Upload
miswardwardzone
View
28
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
imunisasi pustu
Citation preview
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 1/15
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Defenisi Demam Berdarah Dengue
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic
faver/ DHF) adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh virus yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti & Aedes albopictus (Desvita, 2008).
2.1.2 Etiologi DBD
DBD teradapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4
yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue
(Suhendro, dkk, 2006). Dengue DEN-1 dan DEN-2 ditemukan di Irian ketika
berlangsungnya Perang Duania ke-II, sedangkan dengue DEN-3 dan DEN-4
ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk
batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium
dioksikolat, stabil pada suhu 70° C. Keempat serotipe telah ditemukan pada pasien-
pasien di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan yang paling banyak beredar
(Hendarwanto, 2003).
Infeksi dengan satu DENV menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap
reinfeksi dengan virus satu dan jangka pendek (≤ 9 bulan), parsial lintas perlindungan
terhadap tiga dengue virus lainnya. Seorang individu dapat terinfeksi hingga empat
kali selama hidupnya (Tomashek, 2009).
2.1.3 Epidemiologi DBD
DBD pertama kali diakui pada tahun 1950 selama wabah demam berdarah di
Filipina dan Thailand. Pada tahun 1970 sembilan negara telah mengalami epidemi
DBD dan pada saat ini jumlahnya sudah meningkat lebih dari empat kali lipat dan
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 2/15
5
terus meningkat. Saat ini muncul kasus DBD yang menyebabkan epidemi demam
berdarah meningkat di Amerika, dan di Asia. Dimana semua empat virus dengue
adalah endemik, DBD telah menjadi penyebab utama rawat inap dan kematian di
antara pada anak-anak di beberapa Negara (WHO, 2010).
Menurut Suhendro, dkk, (2006) DBD tersebar di wilayah Asia tenggara,
Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran
diseluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian
luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD canderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus) peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan
dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk
betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat
penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningakatan trasmisi virus
dengue yaitu:
1. Vektor: kebiasaan mengigit, kepadatan vektor dilingkungan, transportasi vektor
dari satu tempat ketempat lain.
2. Pejamu: terdapatnya penderita dilingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan
terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.
3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Suhendro, dkk,
2006).
Salah satu endemik Dengue yang telah maju ke arah Barat dari India. Keadaan
endemisitas ini berpengaruh oleh pemanasan global, urbanisasi yang cepat, kondisi
hidup yang buruk, musim intens dan berkepanjangan dan sering bepergian semua
faktor kondusif untuk penyebaran infeksi vektor nyamuk seperti Dengue
Haemmorhagic Fever (Ahsan, 2010).
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 3/15
5
2.1.4 Vektor Penular DBD
Vektor penyakit DBD adalah nyamuk jenis Aedes aegypti dan Aedes
albopictus terutama bagi Negara Asia, Philippines dan Jepang, sedangkan nyamuk
jenis Aedes polynesiensis, Aedes scutellaris dan Aedes pseudoscutellaris merupakan
vektor di negara-negara kepulauan Pasifik dan New Guinea. Vektor DBD di
Indonesia adalah nyamuk Aedes (Stegomya) aegypti dan albopictus (Djunaedi, 2006).
2.1.5 Ciri-ciri Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Nadezul (2007) nyamuk Aedes aegypti telah lama diketahui sebagai
vektor utama dalam penyebaran penyakit DBD, adapun ciri-cirinya, yaitu:
1. Badan kecil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih
2. Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter
3. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan
4. Menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul
16.00-17.00
5. Nyamuk betina menghisap darah untuk memperoleh asupan protein yang
diperlukan untuk produksi & pematangan sel telur, sedangkan nyamuk jantan
memakan sari-sari tumbuhan
6. Hidup di genangan air bersih bukan di got atau comberan
7. Di dalam rumah dapat hidup di bak mandi, tempayan, vas bunga, dan tempat air
minum burung
8. Di luar rumah dapat hidup di tampungan air yang ada di dalam drum, dan ban
bekas
2.1.6 Taksonomi Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) kedudukan nyamuk A. aegypti dalam
klasifikasi hewan adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 4/15
5
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti (Soegijanto, 1999)
2.1.7 Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk Anophelini mengalami
metamorphosis sempurna, yaitu: telur, jentik, kepompong, nyamuk. Stadium telur,
jentik, dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas
menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik
biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2-4 hari.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa memerlukan waktu selama 9-10 hari
(Depkes RI, 2005).
