37
DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1 I.I PERKEMBANGAN BAHASA NORMAL…………………………. 2 I.II PREVALENSI………………………………………………………... 3 II ETIOLOGI……………………………………………………………. 4 III PATOFISIOLOGI……………………………………………………. 7 IV MANIFESTASI KLINIK…………………………………………….. 10 V DIAGNOSIS…………………………………………………………....13 VI PENATALAKSANAAN ………………………………………………17 VII PROGNOSIS…………………………………………………………...18 VIII PENCEGAHAN………………………………………………………..19 IX PENUTUP………………………………………………………………22 DAFTAR PUSTAKA

Referat Opi

Embed Size (px)

Citation preview

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN…………………………………………………….. 1

I.I PERKEMBANGAN BAHASA NORMAL…………………………. 2

I.II PREVALENSI………………………………………………………... 3

II ETIOLOGI……………………………………………………………. 4

III PATOFISIOLOGI……………………………………………………. 7

IV MANIFESTASI KLINIK…………………………………………….. 10

V DIAGNOSIS…………………………………………………………....13

VI PENATALAKSANAAN ………………………………………………17

VII PROGNOSIS…………………………………………………………...18

VIII PENCEGAHAN………………………………………………………..19

IX PENUTUP………………………………………………………………22

DAFTAR PUSTAKA

GANGGUAN BICARA / BAHASA

I. PENDAHULUAN

Bahasa merupakan simbolisasi dari pikiran berupa kode yang telah kita pelajari;

atau suatu sistem yang telah disepakati yang memungkinkan kita untuk

mengomunikasikan ide-ide serta mengekspresikan keinginan dan kebutuhan kita.

Membaca, menulis, gerakan tubuh, dan berbicara adalah semua bentuk dari bahasa.

Bahasa terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bahasa reseptif: memahami apa yang

tertulis atau apa yang dikatakan, dan bahasa ekspresif: kemampuan untuk berbicara dan

menulis.1

Kemampuan bahasa membedakan manusia dengan hewan. Orang tua dengan

antusias menunggu awal perkembangan bicara anak mereka. Bila anak tidak dapat bicara

normal, maka mereka mengira bahwa anak mereka bodoh atau mengalami retardasi.

Sering orang tua memperkirakan bahwa perkembangan bicara anak di luar normal

merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan, sehingga orang tua membawa anak ke

dokter.2,3

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena

kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem

lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan

lingkungan di sekitar anak. Seorang anak tidak akan mampu berbicara tanpa dukungan

dari lingkungannya. Mereka harus mendengar pembicaran yang berkaitan dengan

kehidupannya sehari-hari maupun pengetahuan tentang dunia. Mereka harus belajar

mengekspresikan dirinya, membagi pengalamannya dengan orang lain dan

mengemukakan kinginannya.2,3

Pada umumnya bila seorang anak pada umur 2 tahun belum dapat mengucapkan

kata-kata harus dicari penyebabnya. Anak disebut slow talker bila perkembangan lainnya

normal, kecuali terlambat dalam bicara dan pada anamnesis didapatkan di dalam keluarga

juga terdapat anggota keluarga lain yang terlambat bicaranya. Seorang anak rata-rata

mulai mengeluarkan kata-kata tunggal antara umur 10-12 bulan, mulai mengucapkan

kalimat pendek pada umur 18 bulan dan kalimat sempurna kira-kira pada umur 30 bulan.4

I.I. Perkembangan bahasa normal

1

Pengertian antara berbicara (speech) dan bahasa (language) sering kali

membingungkan, tetapi keduanya memiliki perbedaan.

Berbicara (speech) adalah ekspresi verbal dari bahasa yang meliputi artikulasi sebagai

sarananya sehingga terbentuk kata-kata yang dapat kita dengar.

Bahasa (language) memiliki penertian yang lebih luas, meliputi seluruh sistem

pengekspresian dan penerimaan informasi yang memiliki makna. Bahasa dapat

dimengerti secara pasif dan aktif melalui komunikasi – verbal, non verbal, dan tertulis.9

Di bawah 12 bulan

Penting pada anak-anak usia ini untuk diobservasi bahwa mereka menggunakan

bahasa untuk berkomunikasi dengan lingkungan mereka. Tertawa dan mengoceh adalah

fase awal dari perkembangan berbicara. Seiring dengan pertambahan usia bayi (sekitar

usia 9 bulan), mereka mulai merangkai suara-suara, menggabungkan kata-kata dengan

nada yang berbeda, dan mengucapka kata-kata seperti “mama” dan “dada” (tanpa

mengetahui makna dari kata-kata tersebut). Sebelum usia 12 bulan, anak-anak seharusnya

sudah peka terhadap suara. Bayi yang pandangannya fokus sekali tetapi tidak bereaksi

terhadap suara mungkun memiliki gangguan pada pendengarannya.

12 sampai 15 bulan

Anak pada usia ini pada normalnya harus mengoceh lebih banyak lagi dan

sedikitnya mengeluarkan satu atau lebih kata yang bermakna (tidak termasuk “mama”

dan “dada”). Kata benda biasanya muncul lebih awal seperti “baby” dan “ball”. Anak

seharusnya juga mampu untuk memahami dan menuruti satu perintah (contoh, “tolong

ambilkan mainanmu.”).

18 sampai 24 bulan

Anak sudah memiliki sekitar 20 perbendaharaan kata pada usia 18 bulan dan 50

atau lebih kata-kata yang belum sempurna saat usia mereka mencapai 2 tahun. Ketika

usia 2 tahun, anak-anak sudah belajar untuk mengombinasikan dua kata, seperti “adik

nangis” atau “ayah besar.” Seorang anak yang berusia 2 tahun harus sudah mampu untuk

2

melaksanakan dua buah perintah (seperti "tolong ambilkan mainanmu dan ambil

gelasmu” ).

