58
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki rheumatoid arthritis, karena sedikit penyakit arthritis lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan (American College of Rheumatology, 2012).

S1-2014-296570-chapter1

  • Upload
    yanni

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

RA

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan nyeri,

kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak

sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi

kecil di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid

arthritis kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat

berlangsung satu sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk

waktu yang lama di pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang

mungkin memiliki rheumatoid arthritis, karena sedikit penyakit arthritis

lainnya berperilaku seperti ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak

menyebabkan kekakuan pagi yang berkepanjangan (American College of

Rheumatology, 2012).

Penyakit arthritis bukan penyakit yang mendapat sorotan seperti

penyakit hipertensi, diabetes atau AIDS, namun penyakit ini menjadi masalah

kesehatan yang cukup mengganggu dan terjadi dimana-mana. Rheumatoid

arthritis adalah bentuk paling umum dari arthritis autoimun, yang

mempengaruhi lebih dari 1,3 juta orang Amerika. Dari jumlah tersebut, sekitar

75% adalah perempuan. Bahkan, 1-3% wanita mungkin mengalami

1

2

rheumatoid arthritis dalam hidupnya. Penyakit ini paling sering dimulai antara

dekade keempat dan keenam dari kehidupan. Namun, rheumatoid arthritis

dapat mulai pada usia berapa pun (American College of Rheumatology, 2012).

Di Indonesia sendiri kejadian penyakit ini lebih rendah dibandingkan

dengan negara maju seperti Amerika. Prevalensi kasus rheumatoid arthritis di

Indonesia berkisar 0,1% sampai dengan 0,3% sementara di Amerika mencapai

3% (Nainggolan, 2009). Angka kejadian rheumatoid arthritis di Indonesia

pada penduduk dewasa (di atas 18 tahun) berkisar 0,1% hingga 0,3%. Pada

anak dan remaja prevalensinya satu per 100.000 orang. Diperkirakan jumlah

penderita rheumatoid arthritis di Indonesia 360.000 orang lebih (Tunggal,

2012).

Gangguan yang terjadi pada pasien rheumatoid arthritis lebih besar

kemungkinannya untuk terjadi pada suatu waktu tertentu dalam kehidupan

pasien. Kebanyakan penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu

sembuh dan kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan

kerusakan sendi secara menetap. Rheumatoid arthritis dapat mengancam jiwa

pasien atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan. Masalah yang

disebabkan oleh penyakit rheumatoid arthritis tidak hanya berupa

keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas dan aktivitas hidup sehari-hari

tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas yang dapat menimbulkan kegagalan

organ. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri,

keadaan mudah lelah, perubahan citra diri serta gangguan tidur. Dengan

3

demikian hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid arthritis adalah

pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup. Bahkan kasus rheumatoid

arthritis yang tidak begitu parah pun dapat mengurangi bahkan

menghilangkan kemampuan seseorang untuk produktif dan melakukan

kegiatan fungsional sepenuhnya. Rheumatoid arthritis dapat mengakibatkan

tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seutuhnya (Gordon et al., 2002).

Penderita penyakit kronik seperti rheumatoid arthritis mengalami

berbagai macam gejala yang berdampak negatif terhadap kualitas hidup

mereka. Banyak usaha yang dilakukan agar pasien dengan rheumatoid

arthritis dapat merasa lebih baik dan dapat memperbaiki kualitas hidup

mereka. Pengobatan saat ini tidak hanya bertujuan mencegah atau berusaha

menyembuhkan rheumatoid arthritis, tujuan utama pengobatan juga untuk

mengurangi akibat penyakit dalam hidup pasien dengan meningkatkan

kualitas hidup dan mengurangi kecacatan (Pollard et al., 2005).

