86
UNSTABLE ANGINA PECTORIS ACUTE ON CHRONIC HEART FAILURE ATRIAL FIBRILASI LEFT BUNDLE BRANCH BLOCK Oleh : I.G.A Putra Mahautama (H1A 008 020 ) Mirats Izzatul Millah (H1A 007 038) Pembimbing dr. Yusra Pintaningrum, Sp.JP DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM / SMF JANTUNG RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB UNIVERSITAS MATARAM

Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Citation preview

Page 1: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

UNSTABLE ANGINA PECTORIS

ACUTE ON CHRONIC HEART FAILURE

ATRIAL FIBRILASI

LEFT BUNDLE BRANCH BLOCK

Oleh :

I.G.A Putra Mahautama (H1A 008 020 )Mirats Izzatul Millah (H1A 007 038)

Pembimbing

dr. Yusra Pintaningrum, Sp.JP

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM / SMF JANTUNG

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

UNIVERSITAS MATARAM

2013

Page 2: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini banyak penyakit yang bisa menyebabkan seorang pasien dirawat di sebuah rumah

sakit, salah satu penyakit yang memiliki angka kejadian tinggi untuk membuat pasien dating

berobat ke rumah sakit adalah sindroma koroner akut. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan

spectrum kegawat daruratan koroner yang terdiri dari (1). Infark miokard dengan elevasi segmen

ST (STEMI), (2). Infark moikard tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), (3). Angina pektoris tak

stabil (UAP) (Bassand, 2007).

Sindroma koroner akut juga merupakan suatu kejadian koroner dengan mortalitas tinggi,

perlu penangananan cepat, cermat, dan tepat, baik diagnostik maupun terapi non-invasif serta

invasive. Penanganan yang tidak terlambat dan tidak tepat sering berujung pada timbulnya

penyakit gagal jantung (Terkelsen, 2005).

Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala) yang ditandai oleh

sesak napas dan fatigue (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur

atau fungsi jantung. Gagal jantung ini telah menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia

sekaligus penyebab signifikan pasien dirawat di rumah sakit dengan menghabiskan biaya

yang tinggi. Prevalensi gagal jantung di Amerika dan Eropa sekitar 1-2 %. Diperkirakan

bahwa 5,3 juta warga Amerika saat ini memiliki gagal jantung kronik dan setidaknya da

550.000 kasus gagal jantung baru didiagnosis setiap tahunnya. Prevalensi ini meningkat

seiring pada populasi tua, dimana mempengaruhi 6-10% individu yang berumur lebih dari

65 tahun. (Panggabean, 2009)

Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan merupakan

penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung (Maggioni). Diperkirakan

hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki.

Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 perseribu penderita pertahun.

Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin bertambahnya

usia harapan hidup dan berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan

perbaikan harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung (Santoso, 2007).

Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta tidak

spesifik dan sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal penyakit. Perkembangan terkini

Page 3: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta perkembangan pengobatan yang

memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup, penurunan angka perawatan, memperlambat

progresifitas penyakit dan meningkatkan kelangsungan hidup (Santoso, 2007).

Pada Laporan Kasus ini di uraikan pasien dengan Acute on Chronic Heart Failure,

Paroxismal Atrial Fibrilasi, Left Bundle Branch Block, dimana faktor etiologi pada pasien ini

diperkirakan adalah Unstable Angina Pectoris. Pada laporan kasus ini juga diuraikan tinjauan

pustaka terkait kelainan - kelainan yang didapatkan untuk mempermudah pembaca dalam

memahami kelainan jantung tersebut.

Page 4: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

BAB IILAPORAN KASUS

I DENTITAS Nama : Iq. AUsia : 70 tahunJenis kelamin : PerempuanAlamat : Aik Gamong - Praya BaratSuku : SasakBangsa : IndonesiaAgama : IslamStatus : MenikahPendidikan terakhir : SDPekerjaan : Tidak BekerjaNo. RM : 511134MRS : 25 April 2013Tanggal pemeriksaan : 26 April 2013

SUBJECTIVEKeluhan Utama : Sesak NapasRiwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluh sesak napas sejak pukul 08.00 wita (25 April 2013) saat pasien sedang istirahat. Sesak dirasakan terus menerus dan semakin memberat hingga pasien dibawa ke rumah sakit. Sesak tidak disertai bunyi 'ngik' dan tidak dipengaruhi debu, cuaca, maupun emosi. Sesak berkurang dengan posisi duduk. Pasien mengaku lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Sejak pasien mengalami sesak, pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Sebelumnya pasien pernah mengalami sesak sejak 1 bulan yang lalu, namun masih bisa beraktivitas sehari-hari.

Sesak disertai dengan nyeri dada kiri, yang terasa seperti tertindih beban berat. Nyeri dirasakan menjalar sampai ke punggung, namun tidak

Page 5: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

menjalar sampai ke lengan kiri. Nyeri dada berlangsung lebih dari 30 menit dan bersifat terus menerus. Berdebar-debar dan keringat dingin juga dialami pasien. Pasien merasa cepat lelah meskipun hanya berjalan sedikit saja. Pasien tidak pernah terbangun di malam hari karena sesak dan tidak mengalami bengkak pada kedua kaki.

Keluhan batuk, demam, mual, dan muntah disangkal. Pasien tidak

mengalami penurunan berat badan. Nafsu makan tidak berkurang. BAB dengan frekuensi 1 kali

sehari, warna kuning, tanpa disertai darah ataupun nyeri saat BAB. BAK dengan frekuensi lebih

dari 5 kali sehari, warna kuning jernih, tanpa disertai nyeri dan darah.

Riwayat Penyakit DahuluSatu tahun yang lalu, pasien pernah mengalami sakit jantung, dan sempat di rawat di RSUD Gerung selama 6 hari. Riwayat hipertensi (-), asma (-), diabetes mellitus (-), riwayat keganasan (-), dan riwayat batuk lama (-).

Riwayat Penyakit KeluargaTidak ada anggota keluarga yang mengeluh hal serupa. Tidak ada riwayat HT, DM, asma ataupun batuk lama dalam keluarga pasien.

Riwayat PengobatanPasien langsung dibawa ke RSUD Gerung saat sesak napasnya memberat, beberapa jam setelah itu pasien kemudian dirujuk ke RSUP NTB.

Riwayat Pribadi dan SosialPasien adalah seorang ibu rumah tangga, yang sudah lama berhenti bekerja. Pasien tidak pernah merokok, minum kopi, mengkonsumsi jamu-jamuan, atau obat-obatan tertentu.

OBJECTIVEPEMERIKSAAN FISIKStatus Generalis

Page 6: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Keadaan umum: sedang Kesadaran: compos mentis / GCS: E4V5M6

Kesan sakit: sedang Status gizi:

BB: ± 40 kg, TB: 150, (BMI = 17) underweight Vital Signs:

Tekanan darah : 130/90 mmHgNadi : 150 x/menit, teratur dan kuat angkatFrekuensi nafas : 32 x/menit, teratur, tipe torakoabdominalSuhu : 36 ºC, aksiler

Status LokalisKepala Ekspresi wajah : normal Bentuk dan ukuran : normal Rambut : normal Edema (-) Malar rash (-) Parese N VII (-) Hiperpigmentasi (-) Nyeri tekan kepala (-) Massa (-)

Mata Simetris Alis : normal Exopthalmus (-/-) Ptosis (-/-) Nystagmus (-/-) Strabismus (-/-)

Page 7: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Edema palpebra (-/-) Konjungtiva: anemis (-/-), hiperemia (-/-) Sclera: icterus (-/-), hyperemia (-/-), pterygium (-/-) Pupil : isokor, bulat, miosis (-/-), midriasis (-/-) Kornea : arcus senilis (+/+) Lensa : normal, katarak (-/-) Pergerakan bola mata ke segala arah : normal Nyeri tekan (-)

Telinga Bentuk : normal simetris antara kiri dan kanan Lubang telinga : normal, secret (-/-) Nyeri tekan (-/-) Peradangan pada telinga (-) Pendengaran : menurun

Hidung Simetris, deviasi septum (-/-). Napas cuping hidung (-/-). Perdarahan (-/-), secret (-/-). Penciuman normal.

Mulut Bibir : sianosis (-), stomatitis angularis (-), pursed lips breathing (-). Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-). Lidah: glositis (-), atropi papil lidah (-), lidah berselaput (-), kemerahan di

pinggir (-), tremor (-), lidah kotor (-). Gigi : tidak lengkap Mukosa : normal.

Leher

Page 8: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Kaku kuduk (-). Scrofuloderma (-). Pembesaran KGB (-). Pembesaran otot sternocleidomastoideus (+). Penggunaan otot bantu nafas SCM (+). Pembesaran kelenjar thyroid (-).

Thorax1. Inspeksi:

Bentuk & ukuran: pigeon chest (+), barrel chest (-). Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-),

spider naevi (-), vena kolateral (-), massa (-). Penggunaan otot bantu nafas: SCM aktif, hipertrofi SCM (+), otot bantu

abdomen aktif Iga dan sela iga: retraksi pada sela iga sinistra, tidak simetris,

penyempitan ICS (-/+) Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: simetris kiri dan kanan.

Fossa jugularis: berada di tengah. Tipe pernapasan: torako-abdominal Ictus cordis: tampak, di ICS VI linea axilaris anterior sinistra.

2. Palpasi: Trakea: deviasi (-) Nyeri tekan (-), benjolan (-), edema (-), krepitasi (-), thrill (-). Gerakan dinding dada: simetris. Fremitus vocal: +/+, simetris. Ictus cordis teraba di ICS VI linea axilaris anterior sinistra.

