Upload
raras-suksmaprasasta
View
475
Download
40
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Angka kejadian tumor mata terhitung kecil, yaitu hanya 1% diantara penyakit
keganasan lainnya. Namun dampak yang ditimbulkan tumor mata cukup mengerikan. Hal ini
disebabkan letak yang tidak menguntungkan sehingga mudah menyebar ke dalam otak, dan
kematian tidak dapat dihindari lagi.1
Mata bukanlah suatu organ vital bagi manusia, namun keberadaan mata sangatlah
penting. Mata adalah jendela kehidupan, tanpa mata manusia tidak dapat melihat apa yang
ada di sekelilingnya. Oleh karena itu pemeliharaan mata sangatlah penting. Salah satu
struktur mata yang penting adalah orbita. Penonjolan bola mata adalah tanda utama penyakit
orbita. Lesi-lesi ekspansif dapat bersifat jinak atau ganas dan dapat berasal dari tulang, otot,
saraf, pembuluh darah, atau jaringan ikat. Massa dapat bersifat radang, neoplastik, kistik, atau
vaskular. Anamnesis dan pemeriksaan fisik memberikan banyak petunjuk mengenai
penyebab proptosis. Kelainan bilateral umumnya mengindikasikan penyakit sistemik. Pada
makalah ini akan membahas cara pemeriksaan pada proptosis sehingga dapat mengarahkan
pada suatu diagnosa.1,2,3
1
BAB II
ANATOMI ORBITA
Orbita berbentuk seperti buah pear dengan dengan kanalis optikus diibaratkan sebagai
tangkainya. Puncaknya di posterior dibentuk oleh foramen optikum dan basisnya di bagian
anterior dibentuk oleh margo orbita. Lebar margo orbita 45 mm dengan tinggi 35 mm.
Kedalaman orbita pada orang dewasa kurang lebih 40-45 mm sampai ke apex. Dinding
medial dari mata kanan dan kiri sejajar. Dinding lateralnya dari mata kanan tegak lurus
terhadap dinding lateral mata kiri. Pertumbuhan penuh dicapai pada umur 18-20 tahun
dengan volume orbita dewasa ±30cc. Bola mata hanya menempati sekitar 1/5 bagian
ruangannya. Lemak dan otot menempati bagian terbesarnya. Otot-otot mata terdiri dari m.
rektus superior, m. rektus inferior, m.rektus lateralis, m. rektus medialis, m. obliqus inferior,
m. obliqus superior. 2
Orbita dibentuk oleh tulang-tulang, terdiri dari : 2
Bagian atap orbita:
1. os frontalis
2. os sphenoidalis
Bagian dinding medial orbita :
1. os maksilaris
2. os lakrimalis
3. os sphenoidalis
4. os ethmoidalis
5. lamina papyracea hubungan ke os sphenoidalis (dinding ini paling tipis)
2
Bagian dinding lantai orbita:
1. os maksilaris
2. os zigomatikum
3. os palatinum
Bagian dinding lateral orbita :
1. os zigomatikum
2. os sphenoidalis
3. os frontalis
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, saraf, yang masuk ke
dalam mata, yang terdiri dari: 3
1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.
2. Fissura orbitalis superior yang dialalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n. Trochlearis,
v. Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut saraf simpatik.
3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis.
Gambar 1. Anatomi orbita 2
3
BAB III
ABNORMALITAS ORBITA
Evaluasi abnormalitas orbita harus dapat membedakan orbital dari lesi periorbital dan
intraokular. Perbedaan ini dapat mengarahkan kepada sebuah diagnosis. Evaluasi dimulai dari
anamnesis dan pemeriksaan untuk membimbing ke arah diagnosa dan terapi. Pada
abnormalitas orbita penting untuk ditanyakan riwayat 6 P, yaitu : 4
1. Pain, kemungkinan merupakan tanda dari adanya inflamasi dan infeksi, perdarahan
orbita, tumor glandula lakrimalis maligna, invasi dari karsinoma nasopharyngeal, atau
adanya metastase.
