69
SASTRA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sastra Berbicara mengenai sastra, Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:3) berpendapat bahwa sastra adalah “ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.” Sebagai karya seni, karya sastra merupakan produk budaya yang mengutamakan keindahan. Sementara itu, Endah Tri Piyatni (2010:12) berpendapat bahwa “sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau fiksi.” Menurut Teew (dalam Ratna 2011:4) “sastra berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu “sas” berarti 9

SASTRA.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SASTRA.doc

SASTRA

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Sastra

Berbicara mengenai sastra, Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:3)

berpendapat bahwa sastra adalah “ungkapan pribadi manusia yang berupa

pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu

bentuk konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.” Sebagai

karya seni, karya sastra merupakan produk budaya yang mengutamakan

keindahan. Sementara itu, Endah Tri Piyatni (2010:12) berpendapat bahwa

“sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner

atau fiksi.”

Menurut Teew (dalam Ratna 2011:4) “sastra berasal dari bahasa Sanskerta,

yaitu “sas” berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi.

Akhiran “tra” berarti alat, sarana.” Jadi, secara leksikal sastra berarti

kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pelajaran yang baik.

Dalam perkembangan berikutnya kata sastra sering dikombinasikan dengan

awalan “su”, sehingga menjadi susastra yang diartikan sebagai hasil ciptaan

yang baik dan indah, sastra sendiri memiliki banyak definisi menurut sudut

pandang masing-masing.

9

Page 2: SASTRA.doc

Faruk (2010:41) mengemukakan sastra dipahami sebagai bahasa tertentu yang khusus, yang berbeda dari bahasa pada umumnya, apa yang disebut sebagai susastra sering kali diartikan sebagai bahasa yang indah, bahasa yang berirama, yang mempunyai pola-pola bunyi tertentu seperti persajakan, ritme, asonansi, aliterasi, dan sebagainya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan

suatu hasil karya kreatif manusia berupa tulisan, yang berdasarkan pemikiran,

perasaan, ide atau semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit

dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.

Sastra sendiri dalam bentuknya terbagi menjadi dua, yaitu sastra imajinatif

dan non-imajinatif. Novel merupakan salah satu perwujudtan dari sastra

imajinatif. Dalam novel sendiri banyak pengarang yang menggambarkan

kehidupan manusia dalam hasil kreatif si pengarang.

2. Pengertian Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif; biasanya

dalam bentuk cerita. Novel cenderung jauh lebih kompleks dalam strukturnya

dari pada cerita pendek (cerpen). Penulis novel disebut novelis. Kata novel

berasal dari Latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru.

Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya

seperti drama, puisi dan lainnya, maka jenis novel ini muncul kemudian.

Tarigan (1984:164) “bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling

banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat.”

10

Page 3: SASTRA.doc

Dalam bahasa Italia kata novel berasal dari kata novella yang secara harfiah

berarti “sebuah barang baru yang kecil”, kemudian diartikan sebagai “cerita

pendek dalam bentuk prosa.” Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:9).

Sejalan dengan pendapat di atas Atar Semi (1988:32) berpendapat bahwa

“novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek

kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan secara halus.” Selanjutnya

dalam KBBI (2007:788) “novel merupakan karangan prosa yang panjang,

mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di

sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.”

Novel juga menyediakan media yang sangat luas, sehingga pengarang

memiliki kemungkinan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan pesan.

Stanton (2007:90) mengemukakan bahwa “novel dituliskan dalam skala yang

besar, sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas.”

Sejalan dengan pendapat di atas, Sugihastuti (2010:43) mengemukakan novel

merupakan “struktur yang bermakna, novel tidak sekedar merupakan

serangkain tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan

struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu.”

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel

adalah suatu karangan prosa yang panjang dan mengandung nilai kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya yang mengisahkan sisi utuh

11

Page 4: SASTRA.doc

problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh yang di awali

dari kemunculan permasalahan hingga tahap penyelesaian dan disajikan

secara halus.

3. Ciri-ciri Novel

Novel sebagai salah satu hasil karya sastra, memiliki ciri khas tersendiri bila

dibandingkan dengan karya sastra yang lain. Dari segi jumlah kata maupun

kalimat, novel lebih mengandung banyak kata dan kalimat, sehingga dalam

proses pemaknaannya relatif jauh lebih mudah daripada memaknai sebuah

puisi yang cenderung mengandung beragam bahasa kias. Hal tersebut di

tegaskan oleh Nurgiyantoro (2007:11) yang menyebutkan beberapa ciri novel,

diantaranya :

a. Novel itu memiliki bentuk cerita yang lebih panjang dan jumlah halaman berjumlah ratusan halaman.

b. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas.c. Cerita yang disajikan lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih

banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.

Sejalan dengan pendapat di atas, Semi (2004:32) menyebutkan beberapa ciri-ciri dari novel yaitu : a) novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada saat tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas, b) novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan bahasa yang halus, c) novel diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas.

Berbeda dengan pendapat tersebut, H.G. Tarigan (2011:173) menjelaskan

bahwa novel dibagi atas beberapa ciri, yaitu :

12

Page 5: SASTRA.doc

a. Novel jumlah katanya mencapai lebih dari 35.00 kata.b. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman kuarto.c. Jumlah waktu rata-rata yang digunakan untuk membaca yang paling

pendek diperlukan waktu 2 jam.d. Novel tergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku.e. Novel menyajikan lebih dari efek artinya banyak pengaruh serta kesan

yang ditimbulkan sebuah karya sastra novel terhadap pikiran pembaca.f. Novel menyajikan lebih dari satu impresi artinya bahwa sebuah karya

sastra novel itu tidak hanya menceritakanvsatu peristiwa ataupun satu karakter tokoh melainkan beberapa tokoh.

g. Novel menyajikan lebih dari satu emosi.h. Skala novel lebih luas.i. Seleksi dalam novel lebih luas.j. Kelajuan dalam novel kurang cepat.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel yaitu

memiliki cerita yang pajang, terdiri dari minimal 35.000 kata, memiliki

halaman yang ratusan serta mengemukan sesuatu secara bebas, menyajikan

permasalahan yang lebih komplek, dan isi dalam novel lebih rinci serta lebih

detail dibandingkan karya sastra yang lainnya.

