Upload
nisatriana
View
39
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Lapkas Rhinitis Alergi THT-KL
Citation preview
LAPORAN KASUS
RHINITIS ALERGI PERSISTEN SEDANG-BERAT
Disusun Sebagai Tugas Mengikuti Kepanitraan Klinik Senior (KKS)Pada Bagian THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soekardjo Tasikmalaya
PEMBIMBING :Dr. H. Farid Wajdi, Sp.THT-KL
Disusun oleh:Annisa Nurfitriana
10310052
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SOEKARDJOFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG2015
BAB I
STATUS PASIEN
I. KETERANGAN UMUM- Nama : Ny. N- Jenis Kelamin : Perempuan- Usia : 34 tahun- Alamat : Linggajaya, Mangkubumi- Agama : Islam- Status : Menikah- Pekerjaan : Ibu rumah tangga- Tanggal Pemeriksaan : 6 Febuari 2015
II. ANAMNESIS Keluhan Utama
Kedua hidung sering tersumbat sejak 1 tahun.
Riwayat Penyakit SekarangPasien datang ke Poli THT-KL dengan keluhan hidung tersumbat sejak 1
tahun. Hal ini dirasakan hilang timbul. Pasien mengatakan gejala ini
muncul jika terpapar debu, asap kendaraan dan pada cuaca dingin.
Keluhan disertai rasa gatal di hidung sehingga pasien sering menggosok
dan memencet hidung hingga berwarna merah. Keluhan disertai
timbulnya bersin-bersin lebih dari 5 kali yang terus-menerus dan sukar
berhenti. Pasien juga mengatakan keluhan disertai keluar cairan dari
kedua hidung yang encer, jernih dan tidak berbau yang sering
menyumbat kedua lubang hidung. Pasien mengatakan sumbatan dapat
berpindah tergantung posisi tidur, pasien tidak dapat bernafas melalui
hidung dan penciuman di hidung berkurang. Nyeri dan keluar darah dari
hidung disangkal. Keluhan yang dialami pasien cukup mengganggu
aktivitas namun gangguan tidur disangkal. Pasien sering mengeluhkan
sakit di bagian pipi kanan dan kiri yang hilang timbul. Demam, batuk
2
atau pilek disangkal. Keluhan di telinga tidak ada. Keluhan di
tenggorokan juga tidak ada.
Riwayat Penyakit DahuluSinusitis 8 tahun yang lalu
Riwayat Penyakit KelurgaNenek menderita asma
Riwayat AlergiAda, jika mengkonsumsi udang kulit terasa gatal
Riwayat PengobatanPasien belum pernah mengobati penyakitnya
III. PEMERIKSAAN FISIK Status generaliso Keadaan Umum : Baik
o Kesadaran : Compos Mentis
o Vital Sign :
- TD : 135/80 mmHg - Respirasi : 20 x/ menit- Nadi : 82x/menit - Suhu : 36,90C
o Kepala : DBN
o Leher : DBN
o Thorax : DBN
o Abdomen : DBN
o Ekstrremitas : DBN
o Neurologi : DBN
3
Status lokaliso Telinga
Bagian Kelainan AurisDekstra Sinistra
Preauricula KelainanRadang dan tumorTrauma
---
---
Auricula KelainanRadang dan tumorTraumaNyeri tekan tragus
----
----
Retroauricula EdemaHiperemisNyeri tekanSikatriksFistulaFluktuasi
------
------
Canalis Acusticus Eksternus
Kelainan kongenitalKulitSekretSerumenEdemaJaringan granulasiMassaKolesteatoma
-DBN
------
-DBN
------
MembranTimpani
Warna
Intak
Cahaya
Putih Mutiara
Utuh
Arah jam 5
Putih Mutiara
Utuh
Arah jam 7
Tes Pendengaran
Pemeriksaan AurisDekstra Sinistra
Tes Rinne (+) (+)Tes Webber Tidak ada lateralisasi
Kesimpulan tes pendengaran :
Pendengaran auris dekstra et sinistra dalam batas normal
4
o Hidung
PemeriksaanNares
Dekstra SinistraKeadaan luar Bentuk dan ukuran DBN DBN
Rhinoskopi Anterior
MukosaSekretKrustaConcha InferiorSeptumPolip/TumorPasase udara
Livid+ (serosa)
-LividDBN
-+
Livid+ (serosa)
-LividDBN
-+
Rhinoskopi Posterior
Mukosa Sulit dinilai Sulit dinilaiKhoana Sulit dinilaiSekret Sulit dinilai Sulit dinilaiTorus tubariusFossa rosenmullerAdenoid