2 sampai 3 tahun

Pada usia ini anak akan mengalami perkembangan bahasa yang pesat dan

perbendaharaan kata yang amat meningkat. Mereka sudah bisa menggabungkan tiga atau

lebih kata-kata menjadi satu kalimat. Kemampuan anak dalam memahami bahasa juga

meningkat pada usia 3 tahun. Mereka mulai memahami apa maksud dari “taruh di meja

itu” atau “taruh itu di bawah tempat tidur.” Anak juga sudah harus mulai bisa

menyebutkan warna dan memahami konsep deskriptif (contonya membedakan besar dan

kecil). 8

I.II. Prevalensi

Gangguan bicara merupakan salah satu masalah yang sering terdapat pada anak-

anak . Menurut NCHS, berdasarkan atas laporan orang tua (di luar gangguan

pendengaran serta celah pada palatum), maka angka kejadiannya adalah 0,9 % pada anak

di bawah umur 5 tahun dan 1,94 % pada anak yang berumur 5-14 tahun. Dari hasil

evaluasi langsung terhadap anak usia sekolah, angka kejadiannya 3,8 kali lebih tinggi dari

yang berdasarkan hasil wawancara. Berdasarkan hal ini, diperkirakan gangguan bicara

dan bahasa pada anak adalah sekitar 4-5 %.2

Di AS, rasio prevalensi untuk keterlambatan bicara dan bahasa telah dilaporkan

dalam batasan yang luas. Penelitian terbaru Cochrane melaporkan prevalensi untuk

keterlambatan bicara, keterlambatan bahasa, dan kombinasi keduanya pada umur pra

sekolah dan anak umur sekolah. Untuk anak umur pra sekolah, 2 sampai 4,5 tahun, studi

yang mengevaluasi kombinasi keterlambatan bicara dan bahasa melaporkan rasio

prevalensi antara 5 % sampai 8 %, dan studi tentang keterlambatan bahasa melaporkan

rasio prevalensi antara 2,3 % sampai 19 %. Anak dengan keterlambatan bicara dan

bahasa usia pra sekolah yang tidak diterapi menunjukkan rasio variabel yang persisten

(dari 0 % sampai 100 %), dengan laporan hasil studi tersering menyatakan 40 % sampai

60 %. 6

3

Rata-rata keseluruhan untuk gangguan bicara dan bahasa adalah sekitar 5 % pada

anak usia sekolah. Meliputi kelainan pada suara (3%) dan gagap (1%). Insiden pada

anak-anak sekolah dasar dengan gangguan perkembangan adalah 2 % sampai 3 % ,

walaupun persentasenya menurun seiring dengan pertambahan usia.

Dari jumlah gangguan pada anak usia sekolah, 10 % sampai 20 % membutuhkan

beberapa tipe pendidikan khusus. Sekitar sepertiga murid yang tuli mengukuti sekolah

khusus. Dua pertiga mengikuti program di sekolah khusus anak-anak tuna rungu atau

mengikuti kelas di sekolah reguler. Sisanya mengikuti sekolah reguler.7

II. Etiologi

Penyebab kelainan berbahasa ada bermacam-macam yang melibatkan berbagai

faktor yang dapat saling mempengaruhi; antara lain kemampuan lingkungan,

pendengaran, kognitif, fungsi saraf, emosi psikologis dan lain sebagainya. Seorang anak

mungkin kehilangan pendengaran sensoneural dari sedang sampai berat. Sedangkan yang

lain mungkin kehilangan pendengaran konduksi berulang, sehingga kemampuan bicara

keseluruhannya menurun. Demikian pula suatu gangguan bicara (disfasia) dapat terjadi

tanpa adanya cedera otak atau keadaan lainnya. Blagger (1981) membagi penyebab

gangguan bicara dan bahasa sebagai berikut :

Penyebab Efek pada perkembangan bicara

1. Lingkungan  

a. Sosial ekonomi kurang Terlambat

b. Tekanan keluarga Gagap

c. Keluarga bisu Terlambat pemerolehan bahasa

d. Di rumah menggunakan bahasa

bilingual Terlambat pemerolehan struktur bahasa

2. Emosi  

a. Ibu yang tertekan Terlambat pemerolehan bahasa

b. Gangguan serius pada orang tua Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa

c. Gangguan serius pada anak Terlambat atau gangguan perkembangan bahasa

3. Masalah pendengaran  

4

a. Kongenital Terlambat/gangguan bicara yang permanen

b. Didapat Terlambat/gangguan bicara yang permanen

4. Perkembangan terlambat  

a. Perkembangan lambat Terlambat bicara

b. Perkembangan lambat, tetapi masih Terlambat bicara

dalam batas rata-rata  

c. Retardasi mental Pasti terlambat bicara

5. Cacat bawaan  

a. Palatoschizis

Terlambat dan terganggu kemampuan

bicaranya

b. Sindrom down Kemampuan bicaranya lebih rendah

6. Kerusakan otak  

a. Kelainan neuromuskular

Mempengaruhi kemampuan mengisap,

menelan,

 

mengunyah, dan akhirnya timbul gangguan

bicara

  dan artikulasi seperti disartria

b. Kelainan sensorimotor Mempengaruhi kemampuan mengisap

  dan menelan, akhirnya menimbulkan gangguan

  artikulasi, seperti dispraksia

c. Palsi serebral

Berpengaruh pada pernafasan, makan dan

timbul

  juga masalah artikulasi yang dapat

  mengakibatkan disartria dan dispraksia

d.Kelainan persepsi Kesulitan membedakan suara, mengerti bahasa,

  simbolisasi, mengenal konsep, akhirnya

  menimbulkan kesulitan belajar di sekolah

Perkembangan bahasa yang lambat dapat bersifat familial. Oleh karena itu harus

dicari dalam keluarga apakah ada yang mengalami keterlambatan bicara juga. Di samping

itu kelainan bicara juga lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan. Hal ini

