refrat Inverted Papiloma Hidung

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat bagian THT-KLtumor jinak, tetapi terdapat hiperplasi epitel yang tumbuh dan masuk ke dalam jaringan stroma di bawahnya untuk kemudian membentuk kripte, dengan membrana basalis yang tetap utuh.

Citation preview

  • 0

    BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA

    HIDUNG DAN TENGGOROKAN REFERAT

    FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2015

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

    INVERTED PAPILLOMA HIDUNG

    OLEH

    Abdul Gafur Zulkarnain, S.Ked (10542 005909)

    Fadlilatul K Ladanu, S.Ked (10542 0076 09)

    PEMBIMBING

    Dr.dr. Nani Iriani Djufri, SpTHT-KL (K) FICS

    DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

    BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

    2015

  • 1

    HALAMAN PENGESAHAN

    Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

    Nama : Abdul Gafur Zulkarnain, S.Ked

    NIM : 10542 0059 09

    Nama : Fadlilatul Khair Ladanu, S.ked

    NIM : 10542 0076 09

    Judul Referat : Inverted Papiloma hidung

    Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik bagian Ilmu

    Telinga Hidung Tenggorokan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah

    Makassar.

    Makassar, Agustus 2015

    Pembimbing

    (Dr. dr. Nani Iriani Djufri, Sp.THT KL (K) FICS

  • 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Inverted papilloma merupakan tumor jinak yang berasal dari

    pseudostratified ciliated columnar epithelium regio sinonasal, umumnya dinding

    lateral rongga hidung kebanyakan pada meatus media, jarang dari septum nasi

    ataupun sinus paranasal. 1

    Papilloma inverted pertama kali didokumentasikan oleh Ward pada tahun

    1854 yang disebut Schnederian Papilloma. Tumor jinak ini diberi nama untuk

    menghormati C. Victor Schneider yang pada tahun 1600 menjelaskan mukosa

    nasal memproduksi cairan katar bukan menghasilkan cairan serebrospinal.

    Papilloma inverted menggambarkan kelompok lesi tumor jinak yang berasal dari

    permukaan mukosa traktus sinonasal. Papiloma inverted ini merupakan tumor

    jinak epitelial yang paling banyak ditemukan pada rongga hidung. 2

    Tumor ini masih jarang ditemukan 0,5%-4% dari seluruh tumor hidung

    dan sinus paranasal, menyerupai polip tetapi lebih padat bila dibandingkan polip

    nasi, biasanya bersifat unilateral. Insiden terjadi lebih banyak pada laki-laki

    dibandingkan perenpuan, dengan perbandingan 3:1. Umumnya terjadi padaa usia

    dekade 50-70 tahun dan rata-rata berusia 53 tahun. Akan tetapi, IP pernah

    ditemukan pada usia remaja dan anak-anak, dan usia yang lebih tua. 2

    Keberadaan human papiloma virus (HPV) telah dibuktikan pada beberapa

    laporan dengan frekuensi yang berbeda. Respler et al, menemukan DNA HPV 11

    pada 2 orang pasien mereka. Weber et al, menemukan DNA HPV pada 16 dari 21

  • 3

    pasien mereka.Weiner et al, menemukan DNA HPV 6 dan HPV 11 sebanyak 6,8

    % dari 69 kasus. 1

  • 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Anatomi dan fisiologi hidung

    a. Anatomi

    Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas

    kebawah:3

    1. pangkal hidung (bridge),

    2. dorsum nasi,

    3. puncak hidung,

    4. ala nasi,

    5. kolumela dan

    6. lubang hidung (nares anterior).

    Gambar 2.1 Anatomi Hidung Bagian Luar 3

  • 5

    Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang

    dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi

    untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang

    terdiri dari:3

    1. tulang hidung (os nasalis),

    2. prosesus frontalis os maksila dan

    3. prosesus nasalis os frontal

  • 6

    Gambar 1.2. Anatomi Kerangka Hidung 3

    Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang

    tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu:3

    1. sepasang kartilago nasalis lateralis superior,

    2. sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar mayor),

    3. beberapa pasang kartilago alar minor dan

    4. tepi anterior kartilago septum.

    Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan

    ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi

    kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi

    bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares

    posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan

    nasofaring.3

    Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat

    dibelakang nares anteriror, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi

    oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-

    rambut panjang yang disebut vibrise.3

    Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial,

    lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi.

    Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah

    lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan

  • 7

    krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah kartilago septum

    (lamina kuadrangularis) dan kolumela.3

    Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

    periostium pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh

    mukosa hidung. Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut

    ager nasi dan dibelakangnya terdapat konka-konka yang mengisi

    sebagian besar dinding lateral hidung.3

    Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan

    letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil

    adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan

    yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema disebut juga

    rudimenter.3

  • 8

    Gambar 2.3. Anatomi Hidung Bagian Dalam 3

    Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os

    maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan

    suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Di antara konka-konka

    dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut

    meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

    inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka

    inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada

    meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus

    medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga

    hidung. Pada meatus medius terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus,

    hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus semilunaris

    merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara

    sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.3

    Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka

    superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan

    sinus sfenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan

    dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap

    hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang

    memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.3

  • 9

    b. Perdarahan

    Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid

    anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika,

    sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.3

    Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang

    a.maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a.palatina mayor dan

    a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama

    n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung

    posterior konka media.3

    Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang

    a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-

    cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior dan

    a.palatina mayor, yang disebut pleksus Kiesselbach. Pleksus

    Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma,

    sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.3

    Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

    berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar

    hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus

    kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga

    merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi

    sampai ke intrakranial.3

  • 10

    c. Persarafan

    Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris

    dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris,

    yang berasal dari n.oftalmikus. Rongga hidung lainnya, sebagian besar

    mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

    sfenopalatina.3

    Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris,

    juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa

    hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila,

    serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-

    serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina

    terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.3

    Fungsi penghidu berasal dari Nervus olfaktorius. Saraf ini turun

    melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan

    kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

    olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3

    B. Histologi Hidung

    a. Mukosa Hidung

    Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan

    fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan

    mukosa penghidu (mukosa olfaktorius). Mukosa pernafasan terdapat

    pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh

  • 11

    epitel torak berlapis semu (pseudo stratified columnar epithalium)

    yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.3

    Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal

    dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa.

    Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu

    basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada

    permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan

    sel-sel goblet.3

    Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang

    penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam

    kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian

    mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan

    juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga

    hidung.3

    Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret

    terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan

    gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang

    berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. Di bawah epitel

    terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah,

    kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.3

    Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yang

    khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika

  • 12

    propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini

    memberikan pendarahan pada anyaman kapiler perigalnduler dan

    subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke

    rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh

    jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini

    mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan

    darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan

    susunan demikian mukosa hidung menyerupai suatu jaringan

    kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut.

    Vasodilatasi dan vasokontriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh

    saraf otonom.3

    Gambar 2 .Mukosa hidung 3

  • 13

    b. Silia

    Silia yang panjangnya sekitar 5-7 mikron terletak pada lamina

    akhir sel-sel permukaan eptelium dan jumlahnya sekitar 100 per

    mikron persegi, atau sekitar 250 per sel pada saluran pernapasan atas.

    Silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi

    sembilan pasang mikrotubulus, semuanya terbungkus dalam membran

    sel berlapis tiga yang tipis dan rapuh. Masing-masing silium terdiri

    dari suatu batang, ujung yang makin mengecil, dan korpus basalis.

    Tidak semua mikrotubulus berlanjut hingga ke ujung silia. Kedua

    mikrotubulus sentral tunggal tidak melewati bagian bawah permukaan

    sel. Namun, tepat dibawah permukaan sel, tiap pasang mikrotubulus

    perifer bergabung dengan mikrotubulus ketiga dalam korpus basalis,

    yaitu struktur yang ditemukan dalam sitoplasma apikal. Triplet ini

    terus berjalan turun ke dalam sitoplasma apikal sebagai radiks silia,

    dan perlahan-lahan menghilang.3

    Dalam hal melecut, masing-masing silia tidak hanya bergerak ke

    depan dan ke belakang seperti tangkai gandum di ladang. Tiap lecutan

    memiliki suatu fase dengan kekuatan penuh yang berlangsung cepat

    searah aliran di mana silium tegak dan kaku, yang dikuti suatu fase

    pemulihan yang lebih lambat dimana silium membengkok. Hubungan

    waktu antara fase efektif dan fase pemulihan tengah diteliti dengan

    percobaan memakai tikus. Rasionya adalah 1:3, yaitu fase efektif

  • 14

    memerlukan sepertiga dari waktu fase pemulihan. Lecutan itu

    bukannya tidak mirip kayuhan lengan perenang.3

    c. Area Olfaktorius

    Variasi antar individu yang besar mencirikan struktur regio

    penghidu; perbedaan ini dapat menyangkut ketebalan mukosa

    (biasanya sekitar 60 mikron) ukuran sel, dan vesikel olfaktorius. Pada

    manusia, epitel penhidu bertingkat toraks terdiri dari tiga jenis sel: (1)

    sel saraf bipolar olfaktorius; (2) sel sustentakular penyokong yang

    besar jumlahnya; dan (3) sejumlah sel basal yang kecil, agaknya

    merupakan sel induk dari sel sustentakuler.3

    Masing-masing sel olfaktorius merupakan suatu neuron bipolar.