3. Perkusi: Sonor (+/+). Batas paru-hepar Inspirasi: ICS VIII, Ekspirasi: ICS VII, Ekskursi: 1 ICS Batas paru-jantung:

o Kanan: ICS II linea parasternalis dekstra

Page 9: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

o Kiri: ICS VI linea axilary anterior sinistra4. Auskultasi:

Cor: S1 S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-) Pulmo:

Vesikuler (+/+) Suara napas tambahan: rhonki (+/+), wheezing (-/-)

Abdomen1. Inspeksi:

Distensi (-) Umbilicus: masuk merata Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-),

ikterik (-), massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-), petekie (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-)

2. Auskultasi: Bising usus (+) normal, 14x/ menit Metallic sound (-) Bising aorta (-)

3. Perkusi: Timpani pada seluruh lapang abdomen (+) Nyeri ketok (-) Shifting dullness (-) Nyeri ketok CVA (-/-)

4. Palpasi: Nyeri tekan (-), massa (-) Hepar/lien/ren: tidak teraba Tes Undulasi (-)

Ekstremitas1. Akral hangat : + + + +

Page 10: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

2. Edema - - - -

3. Deformitas - -- -

4. Sianosis - - - -

5. Clubbing finger - - - -

Genitourinaria: tidak dievaluasi

Page 11: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

RESUMEPasien mengeluh sesak napas saat pasien sedang istirahat, yang

dirasakan terus memberat. Sesak berkurang dengan posisi duduk. Pasien mengaku lebih nyaman tidur dengan 2 bantal. Sejak pasien mengalami sesak, pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. Sebelumnya pasien pernah mengalami sesak sejak 1 bulan yang lalu, namun masih bisa beraktivitas sehari-hari. Sesak disertai dengan nyeri dada kiri, yang terasa seperti tertindih beban berat dan dirasakan menjalar sampai ke punggung. Nyeri dada berlangsung lebih dari 30 menit dan bersifat terus menerus. Berdebar-debar dan keringat dingin juga dialami pasien.

Pasien pernah mengalami keluhan serupa 1 tahun yang lalu, dan sempat di rawat inap di rumah sakit. Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi, kencing manis, ataupun batuk lama. Status gizi underweight. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 130/90 mmHg, Nadi : 150x/menit, RR : 40x/menit, suhu : 36 ºC. Pada pemeriksaan fisik didapatkan SCM aktif dan hipertrofi, retraksi dan penyempitan sela iga kiri, ronkhi basah halus, jantung kesan kardiomegali.

PEMERIKSAAN PENUNJANG1. EKG

Hasil EKG tanggal 25 April 2013

Page 12: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Interpretasi EKG :- Irama Atrial Fibrilasi- HR: 100 x/menit- Axis Normal- ST depresi lead V4, V5, V6 - Gelombang RSR di lead V3, V4, V5 - Kesan : Atrial Fibrilasi, Iskemik lateroseptal dan LBBB

Page 13: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Hasil EKG tanggal 26 April 2013

Interpretasi EKG :- Irama Atrial Fibrilasi - HR: 187 x/menit- Axis Normal- ST depresi lead V4, V5, V6- T inversi lead V5 dan V6 - Gelombang RSR Lead V5 dan V6- Kesan : Atrial Fibrilasi, Iskemik lateroseptal, OMI lateral,

LBBB

Page 14: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Hasil EKG tanggal 30 April 2013

Interpretasi EKG :- Irama Junctional- HR: 75 x/menit- Axis Normal- Gelombang RSR Lead V4, V5 dan V6- Gelombang T inversi Lead V4, V5, V6- Kesan : Irama Junctional, OMI lateroseptal, LBBB

2. LaboratoriumPemeriksaan darah, kimia klinik, elektrolit

Parameter

Nilai Nilai Normal

25/04/2013

Page 15: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Hb 1108 L : 14 – 16 g/dLMCV 81,6 82 – 92 fLMCH 27,0 27 – 31 pg

MCHC 33,1 32 – 37 g/dLRBC 4,07 L : 4,5 – 6

[106/µL]WBC 8,79 4,0 – 12,0 [103/

µL]Hct 33,2 L : 36 – 48 [%]Plt 298 150-400 [103/ µL]

GDS 120 < 160 mg/dLCreatinin 0,5 0,6 – 1,1 mg/dLUreum 30 6 – 26 mg/dLSGOT 59 < 40 mg/dLSGPT 18 < 41mg/dL

3. Foto Thorax Foto thoraks tanggal 25 April 2013

Page 16: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

DAFTAR MASALAH

Subjective

• Sesak napas

• Nyeri dada kiri, seperti ditindih benda berat, menjalar ke punggung, durasi > 30 menit

• Berdebar-debar

• Tidur dengan 2 bantal

Objective

Nadi : 150x/mnt

RR : 32x/mnt

SCM Aktif dan hipertropi

Rhonki basah halus

EKG : ST depresi, Atrial Fibrilasi, LBBB

Foto thorax : Kardiomegali dan Edema paru

Roentgen toraks :

Proyeksi AP

Soft tissue dbn

Skeletal dbn

Penyempitan sela iga kiri

Sudut kostofrenikus tajam

Corakan bronkovaskular meningkat

Aortic knob menonjol

Segmen pulmonum dbn

Pinggang jantung masih terlihat

Apeks downward

CTR 63%

Kesan : Kardiomegali + Edema Paru

Page 17: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

ASESSMENT Unstable Angina Acute on Chronic Heart Failure Atrial Fibrilasi LBBB complete

PLANNING Diagnostik

- Elektrolit Terapi

- Medikamentosa o O2 nasal 4 lpmo IVFD NaCl 0.9% 500 cc / 24 jam o Inj. Furosemid 1 amp/12 jmo Aspilet 1x 80 mgo CPG 1 x 75 mg o Inj. Arixtra 1x 2,5 mg o Simvastatin 1 x 20 mgo Bisoprolol 1x2,5 mg o Drip Amiodaron 150mg/15 menit

- Non Medikamentosa o Tirah baring

Monitoring1. Keluhan dan tanda vital harian2. EKG serial

'

Page 18: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Sindroma Koroner Akut (SKA)

3.1.1 Definisi Sindroma Koroner Akut (SKA)

Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan

dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah

(Kumar, 2007).

3.1.2. Faktor resiko Sindroma koroner akut

Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor risiko konvensional

dan faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis (Braunwald,

2007).

Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes

melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental,

depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a)

(Santoso, 2005).

Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah,

yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya

penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor

aterogenik (Valenti, 2007).

Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa menopause, dan

kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga oleh karena adanya efek

perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).

Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat

proses aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi,

merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori.

SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang

lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah

menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan

Page 19: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang

rendah pada usia muda (Wiliam, 2007).

3.1.3 Penyakit Yang Termasuk Dalam SKA

Yang termasuk kedalam Sindroma koroner akut adalah angina tak stabil, miokard infark

akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan miokard infark akut tanpa elevasi segmen ST

(NSTEMI) (Bassand, 2007).

3.2 Angina Pektoris Tak Stabil

3.2.1 Definisi Angina Pektoris Tak Stabil

Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia miokardium

yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama angina pektoris: angina

pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada

pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil (Kumar, 2007).

Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi nya meningkat.

Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan serangan menjadi lebih intens dan

berlangsung lebih lama dari angina pektoris stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal

iskemia miokardium yang lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut

angina pra infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut pada plak

di sertai trombosis parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau vasospasme. Perubahan

morfologik pada jantung adalah arterosklerosis koroner dan lesi terkaitnya (Kumar, 2007).

3.2.2 Epidemiologi Angina Pektoris Tak Stabil

Di Amerika serikat setiap tahun, 1 juta pasien di rawat di rumah sakit karena angina pek

toris tak stabil; dimana 6 sampai 8 persen kemudian mendapat serangan infark jantung yang

tidak fatal atau meninggal dalam satu tahun setelah diagnosis di tegak kan (Trisnohadi, 2006).

3.2.3 Patogenesis Penyakit

1. Ruptur plak

Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil,

sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelunya

mempunyai penyempitan yang mininal.

Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan

50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan

Page 20: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan

pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak

mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak

yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-

kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease

yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap).

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan

aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark

dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya

menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil (Trisnohadi, 2006).

2. Trombosis dan agregasi trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina

tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi

antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan

ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan

berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan

pembentukan trombin dan fibrin (Trisnohadi, 2006).

3. Vasospasme

Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Di

perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan

dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang

terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme

sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus

(Trisnohadi, 2006).

4. Erosi pada plak tanpa ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi

dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi

karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat

dan keluhan iskemia (Trisnohadi, 2006).

Page 21: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3.2.4 Diagnosis Dan Pemeriksaan Penunjang

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang

bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin

timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai

keluhan sesak nafas, mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada

pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.

Pemeriksaan penunjang

• Elektrokardiografi (EKG)

• Pemeriksan laboratorium

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di terima sebagai pertanda paling

penting.

3.2.5 Penatalaksanaan Angina Pektoris Tak Stabil

Tindakan umum

Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu di

istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen; pemberian morfin atau petidin perlu pada

pasien yang masih merasakan nyeri dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin (Trisnohadi,

2006).

Terapi medikamentosa

• Obat anti iskemia

• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.

• Obat anti agregasi trombosit

• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa

• Obat anti trombin

• Unfractionnated Heparin, low molecular weight heparin

• Direct trombin inhibitors

Tindakan revaskularisasi pembuluh darah

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemia berat, dan

refrakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di left main atau

penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila di sertai faal ventrikel kiri yang kurang, tindakan

operasi bypass (CABG) dapat memperbaiki harapan, kualitas hidup dan mengurangi resiko

Page 22: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

kembalinya ke rumah sakit. Pada tindakan bedah darurat mortalitas dan morbiditas lebih buruk

daripada bedah elektif.

Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan pada satu atau dua

pembuluh darah atau bila ada kontra indikasi pembedahan, PCI merupakan pilihan utama.

Pada angina tak stabil perlunya dilakukan tindakan invasif dini atau konservatif tergantung

dari stratifikasi risiko pasien; pada resiko tinggi, seperti angina terus-menerus, adanya depresi

segmen ST, kadar troponin meningkat, faal ventrikel yang buruk, adanya gangguan irama

jantung seperti takikardi ventrikel, perlu tindakan invasif dini (Trisnohadi, 2006).

3.3 Infark Miokard Dengan Elevasi ST (STEMI)

Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat

iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan penyebab tunggal

tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara

maju (Kumar, 2007).

3.3.1 Epidemiologi STEMI

Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju.

Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi

sebelum pasien mencapai rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan

dengan STEMI (Bassand, 2007).

3.3.2 Patofisiologi STEMI

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi

trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat

yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak

kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada

lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti

merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur

atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi

trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis

menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis

dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin

Page 23: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap

terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin)

memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2

(vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi

reseptor glikoprotein IIb/IIIa.

Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen

asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang

berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.

Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor

VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian

mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami

oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI

dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan

berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

3.3.3 Diagnosis Dan Pemeriksaan

Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang di

alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal (angina). Faktor

resiko seperti hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung

koroner di keluarga (Alwi, 2006).

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti

aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang menyertai. Walaupun STEMI

bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada

pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali ektremitas

pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat

di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3

gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat

ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara (Alwi, 2006).

Page 24: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang

lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih 1mm

pada 2 sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,

memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).

3.3.4 Penatalaksanaan STEMI

Tatalaksana di rumah sakit

ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet, karena resiko muntah

dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus puasa atau hanya minum cair dengan

mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungan

kolesterol <300mg/hari. Menu harus diperkaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.

Bowels, istirahat di tempat tidur. Penggunaan narkotik sering menyebabkan efek konstipasi

sehingga di anjurkan penggunaan pencahar ringan secara rutin.

Sedasi, pasien memerlukan sedasi selama perawatan, untuk mempertahankan periode

inaktivasi dengan penenang (Alwi, 2006).

Terapi farmakologis

• Fibrinolitik

• Antitrombotik

• Inhibitor ACE

• Beta-Blocker

3.4 Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST (NSTEMI)

3.4.1 Epidemiologi NSTEMI

Gejala yang paling sering di keluhkan adalah nyeri dada, yang menjadi salah satu gejala

yang paling sering di dapatkan pada pasien yang datang ke IGD , di perkirakan 5,3 juta

kunjungan / tahun. Kira-kira 1/3 darinya di sebabkan oleh unstable angina / NSTEMI, dan

merupakan penyebab tersering kunjungan ke rumah sakit pada penyakit jantung. Angka

kunjungan untuk pasien unstable angina / NSTEMI semakin meningkat sementara angka STEMI

menurun (Sjaharuddin, 2006).

3.4.2 Patofisiologi

NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan

oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut

Page 25: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali dengan adanya

ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar,

densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang

tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol dengan

proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag

dan limfosit T yang menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin

proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. selanjutnya IL-6 kan merangsang pengeluaran hsCRP di

hati (Sjaharuddin, 2006).

3.4.3 Diagnosis Dan Pemeriksaan NSTEMI

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di epigastrium dengan ciri seperti

di peras, perasaan seperti di ikat, perasaan terbakar, nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan,

menjadi persentasi gejala yang sering di temukan pada penderita NSTEMI. Gejala tidak khas

seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher

juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang

menentukan resiko pada pasien.

Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard yang lebih di sukai,

karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CK-MB. Pada pasien

dengan infark miokard akut, peningkatan awal troponin pada daerah perifer setelah 3-4 jamdan

dapat menetap sampai 2 minggu (Sjaharuddin, 2006).

3.4.4 Penatalaksanaan NSTEMI

Pasien NSTEMI harus istirahat ditempat tidur dengan pemantauan EKG untuk deviasi

segmen ST dan irama jantung. Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap

pasien NSTEMI yaitu :

• Terapi antiiskemia

• Terapi anti platelet/antikoagulan

• Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)

• Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.

3.5. Komplikasi Sindroma Koroner Akut

1. Syok Kardiogenik

Page 26: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

2. Aritmia Malignant

3. Gagal Jantung

4. Mechanical ruptur, MR akut, VSD

5. Gangguan Hantaran

3.6 Gagal Jantung

3.6.1. Definisi

Gagal jantung (GJ) adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak

napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau

fungsi jantung (Panggabean, 2009).

Definisi gagal jantung menurut Sir Thomas Lewis adalah jantung tidak mampu

mengeluarkan isinya dengan adekuat. Sedangkan Paul Wood mendefinisikan gagal jantung

sebagai jantung yang tidak mampu mempertahankan sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh

meskipun tekanan pengisian adekuat. Definisi yang lazim dianut para klinis adalah definisi dari

Poole-Wilson, gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh suatu kelainan

jantung dan dapat dikenali dari respon hemodinamik, renal, neural, dan hormonal yang

karakteristik (Prabowo, 2003).

Menurut Braunwald gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis adanya kelainan

fungsi jantung berakibat jantung gagal memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan

metabolism jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian tekanan

pengisian ventrikel kiri (Suryadipraja, 1996).

Definisi alternative menurut Packer, gagal jantung kongestif merupakan suatu syndrome

klinis yang rumit yang ditandai dengan adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri dan kelainan

regulasi neurohormonal, disertai dengan intoleransi kemampuan kerja fisis (effort intolerance),

retensi cairan, dan memendeknya umur hidup (Suryadipraja, 1996).

Menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung tidak lagi mampu memompakan

darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh pada tekanan pengisian yang

normal, padahal aliran balik vena ke jantung dalam keadaan normal (Suryadipraja, 1996).

3.6.2. Klasifikasi

1. Gagal Jantung Backward & Forward

Page 27: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Hipotesis backward failure pertama kali diajukan oleh James Hope pada tahun 1832: apabila

ventrikel gagal untuk memompakan darah, maka darah akan terbendung dan tekanan di atrium

serta vena-vena di belakangnya akan naik (Suryadipraja, 1996).

Hipotesis forward failure diajukan oleh Mackenzie, 80 tahun setelah hipotesis backward

failure. Menurut teori ini manifestasi gagal jantung timbul akibat berkurangnya aliran darah

(cardiac output) ke sistem arterial, sehingga terjadi pengurangan perfusi pada organ-organ yang

vital dengan segala akibatnya (Suryadipraja, 1996)

2. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan

jasmani, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Doppler (Prabowo, 2003).

Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah

jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan

gejala hipoperfusi lainnya (Prabowo, 2003).

Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal

jantung diastolik didefenisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%.

Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena

pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan jasmani saja.

Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik:

Gangguan relaksasi

Pseudo-normal

Tipe restriktif

Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab gangguan

diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Di samping itu kongesti sistemik/pulmonal

akibat dari gangguan diastolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian

diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolik bertambah, dapat dilakukan

dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium non-dihidropiridin (Prabowo, 2003).

3. Low Output dan High Output Heart Failure

Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan

perikard. High output HF ditemukan pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti

hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis,

kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan (Prabowo, 2003).

Page 28: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

4. Gagal Jantung Akut dan Kronis

Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat

endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba

menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer (Prabowo, 2003).

Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multi

valvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok, namun tekanan

darah masih terpelihara dengan baik (Prabowo, 2003).

5. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan

paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau

kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder,

tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema

perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal

jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah

berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda (Prabowo, 2003).

6. Klasifikasi fungsional gagal jantung berdasarkan NYHA (New York Heart Association)

KELAS DEFINISI ISTILAH

I Klien dengan keainan jantung tapi

tanpa pembatasan aktifitas fisik

Disfungsi ventrikel

kiri yang asimtomatik

II Klien dengan kelainan jantung yang

menyebabkan sedikit pembatasan

aktifitas fisik

Gagal jantung ringan

III Klien dengan kelaianan jantung yang

menyebabakan banyak pembatasan

aktifitas fisik

Gagal jantung sedang

IV Klien dengan kelaianan jantung yang

segla bentuk ktifitas fisiknya akan

menyebabkan keluhan

Gagal jantung berat

7. Klasifikasi berdasarkan American College of Cardiology/American Heart Association

(ACC/AHA)

Page 29: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Stage A: menandakan ada faktor risiko gagal jantung (diabetes, hipertensi, penyakit

jantung koroner), namun belum ada kelainan struktural dari jantung (cardiomegali, LVH,

dll) maupun kelainan fungsional (Manurung, 2009).

Stage B: terdapat faktor-faktor risiko gagal jantung (diabetes, hipertensi, penyakit jantung

koroner), dan sudah terdapat kelainan struktural (LVH, cardiomegali) dengan atau tanpa

gangguan fungsional, namun bersifat asimptomatik (Manurung, 2009).

Stage C: sedang dalam dekompensasi dan atau pernah gagal jantung, yang didasari oleh

kelainan struktural dari jantung (Manurung, 2009).

Stage D: adalah stage yang benar-benar masuk ke dalam refractory gagal jantung, dan

perlu advanced treatment strategies (Manurung, 2009).

3.6.3 Etiologi

Gagal jantung paling sering disebabkan oleh gagal kontraktilitas miokard, seperti yang

terjadi pada infark miokard, hipertensi lama, atau kardiomiopati. Namun pada kondisi tertentu,

bahkan miokard dengan kontraktilitas yang baik tidak dapat memenuhi kebutuhan darah sistemik

ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini disebabkan misalnya

masalah mekanik seperti regurgitasi katup berat dan, lebih jarang, fistula arteriovena, defisiensi

tiamin (beri-beri), dan anemia berat. Keadaan curah jantung yang tinggi ini sendiri dapat

menyebabkan gagal jantung tetapi bila tidak terlalu berat dapat mempresipitasi gagal jantung

pada orang-orang dengan penyakit jantung dasar (Gray, 2002).

Prevalensi faktor etiologi tergantung dari populasi yang diteliti, penyakit jantung koroner

dan hipertensi merupakan penyebab tersering pada masyarakat Barat (>90% kasus), sementara

penyakit katup jantung dan defisiensi nutrisi mungkin lebih penting di negaraberkembang.

Faktor risiko independen unutk terjadinya gagal jantung serupa dengan faktor risiko pada

penyakit jantung koroner (peningkatan kolesterol, hipertensi, dan diabetes) ditambah dengan

adanya hipertrofi ventrikel kiri (LVH) pada elektrokardiogram istirahat. Bila terdapat pada

hipertensi, LVH dikaitkan dengan 14 kali risiko gagal jantung pada orang berusia lebih dari 65

tahun. Selain itu prevalensi faktor etiologi telah berubah seiring perjalanan waktu. Data kohort

dari studi Framingham, yang dimulai tahun 1940-an, mengidentifikasi riwayat hipertensi pada >

75% pasien dengan gagal jantung, sementara penelitian yang lebih baru menyatakan prevalensi

yang lebih rendah (10 – 15%), mungkin karena terapi hipertensi yang lebih baik. Dari telaah

Page 30: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

studi klinis pada hipertensi, terapi efektif dapat mengurangi insidensi gagal jantung sebesar 50%

(Gray, 2002).