5

karena pada perempuan, maturasi dan perkembangan fungsi verbal hemisfer kiri lebih

baik. Sedangkan pada laki-laki perkembangan hemisfer kanan yang lebih baik, yaitu

untuk tugas yang abstrak dan memerlukan keterampilan.8

Sedangkan Aram DM (1978), mengatakan bahwa gangguan bicara pada anak

dapat disebabkan oleh kelainan di bawah ini:

1. Lingkungan sosial anak

Interaksi antar personal merupakan dasar dari semua komunikasi dan

perkembangan bahasa. Lingkungan yang tidak mendukung akan menyebabkan gangguan

bicara dan bahasa pada anak.

2. Sistem masukan/input

Adalah sistem pendengaran, penglihatan dan integritas taktil-kinestetik dari

anak. Pendengaran merupakan alat yang penting dalam perkembangan bicara. Anak

dengan otitis media kronis dengan penurunan daya pendengaran akan mengalami

keterlambatan kemampuan menerima ataupun mengungkapkan bahasa. Gangguan bicara

juga terdapat pada tuli oleh karena kelainan genetik dan metabolik (tuli primer), tuli

neurosensorial (infeksi intra uterin: sifilis, rubella, toksoplasmosis, sitomegalovirus), tuli

konduksi seperti akibat malformasi telinga luar, tuli sentral (sama sekali tidak dapat

mendengar), tuli persepsi/afasia sensorik (terjadi kegagalan integrasi arti bicara yang

didengar menjadi suatu pengertian yang menyeluruh), dan tuli psikis seperti pada

skizofrenia, autisme infantile, keadaan cemas dan reaksi psikologis lainnya.

Pola bahasa juga akan terpengaruh pada anak dengan gangguan penglihatan yang berat,

demikian pula dengan anak dengan defisit taktil-kinestetik akan terjadi gangguan

artikulasi.

3. Sistem pusat bicara dan bahasa

Kelainan susunan saraf puast akan mempengaruhi pemahaman, interpretasi,

formulasi dan perencanaan bahasa, juga pada aktivitas dan kemampuan intelektual dari

anak. Gangguan komunikasi biasanya merupakan bagian dari retardasi mental, misalnya

pada Sindrom Down.

4. Sistem produksi

Sistem produksi suara seperti laring, faring, hidung, struktur mulut, dan

mekanisme neuromuskular yang berpengaruh terhadap pengaturan nafas untuk berbicara,

6

bunyi laring, pembentukan bunyi untuk artikulasi bicara melalui aliran udara lewat laring,

faring, dan rongga mulut.9

III. Patofisiologi

Terdapat dua aspek untuk dapat berkomunikasi: pertama, aspek sensorik (input

bahasa), yang melibatkan telinga dan mata, dan kedua, aspek motorik (output bahasa),

yang melibatkan vokalisasi dan pengaturannya.10

Urutan proses komunikasi-input bahasa dan output bahasa adalah sebagai berikut:

1. sinyal bunyi mula-mula diterima oleh area auditorik primer yang nantinya akan

menyandikan sinyal tadi dalam bentuk kata-kata

2. kata-kata lalu diinterpretasikan di area Wernicke

3. penentuan buah pikiran dan kata-kata yang akan diucapkan juga terjadi di dalam

area Wernicke

4. penjalaran sinyal-sinyal dari area Wernicke ke area Broca melalui fasikulus

arkuatus

5. aktivitas program keterampilan motorik yang terdapat di area Broca untuk

mengatur pembentukan kata

6. penjalaran sinyal yang sesuai ke korteks motorik untuk mengatur otot-otot bicara.

Apabila terjadi kelainan pada salah satu jalannya impuls ini, maka akan terjadi kelainan

bicara.

7

Apek sensorik pada komunikasi

Bila ada kerusakan pada bagian area asosiasi auditorik dan area asosiasi visual

pada korteks, maka dapat menimbulkan ketidakmampuan untuk mengerti kata-kata yang

diucapkan dan kata-kata yang tertulis. Efek ini secara berturut-berturut disebut sebagai

afasia reseptif auditorik dan afasia reseptif visual atau lebih umum , tuli kata-kata dan

buta kata-kata (disebut juga disleksia).

Afasia Wernicke dan Afasia Global

Beberapa orang mampu mengerti kata-kata yang diucapkan atau pun kata-kata

yang dituliskan namun tak mampu menginterpretasikan pikiran yang diekspresikan.

Keadaan ini sering terjadi bila area Wernicke yang terdapat di bagian posterior hemisfer

dominan girus temporalis superior mengalami kerusakan atau kehancuran. Oleh karena

itu, tipe afasia ini disebut afasia Wernicke.