    Dalam lapisan epitel, sel-sel ini tersebar merata di antara sel-sel

    penyokong. Sel-sel penghidu ini merupakan satu-satunya bagian

    sistem saraf pusat yang mencapai permukaan tubuh. Ujung distal sel

    ini merupakan suatu dendrit yang telah mengalami modifikasi yang

    menonjol di atas permukaan epitel, membentuk apa yang disebut

    vesikel olfaktorius. Pada permukaan vesikel terdapat 10 sampai 15

    silia non motil. Ujung proksimal sel mengecil membentuk suatu

    tonjolan yang halus berdiameter sekitar 0,1 mikron, yaitu aksonnya.

    Akson ini bergabung dengan akson lainnya membentuk saraf

    olfaktorius, yang menembus lamina kribriformis dan membentuk

    bulbus olfaktorius dimana terjadi sinaps dengan dendrit neuron kedua.

    Akson-akson neuron kedua mebentuk traktus olfaktorius, yang

  • 15

    berjalan ke otak untuk berhubungan dengan sejumlah nuklei, fasikuli

    dan traktus lainnya. Aparatus olfaktorius sentral merupakan struktur

    yang sangat kompleks.3

    C. Fisiologi Hidung

    Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional

    hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi irespirasi untuk mengatur

    kondisi udara (air conditioning) penyaring udara, humidifikasi,

    penyeimbangan dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik

    lokal; 2) fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan

    reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsifonetik

    yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan

    mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang; 4) fungsistatik

    dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma

    dan pelindung panas; 5) refleks nasal.4

    B. Definisi

    Inverted papilloma adalah tumor jinak primer dari hidung dan sinus

    paranasal yang jarang terjadi. Papilloma inverted merupakan tumor jinak yang

    berasal dari pseudostratified ciliated columnar epithelium regio sinonasal,

    umumnya dinding lateral rongga hidung kebanyakan pada meatus media,

    jarang dari septum nasi ataupun sinus paranasal.5

  • 16

    C. Epidemiologi

    Inverted Papilloma adalah tumor yang jarang yang mengenai kavum nasi,

    dengan jumlah 0,5 4 % dari semua tumor primer hidung. Laki laki 4 kali

    lebih sering terkena dibandingkan wanita. Insiden Inverted Papilloma

    diperkirakan sekitar 0,75 per 100.000 populasi setiap tahun. Rata-rata

    mengenai usia pada awal 60 tahun. Inverted papilloma jarang mengenai anak-

    anak dan dewasa muda. Paling banyak mengenai orang kulit putih

    dibandingkan ras-ras lainnya.6

    D. Etiologi

    Penyebab pasti inverted papiloma belum diketahui. Beberapa teori telah

    diajukan, meliputi alergi, inflamasi kronik dan karsinogen berhubungan dengan

    pajanan serta infeksi virus papiloma.7

    Alergi merupakan penyebab yang sudah agak ditinggalkan, dikarenakan

    pasien-pasien penderita papiloma inverted mempunyai riwayat alergi yang

    negatif, selain itu papiloma sinonasal biasanya unilateral.7

    Sinusitis paranasal sering ditemukan pada penderita inverted papiloma

    dan ini disebabkan oleh obstruksi tumor dibanding dengan menyebabkan

    terbentuknya tumor.8,9

    Beberapa virus telah lama dicurigai sebagai penyebab lesi-lesi neoplastik

    ini, dikarenakan virus-virus tersebut telah diketahui mempunyai kecenderungan

    membentuk papiloma-papiloma di berbagai organ tubuh. Virus Human

  • 17

    Papiloma (HPV) merupakan epiteliotropik virus yang berimplikasi pada

    kehamilan dan lesi malignansi pada traktus anogenital. Virus Human Papiloma

    (HPV) 11, HPV 6, HPV 16, dan HPV 18 telah dapat diidentifikasi pada

    papiloma inverted. Beberapa penelitian dengan menggunakan teknik hibridasi

    dan reaksi rantai polimerase memperlihatkan bahwa HPV 11 dan HPV 6

    berhubungan dengan banyak kasus papiloma tipe fusiform tetapi sangat jarang

    pada tipe silindrikal dan inverted.7

    E. Histopatologi

    Papiloma terbagi atas 3 subtipe histologi, yaitu : tipe inverted, tipe