Pemberian terapi rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi

nyeri sendi dan bengkak, meringankan kekakuan serta mencegah kerusakan

sendi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Pengobatan

rheumatoid arthritis yang dilakukan hanya akan mengurangi dampak

penyakit, tidak dapat memulihkan sepenuhnya. Rencana pengobatan sering

mencakup kombinasi dari istirahat, aktivitas fisik, perlindungan sendi,

penggunaan panas atau dingin untuk mengurangi rasa sakit dan terapi fisik

atau pekerjaan. Obat-obatan memainkan peran yang sangat penting dalam

4

pengobatan rheumatoid arthritis. Tidak ada pengobatan tunggal bekerja untuk

semua pasien. Banyak orang dengan rheumatoid arthritis harus mengubah

pengobatan setidaknya sekali dalam seumur hidup. Pasien dengan diagnosis

rheumatoid arthritis memulai pengobatan dengan DMARD (Disease

Modifying Anti-Rheumatic Drugs) seperti metotreksat, sulfasalazin dan

leflunomid. Obat ini tidak hanya meringankan gejala tetapi juga

memperlambat kemajuan penyakit. Seringkali dokter meresepkan DMARD

bersama dengan obat anti-inflamasi atau NSAID dan/atau kortikosteroid dosis

rendah, untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam (Arthritis

Foundation, 2008). Pengobatan rheumatoid arthritis merupakan pengobatan

jangka panjang sehingga pola pengobatan yang tepat dan terkontrol sangat

dibutuhkan. Dengan pengukuran kualitas hidup dapat diketahui pola

pengobatan yang efektif dalam meningkatkan kualitas hidup pasien (Chen et

al., 2005).

Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu

untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang

dilakukannya. Kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan

menggambarkan pandangan individu terhadap kebahagiaan dan kepuasan

terhadap kehidupan yang mempengaruhi kesehatan mereka (American

Thoracic Society, 2007). Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai

faktor, antara lain karakteristik pasien, karakteristik penyakit dan tingkat nyeri

yang dialami pasien (Asadi-Lari et al., 2004). Selain itu, pengobatan atau

5

terapi, seperti jenis obat atau terapi juga ikut berperan dalam kualitas hidup

pasien (Chen et al., 2005).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai gambaran pengobatan pada pasien rheumatoid arthritis dan kualitas

hidupnya. Penelitian ini dilakukan terhadap pasien rheumatoid arthritis yang

menjalani rawat jalan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Sehingga diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta pada khususnya serta rumah sakit lainnya dalam

menetapkan kebijakan pelayanan kesehatan dalam menangani penyakit

rheumatoid arthritis.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka

dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran pengobatan rheumatoid arthritis pada pasien rawat

jalan di RS PKU?

2. Bagaimana kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat

jalan RS PKU?

3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup pasien rheumatoid

arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU?

6

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui gambaran pengobatan

dan kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Tujuan khusus

Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Mengetahui gambaran pengobatan rheumatoid arthritis pada pasien

rawat jalan di RS PKU.

b. Mengetahui kualitas hidup pasien rheumatoid arthritis rawat jalan di

RS PKU.

c. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas hidup pasien

rheumatoid arthritis rawat jalan di RS PKU.

D. Manfaat Penelitian

1. Farmasis

Sebagai bahan dan motivasi farmasis untuk dapat meningkatkan peran

farmasi klinik dalam pelayanan kefarmasian terutama dalam

penatalaksanaan terapi penyakit rheumatoid arthritis dan peningkatan

kualitas pelayanan kesehatan.

7

2. Instalasi rumah sakit dan profesi kesehatan lain

Sebagai sumber informasi bagi rumah sakit mengenai gambaran kualitas

hidup pasien rheumatoid arthritis khususnya pada pasien rawat jalan

sehingga dapat digunakan sebagai masukan dalam menyusun strategi

tatalaksana terapi rheumatoid arthritis di rumah sakit selain itu juga

memberikan motivasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan

pada pasien rheumatoid arthritis.

3. Peneliti

Meningkatkan pengetahuan dan memberikan pengalaman penelitian tentang

pelayanan kesehatan khususnya pada penyakit rheumatoid arthritis serta

sebagai pembanding, pendukung dan pelengkap untuk penelitian

selanjutnya.

E. Tinjauan Pustaka

1. Rheumatoid arthritis

a. Definisi

Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang

berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah,

arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah

suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan

kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan

seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon

8

et al., 2002). Menurut American College of Rheumatology (2012),

rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis (jangka panjang) yang

menyebabkan nyeri, kekakuan, pembengkakan serta keterbatasan gerak

dan fungsi banyak sendi.

b. Etiologi

Penyebab pasti rheumatoid arthritis tidak diketahui, diperkirakan

merupakan kombinasi dari faktor genetik, lingkungan, hormonal dan

faktor sistem reproduksi. Namun faktor pencetus terbesar adalah faktor

infeksi seperti bakteri, mikoplasma dan virus. Menurut Smith dan Haynes

(2002), ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang

menderita rheumatoid arthritis yaitu :

1). Faktor genetik

Beberapa penelitian yang telah dilakukan melaporkan terjadinya

rheumatoid arthritis sangat terkait dengan faktor genetik. Delapan

puluh persen orang kulit putih yang menderita rheumatoid arthritis

mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 pada MHC yang

terdapat di permukaan sel T. Pasien yang mengekspresikan antigen

HLA-DR4 3,5 kali lebih rentan terhadap rheumatoid arthritis.

