testis lebih tinggi dan lebih horizontal daripada testis sisi
kontralateral (Minevich, 2007).
4) Pada testis yang mengalami torsio akan teraba testis yang seperti
terpelintir, sudut yang abnormal dari testis, terutama jika
dibandingkan dengan sisi kontra lateralnya dan terdapat penebalan
funikulus spermatikus (Rothrock & Brennan, 2007; (Minevich,
2007).
5) Namun, jika testis berotasi 360 atau 270 derajat, maka epididimis
kemungkinan akan terlihat seperti normal (Rothrock & Brennan,
2007).
6) Testis tampak hiperemis, eritem, dan edema yang meluas hingga
skrotum sisi kontralateral (Minevich, 2007).
7) Nyeri tidak berkurang walaupun telah dilakukan elevasi testis
(Prehn sign) (Minevich, 2007).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien torsio testis didapatkan hasil pemeriksaan penunjang
sebagai berikut (Minevich, 2007).
a. Adanya leukosit pada urin
b. Peningkatan acute fase protein (CRP)
10
c. Tidak ditemukan aliran darah menuju testis pada pemeriksaan USG
Doppler
Pada umumnya pemeriksaan penunjang hanya diperlukan bila
diagnosis torsio testis masih meragukan atau bila pasien tidak
menunjukkan bukti klinis yang nyata. Dalam hal ini diperlukan guna
menentukan diagnosa banding pada keadaan akut skrotum lainnya.
Urinalisis biasanya dilakukan untuk menyingkirkan adanya infeksi
pada traktus urinarius. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan
hasil yang normal atau peningkatan leukosit pada 60% pasien. Namun
pemeriksaan ini tidak membantu dan sebaiknya tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam
urin dan pemeriksaan darah yang tidak menunjukkan tanda inflamasi,
kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami
keradangan steril (Boddy, 2003).
Adanya peningkatan acute-fase protein (dikenal sebagai CRP)
dapat membedakan proses inflamasi sebagai penyebab akut skrotum.
Pada pemeriksaan cairan prostat yang dilakukan untuk membedakan
epididimitis dari torsio testis. Dari 50 kasus epididimitis yang belum
memperoleh antibiotika, pasien mendapatkan cairan prostatnya penuh
dengan leukosit (Boddy, 2003).
Modalitas diagnostik yang paling sering digunakan ialah Doppler
ultrasonografi (USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan
menggunakan technetum 99m (99mTc) pertechnetate dengan akurasi
diagnostik 90%. Kedua metode tersebut digunakan untuk menilai
aliran darah ke testis dan membedakan torsio dengan kondisi lainnya
(Iroky, 2004).
Berikut adalah gambar pada pemeriksaan doppler ultrasonografi
(USG Doppler) dan radionuclide scanning dengan menggunakan
technetum 99mm (99mTc) ( Iroky, 2004).
11
Gambar 6. Pemeriksaan Doppler Ultrasonografi
( Iroky, 2004)
Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan torsi akut
penurunan aliran darah di testis kiri dibandingkan dengan testis
kanan pada seorang anak 14 tahun yang mengalami nyeri akut
selama empat jam (Iroky, 2004).
Gambar 7. Doppler Ultrasonografi Menunjukan Torsi Akut
(Iroky, 2004)
Warna Doppler ultrasonogram menunjukkan akhir torsi
mempengaruhi testis kanan pada anak 16 tahun yang mengalami
nyeri selama 24 jam. Terdapat peningkatan aliran darah di sekitar
testis kanan tetapi tidak adanya aliran dalam substansi testis (Iroky,
2004).
12
Gambar 8. Doppler Ultrasonografi Menunjukan Akhir Torsi
(Iroky, 2004)
E. Terapi Medikamentosa dan Non Medikamentosa
1. Non operatif
Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus
spermatikus dapat mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2012).
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu
dengan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah
torsio biasanya ke medial maka dianjurkan memutar testis ke arah lateral
terlebih dahulu, kemudian jika tidak terjadi perubahan dicoba detorsi ke
arah medial. Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi
telah berhasil. Detorsi manual merupakan cara terbaik untuk
memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat
menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi
harus tetap dilaksanakan (Purnomo, 2012).
Dalam pelaksanaannya, detorsi manual sulit dan jarang dilakukan. Di
unit gawat darurat, pada anak dengan scrotum yang bengkak dan nyeri,
tindakan ini sulit dilakukan tanpa anestesi. Selain itu, testis mungkin tidak
sepenuhnya terdetorsi atau dapat kembali menjadi torsio tak lama setelah
pasien pulang dari RS. Sebagai tambahan, mengetahui ke arah mana testis
13
mengalami torsio adalah hampir tidak mungkin, yang menyebabkan
tindakan detorsi manual akan memperburuk derajat torsio (Purnomo,
2012).