    fungiform (everted) dan tipe silindrikal. Pada inverted papiloma didapatkan

    pola pertumbuhan endofitik yang hampir selalu ditemukan pada dinding

    lateral hidung, sedangkan pada papiloma fungiform mempunyai pola

    pertumbuhan eksofitik yang sering ditemukan pada septum nasi. Tipe

    silindrikal yang merupakan tipe terjarang disebut juga dengan papiloma

    onkotik.8

    Inverted papiloma seringnya terlihat seperti polip, tetapi biasanya lebih

    keras dan lebih mengandung komponen vaskular dibanding polip dengan

    tonjolan yang jelas yang berbentuk granular seperti buah mulberi. Terdapat

    variasi warna papiloma inverted dari merah, merah muda sampai pucat.

    Secara mikroskopik merupakan perselubungan penebalan epitelial dengan

    invasi yang luas dari epitel yang hiperplasti kedalam dasar dari stroma. Sifat

    invasi kedalam dasar stroma merupakan dasar teori asal dari terbentuknya

    membran Schneiderian.8 Tumor mengisi ruang bawah mukosa yaitu daerah

  • 18

    subepitelial dan terus membentuk hubungan ke permukaan epitelial dan

    disebut pertumbuhan inverted papiloma.8

    Secara histologis gambaran tumor adalah inversi dari epitel neoplastik

    kedalam stroma dibawahnya, melebihi proliferasinya kearah luar. Epitel

    neoplastik dapat berupa tipe respirator, transisional dan skuamosa dengan

    maturasi dan mitosis minimal dan adanya atipia secara umum. Mikrokistik

    mengandung musin adakalanya terperangkap dibawah permukaan dan

    terdapat suatu lapisan dasar yang memisahkan epitel inverted dari stroma

    dibawahnya. Epitel neoplastik akan berinvaginasi dan mengubah bentuk

    tulang, tetapi tidak menginvasinya jika tidak terdapat keganasan.8

    F. Manifestasi Klinis

    Gejala yang paling sering adalah sumbatan hidung unilateral (64-78%),

    diikuti oleh sakit kepala, epistaksis, nyeri wajah, bengkak periorbita, rinore

    purulent, sinusitis kronik, alergi, hiposmia, gangguan penglihatan dan

    meningitis. Beberapa pasien dapat tanpa gejala. Gejala-gejala ini menyulitkan

    para klinisi untuk membedakannya dengan proses inflamasi.

    Papiloma sering terjadi unilateral. Terdapat 3 sifat karakteristik klinis

    dari tumor tersebut yaitu : 1) cenderung timbul kembali. 2) Tumor mempunyai

    kapasitas destruksi pada jaringan dan struktur sekitarnya. 3). Tumor

    mempunyai kecenderungan menjadi ganas.8

    G. Pemeriksaan Fisik

    PEMERIKSAAN HIDUNG

    Beberapa pemeriksaan yang lazim dilakukan adalah :

  • 19

    1. Pemeriksaan luar

    Perhatikan bentuk dari septum nasi, apakah ditemukan adanya

    deviasi septum, apakah ada tanda tanda polip seperti frog nose

    fenomena, bibir bagian atas apakah ada tanda maserasi karena

    sekret dari sinus maksilaris, cari tanda tanda alergi seperti

    bayangan gelap di sekitar mata (Shinner), garis melintang di

    dorsum nasi (Crease) atau bekas garukan di dorsum nasi karena

    gatal (Sallute) dan cari apakah ada edema dan hiperemi pada fossa

    canina.

    Cari tanda krepitasi akibat fraktur septum nasi yang dapat

    menyebabkan obstruksi nasi, tekan dinding anterior sinus

    maksilaris dengan ibu jari ke arah mediosuperior, jika didapatkan

    perbedaan nilai, sinus yang lebih sakit adalah sinus yang patologis.

    Bila palpasi menimbulkan reaksi yang hebat dapat diganti dengan

    perkusi dengan jari telunjuk secara bersamaan tanpa alas jari 9,10

    2. Rhinoskopi anterior

    Merupakan suatu proses untuk melihat cavum nasi melalui vestibulum

    nasi. Alat yang diperlukan adalah lampu kepala, spekulum hidung dan

    larutan xylocain efedrin jika diperlukan untuk melebarkan cavum nasi.

    Pada pemeriksaan biasanya ditemukan massa polipoid unilateral

    yang mengisi kavum nasi dan menyebabkan obstruksi. Secara

    makroskopis inverted papiloma terlihat ireguler dan rapuh, jika

  • 20

    disentuh mudah berdarah. Warna papiloma merah keabu-abuan dan

    mengisi kavum nasi, meluas ke vestibulum juga ke nasofaring.