2. Proptosis, biasanya diindikasikan dengan adanya massa di belakang bola mata.
Penonjolan axial disebabkan karena lesi-lesi pada intrakonal. Sedangkan penonjolan
nonaxial disebabkan lesi ekstrakonal.
Pada bilateral proptosis biasanya terjadi karena Grave’s disease, lymphoma,
vasculitis, pseudotumor, tumor metastatik, carotid cavernous fistula, cavernous sinus
trombosis, leukemia, dan neuroblastoma.
3. Progression, progresivitas lesi dapat dijadikan indikasi diagnostik. Lesi dengan onset
hari sampai dengan minggu biasanya disebabkan idiopathic orbital inflammatory
disease, cellulitis, hemorrhage, thrombhophlebitis, rhabdomyosarcoma, thyroid
ophthalmopathy, neuroblastoma, tumor metastatik, atau granulocytic sarcoma.
Sedangkan pada onset bulan sampai dengan tahun biasanya disebabkan dermoid,
tumor benigna, tumor neurogenic, hemangioma kavernosa, lymphoma, histicyioma
fibrosa, osteoma.
4. Palpation, pada massa di belakang orbita tidak dapat teraba.
4
5. Pulsation, pulsasi tanpa adanya bruits kemungkinan disebabkan adanya
neurofibromatosis atau meningoencephalokel, atau mungkin akibat dari operasi
pengangkatan atap orbital. Pulsasi dengan atau tanpa bruits, dapat disebabkan karena
carotid cavernous fistula, dural arteriovenous fistulas, dan orbital arteriovenous
fistulas.
6. Periorbital changes, yang berhubungan dengan lesi orbital biasanya terlihat adanya
retraksi palpebra, kelainan vaskular pada palpebra, lesi eczematous pada palpebra,
ekimosis palpebra, edema pada palpebra inferior, dan kelainan lainnya.
Yang akan dibahas pada referat ini adalah proptosis. Proptosis dideskripsikan sebagai
penonjolan bola mata yang abnormal, dan disebabkan oleh lesi retrobulbar, atau pada
kasus yang jarang, karena orbita yang dangkal. Proptosis yang asimetris dapat
dideteksi dengan inspeksi mata pasien dari arah depan bawah (Worm’s eye view) atau
dari arah samping. 4
Gambar 2. Posisi Worm’s eye view 3
5
BAB IV
PEMERIKSAAN PROPTOSIS
A. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis harus dilakukan secara lengkap sehingga dapat dikelola dengan
tepat. Ada beberapa tahap pemeriksaan : 1
a. Tahap Pemeriksaan Medis
Tahap ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu ;
1. Riwayat Penyakit
Riwayat penyakit dapat membantu menduga penyebab proptosis. Dari
anamnesis dapat ditanyakan adanya riwayat trauma atau penambahan
proptosis saat pasien membungkuk (mengarah ke proptosis akibat
malformasi arteri vena), onset lama atau tiba-tiba (pada infeksi),
kemudian ditanyakan tanda-tanda infeksi lain seperti adanya panas badan
meningkat, atau adanya penyakit sinusitis atau abses gigi. Dapat
ditanyakan juga tanda-tanda penyakit tiroid, seperti tremor, sifat gelisah
yang berlebihan, berkeringat banyak atau adanya penglihatan ganda.
Bila dari pertanyaan ini tidak didapat jawaban, maka dapat diarahkan pada
penyakit tumor, kemungkinan tumor retrobulber. Anamnesis yang penting
untuk tumor adalah
i. Onset, karena umumnya proptosis terjadi lebih lambat pada tumor
jinak dan cepat pada tumor ganas.
ii. Umur, dapat menentukan jenis tumor, yaitu tumor anak-anak dan
tumor dewasa
6
iii. Tajam penglihatan penderita, apakah menurun bersamaan dengan
terjadinya proptosis atau tidak. Jika bersamaan, dapat diduga tumor
terletak di daerah apex atau saraf optik.
iv. Adanya tanda klinis lain tumor ganas seperti rasa sakit, atau berat
badan menurun
v. Riwayat penyakit keganasan di organ lain, untuk mengetahui
kemungkinan metastase.