Berbagai faktor dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi perkembangan gagal jantung

pada pasien dengan penyakit jantung primer (Gray, 2002):

Obat-obatan seperti penyekat β dan antagonis kalsium dapat menekan kontraktilitas

miokard dan obat kemoterapeutik seperti doksorubisin dapat menyebabkan kerusakan

miokard.

Alkohol bersifat kardiotoksik, terutama bila dikonsumsi dalam jumlah besar.

Aritmia mengurangi efisiensi jantung, seperti yang terjadi bila kontraksi atrium hilang

(fibrilasi atrium/AF) atau disosiasi dari kontraksi ventrikel (blok jantung). Takikardia

(ventrikel atau atrium) menurunkan waktu pengisian ventrikel, meningkatkan beban kerja

miokard dan kebutuhan oksigen menyebabkan iskemia miokard, dan bila terjadi dalam

waktu lama, dapat menyebabkan dilatasi ventrikel serta perburukan fungsi ventrikel.

Aritmia sendiri merupakan konsekuensi gagal jantung yang umum terjadi, apapun

etiologinya, dengan AF dilaporkan pada 20 – 30 % kasus gagal jantung. Aritmia ventrikel

merupakan penyebab umum kematian mendadak pada keadaan ini.

Gagal Jantung berat juga bisa sebagai akibat dari gagal multi organ (multiorgan failure).

Berikut ini merupakan tabel dari etiologi dan faktor pencetus timbulnya gagal jantung akut

(Manurung, 2009):

Tabel 2.3. Penyebab dan Faktor Pencetu GJA

Page 31: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3.6.4 Patofisiologi

Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu sistem tubuh

melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung sehingga jantung tidak mampu

memompa memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung ditandai dengan dengan satu

respon hemodinamik, ginjal, syaraf dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik

berupa penurunan fungsi jantung (Corwin, 2000).

Respon terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang bertujuan

untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan pembuluh darah perifer dan

hipertropi otot jantung.Kondisi ini juga menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh

yang akut berupa penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik

(Corwin, 2000).

Kemampuan jantung untuk memompa darah guna memenuhi kebutuhan tubuh ditentukan

oleh curah jantung yang dipengaruhi oleh empat faktor yaitu: preload; yang setara dengan isi

diastolik akhir, afterload; yaitu jumlah tahanan total yang harus melawan ejeksi ventrikel,

kontraktilitas miokardium; yaitu kemampuan intrinsik otot jantung untuk menghasilkan tenaga

dan berkontraksi tanpa tergantung kepada preload maupun afterload serta frekuensi denyut

jantung (Corwin, 2000).

Dalam hubungan ini, penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump

function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada beberapa keadaan

ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung sebagai pompa tanpa terdapat depresi

pada otot jantung intrinsik.Sebaliknya dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi

secara klinis tidak tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan (Corwin,

2000).

Pada awal gagal jantung, akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan

aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta pelepasan arginin

vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan

tekanan darah yang adekuat. Penurunan kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah

jantung yang selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah

arteri yang efektif. Hal ini akan merangsang mekanisme kompensasi neurohumoral (Corwin,

2000).

Page 32: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah

sedangkan peningkatan preload akan meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum

Starling. Apabila keadaan ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan

hipertrofi/ dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung

yang tidak terkompensasi (Corwin, 2000).

Mekanisme yang menasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas

jantung, yang menyebabkan curah jantng lebih rendah dari curah jantng normal. Konsep curag

jantung paling baik dijelaskan dengan persamaan CO=HR X SV dimana curah jantung

(CO:Cardiac Output) adalah fungsi frekuensi jantung (HR: Heart Rate) X volume sekuncup

(SF:Stroke Volume) (Corwin, 2000).

Frekuensi jantung adalah fungsi system saraf otonom. Bila curah jantung berkurang, system

saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk memperthankan curah jantung bila

mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume

sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri ntuk mempertahan curah janung. Tapi pada

gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung, volume

sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan (Corwin, 2000).

Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga

faktor; preload; kontraktilitas dan afterload Preload adalah sinonim dengan Hukum Starling pada

jantung yang menyatakan bahwa jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung

dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung. Kontraktilitas

mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan

dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium. Afterload mengacu pada besarnya

ventrikel yang harus di hasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang di

timbulkan oleh tekanan arteriol (Corwin, 2000).

Disfungsi Sistolik

Pada disfungsi sistolik, kontraktilitas miokard mengalami gangguan sehingga isi sekuncup

ventrikel berkurang dan terjadi penuruanan curah jantung. Pengosongan ventrikel yang tidak

sempurna selanjutnya menyebabkan peningkatan volume diastolik akibatnya juga terjadi

peningkatan tekanan. Pada gagal jantung kiri, peningkatan tekanan diastolik akan diteruskan

secara retrogard ke atrium kiri kemudian ke vena dan kapiler paru. Kenaikan tekanan hidrostatik

kapiler paru diatas 20 mmHg bisa menyebabkan transudasi cairan ke interstisiel paru sehingga

Page 33: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

timbul keluhan kongesti paru. Cairan akan tertahan di interstisiel paru, menyebabkan edema

interstisiel maka pergerakan alveoli akan terganggu. Penderita akan merasa sesak nafas dengan

nadi yang cepat. Bila cairan telah memasuki alveoli akan terjadi edema paru dengan gejala sesak

nafas yang hebat, takikardia, tekanan darah menurun, dan kalau tidak teratasi dapat

menyebabkan syok kardiogenik (Corwin, 2000).

Bila ventrikel kanan gagal, peningkatan tekanan diastolik akan diteruskan ke atrium kanan

selanjutnya timbul bendungan pada vena sistemik dan mucullah tanda-tanda gagal jantung

kanan. Peningkatan berlebihan beban akhir (afterload) pada ventrikel kanan paling sering

diakibatkan oleh gagal jantung kiri karena adanya peningkatan tekanan vena dan arteri

pulmonalis yang menyertai disfungsi ventrikel kiri. Gagal jantung kanan yang murni (isolated)

dimana fungsi ventrikel kiri normal jarang ditemukan. Keadaan gagal jantung murni sering

mencerminkan peningkatan beban akhir ventrikel kanan akibat penyakit parenkim paru atau

pembulu paru sehingga gagal jantung ini disebut kor pulmonal (Corwin, 2000).

Disfungsi Diastolik

Sebagian penderita gagal jantung mempunyai fungsi kontraktilitas (sistolik) yang normal

namun menunjukkan kelainan fungsi diastolik berupa gangguan relaksasi, peningkatan kekakuan

dinding ventrikel, atau keduanya. Keadaan ini bisa terjadi pada iskemia miokard, hipertrofi

ventrikel kiri, atau kardiomiopati restriktif. Dalam fase diastol, pengisian ventrikel menyebabkan

tekanan diastolik di atas normal. Penderita disfungsi diastolik memperlihatkan tanda-tanda

bendungan akibat peninggian tekanan diastolic yang diteruskan ke vena pulmonalis dan sistemik

(Corwin, 2000).

Page 34: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

STIMULUS:HIPERTENSI KRONIS

STIMULUS:INFARK MIOKARD VENTRIKEL KIRI

Hipertrofi ventrikel kiri

↑ Kebutuhan O2 jantung

↓ Kontraktilitas Ventrikel Kiri

↑ volume diastolic – akhir (preload) ventrikel kiri

↑ peregangan serabut otot jantung

↓ Curah Jantung

↓ Rerata tekanan arteri

↑ pengaktifan simpatis ↑ ADH ↑ pelepasan renin

↑ Denyut Jantung

↑ Volume sekuncup

↑ TPR (afterload)

↑ Volume darah

↑ Angiotensin II

↑ Aliran balik vena (preload)

↑ TPR (afterload)

PENINGKATAN KERJA JANTUNG

Page 35: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3.6.5 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis relative dipengaruhi oleh tiga faktor. 1) kerusakan jantung; 2) kelebihan

beban hemodinamik; dan 3) mekanisme kompensasi sekunder yang timbul saat gagal jantung

terjadi (Gray, 2002).

Pada awalnya mekanisme kompensasi bekerja efektif dalam mempertahankan curah jantung

dan gejala gagal jantung hanya timbul saat aktivitas. Kemudian gejala timbul saat istirahat

seiring dengan perburukan kondisi (Gray, 2002).

Manifestasi klinis juga dipengaruhi oleh tingkat progresivitas penyakit dan apakah terdapat

waktu untuk berkembangnya mekanisme kompensasi. Sebagai contoh, perkembangan regurgitasi

mitral yang mendadak ditoleransi buruk dan menyebabkan gagal jantung akut, sementara

perkembangan regurgitas mitral dengan derajat yang sama secara perlahan-lahan dapat

ditoleransi dengan beberapa gejala. Pada tahap awal gagal jantung, gejala mungkin tidak spesifik

(malaise, letargie, lelah, dispneu, intoleransi aktivitas) namun begitu keadaan memburuk,

gambaran klinis dapat sangat jelas menandakan penyakit jantung. AF terjadi pada 10 – 50%

pasien dengan gagal jantung dan onset AF dapat memperberat perburukan akut. Aritmia

ventrikel (ektopik, VT) semakin banyak ditemui seiring dengan perkembangan gagal jantung

(Gray, 2002).

Gagal jantung dapat mempengaruhi jantung kiri, jantung kanan, atau keduanya (biventrikel),

namun dalam praktik jantung kiri sering terkena. Gagal jantung kanan terisolasi dapat terjadi

karena embolisme paru mayor, hipertensi paru, atau stenosis pulmonal. Dengan adanya septum

interventrikel, disfungsi salah satu ventrikel potensial dapat mempengaruhi fungsi yang lain.

Pasien sering datang dengan campuran gejala dan tanda yang berkaitan dengan kedua ventrikel,

namun untuk memudahkan dapat dianggap terjadi secara terpisah (Gray, 2002).

Gagal Jantung Kiri

Peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan menyebabkan

kongesti paru dan akhirnya edema alveolar, mengakibatkan sesak nafas, batuk, dan kadang

hemoptisis. Dispnu awalnya timbul saat aktivitas namun bila gagal ventrikel kiri berlanjut dapat

terjadi saat istirahat, menyebabkan dispnu nokturnal paroksismal (paroxysmal nocturnal

dyspnoea/PND). Pemeriksaan fisik sering kali normal, namun dengan perkembangan gagal

jantung hal-hal berikut dapat ditemukan (Gray, 2002):

Kulit lembab dan pucat menandakan vasokonstriksi perifer;

Page 36: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Tekanan darah dapat tinggi pada kasus penyakit jantung hipertensi, normal, atau rendah

dengan perburukan disfungsi jantung;

Denyut nadi mungkin memiliki volume kecil dan irama mungkin normal, atau ireguler

karena ektopik atau AF. Pulsus alterans dapat ditemukan.

