Upload
aulia-silkapianis
View
314
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Referat trombositopenia pada anak
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trombosit sangat penting untuk menjaga integritas endotel pembuluh darah dan
mengendalikan perdarahan yang berasal dari cedera pembuluh darah kecil melalui
pembentukan sumbatan trombosit (hemostasis primer). Cedera yang lebih luas dan
keterlibatan pembuluh darah yang lebih besar memerlukan, selain trombosit, partisipasi dari
system koagulasi untuk menciptakan sumbatan fibrin yang lebih kuat dan stabil (hemostasis
sekunder). Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang
dari 150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan
hemostasis primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak.1
Trombositopenia harus dicurigai ketika seorang anak datang dengan riwayat mudah
memar dan berdarah, terutama pada mukosa atau kulit. Namun, yang paling umum terjadi
dalam pasien anak dengan trombositopenia adalah penemuan tak terduga trombosit rendah
pada hitung darah lengkap (complete blood count) tanpa alasan yang jelas.1
Trombositopenia dapat disebabkan oleh satu dari dua mekanisme, yaitu penurunan
produksi trombosit atau peningkatan penghancuran trombosit di dalam sirkulasi. Manajemen
pada trombositopenia harus disertai dengan pemahaman terhadap penyebab dan perjalanan
klinisnya. Tujuan utama manajemen pasien dengan trombositopenia adalah untuk
mempertahankan jumlah trombosit berada pada level yang aman untuk mencegah perdarahan
yang signifikan. Hal-hal yang menentukan berapakah level aman trombosit pada pasien
tertentu bervariasi, tergantung dari penyebab trombositopenia itu sendiri dan pertimbangan
dari semua aspek lain dalam hemostasis, dan tentu pula tingkat aktivitas pasien itu sendiri. 1
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas mengenai trombositopenia pada anak, penyebab tersering, diagnosis
dan tatalaksana.
1.3 Tujuan Penelitian
Referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca pada umumnya dan penulis
pada khusunya mengenai penatalaksanaan trombositopenia pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Referat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk dari berbagai
literatur.
1.5 Manfaat Penulisan
Referat ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan pengetahuan
tentang trombositopenia pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Tombosit
Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit oleh
sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit dilepaskan ke
dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7 sampai
dengan 10 hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan makrofag. 1
Gambar 1. Hematopoesis
Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada
pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk
sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular
seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediator-
mediator hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine
menyebabkan terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan
vasokonstriksi lokal. Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah.
Risiko perdarahan meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit. 1
Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 103/µL. Risiko
perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga
dibawah 100 x 103/µL (Gambar 1). Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 103/µL cukup
untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi, dan pasien dengan
trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika hitung trombosit
dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah
trombosit antara 30 sampai 50 x 103/µL jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau
berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung
trombositnya antara 10 - 30 x 103/µL kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas
keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang
signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10
x 103/µL. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan memar, namun bahkan
kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit
harus kurang dari 5 x 103/µL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti
perdarahan intracranial tanpa disebabkan trauma). 1
Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis.
Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan
mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan
pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih
banyak di sirkulasi. 1
2.2 Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari
150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis
primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah
trombosit berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura,
perdarahan pada mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut. 2
2.4 Epidemiologi
ITP adalah penyebab paling banyak trombositopenia imun pada anak-anak, dengan
tingkat insidens kasus simptomatik antara 3 sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien
pediatrik yang mengalami ITP biasanya berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens
tertinggi antara usia 2 sampai 5 tahun. Tidak terdapat bias gender yang signifikan terhadap
insidens ITP pada anak-anak. Merupakan penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia
atau neutropenia. 1
ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang
banyak ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak
pertahun. 80-90% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh
dalam 6 bulan. Pada ITP akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan
akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun,
sering terjadi pada anak perempuan. ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode
trombositopenia > 3 bulan dan terjadi pada 1-4 % dengan ITP. 3
Dari semua kasus yang didiagnosa secara klinis sebagai Demam Berdarah Dengue /
Dengue Shock Syndrome, trombositopenia (<100.000/ml) ditemukan pada 34% kasus saat
pertama kali datang dan 49% dalam masa rawatan. Pada kasus yang dikonfirmasi dengan
pemeriksaan serologi, didapatkan prevalensi trombositopenia (<100.000/ml) adalah 58% saat
pertama kali datang dan 83% selama rawatan. Trombositopenia ditemukan pada 47% dari
kasus DBD dan 74% dari kasus DSS. Sebagian besar kasus memberikan gambaran
trombositopenia antara hari ketiga dan ketujuh penyakit, baik pada DBD maupun pada
kondisi DSS. 6
Data di Amerika Serikat menunjukkan kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di
unit perawatan intensif anak (pediatrics intensive care unit/PICU) mencapai lebih dari 42 000
kasus dengan angka kematian sebesar 10,3%.12 Menurut perkiraan terakhir, lebih dari 18 juta
kasus sepsis terjadi di seluruh dunia per tahun, dan setidaknya 1/3 dari kasus ini meningkat
untuk sepsis berat atau syok septik. Sepsis mempengaruhi lebih dari 35% dari pasien ICU,
dan sekitar 2/3 dari pasien memiliki sepsis berat atau syok septik. Sepsis adalah salah satu
yang paling lazim penyebab morbiditas dan mortalitas di ICU. Kematian untuk shock septik
dapat melebihi 50%. Insidens DIC pada sepsis berat berkisar antara 14% hingga 32% dan
berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada sepsis .12
2.5 Etiologi
Trombositopenia dapat disebabkan karena :
1. Produksi trombosit yang berkurang
Pansitopenia
Pansitopenia bisa disebabkan karena keganasan (leukemia) , infiltrasi pada
sumsum tulang (neuroblastoma), kegagalan pada sumsum tulang (anemia aplastik),
infeksi virus (HIV) , obat-obatan yang toksik, dan radiasi.