2). Usia dan jenis kelamin

Insidensi rheumatoid arthritis lebih banyak dialami oleh wanita

daripada laki-laki dengan rasio 2:1 hingga 3:1. Perbedaan ini

diasumsikan karena pengaruh dari hormon namun data ini masih

9

dalam penelitian. Wanita memiliki hormon estrogen sehingga dapat

memicu sistem imun. Onset rheumatoid arthritis terjadi pada orang-

orang usia sekitar 50 tahun.

3). Infeksi

Infeksi dapat memicu rheumatoid arthritis pada host yang mudah

terinfeksi secara genetik. Virus merupakan agen yang potensial

memicu rheumatoid arthritis seperti parvovirus, rubella, EBV,

borellia burgdorferi.

4). Lingkungan

Faktor lingkungan dan gaya hidup juga dapat memicu rheumatoid

arthritis seperti merokok.

Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis antara lain

infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus,

endokrin, autoimun, metabolik dan faktor genetik serta faktor pemicu

lainnya. Pada saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan oleh faktor

autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II,

faktor infeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma

atau grup difterioid yang menghasilkan antigen tipe II kolagen dari

tulang rawan sendi penderita (Alamanos dan Drosos, 2005; Rindfleisch

dan Muller, 2005).

1

c. Patogenesis

Sistem imun merupakan bagian pertahanan tubuh yang dapat

membedakan komponen self dan non-self. Kasus rheumatoid arthritis

sistem imun tidak mampu lagi membedakan keduanya dan menyerang

jaringan sinovial serta jaringan penyokong lain. Inflamasi berlebihan

merupakan manifestasi utama yang tampak pada kasus rheumatoid

arthritis. Inflamasi terjadi karena adanya paparan antigen. Antigen dapat

berupa antigen eksogen, seperti protein virus atau protein antigen

endogen (Schuna, 2005).

Paparan antigen akan memicu pembentukan antibodi oleh sel B.

Pada pasien rheumatoid arthritis ditemukan antibodi yang dikenal

dengan Rheumatoid Factor (RF). Rheumatoid Factor mengaktifkan

komplemen kemudian memicu kemotaksis, fagositosis dan pelepasan

sitokin oleh sel mononuklear sehingga dapat mempresentasikan antigen

kepada sel T CD4+. Sitokin yang dilepaskan merupakan sitokin

proinflamasi dan kunci terjadinya inflamasi pada rheumatoid arthritis

seperti TNF-α, IL-1 dan IL-6. Aktivasi sel T CD4+ akan memicu sel-sel

inflamasi datang ke area yang mengalami inflamasi. Makrofag akan

melepaskan prostaglandin dan sitotoksin yang akan memperparah

inflamasi. Protein vasoaktif seperti histamin dan kinin juga dilepaskan

yang menyebabkan edema, eritema, nyeri dan terasa panas. Selain itu,

aktivasi makrofag, limfosit dan fibroblas juga dapat menstimulasi

1

angiogenesis (pembentukan pembuluh darah baru) sehingga terjadi

peningkatan vaskularisasi yang ditemukan pada sinovial penderita RA.

Inflamasi kronis yang dialami pasien rheumatoid arthritis menyebabkan

membran sinovial mengalami proliferasi berlebih yang dikenal dengan

pannus. Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang yang

menyebabkan erosi tulang dan akhirnya kerusakan sendi (Schuna, 2005).

Proses awalnya, antigen (bakteri, mikroplasma atau virus)

menginfeksi sendi akibatnya terjadi kerusakan lapisan sendi yaitu pada

membran sinovial dan terjadi peradangan yang berlangsung terus-

menerus. Peradangan ini akan menyebar ke tulang rawan, kapsul fibroma

sendi, ligamen dan tendon. Kemudian terjadi penimbunan sel darah putih

dan pembentukan pada jaringan parut sehingga membran sinovium

menjadi hipertrofi dan menebal. Terjadinya hipertrofi dan penebalan ini

menyebabkan aliran darah yang masuk ke dalam sendi menjadi

terhambat. Keadaan seperti ini akan mengakibatkan terjadinya nekrosis

(rusaknya jaringan sendi), nyeri hebat dan deformitas (Schuna, 2005).

