45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup terus berkembang sejak terjadinya pembuahan hingga mengalami kematian. “Hidup” dan “Mati” adalah inheren pada setiap makhluk hidup, termasuk manusia. “Hidup” dan “Mati” juga merupakan masalah hakiki bagi manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, dengan adanya perkembangan teknologi biomedis yang begitu pesat, terutama dengan hadirnya “teknologi respirator”, masalah “Hidup” dan “Mati” semakin problematik dan dipertanyakan hakikatnya. Sejak dahulu kala orang menetapkan mati dengan melihat berhentinya pernafasan dan denyut jantung, yang sering disebut kematian klinis. Akan tetapi, seperti telah disebutkan penemuan teknologi canggih seperti alat respirator maupun alat pacu jantung, menggeser pengertian kematian tersebut. Jantung yang berhenti dapat dipacu kembali dengan alat pacu jantung dan fungsi pernapasan dapat ditunjang dengan alat respirator. Dengan teknologi tersebut, maka apa yang menurut ukuran masa lalu “seharusnya” orang sudah dikatakan mati, kini ia dapat bertahan hidup walaupun secara “buatan”, yang sering disebut 1

Refrat forensik.docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

aspek medikolegal pemasangan dan pelepasan ventilator

Citation preview

Page 1: Refrat forensik.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap makhluk hidup terus berkembang sejak terjadinya pembuahan

hingga mengalami kematian. “Hidup” dan “Mati” adalah inheren pada

setiap makhluk hidup, termasuk manusia. “Hidup” dan “Mati” juga

merupakan masalah hakiki bagi manusia sebagai makhluk hidup ciptaan

Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, dengan adanya perkembangan

teknologi biomedis yang begitu pesat, terutama dengan hadirnya “teknologi

respirator”, masalah “Hidup” dan “Mati” semakin problematik dan

dipertanyakan hakikatnya.

Sejak dahulu kala orang menetapkan mati dengan melihat berhentinya

pernafasan dan denyut jantung, yang sering disebut kematian klinis. Akan

tetapi, seperti telah disebutkan penemuan teknologi canggih seperti alat

respirator maupun alat pacu jantung, menggeser pengertian kematian

tersebut. Jantung yang berhenti dapat dipacu kembali dengan alat pacu

jantung dan fungsi pernapasan dapat ditunjang dengan alat respirator.

Dengan teknologi tersebut, maka apa yang menurut ukuran masa lalu

“seharusnya” orang sudah dikatakan mati, kini ia dapat bertahan hidup

walaupun secara “buatan”, yang sering disebut sebagai artificial life. Oleh

karena itu, seiring bertambahnya pengetahuan manusia, khususnya di

bidang medis, maka definisi kematian semakin berkembang sehingga

muncul berbagai istilah seperti mati suri, mati seluler, mati serebral, dan

lain-lain.

Tiap personal selalu menjalankan dan mengalami kodratnya sebagai

manusia, yang dalam hidupnya selalu ada interaksi antara satu dengan yang

lainnya (makhluk sosial). Dengan kata lain setiap manusia saling

berkomunikasi dan saling memberi tanggapan. Kemampuan itu merupakan

indikator prinsipil bagi nilai manusiawi. Tanpa ada kemauan berkomunikasi

atau memberi tanggapan, manusia tidak mungkin dapat merealisasikan

dirinya secara penuh.

1

Page 2: Refrat forensik.docx

Nilai khusus kehidupan manusia yang terletak dalam realitanya tadi,

adalah merupakan basis bagi eksistensi dan pengembangan manusia dalam

martabatnya itu. Maka dari itu, kehidupan manusia tidak boleh sekedar

dipakai untuk mencapai pelbagai tujuan. Tidak boleh terjadi pengobjekan

manusia yang satu oleh manusia yang lainnya, apalagi dengan dikedoki oleh

penerapan teknologi canggih, yaitu alat life support system, yang katanya

demi mempertahankan kehidupan pasien, padahal hanya untuk menjaga

agar alat tersebut tidak mubazir dan agar dapat memberikan keuntungan

ekonomis. Hal ini bertentangan dengan perlindungan hak pasien yang diatur

dalam undang-undang, seperti contohnya dalam UU No. 29 Tahun 2004

tentang Praktek Kedokteran yang menjelaskan bahwa pasien berhak

mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis yang

diperoleh dan hak pasien untuk mendapat pelayanan sesuai kebutuhan

medis, maka tindakan pengobjekan pasien merupakan pelanggaran terhadap

undang-undang.

Dewasa ini justru banyak sekali penyalahgunaan tentang pemasangan

dan pelepasan dari ventilator mekanis. Mengingat pentingnya penggunaan

ventilator mekanik ini untuk memperpanjang bahkan menyelamatkan nyawa

yang seharusnya sudah meninggal ini ternyata kerap menimbulkan

kontroversi. Misalnya saja keluarga yang meminta pencabutan ventilator ini

sama saja dianggap keluarga tersebut membunuh sang pasien karena alat

bantu hidupnya dicabut dengan berbagai alasan. Banyak sengketa juga

timbul dalam pemasangan ventilator itu sendiri.

Sekarang yang menjadi persoalannya adalah nilai kehidupan seorang

pasien yang dipertahankan hidupnya dengan alat life support system. Pasien

tersebut sudah dalam koma permanen dan tidak mungkin sadar kembali

yang berarti fungsi hakikinya (fungsi rohani) tidak dapat dipulihkan

kembali, akan tetapi pasien tersebut masih kuat hidup secara vegetative

(artificial); apakah masih layak kehidupannya terus dipertahankan secara

buatan itu? Apakah ada alasan untuk menuda-nunda terus kematiannya,

yang sebetulnya ajalnya sudah siap menjemputnya? Bukankah kematian

2

Page 3: Refrat forensik.docx

seseorang sudah pasti terjadi dan tidak dapat dihindari oleh siapapun dan

dengan cara apapun?

