Upload
lamphuc
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RINGKASAN EKSEKUTIF
PENELITIAN INDIVIDU
WORKPLACE WELL BEING (WWB) DAN PSYCHOLOGICAL CAPITAL (PSYCAP)
PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA PEMERINTAH KOTA YANG TELAH MELAKSANAKAN
REFORMASI BIROKRASI
(STUDI PADA PEMERINTAH KOTA DEPOK DAN YOGYAKARTA)
Sulis Winurini
PUSAT PENELITIAN BADAN KEAHLIAN DPR RI
JAKARTA
2017
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi birokrasi sudah mulai bergaung sejak tahun 1998, dipicu krisis multidimensi
yang mempengaruhi seluruh sendi kehidupan masyarakat. Pada saat itu, kritik masyarakat
terhadap birokrasi terjadi secara meluas. Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) mencatat
setidaknya ada tujuh poin penting dari kritik tersebut, yaitu: 1) buruknya pelayanan publik; 2)
besarnya angka kebocoran anggaran negara; 3) rendahnya profesionalisme dan kompetensi
Pegawai Negeri Sipil (PNS); 4) sulitnya pelaksanaan koordinasi antarinstansi; 5) masih
banyaknya tumpang tindih kewenangan antarinstansi, aturan yang tidak sinergis dan tidak
relevan dengan perkembangan aktual, dan masalah-masalah lainnya; 6) birokrasi dikenal
enggan terhadap perubahan, eksklusif, kaku dan terlalu dominan, sehingga hampir seluruh
urusan masyarakat membutuhkan sentuhan birokrasi, dan 7) tingginya biaya yang dibebankan
untuk pengurusan hal tertentu, baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, waktu tunggu
yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati dan tidak berspektif pelanggan
(Kementerian PPN/ Bappenas, 2013).
Permasalahan-permasalahan di atas mengganggu birokrasi dalam menjalankan
fungsinya. Kasus Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) meningkat, kebijakan pemerintah tidak
efektif dan penggunaan anggaran tidak efisien karena tumpang tindihnya fungsi antarinstansi
pemerintah, di samping itu kemampuan dan kompetensi PNS rendah akibat perekrutan yang
diwarnai nepotisme dan sistem remunerasi yang tidak berbasis kinerja (Anwaruddin dalam
Riyadini, 2013). Menurut Utomo (2011 dalam Ria, 2016), birokrasi menghadapi masalah
kultural yang sudah mengakar. Pada tingkat sistem, terjadi ketidakpercayaan antara
pemerintah dan masyarakat. Pada tingkat institusional, efisiensi seringkali hanya dinilai dari
kemampuan penyerapan anggaran, sehingga penyerapan anggaran rendah dianggap berkinerja
buruk. Sedangkan pada tingkat individu seringkali ditemukan tindakan indisipliner,
ketidakpatuhan pada aturan dan tindakan melawan atasan. Menurut Makmur (2009), penyakit
birokrasi didorong karena adanya dekadensi moral terkait dengan berbagai bentuk tindakan
konspirasi, seperti konspirasi jabatan, konspirasi pekerjaan, konspirasi status, konspirasi
kolega, konspirasi keluarga, dan konspirasi pertemanan.
Di sisi lain, birokrasi memiliki peran yang cukup besar karena menentukan keberhasilan
pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakan pembangunan. Oleh karena itulah,
reformasi birokrasi menjadi sebuah agenda yang tidak terelakkan. Reformasi birokrasi
dimaknai sebagai perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan, meliputi
perubahan struktur dan reposisi birokrasi, perubahan sistem politik dan hukum, perubahan
sikap, mental, budaya birokrat dan masyarakat, serta perubahan pola pikir, komitmen
pemerintah serta partai politik (Prasojo dan Kurniawan, 2008). Bratakusumah (2015)
menyatakan bahwa suatu institusi memiliki tiga aspek utama, yaitu nilai, struktur organisasi,
dan prosedur atau manajemen. Pada proses reformasi birokrasi, ketiga aspek tersebut harus
diformulasikan dalam konsep perubahan yang berhubungan dengan 1) institusi atau organisasi,
2) manajemen administrasi, 3) kualitas sumber daya manusia, dan 4) sistem pengendalian.
Aspek-aspek dalam reformasi birokrasi melibatkan perubahan pada manajemen pemerintahan
dan pengembangan kualitas serta kompetensi sumberdaya manusia sebagai aparatur negara.
Reformasi birokrasi sempat mengalami ketertinggalan dibanding bidang lainnya.
Menyadari hal tersebut, pada tahun 2004, pemerintah menegaskan kembali pentingnya prinsip
clean government dan good governance dan mulai menerapkan reformasi birokrasi secara
instansional (Ria, 2016). Kemudian pada tahun 2010, pemerintah menetapkan Peraturan
Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi sebagai acuan
pelaksanaan reformasi birokrasi di semua instansi pemerintahan. Pada era pemerintahan
Jokowi, pelaksanaan reformasi birokrasi tercakup dalam dokumen NAWACITA. Upaya
berkomitmen untuk menjalankan reformasi birokrasi dan pelayanan publik disebutkan secara
spesifik pada butir 12 agenda yang diberikan perhatian khusus dalam Visi – Misi pemerintah
Joko Widodo dan Jusuf Kalla, sebagai berikut (Permenpanrb tentang Road Map Reformasi
Birokrasi 2015-2019) :
“Kami berkomitmen menjalankan reformasi birokrasi dan pelayanan publik.
Dalam kebijakan Reformasi Birokrasi dan pelayanan publik, kami akan memberi
penekanan pada 5 (lima) prioritas utama:
a. Kami akan mengambil inisiatif penetapan payung hukum yang lebih kuat dan
berkesinambungan bagi agenda reformasi birokrasi. Hal ini penting untuk
memberikan kepastian dan kesinambungan perhatian terhadap arah, tahapan,
strategi, dan capaian reformasi birokrasi di Indonesia.
b. Kami akan menjalankan aksi-aksi konkrit untuk restrukturisasi kelembagaan yang
cenderung gemuk, baik di kelembagaan pemerintah pusat yang berada di bawah
Presiden maupun kelembagaan Pemerintah Daerah melalui revisi UU Pemerintahan
Daerah.
c. Kami akan menjalankan secara konsisten UU Aparatur Sipil Negara sehingga tercipta
aparatur sipil negara yang kompeten dan terpercaya.
d. Kami berkomitmen memberantas korupsi di kalangan aparatur sipil negara dengan
memastikan komitmen terbuka dan terekspos dari Presiden untuk secara tegas
menegakan aturan yang terkait dengan korupsi.
e. Kami akan melakukan aksi-aksi bagi perbaikan kualitas pelayanan publik. Perbaikan
layanan publik dilakukan dengan berbagai cara: meningkatkan kompetensi aparatur,
memperkuat monitoring dan supervisi atas kinerja pelayanan publik, serta membuka
ruang partisipasi publik melalui citizen charter dalam UU Kontrak Layanan Publik.”
