38
Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS Oleh: Brilliana Firly Ariesti dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM FK UNUD/RSUP SANGLAH 2016

Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Responsi

RHEUMATOID ARTHRITIS

Oleh:

Brilliana Firly Ariesti

dr. Tjok Istri Anom Saturti, Sp.PD

DI BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

FK UNUD/RSUP SANGLAH

2016

Page 2: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan

rakhmatnya maka laporan responsi kasus yang mengambil topik “Rheumatoid

Arthritis” ini dapat selesai pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-

pihak yang telah membantu dalam penyelesaian responsi ini. Responsi kasus ini

disusun sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di bagian

Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah.

Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:

1. dr. Tjok Istri Anom Saturti,Sp.PD selaku pembimbing sekaligus penguji

dalam pembuatan responsi kasus ini

2. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan responsi

kasus ini.

Penulis menyadari laporan ini masih jauh dari sempurna dan banyak

kekurangan, sehingga saran dan kritik pembaca yang bersifat membangun sangat

penulis harapkan untuk kesempurnaan laporan responsi kasus ini. Semoga tulisan

ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, Agustus 2016

Penulis

Page 3: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN ................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I Pendahuluan ......................................................................................... 1

BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................. 3

2.1 Definisi ............................................................................................ 3

2.2 Epidemiologi .................................................................................. 3

2.3 Faktor Risiko .................................................................................. 4

2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi ....................................................... 4

2.3.2 Dapat Dimodifikasi .................................................................. 5

2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi ................................................... 6

2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan

Diagnosis ........................................................................................ 10

2.5.1 Manifestasi Klinis .................................................................... 10

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang ........................................................... 11

2.5.3 Diagnosis ................................................................................. 11

2.6 Tatalaksana ..................................................................................... 13

2.6.1 Pencegahan .............................................................................. 13

2.6.2 Penanganan .............................................................................. 14

2.7 Diagnosis Banding ......................................................................... 15

2.8 Prognosis ........................................................................................ 16

BAB III Laporan Kasus ....................................................................................... 17

BAB IV Pembahasan ........................................................................................... 28

BAB V Simpulan ................................................................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33

LAMPIRAN ........................................................................................................... 35

Page 4: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit reumatik adalah penyakit yang menyerang persendian dan struktur di

sekitarnya yang terdiri lebih dari 100 jenis. Salah satu jenis dari penyakit reumatik

adalah Rheumatoid Arthritis (Nainggolan,2009). Rheumatoid Arthritis (RA)

adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi kronik yang menyerang

sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem tubuh secara

keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi

jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian

prematur (Mclnnes,2011).

Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA

bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan berbagai grup etnik yang berkaitan

dengan susunan genetik. Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli

Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%.

Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1%

(Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan pendapatan rendah

dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar 0,4%,

Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar

1,25%. Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita

yaitu 0,75% dan dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki

dan 12,21 juta wanita menderita RA pada tahun 2000 kemudian

meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang menderita RA

pada tahun 2010 (Rudan dkk, 2015).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data

terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah

kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203

dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)

memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas

angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.

Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun banyak

faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya adalah

faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi, faktor

Page 5: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,

polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).

Telah diketahui bahwa RA adalah penyakit kronik dan fluktuatif sehingga

apabila tidak dilakukan penanganan yang tepat dan cepat akan menyebabkan

kerusakan sendi yang progresif, deformitas, disabilitas, dan kematian. Menurut

Fuch dan Edward, hanya 15% pasien RA yang memperoleh pengobatan secara

medis yang mengalami remisi atau berfungsi normal setelah 10 tahun sejak awal

onset dan hanya 17% dengan tanpa disabilitas. Prognosis RA sendiri dievaluasi

dari berbagai parameter seperti level remisi, status fungsional, dan derajat

kerusakan sendi (Sumariyono,2010).

Masyarakat usia dewasa yang berusia diantara 25 hingga 60 tahun masih

merupakan masa-masa produktif di kehidupannya. Tanggung jawab secara fisik,

biologis, ekonomi dan sosial sangat dibutuhkan dan berkaitan erat dengan status

kesehatannya saat ini. Banyak penyakit degeneratif yang onsetnya dimulai sejak

usia pertengahan menyebabkan produktifitas masyarakat menurun dan masa

lansia di kemudian hari menjadi kurang berkualitas. Salah satu penyakit tersebut

adalah RA dimana proses patologi imunologinya terjadi beberapa tahun sebelum

muncul gejala klinis. Walaupun angka kejadian RA banyak terjadi pada lansia

namun tidak menutup kemungkinan proses patologi telah terjadi seiring

peningkatan usia dan adanya berbagai faktor risiko yang saling berkaitan.

Banyak upaya yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya RA dan

memberikan pengobatan secara cepat dan tepat bagi yang telah terdiagnosis salah

satunya dengan melakukan deteksi dini pada masyarakat usia dewasa. Ada banyak

alat ukur dan kriteria yang dapat digunakan dalam mendiagnosis RA. Diantaranya

adalah berdasarkan kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang

direvisi tahun 1987 dan kriteria ACR (American College of Rheumatology) yang

direvisi tahun 2010.

Page 6: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum

diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus

disertai keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam

yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif. Sebagian besar kasus perjalananya

kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia,2014).

Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan

“itis” yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi.

Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana

persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi

pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam

sendi (Febriana,2015).

Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak

mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan

ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada

masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan

berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai

pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

2.2 Epidemiologi Rheumatoid Arthritis

Prevalensi dan insiden penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainnya,

di Amerika Serikat dan beberapa daerah di Eropa prevalensi RA sekitar 1% pada

kaukasia dewasa, Perancis sekitar 0,3%, Inggris dan Finlandia sekitar 0,8% dan

Amerika Serikat 1,1% sedangkan di Cina sekitar 0,28%. Jepang sekitar 1,7% dan

India 0,75%. Insiden di Amerika dan Eropa Utara mencapai 20-50/100000 dan

Eropa Selatan hanya 9-24/100000. Di Indonesia dari hasil survei epidemiologi di

Bandungan Jawa Tengah didapatkan prevalensi RA 0,3% sedang di Malang pada

penduduk berusia diatas 40 tahun didapatkan prevalensi RA 0,5% di daerah

Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN

Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1%

Page 7: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan Sadikin didapatkan

9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002 (Aletaha et al,2010).

Data epidemiologi di Indonesia tentang penyakit RA masih terbatas. Data

terakhir dari Poliklinik Reumatologi RSCM Jakarta menunjukkan bahwa jumlah

kunjungan penderita RA selama periode Januari sampai Juni 2007 sebanyak 203

dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 1.346 pasien. Nainggolan (2009)

memaparkan bahwa provinsi Bali memiliki prevalensi penyakit rematik di atas

angka nasional yaitu 32,6%, namun tidak diperinci jenis rematik secara detail.

Sedangkan pada penelitian Suyasa et al (2013) memaparkan bahwa RA adalah

peringkat tiga teratas diagnosa medis utama para lansia yang berkunjung ke

tempat pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis di salah satu wilayah

pedesaan di Bali.

2.3 Faktor Risiko Rheumatoid Arthritis

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan kasus RA dibedakan menjadi

dua yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat

dimodifikasi:

2.3.1 Tidak Dapat Dimodifikasi

1. Faktor genetik

Faktor genetik berperan 50% hingga 60% dalam perkembangan RA.

Gen yang berkaitan kuat adalah HLA-DRB1. Selain itu juga ada gen

tirosin fosfatase PTPN 22 di kromosom 1. Perbedaan substansial pada

faktor genetik RA terdapat diantara populasi Eropa dan Asia. HLA-

DRB1 terdapat di seluruh populasi penelitian, sedangkan polimorfisme

PTPN22 teridentifikasi di populasi Eropa dan jarang pada populasi

Asia. Selain itu ada kaitannya juga antara riwayat dalam keluarga

dengan kejadian RA pada keturunan selanjutnya.

2. Usia

RA biasanya timbul antara usia 40 tahun sampai 60 tahun. Namun

penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak

(Rheumatoid Arthritis Juvenil). Dari semua faktor risiko untuk

timbulnya RA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan

Page 8: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

beratnya RA semakin meningkat dengan bertambahnya usia. RA

hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada usia dibawah 40 tahun

dan sering pada usia diatas 60 tahun.

3. Jenis kelamin

RA jauh lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki dengan rasio

3:1. Meskipun mekanisme yang terkait jenis kelamin masih belum

jelas. Perbedaan pada hormon seks kemungkinan memiliki pengaruh.

2.3.2 Dapat Dimodifikasi

1. Gaya hidup

a. Status sosial ekonomi

Penelitian di Inggris dan Norwegia menyatakan tidak terdapat

kaitan antara faktor sosial ekonomi dengan RA, berbeda dengan

penelitian di Swedia yang menyatakan terdapat kaitan antara

tingkat pendidikan dan perbedaan paparan saat bekerja dengan

risiko RA.

b. Merokok

Sejumlah studi cohort dan case-control menunjukkan bahwa rokok

tembakau berhubungan dengan peningkatan risiko RA. Merokok

berhubungan dengan produksi dari rheumatoid factor(RF) yang

akan berkembang setelah 10 hingga 20 tahun. Merokok juga

berhubungan dengan gen ACPA-positif RA dimana perokok

menjadi 10 hingga 40 kali lebih tinggi dibandingkan bukan

perokok. Penelitian pada perokok pasif masih belum terjawab

namun kemungkinan peningkatan risiko tetap ada.

c. Diet

Banyaknya isu terkait faktor risiko RA salah satunya adalah

makanan yang mempengaruhi perjalanan RA. Dalam penelitian

Pattison dkk, isu mengenai faktor diet ini masih banyak

ketidakpastian dan jangkauan yang terlalu lebar mengenai jenis

makanannya. Penelitian tersebut menyebutkan daging merah dapat

meningkatkan risiko RA sedangkan buah-buahan dan minyak ikan

Page 9: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

memproteksi kejadian RA. Selain itu penelitian lain menyebutkan

konsumsi kopi juga sebagai faktor risiko namun masih belum jelas

bagaimana hubungannya.

d. Infeksi

Banyaknya penelitian mengaitkan adanya infeksi Epstein Barr

virus (EBV) karena virus tersebut sering ditemukan dalam

jaringan synovial pada pasien RA. Selain itu juga adanya

parvovirus B19, Mycoplasma pneumoniae, Proteus, Bartonella,

dan Chlamydia juga memingkatkan risiko RA.

e. Pekerjaan

Jenis pekerjaan yang meningkatkan risiko RA adalah petani,

pertambangan, dan yang terpapar dengan banyak zat kimia namun

risiko pekerjaan tertinggi terdapat pada orang yang bekerja dengan

paparan silica.

2. Faktor hormonal

Hanya faktor reproduksi yang meningkatkan risiko RA yaitu pada

perempuan dengan sindrom polikistik ovari, siklus menstruasi

ireguler, dan menarche usia sangat muda.

3. Bentuk tubuh

Risiko RA meningkat pada obesitas atau yang memiliki Indeks Massa

Tubuh (IMT) lebih dari 30.

