Upload
almiranurarofah
View
47
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ftuy
Citation preview
Skenario 4
Pak Sony istrinya Kecewa
Pak Sony seorang laki-laki yang bekerja sebagai sopir bus datang ke poliklinik dengan
keluhan mengalami penurunan ketajaman pengelihatan sejak 3 hari yang lalu. Sudah ke optic
tidak menemukan kacamata yang cocok. Tidak ada riwayat memakai kacamata sebelumnya,
mata merah, maupun trauma pada mata. Saat bekerja pak Sony sering merasa haus dan banyak
minum serta kencing di jalan raya. Setiap malam ia sering merasa lapar sehingga selalu masak
bungkus mie instan sebelum tidur. Berat badannya dirasakan menurun sejak 1 bulan yang lalu,
kedua tangan dan kaki juga sering kesemutan. Bahkan akhir-akhir ini pak Sony sering minum
jamu sehat lelaki karena merasa vitalitasnya menurun sehingga istrinyaq selalu merasa kecewa.
1
I. Klarifikasi istilah
1. Kesemutan
Sensasi abnormal yang dapat terjadi di bagian seluruh tubuh karena aliran darah
yang tidak lancar atau fungsi saraf lemah.
(IPD,Sudoyo Aru)
2. Optik
Optik adalah cabang fisika yang menggambarkan perilaku dan sifat cahaya dan
interaksi cahaya dengan materi. Optik dijelaskan dan ditandai dengan fenomena
optik. Kata berasal dari ὀπτική optik Latin, yang berarti tampilan.
(Giancoli, D.C. (Ed.). 2001)
3. Vitalitas
Vitalitas adalah kondisi tubuh seseorang dalam keadaan vit, bugar, sehat dan
perkasa. Vitalitas sangat penting bagi tiap orang yang mempunyai mobilitas tinggi.
(Sidarta I. Anatomi dan Fisiologi Mata)
II. Identifikasi Masalah
1. Mengapa mengalami penurunan ketajaman penglihatan sejak 3 hari lalu ?
2. Mengapa pak sony tidak menemukan kaca mata yang cocok ?
3. Mengapa pak soni sering haus, banyak minum,sering kencing, sering lapar,
tangan dan kaki kesemutan dan berat badan menurun ?
2
III. Analisis Masalah
1. Mengapa mengalami penurunan ketajaman penglihatan sejak 3 hari lalu ?
Penyebab penurunan visus
Terjadi karena 3 hal :
a. Gangguan pada media refraksi
a) Miopi
b) Hipermetro
c) Astigmatisme
d) Presbiop
b. Refraksi anomali
Disebabkan karena ketidak seimbangan media penglihatan dengan panjang
bola mata sehingga sinar tidak focus pada retina.
c. Gangguan pada sistem saraf
Biasanya system saraf optikus mengalami gangguan sehingga membuat
penglihatan kabur.
(Sandhya, N, 2010)
1. Mata merah visus tidak turun
Prinsipnya: mengenai struktur yang bervaskuler (konjungtiva atau sklera) yang
tidak menghalangi media refraksi.
Contoh:
a. Konjungtivitis Murni
b. Trakoma
c. Mata Kering
d. Xeroftalmia
e. Pterigium
f. Pinguekula
g. Episkleritis
h. Skleritis
3
2. Mata merah visus turun
Prinsipnya: mengenai struktur bervaskuler yang mengenai media refraksi (kornea,
uvea, atau seluruh mata).
Contoh:
a. Keratitis
b. Keratokonjungtivitis
c. Uveitis
d. Glaukoma Akut
e. Endoftalmitis
f. Panoftalmitis
3. Mata tenang visus turun mendadak
a. uveitis posterior
b. perdarahan vitreous
c. ablasio retina
d. oklusi arteri atau vena retinal
e. neuritis optik
f. neuropati optik akut karena obat (misalnya etambutol)
g. migrain
h. tumor otak
4. Mata tenang visus turun perlahan Pada skenario
a. Katarak
b. Glaukoma
c. Retinopati Penyakit Sistemik
d. Retinitis Pigmentosa
e. Kelainan Refraksi
5. Trauma mata
a. Trauma Fisik (Tumpul dan Tajam)
b. Trauma Kimia (Asam dan Basa)
4
c. Trauma Radiasi (Ultraviolet dan Infrared)
(Riordan-Eva P & Whitcher JP. 2007.)
Penurunan ketajaman pada pasien bisa diakibatkan karena adanya gangguan pada organ refraksi
yaitu kornea, lensam maupun organ fotoreseptor yaitu retina.
Pada organ kornea, kelainan yang menyebabkan gangguan penglihatan salah satunya adalah
adanya abrasi kornea, jaringan sikatrik maupun akibat trauma yang mengenai kornea, contohnya
trauma kimia.
Pada organ lensa, kelainan yang sering menyebabkan gangguan penglihatan yaitu pada
pengaturan akomodasi lensa yang menyebabkan terjadinya kelainan seperti miopi, hipermetropi,
astigmatisma, dan presbiopi. Sedangkan pada penyakit metabolisme yang sering menyebabkan
terjadinya penyakit katarak.
Pada organ retina, kelainan yang sering menyebabkan terjadinya gangguan penglihatan yaitu
adanya retinopathy yaitu kelainan pada retina. pada skenario, pasien mengaku tidak cocok pada
semua kacamata, dan tidak ada gangguan pada kornea, hal ini menandakan adanya kelainan pada
retina. (Ilyas, Sidarta.2010 )
2. Mengapa pak sony tidak menemukan kaca mata yang cocok ?
Gangguan refraksi dapat disingkarkan karena tidak ada kaca mata yang cocok, dapat dikaitkan
dengan gangguan metabolik. Penyakit lain yang dialami pak sony yang mengakibatkan mata
menurun visusnya. Tidak ada inflamasi pada kasus ini dikarenakan tidak adanya tanda inflamasi
pada mata Pak sony. (Sylvia, Price.2009)
3. Mengapa pak soni sering haus, banyak minum,sering kencing, sering lapar, tangan dan kaki
kesemutan dan berat badan menurun ?
Pak sony mengalami DM dilihat dari kadar gula >200 hiperglikemi, gula puasa >126
hiperglikemi. kerja pankreas dari insulin tidak mampu mengikat atau karena kekurangan insulin.
pak sony DM tipe 2. glukogenesis berkurang karena insulin tidak berikatan. hati memproduksi
glukosa terus menerus. BB menurun karena ATP dalam tubuh digunakan terus menerus. haus
5
dan banyak kemih karena terjadi hiperosmolalitas ginjal tidak filtrasi dan filtrasi terjadi dehidrasi
ekstra sel, cairan intasel dipakai terus. Gula tidak bisa diangkut insulin mempengaruhi masa otot
akan timbul keton terjadi penurunan masa otot. kram terjadi karena keton meningkat.
Kadar insulin yang menurun menyebabkan tidak terurainya glukosa menjadi ATP, sehingga
terjadi jalur poliol yang menyebabkan penumpukan glukosa sorbitol fruktosa. Penimbunan
ini akan menyerang jaringan saraf dan mengganggu aktivitas kerja sel schwann sehingga terjadi
defisit pada sel akson, hal ini menyebabkan terjadinya pengurangan kecepatak konduksi motorik,
hilangnya reflex tendon dalam, kelemahan otot dan tremor serta kesemutan.
(Sylvia, Price.2009)
6
MalnutrisiKelainan genetik ObesitasGaya hidup stres
Infeksi
Penyampaian kelainan pankreas
Meningkatkan beban metabolik
pankreas
Penurunan produksi insulin
Peningkatankebutuhan insulin
Merusak pankrean
Penurunan insulin (berakibat penyakit diabetes melitus)
Penurunan fasilitas glukosa dalam sel
Glukosa menumpuk di darah Sel tidak memperoleh nutrisi
Peningkatan tekanan osmolalitas plasma
Starvasi seluler
Pembongkaran glikogen, asam lemak, keton untuk
energiKelebihan ambang glukosa pada ginjal
Pembongkaran protein &asam
amino
Diuresis Osmotik
Penurunanmassa otot
Penumpukanbenda keton
Penurunanantibodi
Penurunan perbaikan jaringan
Poliuria
Defisit volume cairan
Nutrisi kurang dari kebutuhan
Asidosis
Polanafastidakefektif
Resiko perlukaan
Resisten infeksi
7
DIABETES TIPE I
Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel pancreas telah dihancurkan
oleh proses autoimun.Glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
meskipun tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah
makan).
Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua
glukosa yang tersaring keluar akibatnya glukosa tersebut diekskresikan dalam urin (glukosuria).
Ekskresi ini akan disertai oleh pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini
dinamakan diuresis osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa
haus (polidipsi).
Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan
penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan selera makan (Polifagia) akibat
menurunnya simpanan kalori . Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.
Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis (pemecahan glukosa yang
disimpan) dan gluconeogenesis (pembentukan glukosa baru dari asam – asam amino serta
substansi lain), namun pada penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan
dan lebih lanjut turut menimbulkan hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak
yang mengakibatkan peningkatan produksi badan keton yang merupakan produk samping
pemecahan lemak.
DIABETES TIPE II
Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu :
resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor
khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolism glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes
tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak
efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.
8
Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada penderita toleransi glukosa
terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan
dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel
beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe II.
Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri khas diabetes mellitus tipe II,
namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak
dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetic tidak terjadi pada
diabetes tipe II. (Zing-Ma J, Sarah X-hang. 2006)
9
IV. Skema
10
V. Learning Objective
1. Mampu menjelaskan derajat-derajat retinopati hipertensi.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi Poliuri, Polidipsi, Polifagi dan kesemutan.
3. Mampu menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus sampai terjadinya retinopati.
4. Mampu menyebutkan dan menjelaskan diagnosis banding dari skenario.
5. Mampu menjelaskan cara penegakan diagnosis dini retinopati diabetikum.
VI. Belajar Mandiri
VII. Berbagi Informasi
1. Mampu menjelaskan derajat-derajat retinopati hipertensi.
Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939) :
Stadium Karakteristik
Stadium I Penyempitan ringan, sklerosis dan tortuosity arterioles retina;
hipertensi ringan, asimptomatis
Stadium II Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan nicking
arteriovenous; ekanan darah semakin meninggi, timbul beberapa
gejala dari hipertensi
Stadium III Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik); tekanan
darah terus meningkat dan bertahan, muncul gejala sakit kepala,
vertigo, kesemutan, kerusakan ringan organ jantung, otak dan fungsi
ginjal
Stadium IV Edema neuroretinal termasuk papiledema, garis Siegrist, Elschig spot;
peningkatan tekanan darah secara persisten, gejala sakit kepala,
asthenia, penurunan berat badan, dyspnea, gangguan penglihatan,
kerusakan organ jantung, otak dan fungsi ginjal
11
WHO membagikan stadium I dan II dari Keith dkk sebagai retinopati hipertensi dan
stadium III dan IV sebagai malignant hipertensi
Retinopati Deskripsi Asosiasisistemik
Mild Satu atau lebih dari tanda
berikut :
Penyempitan arteioler
menyeluruh atau fokal, AV
nicking, dinding arterioler
lebih padat (silver-wire)
Asosiasi ringan dengan penyakit stroke,
penyakit jantung koroner dan mortalitas
kardiovaskuler
Moderate Retinopati mild dengan satu
atau lebih tanda berikut :
Perdarahan retina (blot, dot
atau flame-shape),
microaneurysme, cotton-
wool, hard exudates
Asosiasi berat denganpenyakit stroke,
gagaljantung, disfungsi renal
dan mortalitaskardiovaskuler
Accelerated Tanda-tandaretinopati
moderate dengan edema
papil :
dapatdisertaidengankebutaa
n
Asosiasi berat denganmortalitas dan gagalginjal
Gambar 3.Mild Hypertensive Retinopathy. Nicking AV (panah putih) dan penyempitan
focal arterioler (panah hitam) (A). Terlihat AV nickhing (panah hitam) dan gambaran
copper wiring pada arterioles (panah putih) (B). (dikutip dari kepustakaan 3)
12
Gambar 4.Moderate Hypertensive Retinopathy.AV nicking (panah putih) dan cotton wool
spot (panahhitam) (A).Perdarahan retina (panah hitam) dan gambaran cotton wool spot
(panah putih) (B). (dikutipdari kepustakaan 3)
Gambar 5.Multipel cotton wool spot (panahputih) danperdarahan retina (panahhitam)
danpapiledema. (dikutipdarikepustakaan 3)
13
2. Mampu menjelaskan patofisiologi Poliuri, Polidipsi, Polifagi dan kesemutan.
3. Mampu menjelaskan patofisiologi diabetes mellitus sampai terjadinya retinopati.
Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang berhubungan
dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:
1) Akumulasi Sorbitol
14
2) Pembentukan protein kinase C (PKC)
3) Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
15
4) Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)
(Voughan, Daniel G, Asbury, Taylor. Riordan-Eva, Paul. 2000)
16
1. Retinopatidiabetik ada 2 :
a. Nonproliferatif
Pembuluh darah dimata menjadi rusak dan terjadi kebocoran cairan keratin.
b. Poliferatif
Pertumbuhan pembuluh darah baru didalam bola mata sebagai usaha untuk
menggangapi kehilangan pembuluh darah . pembuluh darah yang baru rapuh dan
mudah berdarah menyebabkan terjadinya jaringan parut dalam bola mata.
2. Tahapan Retinopatidiabetik
1) Tidak ada retinopati
Tidak ada tanda abnormal yang ditemukan.
2) Makulopati
Eksudat dan pembuluh darah dalam macula lutea mengalami edema.
3) Praproliferatif
Timbul catton wall spot vena menjadi ireguler.
4) Proliferative
Pelepasan substansi vasoproliferatif dari retina.
5) Lanjut
Perdarahan kedalam vitreus atau antara vitreus dan retina.
3. Terapi fotokoagulan ada 3 :
a. Seatter (panretinal) photocoagulation
Menghilangkan dan mencegah neovaskularisasi dengan cara menyinari 1000-2000
sinar laser kedaerah retina.
b. Grid photocoagulantion
Pembakaran pada daerah edema dan difus menggunakan laser.
c. Focal photocoagulantion
Untuk menghilangkan mikroaneurisma atau lesi mikrovaskular.(Ilyas, Sidarta, Tanzil,
Muzakkir, Salamun, Azhar, Zainal.2000)
4. Mampu menyebutkan dan menjelaskan diagnosis banding dari skenario.
1) Retinopati Hipertensi
17
Definisi
Retinopati hipertensi adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh darah retina
akibat tekanan darah tinggi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan
kelainan pada retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya
tidak teratur, eksudat pada retina, edema dan perdarahan retina.
Epidemiologi
Pada retinopati hipertensi kebanyakan yang mengalami lebih banyak laki-laki
dibandingkan dengan perempuan, akan tetapi pada usia >50 tahun angka
kejadian lebih tinggi pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Frekuensi
tertinggi pada pasien hipertensi tidak terkontrol.
Etiologi
Penyebab terjadi retinopati hipertensi adalah akibat tekanan darah tinggi. Kelainan
pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan
pembuluh darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerose pembuluh darah.
Pada gangguan pembuluh darah, seperti spasme dan arteriosclerosis, faktor-faktor
yang berperan terjadinya arteriosclerosis ini adalah hiperlipidemia dan obesitas.
Faktor-faktor ini nanti akan muncul pada dekade kedua, berupa guratan-guratan
lemak di pembuluh-pembuluh darah besar dan kemudian berkembang menjadi
suatu plak fibrosa pada dekade ketiga, sehingga mengakibatkan hilangnya
elastisitas pembuluh darah dan terjadi pengurangan diameter pembuluh darah
akibat tertimbunnya plak tersebut ( arteriosclerosis ). Keadaan ini akan
menimbulkan peningkatan tahanan aliran darah ( hipertensi ). Pada retina, juga
akan terjadi peningkatan tekanan darah pada arteriole-arteriole di retina
( retinopati hipertensi ).
18
Klasifikasi
Klasifikasi tradisional retinopati hipertensi pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh
Keith et al. Sejak itu, timbul bermacam-macam kritik yang mengkomentari
sistem klasifikasi yang dibuat oleh Keith dkk tentang relevansi sistem
klasifikasi ini dalam praktek sehari-hari. Klasifikasi dan modifikasi yang dibuat
tediri atas empat kelompok retinopati hipertensi berdasarkan derajat keparahan.
Klasifikasi Keith-Wagener-Barker (1939) :
Stadiu
m
Karakteristik
Stadium
I
Penyempitan ringan, sklerosis dan tortuosity arterioles
retina; hipertensi ringan, asimptomatis
Stadium
II
Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan
nicking arteriovenous; ekanan darah semakin
meninggi, timbul beberapa gejala dari hipertensi
Stadium
III
Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik);
tekanan darah terus meningkat dan bertahan, muncul
gejala sakit kepala, vertigo, kesemutan, kerusakan
ringan organ jantung, otak dan fungsi ginjal
Stadium
IV
Edema neuroretinal termasuk papiledema, garis Siegrist,
Elschig spot; peningkatan tekanan darah secara
persisten, gejala sakit kepala, asthenia, penurunan
berat badan, dyspnea, gangguan penglihatan,
kerusakan organ jantung, otak dan fungsi ginjal
WHO membagikan stadium I dan II dari Keith dkk sebagai retinopati hipertensi
dan stadium III dan IV sebagai malignant hipertensi
19
Retinop
ati
Deskripsi Asosiasisistemik
Mild Satu atau lebih
dari tanda
berikut :
Penyempitan
arteioler
menyelur
uh atau
fokal, AV
nicking,
dinding
arterioler
lebih
padat
(silver-
wire)
Asosiasi ringan dengan penyakit
stroke, penyakit jantung
koroner dan mortalitas
kardiovaskuler
Moderat
e
Retinopati mild
dengan
satu atau
lebih
tanda
berikut :
Perdarahan
retina
(blot, dot
atau
flame-
shape),
microane
Asosiasi berat denganpenyakit
stroke, gagaljantung,
disfungsi renal
dan mortalitaskardiovaskul
er
20
urysme,
cotton-
wool,
hard
exudates
Accelera
ted
Tanda-
tandaretin
opati
moderate
dengan
edema
papil :
dapatdiser
taidengan
kebutaan
Asosiasi berat denganmortalitas
dan gagalginjal
Gambar 3.Mild Hypertensive Retinopathy. Nicking AV (panah putih)
dan penyempitan focal arterioler (panah hitam) (A). Terlihat AV nickhing
(panah hitam) dan gambaran copper wiring pada arterioles (panah putih) (B).
(dikutip dari kepustakaan 3)
21
Gambar 4.Moderate Hypertensive Retinopathy.AV nicking (panah putih) dan cotton
wool spot (panahhitam) (A).Perdarahan retina (panah hitam) dan gambaran
cotton wool spot (panah putih) (B). (dikutipdari kepustakaan 3)
Gambar 5.Multipel cotton wool spot (panahputih) danperdarahan retina
(panahhitam) danpapiledema. (dikutipdarikepustakaan 3)
Patogenesis
Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami beberapa seri
perubahan patofisiologis sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah.
Terdapat teori bahwa terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothelial pada
tahap akut sementara pada tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang
menyebabkan berkurangny aelastisitas pembuluh darah.
Pada tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokonstriksi secara
generalisata. Ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arterioles dari
mekanisme autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi. Pada
pemeriksaan funduskopi akan kelihatan penyempitan arterioles retina secara
generalisata.
22
Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya penebalan
intima pembuluh darah, hyperplasia dinding tunika media dan degenerasi
hyalin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan
perubahan pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai ”arteriovenous
nicking”. Terjadi juga perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi
pelebaran dan aksentuasi dari refleks cahaya sentral yang dikenal sebagai
”copper wiring”.
Setelah itu akan terjadi tahap pembentukan eksudat, yang akan menimbulkan
kerusakan pada sawar darah-retina, nekrosis otot polos dan sel-sel endotel,
eksudasi darah dan lipid, dan iskemik retina. Perubahan-perubahan ini
bermanifestasi pada retina sebagai gambaran mikroaneurisma, hemoragik, hard
exudate dan infark pada lapisan serat saraf yang dikenal sebagai cotton-wool
spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan biasanya
meripakan indikasi telah terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat
berat. 3,4,11,12
Akan tetapi, perubahan-perubahan ini tidak bersifat spesifik terhadap hipertensi saja,
karena ia juga dapat terlihat pada pnyakit kelainan pembuluh darah retina yang
lain. Perubahan yang terjadi juga tidak bersifat sequential. Contohnya
perubahan tekanan darah yang terjadi mendadak dapat langsung menimbulkan
hard exudate tanpa perlu mengalami perubahan-perubahan lain terlebih dulu.
Pada dinding arteriol yang terinfiltrasi lemak dan kolesterol akan menyebabkan
pembuluh darah menjadi sklerotik sehingga pembuluh darah secara bertahap
kehilangan transparansinya, pembuluh darah tampak lebih lebar daripada
normalnya dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk
lemak kuning keabu-abuan di dinding pembuluh darah bercampur dengan warna
darah sehingga menimbulkan gambaran khas “kawat tembaga” (copper wire).
Sklerosis berlanjut menyebabkan refleksi cahaya dinding pembuluh darah mirip
23
dengan “kawat perak” (silver wire). Dapat terjadi sumbatan suatu cabang
arteriol. Oklusi arteri primer atau sekunder akibat aterosklerosis yang
mengakibatkan oklusi vena dapat menyebabkan perdarahan retina.
Manifestasi klinis
Perubahan pembuluh darah retina yang disebabkan oleh hipertensi kronik biasanya
asimtomatik. Kadang-kadang pasien dengan hipertensi maligna mengalami
gangguan penglihatan akut, tetapi kemungkinan disebabkan oleh edeme diskus
optikus.
1. Penyempitan ( spasme ) pembuluh darah tampak sebagai :
a. Pembuluh darah ( terutama arteriole retina ) yang berwarna lebih pucat
b. Kalliber pembuluh yang menjadi lebih kecil atau ireguler ( karena spasme lokal)
c. Percabangan arteriol yang tajam
2. Bila kelainan yang terjadi adalah sklerosis dapat tampak sebagai :
a. Reflex copper wire
b. Reflex silver wire
c. Sheating
3. Pembuluh darah yang irregular
4. Terdapat fenomena crossing sebagai berikut :
a. Elevasi : pengangkatan vena oleh arteri yang berada dibawahnya
b. Deviasi : penggeseran posisi vena oleh arteri yang bersilangan dengan vena
tersebut dengan sudut persilangan yang lebih kecil
c. Kompresi : penekanan yang kuat oleh arteri yang menyebabkan bendungan
vena.
Gambaran fundus pada retinopati hipertensi juga ditentukan oleh derajat peningkatan
tekanan darah dan keadaan arteriol retina. Pada pasien muda : retinopati
ekstensif dengan perdarahan, infark retina ( cotton wool patches), infark koroid
( elschnig patches), kadang ablasio retina, dan edema berat pada discus optic
adalah gambaran yang menonjol dan dapat disertai dengan eksudat keras
berbentuk macular star. Penglihatan mungkin terganggu dan bias makin
24
memburuk bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat.Sebaliknya pada pasien
usia lanjut yang arteriosklerotik tidak dapat berespons seperti pada pasien muda,
dan pembuluh-pembuluh darah mereka terlindung oleh arteriosklerosis. Karena
itu pasien lansia jarang meemperlihatkan gambaran retinopati hipertensif yang
jelas.
Tatalaksana
1. Penggunaan obat ACE Inhibitor terbukti dapat mengurangi kekeruhan dinding
arteri retina sementara penggunaan HCT tidak memberikan efek apa pun
terhadap pembuluh darah retina.
2. Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan.
3. Pasien dinasehati untuk menurunkan berat badan jika sudah melewati standar
berat badan ideal seharusnya. Konsumsi makanan dengan kadar lemak jenuh
harus dikurangi sementara intake lemak tak jenuh dapat menurunkan tekanan
darah.
4. Konsumsi alkohol dan garam perlu dibatasi dan pasien memerlukan kegiatan
olahraga yang teratur.
5. Dokter atau petugas kesehatan harus tetap meneruskan pengobatan pada pasien
hipertensi walaupun tanpa tanda-tanda retinopati. Seperti yang ditunjukkan
dalam gambar dibawah, evaluasi dan management pada pasien dengan
hipertensi harus diutamakan supaya tidak terjadi komplikasi ke target organ
yang lain.
- Terapi kausa ( hipertensi)
Penggunaan obat ACE Inhibitor terbukti dapat mengurangi kekeruhan dinding arteri
retina sementara penggunaan HCT tidak memberikan efek apa pun terhadap
pembuluh darah retina.
Prinsip penatalaksanaan menurunkan tekanan darah untuk meminimalkan kerusakan
target organ. Hindari penurunan terlalu tajam (dapat menyebabkan iskemia).
Dapat memperlambat perubahan pada retina, tapi penyempitan arteriol dan
crossing arteri-vena sudah menjadi permanen.
25
- Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan. Pasien dinasehati untuk
menurunkan berat badan jika sudah melewati standar berat badan ideal
seharusnya. Konsumsi makanan dengan kadar lemak jenuh harus dikurangi
sementara intake lemak tak jenuh dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi
alkohol dan garam perlu dibatasi dan pasien memerlukan kegiatan olahraga
yang teratur. (Ghozi, M. 2002)
2) Retinopati Diabetikum
Definisi
Kelainan pada retina yang ditemukan pada penderita diabetes mellitus
Epidemiologi
Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab utama kebutaan pada usia
produktif di negara barat (20 – 65 tahun)
Di Amerika Serikat, sekitar 5000 orang terkena retinopati diabetis dan sebabkan
kebutaan
Patogenesis
Adanya penumpukan glukosa dalam darah menyebabkan terjadinya perubahan
glukosa menjadi sorbitol, hal ini menyebabkan penumpukan sorbitol pada pembuluh
retina, dan sebabkan perubahan osmotik dan permeabilitas membran pembuluh darah
sehingga terjadi peristiwa mikroaneurisma yaitu penonjolan dinding kapiler,
penonjolan ini bisa menyebabkan rembesan darah dalam bentuk bercak bercak dan
infiltrasi lipid ke dalam retina dan membentuk hard exudat sebabkan iskemia retina,
proses selanjutnya terjadi neovaskularisasi baru pada retina dan sebabkan edema pada
makula lutea, sehingga cahaya yang masuk tidak dapat difokuskan kedalam makula
lutea dan terjadilah penurunan ketajaman.
Klasifikasi
a. Retinopathy Non-proliferatif
Merupakan suatu mikroangiopati progresif kerusakan dan sumbatan
pembuluh-pembuluh darah kecil.
Kelainan awal : penebalan membran basal endotel dan berkurangnya jumlah
perisit terbentuknya kantung mikroaneurisma.
26
b. Retinopathy Proliferatif
Neovaskularisasi yang terbentuk berproliferasi ke permukaan posterior vitreous
rapuh rusak perdarahan viterous penurunan penglihatan mendadak
Neovaskularisasi perubahan menjadi fibrosa fibrovaskular rapat traksi
vitreoretina ablasio retina
c. Advance diabetic eye diseased
Bentuk akhir dimana terjadi mikroaneurisma, perdarahan pada retina dan corpus
vitreum dan berakhir pada kebutaan.
Derajat keparahan
27
Penatalaksanaan
• Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun
sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema
makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan.
• Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula
signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah
perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi
setiap 2-4 bulan.
• Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani
panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi
untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi
setiap 3-4 bulan pascatindakan.
(Kanski JJ, Bowling B.2011)
3) Retinopati Premature
Definisi
Suatu keadaan dimana terjadi gangguan pada pembentukan pembuluh darah retina pada bayi
prematur.
Etiologi
Retinopati prematuritas terjadi akibat kepekaan pembuluh darah retina di masa perkembangan
terhadap oksigen konsentrasi tinggi.
Patofisiologi
Vasokontriksi pada retina + hiperfusi + hipoksemia
Merangsang poliferasi PD baru ( neovaskular)
Perdarahan masuk ke badan kaca & retina
28
Poliferasi fibrosa, retraksi parut
Ablasi retina dan kebutaan
Manifestasi Klinis
Dalam anamnesis dari bayi prematur, harus mencakup hal-hal berikut ini :
Usia gestasi saat lahir, khususnya bila lebih kurang dari 32 minggu
Berat badan lahir kurang dari 1500 gr, khususnya yang kurang dari 1250 gr
Faktor risiko lainnya yang mungkin ( misalnya terapi oksigen, hipoksemia, hipercarbia,
dan penyakit penyerta lainnya)
Pemeriksaan Fisik.
ROP dikategorisasikan dalam zona-zona, dengan stadium yang menggambarkan tingkat
keparahan penyakit.
Zona 1
Zona 1 adalah yang paling labil. Pusat dari zona 1 adalah nervus optikus. Area ini
memanjang dua kali jarak dari saraf optik ke makula dalam bentuk lingkaran.
ROP yang terletak pada zona 1 (bahkan pada stadium 1, imatur) dianggap kondisi
yang kritikal dan harus dimonitor dengan ketat.
Zona 2
ROP pada zona 2 dapat berkembang dengan cepat namun biasanya didahului
dengan tanda bahaya (warning sign) yang memperkirakan terjadinya perburukan
dalam 1-2 minggu.
Tanda bahaya tersebut antara lain : (1) tampak vaskularisasi yang meningkat pada
ridge (percabangan vaskular meningkat. (2) Dilatasi vaskular yang meningkat. (3)
tampak tanda ‘hot dog’ pada ridge; merupakan penebalan vaskular pada ridge;
merupakan indikator prognosis yang buruk.
29
Zona 3
Zona 3 adalah bentuk bulan sabit yang tidak dicakup zona 2 pada bagian
temporal.
Pada zona ini jarang terjadi penyakit yang agresif. Biasanya, zona ini mengalami
vaskularisasi lambat dan membutuhkan evaluasi dalam setiap beberapa minggu.
ROP diklasifikasikan menjadi :
Derajat 1 : pertumbuhan pembuluh darah abnormal ringan
Derajat 2 : pertumbuhan pembuluh darah abnormal sedang
Derajat 3 : pertumbuhan pembuluh darah abnormal berat
30
Derajat 4 : pertumbuhan pembuluh darah abnormal berat ditambah robekan lapisan
retina sebagian.
Derajat 5 : robekan retina total
Penatalaksanaan
Terapi Medis
Terapi medis untuk retinopati prematuritas (ROP) terdiri dari screening oftalmologis
terhadap bayi-bayi yang memiliki faktor risiko. Terapi –terapi lainnya yang pernah
dicoba dapat berupa mempertahankan level insulinlike growth factor (IGF-1) dan omega-
3-polyunsaturated fatty acids (PUFAs) dalam kadar normal pada retina yang sedang
berkembang.
31
Terapi Bedah
Terapi bedah ablatif (Ablative surgery)
Dilakukan apabila terdapat tanda kegawatan .Terapi ablatif saat ini terdiri dari krioterapi
atau terapi laser untuk menghancurkan area retina yang avaskular. Biasanya dilakukan pada usia
gestasi 37-40 minggu
Krioterapi
Prosedur ini dapat dilakukan dengan anestesi umum ataupun topikal. Karena tingkat
stress prosedur yang cukup tinggi, maka mungkin dibutuhkan bantuan ventilator setelah prosedur
ini selesai. Komplikasi yang paling umum terjadi adalah perdarahan intraokuler, hematom
konjunctiva, laserasi konjunctiva, dan bradikardia.
Terapi Bedah Laser
Fotokoagulasi dengan laser tampaknya menghasilkan outcome yang kurang-lebih sama
dengan krioterapi dalam masa 7 tahun setelah terapi. Sebagai tambahan, dalam data-data
mengenai ketajaman visus dan kelainan refraksi, terapi laser tampaknya lebih menguntungkan
dibandingkan krioterapi, dan juga telah dibuktikan bahwa terapi laser lebih mudah dilakukan
dan lebih bisa ditoleransi oleh bayi.
Komplikasi
Myopia, strabismus, anisometropia dan amblyopia berkaitan dengan kondisi ROP akut.
Menyebabkan peningkatan risiko ablasi retina. (Ilyas, Sidarta.2010.)
4) Katarak Diabetikum
32
Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi
(penambahan cairan) lensa, atau akibat denaturasi protein lensa, biasanya kekeruhan mengenai
kedua mata dan berjalan progesif ataupun mengalami perubahan dalam waktu yang lama.
Umumnya terjadi pada usia lanjut, kelainan kongenital, kelainan sistemik atau metabolik yang
dapat menimbulkan katarak adalah galaktosemi, distrofi miotonik dan DM.
Katarak diabetik adalah katarak yang terjadi akibat adanya penyakit DM
Katarak diabetik merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang utama pada pasien
diabetes melitus selain retinopati diabetik. Katarak pada pasien DM dapat terbagi dalam 3 bentuk
:
1. Pasien dengan dehidrasi berat, asidosis dan hiperglikemia nyata pada lensa akan terlihat
kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa mengkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi
kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang jika rehidrasi dan kadar glukosa normal kembali.
2. Pasien diabetes juvenil dan tua yg tidak terkontrol, di mana terjadi katarak serentak pada
kedua mata dalam 48jam, bentuknya dapat snow flake atau berbentuk piring subkapsular.
3. Katarak pada pasien diabetes dewasa di mana gambaran secara histologik dan biokimia
sama dengan katarak nondiabetik.
33
Pada saat keadaan hiperglikemi terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di
dalam lensa. Pada diabetes melitus terjadi akumulasi sorbitol pada lensa yang akan
meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan cairan bertambah dalam lensa.
Sedangkan denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh ROS yang mengoksidasi
protein lensa (kristalin).
(vaugan,2010)
5. Mampu menjelaskan cara penegakan diagnosis dini retinopati diabetikum.
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui:
a. Pemeriksaan funduskopi direk
b. Pemeriksaan funduskopi indirek.
Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina. Metode
diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO)
adalah fundus photography.
Keunggulan pemeriksaan tersebut:
- Interpretasi dapat dilakukan oleh dokter umum terlatih sehingga mampu laksana di
pelayanan kesehatan primer.
- Mudah dilaksanakan
- Selanjutnya, retinopati DM dikelompokkan sesuai dengan standar Early Treatment
Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) yang tampak pada Tabel.
- Di pelayanan primer pemeriksaan fundus photography berperanan sebagai pemeriksaan
penapis.
- Apabila pada pemeriksaan ditemukan edema makula, retinopati DM nonproliferatif
derajat berat dan retinopati DM proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan
mata lengkap oleh dokter spesialis mata
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari :
a. pemeriksaan visus
b. tekanan bola mata
c. slit-lamp biomicroscopy
34
d. gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus photography dengan pemberian
midriatikum sebelum pemeriksaan.
Pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT) dan
ocular ultrasonography bila perlu.
OCT memberikan gambaran penampang aksial untuk menemukan kelainan yang sulit
terdeteksi oleh pemeriksaan lain dan menilai edema makula serta responsnya terhadap
terapi. Ocular ultrasonography bermanfaat untuk evaluasi retina bila visualisasinya
terhalang oleh perdarahan vitreous atau kekeruhan media refraks(Artikel Pengembangan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. 2011)
Pada tahun 2010, The American Diabetes Association menetapkan beberapa
rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM.
Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe
I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu
lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan.
Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter
spesialis mata segera setelah didiagnosis DM.
Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin
setiap tahun oleh dokter spesialis mata.
Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil
pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan
tanda retinopati progresif.
Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak
trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko
terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima
penjelasan menyeluruh tentang risiko tersebut.
Retinopati diabetika adalah proses degenerasi akibat hipoksia di retina karena
penyakit diabetes mellitus.
Diagnosis retinopati diabetika ditegakkan secara klinis jika dengan pemeriksaan
angiografi flurosensi fundus sudah didapatkan mikroaneurisma atau perdarahan
pada retina di satu mata, baik dengan atau tanpa eksudat lunak ataupun keras,
35
abnormalitas mikrovaskular intra retina atau hal-hal lain yang telah diketahui sebagai
penyebab perubahan-perubahan tersebut.(Daniel W. Foster. 2000)
36
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapatkan dari skenario ini adalah pak Sony kemungkinan
mengalami retinopati yang disebabkan oleh penyakit lainnya yaitu Diabetes Mellitus. Dimana
dalam skenario sudah dijelaskan bahwa pak Sony mengalami 3P (poliuri, polifagi, polidipsi)
yang merupakan tanda khas dari penyakit diabetes mellitus. Diabetes ini menimbulkan
komplikasi salahsatunya mikroangiopati atau kerusakan pada pembuluh darah perifer. Mata pak
sony yang mengalami penurunan ketajaman disebabkan karena adanya penumpukan sorbitol
pada arteri mata yang menyebabkan retinopati, begitu juga dengan keluhan kesemutan yang
dirasakan pak Sony disebabkan karena terhambatnya aliran darah yang menuju ke perifer tubuh.
37
SARAN
Hambatan
1. Mahasiswa kurang termotivasi dalam mencari informasi sehingga referensi yang didapat pun
tidak bervariasi.
2. Mahasiswa kurang aktif dalam menyampaikan informasi sehingga walaupun sudah mencari
dengan sumber yang valid belum bisa mengungkapkan.
Harapan
1. Mahasiswa harus meningkatkan motivasinya dalam mencari informasi yang lebih banyak.
2. Mahasiswa harus aktif dalam menyampaikan pemikiran yang akan didiskusikan.
38
DAFTAR PUSTAKA
Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan. 2011.Retinopati
Diabetik.Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Daniel W. Foster. 2000. Diabetes Mellitus dalam Harrison Ilmu-ilmu Penyakit Dalam. Volume 5,
EGC. Hal. 2212.
Ghozi, M. 2002 Handbook of Ophthalmology A Guide to Medical Examination. Yogyakarta: GTA
Press.
Giancoli, D.C. (Ed.). (2001). Fisika Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.
Ilyas, Sidarta.2010. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC
Kanski JJ, Bowling B.2011.Clinical Ophthalmology: A Systemic Approach [ebook]. 7th ed. USA:
Saunders Elsevier
Riordan-Eva P & Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology, 17th edition. New
York: McGraw-Hill, 2007.
Sandhya, N, Approach to a Case of Transient Visual Loss, 2010
Sidarta I. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi kedua. Jakarta
Sylvia, Price.2009.Patofisiologi Konsep Konsep Klinis.Jakarta:EGC
Zing-Ma J, Sarah X-hang. Endogenous Angiogenic Inhibitors in Diabetic Retinopathy. In: Ocular
Angiogenesis Disease. Mew Jersey : Humana Press ; 2006. p 23-35.
.
39
40