2. Operatif
Torsio testis merupakan kasus emergensi, harus dilakukan segala
upaya untuk mempercepat proses pembedahan. Hasil pembedahan
tergantung dari lamanya iskemia, oleh karena itu, waktu sangat penting.
Biasanya waktu terbuang untuk pemeriksaan pencitraan, laboratorium,
atau prosedur diagnostik lain yang mengakibatkan testis tak dapat
dipertahankan (Purnomo, 2012).
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis
pada arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian apakah
testis yang mengalami torsio masih viable (hidup) atau sudah mengalami
nekrosis (Purnomo, 2012).
Tujuan dilakukannya eksplorasi yaitu (Purnomo, 2012):
a. Untuk memastikan diagnosis torsio testis
b. Melakukan detorsi testis yang torsio
c. Memeriksa apakah testis masih viable
d. Membuang (jika testis sudah nonviable) atau memfiksasi jika testis
masih viable
e. Memfiksasi testis kontralateral
Perbedaan pendapat mengenai tindakan eksplorasi antara lain
disebabkan oleh kecilnya kemungkinan testis masih viable jika torsio
sudah berlangsung lama (>24-48 jam). Sebagian ahli masih
mempertahankan pendapatnya untuk tetap melakukan eksplorasi dengan
alasan medikolegal, yaitu eksplorasi dibutuhkan untuk membuktikan
diagnosis, untuk menyelamatkan testis (jika masih mungkin), dan untuk
melakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada testis kontralateral. Saat
pembedahan, dilakukan juga tindakan preventif pada testis kontralateral.
Hal ini dilakukan karena testis kontralaeral memiliki kemungkinan torsio
di lain waktu (Purnomo, 2012).
14
Jika testis masih hidup, dilakuakn orkidopeksi pada tunika dartos
kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Orkidopeksi
dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap pada 3
tempat untuk mencegah agar testis tidak terpluntir kembali, sedangkan
pada testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis
(orkidektomi) dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.
Testis yang telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam
skrotum akan merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga
mengurangi kemampuan fertilitas dikemudian hari (Purnomo, 2012).
F. Prognosis
Prognosis dari torsio testis dapat di bagi menjadi 4, yaitu (S. Tekgul et
all, 2008):
1. Fertilitas
Terdapat variasi prognosis dan saling bertentangan karena belum ada
kepastian, namun dalam suatu penelitian torsio unilateral dapat berakibat
serius terhadap spermatogenesis pada 50% pasien, dimana terjadi
penurunan produksi mencapai 20%
2. Subfertilitas
Subfertilitas terjadi pada 36-39% pasien setelah terjadi torsio testis.
Artinya ditemukan antibodi yang sama antara pasien setelah terjadi torsio
testis dengan pasien infertilitas
3. Tingkat androgen
Tingkat produksi androgen mengalami penurunan pada pasien dengan
masalah setelah Torsio testis
4. Kanker testis
Pada pasien dengan masalah torsio testis memiliki risiko terkena
kanker testis sebesar 3,2 x lebih berisiko.
Secara umum jika penangan terhadap torsio testis cepat dilakukan maka
prognosisnya akan semakin membaik (bonam) (S. Tekgul et all, 2008).
15
F. Komplikasi
Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu
kegawat daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang
terlibat jelas terlihat setelah 2 jam dari torsi. Putusnya suplai darah ke testis
dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Komplikasi
torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian ini
bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Testis yang telah mengalami
nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan merangsang
terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan fertilitas
dikemudian hari (Greenberg, 2005; Graham, 2009).
Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi yaitu
hilangnya testis, infeksi, infertilitas, deformitas kosmetik, kanker testis,
penurunan androgen dan masalah terhadap pembentukan sperma
(spermatogenesis) (Graham, 2009; S. Tekgul et all, 2008).
16
BAB III
PEMBAHASAN
A. Teori Baru Penatalaksanaan Torsio Testis
Prinsip penatalaksanaan torsio testis adalah tindakan untuk
mengembalikan perfusi jaringan dan mencegah hilangnya fungsi fisiologis
dari testis. Tindakan yang dapat dilakukan untuk menangani torsio testis dapat
dikelompokkan menjadi tindakan operatif dan non operatif (Raju, et al., 2010).
Tindakan non peratif untuk menangani torio testis adalah detorsi manual
funikulus spermatikus. Detorsi manual dilakukan dengan cara memutar testis
berlawanan dengan arah torsio. Detorsi menual merupakan cara terbaik untukk
memperpanjang waktu menunggu tindakan pembedahan, tetapi tidak dapat
menghindarkan dari prosedur pembedahan. Jika detorsi berhasil operasi harus
tetap dilaksanakan (Purnomo, 2012).