2.4 Etiopatogenesis dan Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

Penyebab pasti masih belum diketahui secara pasti dimana merupakan penyakit

autoimun yang dicetuskan faktor luar (infeksi, cuaca) dan faktor dalam (usia, jenis

kelamin, keturunan, dan psikologis). Diperkirakan infeksi virus dan bakteri

sebagai pencetus awal RA. Sering faktor cuaca yang lembab dan daerah dingin

diperkirakan ikut sebagai faktor pencetus.

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek

dan reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal,

mungkin infeksi virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi

terhadap antibodi abnormal, sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun).

Page 10: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Proses autoimun dalam patogenesis RA masih belum tuntas diketahui, dan

teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi berbagai peran yang saling

terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta peran imunitas

selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua peran

ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan

pada sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya.

Sitokin merupakan local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan,

diferensiasi dan aktivitas sel, dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan

dalam proses keradangan yaitu TNF α, IL-1, yang terutama dihasilkan oleh

monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel mesenzim seperti sel

fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang pengeluaran enzim

penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs) (Putra dkk,2013).

Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

(Sumber: McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N

Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19)

Page 11: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari

pemeriksaan laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP

dalam darah. RF adalah antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat

pembentukan antibodi terhadap antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen

luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF didapatkan pada 75 sampai 80%

penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-CCP didapatkan pada

hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan terutama terdapat

pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan sarana

diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit (Putra

dkk,2013).

Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi

RA. Hal ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan

IL-17, yaitu sitokin yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah

peradangan pada membran sinovial, jaringan yang melapisi dan melindungi sendi.

Sedangkan sel B berperan melalui pembentukan antibodi, mengikat patogen,

kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi diawali dengan reaksi inflamasi

dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran sinovial. Kejadian tersebut

menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang terdiri dari sel

fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang. Pannus

tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit

dan kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat

juga terjadi proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah

pembentukan protein fase akut (CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit

jantung, osteoporosis serta mampu mempengaruhi hypothalamic-pituitary-

adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan depresi (Choy, 2012).

Page 12: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Gambar 2. Patofisiologi Rheumatoid Arthritis

(Sumber: McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N

Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19)

Pada keadaan awal terjadi kerusakan mikrovaskular, edema pada jaringan di

bawah sinovium, poliferasi ringan dari sinovial, infiltrasi PMN, dan penyumbatan

pembuluh darah oleh sel radang dan trombus. Pada RA yang secara klinis sudah

jelas, secara makros akan terlihat sinovium sangat edema dan menonjol ke ruang

sendi dengan pembentukan vili. Secara mikros terlihat hiperplasia dan hipertropi

sel sinovia dan terlihat kumpulan residual bodies. Terlihat perubahan pembuluh

darah fokal atau segmental berupa distensi vena, penyumbatan kapiler, daerah

trombosis dan pendarahan perivaskuler. Pada RA kronis terjadi kerusakan

menyeluruh dari tulang rawan, ligamen, tendon dan tulang. Kerusakan ini akibat

dua efek yaitu kehancuran oleh cairan sendi yang mengandung zat penghancur

dan akibat jaringan granulasi serta dipercepat karena adanya Pannus (Putra

dkk,2013).

Page 13: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

2.5 Manifestasi Klinis, Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis Rheumatoid

Arthritis

2.5.1 Manifestasi Klinis

Keluhan biasanya mulai secara perlahan dalam beberapa minggu atau

bulan. Sering pada keadan awal tidak menunjukkan tanda yang jelas.

Keluhan tersebut dapat berupa keluhan umum, keluhan pada sendi dan

keluhan diluar sendi (Putra dkk,2013).

1. Keluhan umum

Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan

menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan

berat badan.

2. Kelainan sendi

Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi

pergelangan tangan, lutut dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya

juga dapat terkena seperti sendi siku, bahu sterno-klavikula,

panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang terbatas pada

leher. Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari,

pembengkakan dan nyeri sendi.

3. Kelainan diluar sendi

a. Kulit : nodul subukutan (nodul rematoid)

b. Jantung : kelainan jantung yang simtomatis jarang

didapatkan, namun 40% pada autopsi RA didapatkan kelainan

perikard

c. Paru : kelainan yang sering ditemukan berupa paru

obstruktif dan kelainan pleura (efusi pleura, nodul subpleura)

d. Saraf : berupa sindrom multiple neuritis akibat vaskulitis

yang sering terjadi berupa keluhan kehilangan rasa sensoris di

ekstremitas dengan gejala foot or wrist drop

e. Mata : terjadi sindrom sjogren (keratokonjungtivitis sika)

berupa kekeringan mata, skleritis atau eriskleritis dan

skleromalase perforans

Page 14: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

f. Kelenjar limfe: sindrom Felty adalah RA dengan

spleenomegali, limpadenopati, anemia, trombositopeni, dan

neutropeni

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive

Protein (CRP) meningkat

b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif

namun RF negatif tidak menyingkirkan diagnosis

c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya

digunakan dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan

spesifisitas 95-98% dan sensitivitas 70% namun hubungan

antara anti CCP terhadap beratnya penyakit tidak konsisten

2. Radiologis

Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan

ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi

tulang, atau subluksasi sendi.

2.5.3 Diagnosis

Terdapat beberapa kesulitan dalam mendeteksi dini penyakit RA. Hal ini

disebabkan oleh onset yang tidak bisa diketahui secara pasti dan hasil

pemeriksaan fisik juga dapat berbeda-beda tergantung pada pemeriksa.

Meskipun demikian, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa alat

ukur diagnosis RA dengan ARA (American Rheumatism Association) yang

direvisi tahun 1987 memiliki sensitivitas 91%. Hasil laboratorium yang

digunakan dalam mendiagnosis RA ditemukan kurang sensitif dan spesifik.