4. Unsur-unsur Novel

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:22) “sebuah novel merupakan sebuah

totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik.” Berdasarkan pengertian

tersebut dapat dikatakan bahwa sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai

bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya

secara erat dan saling menggantungkan. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur

intrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun karya

sastra dari dalam, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar

13

Page 6: SASTRA.doc

karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau

sistem organisasi karya sastra.

a. Unsur Intrinsik

Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek

kolektif. Oleh karena itu, karya sastra memiliki struktur yang koheren dan

terpadu. Konsep struktur karya sastra berbeda dengan konsep struktur

yang umum dikenal. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai

arti dengan sendirinya, melainkan ditentukan berdasarkan hubungan

unsur-unsur lain yang terlibat dalam situasi itu sendiri. Unsur-unsur yang

dimaksud ialah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.

Unsur instrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra

dari dalam, yang meliputi : tema, penokohan, alur atau plot, latar (setting),

sudut pandang (pusat pengisahan), gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan

unsur ekstrinsik yang menitikberatkan karya sastra dan hubungannya

dengan pengarang, pembaca, dan lingkungan akan lebih banyak

berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan. Oleh karena

itu, untuk mengetahui makna-makna tersebut, dalam analisis sebuah novel

haruslah melakukan analisis unsur-unsur pembangunnya untuk memahami

isi di dalamnya.

14

Page 7: SASTRA.doc

Menurut Damono (2010:10) “pendekatan instrinsik dilakukan jika peneliti

memisahkan karya sastra dari lingkungannya.” Dalam pendekatan ini,

karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus

mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca, dan

penulisnya.

1) Tema

Tema menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan

kekuatan dan sekaligus sebagai unsur pemersatu semua fakta dan

sarana cerita yang mengemukakan permasalahan kehidupan. Tarigan

(1984:125) menyatakan bahwa “tema merupakan hal yang penting

dalam sebuah cerita.” Suatu cerita yang tidak memiliki tema, tentu

tidak ada artinya. Meski pengarang tidak menyatakan bagaimana tema

yang di angkat dalam karyanya dan disampaikan secara eksplisit, tema

harus dapat dirasakan dan disimpulkan pembaca setelah selesai

membaca karya sastra tersebut. Hal ini diperjelas dengan pendapat

Sugihastuti (2010:45) menurutnya “tema dapat dirasakan pada semua

fakta dan sarana cerita pada sepanjang sebuah novel.”

Tema merupakan aspek cerita yang merupakan refleksi pengalaman

manusia. Pengalaman-pengalaman yang kita ingat biasanya memiliki

makna penting. Terkadang kita dihadapkan dalam beberapa hal,

15

Page 8: SASTRA.doc

seperti : cinta, derita, pendirian atau kejahatan. Oleh karena itu, tema

tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kehidupan yang di rekam

oleh pengarang.

Pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita; ada suatu konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak menyampaikan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra itu yang disebut tema. Adanya tema membuat karya sastra lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan. Sudjiman (1988:50).

Sejalan dengan pendapat di atas, Staton (dalam Sugihastuti, 2010:45)

tema adalah “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan

sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana.” Menurutnya tema

bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Dengan demikian,

tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum

sebuah novel.

Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas, tema memberikan

kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang

diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang

paling umum. Apapun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan

tema diperlukan karena menjadi salah satu bagian penting yang tidak

terpisahkan dengan kenyataan cerita.

16

Page 9: SASTRA.doc

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema

merupakan ide atau gagasan utama dalam sebuah karya sastra. Ide atau

gagasan tersebut dapat berupa pengalaman-pengalaman kehidupan

atau rangkaian-rangkaian nilai tertentu yang didukung oleh pelukisan

latar, dalam karya sastra yang lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau

dalam penokohan.

Ada beberapa macam tema seperti yang diungkapkan Sudjiman

(1988:50) yaitu “tema yang sifatnya didaktis, pertentangan antara baik

dan buruk, tema yang eskplisit dan implisit, cinta, kehidupan,

keluarga, tema yang biasa dan tak biasa, dan tema konflik kejiwaan.”

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:77) “tema dapat digolongkan

menjadi beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana

penggolongan itu dilakukan.” Penggolongan ini dilakukan berdasarkan

tiga sudut pandang yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat

tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat

pengalaman jiwa dan penggolongan tingkat keutamaannya, tema

tradisional di maksudkan dalam berbagai cerita termasuk cerita lama.

Sementara itu Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:80)

membedakan tema-tema karya sastra ke dalam lima tingkatan

berdasarkan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling

17

Page 10: SASTRA.doc

sederhana, tingkatan tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang

paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima

tingkatan yang dimaksud adalah :

a) Tema Tingkat Fisik

Tema karya sastra tingkat fisik, lebih menyaran atau ditunjukkan

oleh banyak aktivitas fisik daripada kejiwaan. Tema ini lebih

menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh

cerita yang bersangkutan.

b) Tema Tingkat Organik

Tema karya sastra tingkat organik, lebih banyak menyangkut dan

atau mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktifitas yang

hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.

c) Tema Tingkat Sosial

Tema karya sastra tingkat sosial, menyangkut tentang kehidupan

bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia

dengan sesama dan dengan lingkungana lam, mengandung banyak

permasalahan konflik, dan lain-lain. Masalah itu antara lain berupa

masalah ekonomi, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih,

propaganda, dan berbagai masalah serta hubungan sosial lainnya.

d) Tema Tingkat Egoik

18

Page 11: SASTRA.doc

Tema karya sastra tingkat egoik lebih mengetengahkan tentang

reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh

sosial. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah

egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia

yang pada umumnya lebih bersifat batin.

e) Tema Tingkat Divine

Tema karya sastra tingkat divine lebih banyak mempermasalahkan

hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas,

atau berbagai masalah yang bersifat filosof lainnya, seperti

pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

2) Latar

Dalam analisis novel, latar (setting) merupakan unsur yang sangat

penting pada penentuan estetika karya sastra. Latar dalam karya sastra

khususnya dalam novel merupakan bagian yang mendukung masalah

tema, alur, dan penokohan. Oleh karena itu, latar merupakan salah satu

fakta cerita yang harus dianalisis.

Menurut Atar Semi (1988:46) mendefinisikan “latar (setting) adalah

lingkungan tempat peristiwa terjadi”.