d. Diagnosis

Kerusakan sendi pada rheumatoid arthritis (RA) dimulai pada

beberapa minggu setelah onset gejala. Pengobatan yang dilakukan sejak

dini dapat menurunkan progresivitas penyakit. Bukti menunjuk pada

suatu “jendela oportunitas” untuk memulai pengobatan yang dapat

mengubah perjalanan penyakit. Bukti terakhir menunjukkan bahwa

1

jendela ini mungkin berkisar antara 3-4 bulan (NHMRC, 2009). Oleh

karena itu, penting sekali untuk mendiagnosis penyakit dan memulai

modifikasi terapi penyakit sesegera mungkin. Diagnosis rheumatoid

arthritis memerlukan sejumlah tes untuk meningkatkan kepastian

diagnosis, membedakannya dengan bentuk artritis yang lain,

memprediksi perkembangan penyakit pasien, serta melakukan

monitoring untuk mengetahui perkembangan penyakit yaitu:

1). Laju enap darah (LED) dan C-Reactive Protein (CRP) menunjukkan

adanya proses inflamasi, akan tetapi memiliki spesifisitas yang

rendah untuk RA. Tes ini berguna untuk memonitor aktivitas

penyakit dan responnya terhadap pengobatan (NHMRC, 2009).

2). Tes RhF (rheumatoid factor). Tes ini tidak konklusif dan mungkin

mengindikasikan penyakit peradangan kronis yang lain (positif

palsu). Pada beberapa kasus RA, tidak terdeteksi adanya RhF

(negatif palsu). RhF ini terdeteksi positif pada sekitar 60-70% pasien

RA. Level RhF jika dikombinasikan dengan level antibodi anti-CCP

dapat menunjukkan tingkat keparahan penyakit (NHMRC, 2009).

3). Tes antibodi anti-CCP (Cyclic Citrullinated Peptide) adalah tes

untuk mendiagnosis rheumatoid arthritis secara dini. Penelitian

terbaru menunjukkan bahwa tes tersebut memiliki sensitivitas yang

mirip dengan tes RhF, akan tetapi spesifisitasnya jauh lebih tinggi

1

dan merupakan prediktor yang kuat terhadap perkembangan penyakit

yang erosif (NHMRC, 2009).

4). Tes hitung darah lengkap biasanya dilakukan untuk mendapatkan

informasi mengenai inflamasi dan anemia yang berguna sebagai

indikator prognosis pasien (NHMRC, 2009).

5). Analisis cairan sinovial. Peradangan yang mengarah pada

rheumatoid arthritis ditandai dengan cairan sinovial abnormal dalam

hal kualitas dan jumlahnya yang meningkat drastis. Sampel cairan

ini biasanya diambil dari sendi (lutut), untuk kemudian diperiksa dan

dianalisis tanda-tanda peradangannya (Shiel, 2011).

6). X-ray tangan dan kaki dapat menjadi kunci untuk mengidentifikasi

adanya erosi dan memprediksi perkembangan penyakit dan untuk

membedakan dengan jenis artritis yang lain, seperti osteoartritis

(Shiel, 2011).

7). MRI dapat mendeteksi adanya erosi lebih dini jika dibandingkan

dengan X-Ray (Shiel, 2011).

8). USG dapat digunakan untuk memeriksa dan mendeteksi adanya

cairan abnormal di jaringan lunak sekitar sendi (Shiel, 2011).

9). Scan tulang. Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi adanya

inflamasi pada tulang (Shiel, 2011).

10). Densitometri dapat mendeteksi adanya perubahan kepadatan tulang

yang mengindikasikan terjadinya osteoporosis (Shiel, 2011).

1

11). Tes Antinuklear Antibodi (ANA) (Shiel, 2011).

e. Prognosis

Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan

pasien. Sekitar 40% pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah

10 tahun. Akan tetapi, hasilnya sangatlah bervariasi. Beberapa pasien

menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit yang akan sembuh

dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan

progresi penyakit yang kronis (Temprano, 2011).

Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang

menunjukkan adanya cedera tulang pada tes radiologi awal, adanya

anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP (Temprano,

2011). Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari

satu tahun cenderung menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan.

Morbiditas dan mortalitas karena masalah kardiovaskular meningkat

pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat

mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi

umum (Temprano, 2011).

f. Komplikasi

Komplikasi penyakit dapat mempersingkat hidup beberapa tahun

pada beberapa individu, meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak

fatal. Secara umum rheumatoid arthritis bersifat progresif dan tidak

dapat disembuhkan, tetapi pada beberapa pasien penyakit ini secara

1

bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat membaik.

Bagaimanapun, jika terjadi kerusakan tulang dan ligamen serta terjadi

perubahan bentuk, efeknya akan permanen.

Kecacatan dan nyeri sendi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal

yang umum. Sendi yang terkena bisa menjadi cacat, kinerja tugas bahkan

tugas biasa sekalipun mungkin akan sangat sulit atau tidak mungkin.

Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Selain itu,

rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi

bagian lain dari tubuh selain sendi. Efek ini meliputi :

1). Anemia

2). Infeksi

Pasien dengan RA memiliki risiko lebih besar untuk infeksi. Obat

imunosupresif akan lebih meningkatkan risiko.

3). Masalah gastrointestinal

Pasien dengan RA mungkin mengalami gangguan perut dan usus.

Kanker perut dan kolorektal dalam tingkat yang rendah telah

dilaporkan pada pasien RA.

4). Osteoporosis

Kondisi ini lebih umum daripada rata-rata pada wanita

postmenopause dengan RA, pinggul yang sangat terpengaruh. Risiko

1

osteoporosis tampaknya lebih tinggi daripada rata-rata pada pria

dengan RA yang lebih tua dari 60 tahun.

5). Penyakit paru-paru

Sebuah studi kecil menemukan prevalensi tinggi peradangan paru

dan fibrosis pada pasien yang baru didiagnosis RA, namun temuan

ini dapat dikaitkan dengan merokok.

6). Penyakit jantung

RA dapat mempengaruhi pembuluh darah dan meningkatkan risiko

penyakit jantung iskemik koroner.

7). Sindrom Sjögren

8). Sindrom Felty

Kondisi ini ditandai dengan splenomegali, leukopenia dan infeksi

bakteri berulang. Ini mungkin merupakan respon disease-modifying

antirheumatic drugs (DMARDs).

9). Limfoma dan kanker lainnya

RA terkait perubahan sistem kekebalan tubuh mungkin memainkan

peran. Pengobatan yang agresif untuk RA dapat membantu

mencegah kanker tersebut.

(Shiel, 2011)

1

g. Tatalaksana Terapi

1). Tujuan terapi rheumatoid arthritis

Pengobatan penderita rheumatoid arthritis bertujuan untuk :

a). Menghilangkan gejala peradangan/inflamasi yang aktif baik

lokal maupun sistemik.

b). Mencegah terjadinya kerusakan pada jaringan.

c). Mencegah terjadinya deformitas atau kelainan bentuk sendi dan

menjaga fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik.

d). Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang

mengalami rheumatoid arthritis agar sedapat mungkin menjadi

normal kembali (Rizasyah, 1997).

2). Strategi terapi

Pengobatan rheumatoid arthritis memiliki dua komponen (Shiel,

2011):

a). Mengurangi inflamasi serta mencegah kerusakan dan kecacatan

sendi.

b). Menghilangkan gejala, terutama nyeri.

3). Tata laksana terapi

Obat-obatan dapat digunakan untuk mengurangi peradangan pada

sendi, menghilangkan rasa sakit dan mencegah atau memperlambat

terjadinya kerusakan sendi. Terapi fisik dapat dilakukan untuk

1

melindungi sendi. Jika sendi sudah rusak parah, suatu tindakan

pembedahan mungkin diperlukan.

a). Terapi non-farmakologi

Terapi non-farmakologi untuk rheumatoid arthritis meliputi latihan,

istirahat, pengurangan berat badan dan pembedahan (Shiel, 2011).

(1). Latihan

Penelitian menunjukkan bahwa olahraga sangat membantu

mengurangi rasa sakit dan kelelahan pada pasien rheumatoid arthritis

serta meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan gerak. Tiga jenis olahraga

yang disarankan adalah latihan rentang gerak, latihan penguatan dan

latihan daya tahan (aerobik). Aerobik air adalah pilihan yang sangat

baik karena dapat meningkatkan jangkauan gerak dan daya tahan, juga

dapat menjaga berat badan dari sendi-sendi tubuh bagian bawah (Shiel,

2011).

(2). Istirahat

Istirahat merupakan komponen esensial pada terapi non-

farmakologi RA. Istirahat dapat menyembuhkan stres dari sendi yang

mengalami peradangan dan mencegah kerusakan sendi yang lebih

parah. Tetapi terlalu banyak istirahat (berdiam diri) juga dapat

menyebabkan imobilitas, sehingga dapat menurunkan rentang gerak dan

menimbulkan atrofi otot. Pasien hendaknya tetap menjaga gerakan dan

tidak berdiam diri terlalu lama. Dalam kondisi yang mengharuskan

1

pasien duduk lama, pasien mungkin dapat beristirahat sejenak setiap

jam, berjalan-jalan sambil meregangkan dan melenturkan sendi

(Schuna, 2008).