Trombopoesis yang tidak efektif
Dapat ditemukan pada kelainan kongenital yang jarang,yaitu thrombocytopenia –
absent radius (TAR) syndrom , Wiskott Aldrich syndrom, trombosistopenia
amegakariosit kongenital, penyakit platelet raksasa (Bernand-soulier Syndrom)
Infeksi virus, contohnya EBV, CMV, parvovirus
2. Peningkatan konsumsi trombosit
Imun
Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
Penyakit autoimun dan kolagen-vaskuler (SLE)
Disebabkan virus HIV
Trombositpenia diinduksi obat,contohnya heparin
Nonimun
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Hemolytic – Uremic syndrom (HUS)
Sepsis
Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
3. Destruksi trombosit
Keadaan ini dapat ditemukan pada hipersplenisme, yaitu aktivitas lien yang
berlebihan dapat disebabkan karean infeksi, inflamasi, kongesti, kelainan sel darah
merah.
4. Dilusi dari trombosit.
Hemodilusi menyebabkan konsentrasi relatif trombosit pada darah berkurang 1
2.6 Patogenesa dan Patofisiologi
2.6.1 Immune Trombositopeni Purpura (ITP)
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang
terdapat pada membrane trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti
antibody (antibody coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang terdapat pada
limpa dan organ retikuloendotelial lainnya.3
Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. Sedangkan
kadar trombopoietin dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari
trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis. 3
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara ITP akut dan kronis
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombositopenia
diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
karena adanya antibody yang dibentuk saat terjadi respons imun terhadap infeksi
bakteri/virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit.
Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadinya respons imun terhadap infeksi,
dapat berperan dalam terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Sedangkan pada
ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan pada regulasi system imun seperti pada penyakit
autoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibody spesifik terhadap trombosit. 3
Saat ini telah diidentifikasi beberapa jenis glikoprotein (GP) permukaan trombosit
pada ITP, diantaranya GP IIb-Iia, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibody
antitrombosit meningkat pada PTI, perbedaan secara pasti patofisiologi PTI akut, serta
komponen yang terlibat dalam regulasinya masih belum diketahui. 3
2.6.2 Demam Berdarah dengue (DBD)
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai terendah pada
masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal
biasanya tercapai 7-10hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dihubungkan dengan
meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang, dan pendeknya masa hidup
trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia adalah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial, limpa dan hati.
Penyebab peningkatan destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui, tapi beberapa
faktor dapat menjadi penyebab, yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen,
kerusakan sel endotel, aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara
terpisah. Lebih lanjut, fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun. Hal ini mungkin
disebabkan ditemukannya komplek imun dalam darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 5
2.6.3 Trombositopenia pada Sepsis
Kelainan pembekuan dan trombositopenia umum terjadi pada sepsis berat, dan dapat
berupa perubahan kecil dalam jumlah trombosit dan perubahan dalam tes koagulasi hingga
full-blown disseminated intravascular koagulasi (DIC) dan trombosis mikrovaskular yang
luas. Tingkat keparahan hemostatik tampaknya berkorelasi dengan tingkat keparahan
penyakit, sehingga, jumlah trombosit yang rendah adalah prediksi akan hasil yang buruk. 8
Dalam studi oleh A. Yaguchi et al, mikroorganisme yang paling umum terisolasi
adalah Escherichia coli (n = 12), Staphylococcus aureus (n = 11), Klebsiella spp. (n = 6), dan
Pseudomonas aeruginosa (n = 6). Kelompok kontrol yang sehat termasuk 11 pria dan empat
wanita dengan usia rata-rata 37 ± 8 tahun dan jumlah trombosit yang normal (180 000-400
000 mm3).
Secara keseluruhan, studi ini menunjukkan bahwa pada sepsis, fungsi sekretori
platelet tetap tetapi kandungan alpha-granula berubah. Perubahan ini tampak lebih
berhubungan dengan tingkat keparahan sepsis daripada koagulasi atau generasi trombin.
Karena trombosit tidak memiliki inti, pengamatan ini menunjukkan bahwa perubahan dalam
konten granula dapat terjadi pada tingkat megakariosit, mungkin sebagai hasil respon
inflamasi. Dengan demikian, sebelum platelet konsumsi - terkait trombin, trombosit
menunjukkan penurunan aggregasi, ekspresi adhesi molekul, dan meningkatkan pelepasan
VEGF, menunjukkan sepsis, bahkan jika tidak berkomplikasi, menginduksi redistribusi
platelet fungsi dari hemostasis terhadap fungsi lainnya, termasuk penyembuhan vaskular.
Sebagai kesimpulan, ditemukan bahwa sepsis menyebabkan banyak perubahan pada fungsi
platelet, yang terjadi bahkan apabila jumlah trombosit normal, dan berbeda dengan
abnormalitas koagulasi lainnya. 8
Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui tiga mekanisme
1. Pembentukan trombin yang diperantarai TF (Tranfer factor) diekspresikan pada
permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin,
sitokin atau mediator lain. Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa
sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-D dan interleukin (IL)-6.
Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling berhubungan dengan klinis
sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan
tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini segera
dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan trombin yang sangat cepat
jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga terjadi trombonemia.9
Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan
fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan
disfungsi organ. 10
2. Gangguan mekanisme antikoagulan. Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang
terganggu pada sepsis :
Sistem antitrombin
Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi
pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada sepsis. 11 Jumlah
antitrombin berkurang disebabkan karena antitrombin digunakan untuk
menghambat formasi trombin didegradasi oleh trombin, didegradasi oleh elastase
yanng dilepaskan sel neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal
hati pada sepsis trombin terbentuk fibrinogen.
Sistem protein C
Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein C (APC)
yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi
sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, gangguan
hati, perembesan vascular dan aktivasi TNF-A.
Tissue factor pathway inhibitor (TFPI)
Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk
menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVI Ia. Penurunan TFPI dapat
dijumpai pada sepsis.
Penghentian sistem fibrinolisis
Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas
fibrinolisi yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen aktivator oleh
sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara
cepat oleh PAI-1.
Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga menghentikan kemampuan
fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin pada mikrosirkulasi.
Pada sepsis terjadi trombositopenia pada pasien berat. Faktor utama yang
menyebabkan penurunan jumlah trombosit pada sepsis adalah produksi yang
terganggu, peningkatan pemakaian maupun destruksi atau sekuestrasi trombosit
di limpa11
2.7 Manifestasi Klinis
Anak-anak dengan trombositopenia dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada pasien
yang tidak menunjukkan gejala, trombositpeni sering dideteksi secara tidak sengaja pada
pemeriksan hitung jenis. Pada pasien yang menunjukkan gejala biasanya muncul dengan
keluhan perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus.
Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau perdarahan kutaneus biasanya
muncul sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Pasien yang memiliki thrombositopenia
juga mungkin memiliki perdarahan persisten dari luka yang dangkal. Petechiae, lesi diskret
berukuran sebesar ujung jarum, merah, datar, disebabkan oleh ekstravasasi sel darah merah
dari kapiler kulit, dicirikan dengan menurunnya jumlah platelet atau fungsi platelet. Petechiae
tidak nyeri dan tidak hilang dengan penekanan. Petechie tidak memberikan gejala dan tidak
teraba dan harus dibedakan dari telangiektasis kecil dan vaskulitis purpura (teraba). Purpura
menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat adanya petechiae konfluen.
Ekimosis adalah daerah perdarahan dalam kulit yang tidak nyeri yang biasanya kecil,
multipel, dan dangkal, dan dapat berkembang tanpa trauma yang terlihat. Ekimosis memiliki
berbagai warna tergantung kepada darah yang tereksavasasi (merah atau ungu) dan kerusakan
heme yang sedang berlangsung dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag kulit (hijau,
kuning, atau coklat)
Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi,
seperti hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan
dalam otot atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan
sedikit perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor
koagulasi cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf
pusat adalah penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan
tersebut terjadi, sering didahului oleh riwayat trauma kepala. 1
Pasien dengan Purpura Trombositopenik Imun (PTI) biasanya merupakan anak sehat
yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa
hidung (epistaksis). Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya
perdarahan trombosit (platet-type bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva,
atau perdarahn mukokutaneus lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya
pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10%
anak dengan PTI. 3 Pada ITP akut, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan manifestasi
perdarahan berupa ptekie dan memar yang terjadi secara tiba-tiba. Limfadenopati ringan atau
splenomegali mungkin disertai infeksi virus. Sedangkan pada ITP kronik biasanya memiliki
penyakit yang mendasari. Beberapa anak dengan ITP kronik memiliki kelainan imunologik
seperti Evans syndrom atau autoimmune lymphoroliferative syndrom (ALPS). 1
Pada Disseminated Intravaskuler Coagulati (DIC) gejala klinis yang bervariasi dapat
timbul, naman pada dasarnya terjadi proses perdarahan dan trombosisnpada waktu yang
bersamaan. Manifetasi perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di
kulit, hematuria, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun akibat
perdarahan otak. Sedangkan gejala trombisis yang terjadi dapat berupa gagal ginjal akut,
gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat trombosis pada otak. 6
Pada sepsis, gangguan koagulasi terjadi akibat pembentukan trombin oleh tissue
factor, gangguan mekanisme antikoagulan dan penghentian sistem fibrinolisis. Pengetahuan
tersebut sangat berguna untuk mengembangkan terapi dan intervensi terhadap pasien dengan
sepsis yang disertai gangguan koagulasi berat. Gangguan koagulasi pada sepsis dapat
bervariasi dari aktivasi koagulasi yang hanya terdeteksi oleh marker sensitif hingga
disseminated intravascular coagulation (DIC). 12
2.8 Diagnosis
2.8.1 Diagnosis ITP
Biasanya pasien ITP merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami
perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung
(epistaksis). 3
Lama terjadinya perdarahan ITP dapat membantu membedakan antara ITP akut dan
kronis. Tidak didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan
suatu bentuk sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan
obat atau bahan yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga
umumnya tidak didapatkan. 3
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe
trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau
perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada
lebih kurang 10% anak dengan ITP. 3
Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP
umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia
ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang
diturunkan (inherited giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit
yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan
dengan flow cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolic, yang
menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang
didapatkan pada ITP disbanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium
sebaiknya dibatasi terutama pada saat terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan
kelainan yang khas. 3
Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak
dengan dugaan ITP masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus
dengan manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah
nampak dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam
pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasus-
kasus yang tidak khas, misalnya pada :
1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan
berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
2. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi.
3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal
diterapi dengan immunoglobulin intravena.