Hal senada juga diungkapkan oleh Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216) bahwa latar (setting) yang disebut juga sebagai landas

19

Page 12: SASTRA.doc

lampu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Latar (setting) yang disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada

pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peritiwa yang diceritakan. Hal tersebut diperjelas

oleh pendapat Kenney (dalam Sugihastuti, 2010:54) yang

mengungkapkan bahwa :

Latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk pemandangan, sampai perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosi para tokoh.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latar

(setting) adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana

terjadinya lakuan di dalam sebuah karya sastra.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:227) “unsur latar (setting) dapat

dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan

sosial”. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan

permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada

kenyataanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan

yang lainnya. Pelukisan latar yang jelas akan membantu pembaca

20

Page 13: SASTRA.doc

berimajinasi dan memberikan efek atau kesan bahwa cerita itu benar-

benar ada dan terjadi.

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang

diceritakan dalam sebuah fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan

berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau

lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama

adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Penggunaan latar

tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau

paling tidak bertentangan sifat dan keadaan geografis tempat yang

bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristik

tersendiri yang membedakan dengan tempat-tempat umum.

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya

peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Masalah

“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu

yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.

Pengangkatan unsur sejarah dalam karya fiksi akan menyebabkan

waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat

menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu

yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita.

21

Page 14: SASTRA.doc

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam

karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai

masalah dalam lingkungan yang cukup kompleks. Ia dapat berupa

kebiasaan hidup, cara berpikir, bersikap, dan lain-lain. Selain itu, latar

sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang

bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas.

3) Tokoh dan Penokohan

Cerita rekaan pada dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa

orang yang menjadi tokoh. Yang dimasud dengan tokoh cerita adalah

“individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam

berbagai peristiwa cerita.” (Sudjiman dalam Sugihastuti, 2010:50).

Dalam membicarakan sebuah karya fiksi, sering digunakan istilah-

istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau

karakter dan karakterisasi secara bergantian hingga merujuk kepada

pengertian yang hampir sama.

Tokoh menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro 2010:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

22

Page 15: SASTRA.doc

Sementara itu Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:165)

mendefinisikan “penokohan sebagai pelukisan gambaran yang jelas

tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.” Tokoh

cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai

amanat, moral atau sesuatu yang ingin disampaikan kepada pambaca.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa tokoh cerita

merupakan orang-orang ditampilkan dalam cerita dan tokoh-tokoh

tersebut dilengkapi dengan watak dan karakteristik yang berbeda-beda.

Dari watak itulah setiap tokoh mempunyai kualitas yang berbeda yang

berbeda pula. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita pun

memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki

peranan yang sangat penting karena pemunculannya hanya

melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama yang disebut dengan

tokoh tambahan atau pembantu.

Burhan Nurgiyantoro (2007:176) menyatakan bahwa tokoh-tokoh

cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa

jenis, yaitu “tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan

antagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh statis dan tokoh

berkembang, tokoh tipikal dan netral.”

a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

23

Page 16: SASTRA.doc

Tokoh utama (central character atau main character) yaitu tokoh

yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.

Tokoh ini merupakan yang paling banyak diceritakan dan

senantiasa hadir dalam setiap kejadian. Tokoh tambahan

(peripheral character) yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit,

tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada

keterkaitannya dengan tokoh utama.

b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis yaitu tokoh yang digambarkan sebagai hero-

tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai,

yang ideal bagi kita, menampilkan sesuatu yang sesuai dengan

pandangan dan harapan pembaca. Tokoh antagonis, yaitu tokoh

penyebab terjadinya konflik. Biasanya beroposisi secara langsung

dengan tokoh protagonis maupun tidak langsung, bersifat lahir dan

batin. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis belum tentu

disebabkan oleh tokoh antagonis, mungkin juga disebabkan oleh

hal-hal yang berbeda di luar individualitas, misalnya bencana

alam, nilai-nilai sosial dan lain-lain.

c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana (simple atau flat character), yaitu tokoh yang

hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang

24

Page 17: SASTRA.doc

tertentu saja. Tokoh ini dapat saja melakukan berbagai tindakan,

namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada

perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu. Tokoh

Bulat (complex atau round character), yaitu tokoh yang hanya

memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,

sisi keperibadiannya dan jati dirinya.

d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis (static character) yaitu tokoh cerita yang secara

esansial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan

perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Tokoh berkembang (developing character) yaitu tokoh cerita yang

mengalami perubahan dan perkambangan perwatakan sejalan

dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang

dikisahkan.

e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Tokoh tipikal (typical character) yaitu tokoh yang hanya sedikit

ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak

ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral

(neutral character) yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu

sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup

dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini dihadirkan semata-

25

Page 18: SASTRA.doc

mata demi cerita atau bahkan dialah empunya cerita, pelaku cerita,

dan yang diceritakan.

Tokoh-tokoh cerita ini kemudian oleh penulis dihadirkan kepada

pembaca kedalam karya sastra dengan menggunakan tekhnik

ekspositori. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:195) tekhnik

ekspositori yaitu :

Tekhnik pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung, atau dengan menggunakan tekhnik dramatik, yakni tekhnik pelukisan tokoh dimana penulis membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakuakan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.

Penokohan sangat erat kaitannya dengan seorang tokoh dalam karya

sastra. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini disebut

penokohan. Menurut Rosdiyanto (dalam Sumarti, 2007:101)

penokohan adalah “cara pengarang menggambarkan dan

mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.” Sementara itu

Mursal Esten (1989:28) menyatakan bahwa “penokohan yang berhasil

menggambarkan tokoh-tokoh tersebut yang memiliki tipe-tipe manusia

yang dikehendaki.”

Dari pendapat tersebut dapat dipahami, bahwa penokohan adalah

gambaran karakter tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

26

Page 19: SASTRA.doc

Pelukisan karakter tokoh yang berhasil menggambarkan tokoh dengan

tipe-tipe manusia yang dikehendaki dan memiliki daya yang

menghidupkan, menjiwai, dan mengindividualisasikan seorang tokoh.

4) Alur

Dalam sebuah karya sastra rekaan, peristiwa-peristiwa disajikan

dengan urutan tertentu. “Peristiwa yang diurutkan itu membangun

tulang punggung cerita, yaitu alur.” Sudjiman (dalam Sugihastuti,

2010:46). Sementara itu, (Bulton dalam Sugihastuti, 2010:46)

“mengibaratkan alur sebagai rangka dalam tubuh tubuh manusia, tanpa

rangka tubuh tidak akan berdiri.”

Menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:113)

mendefinisikan “plot atau alur merupakan peristiwa-peristiwa yang

yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena

pengarang menyusun peristiwa itu berdasarkan urutan kausalitas.”

Sedangkan Luxemburg (1992:149) menyatakan bahwa alur ialah

“konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa

yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang

diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.” Sejalan dengan pendapat

tersebut, Priyatni (2010:112) mengatakan bahwa “alur merupakan

rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat.”

27

Page 20: SASTRA.doc

Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

disebut dengan alur yaitu rentetan atau sederetan peristiwa yang terjadi

di dalam sebuah cerita fiksi yang dibangun berdasarkan pandangan

pembaca itu sendiri dan masih memiliki keterkaitan sebagai hubungan

sebab-akibat. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti

tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang

mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keterpengaruhan. Alur

memiliki hukum-hukum sendiri, alur hendaknya memiliki bagian

awal, tengah, dan akhir yang nyata, menyakinkan dan logis dapat

menciptakan bermacam kejutan dan memunculkan sekaligus

mengakhiri ketegangan-ketegangan.

Burhan Nurgiyantoro (2010:142) menyatakan, secara teoritis tahapan

sebuah plot sebagai berikut :

a) Tahap Awal

Tahap awal sering disebut tahap perkenalan. Pada umumnya berisi

sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal

yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, misalnya berupa

penunjukkan atau pengenalan latar seperti nama-nama tempat,

suasana alam, dan waktu kejadian (pendeskripsian setting). Pada

tahap ini tokoh di perkenalkan, baik deskripsi fisik atau sedikit

28

Page 21: SASTRA.doc

disinggung perwatakannya. Jadi fungsi utama tahap awal yaitu

untuk mendeskripsikan latar dan penokohan.

b) Tahap Tengah

Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian atau tahap komplikasi.

Konflik-konflik yang sudah mulai muncul dibagian awal cerita

menjadi semakin meningkat.

c) Tahap Akhir

Tahap akhir disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan-

adegan tertentu sebagai akibat klimaks, tahap ini disebut dengan

denoument atau penyelesaian. Tahap ini berisi bagaimana akhir

sebuah cerita, penentuan nasib seorang tokoh.

Sementara itu Montage dan Henshaw (dalam Priyatni, 2010:113)

menjelaskan bahwa tahapan dalam alur tersusun sebagai berikut :

a) Exposition

Exposition yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat

terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang

mendukung cerita.

b) Inciting Force

Inciting Force adalah tahapan saat timbulnya kekuatan, kehendak,

maupun perilaku bertentangan.

29

Page 22: SASTRA.doc

c) Rising Action

Rising Action adalah situasi yang memanas karena pelaku-pelaku

dalam cerita konflik.

d) Crisis

Critis adalah situasi yang semakin panas karena para pelaku dalam

cerita mulai berkonflik dan para pelaku sudah diberi gambaran

nasib oleh pengarangnya.

e) Climax

Climax adalah situasi puncak karena konflik berada dalam kadar

yang paling tinggi, sehingga para pelaku mendapatkan kadar

nasibnya sendiri-sendiri.

f) Falling Action

Falling Action adalah kadar konflik yang sudah menurun, sehingga

ketegangan dalam cerita sudah mudah mulai mereda sampai

menuju conclusion atau penyelesaian cerita.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Loban (dalam Priyatni, 2010:113)

mengatakan bahwa “tahapan-tahapan alur itu melingkupi eksposisi,

komplikasi, klimaks, resolusi, dan denoument.” Untuk lebih jelasnya,

Sudjiman menggambarkan tahapan alur tersebut sebagai berikut :

30

Page 23: SASTRA.doc

Gambar 1. Urutan Tahapan-tahapan Alur Novel

(Sudjiman, dalam Priyatni 2010 : 114)

b. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar

karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, pengarang, pembaca,

dan penerbitnya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak

berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:23) “unsur ekstrinsik novel adalah

unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak

langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme novel.” Sejalan

dengan pendapat tersebut, Wellek dan Warren (dalam Burhan

Nurgiyantoro, 2007:24) menyatakan bahwa unsur yang dimaksud antara

lain adalah “subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,

31

Awal

Tengah

Akhir

1. Paparan (Eksposition)

2. Rangsangan (Inchiting Force)

3. Gawatan ((Rising Action)

4. Tikaian (Conflict)

5. Rumitan (Complication)

6. Klimaks (Climax)

7. Leraian (Falling Action)

8. Selesaian (Denoument)

Page 24: SASTRA.doc

keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan mempengaruhi

karya yang ditulisnya.” Pendek kata, unsur sosiologi, biografi pengarang,

keadaan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya dapat menentukan ciri

karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain

misalnya pandangan hidup suatu bangsa.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

unsur ekstrinsik adalah unsur yang secara tidak langsung mempengaruhi

pembangunan hasil karya sastra yang dihasilkan karena melibatkan sudut

pandang pengarang yang meiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial

dan budaya.

5. Pengertian Moral

Moral berasal dari kata Latin mores, yaitu jamak dari kata mos yang berarti

adat kebiasaan. Menurut Abuddin Natta, (dalam Muhammad Zairul Haaq,

2011:21) “moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan

terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar

atau salah.” Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut

bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah

lakunya baik.

Poerwadarminta (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:21) mengatakan

bahwa “moral mempunyai ajaran tentang baik buruknya perbuatan, kelakuan,

32

Page 25: SASTRA.doc

akhlak, dan kewajiban.” Di samping itu, moral juga juga berarti kesusilaan

yang terbentuk dari kata sila berasal dari bahasa Sanskerta dan mempunyai

arti berbagai ragam. Sedangkan Sunoto (dalam Muhammad Zaairul Haq,

2011:21) mengatakan bahwa “moral berasal dari kata mores yang berarti adat

istiadat, ialah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh

kedalam.”

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa moral

merupakan ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan manusia

mengenai akhlak, budi pekerti, kewajiban, dan sebagainya.

Moral merupakan suatu ajaran tentang aturan baik dan buruk yang diterima

oleh masyarakat umum mengenai perbuatan manusia. Jadi kata moral selalu

mengacu pada baik atau buruknya sifat manusia baik dari sifat perbuatan,

kelakuan dan akhlak yang terdapat dalam diri manusia.