Sesuai arah kebijakan reformasi birokrasi, pada tahun 2019, setiap birokrasi diharapkan
telah berhasil mewujudkan birokrasi yang bersih dan akuntabel, birokrasi yang efektif dan
efisien, birokrasi yang memiliki pelayanan publik berkualitas (Permenpanrb tentang Road Map
Reformasi Birokrasi 2015-2019). Pada tahun 2025, tata pemerintahan Indonesia diharapkan
telah menjadi baik. Birokrasi pemerintah Indonesia menjadi birokrasi yang profesional,
memiliki integritas tinggi, dan memiliki kapasitas mumpuni sebagai pelayan publik (Perpres
tentang Grand Design Reformasi Birokrasi).
Untuk mewujudkan sasaran reformasi birokrasi, ditetapkan 8 (delapan) area
perubahan, yaitu: 1) mental aparatur; 2) sistem pengawasan; 3) sistem akuntabilitas; 4) sistem
kelembagaan; 5) sistem tata laksana; 6) pengelolaan SDM; 7) peraturan perundang-undangan;
8) sistem manajemen pelayanan publik (Permenpanrb tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2015-2019). Untuk mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi, pemerintah menerapkan 9
(sembilan) program, yaitu: 1) penataan struktur birokrasi; 2) penataan jumlah dan distribusi
PNS; 3) sistem seleksi CPNS dan promosi PNS secara terbuka; 4) profesionalisasi PNS; 5)
pengembangan sistem elektronik pemerintah; 6) peningkatan pelayanan publik; 7) peningkatan
transparansi dan akuntabilitas aparatur; 8) peningkatan kesejahteraan pegawai negeri; 9)
efisiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS (Menpanrb, 2012).
Inti perubahan dari reformasi birokrasi adalah perubahan mental pegawai
(Permenpanrb tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019). Bisa dikatakan, PNS
merupakan salah satu penentu keberhasilan reformasi birokrasi karena merekalah aktor
penyelenggara birokrasi. Menurut UUASN, PNS sebagai aparatur negara memiliki peran sebagai
perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan
pembangunan nasional, yaitu dengan melaksanakan kebijakan dan pelayanan publik.
Optimalisasi penyelenggaraan pemerintahan yang tergambar dari efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan program pemerintahan tergantung dari bagaimana PNS melaksanakan kebijakan
dan memberikan pelayanan (Winurini, 2014). Dengan perannya yang strategis, birokrasi
membutuhkan PNS yang berintegritas, kompeten, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera.
Reformasi birokrasi telah memberikan suasana baru bagi pegawai. Setiap area
perubahan yang ditargetkan reformasi birokrasi menjadi tuntutan bagi pegawai dalam
menjalankan peran dan fungsinya. Setiap perubahan diterima pegawai sebagai pengalaman
baru. Pengalaman pegawai dalam pekerjaan merupakan salah satu hal penting karena pegawai
menghabiskan sepertiga harinya untuk bekerja dan berada di tempat kerja. Selain itu, pekerjaan
memberikan sumber daya penghasilan dan aktivitas yang bermakna bagi diri mereka sendiri
dan masyarakat (Pavot dan Diener, 2004 dalam Russell, 2008), sehingga setiap pengalaman
yang mereka terima di tempat kerja akan mempengaruhi kesejahteraan hidupnya secara
keseluruhan. Hal ini diperjelas oleh Fairhaust (2009), yang menyatakan bahwa pengalaman
seseorang dalam bekerja dapat mempengaruhi perasaan mereka mengenai diri mereka sendiri,
kualitas interaksi dengan keluarga dan teman-teman, bagaimana menghabiskan waktu luang,
keyakinan akan masa depan, dan lain sebagainya.
Dana dan Griffin (1999) menyatakan bahwa pengalaman pegawai di lingkungan kerja,
baik secara fisik, emosional, dan sosial akan mempengaruhi dirinya ketika bekerja. Oleh sebab
itu, kesehatan dan kesejahteraan pegawai harus menjadi perhatian penting. Kesehatan dan
kesejahteraan tidak hanya merujuk pada kesehatan fisik aktual pegawai saja, namun juga pada
mental, psikologis, atau aspek emosional pekerja, seperti keadaan emosional dan penyakit
mental (Shahandeh, dalam Danna dan Griffin, 1999). Jones (2006) menyatakan pentingnya
kesejahteraan pegawai di tempat kerja karena dapat meningkatkan hubungan kerja,
produktivitas, serta mengurangi keluar masuknya pegawai. Sejalan dengan Jones (2006), Page
dan vella-Brodrick (2008) mengemukakan pentingnya kesejahteraan pegawai karena sangat
berhubungan dengan performa pegawai dan dapat menjadi acuan dalam menilai return on
investment suatu perusahaan. Dari berbagai penemuan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
kesejahteran pegawai di lingkungan kerja dapat memberikan keuntungan, tidak hanya bagi
pegawai itu sendiri, namun juga bagi organisasi, dan keberhasilan pelaksanaan reformasi
birokrasi.
Kesejahteraan pegawai di lingkungan kerja dijelaskan dalam konsep Workplace Well
Being, yang selanjutnya disingkat menjadi WWB. WWB didefinisikan sebagai rasa sejahtera
yang diperoleh pegawai dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan pegawai secara
umum (core affect) dan nilai instrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values) (Page,
2005). Core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu secara umum, sedangkan work
values merujuk pada aspek-aspek penting dari pekerjaan yang dapat membuat pegawai
menikmati pekerjaan tersebut. Beberapa penelitian menyatakan bahwa fokus dari WWB adalah
untuk meningkatkan produktivitas dan komitmen kerja dari pegawai, serta meningkatkan
kepuasan terhadap pekerjaan mereka (Greenhaus, Efraty & Lewellyn dalam Ip, 2009), sehingga
dengan adanya pengukuran terhadap WWB, maka organisasi akan memiliki cara yang efektif
dalam mengidentifikasi, mengukur, dan memeriksa kesejahteraan pegawai. Selain itu, secara
tidak langsung hasil dari pengukuran WWB turut memberikan informasi sejauh mana
organisasi diatur dengan baik, sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengidentifikasi
masalah yang mungkin muncul di dalam organisasi dan dapat dilakukan tindakan yang tepat
(Ip, 2009).
