15
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Demam Berdarah Dengue 2.1.1 Defenisi Demam Berdarah Dengue Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD ( dengue haemorrhagic  faver/ DHF) adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk  Aedes aegypti & Aedes albopictus (Desvita, 2008). 2.1.2 Etiologi DBD DBD teradapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue (Suhendro, dkk, 2006). Dengue DEN-1 dan DEN-2 ditemukan di Irian ketika  berlangsungnya Perang Duania ke-II, sedangkan dengue DEN-3 dan DEN-4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk  batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium dioksikolat, stabil pada suhu 70° C. Keempat serotipe telah ditemukan pada pasien-  pasien di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan yang paling banyak beredar (Hendarwanto, 2003). Infeksi dengan satu DENV menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap reinfeksi dengan virus satu dan jangka pendek (9 bulan), parsial lintas perlindungan terhadap tiga dengue virus lainnya. Seorang individu dapat terinfeksi hingga empat kali selama hidupnya (Tomashek, 2009). 2.1.3 Epidemiologi DBD DBD pertama kali diakui pada tahun 1950 selama wabah demam berdarah di Filipina dan Thailand. Pada tahun 1970 sembilan negara telah mengalami epidemi DBD dan pada saat ini jumlahnya sudah meningkat lebih dari empat kali lipat dan

Revisi Bab II

Embed Size (px)

DESCRIPTION

imunisasi pustu

Citation preview

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 1/15

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Demam Berdarah Dengue

2.1.1 Defenisi Demam Berdarah Dengue

Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue haemorrhagic

 faver/ DHF) adalah penyakit tropis yang disebabkan oleh virus yang ditularkan

melalui gigitan nyamuk  Aedes aegypti & Aedes albopictus (Desvita, 2008).

2.1.2  Etiologi DBD

DBD teradapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4

yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue

(Suhendro, dkk, 2006). Dengue DEN-1 dan DEN-2 ditemukan di Irian ketika

 berlangsungnya Perang Duania ke-II, sedangkan dengue DEN-3 dan DEN-4

ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun 1953-1954. Virus dengue berbentuk 

 batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan natrium

dioksikolat, stabil pada suhu 70° C. Keempat serotipe telah ditemukan pada pasien-

 pasien di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan yang paling banyak beredar 

(Hendarwanto, 2003).

Infeksi dengan satu DENV menghasilkan kekebalan seumur hidup terhadap

reinfeksi dengan virus satu dan jangka pendek (≤ 9 bulan), parsial lintas perlindungan

terhadap tiga dengue virus lainnya. Seorang individu dapat terinfeksi hingga empat

kali selama hidupnya (Tomashek, 2009).

2.1.3  Epidemiologi DBD

DBD pertama kali diakui pada tahun 1950 selama wabah demam berdarah di

Filipina dan Thailand. Pada tahun 1970 sembilan negara telah mengalami epidemi

DBD dan pada saat ini jumlahnya sudah meningkat lebih dari empat kali lipat dan

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 2/15

5

terus meningkat. Saat ini muncul kasus DBD yang menyebabkan epidemi demam

 berdarah meningkat di Amerika, dan di Asia. Dimana semua empat virus dengue

adalah endemik, DBD telah menjadi penyebab utama rawat inap dan kematian di

antara pada anak-anak di beberapa Negara (WHO, 2010).

Menurut Suhendro, dkk, (2006) DBD tersebar di wilayah Asia tenggara,

Pasifik barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran

diseluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 

100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian

luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas

DBD canderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.

Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes

(terutama A. aegypti dan A. albopictus) peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan

dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk 

 betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat

 penampungan air lainnya).

Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningakatan trasmisi virus

dengue yaitu:

1. Vektor: kebiasaan mengigit, kepadatan vektor dilingkungan, transportasi vektor 

dari satu tempat ketempat lain.

2. Pejamu: terdapatnya penderita dilingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan

terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin.

3. Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (Suhendro, dkk,

2006).