Sinus takikardia saat istirahat dapat menandakan gagal jantung berat atau sebagian

merupakan refleks karena vasodilatasi yang diinduksi obat. Tekanan vena normal pada gagal

jantung kiri terisolasi. Pada palpitasi, apeks bergeser ke lateral (dilatasi LV), dengan denyut

dipertahankan (hipertrofi LV), atau diskinesia (aneurisma LV). Pada auskultasi, mungkin

didapatkan bunyi jantung ketiga (S3), gallop dan murmur total dari regurgitasi mitral sekunder

karena dilatasi anulus mitral. Murmur lain mungkin menandakan penyakit katup jantung

intrinsik. Suara P2 dapat lebih keras karena tekanan arteri pulmonalis meningkat sekunder

karena hipertensi paru sekunder. Terjadi krepitasi paru karena edema alveolar dan edema dinding

bronkus dapat menyebabkan mengi (Gray, 2002).

Gagal Jantung Kanan

Gejala mungkin minimal, terutama jika telah diberikan diuretik. Gejala yang timbul antara

lain: 1) pembengkakan pergelangan kaki; 2) dispnu (namun bukan ortopnu atau PND); 3)

Penurunan kapasitas aktivitas. Bila tekanan ventrikel kanan (RV) meningkat atau RV menjadi

lebih dilatasi, sering ditemukan nyeri dada (Gray, 2002).

Pada pemeriksaan denyut nadi memiliki kelainan yang sama dengan gagal jantung kiri,

tekanan vena jugularis sering meningkat, kecuali diberikan terapi diuretik, dan memperlihatkan

gelombang sistolik besar pada regurgitasi trikuspid. Edema perifer, hepatomegali, dan asites

dapat ditemukan. Pada palpasi mungkin didapatkan gerakan bergelombang (heave) yang

menandakan hipertrofi RV dan/atau dilatasi, serta pada auskultasi didapatkan bunyi jantung S3

atau S4 ventrikel kanan. Efusi pleura dapat terjadi pada gagal jantung kanan atau kiri. Paling

sering, gagal jantung kanan terjadi akibat gagal jantung kiri, namun miokarditis dan

kardiomiopati dilatasi dapat mempengarhui keduanya. Bila gagal jantung kanan terjadi cukup

berat, gejala dan tanda gagal jantung kiri bisa menghilang karena ketidakmampuan jantung

kanan untuk mempertahankan curah jantung yang cukup untuk menjaga tekanan pengisian sisi

kiri tetap tinggi (Gray, 2002).

Page 37: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Penurunan curah jantung dan penurunan perfusi organ seperti otak, ginjal, dan otot skelet,

baik disebabkan oleh gagal jantung kiri atau kanan berat, menyebabkan gejala umum seperti

kebingungan mental, rasa lelah dan cepat capek, serta penurunan toleransi aktivitas (Gray, 2002).

3.6.6. Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan jasmani, elektrokardiografi/foto

toraks, ekokardiografi-Doppler dan kateterisasi. Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk

diagnosis gagal jantung kongestif (Panggabean, 2009).

Kriteria Major Kriteria Minor

Paroksismal nokturnal dispnea

Distensi vena leher

Ronki paru

Kardiomegali

Edema paru akut

Gallop S3

Peninggian tekanan vena jugularis

Refluks hepatojugular

Edema ekstremitas

Batuk maIarn hari

Dispnea d'effort

Hepatomegali

Efusi pleura

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari

ormal

Takikardia(> l20/menit)

Kriteria Major atau minor: Penurunan BB ≥ 4.5 kg dalam 5 hari pengobatan.

*Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.

3.6.7 Terapi

Terapi Farmakologi Gagal Jantung Kronik

Angiotensin-converting enzyme inhibitors/penyekat enzim konversi angiotensin

Dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi

40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki simtom, mengurangi kekerapan

rawat inap di rumah sakit.

Harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi

cairan harus diberikan bersama diuretik.

Harus segera diberikan bila ditemui tanda dan gejala gagal jantung, segera sesudah infark

jantung, untuk meningkatkan survival, menurunkan angka reinfark serta kekerapan rawat

inap.

Page 38: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai dengan bukti klinis, bukan

berdasarkan perbaikan gejala.

Diuretik

Loop diuretic, tiazid, metolazon

Penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti

paru dan edema perifer.

Tidak ada bukti dalam memperbaiki survival, dan harus dikombinasi dengan penyekat

enzim konversi angiotensin atau penyekat beta.

β- Blocker (Obat Penyekat Beta)

Direkomendasi pada semua gagal jantung ringan, sedang, dan berat yang stabil baik

karena iskemi atau kardiomiopati non iskemi dalam pengobatan standar seperti diuretik

atau penyekat enzim konversi angiotensin. Dengan syarat tidak ditemukan adanya kontra

indikasi terhadap penyekat beta.

Terbukti menurunkan angka masuk rumah sakit, meningkatkan klasifikasi fungsi

Pada disfungsi jantung sistolik sesudah suatu infark miokard baik simtomatik atau

asimtomatik, penarnbahan penyekat beta jangka panjang pada pemakaian penyekat enzim

konversi angiotensin terbukti menurunkan mortalitas.

Sampai saat ini hanya beberapa penyekat beta yang direkomendasi yaitu bisoprolol,

karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol.

Antagonist Reseptor Aldosteron

Penambahan terhadap penyekat enzim konversi angiotensin, penyekat beta, diuretik pada

gagal jantung berat (NYHA III-IV) dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Sebagai tambahan terhadap obat penyekat enzim konversi angiotensin dan penyekat beta

pada gagal jantung sesudah infark jantung, atau diabetes, menurunkan morbiditas dan

mortalitas.

Antagonis Penyekat Reseptor Angiotensin II

Masih merupakan altematif bila pasien tidak toleran terhadap penyekat enzim konversi

angiotensin.

Penyekat angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin pada

gagal jantung dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas.

Page 39: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Pada infark miokard akut dengan gagal jantung atau disfungsi ventrikel, penyekat

angiotensin II sama efektif dengan penyekat enzim konversi angiotensin dalam

menurunkan mortalitas.

Dapat dipertimbangkan penambahan penyekat angiotensin II pada pemakaian penyekat

enzim konversi angiotensin pada pasien yang simtomatik guna menurunkan mortalitas.

Glikosida Jantung (Digitalis)

Merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung, terlepas

apakah gagal jantung bukan atau sebagai penyebab.

Kombinasi digoksin dan penyekat beta lebih superior dibandingkan bila dipakai sendiri-

sendiri tanpa kombinasi.

Tidak mempunyai efek terhadap mortalitas, tetapi dapat menurunkan angka kekerapan

rawat inap.

Vasodilator

Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagal jantung kronik

Hidralazin-isosorbid Dinitrat

Dapat dipakai sebagai tambahan, pada keadaan dimana pasien tidak toleran terhadap

penyekat enzim konversi angiotensin atau penyekat angiotensin II. Dosis besar hidralazin

(300 mg) dengan kombinasi isosorbid dinitrat 160 mg tanpa penyekat enzim konversi

angiotensin dikatakan dapat menurunkan mortalitas. Pada kelompok pasien Afrika-

Amerika pemakaian kombinasi isosorbid dinitrat 20 mg dan hidralazin 37.5 mg, tiga kali

sehari dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas dan memperbaiki kualitas hidup.

Nitrat

Sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak, jangka panjang tidak terbukti

memperbaiki simtom gagal jantung, Dengan pemakaian dosis yang sering, dapat terjadi

toleran (takipilaksis), oleh karena itu dianjurkan interval 8 atau 12 jam, atau kombinasi

dengan penyekat enzim konversi angiotensin.

Obat Penyekat Kalsium

Pada gagal jantung sistolik penyekat kalsium tidak direkomendasi, dan

dikontraindikasikan pemakaiaan kombinasi dengan penyekat beta.

Felodipin dan amlodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila

digabung dengan obat penyekat enzim konversi angiotensin dan diuretik.

Page 40: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, dapat dipertimbangkan

sebagai tambahan obat hipertensi bila kontrol tekanan darah sulit dengan pemakaian

nitrat atau penyekat beta.

Nesiritid

Merupakan klas obat vasodilator baru, merupakan rekombinan otak manusia yang

dikenal sebagai natriuretik peptida tipe B. Obat ini identik dengan hormon endogen dari

ventrikel, yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena dan koroner, dan menurunkan pre

dan afterload, meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik. Sejauh ini belum banyak

data klinis yang menyokong pemakaian obat ini.

Inotropik Positif

Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena meningkatkan

mortalitas

Pemakaian intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti manfaat,

justru komplikasi lebih sering muncul.

Penyekat fosfodiesterase, seperti milrinon, enoksimon efektif bila digabung dengan

penyekat beta, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan koroner. Namun disertai juga

dengan efek takiaritrnia atrial dan ventrikel, dan vasodilatasi berlebihan dan

menimbulkan hipotensi.

Levosimendan, merupakan sensitisasi kalsium yang baru, mempunyai efek vasodilatasi

namun tidak seperti penyekat fosfodiesterase, tidak menimbulkan hipotensi. Uji klinis

menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin.

Anti Trombotik

Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium riwayat fenomena tromboemboli,

bukti adanya thrombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan.

Pada gagal jantung kronik dengan penyakit jantung koroner, dianjurkan pemakaian

antiplatelet.

Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang

memburuk.

Anti Aritmia

Pemakaian selain penyekat beta tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik, kecuali pada

atrial fibrilasi dan ventrikel takikardi.

Page 41: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Obat aritmia klas I tidak dianjurkan

Obat anti aritmia klas II (penyekat beta) terbukti menurunkan kejadian mati mendadak

dapat dipergunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron.

Anti aritmia klas III, amiodaron efektif untuk supraventrikel dan ventrikel aritmia

amiodaron rutin pada gagal jantung tidak dianjurkan.

