Upload
abu-hanifah
View
220
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
SASTRA
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Sastra
Berbicara mengenai sastra, Jakob Sumardjo dan Saini K.M. (1988:3)
berpendapat bahwa sastra adalah “ungkapan pribadi manusia yang berupa
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu
bentuk konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.” Sebagai
karya seni, karya sastra merupakan produk budaya yang mengutamakan
keindahan. Sementara itu, Endah Tri Piyatni (2010:12) berpendapat bahwa
“sastra adalah pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner
atau fiksi.”
Menurut Teew (dalam Ratna 2011:4) “sastra berasal dari bahasa Sanskerta,
yaitu “sas” berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi.
Akhiran “tra” berarti alat, sarana.” Jadi, secara leksikal sastra berarti
kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pelajaran yang baik.
Dalam perkembangan berikutnya kata sastra sering dikombinasikan dengan
awalan “su”, sehingga menjadi susastra yang diartikan sebagai hasil ciptaan
yang baik dan indah, sastra sendiri memiliki banyak definisi menurut sudut
pandang masing-masing.
9
Faruk (2010:41) mengemukakan sastra dipahami sebagai bahasa tertentu yang khusus, yang berbeda dari bahasa pada umumnya, apa yang disebut sebagai susastra sering kali diartikan sebagai bahasa yang indah, bahasa yang berirama, yang mempunyai pola-pola bunyi tertentu seperti persajakan, ritme, asonansi, aliterasi, dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan
suatu hasil karya kreatif manusia berupa tulisan, yang berdasarkan pemikiran,
perasaan, ide atau semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit
dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Sastra sendiri dalam bentuknya terbagi menjadi dua, yaitu sastra imajinatif
dan non-imajinatif. Novel merupakan salah satu perwujudtan dari sastra
imajinatif. Dalam novel sendiri banyak pengarang yang menggambarkan
kehidupan manusia dalam hasil kreatif si pengarang.
2. Pengertian Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang tertulis dan naratif; biasanya
dalam bentuk cerita. Novel cenderung jauh lebih kompleks dalam strukturnya
dari pada cerita pendek (cerpen). Penulis novel disebut novelis. Kata novel
berasal dari Latin novellus yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru.
Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya
seperti drama, puisi dan lainnya, maka jenis novel ini muncul kemudian.
Tarigan (1984:164) “bentuk sastra ini paling banyak dicetak dan paling
banyak beredar, lantaran daya komunitasnya yang luas pada masyarakat.”
10
Dalam bahasa Italia kata novel berasal dari kata novella yang secara harfiah
berarti “sebuah barang baru yang kecil”, kemudian diartikan sebagai “cerita
pendek dalam bentuk prosa.” Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:9).
Sejalan dengan pendapat di atas Atar Semi (1988:32) berpendapat bahwa
“novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek
kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan secara halus.” Selanjutnya
dalam KBBI (2007:788) “novel merupakan karangan prosa yang panjang,
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di
sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.”
Novel juga menyediakan media yang sangat luas, sehingga pengarang
memiliki kemungkinan yang seluas-luasnya untuk menyampaikan pesan.
Stanton (2007:90) mengemukakan bahwa “novel dituliskan dalam skala yang
besar, sehingga mengandung satuan-satuan organisasi yang lebih luas.”
Sejalan dengan pendapat di atas, Sugihastuti (2010:43) mengemukakan novel
merupakan “struktur yang bermakna, novel tidak sekedar merupakan
serangkain tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan
struktur pikiran yang tersusun dari unsur-unsur yang padu.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel
adalah suatu karangan prosa yang panjang dan mengandung nilai kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya yang mengisahkan sisi utuh
11
problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh yang di awali
dari kemunculan permasalahan hingga tahap penyelesaian dan disajikan
secara halus.
3. Ciri-ciri Novel
Novel sebagai salah satu hasil karya sastra, memiliki ciri khas tersendiri bila
dibandingkan dengan karya sastra yang lain. Dari segi jumlah kata maupun
kalimat, novel lebih mengandung banyak kata dan kalimat, sehingga dalam
proses pemaknaannya relatif jauh lebih mudah daripada memaknai sebuah
puisi yang cenderung mengandung beragam bahasa kias. Hal tersebut di
tegaskan oleh Nurgiyantoro (2007:11) yang menyebutkan beberapa ciri novel,
diantaranya :
a. Novel itu memiliki bentuk cerita yang lebih panjang dan jumlah halaman berjumlah ratusan halaman.
b. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas.c. Cerita yang disajikan lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih
banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks.
Sejalan dengan pendapat di atas, Semi (2004:32) menyebutkan beberapa ciri-ciri dari novel yaitu : a) novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada saat tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas, b) novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan bahasa yang halus, c) novel diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan yang lebih tegas.
Berbeda dengan pendapat tersebut, H.G. Tarigan (2011:173) menjelaskan
bahwa novel dibagi atas beberapa ciri, yaitu :
12
a. Novel jumlah katanya mencapai lebih dari 35.00 kata.b. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman kuarto.c. Jumlah waktu rata-rata yang digunakan untuk membaca yang paling
pendek diperlukan waktu 2 jam.d. Novel tergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu pelaku.e. Novel menyajikan lebih dari efek artinya banyak pengaruh serta kesan
yang ditimbulkan sebuah karya sastra novel terhadap pikiran pembaca.f. Novel menyajikan lebih dari satu impresi artinya bahwa sebuah karya
sastra novel itu tidak hanya menceritakanvsatu peristiwa ataupun satu karakter tokoh melainkan beberapa tokoh.
g. Novel menyajikan lebih dari satu emosi.h. Skala novel lebih luas.i. Seleksi dalam novel lebih luas.j. Kelajuan dalam novel kurang cepat.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri novel yaitu
memiliki cerita yang pajang, terdiri dari minimal 35.000 kata, memiliki
halaman yang ratusan serta mengemukan sesuatu secara bebas, menyajikan
permasalahan yang lebih komplek, dan isi dalam novel lebih rinci serta lebih
detail dibandingkan karya sastra yang lainnya.