Sauter, Lim, dan Murphy (1996 dalam Grawitch, et al 2006) menyatakan bahwa untuk
memaksimalkan kesejahteraan pegawai, maka organisasi harus menciptakan dan
mengembangkan lingkungan kerja yang sehat. Dengan melihat lingkungan kerja yang sehat
maupun yang tidak sehat, maka organisasi dapat melakukan inisiatif untuk meningkatkan
kualitas kerja dan lingkungan kerja mereka (Kelloway & Day, 2005). Hal tersebut dilakukan
untuk mencapai kesejahteraan pegawai dan juga tujuan organisasi dalam rangka mencapai
keuntungan dan produktivitas yang tinggi (Sauter, Lim & Murphy, 1996 dalam Grawitch, et al
2006). Lingkungan sehat yang diciptakan melalui reformasi birokrasi adalah dengan
mengembangkan budaya kerja positif mencakup pengembangan nilai-nilai yang memperjelas
batasan tentang perilaku yang harus dipraktikkan dan tidak boleh dipraktikkan. Perubahan
mental birokrasi yang dituju adalah perilaku birokrasi berbudaya kerja yang bersih, jujur,
melayani, disiplin, ramah, bertanggungjawab, produktif, kreatif, kerja keras dan ikhlas serta
gigih dan kooperatif. Perilaku birokrasi yang demikian dianggap kondusif bagi terciptanya
birokrasi yang bersih dan akuntabel, efektif, dan efisien serta mampu memberikan pelayanan
yang berkualitas.
Upaya lain di dalam reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan lingkungan kerja
yang sehat adalah dengan mengganti kerangka hukum sistem manajemen kepegawaian negara
dari Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara (UUASN). UUASN menekankan sistem merit dan menjadikannya sebagai
prinsip dasar dalam kebijakan dan manajemen aparatur negara. Sistem merit adalah kebijakan
dan manajemen aparatur negara yang didasarkan atas kualifikasi, kompetensi dan kinerja
secara adil dan wajar, dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit,
agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Dengan sistem
merit, maka penggajian diberikan secara adil dan layak sesuai dengan kinerja. Sebelumnya,
sistem penggajian pemerintah mengacu pada sistem skala tunggal, yaitu sistem penggajian
dimana gaji yang sama diberikan kepada pegawai yang berpangkat sama, dengan tidak atau
kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggung jawab yang
dipikul dalam melaksanakan pekerjaan tersebut.
Setelah reformasi birokrasi, istilah remunerasi muncul. Remunerasi adalah kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan pemberian kompensasi yang adil dengan
penyesuaian beban kerja dan tanggung jawab. Dengan adanya sistem remunerasi, sistem
penggajian mengarah ke skala gabungan, yaitu sistem perpaduan skala tunggal dan skala ganda,
yaitu gaji pokok ditentukan sama bagi pegawai yang berpangkat sama. Di samping itu, diberikan
tunjangan kepada pegawai yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang tinggi
atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan
pengerahan tenaga secara terus-menerus. Adapun pertimbangan besaran tunjangan kinerja
yang diterima pegawai didasari tiga hal, yaitu: 1) target kinerja yang dihitung menurut kategori
dari nilai capaian Sasaran Kinerja Pegawai (SKP); 2) kehadiran menurut hari dan jam kerja
serta cuti yang dilaksanakan oleh pegawai; dan 3) ketaatan pada kode etik dan disiplin aparatur
negara (Alawiya, Yuliantiningsih, Sudrajat dan Sari, 2013).
Selain itu, pemerintah juga mengganti DP3 menjadi Penilaian Prestasi Kerja Pegawai
(PPKP) menggantikan DP3 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang
Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil. Penilaian prestasi kerja merupakan suatu proses
rangkaian manajemen kinerja yang berawal dari penyusunan perencanaan prestasi kerja
berupa SKP, penetapan tolok ukur yang meliputi aspek kuantitas, kualitas, waktu, dan biaya dari
setiap kegiatan tugas jabatan. Pelaksanaan penilaian SKP dilakukan dengan cara
membandingkan antara realisasi kerja dengan target yang telah ditetapkan. Untuk memperoleh
objektivitas dalam penilaian prestasi kerja, digunakan parameter penilaian berupa hasil kerja
yang nyata dan terukur yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan tujuan organisasi.
Berbeda dengan DP3, PPKP lebih terarah, konkrit, terukur, dan mengedepankan objektivitas.
Dengan demikian, hanya pegawai berprestasi yang mendapatkan nilai baik dan berpeluang
lebih besar untuk mengembangkan potensi dan meningkatkan karier di lingkungan kerjanya.
Prinsip keadilan yang didasarkan atas beban kerja merupakan salah satu bentuk upaya
reformasi birokrasi dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat bagi pegawai.
Lebih lanjut, Henry (dalam Russell, 2008) menjelaskan bahwa dalam tingkatan
individual, banyak intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan pada pegawai,
antara lain adalah memperkaya pekerjaan, memberikan umpan balik positif, dan meningkatkan
motivasi. Selain hal-hal tersebut di atas, Avey, Luthans, Smiths, dan Palmer (2010) menyatakan
bahwa kesejahteraan yang dimiliki oleh pegawai, salah satunya dipengaruhi oleh psychological
capital. Hal tersebut sesuai dengan hasil dari penelitian-penelitian berikut yang menyatakan
bahwa kesejahteraan turut dipengaruhi oleh hope (Synder et al, 2006), resiliency (Britt et al,
2001; Ferris, et al, 2005), self efficacy (Axtell, 2000, Bandura, 1997) dan optimism (Carver, 2005)
yang tergabung di dalam psychological capital (Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010).