3.7 Atrial Fibrilasi

3.7.1 Definisi

Atrial fibrilasi adalah suatu gangguan pada jantung (aritmia) yang ditandai dengan

ketidakteraturan irama denyut jantung dan peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar

350-650 x/menit. Pada dasarnya atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler

dengan aktivasi atrial yang tidak terkoordinasi dan deteriorisasi fungsi mekanik atrium. Keadaan

ini menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung (American Heart

Association, 2008).

3.7.2 Klasifikasi

Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi dibedakan

menjadi 4 jenis, yaitu (American Heart Association, 2008) :

a. AF deteksi pertama

Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap ini

merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru

pertama kali terdeteksi.

b. Paroksismal AF

AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode pertama

kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini juga

mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari 24 jam

tanpa bantuan kardioversi.

c. Persisten AF

AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7

hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari

kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.

d. Kronik/permanen AF

Page 42: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,

penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk

mengembalikan ke irama sinus yang normal.

Gambar. Pola Klasifikasi Atrial Fibrilasi

Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga sering

diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF kronik. AF akut

dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang dari 48 jam, sedangkan AF

kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari 48 jam.

3.7.3 Etiologi

Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor, diantaranya adalah

(Narumiya, 2003) :

a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium

1. Penyakit katup jantung

2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium

3. Hipertrofi jantung

4. Kardiomiopati

5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal

chronic)

6. Tumor intracardiac

b. Proses infiltratif dan inflamasi

1. Pericarditis/miocarditis

Page 43: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

2. Amiloidosis dan sarcoidosis

3. Faktor peningkatan usia

c. Proses infeksi

1. Demam dan segala macam infeksi

d. Kelainan Endokrin

1. Hipertiroid

2. Feokromositoma

e. Neurogenik

1. Stroke

2. Perdarahan subarachnoid

f. Iskemik Atrium

1. Infark miocardial

g. Obat-obatan

1. Alkohol

2. Kafein

h. Keturunan/genetik

3.7.4 Tanda dan Gejala

Pada dasarnya AF, tidak memberikan tanda dan gejala yang khas pada perjalanan

penyakitnya. Umumnya gejala dari AF adalah peningkatan denyut jantung, ketidakteraturan

irama jantung dan ketidakstabilan hemodinamik. Disamping itu, AF juga memberikan gejala lain

yang diakibatkan oleh penurunan oksigenisasi darah ke jaringan, seperti pusing, kelemahan,

kelelahan, sesak nafas dan nyeri dada. Tetapi, lebih dari 90% episode dari AF tidak

menimbulkan gejala-gejala tersebut (Nasution, 2006).

3.7.5 Faktor Resiko

Beberapa orang mempunyai faktor resiko terjadinya AF, diantaranya adalah :

a. Diabetes Melitus

b. Hipertensi

c. Penyakit Jantung Koroner

d. Penyakit Katup Mitral

e. Penyakit Tiroid

f. Penyakit Paru-Paru Kronik

Page 44: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

g. Post. Operasi jantung

h. Usia ≥ 60 tahun

i. Life Style

3.7.6 Patofisiologi

Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple wavelet reentry.

Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau depolarisasi berulang. Pada

proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah berasal dari vena pulmonalis superior.

Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari atrium kanan, vena cava superior dan sinus

coronarius. Fokus ektopik ini menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi

pada atrium dan menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA (Nasution, 2006).

Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang berulang dan

melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet reentry tidak tergantung pada

adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal, tetapi lebih tergantung pada sedikit

banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry,

sedikit banyaknya sinyal elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya

ruang atrium dan kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium

biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan kecepatan

konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal elektrik dan menimbulkan

peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF (Nasution, 2006).

Gambar . A. Proses Aktivasi Lokal Atrial Fibrilasi dan B. Proses Multiple Wavelets

Reentry Atrial Fibrilasi

Page 45: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3.7.7 Penatalaksanaan

Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol ketidakteraturan irama jantung,

menurunkan peningkatan denyut jantung dan menghindari/mencegah adanya komplikasi

tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan

untuk AF. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang berfungsi

untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung. Pada dasarnya

kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion)

dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion) (Wattigney, 2002).

a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)

Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah adanya

komplikasi dari AF. Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan atau

antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari terbentuknya

trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi. Pengobatan yang sering

dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari berbagai macam, diantaranya adalah :

1. Warfarin

Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses

pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.

Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai puncak

konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas 100%. Warfarin

di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi (bentuk D), yang

kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama kerja ± 40 jam.

2. Aspirin

Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit (COX2)

dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX2 ini adalah

menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di dalam trombosit.

Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi dari trombosit. Tetapi,

penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat menyebabkan pengurangan tingkat

sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.

b. Mengurangi denyut jantung

Page 46: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan peningkatan denyut

jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis kalsium. Obat-obat tersebut bisa

digunakan secara individual ataupun kombinasi.

1. Digitalis

Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan menurunkan

denyut jantung. Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih efisien. Disamping

itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang abnormal dari atrium ke

ventrikel. Hal ini mengakibatkan peningkatan pengisian ventrikel dari kontraksi

atrium yang abnormal.

2. β-blocker

Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf simpatis.

Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut jantung dan

kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi kinerja jantung.

3. Antagonis Kalsium

Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat

dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+

channel yang terdapat pada membran sel.

c. Mengembalikan irama jantung

Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk

menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata

laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut

jantung. Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi

(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion).

1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)

a. Amiodarone

b. Dofetilide

c. Flecainide

d. Ibutilide

e. Propafenone

f. Quinidine

Page 47: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

2. Electrical Cardioversion

Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam

(bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah

mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR (nodus

sinus rhythm).

3. Operatif

a. Catheter ablation

Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan

pada daerah paha. Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah

utma hingga masuk kedalam jantung. Pada bagian ujung kateter terdapat

elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung

jawab terhadap terjadinya AF.

b. Maze operation

Prosedur maze operation hamper sama dengan catheter ablation, tetapi pada

maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi untuk

membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.

c. Artificial pacemaker

Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di

jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.

3.8 Gangguan Konduksi

Gangguan konduksi adalah gangguan yang terjadi pada jaringan konduksi (jalur listrik

jantung) sehingga listrik jantung tidak berjalan lancar atau berhenti di tengah jalan.terdiri

(Brown, 2012) :

3.8.1 Block SA node

Gangguan pada SA node menyebabkan block SA dan sinus Aresst.

Gambar : Block SA node.

Page 48: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3.8.2 Gangguan AV Blok

1. AV Blok derajat 1

Umumnya disebabkan karena gangguan konduksi di proximal His bundle, sering

terjadi pada intoksitas digitalis, peradangan, proses degenerasi maupun varian normal .

Gambar yang muncul pada EKG adalah interval PR yang melebar > 0,22 detik dan interval

PR tersebut kurang lebih sama di setiap gelombang (Jones, 2012).

Gambar : AV Blok derajat 1.

2. AV Blok derajat II

Dibagi menjadi 2 tipe :

Mobitz tipe 1  (wenckebach block)

Interval PR secara progresif bertambah panjang sampai suatu ketika implus dari

atrium tidak sampai ke ventrikel dan denyut ventrikel (gelombang QRS) tidak tampak, atau

gelombang P tidak diikuti oleh QRS. Hal ini disebabkan karena tonus otot yang

meningkat , keracunan digitalis atau iskemik (Jones, 2012).

 

Gambar : AV Blok derajat II tipe mobitz tipe 1

Mobitz tipe 2

Interval PR tetap sama tetapi didapatkan denyut ventrikel yang berkurang. Dapat

terjadi pada infark miokard akut, miokarditis, dan proses degenerasi.

Gambar : AV Blok derajat II tipe mobitz tipe 2

Page 49: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3. AV Blok derajat III

Disebut juga blok jantung komplit, dimana impuls dari atrium tidak bisa sampai pada

ventrikel, sehingga ventrikel berdenyut sendiri karena impuls yang berasal dari ventrikel

sendiri. Gambaran EKG memperlihatkan adanya gelombang P teratur dengan kecepatan 60

– 90 kali permenit, sedangkan komplek QRS hanya 40 – 60 kali permenit. Hal ini

disebabkan oleh infark miokard akut, peradangan, dan proses degenerasi. Jika menetap

diperlukan pemasangan pacu jantung (Jones, 2012).

Gambar 20 : Third Degree AV Block (Total AV block).

3.8.3 Gangguan pada serabut HIS menyebabkan RBBB dan LBBB

Bundle Branch Block menunjukan adanya gangguan konduksi di cabang kanan atau kiri

sistem konduksi, atau divisi anterior atau posterior cabang kiri. Dimana pada EKG ditemukan

komplek QRS yang melebar lebih dari 0,11 detik disertai perubahan bentuk komplek QRS dan

aksis QRS. Bila cabang kiri yang terkena disebut sebagai Left Bundle Branch Block (LBBB) dan

jika kanan yang terkena disebut Right Bundle Branch Block (RBBB) (Jones, 2012).

1. LBBB

Pada EKG akan terlihat bentuk rsR’ atau R di lead I, aVL, V5 dan V6 yang melebar.

Gangguan konduksi ini dapat menyebabkan aksis bergeser ke kiri yang ekstrim, yang

disebut sebagai left anterior hemiblock (jika gangguan dicabang anterior kiri) dan left

posterior hemiblock (jika gangguan dicabang posterior kiri ).

2. RBBB

Pada EKG akan terlihat kompleks QRS yang melebar lebih dari 0,12 detik dan akan

tampak gambaran rsR’atau RSR’ di V1, V2 , sementara itu di I, aVL, V5 didapatkan S

yang melebar karena depolarisasi ventrikel kanan yang terlambat.

Page 50: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

3.8.4 Patofisiologi Gangguan Konduksi

Mekanisme aritmogenik dapat dibagi menjadi : gangguan pembentukan impuls dan

gangguan konduksi (Muchtar, 2007) :

1. Gangguan pembentukan impuls

a. Kelainan automatisasi

Pada keadaan normal, automatisasi (depolarisasi spontan) hanya terjadi pada nodus

SA. Hal ini disebabkan karena impuls-impuls yang dicetuskan di nodus SA

sedemikian cepatnya sehingga menekan proses automatisasi di sel lain. Apabila

terjadi perubahan tonus susunan saraf pusat otonom atau karena suatu penyakit di

nodus SA sendiri maka dapat terjadi aritmia.

b.      Trigger automatisasi

Dasar mekanisme trigger automatisasi ialah adanya early dan delayed after-

depolarisation yaitu suatu voltase kecil yang timbul sesudah sebuah potensial aksi,

apabila suatu ketika terjadi peningkatan tonus simpatis misalnya pada gagal jantung

atau terjadi penghambatan aktivitas sodium-potassium-ATP-ase misalnya pada

penggunaan digitalis, hipokalemia atau hipomagnesemia atau terjadi reperfusi

jaringan miokard yang iskemik misalnya pada pemberian trombolitik maka keadaan-

keadaan tersebut akan mnegubah voltase kecil ini mencapai nilai ambang potensial

sehingga terbentuk sebuah potensial aksi prematur yang dinamakan “trigger impuls”.

trigger impuls yang pertama dapat mencetuskan sebuah trigger impuls yang kedua

kemudian yang ketiga dan seterusnya sampai terjadi suatu irama takikardi (Jones,

2012).

2. Gangguan konduksi

         a.   Re-entry

Bilamana konduksi di salah satu  jalur terganggu sebagai akibat iskemia atau masa

refrakter, maka gelombang depolarisasi yang berjalan pada jalur tersebut akan

berhenti, sedangkan gelombang pada jalur B tetap berjalan seperti semula bahkan

dapat berjalan secara retrograde masuk dan terhalang di jalur A. Apabila beberapa

saat kemudian terjadi penyembuhan pada jalur A atau masa refrakter sudah lewat

maka gelombang depolarisasi dari jalur B akan menembus rintangan jalur A dan

kembali mengaktifkan jalur B sehingga terbentuk sebuah gerakan sirkuler atau re-

Page 51: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

entry loop. Gelombang depolarisasi yang berjalan melingkar ini bertindak sebagai

generator yang secara terus-menerus mencetuskan impuls (Jones, 2012).

Re-entry loop ini dapat berupa lingkaran besar melalui jalur tambahan yang disebut

macroentrant atau microentrant.

b. Concealed conduction (konduksi yang tersembunyi)

Impuls-impuls kecil pada jantung kadang-kadang dapat menghambat dan menganggu

konduksi impuls utama. Keadaan ini disebut concealed conduction. Contoh

concealed conduction ini ialah pada fibrilasi atrium, pada ekstrasistol ventrikel yang

dikonduksi secara retrograde. Biasanya gangguan konduksi jantung ini tidak

memiliki arti klinis yang penting.

c. Blok

Blok dapat terjadi di berbagai tempat pada sistem konduksi sehingga dapat dibagi

menjadi blok SA (apabila hambatan konduksi pada perinodal zone di nodus SA);

blok AV (jika hambatan konduksi terjadi di jalur antara nodus SA sampai berkas

His); blok cabang berkas (bundle branch block) yang dapat terjadi di right bundle

branch block atau left bundle branch block (Brown, 2012).

BAB III

Page 52: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

PEMBAHASAN

1. Sesak napasSesak nafas atau dyspneu dapat diartikan sebagai perasaan

terganggu ketika bernafas terlepas dari frekuensi ataupun dalamnya respirasi. Normalnya gejala ini terjadi sewaktu melakukan aktivitas fisik dan gejala ini menjadi bermakna hanya jika aktivitas fisik sebelumnya tidak membuat dispnea pada individu yang bersangkutan. Gejala ini berbeda dengan sesak napas pada ansietas di mana pernapasan sadar meningkat mencapai hiperventilasi, dan gejala sesak napas ini memburuk pada waktu istirahat atau situasi stress. Hiperventilasi juga menyebabkan gejala-gejala lain (banyak di antaranya karena penurunan PCO2 dan alkalosis), seperti parastesi perioral dan perifer, penurunan kesadaran, nyeri tajam pada dada kiri di bawah payudara dan pada kasus ekstreme, tetani. Semakin parah kelainan jantung yang mendasari, dispneu akan muncul pada aktivitas yang lebih ringan dan akhirnya pada waktu istirahat. Gambar dibawah memperlihatkan penyebab dispnu (Gray, et al, 2002).

Dispneu karena penyakit jantung terjadi karena kongesti vena pulmonalis. Adanya tekanan pada atrium kiri akan menimbulkan tekanan vena pulmonalis. Adanya tekanan pada atrium kiri akan menimbulkan peningkatan tekanan vena pulmonalis, yang normalnya berkisar 5 mmHg. Jika meningkat, seperti pada penyakit katup mitral

Page 53: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

dan aota atau disfungsi ventrikel kiri, vena pulmonalis akan teregang dan dinding bronkus terjepit dan mengalami edema, menyebabkan batuk iritatif non-produktif dan mengi. Jika tekanan vena pulmonalis naik lebih lanjut dan melebihi tekanan onkotik plasma (sekitar 25 mmHg), jaringan paru menjadi lebih kaku karena edema interstisial (peningkatan kerja otot pernapasan untuk mengembangakan paru dan timbul dispnu), transudat akan terkumpul dalam alveoli yang mengakibatkan edema paru. Jika keadaan berlanjut akan terjadi produksi sputum yang berbuih yang dapat berwarna kemerahan akibat pecahnya pembuluh darah halus bronkus yang membawa darah ke dalam cairan edema (Gray, et al, 2002).

Dispneu jantung akan memburuk dalam posisi berbaring terlentang (ortopnu), dan dapat membangunkan pasien pada dini hari disertai keringat dan ansietas (dispnu nokturnal paroksismal) dan akan berkurang jika duduk tegak atau berdiri. Aliran balik vena sistemik ke jantung kanan meningkat pada posisi setengah duduk (recumbent), terutama pada dini hari ketika volume darah paling tinggi, menyebabkan aliran darah paru meningkat dan disertai pula peningkatan lebih lanjut tekanan vena pulmonalis. Tetapi jika kontraksi ventrikel kanan sangat terganggu, seperti pada kardiomiopati dilatasi atau infark ventrikel kanan, ortopnu dapat berkurang karena jantung kanan tidak dapat meningkatkan aliran darah paru sebagai respons terhadap peningkatan aliran balik vena (Gray, et al, 2002).

Meskipun dispneu jantung dapat terjadi akut, misalnya akibat gagal ventrikel kiri pascainfark miokard akut, dispneu lebih sering memiliki onset gradual dan bersifat kronis, memburuk dengan lambat selama beberapa minggu atau bulan. Pada dispneu yang timbul mendadak harus dipertimbangkan sebab-sebab lain seperti pneumotoraks atau emboli paru (Gray, et al, 2002).

Pada pasien ini, penyebab dispneu lebih mengarah ke kelainan jantung karena dispneu awalnya muncul dalam posisi berbaring saat

Page 54: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

pasien istirahat. Dispneu yang muncul saat istirahat ini menunjukkan parahnya kelainan jantung yang diderita oleh pasien.

2. Nyeri dada, seperti tertindih beban berat, dengan durasi > 30 menit

Nyeri dada khas seperti disebutkan di atas merupakan tanda yang cukup spesifik untuk Acute Coronary Artery (ACS). Acute Coronary Syndrome merupakan sindroma klinis yang terdiri dari infark miokard akut dengan atau tanpa elevasi segmen ST serta angina tidak stabil. Keluhan utamanya berupa nyeri dada dan klasifikasi berdasarkan gambaran EKG, sebagai berikut : (Daga, 2011)

a. Nyeri dada khas disertai elevasi segmen ST (STEMI), yang disebabkan oleh oklusi total arteri koroner epikardial.

b. Nyeri dada khas tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI), yang disebabkan oleh penyempitan arteri koroner yang berat, oklusi transien, atau mikroembolisasi oleh trombus.

Mekanisme pasti bagaimana iskemia menyebabkan nyeri masih belum jelas. Diduga reseptor syaraf terangsang oleh metabolit yang tertimbun oleh suatu zat kimia antara yang belum diketahui, atau oleh stres mekanik lokal akibat kelainan kontraksi miokardium (Brown, 2005). Pada pasien ini nyeri dirasakan nyeri pada dada kiri yang menjalar hingga ke punggung serta terasa seperti tertindih beban berat.

3. Berdebar-debar

Berdebar-debar atau palpitasi, sering ditemukan dan didefinisikan sebagai detak jantung yang disadari dan tidak menyenangkan. Pada awalnya penting untuk mengetahui sensasi yang dijelaskan pasien. Mungkin kesadaran akan adanya detak jantung yang

Page 55: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

lebih kuat dari biasa, lebih cepat, lebih lambat, tidak teratur, atau gabungan semua hal tersebut (Corwin, 2000).

Kesadaran jantung berdebar keras dapat menandakan isi sekuncup yang meningkat (misalnya regurgitasi aorta atau mitral) atau hanya menggambarkan peningkatan kesadaran seseorang terhadap jantungnya (Corwin, 2000).

Palpitasi cepat menunjukkan takikardia. Palpitasi tak teratur dapat cepat, seperti pada fibrilasi atrium, atau lebih lambat, seperti pada denyut ektopik. Dengan ektopik berarti pasien menyadari “denyut ekstra” (ektopik) yang prematur, jeda kompensasi sesudah ektopik yang memberi sensai “denyut hilang”, atau denyut pasca ektopik yang keras dan dirasakan “lebih keras” karena, sebagai susulan, mempunyai isi sekuncup yang lebih besar dari denyut sinus atau ektopik sebelumnya (Corwin, 2000).

Palpitasi yang berkaitan dengan nadi pelan dapat disebabkan blok arterioventrikel atau penyakit nodus sinus. Palpitasi cepat biasanya mulai dan berhenti mendadak, dan disebabkan takikardia atrium, nodusa atrioventrikel atau takikardia ventrikel. Penghentian palpitasi bertahap lebih terkait dengan takikardia sinus (Corwin, 2000).

Pada pasien ini, merasakan sensasi yang sangat jelas bahwa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Sensasi seperti ini dapat digolongkan sebagai palpitasi takikardi. Pada pasien ini, palpitasi kemungkinan disebabkan oleh aritmia, yang didukung oleh hasil pemeriksaan EKG, yaitu atrial fibrilasi.