1. Telur
Telur diletakkan satu persatu pada permukaan yang lembab tepat di atas batas
air. Kebanyakan Aedes aegypti betina dalam satu siklus gonotropik meletakkan telur
di beberapa tempat perindukan. Masa perkembangan embrio selama 48 jam pada
lingkungan yang hangat dan lembab. Setelah perkembangan embrio sempurna, telur
dapat bertahan pada keadaan kering dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun).
Telur menetas bila wadah tergenang air, namun tidak semua telur menetas pada saat
yang bersamaan. Kemampuan telur bertahan dalam keadaan kering membantu
kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak menguntungkan (Depkes
RI, 2003).
2. Jentik
Jentik memerlukan empat tahap perkembangan. Jangka waktu perkembangan
jentik tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan jentik dalam
sebuah kontainer. Dalam kondisi optimal, waktu yang dibutuhkan dari telur menetas
hingga menjadi nyamuk dewasa adalah tujuh hari, termasuk dua hari dalam masa
pupa. Sedangkan pada suhu rendah, dibutuhkan waktu beberapa minggu (Depkes RI,
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 5/15
5
2003). Ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva Aedes
aegypti tersebut, yaitu (Depkes RI, 2005):
a. Instar I: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
b. Instar II: 2,5-3,8 mm
c. Instar III: lebih besar sedikit dari larva instar II
d. Instar IV: berukuran paling besar 5 mm
3. Pupa (kepompong)
Pupa (kepompong) berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun
lebih ramping dibanding jentik. Pupa Aedes aegypti berukuran lebih kecil jika
dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Depkes RI, 2005).
4. Nyamuk Dewasa
Sesaat setelah muncul menjadi dewasa, nyamuk akan kawin dan nyamuk
betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24-36 jam kemudian.
Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur (Depkes RI,
2003).
Gambar 2.1: Siklus hidup nyamuk A. aegypti (Sumber : CDC Division of Vector
Borne Infectious Disease, 2009)
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 6/15
5
2.1.8 Patofisiologi DBD
Menurut Chen, dkk (2009) Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan
patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infectiontheory) dan hipotesis immune enhancement , adalah sebagai berikut:
Secondary Heterologous Dengue I nfection
Respon Antibodi
Anamnestik Replikasi Virus
Kompleks Virus-antibodi
Aktifasi Komplemen
Komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a)
Histamin dalam
Urin Meningkat
Permeabilitas Kapiler
Hematokrit
Menin kat
Natrium Menurun30% Kasus
Syok Perembesan Plasma
Cairan dalam
Rongga SerosaHipovolemia
Meninggal
AsidosisAnoksia Syok
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 7/15
5
Gambar 2.2 Skema Hipotesis Infeksi Sekunder (Sumber : Suvatte, 1977-dikutip dari
Chen, dkk, 2009)
Menurut hipotesis infeksi sekunder pada (Struktur 2.1) sebagai akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien
akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan
titer tinggi IgG anti dengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga
menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan
terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti
dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan
dalam rongga serosa.
Hipotesis immune enhancement menjelaskan secara tidak langsung bahwa
mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan
mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan
dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan
dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok (Chen, dkk, 2009).
2.1.9 Tanda dan Gejala DBD
Berdasarkan kriteria WHO (1997) tanda dan gejala penyakit DBD diagnosis
ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi, yaitu:
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: uji bendung (uji
tourniquet) positif, petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa (tersering
epitaksis atau perdarahan gusi), perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat
lain, hematemesis dan melena.
