Upload
la-mone
View
84
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an.
Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya, meskipun dinasti tersebut ada
juga yang menolak keberadaannya.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Mendirikan Kerajaan Medang 2 Versi Carita Parahyangan
3 Hubungan dengan Rakai Panangkaran 4 Kepustakaan
[sunting] Mendirikan Kerajaan Medang
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan
Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya
tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna
keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil sebagai raja. Pulau Jawa pun tentram kembali.
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya.
Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan nama Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Medang. Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang
berbeda. Kisah yang agak mirip terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari, namun ia mendirikan kerajaan baru bernama
Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama
Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram
(daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai sebagai lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang
juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke Poh Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan
Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender Sanjaya”. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717
Masehi. Angka tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717, berarti saat prasasti Canggal (732) dikeluarkan,
Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak
keponakannya itu masih anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).
[sunting] Versi Carita Parahyangan
Naskah Carita Parahyangan ditulis sekitar abad ke-16, sehingga berselang ratusan tahun sejak kematian Sanjaya. Menurut versi ini, nama asli Sanjaya adalah Rakeyan Jambri, sedangkan
Sanna disebut dengan nama Bratasenawa, atau disingkat Sena.
Sena adalah raja Kerajaan Galuh yang dikalahkan oleh saudara tirinya, bernama Purbasora. Putra Sena, bernama Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri saat itu telah menjadi menantu
Tarusbawa raja Kerajaan Sunda. Dengan bantuan mertuanya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora tujuh tahun kemudian.
Sanjaya kemudian menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora.
Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora merasa keberatan karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Sanjaya terpaksa menduduki sendiri takhta kerajaan tersebut.
Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka pemerintahannya di Galuh pun diserahkan kepada Premana Dikusumah, cucu Purbasora. Sementara itu putra Sanjaya yang
bernama Rahyang Tamperan diangkat sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana.
Karena merasa tertekan dan kurang dihargai, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya yang bernama Pangreyep, seorang putri Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga
melahirkan putra bernama Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk membunuh Premana.
Setelah Sanjaya menjadi raja di Mataram, wilayah Sunda dan Galuh pun dijadikan satu di bawah
pemerintahan Tamperan. Kemudian terjadi pemberontakan Manarah putra Premana yang
berhasil menewaskan Tamperan. Sementara itu putranya, yaitu Banga berhasil lolos dari kematian.
Mendengar berita kematian Tamperan, Sanjaya pun menyerang Manarah. Perang besar terjadi
yang akhirya didamaikan oleh Demunawan (adik Purbasora). Setelah melalui perundingan dicapai sebuah kesepakatan, yaitu Banga diangkat sebagai raja Sunda, sedangkan Manarah
sebagai raja Galuh.
Carita Parahyangan terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan berhasil menaklukkan Melayu,
Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada pemerintahan Dharanindra, raja ketiga Kerajaan Medang.
Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan
pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.
[sunting] Hubungan dengan Rakai Panangkaran
Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan, atas permohonan para guru raja Sailendra tahun 778. Berdasarkan berita tersebut,
muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.
Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama
Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai Panangkaran yang menjadi bawahannya.
Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan keduanya merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa
Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Tokoh ini dianggap
identik dengan Rahyang Panaraban dalam Carita Parahyangan. Jadi, yang dimaksud dengan istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas.
Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini
didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan para penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai
Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan. Alasan lainnya
ialah, dalam prasasti Mantyasih Rakai Panangkaran bergelar maharaja, sehingga tidak mungkin kalau ia hanya seorang bawahan.
Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan
menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya.
Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra. Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri.
[sunting] Kepustakaan
Prasasti Canggal Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Prasasti Canggal, disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah
prasasti dalam bentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi[1] yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang,
Jawa Tengah.
Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta.[1] Prasasti dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang
penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Isi 2 Referensi 3 Bacaan lanjutan 4 Pranala luar
[sunting] Isi
Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:[2]
Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan
padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari
penduduk Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam
tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara
berkabung, sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan
matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak
perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah
jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya.
Rakyat hidup serba senang.
Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai
tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan. Dalam
epik Ramayana, diceritakan bahwa Rama, Sinta, dan Laksmana mengunjungi pertapaan Agastya di gunung Kunjara.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun 730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para
sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa Sanjaya, meskipun dinasti tersebut ada juga yang menolak keberadaannya.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Mendirikan Kerajaan Medang 2 Versi Carita Parahyangan 3 Hubungan dengan Rakai Panangkaran
4 Kepustakaan
[sunting] Mendirikan Kerajaan Medang
Ratu Sanjaya alias Rakai Mataram menempati urutan pertama dalam daftar para raja Kerajaan Medang versi prasasti Mantyasih, yaitu prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Dyah Balitung tahun 907.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tanggal 6 Oktober 732 tentang pendirian sebuah lingga serta bangunan candi untuk memuja Siwa di atas sebuah bukit. Candi tersebut kini hanya tinggal puing-puing reruntuhannya saja, yang ditemukan di atas Gunung Wukir, dekat Kedu.
Prasasti Canggal juga mengisahkan bahwa, sebelum Sanjaya bertakhta sudah ada raja lain
bernama Sanna yang memerintah Pulau Jawa dengan adil dan bijaksana. Sepeninggal Sanna keadaan menjadi kacau. Sanjaya putra Sannaha (saudara perempuan Sanna) kemudian tampil
sebagai raja. Pulau Jawa pun tentram kembali.
Prasasti Canggal ternyata tidak menyebutkan nama kerajaan yang dipimpin Sanna dan Sanjaya. Sementara itu prasasti Mantyasih menyebut Sanjaya sebagai raja pertama Kerajaan Medang, sedangkan nama Sanna sama sekali tidak disebut. Mungkin Sanna memang bukan raja Medang.
Dengan kata lain, Sanjaya mewarisi takhta Sanna namun mendirikan sebuah kerajaan baru yang berbeda. Kisah yang agak mirip terjadi pada akhir abad ke-13, yaitu Raden Wijaya mewarisi
takhta Kertanagara raja terakhir Singhasari, namun ia mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit.
Pada zaman Kerajaan Medang terdapat suatu tradisi mencantumkan jabatan lama di samping gelar sebagai maharaja. Misalnya, raja yang mengeluarkan prasasti Mantyasih (907) adalah Sri
Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu. Itu artinya, jabatan lama Dyah Balitung sebelum menjadi raja Medang adalah sebagai kepala daerah Watukura.
Sementara itu gelar Sanjaya sebagai raja adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Dapat
diperkirakan ketika Sanna masih berkuasa, Sanjaya bertindak sebagai kepala daerah Mataram (daerah Yogyakarta sekarang). Daerah Mataram inilah yang kemungkinan besar dipakai sebagai
lokasi ibu kota ketika Sanjaya mendirikan Kerajaan Medang. Itulah sebabnya, Kerajaan Medang juga terkenal dengan sebutan Kerajaan Mataram. Sementara itu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung, ibu kota Kerajaan Medang sudah tidak lagi berada di Mataram, melainkan pindah ke
Poh Pitu.
Kapan tepatnya Kerajaan Medang berdiri tidak diketahui dengan pasti. Seorang keturunan Sanjaya bernama Mpu Daksa memperkenalkan pemakaian Sanjayawarsa atau “kalender
Sanjaya”. Menurut analisis para sejarawan, tahun 1 Sanjaya bertepatan dengan tahun 717 Masehi. Angka tahun tersebut menimbulkan dua penafsiran, yaitu tahun penobatan Sanjaya
sebagai raja, atau bisa juga merupakan tahun kelahiran Sanjaya.
Apabila Sanjaya naik takhta pada tahun 717, berarti saat prasasti Canggal (732) dikeluarkan, Kerajaan Medang sudah berusia 15 tahun. Sementara itu apabila 717 adalah tahun kelahiran Sanjaya, berarti saat mengeluarkan prasasti Canggal ia masih berusia 15 tahun dan sudah
menjadi raja. Dengan kata lain, Sanna mengangkat Sanjaya sebagai kepala daerah Mataram sejak keponakannya itu masih anak-anak (sama seperti Jayanagara pada zaman Majapahit).
