37
BAB I PENDAHULUAN Pada tahun 1871, Dr. Jacob Mendez Da Costa, menjelaskan beberapa gejala tertentu yang terjadi pada sekelompok tentara. Gejala gejala tersebut meliputi takikardia, kecemasan, sesak nafas dan gairah yang berlebih. Gejala-gejala ini pertama kali dikenal sebagai Soldier’s heart syndrome,” atau disebut juga sebagai “Da Costa syndrome.” Selama perang dunia I, penggunaan senjata mutakhir terbaru dalam peperangan berkembang sangat pesat sebagaimana yang diceritakan seperti mereka berasal dari sumber kekuatan supranatural; para tentara merasa snagat tersiksa dan berfikir mereka dikelilingi oleh musuh yang tidak terlihat. Beberapa tentara menunjukkan dengan beberapa gejala seperti mata yang terbelalak, tremor hebat, ekstremitas yang kebiruan dan dingin, kebutaan dan ketulian yang tidak dapat dijelaskan dan kelumpuhan. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai “shell shock.” Gejala serupa juga dilaporkan muncul pada veteran perang dunia II dan orang-orang yang selamat dari penyerangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kondisi ini kemudian disebut sebagai “Combat Neurosis or Operational Fatique. ”Di tahun

Makalah Psikiatri PTSD

  • Upload
    aghfa

  • View
    128

  • Download
    26

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah psikiatri ptsd

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Pada tahun 1871, Dr. Jacob Mendez Da Costa, menjelaskan beberapa gejala tertentu yang terjadi pada sekelompok tentara. Gejala gejala tersebut meliputi takikardia, kecemasan, sesak nafas dan gairah yang berlebih. Gejala-gejala ini pertama kali dikenal sebagai Soldiers heart syndrome, atau disebut juga sebagai Da Costa syndrome. Selama perang dunia I, penggunaan senjata mutakhir terbaru dalam peperangan berkembang sangat pesat sebagaimana yang diceritakan seperti mereka berasal dari sumber kekuatan supranatural; para tentara merasa snagat tersiksa dan berfikir mereka dikelilingi oleh musuh yang tidak terlihat. Beberapa tentara menunjukkan dengan beberapa gejala seperti mata yang terbelalak, tremor hebat, ekstremitas yang kebiruan dan dingin, kebutaan dan ketulian yang tidak dapat dijelaskan dan kelumpuhan. Kondisi ini kemudian dikenal sebagai shell shock. Gejala serupa juga dilaporkan muncul pada veteran perang dunia II dan orang-orang yang selamat dari penyerangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Kondisi ini kemudian disebut sebagai Combat Neurosis or Operational Fatique.Di tahun 1900-an, psikoanalis terutama mereka yang berada di Amerika menemukan istilah traumatic neurosis untuk mendeskripsikan kondisi ini. Kumpulan dari gejala-gejala ini sekarang disebut dengan istilah Post Traumatic Stress Disorder (Javidi et. al., 2012).Dalam Kaplan (2010) dijelaskan, supaya pasien dapat diklasifikasikan sebagai menderita gangguan stress pascatraumatik, mereka harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang akan traumatik bagi hampir setiap orang. Trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius (sebagai contoh, kecelakaan mobil dan kebakaran gedung). Gangguan stress pasca traumatik terdiri dari (1) pengalaman kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (waking throught), (2) penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas pada penderita tersebut, dan (3) kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten. Gejala penyerta yang sering dari gangguan stress pascatraumatik adalah depresi, kecemasan, dan kesulitan kognitif (sebagai contoh pemusatan perhatian yang buruk). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kasus gangguan stress pasca trauma merupakan salah satu kasus psikiatri yang cukup sering dijumpai. Kasus ini dijumpai sekitar 10,3% untuk pria dan 18,3% untuk wanita. Menurut Sandra, et al., (2005) bahwa prevalensi Post Traumatic Stress Disorders (PTSD) meningkat setelah terjadinya bencana alam seperti banjir, peperangan atau lainnya setelah mengalami kecelakaan. Hal ini sesuai menurut World Health Organization (WHO) tahun 2005 bahwa PTSD merupakan gangguan kecemasan yang timbul setelah seorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa dan fisiknya.Menurut Zlocnik dkk (2001) dalam Chandra (2009), Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau dikenal dengan gangguan stres pasca traumatik merupakan reaksi maladaptif yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman traumatis.Menurut laporan WHO (2005), jumlah penderita PTSD mencapai 3.230.000 orang yaitu 0,2% dari seluruh kesakitan di dunia. Dengan penyebaran 28,5% (921.000 jiwa) penderita PTSD terdapat di Pasifik Barat, 27,4% (885.000 jiwa) di Asia Tenggara 14,2% (460.000 jiwa) di Eropa, 12,6% (407.000 jiwa) di Amerika 9,3% (299.000 jiwa) di Afrika dan 8,0% (258.000 jiwa) di Mediterania Timur.Berdasarkan laporan HWO (2005), penelitian yang dilakukan oleh dr. Mohammad S Alkaisy di Mosul City terhadap 424 responden menunjukkan bahwa 98% responden mengalami trauma sebanyak 4 kali, 43% diantaranya mengalami depresi, 31% mengalami gangguan kecemasan, dan 26% mengalami PTSD. Dalam penelitian serupa yang dilakukan oleh Dr. Issam K. Taha (2004), terhadap 8 sekolah menegah atas di Baghdad diketahui bahwa 68% pelajar telah mengalami trauma sebanyak 3 kali dan 30% diantaranya mengalami PTSD dan 92% penderita PTSD tidak mendapatkan pengobatan. Secara epidemiologi kasus PTSD juga terjadi di Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005, diketahui prevalensi gangguan jiwa 140/1000 penduduk usia 15 tahun keatas, dan 23% diantaranya adalah PTSD (Depkes, 2006). Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia memiliki kasus PTSD yang tinggi. Hal ini berdasarkan Survei bersama yang dilakukan Universitas Syiah Kuala, IOM (International Organization of Migration), dan Universitas Havard pada tahun 2006 menemukan bahwa 65% dari penduduk Aceh yang diteliti mengalami depresi, 69% mengalami gangguan kecemasan, dan 34% mengalami PTSD. Survei berikutnya yang dilakukan pada tahun 2007 menunjukkan bahwa 35% penduduk mengalami depresi, 39% mengalami gangguan kecemasan, dan 10% mengalami PTSD (Widyatmoko, 2007. Dalam Chandra,2009.)