Sulit dinilaiSulit dinilaiSulit dinilai
5
o Tenggorok
Bagian Kelainan Keterangan
Mulut
Mukosa mulutLidahPalatum molle
Merah mudaDBNDBN
Gigi Geligi8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
DBN DBNUvulaHalitosis
DBN-
Tonsil
MukosaBesarKriptaDentritusPerlengketan
Merah mudaT1
Tidak melebar--
Merah mudaT1
Tidak melebar--
Faring MukosaGranulasiPost nasal drip
Merah muda-
(+)Laring Epiglotis
Kartilago aritenoidPlika ariepiglotikaPlika vestibularisPlika vokalisRima glotisTrakea
Sulit dinilaiSulit dinilaiSulit dinilaiSulit dinilaiSulit dinilaiSulit dinilaiSulit dinilai
Maksilofasial :
Bentuk : DBN
Parese N. Kranial : -
Leher : DBN
6
IV. RESUMEa. Anamnesa :
Hidung tersumbat (+) sejak 1 tahun, hilang timbul
Gatal di hidung kanan dan kiri (+)
Allergic salute (+)
Bersin > 5x (+)
Rhinore dextra et sinistra (+) encer, jernih, tidak berbau
Sumbatan berpindah tergantung posisi (+)
Sulit bernafas melalui hidung (+)
Hiposmia (+)
Epistaksis (-)
Nyeri (-)
Keluhan di telinga (-)
Keluhan di tenggorok (-)
Sakit di bagian pipi kanan dan kiri (+)
Demam (-)
Batuk pilek (-)
b. Pemeriksaan Fisik - Status generalis :o KU : Baik
o Kesadaran : Compos mentis
- Status lokalis :o ADS : DBN
o CN : Mukosa concha inferior dextra et sinistra livid
o NPOP : Post nasal drip (+)
o MF : DBN
o Leher : DBN
7
V. DIAGNOSIS BANDING- Rhinitis Kronis Alergi Persisten Sedang + Sinusitis maksilaris bilateral- Rhinitis Kronis Vasomotor + Sinusitis maksilaris bilateral
VI. DIAGNOSIS KERJARhinitis Kronis Alergi Persisten Sedang + Sinusitis maksilaris bilateral
VII. USULAN PEMERIKSAAN- Hitung eosinofil darah tepi- Pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA- Skin prick test- Foto polos Waters / Stenver
VIII. PENATALAKSANAANa. Umum :
- Hindari faktor pencetus dengan cara:o Menggunakan masker jika melakukan kegiatan yang
memungkinkan untuk terpapar debuo Menggunakan masker saat bepergian untuk mencegah asap
kendaraano Menggunakan pakaian tebal dan mengkondisikan ruangan yang
hangat saat cuaca dingin
b. Medikamentosa :- Antihistamin → Loratadin 10 mg 1x1
- Kortikosteroid → Budesonide
IX. PROGNOSISa. Quo ad vitam : ad Bonamb. Quo ad functional : Dubia ad Bonam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan superior.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares
anterior, disebut sebagai vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang
memiliki banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut dengan
vibrise.
Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh
tulang rawan, dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium
pada bagian tulang sedangkan diluarnya dilapisi juga oleh mukosa hidung.
Bagian tulang terdiri dari:
1. Lamina perpendikularis os etmoid
2. Os Vomer
3. Kartilago Septum Nasi
Dinding lateral rongga hidung dibentuk oleh permukaan dalam prosesus
frontsalis os maksila, os lakrimalis, konka inferior dan konka media yang
merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os
palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah
konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian
9
yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral
hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari
letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Dinding
inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila
dan prosesus horizontal os palatum.
Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan
inferior, os nasi, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os
sphenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
filament-filamen n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial
konka superior.
Gambar 1. Anatomi Hidung (Netter F)
10
Perdarahan Hidung :
Bagian postero-inferior septum nasi diperdarahi oleh arteri sfenopalatina
yang merupakan cabang dari arteri maksilaris (dari arteri karotis eksterna).
Septum bagian antero-inferior diperdarahi oleh arteri palatina mayor (juga cabang
dari arteri maksilaris) yang masuk melalui kanalis insisivus. Arteri labialis
superior (cabang dari arteri fasialis) memperdarahi septum bagian anterior
mengadakan anastomose membentuk pleksus Kiesselbach yang terletak lebih
superfisial pada bagian anterior septum. Daerah ini disebut juga Little’s area yang
merupakan sumber perdarahan pada epistaksis.
Arteri karotis interna memperdarahi septum nasi bagian superior melalui
arteri etmoidalis anterior dan superior.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri
sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus
sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri
fasialis.
Vena sfenopalatina mengalirkan darah balik dari bagian posterior septum
ke pleksus pterigoideus dan dari bagian anterior septum ke vena fasialis. Pada
bagian superior vena etmoidalis mengalirkan darah melalui vena oftalmika yang
berhubungan dengan sinus sagitalis superior.
11
Persarafan Hidung:
Bagian antero-superior septum nasi mendapat persarafan sensori dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang
berasal dari nervus oftalmikus (n.V1). Sebagian kecil septum nasi pada antero-
inferior mendapatkan persarafan sensori dari nervus alveolaris cabang antero-
superior. Sebagian besar septum nasi lainnya mendapatkan persarafan sensori dari
cabang maksilaris nervus trigeminus (n.V2). Nervus nasopalatina mempersarafi
septum bagian tulang, memasuki rongga hidung melalui foramen sfenopalatina
berjalan berjalan ke septum bagian superior, selanjutnya kebagian antero-inferior
dan mencapai palatum durum melalui kanalis insisivus.
Sistem limfatik:
Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran vena. Aliran
limfatik yang berjalan di sepanjang vena fasialis anterior berakhir pada limfe
submaksilaris.
12
B. Rhinitis
1. Definisi Rhinitis
Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran di mukosa
hidung.
2. Klasifikasi Rhinitis
Menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:
a. Rhinitis akut (coryza, commond cold) merupakan peradangan membran
mukosa hidung dan sinus-sinus aksesorius yang disebabkan oleh suatu
virus dan bakteri. Penyakit ini dapat mengenai hampir setiap orang pada
suatu waktu dan sering kali terjadi pada musim dingin dengan insiden
tertinggi pada awal musim hujan dan musim semi.
b. Rhinitis kronis adalah suatu peradangan kronis pada membran mukosa
yang disebabkan oleh infeksi yang berulang, karena alergi, atau karena
rhinitis vasomotor.
Rhinitis berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Rhinitis Alergi
b. Rhinitis Non-Alergi
Rhinitis hipertrofi
Rhinitis sika
Rhinitis spesifik
o Rhinitis difteri
o Rhinitis atrofi
o Rhinitis sifilis
o Rhinitis tuberkulosa
13
o Rhinitis lepra
o Rhinitis jamur
Rhinitis vasomotor
Rhinitis medikamentosa
C. Rhinitis Alergi
1. Definisi
Suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut (Von Pirquet).
Penyakit umum yang paling banyak diderita oleh perempuan dan laki-laki
yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung yang
disebabkan oleh alergi terhadap partikel, seperti: debu, asap, serbuk/tepung sari
yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang mematikan, rhinitis
alergi harus dianggap penyakit yang serius karena mempengaruhi kualitas hidup
penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang menjadi terganggu, biaya yang
akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan semakin mahal apabila penyakit
ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis. Rhinitis alergi adalah istilah
umum digunakan untuk menunjukkan setiap reaksi alergi mukosa hidung, dapat
terjadi bertahun-tahun atau musiman.