[sunting] Versi Carita Parahyangan
Naskah Carita Parahyangan ditulis sekitar abad ke-16, sehingga berselang ratusan tahun sejak kematian Sanjaya. Menurut versi ini, nama asli Sanjaya adalah Rakeyan Jambri, sedangkan Sanna disebut dengan nama Bratasenawa, atau disingkat Sena.
Sena adalah raja Kerajaan Galuh yang dikalahkan oleh saudara tirinya, bernama Purbasora. Putra
Sena, bernama Rahyang Sanjaya alias Rakeyan Jambri saat itu telah menjadi menantu Tarusbawa raja Kerajaan Sunda. Dengan bantuan mertuanya, Sanjaya berhasil mengalahkan
Purbasora tujuh tahun kemudian.
Sanjaya kemudian menyerahkan takhta Kerajaan Galuh kepada Demunawan, adik Purbasora. Rahyang Sempakwaja, ayah Purbasora merasa keberatan karena takut kelak Demunawan akan ditumpas pula oleh Sanjaya. Sanjaya terpaksa menduduki sendiri takhta kerajaan tersebut.
Karena Sanjaya juga bertakhta di Kerajaan Sunda, maka pemerintahannya di Galuh pun
diserahkan kepada Premana Dikusumah, cucu Purbasora. Sementara itu putra Sanjaya yang bernama Rahyang Tamperan diangkat sebagai patih untuk mengawasi pemerintahan Premana.
Karena merasa tertekan dan kurang dihargai, Premana akhirnya memilih pergi bertapa. Istrinya
yang bernama Pangreyep, seorang putri Sunda, berselingkuh dengan Tamperan sehingga melahirkan putra bernama Rahyang Banga. Tamperan kemudian mengirim utusan untuk
membunuh Premana.
Setelah Sanjaya menjadi raja di Mataram, wilayah Sunda dan Galuh pun dijadikan satu di bawah pemerintahan Tamperan. Kemudian terjadi pemberontakan Manarah putra Premana yang
berhasil menewaskan Tamperan. Sementara itu putranya, yaitu Banga berhasil lolos dari kematian.
Mendengar berita kematian Tamperan, Sanjaya pun menyerang Manarah. Perang besar terjadi
yang akhirya didamaikan oleh Demunawan (adik Purbasora). Setelah melalui perundingan dicapai sebuah kesepakatan, yaitu Banga diangkat sebagai raja Sunda, sedangkan Manarah sebagai raja Galuh.
Carita Parahyangan terlalu berlebihan dalam memuji kekuatan Sanjaya yang diberitakan selalu menang dalam setiap peperangan. Konon, Sanjaya bahkan berhasil menaklukkan Melayu, Kamboja, dan Cina. Padahal sebenarnya, penaklukan Sumatra dan Kamboja baru terjadi pada
pemerintahan Dharanindra, raja ketiga Kerajaan Medang.
Sanjaya di Jawa Barat juga dikenal dengan sebutan Prabu Harisdarma. Ia meninggal dunia karena jatuh sakit akibat terlalu patuh dalam menjalankan perintah guru agamanya. Dikisahkan
pula bahwa putranya yang bernama Rahyang Panaraban dimintanya untuk pindah ke agama lain, karena agama Sanjaya dinilai terlalu menakutkan.
[sunting] Hubungan dengan Rakai Panangkaran
Menurut prasasti Mantyasih, Sanjaya digantikan oleh Maharaja Rakai Panangkaran sebagai raja
berikutnya. Raja kedua ini mendirikan sebuah bangunan Buddha, yang kini dikenal sebagai Candi Kalasan, atas permohonan para guru raja Sailendra tahun 778. Berdasarkan berita tersebut,
muncul beberapa teori tentang hubungan Sanjaya dengan Rakai Panangkaran.
Teori pertama dipelopori oleh van Naerssen menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang beragama Hindu. Ia dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Jadi, pembangunan Candi Kalasan ialah atas perintah raja Sailendra terhadap Rakai
Panangkaran yang menjadi bawahannya.