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Etiologi Penelitian dan teori mengenai penyebab PTSD berfokus pada faktor-faktor risiko terhadap gangguan tersebut dan juga pada faktor psikologis, biologis dan faktor-faktor lainnya.1. Faktor-faktor risikoTerdapat beberapa faktor risiko PTSD. Menilik kejadian traumatis yang dialami, prediktor PTSD mencakup ancaman yang dirasakan terhadap nyawa, berjenis kelamin perempuan, pemisahan dari orang tua di masa kecil, riwayat gangguan dalam keluarga, berbagai pengalaman traumatis sebelumnya (suatu gangguan anxietas atau depresi) (Breslau dkk., 1997, 1999, Ehlets, Malou, & Brynt, 1998, Nishits, Mechanic, & Resick, 2002, Stein, 1997 dalam Davidson et. al., 2006).Memiliki intelegensi tinggi nampaknya menjadi faktor protektif, mungkin karena hal itu diasosiasikan dengan ketrampilan coping yang lebih baik (Macklin dkk, 1998). Prevalensi PTSD juga meningkat sejalan dengan parahnya kejadian traumatik ; sebagai contoh, semakin tinggi pengalaman dalam pertempuran semakin besar risikonya. Dengan tingkat pengalaman dalam pertempuran yang tinggi, tingkat kejadian PTSD sama pada para veteran yang memiliki anggota keluarga yang menderita berbagai gangguan lain dan pada mereka yang tidak. Di antara mereka yang memiliki riwayat gangguan dalam dalam keluarga, bahkan sedikit pengalaman pertempuran menyebabkan tingkat kejadian PTSD yang tinggi (Foy dkk., 1987)Simtom-simtom disosiatif (termasuk depersonalisasi, derealisasi, amnesia, dan pengalaman keluar dari tubuh) pada saat trauma juga meningkatkan kemungkinan terjadinya PTSD, seperti juga upaya menghapus ingatan tentang trauma tersebut dari pikiran seseorang (Ehlers, Mayou, & Bryant, 1998). Disosiasi dapat memiliki peran dalam menetapnya gangguan karena mencegah pasien menghadapi ingatan tentang trauma tersebut. Sebuah studi yang meyakinkan mengenai dissosiasi mengukur orang-orang yang pernah diperkosa dua minggu setelah kejadian tersebut.Ketika para wanita berbicara tentang pemerkosaan atau topik netral, dilakukan pengukuran psikofisiologis dan penuturan diri tentang stress. Para wanita tersebut dibagi dalam dua kelompok berdasarkan skor mereka dalam pengukuran disosiasi selama pemerkosaan terjadi (a.l., apakah anda merasa mati rasa? Apakah anda mengalami saat saat dimana anda kehilangan ingatan tentang apa yang sedang terjadi?). Para wanita yang memiliki skor disosiasi tinggi memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk mengalami simtom-simtom PTSD dibanding mereka yang skornya lebih rendah. Terlebih lagi, mereka yang skornya tinggi memiliki disosiasi antara peringkat stress subjektif dan respons-respons fisiologis mereka. Walaupun mereka menuturkan tingkat stress yang tinggi ketika mereka berbicara tentang pemerkosaan yang mereka alami, mereka menunjukkan ketegangan fisiologis yang lebih rendah dibanding mereka yang memiliki skor disosiasi rendah.Perkembangan PTSD juga diasosiasikan dengan kecenderungan untuk bertanggung jawab sendiri atas kegagalan dan untuk menghadapi stress dengan memfokuskan pada emosi (Saya berharap dapat mengubah perasaan saya) dan bukan pada masalah itu sendiri (Mikhliner & Solomon, 1998; Solomon, Mikulincev, & Flum, 1998). Secara umum, menghadapi trauma dengan mencoba menghindari untuk berpikir tentang hal itu dikaitkan dengan terjadinya PTSD dengan mereka yang menderitanya (Sucker dkk, 1995). Tingkat dukungan sosial yang tinggi juga mengurangi risiko PTSD pada anak-anak yang mengalami trauma tentang topan Andrew (Vernberg dkk, 1996 dalam Davidson et. al., 2006).