4. Unsur-unsur Novel
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:22) “sebuah novel merupakan sebuah
totalitas, suatu keseluruhan yang bersifat artistik.” Berdasarkan pengertian
tersebut dapat dikatakan bahwa sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai
bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya
secara erat dan saling menggantungkan. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Unsur instrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam, sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada diluar
13
karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
sistem organisasi karya sastra.
a. Unsur Intrinsik
Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek
kolektif. Oleh karena itu, karya sastra memiliki struktur yang koheren dan
terpadu. Konsep struktur karya sastra berbeda dengan konsep struktur
yang umum dikenal. Tiap unsur dalam situasi tertentu tidak mempunyai
arti dengan sendirinya, melainkan ditentukan berdasarkan hubungan
unsur-unsur lain yang terlibat dalam situasi itu sendiri. Unsur-unsur yang
dimaksud ialah unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur instrinsik merupakan unsur yang membangun sebuah karya sastra
dari dalam, yang meliputi : tema, penokohan, alur atau plot, latar (setting),
sudut pandang (pusat pengisahan), gaya bahasa, dan amanat. Sedangkan
unsur ekstrinsik yang menitikberatkan karya sastra dan hubungannya
dengan pengarang, pembaca, dan lingkungan akan lebih banyak
berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan. Oleh karena
itu, untuk mengetahui makna-makna tersebut, dalam analisis sebuah novel
haruslah melakukan analisis unsur-unsur pembangunnya untuk memahami
isi di dalamnya.
14
Menurut Damono (2010:10) “pendekatan instrinsik dilakukan jika peneliti
memisahkan karya sastra dari lingkungannya.” Dalam pendekatan ini,
karya sastra dianggap memiliki otonomi dan bisa dipahami tanpa harus
mengaitkannya dengan lingkungannya seperti penerbit, pembaca, dan
penulisnya.
1) Tema
Tema menjadi salah satu unsur cerita rekaan yang memberikan
kekuatan dan sekaligus sebagai unsur pemersatu semua fakta dan
sarana cerita yang mengemukakan permasalahan kehidupan. Tarigan
(1984:125) menyatakan bahwa “tema merupakan hal yang penting
dalam sebuah cerita.” Suatu cerita yang tidak memiliki tema, tentu
tidak ada artinya. Meski pengarang tidak menyatakan bagaimana tema
yang di angkat dalam karyanya dan disampaikan secara eksplisit, tema
harus dapat dirasakan dan disimpulkan pembaca setelah selesai
membaca karya sastra tersebut. Hal ini diperjelas dengan pendapat
Sugihastuti (2010:45) menurutnya “tema dapat dirasakan pada semua
fakta dan sarana cerita pada sepanjang sebuah novel.”
Tema merupakan aspek cerita yang merupakan refleksi pengalaman
manusia. Pengalaman-pengalaman yang kita ingat biasanya memiliki
makna penting. Terkadang kita dihadapkan dalam beberapa hal,
15
seperti : cinta, derita, pendirian atau kejahatan. Oleh karena itu, tema
tidak dapat dipisahkan dari permasalahan kehidupan yang di rekam
oleh pengarang.
Pengarang tidak sekedar ingin menyampaikan sebuah cerita demi bercerita saja. Ada sesuatu yang dibungkusnya dengan cerita; ada suatu konsep sentral yang dikembangkan dalam cerita itu. Alasan pengarang hendak menyajikan cerita ialah hendak menyampaikan gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra itu yang disebut tema. Adanya tema membuat karya sastra lebih penting daripada sekedar bacaan hiburan. Sudjiman (1988:50).
Sejalan dengan pendapat di atas, Staton (dalam Sugihastuti, 2010:45)
tema adalah “makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan
sebagian besar unsurnya dengan cara sederhana.” Menurutnya tema
bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama. Dengan demikian,
tema dapat dipandang sebagai dasar cerita atau gagasan dasar umum
sebuah novel.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas, tema memberikan
kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang
diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang
paling umum. Apapun nilai yang terkandung di dalamnya, keberadaan
tema diperlukan karena menjadi salah satu bagian penting yang tidak
terpisahkan dengan kenyataan cerita.
16
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa tema
merupakan ide atau gagasan utama dalam sebuah karya sastra. Ide atau
gagasan tersebut dapat berupa pengalaman-pengalaman kehidupan
atau rangkaian-rangkaian nilai tertentu yang didukung oleh pelukisan
latar, dalam karya sastra yang lain tersirat dalam lakuan tokoh, atau
dalam penokohan.
Ada beberapa macam tema seperti yang diungkapkan Sudjiman
(1988:50) yaitu “tema yang sifatnya didaktis, pertentangan antara baik
dan buruk, tema yang eskplisit dan implisit, cinta, kehidupan,
keluarga, tema yang biasa dan tak biasa, dan tema konflik kejiwaan.”
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:77) “tema dapat digolongkan
menjadi beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana
penggolongan itu dilakukan.” Penggolongan ini dilakukan berdasarkan
tiga sudut pandang yaitu penggolongan dikotomis yang bersifat
tradisional dan nontradisional, penggolongan dilihat dari tingkat
pengalaman jiwa dan penggolongan tingkat keutamaannya, tema
tradisional di maksudkan dalam berbagai cerita termasuk cerita lama.
Sementara itu Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:80)
membedakan tema-tema karya sastra ke dalam lima tingkatan
berdasarkan pengalaman jiwa, yang disusun dari tingkatan yang paling
17
sederhana, tingkatan tumbuhan dan makhluk hidup, ke tingkat yang
paling tinggi yang hanya dapat dicapai oleh manusia. Kelima
tingkatan yang dimaksud adalah :
a) Tema Tingkat Fisik
Tema karya sastra tingkat fisik, lebih menyaran atau ditunjukkan
oleh banyak aktivitas fisik daripada kejiwaan. Tema ini lebih
menekankan pada mobilitas fisik daripada konflik kejiwaan tokoh
cerita yang bersangkutan.
b) Tema Tingkat Organik
Tema karya sastra tingkat organik, lebih banyak menyangkut dan
atau mempersoalkan masalah seksualitas, suatu aktifitas yang
hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
c) Tema Tingkat Sosial
Tema karya sastra tingkat sosial, menyangkut tentang kehidupan
bermasyarakat, yang merupakan tempat aksi interaksinya manusia
dengan sesama dan dengan lingkungana lam, mengandung banyak
permasalahan konflik, dan lain-lain. Masalah itu antara lain berupa
masalah ekonomi, kebudayaan, perjuangan, cinta kasih,
propaganda, dan berbagai masalah serta hubungan sosial lainnya.
d) Tema Tingkat Egoik
18
Tema karya sastra tingkat egoik lebih mengetengahkan tentang
reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh
sosial. Masalah individualitas itu antara lain berupa masalah
egoisitas, martabat, harga diri, atau sifat dan sikap tertentu manusia
yang pada umumnya lebih bersifat batin.
e) Tema Tingkat Divine
Tema karya sastra tingkat divine lebih banyak mempermasalahkan
hubungan manusia dengan Sang Pencipta, masalah religiositas,
atau berbagai masalah yang bersifat filosof lainnya, seperti
pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
2) Latar
Dalam analisis novel, latar (setting) merupakan unsur yang sangat
penting pada penentuan estetika karya sastra. Latar dalam karya sastra
khususnya dalam novel merupakan bagian yang mendukung masalah
tema, alur, dan penokohan. Oleh karena itu, latar merupakan salah satu
fakta cerita yang harus dianalisis.
