351
 M. Adnan Amal Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 - 1950 Kata Pengantar: Prof. Dr. A.B. Lapian

Sejarah Kepulauan Rempah-Rempah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sejarah

Citation preview

  • M. Adnan Amal

    Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 - 1950

    Kata Pengantar: Prof. Dr. A.B. Lapian

  • Kepulauan Rempah-Rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 - 1950 Penulis: M. Adnan Amal Penyunting: Taufik Adnan Amal

  • I

    DAFTAR ISI - Kata Sambutan Gubernur Maluku Utara - Pengantar Edisi Pertama - Catatan Penulis untuk Edisi Revisi - Pengantar Prof. Dr. A.B. Lapian Bab 1 Profil Maluku

    Bab 2 Kerajaan-kerajaan Maluku dalam Mitos dan Legenda

    Bab 3 Jailolo: Kerajaan Maluku Tertua

    Bab 4 Ternate: Kerajaan Maluku Terbesar

    Bab 5 Tidore: Kerajaan Besar Maluku

    Bab 6 Kesultanan Bacan

    Bab 7 Kerajaan-kerajaan Kecil Maluku

    Bab 8 Rempah-rempah Maluku dan Kedatangan Bangsa Asing

    Bab 9 Penyebaran Agama Islam dan Kristen di Maluku

    Bab 10 Lahirnya VOC

    Bab 11 Maluku, Inggris dan Nuku

    Bab 12 Maluku Utara Pasca VOC: Perubahan Struktur pemerintahan

    Bab 13 Maluku Utara: 1817-1914

    Bab 14 Balans Pemerintahan Kolonial Belanda (1817-1942)

    Bab 15 Maluku Utara di Era Kebangkitan Nasional

    Bab 16 Maluku Utara di bawah Pendudukan Jepang (1942-1945)

    Bab 17 Maluku Utara di Masa Revolusi Kemerdekaan

    Bab 18 Maluku Utara di Bawah NIT

    Lampiran 1: Daftar Para Kolano Ternate

    Lampiran 2: Daftar Par Kolano Tidore

    Lampiran 3: Daftar Para Gubernur Portugis di Maluku

    Lampiran 4: Benteng Portugis di Tidore dan Para Komandannya

    Lampiran 5: Daftra Para Gubernur Spanyol di Maluku

    Lampiran 6: Para Gubernur VOC di Maluku

    Lampiran 7: Para Residen Inggris di Maluku

    Glosarium

    Daftar Pustaka

  • II

    KATA SAMBUTAN GUBERNUR MALUKU UTARA

    Buku KEPULAUAN REMPAH-REMPAH telah mencakup pelbagai informasi penting mengenai daerah Maluku Utara selama 700 tahun, dan mencakup kurun waktu yang dimulai pada masa awal berdirinya kerajaan-kerajaan lokal yang kemudian dikenal sebagai Kerajaan Moloku Kie Raha (1250) hingga masa lima tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan RI (1950).

    Di samping sarat dengan informasi kesejarahan sepanjang kurun waktu tersebut, buku ini juga telah memajang potret Maluku Utara hampir seutuhnya. Pergolakan yang telah melanda kawasan ini, baik yang bercorak internal antara sesama kerajaan lokal yang berkuasa untuk memperebutkan hegemoni politik maunpun antara kerajaan lokal versus kekuasaan asing kolonialis untuk mempertahankan integritas dan harga diri, hingga antara kekuasaan asing an sich untuk memantapkan pengaruh politik imperialistis, dalam rangka memperebutkan hak-hak monopoli perdagangan rempah-rempah yang telah berlangsung selama hampir tiga abad (1500-1800).

    Pergolakan-pergolakan seperti itulah yang telah mewarnai sejarah Maluku Utara selama tiga ratus tahun, yang berakhir dengan hilangnya kebebasan, kemerdekaan dan integritas rakyat Maluku Utara, sama seperti rakyat daerah-daerah lain di seluruh nusantara.

    Tetapi, apabila terdapat sesuatu yang patut dibanggakan dari sejarah Maluku Utara seperti telah ditulis dalam buku ini, maka secara pribadi saya dapat merasakannya, karena dari seluruh perang kolonial yang telah berlangsung di berbagai daerah di seluruh nusantara, hanya rakyat Maluku Utara di bawah pimpinan seorang Babullah dari Ternate yang secara heroik berhasil mengusir kaum penjajah Portugis keluar dari Maluku Utara dalam keadaan yang amat terhina.

    Fakta historis inilah yang patut dibanggakan seluruh rakyat Maluku Utara, khususnya generasi muda yang tidak pernah lagi mengalami perang seperti telah dilakukan nenek moyang mereka.

    Mengakhiri sambutan singkat ini, saya ingin menggarisbawahi dua hal pokok yang sangat berperan dalam lahirnya buku ini:

    Pertama: Buku ini telah menyajikan suatu ikhtisar sejarah Maluku Utara yang komprehensif dan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami;

    Kedua: Untuk pertama kali sebuah buku tentang sejarah Maluku Utara ditulis seorang putra daerah yang berdedikasi tinggi, dan dengan mengakses hasil-hasil penelitian kearsipan dan dokumen-dokumen sebagai sumber primer, serta dengan menggunakan referensi kepustakaan yang luas.

    Atas dasar kedua alasan tersebut, saya menyambut dengan gembira penerbitan buku ini.

    Kepada penulisnya saya sampaikan: B R A V O !

    Ternate, 6 November 2006

    Gubernur Maluku Utara

    Drs. H. Thaib Armaiyn

  • III

    PENGANTAR EDISI PERTAMA

    Sejak Francoise Valentijn menerbitkan karya monumentalnya, Oud en Nieuw Oost

    Indie, khususnya dalam jilid 1b, "Beschrijving der Moluccas,"1 maka telaah tentang sejarah Maluku (Utara) yang komprehensif bisa dikatakan terhenti untuk waktu yang cukup lama. Hampir seratus empat puluh tahun kemudian barulah muncul karya P. van der Crab, De Moluksche Eilanden,2 dengan fokus yang sama seperti Valentijn, tetapi dengan tambahan materi dan bahan-bahan kontemporer pada masa itu.