2. Faktor PsikodinamikaModel kognitif dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa orang yang terkena adalah tidak mampu untuk memproses atau merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan. Mereka terus mengalami stress dan berusaha untuk tidak mengalami kembali stress dengan teknik menghindar. Sesuai dengan kemampuan parsial mereka untuk mengatasi peristiwa secara kognitif, pasien mengalami periode mengakui peristiwa dan menghambatnya secara berganti-ganti.Model perilaku dari gangguan stress pascatraumatik menyatakan bahwa gangguan memiliki dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma (stimulus yang tidak dibiasakan) adalah dipasangkan, melalui pembiasaan klasik, dengan stimulus yang dibiasakan (pengingat fisik atau mental terhadap trauma). Kedua, melalui pelajaran instrumental, pasien mengembangkan pola penghindaran terhadap stimulus yang dibiasakan maupun stimulus yang tidak dibiasakan.Model psikoanalitik dari gangguan menghipotesiskan bahwa trauma telah mereaktivasi konflik psikologis yang sebelumnya diam dan belum terpecahkan. Penghidupan kembali masa anak-anak menyebabkan regresi dan penggunaan mekanisme pertahanan represi, penyangkalan, dan meruntuhkan (undoing). Ego hidup kembali dan dengan demikian berusaha menguasai dan menurunkan kecemasan. Pasien juga mendapatkan tujuan sekunder dari dunia luar, peningkatan perhatian atau simpati, dan pemuasan kebutuhan ketergantungan. Tujuan tersebut mendorong gangguan dan persistensinya. Suatu pandangan kognitif tentang gangguan stress pascatraumatik adalah bahwa otak mencoba untuk memproses sejumlah besar informasi yang dicetuskan oleh trauma dengan periode menerima dan menghambat peristiwa secara berganti-ganti (Kaplan et. Al., 2003).

