Upload
lyphuc
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
RRIINNGGKKAASSAANN EEKKSSEEKKUUTTIIFF
DEMOKRATITASI
DI PEDESAAN
2018 Peneliti:
Debora Sanur Lindawaty, Prayudi, Ahmad Budiman, dan Siti Chaerani Dewanti
PUSAT PENELITIAN
BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
1
Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disebutkan bahwa Desa merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa
masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.1 Dengan demikian munculnya UU No 6
Tahun 2014 tentang Desa bertujuan untuk mendorong agar seluruh aktivitas desa akan mampu
meningkatkan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan ini dilakukan
untuk menguatkan sistem demokrasi di desa serta membawa masyarakat desa menuju
kemandirian.
Demokratisasi desa bukan hanya sebatas berjalannya prosedur teknis demokrasi.
Demokratisasi desa harus berjalan pada dua arah, yakni pertama adanya prosedur dan
mekanisme yang menghasilkan penetapan keputusan yang bersifat demokratis. Kedua, adanya
kultur atau budaya dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis
dalam kehidupan sosial masyarakat desa. Oleh sebab itu agar upaya demokratisasi desa dapat
berjalan efektif dan efisien harus ada kerjasama dari berbagai unsur desa yaitu Kepala Desa,
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Lembaga Kemasyarakatan Desa, Lembaga Adat, Tokoh
Masyarakat dan Kader Pendamping Masyarakat Desa (KPMD).
Upaya desa menuju terciptanya demokrasi desa yang stabil peran setiap elemen desa
sebagaimana tersebut diatas menjadi sangat penting. Peran tersebut terutama dipegang oleh
BPD yang merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
desa. BPD merupakan lembaga perwakilan di desa yang bertugas untuk menyerap setiap
aspirasi masyarakat desa demi kemajuan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa
berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat.
Dalam hal ini BPD sebagai mitra bagi pemerintah desa dalam menjalankan aktivitas
pemerintahan desa memiliki kewenangan membahas rancangan peraturan desa bersama
kepala desa, melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan
Kepala Desa, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa, Membentuk panitia
pemilihan Kepala Desa, dan menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.
Meski demikian dalam prosesnya, desa kerapkali menemui adanya gesekan-gesekan
kepentingan yang kadarnya bisa hanya berskala kecil seperti beda pendapat, setuju dan tidak
setuju, atau bisa juga berdampak pada munculnya konflik masyarakat desa. Konflik menjadi
rentan muncul di desa karena proses demokratisasi dan modernisasi yang diamanatkan oleh
UU Desa harus dengan cepat diimplementasikan oleh desa. Oleh sebab itu keberadaan opinion
leaders di desa juga menjadi sangat penting karena opinion leaders menjadi tokoh yang mampu
1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 1 angka 1.
2
mengetahui banyak aspek informasi yang dibututhkan di masyarakat serta menjadi sumber
informasi terpercaya yang mampu membentuk pengetahuan, sikap dan mengarahkan
perbuatan masyarakat desa.
Berdasarkan deskripsi permasalahan tersebut, maka dapat difokuskan permasalahan
dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana peran BPD dalam peningkatan demokratisasi desa?
2. Bagaimana potensi konflik di desa dan solusi penyelesaiannya?
3. Bagaimana peran dan tantangan opinion leaders dalam mengawal proses perubahan di
masyarakat desa?
Untuk itu pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini yaitu bagaimana
demokratisasi yang terjadi di pedesaan?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian
misalnya perileku, persepsi, motivasi dan lain-lain secara holistic dan dengan cara diskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah2.
Teknik utama yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah dengan melakukan
wawancara yaitu melalui wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan
penelitian berdasarkan panduan wawancara yang telah dipersiapkan untuk pelaksanaan
penelitian. Selain menggunakan teknik wawancara mendalam, teknik pengumpulan data juga
dilakukan dengan menggunakan teknis dan studi pustaka. Hasil penelitian yang didapat melalui
kedua teknik pengumpulan data ini, kemudian dianalisis secara deskriptif.