Mengingat masih banyaknya pertanyaan dan kontroversi yang terus

terjadi di masyarakat khususnya masyarakat Indonesia dimana bermacam-

macam hukum berlaku termasuk hukum agama, hukum kedokteran, hukum

pidana, perdata dan lain sebagainya, maka menjadi sangat penting bagi kita

untuk mempelajari tentang aspek medikolegal untuk pemasangan dan

pencabutan ventilasi mekanik.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi dan jenis-jenis dari ventilasi mekanik?

2. Apa saja indikasi pemasangan dan pencabutan ventilasi mekanik?

3. Bagaimana aspek medikolegal dari pemasangan dan pencabutan

ventilasi mekanik?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui aspek medikolegal pemasangan dan pelepasan

ventilasi mekanik.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui definisi, tipe-tipe dari ventilasi mekanik

2. Mengetahui secara umum mengenai indikasi pemasangan

dan pencabutan ventilasi mekanik

3. Mengetahui mengenai aspek medikolegal dan inform

consent pada penggunaan ventilasi mekanik

4. Mengetahui contoh standar prosedur operasi penggunaan

ventilasi mekanik di Rumah Sakit

1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari penulisan referat ini agar mengetahui dan

memahami aspek hukum yang mengatur pemasangan pelepasan alat

bantu nafas pada pasien rawat inap.

3

Page 4: Refrat forensik.docx

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Ventilasi Mekanik

2.1.1 Definisi

Ventilator mekanik merupakan alat pernapasan bertekanan negatif

atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen

dalam waktu yang lama. Bantuan ventilasi yang diberikan mesin ventilator

dapat berupa pemberian volume, tekanan, atau gabungan keduanya.1

Ventilasi mekanik dapat bersifat life saving pada pasien namun di sisi

lain terdapat komplikasi yang dapat terjadi seperti : ventilator associated

pneumonia (VAP), pneumothorax, cidera jalan napas, dan kerusakan

alveolus.2

2.1.2 Klasifikasi Ventilasi Mekanik

Ventilasi diklasifikasikan berdasarkan cara alat tersebut mendukung

ventilasi yaitu ventilator tekanan negatif dan ventilator tekanan positif.

1. Ventilator tekanan negatif

Ventilator ini memiliki prinsip mengeluarkan tekanan negatif pada

dada eksternal. Mesin tekanan negatif pertama, yaitu iron lung (drinker

and shaw tank) merupakan mesin tekanan negatif pertama yang

digunakan untuk ventilasi jangka panjang.

Ketika terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida antara aliran

darah dan permukaan alveolus secara difusi, udara harus dipindahkan ke

dalam maupun luar paru untuk membantu keseimbangan pertukaran gas.

Pada saat bernafas spontan, tekanan negatif diciptakan oleh rongga

pleura melalui otot otot pernafasan, sehingga gradien tekanan yang

terajadi antara tekanan atmosfer dan tekanan di dalam thorax

menghasilkan aliran udara ke dalam paru.

Pada iron lung, udara ditarik secara mekanik untuk membentuk

ruang vakum di dalam tanki, sehingga tekanan menjadi negatif. Tekanan

negatif tersebut akan menyebabkan terjadinya ekspansi dada, yang

menyebabkan turunnya tekanan intrapulmoner sehingga meningkatkan

4

Page 5: Refrat forensik.docx

aliran udara sekitar ke dalam paru. Ketika vakum dilepaskan, tekanan di

dalam tangki menjadi sama dengan sekitar, menyebabkan terjadinya

ekshalasi pasif dada dan paru. Ketika ruang vakum terbentuk, abdomen

pun mengembang seiring dengan pengembangan paru, membatasi aliran

darah balik vena ke jantung, sehingga menyebabkan terkumpulnya darah

vena di ekstremitas bawah. Dengan mengurangi tekanan intratoraks

selama inspirasi, memungkinkan udara mengalir ke dalam paru-paru

sehingga memenuhi volumenya. Ventilator tekanan negatif digunakan

terutama pada gagal napas kronik yang berhubungan dengan kondisi

neovaskular, seperti: polimielitis, distrofi muscular, sklerosis lateral

amiotrofik, dan miastenia gravis. Penggunaan ventilator jenis ini tidak

sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang kondisinya

membutuhkan perubahan ventilasi sering.3

2. Ventilator Tekanan Positif

Ventilator tekanan positif menggembungkan paru dengan

mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas dengan demikian

mendorong alveoli untuk mengembang selama inspirasi. Pada ventilator

jenis ini diperlukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi untuk

meningkatkan tekanan jalan napas. Tekanan positif ini akan membiarkan

udara mengalir ke dalam jalan napas hingga pernapasan melalui

ventilator dihentikan. Kemudian, tekanan jalan napas akan turun hingga

menjadi nol, dan dinding dada dan paru akan mendorong volume tidal di

dalamnya sehingga memicu udara pernapasan keluar melalui ekshalasi

pasif.

Ventilator ini secara luas digunakan pada klien dengan penyakit

paru primer. Terdapat tiga jenis ventilator tekanan positif, yaitu: tekanan

bersiklus, waktu bersiklus, dan volume bersiklus.

Ventilator tekanan bersiklus, merupakan ventilator tekanan positif

yang mengakhiri inspirasi ketika tekanan preset telah tercapai. Siklus

ventilator hidup mengantarkan aliran udara hingga tekanan tertentu yang

telah ditetapkan. Ketika tekanan tersebut seluruhnya telah tercapai, siklus

akan mati. Kerugian prinsip ini adalah jika perubahan pada

5

Page 6: Refrat forensik.docx

pengembangan paru, volume udara yang diberikan juga berubah,

sehingga tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan status paru yang

tidak stabil. Ventilator jenis ini digunakan hanya untuk jangka waktu

pendek di ruang pemulihan.

Ventilator waktu bersiklus merupakan ventilator yang mengakhiri

atau mengendalikan inspirasi setelah waktu yang telah ditentukan. Waktu

inspirasi ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas per

menit). Normal I/E = 1:2.