3. Faktor BiologisTeori biologis tentang gangguan stress pascatraumatik telah dikembangkan dari penelitian praklinik dari model stress pada binatang dan dari pengukuran variabel biologis dari populasi klinis dengan gangguan stress pascatraumatik. Banyak sistem neurotransmitter telah dilibatkan dalam kumpulan data tersebut. Model praklinik pada binatang tentang ketidakberdayaan, pembangkitan dan sensitasi yang dipelajari telah menimbulkan teori tentang norepinefrin, dopamin, opiat endogen, dan reseptor benzodiazepine dan sumbu hipotalamus-hipofisis-adrenal, adalah hiperaktif pada sekurang-kurangnya beberapa pasien dengan gangguan stress pasca-traumatik.Temuan biologis utama lainnya adalah peningkatan aktivitas dan responsifitas sistem saraf otonom, seperti yang dibuktikan oleh peninggian kecepatan denyut jantung dan pembacaan tekanan darah, dan arsitektur tidur yang abnormal (sebagai contoh, fragmentasi tidur dan peningkatan latensi tidur). Beberapa penelitian telah menyatakan adanya kemiripan antara gangguan stress pasca-traumatik dan dua gangguan psikiatrik lain, gangguan depresif berat dan gangguan panik (Kaplan et. Al., 2003).Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons biologik dan juga juga psikologik seorang individu, kondisi ini terjadi oleh karena aktivasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa traumatik akan menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan- bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut. Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala dengan segera akan bereaksi dengan memberika stimulus berupa tanda darurat kepada : 1. Sistem saraf simpatis (Katekolamin)2. Sistem saraf parasimpatis3. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)

Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Kondisi ini disebut sebagai reaksi fight or flight reaction. Reaksi ini juga akan meningkatkan aliran darah glukosa pada otot-otot skeletal sehingga membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respons yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Aksis HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-Releasing Factor (CRF) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekkresi pengeluaran adenocortocotropic hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari kelenjar adrenal. (Wiguna, T., 2010).Jika seseorang mengalami tekanan, maka tubuh secara alamiah akan meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran kedua zat ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.Pitman (1989) menghipotesiskan bahwa pada individu yang cenderung untuk mengalami gangguan stress pasca trauma, mengalami gangguan dalam regulasi neuropeptida dan juga katekolamin di otak pada waktu menghadapi peristiwa traumatik. Katekolamin yang meningkat ini akan membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus. Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivasi katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya konsolidasi berlebihan dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami. (Wiguna, T., 2010).B. Perjalanan Penyakit Gangguan stress pasca traumatik biasanya berkembang pada suatu waktu setelah trauma. Keterlambatan dapat sependek satu minggu atau selama 30 tahun. Gejala dapat berfluktuasi dengan berjalannya waktu dan mungkin paling kuat selama periode stress. Kira-kira 30 persen pasien pulih secara lengkap, 40 persen terus menderita gejala ringan, 20 persen terus menderita gejala sedang, dan 10 persen tetap tidak berubah atau menjadi memburuk. Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), fungsi pramorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya. (Kaplan et. Al., 2003)Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Sebagai contoh, kira-kira 80 persen anak kecil yang menderita luka bakar menunjukkan gejala gangguan stress pascatraumatik satu atau dua tahun setelah cedera awal; hanya 30 persen orang dewasa yang yang menderita cedera tersebut mengalami gangguan stress pascatraumatik setelah satu tahun. Kemungkinan, anak kecil masih belum memiliki mekanisme mengatasi untuk mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga, orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Selain itu, efek trauma mungkin dieksaserbasi oleh kecacatan fisik yang karakteristik untuk kehidupan lanjut usia, khususnya ketidakmampuan sistem saraf pusat dan sistem kardiovaskular seperti penurunan-penurunan aliran darah, penurunan penglihatan, palpitasi, dan aritmia. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stressor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stress pascatraumatik. Pada umumnya pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parah. (Kaplan et. Al., 2003)

C. Contoh KasusSeorang penyanyi berusia 27 tahun dirujuk oleh seorang teman untuk menjalani evaluasi. Delapan bulan sebelumnya, kekasihnya telah menjadi korban penusukan hingga meninggal dalam suatu peristiwa penodongan, sedangkan dia dapat menyelamatkan diri tanpa terluka sedikitpun. Setelah lewat masa berkabung, tampaknya dia telah kembali normal. Dia membantu penyelidikan polisi dan secara umum dinilai sebagai saksi ideal. Namun demikian, tidak lama setelah penangkapan tersangka pembunuhan kekasihnya, pasien mulai berulang kali mengalami mimpi buruk dan ingatan yang sangat jelas tentang malam terjadinya kejahatan tersebut. Dalam mimpi-mimpinya dia sering melihat darah dan melihat dirinya dikejar oleh orang yang mengancam dan tertutup wajahnya. Siang hari, terutama ketika berjalan sendirian, dia sering kali terhanyut dalam lamunan sehingga lupa ke mana akan pergi. Teman-temannya mengamati bahwa dia mulai mudah terkejut dan tampaknya selalu khawatir akan sesuatu. Dia meninggalkan uang kembalian atau barang belanjaannya di toko atau ketika menunggu tidak dapat mengingat apa yang akan dibelinya. Tidurnya mulai gelisah dan pekerjaannya terganggu karena tidak dapat berkonsentrasi. Pelan-pelan dia menarik diri dari teman-temannya dan mulai menghindari pekerjaannya. Dia merasa sangat bersalah atas pembunuhan kekasihnya, walaupun tidak tahu dengan pasti mengapa demikian. (Spitzer dkk., 1981, hlm. 17 dalam Davidson et. al., 2006).