Bila lesi pada area Wernicke ini meluas dan menyebar (1) ke belakang ke

regio girus angular, (2) ke inferior ke area bawah lobus temporalis, dan (3) ke superior ke

tepi superior fisura sylvian, maka penderita tampak seperti benar-benar terbelakang

secara total (totally demented) untuk mengerti bahasa atau berkomunikasi, dan karena itu

dikatakan menderita afasia global. 7

Aspek motorik komunikasi

Proses bicara melibatkan dua stadium utama aktivitas mental: (1) membentuk

buah pikiran untuk diekspresikan dan memilih kata-kata yang akan digunakan, kemudian

(2) mengatur motorik vokalisasi dan kerja yang nyata dari vokalisasi itu sendiri.

Pembentukan buah pikiran dan bahkan pemilihan kata-kata merupakan fungsi area

asosiasi sensorik otak. Sekali lagi, area Wernicke pada bagian posterior girus temporalis

superior merupakan hal yang paling penting untuk kemampuan ini. Oleh karena itu,

penderita yang mengalamai afasia Wernicke atau afasia global tak mampu

memformulasikan pikirannya untuk dikomunikasikan. Atau, bila lesinya tak begitu parah,

maka penderita masih mampu memformulasikan pikirannya namun tak mampu

8

menyusun kata-kata yang sesuai secara berurutan dan bersama-sama untuk

mengekspresikan pikirannya. Seringkali, penderita fasih berkata-kata namun kata-kata

yang dikeluarkan tidak beraturan.

Afasia motorik akibat hilangnya Area Broca

Kadang-kadang, penderita mampu menentukan apa yang ingin dikatakannya,

dan mampu bervokalisasi, namun tak dapat mengatur sistem vokalnya untuk

menghasilkan kata-kata selain suara ribut. Efek ini, disebut afasia motorik, disebabkan

oleh kerusakan pada area bicara Broca, yang terletak di regio prefontal dan fasial

premotorik korteks—kira-kira 95 persen kelainannya di hemisfer kiri. Oleh karena itu,

pola keterampilan motorik yang dipakai untuk mengatur laring, bibir, mulut, sistem

respirasi, dan otot-otot lainnya yang dipakai untuk bicara dimulai dari daerah ini.

Artikulasi

Kerja artikulasi berarti gerakan otot-otot mulut, lidah, laring, pita suara, dan

sebagainya, yang bertanggung jawab untuk intonasi, waktu, dan perubahan intensitas

yang cepat dari urutan suara. Regio fasial dan laringela korteks motorik mengaktifkan

otot-otot ini, dan serebelum, ganglia basalis, dan korteks sensorik semuanya membantu

mengatur urutan dan intensitas dari kontraksi otot, dengan mekanisme umpan balik

sereberal dan fungsi ganglia basalis. Kerusakan setiap regio ini dapat menyebabkan

ketidakmampuan parsial atau total untuk berbicara dengan jelas.10

IV. Manifestasi Klinik

Terdapat bermacam-macam klasifikasi disfasia, tergantung dari cara pandang

mana. Kebanyakan sistem klasifikasi berdasarkan atas model input-output. Beberapa

telah didefinisikan dengan menggunakan tes yang telah distandarisasi. Ada yang

menggunakan model didasari pendengaran dan ada pula yang berdasarkan patofisiologi

terjadinya disfasia.

Klasifikasi kelainan bahasa pada anak menurut Rutter (dikutip dari Toback C.),

berdasarkan atas berat ringannya kelainan bahasa sebagai berikut:

9

Klasifikasi kelainan bahasa menurut Rutter.

Ringan

Keterlambatan akuisisi dari bunyi kata-kata, bahasa

normal Dislalia

Sedang

Keterlambatan lebih berat dari akuisisi bunyi kata-

kata

Disfasia

ekspresif

  dan perkembangan bahasa terlambat  

Berat Keterlambatan lebih berat dari akuisis dan bahasa, Disfasia reseptif

  gangguan pemahaman bahasa dan tuli persepsi

Sangat

berat Ganggauan pada seluruh kemampuan bahasa

Tuli persepsi

dan

    tuli sentral

Sedangkan Rapin dan Allen (dikutip dari Klein,1991) berdasar patofisiologi,

membagi kelainan bahasa pada anak mejadi 6 subtipe, yaitu:

1. 2 primer ekspresif:

- disfraksia verbal

- gangguan defisit produksi fonologi

2. defisit represif dan ekspresif

- gangguan campuran ekspresif- represif

- disfasia verbal auditori agnosia

3. 2 defisit bahasa yang lebih berat

- gangguan leksikal-sintaksis

- gangguan semantik-pragmatik

Anak dengan disfraksi verbal (afraksia verbal atau gangguan perkembangan

bicara ekspresif) mengerti segala sesuatu yang dikatakan padanya, mereka lebih sering

menunjuk dari pada bicara. Banyak yang mempunyai riwayat prematur, beberapa

menderita disfraksia oromotor (anak ini mengeluarkan air liur dan mempunyai kesulitan

mengikuti gerakan mulut). Jika mereka bicara, lebih banyak menggunakan suara vokal

dengan gangguan pengucapan konsonan. Anak-anak ini setelah dewasa menjadi afemia.

10

Anak dengan disfraksia verbal kadang-kadang disertai dengan gangguan tingkah laku

(autisme). Rehabilitasi pada anak ini lebih memerlukan terapi wicara yang intensif.

Beberapa anak bicara dengan kata-kata dan frase yang sulit dimengerti, bahkan

pada orang-orang yang selalu kontak dengannya. Sehingga mereka sering marah dan

frustasi karena merasa bahwa kata-katanya sulit dimengegerti oleh sekitarnya. Mereka ini

tidak ada gangguan dalam pengertian, tetap terdapat gangguan defisit fonologi.