Ventilator volume bersiklus, merupakan ventilator yang

mengalirkan volume udara pada setiap inspirasi yang telah ditentukan.

Jika volume preset telah dikirimkan pada pasien, siklus ventilator mati

dan ekshalasi terjadi secara pasif. Keuntungan prinsip ini adalah

perubahan pada komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal

yang konsisten. Ventilator volume bersiklus sejauh ini adalah ventilator

tekanan positif yang paling banyak digunakan.

2.1.3 Tipe Ventilator2

Ventilasi dapat diberikan melalui:

1. Hand-controlled ventilation, seperti: bag valve mask, continous

flow atau kantung anestesi.

2. Ventilator mekanik, meliputi: ventilator transpor, ventilator ICU

dan NICU, ventilator PAP

2.1.4 Indikasi Pemasangan

Penggunaan ventilasi mekanik diindikasikan ketika ventilasi spontan

pada pasien tidak adekuat untuk memelihara kehidupannya.2,5 Ventilasi

mekanik juga diindikasikan sebagai profilaksis terhadap kolaps yang akan

terjadi dari fungsi fisiologis lainnya, atau pertukaran gas yang tidak efektif

di dalam paru.

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau

keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas. Pada pasien mati batang otak

jelas terdapat gagal napas bahkan tidak terdapat lagi napas spontan. Adapun

kondisi lain yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia

yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi keduanya. Indikasi

6

Page 7: Refrat forensik.docx

lainnya adalah pneumonia berat yang tetap hypoksemia walaupun sudah

diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK dimana

PaCO2 nya meningkat mendadak dan menimbulkan asidosis.

Contoh indikasi medis penggunaan ventilasi mekanik, yaitu:

1. Gagal Napas

Pasien dengan distres pernapasan gagal napas, henti napas (apneu),

maupun hipoksemia yang tidak teratasi dengan pemberian oksigen

merupakan indikasi ventilator mekanik. Idealnya, pasien telah mendapat

intubasi dan pemasangan ventilator mekanik sebelum terjadi gagal napas

yang sebenarnya. Distres pernapasan disebabkan ketidakadekuatan

ventilasi dan atau oksigenasi. Prosesnya dapat berupa kerusakan paru

(seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernapasan.

Gagal napas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu: gagal napas hipoksemia

dan gagal napas hiperkarbia. Gagal napas hipoksemia disebabkan oleh

kondisi-kondisi sebagai berikut, yaitu: edema paru, pneumonia,

perdarahan paru, dan respiratory distress syndrome yang menyebabkan

ketidaksesuaian antara ventilasi-perfusi dengan shunt. Gagal napas

hipoksemia ditandai dengan SaO2 arteri <90%, meskipun fraksi oksigen

inspirasi > 0.6.

Tujuan dari pemasangan ventilasi mekanik pada kondisi ini yaitu

untuk menyediakan saturasi oksigen yang adekuat melalui kombinasi

oksigen tambahan dan pola ventilasi tertentu sehingga meningkatkan

ventilasi-perfusi dan mengurangi intrapulmonary shunt.

Sedangkan, gagal napas hiperkarbia disebabkan oleh kondisi yang

menurunkan minute ventilation atau peningkatan dead space fisiologis

sehingga ventilasi alveolar menjadi tidak adekuat untuk memenuhi

kebutuhan metabolik. Kondisi yang berhubungan dengan gagal napas

hiperkarbia, yaitu: penyakit neuromuscular seperti miastenia gravis,

ascending polyradiculopathy, miopati, dan penyakit-penyakit yang

menyebabkan kelelahan otot pernapasan karena peningkatan kerja,

seperti: asma, PPOK, dan penyakit paru restriktif. Kondisi gagal napas

hiperkarbia ditandai dengan PCO2 > 50 mmHg dan pH arteri < 7.30.2,5

7

Page 8: Refrat forensik.docx

Hampir semua pasien gagal napas akut mengalami peningkatan

usaha napas, dan juga mengalami beberapa masalah lain: pertukaran gas

abnormal, gangguan perfusi otot, disfungsi otot yang diinduksi sepsis.

Pengurangan beban napas dapat memperbaiki hipoksemia dan

hiperkapnia. Gagal respirasi karena pneumonia, chronic obstructive

pulmonary disease (COPD), serangan asma akut, sindrom distres napas

akut.

2. Apneu

Apneu dengan henti napas, termasuk kasus akibat intoksikasi. Pasien

apneu, seperti pada kondisi kerusakan sistem saraf pusat katastropik,

membutuhkan tindakan yang cepat untuk pemasangan ventilator

mekanik. Tujuan penggunaan ventilator adalah mengembalikan

ventilasi.2,5

3. Syok

Semua jenis syok menyebabkan proses metabolik seluler yang akan

memicu terjadinya jejas sel, gagal organ, dan kematian. Syok akan

menyebabkan paling tidak tiga respon pernapasan, yaitu: peningkatan

ruang mati ventilasi, disfungsi otot-otot pernapasan, dan inflamasi

pulmoner. pasien dengan syok biasanya dilaporkan sebagai dispneu.

Pasien juga biasanya mengalami takipneu dan takikardi, asidosis

metabolik atau alkalosis respiratorik dengan beberapa derajat kompensasi

respiratorik.2,5

Pada pasien yang hemodinamiknya tidak stabil, perfusi jaringan

termasuk sistem saraf pusatnya terganggu, 2 tujuan penggunaan ventilasi

mekanik adalah mencapai jalan napas yang adekuat dan

menurunkanVO2. Dengan mengistirahatkan otot napas dan dilakukan

sedasi, ventilasi mekanik dapat menurunkan VO2 dan menurunkan tonus

simpatis. Efek ini dapat memperbaiki perfusi jaringan.6

4. Insufisiensi jantung

Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan

pernapasan primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF,

peningkatan kebutuhan aliran darah pada sistem pernapasan (sebagai

8

Page 9: Refrat forensik.docx

akibat peningkatan kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat

mengakibatkan jantung kolaps. Pemberian ventilator untuk mengurangi

beban kerja sistem pernapasan sehingga beban kerja jantung juga

berkurang.2

5. Disfungsi Neurologis

Pasien dengan GCS 8 atau kurang yang berisiko mengalami apneu

berulang juga mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu, ventilator

mekanik juga berfungsi untuk menjaga jalan napas pasien. Ventilator

mekanik juga memungkinkan pemberian hiperventilasi pada klien

dengan peningkatan tekanan intrakranial.2

Menurut Standard Operating Procedure Rumah Sakit di salah satu

rumah sakit di Pakistan, kriteria ekstubasi berupa :