4. Hasil EKG : HR 100x/mnt, ST depresi, Atrial Fibrilasi, LBBB

Page 56: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Takikardi, merupakan peningkatan kecepatan denyut jantung yang melampaui

batas nilai normalnya (> 90x/menit). Kelainan psikogenik dan sistemik juga harus

dipikirkan. Takikardia nervosa biasanya cepat mereda. Konsumsi teh, kopi, alkohol dan

tembakau perlu digali. Penggunaan obat-obat psikotopik atau simpatomimetik juga dapat

menimbulkan gejala ini. Kemungkinan kelainan jantung perlu dicurigai jika penderita

mengeluhkan gejala sinkop, nyeri angina, sesak nafas atau edema tungkai. Penyebab

takikardi jantung dapat berasal dari supraventrikular atau ventrikular.

Aritmia supraventrikular dan ventrikular harus dibedakan karena aritmia

ventrikular biasanya mempunyai prognosis lebih buruk. Cara membedakannya adalah

aritmia supraventrikular memiliki kompleks QRS yang sempit, sedangkan aritmia

ventrikular mempunyai kompleks QRS yang lebar. Dari hasil EKG ditemukan gambaran

atrial fibrilasi. Pada atrial fibrilasi beberapa signal listrik yang cepat dan kacau "menyala" dari daerah-daerah yang berbeda di atrium, dari pada hanya dari satu daerah pemacu jantung di SA node. Signal-signal ini pada gilirannya menyebabkan kontraksi ventrikel yang cepat dan tidak beraturan. Penyebab-penyebab dari atrial fibrilasi termasuk serangan jantung, tekanan darah tinggi, gagal jantung, penyakit katup mitral (seperti mitral valve prolapse), tiroid yang aktif berlebihan, gumpalan darah di paru (pulmonary embolism), alkohol yang berlebihan, emfisema, dan radang dari lapisan jantung (pericarditis).

Pada blokade cabang berkas kiri, konduksi yang melewati berkas kiri diobstruksi. Akibatnya, depolarisasi ventrikel kiri terlambat terjadi. Tertundanya depolarisasi ventrikel kiri menyebabkan durasi komplesks QRS melebar, dan adanya perubahan bentuk khas pada sadapan yang terletak di ventrikel kiri.

Segmen ST normalnya pada seluruh sadapan berbentuk horizontal dan isoelektrik atau sedikit menanjak landai. Segmen ini menggambarkan waktu antara akhir depolarisasi ventrikel sampai pada permulaan repolarisasi ventrikel. Elevasi segmen ST menandakan

Page 57: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

infark miokard akut (tentukan bagian jantung sesuai hasil bacaan tiap sadapan). Depresi segmen ST menandakan iskemia. Pada pasien ini terdapat ST depresi di lead V4, V5, V6, yang menunjukan adanya iskemia pada jantung bagian anterior, dan lateral kiri.

5. Edema Paru dan RhonkiSalah satu penyebab edema paling sering dan paling serius adalah gagal jantung.

Pada gagal jantung, jantung gagal memompa darah secara normal dari vena kedalam

arteri; hal ini meningkatkan tekanan vena

dan tekanan kapiler, yang menyebabkan

peningkatan filtrasi kapiler. Selain itu,

tekanan arteri cenderung turun,

menyebabkan penurunan ekskresi garam

dan air oleh ginjal, yang meningkatkan

volume darah dan lebih lanjut meningkatkan

tekanan hidrostatik kapiler sehingga edema

makin bertambah. Penurunan aliran darah

ke ginjal juga merangsang sekresi renin,

menyebabkan peningkatan pembentukan

angiotensin II dan peningkatan sekresi

aldosteron, yang menambah beratnya retensi garam dan air oleh ginjal. Jadi, pada gagal

jantung yang tidak diobati, semua faktor bekerja sama membentuk edema ekstrasel yang

hebat.

Pasien pada gagal jantung kiri tanpa gagal jantung kanan yang bermakna, darah

dipompa secara normal keparu-paru oleh jantung

kanan tapi tidak dapat keluar dengan dari vena

pulmonalis ke jantung kiri karena sisi jantung kiri

ini sangat lemah. Akibatnya, semua tekanan

pembuluh paru termasuk kapiler paru, meningkat

jauh di atas normal, menyebabkan edema paru

Page 58: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

berat. Edema paru ini akan menyebabkan terdengarnya rhonki basah halus pada

auskultasi.

6. SCM AktifPada pemeriksaan fisik pasien didapatkan otot SCM yang aktif

saat pasien bernapas. Hal ini menunjukkan suatu mekanisme adaptasi tubuh akibat terjadinya hipoksia kronis, sehingga tubuh berusaha untuk meningkatkan oksigen dalam darah dengan cara meningkatkan laju pernapasan, dalamnya pernapasan dan kualitas pernapasan. Bila hal ini berlangsung terus menerus dan dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan hipertrofi otot SCM.

7. Tidur dengan menggunakan 2 bantal (orthopneu)Saat berbaring, aliran balik vena ke jantung akan meningkat dan

juga dapat mengelevasi diafragma. Kedua efek ini dapat memperparah dyspneu pada pasien dengan gagal jantung.Hal ini dapat menginduksi terjadinya distress pernapasan, sehingga menyebabkan pasien terbangun dan batuk.

Derajat peninggian tubuh bagian atas selama tidur (tanyakan berapa bantal dipakai bersandar!) dapat dijadikan indikator yang baik untuk menentukan tingkat keparahan gagal jantung.

Walaupun orthopnea merupakan indikator yang relatif sensitif, namun tidak selalu spesifik untuk gagal jantung.Keadaan ini dapat terjadi pada penyakit paru obstruktif, copious ascites, dan efusi pleura yang luas. Berbaring akan menyebabkan timbulnya gejala orthopnea dalam beberapa menit, dan saat berdiri akan mampu meredakan gejala dalam beberapa menit.

Page 59: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

DAFTAR PUSTAKA

Alwi Idrus, 2006. Infark Miokard Akut Dengan Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi

Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 4.

Page 60: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,

1615-1625.

American Heart Association. 2008. Atrial Fibrillation (for Professionals)., Inc. 2008-12-04.

Archived from the original on 2009-03-28.

Bassand JP, Hamm CW, Ardissino D, et al. 2007. Guideline for the diagnosis and treatment of

non-ST segment acute coronary syndrome.The task Force for the Diagnosis and treatment

of Non-ST Elevation Acute Coronary Syndrome of the Europe Society of Cardiology. Eur

Heart J 2007; 28:1598-1660

Braunwald, 2007. Harrison Prinsiples of Internal Medicine: Edisi 17. Mc. Graw Hill.

Philadelphia, 1387-1397.

Brown, Kennedy. Heart Disease and Abnormal Heart Rhythm (Arrhythmia) [cited 2012

November 25]. Available from : http://www.medicinenet.com/arrhythmia_irregular_

heartbeat/article.htm

Brown, Carol T. Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, Sylvia A dan Lorraine M.

Wilson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Volume 1. Edisi 6. Jakarta:

EGC, 2005, hal 576-611

Corwin, Elizabeth, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta, EGC; 2000.

Gray, Huon H., et,al. Gagal Jantung. Dalam: Gray, Huon H., et,al. Ed. Lecture Notes:

Kardiologi. Edisi keempat. Jakarta: Erlangga, 2002, h. 80 – 97

Jones, Edward. Electrocardiogaph [cited 2012 November 25]. Available from

http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Undergraduate-13134-Abstract_id.pdf

Kumar Vinay, Burns Dennis, 2007. Jantung. Dalam: Hartanto Huriawati, Darminiah Nurwani,

Wulandari Nanda, 2007. Buku Ajar Patologi;Robbins: Edisi 7. EGC. Jakarta, 406-416.

Manurung, Daulat. Gagal Jantung Akut. Dalam: Sudoyo, Aru W., Ed. Buku Ajar ilmu Penyakit

Dalam. Edisi Lima. Jakarta: Interna Publishing, 2009, h. 1586 – 1595.

Muchtar, Suyatna. Obat Antiaritmia. In: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI; 2007

Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K. 2003. Relationship between left atrial

appendage function and left atrial thrombus in patient with nonvalvular chronic atrial

fibrillation and atrial flutter. Circulation Journal 67.

Page 61: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml. Ed.3. Jakarta.

EGC, 1522-27.

Panggabean, Marulam M. Gagal Jantung. Dalam: Sudoyo, Aru W., Ed. Buku Ajar ilmu Penyakit

Dalam. Edisi Lima. Jakarta: Interna Publishing, 2009, h. 1583 – 1585.

Prabowo, Pramonohadi. Gagal Jantung. Dalam: Joewono, Boedi S., Ed. Ilmu Penyakit Jantung.

Surabaya: Airlangga University Press, 2003, h. 135 – 145.

Santoso M, Setiawan T, 2005. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran No. 147. 6-

9.

Sjaharudin H, Alwi Idrus, Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Dalam: Sudoyo AW,

Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam:

Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jakarta, 1626-1631.

Sudoyo AW, Setiohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. IlmuPpenyakit

Dalam:Edisi ke 4. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta.

Suryadipraja, R. Miftah. Gagal Jantung dan Penatalaksanaannya. Dalam: Noer, Sjaifoellah, Ed.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1996, h. 975 –

985

Terkelsen CJ. Lassen JF. Norgard BL, et al. 2005. Mortality rates in patients with ST-elevation

vs non-ST elevation acute myocardial infarction : observations from unselected cohort. Eur

Heart J;26: 18-26.

Trisnohadi Hanafi B, 2006. Angina Pektoris Tak Stabil. Dalam: Sudoyo AW, Setiohadi

Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata MK, Setiati Siti, 2006. Ilmu penyakit dalam: Edisi ke 4.

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta,

1606-1609.

Valenti A, Caimi G, Presti RL, 2007. Acute myocardial infarction in young adults: evaluation of

haemorheological pattern at the initial age, after 3 and 12 months. Ann Ist Super Sanita,

2007;43:139-143.

Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). Increased atrial fibrillation mortality: United

States, 1980-1998. Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.

Page 62: Responsi Jantung Unstable Angina Pectoris, Acute on Chronic Heart Failure, AF Paroxismal, LBBB

William T, Mahle MD, Robert M, Campbell MD, Favaloro-Sabatier J.2007, Myocardial

Infarction in Adolescent. Journal of peds 2007 augst.150-154.