2. Pemeriksaan Mata
Pemeriksaan mata secara teliti sangat diperlukan,antara lain pada visus,
adanya penurunan visus dapat dicurigai adanya tumor di intrakonal.
Perhatikan pula perubahan pada struktur organ lainnya, seperti
palpebra(jaringan parut, retraksi palpebra atau perdarahan), konjungtiva,
kornea(erosi akibat penonjolan bola mata yang menyebabkan lagoftalmus),
kamera okuli anterior, iris(nevi, neovaskularisasi), pupil (reflek pupil),
fundus(atrofi papil atau edema papil, striae retina). Pemeriksaan dapat
dilanjutkan pada otot bola mata, lapang pandang dan tekanan intraokular.
3. Pemeriksaan Orbita
i. Pengukuran Proptosis, untuk mengetahui derajat proptosis
dengan membandingkan ukuran kedua mata.
Normalnya nilai penonjolan tidak melebihi 20 mm atau beda
kedua mata tidak lebih dari 3 mm. Pengukuran dilakukan
dengan eksoftalmometer Hertel.
7
Gambar 3. Pemeriksaan dengan Eksoftalmometer Hertel 5
ii. Posisi proptosis, perlu diketahui karena letak tumor biasanya
sesuai dengan jaringan yang berada di orbita. Ada 2 jenis
posisi, yaitu sentrik dan eksentrik. Posisi sentrik biasanya
disebabkan tumor yang berada di konus. Sedangkan posisi
eksentrik harus dilihat dari arah terdorongnya bola mata untuk
memperkirakan tumor.
iii. Palpasi, dinilai konsistensi tumor, pergerakan dari dasarnya,
adanya rasa nyeri pada penekanan, serta permukaan tumor.
iv. Pulsasi dan bruits.
v. Ocular movement, gerakan okular mungkin terbatas pada arah
tertentu oleh karena adanya massa atau proses inflamasi.
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Primer
a. Computed Tomography, adalah teknik fotografi yang menggambarkan satu
lapisan tubuh pada suatu kedalaman tertentu, dan dapat digunakan untuk
merekonstruksi setiap bagian dan setiap potongan. Gambar orbital dapat
diperoleh pada potongan aksial, yaitu sejajar dengan saraf optik.
8
Pada potongan koronal, akan menunjukkan mata, saraf optik, dan otot luar
mata, sedangkan pada potongan sagital, sejajar dengan nasal septum. 1,4
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging), adalah suatu alat pemeriksaan yang
bersifat non invasif, karena tidak menggunakan radiasi ionisasi, sehingga tidak
menimbulkan efek biologik. Pada dasarnya, MRI merupakan interaksi dari 3
komponen, yaitu atomic nuclei possessing, gelombang radiofrekuensi dan
bidang magnetik. Setiap jaringan orbita memiliki parameter resonansi magnet
yang berbeda-beda, yang kemudian ditangkap menjadi data, lalu diubah
menjadi gambar oleh komputer. Kelebihan MRI adalah tidak menggunakan
sinar X, gambar yang terjadi lebih rinci, dan dapat menghitung biokimia
jaringan, dan relatif jarang menimbulkan kerusakan jaringan. 1,4
c. Ultrasonografi Orbita (USG Orbita), biasanya digunakan untuk pemeriksaan
pasien dengan kelainan orbita. Ukuran, bentuk dan posisi dari jaringan normal
dan abnormal dapat diketahui dengan teknik ultrasound. Gambaran 2 dimensi
jaringan dapat dilihat dengan B scan Ultrasonography. Pada A scan,
gambarannya hanya satu dimensi dari jaringan lunak orbita, ditandai dengan
spike yang bervariasi dari panjang dan tingginya tergantung dari karakteristik
tiap jaringan. Untuk Doppler ultrasonography, dapat memberikan informasi
khusus mengenai aliran darah (misalnya, kecepatan dan arah aliran darah pada
pasien dengan penyakit vaskular oklusi pembuluh darah atau kelainan lain
yang terkait dengan peningkatan aliran darah). Tetapi kekurangan dari
ultrasonography adalah keterbatasan dalam menilai lesi di osterior orbita
(karena redaman suara) atau sinus atau ruang intrakranial (karena suara tidak
dapat melewati udara atau tulang). 1,4
9