1.Neurologikal

a.Sadar

b. Tidak ada sisa blok neuromuskular

c. Kooperatif

d. Dapat mengambil nafas secara dalam dan batuk

2. Jantung

a. Tekanan darah stabil

b. Pasien sebaiknya dalam low inotropic support

c. Tidak ada disritmia yang serius

3. Respirasi

a. Frekuensi napas 12-20 kali permenit

b. pH tidak <7.30

c. Maximum Inspiratory pressure (MIP paling sedikit 25cm H2O)

d. Rontgen : tidak ada bukti edema paru yang hebat atau konsolidasi

peripneumonic yang besar

e. Tidak adanya pneumothorax

4. Ginjal

a.Urine output tidak kurang darri 0.5ml/kg/jam

b. Tidak ada tanda dari kelebihan cairan

5. Suhu

9

Page 10: Refrat forensik.docx

a. Suhu inti antara 35-39˚C

b. Rentang suhu inti – perifer tidak > 5˚C

Sedangkan Protokol untuk Memulai Ventilatory Support adalah sebagai

berikut :

1. Jika terdapat ahli anestesi , dilakukan clinical assesment terlebih

dahulu sebelum memulai ventilatory support

2. Kriteria untuk memulai ventilatory support :

a. Frekuensi napas > 35 kali per menit

b. PCO2>60 mmHg pada kasus non-PPOK

c. PO2<50mmHg pada kasus non-sianotik heart disease

d. Tanda-tanda dari kelelahan otot

e. Berkeringat

f. Kegagalan metabolik

3. Persiapan intubasi

a. Ambu bag

b. Ukuran facemask harus tepat

c. Ukuran ETT di atas dan di bawah ukuran yang diprediksi harus

dipersiapkan

d. Ukuran blade laringoskop harus tepat

e. Suction kateter

f. Magill’s forceps

g. Jenis dari ETT

h. Preoksigenasi selama 3 menit

4. Ventilator sebaiknya diatur :

a. CVM untuk emergency ventilation dan mode diubah ke SIMV +

Pressure Support jika emergensi sudah selesai

b. Minute volume, 100ml/kg

c. Tidal Volume, 10 ml/kg

d. Frekuensi napas, 20 kali permenit saat awal dan disesuaikan

dengan umur dan kebutuhan ventilasi

e. Rasio I : E , 1:2

f. FiO2, 1

10

Page 11: Refrat forensik.docx

5. Sedasi secara dalam atau agen induksi dapat digunakan menurut

kebutuhan pasien

6. Jika terpasang NGT maka lakukan penyedotan isi lambung terlebih

dahulu

7. Berikan muscle relaxant dan ventilasi saat menerapkan cricoid

pressure

8. Konfirmasi posisi dari ETT, dan hubungkan dengan ventilator

9. Jika memungkinkan lakukan Analisis Gas Darah 10 menit sebelum

dan 10 menit sesudah pemasangan ventilator

10. Obat-obatan yang telah diberikan dapat dilanjutkan saat ventilatory

support

11. CPR trolley dan obat-obatan resusitasi harus dipersiapkan

12. Lakukan rontgen dada secepat mungkin

2.1.5 Efek Penggunaan Ventilasi Mekanik

Akibat tekanan positif pada rongga toraks, darah yang kembali ke

jantung terhambat, venous return menurun, sehingga cardiac output juga

menurun. Bila terjadi penurunan respon simpatis (misal, karena

hipovolemia, obat, dan usia lanjut), dapat mengakibatkan hipotensi. Darah

yang melalui paru juga berkurang karena ada kompresi mikrovaskular

akibat tekanan positif sehingga darah yang menuju atrium kiri berkurang,

akibatnya cardiac output juga berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi, dapat

terjadi gangguan oksigenasi. dada (kegagalan memompa udara karena

distrofi otot).5

Akibat cardiac output yang menurun, perfusi ke organ-organ lain pun

menurun, seperti pada hepar, ginjal, dengan berbagai akibat yang dapat

terjadi. Akibat tekanan positif di rongga toraks, darah yang kembali dari

otak terhambat sehingga tekanan intrakranial meningkat.7

2.1.6 Komplikasi Ventilasi Mekanik

Terdapat beberapa komplikasi ventilasi mekanik, yaitu:

1. Komplikasi yang terkait dengan airway: edema laring, trauma mukosa

trakea, kontaminasi saluran napas bawah, hilangnya fungsi kelembaban

pada saluran napas atas.

11

Page 12: Refrat forensik.docx

2. Komplikasi pada paru: ventilator-induced lung injury, barotrauma,

toksisitas oksigen, atelektasis, pneumonia nosokomial, inflamasi.

3. Komplikasi pada kardiovaskular: berkurangnya venous return,

berkurangya cardiac output, hipotensi.

4. Komplikasi pada gastrointestinal dan nutrisi: perdarahan

gastrointestinal, malnutrisi.

5. Komplikasi pada neuromuskular: peningkatan tekanan intrakranial.

6. Komplikasi pada keseimbangan asam basa: asidosis respiratorik,

alkalosis respiratorik.

2.1.7 Mencabut ventilasi

Mencabut ventilasi mekanis merupakan proses mengurangi bantuan

ventilasi, sehingga pasien dapat bernafas secara spontan dan dapat

diekstubasi. Proses ini dapat dicapai pada kebanyakan 80 % pasien saat

penyebab dari gagal nafas diketahui dan telah mengalami perbaikan.