Menurut Atar Semi (1988:46) mendefinisikan “latar (setting) adalah
lingkungan tempat peristiwa terjadi”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:216) bahwa latar (setting) yang disebut juga sebagai landas
19
lampu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar (setting) yang disebut sebagai landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peritiwa yang diceritakan. Hal tersebut diperjelas
oleh pendapat Kenney (dalam Sugihastuti, 2010:54) yang
mengungkapkan bahwa :
Latar meliputi penggambaran lokasi geografis, termasuk pemandangan, sampai perlengkapan sebuah ruangan; pekerjaan atau kesibukan sehari-hari tokoh; waktu berlakunya kejadian, masa sejarahnya, musim terjadinya; lingkungan agama, moral, intelektual, sosial, dan emosi para tokoh.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa latar
(setting) adalah keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana
terjadinya lakuan di dalam sebuah karya sastra.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:227) “unsur latar (setting) dapat
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan
sosial”. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataanya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan
yang lainnya. Pelukisan latar yang jelas akan membantu pembaca
20
berimajinasi dan memberikan efek atau kesan bahwa cerita itu benar-
benar ada dan terjadi.
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang
diceritakan dalam sebuah fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, atau
lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Tempat-tempat yang bernama
adalah tempat yang dijumpai dalam dunia nyata. Penggunaan latar
tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan, atau
paling tidak bertentangan sifat dan keadaan geografis tempat yang
bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristik
tersendiri yang membedakan dengan tempat-tempat umum.
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah fiksi. Masalah
“kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu
yang kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
Pengangkatan unsur sejarah dalam karya fiksi akan menyebabkan
waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat
menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu
yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita.
21
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai
masalah dalam lingkungan yang cukup kompleks. Ia dapat berupa
kebiasaan hidup, cara berpikir, bersikap, dan lain-lain. Selain itu, latar
sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas.
3) Tokoh dan Penokohan
Cerita rekaan pada dasarnya mengisahkan seseorang atau beberapa
orang yang menjadi tokoh. Yang dimasud dengan tokoh cerita adalah
“individu rekaan yang mengalami peristiwa atau perlakuan di dalam
berbagai peristiwa cerita.” (Sudjiman dalam Sugihastuti, 2010:50).
Dalam membicarakan sebuah karya fiksi, sering digunakan istilah-
istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan atau
karakter dan karakterisasi secara bergantian hingga merujuk kepada
pengertian yang hampir sama.
Tokoh menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro 2010:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
22
Sementara itu Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:165)
mendefinisikan “penokohan sebagai pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.” Tokoh
cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai
amanat, moral atau sesuatu yang ingin disampaikan kepada pambaca.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa tokoh cerita
merupakan orang-orang ditampilkan dalam cerita dan tokoh-tokoh
tersebut dilengkapi dengan watak dan karakteristik yang berbeda-beda.
Dari watak itulah setiap tokoh mempunyai kualitas yang berbeda yang
berbeda pula. Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita pun
memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang memiliki
peranan yang sangat penting karena pemunculannya hanya
melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama yang disebut dengan
tokoh tambahan atau pembantu.
Burhan Nurgiyantoro (2007:176) menyatakan bahwa tokoh-tokoh
cerita dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa
jenis, yaitu “tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan
antagonis, tokoh sederhana dan bulat, tokoh statis dan tokoh
berkembang, tokoh tipikal dan netral.”
a) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
23
Tokoh utama (central character atau main character) yaitu tokoh
yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.
Tokoh ini merupakan yang paling banyak diceritakan dan
senantiasa hadir dalam setiap kejadian. Tokoh tambahan
(peripheral character) yaitu tokoh yang pemunculannya sedikit,
tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama.
b) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Tokoh protagonis yaitu tokoh yang digambarkan sebagai hero-
tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai,
yang ideal bagi kita, menampilkan sesuatu yang sesuai dengan
pandangan dan harapan pembaca. Tokoh antagonis, yaitu tokoh
penyebab terjadinya konflik. Biasanya beroposisi secara langsung
dengan tokoh protagonis maupun tidak langsung, bersifat lahir dan
batin. Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis belum tentu
disebabkan oleh tokoh antagonis, mungkin juga disebabkan oleh
hal-hal yang berbeda di luar individualitas, misalnya bencana
alam, nilai-nilai sosial dan lain-lain.
c) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Tokoh sederhana (simple atau flat character), yaitu tokoh yang
hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat-watak yang
24
tertentu saja. Tokoh ini dapat saja melakukan berbagai tindakan,
namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada
perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu. Tokoh
Bulat (complex atau round character), yaitu tokoh yang hanya
memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya,
sisi keperibadiannya dan jati dirinya.
d) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Tokoh statis (static character) yaitu tokoh cerita yang secara
esansial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan
perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Tokoh berkembang (developing character) yaitu tokoh cerita yang
mengalami perubahan dan perkambangan perwatakan sejalan
dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang
dikisahkan.
e) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Tokoh tipikal (typical character) yaitu tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak
ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya. Tokoh netral
(neutral character) yaitu tokoh yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri. Tokoh netral merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup
dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini dihadirkan semata-
25
mata demi cerita atau bahkan dialah empunya cerita, pelaku cerita,
dan yang diceritakan.
Tokoh-tokoh cerita ini kemudian oleh penulis dihadirkan kepada
pembaca kedalam karya sastra dengan menggunakan tekhnik
ekspositori. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2007:195) tekhnik
ekspositori yaitu :
Tekhnik pelukisan tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian, atau penjelasan secara langsung, atau dengan menggunakan tekhnik dramatik, yakni tekhnik pelukisan tokoh dimana penulis membiarkan para tokoh cerita untuk menunjukan kediriannya sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakuakan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi.
Penokohan sangat erat kaitannya dengan seorang tokoh dalam karya
sastra. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini disebut
penokohan. Menurut Rosdiyanto (dalam Sumarti, 2007:101)
penokohan adalah “cara pengarang menggambarkan dan
mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.” Sementara itu
Mursal Esten (1989:28) menyatakan bahwa “penokohan yang berhasil
menggambarkan tokoh-tokoh tersebut yang memiliki tipe-tipe manusia
yang dikehendaki.”
Dari pendapat tersebut dapat dipahami, bahwa penokohan adalah
gambaran karakter tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
26
Pelukisan karakter tokoh yang berhasil menggambarkan tokoh dengan
tipe-tipe manusia yang dikehendaki dan memiliki daya yang
menghidupkan, menjiwai, dan mengindividualisasikan seorang tokoh.
4) Alur
Dalam sebuah karya sastra rekaan, peristiwa-peristiwa disajikan
dengan urutan tertentu. “Peristiwa yang diurutkan itu membangun
tulang punggung cerita, yaitu alur.” Sudjiman (dalam Sugihastuti,
2010:46). Sementara itu, (Bulton dalam Sugihastuti, 2010:46)
“mengibaratkan alur sebagai rangka dalam tubuh tubuh manusia, tanpa
rangka tubuh tidak akan berdiri.”
Menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2007:113)
mendefinisikan “plot atau alur merupakan peristiwa-peristiwa yang
yang ditampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena
pengarang menyusun peristiwa itu berdasarkan urutan kausalitas.”
Sedangkan Luxemburg (1992:149) menyatakan bahwa alur ialah
“konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa
yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang
diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.” Sejalan dengan pendapat
tersebut, Priyatni (2010:112) mengatakan bahwa “alur merupakan
rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat.”
27
Dari beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
disebut dengan alur yaitu rentetan atau sederetan peristiwa yang terjadi
di dalam sebuah cerita fiksi yang dibangun berdasarkan pandangan
pembaca itu sendiri dan masih memiliki keterkaitan sebagai hubungan
sebab-akibat. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti
tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang
mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keterpengaruhan. Alur
memiliki hukum-hukum sendiri, alur hendaknya memiliki bagian
awal, tengah, dan akhir yang nyata, menyakinkan dan logis dapat
menciptakan bermacam kejutan dan memunculkan sekaligus
mengakhiri ketegangan-ketegangan.
Burhan Nurgiyantoro (2010:142) menyatakan, secara teoritis tahapan
sebuah plot sebagai berikut :
a) Tahap Awal
Tahap awal sering disebut tahap perkenalan. Pada umumnya berisi
sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal
yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya, misalnya berupa
penunjukkan atau pengenalan latar seperti nama-nama tempat,
suasana alam, dan waktu kejadian (pendeskripsian setting). Pada
tahap ini tokoh di perkenalkan, baik deskripsi fisik atau sedikit
28
disinggung perwatakannya. Jadi fungsi utama tahap awal yaitu
untuk mendeskripsikan latar dan penokohan.
b) Tahap Tengah
Tahap tengah disebut juga tahap pertikaian atau tahap komplikasi.
Konflik-konflik yang sudah mulai muncul dibagian awal cerita
menjadi semakin meningkat.
c) Tahap Akhir
Tahap akhir disebut juga tahap peleraian, menampilkan adegan-
adegan tertentu sebagai akibat klimaks, tahap ini disebut dengan
denoument atau penyelesaian. Tahap ini berisi bagaimana akhir
sebuah cerita, penentuan nasib seorang tokoh.
Sementara itu Montage dan Henshaw (dalam Priyatni, 2010:113)
menjelaskan bahwa tahapan dalam alur tersusun sebagai berikut :
a) Exposition
Exposition yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat
terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang
mendukung cerita.
b) Inciting Force
Inciting Force adalah tahapan saat timbulnya kekuatan, kehendak,
maupun perilaku bertentangan.
29
c) Rising Action
Rising Action adalah situasi yang memanas karena pelaku-pelaku
dalam cerita konflik.
d) Crisis
Critis adalah situasi yang semakin panas karena para pelaku dalam
cerita mulai berkonflik dan para pelaku sudah diberi gambaran
nasib oleh pengarangnya.
e) Climax
Climax adalah situasi puncak karena konflik berada dalam kadar
yang paling tinggi, sehingga para pelaku mendapatkan kadar
nasibnya sendiri-sendiri.
f) Falling Action
Falling Action adalah kadar konflik yang sudah menurun, sehingga
ketegangan dalam cerita sudah mudah mulai mereda sampai
menuju conclusion atau penyelesaian cerita.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Loban (dalam Priyatni, 2010:113)
mengatakan bahwa “tahapan-tahapan alur itu melingkupi eksposisi,
komplikasi, klimaks, resolusi, dan denoument.” Untuk lebih jelasnya,
Sudjiman menggambarkan tahapan alur tersebut sebagai berikut :
30
Gambar 1. Urutan Tahapan-tahapan Alur Novel
(Sudjiman, dalam Priyatni 2010 : 114)
b. Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik adalah unsur pembentuk cerita yang berasal dari luar
karya sastra, seperti karya sastra dengan lingkungan, pengarang, pembaca,
dan penerbitnya. Selain itu, unsur ekstrinsik juga lebih banyak
berkonsentrasi pada peristiwa dan sudut pandang penceritaan.
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2010:23) “unsur ekstrinsik novel adalah
unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak
langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme novel.” Sejalan
dengan pendapat tersebut, Wellek dan Warren (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2007:24) menyatakan bahwa unsur yang dimaksud antara
lain adalah “subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
31
Awal
Tengah
Akhir
1. Paparan (Eksposition)
2. Rangsangan (Inchiting Force)
3. Gawatan ((Rising Action)
4. Tikaian (Conflict)
5. Rumitan (Complication)
6. Klimaks (Climax)
7. Leraian (Falling Action)
8. Selesaian (Denoument)
keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan mempengaruhi
karya yang ditulisnya.” Pendek kata, unsur sosiologi, biografi pengarang,
keadaan lingkungan ekonomi, sosial dan budaya dapat menentukan ciri
karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain
misalnya pandangan hidup suatu bangsa.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
unsur ekstrinsik adalah unsur yang secara tidak langsung mempengaruhi
pembangunan hasil karya sastra yang dihasilkan karena melibatkan sudut
pandang pengarang yang meiliki perbedaan lingkungan ekonomi, sosial
dan budaya.
5. Pengertian Moral
Moral berasal dari kata Latin mores, yaitu jamak dari kata mos yang berarti
adat kebiasaan. Menurut Abuddin Natta, (dalam Muhammad Zairul Haaq,
2011:21) “moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan
terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar
atau salah.” Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut
bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah
lakunya baik.
Poerwadarminta (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:21) mengatakan
bahwa “moral mempunyai ajaran tentang baik buruknya perbuatan, kelakuan,
32
akhlak, dan kewajiban.” Di samping itu, moral juga juga berarti kesusilaan
yang terbentuk dari kata sila berasal dari bahasa Sanskerta dan mempunyai
arti berbagai ragam. Sedangkan Sunoto (dalam Muhammad Zaairul Haq,
2011:21) mengatakan bahwa “moral berasal dari kata mores yang berarti adat
istiadat, ialah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh
kedalam.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa moral
merupakan ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan manusia
mengenai akhlak, budi pekerti, kewajiban, dan sebagainya.
Moral merupakan suatu ajaran tentang aturan baik dan buruk yang diterima
oleh masyarakat umum mengenai perbuatan manusia. Jadi kata moral selalu
mengacu pada baik atau buruknya sifat manusia baik dari sifat perbuatan,
kelakuan dan akhlak yang terdapat dalam diri manusia.
Aspek moralitas misalnya, yang menyangkut nilai-nilai baik buruk, benar
salah. Aspek ini memang tidak kelihatan seperti aspek kekerasan, tapi menjadi
aspek yang penting. Perilaku tertentu yang di masyarakat dianggap salah,
diberbagai media sastra ditampilkan begitu saja tanpa ada penekanan bahwa
perilaku itu salah.
Semi (1991:71) berpendapat bahwa moral mempunyai konsep dan kriteria
sebagai berikut :
33
a. Sebuah karya sastra yang benilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat umat manusia.
b. Masalah didaktis, yaitu pendidikan dan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah. Arah dimana pembaca dapat memetik nasehat dan suri tauladan dari tokoh-tokoh yang ada dalam karya sastra. Tentunya karya sastra tersebut dapat memperlihatkan lokoh-tokoh yang arif dan bijaksana dalam setiap langkahnya.
c. Pendekatan moral menghendaki sastra menjadi mediun perekam keperluan zaman yang memiliki semangat menggerakkan masyarakat ke arah budi pekerti yang terpuji.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa moral memegang peranan
dalam kehidupan. Baik buruknya bangsa tergantung dari baik buruknya moral
kehidupan masyarakat dan baik tidaknya suatu masyarakat bertolak dari
seberapa besar penerapan nilai-nilai moral dalam masyarakat.
6. Kajian Moral Masyarakat Jawa Dalam Sastra
Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikhotomi bentuk isi karya sastra
merupakan unsur isi. Moral merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang terkandung dalam
sebuah karya sastra, makna yang disarankan lewat cerita.
Moral kadang diidentifikasikan pengertiannya dengan tema walau sebenarnya
tidak selalu menyaran pada maksud yang sama. Moral dan tema, karena
keduanya merupakan sesuatu yang terkandung, dapat ditafsirkan, diambil dari
cerita, dapat dipandang sebagai memiliki kemiripan. Namun, tema bersifat
34
daripada moral di samping tidak memiliki nilai langsung sebagai saran yang
ditujukan kepada pembaca. “Moral dengan demikian dapat dipandang sebagai
salah satu wujud tema dalam bentuk yang sederhana, namun tidak semua tema
merupakan moral.” Kenny (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011321).
Ketika kita berbicara tentang sastra pastilah kita berbicara tentang nilai-nilai
estetis atau nilai keindahannya. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang moral
dalam karya sastra tentunya kita tidak hanya membicarakan nilai estetisnya
saja. Arti kata moral sendiri, berarti ajaran atau nilai baik buruknya yang
diterima umum mengenai perbuatan baik berbicara, bersikap dan bertindak.
Karya sastra yang baik disamping memiliki nilai estetis yang indah juga
memiliki makna akan suatu pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Disitu
jelas dikatakan “pesan kepada pembaca untuk berbuat baik”, kata tersebut
secara langsung menyinggung nilai-nilai baik dan buruk. Jadi, pesan tersebut
dinamakan “moral”, karena pesan tersebut mengajak pembaca untuk
menjunjung tinggi norma-norma moral. Oleh karena itu, karya sastra dianggap
sebagai sarana pendidikan moral. Karena karya sastra merupakan cerminan
dari kehidupan masyarakat.
Disinilah karya sastra secara tidak langsung mempelajari perihal masalah
manusia, seperti agama dan filsafat, meskipun hanya berbeda dalam hal
metode atau caranya saja, akan tetapi pada hakikatnya dengan tujuan yang
sama. Dimana dalam tujuannya baik sastra, agama ,dan filsafat sama-sama
35
sebagai sarana untuk menumbuhkan jiwa humanis pada manusia atau dalam
bahasa Germany disebut dengan Humanitat, yaitu jiwa yang halus, manusiawi
dan berbudaya. Oleh karena itu, karya sastra muncul atau terlahir tidak hanya
dinikmati dari nilai-nilai estetisnya, akan tetapi bertugas menghancurkan
kebobrokan moral untuk dapat membangun menuju ke arah pembinaan moral
manusia yang halus, manusiawi, dan berbudaya. Disitulah hubungan erat
antara sastra dengan moral. Tentunya karya sastra yang diharapkan adalah
sebuah karya sastra yang baik dimana memiliki kedua nilai diatas yaitu nilai
estetis dan etika yang baik. Untuk itu baik karya sastra, agama, dan filsafat
mengemban pula tugas untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab.
Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup seorang
pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran,
dan hal itulah yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Sebuah
karya sastra khususnya novel ditulis oleh pengarang untuk menawarkan model
kehidupan yang diidealkannya. “Karya sastra mengandung penerapan moral
dalam sikap dan tingkah laku para tokoh dengan pandangannya tentang
moral.” (Burhan Nurgiyantoro, 2002:321).
Karya sastra, fiksi, senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan
dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat
manusia. Sifat-sifat luhur kemanusiaan tersebut pada hakikatnya bersifat
universal. Artinya, sifat-sifat itu dimiliki dan diyakini kebenarannya oleh
36
manusia sejagad. Ia tidak hanya bersifat kesebangsaan, apalagi keseorangan,
walau memang terdapat ajaran moral-kesusilaan yang hanya berlaku dan
diyakini oleh kelompok tertentu. Sebuah karya fiksi yang menawarkan pesan
moral yang bersifat universal, biasanya akan mudah diterima kebenarannya
secara universal pula dan memungkinkan untuk menjadi sebuah karya yang
bersifat sublim, walau untuk yang disebut terakhir juga (terlebih) ditentukan
oleh berbagai unsur instrinsik yang lain.
Ajaran moral memuat pandangan tentang nilai norma moral yang terdapat di
antara sekelompok manusia. Norma moral adalah tentang bagaimana manusia
harus hidup supaya menjadi baik sebagai manusia. Kebaikan moral
merupakan kebaikan manusia sebagai manusia. Norma moral adalah tentang
bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi baik sebagai manuisa. Ada
perbedaan antara kebaikan moral dan kebaikan pada umumnya. Kebaikan
moral merupakan kebaikan manusia sebagai manusia, sedangkan kebaikan
pada umumnya merupakan kebaikan manusia dilihat dari satu segi saja,
misalnya sebagai suami atau isteri.
Masyarakat Jawa sering kali menyebut ajaran moral dengan istilah pepali, unggah-unggah, suba sita, tata krama, tata susila, sopan santun, budi pekerti, wulang wuruk, pranatan, pituduh, pitutur, wejangan, wulangan, wursita, wewarah, wedharan, duga prayoga, wewaler dan pitungkas, orang Jawa akan berhasil dalam hidupnya dalam bermasyarakat kalau dapat empan papan, kalau dapat menempatkan diri dalam hal unggah-ungguhing basa, kasar alusing rasa, dan jugar genturing tapa. Purwadi (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:23).
37
Persoalan penting bagi masyarakat Jawa dalam kehidupan ini adalah
mengenai moral. Pendidikan moral merupakan pendidikan yang tidak boleh
tidak (tan keno ora) wajib diajarkan kepada anak-anak atau keturunan mereka,
dengan maksud agar keturunan mereka kelak menjadi seseorang yang jalma
sulaksana atau wicaksana. Dari mulai lahir keturunan mereka telah diajari
tentang adanya Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Kuasa. Hal ini dibuktikan
dengan pengumandangan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri
bayi yang baru lahir sebagai bentuk pernyataan bahwa masyarakat Jawa
merupakan masyarakat ketuhanan. Selain itu mereka juga diajari cara
menguasai diri, cara bermeditasi (manekung) guna mendapatkan kecerahan
batin, dan pendidikan sopan santun, tata krama, dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan moral.
Manusia pada umumnya memiliki kesadaran moral. Mereka diberi kelebihan
untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, terdapat orang-orang yang kemudian terbawa oleh arus
hawa nafsunya sendiri. Oleh karena itu, orang-orang Jawa dahulu memberikan
pengajaran moral kepada keturunannya perihal menyikapi adanya nafsu dalam
diri setiap manusia.
Menurut Slamet Rohadi (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:25) dalam
masyarakat Jawa, manusia bisa dikatakan sudah bermoral apabila sudah
38
memegang teguh panca sila atau lima pedoman yang harus dimiliki seseorang
agar menjadi manusia terpuji. Kelima pedoman itu adalah sebagai berikut :
a. Rila
Rila merupakan bentuk keikhlasan hati sewaktu menyerahkan segala
miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan,
dengan tulus ikhlas, dengan mengingat bahwa semua itu ada di dalam
kekuasaan Tuhan dan tidak sepatutnya apabila berharap akan
mendapatkan hasil dari perbuatannya, apalagi sampai bersedih hati atau
menggerutu terhadap semua penderitaan (kesengsaraan, tuduhan, fitnah,
kehilangan pangkat, kekayaan dan keluarga).
Rila dapat diartikan sebagai kerelaan untuk menyerahkan segala yang
dimiliki jika sewaktu-waktu diambil oleh Tuhan. Rila berarti
mengharapkan sesuatu yang lebih baik sebagai penggantinya. Sikap rila
dalam novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari dapat dijadikan
sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik dalam kehidupan ini. Dalam
data berikut sikap rila ditunjukkan oleh tokoh Kabul yang rela jika
sewaktu-waktu harus kehilangan pekerjaannya. Kabul rela kehilangan apa
yang ada asal tidak mengkhianati kepercayaan masyarakat kepada dirinya.
“Tapi saya akan tetap bekerja sebaik-baiknya sejauh yang bisa saya lakukan. Saya tidak ingin mengkhianati keinsinyuran saya. Namun kalau keadaan di dunia perproyekan masih seperti ini, rasa-rasanya inilah proyek saya yang terakhir.”(B/RLA/02.78)
39
Dalam keadaan apa pun selama kita masih hidup dunia di dunia, sikap rila
pantas untuk dimiliki bahkan dalam hal pekerjaan. Sikap rila membuat
seseorang tidak terikat dengan prestasi yang dimilikinya melainkan
membuat seseorang terbebas darinya, dalam arti tidak selalu jabatan atau
apa pun yang berharga yang dimilikinya dijadikan sebagai acuan dalam
hidupanya justru dengan jabatan atau harta seseorang dapat ikhlas memilki
dan sadar bahwa itu hanyalah titipan-Nya.
Rila pada diri seseorang dapat terjadi jika seseorang mendapatkan
kekecewaan, tekanan akibat keterikatan, perubahan yang harus dialami,
dan penderitaan yang selalu datang. Pada data berikut kekecewaan yang
dirasakan oleh Kabul membuatnya harus rila menerima kenyataan bahwa
dirinya harus kehilangan pekerjaannya.
“Pak Insinyur berhenti? Kenapa?”“Tidak apa-apa, Mak….”“Dia tadi bertengkar dengan Pak Dalkijo.”“Wah, gawat.”“Biasa, Mak. Pada dua orang pasti ada perbedaan. Dan karena ada perbedaan pendapat yang mendasar antara aku dan Pak Dalkijo, aku merasa lebih baik berhenti. Itu saja.”(B/RLA/01.202)
Pekerjaan yang telah digeluti oleh Kabul harus ditinggalkan karena telah
banyak membuat orang lain menderita. Pada data tersebut terlihat Kabul
ingin berhenti karena adanya perbedaan pendapat. Namun perbedaan
pendapat tersebut bukan sekedar perbedaan pendapat biasa, melainkan
40
Kabul tidak ingin profesi keinsinyurannya dikhianati. Oleh karena itu,
Kabul memutuskan untuk pergi. Kekecewaaan Kabul karena mutu
bangunan yang diberikan pada masyarakat membuatnya harus rela untuk
tidak memaksakan kehendaknya. Setelah memutuskan untuk tidak
melanjutkan pekerjaan tersebut, Kabul berharap bisa sekolah lagi dan
menjadi dosen sebagai bentuk penggantian yang lebih baik.
b. Narima
Narima banyak pengaruhnya terhadap ketrentaman di hati, jadi bukan
orang yang malas bekerja, tetapi yang merasa puas dengan nasibnya.
Apapun yang sudah terpegang di tangannya, dikerjakan dengan senang
hati, tidak loba dan ngangsa. Narima berarti tidak menginginkan milik
orang lain serta tidak iri hati terhadap kebahagiaan orang lain, maka dari
itu orang yang narima dapat dikatakan sebagi orang yang bersyukur
terhadap Tuhan.
Narima bagi orang Jawa dapat dijadikan sebagai bentuk pertahanan
terhadap kesusahan yang menimpa dirinya. Sikap narima tidak berarti
menyerah dengan keadaan atau menerima dengan pasrah, tetapi tetap
berusaha untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Pada data berikut
narima atas kesusahan membuat seseorang tetap berusaha.
“Bukan itu yang menyebabkan aku ingin menangis. Aminah mengingatkanku akan biyungnya, ya, biyung-ku dan Samad. Agar bisa menyelokahkan kami, Biyung tidak pernah menanak nasi tetapi
41
oyek, semacam thiwul. Biyung kami juga bertani kecil-kecilan sambil jualan klanthing dan gembus. Jadi aku, juga Samad adikku, adalah insinyur-insinyur gembus, insinyur oyek. Tidak lebih…”(B/NRM/01.103)
Narima ditunjukkan oleh tokoh Biyung yang hidup susah, tetapi tetap
berusaha agar anak-anaknya bisa tetap bersekolah. Narima yang
ditunjukkan oleh Biyung tersebut mengajarkan, walaupun hidup hanya
sebagai seorang petani, kita tidak boleh menyerah dengan kemiskinan
yang diderita. Biyung menerima keadaannya sebagai seorang petani dan
berjualan klanting dan gambus. Narima pada keadaan tersebut tidak
menyurutkan tekad agar anak-anaknya menjadi orang yang sukses.
c. Temen
Temen berarti menepati janji ucapannya sendiri, baik yang sudah diucapkan
maupun yang diucapkan dalam hati. Orang yang tidak menepati kata
hatinya berarti menipu dirinya sendiri, sedangkan kata hati yang telah
diucapkan padahal tidak ditepati, itu berarti kebohongan terhadap orang
lain.
Dalam data berikut sikap temen yang terdapat dalam novel Janji Para
Lelaki karya Saiful Ardi Imam, Adapun Labek/Sutan Mantari berjanji pada
Angkunya. Angkunya ini memiliki lapau (warung/tempat dagang) kain dan
seorang anak bernama Bulan. Berikut janji Labek/Sutan Mantari dalam
cerita novel :
42
“Labek, umur saya mungkin tidak panjang. Saya perlu bantuanmu,” Angkunya berbaring di tempat tidur. Wajah lelaki itu pucat. Pandangannya redup.”“Si Bulan hanya seorang diri. Dia tidak beradik berkakak. Saya ingin engkau mengurus lapau kain setelah saya meninggal. Saya minta engkau menikahi Bulan. Dengan begitu engkau bisa menyelamatkan anak dan harta saya. Si Bulan setuju dengan rencana ini. Dia menerima saja bagaimana baiknya.”Sutan Mantari tak mengira akan mendengar hal itu. Ia tak tahu menjawab apa. Andai hanya mengurus harta, ia siap. Tetapi, menikah dengan Bulan belum pernah dibayangkannya. Sikap kasar ibu si Bulan masih tersimpan dan membekas di hatinya. Ia takut kalau Bulan mewarisi sifat buruk ibunya. Bukankah buah jatuh tak jauh dari batangnya?“Labek, tolong jawab. Bila engkau tak bersedia, saya punya rencana lain. Ada orang lain yang akan saya minta tolong. Tapi, engkau masih kemenakan saya. Maukah engkau berjanji menjaga lapau dan anak saya?”Lilitan utang dan ancaman penjara mendesaknya membuat keputusan cepat.“Baik, Angku, saya berjanji. Saya akan menjaga anak dan lapau Angku.”
Labek/Sutan Mantari memang memiliki banyak hutang. Jatah waktunya
melunasi hutang telah habis. Dengan permohonan Labek/Sutan Mantari,
penagih hutang memberikan tambahan waktu pelunasan hutang. Namun,
jika Labek/Sutan Mantari tidak juga melunasi hutang, maka penjara siap
menanti. Permintaan Angkunya sebelum meninggal untuk mengelola
lapau tentu menjadi peluang bagi Labek/Sutan Mantari memiliki banyak
uang. Artinya, ia takkan merasa takut tidak bisa melunasi hutang.
Labek/Sutan Mantari pun berjanji pada Angkunya untuk mengurus lapau
dan menikahi Bulan, anak Angkunya.
43
d. Watak/Sabar
Watak/sabar merupakan tingkah laku yang terbaik yang harus dimiliki
oleh setiap orang. Semua agama menceritakan bahwa Tuhan mengasihi
orang kepada orang yang sabar. Sabar berarti momot, kuat terhadap segala
cobaan, tetapi bukan berarti puas putus asa, melainkan orang yang kuat
imannya, luas pengetahuannya, tidak sempit pandangannya sehingga
pantas untuk diumpamakan sebagai samudra pengetahuan, sahabat dan
musuh dianggap sama. Diibaratkan dengan samudera yang muat untuk
diisi apa saja dan tidak meluap walaupun diisi dari sungai manapun.
Kesabaran diumpamakan sebagai minimum jamu yang pahit sekali
rasanya, yang hanya kuat diminum oleh orang yang kuat pribadinya,
namun jamu tersebut menyehatkan kesedihan dan pernyakit.
Sabar yang dimiliki oleh seseorang merupakan buah dari kerelaan
terhadap apa yang sudah diusahakan dan menerima yang dimilikinya.
Sikap sabar dalam novel Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari
tergambar pada data-data berikut :
“Namun tidak seperti Dalkijo yang mendendam kemelaratan masa muda dengan membalasnya melalui hidup sangat pragmatis dan kemaruk. Kabul tetap punya idealisme dan sangat hemat. Proyek itu pun bagi Kabul harus dilihat dalam perspektif idealismenya, maka harus dibangun demi sebesar-besarnya kemaslahatan umum. Artinya harus sempurna dengan memanfaatkan setiap senanggaran sesuai dengan ketentuan yang semestinya.”(B/SBR/01.52-53)
44
Sabar yang ditunjukkan oleh Kabul atas perbuatan Dalkijo, manajer
perusahaan membuat Kabul tidak mudah hanyut perbuatan menyimpang.
Kesabaran yang dimilki Kabul menjadikan dirinya tetap bertanggung
jawab terhadap profesi yang ditekuninya. Sabar menghasilkan kehati-
hatian dalam tindakan yang dilakukan. Ia akan maju dengan berhati-hati,
karena sudah menjadi bijaksana karena pengalaman. Kabul tidak ingin
pembangunan jembatan yang dipercayakan terhadapnya rusak hanya
karena ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Kesabaran yang
dimiliki Kabul terhadap ulah Dalkijo membuatnya bijaksana dalam
mengambil keputusan dengan tidak ikut-ikutan memanfaatkan uang
proyek untuk kepentingan sendiri.
Kebijaksanaan dan kehati-hatian sebagai buah dari kesabaran yang
dimiliki oleh seseorang, juga dapat membuat seseorang tetap optimis pada
hasil yang akan diperoleh dari pekerjaan yang digeluti. Pada data berikut
kesabaran Kabul terhadap penyimpangan proyek membuatnya tetap
bertahan untuk memberikan yang terbaik bagi orang lain.
“Hal itu sangat ku sadari. Maka aku bilang, paling-paling aku hanya bisa mengurangi dampak kerakusan dan kekemarukan kuasa mereka terhadap warga desa ini.”“Ya, dan pada dasarnya aku pun sama. Aku tidak ingin mengambil tindakan tinggal glanggang colong playu. Aku ingin tahan sampai proyek ini selesai dengan baik dan bisa dipertanggungjawabkan mutunya kepada rakyat…”(B/SBR/02.94)
45
Kabul tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti untuk mengurangi
kebocoran dana yang terjadi dalam proyek. Namun Kabul tetap optimis
ingin menyelesaikan proyek pembangunan jembatan tersebut. Kabul
hanya bisa sabar melihat penyelewengan yang terjadi karena Kabul sadar
bahwa dirinya hanyalah orang kecil yang tidak memiliki kekuasaan untuk
merubah keadaan. Tapi keinginan Kabul untuk memberikan mutu yang
terbaik bagi masyarakat membuatnya kuat terhadap cobaan yang
dihadapinya.
e. Budi Luhur
Budi luhur yaitu apabila manusia selalu berusaha untuk menjalankan
hidupnya dengan segala tabiat dan watak serta sifat-sifat yang dimiliki
Tuhan Yang Maha Mula, seperti kasih sayang kepada sesamanya, suci,
adil, dan tidak membeda-bedakan tingkat derajat : besar, kecil, kaya,
miskin, semua dianggap sebagai saudara sendiri, tanpa menghilangkan
tata krama dan tata susilanya. Semua hanya dapat dilaksanakan apabila
keempat sifat diatas telah dikuasainya.
Prinsip mempertahankan kerukunan, yang terdapat dalam novel Donyane
Wong Culika karya Suparto Brata tampak pada kutipan berikut ini :
“… Aku metu saka tentara kanthi rumangsa dosa. Dosa wis mateni bangsa dhewek. Sanajan kuwi wong komunis. Aku ora tega. Jarene mbelani paham, mbelani nasional, mbelani agama, mbelani komunis, nanging kok padha ora eling yen sing dimungsuhi kuwi ya bangsane dhewe. Mbok mbelani paham kuwi ora sah otot-ototan
46
bengkerengan kaya ngono kuwi!…Tujuan sing paling aji kuwi manunggale kekuwatan bangsa.”(Brata, 2004:149-150).
Dalam kutipan ini, Suparto Brata menegaskan salah satu nilai inti budi
luhur, yakni prinsip rukun; setiap individu berkewajiban menjaga
keselarasan sosial dan tidak dibenarkan bersikap dan bertindak egois-
indiviudal dan egois kelompok.
Lima pedoman di atas merupakan pedoman dasar bagi terselenggaranya
hubungan harmonis antara sesama manusia (secara horizontal), apabila
kelima pedoman dasar ini telah dilaksanakan dengan baik, maka setiap orang
harus melengkapi pedoman hidupnya dengan menjalankan trisila atau tiga
pedoman penting yang menjadi dasar terciptanya hubungan harmonis antara
manusia dan pencipta (hubungan vertikal).
Menurut Budiyono (dalam Muhammad Zaairul Haq, 2011:27) tri sila
merupakan pedoman pokok yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia,
dan merupakan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan cipta manusia di
dalam menyembah Tuhan. Adapun isi dari tri sila adalah sebagai berikut :
a. Eling/Sadar
Eling/sadar yaitu sadar untuk selalu berbakti kepada Tuhan Yang Maha
Tunggal. Yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Tunggal adalah
kesatuan dari ketiga sifat yaitu : Suksma Kawekas atau Allah Ta’ala,
47
Suksma Sejati atau Rosulullah dan Roh Suci atau jiwa manusiayang sejati
ketiganya disebut dengan Tri Putusa. Dengan selalu sadar terhadap Tuhan
maka manusia akan dapat bersifat hati-hati hingga dapat memisahkan
yang benar dan yang salah, yang nyata dan yang yang bukan, serta yang
berubah dan yang tidak berubah.
b. Pracaya/Percaya
Pracaya/percaya ialah percaya terhadap Suksma Sejati atau utusan-Nya,
yang disebut Guru Sejati dan berartipula percaya kepada jiwa pribadinya
sendiri serta kepda Allah, karena ketiganya adalah Tri Purusa tadi.
c. Mituhu
Mituhu ialah setia kepada Allah dan selalu melaksanakan segala perintah-
Nya yang disampaikan memalui utusan-Nya.
Pedoman-pedoman hidup diatas adalah sangat penting bagi manusia, tidak
terkecuali bagi masyarakat Jawa. Sebab pedoman-pedoman tersebut dapat
digunakan sebagai senjata ampuh untuk melawan dan mengendalikan empat
nafsu yang berada dalam diri manusia. Sebenarnya, siang dan malam, nafsu
yang berada dalam diri kita senantiasa berperang merebutkan kejayaan,
meraih kursi terbanyak, dan tempat dominan di hati kita, sehingga bisa
mempengaruhi sifat, sikap, inisiatif, dan tingkah laku kita sehari-hari.
48
B. Kerangka Pikir
Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang
pengarang dalam menceritakan berbagai permasalahan dalam kehidupan manusia
baik perbuatan lahir maupun batin. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil
pamikiran, seni, dan kreativitas manusia dalam kehidupan dengan memanfaatkan
bahasa sebagai medianya. Manusia akan menggunakan budi dan dayanya untuk
merealisasikan suatu hal ke dalam bentuk karya sastra. Maka cerita rekaan dapat
melukiskan, menggambarkan, dan mencerminkan suatu kenyataan yang ada
dalam kehidupan. Cerita dalam novel mengandung nilai-nilai yang sangat
bermutu dan bermanfaat bagi para penikmatnya.
Novel sendiri merupakan struktur yang kompleks. Oleh Karena itu, perlu
dianalisis untuk memahaminya. Di dalam unsur-unsur struktur itu ada koherensi
atau perbuatan yang erat. Unsur-unsur itu tidaklah dapat berdiri sendir, melainkan
merupakan bagian dari situasi yang rumit.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti dalam objek penelitian ini
melakukan analisis struktur terlebih dahulu untuk memahami makna dalam novel
tersebut. Dalam melakukannya peneliti terlebih dahulu membaca keseluruhan isi
novel, kemudian malakukan analisis unsur-unsur instrinsik yang terkandung
dalam novel tersebut yang meliputi tema, penokohan, latar dan alur. Untuk
membantu dalam penelitian ini, penulis juga melakukan studi pustaka yang
49
relevan. Hal ini dilakukan guna untuk memperoleh data-data yang relevan dalam
penelitian berdasarkan teori-teori ahli. Tekhnik ini digunakan untuk
mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian.
Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif. Novel yang
dijadikan objek penelitian dianalisis sesuai dengan keadaan novel tersebut
berdasarkan teori yang ada, kemudian dideskripsikan sesuai dengan tujuan
penelitian. Dimana tujuan penelitian ini yaitu untuk mendeskripsikan kajian moral
masyarakat Jawa dalam novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih, yang
meliputi : rila, narima, temen, watak/sabar, dan budi luhur. Adapun kerangka
pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut :
50
Gambar II. Bagan Kerangka Pikir
51
Novel Hati Sinden Karya Dwi Rahyuningsih
Unsur Intrinsik
1. Tema
2. Tokoh
3. Latar (setting)
4. Alur
Kajian Moral Masyarakat Jawa Dalam Novel Hati Sinden Karya Dwi
Rahyuningsih, yang meliputi :
1. Rila
2. Narima
3. Temen
4. Watak/Sabar
5. Budi Luhur