Teori kedua dipelopori oleh Porbatjaraka yang menyebutkan bahwa, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya, dan keduanya merupakan anggota Wangsa Sailendra. Dengan kata lain, Wangsa
Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah tertulis dalam prasasti apa pun. Menurut teori ini, Rakai Panangkaran pindah agama atas perintah Sanjaya sebelum meninggal. Tokoh ini dianggap identik dengan Rahyang Panaraban dalam Carita Parahyangan. Jadi, yang dimaksud dengan
istilah “para guru raja Sailendra” dalam prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri.
Teori ketiga dipelopori oleh Slamet Muljana bertentangan dengan kedua teori di atas.
Menurutnya, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya, melainkan anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Teori ini didasarkan pada daftar para raja dalam prasasti Mantyasih di mana hanya Sanjaya yang bergelar
Sang Ratu, sedangkan para penggantinya tiba-tiba begelar Maharaja. Selain itu, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai raja bawahan, karena ia dipuji sebagai
Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan. Alasan lainnya ialah, dalam prasasti Mantyasih Rakai Panangkaran bergelar maharaja, sehingga tidak mungkin
kalau ia hanya seorang bawahan.
Jadi, menurut teori pertama dan kedua, Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya. Sedangkan menurut teori ketiga, Rakai Panangkaran adalah musuh yang berhasil mengalahkan Sanjaya.
Sementara itu menurut teori pertama, Rakai Panangkaran adalah bawahan raja Sailendra.
Sedangkan menurut teori kedua dan ketiga, Rakai Panangkaran adalah raja Sailendra itu sendiri.
[sunting] Kepustakaan
Kita Mulai dari Raja Sailendra Śailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut
Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah raja-raja dari keluarga Śailendra, asli Nusantara yang menganut agama Śiva. Tetapi sejak
Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahāyāna, raja-raja di Matarām menjadi penganut agama Buddha Mahāyāna juga. Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sañjaya menyuruh anaknya
R. Panaraban atau R. Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang.
Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya
(Santanū), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampūla)(da pū nta selendra namah santanū nāma nda bapa nda bhadrawati nāma nda aya nda
sampūla nāma nda ..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan Śailendra yang berkuasa di Mdaŋ. Nama “Dapunta Selendra” jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit “Śailendra”
karena di dalam prasasti digunakan bahasa Melayu Kuno. Jika demikian, kalau keluarga Śailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam
prasasti-prasastinya. Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Śailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sañjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthīrańga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya
memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sañjaya. Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di
Mdaŋ (Matarām), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sañjaya. Raja Sañjaya mulai berkuasa di Mdaŋ pada tahun 717 Masehi. Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui
bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun. Kalau Sañjaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi. Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun. Kalau
seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra. Dalam Carita Parahiyangan disebutkan
bahawa Raja Mandimiñak mendapat putra Sang Sena (Sanna). Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiñak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan
raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiñak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi. Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiñak.
Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti T'ang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Sima). Ratu ini memerintah
BabiMelacca
Mega, Indonesia
Reply » |
Report Abuse |
Judge it! | #3
Mar 11, 2008
dengan baik. Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperoleh urutan raja-raja yang memerintah di Mdaŋ, yaitu Dapunta Selendra (?- 674 Masehi), Ratu Sima (674-703 Masehi), Mandimiñak (703-710 Masehi), R. Sanna (710-717
Masehi), R. Sañjaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paņamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya.
radzi
Petaling Jaya, Malaysia
Berdasarkan prasasti canggal yang ditemukan di daerah Sleman disebutkan bahwa nama sebuah pulau
“Yawadwipa” kaya akan padi-padian dan jewawut serta tambang emas. Mula- mula diperintah oleh
seorang raja bernama Sanna, namun setelah baginda mangkat kedudukannya digantikan oleh
keponakannya bernama Sri Sanjaya, putera Sannaha saudara perempuan raja Sanna. Menurut penulis
sejarah Ratu Sanjaya menakhlukkan atau mendirikan kerajaan di wilayah Bagelen. Satu abad kemudian
keratonnya dipindahkan ke wilayah Wonosobo, yaitu suatu wilayah yang sangat subur dan strategis.
