33
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti: gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stres. Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan. Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan yang paling sering, jika gejala ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu. Diperkirakan 70 persen orang dewasa mendapatkan pengalaman traumatis sekali dalam hidupnya dan lebih dari 20 persen dari mereka akan berkembang menjadi PTSD. Setiap orang

Referat PTSD WenAnn

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat ptsd gs

Citation preview

Page 1: Referat PTSD WenAnn

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada seseorang yang

muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa

yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau

penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak,

peristiwa bencana alam seperti: gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu

lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan

akan mengalami gangguan stres.

Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang

mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan. Mereka juga

sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang telah terjadi.

Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan orang dan tidak ada

hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga akan menunjukkan

kewaspadaan yang berlebihan yang paling sering, jika gejala ikutannya muncul, akan

menurun seiring berjalannya waktu.

Diperkirakan 70 persen orang dewasa mendapatkan pengalaman traumatis sekali

dalam hidupnya dan lebih dari 20 persen dari mereka akan berkembang menjadi PTSD. Setiap

orang dapat menderita PTSD, laki-laki, perempuan, anak-anak, tua dan muda. Korban trauma

yang berhubungan dengan serangan fisik dan seksual menghadapi resiko yang besar untuk

berkembang menjadi PTSD. Wanita dua kali lebih besar mengalami PTSD dari pada laki-laki.

Hal ini mungkin disebabkan karena fakta bahwa wanita lebih mungkin mengalami kekerasan

interpersonal, seperti perkosaan atau pelecehan fisik dan seksual, terutama pada masa kecil.

Wanita juga mengalami trauma yang berulang, sebagaimana pada kasus kekerasan dalam

rumah tangga.

Menurut National Center for PTSD, lima juta anak di Amerika Serikat terpapar

dengan kejadian traumatik setiap tahunnya dan 36% di antaranya mengalami gangguan stress

pasca trauma. Menurut Stephen, et al. (2005), semakin muda usia anak yang mengalami

Page 2: Referat PTSD WenAnn

trauma semakin besar kemungkinan berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma. Di

Amerika Serikat sebanyak 39% periode anak awal yang mengalami trauma berkembang

menjadi gangguan stress pasca trauma, 33% pada periode anak akhir, dan 27% pada periode

remaja. Indonesia merupakan negara yang rawan bencana. Menurut data dari klinik psikiatri

RSCM/FKUI yang difungsikan sebagai Pusat Rujukan nasional untuk pengobatan psikis bagi

korban bencana melihat makin tingginya angka kejadian bencana yang terjadi di Tanah Air

belakangan ini. Kondisi itu membuat prevalensi penderita gangguan stres pasca trauma

meningkat.

Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut

menimbulkan ketidakmampuan. Apakah sebabnya beberapa orang dari mereka akan berubah

menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama adalah tidak

jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak

faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat

didalamnya, dan seberapa hebatnya seseorang bereaksi. Seseorang beresiko tinggi menderita

gangguan stres pasca trauma jika seseorang mempunyai riwayat keluarga yang mengalami

depresi.

Pada referat ini akan dijabarkan tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,

tanda dan gejala, diagnosis, terapi , serta pencegahan gangguan stress pasca trauma.

Diharapkan dengan pembahasan ini dapat mengembangkan pemahaman tentang pentingnya

mengenali secara dini dan memberikan terapi yang tepat pada pasien yang mengalami trauma

agar tidak mengalami gangguan stress pasca trauma yang berkepanjangan.

Page 3: Referat PTSD WenAnn

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang

dipicu oleh peristiwa yang menakutkan. Gejala mungkin termasuk flash back (mengingat

kejadian yang membuatnya trauma), mimpi buruk dan kecemasan yang parah, serta pikiran

yang tak terkendali tentang kejadian tersebut.

Menurut Kaplan, gangguan stress pasca trauma merupakan sindrom kecemasan, labilitas

otonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih

setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa.

National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan gangguan stress pasca

trauma sebagai gangguan kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa

yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan

kekerasan, bencana alam, kecelakaan atau perang.

Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma

merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman

seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman

yang normal bagi seseorang.