14
2. Klasifikasi
Berdasarkan waktunya rhinitis alergi dapat digolongkan menjadi :
a. Rhinitis alergi musiman (Hay Fever)
Biasanya terjadi pada musim semi. Umumnya disebabkan kontak dengan
allergen dari luar rumah, seperti benang sari dari tumbuhan yang
menggunakan angin untuk penyerbukannya, debu dan polusi udara atau
asap.
b. Rhinitis alergi yang terjadi terus menerus (perennial)
Disebabkan bukan karena musim tertentu (serangan yang terjadi
sepanjang masa) diakibatkan karena kontak dengan alergen yang sering
berada di rumah misalnya kutu debu rumah, bulu binatang peliharaan
serta bau-bauan yang menyengat.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi
dari WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and Impact on Asthma) tahun
2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
a. Intermitten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu
atau kurang dari 4 minggu.
b. Pesisten/menetap : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.
15
Sedangkan untuk tingkat berat-ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi
menjadi :
a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang
mengganggu.
b. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut.
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :
a. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan,
misalnya tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit belakang,
rerumputan serta jamur.
b. Alergen ingestan, masuk melalui saluran cerna misal susu sapi, telur,
coklat, ikan laut, udang kepiting dan kacang-kacangan.
c. Alergen injektan, masuk melalui suntikan misal penisilin dan sengatan
lebah.
d. Alergen kontaktan, melalui kulit atau jaringan mukosa misal bahan
kosmetik atau perhiasan.
16
3. Patofisiologi
Patofisiologi rhinitis alergi dapat dibedakan ke dalam fase sensitisasi dan
elisitasi. Fase elisitasi dibedakan atas tahap aktivasi dan tahap efektor. Fase
sensitisasi diawali dengan paparan alergen yang menempel dimukosa hidung
bersama udara pernapasan. Alergen tersebut ditangkap kemudian dipecah oleh
sel penyaji antigen (APC) seperti sel Langerhans, sel dendritik dan
makrofag menjadi peptida rantai pendek. Hasil pemecahan alergen ini akan
dipresentasikan di permukaan APC melalui molekul kompleks
histokompatibilitas mayor kelas II (MHC kelas II). Ikatan antara sel penyaji
antigen dan sel Th 0 (sel T helper) melalui MHC-II dan reseptornya (TcR-
CD4) memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Beberapa sitokin
yaitu IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor (GMCSF) akan dilepaskan.
IL-4 dan IL-13 selanjutnya berikatan dengan reseptornya di permukaan
sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi
imunoglobulin E (IgE) yang akan dilepaskan di sirkulasi darah dan jaringan
sekitarnya. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan berikatan dengan
reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator membentuk
ikatan IgE-sel mast. Individu yang mengandung komplek tersebut disebut
individu yang sudah tersensitisasi, yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi.
Fase aktivasi bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan menyebabkan
17
terjadinya degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan
akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators)
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators
antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4
(LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3,
IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah
hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung
sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFL, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons
ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
18
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)
dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal.
Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang
secara garis besar terdiri dari :
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil
seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
19
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih
ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi
berlanjut menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag
oleh tubuh.Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,
yaitu tipe 1, atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2
atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau
reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rhinitis
alergi.
4. Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan :
a. Anamnesis
Anamnesa sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi
dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesis
saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin
berulang. Gejala lain ialah keluar ingus yang encer dan banyak, hidung
20
tersunbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satusatunya gejala yang diutarakan oleh pasien
b. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah
mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala
ini disebut allergic shiner. Sering juga tampak anak menggosok-gosokan
hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai
allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan
mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga
bawah, yang disebut allergic crease.
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi. Dinding postrior faring
tampak granuler dan edema, serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta.
c. Pemeriksaan Penunjang
In vitro :
Hitung eosinofil darah tepi
21
Pemeriksaan IgE total
Pemeriksaan IgE dengan RAST atau ELISA
In vivo :
Pemeriksaan tes cukil kulit
5. Penatalaksanaan
Hindari kontak dengan alergen.
Antihistamin
Generasi 1, lipofilik, menembus sawar darah otak dan plasenta, punya
efek kolinergik (difenhidramin, klorfrniramin, prometasin).