Sedangkan pada kasus lain akan membutuhkan metode pencabutan ventilasi

yang lebih bertahap.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan pencabutan

ventilator mulai dari adakah kondisi awal yang mempengaruhi pasien,

apakah keadaan umum pasien dalam keadaan optimal, apakah pasien

mempunyai masalah saluran napas yang teridentifikasi atau terobati, dan

apakah napas adekuat. Penyebab dari gagal napas harus diidentifikasi dan

ditangani hingga tingkat yang stabil dan memungkinkan. Optimisasi dari

keadaan umum termasuk di dalamnya persiapan yang hati – hati sangatlah

penting karena pasien yang diintubasi ulang memiliki outcome yang sangat

buruk.

Pencapaian pelepasan intubasi juga memerlukan refleks saluran napas

yang baik termasuk batuk yang adekuat dan sekresi minimal. Tingkat

kesadaran yang adekuat juga dibutuhkan untuk mempertahankan keadaan

setelah ekstubasi. Adanya edema laringeal harus diketahui sebagai penyebab

sulitnya bernapas setelah eksubasi yang terjadi pada 10 hingga 15%. Faktor

resiko terjadi edema saluran napas setelah ekstubasi antara lain : alasan

pengobatan, intubasi yang sulit atau traumatik, ekstubasi sendiri, cuff

12

Page 13: Refrat forensik.docx

tracheal tube yang terlalu mengembang, dan intubasi yang terlalu panjang.

Tabel 1. Prekondisi umum untuk memulai weaning ventilator

Perbaikan dari penyebab utama pemakaian ventilator

Pasien sadar dan responsif

Analgesia baik, dapat batuk

Dosis minimal atau berkurangnya kebutuhan bantuan inotropik

Berfungsinya pencernaan, tidak ada distensi abdomen

Status metabolik normal

Konsentrasi hemoglobin adekuat

Dalam memprediksi berhasil atau tidaknya pecabutan ventilator,

sensitivitas dan spesifisitas juga perlu diperhatikan. Banyak petunjuk yang

memiliki sensitivitas baik namun memiliki spesifistas yang rendah. Petunjuk

tersebut antara lain :

1. Minute ventilation < 10 L/m

2. Kapasitas vital/berat > 10 ml/kg

3. Frekuensi respirasi < 35 bpm

4. Volume tidal/berat > 5ml/kg

5. Volume inspirasi maksimal < -25cm H2O

6. Pa0/Pa02 > 0,35

7. Tingat respirasi/volume tidal <100 /L

8. Pa0/Fi02 >200 mmHg

Dalam mencapai napas yang adekuat Spontaneous Breathing Trial

(SBT) merupakan suatu pendekatan yang sederhana dalam pencabutan

ventilator. Teknik orisinil yang ada adalah secara langsung memutuskan

hubungan antara pasien dengan ventilator melalui alat yang disebut T-piece.

Apapun jenis lain yang disebut Continous Positive Aiway Pressure (CPAP),

yang menjaga kapasitas fungsional residual, dan alat lain yang disebut

Pressure Support Ventilation (PSV) tingkat rendah untuk mengatasi

resistensi napas melalui sebuah tube endotracheal. Selain juga mencapai

13

Page 14: Refrat forensik.docx

keadaaan pasien agar siap saat diekstubasi, meningkatkan durasi SBT dapat

digunakan untuk mendapatkan proses pelepasan ventilator dan dapat

dilakukan tanpa harus memutuskan hubungan pasien dengan ventilator.

Ketika pasien siap untuk pencabutan, cara terbaik untuk mengetahui

mereka mampu bernapas sendiri adalah dengan melakukan SBT. Kemudian

dilanjutkan dengan proses ekstubasi. Penting juga untuk diberikan informasi

bahwa trakeostomi dapat dilakukan sewaktu-waktu.

Perlu juga diketahui bahwa banyak pasien yang tidak mampu

melewati SBT pada percobaan pertama, khususnya pada mereka dengan

beberapa komorbiditas, misalnya pada pasien tua yang diventilasi terlalu

lama. Pilihan ventilasi pada pasien pasien ini antara lain :

1. Trial T-piece

2. Synchronized intermittent mandatory ventilaltion (SIMV)

3. Pressure support ventilaltion (PSV)

Percobaan T piece meliputi periode-periode dimana ventilasi bantuan

secara gradual dirusak oleh peningkatan durasi SBT (ditingkatkan dua kali

sehari). Ketika pasien mampu menjaga kondisinya selama 2 jam tanpa

masalah, mereka dapat diekstubasi. Di bawah ini adalah kriteria-

kriterianya :

1. Respiratory rate >35 x/menit

2. SpO2 <90%

3. Heart rate >140 x/menit

4. Tekanan darah sistolik >180 atau <90 mmHg

5. Agitasi

6. Berkeringat

7. Kecemasan atau meningkatnya kerja napas

Sedangkan SIMV dilakukan dengan cara menurunkan mandatory rate

secara gradual (2-4 x/menit pada basis 2 x sehari atau lebih jika dapat

ditolerir). End point pada pasien SIMV ini adalah 4-5 /menit. Jika pasien

memenuhi kriteria makan pasien dapat diekstubasi. Pada kebanyakan

percobaan, SIMV merupakan metode paling efisien. Harus diperhatikan

bahwa pada trial ini tidak ada bantuan untuk pernapasan spontan antara

14

Page 15: Refrat forensik.docx

pernapasan mandatory yang dipicu. Ventilator moderen sering

mengkombinasi SIMV atau tekanan saluran napas positif bi-level dan

bentuk dari PSV.

Gambar 2.1 Alur Pemasangan Ventilator

Pasien yang dilakukan intubasi ulang memiliki komplikasi yang lebih

tinggi dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Ventilasi non invasif tidak

hanya mencegah intubasi pada beberapa pasien, namun juga memiliki peran

penting dalam mencegah intubasi ulang pada mereka yang gagal ekstubasi.