Sanjaya adalah keturunan dari raka- raka yang bergelar syailendra. Arti syailendra adalah Syaila: batu,
gunung dan indra : raja. Jadi syailendra adalah raja gunung atau tuan yang datang dari gunung. Mungkin
juga tuan yang turun dari khayangan, karena menurut kepercayaan gunung merupakan tempat
bersemayamnya roh nenek moyang dan para dewata. Raja Sanjaya adalah seorang ahli kitab suci dan
keprajuritan dan selama masa kekuasaannya berhasil menakhlukkan kerajaan- kerajaan di sekitarnya.
Bahkan dalam “kitab Parahiyangan” yang berasal dari Jawa Barat disebutkan daerah kekuasaannya
hingga Bali, Kerajaan Melayu, Kemir (kamboja), Keling, Barus, dan Sriwijaya, sedangkan negeri Tiongkok
diperanginya.
Raja Sri Sanjaya dinilai sebagai raja besar yang sangat dihormati, karena terkenal kesohorannya di India.
Bahkan hubungan kenegaraannya hingga sampai ke Afrika - Iran – Tiongkok, karena angkatan lautnya
maupun angkatan daratnya kuat dan besar. Menurut kitab sejarah dinasti Tang Kuno (618-906), di pulau
jawa terkenal sebuah kerajaan bernama “Ho-Ling” yang terletak di sebuah pulau di laut selatan. Kotanya
dikelilingi pagar kayu, rajanya berdiam di istana tingkat, beratap daun-daun palma. Raja duduk diatas
singgasana dari gading. Penduduknya pandai menulis dan mengenal ilmu falak. Kalau makan duduk dan
menggunankan tangan tanpa alat apapun, minuman kerasnya tuak. Di pegunungan ada daerah bernama
“ Lang- pi –ya” tempat raja selalu pergi untuk melihat laut. Diungkapkan pula bahwa tahun 640 M
kerajaan jawa mengirimkan utusan ke Tiongkok, demikian juga pada tahun 6576 M. Dalam menafsir
berita yang ditulis dari dinasti Tang tentang kerajaan “Ho-Ling” disebutkan raja hidup dalam kota Cho-
p’o yang dikelilingi 28 kerajaan-kerajaan kecil yang semuanya mengakui kewibawaannya. Menurut
kronik tersebut raja dibantu 32 orang pegawai tinggi. Wilayah kerajaan Sanjaya tersebut berbentuk
segitiga tempat yang sekarang dikenal dengan nama “Ledok” merupakan pojok paling utara dari
Bagelen. Bassisnya pantai selatan, puncaknya gunung Prahu (dieng) dan sungai utamanya Bagawanta.
Gagasan Van der Meulen SJ tentang Bagelen yang disamakan dengan Holing dalam kronik Tiongkok
secara historical geography dipandang cukup logis oleh N. Daljoeni. Holing menurut Van der Meulen
sebenarnya Halin singkatan dari “Bhagahalin” (Bagelen), yaitu kerajaan yang berlokasi di lembah sungai
Bagawanta. Bagelen tersebut sama dengan Pagelen yang disebut dalam babad tanah jawi, kerajaan yang
semula diperintah oleh raja Kanuhun. Menurut Dr. N Daljoeni apa yang dilakukan WJ Van der Meulen
dengan menggali isi kitab ceritera Parahiyangan dan babad Tanah Jawi, merupakan sumbangan yang
telah membuka sejarah yang gelap abad 5 sampai 7 di jawa tengah. Sedangkan dari hasil penelitian
arkkeologi dikabupaten Pekalongan, Batang dan Kendal memberi suatu gambaran baru tentang
kemungkinan daerah - daerah penting dan perkiraan pusat Kerajaan Mataram Kuno di tiga daerah
kabupaten tersebut, kearah selatan semakin banyak ditemukan data arkeologi baru termasuk prasasti
Sojomerto sampai disebelah utara yakni temuan- temuan di pegunungan dieng.