Gangguan stress pasca trauma juga merujuk kepada suatu kondisi yang muncul setelah

pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam nyawa seseorang,

misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat kekerasan seksual atau perang.1,2

2.2 Epidemiologi.

PTSD merupakan gangguan yang agak umum di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat,

60% pria dan 50% wanita mengalami peristiwa traumatis selama hidup mereka. Diagnosis

PTSD dibuat dengan mempelajari para tentara sehabis masa perperangan, awalnya disebut

"shell shock syndrome." Kita juga bisa mendapatkan gangguan PTSD jika mengalami trauma

atau menyaksikan hal – hal yang bersifat traumatis.

PTSD juga dapat disebabkan oleh karena trauma jangka panjang seperti pelecehan

seksual terhadap anak-anak atau memiliki penyakit medis yang serius. Penelitian yang telah

Page 4: Referat PTSD WenAnn

dilakukan menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu

kasus psikiatri yang cukup sering dijumpai. Kasus ini dijumpai pada sekitar 10.3 % pada pria

dan 18.3 % pada wanita.1,2

Survei Nasional Remaja, yang meneliti dari rumah tangga terhadap probabilitas dari

4.023 remaja berusia antara 12 dan 17 tahun, menemukan bahwa pada mereka terdapat

kriteria diagnostik untuk PTSD, diperkirakan 3,7% untuk anak laki-laki dan 6,3% untuk anak

perempuan.3

2.3 Etiologi

Terjadinya gangguan stress pasca trauma didahului oleh adanya suatu stressor berat

yang melampaui kapasitas hidup seseorang serta menimbulkan penderitaan bagi setiap orang.

Kondis psikologis seseorang sebelum mengalami peristiwa traumatic tersebut akan

berdampak terhadap respons yang ditimbulkan sebagai akibat peristiwa tersebut.1,2

2.3.1 Stressor

1. Stressor

Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat untuk mempengaruhi

setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana

alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak semua

orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik. Secara Klinis harus

mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang

terjadi sebelum dan sesudah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang

bertahan hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang

lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti subjektif suatu stressor pada seseorang

juga penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa bersalah

yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.

2. Faktor Risiko

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika mengalami trauma yang

hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity Study

menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan mengalami sejumlah trauma yang

signifikan tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga peristiwa

yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai bencana besar bagi sebagian orang

dapat menimbulkan PTSD pada sejumlah orang lainnya.

Page 5: Referat PTSD WenAnn

Adapun faktor risiko yang berperan antara lain :

a. Biologis

1) Kerentanan genetik.

2) Kepribadian “borderline”, paranoid,dependent atau antisosial

3) Perempuan

b. Psikososial

1) Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak).

2) Perubahan hidup penuh stress yang baruterjadi.

3) Sistem pendukung yang tidak adekuat (Dukungan keluarga atau

kelompok yang kurang).

4) Konsumsi alkohol yang berlebihan.

2.3.2 Faktor Psikodinamik

Model psikodinamik ini menjelaskan bahwa gangguan stress pasca trauma

terjadi oleh karena reaktivasi dari konflik-konflik psikologis yang belum terselesaikan

di masa lampau. Dengan adanya peristiwa traumatic yang dialami maka konflik-

konflim psikologis yang belum diselesaikan itu akan teraktivasi kembali. Sistem ego

akan kembali teraktivasi dan berusaha untuk mengatasi masalah dan meredakan

kecemasan yang terjadi.3

2.3.2 Faktor Perilaku Kognitif

Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak

mampu memproses dan merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini.

Mereka terus mengalami stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan teknik

penghindaran.

Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah trauma

yang menimbulkan respon takut dengan stimulus yang dipelajari. Yang kedua adalah

melalui pembelajaran instrumental melalui stimulus yang tidak dipelajari.

2.3.4 Faktor Biologis

1) Sistem Noradrenergik

Pada PTSD menunjukkan gejala gugup, peingkatan tekanan darah, dan

denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah diwajah, dan tremor.

Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan gejala adrenergik. Sejumlah studi

Page 6: Referat PTSD WenAnn

menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada tetara

veteran dengan PTSD dan peningkatan konsentrasi katekolamin urin pada

anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual.

2) Sistem Opioid

Pada PTSD ditemukan adanya abnormalitas sistem opioid yaitu penurunan

konsentrasi β-endorfin plasma.

3) Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal

(HPA)

Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di

dalam plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor

glukokortikoid pada limfosit dan faktor pelepas kortikotropin eksogen yang

menunjukkan respon hormon adreno-kortikotropin yang tumpul. Selain itu,

supresi kortisol meningkat pada PTSD, hal ini menunjukkan hiperregulasi

aksis HPA pada PTSD.

Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien

yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang terpajan trauma tapi

tidak mengalami PTSD sehinggga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan

PTSD bukan hanya dengan trauma.3-5

Berdasarkan DSM IV, ada beberapa jenis kejadian yang potensial mungkin akan

meningkatkan angka kejadian gangguan stress pasca trauma, yaitu :

a) Kekerasan personal (kekerasan seksual, penyerangan fisik dan perampokan).

b) Penculikan.

c) Penyanderaan.

d) Serangan militer.

e) Serangan teroris.

f) Penyiksaan.

g) Ditahan dalam penjara sebagai tahanan politik atau tahanan perang.

h) Bencana alam.

i) Kecelakaan mobil yang berat.

j) Didiagnosis mengalami suatu penyakit berat yang mengancam kehidupan

Page 7: Referat PTSD WenAnn

2.4 Patofisiologis

A. Fisiologi respon stress

Setiap makhluk hidup pernah mengalami stres dalam hidupnya. Stimulus yang

diberikan oleh stres ikut berperan dalam perubahan dan pertumbuhan individu. Manusia

merupakan makhluk yang selalu berespon dan beradaptasi terhadap stres. Respon stres

bersifat adaptif dan protektif.

Peristiwa fisiologis yang terjadi pada individu saat terjadi stres pertama kali

dikembangkan oleh Hans Selye. Seyle mengidentifikasikan dua respon fisiologis terhadap

stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS).

LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya terhadap stres

karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Sedangkan GAS adalah respon

pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres. Berikut penjelasan lebih mendetailmengenai

LAS dan GAS:

1) Local adaptation syndrome (LAS)

Local Adaptation Syndrome (LAS) memiliki karakter yaitu hanya terjadi

setempat,adaptif. Diperlukan stresor untuk menstimulasi, berjangka pendek, serta

restoratif/membantu memulihkan homeostasis region. Contoh LAS yang banyak ditemui

dalam lingkungan kesehatan yaitu respon refleks nyeri dan respon inflamasi. Respon refleks

nyeri adalah respon setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri. Respon ini bersifat adaptif

dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Respon ini melibatkan reseptor sensoris,

saraf sensoris yang menjalar ke medulla spinalis, neuron penghubung dalam medulla spinalis,

saraf motorik yang menjalar dari medulla spinalis, serta otot efektor. Contoh respon refleks

nyeri yaitu refleks tangan dari permukaan panas dan keram otot.

Contoh lain dari LAS yaitu respon inflamasi. Respon inflamasi distimulasi oleh

trauma dan infeksi dimana respon ini menghambat penyebaran inflamasi dan

meningkatkanpenyembuhan dengan tanda-tanda calor, tumor, rubor, dan dolor. Respon

inflamasi terjadi dalam tiga fase yaitu perubahan dalam sel dan sistem sirkulasi, pelepasan

eksudat dari luka, dan perbaikan jaringan oleh regenerasi dan pembentukan jaringan parut.

Page 8: Referat PTSD WenAnn

2) General adaptation syndrome (GAS)

General adaptation syndrome (GAS) melibatkan sistem tubuh seperti sistem saraf

otonom dan sistem endokrin. GAS dikenal sebagai respon neuroendokrin. GAS terdiri dari

tiga tahap yaitu:

a) Reaksi alarm/ reaksi peringatan

Reaksi alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran

untuk menghadapi stresor. Secara fisiologi, respons stres adalah pola reaksi saraf

dan hormon yang bersifat menyeluruh dan tidak spesifik terhadap setiap situasi

apapun yang mengancam homeostasis.