Psychological capital atau biasa disingkat menjadi PsyCap (Luthans, Youssef & Avolio,
2007) merupakan perkembangan dari positive psychology (Seligman & Snyder, dalam Luthans,
Vogelgesang & Lester, 2006). Luthans, Youssef dan Avolio (2007) mendefinisikan psychological
capital sebagai sebuah kondisi perkembangan dari psychological state positif dari seseorang,
dengan karakteristik: 1) memiliki keyakinan terhadap kemampuan diri dalam mengambil dan
mengerahkan usaha yang cukup agar berhasil dalam melakukan tugas-tugas yang menantang
(self efficacy); 2) membuat atribusi yang positif tentang kesuksesan di masa kini dan masa
depan (optimism); 3) memiliki harapan dalam mencapai tujuan dan bila perlu mengalihkan
jalan atau mencari jalan lain untuk mencapai tujuan (hope); dan 4) ketika dihadapkan pada
masalah dan halangan dapat bertahan dan bangkit kembali, bahkan melebihi untuk mencapai
kesuksesan (resiliency).
Pentingnya Psycap dapat dilihat dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya. Luthans, Youssef & Avolio (2007) menjelaskan bahwa Psycap memiliki hubungan
yang positif terhadap performa di lingkungan kerja, rendahnya tingkat absen, rendahnya
sinisme dan intensitas pegawai untuk berhenti, serta meningkatkan kepuasan kerja, komitmen,
dan perilaku kewarganegaraan organisasi. Penelitian dari Avey, Luthans, Smiths, dan Palmer
(2010) serta penelitian dari Peterson, Balthazard, Waldman, dan Thatcher (2008) menyatakan
bahwa Psycap dapat meningkatkan kesejahteraan pada pegawai. Psycap yang dimiliki oleh
pegawai dapat meningkatkan nilai-nilai potensial pegawai dalam berbagai hal, seperti dalam
mengambil sudut pandang yang berbeda, melakukan apresiasi situasi dan perubahan-
perubahan dengan lebih positif, mampu mengambil kesempatan, mampu beradaptasi atau
menyesuaikan diri dan mampu meningkatkan kesejahteraan mereka (Avey, Luthans, Smiths, &
Palmer, 2010). Individu dengan Psycap yang tinggi akan lebih fleksibel dan mudah beradaptasi
untuk melakukan beberapa hal dalam memenuhi tuntutan pekerjaan mereka, dimana, di saat
yang bersamaan, Psycap yang mereka miliki akan membantu mengembangkan dan
meningkatkan kemampuan serta kesejahteraan yang mereka miliki (Luthans, Youssef, & Avolio,
2007). Hal ini selaras dengan Little, Gooty, dan Neldon (2007) yang menyatakan bahwa adanya
karakteristik hope, optimism, resiliency, dan self efficacy pada seseorang akan mengarahkan
hidup mereka ke arah yang lebih sehat dan selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan
mereka. Penting bagi organisasi untuk memperhatikan kesejahteraan pegawai dengan fokus
pada individu melalui Psycap. Psycap akan berpengaruh terhadap kesejahteraan dan kepuasan
kerja pegawai (Avey, Luthans, Smiths, & Palmer, 2010), dan kedua hal tersebut akan
menghasilkan performa kerja yang baik dan akan berimbas pada kesuksesan organisasi
mencapai tujuannya.
Berkaitan dengan reformasi birokrasi, pegawai perlu membangun kekuatan yang
berasal dari dalam diri dalam bentuk Psycap agar mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan di dalam reformasi birokrasi. Di dalam reformasi birokrasi, pegawai
tidak bisa lagi bekerja malas-malasan karena ada pengukuran kinerja yang konkrit yang
berpengaruh terhadap reward dan punishment. Pegawai dituntut untuk hadir tepat waktu di
tempat kerja karena pelanggaran disiplin memiliki konsekuensi langsung terhadap punishment
berupa pemotongan tunjangan kinerja. Pegawai juga akan sulit melakukan kecurangan-
kecurangan karena pengawasan di dalam sistem kerja diperkuat. Pada saat yang bersamaan,
ada tuntutan untuk bisa berkontribusi secara maksimal supaya instansi tempat mereka bekerja
bisa mencapai target reformasi birokrasi. Tanpa kekuatan yang berasal dari dalam diri, pegawai
mungkin mengalami perasaan negatif seperti stress dan lelah. Oleh karena itu, pegawai dengan
Psycap tinggi diyakini dapat mengurangi efek samping dari kesulitan pekerjaan yang dialami,
yang pada akhirnya, pegawai akan lebih berdaya serta memiliki rasa kontrol dan otonomi atas
diri mereka di dalam pekerjaannya. Pegawai dengan Psycap tinggi akan menjadi pegawai yang
fleksibel dan adaptif untuk bertindak dengan kepasitas yang berbeda untuk memenuhi tuntutan
secara dinamis. Selain itu, pegawai dengan Psycap tinggi diasumsikan akan memiliki
kesejahteraan yang baik. Dengan demikian, pegawai dengan ciri berintegritas, kompeten,
profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera bisa terwujud sehingga bisa mempercepat
pelaksanaan reformasi birokrasi.
Hingga tahun 2014, instansi yang telah melaksanakan reformasi birokrasi sebanyak 73
kementerian/lembaga (Permenpanrb tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019).
Sedangkan untuk level pemerintah daerah, sebanyak 98 pemda menjadi pilot project di tahun
2013 (Kepmenpanrb tentang Penetapan Pilot Project Reformasi Birokrasi Pada Pemerintah
Daerah). Banyaknya instansi yang telah menjalankan reformasi birokrasi seharusnya
berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik dan kinerja instansi pemerintah tersebut.
Namun demikian, fakta di lapangan masih banyak ditemukan birokrasi yang lambat, biaya
tambahan di luar ketentuan, dan pelayanan publik yang buruk. Masih sering ditemuinya
penyelenggara negara yang menjalani proses hukum karena banyaknya kasus korupsi juga
menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih dipertanyakan hasil dan efektivitasnya (Ria,
2016). Dalam hal ini, nilai akuntabilitas untuk tingkat kabupaten/ kota masih rendah, yaitu
46.79. Percepatan reformasi birokrasi di lingkungan pemerintah daerah menjadi sangat
mendesak.