Anak yang bicaranya sulit dipahami yang juga menunjukkan adanya gangguan

pemahaman terhadap apa yang dikatakan kepadanya, menunjukkan gangguan campuran

ekspresif–reseptif. Mereka bicara dalam kalimat yang pendek dan banyak dari mereka

yang autistik. Setelah dewasa mereka menjadi afasia (afasia Broca), hanya sedikit yang

diketahui bagaimana hal ini bisa terjadi.

Beberapa anak mengerti sedikit pada apa yang dikatakan kepadanya, walaupun

kadang-kadang mereka mengikuti suatu pembicaraan dengan cara lain, misalnya dengan

memperhatikan apa yang dilihatnya. Mereka sangat miskin dalam artikulasi kata-kata.

Mereka ini dinamakan disfasia verbal auditori agnosia. Mereka ini termasuk afasia yang

didapat, dimana mereka sebelumnya sering kejang dan kehilangan kemampuan berbicara

setelah periode perkembangan bahasa yan normal (sindrom Landau Kleffner). Pada EEG

anak dengan sindrom ini, akan tampak bitemporal spike. Anak dengan disfasia jenis ini,

memproses suara suara yang didengarkan di pusat dengar berbeda dengan anak normal.

Stimulasi bahasa akan meperbaiki keadaan, walaupun hasil akhirnya masih belum pasti.

Anak dengan gangguan leksikal-sintaksis mempunyai kesulitan dalam

menemukan kata-kata yang tepat khususnya saat bercakap-cakap. Mereka tidak gagap

dan tidak menghindar untuk berbicara. Gejalanya seperti orang dewasa dengan afasia

konduksi, dimana mereka akan berhenti bicara seentar untuk menemuka kata-kata yang

tepat. Anak ini biasanya bicara dengan menggunakan kalimat-kalimat yang pendek untuk

umurnya. Terapi bicara akan membantu melatih anak mencari kata-kata yang tepat pada

saat bicara, tetapi prognosis selanjutnya masih belum banyak diketahui.

Beberapa anak ada yang bicaranya lancar dan dapat menggunakan kata-kata yang

tepat, tetapi mereka bicara tanpa henti mengenai satu topik. Mereka tidak mengerti tata

bahasa. Gejalanya mirip gangguan bicara pada anak denga hidrosefalus dan oleh Rapi

11

dan Allen disebut gangguan semantik pragmatik. Anak ini pada umumnya menderita

gangguan hubungan sosial dan didiagnosis sebagai gangguan perkembangan pervasif.

Mereka punya sedikit teman sebaya dan tidak pernah mau belajar aturan permainan dan

bicara dari teman sebayanya. Ada baiknya anak ini diajar keterampilan berbicara, bahkan

diperlukan psokolog dan ahli terapi tingkah laku.11

Aram DM (1978) dan Towne (1983), mengatakan bahwa dicurigai adanya

gangguan perkembangan kemampuan bahasa pada anak, kalau ditemukan gejala-gejala

seperti berikut:

1. Pada usia 6 bulan anak tidak mampu memalingkan mata serta kepalanya terhadap

suara yang datang dari belakang atau samping.

2. Pada usia 10 bulan anak tidak memberi reaksi terhadap panggilan namanya

sendiri.

3. Pada umur 15 bulan tidak mengerti dan memberi reaksi terhadap kata-kata jangan,

da-da, dan sebagainya.

4. Pada usia 18 bulan tidak dapat menyebut 10 kata tunggal.

5. Pada usia 21 bulan tidak memberi reaksi terhadap perintah (misalnya duduk,

kemari, berdiri).

6. Pada usia 24 bulan tidak bisa menyebut bagian-bagian tubuh

7. Pada usia 24 bulan belum mampu mengetengahkan ungkapan yang terdiri dari 2

buah kata.

8. Setelah usia 24 bulan hanya mempunyai perbendaharaan kata yang sangat

sedikit/tidak mempunyai kata-kata huruf z pada frase.

9. Pada usia 30 bulan ucapannya tidak dapat dimengerti oleh anggota keluarga.

10. Pada usia 36 bulan belum dapat mempergunakan kalimat-kalimat sederhana.

11. Pada usia 36 bulan tidak bisa bertanya dengan kata tanya yang sederhana.

12. Pada usia 36 bulan ucapannya tidak dimengerti oleh orang di luar keluarganya.

13. Pada usia 3,5 tahun selalu gagal untuk menyebutkan kata akhir (ca untuk cat, ba

untuk ban, dan lain-lain).

14. Setelah berusia 4 tahun tidak lancar berbicara/gagap.

15. Setelah usia 7 tahun masih ada kesalahan ucapan.

12

16. Pada usia berapa saja terdapat hipernasalitas atau hiponasaliatas yang nyata atau

mempunyai suara yang monoton tanpa berhenti, sangat keras dan tidak dapat

didengar serta terus-menerus memperdengarkan suara yang serak.11

V. Diagnosis

1. Anamnesis

Pengambilan anamnesis harus mencakup uraian mengenai perkembangan bahasa

anak. Autisme setelah berumur 18 bulan dan bicara yang sulit dimengerti setelah berumur

3 tahun, paling sering ditemukan. Dokter anak harus curiga bila orang tua melaporkan

bahwa anaknya tidak dapat menggunakan kata-kata yang berarti pada umur 18 bulan atau

belum mengucapkan frase pada umur 2 tahun. Atau anak memakai bahasa yang singkat

untuk menyampaikan maksudnya.