2. Pemeriksaan Sekunder
Pemeriksaan sekunder biasanya dilakukan dengan indikasi, pada kasus-kasus
tertentu. Termasuk dalam pemeriksaan sekunder adalah venography,
arteriography, serta CT dan MR angiography. 1,4
a. Venography, digunakan untuk menilai kelainan varises dan sinus kavernosus
dengan menyuntikkan kontras di vena frontal atau vena angularis. Karena
aliran darah akan menghasilkan sinyal kosong pada MRI, abnormalitas vena
yang lebih besar dan strukturnya dapat divisualisasikan dengan baik pada MR
venography. Pada beberapa malformasi pembuluh darah orbitocranial atau
fistula, paling baik diakses melalui vena oftalmika superior. 1,4
b. Arteriography, adalah gold standard untuk mendiagnosa kelainan arteri seperti
aneurisma dan malformasi arteri-vena. Kateter retrograde pada pembuluh
darah cerebral dilakukan lewat arteri femoralis. Namun, dapat terjadi
komplikasi neurologis dan pembuluh darah karena teknik pemasangan kateter
dan suntikan pewarna radiopak ke dalam sistem arteri, tes ini digunakan untuk
pasien dengan probabilitas tinggi dengan lesi. Pemeriksaan ini dianjurkan bila
terdapat kesulitan membedakan massa dengan kelainan vaskular. Indikasi
arteriografi harus benar-nbenar terseleksi pada penderita terutama pada
penderita dngan lesi intrakranial atau lesi arterial seperti aneurisma. 1,4
c. CT dan MR Angiography, pemeriksaan ini memungkinkan untuk pemeriksa
dalam mendapatkan gambaran tentang arteri-vena malformasi, aneurysma, dan
arteriovenous fistula, tetapi disertai resiko dan ketidaknyamanan pasien
dengan pemasangan kateter intravaskular dan penyuntikan material kontras.
MR angiography kurang sensitif dibanding dengan direct angiography untuk
mengidentifikasi carotid atau dural cavernous sinus fistula.
10
d. Saat memutuskan untuk melakukan pemeriksaan, ahli mata sebaiknya
berdiskusi dengan ahli radiologi tentang suspek lesi dan menentukan
pemeriksaan imaging yang terbaik untuk pasien. 1,4
3. Patologi
Pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan penunjang akhir yang
menentukan diagnosis, spesimen jaringan didapatkan dari tindakan orbitotomi
untuk mengambil lesi tersebut. Cara pemeriksaan yang bisa digunakan adalah
frozen section. Frozen section adalah sarana untuk menegakkan diagnosis
histopatologik dengan cepat, saat penderita masih di kamar bedah. Cara ini
dipakai pada pengelolaan proses keganasan, yang memungkinkan ahli bedah
melanjutkan tindakan bedahnya atau terapi definitif lain yang diperlukan. Indikasi
frozen section yang spesifik adalah: 1,4
1. Menentukan jenis penyakit, apakah tumor tersebut hanya merupakan suatu
peradangan atau neoplasma. Bila tumor merupakan neoplasma, potong beku
menentukan tumor jinak atau ganas
2. Identifikasi jaringan
3. Menentukan luas penyakit, menetapkan batas sayatan atau menetapkan ada
tidaknya metastasis di dalam kelenjar limfe
4. Menentukan apakah jaringan biopsi sudah adekuat
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Moeloek NF, Usman TA. Pandangan Umum dan Penatalaksanaan Tumor Orbita.
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. 1992.
2. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Fundamentals and Principles of
ophthalmology. Edition 2010-2011. Section 2. The Foundation of the American
Academy of Ophthalmology. 2010
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta. 2004
4. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Edition
2010-2011. Section 7. The Foundation of the American Academy of Ophthalmology.
2010
5. Kanski JJ, Bowling B. Cinical Ophthalmology : A Systemic Approach. Seventh
Edition. Elsevier Saunders, London, New York. 2011
12