Hingga saat ini belum banyak penelitian yang menggambarkan profil PNS setelah
reformasi birokrasi. Padahal, PNS adalah sumber daya utama di dalam birokrasi. Baik buruknya
kinerja birokrasi ditentukan oleh kualitas kerja PNS. Sebaliknya, kualitas kerja PNS ditentukan
oleh perlakuan birokrasi terhadap PNS. Dengan demikian, lambatnya pencapaian reformasi
birokrasi menjadi sinyal perlunya evaluasi terkait PNS. WWB dan Psycap merupakan dua
konsep yang berpengaruh terhadap kinerja PNS. Pemerintah sendiri telah berupaya
meningkatkan kesejahteraan pegawai untuk memotivasi pegawai supaya bisa memaksimalkan
kinerjanya dan menghindari perilaku kontraproduktif. Selain itu, meskipun program-program
di dalam reformasi birokrasi tidak secara eksplisit menyatakan tentang pengembangan Psycap,
namun beberapa area perubahan, seperti perubahan mental aparatur dan pengelolaan SDM
memiliki konsep yang sejalan dengan peningkatan Psycap. Reformasi birokrasi dianggap
sebagai intervensi pemerintah untuk meningkatkan kinerja pegawai melalui Psycap dan WWB.
Dengan demikian, beberapa pertanyaan yang akan menjadi pertanyaan dalam penelitian ini
adalah:
1. Apakah Psycap memiliki pengaruh terhadap WWB?
2. Bagaimana gambaran profil dari WWB dan Psycap PNS?
B. Hasil dan Pembahasan
B.1 Pemerintah Kota Depok
B.1.1 Workplace Well Being
Gambaran umum workplace well-being dilihat dari nilai rata-rata (M), nilai minimun
(Min), nilai maksimum (Max), dan standar deviasi (SD). Pada variabel workplace well-being, nilai
rata-rata dan standar deviasi yang diperoleh dari 51 partisipan adalah 62,04 dan 6,62.
Berdasarkan data itu, diperoleh nilai minimum dan nilai maksimum yaitu 47 dan 76. Peneliti
juga melakukan kategorisasi skor untuk variabel workplace well-being yang didasarkan atas
norma alat ukur pada penggunaan penelitian sebelumnya. Berdasarkan kategorisasi itu,
diperoleh hasil yaitu lebih dari sebagian besar partisipan dikategorikan memiliki workplace
well-being yang tinggi. Kategorisasi skor dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Rentang Skor N % Kategori 62-78 32 62,7 Tinggi 46-61 19 37,3 Sedang 13-45 0 0 Rendah
Gambaran workplace well-being berdasarkan data demografis dilakukan untuk melihat
perbandingan data variabel workplace well-being dari tiap kelompok demografis. Perbandingan
ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan skor workplace well-being partisipan
pada setiap data demografis partisipan. Berdasarkan hasil pada tabel dapat dilihat bahwa tidak
terdapat perbedaan skor workplace well-being secara signifikan berdasarkan jenis kelamin, usia,
status pernikahan, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan rata-rata jam kerja per hari (p >
0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kelima data demografis itu tidak mempengaruhi workplace
well being pada partisipan.
Karakteristik Mean Nilai F atau t
Ada/ Tidak Ada Hubungan Signifikan
Sign Ada/ Tidak Ada Perbedaan Signifikan
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
61,65 62,65
-0,56 Tidak ada 0,58 Tidak ada
Usia 21-30 31-40 41-50 Di atas 50
- 62,91 62,27 58,57
1,17 Tidak ada 0,32 Tidak ada
Status Pernikahan Lajang Duda/Janda Menikah
76,00 57,50 61,94
2,91 Tidak ada 0,06 Tidak ada
Pendidikan Terakhir SMA D3 S1 S2
57,25 65,00 61,60 63,87
1,24 Tidak ada 0,31 Tidak ada
Lama Bekerja 1-10 11-20 21-30 Di atas 30
60,25 63,06 62,50 57,80
1,15 Tidak ada 0,34 Tidak ada
Rata-rata Jam Kerja/Hari Di bawah 8 jam 8 jam Di atas 8 jam
60,00 61,98 63,17
0,18 Tidak ada 0,84 Tidak ada
B.1.2 Psychological Capital
Pada variabel psychological capital diperoleh nilai minimum dari 51 partisipan adalah
78, sedangkan nilai maksimum yang diperoleh adalah 126. Berdasarkan data itu, nilai rata-rata
dan standar deviasi yang didapatkan yaitu 99,73 dan 9,2. Selain skor yang telah disebutkan
sebelumnya, dibuat juga kategorisasi skor dengan membuat norma alat ukur berdasarkan nilai
Z skor yang diperoleh dari nilai rata-rata dan standar deviasi. Norma dibuat menjadi tiga
kategori, yaitu rendah untuk nilai yang berada di bawah -1 SD dari mean, sedang untuk nilai
yang berada di antara -1 SD dan +1 SD dari mean, dan tinggi untuk nilai yang berada di atas +1
SD dari mean. Norma skor dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Rentang Skor N % Kategori 109-126 8 15,7 Tinggi 91-108 35 68,6 Sedang 21-90 8 15,7 Rendah
Secara lebih spesifik, peneliti juga melihat perbedaan mean antarkomponen
psychological capital pada partisipan. Seluruh informasi mengenai perbedaan mean dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Komponen Psychological Capital
Nilai Min Nilai Maks M SD
Self-Efficacy 21 36 28,43 3,53 Hope 23 36 28,49 2,63 Resiliency 11 30 22,24 3,87 Optimism 16 24 20,57 1,85
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa komponen hope merupakan komponen
dengan nilai mean tertinggi. Berbeda dengan komponen optimism, komponen optimism
memiliki nilai mean terendah dalam alat ukur yang digunakan pada penelitian ini.
Gambaran setiap komponen psychological capital juga dapat dikategorikan rendah,
sedang, dan tinggi. Tingkat dari setiap komponen psychological capital dapat dilihat pada tabel
berikut.
Komponen Psychological Capital
Tingkat Rentang Skor Frekuensi %
Self-Efficacy Tinggi Sedang Rendah
32-36 25-31 6-24
5 39 7
9,8 76,5 13,7
Hope Tinggi Sedang Rendah
32-36 26-31 6-25
6 39 6
11,8 76,4 11,8
Resiliency Tinggi Sedang Rendah
27-30 19-26 5-18
4 41 6
7,8 80,4 11,8
Optimism Tinggi Sedang Rendah
23-24 19-22 4-18
9 37 5
17,6 72,6 9,8
Berdasarkan gambaran psychological capital dengan membandingkan tiap data
demografis, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan skor psychological capital secara
signifikan berdasarkan jenis kelamin, usia, status pernikahan, pendidikan terakhir, lama
bekerja, dan rata-rata jam kerja per hari (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kelima data
demografis ini tidak memengaruhi psychological capital pada partisipan.