    Septum sering terdesak kearah sisi kontralateral. Proptosis dan

    pembengkakan muka kadang timbul sekunder akibat ekspansi lesi

    tumor.

    Konka media dan dinding medial sinus maksila merupakan tempat

    asal tumbuhnya inverted papiloma tersering. Pada kasus-kasus

    jarang tumor ini dapat terisolasi di sinus spenoid. Keterlibatan

    sinus-sinus paranasal dapat meningkatkan angka rekurensi.

    3. Rhinoskopi posterior

    Untuk melihat nasofaring dan bagian belakang kavum nasi dengan kaca

    nasofaring lewat orofaring. Diperlukan lampu kepala, lampu spiritus,

    spatula lidah dan kaca nasofaring, kadang diperlukan juga spray xylocain

    untuk penderita yang amat sensitif. Yang penting diperhatikan sehubungan

    dengan sinusitis adalah adanya sekret pada meatus media, adanya edema

    dan hiperemi dari konka media dan inferior serta adanya polip pada koane.

    9,10

    4. X foto rontgen sinus paranasalis

    Untuk memeriksa sinus frontalis maka dilakukan posisi Caldwell,

    sedangkan untuk sinus maksilaris dengan posisi Waters. Yang dievaluasi

    dari foto adalah :

    Hitam jernih berisi udara, normal

  • 21

    Suram putih ada cairan seperti nanah, darah atau tumor

    Dilihat apakah ada penebalan mukosa dan dekstruksi tulang 8

    Pemeriksaan X-foto hidung dan sinus paranasal dan sinuskopi sangat

    membantu dalam menangani inverted papiloma. 11

    5. Biopsi

    Mengambil sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi anatomi, pada

    sinus maksilaris dapat dilakukan melalui pungsi pada meatus inferior atau

    memakai cara Caldwell-Luc 8

    H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

    Pemeriksaan radiologi preoperatif mempunyai peran penting pada

    penatalaksanaan inverted papiloma untuk menentukan perluasan penyakit dan

    keterlibatan struktur yang berdekatan.11

    Tomografi komputer potongan aksial dan koronal merupakan pilihan

    untuk lesi intranasal. Dengan menggunakan tomografi komputer dapat

    dibedakan lesi papilomatous dengan penebalan mukoperiosteal, atau polip.

    Sekitar 75% pasien dengan papiloma menunjukkan tanda adanya berbagai

    macam derajat kerusakan tulang. Terdapatnya tanda hanya kerusakan tulang

    saja pada tomografi komputer bukan merupakan indikasi terjadinya

    perubahan kearah keganasan dari inverted papiloma.11

    Pemeriksaan endoskopik dan CT Scan hidung dan sinus paranasal

    merupakan gold standar untuk evaluasi inverted papiloma.11

  • 22

    Pemeriksaan X-foto hidung dan sinus paranasal dan sinuskopi sangat

    membantu dalam menangani inverted papiloma. Bila sinus maksila suram,

    pemeriksaan sinoskopi menentukan cara operasi yang akan diambil. 11

    I. DIAGNOSA

    Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histo-patologi. Biopsi tumor

    dapat diambil dari rongga hidung dan sinus maksila. 11

    J. TERAPI

    Terdapat berbagai macam penatalaksanaan pada lesi tumor jinak, mulai

    dari terapi medikmentosa, radioterapi dan terapi operasi. Namun dianjurkan

    hanya terapi pembedahan. 11

    1. Terapi pembedahan

    Para klinisi setuju pilihan terapi pada inverted papiloma adalah dengan

    pembedahan, tetapi sampai saat ini belum didapatkan sebuah konsensus

    untuk menentukan jenis dan sejauh mana intervensi operasi yang terbaik.

    Terdapat tiga tujuan operasi papiloma inverted, yaitu :

    Dapat membuka dengan cukup sehingga dapat mereseksi

    tumor keseluruhan.

    Operasi menghasilkan lapangan pandang yang baik

    sehingga memudahkan pengawasan pada kavitas pasca

    operasi.

    Meminimalisir deformitas kosmetik dan ketidakmampuan

    fungsional.

  • 23

    Luasnya jaringan yang terlibat, sifatnya yang lokal agresif dan eksisi yang

    tidak lengkap berhubungan dengan tingginya tingkat rekurensi, oleh

    karena itu reseksi en bloc dengan rinotomi lateral menjadi pendekatan

    standar. 11

    Pendekatan bedah dalam reseksi inverted papiloma dapat dikategorikan

    sebagai berikut : 11

    Pendekatan endonasal nonendoskopik

    Pendekatan eksternal terbatas (contohnya Caldwell Luc)

    Pendekatan eksternal radikal (contohnya maksilektomi

    medial via rinotomi lateral atau pendekatan midfasial

    degloving)

    pendekatan endoskopik endonasal.

    Krouse mengembangkan sistem staging berdasarkan temuan radiologi dan

    endoskopi preoperasi. Empat kelompok ini dimaksudkan untuk

    memprediksi prognosis, pendekatan operasi dan perluasan tumor.

    Pembagiannya terdiri dari : 11

    Tumor terbatas pada satu sisi kavum nasi tanpa perluasan ke sinus

    paranasal.

    Tumor melibatkan dinding medial sinus maksila, sinus etmoid

    dan/atau komplek ostiomeatal

    Tumor meluas ke superior, inferior, posterior, anterior atau dinding

    lateral sinus maksila, sinus frontal atau sinus spenoid

  • 24

    Tumor perluasan ke ekstrasinonasal atau tumor berubah ganas.

    Sistem ini secara primer berdasarkan lokasi dan perluasan dari

    papiloma inverted. Kategori ini sangat menolong pada perencanaan

    pendekatan bedah. Papiloma inverted kelompok

    dapat diangkat secara endoskopik tanpa reseksi tulang. Papiloma

    inverted pada kelompok

    pendekatan masih secara endoskopik dengan mereseksi stuktur

    tulang. Pada pasien dengan keterlibatan sinus frontal atau

    kelompok

    endoskopi masih bisa dipakai jika visualisasi memungkinkan,

    pendekatan maksilektomi medial bisa digunakan. Pada kelompok

    direkomendasikan open surgical untuk mendapatkan maksimal

    eksposur. 11

    Teknik Pembedahan

    Lateral rhinotomy approach

    Lateralis rhinotomy dimulai dengan membuat sayatan lengkung

    antara commissura palpebrarum medialis dan dorsum nasi. Prosedur ini

    dimulai dengan membuat insisi dari bawah ujung medial alis, kemudian

    memperpanjang sayatan inferior tersebut di antara commissura

    palpebrarum medialis dan dorsum nasi dan sepanjang alur dalam hidung-

    pipi yang berdekatan dengan ala nasi. Kemudian,sayatan diarahkan naik ke

    bagian lantai hidung. Sayatan tersebut setebal kulit ke periosteum. Sebuah

  • 25

    insisi W-atau Z-plasty dapat digabungkan ke dalam regio commissura

    palpebrarum medialis untuk membantu mencegah terjadinya postoperative

    webbing dari jaringan lunak. 8

    Setelah sayatan kulit dibuat, angkat periosteum untuk mengekspos

    dinding medial orbita, dinding anterior maksilla hingga foramen

    infraorbita, dan apertura pyriformis. Tulang hidung dapat ditarik kembali

    ke medial setelah osteotomy medial dan lateral dilakukan. Untuk sampai

    pada tahap reseksi en blok, osteotomy dilakukan melalui aspek inferior

    dan anterior dinding medial maksilla, kemudian melalui dinding medial

    dari orbita yang lebih rendah dari sutura frontoethmoid, dan melalui tepi

    bawah orbita dan lantai orbita. Dengan menghubungkan osteotomy ini,

    spesimen dapat dipindahkan dengan menggunakan gunting mayo

    melengkung, yang dapat digunakan untuk memisahkan spesimen dari

    dinding posterior sinus maksila. 8

    Untuk maxillectomy sebelah medial, termasuk daerah fossa

    lacrimalis, tepi infraorbital, dan resessus prelacrimal dari sinus maksilaris,

    bagilah dinding hidung lateral sepanjang lantai hidung. Kemudian potong

    konka medial dibawah sisi yang menempel pada bagian atas, dan

    keluarkan secara utuh seluruh dinding lateral setelah dilepaskan dari tepi

    infraorbita. 8

    Untuk menghindari epiphora, yang merupakan komplikasi umum

    pasca operasi dari prosedur ini, selalu disertakan dacryocystorhinostomy.

  • 26

    Dacryocystorhinostomy dapat dilakukan dengan kateterisasi dari duktus

    lakrimal dengan menggunakan tabung silicon indweeling (Guibor tube)

    atau dengan melakukan insisi vertikal sakkus lacrimalis dan menjahit

    ujung-ujungnya ke jaringan sekitarnya. 8

    commissura palpebrarum medialis biasanya dipindahkan dari

    insersinya dan harus diperbaiki untuk mencegah telecanthus yang tak

    sedap dipandang. Posisi tendon yang tinggi (melekat pada periosteum)

    menunjukkan bahwa itu adalah posisi normal yang terjadi setelah

    penutupan periosteum yang dilakukan secara hati-hati. Kadang, dapat

    terjadi transeksi tendon dan hal tersebut harus ditandai, dan diperkirakan

    pada akhir prosedur. Transnasal wiring diperlukan jika krista lacrimalis

    dan tulang yang berdekatan terlibat dalam reseksi tersebut.

    Midfacial degloving approach

    Sebuah pendekatan alternatif, serbaguna, dan yang dianjurkan adalah

    Midfacial degloving untuk eksisi total Inverted Papiloma. Cara ini

    meliputi pengangkatan jaringan lunak dari bagian tengah wajah dengan

    menggunakan insisi sublabial. 8

    Empat jenis sayatan yang diperlukan dalam degloving midfacial:

    1. bilateral intercartilaginous insisi,

    2. insisi penusukan lengkap septocolumellar,

    3. bilateral insisi sublabial dari tuberositas maksilaris ke tuberositas, dan

    4. bilateral pyriform insisi aperture memperluas ke vestibulum.

  • 27

    Insisi ini memfasilitasi eksposur apertura pyriformis dan dinding hidung

    lateral.

    Keuntungan dari pendekatan ini adalah tidak ada jaringan parut eksternal,

    visibilitas yang baik saat operasi, dan eksposur bilateral bersamaan. Selain

    itu, tingkat kekambuhan inverted papiloma yang diangkat dengan

    menggunakan prosedur degloving midfacial ini sama dengan rhinotomy

    lateral dan medial maxillectomy. Sebagaimana rhinotomy lateral,

    degloving midfacial dapat dikombinasikan dengan craniofacial approach

    untuk mengobati lesi dasar tengkorak atau fosa kranial anterior. 8

    Keterbatasan utama dari pendekatan degloving midfacial adalah ketika

    diperlukan pembedahan untuk tumor yang lebih luas yang menyerang sel-

    sel ethmoid supraorbital atau sinus frontal, yang memerlukan insisi yang

    terpisah. Septum translokasi melalui insisi sublabial adalah pendekatan

    lain yang berbagi kelebihan dari degloving midfacial, yaitu memberikan

    lapang pandang yang luas saat operasi dan hasilnya tanpa jaringan parut

    eksternal. 8

    Endoscopic medial maxillectomy

    Tumor yang menyebar dari meatus media ke dalam sinus

    maksilaris atau yang berasal dari dinding medial sinus maksilaris harus

    ditangani dengan TEMM (transnasal endoscopic medial maxillectomy)

    yang meliputi reseksi duktus nasolacrimal untuk memungkinkan adanya

    pengangkatan lengkap maxilla sebelah medial. Sebuah penelitian anatomi

  • 28

    terbaru mengungkapkan bahwa 65% dari volume sinus maksilaris jatuh di

    bawah menempelnya konka inferior dinding hidung lateral, dan kanalis

    nasolacrimal membatasi visualisasi dan akses ke dinding sinus lateral dan

    maksilla anterior. Hal ini merupakan dasar untuk TEMM ketika sinus

    maksilaris yang terlibat oleh tumor. 8

    Gambar 5: Sagittal illustration of transnasal endoscopic medial maxillectomy (TEMM) shows the resected

    lateral nasal wall. Note the cavity of the maxillary sinus (M), resected ethmoid sinuses (E), nasolacrimal duct

    (NLD), sphenopalatine artery (SPA), and tumor (T). 8

    Setelah anestesi general diberikan, lakukan decongestion intranasal

    dengan 2% topikal oxymetazoline. Melalui mulut, masukkan 1% lidokain

    dengan epinefrin 1:100.000 ke foramen sphenopalatina. Suntikkan obat

    intranasal sepanjang dinding meatus inferior ke konka, sepanjang krista

    maksila, hingga insertio konka medial dan ke dalam tumor. Buat insisi

    pertama sepanjang tepi reseksi superior yang meliputi ethmoid seperti

    yang terlihat pada gambar di bawah. Terapkan kauterisasi bipolar,

  • 29

    kemudian potong insersio konka media pada dinding hidung lateral

    dengan gunting endoskopi. 8

    Gambar 6: Superior cut

    in transnasal endoscopic

    medial maxillectomy

    (TEMM) going through the

    anterior ethmoids (AE) along

    the ethmoid roof. Central

    circle shows the endoscopic

    view and the semitranslucent

    peripheral circle is the bird's-

    eye view to show the

    context. Image shows the

    middle turbinate (MT),

    nasolacrimal duct (NLD), Tumor (T), nasal septum (S), and inferior turbinate (IT). 12

    Dengan menggunakan lift Freer, lakukan pembedahan sepanjang atap

    ethmoid sampai rostrum sphenoid. Identifikasi arteri ethmoid, dan kauter

    arteri tersebut dengan kauter bipolar. Selanjutnya, melakukan reseksi

    inferior, seperti yang terlihat pada gambar di bawah, pada meatus inferior.