Berikut adalah gambar efek stresor pada tubuh

STRESSOR

TUBUH

RESPON SPESIFIK YANG KHAS UNTUK

JENIS STRESSOR

RESPON MENYELURUH UNTUK APAPUN

JENIS STRESSOR

Page 9: Referat PTSD WenAnn

Tabel perubahan hormone utama selama respon stress (Sherwood)

HORMON PERUBAHAN TUJUAN

Epinefrin Naik Memperkuat sistem saraf simpatis untuk

mempersiapakan tubuh “fight on flight”

Memobilisasi simpanan karbohidrat dan lemak;

meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak

darah

CRH-ACTH-

kortisol

Naik Memobilsasi simpanan energi dan bahanpembangun

metabolik untuk digunakan jikadiperlukan;

meningkatkan glukosa, asam aminodarah, dan asam

lemak darah ACTHmempermudah proses belajar dan

perilaku

Glukagon Naik Bekerja bersama untuk mengatur kadar glukosa

darahInsulin Turun

Renin

Angiotensin

Aldosteron

Naik Menahan Garam dan H2O untuk

meningkatkanvolume plasma; membantu

mempertahankantekanan darah jika terjadi

pengeluaran akut plasma

Vasopressin Naik Vasopresin dan angiostensin II menyebabkan

vasokontriksi arteriol untuk meningkatkan tekanan

darah.

Terjadi peningkatan hormonal yang luas dalam reaksi ini sehingga cenderung pada

respon melawan dan menghindar, seperti curah jantung, ambilan oksigen, dan

frekuensi pernapasan meningkat; pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan

bidang visual yang lebih besar; dan frekuensi jantung meningkat untuk

Page 10: Referat PTSD WenAnn

menghasilkan energy lebih banyak. Namun, jika stresor terus menetap setelah

reaksi alarm maka individu tersebut akan masuk pada tahap resisten.

b) Tahap resisten

Dalam tahap ini tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan

darah, dan curah jantung kembali ke tingkat normal. Individu terus berupaya untuk

menghadapi stresor dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi jika stresor terus

menetap seperti pada kehilangan darah terus menerus, penyakit melumpuhkan,

penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan mengadaptasi maka

invidu masuk ke tahap kehabisan energi.

c) Tahap kehabisan tenaga

Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan

ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah habis. Jika

tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresor,

regulasi fisiologis menghilang, dan stres tetap berlanjut, maka akan terjadi

kematian.

Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari

PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut

untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin

menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur

lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter

dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala

PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi

rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD,

bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.

Aktivasi neurotransmiter otonom dan aktivitas endokrin menghasilkan banyak gejala

PTSD. Hippocampus juga mungkin memiliki efek modulasi di amigdala. Korteks

orbitoprefrontal sebenarnya dapat menambah efek inhibisi pada aktivasi PTSD. Namun,

pada orang yang menderita PTSD, korteks orbitoprefrontal kurang mampu menghambat

aktivasi ini, mungkin karena stres akibat atrofi pada daerah hipocampus.

Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi

telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada

Page 11: Referat PTSD WenAnn

kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius

yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya

merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.6

2.5 Tanda dan Gejala

Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD,

yaitu:

A. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang

biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik,

mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang

berhubungan dengan trauma.

B. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan

pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan

pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang

berbahaya.

C. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi,

iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi, reaksi

untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman.

Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus

ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan atau

kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi

lebih dari 3 bulan.

2.6 Diagnosis

Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut

DSM-IV:

A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana ada dari kedua bagian

berikut ini:

1. Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau

kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang

sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri

sendiri atau orang lain.

Page 12: Referat PTSD WenAnn

2. Respon orang tersebut merasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror.

Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau

atau teragitasi.

B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara

berikut:

1. Rekuren dan mengganggu akibat terkumpulnya pengalaman – pengalaman yang

membuatnya trauma, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada

anak kecil, dapat menunjukkan kejadian berulang dengan tema atau aspek trauma.

2. Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anak-anak,

mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali.

3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali

(termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman traumatik, ilusi, halusinasi,

dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau

saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali

yang spesifik dengan trauma.

4. Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau

eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

5. Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang

menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.

C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku

karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan

oleh tiga (atau lebih) berikut ini:

1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan

dengan trauma.

2. Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan

rekoleksi dengan trauma.

3. Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma.

4. Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.

5. Perasaan terlepas atau asing dari orang lain.

6. Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan

cinta)

Page 13: Referat PTSD WenAnn

7. Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki

karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal)

D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma),

seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut:

1. Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur.