(3). Pengurangan berat badan

Menurunkan berat badan dapat membantu mengurangi stres

pada sendi dan dapat mengurangi nyeri. Menjaga berat badan tetap

ideal juga dapat mencegah kondisi medis lain yang serius seperti

penyakit jantung dan diabetes. Pasien hendaknya mengkonsumsi

makanan yang bervariasi, dengan memperbanyak buah dan sayuran,

protein tanpa lemak dan produk susu rendah lemak. Berhenti merokok

akan mengurangi risiko komplikasi rheumatoid arthritis (Shiel, 2011).

(4). Pembedahan

Jika terapi obat gagal mencegah atau memperlambat kerusakan

sendi, tindakan pembedahan mungkin dapat dipertimbangkan untuk

memperbaiki sendi yang rusak. Pembedahan dapat membantu

mengembalikan kemampuan penggunaan sendi, mengurangi rasa sakit

dan mengurangi kecacatan. Pembedahan yang dilakukan antara lain

sebagai berikut (Harms, 2009):

(a). Artoplasti (penggantian total sendi). Bagian sendi yang rusak akan

diganti dengan prostesis yang terbuat dari logam dan plastik.

2

(b). Perbaikan tendon. Peradangan dan kerusakan sendi dapat

menyebabkan tendon di sekitar sendi menjadi longgar atau pecah.

Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan tendon di sekitar sendi.

(c). Sinovektomi (penghapusan lapisan sendi). Lapisan sendi yang

meradang dan menyebabkan nyeri dapat dihilangkan.

(d). Artrodesis (fusi sendi). Fusi sendi mungkin direkomendasikan untuk

menstabilkan atau menyetel kembali sendi dan dapat mengurangi

nyeri ketika penggantian sendi tidak menjadi suatu pilihan.

Pembedahan berisiko menyebabkan perdarahan, infeksi dan

nyeri, sehingga sebelum dilakukan tindakan, harus diperhitungkan dulu

manfaat dan risikonya.

b). Terapi farmakologi

Ada dua kelas obat yang digunakan untuk mengobati RA, yaitu

obat fast acting (lini pertama) dan obat slow acting (lini kedua). Obat-

obat fast acting digunakan untuk mengurangi nyeri dan peradangan,

seperti aspirin dan kortikosteroid sedangkan obat-obat slow acting

adalah obat antirematik yang dapat memodifikasi penyakit (DMARD),

seperti garam emas, metotreksat dan hidroksiklorokuin yang digunakan

untuk remisi penyakit dan mencegah kerusakan sendi progresif, tetapi

tidak memberikan efek anti-inflamasi (Shiel, 2011).

2

Metotreksat, atau DMARD lain ± NSAID,± Prednison dalam 3 bulan pertama

Respon buruk

DMARD lain monoterapi

(Metotreksat jika tidakdigunakan diatas)

KombinasiDMARD

DMARD biologik mono atau kombinasi

dengan DMARD

Respon buruk

Coba kombinasi lain, 3 jenis obat (DMARD + biologik) tambahkan prednison dosis rendah untuk jangka panjang, pertimbangkan lini kedua DMARD

Gambar 1. Algoritma Terapi Rheumatoid Arthritis (Schuna, 2008)

Pengobatan dengan DMARD sebaiknya dimulai selama 3 bulan

pertama sejak diagnosis rheumatoid arthritis ditegakkan. Kombinasi

dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat diberikan untuk

mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARD sejak dini dapat

mengurangi mortalitas. DMARD yang paling sering digunakan adalah

metotreksat, hidroksiklorokuin, sulfasalazin dan leflunomid.

2

Metotreksat lebih banyak dipilih karena menghasilkan outcome

yang lebih baik jika dibandingkan dengan obat lain. Metotreksat juga

lebih ekonomis jika dibandingkan dengan agen biologik. Obat lain yang

efikasinya mirip dengan metotreksat adalah leflunomid (Schuna, 2008).

Agen biologik yang mempunyai efek DMARD juga dapat diberikan

pada pasien yang gagal dengan terapi DMARD. Agen ini dirancang

untuk memblokir aksi zat alami yang diproduksi oleh sistem kekebalan

tubuh, seperti faktor TNF, atau IL-1. Zat-zat yang terlibat dalam

rheumatoid arthritis adalah reaksi kekebalan tubuh abnormal sehinggga

perlu dihambat untuk memperlambat reaksi autoimun sehingga dapat

meringankan gejala dan memperbaiki kondisi secara keseluruhan. Agen

biologik yang biasa digunakan adalah obat-obat anti-TNF (etanercept,

infliximab, adalimumab), antagonis reseptor IL-1 anakinra, modulator

kostimulasi abatacept dan rituximab yang dapat mendeplesi sel B

periferal (Schuna, 2008). Infliximab dapat diberikan secara kombinasi

bersama metotreksat untuk mencegah perkembangan antibodi yang

dapat mereduksi efek obat ataupun menginduksi reaksi alergi.