Aspek moralitas misalnya, yang menyangkut nilai-nilai baik buruk, benar

salah. Aspek ini memang tidak kelihatan seperti aspek kekerasan, tapi menjadi

aspek yang penting. Perilaku tertentu yang di masyarakat dianggap salah,

diberbagai media sastra ditampilkan begitu saja tanpa ada penekanan bahwa

perilaku itu salah.

Semi (1991:71) berpendapat bahwa moral mempunyai konsep dan kriteria

sebagai berikut :

33

Page 26: SASTRA.doc

a. Sebuah karya sastra yang benilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat umat manusia.

b. Masalah didaktis, yaitu pendidikan dan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah. Arah dimana pembaca dapat memetik nasehat dan suri tauladan dari tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra. Tentunya karya sastra tersebut dapat memperlihatkan lokoh-tokoh yang arif dan bijaksana dalam setiap langkahnya.

c. Pendekatan moral menghendaki sastra menjadi mediun perekam keperluan zaman yang memiliki semangat menggerakkan masyarakat ke arah budi pekerti yang terpuji.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa moral memegang peranan

dalam kehidupan. Baik buruknya bangsa tergantung dari baik buruknya moral

kehidupan masyarakat dan baik tidaknya suatu masyarakat bertolak dari

seberapa besar penerapan nilai-nilai moral dalam masyarakat.

6. Kajian Moral Masyarakat Jawa Dalam Sastra

Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra

merupakan unsur isi. Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh

pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam

sebuah karya sastra, makna yang disarankan lewat cerita.

Moral kadang diidentifikasikan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya

tidak selalu menyaran pada maksud yang sama. Moral dan tema, karena

keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, diambil dari

cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat

34

Page 27: SASTRA.doc

daripada moral di samping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang

ditujukan kepada pembaca. “Moral dengan demikian dapat dipandang sebagai

salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema

merupakan moral.” Kenny (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011321).

Ketika kita berbicara tentang sastra pastilah kita berbicara tentang nilai-nilai

estetis atau nilai keindahannya. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang moral

dalam karya sastra tentunya kita tidak hanya membicarakan nilai estetisnya

saja. Arti kata moral sendiri, berarti ajaran atau nilai baik buruknya yang

diterima umum mengenai perbuatan baik berbicara, bersikap dan bertindak.

Karya sastra yang baik disamping memiliki nilai estetis yang indah juga

memiliki makna akan suatu pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Disitu

jelas dikatakan “pesan kepada pembaca untuk berbuat baik”, kata tersebut

secara langsung menyinggung nilai-nilai baik dan buruk. Jadi, pesan tersebut

dinamakan “moral”, karena pesan tersebut mengajak pembaca untuk

menjunjung tinggi norma-norma moral. Oleh karena itu, karya sastra dianggap

sebagai sarana pendidikan moral. Karena karya sastra merupakan cerminan

dari kehidupan masyarakat.

Disinilah karya sastra secara tidak langsung mempelajari perihal masalah

manusia, seperti agama dan filsafat, meskipun hanya berbeda dalam hal

metode atau caranya saja, akan tetapi pada hakikatnya dengan tujuan yang

sama. Dimana dalam tujuannya baik sastra, agama ,dan filsafat sama-sama

35

Page 28: SASTRA.doc

sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanis pada manusia atau dalam

bahasa Germany disebut dengan Humanitat, yaitu jiwa yang halus, manusiawi

dan berbudaya. Oleh karena itu, karya sastra muncul atau terlahir tidak hanya

dinikmati dari nilai-nilai estetisnya, akan tetapi bertugas menghancurkan

kebobrokan moral untuk dapat membangun menuju ke arah pembinaan moral

manusia yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Disitulah hubungan erat

antara sastra dengan moral. Tentunya karya sastra yang diharapkan adalah

sebuah karya sastra yang baik dimana memiliki kedua nilai diatas yaitu nilai

estetis dan etika yang baik. Untuk itu baik karya sastra, agama, dan filsafat

mengemban pula tugas untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab.

Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup seorang

pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,

dan hal itulah yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Sebuah

karya sastra khususnya novel ditulis oleh pengarang untuk menawarkan model

kehidupan yang diidealkannya. “Karya sastra mengandung penerapan moral

dalam sikap dan tingkah laku para tokoh dengan pandangannya tentang

moral.” (Burhan Nurgiyantoro, 2002:321).

Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan

dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat

manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat

universal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh

36

Page 29: SASTRA.doc

manusia sejagad. Ia tidak hanya bersifat kesebangsaan, apalagi keseorangan,

walau memang terdapat ajaran moral-kesusilaan yang hanya berlaku dan

diyakini oleh kelompok tertentu. Sebuah karya fiksi yang menawarkan pesan

moral yang bersifat universal, biasanya akan mudah diterima kebenarannya

secara universal pula dan memungkinkan untuk menjadi sebuah karya yang

bersifat sublim, walau untuk yang disebut terakhir juga (terlebih) ditentukan

oleh berbagai unsur instrinsik yang lain.

Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai norma moral yang terdapat di

antara sekelompok manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia

harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Kebaikan moral

merupakan kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang

bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manuisa. Ada

perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan

moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia, sedangkan kebaikan

pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja,

misalnya sebagai suami atau isteri.

Masyarakat Jawa sering kali menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, unggah-unggah, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler dan pitungkas, orang Jawa akan berhasil dalam hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa. Purwadi (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:23).

37

Page 30: SASTRA.doc

Persoalan penting bagi masyarakat Jawa dalam kehidupan ini adalah

mengenai moral. Pendidikan moral merupakan pendidikan yang tidak boleh

tidak (tan keno ora) wajib diajarkan kepada anak-anak atau keturunan mereka,

dengan maksud agar keturunan mereka kelak menjadi seseorang yang jalma

sulaksana atau wicaksana. Dari mulai lahir keturunan mereka telah diajari

tentang adanya Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Kuasa. Hal ini dibuktikan

dengan pengumandangan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri

bayi yang baru lahir sebagai bentuk pernyataan bahwa masyarakat Jawa

merupakan masyarakat ketuhanan. Selain itu mereka juga diajari cara

menguasai diri, cara bermeditasi (manekung) guna mendapatkan kecerahan

batin, dan pendidikan sopan santun, tata krama, dan hal-hal lainnya yang

berhubungan dengan moral.

Manusia pada umumnya memiliki kesadaran moral. Mereka diberi kelebihan

untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, seiring

berjalannya waktu, terdapat orang-orang yang kemudian terbawa oleh arus

hawa nafsunya sendiri. Oleh karena itu, orang-orang Jawa dahulu memberikan

pengajaran moral kepada keturunannya perihal menyikapi adanya nafsu dalam

diri setiap manusia.