Pasien dengan PPOK, dan mereka yang dengan defisiensi imun dengan

infiltrat bilateral, memiliki jumlah intubasi dan tingkat mortalitas yang

rendah yang berkurang akibat penggunaan ventilasi non invasif.

15

Page 16: Refrat forensik.docx

Keuntungan juga didapat pada pasien dengan edema paru kardiogenik.

Kelebihan ventilasi non invasif sendiri jika dibandingkan dengan CPAP

masih harus dilakukan studi lebih lanjut.

2.2 Informed Consent

2.2.1 Definisi8

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor

290/Menkes/Per/III/2008, persetujuan tindakan medis (PTM) atau informed

consent adalah persetujuan yang diberikan pasien atau keluarga terdekat

setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran

atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Dari pengertian

di atas, informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter sebelum

melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun yang akan

dilakukan.

Dengan informed consent dimaksudkan bahwa pasien dengan bebas dan

tanpa dipaksa menyetujui suatu tindakan medis setelah dokter

menyampaikan informasi secukupnya tentang arti tindakan tersebut, risiko

yang terkandung di dalamnya, manfaat yang diharapkan, dan alternatif yang

tersedia. Persetujuan pasien dalam dunia medis dapat berlaku dalam bidang

diagnostik maupun terapeutik. Ide dasarnya adalah bahwa dokter

mempunyai pengetahuan dan keahlian medis, sedangkan pasien

membutuhkan pelayanan medis, adalah kaum awam dan umumnya tidak

mengerti seluk beluk pengobatan dan pemeriksaan kesehatan.

Persetujuan pasien dalam tindakan medis harus dimengerti sebagai

konsekuensi prinsip menghormati otonomi pasien. Setiap tindakan yang

dilakukan di bidang diagnostik dan terpeutik tanpa meminta persetujuan

pasien melanggar otonominya,

Beauchamp dan Childress membagi informed consent menjadi 7 unsur,

yaitu kompetensi, kebebasan, penyampaian informasi oleh dokter,

rekomendasi oleh dokter, pemahaman pasien, keputusan, dan otorisasi oleh

pasien.

Syarat pertama adalah kompetensi pasien. Seorang pasien dikatakan

kompeten bila ia bisa mengambil keputusan atas dasar alasan yang rasional,

16

Page 17: Refrat forensik.docx

sanggup mengerti prosedur, mempertimbangkan manfaat dan risiko, dan

mengambil keputusan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Bila pasien

tidak kompeten, ia dapat diwakili oleh seorang wali, disebut sebagai proxy

consent. Pasien yang dianggap tidak kompeten adalah anak, pasien sakit

jiwa, pasien tidak sadar, orang cacat mental dan sebagainya.

Biasanya wali itu adalah orang tua untuk anak di bawah umur, suami

untuk istri, istri unutk suami, dan sebagainya. Seorang wali harus kompeten,

memperoleh informasi secukupnya, dan juga memahami informasi itu.

Persetujuan juga harus diberikan demi kepentingan pasien, bukan demi

kepentingan wali atau pihak lain, dalam hal ini tidak boleh terjadi konflik

kepentingan dengan wali itu sendiri.

Jika terjadi situasi sulit di rumah sakit, di mana persetujuan atau

penolakan wali bertolak belakang dengan kepentingan pasien, Komisi Etika

Rumah Sakit dapat dilibatkan, sehingga keputusan para dokter dapat

diperkuat dan lebih obyektif. Dalam keadaan gawat darurat, tidak

dibutuhkan proxy consent bila keluarga terdekat tidak mungkin segera

dihubungi. Dokter harus bertindak semata-mata berdasarkan prinsip berbuat

baik. Kasus yang tergolong keadaan darurat, seorang dokter harus segera

berusaha menyelamatkan nyawa pasien tanpa izin dulu sekalipun.

Kebebasan dalam informed consent berarti bahwa seseorang dapat

mengambil keputusan tanpa paksaan atau penekanan berupa kekerasan,

ancaman, atau manipulasi. Kebebasan membuat keputusan menjadi pilihan

dari orang yang bersangkutan.

Dalam konteks pengobatan, informasi harus diberikan oleh dokter.

Berdasarkan pada informasi itu, pasien harus memperoleh pengetahuan

mengenai penyakitnya dan harus memperoleh pengetahuan tentang

penyakitnya dan harus dapat mempertimbangkan risiko dan manfaat

pengobatannya.

Isi informasi yang harus diberikan oleh seorang dokter biasanya

menyangkut lima hal berikut, yaitu keadaan medis pasien (hasil diagnosis

dan prognosis bila tidak diadakan pengobatan), prosedur atau pengobatan

yang dipertimbangkan, cara pengobatan lain yang memungkinkan, risiko

17

Page 18: Refrat forensik.docx

dan manfaat yang menyangkut pengobatan atau prosedur diagnositk tertentu

maupun alternatifnya, pandangan professional tentang pengobatan lain atau

alternatif bila ada. Dokter selalu harus memberi kesempatan kepada pasien

untuk bertanya, sebab hal ini merupakan salah satu cara untuk menghargai

otonomi pasien.

Rekomendasi oleh dokter seringkali disampaikan bersamaan dengan

penyampaian informasi. Bila dalam sebuah kasus ada pilihan beberapa

terapi, dokter akan mulai menjelaskan dulu terapi pertama yang mempunyai

preferensi dari sang dokter, kemudian setelahnya ia dapat menjelaskan

alternatif yang ada.

Informasi yang diberikan harus dapat dimengerti oleh pasien. Dokter

wajib menyampaikan informasi dengan bahasa sederhana, tidak terlalu

teknis atau berbelit-belit.

Untuk pemahaman informasi, pasien juga memiliki hak untuk meminta

second opinion tentang diagnosis atau terapi yang diusulkan, pada dokter

atau rumah sakit lain yang dipilih oleh pasien sendiri. Dokter dan rumah

sakit pertama harus selalu kooperatif.