Pada audit yang dilakukan di negara maju,disepakati bahwa pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan steroid diberikan. Terdapat pula
kesepakatan yang didukung oleh hasil beberapa penelitian retrospektif, bahwa pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien yang hanya diobservasi atau dengan terapi
immunoglobulin intravena. 3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien ITP adalah mengukur antibody
yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan
direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakn ITP primer dengan
sekunder. Atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami
perjalanan menjadi kronis. 3
Diagnosis ITP ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab
trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan
Eritematosus Lupus Sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma,
defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C dan pengobatan dengan
heparin atau quinidin. 3
Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia
congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat
fari jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit
30.000/mm3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari
normal, sedangkan pada ITP biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan
congenital lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai ITP
adalah penyakit von Willebrand’s tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal
agregasi trombosit dan trombositopenia. 3
Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu
dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda
dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid. 3
Pada anak yang menderita varisela yang disertai trombositopenia perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun jarang namun dapat mengancam jiwa
berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat dan thrombosis mikrovaskuler. 3
2.8.2 Diagnosis Demam Berdarah dengue (DBD)
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium.
Klinis
Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari.
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan
lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau
melena
2. Pembesaran hati
3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20
mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) sisertai kulit yang teraba
dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan
timbul sianosis di sekitar mulut
Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari
peningkatan nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa
sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama
disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis
DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang
dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.
WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat
1. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji tourniquet positif
2. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain
3. Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut,
tekanan nadi menurun (≤ 20mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan
pasien menjadi gelisah
4. Derajat IV : Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur
2.8.3 Diagnosis Sepsis
Kriteria Diagnostik untuk Sepsis:
Variabel Umum
Demam (suhu inti> 38,3 ° C)
Hipotermia (suhu inti <C 36 º)
Denyut jantung> 90 min-1 atau> 2 SD di atas nilai normal untuk usia
Tachypnea
Perubahan status mental
Edema signifikan atau balance cairan positif (> 20 ml / kg selama 24hrs)
Hiperglikemia (glukosa plasma> 120 mg / dl atau 7,7 mmol / l) dengan tidak adanya
diabetes
Variabel inflamasi
Leukositosis (WBC count> 12.000 / mm3)
Leukopenia (WBC count <4.000 / mm3)
Hitung WBC normal dengan>10% bentuk immatur
Plasma C-reactive protein> 2 SD di atas nilai normal
Plasma procalcitonin> 2 SD di atas nilai normal
Variabel Hemodinamik
Arteri hipotensi (SBP <90 mm Hg, MAP <70, atau penurunan SBP > 40 mm Hg pada
orang dewasa atau <2 SD di bawah normal untuk usia)
SvO2> 70%
Cardiac index> 3,5 l/min-1/M-23
Variabel Disfungsi Organ
Arteri hipoksemia (PaO2/FIO2 <300)
Akut oliguria (urin <0,5 ml/kg-1/hr-1 atau 45 mmol / l untuk minimal 2 jam)
Kreatinin meningkat> 0,5 mg / dl
Kelainan Koagulasi (INR> 1,5 atau aPTT> 60 detik)
Ileus (bising usus tidak ada)
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 / mm3)
Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total> 4 mg / dl atau 70 mmol / l)
Variabel Perfusi jaringan
Hiperlaktatemia (> 1 mmol / l)
Penurunan isi ulang kapiler atau bintik-bintik
Modified from Levy et al. 2001 International Sepsis Definitions Conference. SD - standard
deviation; WBC, white blood cell; SBP, systolic blood pressure MAP, mean arterial blood
pressure; SvO2, mixed venous oxygen saturation; INR, international normalized ratio; aPTT,
activated partial thromboplastin time. 13
Jika ditemukan pasien dengan trombositopenia dan memenuhi kriteria sepsis diatas maka
diagnosis trombositopenia karena sepsis dapat ditegakkan. 13
Menurut Bick untuk membuat diagnosis DIC diperlukan criteria klinik dan
laboratorik. Kriteria klinik adalah adanya perdarahan atau thrombosis atau keduanya yang
menyertai suatu penyakit dasar. Secara laboratorik ditemukan bukti adanya aktivasi
koagulasi, aktivasi fibrinolisis, konsumsi inhibitor dan bukti kegagalan fungsi organ. Bukti
adanya aktivasi sistem fibrinolisis adalah peningkatan D dimer, FDP dan plasmin-antiplasmin
(PAP) complex. Bukti konsumsi inhibitor adalah penurunan antitrombin, protein C, protein S,
antiplasmin dan peningkatan TAT dan PAP. Bukti adanaya kegagalan fungsi organ adalah
LDH, kreatinin, penurunan pH dan tekanan parsial O2.
International Society on Thrombosis and Hemostasis telah membuat algoritma untuk
membuat diagnosis DIC sebagai berikut.
1. Buat penilaian risiko. Apakah terdapat kelainan dasar yang sering dihubungkan
dengan DIC.
2. Lakukan tes laboratorium : hitung trombosit, PT, fibrinogen dan D-dimer.
3. Lakukan scoring terhadap hasil tes laboratorium :
Hitung trombosit : > 100.000 = 0, < 100.000 = 1, < 50.000 = 2
D-dimer : tak meningkat = 0, meningkat sedang = 2, meningkat tinggi = 3
Pemanjangan PT : < 3 detik = 0, 3-6 detik = 1, > 6 detik = 2
Kadar fibrinogen : > 100 mg/dl = 0, < 100 mg/dl = 1
4. Hitung skor.
5. Jika ≥ 5 : sesuai dengan overt DIC, ulangi scoring tiap hari.
Jika ≤ 5 : suggestive untuk non-overt DIC, ulangi 1-2 hari kemudian.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1 Temuan Laboratorium
2.9.1.1 Darah
Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan.
Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit
kecil yang abnormal dan fragmen – fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan
temuan tersebut setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen
megakariosit mungkin terlihat pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan
jumlah abnormal fragmen ini .1
Perkiraan volume trombosit rata-rata (Mean Platelet Volume- MPV) dan tingkat
heterogenitas ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel
secara otomatis mungkin, jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi
pasien dengan ITP . Adanya sejumlah megathrombocyte menghasilkan nilai MVP yang
tinggi dan menyebabkan distribusi trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan
abnormal anisositosis trombosit. Teori yang tepat yang mendasari megathrombocytosis
sebenarnya masih belum pasti, tapi hal ini mungkin karena produktifitas yang meningkat
sebagai respon terhadap penghancuran trombosit. 1
Kondisi anemia sebanding dengan tingkat kehilangan darah dan biasanya
normositiik. Jika perdarahan yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi.
Perdarahan hebat yang baru terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis
relative. Antibodi antiplatelet pada pasien dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan
eritrosit meskipun hanya berupa fragmen eritrosit. Pada pasien juga bisa ditemukan uji
Coomb positif dan anemia hemolitik autoimun. Kombinasi keduanya dikenal sebagai
sindrom Evans. 1
jumlah total leukosit dan hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahan-
perubahan akibat perdarahan akut seperti neutrofilia ringan sampai sedang dengan
peningkatan bentuk imatur. Eusinophilia juga bisa ditemukan terutama pada anak-anak,
tetapi temuan ini tidak terlalu berarti. 1
uji hemostasis dan pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan
trombositopenia, contohnya pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah,
termasuk protrombin time, parsial tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan
trombositopenia ringan. Sedikit peningkatan dari FDP (fibrinogen degradation product)
dapat ditemukan dalam plasma beberapa pasien dengan ITP . konsentrasi thrombopoietin
tidak meningkat secara signifikan pada pasien ITP, berbeda dengan pasien dengan
trombositopenia akibat penurunan produksi. 1
2.9.1.2 sumsum tulang
perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun
hiperplasia normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. leukosit
biasanya normal namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte,
ukrannya biasanya meningkat, tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas
morfologi sel ini muncul pada sebagian pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadang-
kadang membantu terutama dalam membedakan ITP dengan kondisi lainnya yang
meragukan. Perubahan – perubahan diatas bisa ditemukan pada hampir semua kasus
trombositopenia yang disebabkan oleh penghancuran platelet besar-besaran sehingga
perubahan tersebut tidak khas dalam menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara
megakariocyte yang ditemukan pada ITP akut dan kronis tidak jelas dan pemeriksaan
sumsum tulang tidak sangat membantu dalam menentukan prognosis. 1
2.9.1.3 antiplatelet antibodi
trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran
klinis. Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama
bertahun-tahun. Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet
serum, Ig permukaan terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan
patokan. Pada penelitian terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk
glicoprotein membran spesifik platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji
penangkapa antigen (juga disebut glycoprotein immobilization assays). studi terbaru telah
melaporkan bahwa spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun sensitivitas nya (49 sampai 66%)
sehingga tidak cukup untuk menyingkirkan ITP jika tes ini negative. Pada masa yang akan
dating mungkin akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam diagnosis dan tindak
lanjut dari trombositopenia autoimun. 1
2.9 TATALAKSANA
2.9.1 Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)
Terdapat perbedaan signifikan pada manajemen ITP pada anak yang dipublikasi pada
guideline dari Negara-negara maju. Berdasarkan American Society of Hematology,
tatalaksana terbaik adalah observasi, kecuali jika jumlah platelet 20.000/mm3 dengan
perdarahan mukosa signidikan atau 10.000/mm3 dengan purpura minor. Tatalaksana yang
digunakan pada ITP akut diantaranya adalah Intravenous Immunoglobulin (IVIg),
kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin (anti-D Ig). Peranan obat-obatan tersebut masih
kontroversi. Obat-obatan diatas hanya meningkatkan jumlah platelet namun tidak
mempengaruhi perjalanan klinis penyakit 14
Manajemen awal ITP
1. Menentukan status penyakit pasien
Tentukan jenis perdarahan yang dialami pasien
Tentukan waktu perdarahan, lokasi, dan tingkat keparahan dari perdarahan
Tentukan apakah pasien memiliki faktor-faktor resiko perdarahan seperti
penggunaan antithrombotic agents atau pekerjaan dengan risiko tinggi
Apakah pasien akan menjalani prosedur bedah?
Apakah pasien ini akan lebih merespon terapi yang direkomendasikan?
Apakah perdarahan yang dialami pasien mengganggu aktivitas sehari-hari atau
menimbulkan ansietas.
2. Pertimbangan umum dalam terapi awal
Mayoritas pasien tanpa perdarahan atau perdarahan ringan (ditentukan sebagai
perdarahan dengan manifestasi pada kulit saja, seperti ptekie dan memar) dapat
diobservasi saja berapapun jumlah trombositnya
Terapi lini pertama berupa observasi, kortikosteroid, IVIg, atau anti-D
immunoglobulin
Anti-D harus digunakan secara hati-hati berdasarkan peringatan dari FDA baru-baru
ini akan hemolisis. Maka dari itu tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan
perdarahan yang menyebabkan penurunan hemoglobin, atau pasien dengan hemolysis
autoimun.