Penyelenggaraan pemerintahan dan tata kelola pembangunan, ada peran tertentu yang
diberikan pada BPD dan masyarakat agar dapat berpartisipasi dan sekaligus mengusulkan apa
yang menjadi kebutuhan desa setempat. Dari sudut proses pembangunan masyarakat, diawali
tahapannya ada semacam Musyawarah Desa (musdes) dan pada saat pemdes menyusun
rencana kerja pembangunan desa (RKP Des), terdapat tim yang melibatkan unsur masyarakat.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam wadah untuk
penyusunan RKP desa harus diakui meskipun terjadi perubahan, tetapi secara ideal belum
signifikan dampaknya.
Kelemahan masih terjadi dalam proses perubahan tadi, misalnya BPD yang belum
optimal sebagai lembaga pengawas dan mitra kerja yang seimbang dengan pemerintah desa
terhadap pelaksanaan program-program pembangunan desa. Persoalannya ada di internal BPD
itu sendiri, seperti halnya menyangkut kapasitas, anggaran, profesionalisme kerja, karena
2 Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, Bandung, Penerbit Remadja Rosdakarya,
2004, hal. 6.
3
anggota BPD sendiri tidak memperoleh penghasilan atau sekedar gaji yang tetap. Mereka yang
menjadi anggota BPD tidak sedikit yang mempunyai kesibukan lain di luar tugasnya sebagai
anggota BPD.3 Misalnya, ada yang menjadi guru, PNS dan sebagainya. Ini menyebabkan kerja
BPD dalam menjalankan tugasnya secara maksimal belum tercapai dan dalam tataran fokus
tertentu. Meskipun demikian, sudah ada muncul inisiatif warga masyarakat desa dalam upaya
mempengaruhi kebijakan di level desa. Ini antara lain melalui hadirnya keikutsertaan
kelompok-kelompok masyarakat dinilai dipinggiran, seperti halnya difabel, kalangan
perempuan, perempuan kepala keluarga, dan sejenisnya, guna memperoleh alokasi tertentu
dari dana desa.
Adapun dari sudut pemerintahan desa, terdapat data menunjukkan inisiatif usulan
program pembangunan justru datang dari pemerintah desa, yaitu melalui kepala desa. Belum
terdapat inisiatif atau berupa inovasi yang berasal dari usulan BPD. Tetapi ada pula data
menunjukkan, inovasi bagi desa mengalami hambatan justru diakibatkan oleh faktor Perangkat
Desa yang sangat konservatif dalam menjalankan program-program desa. Sehingga, konfliknya
justru berasal dari internal pemerintah desa itu sendiri. Data sangat jarang menunjukkan
adanya konflik antara Kepala Desa dengan fihak BPD. Konflik internal Pemdes ini, berupa
ketidaksepakatan dalam melihat masalah desa, antara Kepala Desa dengan Sekretaris Desa
(Sekdes). Kadangkala bisa terjadi bahwa Sekdes yang memiliki penguasaan dan pemahaman
terhadap alur perencanaan penganggaran hingga tahapan pelaporan keuangan, justru dirinya
tidak mau membuka akses informasi keuangan desa secara luas kepada Kepala Desa. Atau pada
kasus lain, bisa saja Perangkat Desa yang tidak sejalan dalam prioritas pembangunan desa
dengan kepala desanya. Kepala Desa memiliki inisiatif yang cukup maju terhadap inisiatif
warga, tetapi kepala desa bersangkutan berhadapan dengan perangkat desa yang masih
menggunakan pola berfikir model lama. Ini misalnya, ketidakinginan perangkat desa terhadap
partisipasi warga dan menganggap urusan desa cukup dikelola oleh pemerintah desa beserta
jajaran perangkat desanya. Transparansi tidak dilakukan atau akuntabilitas yang tidak berjalan,
tetapi kemudian kapasitas perangkat desa untuk membuka ruang partisipasi warga justru
secara sengaja ditutup oleh dirinya.
Di tengah relasi kepala desa dan BPD yang cenderung kondusif, masalah internal justru
terjadi pada pemerintahan desa setempat. Kepala desa memang memiliki kewenangan bisa
mengganti perangkat desa, tetapi ini sebenarnya harus berhadapan dengan persyaratan cukup
rumit, antara lain misalnya syarat terkait masa kerja unsur perangkat desa itu sendiri, atau
batasan maksimal 3 bulan berturut-turut tidak menjalankan tugas. Terdapat kasus menarik di
Kabupaten Kendal, Jawa Tengah dan juga di DI Yogyakarta, ada desa di mana kepala desanya
berkeinginan untuk melakukan perubahan menuju kemajuan, tetapi perangkat desanya justru
3Wawancara dengan Titok, aktivis IRE, Yogyakarta, 1 Maret 2018
4
enggan untuk berubah. Yang terjadi kemudian adalah justru mereka mencoba mensiasati
regulasi. Pada kasus ini, ada perangkat desanya yang tidak masuk sampai dua bulan berturut-
turut, sampai kemudian di sela waktu itu dirinya masuk dan aktif kembali bekerja sebagaimana
biasa menjalankan tugas-tugasnya. Dalam kasus ini, kepala desa kesulitan saat menghadapi
kekosongan perangkat desa dalam jangka waktu tergolong cukup lama. Padahal, Kepala Desa
tidak dapat begitu saja memberhentikan adanya unsur dari perangkatnya yang tidak disiplin
atau “membangkang”.
Jika kepala desa tadi memaksakan diri untuk menertibkan secara keras oknum
perangkat yang tidak loyal terbentu, maka dirinya akan terbentur dengan persyaratan saat
harus melakukan eksekusi pemberhentian perangkat dimaksud. Meskipun saat musdes sudah
diputuskan bahwa ada unsur perangkat desa tadi yang harus dilakukan penggantian, jalan
panjang untuk menuju eksekusi keputusan pemberhentian perangkat desa tetap tidak mudah
dijalankan. Kesulitan demikian menyebabkan kesejalanan aspirasi BPD dengan kepala desa
dalam hal pelaksanaan program pembangunan desa, belum menjamin dapat diimplementasikan
secara baik, ketika tidak diimbangi oleh kapasitas dari perangkat desa. Bahkan yang terburuk,
adalah justru keinginan memberhentikan oknum perangkat desa yang tidak disiplin tadi, dapat
membentuk perlawanan lebih lanjut berupa terjadinya penolakan perangkat desa atas program
desa yang disudah diputuskan melalui musdes oleh BPD dengan kepala desa.
Dengan demikian, hubungan antara BPD dengan Kepala Desa yang sangat bersifat sub
lokal tidak dapat dipersamakan sebagaimana pola hubungan DPR dan pemerintah di tingkat
nasional. Ini mengingat organisasi BPD yang lahir belakangan dan rentang proses kelahiran ini
sudah menunjukkan bahwa artinya sebenarnya dari power justru berada dipundak kepala desa.
Media massa belum memandang adanya kontrol signifikan dari BPD terhadap kebijakan yang
diambil kepala desa. Media massa sudah berusaha untuk memverifikasi adanya desa yang
berpotensi untuk maju, seperti halnya dalam hal potensi wisata yang dimiliki desa, dengan
didanai melalui dana desa, yang untuk di D.I Yogyakarta, terdapat yang disebut Dana
Keistimewaan. Media massa mencoba menelusuri sebelum dan sesudah adanya dana desa dan
bagi DIY dana keistimewaan, kemudian melihat perubahan apa saja yang terjadi. Perubahan
dimaksud adalah berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat desa.
Indonesia sebagai bangsa dan negara tentu tidak terlepas dari berbagai konflik. Konflik
tersebut merupakan efek dari adanya perbedaan pemahaman di antara individu-individu
maupun kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Dengan kata lain, konflik
muncul karena adanya perbedaan kepentingan, persepsi, maupun identitas dalam masyarakat.
5
Menurut Surbakti, dalam masyarakat akan selalu ada perbedaan dan tidak mungkin setiap
individu memiliki kepentingan yang sama dan serasi.4
Konflik pada masyarakat homogen seperti masyarakat desa umumnya dipicu oleh
adanya perbedaan sifat maupun kepentingan individu dan kelompok akibat motif sosial
tertentu. Terutama karena sejak disahkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa terjadi
perubahan relasi pada level desa. Sebelum UU Desa, peran kepala desa dan perangkat desa
sangat dominan. Saat ini kondisi tersebut telah berubah dan sudah terjadi distribusi kekuasaan
dalam pemerintahan desa. Jadi meskipun kohesivitas hubungan sosial masyarakat telah diatur
sedemikian rupa agar berjalan baik, namun akibat adanya berbagai perbedaan, konflik tetap
terjadi.
Konflik tersebut dapat terjadi dalam bentuk konflik pribadi maupun kepentingan politik.