    Sejak saat itu, sampai penghujung abad ke-20, belum muncul karya-karya yang mendeskripsikan sejarah Maluku (Utara) sebagaimana telah dilakukan kedua penulis Belanda di atas, sekalipun telah banyak lahir monograf mengenai daerah-daerah tertentu di kawasan tersebut.3 Baru pada 1993 Leonard J. Andaya, seorang penulis non-Belanda, mempublikasi bukunya, The World of Maluku,4 yang berupaya merekonstruksi sejarah Maluku secara komprehensif dengan menyerap data dari para penulis dan dokumen-dokumen Belanda, serta sumber-sumber Spanyol, Portugis dan Inggris.

    Karya-karya Valentijn dan van der Crab telah menjadi klasik dan sulit diperoleh dewasa ini. Di Indonesia, karya-karya tersebut hanya dikoleksi oleh Perpustakaan Nasional, Jakarta, dan mungkin oleh pribadi-pribadi tertentu. Demikian pula, buku Andaya, meskipun tergolong baru, tidak banyak beredar di Indonesia. Karena itu, buku yang -- menurut hemat penulis -- teramat penting ini jarang dirujuk sebagai referensi penulisan sejarah Maluku (Utara) modern.

    Sementara para pakar sejarah Maluku (Utara) yang sangat berotoritas semisal Paramita S. Abdurachman, A.B. Lapian, R.Z. Leirissa dan lainnya, lebih menitikberatkan telaah mereka pada fragmen-fragmen strategis tertentu sejarah Maluku (Utara) untuk memberi gambaran yang lebih mendalam.

    Paramita, misalnya, banyak menelaah sumber-sumber primer sejarah Maluku (Utara),5 dan campur tangan Barat dalam perniagaan rempah-rempah.6 Sementara Lapian mengkaji keragaman persatuan Maluku Kie Raha,7 dan Leirissa menulis tentang Halmahera Timur dan Raja Jailolo,8 sebuah hasil telaah tentang sejarah kawasan Halmahera Timur dan kemelut aristokrasi Jailolo setelah meninggalnya Sultan Nuku dari Tidore.

    Berbagai kajian para penulis Indonesia yang baru saja dikemukakan, sebagian besarnya mengungkapkan aspek-aspek strategis tertentu sejarah Maluku Utara dan menyajikan bahan baku yang akan memperkaya materi sejarahnya. Tetapi, selain hal-hal 1 Amsterdam: Dordrecht 1724. Edisi S. Keyzer, s'Gravenhage, 1856. 2 Batavia: Lange & Co., 1862. 3 Lihat misalnya W. Ph. Coolhaas, Kroniek van het Rijk Batjan (Jakarta, 1923); Ch. van Fraassen, Ternate, de

    Molukken en de Indonesische Arschipel, 2 vols. (Leiden, 1987); dan E.J. Katoppo, Nuku (Bandung, 1957). 4 Honolulu: Univ. of Hawaii Press, 1993. 5 Lihat tulisannya, "Kegunaan Sumber-sumber Portugis dan Spanyol untuk Pembuktian Sejarah Maluku," MISI, vol. viii, no. 3 (1980). 6 Lihat tulisannya, "Moluccan Spice Responses to the Intrusions of the West," Dynamic of History, (Amsterdam, 1978). 7 Lihat misalnya, The Diversivide Unity of Maluku Kie Raha, (Kyoto, 1984), dan Bacan and the Early History of

    North Maluku, Halmahera and Beyond, KITVL Press, 1994, pp. 11-22. 8 Jakarta, 1996.

  • IV

    tersebut, yang paling dibutuhkan saat ini adalah sebuah karya yang dapat menyuguhkan peta kesejarahan Maluku Utara secara deskriptif dan ditulis secara populer.

    Penulis sendiri telah lama mencita-citakan menyusun sebuah buku sejarah yang dapat mendekati kualifikasi tersebut. Sekalipun demikian, disadari bahwa hal itu sangat sukar dilakukan oleh seorang amatir tanpa kerja keras, kemauan yang kuat dan keseriusan. Demikianlah, buku ini diharapkan dapat mewujudkan cita-cita akan sebuah buku sejarah Maluku Utara yang komprehensif dan populer itu.

    Dalam menyusun buku ini, penulis telah berusaha berlaku obyektif dengan mengemukakan fakta-fakta sejarah secara apa adanya berdasarkan rujukan yang tersedia. Demikian pula, buku ini berupaya menyajikan potret Maluku Utara yang sebenarnya dengan segala kelebihan serta kekurangannya. Pergulatan rakyat Maluku Utara selama berabad-abad dalam menghadapi berbagai tantangan dan berbagai respon yang telah mereka berikan merupakan tema pokok buku ini.

    Potret tersebut memperlihatkan bagaimana karakter dan wujud dari berbagai tantangan serta bagaimana rakyat Maluku Utara di bawah kepemimpinan formal dan informal menempuh cara-cara penyelesaiannya menurut situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dari sudut inilah sejarah Maluku Utara semestinya dilihat.

    Sejarah kepulauan rempah-rempah ini juga diwarnai dengan semaraknya peperangan, baik perang antara sesama warganya sendiri untuk memperebutkan hegemoni, maupun perang untuk mempertahankan harga diri, kehormatan dan integritas melawan tindak sewenang-wenang kekuasaan asing.

    Di balik kecemasan, ketakutan dan ketidakpastian, kawasan ini telah melahirkan sejumlah hero dan tokoh-tokoh panutan. Tetapi, sejumlah tokoh pengecut, tidak percaya diri dan pribadi-pribadi yang lemah juga ikut dilahirkan. Karena mereka semua adalah pelaku yang telah tampil di atas pentas sejarah daerah ini, maka -- terlepas dari positif atau negatifnya kadar peranan masing-masing -- mereka harus diakomodasikan dan dicatat.

    Selaras dengan premis ini, setiap negeri -- dengan pengecualian Jailolo, Ternate, Tidore dan Bacan yang secara nyata memang menjadi pelaku sejarah -- betapapun kecilnya, harus pula memperoleh tempat yang semestinya. Dengan demikian, daerah-daerah seperti Makian, Tobelo, Galela, Loloda, Gamkonora, Maba, Patani, Weda, dan lainnya, harus dipertimbangkan dan direkam.

    Mengakhiri pengantar ini penulis ingin menyampaikan dari lubuk hatinya yang terdalam ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang langsung atau tidak langsung membantu pekerjaan penulis. Secara khusus, ucapan ini ditujukan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Tengah, Pemerintah Kota Ternate, dan Sekretaris Wilayah Daerah Propinsi Maluku Utara, yang telah memberikan sokongan dana yang memungkinkan penulis melakukan penelitian kepustakaan dan kearsipan selama lebih dari dua bulan di Jakarta.

    Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasihnya kepada pimpinan dan pengelola Perpustakaan Nasional, terutama kepada para petugas di lantai lima, Perpustakaan LIPI dan Arsip Nasional, yang telah memberikan kemudahan untuk mengakses koleksi buku langka dan dokumen-dokumen kearsipan yang mencakup berbagai kontrak politik, berbagai resolusi dan laporan umum, serta surat-surat di bawah bundel "Ternate." Tanpa bantuan lembaga-lembaga tersebut, buku ini tidak mungkin dapat ditulis.

    Selanjutnya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada almarhum Drs. A. Bahar Andili, mantan Bupati Halmahera Tengah, yang selain memotivasi dan memberikan

  • V

    dorongan kuat yang konstan, juga telah menantang penulis untuk menyusun buku ini.9 Terima kasih serupa juga disampaikan kepada Drs. Fachri Ammarie yang telah bekerja keras dan melakukan berbagai ikhtiar sampai naskah ini naik ke percetakan. Demikian pula, terima kasih juga dihaturkan kepada Rektor Universitas Khairun yang telah memprakarsai penerbitan buku ini.

    Ternate, 16 Nopember 2001

    9 Pada 6 Nopember 2001, Drs. A. Bahar Andili berpulang ke hadirat Ilahi. Satu setengah bulan menjelang kepergiannya, penulis telah menyerahkan satu eksemplar draft buku ini kepadanya. Dan sepuluh hari setelah draft tersebut berada di tangan almarhum, ia sempat menelepon penulis dan mengemukakan pandangan serta sarannya mengenai isi draft tersebut.

  • VI

    CATATAN PENULIS UNTUK EDISI REVISI

    Pada edisi ini perlu diberikan beberapa catatan klarifikasi. Dalam bab 1 sampai bab 11, penulis menggunakan nama Maluku untuk menggantikan Maluku Utara. Pergantian ini bukanlah tanpa alasan. Rangkaian pulau penghasil rempah-rempah Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan kepulauan Bacan sudah sejak masa awal dikenal secara mundial dengan nama Maluku. Nama ini pula yang dalam tambo Dinasti Tang dari Cina (618-906) disebutkan sebagai Mi-li-ki, dan buku Nagarakartagama (1365) menuliskannya dengan Maloko, sementara para pedagang Arab menamakannya Jazirah al-Mamluk.

    Bangsa Portugis sebelum mengunjungi kawasan ini menyebutnya dengan Kepulauan Rempah-rempah (as Ilhas de Crafo). Setelah mereka datang ke sini pada awal abad ke-16, barulah diketahui nama asli kawasan kepulauan ini sebagai Molucco. Karena jumlah pulaunya banyak, mereka menamakannya Moluccas. Bangsa Belanda yang tiba hampir seabad kemudian menyebutnya Molukken, untuk wilayah yang kini bernama Propinsi Maluku Utara.

    Apabila di sana sini nama tersebut masih ditulis dengan Maluku Utara, terutama dalam bab 12 dan seterusnya, maka yang dimaksudkan adalah Maluku seperti dalam pengertian historis yang disebutkan di atas, yang juga sesuai dengan perkembangan sejarah ketatapemerintahan di kawasan ini sejak awal abad ke-19.

    Pada edisi kedua yang direvisi ini, jilid I dan II edisi pertama disatukan dengan tidak menyertakan bab tentang kronik pada kedua jilid buku tersebut. Bahkan, bab Ternate, Tidore, Jailolo, dan Moro ditulis ulang berkenaan dengan referensi baru yang diperoleh. Karena revisi yang dilakukan cukup luas, judul buku juga mengalami perubahan.

    Penulis sangat berterima kasih kepada Prof. Dr.A.B. Lapian, yang telah berkenan menulis Kata Pengantar, dan kepada Taufik Adnan Amal yang telah bersusah-payah meluangkan waku di antara berbagai kesibukannya untuk melakukan penyuntingan ulang terhadap naskah edisi revisi ini. Terima kasih serupa juga disampaikan kepada Wardah Amelia yang telah membantu mengetik seluruh naskah tambahan, kepada Nyonya Ida Djafaar atas saran dan masukannya, serta semua pihak yang tak bisa disebutkan satu per satu, yang telah membantu penerbitan buku ini, khususnya kepada sdr. Petrarca Karetji dari SOFEI Makassar yang telah memprakarsai suatu pembahasan kritis atas naskah buku ini dengan organisasi Mahasiswa KEMAMORA di Salatiga sebagai langkah awal sebelum draft buku naik ke percetakan.

    Banyak masukan dan saran berharga telah diajukan peserta diskusi kepada penulis, akan tetapi mengingat waktu yang amat terbatas, maka selain salah cetak yang telah dibetulkan, saran-saran selebihnya akan diupayakan dalam edisi berikutnya. Kepada KEMAMORA saya sampaikan penghargaan dan terima kasih.

    Penulis juga berterima kasih kepada Sdr. Rachmad Sabang dari BAKTI Makassar, Bank Dunia di Jakarta yang membiayai penelitian penulis, dan Clara Smith, kandidat doktor dari Universitas London.

    Ternate, 1 Juni 2006

  • VII

    PENGANTAR PROF. DR. A. B. LAPIAN

    Pengetahuan kita tentang sejarah Maluku Utara sangat terbatas. Umumnya diketahui bahwa pada abad ke-16 orang Portugis datang, disusul oleh orang Spanyol, dan kemudian orang Belanda. Berikut ada adu kekuatan Negara-negara Barat untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini. Juga diketahui sedikit tentang tentang perlawanan Pangeran Nuku pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Tetapi sejak VOC terlibat dengan perang perang suksesi di Mataram, apalagi sesudah harga rempah-rempah menurun di pasar Eropa, Belanda lebih banyak memperhatikan eksploitasi pulau Jawa saja dan kemudian di paruh akhir abad ke-19 membuka perkebunan di Sumatera. Maka kesan umum seolah-olah sejarah Maluku Utara berhenti.

    Begitu pula buku-buku tentang Sejarah Indonesia. Kisah sejarah hanya membuntuti arah perhatian Belanda, dari Maluku ke Jawa, lalu ke Sumatera. Sewaktu-waktu perhatian beralih ke daerah lain jika Belanda harus menghadapi perlawanan setempat, misalnya ke Makassar pada abad ke-17 dan awal abad ke-20, atau ke Banjarmasin pada tahun 1860-an, atau ke Lombok pada tahun 1894, dan seterusnya. Jadi sesungguhnya kisah sejarah tanah air di masa pra-kemerdekaan lebih banyak mengikuti perhatian pemerintah Batavia!