Tindakan operatif untuk torsio testis harus segera dilakukan mengingat
torsio testis adalah salah satu bentuk kegawatdaruratan. Tujuan dilakukannya
tindakan pembedahan adalah untuk memastikan diagnosis torsio testis,
melakukan detorsi, memeriksan viabilitas testis, membuat atau memfiksasi
testis, dan memfiksasi testis kontralateral (Purnomo, 2012):.
Tindakan non operatif maupun operatif akan menyebabkan terjadinya
reperfusi jaringan. Reperfusi iskemia memicu timbulnya ROS yang
disebabkan oleh aktivasi sistem xanthine oxidase di sel parenkim atau karena
leukosit yang masuk ke jaringan intersisial. Oleh karena itu terapi detorsio
sangat mungkin dapat mencederai testis. Saat darah kembali mensuplai
jaringan, oksigen dibutuhkan untuk konversi hipoxanthine ke asam urat untuk
disuplai ke testis. Proses perubahan ini menyebabkan peningkatan produksi
radikal bebas. Radikal bebas ini bereaksi dengan lemak pada sel dan membran
mitokondria mengubah permeabilitas dan integritas sel (Raju, et al., 2010).
Oleh karena itu, terapi antioksidan dapat menjadi pilihan terapi non-hormonal
baru pada laki-laki dengan infertilitas yang diakibatkan ROS seperti pada
torsio testis (Dokmeci, 2006).
17
B. Kekurangan dan Kelebihan Teori Baru
Stres oksidatif merupakan suatu patofisiologi infertilitas pria. Begitu pula
dengan strees oksidatif yang disebabkan oleh torsio testis .Suatu penelitian
menunjukan bahwa pada keadaan infertilitas terjadi peningkatan dari ROS pada
seminal. Pada keadaan ROS yang meningkat juga diiringi peningkatan
konsentrasi LDL pada pasien hiperlipidemia, namun tidak selalu diiringi dengan
peningkatan konsentrasi HDL. Hal inilah yang memacu timbulnya stres oksidatif.
(Siti, 2009).
Stres oksidatif timbul sebagai konsekuensi peningkatan yang berlebihan dari
produksi ROS dan menyebabkan terganggunya mekanisme pertahanan oleh
antioksidan. Bersamaan dengan itu, hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia
menyebabkan peningkatan ROS dan kadar lipidperoksida di jaringan yang
berasosiasi dengan penurunan efek antioksidan. Bersamaan dengan itu,
hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia menyebabkan peningkatan ROS dan
kadar lipidperoksida di jaringan yang berasosiasi dengan penurunan efek
antioksidan. Tymoquinon yang terkandung dalam Nigella sativa (Jintan Hitam)
diketahui memiliki efek antioksidan yang berperan dalam penghambat lipid
peroksida. ( Siti, 2009)
Nigella sativa memiliki berbagai efek farmakologis adapun efek Nigella
sativa yang berperan dalam meningkatkan kualitas spermatozoa adalah karena
adanya kandungan asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen utama dari
minyak Nigella sativa berperan dalam sintesis hormon testosteron dengan cara
meningkatkan aktivitas dari enzim 17 beta-hidroksisteroid dehidrogenase, enzim
ini merupakan enzim yang penting dalam jalur sintesis testosteron, di mana
hormon testosteron ini berperan dalam proses spermatogenesis (Bashandy, 2006).
Selain itu, jintan hitam juga mengandung berbagai zat yang mempunyai efek
sebagai antioksidan yang dapat menekan produksi radikal bebas yang mana
radikal bebas tersebut merupakan zat yang dapat menyebabkan kerusakan sel,
termasuk sel-sel sertoli, sel-sel leydig dan spermatozoa itu sendiri serta zat
antioksidan dari Nigella sativa juga berperan dalam melindungi sel – sel tubuh
dari stress oksidasi dan peroksidasi lipid yang berlebihan (Bashandy, 2006).
18
C. Harapan Penatalaksanaan Torsio Testis
Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan medis dalam bidang
bedah sehingga diagnosis dini serta penanganan tepat waktu penting untuk
menyelamatkan testis dari nekrosis. Pemilihan tatalaksana torsio testis, baik
tindakan operasi maupun non operasi perlu dipertimbangkan dengan baik
berdasarkan letak dan derajat keparahan torsio. Keadaan testis setelah operasi
juga perlu diperhatikan untuk mencegah timbulnya torsio testis kembali atau
bahkan keadaan infertilitas yang akan dialami oleh penderita.