Karakteristik Mean Nilai F atau t
Ada/ Tidak Ada Hubungan Signifikan
Sign Ada/ Tidak Ada Perbedaan Signifikan
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
100,06 99,20
0,33 Tidak ada 0,75 Tidak ada
Usia 21-30 31-40 41-50 Di atas 50
-
102,05 99,36 93,57
2,41 Tidak ada 0,10 Tidak ada
Status Pernikahan Lajang Duda/Janda Menikah
109,00 89,50 99,96
1,82 Tidak ada 0,17 Tidak ada
Pendidikan 2,34 Tidak ada 0,09 Tidak ada
Terakhir SMA D3 S1 S2
90,00 92,00 99,87
102,38 Lama Bekerja 1-10 11-20 21-30 Di atas 30
98,88
101,09 96,83 95,80
0,75 Tidak ada 0,53 Tidak ada
Rata-rata Jam Kerja/Hari Di bawah 8 jam 8 jam Di atas 8 jam
98,50 99,56
101,33
0,11 Tidak ada 0,89 Tidak ada
B. 2 Pemerintah Kota Yogyakarta
B.2.1 Workplace Well Being
Gambaran umum workplace well being dilihat dari nilai rata-rata (M), nilai minimun
(Min), nilai maksimum (Max), dan standar deviasi (SD). Pada variabel workplace well being,
nilai rata-rata dan standar deviasi yang diperoleh dari 90 partisipan adalah 61,41 dan 6,35.
Berdasarkan data itu, diperoleh nilai minimum dan nilai maksimum yaitu 41 dan 76. Peneliti
juga melakukan kategorisasi skor untuk variabel workplace well being yang didasarkan atas
norma alat ukur pada penggunaan penelitian sebelumnya. Berdasarkan kategorisasi itu,
diperoleh hasil yaitu lebih dari sebagian besar partisipan dikategorikan memiliki workplace
well being yang tinggi. Kategorisasi skor dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Gambaran workplace well being berdasarkan data demografis dilakukan untuk melihat
perbandingan data variabel workplace well being dari tiap kelompok demografis. Perbandingan
ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan skor workplace well being partisipan
pada setiap data demografis partisipan. Berdasarkan hasil pada tabel dapat dilihat bahwa tidak
terdapat perbedaan skor workplace well being PNS di kota Yogyakarta secara signifikan
berdasarkan jenis kelamin, usia, status pernikahan, pendidikan terakhir, lama bekerja, dan rata-
rata jam kerja per hari (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kelima data demografis itu
tidak memengaruhi workplace well being pada partisipan.
Rentang Skor N % Kategori 62-78 42 54,4 Tinggi 46-61 39 43,4 Sedang 13-45 2 2,2 Rendah
Karakteristik Mean Nilai F atau t
Ada/ Tidak Ada Hubungan Signifikan
Sign Ada/ Tidak Ada Perbedaan Signifikan
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
61,76 61,10
0,49 Tidak Ada 0,63 Tidak Ada
Usia 21-30 31-40 41-50 Di atas 50
- 62,90 62,94 59,89
2,69 Tidak Ada 0,07 Tidak Ada
Status Pernikahan Lajang Duda/Janda Menikah
55,50 60,17 61,80
2,05 Tidak Ada 0,14 Tidak Ada
Pendidikan Terakhir SMA D3 S1 S2
63,00 56,33 61,73 61,69
2,42 Tidak Ada 0,07 Tidak Ada
Lama Bekerja 1-10 11-20 21-30 Di atas 30
62,78 61,48 61,08 61,67
0,19 Tidak Ada 0,91 Tidak Ada
Rata-rata Jam Kerja/Hari Di bawah 8 jam 8 jam Di atas 8 jam
62,00 61,28 61,79
0,06 Tidak Ada 0,94 Tidak Ada
B. 2.2. Psychological Capital Partisipan
Pada variabel psychological capital diperoleh nilai minimum dari 90 partisipan adalah
56, sedangkan nilai maksimum yang diperoleh adalah 124. Berdasarkan data itu, nilai rata-rata
dan standar deviasi yang didapatkan yaitu 100,11 dan 10,45. Selain skor yang telah disebutkan
sebelumnya, dibuat juga kategorisasi skor dengan membuat norma alat ukur berdasarkan nilai
Z skor yang diperoleh dari nilai rata-rata dan standar deviasi. Norma dibuat menjadi tiga
kategori, yaitu rendah untuk nilai yang berada di bawah -1 SD dari mean, sedang untuk nilai
yang berada di antara -1 SD dan +1 SD dari mean, dan tinggi untuk nilai yang berada di atas +1
SD dari mean. Norma skor dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Rentang Skor N % Kategori 111-126 10 11,1 Tinggi 90-110 68 75,6 Sedang 21-89 12 13,3 Rendah
Secara lebih spesifik, peneliti juga melihat perbedaan mean antarkomponen
psychological capital pada partisipan. Seluruh informasi mengenai perbedaan mean dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa komponen self-efficacy merupakan
komponen dengan nilai mean tertinggi. Berbeda dengan komponen optimism, komponen
optimism memiliki nilai mean terendah dalam alat ukur yang digunakan pada penelitian ini.
Gambaran setiap komponen psychological capital juga dapat dikategorikan rendah,
sedang, dan tinggi. Tingkat dari setiap komponen psychological capital dapat dilihat pada tabel
berikut.
Komponen
Psychological
Capital
Tingkat Rentang Skor Frekuensi %
Self Efficacy Tinggi
Sedang
Rendah
33-36
25-32
6-24
9
68
13
10
75,6
14,4
Hope Tinggi
Sedang
Rendah
32-36
25-31
6-24
10
71
9
11,1
78,9
10
Resiliency Tinggi
Sedang
Rendah
26-30
19-25
5-18
10
67
13
11,1
74,5
14,4
Optimism Tinggi
Sedang
Rendah
23-24
19-22
4-18
18
65
7
20
72,2
7,8
Komponen
Psychological
Capital
Nilai Min Nilai Maks Mean SD
Self-Efficacy 13 36 28,76 4,04
Hope 13 36 28,31 3,44
Resiliency 10 30 22,29 3,70
Optimism 14 24 20,76 1,97
Berdasarkan gambaran psychological capital dengan membandingkan tiap data
demografis, dapat dilihat bahwa tidak terdapat perbedaan skor psychological capital secara
signifikan berdasarkan jenis kelamin, usia, status pernikahan, pendidikan terakhir, lama
bekerja, dan rata-rata jam kerja per hari (p > 0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa kelima data
demografis ini tidak memengaruhi psychological capital pada partisipan.