3. Pertimbangan khusus terapi pada anak
Single-dose IVIg (0.8-1.0 g/kg) atau kortikosteroid short course digunakan sebagai
terapi lini pertama
IVIg sebaiknya digunakan dibandingkan dengan kortikosteroid jika dibutuhkan
peningkatan jumlah platelet
Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan kortikosteroid jangka panjang
dibandingkan dengan jangka pendek.
Anti-D dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada anak dengan Rh+
yang belum displenectomy dengan mempertimbangkan risiko-risiko di atas. 15
Terapi Khusus
1. Splenectomy: Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan signifikan dan
persisten dan respons yang kurang terhadap terapi kortikosteroid, IVIf, dan anti-D
dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup.
2. Rituximab: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang memiliki
perdarahan signifikan dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Juga
dipertimbangkan sebagai alternatif splenectomy pada anak-anak dengan ITP kronik
atau yang gagal splenectomy.
3. Agonis Reseptor Trombopoietin: Masih dipelajari pada berbagai studi namun belum
ada petunjuk penggunaan pada anak yang telah dipublikasi
4. Deksametason dosis tinggi: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak atau remaja
dengan ITP dengan perdarahan massif dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas
hidup. Dapat dipertimbangkan sebagai alternative splenectomy pada anak dengan
ITP kronik atau pada pasien yang gagal splenectomy
5. Immunosupresi: Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang agen yang
spesifik masih kurang untuk rekomendasi. 15
4. Pertimbangan Khusus pada ITP Sekunder
1. ITP Sekunder (HIV-associated)
- Tatalaksana penyakit dasar HIV dengan antiviral therapy sebelum tatalaksana
lainnya pada pasien dengan perdarahan signifikan
- IVIg, kortikosteroid, atau anti-D dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan
terapi lanjutan
- Splenectomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal diterapi dengan obat-
obatan awal
2. ITP Sekunder (HCV-associated)
- Terapi antiviral dapat dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi, namun
jumlah platelet harus dimonitor secara ketat pada situasi yang beresiko terjadi
trombositopenia akibat interferon
- Jika dibutuhkan terapi, tatalaksana awal harus dengan IVIg
3. ITP Sekunder (H.pylori-associated)
- Test rutin terhadap Helicobacter Pylori tidak dianjurkan pada anak dengan ITP
yang tidak teratasi namun asimptomatik
- Terapi dilanjutkan dengan eradikasi H.Pylori jika ditemukan infeksi
4. MMR-Related ITP
- Anak-anak dengan riwayat ITP namun belum diimunisasi dapat menerima
vaksinasi MMR pertama
- Pada anak dengan ITP yang berhubungan/tidak dengan vaksinasi yang telah
menerima dosis pertama vaksinasi MMR, titer vaksin dapat diterima. Jika anak
menunjukkan imunitas lengkap, tidak perlu diberikan vaksin MMR lanjutan. Jika
anak tidak memiliki imunitas yang adekuat, anak dapat diimunisasi ulang pada usia
yang dianjurkan. 15
Agent-agent Terapi dan Dosis Terapi ITP
Agent Dosis
Rituximab 375 mg/m2/minggu dibagi 4 dosis
Anti-D Immunoglobulin 50-75 µg/kg, diulang dalam interval 3 minggu sesuai
jumlah trombosit
Siklofosfamid 150 mg/hari hingga 8 minggu
Colchicine 200 mg/hari hingga 4 minggu
Deksametason 40 mg/kg/hari selama 4 hari, diulang dalam interval 4 hari
Danazol 400 mg 2 kali sehari selama 1 bulan/lebih
IVIG 1 g/kg dalam dosis terbagi, diulang dalam interval 2-4
minggu pada dosis 400 mg/kg
Prednison 1 mg/kg/hari selama 14 hari
Vincristine 2 mg pada interval 5-7 hari dalam 2 dosis atau lebih
Vinblastin 7,5 mg pada interval 5-7 hari dalam 3 dosis atau lebih
Tabel.1: Pilihan terapi farmakologik ITP. 16
Beberapa perubahan tatalaksana farmakologik awal pada ITP
1. Kortikosteroid
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Telah dilakukan suatu
randomized trial sejak guideline sebelumnya dikeluarkan yang membandingkan observasi
saja dengan pemberian prednisone 2 mg/kg/hari selama 2 minggu yang kemudian di tapering-
off selama 21 hari pada pasien dengan jumlah platelet antara 10 - 29 x 109/L tanpa tanda
perdarahan mukosa. Dengan target jumlah platelet 30 x 109/L. Tidak terdapat perbedaan
statistik signifikan antara pemberian prednisone dengan observasi dalam mencapai target
(secara berurutan 2 hari vs 4 hari). Selain itu tidak terdapat perdarahan baru yang
membutuhkan perawatan tambahan pada kedua grup. Tidak ada bukti yang memadai untuk
menentukan apakah penggunaan kortikosteroid pada populasi dengan risiko perdarahan
tinggi berguna atau tidak. Walaupun demikian, anak dengan jumlah platelet kurang dari 10 x
109/L atau dengan perdarahan mukosa masih dipertimbangkan untuk diberikan terapi
kortikosteroid rutin oleh dokter. Jika kortikosteroid dipilih sebagai tatalaksana awal, tidak
terdapat bukti ataupun support terhadap dosis atau pemilihan yang mana lebih baik
dibandingkan yang lain. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada anak dengan ITP akut
harus dihindari karena efek sampingnya. 17
2. IVIg
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Sebuah meta-analisis
yang membandingkan tatalaksana dengan IVIg (pada dosis 0.8 sampai 1.0 g/kg) dan
kortikosteroid dilaporkan mengumpulkan data dari 6 trial. Hasil akhir yang diharapkan adalah
jumlah platelet > 20 x 109 dalam 48 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang menerima
kortikosteroid 26% lebih kurang mendapatkan hasil. 17
3. Anti-D Immunoglobulin
Terdapat perubahan signifikan dibandingkan guideline ASH 1996, dengan data-data
terbaru termasuk kemungkinan risiko hemolysis. Sejak 1996 telah dilakukan 3 randomized
trial yang membandingkan terapi antara anti-D dalam berbagai dosis dengan IVIg. Dengan
hasil yang menunjukkan bahwa terapi anti-D lebih baik pada dosis 75 µg/kg dibandingkan
dengan 50 µg/kg, namun hasil perbandingan antara anti-D dengan IVIg pada 3 studi tersebut
kontradiktif, dengan salah satu hasil mengatakan pemberian IVIg lebih baik dan studi lain
mengatakan Anti-D dosis yang lebih tinggi lebih baik.