Konflik pribadi biasanya terjadi bila seorang individu dengan individu lain memiliki persaingan
untuk memperkuat kedudukannya baik di dalam masyarakat maupun di dalam pemerintahan
desa. Dalam hal ini kepentingan pribadi akan melahirkan kelompok pemicu konflik. Sedang
konflik kepentingan politik biasanya terjadi karena perbedaan pandangan antar partai politik.
Meski demikian kondisi tersebut tidak berlangsung lama karena kondisi lingkungan masyarakat
desa yang memiliki hubungan kekerabatan.
Ditemukan bahwa konflik seringkali terjadi karena anggota BPD kurang memahami
kebutuhan masyarakat desanya. Selain itu seringkali inovasi desa mengalami hambatan justru
diakibatkan oleh faktor perangkat desa. Dengan kata lain, konflik justru berasal dari pemerintah
desa itu sendiri. Dimana konflik internal pemerintah desa ini terjadi karena ketiadaan
kesepakatan pendapat dalam melihat masalah desa antara kepala desa dengan sekretaris desa.
Mengingat sekretaris desa memiliki penguasaan dan pemahaman terhadap alur perencanaan
penganggaran hingga tahapan pelaporan keuangan. Sementara seringkali sekretaris desa tidak
mau membuka akses informasi keuangan desa secara luas kepada kepala desa. Pada kasus lain,
bisa saja perangkat desa tidak sejalan dalam prioritas pembangunan desa dengan kepala desa.
Kepala desa memiliki inisiatif yang cukup maju terhadap gagasan dari warga, tetapi kepala desa
bersangkutan berhadapan dengan perangkat desa yang masih menggunakan pola berfikir
model lama.
Sebagai contoh pada desa lain ada seorang kepala desa yang berkeinginan untuk
melakukan perubahan menuju kemajuan, tetapi perangkat desanya justru enggan untuk
berubah. Pada kasus ini, sosok perangkat desa mencoba mensiasati regulasi yang ada. Ia dengan
sengaja tidak masuk kerja sampai dua bulan berturut-turut. Kemudian di sela waktu itu,
perangkat desa tersebut kembali masuk bekerja. Hal ini membuat kepala desa kesulitan dalam
4 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta; Gramedia Widiasarana, 1992, hal.189.
6
melakukan tindakan tegas karena terbentur persyaratan saat harus melakukan eksekusi
pemberhentian perangkatnya yang tidak disiplin.
Kepala desa memang memiliki kewenangan untuk mengganti perangkat desa. Tetapi
bila kepala desa melakukan hal tersebut ia harus berhadapan dengan beberapa persyaratan,
antara lain persyaratan masa kerja unsur perangkat desa, atau batasan maksimal dimana
selama 3 bulan berturut-turut perangkat desa tidak menjalankan tugas. Jadi meskipun dalam
Musdes sudah diputuskan agar perangkat desa tersebut harus dilakukan penggantian namun
kesepakatan dalam musdes tersebut tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan
regulasi yang ada.
Demokratisasi di desa juga memiliki dampak pada munculnya potensi konflik di desa.
Konflik diantara warga desa dapat terjadi sewaktu-waktu, terutama pada saat pemilihan kepala
desa (Pilkades). Hal yang umum terjadi bila pemilihan kepala desa para calonnya berasal dari
satu keluarga.5 Sehingga konflik masyarakat biasa terjadi karena para calon kepala desa
merupakan sesama saudara namun saling berebut kekuasaan di desa. Pada prakteknya,
masyarakat desa yang masih memiliki ikatan keluarga, dapat berseberangan saat menjalani
Pilkades karena memiliki pilihan calon kepala desa yang berbeda. Namun kondisi ini bisa
diselesaikan dengan damai, karena masing-masing calon kepala desa sudah memiliki komitmen
untuk menjalankan kegiatan pilkades ini dengan damai. Calon kepala desa yang pernah
mengikuti pemilihan kepala desa namun tidak mendapatkan suara terbanyak, biasanya akan
menjadi ketua dan pengurus BPD dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD)
sebagai mitra dari kepala desa.
Berdasarkan kondisi tersebut sarjana pendamping desa sangat dibutuhkan perannya.
Dimana sarjana pendamping terus mendukung desa melalui verifikasi sosial atau verifikasi
kebutuhan-kebutuhan yang ingin disampaikan masyarakat kepada pemda. Selain para
pendamping desa, elemen yang berperan penting dan signifikan ialah para tokoh masyarakat
desa. Sejak dahulu, keberadaan tokoh masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kehidupan
masyarakat desa. Dengan demikian, meskipun hingga sat ini konflik di masyarakat desa tidak
besar. Namun seandainya konflik bersar terjadi, maka tokoh masyarakat yang mengambil peran
untuk mengatasinya melalui kegiatan komunikasi langsung dengan masyarakat desa. Hal yang
akan dilakukan oleh para tokoh ialah memberikan pemahaman terhadap kerugian bila konflik
itu terjadi. Hingga saat ini apa yang menjadi arahan dari tokoh masyarakat, masih dapat diikuti
oleh masyarakat desa, sehingga peran tokoh masyarakat lebih diarahkan menjadi fasilitator
dalam masyarakat.6
5 Wawancara dengan Sunarko, Pimpinan Redaksi Tribun Yogya, Yogyakarta, 28 Februari 2018.
6 Kepala Desa Wahyuharjo: R Winoto, Ketua BPD : Wacaksana, Sekretaris BPD: Isnaeini dan
Anggota BPD : Sular, Ketua LPMD : Supono dan Anggota LPMD : Sukirno, Sekretaris Desa Tokoh Masyarakat: Sumarnoto, 28-2-1018
7
Bagi perangkat desa, upaya untuk mencegah terjadinya konflik di masyarakat terkait
dengan penggunaan dana desa yaitu dengan menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas
pemerintahan desa. Pertanggungjawaban penggunaan dana desa di tempel di papan
pengumuman dan disampaikan lewat website desa. Aparat desa juga menerima aduan atau
saran masyarakat yang diterima lewat media sosial, untuk ditindaklanjuti kemudian.
Pada waktu yang lalu, tokoh masyarakat adalah orang yang biasa dijadikan rujukan dari
warga desa untuk semua permasalahan yang disampaikan kepadanya. Sekarang ini tokoh
masyarakat lebih terdistribusi pada kelembagaan desa seperti LPMD atau BPD. Tokoh
masyarakat yang pada umumnya adalah para pesiunan PNS, guru, dan tokoh penggerak
ekonomi rakyat lebih menfokuskan dirinya pada tugas mendistribusikan aspirasi masyarakat
untuk didiskusikan pada forum musyawarah desa. Sedangkan tugas yang lain juga diemban
oleh tokoh masyarakat terkait dengan “pengawasan” yang dilakukan terhadap pelaksanaan
kebijakan pembangunan desa yang dilakukan oleh kepala desa.
Dengan demikian, solusi bagi penyelesaian konflik ialah munculnya kesadaran dari tiap
pihak terkait kesalahan mereka masing-masing, adanya sikap saling memaafkan dan tidak lagi
mengedepankan kepentingan pribadi, bersikap netral tidak memihak, meningkatkan kembali
solidaritas masyarakat yang berkurang serta menghilangkan kecurigaan jelek terhadap
kelompok lain. Dengan demikian kepentingan yang dibawa individu tidak mempengaruhi pola
pikir masyarakat, sehingga terjadinya konflik dapat diminimalisir.
Aktivitas Opinion Leaders (OL) di kedua desa, cenderung mengikuti birokrasi kegiatan
desa dalam mengelola dana desa. Keharusan untuk melakukan kegiatan desa secara tertib
administrasi menyebabkan peran OL menjadi lebih terbatas. Pada kesehariannya, OL cenderung
untuk hanya menyampaikan pesan ke warga desa terkait dengan bidang masalah yang saat ini
mereka kelola. OL sadar betul bahwa meningkatkan difusi dan inovasi bagi warga desa,
memerlukan perjuangan yang cukup panjang.
Aktivitas OL dalam kegiatan komunikasi di desa, lebih banyak dilakukan dalam forum
musdes yang secara formil membahas masalah perencanaan dan pertanggungjawaban kegiatan
desa. Usulan atau saran yang disampaikan OL tidak akan berarti banyak, karena semua kegiatan
telah direncanakan sesuai dengan pola penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran yang
telah ditetapkan pemerintah pusat. Interaksi masyarakat desa dengan OL menjadi minimalis,
karena faktor birokrasi kegiata desa dan ketersediaan forum komunikasi yang memungkinkan
OL menyampaikan pandangannya.
Penggunaan website desa belum dapat dikatakan optimal, bahkan cenderung belum
dilakukan. Kebiasaan masyarakat desa untuk mempergunakan saluran komunikasi langsung
atau melalui media komunikasi konvensional, masih banyak dilakukan. Website desa tidak
terlalu sering diperbaharui isinya. Keberadaannya lebih sering diisi dengan materi
8
pertanggungjawaban pengggunaan dana desa. Sesekali website digunakan juga untuk
menyampaikan visi dan misi calon kepala desa atau BPD.
Penggunaan media sosial sebagai media komunikasi warga, memang bisa membantu
kecepatan dalam menyampaikan informasi. Namun pemerintah desa perlu menyediakan
medsos desa yang dikelola secara aktif dan setiap waktu bersedia untuk memberikan tanggapan
atas isi pesan yang disampaikan masyarakat. Kondisi ini diperlukan, agar penggunaan medsos
desa tidak disalahgunakan dan bisa menjadi potensi konlik antar warga. Penggunaan medsos
justru harus diarahkan pada kesadaran warga desa memberikan perhatian dan pengawasannya
mengenai kondisi di desanya. Penggunaan medsos harus diarahkan pada timbulnya rasa
memiliki warga desa terhadap perencanaan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah desa.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat disimpulkan untuk meningkatkan
demokratisasi dipedesaan harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya ialah:
Pertama, relasi antara BPD dengan kepala desa benar-benar harus mampu diarahkan
pada polanya yang bersifat check and balances agar berkembang demokratisasi yang sehat di
desa. Perkembangan demokrasi berlandaskan pola politik semacam itu bukan berarti otoamatis
meniru relasi antara DPR-eksekutif di tingkat pusat. Tetapi pola ini bisa membuka ruang bagi
adanya kesesuaian dengan kondisi wilayah dan karakteristik kultural masyarakat desa yang
mengedepankan musyawarah mufakat atas hal-hal penting untuk diambil keputusannya di
lokal desa setempat. Sehingga semacam local wisdom dibakukan secara kelembagaan
pemerintahan desa yang benar-benar substantif bagi kesejahteraan warga desa, tanpa harus
terjebak pada penilaian siapa yang diuntungkan atau sebaliknya mengalami sub ordinasi dalam
relasi yang dibangun.
Kedua, pengisian keanggotaan BPD perlu didorong agar tidak lagi sekedar asal
mengambil orang untuk duduk di dalamnya atau sekedar memenuhi persyaratan formal. Upaya
membentuk keanggotaan BPD dengan basis usulan komunitas warga terkecil ruang lingkupnya
yaitu di tingkat RT/RW dapat semakin diperkuat agar diperoleh calon-calon yang “relatif
mumpuni” untuk nantinya dipilih secara terbuka oleh warga. Diharapkan bahwa arah kapasitas
keanggotaan BPD dan komitmen politiknya dalam mewakili warga desa dapat menjawab
pertanyaan selama ini yang meragukan figur anggota BPD yang dihasilkan.
Ketiga, pelaksanaan fungsi-fungsi kelembagaan BPD secara kelembagaan tidak perlu lagi
diubah dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU No. 6
Tahun 2014. Namun satu hal yang bisa diajukan adalah agar BPD bisa memperoleh dukungan
sekretariatnya secara kelembagaan dan sumber daya dengan fasilitas penunjang kerjanya yang
seimbang dengan tugasnya sebagai instrumen politik perwakilan masyarakat desa. Melalui
dukungan kesekretariatan yang lebih memadai, maka pimpinan dan anggota BPD dapat lebih
9
fokus menjalankan peran BPD di bidang legislasi, anggaran dan pengawasan di tingkatan
pemerintahan desa. Pimpinan dan anggota BPD tidak terlampau disibukkan dengan urusan
administrasi pembenahan rumah tangga BPD. Diharapkan bahwa melalui melalui dukungan
kinerja BPD secara kelembagaan kesekretariatan yang lebih profesional sifatnya tentu dengan
mempertimbangkan kapasitas keuangan dan sumber daya daerah induk yaitu di kabupaten,
maka demokratisasi desa benar-benar mulai bergerak secara substansi dan tidak lagi sekedar
formalitas atau menjadi terjebak pada konflik tidak produktif peninggalan dimasa sebelumnya.
Sementara itu terkait dengan penyelesaian konflik hal yang direkomendasikan ialah
adanya dukungan dan perhatian pemerintah untuk memberdayakan tokoh masyarakat. Pihak-
pihak yang berpengaruh untuk mengatasi konflik adalah tokoh masyarakat. Oleh sebab itu
selain melibatkan setiap kalangan masyarakat seperti kalangan agamawan, pemuda, dan
sebagainya, tokoh sehingga masyarakat juga harus senantiasa turut serta dalam musyawarah
agar tidak ada kelompok yang merasa diabaikan aspirasinya. Dampak bagi individu dan
kelompok yang berkonflik ialah merenggangnya hubungan sosial dalam masyarakat serta
memudarnya solidaritas dan rasa kekeluargaan dalam masyarakat. Dalam hal ini tokoh
masyarakat memiliki peran yang sangat besar untuk mengarahkan masyarakat supaya tidak
mencampur adukan antara kepentingan pribadi maupun kelompok dengan urusan lain. Di lain
pihak, setiap masyarakat juga harus saling menyadari untuk tidak mengedepankan kepentingan
pribadi, bersikap netral tidak memihak, dan meningkatkan solidaritas dan kekeluargan serta
menghilangkan kecurigaan jelek terhadap kelompok lain, sehingga terjadinya konflik dapat
diminimalisir.
Formalisasi kegiatan di desa yang harus dilakukan oleh pemerintah desa, telah
menyebabkan aktivitas OL menjadi terbawa dalam kegiatan formalitas administrasi
pertanggungjawaban kegiatan desa. Pada hal pemerintah desa seharusnya memberikan
kesempatan kepada OL untuk mengembangkan inovasi dan sarannya bagi pembangunan desa.
Hal ini tidak terlepas dari kemampuan efektif yang bisa dilakukan OL dalam memotivasi warga
desa untuk berpartisipasi di dalam pembangunan di desanya.
Pemerintah desa perlu menyediakan medsos desa yang dikelola secara aktif dan setiap
waktu bersedia untuk memberikan tanggapan atas isi pesan yang disampaikan masyarakat.
Kondisi ini diperlukan, agar penggunaan medsos desa tidak disalahgunakan dan bisa menjadi
potensi konlik antar warga. Penggunaan medsos justru harus diarahkan pada kesadaran warga
desa memberikan perhatian dan pengawasannya mengenai kondisi di desanya. Penggunaan
medsos harus diarahkan pada timbulnya rasa memiliki warga desa terhadap perencanaan dan
pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah desa.
10
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Almond, Gabriel A. “The Political System and Comparative Politics: The Contribution of David Easton.” dalam Kristen Renwick Monroe, Contemporary Empirical Political Theory. Berkeley: University of California, 1997.
Anang, Zakaria. (editor), Potret Politik & Ekonomi Lokal di Indonesia: Dinamika Demokratisasi, Pengembangan Ekonomi & kawasan Perdesaan. Yogyakarta: kerja sama IRE, Akatiga, Sayogyo Institute, 2017.
Ardianto, Elvinaro dan Lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa. Bandung: Penerbit Simbiosa, 2007.
Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Grup, 2009.
Dilla, Sumadi. Komunikasi Pembangunan Pendekatan Terpadu. Bandung: Penerbit Simbiosa Rakatama Media, 2007.
Hanafi, Abdillah. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Surabaya: Penerbit Usaha Offset Printing Surabaya, 1987.
Mariana. Dina et.al. Desa: Situs Baru Demokrasi Lokal. Yogyakarta: kerja sama IRE dan TIFA, (2017).
Mashad, Dhurorudin. et. al, Konflik Elite Politik Pedesaan. Yogyakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, Pustaka Pelajar, 2005.
McQuail, Denis. Mass Communication Theory. 4th edition, London: Sage Publication.
Miall, Hugh. et.al, Resolusi Konflik Kotemporer: Menyelesaikan, Mencegah, Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Jakarta: Rajawali Press, 2000.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Penerbit Remadja Rosdakarya, 2004.
Morisaan. Teori Komunikasi Organisasi. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2009.
Mufid, Muhamad. Etika dan Filsafat Komunikasi. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2009.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit PT Remadja Rosdakarya, 2008.
Rauf, Maswadi. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, 2000.
Stephan, Alfred. Militer dan Demokratisasi: Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara Lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1996.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1992.
---------------------. “Perkembangan Mutakhir Ilmu Politik.” dalam Miriam Budiarjo dan Tri Nuke Pudjiastuti (penyunting). Teori-Teori Politik Dewasa Ini. Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996.
11
Sutopo, Ariesto Hadi dan Adrianus Arief. Terampil Mengolah Data Kualitatif Dengan NVIVO. Jakarta: Penerbit Prenada Media Group, 2010.
Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. alih bahasa Tri Wibowo. Jakarta: Penerbit Kencana, 2008
Wisadirina, Darsono. Sosiologi Perdesaan. Malang: UMM, 2004.
REGULASI:
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
MAKALAH:
Budhi, Setia. Ketua Program Studi (Prodi) Sosiologi FISIP Universitas Lambung Mangkurat, FGD Penelitian Tim, Banjarmasin 8 Agustus 2018.
Eko, Sutoro. “Republik Desa: Otonomi dan Demokrasi.” makalah disampaikan dalam FGD Proposal Penelitian Tim Politik Dalam Negeri, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR, Jakarta, 19 Februari 2018.
Fahrianoor. “BPD Dalam Demokratisasi.” paper disampaikan dalam FGD di Gedung FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 9 Agustus 2018.
Prasetyanto, Eko. “Demokratisasi di Pedesaan.” bahan disampaikan dalam FGD Proposal Penelitian Tim Politik Dalam Negeri, Pusat Penelitian, Badan Keahlian DPR RI, Jakarta, 19 Februari 2018.
Sumas, Suripno. “Urgensi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa.” makalah disampaikan dalam FGD FISIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin 9 Agustus 2018.
Suranto. “Problematika Kinerja BPD Dalam mewujudkan Demokratisasi Desa.” makalah disampaikan dalam FGD di FISIP Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta, 2 Maret 2018.
DOKUMEN:
Catatan FGD Tim Peneliti dengan Perangkat Desa Wuhyoharjo, Kulonprogo, 28 Februari 2018.
BULLETIN:
IRE Policy Brief edisi Mei 2017
WAWANCARA:
Wawancara dengan Bagian Pemerintahan, Kabupaten Kulonprogo, Kasubag Tata Pemerintahan: Saryono dan Kasubag Pengembangan Pemerintahan dan Otonomi Daerah : Rita Dyah, pada tanggal 27 Februari 2018. .
12
Wawancara dengan Kepala Desa Wahyuharjo: R Winoto, Ketua BPD : Wacaksana, Sekretaris BPD: Isnaeini dan Anggota BPD : Sular, Ketua LPMD : Supono dan Anggota LPMD: Sukirno, Sekretaris Desa, Tokoh Masyarakat: Sumarnoto, Desa Wahyuharjo, Kulonprogo. Di balai Desa Wahyuharjo, pada tanggal 28 Februari 2018.
Wawancara dengan Sunarko, Pimpinan Redaksi Tribun Yogya, Yogyakarta, 28 Februari 2018.
Wawancara dengan Titok, aktivis IRE, Yogyakarta, 1 Maret 2018.
Wawancara dengan Fahrian Rahman, Kepala Bidang Pemberdayaan Desa, Dinas Pemberdayaan Desa Pemerintah Kabupaten Banjar, Banjarmasin 6 Agustus 2018.
Wawancara dengan Camat Martapura Achmad Junaidi, 8 Agustus 2018.
Wawancara dengan Hari Priyanto dan Irhamsyah Sabari, Redaktur Banjarmasin Post, Banjarmasin, 7 Agustus 2018.
Wawancara dengan Samsiar, Kepala Desa Labuhan Tabu, Banjar Baru 9 Agustus 2018.
Wawancara dengan aktivis lembaga pengkajian pedesaan, Banjarmasin 9 Agustus 2018..
Wawancara dengan Agus dari lembaga masyarakat Dewan Adat Dayak, Banjarmasin 9 Agustus 2018.
Wawancara dengan Irwan dari Pusat Penelitian Desa Pusdi, Banjarmasin 10 Agustus 2018.