Karakteristik Mean Nilai F atau t
Ada/ Tidak Ada Hubungan Signifikan
Sign Ada/ Tidak Ada Perbedaan Signifikan
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
99,43 100,71
-0,58 Tidak Ada 0,57 Tidak Ada
Usia 21-30 31-40 41-50 Di atas 50
- 102,10 101,11 98,89
0,65 Tidak Ada 0,53 Tidak Ada
Status Pernikahan Lajang Duda/Janda Menikah
98,50 100,33 100,18
0,05 Tidak Ada 0,95 Tidak Ada
Pendidikan Terakhir SMA D3 S1 S2
102,56 95,33 98,80 104,38
2,15 Tidak Ada 0,10 Tidak Ada
Lama Bekerja 1-10 11-20 21-30 Di atas 30
103,56 102,74 97,86 102,22
1,74 Tidak Ada 0,17 Tidak Ada
Rata-rata Jam Kerja/Hari Di bawah 8 jam 8 jam Di atas 8 jam
97,00 99,65 102,26
0,60 Tidak Ada 0,55 Tidak Ada
B.2.3 Psychological Capital dan Workplace Well Being
B.2.3.1 Hubungan antara Workplace Well Being dan Psychological Capital
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan menggunakan Pearson Product Moment,
didapatkan nilai korelasi antara workplace well being dan psychological capital pada PNS di kota
Yogyakarta yaitu r = 0.36, p < 0.01, two tailed. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara workplace well being dan psychological capital pada PNS di kota
Yogyakarta dengan 12,96% varians psychological capital dapat dijelaskan oleh workplace well
being. Hal ini berarti semakin tinggi workplace well being yang dirasakan oleh anggota PNS di
Yogyakarta akan diiringi dengan semakin tingginya psychological capital yang dimiliki oleh PNS
itu, begitu juga sebaliknya.
D.2.3.2 Hubungan antara Workplace Well Being dan Tiap Komponen Psychological Capital
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan metode partial
correlation (metode untuk melihat hubungan antara dua variabel dengan mengontrol variabel
lainnya yang berhubungan), didapatkan nilai korelasi yang signifikan antara workplace well
being dan komponen hope pada PNS di kota Yogyakarta yaitu r = 0.46, p < 0.01, two tailed.
Berdasarkan hasil ini ditemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara
workplace well being dan komponen hope pada PNS di kota Yogyakarta dengan 21% varians
komponen hope dapat dijelaskan oleh workplace well being. Hal ini berarti semakin tinggi
workplace well being yang dirasakan oleh anggota PNS di Yogyakarta akan diiringi dengan
semakin tingginya komponen hope yang dimiliki PNS itu, begitu juga sebaliknya. Pada
komponen self efficacy, resilience, dan optimism tidak ditemukan hubungan yang signifikan
dengan workplace well being. Berdasarkan hasil ini dapat dikatakan komponen hope memiliki
peranan yang sangat signifikan dalam menjelaskan hubungan psychological capital dan
workplace well being pada PNS di Yogyakarta.
Workplace Well Being
Psychological Capital
Self efficacy - 0,08
Hope 0,46**
Resilience - 0,01
Optimism - 0,01
Keterangan : ** p < 0.01, two tailed.
B.2.4 Hasil Analisa Regresi Variabel Workplace Well Being dan Psychological Capital
Untuk mengetahui hubungan antara workplace well being dan psychological capital
dilakukan analisis regresi dengan menggunakan metode simple regression. Penggunaan metode
simple regression dikarenakan tidak ditemukan hubungan antara workplace well being dan
psychological capital dengan data demografis pada penelitian ini sehingga bisa dilakukan
analisa secara langsung antara kedua variabel. Hasil uji simple regression dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Variabel Psychological Capital
B SE B β R2 Workplace Well Being 0,584 0,164 0,355 0,126**
Keterangan : ** p < 0.01, two tailed.
Berdasarkan hasil di atas diperoleh hasil R2 sebesar 0,126. Ini berarti 12,6 % varians
psychological capital dapat dijelaskan oleh workplace well being (F(1, 88) = 12,66, p < 0,01).
Hasil ini menunjukkan bahwa workplace well being dapat memprediksi psychological capital
pada PNS di Yogyakarta. Berdasarkan nilai β pada tabel di atas yaitu 0,355 dapat diartikan
bahwa setiap kenaikan setiap 1 standar deviasi dari workplace well being akan menyebabkan
kenaikan sebesar 0,355 standar deviasi pada psychological capital. Berdasarkan hubungan
ini, dapat disimpulkan bahwa workplace well being merupakan salah satu variabel yang
dapat meningkatkan psychological capital pada PNS di Yogyakarta.
C.1 Perbedaan Psychological Capital dan Workplace Well Being Pemerintah Kota Depok
dan Pemerintah Kota Yogyakarta
Berdasarkan tabel di bawah ini, dapat dilihat bahwa skor rata-rata workplace well being
Kota Depok lebih tinggi daripada kota Yogyakarta, sedangkan skor rata-rata psychological
capital kota Yogyakarta lebih tinggi daripada kota Depok. Namun demikian, berdasarkan hasil
uji statistik dengan menggunakan t-test tidak ditemukan perbedaan rata-rata skor secara
signifikan pada variabel workplace well being ataupun psychological capital antara kota Depok
dan Yogyakarta (p > 0,05).
Variabel Depok (N = 51) Yogyakarta (N = 90)
t
M SD M SD p
Workplace Well
Being
62,04 6,62 61,41 6,35 0,57 0,58
Psychological Capital 99,73 9,20 100,11 10,45 - 0,22 0,83
C. PENUTUP
Berdasarkan hasil uji statistik yang dilakukan menggunakan Pearson Product Moment,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara workplace well being dan
psychological capital pada PNS di kota Yogyakarta. Hal ini berarti semakin tinggi workplace well
being yang dirasakan oleh anggota PNS di Yogyakarta akan diiringi dengan semakin tingginya
psychological capital yang dimiliki oleh PNS itu, begitu juga sebaliknya.