Pengambilan keputusan setelah pemberian informasi, biasanya akan

diambil oleh pasien bersama dengan keluarga dan teman-temannya. Sering

juga terjadi bahwa dokter ikut berperan dalam pengambilan keputusan

tersebut, yang penting otonomi pasien tetap dipertahankan dan tidak boleh

adanya paksaan dalam bentuk apapun.

Pasien berhak untuk menolak bila tidak menyetujui tindakan yang akan

diambil oleh seorang dokter, dan keadaan penolakannya harus merupakan

informed refusal. Penolakan tersebut tidak memenuhi syarat bila pada

kenyataannya pasien menolak tindak medis karena ketidaktahuan atau

kurangnya pengetahuan.

Pengambilan keputusan dan otorisasi membentuk inti dari persetujuan.

JIka pasien akhirnya mengambil keputusan untuk menjalani operasi atau

tindak medis lainnya, secara teoritis masih terdapat kemungkinan ia

memilih dokter atau rumah sakit lain untuk melaksanakannya. Dalam hal

ini, pasien memberi wewenang atau otorisasi kepada dokter lain, bukan

18

Page 19: Refrat forensik.docx

kepada dokter yang menyampaikan informasi. Namun, biasanya dengan

mengambil keputusan langsung, berarti pasien memberi otorisasi kepada

dokter itu juga.

Persetujuan tindak medis harus diberikan secara tertulis terutama dalam

konteks pengobatan di rumah sakit karena ada efek hukumnya. Bila pasien

kompeten, sebaiknya pasien sendiri menandatangani formulir tersebut,

tetapi bila ia mau menyerahkan urusan formulir persetujuan kepada wali,

dokter atau rumah sakit dapat menerimanya.

2.2.2 Hakikat

1. Merupakan sarana legimitasi bagi dokter untuk melakukan intervensi

medik yang mengandung risiko serta akibat yang tidak menyenangkan.

2. Merupakan pernyataan sepihak. Maka yang menyatakan secara tertulis

hanya yang bersangkutan saja yang seharusnya menandatangani.

3. Merupakan dokumen yang tetap sah walaupun tidak memakai materai.

2.2.3 Bentuk Informed Consent

1. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)

Tindakan yang biasa dilakukan telah diketahui dan dimengerti

oleh masyarakat umum sehingga tidak perlu lagi dibuat dalam bentuk

tertulis. Misalnyapengambilan darah untuk laboratorium, suntikan atau

menjahit luka terbuka.

2. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)

Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu

melakukantindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien

sementara pasien dankeluarganya tidak dapat membuat persetujuan

segera. Misalnya dalam kasus sesak nafas, henti nafas atau henti

jantung.

3. Expressed Consent (Bisa lisan/tertulis bersifat khusus)

Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila

yang akandilakukan melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan

biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal, pencabutan kuku, tindakan

pembedahan/operasi atau pengobatan/tindakan yang bersifat invasif.

19

Page 20: Refrat forensik.docx

2.2.4 Dasar Hukum Informed Consent9,10

1. Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 pasal 45 tentang persetujuan

tindakan kedokteran.

2. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 pasal 53 tentang kewajiban

dan hak tenaga kesehatan, dan hak pasien

3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MENKES/PER/III/2008

tentang persetujuan tindakan kedokteran.

4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 pasal 56, 57, dan 58 tentang

Kesehatan.

5. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pasal 32

2.2.5 Ketentuan Persetujuan TindakAN Medis9,10

Ketentuan persetujuan tindakan medis berdasarkan SK Dirjen Pelayanan

Medik No.HR.00.06.3.5.1866 tanggal 21 April 1999, diantaranya :

1. Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan

prosedur (SOP) dan ditetapkan tertulis oleh pimpinan RS.

2. Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter

3. Informed consent dianggap benar apabila:

a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk

tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik.

b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa

paksaan.

c. Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh

seseorang (pasien) yang sehat mental dan memang berhak

memberikan dari segi hukum.

d. Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang

diperlukan.

4. Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan meliputi:

a. Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada

dilakukan (purhate of medical procedure)

b. Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan.

c. Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

20

Page 21: Refrat forensik.docx

d. Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko–

risikonya.

e. Tentang prognosis penyakit bila tindakan dilakukan.

f. Diagnosis

5. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan

Dokter yang melakukan tindakan medis

Apabila berhalangan dapat diwakilkan kepada dokter lain, dengan

diketahui oleh dokter yang bersangkutan.

6. Cara menyampaikan informasi dapat secara lisan maupun tulisan.

7. Pihak yang menyatakan persetujuan adalah:

a. Pasien sendiri yang berumur 21 tahun lebih atau telah menikah.

b. Bagi pasien yang berumur kurang dari 21 tahun dengan urutan hak:

Ayah atau ibu kandung.

Saudara-saudara kandung.

c. Bagi pasien yang berumur kurang dari 21 tahun yang tidak memiliki

orangtua atau berhalangan dengan urutan hak:

Ayah atau ibu adopsi.

Saudara-saudara kandung.

Induk semang.

d. Bagi pasien dengan gangguan mental dengan urutan hak:

Ayah atau ibu kandung.

Wali yang sah.

Saudara-saudara kandung.

e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan:

Wali.

Kurator.

f. Bagi pasien dewasa yang telah menikah atau orangtua:

Suami atau istri.

Ayah/ibu kandung.

Anak-anak kandung.

Saudara-saudara kandung.

8. Cara menyatakan persetujuan

21

Page 22: Refrat forensik.docx

Tertulis: mutlak pada tindakan medis risiko tinggi.

Lisan: tindakan tidak berisiko.

9. Jenis tindakan medis yang membutuhkan informed consent disusun

oleh komite medik yang ditetapkan oleh pimpinan RS.

10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh

keluarga pasien.

11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan

Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi dengan

perawat bertindak sebagai salah satu saksi.

Materai tidak diperlukan.

Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien.

Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis

dilakukan.

Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah

diberikan informasi.