Generasi 2, lipofobik, efek SSP minimal, tidak punya efek kolinergik dan
adrenergik (loratadin, setirisin, fexofenadin, Levosetirisin)
Dekongestan hidung oral, jika topikal hanya digunakan beberapa hari saja.
Kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid)
Antikolinergik topikal (ipratotropium bromida)
Pengobatan baru lainnya adalah anti leukotrin, anti IgE, DNA rekombinan.
Operatif, konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,
inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3
25% atau triklor asetat.
Imunoterapi
22
23
6. Komplikasi
a. Polip hidung
Beberapa peneliti, mendapatkan bahwa alergi hidung merupakan salah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
b. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal.
24
D. Rhinitis Non Alergi
Rhinitis non alergi disebabkan oleh infeksi saluran napas (rhinitis viral dan
bakterial, masuknya benda asing ke dalam hidung, deformitas struktural,
neoplasma, dan masa, penggunaan kronik dekongestan nasal, penggunaan
kontrasepsi oral, kokain dan anti hipertensif.
Berdasarkan penyebabnya, rhinitis non alergi di golongkan sebagai berikut:
1. Rhinitis Hipertrofi
Etiologi :
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus,
atau sebagai lanjutan dari rhinitis alergi dan vasomotor.
Gambaran Klinis :
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen
dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya
berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.
Terapi :
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.
25
2. Rhinitis sika
Etiologi :
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja
di lingkungan yang berdebu, panas dan kering. Juga pada pasien dengan anemia,
peminum alkohol, dan gizi buruk.
Gambaran Klinis :
Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada.
Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang –kadang
disertai epitaksis.
Terapi :
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.
3. Rhinitis spesifik
Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:
a. Rhinitis Difteri
Etiologi :
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.
Gambaran klinis :
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,
sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang
mudah berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi.
Sedangkan rhinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.
26
Terapi :
Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin
lokal dan intramuskuler.
b. Rhinitis Atrofi
Etiologi :
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu
infeksi kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis
kronis, kelainan hormonal dan penyakit kolagen.
Gambaran Klinis :
Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang
hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas
berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu,
sakit kepala dan hidung tersumbat.
Terapi :
Karena etiologinya belum diketahui maka belum ada pengobatan yang
baku. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan
antibiotika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A dan preparat Fe.
Jika tidak ada perbaikan maka dilakukan operasi penutupan lubang hidung
untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi normal
kembali.
27
c. Rhinitis Sifilis
Etiologi :
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum.
Gambaran klinis :
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut
lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa.
Sedangkan pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang
dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan
sekret mukopurulen yang berbau.
Terapi :
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.
d. Rhinitis Tuberkulosa
Etiologi :
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.
Gambaran Klinis :
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk
noduler atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat
mengakibatkan perforasi.
Terapi :
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.
28
e. Rhinitis Lepra
Etiologi :
Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
Gambaran Klinis :
Gangguan hidung terjadi pada 97% penderita lepra. Gejala yang timbul
diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret
yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi
tulang dan kartilago hidung.
Terapi :
Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin dan
clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.
f. Rhinitis Jamur
Etiologi :
Penyebab rhinitis jamur, diantaranya adalah Aspergillus yang
menyebabkan aspergilosis, Rhizopus oryzae yang menyebabkan
mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan kandidiasis.
Gambaran Klinis :
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna
hijau kecoklatan. Pada mukormikosis biasanya pasien datang dengan
keluhan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis
paranasalis dan sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.
29
Terapi :
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat
cuci hidung.
4. Rhinitis Vasomotor
Etiologi :
Rhinitis vasomotor adalah gangguan fisiologi mukosa hidung yang
disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Saraf otonom mukosa
hidung berasal dari n. vidianus yang mngandung serat saraf simpatis dan
parasimpatis. Rangsangan pada saraf parasimpatis menyebabkan dilatasi
pembuluh darah dalam konka serta meningkatkan permeabilitas kapiler dan
sekresi kelenjar. Rangsangan simpatis sebaliknya. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi berbagai faktor yang berlangsung temporer seperti emosi, posisi
tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani, dsb. Pada pasien
rhinitis vasomotor, saraf parasimpatis cenderung lebih aktif.