    Karya Bapak Adnan Amal S.H. yang berjudul Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250-1800 (Ternate, Universitas Khairun, 2002) dan Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1800-1950 yang ditulis bersama Irza Arnyta Djafaar dan diterbitkan tahun berikutnya, mengisi kekosongan pengetahuan kita tentang kawasan ini yang dahulu pernah mengundang begitu banyak pengunjung dari segala penjuru dunia untuk memperoleh cengkih yang hanya terdapat di pulau-pulau ini, jika tidak lewat perdagangan malahan diambil secara paksa! Sekarang dua buku tersebutsetelah diadakan revisiditerbitkan dalam satu jilid. Tentu saja kami, bersama seluruh pembaca yang menaruh minat terhadap sejarah kawasan ini, menyambut dengan gembira upaya penerbitan kembali buku ini.

    Sebagai sarjana hukum, penulis buku yang pernah menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Maluku di Ambon, kini aktif mengajar pada Fakultas Hukum Universitas Khairun di Ternate, namun perhatian beliau terhadap ilmu sejarah yang telah dimulai sejak duduk di bangku sekolah menengah tidak pernah berkurang, sehingga di masa pensiun beliau giat mencari data di Perpustakaan Nasional, Perpustakaan LIPI dan Arsip Nasional sehingga dapat menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah karya yang kaya akan informasi tentang masa lampau daerah Maluku Utara. Malahan sekarang beliau mulai berfikir bahwa masuk Fakutas Hukum kemudian berkarier sebagai hakim, mungkin suatu kekeliruan! Tetapi kami berpendapat bahwa justru karier sebagai hakim adalah dasar yang baik untuk mengadakan penelitian sejarah. Seorang hakim sebagaimana pun seorang sejarawan harus bersikap kritis terhadap sumber informasi, menyimaknya dan mempertimbangkan sumber-sumber mana yang dapat diandalkan dan yang mana tidak dapat diterima, untuk merekonstruksi sebuah peristiwa.

    Sejarawan Amerika terkenal, Bernard Lewis, pernah mengemukakakan ada tiga jenis sejarah yakni history believed, history invented, dan history reconstructed. Jenis pertama, yaitu sejarah yang umumnya diyakini di kalangan masyarakat tertentu, bisa benar tetapi bisa juga hanya sebuah mitos. Diperlukan bukti-bukti kuat untuk mendukungnya sehingga dapat

  • VIII

    disusun kembali menjadi sebuah kisah sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

    Informasi sejarah dalam buku ini disajikan dalam bentuk kronik yang merupakan bekal pengetahuan yang beharga untuk memahami masa lampau Maluku Utara. Mudah-mudahan di kemudian hari kita akan memperoleh suatu kisah yang komprehensif, suatu kajian sebagai hasil sebuah dialog penulis dengan masa lampau berdasarkan segudang sumber yang telah dikumpulkan beliau.

    Sepatutnyalah kami bersama peminat sejarah Maluku Utara lainnya mengucap selamat atas penerbitan buku ini. Semoga bapak M. Adnan Amal masih terus berkarya!

    Adrian B. Lapian

    Tomohon, Juni 2006.

  • BAB 1

    Profil Maluku

    Zaman Purba Penelitian arkeologis yang dilakukan Australian National University seperti

    dikemukakan Matthew Spring dalam tulisannya, "Recent Advances in Our Knowledge of Molucca's Earliest History"1 mengungkapkan bahwa Maluku telah didiami manusia sejak zaman es (pleestocene), sekurang-kurangnya 30.000 tahun lalu. Ketika itu, Maluku merupakan kawasan kritis yang menjadi mata rantai penghubung antara kawasan Pasifik dan Asia Tenggara. Menurut sejumlah sarjana, kawasan ini memiliki peran penting dalam masa prasejarah. Ia merupakan daerah lintas strategis bagi perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Melanesia dan Mikronesia. Bahkan, Richard Shutler Jr. mengemukakan hipotesis bahwa Halmahera, pulau terbesar di Maluku, merupakan kunci untuk menetapkan lokasi tanah asal penduduk yang berbahasa Austronesia. Situs dan benda prasejarah telah ditemukan di pulau Waidoba dan Taneti (Kayoa), serta di Doro dan Tanjung Luari (Kao dan Tobelo). Sementara benda-benda peninggalan tradisi batu besar, berupa batu-besar (megalitik) di Ternate dan batu-kecil (neolitik) di Waidoba, juga telah ditemukan.2

    Penduduk pertama Australia dan Papua mungkin telah menetap di kawasannya sekitar 60.000 tahun yang silam. Mereka berasal dari Asia serta sampai ke Australia dan Papua dengan melintasi Maluku. Ketika itu, bagian pulau Aru terletak pada kontinen yang sama dengan daratan Papua dan Australia. Hal ini terlihat dari persamaan jenis burung dan hewan. Burung Cendrawasih, misalnya, dapat ditemukan di Aru ataupun di Papua. Sementara Kangguru terdapat baik di Aru, Papua maupun Australia.

    Beberapa daerah di Maluku seperti Golo dan pulau Gebe diperkirakan telah dihuni manusia sejak 33.000 tahun silam. Demikian pula, Morotai (Daeo dan Tanjung Pinang) telah dihuni manusia sekitar 10.000 hingga 15.000 tahun lalu. Sementara Periode "modern" baru berlangsung 3500 tahun silam, setelah zaman es berlalu.

    Penduduk pertama kepulauan Maluku, seperti halnya daerah-daerah Nusantara lainnya, adalah ras Mongolid dan Austromelanesoid yang datang dari Asia Tenggara. Dari kedua ras itu, ras Austromelanesoid merupakan pemukim terbesar di Maluku. Mereka datang secara bergelombang dan menetap di beberapa pemukiman yang terisolasi. Unsur budaya paling dominan di Halmahera Utara, misalnya, adalah Austromelanesoid. Hal ini bisa dilihat dalam bahasanya yang tergolong serumpun dengan bahasa-bahasa Austronesia, seperti bahasa Papua dan bahasa-bahasa kepulauan Pasifik.