D. Gambaran Klinis dan DiagnosisGangguan ini selalu merupakan konsekuensi langsung dari suatu stress akut yang berat atau trauma berkelanjutan. Stress yang terjadi atau keadaan yang tidak nyaman tersebut merupakan faktor pemicu utama, dan tanpa hal tersebut gangguan ini tidak akan terjadi.Gambaran klinis dari gangguan stress pasca trauma seringkali berupa adanya ingatan-ingatan kembali peristiwa-peristiwa traumatik yang pernah dialami serta mendesak untuk timbul ke alam sadar dan disertai adanya mimpi-mimpi buruk. Individu juga dengan sengaja tampak menghindari berbagai situasi atau kondisi yang akan mengingatkannya akan peristiwa traumatik tersebut.Umumnya individu dengan gangguan stress pasca trauma datang ke dokter tidak dengan gejala-gejala tersebut diatas; mereka umumnya datang dengan keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta berbagai keluhan fisik yang lainnya (misalnya nyeri kronik, irritable bowel symtoms, dll). Gangguan stress pasca trauma seringkali berhubungan dengan keluhan-keluhan fisik, dan penurunan taraf kesehatan secara umum, sehingga kondisi-kondisi ini seringkali dijumpai pada pusat-pusat pelayanan kesehatan primer.Penelitian mendapatkan bahwa individu dengan gangguan stress pasca trauma 3 kali lebih banyak mengunjungi praktek dokter umum atau pusat pelayanan kesehatan primer jika dibandingkan dengan kunjungan ke profesional kesehatan mental lainnya. Seperempat dari jumlah individu yang berobat ke pusat kesehatan primer melaporkan adanya latar belakang problem emosi atau psikologis sebagai latar belakang keluhan-keluhan yang mereka alami. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran dan pemahaman dari gangguan stress pasca trauma ini sangat diperlukan bagi dokter umum atau dokter-dokter yang bekerja pada pusat kesehatan primer.Diagnosis gangguan stress pasca trauma tidak akan pernah dibuat jika dokter tidak pernah menanyakan apakah individu pernah atau tidak pernah mengalami peristiwa traumatik tertentu, seperti apakah pernah mengalami kekerasa baik fisik, emosional atau seksual, atau apakah pernah mengalami kecelakaan hebat atau mengalami bencana alam atau kekerasan militer atau peperangan. Perlu juga diketahui bahwa seringkali peristiwa traumatik yang dialami sudah terjadi bertahun-tahun sebelum gejala-gejala psikiatri dijumpai, oleh karena itu kadang-kadang tidak mudah untuk mengaitkan apakah ada kaitan langsung antara peristiwa traumatik yang dialami dahulu dengan keluhan gangguan jiwa saat ini. Kadang-kadang bagi pasien sendiri juga sulit untuk mengemukakan peristiwa-peristiwa traumatik yang dialami oleh karena rasa malu atau perasaan bersalah karena telah membuka aib keluarga. Dengan demikian seorang dokter perlu berempati dan memberi dukungan kepada individu yang mengalami gangguan stres pasca trauma sehingga mereka lebih mudah untuk berbagi perasaan dan pengalaman akan peristiwa traumatik yang pernah dialaminya. (Wiguna, T., 2010).Berdasarkan DSM V (American Psichiatric Association. 