Menurut Slamet Rohadi (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:25) dalam

masyarakat Jawa, manusia bisa dikatakan sudah bermoral apabila sudah

38

Page 31: SASTRA.doc

memegang teguh panca sila atau lima pedoman yang harus dimiliki seseorang

agar menjadi manusia terpuji. Kelima pedoman itu adalah sebagai berikut :

a. Rila

Rila merupakan bentuk keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala

miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan,

dengan tulus ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada di dalam

kekuasaan Tuhan dan tidak sepatutnya apabila berharap akan

mendapatkan hasil dari perbuatannya, apalagi sampai bersedih hati atau

menggerutu terhadap semua penderitaan (kesengsaraan, tuduhan, fitnah,

kehilangan pangkat, kekayaan dan keluarga).

Rila dapat diartikan sebagai kerelaan untuk menyerahkan segala yang

dimiliki jika sewaktu-waktu diambil oleh Tuhan. Rila berarti

mengharapkan sesuatu yang lebih baik sebagai penggantinya. Sikap rila

dalam novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari dapat dijadikan

sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik dalam kehidupan ini. Dalam

data berikut sikap rila ditunjukkan oleh tokoh Kabul yang rela jika

sewaktu-waktu harus kehilangan pekerjaannya. Kabul rela kehilangan apa

yang ada asal tidak mengkhianati kepercayaan masyarakat kepada dirinya.

“Tapi saya akan tetap bekerja sebaik-baiknya sejauh yang bisa saya lakukan. Saya tidak ingin mengkhianati keinsinyuran saya. Namun kalau keadaan di dunia perproyekan masih seperti ini, rasa-rasanya inilah proyek saya yang terakhir.”(B/RLA/02.78)

39

Page 32: SASTRA.doc

Dalam keadaan apa pun selama kita masih hidup dunia di dunia, sikap rila

pantas untuk dimiliki bahkan dalam hal pekerjaan. Sikap rila membuat

seseorang tidak terikat dengan prestasi yang dimilikinya melainkan

membuat seseorang terbebas darinya, dalam arti tidak selalu jabatan atau

apa pun yang berharga yang dimilikinya dijadikan sebagai acuan dalam

hidupanya justru dengan jabatan atau harta seseorang dapat ikhlas memilki

dan sadar bahwa itu hanyalah titipan-Nya.

Rila pada diri seseorang dapat terjadi jika seseorang mendapatkan

kekecewaan, tekanan akibat keterikatan, perubahan yang harus dialami,

dan penderitaan yang selalu datang. Pada data berikut kekecewaan yang

dirasakan oleh Kabul membuatnya harus rila menerima kenyataan bahwa

dirinya harus kehilangan pekerjaannya.

“Pak Insinyur berhenti? Kenapa?”“Tidak apa-apa, Mak….”“Dia tadi bertengkar dengan Pak Dalkijo.”“Wah, gawat.”“Biasa, Mak. Pada dua orang pasti ada perbedaan. Dan karena ada perbedaan pendapat yang mendasar antara aku dan Pak Dalkijo, aku merasa lebih baik berhenti. Itu saja.”(B/RLA/01.202)

Pekerjaan yang telah digeluti oleh Kabul harus ditinggalkan karena telah

banyak membuat orang lain menderita. Pada data tersebut terlihat Kabul

ingin berhenti karena adanya perbedaan pendapat. Namun perbedaan

pendapat tersebut bukan sekedar perbedaan pendapat biasa, melainkan

40

Page 33: SASTRA.doc

Kabul tidak ingin profesi keinsinyurannya dikhianati. Oleh karena itu,

Kabul memutuskan untuk pergi. Kekecewaaan Kabul karena mutu

bangunan yang diberikan pada masyarakat membuatnya harus rela untuk

tidak memaksakan kehendaknya. Setelah memutuskan untuk tidak

melanjutkan pekerjaan tersebut, Kabul berharap bisa sekolah lagi dan

menjadi dosen sebagai bentuk penggantian yang lebih baik.

b. Narima

Narima banyak pengaruhnya terhadap ketrentaman di hati, jadi bukan

orang yang malas bekerja, tetapi yang merasa puas dengan nasibnya.

Apapun yang sudah terpegang di tangannya, dikerjakan dengan senang

hati, tidak loba dan ngangsa. Narima berarti tidak menginginkan milik

orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, maka dari

itu orang yang narima dapat dikatakan sebagi orang yang bersyukur

terhadap Tuhan.

Narima bagi orang Jawa dapat dijadikan sebagai bentuk pertahanan

terhadap kesusahan yang menimpa dirinya. Sikap narima tidak berarti

menyerah dengan keadaan atau menerima dengan pasrah, tetapi tetap

berusaha untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Pada data berikut

narima atas kesusahan membuat seseorang tetap berusaha.

“Bukan itu yang menyebabkan aku ingin menangis. Aminah mengingatkanku akan biyungnya, ya, biyung-ku dan Samad. Agar bisa menyelokahkan kami, Biyung tidak pernah menanak nasi tetapi

41

Page 34: SASTRA.doc

oyek, semacam thiwul. Biyung kami juga bertani kecil-kecilan sambil jualan klanthing dan gembus. Jadi aku, juga Samad adikku, adalah insinyur-insinyur gembus, insinyur oyek. Tidak lebih…”(B/NRM/01.103)

Narima ditunjukkan oleh tokoh Biyung yang hidup susah, tetapi tetap

berusaha agar anak-anaknya bisa tetap bersekolah. Narima yang

ditunjukkan oleh Biyung tersebut mengajarkan, walaupun hidup hanya

sebagai seorang petani, kita tidak boleh menyerah dengan kemiskinan

yang diderita. Biyung menerima keadaannya sebagai seorang petani dan

berjualan klanting dan gambus. Narima pada keadaan tersebut tidak

menyurutkan tekad agar anak-anaknya menjadi orang yang sukses.

c. Temen

Temen berarti menepati janji ucapannya sendiri, baik yang sudah diucapkan

maupun yang diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata

hatinya berarti menipu dirinya sendiri, sedangkan kata hati yang telah

diucapkan padahal tidak ditepati, itu berarti kebohongan terhadap orang

lain.