Terapi dengan menggunakan minyak jintan hitam, bisa menjadi salah satu
terapi dalam menekan stress oksidatif yang menyebabkan infertiklitas pada
penderita torsio testis. Namun, keadaan minyak jintan hitam masih jarang
keberadaannya, dan dalam penyembuhan dengan metode tersebut bias
diperkirakan akan membutuhkan waktu yang lama. Disamping hal tersebut
penggunaan minyak jintan hitam juga harus disesuaikan dengan kondisi
penderita, mulai dari dosis dan pengaruhnya terhadap pengobatan yang lain,
agar tidak terjadi kesalahan dalam pengobatan.
Penelitian akan minyak jintan terhadap pemulihan akan infertilitas dari
pasien torsio testis juga harus dilakukan lebih dalam, mengingat belum
banyaknya penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh pemberian minyak
jintan pada infertilitas yang diakibatkan oleh torsio testis.
19
BAB IV
KESIMPULAN
1. Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord terpelintir yang
mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke
testis dan epididimis.
2. Komplikasi yang ditimbulkan oleh torsio testis antara lain infertilitas, kanker
testis, penurunan androgen dan masalah terhadap pembentukan sperma
(spermatogenesis) bahkan jika tidak ditangani dalam waktu singkat (dalam 4
hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis, yang
selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis
3. Tanda dan gejala yang timbul diantaranya penderita mengalami nyeri akut di
daerah skrotum, mengalami mual dan muntah, keadaan testis yang
membengkak, kehilangan kemampuannya untuk melakukan refleks kremaster
dan teraba testis yang seperti terpelintir
4. Umumnya untuk menangani penderita torsio testis menggunakan detorsi
manual, pembedahan, dan orkidopeksi (fiksasi testis).
5. Teori baru pada kasus torsio testis menggunakan terapi antioksidan yang
merupakan pilihan terapi non-hormonal baru pada laki-laki dengan infertilitas
yang diakibatkan ROS seperti pada torsio testis.
6. Prognosis dari torsio testis dapat di bagi menjadi 4 yaitu fertility, subfertility,
tingkat androgen, dan kanker testis.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal, A., Aitken, R. J., & Alvarez, J. G. 2012. Studies on Men's Health and Fertility. New York: Springers.
Bashandy AES. 2006. “Effect of fixed oil Nigella sativa on male fertility in normal and hyperlipidemic rats”, Intl. J. Pharmacol. 2(1): 104-109.
Boddy. A.M, Madden.N.P . 2003. Rob&Smith Operative Surgery: Genitourinary Surgery, Vol 2, Operation in Urology. London : Churchill
Dokmeci, D., 2006. Testicular torsion, oxidative stress and the role of antioxidant therapy. NCBI, 48(3-4), pp. 16-21.
Einhorn, LH. 2007. Testicular cancer. In: Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier.
Graham; Townell, Nick. 2010. Testicular Torsion. British Medical Journal (Overseas & Retired Doctors Edition;7/31/2010, Vol. 341 Issue 7767, p249
Greenberg, Michael. 2005. Testicular Torsion page 329. Greenberg’s Text Atlas of Emergency Medicine. Lippicott Williams – Willkins : Philadelphia
Iroky.M.B. 2004. Torsion of the testis dalam Siroky.M.B, Oates.R.D, Babayan.R.K (eds), Handbook of urology: diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelphia: Lippincot William&Wilkins.
Martini, Federic. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th ed. New York: Benjamin Cummings.
Minevich.E. 2007. Testicular Torsion, Department of Surgery, Division of Pediatric urology, akses di http://www.emedicine.com/ med/topic2780htm
Purnomo, Basuki P. 2012. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto.
Reynard.J. 2006. Oxford Handbook of Urology. New York : Oxford University Press
Raju, A. B. et al., 2010. “Evaluation of Oxidant and Anti-Oxidant Balance in Experimentally Induced Testicular Injury by Ischemia Reperfusion in Rats”, European Journal of General Medicine, 8(2), pp. 118-120.
Ringdahl, Erika MD ; Teague, Lynn MD. 2006. Testicular Torsion. Columbia : American Family Physician. University of Missouri–Columbia School of Medicine:.
21
Rothrock, S. G., & Brennan, J. A. 2007. Pediatric Emergency Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier.
Siroky.M.B. 2004. Handbook of urology: diagnosis and Therapy, 3rd ed. Philadelpihia : Lippincot William&Wilkins
Snell, Richard. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta EGC.
Sopia, Siti. 2009. Pengaruh Pemberian Minyak Jintah Hitam (Nigella sativa) Terhadap Motilitas Spermatozoa Tikus Wistar Hiperlipidemia. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Tekgul, S. H. Riedmiller. Gerharz et all. 2008. European association of urology. Guidelines on Paediatric Urology Halaman 14
Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC..
.
22