Kombinasi dua atau lebih DMARDs juga diketahui lebih efektif jika

dibandingkan dengan terapi tunggal (Schuna, 2008).

Kortikosteroid berguna untuk mengontrol gejala sebelum efek

terapi DMARD muncul. Dosis rendah secara terus-menerus dapat

diberikan sebagai tambahan ketika pengobatan dengan DMARD tidak

2

dapat mengontrol penyakit. Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam

sendi dan jaringan lokal untuk mengendalikan peradangan lokal.

Kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sebagai monoterapi dan

penggunaannya secara kronis sebaiknya dihindari (Schuna, 2008).

NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan

dan nyeri pada RA. NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakan

sendi, sehingga tidak dapat diberikan sebagai terapi tunggal untuk

mengobati RA. Seperti kortikosteroid, NSAID digunakan sebagai terapi

penunjang DMARD (Schuna, 2008).

4). Monitoring terapi

Evaluasi terapi terutama didasarkan pada perbaikan tanda-tanda

klinis dan gejala RA. Perbaikan tanda klinis misalnya adalah

berkurangnya pembengkakan sendi, berkurangnya panas pada sendi

yang terlibat dan berkurangnya nyeri saat sendi dipalpasi. Pengurangan

gejala misalnya adalah berkurangnya nyeri sendi yang dirasakan,

perbaikan dan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari. Radiografi

dan pemeriksaan laboratorium mungkin diperlukan untuk memantau

hasil terapi (Schuna, 2008).

2. Kualitas hidup

a. Definisi

Kualitas hidup didefinisikan dengan cara yang berbeda oleh para

peneliti. Hal ini karena istilah tersebut merupakan istilah multidisipliner

2

yang tidak hanya digunakan dalam pembicaraan sehari-hari, tetapi dalam

konteks penelitian dihubungkan dengan berbagai macam bidang khusus.

Istilah kualitas hidup (quality of life) yang lebih spesifik disebut Health

Related Quality of Life (HRQOL) merupakan domain kesehatan fisik,

psikologi, kepercayaan, harapan dan persepsi seseorang. Oleh karena itu,

dua orang dengan status kesehatan yang sama mungkin bisa mempunyai

kualitas hidup yang berbeda. Pengukuran kualitas hidup biasa digunakan

pada praktek klinik seperti psikiatri, rheumatologi, geriatri dan perawat

(Testa dan Simonson, 1996).

b. Instrumen untuk mengukur kualitas hidup

Pengukuran HRQOL dapat digunakan dua pendekatan terkait

dengan instrumen yang digunakan, yakni instrumen generik dan

instrumen spesifik.

1). Instrumen generik merupakan instrumen umum dan dibuat untuk

mengukur semua aspek kesehatan yang berhubungan dengan kualitas

hidup pada berbagai macam penyakit dan populasi. Contoh

instrumen generik antara lain MOS (Medical Outcome Study), Short

Form – 36, SIP (Sickness Impact Profile) dan Quality of Well-Being

Scale. Keuntungan dari instrumen generik adalah bahwa nilai pasien

yang diperoleh nanti dapat dibandingkan dengan nilai dari populasi

lain dan/atau populasi kontrol manusia sehat, sedangkan kerugian

instrumen ini adalah tidak dirancang untuk mengidentifikasi dimensi

2

spesifik dari suatu penyakit yang penting dalam penegakan

perubahan status klinis pasien (Gutterling et al., 2007).

2). Sementara instrumen spesifik fokus pada keadaan kesehatan yang

spesifik agar memberikan hasil yang lebih rinci berdasarkan luaran

dari kondisi kesehatan atau penyakit tertentu Keuntungan dari

instrumen ini adalah memberikan spesifisitas dan sensitivitas yang

lebih besar dibandingkan instrumen generik (Gutterling, et al.,

2007).

c. Instrumen untuk mengukur kualitas hidup pasien rheumatoid

arthritis

Pemilihan instrumen yang tepat untuk pengukuran HRQOL sangat

tergantung pada tujuan dari uji kinik yang dilakukan dengan

memperhatikan kekuatan dan kelemahan dari instrumen yang digunakan

(Cramer dan Spilker, 1998). Pengukuran kualitas hidup sendiri bertujuan

untuk memilih terapi yang memberikan efek optimal pada pasien dan

membantu pembuat keputusan baik pihak pemerintah maupun swasta

dalam mengalokasikan dana untuk terapi dengan outcome kualitas hidup

terbaik. Selain itu kualitas hidup dapat digunakan dalam proses

monitoring dan outcome terapi serta menentukan kesehatan sekelompok

pasien untuk mengevaluasi kualitas pelayanan yang diberikan. Dengan

mempelajari kualitas hidup pasien dapat membantu memperbaiki kualitas

terapi dan tujuan terapinya (Spilker, 1996).