Salah satu endemik Dengue yang telah maju ke arah Barat dari India. Keadaan

endemisitas ini berpengaruh oleh pemanasan global, urbanisasi yang cepat, kondisi

hidup yang buruk, musim intens dan berkepanjangan dan sering bepergian semua

faktor kondusif untuk penyebaran infeksi vektor nyamuk seperti Dengue

Haemmorhagic Fever (Ahsan, 2010).

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 3/15

5

2.1.4  Vektor Penular DBD

Vektor penyakit DBD adalah nyamuk jenis  Aedes aegypti dan  Aedes

albopictus terutama bagi Negara Asia, Philippines dan Jepang, sedangkan  nyamuk 

 jenis  Aedes polynesiensis,  Aedes scutellaris dan  Aedes pseudoscutellaris merupakan

vektor di negara-negara kepulauan Pasifik dan   New Guinea. Vektor DBD di

Indonesia adalah nyamuk  Aedes (Stegomya) aegypti dan albopictus (Djunaedi, 2006).

2.1.5  Ciri-ciri Nyamuk  Aedes aegypti

Menurut Nadezul (2007) nyamuk  Aedes aegypti telah lama diketahui sebagai

vektor utama dalam penyebaran penyakit DBD, adapun ciri-cirinya, yaitu:

1. Badan kecil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih

2. Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter 

3. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan

4. Menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul

16.00-17.00

5.  Nyamuk betina menghisap darah untuk memperoleh asupan protein yang

diperlukan untuk produksi & pematangan sel telur, sedangkan nyamuk jantan

memakan sari-sari tumbuhan

6. Hidup di genangan air bersih bukan di got atau comberan

7. Di dalam rumah dapat hidup di bak mandi, tempayan, vas bunga, dan tempat air 

minum burung

8. Di luar rumah dapat hidup di tampungan air yang ada di dalam drum, dan ban

 bekas

2.1.6  Taksonomi Aedes aegypti 

Menurut Richard dan Davis (1977) kedudukan nyamuk   A. aegypti dalam

klasifikasi hewan adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insekta

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 4/15

5

Ordo : Diptera

Famili : Culicidae

Genus : Aedes

Spesies : Aedes aegypti (Soegijanto, 1999)

2.1.7  Siklus Hidup Nyamuk  Aedes aegypti

 Nyamuk   Aedes aegypti seperti juga nyamuk   Anophelini mengalami 

metamorphosis sempurna, yaitu: telur, jentik, kepompong, nyamuk. Stadium  telur,

 jentik, dan kepompong hidup di dalam air. Pada umumnya telur akan  menetas

menjadi jentik dalam waktu ±2 hari setelah telur terendam air.  Stadium jentik 

 biasanya berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2-4 hari.

Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk  dewasa memerlukan waktu selama 9-10 hari

(Depkes RI, 2005).

1. Telur 

Telur diletakkan satu persatu pada permukaan yang lembab tepat di atas batas

air. Kebanyakan Aedes aegypti betina dalam satu siklus gonotropik meletakkan telur 

di beberapa tempat perindukan. Masa perkembangan embrio selama 48 jam pada

lingkungan yang hangat dan lembab. Setelah perkembangan embrio sempurna, telur 

dapat bertahan pada keadaan kering dalam waktu yang lama (lebih dari satu tahun).

Telur menetas bila wadah tergenang air, namun tidak semua telur menetas pada saat

yang bersamaan. Kemampuan telur bertahan dalam keadaan kering membantu

kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak menguntungkan (Depkes

RI, 2003).

2. Jentik 

Jentik memerlukan empat tahap perkembangan. Jangka waktu perkembangan

 jentik tergantung pada suhu, ketersediaan makanan, dan kepadatan jentik dalam

sebuah kontainer. Dalam kondisi optimal, waktu yang dibutuhkan dari telur menetas

hingga menjadi nyamuk dewasa adalah tujuh hari, termasuk dua hari dalam masa

 pupa. Sedangkan pada suhu rendah, dibutuhkan waktu beberapa minggu (Depkes RI,

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 5/15

5

2003). Ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva  Aedes 

aegypti tersebut, yaitu (Depkes RI, 2005):

a.  Instar I: berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

 b. Instar II: 2,5-3,8 mm

c.  Instar III: lebih besar sedikit dari larva instar II

d. Instar IV: berukuran paling besar 5 mm

3. Pupa (kepompong)

Pupa (kepompong) berbentuk seperti koma. Bentuknya lebih besar namun

lebih ramping dibanding jentik. Pupa  Aedes aegypti  berukuran lebih kecil jika

dibandingkan dengan rata-rata pupa nyamuk lain (Depkes RI, 2005).