2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan.

3. Sulit berkonsentrasi.

4. Kewaspadaan berlebihan.

5. Respon kejut yang berlebihan.

E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan.

F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan

dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5

Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ

III (F 43.1) adalah sebagai berikut:

a) Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6

bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa

minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan

diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian

dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya

adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.

b) Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau

mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali

(flashbacks).

c) Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat

mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.

d) Suatu “sequelae” menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa,

misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam

kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami

katastrofa).2,3,7,8

2.7 Diagnosis banding

Page 14: Referat PTSD WenAnn

Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik

adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma.

Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah

epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat lainnya. Intoksikasi

akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit

dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang.9

Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan

mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui

sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna

buatan, dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang

mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut

dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan

gangguan disosiatif biasanya tidak memilikiderajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih

(hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress

pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress

pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan

suatu gangguan buatan dan berpura-pura.9

2.8 Tatalaksana

Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan

peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi).

Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa

traumatik masa lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai

gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya.

2.8.1 Farmakoterapi

Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan dapat dilakukan seperti relaksasi,

teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti

bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik. Modifikasi pola hidup

seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya,

perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi

kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif ambilan

serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-

Page 15: Referat PTSD WenAnn

300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr

dan juga imipramin 50-300mg/hr.3,4,5,10,11

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana

gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini:

1) Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang

serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya.

2) Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat

pilihan pertama untuk kasus ini.

3) Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4) Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial

terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan. 3,4,5,10,11

Benzodiazepin (obat penenang) seperti diazepam (valium) dan alprazolam(Xanax)

sayangnya telah dikaitkan dengan sejumlah masalah efek samping, termaksud gejala

withdrawal dan resiko overdosis, dan belum ditemukan secara signifikan efektif untuk

membantu individu dengan PTSD.

a) Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Sertraline dan Paroxetine

dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas dan tingkat

keamanannya. SSRI mengurangi gejala PTSD dan efektif memperbaiki gejala PTSD

yang khas.

b) Efektivitas Imipramine dan Amitriptilin untuk terapi PTSD secara klinis terkontrol baik.

Dosis Imipramine dan Amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk

mengobati gangguan depresif dan lama minum untuk pengobatan adalah 8 minggu.

Pasien yang memberikan respon baik, mungkin harus melanjutkan farmakoterapi

sedikitnya 1 tahun sebelum dicoba penghentian obat.

c) Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah Monoamine Oksidase Inhibitor

(MAOI) contohnya Fenelzine, Trazodon, dan Antikonvulsan contohnya Karbamazepine

dan Valproat.

d) Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik sehingga penggunaan

obat ini, contohnya Haloperidol harus dicadangkan untuk mengatasi agresi dan agitasi

berat. 3,4,5,10,11

2.8.2. Psikoterapi

Page 16: Referat PTSD WenAnn

Karena sering kegelisahan hebat yang dihubungkan dengan kenangan yang

menggoncangkan jiwa, psikoterapi mendukung tugas yang penting dalam pengobatan.

Ahli terapi secara terbuka berempati dan bersimpati dalam mengenal rasa sakit

psikologis. Terdapat tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk

penanganan gangguan stress pasca trauma yaitu anxiety management, cognitive therapy,

exposure therapy.

1) Anxiety management.

Dalam terapi ini, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk membantu

mengatasi gejala dengan lebih baik melalui :

2) Relaxation training : Belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan

merelaksasikan kelompok otot-otot utama.

3) Breathing retraining : Belajar bernapas dengan perut secara perlahan-lahan, santai dan

menghindari bernapas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman,

bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.

4) Positive thinking dan self-talk : Belajar untuk menghilangkan pikiran negative dan

mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang membuat stress.

5) Assertiveness : Belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi tanpa

menyalahkan atau menyakiti orang lain.

6) Thought stopping : Belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang

memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.

7) Cognitive therapy.

Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu

emosi dan kegiatan seharian. Misalnya, seorang korban kejahatan mungkin menyalahkan

diri sendiri karena tidak hati-hati. Tujuan terapi ini adalah mengidentifikasi pikiran yang

tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian mengadopsi pikiran yang

lebih realistic untuk membantu mencapai emosi yang lebih seimbang.