    Suatu penelitian yang dilakukan para ahli Belanda pada abad ke-18 menunjukkan adanya kemiripan beberapa rincian antara orang-orang Gamraange dan orang-orang Papua kepulauan pada masa belakangan, kedua wilayah ini masuk ke dalam kawasan kekuasaan Kesultanan Tidore. Demikian pula, suatu penelitian sejarah linguistik menunjukkan bahwa 1 Sumber: Internet http:/artolpha.anu.au/web/arc/resources/pacifis/maluku-utara 2 Santoso Sugondho Penelitian Arkeologi Maluku Utara, dalam E.K.H. Masinambouw (ed.) Halmahera dan Raja Ampat.

  • 2

    antara 10.000 hingga 15.000 tahun lalu, orang-orang berbahasa Papua pertama kali mendiami kawasan timur Indonesia, dan bahasa yang dituturkan orang-orang Halmahera Utara serta Morotai, termasuk bahasa orang-orang Papua Barat, dapat diklasifikasikan ke dalam rumpun bahasa Austronesia.

    Perubahan dan pergantian budaya di Maluku baru terjadi sekitar 2000 tahun silam, setelah datangnya orang-orang Negroid. Penduduk baru ini, yang menggunakan bahasa Austronesia, menghuni seluruh bagian kepulauan Maluku. Jejak arkeologis menunjukkan bahwa bahasa-bahasa Austronesia telah melintasi pulau-pulau di Asia Tenggara menuju bagian utara Papua dan keluar ke kepulauan Melanesia, Polynesia dan Mikronesia. Bahasa dan budaya Austronesia juga melintasi Selandia Baru melalui pesisir pantai Papua. Ia juga menyebar ke Asia Tenggara sampai ke Madagaskar di Afrika. Pemukiman tertua orang Austronesia terdapat di pulau Kayoa. Setelah itu, pemukiman ini berkembang ke daerah-daerah lain di Maluku Utara dan di Seram Barat, pulau Ambon serta Hitu. Jejak budaya yang sama juga dapat ditemukan di pulau Aru.

    Perubahan budaya selanjutnya dari zaman batu ke zaman tembikar di daerah Maluku terjadi kira-kira 2000 tahun silam, bertepatan dengan dimulainya kegiatan manusia yang bersifat ekonomik. Menurut Sarasin bersaudara,3 setelah orang Negroid, datang pula orang Melayu ke Maluku dalam dua gelombang. Gelombang pertama disebut proto-Melayu dan gelombang kedua doutro-Melayu. Setelah kedatangan gelombang kedua, proto-Melayu terdesak. Untuk mempertahankan eksistensinya, mereka menyingkir ke daerah pedalaman serta membentuk komunitas terpencil. Orang-orang Alifuru di pedalaman Halmahera dan suku-suku terasing lainnya mungkin berasal dari kelompok yang tersingkir ini. Mereka lazimnya mendiami tepian danau atau hulu sungai serta terdiri dari beberapa suku: suku Tobaru di Galela, Wayoli di Sahu, Boenge di Ibu, Pagu di Kao, Kusuri di Tobelo, dan suku-suku lainnya yang terdapat di Halmahera Timur serta kepulauan Sula. Walaupun bagian terbesar dari suku-suku ini telah dimukimkan kembali, sisa-sisanya masih dapat ditemukan terutama di Halmahera Utara dan Halmahera Timur.

    Geografi Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang terletak pada lintasan garis khatulistiwa

    dan berada pada 124o sampai 129o bujur timur dan 3o lintang utara sampai 3o lintang selatan. Ada sekitar 353 pulau besar dan kecil -- baik yang berpenghuni ataupun belum -- di wilayah ini. Pulau terbesarnya dan paling utama adalah Halmahera, menyusul pulau-pulau penting lainnya seperti Obi, Sula, Morotai, Bacan, Makian, Ternate dan Tidore.

    Luas wilayah daratan Maluku Utara mencapai 32.000 km2, sementara kawasan lautnya sebesar 107.381 km2. Di sebelah utara kawasan ini berbatasan dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Laut Seram, di sebelah timur dengan Laut Halmahera, dan di sebelah barat dengan Laut Maluku.

    Fisiografi Maluku Utara4 dibentuk oleh relief-relief besar, di mana palung-palung oseanis dan punggung-punggung pegunungan saling berganti secara amat mencolok. Kepulauan ini terdiri dari dua lengkungan kesatuan kepulauan yang berjalan melalui Filipina,

    3 Drs. H.M. Shaleh Putuhena, Penyebaran Agama Islam di Maluku, (Makassar: Balai Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat IAIN Alauiddin, 1995), p. 21. 4 Untuk fisiografis dan topografis Maluku Utara, lihat A. Bahar Andili, Profil Daerah Maluku Utara, dalam Masinambouw (ed.), Halmahera dan Raja Ampat, pp. 3 ff.

  • 3

    Sangir Talaud, Minahasa, yang dilingkupi oleh lekuk Sulawesi, palung Sangihe yang vulkanis, dan lengkungan kontinen Melanesis yang bergerak dari Papua (Irian) bagian utara, Halmahera Timur dan berakhir di Maluku Utara bagian utara yang nir-vulkanis.

    Secara topografis, sebagian besar Maluku Utara terdiri dari pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, dengan jenis tanah dominan berupa tanah kompleks brown forest soil, tanah mediteran, tanah latosol dan tanah renzina. Penyebaran daratannya terdiri dari kelompok pulau besar, seperti Halmahera, kelompok pulau sedang, seperti Morotai, Bacan, Obi, Taliabu dan Mangoli, serta kelompok pulau kecil, seperti Ternate, Tidore, Makian, Kayoa, dan sebagainya.

    Asal-usul Nama "Maluku" Van Fraassen,5 sembari mengutip Pigeaud, mengemukakan bahwa nama Maluku telah

    dicatat dalam Nagarakertagama (1365) sebagai "Maloko." Diduga bahwa penulis Nagarakartagama telah mengadopsi nama itu dari kebanyakan pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara.

    Dalam hikayat Dinasti Tang (618-906) disebutkan eksistensi suatu kawasan yang digunakan untuk menentukan arah daerah Ho-ling (Kaling) yang terletak di sebelah baratnya. Kawasan ini bernama "Mi-li-ki," yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis-penulis Cina dari zaman Dinasti Tang, yang menyebutnya sebagai "Mi-li-ku," tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang ditunjuk dengan nama tersebut. Pada masa kemudian barulah diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan "Mi-li-ku" itu adalah gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan dan Moti.6

    Dalam rumpun bahasa daerah Maluku Utara, seperti bahasa Galela, dikenal adanya kata "luku" yang sering diberi awalan "ma." Dalam bahasa daerah Hamahera Utara itu, kata "luku" berarti "dalam." Dengan menambahkan preposisi "ma" kepada kata "luku," ungkapan "Maluku" bermakna "dalam sekali."7 Dalam bahasa Tobelo, ada juga kata "loko", tetapi dengan makna yang sama dengan kata serupa dalam bahasa Ternate yang berarti "gunung." Kata "loko," dalam bahasa Galela, memiliki makna "batu karang" atau "batu cadas." Apakah kata-kata dari bahasa daerah ini menunjuk kepada asal-usul nama "Maluku" merupakan suatu pertanyaan yang jawabannya tidak dapat dipastikan.

    Suatu konstruk pendapat yang dibangun tentang asal-usul nama "Maluku" mengembalikan kata ini kepada ungkapan "loko" yang berarti "gunung." Ungkapan ini, seperti ditunjukkan di atas, dikenal dalam bahasa-bahasa di daerah Maluku Utara. Ungkapan "Ternate maloko" bermakna "Ternate makie" atau "gunung Ternate." Dari ungkapan ini muncul kata bersayap: "Ternate se Tidore, Moti se Mara Maloko Kie Raha" ("Ternate dan Tidore, Moti dan Makian, mempunyai empat gunung"). Kata "loko" berubah pengucapannya menjadi "luku," maka terjadilah ungkapan: "Ternate se Tidore, Moti se Mara Maluku kie raha" ("Ternate dan Tidore, Moti dan Makian, dunia dari empat gunung").

    Pendapat lain, dengan mengutip beberapa informan lokal, menyatakan bahwa "Maluku" terbentuk dari kata "moloku," yang dalam bahasa Ternate bemakna "menggenggam, menyatukan" dan erat kaitannya dengan nama konfederasi empat kerajaan 5 Ch. F. van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel, (disertasi, Leiden: 1987), vol. 1, pp. 24 f. 6 Paramita R. Abdurachman, "Moluccan Responses to the First Intrusions of the West," Dynamic of History, eds. Haryati Subadio, et. al., (Amsterdam: North Holland Pub. Co., 1978), p. 163. 7 Van Fraassen, Ternate, vol. 1., pp. 24 f.

  • 4

    tradisional, Moloku Kie Raha ("persatuan empat kerajaan"), serta dengan moto persekutuan tersebut, moi-moi i moloku ("semua dalam satu kesatuan / genggaman").8 Tetapi, pendapat ini sulit diterima berdasarkan beberapa alasan berikut:

    Pertama: Kata "loku" bukan berasal dari bahasa Ternate, tetapi dari bahasa Melayu pasaran yang juga digunakan di Ambon dan Manado. "Loku" memiliki banyak arti: Dalam ungkapan "beras satu loku" ("satu genggam beras"), kata ini merujuk kepada takaran. Kata ini juga bermakna "mengangkat," misalnya dalam ungkapan "loku samua" ("angkat semua"), "loku-loku" ("alat pengangkat sampah"). Selanjutnya, kata "loku" bisa bermakna "membersihkan." Apabila seorang bayi atau anak kecil buang hajat besar, maka ungkapan "loku" dalam konteks ini bermakna "membersihkan." Dengan demikian, dalam bahasa Melayu pasaran, "loku" memiliki makna yang beragam. Selain itu, kata ini tidak identik dengan "konfederasi", yang merupakan suatu istilah ketatanegaraan.

    Kedua: Sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan di Maluku, belum pernah terbentuk suatu konfederasi. Sultan Khairun dari Ternate pernah mengimpikan Ternate berkonfederasi dengan Jailolo di bawah kepemimpinannya. Demikian pula, Sultan Nuku dari Tidore pernah mencita-citakan suatu konfederasi antara Tidore dan Jailolo, serta untuk itu ia menghidupkan kembali kerajaan Jailolo yang telah dianeksasi secara total oleh Ternate di bawah Sultan Mandar Syahsyah sejak 1636 serta mengangkat Sangaji Tahane (Makian) sebagai Sultan Jailolo. Tetapi, baik Khairun maupun Nuku tidak pernah berhasil mewujudkan cita-cita mereka. Apabila dikatakan bahwa persekutuan Moloku Kie Raha dibentuk dalam suatu pertemuan di Moti pada 1322,9 maka perlu dijelaskan bahwa pertemuan yang dilakukan oleh empat kerajaan Maluku di Moti pada tahun itu sama sekali tidak mengagendakan pembicaraan tentang konfederasi.10

    Ada pendapat yang lebih popular tentang asal-usul kata "Maluku." Menurut pendapat ini, kata "Maluku" terambi dari kata Arab "malik" yang berarti "raja." Pedagang Arab menamakan deretan pulau-pulau di bagian utara Maluku sebagai "jazirah al-mamluk" ("kepulauan raja-raja"), yang menunjuk kepada empat kerajaan di zaman bahari yang sangat berpengaruh secara politis dan ketatanegaraan, yaitu Jailolo, Ternate, Tidore dan Bacan. Tetapi, tidak semua kerajaan itu selalu tetap dalam persekutuan untuk jangka waktu lama. Ternate merupakan kerajaan terkemuka, menyusul Tidore.11

    Nama Maluku sudah dikenal secara nasional sebelum masa Hayam Wuruk (1350-1389). Ketika kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya, pedagang-pedagang Melayu dan Jawa telah tiba di Maluku untuk berniaga. Sejak berkuasanya Kolano Kamalu di Ternate, telah banyak berdatangan pedagang Jawa dan Melayu serta menetap di sana. Bahkan Kolano Kamalu menikahi seorang perempuan Melayu. Orang-orang Jawa dan Melayu inilah yang membawa rempah-rempah Maluku ke pelabuhan-pelabuhan penting di pesisir utara Jawa, sampai ke Aceh dan Malaka.