4.  Nyamuk Dewasa

Sesaat setelah muncul menjadi dewasa, nyamuk akan kawin dan nyamuk 

 betina yang telah dibuahi akan mencari makan dalam waktu 24-36 jam kemudian.

Darah merupakan sumber protein terpenting untuk pematangan telur (Depkes RI,

2003).

Gambar 2.1: Siklus hidup nyamuk  A. aegypti (Sumber : CDC   Division of Vector 

 Borne Infectious Disease, 2009)

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 6/15

5

2.1.8  Patofisiologi DBD

Menurut Chen, dkk (2009) Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan

 patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous

infectiontheory) dan hipotesis immune enhancement , adalah sebagai berikut:

Secondary Heterologous Dengue I nfection  

Respon Antibodi

Anamnestik  Replikasi Virus

Kompleks Virus-antibodi

Aktifasi Komplemen

Komplemen

Anafilatoksin (C3a, C5a)

Histamin dalam

Urin Meningkat

Permeabilitas Kapiler 

Hematokrit

Menin kat

 Natrium Menurun30% Kasus

Syok Perembesan Plasma

Cairan dalam

Rongga SerosaHipovolemia

Meninggal

AsidosisAnoksia Syok 

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 7/15

5

Gambar 2.2 Skema Hipotesis Infeksi Sekunder (Sumber : Suvatte, 1977-dikutip dari

Chen, dkk, 2009)

Menurut hipotesis infeksi sekunder pada (Struktur 2.1) sebagai akibat infeksi

sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien

akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan

titer tinggi IgG anti dengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga

menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan

terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem

komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti

dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan

dalam rongga serosa.

Hipotesis immune enhancement  menjelaskan secara tidak langsung bahwa

mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang

lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan

mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan

dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan

dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan

 peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan

hipovolemia dan syok (Chen, dkk, 2009).

2.1.9  Tanda dan Gejala DBD

Berdasarkan kriteria WHO (1997) tanda dan gejala penyakit DBD diagnosis

ditegakkan bila semua hal di bawah ini dipenuhi, yaitu:

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.

2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: uji bendung (uji

tourniquet) positif, petekie, ekimosis, atau purpura, perdarahan mukosa (tersering

epitaksis atau perdarahan gusi), perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat

lain, hematemesis dan melena.

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 8/15

5

Kriteria laboratorium:

1. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).

2. Terdapat minimal satu tanda-tanda  plasma leakage (kebocoran plasma), sebagai

 berikut:

a.  Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis

kelamin.

 b. Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan

nilai hematokrit sebelumnya.

c.  Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia,

hiponatremia.

Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO 1997), yaitu:

1.  Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah

uji torniquet positif.

2.  Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.

3.  Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi

menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut kulit

dingin dan lembab, tampak gelisah.

4.  Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

Dua Kriteria klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau

 peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura

dan hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan

terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya

trombositopenia mendukung diagnosis DBD (Chen, dkk, 2009).

2.2  Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD

Menurut Atmawikarta, dkk (2006) Masyarakat berperan dalam upaya

 pemberantasan penyakit DBD, yaitu masyarakat dapat mengenali secara dini tanda-

tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu anggota keluarga maupun tetangga

mereka dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 9/15

5

dilakukan penegakan diagnosa secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan

dini.

Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di

rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan

minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, jus buah-buahan,

 pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang tidak 

 boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat

memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas untuk 

mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga dapat

membantu mengurangi angka kematian karena DBD.

Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang

merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka

mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam

upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif 

dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan

Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk  Aedes  aegipty adalah nyamuk 

domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman penduduk seperti halnya

Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD

adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding 

 places) nyamuk  Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk.

Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus yaitu: Menguras tempat-tempat

 penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate

untuk membunuh jentik nyamuk   Aedes  aegypti, menutup rapat-rapat tempat

 penampungan air agar nyamuk  Aedes  aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu,

mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng

 bekas yang dapat menampung air hujan.

Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan

menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah

dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 10/15

5

dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak 

menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk  Aedes aegypti.

Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M

Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga

dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah perilaku dan

lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup nyamuk Aedes aegypti

aegypti (Atmawikarta, dkk, 2006).

2.3  Cara Pencegahan dan Pemberantasan DBD 

Menurut widoyono (2008) Kegiatan pencegahan DBD juga meliputi,yaitu:

1. Pencegahan gigitan nyamuk:

a.  Menggunakan kelambu

 b. Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)

c.  Tidak melakukan kebiasaan beresiko (tidur siang, menggantung baju)

d. Penyemprotan

Menurut Depkes RI (2007) Cara pemberantasan terhadap jentik  Aedes aegypti

dikenal  dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue  

(PSN DBD) dilakukan dengan cara.

1) Fisik 

Cara ini dikenal dengan kegiatan ”3M”, yaitu: Menguras (dan menyikat) bak mandi,

 bak WC, dan lain-lain; Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan,

drum, dan lain-lain); dan mengubur barang-barang bekas (seperti kaleng, ban, dan

lain-lain). Pengurasan tempat tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur 

sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak di

tempat tersebut. Pada saat ini telah dikenal pula istilah ”3M” plus, yaitu kegiatan 3M

yang diperluas. Bila PSN DBD dilaksanakan oleh seluruh masyarakat, maka populasi

nyamuk  Aedes aegypti dapat ditekan serendah-rendahnya, sehingga penularan DBD

tidak terjadi lagi. Untuk itu upaya penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat harus

dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan, karena keberadaan jentik 

nyamuk berkaitan erat dengan perilaku masyarakat.

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 11/15

5

2) Kimia

Cara memberantas jentik   Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida

 pembasmi jentik (larvasida) ini antara lain dikenal dengan istilah larvasidasi.

Larvasida yang biasa digunakan antara lain adalah temephos. Formulasi temephos

yang digunakan adalah granules (sand   granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau

10 gram (±1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos

ini mempunyai efek residu 3 bulan.

3) Biologi

Pemberantasan jentik nyamuk  Aedes aegypti secara biologi dapat dilakukan

dengan memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang

atau tempalo, dan lain-lain). Dapat juga digunakan  Bacillus thuringiensis var 

israeliensis (Bti).

4) Penanggulangan wabah

Menemukan dan memusnahkan spesies  Aedes aegypti di lingkungan

 pemukiman, membersihkan tempat perindukan nyamuk atau taburkan larvasida di

semua tempat yang potensial sebagai tempat perindukan larva Aedes Aegypti (Depkes

RI, 2007).

2.4  Upaya Penanggulangan DBD

Menurut Atmawikarta, dkk (2006) Upaya penanggulangan merupakan untuk 

mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit menular maupun yang

dapat menjurus terjadinya wabah. Penanggulangan penyakit menular seperti DBD

merupakan bagian dari pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dalam upaya

 penanggulangan penyakit tersebut, harus dilakukan secara terpadu dengan upaya

kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan.

Oleh sebab itu penanggulangan penyakit wabah harus dilakukan secara awal.

Tindakan pencegahan dan pemberantasan DBD akan lebih lestari bila

dilakukan dengan pemberantasan sumber larva, untuk itu dibutuhkan kerjasama

dengan sektor non kesehatan, seperti swasta dan kelompok masyarakat untuk 

memastikan pemahaman dan keterlibatan dalam pelaksanaan tersebut. Dalam hal ini

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 12/15

5

 perlu pendekatan yang terpadu terhadap pemberantasan jentik nyamuk  Aedes aegypti

dengan menggunakan semua metode yang tepat (lingkungan, fisik, biologi dan

kimiawi) yang murah, aman dan ramah lingkungan (Widodo, 2006).

Menurut Atmawikarta, dkk (2006) Program penanggulangan terhadap

 penyakit DBD, adalah sebagai berikut:

1.  Penyelidikan Epidemiolegis  (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau

tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat

tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum

dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter. Tujuannya adalah untuk mengetahui

 penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang

 perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk 

mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya

 jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus)

yang akan dilakukan.

2. Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang

dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah

dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan)

menggunakan insektisida sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan

DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan

rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi

sumber penularan DBD lebih lanjut.

3. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang

meliputi, yaitu:

a.  Pengobatan/perawatan penderita,

 b. Pemberantasan vektor penular DBD,

c.  Penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang

dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB.

Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu

wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya.

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 13/15

5

4. Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah

kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD ( Aedes

aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan

 populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Cara PSN

DBD dilakukan dengan ”3M”, yaitu: 

a.  Menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan air,

 b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, dan

c.  Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air 

hujan.

5. Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan

nyamuk  Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau

kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan

 pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi

keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD (Atmawikarta, dkk, 2006).

2.5  Pengetahuan 

Menurut Notoatmodjo (2005) Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari

 pengalaman seseorang dalam melakukan penginderaan terhadap sesuatu rangsangan

tertentu. Pengetahuan kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (overt behavior ).

Kedalaman pengetahuan yang diperoleh seseorang terhadap suatu rangsangan

dapat diklasifiksikan berdasarkan enam tingkatan, yaitu:

1. Tahu ( Know)

Merupakan mengingat suatu materi yang dipalajari sebelumnya, termasuk 

dalam tingkatan mengingat kembali (recall ) terhadap suatu spesifik seperti dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu,

tahu merupakan tingkat pengalaman yang paling rendah.

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 14/15

5

2. Memahami (Comprehension)

Merupakan sesuatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar objek yang

diketahui. Orang yang telah paham akan objek atau materi harus mampu

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

terhadap objek yang dipelajari.

3. Aplikasi ( Aplication)

Kemampuan dalam menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi

dan kondisi yang sebenarnya.

4. Analisis ( Analysis)

Kemampuan dalam menjabar materi atau suatu objek dalam komponen-

komponen, dan termasuk dalam struktur organisasi tersebut.

5. Sintesis (Synthesis) 

Kemampuan dalam meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam

sesuatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi ( Evaluation)

Kemampuan dalam melakukan penilaian dalam suatu materi atau objek 

(Notoatmodjo, 2005).

2.6  Sikap

Menurut Notoatmodjo (2005) Sikap (attitude) adalah respon tertutup

seseorang dalam stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat

dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak 

 baik, dan sebagainya).

Menurut Allport (1954) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2005) sikap

mempunyai tiga komponen pokok, yaitu:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap objek 

2.  Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek 

3.  Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave) 

7/14/2019 Revisi Bab II

http://slidepdf.com/reader/full/revisi-bab-ii-5631086422939 15/15

5

Sikap mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, antara lain:

a.  Menerima (receiving) 

Seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).

 b. Menanggapi (responding) 

Memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang

dihadapi.

c.  Menghargai (valuing) 

Subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus,

dalam arti, membahasanya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau

mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespon.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa

yang telah diyakininya. Seseorang yang bertanggung jawab terhadap apa yang

diyakininya, dia harus berani mengambil resiko bila ada orang lain yang

mencemoohkan atau adanya resiko lain (Notoatmodjo, 2005).

2.7  Ketersediaan Fasilitas

Ketersediaan fasilitas adalah salah satu faktor kelancaran kerja sehingga

 pelayanan kesehatan kepada masyarakat dapat lebih bermutu, tanpa adanya fasilitas

akan sulit melaksanakan program kerja yang telah ditentukan maupun akan

dilaksanakan. Ketersediaan fasilitas merupakan salah satu faktor penting dalam

membangkitkan semangat kerja petugas. Menurunnya semangat kerja akan

 berpengaruh terhadap rendahnya produktivitas kerja yang diakibatkan oleh ketiadaan

fasilitas. Ketersediaan fasilitas perlu tersedia dalam jumlah yang sangat memadai,

sehingga pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik. Ketersediaan fasilitas dalam

 pencegahan nyamuk  Aedes aegypti seperti adanya bubuk pembunuh jentik (abate),

memasang kawat-kawat kasa pada ventilasi, dan menyediakan alat penyemprot

nyamuk (Yusrita, 2008).