2

Kuesioner spesifik yang dapat menilai kualitas hidup dari pasien

rheumatoid arthritis adalah AIMS2 SF (Arthritis Impact Measurement

Scales Short Form). AIMS2 SF merupakan kuesioner spesifik untuk

menilai kualitas hidup penderita arthritis. Kuesioner ini didesain untuk

mengukur kualitas hidup dan outcome pasien dalam berbagai aspek

kualitas hidup dengan skala pengukuran spesifik dan mampu

menggambarkan kualitas hidup pasien arthritis secara keseluruhan.

AIMS2 SF terdiri dari 26 pertanyaan yang mencerminkan 5 domain atau

bidang yaitu physical scales, symptom scales, affect scales, social scales

dan work scales (Meenan et al., 1997). Kedepannya penelitian lebih

lanjut tentang AIMS2 SF dengan berbagai bahasa dan budaya akan

sangat bermanfaat dan akan memungkinkan dokter beserta tenaga

kesehatan yang lain untuk mendapatkan pemahaman yang semakin baik

mengenai kondisi pasiennya.

d. Penilaian nyeri rheumatoid arthritis menggunakan Visual Analog

Scale

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun

1948 merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0)

penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat.

Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk

mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala VAS lebih

gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan

2

dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan karena

selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis

kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya relatif mudah, hanya

dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosakata tidak menjadi

permasalahan (Indrati, 2009). Williamson dan Hoggart (2005) juga

melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik

kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat

menyajikan data dalam bentuk rasio.

Gambar 2. Visual Analog Scale (Indrati, 2009)

Intensitas nyeri pada skala 0 tidak terjadi nyeri, intensitas nyeri

ringan pada skala 1 sampai 3, intensitas nyeri sedang pada skala 4 sampai

6, intensitas nyeri berat pada skala 7 sampai 9 intensitas nyeri sangat

berat pada skala 10 nyeri tidak terkontrol (Potter dan Perry, 2005).

F. Landasan Teori

Penyakit rheumatoid arthritis berlangsung kronis yaitu sembuh dan

kambuh kembali secara berulang-ulang sehingga menyebabkan kerusakan

sendi secara menetap. Hal yang paling buruk pada penderita rheumatoid

2

arthritis adalah pengaruh negatifnya terhadap kualitas hidup. Pemberian terapi

rheumatoid arthritis dilakukan untuk mengurangi nyeri sendi dan bengkak,

meringankan kekakuan dan mencegah kerusakan sendi sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien. Obat-obatan berperan sangat penting

dalam terapi rheumatoid arthritis. Pasien rheumatoid arthritis memulai

pengobatan dengan DMARD seperti metotreksat, sulfasalazin dan leflunamid.

Obat tersebut meringankan gejala dan memperlambat kemajuan penyakit.

DMARD sering dikombinasikan dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dosis

rendah untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan demam

Secara umum kualitas hidup menggambarkan kemampuan individu

untuk berperan dalam lingkungannya dan memperoleh kepuasan dari yang

dilakukannya. Kualitas hidup dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara

lain karakteristik pasien, seperti umur dan jenis kelamin. Faktor berikutnya

adalah karakteristik penyakit seperti penyakit penyerta dan lamanya (durasi)

rheumatoid arthritis. Selain itu, pengobatan atau terapi, seperti jenis obat atau

terapi dan tingkat nyeri yang dialami pasien juga ikut berperan dalam kualitas

hidup pasien.

2

G. Kerangka Konsep

Karakteristik pasien :

1. Usia

2. Jenis kelamin

Karakteristik penyakit :

1. Penyakit penyerta

2. Durasi penyakit

Kualitas hidup pasien

rheumatoid arthritis

Jenis obat atau terapi yang digunakan

Nyeri yang dialami

Gambar 3. Skema Kerangka Konsep Penelitian

H. Hipotesis

Berdasarkan uraian dalam landasan teori, dapat dirumuskan hipotesis

yaitu usia, jenis kelamin, penyakit penyerta, durasi penyakit, jenis obat yang

digunakan dan tingkat nyeri yang dialami mempengaruhi kualitas hidup

pasien rheumatoid arthritis di instalasi rawat jalan RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta.