Upload
dhita-anggraini-annisa
View
39
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PROSPEK PRODUK
A. Deskripsi Produk
Sampah semakin hari semakin banyak, padahal penguraiannya lebih lambat. Apalagi sampah plastik
yang umumnya sulit diuraikan mikroorganisme. Plastik sintetik (non-biodegradable) sangat berpotensi menjadi
material yang mengancam kelangsungan makhluk hidup di bumi ini. Plastik dan polimer banyak digunakan
masyarakat. Hampir setiap produk menggunakan plastik sebagai kemasan atau bahan dasar. Setiap tahun sekitar
100 juta ton plastik diproduksi dunia untuk digunakan di berbagai sektor industri. Kira-kira sebesar itulah
sampah plastik yang dihasilkan setiap tahun.
Limbah plastik merupakan salah satu permasalahan lingkungan di dunia. Kebutuhan plastik sebagai
kantong plastik, kemasan pangan atau barang semakin lama semakin meningkat. Hal tersebut karena plastik
memiliki keunggulan dibanding logam atau gelas, yaitu lebih ringan, harga murah, serta kemudahan dalam
pembuatan dan aplikasinya. Plastik konvensional yang masih sering digunakan saat ini berasal dari bahan
polimer sintesis yang terbuat dari petroleum atau gas alam yang sulit didaur ulang dan diuraikan oleh pengurai.
Ini dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan berupa pencemaran tanah, air, dan udara, serta penumpukan
sampah plastik.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik kegiatan dan kebutuhan manusia sebagian besar berhubungan
dengan plastik, seperti peralatan dapur, peralatan elektronik, peralatan makan, dan sebagainya. Plastik yang
sering kita gunakan pada umumnya merupakan barang yang berbahan dasar minyak bumi atau gas alam. Seperti
yang kita ketahui, kedua bahan alam tersebut tergolong sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
Menurut Asosiasi Plastik Indonesia, tahun 1998 kebutuhan plastik di Indonesia mencapai 900.000 ton,
tahun 2000 meningkat mencapai 1,5 juta ton/tahun. Saat ini penggunaan plastik ramah lingkungan di
Indonesia pada umumnya belum mengetahui (Sarbini, 2001).
Oleh sebab itu, perlu dicari alternatif bahan baku plastik pengganti minyak bumi dan gas alam
tersebut. Selain itu, masalah yang dihadapi dari plastik ini adalah mengenai limbahnya yang sulit diuraikan,
bahkan bisa memakan waktu ratusan tahun untuk menguraikannya. Bila plastik-plastik ini dibakar bisa
menyebabkan polusi udara, bila dibuang begitu saja justru bisa memicu terjadinya banjir. Ini merupakan
permasalahan lingkungan yang serius, mengingat semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia dan
semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat. Salah satu alternatif yang dapat diambil adalah dengan
memproduksi bioplastik.
Salah satu solusi pemecahan masalah ini adalah dengan mengganti bahan dasar plastik konvensional
tersebut menjadi bahan yang mudah diuraikan oleh pengurai, yang disebut dengan plastik biodegradable
(bioplastik). Jenis plastik biodegradable dapat mengalami penguraian yang lebih cepat dibandingkan dengan
plastik non-biodegradable, sehingga plastik biodegradable tidak akan mengganggu keseimbangan alam.
Keuntungan dari bioplastik ini sangat jelas, yaitu mengurangi limbah plastik yang semakin lama jumlahnya
semakin banyak. Keuntungan lain dari plastik biodegradable ketika dibuang ke alama yakni akan lebih
mempercepat kesuburan tanah yang diakibatkan terurainya plastik dengan membentuk unsur hara yang
dibutuhkan oleh tanah. Bioplastik dirancang untuk memudahkan proses degradasi terhadap reaksi enzimatis
mikroorganisme seperti bakteri dan jamur (Avella 2009).
Di beberapa negara maju, bahan plastik biodegradable sudah diproduksi secara komersial, seperti poli
hidroksi alkanoat (PHA), poli e-kaprolakton (PCL), poli butilen suksinat (PBS), dan poli asam laktat (PLA).
Namun, kebanyakan bahan baku untuk bahan plastik biodegradable masih menggunakan sumber daya alam
yang tidak diperbarui (non-renewable resources) dan tidak hemat energi. Dengan demikian, tentu
pengembangan bahan plastik biodegradable yang memanfaatkan bahan-bahan alam terbarui (renewable
resources) sangat diharapkan.
Beberapa negara maju seperti Jerman, Amerika dan Jepang telah mengembangkan produksi jenis
plastik biodegradable. Bahkan menurut Japan Biodegradable Platic Society produksinya akan mencapai 1/10
atau sekitar 1,2 juta ton dari total produksi palstik non biodegradable. Indonesia adalah negara yang sangat
potensial untuk dapat memproduksi plastik biodegradable dengan potensi sumber daya alam yang dimilikinya.
Salah satu jenis biopolimer yang telah dikembangkan adalah selulosa asetat. Biopolimer dari jenis ini dapat
dibuat dari raw material yang banyak mengandung senyawa kimia selulosa.
Tongkol jagung merupakan raw material yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi biopolimer
jenis selulosa asetat. Hal ini dikarenakan tongkol jagung banyak mengandung senyawa jenis selulosa. Tongkol
jagung merupakan biopolimer karbohidrat yang dapat terdegradasi secara mudah di alam dan bersifat dapat
diperbarui. Melihat komposisi limbah jagung sendriri yang ternyata banyak menagandung selulosa dan
hemiselulosa yang berpotensi untuk dimanfaatkan menjadi bentuk biopolymer jenis selulosa asetat.
Biopolymer selulosa asetat dapat diaplikasikan sebagai pembungkus atau kemasan produk makanan. Untuk
kurun waktu tertentu, produk makanan dalam kemasan dapat mengalami kerusakan akibat adanya
mikroorganisme khususnya bakteri yang tumbuh di dalamnya. (Sumari, 1995).
Pertumbuhan bakteri dalam kemasan produk makanan dapat dihambat apabila pembungkus atau
kemasan mengandung kitosan berfungsi sebagai anti bakteri. Untuk kitosan sendiri telah banyak
dimanfaatkan dalam bidang farmasi diantaranya sebagai anti mikrobia, anti inflamasi, antioksidan dengan
memecah radikal superoksida secara invitro. Selulosa asetat dan kitosan dapat dipadukan menjadi suatu
biopolimer yang dapat dijadikan pembungkus atau kemasan produk makanan dengan kemampuan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri, sehingga makanan yang terdapat dalam kemasan akan lebih
bertahan lebih lama.
Pemanfaatan tongkol jagung sebagai bioplastik merupakan salah satu solusi selain untuk melindungi
makanan dari bahan kimia juga dapat menjaga lingkungan karena dapat diketahui bioplastik dapat terurai
dengan mudah. Bioplastik terbuat dari bahan biotik, sehingga bahan banyak tersedia di alam. Namun
demikian bukan berarti bioplastik dari limbah jagung tidak memiliki kelemahan, salah satu
kelemahannya adalah harga bioplastik lebih mahal, mengingat pembuatannya yang relatif lama dan rumit,
selain itu sebelum adanya pemasaran yang baik, sehingga tidak banyak dikenal masyarakat.
B. Ketersediaan Bahan Baku
Jagung tersebar di Indonesia pada berbagai kawasan dari Sumatera Utara, SumateraSelatan, Lampung,
Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nusa Tenggara, Sulawesi Utara dan Selatan sampai Maluku. Daerah Jawa Timur
merupakan produsen utama jagung, sekitar 40 persen dari hasil nasional.
Di Indonesia, jagung merupakan komoditas pangan dengan tingkat permintaan yang terus meningkat.
Badan Pusat Statistik (2008) memperkirakan pada tahun 2008 produksi jagung pipil kering di Indonesia
sebanyak 14.854.050 ton. Jumlah ini dihasilkan oleh propinsi -propinsi penghasil jagung terbesar seperti Jawa T
imur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, NTT, dan Gorontalo. Pada industri jagung
pipil, akan dihasilkan limbah organik antara lain adalah limbah tongkol jagung.
Tongkol jagung mengandung selulosa sekitar 44, 9 %. Jika umumnya jagung mengandung kurang
lebih 30 % tongkol jagung, jumlah tongkol jagung di Indonesia pada tahun 2008 adalah sebanyak 6.366.021 ton.
Padahal, setelah pemipilan biji, tongkol jagung dibuang dan menjadi limbah. Hal tersebut tentu saja akan
menambah jumlah limbah tidak bermanfaat yang merugikan lingkungan jika tidak ditangani dengan benar.
Tongkol jagung merupakan limbah pertanian yang dihasilkan dari proses pemipilan jagung.
Menurut Koswara (1991) bobot tongkol jagung sekitar ± 30% dari bobot total yang besarnya
dipengaruhi oleh varietas jagungnya, sedangkan sisanya adalah kulit dan biji jagung. Peningkatan
produksi jagung dari tahun 2005 ke 2009 adalah sebesar 11.58% yaitu dari 12 juta ton menjadi 19.44
Juta ton. Peningkatan produksi jagung pipil ini menyebabkan peningkatan juga pada hasil-hasil samping
dalam bentuk tongkol jagung. Jika dikonversi terhadap produksi jagung maka ketersediaan tongkol jagung
pada tahun 2009 sekitar 4.9 juta ton atau sekitar 5.1 juta ton, tahun 2010 (Richana et al., 2004).
C. Nilai Tambah Tinggi
Tongkol jagung diperoleh dari proses pemipilan jagung. Setelah pemipilan biji, tongkol jagung dibuang
dan menjadi limbah. Hal tersebut tentu saja akan menambah jumlah limbah tidak bermanfaat yang merugikan
lingkungan jika tidak ditangani dengan benar. Tongkol jagung mengandung sekitar selulosa 40%, hemiselulosa
36%, lignin 16%, dan lan-lain 8%.
Pemanfaatan limbah jagung, dalam hal ini tongkol jagung masih sangat terbatas. Kebanyakan
tongkol jagung hanya dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, atau pengganti kayu bakar ataupun media
untuk budidaya jamur. Biomassa tongkol jagung merupakan sampah yang sejauh ini masih belum banyak
dimanfaatkan menjadi produk yang memiliki nilai tambah ( added value). Tongkol jagung dapat dimanfaatkan
untuk menjadi produk berpotensi yang bernilai tambah tinggi, juga membantu dalam menjaga lingkungan,
misalnya dalam pembuatan bioetanol dan bioplastik.
Kebutuhan energi bahan bakar yang berasal dari eksplorasi fosil terus meningkat seiring dengan
meningkatnya pertumbuhan industri dan ekonomi. Hal tersebut dapat menjadi masalah besar ketika negara
belum bisa mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil atau bahan bakar minyak (BBM), sedangkan
cadangan sumber energi tersebut makin terbatas. Maka dari itu dibutuhkan bioetanol yang merupakan bahan
bakar alternatif yang dalam beberapa tahun terakhir dikenal luas oleh masyarakat.
Sekarang ini, diketahui pula ternyata bioetanol dapat diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung selulosa. Tongkol jagung yang termasuk biomassa mengandung lignoselulosa sangat
dimungkinkan untuk dimanfaatkan menjadi bioetanol karena memiliki kandungan selulosa yang cukup banyak.
Bioetanol saat ini yang diproduksi umumnya berasal dari pati yang kebanyakan adalah bahan yang dijadikan
sebagai bahan pangan dan banyak dugaan, terutama dari Eropa dan Amerika menyebutkan bahwa konversi
bahan pangan menjadi bioetanol merupakan salah satu penyebab naiknya harga-harga pangan maka sangatlah
memungkinkan jika memanfaatkan bahan baku dari tongkol jagung yang keberadaannya sangat melimpah di
Indonesia dan hanya sebagai limbah.
Limbah tongkol jagung sangat berpotensi untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan plastik
biodegradable atau bioplastik. Permasalahan sampah plastik yang semakin tinggi memaksa masyarakat berpikir
cerdas untuk menyelesaikan masalah tersebut. Untuk menyelamatkan lingkungan dari bahaya plastik, saat ini
telah dikembangkan plastik biodegradable, artinya plastik ini dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme
secara alami menjadi senyawa yang ramah lingkungan.
Melihat komposisi selulosa dan hemi selulosa yang cukup besar pada tongkol jagung, maka tongkol
jagung sangat potensial untuk dimanfaatkan menjadi bentuk biopolimer jenis selulosa asetat. Selulosa asetat dan
kitosan dapat dipadukan menjadi suatu biopolimer yang dapat dijadikan plastik food grade atau kemasan produk
makanan dengan kemampuan menghambat pertumbuhan mikroorganisme khususnya bakteri.
Kelebihan bioplastik dari jagung antara lain mudah terdegradasi, aman sebagai penyimpan atau
pembungkus makanan, dan bahan dasar pembuatan bioplastik khususnya dari limbah jagung mudah
didapatkan dan dapat diperbarui. Namun ada beberapa kelemahan bioplastik diantaranya proses
pembuatannya yang cukup rumit.
PROSES PRODUKSI
A. Bahan
Jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Jagung
adalah sumber pangan kedua setelah padi. Hampir 70% dari produksinya dimanfaatkan untuk konsumsi dan
sisanya untuk berbagai keperluan, baik sebagai pakan ternak maupun bahan industri (Elly LR 1992). Selain
sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (daun dan tongkol), diambil minyaknya
(dari biji), dibuat tepung (dari biji, dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), furfural, bioetanol, dan
bahan baku industri (dari tepung biji dan tepung tongkolnya).
Tongkol jagung sebagian besar tersusun oleh selulosa (41%), hemiselulosa (36%), lignin (6%), dan
senyawa lain yang umum terdapat dalam tumbuhan. Tongkol jagung merupakan limbah pertanian yang
dihasilkan dari proses pemipilan jagung. Setelah pemipilan biji, tongkol jagung dibuang dan menjadi limbah.
Hal tersebut tentu saja akan menambah jumlah limbah tidak bermanfaat yang merugikan lingkungan jika tidak
ditangani dengan benar.
Seiring dengan peningkatan produksi jagung di Indonesia limbah tongkol jagung yang dihasilkan
juga mengalami peningkatan. Akan tetapi pemanfaatan limbah tongkol jagung saat ini masih sangat terbatas
dan belum diolah secara optimal. Pada saat ini limbah tongkol jagung umumnya digunakan sebagai pakan
ternak, pengganti kayu bakar ataupun media untuk budidaya jamur.
Padahal sebenarnya tongkol jagung dapat dimanfaatkan menjadi hal yang lebih berguna seperti bahan
seperti bahan alternatife pembuatan plastic biodegradable. Kandungan selulosa yaitu bahan pembuatan plastik
biodegradable cukup banyak yaitu 40 % dari kandungan keseluruhan tongkol jagung. Dengan demikian tongkol
jagung cukup memadai jika benar-benar digunakan sebagai pengganti pembuatan plastik biodegradable.
DAFTAR PUSTAKA
Avella, & M. 2009. Eco-challenges of bio-based polymer composites. Materials , 2, 911-925.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistical year book of Indonesia. Jakarta.
Elly LR. 1992. Pusat Informasi Pemasaran Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta: Trubus.
Koswara, J. 1991. Budidaya Jagung. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Richana, N., P. Lestina dan T.T. Irawadi. 2004. Karakterisasi lignoselulosa: xilan dari limbah tanaman
pangan dan pemanfaatannya untuk pertumbuhan bakteri RXA III-5 penghasil xilanase. J.
Penelitian Pertanian 23(3): 171-176
Sarbini. 2001. Business Development of Plastic Industries in Indonesia, Specially plastic packaging industries,
Internationally Meeting On Recycling and Environmentally degradable Plastic From Renewable
Resources and International Exhibition on Plastic Industries and Technologies.
Sumari. 1995. Dasar-dasar Kimia. Malang: Universitas Negeri Malang.