Sebagai contoh, IGM Rheumatoid Factor memiliki spesifisitas 90% dan

sensitivitas hanya 54%. (Bresnihan, 2002)

Berikut adalah kriteria ARA (American Rheumatism Association) yang

direvisi tahun 1987 yang masih dapat digunakan dalam mendiagnosis RA:

1. Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-kurangnya selama

1 jam sebelum perbaikan maksimal.

Page 15: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

2. Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis) pada 3 daerah

sendi atau lebih secara bersamaan.

3. Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi satu

pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal interphalangeal),

MCP (metacarpophalangeal), atau pergelangan tangan.

4. Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua belah sisi

misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP

(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).

5. Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan tulang atau

permukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler.

6. Rheumatoid Factor serum positif

7. Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada sendi tangan

atau pergelangan tangan yaitu erosi atau dekalsifikasi tulang pada sendi

yang terlibat

Diagnosa RA, jika sekurang-kurangnya memenuhi 4 dari 7 kriteria di

atas dan kriteria 1 sampai 4 harus ditemukan minimal 6 minggu. Selain

kriteria diatas, dapat pula digunakan kriteria diagnosis RA berdasarkan skor

dari American College of Rheumatology (ACR/Eular) 2010. Jika skor ≥6,

maka pasien pasti menderita RA. Sebaliknya jika skor <6 pasien mungkin

memenuhi kriteria RA secara prospektif (gejala kumulatif) maupun

retrospektif (data dari keempat domain didapatkan dari riwayat penyakit)

(Putra dkk,2013).

Distribusi Sendi (0-5) Skor

1 sendi besar

2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)

4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)

>10 sendi kecil

0

1

2

3

5

Serologi (0-3)

RF negatif DAN ACPA negatif

Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA

Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA

0

2

3

Page 16: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Durasi Gejala (0-1)

<6 minggu

≥6 minggu

0

1

Acute Phase Reactant (0-1)

CRP normal DAN LED normal

CRP abnormal ATAU LED abnormal

0

1

2.6 Tatalaksana

2.6.1 Pencegahan

Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun

berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat

dilakukan untuk menekan faktor risiko:

1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi

risiko peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang

menggunakan 1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami

perbaikan klinis setelah rutin berjemur di bawah sinar UV-B.

2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi.

Gerakan-gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun,

menarik kaki ke belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot

lainnya. Bila mungkin, aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.

3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih

berat untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet

makanan dan olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada

sendi.

4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong,

jeruk, bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin

A,C, D, E juga sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi

akibat radikal bebas.

5. Memenuhi kebutuhan air tubuh. Cairan synovial atau cairan pelumas

pada sendi juga terdiri dari air. Dengan demikian diharapkan

mengkonsumsi air dalam jumlah yang cukup dapat memaksimalkan

Page 17: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

sisem bantalan sendi yang melumasi antar sendi, sehingga gesekan bisa

terhindarkan. Konsumsi air yang disrankan adalah 8 gelas setiap hari.

(Candra, 2013)

6. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok

merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya

pencegahan RA yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi

perokok akif maupun pasif. (Febriana, 2015).

2.6.2 Penanganan

Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan

pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga.

Tujuan pengobatan adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas,

mengembalikan fungsi sendi, dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut

(Kapita Selekta,2014).

1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)

Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi.

NSAID yang dapat diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen,

piroksikam, dikofenak, dan sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi

kerusakan tulang rawan sendi dan tulang dari proses destruksi.

2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)

Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses

destruksi oleh Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu:

hidroksiklorokuin, metotreksat, sulfasalazine, garam emas, penisilamin,

dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal maupun kombinasi

(Putra dkk,2013).

3. Kortikosteroid

Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari

sebagai “bridge” terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil

menunggu efek DMARDs yang baru muncul setelah 4-16 minggu.

4. Rehabilitasi

Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.

Caranya dapat dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui

Page 18: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

pemakaian tongkat, pemasangan bidai, latihan, dan sebagainya. Setelah

nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.

5. Pembedahan

Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan,

maka dapat dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi,

contohnya sinovektomi, arthrodesis, total hip replacement, dan

sebagainya. (Kapita Selekta, 2014)

Tabel 1. DMARD untuk terapi RA

OBAT ONSET DOSIS Keterangan

Sulfasalazin 1-2 bulan 1x500mg/hari/io

ditingkatkan setiap

minggu hingga

4x500mg/hari

Digunakan sebagai lini

pertama

Metotreksat 1-2 bulan Dosis awal 7,5-10

mg/ minggu/IV

atau peroral 12,5-

17,5mg/minggu

dalam 8-12 minggu

Diberikan pada kasus

lanjut dan berat. Efek

samping: rentan infeksi,

intoleransi GIT,

gangguan fungsi hati dan

hematologik

Hidroksiklorokuin 2-4 bulan 400 mg/hari Efek samping: penurunan

tajam penglihatan, mual,

diare, anemia hemolitik

Asatioprin 2-3 bulan 50-150 mg/hari Efek samping: gangguan

hati, gejala GIT,

peningkatan TFH

D-penisilamin 3-6 bulan 250-750mg/hari Efek samping: stomatitis,

proteinuria, rash

2.7 Diagnosis Banding Rheumatoid Arthritis

RA harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti artropati reaktif

yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit

jaringan ikat lainnya seperti Lupus Eritematosus Sistemik (LES), yang mungkin

Page 19: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

mempunyai gejala menyerupai RA. Adanya kelainan endokrin juga harus

disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama dengan RA, bila dicurigai ada

artritis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan. Selain itu,

osteoartritis juga memiliki kemiripan gejala dengan RA.

2.8 Prognosis Rheumatoid Arthritis

Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan

pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh

puluh lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun.

Selebihnya dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga

meningkat 10-15 tahun lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami

RA. Khususnya pada penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat

disebabkan oleh infeksi, penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan

saluran cerna. Sekitar 40% pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke

depanya. Penggunaan DMARD kurang dari 12 minggu setelah gejala awal

menunjukkan hasil remisi yang lebih baik (Kapita Selekta, 2014). Indikator

prognostik buruk berupa banyak sendi yang terserang, LED dan CRP tinggi, RF

(+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada awal penyakit dan sosial ekonomi

rendah.

Page 20: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : M

Umur : 49 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku : Jawa

Agama : Islam

Status Perkawinan : Menikah

Pendidikan Terakhir : SMP

Pekerjaan : Pedagang dan penjaga villa

Alamat : Jl. Goa Gong Br. Kutuh Unggasan Kuta

Badung

Tanggal MRS : 13 September 2015

Tanggal Pemeriksaan Pasien : 17 September 2015

3.2 KELUHAN UTAMA

Nyeri sendi

3.3 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien datang sadar pada tanggal 13 September 2015 dengan keluhan nyeri

sendi di lutut kiri dan kanan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

sampai tidak bisa berjalan. Keluhan dikatakan oleh pasien pertama kali dirasakan

sejak 2 bulan SMRS, semakin hari semakin memberat dan terparah sejak 2 hari

SMRS. Selain itu, nyeri sendi juga dirasakan di pergelangan tangan dan jari-jari

tangan kanan dan kiri terutama pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Awal

mula keluhan adalah rasa kaku di pangkal jari-jari tangan dan pergelangan tangan

kanan kiri yang muncul bersamaan pada pagi hari dan berlangsung kurang dari 30

menit namun semakin hari muncul hingga lebih dari 1 jam. Semakin lama, pasien

merasa sendi jari-jarinya menjadi bengkak. Selanjutnya nyeri dirasakan pula di

kedua lutut pasien yang semakin memberat dari hari ke hari, dimana pasien masih

bisa menahan dan beraktivitas seperti biasa hingga nyeri yang dirasakannya

Page 21: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

menjadi kemerahan dan bengkak sehingga tidak bisa berjalan. Kemudian pasien

juga merasakan nyeri di sendi-sendi seluruh badan. Utamanya di leher, bahu, siku,

dan pinggang. Keluhan tersebut membaik saat pasien beristirahat dan memberat

saat beraktivitas atau saat sendi digerakkan.

Pasien juga mengeluhkan lemas sejak 1 hari SMRS. Lemas dikatakan tidak

membaik dengan istirahat. Keluhan demam, sesak, diare, mual, muntah dan

kekeringan pada mata disangkal pasien. Pasien tidak merasakan adanya

penurunan nafsu makan dan berat badan dikatakan biasa saja. Riwayat BAB dan

BAK dikatakan tidak ada masalah dan dalam batas normal.

Riwayat Pengobatan

Sejak keluhan muncul, pasien sempat memeriksakan diri ke dokter klinik

sebanyak 3 kali. Saat periksa tersebut pasien dicek kadar asam uratnya dan

dinyatakan normal, pasien juga tidak dijelaskan mengenai jenis penyakit yang

dideritanya dan hanya diberikan berbagai macam obat mulai dari obat oral dan

suntik namun pasien mengatakan lupa jenis dan merk obatnya. Ketika obat habis,

pasien memeriksakan kembali keluhannya yang tidak membaik ke dokter lainnya.

Pasien juga membeli obat-obatan sendiri seperti tablet penambah stamina dan

parasetamol. Karena merasa lemas sejak satu hari SMRS, pagi hari SMRS pasien

meminum tablet penambah stamina dan beberapa saat kemudian semakin lemas

karena mengganggap mengonsumsi obat tanpa makan terlebih dahulu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan nyeri sendi dan

bengkak seperti ini. Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan

lupus disangkal oleh pasien. Sekitar 2 tahun lalu pasien hanya pernah MRS di RS

Kasih Ibu karena sakit muntaber.

Riwayat Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama.

Riwayat hipertensi, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan lupus pada keluarga

disangkal oleh pasien.

Page 22: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Riwayat Sosial dan Pribadi

Pasien bekerja sebagai pedagang dan penjaga villa. Terkadang pasien

membuat dan berjualan krupuk di rumahnya, namun tidak sampai berkeliling

dalam menjajakan dagangannya. Setiap harinya pasien beraktivitas membersihkan

villa yang satu kawasan dengan rumahnya. Riwayat konsumsi rokok dan alkohol

disangkal oleh pasien. Pasien hanya memiliki kebiasaan minum kopi 3 gelas

setiap harinya yang diminum setiap pagi, siang, dan sore. Pasien tidak memiliki

kebiasaan khusus dalam mengonsumsi makanan karena selalu berganti-ganti

menu di setiap harinya, pasien menyangkal sering mengonsumsi daging merah.

Pasien juga tidak terlalu sering makan sayur-sayuran dan buah-buahan.

3.4 PEMERIKSAAN FISIK (17 September 2015)

Status Present

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Compos Mentis

GCS : E4V5M6

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit reguler

Respirasi : 20 x/menit

Temperatur : 36,5ºC

BB / TB : 45 kg / 152 cm

BMI : 19,47 kg/m2

Satus Gizi : Baik

VAS : 5/10 (nyeri sendi)

Status General

Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor,

edema palpebra (-/-)

THT : dalam batas normal,

Leher : pembesaran kelenjar limfe (-)

Thoraks : simetris

Cor: Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

Page 23: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Palpasi : iktus kordis tidak teraba

Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung

parasternal line dekstra, batas kiri jantung

midclavicular line sinistra ICS V

Auskultasi : S1 S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo: Inspeksi : Simetris saat statis & dinamis, retraksi (-)

Palpasi : Vokal fremitus N|N

N|N

N|N

Perkusi : sonor | sonor

sonor | sonor

sonor | sonor

Auskultasi : vesikuler +|+, ronkhi -|-, wheezing -|-

+|+, -|-, -|-

+|+, -|-, -|-

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-),

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba

Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Hangat +|+ edema -|-

+|+ -|-

Status Lokalis

Sendi Proximal Interphalangeal (PIP) digiti I, II, III dekstra dan sinistra

Inspeksi : eritema (-), edema (+), kontraktur(-),nodul rematoid(-)

Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+)

ROM : flexi : 45

Page 24: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Sendi Genu Dekstra dan Sinistra

Inspeksi : eritema (+), edema (+), kontraktur (-)

Palpasi : hangat (+), nyeri tekan (+), bulging (-), krepitasi (-)

ROM : flexi : 90

3.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Lengkap (13 September 2015)

Kimia Klinik (13 September 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

WBC 13,31 103µL 4,10-11,00 Tinggi

% NEUT 81,8 % 47,00-80,00 Tinggi

% LYMPH 9,2 % 13,00-40,00 Rendah

% MONO 6,3 % 2,00-11,00

% EOS 1,6 % 0,00-5,00

% BASO 0,1 % 0,00-2,00

#NEUT 10,89 103µL 2,50-7,50 Tinggi

#LYMPH 1,23 103µL 1,00-4,00

#MONO 0,84 103µL 0,10-1,20

#EOS 0,21 103µL 0,00-0,50

#BASO 0,02 103µL 0,00-0,10

RBC 4,69 106µL 4,00 – 5,20

Hemoglobin 11,1 g/dL 12,00-16,00 Rendah

Hematokrit 38,0 % 36,00-46,00

Platelet 426 103µL 140,00-440,00 Rendah

MCV 81,0 fL 80,00-100,00

MCH 23,6 Pg 26,00-34,00

MCHC 29,2 g/dL 31,00-36,00

RDW 11,4 % 11,60-14,80 Rendah

MPV 5,3 fL 6,80-10,00 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

SGOT 11,8 U/L 11-27

SGPT 10,5 U/L 11,00-34,00 Rendah

Albumin 3,14 g/dL 3,40-4,80 Rendah

BS Acak 110 mg/dL 70,00-140,00

BUN 6 mg/dL 8,00-23,00 Rendah

Creatinin 0,54 mg/dL 0,50-0,90

Uric acid 2,9 mg/dL 2,00-5,70

Natrium (Na) 132 mmol/L 136-145 Rendah

Kalium (K) 3,08 mmol/L 3,50-5,10 rendah

Page 25: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Urinalisis (13 September 2015)

Hematologi (13 September 2015)

Hematologi (15 September 2015)

Imunologi (15 September 2015)

Kimia Klinik (15 September 2015)

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

Specific gravity 1,005 Negatif

PH 7 7,35-7,45 Rendah

Leucocyte Negatif leuco/uL Negatif

Nitrite Negatif Negatif

Protein (urine) Negatif mg/dL Negatif

Glukosa (urine) Normal mg/dL Normal

KET Negatif Negatif

Urobilinogen Normal mg/dL Normal

Bilirubin (urine) Negatif mg/dL Negatif

ERY 25 (++) Ery/uL Negatif

Colour Amber p-yellow-yellow

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

LED I 30 Mm 0-2 Tinggi

LED II 60 Mm 2-11 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

LED I 1 Mm 0-2

LED II 14 Mm 2-11 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

RF (Kuantitatif) 16 <8 Tinggi

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal Remarks

CRP

(Kuantitatif)

71,4 mg/L 0,00-5,00 Tinggi

Page 26: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Pemeriksaan Radiologi (13 September 2015)

Foto Thorax AP:

Cor : kesan membesar

Pulmo : tak tampak infiltrat/nodul

Sinus pleura kanan kiri tajam

Diaphragma kanan kiri normal

Tulang-tulang tidak tampak kelainan

Kesan : cardiomegaly

Pulmo tak tampak kelainan

Page 27: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Foto Manus Kanan-Kiri AP/Oblique:

Tampak non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri

Trabekulasi tulang normal

Celah dan permukaan sendi baik

Tak tampak erosi/destruksi tulang

Tak tampak soft tissue mass/swelling

Kesan : non-union fraktur avulsi processus styloideus os ulna kiri

Tulang-tulang manus kanan tak tampak kelainan

Page 28: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Foto Genu Kanan-Kiri AP/Lateral:

Aligment baik

Tampak osteophyte pada condylus lateralis et medialis dan eminentia

intercondylaris os tibia kanan-kiri, margo posteroinferior os patella kanan-

kiri

Trabekulasi tulang normal

Celah dan permukaan sendi baik

Tak tampak erosi/destruksi tulang

Tampak soft tissue swelling regio genu kanan-kiri

Kesan : osteoarthritis genu bilateral grade I (Kellgren-lawrence)

Soft tissue swelling regio genu kanan-kiri

Page 29: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Foto Pedis Kanan-Kiri AP/Lateral:

Aligment baik

Tak tampak garis fraktur/dislokasi

Trabekulasi tulang normal

Celah dan permukaan sendi baik

Tak tampak erosi/destruksi tulang

Tak tampak soft tissue mass/swelling

Kesan : Tulang-tulang pedis kanan-kiri tak tampak kelainan

3.6 DIAGNOSIS

- Rheumatoid Arthritis dd SLE

- Secondary Osteoarthritis Genu D et S

3.7 PLANNING

Terapi

IVFD NS 20 tpm

Paracetamol 4x750mg io

Na diclofenac 3x50mg io

Metotrexat 1x7,5mg io

Diet tinggi kalori tinggi protein

Page 30: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Kompres hangat

Diagnostik

Analisis synovial fluid

Monitoring:

Keluhan

Tanda vital : Kesadaran, Tekanan Darah, Nadi, Suhu, Respirasi

CM-CK

3.8 Prognosis

Vitally : dubius ad malam

Functionally : dubius ad malam

Sanationum : dubius ad malam

Page 31: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

BAB IV

PEMBAHASAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan

inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat

melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan

pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai

gangguan pergerakan. RA merupakan penyakit autoimun dimana etiologinya

masih belum jelas namun terdapat beberapa faktor risiko yang dapat memicu

terjadinya RA. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah adanya faktor

genetik, jenis kelamin perempuan, dan usia diatas 40 tahun. Pada faktor risiko

yang dapat dimodifikasi, terdapat faktor gaya hidup yang meliputi sosial ekonomi

yang rendah, merokok terutama yang lebih dari 10 tahun, diet tinggi daging merah

dibanding sayur-sayuran dan buah-buahan, adanya infeksi virus maupun bakteri,

dan pekerjaan yang terpapar zat kimia utamanya silica ataupun pestisida seperti

pada petani dan pekerja tambang, dan bentuk tubuh obesitas memperburuk faktor

risiko.

Pada pasien ini merupakan perempuan berusia 49 tahun dengan faktor

predisposisi genetik yang tidak diketahui karena pasien menyangkal adanya

riwayat keluarga yang menderita keluhan yang sama dan tidak dilakukan

pemeriksaan genetika. Pasien berpendidikan akhir sebagai lulusan SMP dan

bekerja sebagai penjaga villa dan pedagang yang memiliki penghasilan pas-pasan

dalam menghidupi kebutuhan sehari-hari. Selama bekerja pasien jarang

menghirup zat kimia seperti pestisida atau zat kimia lainnya. Pasien menyangkal

memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien juga memiliki kebiasaan

konsumsi makanan yang biasa saja dan menyangkal sering makan daging merah

karena keterbatasan ekonomi. Pasien mengakui jika jarang mengonsumsi buah-

buahan. Pasien memiliki status gizi cukup.

Manifestasi klinis RA meliputi keluhan umum, kelainan sendi, dan kelainan

diluar sendi. Keluhan umum dapat berupa perasaan badan lemah, nafsu makan

menurun, peningkatan panas badan yang ringan atau penurunan berat badan.

Keluhan sering berupa kaku sendi di pagi hari, pembengkakan dan nyeri sendi.

Page 32: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Terutama mengenai sendi kecil dan simetris yaitu sendi pergelangan tangan, lutut

dan kaki (sendi diartrosis). Sendi lainnya juga dapat terkena seperti sendi siku,

bahu sterno-klavikula, panggul, pergelangan kaki. Kelainan tulang belakang

terbatas pada leher. Dan kelainan diluar sendi dapat meliputi kelainan pada kulit

yaitu nodul rematoid, kelainan jantung, paru, saraf, mata, dan kelenjar limfe.

Pasien ini mengeluhkan nyeri sendi lutut kanan dan kiri hingga tidak bisa

berjalan. Pasien juga mengeluhkan kaku dan nyeri sendi di jari-jari tangan

terutama di ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah serta pergelangan tangan kanan

dan kiri. Nyeri dirasakan sejak 2 bulan SMRS dan semakin lama semakin

memburuk. Pasien juga mengeluhkan badan yang lemas sejak 1 hari SMRS.

Demam, sesak, diare, kekeringan pada mata, penurunan nafsu makan dan berat

badan disangkal pasien.

Pemeriksaan penunjang pada pasien RA ditemukan pada hasil laboratorium

yaitu penanda inflamasi Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP)

meningkat. Kemudian adanya Rheumatoid Factor (RF) positif namun RF negatif

tidak menyingkirkan diagnosis. Dan Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti-CCP)

yang positif namun hubungan antara anti-CCP terhadap beratnya penyakit tidak

konsisten. Dari hasil pemeriksaan radiologis dapat terlihat berupa pembengkakan

jaringan lunak, penyempitan ruang sendi, demineralisasi “juxta articular”,

osteoporosis, erosi tulang, atau subluksasi sendi.

Hasil laboratorium pasien ini pada saat masuk RS (13/9/2015) menunjukkan

LED meningkat dengan hasil LED I 30mm dan LED II 60mm. Hasil CRP juga

meningkat dengan hasil 71,4 mg/L. Selain itu RF juga mengalami peningkatan

yaitu dengan hasil 16 dan tidak dilakukan pemeriksaan anti-CCP. Dari hasil

pemeriksaan radiologis didapatkan gambaran osteoarthritis dan soft tissue

swelling pada kedua sendi lutut.

Penegakan diagnosis berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 pada pasien ini

terpenuhi karena trdapat minimal 4 kriteria dari 7 kriteria dan telah berlangsung

lebih dari 6 minggu. Sedangkan pada kriteria ACR tahun 2010, pasien ini

memenuhi kriteria karena memiliki skor lebih dari 6. Uraian masing-masing

kriteria diagnosis dijabarkan sebagai berikut:

Page 33: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

No Kriteria Diagnosis ARA tahun 1987 Skor

1 Kaku pagi hari pada sendi dan sekitarnya, sekurang-

kurangnya selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

2 Pembengkakan jaringan lunak atau persendian (arthritis)

pada 3 daerah sendi atau lebih secara bersamaan.

3 Artritis pada persendian tangan sekurang-kurangnya terjadi

satu pembengkakan persendian tangan yaitu PIP (proximal

interphalangeal), MCP (metacarpophalangeal), atau

pergelangan tangan.

4 Artritis simetris, keterlibatan sendi yang sama pada kedua

belah sisi misalnya PIP (proximal interphalangeal), MCP

(metacarpophalangeal), atau MTP (metatarsophalangeal).