2013), Post Traumatic Stress Disorders memiliki beberapa kriteria diagnostic. Beberapa kriteria ini dapat digunakan untuk orang dewasa, remaja, dan anak-anak dengan umur lebih dari 6 tahun, untuk anak-anak dengan umur dibawah 6 tahun akan ada kriteria tersendiri. Berikut adalah kriteria diagnostic gangguan stress pasca trauma menurut DSM :1. Terpajan secara langsung kejadian yang mengancam nyawanya, luka serius, atau kekerasan seksual dalam salah satu (atau beberapa) cara berikut :i. Mengalami trauma secara langsung.ii. Menjadi saksi atas peristiwa traumatik yang terjadi pada orang lain.iii. Mengetahui bahwa kejadian traumatik tersebut menimpa keluarga dekat atau kerabat dekat. Pada kasus peristiwa yang menyebabkan atau mengancam nyawa keluarga atau kerabat dekat, peristiwa tersebut harus berupa kekerasan atau kebetulan.iv. Mengalami pengulangan atau pajanan ekstrim terhadap detail konflik dari peristiwa traumatik tersebut.2. Munculnya satu (atau lebih) dari gejala gangguan yang berhubungan denga peristiwa traumatik seperti dibawah ini, dimulai setelah kejadian traumatik terjadi :i. Munculnya kenangan dari peristiwa traumatik yang sifatnya mengganggu, berulang dan involunter.ii. Pengulangan mimpi yang mengganggu dengan konten dan/atau pengaruh dari mimpi tersebut berhubungan dengan peristiwa traumatik.iii. Reaksi disosiatif dengan individu tersebut merasa atau berperilaku seolah peristiwa traumatik tersebut sedang terjadi.iv. Distress psikologik yang intens dan berkepanjangan pada pajanan internal atau eksternal yang melambangkan kejadian traumatik tersebut. v. Reaksi psikologis yang ditandai kepada pajanan internal atau eksternal yang melambangkan kejadian traumatic tersebut.3. Penghindaran yang kuat terhadap stimulus yang berhubungan dengan kejadian traumatik yang terjadi, dimulai setelah peristiwa traumatik terjadi.4. Perubahan negative pada kesadaran dan mood yang berhubungan dengan peristiwa traumatik, dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatik terjadi. Dapat muncul dua (atau lebih) kriteria berikut :i. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatik tersebut.ii. Kepercayaan atau ekspektasi negatif yang kuat dan berlebihan tentang diri sendiri, orang lain, atau dunia.iii. Penyimpangan pemahaman yang kuat mengenai konsekuensi atau penyebab kejadian traumatik yang menyebabkan seseorang meyalahkan dirinya sendiri atau yang lainnya.iv. Perasaan emosi negatif yang kuatv. Berkurangnya tingkat partisipasi terhadap beberapa aktivitas yang signifikan.vi. Perasaan melepaskan atau mengasingkan diri dari yang lainnya.vii. Ketidakmampuan yang menetap untuk merasakan emosi yang positif seperti bahagia atau bangga.5. Perubahan gairah dan reaktivitas yang berhubungan dengan kejadian traumatik, dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatik terjadi. Dapat muncul dua (atau lebih) kriteria berikut :i. Perilaku marah dan ledakan marah yang biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek.ii. Perilaku sembrono atau melukai diri sendiri.iii. Hypervigilance/Kewaspadaan yang berlebihan.iv. Respon kaget yang berlebihan.v. Bermasalah dengan konsentrasivi. Mengalami gangguan tidur.6. Durasi dari gangguan (Kriteria 2,3,4 dan 5) terjadi lebih dari 1 bulan.7. Gangguan menyebabkan distress klinis yang signifikan atau penurunan dalam bidang sosial dan pekerjaan atau bidang fungsional penting lainnya.8. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis atau zat atau kondisi medis lainnya.Gejala PTSD dapat sulit dibedakan dengan gejala gangguan panik dan Gangguan Cemas Menyeluruh. Hal ini dikarenakan ketiganya berhubungan dengan kecemasan dan aktivasi gejala autonomik. .Kunci untuk membedakan PTSD adalah relasi waktu antara kejadian traumatik dan gejala, dan terngiang-ngiang akan trauma yang tidak terjadi pada dua kelainan lainnya. Depresi mayor juga sering terjadi bersamaan dengan PTSD. Hal ini perlu dicatat karena akan mempengaruhi terapi PTSD.

E. TatalaksanaTatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi, dukungan psikososial, teknik untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup. Edukasi sangat penting karena merupakan suatu bentuk pendekatan untuk membantu pasien mengerti akan perubahan-perubahan yang terjadi dalam fungsi diri pasien baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatik yang dialami, baik adaptif ataupun maladaptif. Dukungan psikososial dibutuhkan untuk mengurangi berbagai stigma negatif yang mungkin muncul akibat dari diagnosis gangguan stress pasca trauma. Dukungan psikososial tidak hanya diberikan oleh dokter tetapi juga oleh seluruh anggota keluarga bahkan seluruh lingkungan masyarakat di sekitar pasien.Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pasca trauma. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkoholm rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian anti depresan golongan SSRI (Penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300 mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300 mg/hr dan juga Imipramin 50-300 mg/hr.Psikoterapi yang umum diberikan bagi individu dengan gangguan stress pasca trauma adalah psikoterapi kognitif perilaku, psikoterapi kelompok dan hypnotherapy. (Wiguna, T., 2010).Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek dibawah ini; Gangguan stres pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. Terapi ang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.

1. PsikoterapiPsikoterapi psikodinamika mungkin berguna dalam pengobatan banyak pasien dengan gangguan stress pascatraumatik. Pada beberapa kasus, rekonstruksi peristiwa traumatik dengan abreaksi dan katarsis yang menyertai mungkin bersifat terapeutik. Tetapi, psikoterapi harus dilakukan secara individual, karena beberapa pasien ketakutan akan pengalaman ulang trauma.Intervensi psikodinamika untuk gangguan stress pascatraumatik adalah terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Banyak klinisi menganjurkan psikoterapi singkat untuk korban trauma. Terapi tersebut biasanya menggunakan pendekatan kognitif dan juga memberikan dukungan dan jaminan. Sifat jangka pendek dari psikoterapi menekan risiko ketergantungan dan kronisitas. Masalah kecurigaan paranoia, dan kepercayaan sering kali merugikan kepatuhan. Ahli terapi harus mengatasi penyangkalan pasien tentang peristiwa traumatik, medorong mereka untuk santai, dan mengeluarkan mereka dari sumber stress. Pasien harus didorong untuk tidur, menggunakan medikasi jika diperlukan. Dukungan dari lingkungan (seperti teman-teman dan sanak saudara) harus disediakan. Pasien harus didorong untuk mengingat dan melepaskan perasaan emosional yang berhubungan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan di masa depan. Psikoterapi setelah peristiwa traumatik harus mengikuti suatu model intervensi krisis dengan dukungan, pendidikan, dan perkembangan mekanisme mengatasai dan penerimaan peristiwa. Jika gangguan stress pascatraumatik telah berkembang, dua pendekatan psikoterapik utama dapat diambil. Pertama adalah pemaparan dengan peristiwa traumatik melalui teknik pembayangan (imaginal technique) atau pemaparan in vivo. Pemaparan dapat kuat, seperti pada terapi implosif, atau bertahap. Seperti pada desensitasi sistematik. Pendekatan kedua adlah mengajarkan pasien metoda penatalaksanaan stress, termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk mengawasi stress. Beberapa data awal menyatakan bahwa, walaupun teknik penatalaksanaan stress adalah efektif lebih cepat dibandingkan teknik pemaparan, hasil dari teknik pemaparan adalah lebih lama. (Kaplan et. Al., 2003).Di samping teknik terapi individual, terapi kelompok dan terapi keluarga telah dilaporkan efektif pada kasus gangguan stress pascatraumatik. Keuntungan terapi kelompok adalah berbagi berbagai pengalaman traumatik dan mendaptkan dukungan dari anggota kelompok lain. Terapi kelompok telah berhasil pada veteran Vietnam. Terapi keluarga sering kali membantu mempertahankan suatu perkawinan melalui periode gejala yang mengalami eksaserbasi. Perawatan gejala adalah cukup parah atau jika terdapat risiko bunuh diri atau kekerasan lainnya. (Kaplan et. Al., 2003).