Bagi pasien atau keluarga yang buta huruf dapat membubuhkan cap

jempol ibu jari tangan kanannya.

12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada

catatan pada rekam medisnya.

22

Page 23: Refrat forensik.docx

BAB III

KESIMPULAN

Ventilasi mekanik dapat bersifat life saving namun harus

dipergunakan sebagaimana mestinya sesuai indikasi yaitu ketika ventilasi

spontan pada pasien tidak adekuat untuk memelihara kehidupannya.

Ventilasi mekanik juga diindikasikan sebagai profilaksis terhadap kolaps

yang akan terjadi atau pertukaran gas yang tidak efektif di dalam paru.

Penggunaan ventilasi mekanik juga memiliki komplikasi pada sistem tubuh

lainnya.

Menyapih ventilasi mekanis merupakan proses mengurangi bantuan

ventilasi, sehingga pasien dapat bernafas secara spontan dan dapat

diekstubasi. Proses ini harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu,

keberhasilannya pun dapat diprediksi. Proses ini dapat dicapai pada

kebanyakan 80 % pasien saat penyebab dari gagal nafas diketahui dan telah

mengalami perbaikan.

Informed consent adalah persetujuan yang diperoleh dokter dari pasien

atau keluarga pasien sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau

tindakan medik apapun yang akan dilakukan. Beauchamp dan Childress

membagi informed consent menjadi 7 unsur, yaitu kompetensi, kebebasan,

penyampaian informasi oleh dokter, rekomendasi oleh dokter, pemahaman

pasien, keputusan, danotorisasi oleh pasien.

Isi informasi yang harus diberikan oleh seorang dokter biasanya

menyangkut lima hal berikut, yaitu keadaan medis pasien (hasil diagnosis

dan prognosis bila tidak diadakan pengobatan), prosedur atau pengobatan

yang dipertimbangkan, cara pengobatan lain yang memungkinkan, risiko

dan manfaat yang menyangkut pengobatan atau prosedur diagnostik tertentu

maupun alternatifnya, pandangan professional tentang pengobatan lain.

Dasar hukum yang menjadi dasar informed consent adalah Peraturan

Menteri Kesehatan nomor 290/MENKES/PER/III/2008, Undang-Undang

nomor 29 tahun 2004 pasal 45, Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal

23

Page 24: Refrat forensik.docx

56, 57, dan 58, Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 pasal 32, dan

Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 pasal 53.

24

Page 25: Refrat forensik.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al.

Harrison’s Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. New York :

McGraw-Hill Companies; 2008.

2. Byrd R. P. Mechanical Ventilation. Medscape. 2012.

http://emedicine.medscape.com/article/304068-overview#showall [5

Desember 2013]

3. Laghi F., Tobin M. J. Indications for Mechanical Ventilation. Di

dalam: Tobin M. J, editor. Principles and Practice of Mechanical

Ventilation. Ed ke-2. New York: McGraw-Hill. 2006. hlm 129-47.

4. Tobin M. J. Principles and Practice of Mechanical Ventilation. Ed

ke-2. New York: McGraw-Hill; 2006. hlm 148-51.

5. Jeremy Lermitte B.M., Mark J Garfield M. B. Weaning from

Mechanical Ventilator. Continuing Education in Anaesthesia,

Critical Care & Pain 2005: 5(4); 2005.

6. Janet M. Torpy. Mechanical Ventilation. Journal of the American

Medical Association 2013: 303(9); 902.

7. J-M. Boles, J. Bion, A. Connors, M. Herridgem B. Marsh, C. Melot,

et al. Weaning from Mechanical Ventilation. European Respiratory

Journal 2007: 29; 1033–56.

8. Bertens, K. 2011. Etika Biomedis. Cetakan ke-5. Penerbit Kanisius :

Jakarta.

9. http://hukumkesehatan.com/informedconsent.html

10. http://hukumkes.wordpress.com/category/hukum-kesehatan/page/2/

25

Page 26: Refrat forensik.docx

LAMPIRAN

UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 tentang

Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi

(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan

dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus

mendapat persetujuan.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah

pasien mendapat penjelasan secara lengkap.

(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-

kurangnya mencakup :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan

baik secara tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung

risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang

ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau

kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat

(3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Pasal 53 :

(1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam

melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

(2) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk

mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

(3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan

tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan

kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

26

Page 27: Refrat forensik.docx

(4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien

sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Pasal 56 :

(1) Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau

seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya

setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan

tersebut secara lengkap

(2) Hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tidak berlaku pada:

a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat

menular ke dalam masyarakat yang lebih luas

b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri atau

c. gangguan mental berat

(3)Ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan

Pasal 57 :

(1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya

yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan

kesehatan.

(2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:

a. perintah undang-undang,

b. perintah pengadilan,

c. izin yang bersangkutan,

d. kepentingan masyarakat, atau

e. kepentingan orang tersebut.

27

Page 28: Refrat forensik.docx

Pasal 58 :

(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,

tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang

menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam

pelayanan kesehatan yang diterimanya.

(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan

penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam

keadaan darurat.

(3)Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

Pasal 32 :  

(1) memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit

(2) memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien

(3) memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa

diskriminasi

(4) memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan

standar profesi dan standar prosedur operasional

(5) memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien

terhindar dari kerugian fisik dan materi

(6) mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang

didapatkan

(7) memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan

keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit

(8) meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada

dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di

dalam maupun di luar Rumah Sakit

(9) mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita

termasuk data-data medisnya

28

Page 29: Refrat forensik.docx

(10) mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara

tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan,

risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis

terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya

pengobatan

(11) memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan

dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang

dideritanya

(12) didampingi keluarganya dalam keadaan kritis

(13) menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang

dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya

(14) memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam

perawatan di Rumah Sakit

(15) mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit

terhadap dirinya

(16) menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan

agama dan kepercayaan yang dianutnya

(17) menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah

Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan

standar baik secara perdata ataupun pidana

(18) mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai

dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

29