    Tetapi, nama Maluku ketika itu belum dikenal luas secara mundial. Kawasan ini masih merupakan terra in cognita. Ketika orang Portugis pertama kali tiba di Maluku pada 1512, misi yang dipimpin Antonie de Abreu bertolak dari Malaka dalam bulan Desember 1511

    8 Shaleh Putuhena, Penyebaran Agama Islam di Maluku, p. 16. 9 Ibid. 10 Tentang pertemuan Moti dan hasilnya dalam bab 4. 11 H.J. de Graaf, De Geschiedenis van Ambon en de Zuid Molukken, (Wever BV, Franeken, 1971), p. 20, dan kata pengantar, p. 5. Paramita Abduachman, dalam Moluccan Responses, juga menyinggung sumber-sumber pedagang Arab tentang nama Maluku tersebut.

  • 5

    tidak mengetahui bahwa Banda adalah sebagian dari Maluku. Alfonso d'Albuquerque yang mengeluarkan perintah pelayaran untuk misi ini hanya menugaskan untuk berlayar ke as ilhas de crafo atau pulau rempah-rempah. Baru setelah 1514, nama Maluku dikenal. Orang-orang Portugis yang menemukan bahwa Maluku itu terdiri dari banyak pulau kemudian menamakannya "Moluccos." Dalam laporan-laporan yang dikirim setelah ekspedisi pertama, nama pulau rempah-rempah itu diganti dengan Maluku. Sementara bangsa Spanyol yang tiba 9 tahun kemudian (1521), secara resmi menyebut Maluku untuk daerah yang mereka kunjungi.

    Arti Nama "Maluku" Nama "Maluku" memiliki tiga pengertian:

    a. Maluku ditinjau dari sudut sejarah;

    b. Maluku ditinjau dari sudut perdagangan dan pelayaran; dan

    c. Maluku ditinjau dari sudut administrasi dan kelembagaan pemerintahan. 12

    a. Maluku dari Sudut Sejarah

    Untuk pengertian pertama, yakni dari sudut sejarah, yang dimaksudkan Maluku pada zaman bahari hanya terbatas pada pulau-pulau di kawasan utara Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Makian, Moti dan Bacan. Antonio Galvao, yang menjabat sebagai Gubernur Portugis ke-7 di Maluku antara 1536-1540, menulis dalam Historia das Moluccas:

    Nama sebenarnya kepulauan Maluku terbatas pada pulau-pulau yang berada di bawah pemerintahan dan raja-raja Maluku, dan lebih khusus lagi adalah: Ternate, Tidore, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Labuha, yang sebelumnya bernama: Gapi, Duko, Moti, Makian (Mara), Maligo, Seki, dan Kasiruta.13

    Sementara P.H. van der Kemp14 berpendapat bahwa Maluku yang sebenarnya meliputi Ternate, Tidore, Bacan dan Halmahera (Jailolo). Pendapat serupa juga dikemukakan Naidah, penulis Hikayat Ternate: "Maluku artinya Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan." Menurutnya, hal ini disebabkan "Maluku kie raha ma asal rimoi bato, ma-kabasaran se ma-istiadat rimoi bato." ("Empat gunung Maluku sesungguhnya punya satu asal-usul, punya kemegahan dan budaya yang sama").15

    b. Maluku dari Sudut Perdagangan dan Pelayaran

    Dalam pengertian kedua, yakni Maluku ditinjau dari sisi perdagangan dan pelayaran, maka yang menjadi rujukannya adalah Traktat London 1824 perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda berikut pertukaran nota di antara kedua kerajaan Eropa ini berkenaan dengan traktat tersebut. Menurut Traktat London, yang termasuk daerah Maluku untuk pelayaran dan perdagangan meliputi Sulawesi di belahan barat, Papua di belahan timur, Timor

    12 P.H. van der Kemp, Het Ned. Indische Bestuur van 1817 op 1818. Martinus Nyhoff s'Gravenhage, 1917, p. 323 f. 13 Antonio Galvao, Historia das Moluccas, tr. Herbert M. Yacobs SJ. Rome: Jesuit Historical Institute, 1971, p. 36. 14 P.H. van der Kemp, op.cit. 15 Naidah, Sejarah Ternate, (1878), p. 382.

  • 6

    di belahan selatan, dan Kalimantan di belahan utara, termasuk pulau-pulau yang ada di dalamnya.

    c. Maluku dari Sudut Administrasi dan Kelembagaan Pemerintahan

    Untuk pengertian ketiga, Maluku ditinjau dari sudut administrasi dan kelembagaan pemerintahan, dapat dikemukakan sebagai berikut:

    a) Berdasarkan Traktat London tahun 1824, administrasi pemerintahan Maluku meliputi: Beberapa pulau yang dulu dikenal dengan nama Maluku pada masa-masa awal yaitu: Ternate, Tidore, Bacan, dan Halmahera/Jailolo, yang menurut Traktat London tersebut diperluas berdasarkan nota pemerintah Belanda dan Kerajaan Inggris, sehingga meliputi: Sulawesi di barat, Papua (Nieuw Guinea) di timur, dan Timor di selatan. Pada tahap berikutnya, kepulauan Maluku hanya meliputi: Ambon, Banda, Ternate, Tidore, Bacan, serta Manado/dan semua daerah yang berada di bawah kekuasaannya, sesuai Lembaran Negara tahun 1824 no. 9 a, 21 a, 26 a, dan 28 a.

    b) Pada 1840, Pemerintahan Maluku hanya terdiri dari: Kepulauan Ambon, kepulauan Banda, dan Ternate, serta semua daerah yang berada di bawah kewenangan Ambon, Banda, dan Ternate. sementara Manado dikeluarkan dari pemerintahan Maluku, dan dijadikan Residensi tersendiri.

    Maluku Sebelum Kedatangan Bangsa-Bangsa Barat

    Situasi Politik Sejarah Maluku identik dengan sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di daerah ini.

    Sekalipun sebagian besar mitos dan legenda, seperti telah dibahas dalam bab lalu, hanya menyebutkan eksistensi 4 kerajaan besar di Maluku, kenyataan historis menunjukkan bahwa di kawasan ini terdapat lebih dari 4 kerajaan. Empat kerajaan yang disebut dalam berbagai mitos dan legenda secara kronologis adalah Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan memang merupakan kerajaan-kerajaan besar yang berpengaruh dan telah eksis sejak paruh pertama abad ke-13. Di samping itu, ada beberapa kerajaan kecil lainnya seperti Loloda, Moro dan Obi yang tidak begitu berpengaruh lantaran didominasi kerajaan-kerajaan besar, tetapi telah menghiasi lembar sejarah Maluku dan pantas dicatat. Penguasa kerajaan-kerajaan di Maluku ini disebut Kolano (dari bahasa Jawa Kelana) atau raja, dan setelah memeluk agama Islam sebutan kolano diubah menjadi sultan.