Dalam data berikut sikap temen yang terdapat dalam novel Janji Para

Lelaki karya Saiful Ardi Imam, Adapun Labek/Sutan Mantari berjanji pada

Angkunya. Angkunya ini memiliki lapau (warung/tempat dagang) kain dan

seorang anak bernama Bulan. Berikut janji Labek/Sutan Mantari dalam

cerita novel :

42

Page 35: SASTRA.doc

“Labek, umur saya mungkin tidak panjang. Saya perlu bantuanmu,” Angkunya berbaring di tempat tidur. Wajah lelaki itu pucat. Pandangannya redup.”“Si Bulan hanya seorang diri. Dia tidak beradik berkakak. Saya ingin engkau mengurus lapau kain setelah saya meninggal. Saya minta engkau menikahi Bulan. Dengan begitu engkau bisa menyelamatkan anak dan harta saya. Si Bulan setuju dengan rencana ini. Dia menerima saja bagaimana baiknya.”Sutan Mantari tak mengira akan mendengar hal itu. Ia tak tahu menjawab apa. Andai hanya mengurus harta, ia siap. Tetapi, menikah dengan Bulan belum pernah dibayangkannya. Sikap kasar ibu si Bulan masih tersimpan dan membekas di hatinya. Ia takut kalau Bulan mewarisi sifat buruk ibunya. Bukankah buah jatuh tak jauh dari batangnya?“Labek, tolong jawab. Bila engkau tak bersedia, saya punya rencana lain. Ada orang lain yang akan saya minta tolong. Tapi, engkau masih kemenakan saya. Maukah engkau berjanji menjaga lapau dan anak saya?”Lilitan utang dan ancaman penjara mendesaknya membuat keputusan cepat.“Baik, Angku, saya berjanji. Saya akan menjaga anak dan lapau Angku.”

Labek/Sutan Mantari memang memiliki banyak hutang. Jatah waktunya

melunasi hutang telah habis. Dengan permohonan Labek/Sutan Mantari,

penagih hutang memberikan tambahan waktu pelunasan hutang. Namun,

jika Labek/Sutan Mantari tidak juga melunasi hutang, maka penjara siap

menanti. Permintaan Angkunya sebelum meninggal untuk mengelola

lapau tentu menjadi peluang bagi Labek/Sutan Mantari memiliki banyak

uang. Artinya, ia takkan merasa takut tidak bisa melunasi hutang.

Labek/Sutan Mantari pun berjanji pada Angkunya untuk mengurus lapau

dan menikahi Bulan, anak Angkunya.

43

Page 36: SASTRA.doc

d. Watak/Sabar

Watak/sabar merupakan tingkah laku yang terbaik yang harus dimiliki

oleh setiap orang. Semua agama menceritakan bahwa Tuhan mengasihi

orang kepada orang yang sabar. Sabar berarti momot, kuat terhadap segala

cobaan, tetapi bukan berarti puas putus asa, melainkan orang yang kuat

imannya, luas pengetahuannya, tidak sempit pandangannya sehingga

pantas untuk diumpamakan sebagai samudra pengetahuan, sahabat dan

musuh dianggap sama. Diibaratkan dengan samudera yang muat untuk

diisi apa saja dan tidak meluap walaupun diisi dari sungai manapun.

Kesabaran diumpamakan sebagai minimum jamu yang pahit sekali

rasanya, yang hanya kuat diminum oleh orang yang kuat pribadinya,

namun jamu tersebut menyehatkan kesedihan dan pernyakit.

Sabar yang dimiliki oleh seseorang merupakan buah dari kerelaan

terhadap apa yang sudah diusahakan dan menerima yang dimilikinya.

Sikap sabar dalam novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari

tergambar pada data-data berikut :

“Namun tidak seperti Dalkijo yang mendendam kemelaratan masa muda dengan membalasnya melalui hidup sangat pragmatis dan kemaruk. Kabul tetap punya idealisme dan sangat hemat. Proyek itu pun bagi Kabul harus dilihat dalam perspektif idealismenya, maka harus dibangun demi sebesar-besarnya kemaslahatan umum. Artinya harus sempurna dengan memanfaatkan setiap senanggaran sesuai dengan ketentuan yang semestinya.”(B/SBR/01.52-53)

44

Page 37: SASTRA.doc

Sabar yang ditunjukkan oleh Kabul atas perbuatan Dalkijo, manajer

perusahaan membuat Kabul tidak mudah hanyut perbuatan menyimpang.

Kesabaran yang dimilki Kabul menjadikan dirinya tetap bertanggung

jawab terhadap profesi yang ditekuninya. Sabar menghasilkan kehati-

hatian dalam tindakan yang dilakukan. Ia akan maju dengan berhati-hati,

karena sudah menjadi bijaksana karena pengalaman. Kabul tidak ingin

pembangunan jembatan yang dipercayakan terhadapnya rusak hanya

karena ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kesabaran yang

dimiliki Kabul terhadap ulah Dalkijo membuatnya bijaksana dalam

mengambil keputusan dengan tidak ikut-ikutan memanfaatkan uang

proyek untuk kepentingan sendiri.

Kebijaksanaan dan kehati-hatian sebagai buah dari kesabaran yang

dimiliki oleh seseorang, juga dapat membuat seseorang tetap optimis pada

hasil yang akan diperoleh dari pekerjaan yang digeluti. Pada data berikut

kesabaran Kabul terhadap penyimpangan proyek membuatnya tetap

bertahan untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain.

“Hal itu sangat ku sadari. Maka aku bilang, paling-paling aku hanya bisa mengurangi dampak kerakusan dan kekemarukan kuasa mereka terhadap warga desa ini.”“Ya, dan pada dasarnya aku pun sama. Aku tidak ingin mengambil tindakan tinggal glanggang colong playu. Aku ingin tahan sampai proyek ini selesai dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan mutunya kepada rakyat…”(B/SBR/02.94)

45

Page 38: SASTRA.doc

Kabul tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti untuk mengurangi

kebocoran dana yang terjadi dalam proyek. Namun Kabul tetap optimis

ingin menyelesaikan proyek pembangunan jembatan tersebut. Kabul

hanya bisa sabar melihat penyelewengan yang terjadi karena Kabul sadar

bahwa dirinya hanyalah orang kecil yang tidak memiliki kekuasaan untuk

merubah keadaan. Tapi keinginan Kabul untuk memberikan mutu yang

terbaik bagi masyarakat membuatnya kuat terhadap cobaan yang

dihadapinya.

e. Budi Luhur

Budi luhur yaitu apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan

hidupnya dengan segala tabiat dan watak serta sifat-sifat yang dimiliki

Tuhan Yang Maha Mula, seperti kasih sayang kepada sesamanya, suci,

adil, dan tidak membeda-bedakan tingkat derajat : besar, kecil, kaya,

miskin, semua dianggap sebagai saudara sendiri, tanpa menghilangkan

tata krama dan tata susilanya. Semua hanya dapat dilaksanakan apabila

keempat sifat diatas telah dikuasainya.