Kecurigaan adanya gangguan tingkah laku perlu dipertimbangkan kalau dijumpai

gangguan bicara dan tingkah laku yang bersamaan. Kesulitan tidur dan makan sering

dikeluhkan orang tua pada awal gangguan autisme. Pertanyaan bagaimana anak bermain

dengan temannya dapat membantu mengungkap tabir tingkah laku. Anak dengan autisme

lebih senang bermain dengan huruf balok atau magnetik dalam waktu yang lama. Mereka

dapat saja bermain dengan anak sebaya, tetapi dalam waktu singkat menarik diri.

2. Instrumen penyaring

Selain anamnesis yang teliti, disarankan digunakan instrumen penyaring untuk

menilai gangguan perkembangan bahasa. Misalnya Early Language Milestone Scale

(Copelan dan Gleason), atau DDST (pada Denver II penilaian pada sektor bahasa lebih

banyak dari pada DDST yang lama) atau Receptive-Expressive Emergent Language

Scale. Early Language Milestone Scale cukup sensitif dan spesifik untuk

mengidentifikasi gangguan bicara pada anak kurang dari 3 tahun.

3. Pemeriksaan fisik

13

Pemeriksaan fisik dapat digunakan untuk mengungkapkan penyebab lain dari

gangguan bahasa. Apakah ada mikrosefali, anomali telinga luar, otitis media yang

berulang, sindrom William (fasies Elfin, perawakan pendek, kelainan jantung, langkah

yang tidak mantap), celah palatum, dan lain-lain.

Gangguan oromotor dapat diperiksa dengan menyuruh anak menirukan gerakan

mengunyah, menjulurkan lidah dan mengulang suku kata PA, TA, PA-TA, PA-TA-KA.

Gangguan kemampuan oromotor terdapat pada verbal apraksia.

4. Pengamatan saat bermain

Mengamati anak saat bermain dengan alat permainan yang sesuai dengan

umurnya, sangat membantu dalam mengidentifikasi gangguan tingkah laku. Idealnya

pemeriksa juga bermain dengan anak tersebut dan kemudian mengamati orang tuanya

saat bermain dengan anaknya. Tetapi ini tidak praktis dilakukan pada ruangan yang

ramai. Pengamatan anak saat bermain sendiri, selama pengambilan anamnesis dengan

orang tuanya, lebih mudah dilaksanakan. Anak yang memperlakukan mainannya sebagai

objek saja atau hanya sebagai titik pusat perhatian saja, dapat merupakan petunjuk

adanya kelainan tingkah laku.

5. Pemeriksaan laboratorium

Semua anak dengan gangguan bahasa harus dilakukan tes pendengaran. Jika anak

tidak kooperatif terhadap audiogram atau hasilnya mencurigakan, maka perlu dilakukan

pemeriksaan ”auditory brainstem responses”.

Pemeriksaaan laboratorium lainnya dimaksudkan untuk membuat diagnosis

banding. Bila terdapat gangguan pertumbuhan, mikrosefali, makrosefali, terdapat gejala-

gejala dari suatu sindrom perlu dilakukan CT-scan atau MRI, untuk mengetahui adanya

malformasi. Pada anak laki-laki dengan autisme dan perkembangan yang lambat, skrining

kromosom untuk fragil-X mungkin diperlukan. Skrining terhadap penyakit-penyakit

14

metabolik baru dilakukan kalau terdapat kecurigaan ke arah itu, karena pemeriksaan ini

sangat mahal.

6. Konsultasi

Pemeriksaan dari psikolog atau/neuropsikiater anak diperlukan jika ada gangguan

bahasa dan tingkah laku. Pemeriksaan ini meliputi riwayat dan tes bahasa, keampuan

kognitif dan tingkah laku. Tes intelegensia dapat dipakai sebagai perbandingan fungsi

kognitif anak tersebut. Masalah tingkah laku dapat diperiksa lebih lanjut dengan

menggunakan instrumen seperti Vineland Social Adaptive Scale Revised. Child

Behaviour Checklist, atau Childhood Autism Rating Scale. Konsultasi ke psikiater anak

dilakukan bila ada gangguan tingkah laku yang berat.

Ahli patologi wicara akan mengevaluasi cara pengobatan anak dengan gangguan

bicara. Anak akan diperiksa apakah ada masalah anatomi yang mempengaruhi produksi

suara.5

15

diagram yang juga dapat digunakan untuk mendiagnosa seorang anak dengan

keterlambatan bicara.9

Pemahaman bahasa

Normal Terlambat

Kualitas dalam berbicara

Kemampuan dalam area non bahasa, termasuk bermain dengan menggunakan simbol-simbol

Terbatas tetapi jelas

Banyak tetapi tidak

jelas

Buruk Normal

Immatur, perkembangan yang tidak sempurna, gangguan bahasa ekspresif

Terdapat kelainan

Menetap

Tidak menetap

Immatur,disartria

Dispraksia

Perkembangan yang tidak sempurna, retardasi mental

Pendengaran

Tidak norm

al

Tuli

Normal

Gangguan dalam berbicara

Bentuk normal, tidak dapat bermain dengan simbol, komunikasi yang buruk

Autisme

16

VI. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya

stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.(2,3)

Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan

terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia

adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara.

Prinsip umum dari terapi wicara adalah:

Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika

intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika pasien

melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan dengan melakukan

banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak pula.

Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai bentuk

stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik, dan stimulus

visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan.

stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi

afasia. Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti

sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.

Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-

komponen emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan

pasien untuk menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang

berbeda-beda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata

"gembira." Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan

kemampuan komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen emosi dari

bahasa.

Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori.

Termasuk gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat

kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.

Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada

semantik (arti) dan sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang

digunakan selama terapi adalah stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan

17

kemampuan berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.

Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks

sosial untuk mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari

selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para

terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga. Efeknya

akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orang-orang tercinta

mereka.

PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan

bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan

meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan percakapan

sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis. Untuk

menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan lukisan-

lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan oleh pasien

sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan terapi secara

bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka.

Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan

mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan

kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak tersebut,

maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah menunjukkan

hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih besar untuk

membuktikan efektivitas terapi ini.2 & 9

VII. Prognosis

Prognosis gangguan bicara pada anak tergantung pada penyebabnya. Dengan

perbaikan masalah medis seperti tuli konduksi dapat menghasilkan perkembangan bahasa

yang normal pada anak yang tidak retardasi mental. Sedangkan perkembangan bahasa

dan kognitif pada anak dengan ganguan pendengaran sensoris bervariasi. Dikatakan

bahwa anak dengan gangguan fonologi biasanya prognosisnya lebih baik. Sedangkan

gangguan bicara pada anak yang intelegensinya normal perkembangan bahasanya lebih

baik dari pada anak yang retardasi mental. Tetapi anak dengan gangguan yang multipel,

18

terutama dengan gangguan pemahaman, gangguan bicara ekspresif, atau kemampuan

naratif yang tidak berkembang pada usia 4 tahun, mempunyai gangguan bahasa yang

menetap pada umur 5,5 tahun.6

VIII. Pencegahan

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dihindari untuk untuk mencegah

adanya masalah keterlambatan bicara pada anak - di luar adanya kelainan organik dan

bawaan pada anak.4

Hal yang perlu diperhatikan:

Masalah pembelajaran dan komunikasi dengan orang tua

Masalah komunikasi dan interaksi dengan orang tua tanpa disadari memiliki peran

yang penting dalam membuat anak mempunyai kemampuan berbicara dan berbahasa

yang tinggi. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa cara mereka berkomunikasi

dengan si anak lah yang juga membuat anak tidak punya banyak perbendaharaan kata-

kata, kurang dipacu untuk berpikir logis, analisa atau membuat kesimpulan dari kalimat-

kalimat yang sangat sederhana sekali pun.

Sering orang tua malas mengajak anaknya bicara panjang lebar dan hanya bicara

satu dua patah kata saja yang isinya instruksi atau jawaban sangat singkat. Selain itu,

anak yang tidak pernah diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri sejak dini (lebih

banyak menjadi pendengar pasif) karena orang tua terlalu memaksakan dan memasukkan

segala instruksi, pandangan mereka sendiri atau keinginan mereka sendiri tanpa memberi

kesempatan pada anaknya untuk memberi umpan balik, juga menjadi faktor yang

mempengaruhi kemampuan bicara, menggunakan kalimat dan berbahasa.

Pengaruh televisi

Sejauh ini, terlalu banyak menonton televisi pada anak-anak usia batita

merupakan faktor yang membuat anak lebih menjadi pendengar pasif. Pada saat

menonton televisi, anak akan akan lebih sebagai pihak yang menerima tanpa harus

mencerna dan memproses informasi yang masuk. Belum lagi suguhan yang ditayangkan

19

berisi adegan-adegan yang seringkali tidak dimengerti oleh anak dan bahkan sebenarnya

traumatis (karena menyaksikan adegan perkelahian, kekerasan, seksual, atau pun acara

yang tidak disangka memberi kesan yang mendalam karena egosentrisme yang kuat pada

anak dan karena memampuan kognitif yang masih belum berkembang). Akibatnya,

dalam jangka waktu tertentu yang mana seharusnya otak mendapat banyak stimulasi dari

lingkungan/orang tua untuk kemudian memberikan feedback kembali, namun karena

yang lebih banyak memberikan stimulasi adalah televisi (yang tidak membutuhkan

respon apa-apa dari penontonnya), maka sel-sel otak yang mengurusi masalah bahasa dan

bicara akan terhambat perkembangannya.

Sedikitnya latihan dalam berinteraksi dengan orang lain

Pastikan bahwa anak tidak kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi

dengan orang lain guna melatih kemampuan komunikasi mereka.

 

Hal yang perlu dihindari:

Peran yang terlalu pasif dalam kehidupan sosial

Kebanyakan anak lebih sering ditempatkan dalam posisi “menerima” dan tidak

“memberi” dalam hubungannya dengan orang lain. Hal ini mengakibatkan tidak

terbiasanya mereka berpartisipasi secara aktif; hal yang dibutuhkan dalam perkembangan

bicara mereka.

 

Cara komunikasi “kuno” yang sudah terlalu nyaman dipakai

Beberapa anak, khususnya dalam hubungan di dalam keluarganya, terbiasa

dengan nyaman berkomunikasi menggunakan gerakan, bahasa tubuh maupun bunyi-

bunyian saja. Hal ini boleh jadi merupakan cara komunikasi yang efektif di dalam rumah,

namun tidak dalam lingkup masyarakat, di mana anak butuh menggunakan bahasa secara

verbal sampai ke tingkat kata-kata yang rumit.

 

20

Tidak menganggap bahwa anak mampu

Banyak orang dewasa tidak melibatkan anak dalam berkomunikasi, karena

memiliki pemikiran bahwa anak tersebut belum mampu berpartisipasi aktif ataupun

mengerti pembicaraan yang berlangsusng.

 

Orang dewasa bicara atas nama mereka

Seringkali orang dewasa berbicara atas nama anak, sehingga mereka kelihatan

tidak berbicara.