5 Nodul rheumatoid, yaitu nodul subkutan pada penonjolan

tulang atau permukaan ekstensor atau daerah juksta

artikuler.

-

6 Rheumatoid Factor serum positif, √

7 Perubahan gambaran radiologis yang khas pada RA pada

sendi tangan atau pergelangan tangan yaitu erosi atau

dekalsifikasi tulang pada sendi yang terlibat

-

Kriteria Diagnosis ACR tahun 2010

Distribusi Sendi (0-5) Skor Skor Pasien

1 sendi besar

2-10 sendi besar

1-3 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)

4-10 sendi kecil (sendi besar tidak diperhitungkan)

>10 sendi kecil

0

1

2

3

5

3

Serologi (0-3)

RF negatif DAN ACPA negatif

Positif rendah RF ATAU positif rendah ACPA

Positif tinggi RF ATAU positif tinggi ACPA

0

2

3

3

Durasi Gejala (0-1)

Page 34: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

<6 minggu

≥6 minggu

0

1

1

Acute Phase Reactant (0-1)

CRP normal DAN LED normal

CRP abnormal ATAU LED abnormal

0

1

1

Total: 8

Penanganan pada penderita RA meliputi mencakup terapi farmakologi,

rehabilitasi dan pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan

keluarga. Terapi farmakologi awal dapat diberikan NSAID untuk mengurangi

nyeri dan inflamasinya. Selain itu juga diberikan DMARDs segera setelah

diagnosis RA ditegakkan untuk mengurangi atau mencegah kerusakan sendi,

mempertahankan integritas dan fungsi sendi. Dapat pula diberikan kortikosteroid

dosis rendah sambil menunggu efek DMARDs setelah 4-16 minggu.

Pada pasien ini diberikan terapi faramakologis berupa paracetamol 4x750

mg io, Na diclofenac 2x50 mg io, dan Metotrexat 1x7,5mg io. Pada terapi suportif

diberikan cairan IVFD NS 20tpm dan diet tinggi kalori dan tinggi protein. Protein

yang dipilih juga bukan berasal dari daging merah. Edukasi kepada pasien dan

keluarga juga diberikan meliputi diagnosis, penatalaksanaan baik farmakologi dan

non farmakologi serta pencegahan agar tidak terjadi kekambuhan.

Page 35: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

BAB V

SIMPULAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan

inflamasi kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat

melibatkan organ dan sistem tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan

pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi jaringan sinovial yang disertai

gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur. Terdapat banyak faktor

risiko terjadinya RA diantaranya ada yang bersifat tidak dapat dimodifikasi

(genetik, ras, jenis kelamin, dan usia) dan yang dapat dimodifikasi (gaya hidup,

infeksi, dan bentuk tubuh). Manifestasi klinis RA dapat berupa keluhan umum,

kelainan sendi, dan kelainan diluar sendi. Dengan penegakkan diagnosis

berdasarkan kriteria ARA tahun 1987 ataupun ACR tahun 2010 dimana meliputi

dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien

perempuan 49 tahun ini didapatkan tanda tanda yang serupa dengan manifestasi

klinis artritis yang mengarah ke diagnosis rheumatoid arthritis dengan

pemeriksaan fisik dan penunjang yang mendukung. Berdasarkan prosedur

penatalaksanaan RA, saat ini pasien menjalani perawatan di rumah sakit dan

mendapatkan terapi suportif dan medikamentosa untuk menghilangkan inflamasi

dan mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.

Page 36: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

DAFTAR PUSTAKA

Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits, Felson T, Bingham III CO et al. (2010).

Rematoid Arthritis Classification Criteria An American College of

Rheumatology/European League Against Rheumatism Collaborative

Initiative. Arthritis Rheum, vol.62, pp.2569 – 81

Bresnihan B. (2002). Rheumatoid Arthritis: Principles of Early Treatment. The

Journal of Rheumatology, vol.29, no.66, pp.9-12

Candra K. (2013). Teknik Pemeriksaan Genu Pada Kasus Osteoarthritis Dengan

Pasien Non Koperatif. Academia Edu

Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The

Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of

the British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11

Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis

Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media

Aesculapius, pp 835-839

McInnes, I.B., Schett, G. (2011). The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. N

Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19

Nainggolan,Olwin. (2009). Prevalensi dan Determinan Penyakit Rematik di

Indonesia. Maj Kedokt Indon, vol.59, no.12, pp.588-594

Pradana,S.Y. (2012). Sensitifitas Dan Spesifisitas Kriteria ACR 1987 dan

ACR/EULAR 2010 pada Penderita Artritis Reumatoid di RSUP Dr. Kariadi

Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi

Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan

Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

ISBN

Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And

Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of

Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10

Suarjana, I.N. (2009). Artritis Reumatoid. dalam Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,

Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi V, FKUI, Jakarta, pp.2495-508

Sumariyono, H.I. (2010). Predictor Of Joint Damage In Rheumatoid Arthritis.

Indonesian Journal of Rheumatology, vol.03, no.02, pp. 15-20

Page 37: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

Suyasa, I.G.P.D., Krisnandari, A.A.I.W., Onajiati NWU. (2013). Keluhan-

Keluhan Lanjut Usia Yang Datang Ke Pengobatan Gratis Di Salah Satu

Wilayah Pedesaan di Bali. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bali, pp.42-48

Tobon, G.J., Youinou, P., Saraux, A. (2009). The Environment, Geo-

Epidemiology, and Autoimmune Disease: Rheumatoid Arthritis, Elsevier,

doi:10.1016/j.autrev.2009.11.019

Page 38: Responsi RHEUMATOID ARTHRITIS

LAMPIRAN

Foto klinis jari-jari tangan dan lutut pasien