Prinsip mempertahankan kerukunan, yang terdapat dalam novel Donyane

Wong Culika karya Suparto Brata tampak pada kutipan berikut ini :

“… Aku metu saka tentara kanthi rumangsa dosa. Dosa wis mateni bangsa dhewek. Sanajan kuwi wong komunis. Aku ora tega. Jarene mbelani paham, mbelani nasional, mbelani agama, mbelani komunis, nanging kok padha ora eling yen sing dimungsuhi kuwi ya bangsane dhewe. Mbok mbelani paham kuwi ora sah otot-ototan

46

Page 39: SASTRA.doc

bengkerengan kaya ngono kuwi!…Tujuan sing paling aji kuwi manunggale kekuwatan bangsa.”(Brata, 2004:149-150).

Dalam kutipan ini, Suparto Brata menegaskan salah satu nilai inti budi

luhur, yakni prinsip rukun; setiap individu berkewajiban menjaga

keselarasan sosial dan tidak dibenarkan bersikap dan bertindak egois-

indiviudal dan egois kelompok.

Lima pedoman di atas merupakan pedoman dasar bagi terselenggaranya

hubungan harmonis antara sesama manusia (secara horizontal), apabila

kelima pedoman dasar ini telah dilaksanakan dengan baik, maka setiap orang

harus melengkapi pedoman hidupnya dengan menjalankan trisila atau tiga

pedoman penting yang menjadi dasar terciptanya hubungan harmonis antara

manusia dan pencipta (hubungan vertikal).

Menurut Budiyono (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:27) tri sila

merupakan pedoman pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia,

dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan cipta manusia di

dalam menyembah Tuhan. Adapun isi dari tri sila adalah sebagai berikut :

a. Eling/Sadar

Eling/sadar yaitu sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha

Tunggal. Yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Tunggal adalah

kesatuan dari ketiga sifat yaitu : Suksma Kawekas atau Allah Ta’ala,

47

Page 40: SASTRA.doc

Suksma Sejati atau Rosulullah dan Roh Suci atau jiwa manusiayang sejati

ketiganya disebut dengan Tri Putusa. Dengan selalu sadar terhadap Tuhan

maka manusia akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat memisahkan

yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang yang bukan, serta yang

berubah dan yang tidak berubah.

b. Pracaya/Percaya

Pracaya/percaya ialah percaya terhadap Suksma Sejati atau utusan-Nya,

yang disebut Guru Sejati dan berartipula percaya kepada jiwa pribadinya

sendiri serta kepda Allah, karena ketiganya adalah Tri Purusa tadi.

c. Mituhu

Mituhu ialah setia kepada Allah dan selalu melaksanakan segala perintah-

Nya yang disampaikan memalui utusan-Nya.

Pedoman-pedoman hidup diatas adalah sangat penting bagi manusia, tidak

terkecuali bagi masyarakat Jawa. Sebab pedoman-pedoman tersebut dapat

digunakan sebagai senjata ampuh untuk melawan dan mengendalikan empat

nafsu yang berada dalam diri manusia. Sebenarnya, siang dan malam, nafsu

yang berada dalam diri kita senantiasa berperang merebutkan kejayaan,

meraih kursi terbanyak, dan tempat dominan di hati kita, sehingga bisa

mempengaruhi sifat, sikap, inisiatif, dan tingkah laku kita sehari-hari.

48

Page 41: SASTRA.doc

B. Kerangka Pikir

Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

pengarang dalam menceritakan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia

baik perbuatan lahir maupun batin. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil

pamikiran, seni, dan kreativitas manusia dalam kehidupan dengan memanfaatkan

bahasa sebagai medianya. Manusia akan menggunakan budi dan dayanya untuk

merealisasikan suatu hal ke dalam bentuk karya sastra. Maka cerita rekaan dapat

melukiskan, menggambarkan, dan mencerminkan suatu kenyataan yang ada

dalam kehidupan. Cerita dalam novel mengandung nilai-nilai yang sangat

bermutu dan bermanfaat bagi para penikmatnya.

Novel sendiri merupakan struktur yang kompleks. Oleh Karena itu, perlu

dianalisis untuk memahaminya. Di dalam unsur-unsur struktur itu ada koherensi

atau perbuatan yang erat. Unsur-unsur itu tidaklah dapat berdiri sendir, melainkan

merupakan bagian dari situasi yang rumit.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti dalam objek penelitian ini

melakukan analisis struktur terlebih dahulu untuk memahami makna dalam novel

tersebut. Dalam melakukannya peneliti terlebih dahulu membaca keseluruhan isi

novel, kemudian malakukan analisis unsur-unsur instrinsik yang terkandung

dalam novel tersebut yang meliputi tema, penokohan, latar dan alur. Untuk

membantu dalam penelitian ini, penulis juga melakukan studi pustaka yang

49

Page 42: SASTRA.doc

relevan. Hal ini dilakukan guna untuk memperoleh data-data yang relevan dalam

penelitian berdasarkan teori-teori ahli. Tekhnik ini digunakan untuk

mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian.

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif. Novel yang

dijadikan objek penelitian dianalisis sesuai dengan keadaan novel tersebut

berdasarkan teori yang ada, kemudian dideskripsikan sesuai dengan tujuan

penelitian. Dimana tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan kajian moral

masyarakat Jawa dalam novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih, yang

meliputi : rila, narima, temen, watak/sabar, dan budi luhur. Adapun kerangka

pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut :

50

Page 43: SASTRA.doc

Gambar II. Bagan Kerangka Pikir

51

Novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih

Unsur Intrinsik

1. Tema

2. Tokoh

3. Latar (setting)

4. Alur

Kajian Moral Masyarakat Jawa Dalam Novel Hati Sinden Karya Dwi

Rahyuningsih, yang meliputi :

1. Rila

2. Narima

3. Temen

4. Watak/Sabar

5. Budi Luhur