Gambaran Klinis :
Gejala dari rhinitis vasomotor adalah hidung tersumbat tergantung posisi
pasien, rinore yang mucus/serus, jarang disertai bersin dan gatal pada mata, gejala
memburuk pada pagi hari karena adanya perubahan suhu. Mukosa hidung edema,
merah gelap, permukaan konka licin atau berbenjol, sekret mukoid.
Terapi :
Pengobatan yang tepat untuk rhinitis vasomotor adalah dengan menghindari
penyebab, memberikan obat simtomatis (dekongestan oral, kauterisasi konka yang
30
hipertrofi, kortikosteroid topikal), konkotomi konka inferior, neurektomi n.
Vidianus.
5. Rhinitis Medikamentosa
Etiologi
Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topical dalam waktu
lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian
dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topical yang berulang dan waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah
vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka
akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret
berlebihan.
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,
fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan
pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat
katekolamin.
31
Gambaran Klinis
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus
menerus, berair, edema konka.
Terapi
Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat
tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi
sumbatan berulang, dekongestan oral.
Perbandingan rhinitis alergi dan vasomotor
Rhinitis alergi Rhinitis vasomotorMulai serangan Belasan tahun Dekade 3-4Riwayat paparan alergen
+ -
EtiologiReaksi Ag-Ab
terhadap rangsangan spesifik
Reaksi neurovascular terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau kimia, psikologis.
Gatal dan Bersin Menonjol Tidak menonjolTes kulit + -
Sekret Hidung Peningkatan eosinofilEosinofil tidak
meningkatEosinofil darah Meningkat NormalIgE darah Meningkat Tidak meningkatNeurektomi N. Vidianus
Tidak membantu Membantu
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 135-142.
2. ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.
3. Becker, W., Naumann, H., Pfaltz, C., 1994. Ear, Nose, and Throat Disease. Edisi kedua. Thieme. New York: 242-260.
4. Benjamini E., Coico R., Sunshine G., 2000. Immunology: A Short Course. 4th ed. John Wiley & sons. Available from: URL http:// www.wiley.com. [Accessed 01 March 2010].
5. Bousquet J, Cauwenberge P V., Khaltaev N., 2001. ARIA workshop group. World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on asthma.J allergy clinical immunol : S147-S276.
6. Harmadji S, 1993. Gejala dan Diagnosa Penyakit Alergi THT. Dalam : Kumpulan Makalah Kursus Penyegar Alergi Imunologi di Bidang THT, Bukit Tinggi.
7. Hassan, rusepno dkk. 1985. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 2. Jakarta: Info Medika
8. Irawati N, 2002. Panduan Penatalaksanaan Terkini Rhinitis Alergi, Dalam : Kumpulan Makalah Simposium “Current Opinion In Allergy andClinical Immunology”, Divisi Alergi- Imunologi Klinik FK UI/RSUPN-CM, Jakarta:55-65.
9. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono, N, 2008. Alergi Hidung dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI,.
10. Kaplan AP dan Cauwenberge PV, 2003. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global Resources Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis, Revised Guidelines, Milwaukeem USA:P, 12
11. Mulyarjo, 2006. Penanganan Rhinitis Alergi Pendekatan Berorientasi pada Simptom, Dalam: Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rhinitis Alergi dan Kursus Demo Rinotomi Lateral, Masilektomi dan Septorinoplasti, Malang : pp10, 2, 1-18.
12. Roland P, McCluggage CM., Sciinneider GW., 2005. Evaluation and Management of Allergic Rhinitis : a Guide for Family Physicians. Texas Acad. Fam. Physicians. 1-15 .
13. Soepardi E., Iskandar N, 2004. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: UI
14. Sumarman, Iwin. 2000. Patogenesis, Komplikasi, Pengobatan dan Pencegahan Rhinitis Alergi, Tinjauan Aspek Biomolekuler. Bandung : FK UNPAD. 1-17.
15. Von Pirquet C. Klinische studien uber Vaccination und vaccinale allergie. J. Immunol 1986. 133: 1594-1600.
33