Data dari Tarantino et al menunjukkan bahwa Anti-D pada dosis 50 µg/kg sama
efektifnya dengan pemberian IVIg, dan Anti-D pada dosis 75 µg/kg lebih efektif namun
dengan efek samping yang lebih besar. Anti-D hanya disarankan pada pasien dengan Rhesus
positif, yang test antiglobulin direct-nya negative, dan tidak menjalani splenectomy. Dan
risiko intravascular hemolysis harus diperhatikan dan dipertimbangkan dibandingkan dengan
manfaatnya. 17
2.9.2 Demam Berdarah Dangue (DBD)
Transfusi Trombosit
- Tergantung kepada:
o Keadaan pasien
o Status plasma phase coagulation
o Jumlah trombosit
o Penyebab trombositopenia
o Kapasitas fungsional dari trombosit
- Jika jumlah trombosit < 10.000-20.000/mm3 → risiko perdarahan spontan meningkat :
dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi trombosit.
- Jika terdapat disfungsi trombosit atau pemberian terapi yang dapat menghambat sistem
prokoagulan, transfusi trombosit pada kasus dengan jumlah trombosit yang lebih tinggi
mungkin saja dibutuhkan.
- Trombosit yang ditransfusikan akan berada sementara di paru-paru dan limpa sebelum
mencapai puncaknya (45-60menit).
- Sejumlah trombosit tersebut tidak pernah beredar dalam sirkulasi, namun akan tetap
berada di dalam limpa → mengurangi pemulihan.
- Dalam rangka penghentian perdarahan :
o Pemulihan trombosit
Dinilai dengan cara menghitung jumlah maksimal trombosit yang beredar
disirkulasi sebagai respon atas transfusi (satu jam setelah transfusi )
Tidak adanya faktor imun atau non imun yang drastic yang menyebabkan
penurunan pemulihan trombosit, diharapkan terjadi kenaikan trombosit
sebesar 7000/μL pada tiap unit donor
Pada anak-anak yang lebih besar atau dewasa → 40,000-70,000/ μL
peningkatan pada setiap unit donor aferesis
bayi dan anak yang lebih kecil → 10ml/kg akan meningkatkan hitungan
trombosit paling sedikit 50,000/ μL
o Survival of transfused platelets:
Tranfusi trombosit memiliki waktu paruh hidup 3-5 hari.
Kerusakan imun atau nonimun → waktu paruh hidup akan memendek
beberapa hari bahkan beberapa jam→ jumlah tranfusi trombosit
mempengaruhi hemostasis.
- Masalah pada trombosit akan membuat waktu tranfusi trombosit menjadilebih lama →
pemulihan yang buruk atau tidak ada respon terhadap tranfusi trombosit ( 1 hour)
o Kebanyakan (70-90%) mengahsilkan perkembangan dari aloloantibodi langsung
directed against HLA ag pada trombosit
Pencegahan : deplesi komponen leukosit (<5.000 leukosit per unit tiap kantuong
sel darah merah per apheesis atau 6-10 unit konsentrasi)
o Pada alloimmuni trombosit : mencegah HLA A- & HLA B- bertemu dengan
trombosit yang di tranfusi. 18
2.9.3 Sepsis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Gangguan koagulasi pada sepsis akan dapat diatasi jika penyebab sepsis diatasi. Pada
gangguan koagulasi yang berat sampai tahap DIC pengobatan yang diberikan dapat berupa,
Terapi pengganti
Tujuan dari pemberian terapi pengganti adalah untuk menggantikan defisiensi
akibat penggunaan konsentrat trombosit faktor koagulasi dan inhibitor, untuk
mencegah perdarahan.
Pemberian konsentrat trombosit dan faktor koagulasi tidak hanya didasari
dengan hasil laboratorium namun kecenderungan pasien mengalami perdarahan.18
Antikoagulan
Penghentian koagulasi pada pasien DIC memberi manfaat secara teori.
Keamanan heparin pada pasien DIC yang cenderung mengalami perdarahan menjadi
perdebatan, walaupun pemberian heparin tidak terbukti meningkatkan insidens
komplikasi perdarahan. Pemberian heparin mungkin dapat berguna pada pasien DIC
akut dan tromboembolisme predominan seperti dengan purpura fulminans.