Skor rata-rata workplace well being Kota Depok lebih tinggi daripada kota Yogyakarta,
sedangkan skor rata-rata psychological capital kota Yogyakarta lebih tinggi daripada kota
Depok. Namun demikian, berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan t-test tidak
ditemukan perbedaan rata-rata skor secara signifikan pada variabel workplace well being
ataupun psychological capital antara kota Depok dan Yogyakarta (p > 0,05).
DAFTAR PUSTAKA
Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi, Kementerian PPN/ Bappenas, 2013
Utomo TWW. 2011. Building Good Governance Through Decentralization in Indonesia
(Recognizing Some Inhibiting Factors in The Implementation Stage. Limits of Good
Governance in Developing Countries. Gadjah Mada Press University
Riyadini B. 2013. Responsibilitas Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Melalui Penelitian Evaluasi.
Banyu Nusa Atmanakarya. Jakarta.
Mai Damai Ria, 2016, Analisis Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Kinerja Pemerintah
Daerah, Studi Kasus Pemerintah P{rovinsi Jawa Barat
Makmur. 2009. Patologi Birokrasi Serta Terapinya dalam Ilmu Administrasi dan Organisasi.
Penerbit Refika Aditama. Bandung
Prasojo E, Kurniawan T. 2008. Reformasi Birokrasi dan Good Governance : Kasus Best Practices
dari Sejumlah Daerah di Indonesia. Makalah dalam The 5th International Symposium of
Jurnal Antropologi Indonesia.
Bratakusumah DS. 2015. Administrative Reform In Indonesia: Reform and Challenges. Presented
at 2015 ASEAN-KOREA International Symposium 21-22 May 2015. Bangkok
Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
Permenpanrb No.11 Tahun 2015 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019
Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil
Kepmenpanrb No 96 Tahun 2013 tentang Penetapan Pilot Project Reformasi Birokrasi Pada
Pemerintah Daerah
Menpanrb, 2012, Reformasi Birokrasi: Peluang dan Tantangan, Disampaikan dalam Rapat
Kerja/ Sosialisasi Reformasi Birokrasi Kepada Pemda Regional I (Provinsi/ Kabupaten/
Kota se-Sumatera, DKI Jakarta dan Banten)
Kumar, R. (1999). Research Methodology: A Step By Step Guide For Beginners. London: Sage
Publications.
Nayla, Alawiya., Aryuni, Yuliantiningsih., Tedi, Sudrajat., Dessi, Perdani Yuris Puspita Sari.
2013. “Kebijakan Remunerasi Pegawai Negeri Sipil (Analisis Materi Muatan Penentuan
Nilai dan Kelas Jabatan Dalam Pemberian Remunerasi).”
http://www.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/viewFile/204/152, diakses pada
tanggal 2 April 2014
Russel, Joyce. (2008). Promoting Subjective Well Being at Work. Journal of Career Assessment,
16; 117. Sage Publication, Inc.
Fairhaust, Denise. (2009). Employee Well Being: Taking Enggagement and Performance To The
Next Level. Towers Perrin.
Danna, Karen., Griffin, Ricky W. (1999). Healith and Well Being in the Workplace: A Review and
Synthesis of the Literature. Journal of Management, Vol. 25, No. 3, 357-384
Jones, Med. (2006). The American Pursuit of Unhappiness: Gross National Happiness (GNH), A
New Economic Metric. International Institute of Management. www.
Iimedu.org/grossnationalhappiness.
Page, Kathryn M., Vella-Brodrick, Dianne A. (2008). The ‘What’, ‘Why’, and ‘How’ of Employee
Well Being: A New Model. Springer Science Business Media B.V
Kepmenpanrb No 96 Tahun 2013 tentang Penetapan Pilot Project Reformasi Birokrasi Pada
Pemerintah Daerah
Page, K. (2005). Subjective Well Being in the Workplace. Unpublished Honours Thesis, Deakin
University, Melbourne, Australia. Accessed via
http://www.deakin.edu.au/research/acqol/instruments/index.htm
Ip, Po-Keung, (2009). Developing a Concept of Workplace Well Being for Greater China. Soc
Indic Res (2009) 91:59-77 DOI 10.1007/s11205-008-9325-5.
Grawitch, Matthew J., Gottschalk, Melanie & Munz, David. C. (2006). The Path to a Healthy
Workplace: A Critical Review Linking Healthy Workplace Practices, Employee Well Being,
and Organizational Improvements. Consulting Psychology Journal: Practice and Research,
Vol. 58, No. 3, 129-147.
Kelloway, E. Kevin. & Day, Arla. (2005). Building Healthy Workplaces: Where We Need To Be.
Canadian Journal of Behavioural Science, 2005, 37:4, 309-298.
Russell, Joyce. E.A. (2008). Promoting Subjective Well Being at Work. Journal of Career
Assessment 2008; 16; 117. Published by Sage pub.
Avey, James.B., Luthans, Fred., Smith, Ronda M., & Palmer, Noel F. (2010). Impact of Positive
Psychological Capital on Employee Well Being Over Time. Journal of Occupational Health
Psychology, 2010, Vol.15, No.1, 17-2
Luthans, Fred., Youssef, Carolyn. M., Avolio, Bruce, J. (2007). Psychological Capital: Developing
the Human Competitive Edge. New York: Oxford University Press.
Luthans, Fred., Vogelgesang, Gretchen, R& Lester, Paul. B. (2006). Developing the Psychological
Capital of Resiliency. Human Resourcee Development Review; Mar2006; 5, 1; ABI/INFORM
Global pg. 25.
Peterson, Suzanne J., Balthazard, Pierre A., Waldman, David A., & Thatcher, Robert. W. (2008).
Neuroscientific Implications of Psychological Capital: Are the Brains of Optimistic, Hopeful,
Confident, and Resilient Leaders Different? Organizational Dynamics, Vol. 37, No. 4, pp.342-
353, 2008.
Little, Laura M., Gooty, Janaki., Nelson, Debra L., edited by Debra L. Nelson&Cary L. Cooper.
(2007). Positive Organizational Behaviour, Positive Psychological Capital: Has positivity
clouded Measurement Rigor? London: Sage Publication.