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 8/15
5
Kriteria laboratorium:
1. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
2. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma), sebagai
berikut:
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
b. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,
hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO 1997), yaitu:
1. Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah
uji torniquet positif.
2. Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.
3. Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut kulit
dingin dan lembab, tampak gelisah.
4. Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.
Dua Kriteria klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau
peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura
dan hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan
terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya
trombositopenia mendukung diagnosis DBD (Chen, dkk, 2009).
2.2 Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD
Menurut Atmawikarta, dkk (2006) Masyarakat berperan dalam upaya
pemberantasan penyakit DBD, yaitu masyarakat dapat mengenali secara dini tanda-
tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu anggota keluarga maupun tetangga
mereka dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 9/15
5
dilakukan penegakan diagnosa secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan
dini.
Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di
rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan
minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, jus buah-buahan,
pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang tidak
boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat
memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas untuk
mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga dapat
membantu mengurangi angka kematian karena DBD.
Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang
merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka
mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam
upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif
dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedes aegipty adalah nyamuk
domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman penduduk seperti halnya
Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD
adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding
places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk.
Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus yaitu: Menguras tempat-tempat
penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate
untuk membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti, menutup rapat-rapat tempat
penampungan air agar nyamuk Aedes aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu,
mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng
bekas yang dapat menampung air hujan.
Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan
menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah
dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 10/15
5
dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak
menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti.
Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M
Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga
dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah perilaku dan
lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup nyamuk Aedes aegypti
aegypti (Atmawikarta, dkk, 2006).
2.3 Cara Pencegahan dan Pemberantasan DBD
Menurut widoyono (2008) Kegiatan pencegahan DBD juga meliputi,yaitu:
1. Pencegahan gigitan nyamuk:
a. Menggunakan kelambu
b. Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
c. Tidak melakukan kebiasaan beresiko (tidur siang, menggantung baju)
d. Penyemprotan
Menurut Depkes RI (2007) Cara pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti
dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue
(PSN DBD) dilakukan dengan cara.
1) Fisik
Cara ini dikenal dengan kegiatan ”3M”, yaitu: Menguras (dan menyikat) bak mandi,
bak WC, dan lain-lain; Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan,
drum, dan lain-lain); dan mengubur barang-barang bekas (seperti kaleng, ban, dan
lain-lain). Pengurasan tempat tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur
sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak di
tempat tersebut. Pada saat ini telah dikenal pula istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M
yang diperluas. Bila PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi
nyamuk Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD
tidak terjadi lagi. Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus
dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena keberadaan jentik
nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 11/15
5
2) Kimia
Cara memberantas jentik Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida
pembasmi jentik (larvasida) ini antara lain dikenal dengan istilah larvasidasi.
Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temephos. Formulasi temephos
yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau
10 gram (±1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos
ini mempunyai efek residu 3 bulan.
3) Biologi
Pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti secara biologi dapat dilakukan
dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang
atau tempalo, dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thuringiensis var
israeliensis (Bti).
4) Penanggulangan wabah
Menemukan dan memusnahkan spesies Aedes aegypti di lingkungan
pemukiman, membersihkan tempat perindukan nyamuk atau taburkan larvasida di
semua tempat yang potensial sebagai tempat perindukan larva Aedes Aegypti (Depkes
RI, 2007).
2.4 Upaya Penanggulangan DBD
Menurut Atmawikarta, dkk (2006) Upaya penanggulangan merupakan untuk
mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit menular maupun yang
dapat menjurus terjadinya wabah. Penanggulangan penyakit menular seperti DBD
merupakan bagian dari pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dalam upaya
penanggulangan penyakit tersebut, harus dilakukan secara terpadu dengan upaya
kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan.
Oleh sebab itu penanggulangan penyakit wabah harus dilakukan secara awal.