Penelitian agen antikoagulan baru dengan aktivitas penghambat trombin secara
langsung yaitu rekombinan hirudin pada kelinci dalam mengobati DIC menunjukkan
pengurangan konsumsi trombosit, fibrinogen, antitrombin dan protein C serta
menurunkan mortalitas. Penggunaan rekombinan tersebut pada manusia masih
memerlukan penelitian lanjutan. 20
Pengembalian jalur antikoagulan
Antitrombin merupakan penghambat utama trombin, penggunaan pada DIC
cukup rasional. Penurunan jumlah antitrombin berhubungan dengan prognosis yanng
buruk pada pasien sepsis. Sistem protein C ikut terganggu pada DIC, dan APC
tampak memiliki peran dalam patogenesis sepsis yang berhubungan dengan disfungsi
organ. Penghambat mekanisme pembentukan trombin lainnya adalah TFPI. 20
Agen lain
Rekombinan FVIIa mungkin dapat digunakan pada pasien dengan perdarahan
berat yang tidak respon terhadap terapi lain. Namun penelitian retrospektif terhadap
penggunaan rekombinan pada pasien anak sepsis dan DIC menunjukkan tidak ada
manfaat yang bermakna. Agen fibrinolitik seperti asam traneksamat tidak boleh
diberikan kecuali sebelumnya telah diberi infus heparin. 20
Indikasi heparin pada DIC:
i. Bila penyakit dasar tidak diketahui
ii. Mekanisme pencetus dari penyakit dasarnya tidak dapat segera dihilangkan
iii. Situasi klinik atau hasil pemeriksaan laboratorium memburuk
iv. Pengobatan penyakit dasar DIC belum ada yang adekuat (seperti pada
keganasan), tetapi pengobatan langsung terhadap DIC dapat merubah kondisi
klinik menjadi lebih baik. 21
Regimen heparin yang dianjurkan Rickard (1979):
a. Infus kontinu IV:
Dosis awal: 5000 unit
Infus: 30.000 unit/24 jam
Pengobatan berhasil dicapai pada 60% penderita
Dibutuhkan penyesuaian pada 40% penderita
Pemantauan APTT pada jam ke 6 dan jam ke 24
b. Injeksi IV intermitten:
Dosis: 5000-10.000 unit tiap 4-5 jam. 21
Daftar Pustaka
1. Consolini. Deborah M. Thrombocytopenia in Infants and Children. Pediatric in
Review. American Academy of Pediatrics; 2011. H. 135-151
2. Buchanan. George R. Thrombocytopenia During Childhood: What the Pediatrician
Need to Know. Pediatric in Review. American Academy of Pediatrics; 2005. H. 401-
409
3. Permono. H. Bambang dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua.
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006
4. Setiaty. Tatty E, Wagenaar. Jiri. F. P, et al. Changing Epidemiology of Dengue
Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Bulletin. Vol. 30; 2006
5. Sumarmo S. Poorwo, Soedarmo dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008
6. Chaerulfatah. Alex, Setiabudi. Djatnika et al. Thrombocytopenia and Platelet
Transfusions in Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Dengue
Bulletin. Vol. 27; 2003
7. Napitupulu. Herald A. Laporan Kasus: Sepsis. Anastesia and Critical Care. Vol 28
No. 3; 2010. H. 50-58
8. Yaguchi A, Lobo FLM, Vincent J-L, Pradier O. Platelet function in sepsis. J Thromb
Haemost 2004; 2: 2096–2102
9. Knoebl P. Blood Coagulation Disorders in Septic Patients. Wien Med Wochenschr
2010; 160:129-38
10. Saba HI, Morelli GA. The Pathogenesis and Management of Disseminated
Intravascular Coagulation. Clin Adv Hematol Oncol 2006; 4:919-26
11. Levi M, De Jonge E, Poll T. Rationale for restoration of physiological anticoagulant
pathways in patients with sepsis an disseminated intravascular coagulation. Crit Care
Med 2001; 29 Suppl 7:90-4
12. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J, Angus DC. The
Epidemiology of Severe Sepsis in Children in the United States. Am J Respir Crit
Care Med. 2003;1;167(5):695-701.
13. Antonacci Carvalho, Paulo R, Trotta, Eliana de A. Advances in Sepsis Diagnosis and
Treatment. Journal de Pediatria. Sociedade Brasileira de Pediatria; 2003
14. Rehman. A. Immune Thrombocytopenia in Children with Reference to Low-Income
Countries. Eastern Meditterranean Health Journal, Vol. 15, No. 3; 2009. H. 729-737
15. 2011 Clinical Practice Guideline on the Evaluation and Management of Immune
Thrombocytopenia. American Society of Hematology; 2011. H.1-8
16. Greer. John P et al. Wintrobe’s Clinical Hematology, Vol. 2, Twelfth Edition.
Lippincott Williams & Wilkins; 2009
17. Neunert. Cindy, Lim. Wendy et al. The American Society of Hematology 2011
Evidence Based-Practice Guideline for Immune Thrombocytopenia.
Bloodjournal.hematology.org; 2011. H. 4190-4207
18. Hay, Jr. William W, Hayward. Anthony R et al. Lange Current Pediatric Diagnosis
and Treatment. Sixteenth edition; 2002. H. 888
19. Levi M. Disseminated intravascular coagulation in cancer patients. Best Pract Res
Clin Haematol 2009; 22:129-36.
20. Robert. Satran, Yaniv. Almog. The Coagulopathy of Sepsis: Pathophysiology and
Management Medical Intensive Care Unit, Soroka University Hospital and Faculty of
Health Sciences, Ben-Gurion University of the Negev,Beer Sheva, Israel
21. Setiabudy. Rahajuningsih D. Hemostasis dan Trombosis. Edisi Keempat. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.