8) Exposure therapy.

Terapis membantu menghadapi situasi yang khusus orang lain, objek, memori atau emosi

yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistic dalam

kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara :

Page 17: Referat PTSD WenAnn

A) Exposure in the imagination : Bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara

detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan.

B) Exposure in reality : Membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin

dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat. Misalnya, kembali ke

rumah setelah terjadi perampokan di rumah. Ketakutan bertambah kuat jika kita

berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha melupakannya. Pengulangan

situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi lampau

yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.

Di samping itu, didapatkan pula terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada

penyembuhan anak dengan gangguan stress pasca trauma. Terapis memakai permainan untuk

memulai topic yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal ini dapat membantu anak lebih

merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman traumatiknya.

Selain itu didapatkan support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group

therapy, seluruh peserta merupakan penderita gangguan stress pasca trauma yang

mempunyai pengalaman serupa di mana dalam proses terapi mereka saling menceritakan

tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian mereka saling memberi penguatan satu

sama lain.

Sementara dalam terapi bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi

penelitian dapat membuktikan bahwa terapi saling berbagi berita mengenai trauma, mampu

memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi cerita mengenai trauma, mampu

memperbaiki kondisi jiwa penderita. Dengan berbagi bisa memperingan bebab pikiran dan

kejiwaan yang di pendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya

lebih baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang

diderita dan melawan kecemasan

Pendidikan dan supportive konseling juga merupakan upaya lain dalam pengobatan

gangguan stress pasca trauma. Konselor ahli mempertimbangkan pentingnya penderita

gangguan stress pasca trauma (dan keluarganya) untuk mempelajari gejala gangguan stress

pasca trauma dan bermacam terapi dan pengobatan yang sesuai.

2.9 Prognosis

Gejala gangguan stress pasca trauma berfluktuasi dan berkemungkinan paling berat

terutama dalam jangka masa stress. Tanpa pengobatan yang baik, 30 % dari pasien sembuh

Page 18: Referat PTSD WenAnn

sempurna, 40 % berkelanjutan dengan gejala yang ringan, 20 % tetap dengan gejala sedang

dan 10 % tidak mengalami sebarang perubahan malah bertambah buruk. Setelah satu tahun,

sekitar 50 % pasien bisa sembuh.

Prognosis yang baik ditentukan oleh onset gejala yang cepat, durasi dari gejala yang

pendek (kurang dari 6 bulan), funsi premorbid yang baik, dukungan dari sosial yang kuat,

dan tiadanya gejala psikiatri lainnya, pengobatan atau factor resiko lainnya.

Secara umumnya, umur yang sangat muda dan sangat tua akan mempunyai masalah

dengan kejadian trauma berbanding dengan umur dewasa. Misalnya, 80 % dari anak usia

muda yang menderita luka bakar mempunyai gejala gangguan stress pasca trauma setelah 1

atau dua tahun. Sementara, 30 % dari orang dewasa yang menderita dengan keluhan yang

sama mempunyai gejala gangguan stress pasca trauma setelah 1 tahun. Hal ini kira-kira

disebabkan oleh anak usia muda tidak mempunyai coping mechanisms yang adekuat bagi

mengatasi kesan fisik dan emosi dari suatu trauma.3

Sementara, pada orang usia lanjut sepertinya memiliki coping mechanisms yang lebih

kaku sehingga kurang fleksibel dalam hal mengatasi efek dari trauma. Tambahan lagi, suatu

efek dari trauma dapat diperberat oleh kelainan fisikal pada orang dengan usia lanjut,

terutama kelainan pada system saraf dan system kardiovaskular antara lain, pengurngan

aliran darah ke otak, penglihatan yang berkurang, palpitasi dan aritmia.

Selain itu, kelainan psikiatri sebelumnya sama ada gangguan kepribadian atau kondisi

lain yang lebih serius juga dapat meningkatkan efek dari stressor tertentu. Gangguan stress

pasca trauma yang komorbid dengan kelainan psikiatri yang lain selalunya lebih berat dan

kemungkinan lebih kronik dan lebih sulit untuk ditangani. Dengan demikian, dukungan

sosial mungkin dapat mempengaruhi perkembangan, keparahan dan durasi dari gangguan

stress pasca trauma tersebut. Secara umumnya, pasien dengan dukungan sosial yang baik

kebiasaannya sulit untuk terjadi gangguan yang lebih berat dan memiliki fase penyembuhan

yang lebih cepat.

Page 19: Referat PTSD WenAnn

BAB III

KESIMPULAN

Post traumatic Stress Disorder (PTSD) merupakan gangguan yang diakibatkan satu

atau lebih kejadian traumatik yang dialami atau disaksikan oleh seseorang baik ancaman

kematian, kematian, cidera fisik yang mengakibatkan ketakutan ekstrem, horror, rasa tidak

berdaya hingga berdampak mengganggu kualitas hidup individu dan apabila tidak ditangani

dengan benar dapat berlangsung kronis dan berkembang menjadi gangguan stress pasca

trauma yang kompleks dan gangguan kepribadian. Identifikasi pada anak yang mengalami

trauma dan berisiko menjadi gangguan stress pasca trauma merupakan komponen yang

penting dalam mengatasi gangguan ini. PTSD terjadi akibat adanya kejadian traumatik dan

perlu dipertimbangkan beberapa faktor yang berperan antara lain: faktor biologis, faktor

psikologis, faktor sosial, dan faktor lainnya yang dapat meningkatkan risiko terjadi gangguan

ini. Tanda dan gejala penderita PTSD secara umum dapat dibagi menjadi tiga yakni:

mengalami kembali kejadian trauma, menghindari stimulus, dan gejala hiperarousal. Pada

anak dan remaja gejala dan tanda ini dapat dibagi lagi menurut kelompok umur. Ada dua

macam terapi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita PTSD yaitu, dengan

menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi.

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for Post Traumatic

Stress Disorder, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan

beberapa aspek, antara lain:

1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan

berulang serta sering berkomorbiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius

lainnya.

2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin (SSRI)

merupakan obat pilihan.

3. Terapi yang efektif dilanjutkan paling sedikit 12 bulan.

4. Farmakoterapi harusnya disertai dengan psikoterapi dianjurkan dan sebaiknya

dilanjutkan selama 6 bulan.

Page 20: Referat PTSD WenAnn

Dengan tatalaksana yang baik serta teratur, ditambah dengan dukungan dari keluarga

dan masyarakat, penderita dari gangguan ini pasti mempunyai prognosis yang lebih baik

yang seterusnya mengurangi dampak ganguan ini pada masyarakat umumnya.

Page 21: Referat PTSD WenAnn

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock Benjamin J. Sadock Virginia A. Post traumatic stress disorder and acute stress

disorder. Dalam : Kaplan and Sadock’s synopsis of psychiatry : behavioral

sciences/clinical psychiatry. Edisi 10. Lippincott Williams & Wilkins. New York, 2007.

Halaman 613-622.

2. Wiguna T. Gangguan Stress Pasca Trauma. Dalam : Buku ajar psikiatri. Sylvia D.

Hadisukanto G (editor). Edisi 1. Badan Penerbit FKUI. Jakarta, 2010. Halaman 254-264.

3. M.D Maria, Pease. 2015. Post-traumatic Stress Disorder. MedicineNet. Available from:

http://www.emedicinehealth.com/post-traumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.htm

4. National Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder. National

Institute of Mental Health. Available from:

http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-disorder-ptsd/what-is-

post-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtml

5. Maslim R. Obat Anti Depresi. Dalam : Penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi 3. PT

Nuh Jaya. Jakarta, 2007. Halaman 23-30.

6. Sherwood L. 2002. Hormon. Edisi 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.

7. Wardhani F. Lestari W. 2015. Gangguan Stress Pasca Trauma. Di unduh dari

http://www.emedicinehealth.com/article_em.htm

8. Jerald K. Allan T. Traumatic Stress Disorder. Dalam : Essentials of Phychiatry. Edisi 1 .

John Wiley and Sons Inc. 2006. Halaman 627-638.

9. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa,

Jakarta: 68-75.

10. Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.

11. Joseph G, MD. Post Traumatic Stress Disorder. Mental health 2012. Diunduh dari:

http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder-ptsd