Terlalu banyak rangsangan

Sekalipun untuk niat dan tujuan yang baik, seringkali anak “dijejali” dengan

terlalu banyak bahasa, sehingga mereka kewalahan. Rasanya seperti anak yang sedang

belajar menangkap bola, lalu dilempari beberapa bola sekaligus.

Terlalu banyak bahasa “sekolah”, kurang bahasa yang “komunikatif “

Kebanyakan anak pada awal usianya diajarkan bahasa yang mencakup “warna”,

“angka”, yang sebetulnya tidak terlalu bermanfaat dalam komunikasi sehari-hari. Anak

membutuhkan rangsangan bahasa yang sifatnya praktis; mencakup kosa kata yang

berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, karena mereka akan melatih kemampuan

berbahasanya melalui kehidupan sehari-hari.

Kurangnya “obrolan “sosial”

Kebanyakan anak menggunakan bahasa untuk menunjukkan kemampuannya

meniru sesuatu kepada orang dewasa; apakah itu sajak pendek, syair lagu, mengulang

cerita yang didongengkan kepada mereka, dll. Hanya sedikit yang mendapatkan

kesempatan untuk “mengobrol” dan bertanya jawab secara santai, sehingga terbangun

hubungan “pertemanan” dengan orang yang berkomunikasi dengan mereka.

 

Terlalu banyak bermain sendiri

Tentunya anak belajar banyak melalui permainannya dengan boneka, robot atau

mainan lainnya. Namun untuk melatih kemampuannya berkomunikasi, ia akan

21

membutuhkan juga manusia yang melakukan pembicaraan timbal balik sesuai dengan

kemampuan anak.8

IX. PENUTUP

Kemampuan berbahasa merupakan indikator seluruh perkembangan anak. Karena

kemampuan berbahasa sensitif terhadap keterlambatan atau kerusakan pada sistem

lainnya, sebab melibatkan kemapuan kognitif, sensori motor, psikologis, emosi, dan

lingkungan di sekitar anak.2,3 Diperkirakan gangguan bicara dan bahasa pada anak adalah

sekitar 4-5 %.2

Secara umum, gangguan berbahasa dapat dibagi dalam tiga tipe, yaitu: (1)

Kegagalan memperoleh kemampuan berbahasa apapun. Keadaan ini misalnya terdapat

pada anak yang menderita retardasi mental berat; (2) Kendala kemampuan bahasa yang

telat didapat, yang dapat disebabkan oleh trauma fisik damupun psikis, atau oleh

gangguan neurologist; (3) Gangguan perkembangan berbahasa. Tipe inilah yang

dikategorikan dalam gangguan perkembangan spesifik. Terdapat dua sub tipe, yaitu (a)

tipe reseptif, yaitu kesukaranuntuk menrima dan mengerti bahasa yang dibicarakan, dan

(b) tipe ekspresif, yaitu kesukaran dalam mengekspresikan bahasa secara verbal.11

Deteksi dan penanganan dini pada gangguan keterlambatan bicara dan bahasa

dapat membantu baik anak atau orang tua untuk memperkecil kesulitan di masa sekolah

anak.3 Dalam diagnosa dan penanganannya diperlukan ahli yang beragam seperti dokter,

ahli terapi: ahli terapi bicara dan ahli fisioterapi, psikolog, perawat, dan pekerja sosial.9

DAFTAR PUSTAKA

22

1. Caroline Bowen. Speech And Language Development In Infants And Young

Children, dalam Caroline Bowen Phd Speech-Language Pathologist. Didapatkan

dari URL: http://www.speech-language-therapy.com/devel1.htm. Diakses pada

tanggal 22 Mei 2007.

2. Soetjiningsih. Gangguan Bicara dan Bahasa Pada Anak, dalam I.G.N.Gde Ranuh

(ed): Tumbuh Kembang Anak. EGC, Surabaya, 18, 237-247.

3. Behrman Kliegmar Jenson. Disorders of Hearing, Speech, and Language, dalam

Nelson Textbook of Pediatrics, 17th. Saunders, Philadelphia, 2004.

4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Gangguan Bicara Pada Anak, dalam Buku Kuliah 1 Ilmu Kesehatan Anak. Bagian

Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985,

6, 102-105.

5. Nemours Foundation. Delayed Speech Or Language Development, dalam Kids

HealthForParents.Didapatkan:http://www.kidshealth.org/parent/growth/

communication/not_talk.html. Diakses pada tanggal 22 Mei 2007.

6. Screening for Speech and Language Delay in Preschool Children: Systematic

Evidence Review for the US Preventive Services Task Force, dalam Official

Journal Of The American Academy Of Pediatrics. Didapatkan dari URL:

http://pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/117/2/e298. Diakses pada

tanggal 22 Mei 2007.

7. Come Unity. Children with Communication Disorders, dalam Children’s

Disabilities And Special Needs. Didapatkan dari URL:

http://www.comeunity.com/disability/speech/communication.html. Diakses pada

tanggal 22 Mei 2007.

8. Arthur C. Guyton, John E. Hall, Neurofisiologi Motorik dan Integratif, dalam

Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC, Jakarta.

9. Forfar and Arneil’s. Psychomotor and Intellectual Development, dalam A.G.M.

Campbell, Neil Mc Intosh (eds): Textbook of Paediatrics, 4th.

23

10. Ganguan Keterlambatan Bicara, dalam Pontianak Post. Didapatkan dari URL:

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?berita=Konsultasi&id=126200.

Diakses pada tanggal 22 Mei 2007.

11. A.H. Markum. Gangguan Perkembangan Bahasa, dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Anak Jilid 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta, 1991, 2, 65.

24