    Potong mukosa dengan perangkat elektrokauter pada sambungan dinding

    lateral dan lantai kavum nasi. Lakukan meatotomy inferior pada ujung

    anterior meatus. Dengan menggunakan osteotome lurus, potong meatus

    inferior sampai ke dinding posterior sinus maksila. 8

  • 30

    Gambar 7 : Inferior

    incision in transnasal

    endoscopic medial

    maxillectomy (TEMM) through

    the mucosa and soft tissue to

    expose the bone for osteotomy.

    Broken line illustrates the

    position of the inferior

    osteotomy. Image shows the

    nasal floor (NF), septum (S),

    the anterior head of inferior

    turbinate (IT), nasolacrimal

    duct (NLD)), and tumor (T). 12

    Reseksi anterior, seperti yang terlihat pada gambar di bawah, meliputi

    potongan dilakukan bagian inferior dari insersio anterior konka media

    untuk mencakup prosesus uncinate dan krista maksila. Potongan

    dilanjutkan anterior caput konka inferior untuk terhubung ke pemotongan

    meatotomy inferior. 8

    Gambar 8 : Anterior mucosal incision

    and osteotomy in transnasal endoscopic

    medial maxillectomy (TEMM) connecting

    the superior and the inferior cuts. Bony

    nasolacrimal duct is osteotomized to expose

    the duct (NLD). Image shows the nasal floor

    (NF), inferior turbinate (IT), septum (S),

    ethmoid sinuses (ES), and tumor (T). 12

  • 31

    Setelah jaringan lunak terangkat, lakukan osteotomy anterior sepanjang

    krista maksilaris ke dalam sinus maksilaris. Kemudian, memotong saluran

    nasolacrimal dengan gunting endoskopi dan meliputi saluran pada

    spesimen. Mobilisasi dinding lateral ke medial dengan diseksi progresif

    sampai pedicled pada arteri sphenopalatina (seperti terlihat pada gambar di

    bawah). Demikian juga, memobilisasi setiap tumor di sinus . 8

    Gambar 9 Posterior cuts in transnasal

    endoscopic medial maxillectomy

    (TEMM). The nasolacrimal duct (NLD) is

    transected to allow medialization of the

    lateral nasal wall and to expose the

    maxillary sinus. Posterior cuts are

    completed in the maxillary sinus. The

    sphenopalatine artery is exposed.

    Semitranslucent bird's-eye view illustrates

    the ethmoid sinuses (ES) along with the

    lateral nasal wall that is medialized with

    the tumor (T). Image also shows the ethmoid roof (ER), nasal floor (NF), and sphenoid ostium (SO).

    Klip, kauter, dan potong arteri sphenopalatina. Potong insersio posterior

    konka inferior, dan lepaskan dinding lateral bersama dengan tumor. Buang

    sisa mukosa ethmoid ke superior, dan lateral jika diperlukan, untuk kontrol

    margin, dan buang lapisan dari sinus maksilaris jika diperlukan untuk

    pengendalian margin. Jika diperlukan, lamina papyracea dan dinding

    medial orbit berdekatan bisa diangkat. Dengan menggunakan scopes 30

    dan 70 , lapisan seluruh dinding superior dan lateral sinus maksilaris

  • 32

    dapat divisualisasikan, dan mukosa dapat dihilangkan untuk

    membersihkan potensial penyakit multisentrik. Dinding anterior dari sinus

    sphenoid dapat dengan mudah direseksi jika diperlukan.

    2. Radioterapi

    Radioterapi masih dapat digunakan pada pengobatan lanjutan dan

    adanya agresifitas biologikal papiloma inverted pada traktus sinonasal atau

    pada pasien pasca operasi radikal dengan tingkat morbiditas yang berat.

    Tetapi terapi ini umumnya tidak diindikasikan untuk pengobatan pada lesi

    papiloma yang jinak. Radioterapi tidak efektif untuk pengobatan papiloma

    inverted, serta dapat menyebabkan kemungkinan resiko perubahan kearah

    keganasan pada lesi jinak yang lain.