Tindakan pencegahan dan pemberantasan DBD akan lebih lestari bila
dilakukan dengan pemberantasan sumber larva, untuk itu dibutuhkan kerjasama
dengan sektor non kesehatan, seperti swasta dan kelompok masyarakat untuk
memastikan pemahaman dan keterlibatan dalam pelaksanaan tersebut. Dalam hal ini
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 12/15
5
perlu pendekatan yang terpadu terhadap pemberantasan jentik nyamuk Aedes aegypti
dengan menggunakan semua metode yang tepat (lingkungan, fisik, biologi dan
kimiawi) yang murah, aman dan ramah lingkungan (Widodo, 2006).
Menurut Atmawikarta, dkk (2006) Program penanggulangan terhadap
penyakit DBD, adalah sebagai berikut:
1. Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau
tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat
tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum
dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter. Tujuannya adalah untuk mengetahui
penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang
perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk
mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya
jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus)
yang akan dilakukan.
2. Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang
dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah
dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan)
menggunakan insektisida sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan
DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan
rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi
sumber penularan DBD lebih lanjut.
3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang
meliputi, yaitu:
a. Pengobatan/perawatan penderita,
b. Pemberantasan vektor penular DBD,
c. Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang
dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB.
Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu
wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya.
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 13/15
5
4. Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah
kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD ( Aedes
aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan
populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Cara PSN
DBD dilakukan dengan ”3M”, yaitu:
a. Menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan air,
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, dan
c. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan.
5. Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau
kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan
pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi
keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD (Atmawikarta, dkk, 2006).
2.5 Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2005) Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari
pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap sesuatu rangsangan
tertentu. Pengetahuan kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior ).
Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu rangsangan
dapat diklasifiksikan berdasarkan enam tingkatan, yaitu:
1. Tahu ( Know)
Merupakan mengingat suatu materi yang dipalajari sebelumnya, termasuk
dalam tingkatan mengingat kembali (recall ) terhadap suatu spesifik seperti dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu,
tahu merupakan tingkat pengalaman yang paling rendah.
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 14/15
5
2. Memahami (Comprehension)
Merupakan sesuatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang
diketahui. Orang yang telah paham akan objek atau materi harus mampu
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
terhadap objek yang dipelajari.
3. Aplikasi ( Aplication)
Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
dan kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis ( Analysis)
Kemampuan dalam menjabar materi atau suatu objek dalam komponen-
komponen, dan termasuk dalam struktur organisasi tersebut.
5. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam
sesuatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi ( Evaluation)
Kemampuan dalam melakukan penilaian dalam suatu materi atau objek
(Notoatmodjo, 2005).
2.6 Sikap
Menurut Notoatmodjo (2005) Sikap (attitude) adalah respon tertutup
seseorang dalam stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat
dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak
baik, dan sebagainya).
Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005) sikap
mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap objek
2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek
3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)
7/14/2019 Revisi Bab II
http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 15/15
5
Sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, antara lain:
a. Menerima (receiving)
Seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).
b. Menanggapi (responding)
Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang
dihadapi.
c. Menghargai (valuing)
Subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus,
dalam arti, membahasanya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau
mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa
yang telah diyakininya. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap apa yang
diyakininya, dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain yang
mencemoohkan atau adanya resiko lain (Notoatmodjo, 2005).
2.7 Ketersediaan Fasilitas
Ketersediaan fasilitas adalah salah satu faktor kelancaran kerja sehingga
pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat lebih bermutu, tanpa adanya fasilitas
akan sulit melaksanakan program kerja yang telah ditentukan maupun akan
dilaksanakan. Ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor penting dalam
membangkitkan semangat kerja petugas. Menurunnya semangat kerja akan
berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas kerja yang diakibatkan oleh ketiadaan
fasilitas. Ketersediaan fasilitas perlu tersedia dalam jumlah yang sangat memadai,
sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Ketersediaan fasilitas dalam
pencegahan nyamuk Aedes aegypti seperti adanya bubuk pembunuh jentik (abate),
memasang kawat-kawat kasa pada ventilasi, dan menyediakan alat penyemprot
nyamuk (Yusrita, 2008).