2. FarmakoterapiManfaat imipramine (Tofranil) dan amitriptyline (Elavil), dua obat trisiklik, dalam pengobatan gangguan stress pasca traumatik adalah didukung oleh sejumlah uji coba klinis terkontrol baik. Walaupun beberapa uji coba dari kedua obat tersebut memiliki temuan negatif, sebagian besar temuan itu memiliki kecacatan rancangan yang serius, termasuk durasi yang terlalu singkat. Dosis imipramine dan amitriptyline harus sama dengan yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif, dan lama minimal uji coba yang adekuat haruslah delapan minggu. Pasien yang berespons baik kemungkinan harus meneruskan farmakoterapi selama sekurangnya satu tahun sebelum diusahakan menghentikan obat. Beberapa penelitian menyatakan bahwa farmakoterapi adalah lebih efektif dalam mebgobati depresi, kecemasan, dan kesadaran yang berlebihan dibandingkan dalam mengobati penghindaran, penyangkalan, dan kekakuan emosional. Obat lain yang mungkin berguna dalam pengobatan gangguan stress pasca traumatik adalah inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRI; serotonin-specific reuptake inhibitors), inhibitor monoamin oksidase (MAOI; monoamine oxidase inhibitors), dan antikonvulsan (sebagai contohnya carbamazepine, valproate). Clonidine (Catapres) dan propanolol (Inderal) dianjurkan oleh teori tentang hiperaktivitas noradregenik pada gangguan ini. Walaupun beberapa laporan anekdotal menyatakan efektivitas alprazolam (Xanax) pada gangguan stress pasca traumatik, pemakaian obat tersebut dipersulit oleh tingginya penyertaan gangguan berhubungan zat pada pasien dengan gangguan dan oleh timbulnya gejala putus obat saat obat dihentikan. Hampir tidak ada data positif tentang pemakaian obat anti psikotik pada gangguan ini, sehingga penggunaan obat tersebut sebagai contoh, haloperidol (Haldol) harus dihindari kecuali kemungkinan untuk pengendalian jangka pendek agregasi dan agitasi parah. (Kaplan et. Al., 2003).

BAB IIIPENUTUPA. Simpulan Gangguan stress pasca trauma adalah suatu gangguan kecemasan yang timbul setelah mengalami atau menyaksikan suatu ancaman kehidupan atau peristiwa-peristiwa trauma, seperti perang militer, serangan dengan kekerasan atau suatu kecelakaan yang serius. Peristiwa trauma ini menyebabkan Anda memberikan reaksi dalam keadaan ketakutan, tak berdaya dan mengerikan.

Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Stressor adalah penyebab utama terjadinya Gangguan Stress Pasca Trauma. Stressor berupa kejadian yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara.

Penatalaksaan gangguan stress pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi dengan dilakukannya terapi individu maupun terapi kolompok. Dapat juga ditambah dengan menggunakan farmakoterapi.

B. Saran1. Perlu peran aktif keluarga dan lingkungan sebagai terapi psikososial bagi orang dengan gangguan stress pasca trauma.

2. Orang dengan gangguan stress pasca trauma harus mematuhi program pengobatan yang telah diberikan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki kualitas hidupnya.DAFTAR PUSTAKA

American Psichiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders Fifth Edition. United State America : America Psychiatric Publishing.Chandra ZA : Pengaruh Dukungan Sosial Keluarga Terhadap Kesembuhan Penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) Di Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) Mawar Rsud Dr.Fauziah Bireuen Tahun 2009.2009Depkes RI. 2006. Profil Kesehatan Indonesia 2005, Jakarta.Dinas Kesehatan Prov. NAD. 2008. Profil Kesehatan Provinsi NAD, Banda Aceh.Gerald C.Davidson, John M.Neale, Anne M. King. (2006). Psikologi Abnormal Edisi ke-9. Rajawali Pers; JakartaJavidi H, Yadollahie M. Post-traumatic stress disorders. The International Journal of Occupational and Environmental Medicine 2012;3:2-9.Kaplan H,Sadock B & Grebb J.2007.Sinopsis Psikiatri,Jilid 2.Alih Bahasa:Widjaja Kusuma.Binarupa Aksara:TanggerangMaramis WF, Maramis AA. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi 2. Airlangga University Press: Surabaya.Maslim, Rusdi.(2013).Panduan Penegakkan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III dan DSM 5.EGC penerbit buku kedokteran; Jakarta.Sandra, et.al,. 2005. The Epidemiology of Post Traumatic Stress Disorder after Disasters. Journal Epidemiology Review Volume 27, Jhon Hopkins Bloomberg School of Public Health Orlando. Florida : Academic Press, INC.World Health Organization, 2005. Mental Health. GenewaWiguna, T.(2010). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FK UI.