    Di antara empat kerajaan besar di atas, hanya Ternate dan Tidore yang mempunyai posisi penting dalam situasi politik, ekonomi, maupun militer. Keduanya mempunyai pandangan politik yang hampir sama yaitu ekspansionis, dan karenanya mempunyai kekuatan militer yang relatif hampir berimbang. Bedanya, dalam mengimplementasikan ambisi ekspansionismenya, Ternate mengarahkan bidikannya ke barat sementara Tidore ke timur.

    Demikianlah, Kerajaan Ternate menanamkan pengaruh dan kontrolnya atas Ambon dan bagian barat pulau-pulau Seram. Pada abad ke-16 domonion Ternate akhirnya membentang dari Mindanao di utara hingga Flores di selatan, dari Sulawesi Utara (Manado, Gorontalo, dan kepulauan Sangir Talaud) hingga pantai timur Sulawesi Tengah (Kayeli, Tobungku, Banggai), dari pantai timur Sulawesi Selatan (Buton) hingga Seram Barat dan Banda. Kerajaan ini juga mulai mengobok-obok wilayah Kerajaan Jailolo, Loloda, dan Moro, yang berakhir dengan lenyapnya kerajaan-kerajaan tersebut dan menjadi bagian integral

  • 7

    Kerajaan Ternate. Pada pertengahan abad ke-16, puncak kedigdayaan Ternate tercapai di masa pemerintahan Sultan Khairun (1535-1545) dan dari 1546-1570 serta Sultan Babullah (1570-1583).

    Sementara Tidore sebagai pesaing Ternate dalam ekspansi teritorial, membidik kawasan timur. Setelah menguasai hampir tiga perempat Halmahera dan Seram Timur, Tidore berhasil menguasai Kepulauan Raja Ampat, kemudian Papua Daratan dan menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai Vasalnya. Walaupun secara politis kedua kerajaan ini bersaing ketat, akan tetapi suatu perang terbuka dan frontal tidak pernah terjadi. Kadang terjadi insiden kecil mewarnai hubungan keduanya, tetapi tidak sampai menimbulkan ofensif militer secara terbuka. Pulau Makian misalnya, beberapa kali beralih tangan antara kedua kerajaan, tetapi hal itu lebih disebabkan keinginan untuk menguasai sumber-sumber daya alam (ekonomi) dan bukan politik atau militer. Bahkan pada tahun 1332 ke empat kerajaan menandatangani sebuah persekutuan yang terkenal dengan nama Moti Verbond. Selain persaingan politik dan perebutan hegemoni regional, sejak 1512 telah timbul persaingan baru, yaitu upaya untuk menggaet mitra asing (Barat) ke pihak masing-masing.

    Ketika terbetik berita bahwa armada Portugis telah tiba di Banda, Sultan Ternate Bayamullah (Boleif), segera mengirimkan juanga (perahu tempur) untuk menjemput Francisco Serrao di Ambon. Sultan Tidore juga melakukan tindakan serupa tetapi kalah cepat, sehingga ketika utusannya tiba di Ambon, Francisco Serrao telah lebih dulu diboyong ke Ternate.

    Kerajaan Jailolo, sebagai kerajaan tertua yang eksis lebih dahulu dari ketiga kerajaan besar lainnya, pernah memiliki kekuasaan yang kuat baik di bidang politik maupun militer, dan menjadi kerajaan adidaya di kawasan Maluku. Tetapi pengaruh politik dan militer kerajaan ini tidak berlangsung lama. Dengan bantuan Portugis, Ternate berhasil melikuidasi kerajaan tersebut pada tahun 1551. Dari sebuah kerajaan besar, Ternate berhasil mendegradasinya hingga menjadi sebuah distrik (sangaji). Sejak saat itu Jailolo tidak pernah berhasil mengembalikan dan membangun kekuasaannya seperti semula.

    Bacan, kerajaan yang semula adalah Kerajaan Makian dan dipindahkan ke Pulau Kasiruta karena letusan gunung berapi Kie Besi, hanya memiliki teritori di pulau Bacan dan Kasiruta. Dalam perjalanan selanjutnya, kerajaan ini berhasil menguasai beberapa perkampungan di pantai utara Pulau Seram dan wilayah Gane Barat di selatan Halmahera. Dalam persaingan politik antara Ternate dan Tidore, Bacan lebih dekat kepada Tidore. Kerajaan ini juga memainkan peranan penting dalam sejarah penyebaran misi Katolik di Maluku. Bahkan pada tahun 1557, Raja Bacan yang baru dilantik, Alauddin, mengonversi agamanya dari Islam ke Kristen Katolik. Ia menyatakan seluruh kerajaan dan keluarganya menjadi Kristen dan mengganti namanya dengan Dom Joao. Atas ultimatum Babullah, Dom Joao kembali lagi memeluk agama Islam.

    Ketiga kerajaan kecil lainnya tidak mempunyai peranan baik politik, ekonomi, maupuan militer, yang relevan. Kerajaan Obi dicaplok Bacan, sementara Moro dan Loloda di Halmahera Utara oleh Babullah digabungkan dengan Ternate.

    Situasi Pemerintahan Karena Maluku merupakan jazirah kerajaan, tidak mengherankan bila gaya

    pemerintahannya adalah monarki yang dielaborasi dengan unsur-unsur adat dan tradisi. Takhta adalah lambang supremasi pemerintahan yang diduduki seorang raja sebagai pengambil keputusan akhir atas semua urusan kerajaan dan pemerintahan. Raja dibantu suatu

  • 8

    birokrasi yang disebut Bobato (semacam Menteri), yang dikepalai seorang jogugu (perdana menteri), yang selalu dijabat tokoh-tokoh kepercayaan raja. Pimpinan militer dipegang seorang Kapita Lau (Panglima Laut) yang selalu dijabat putera mahkota atau salah seorang putera raja lainnya. Wilayah Kerajaan terbagi dalam beberapa Jiko (semacam distrik) yang dipimpin seorang Sangaji (dari bahasa Jawa: Sang Aji) yang disebut Jiko Ma Kolano (Kepala Pemerintahan Wilayah) yang membawahkan sejumlah Soa (komunitas setingkat desa) yang dikepalai seorang Kimalaha.

    Di samping seorang Sangaji yang menjalankan tugas pemerintahan, raja juga mengangkat seorang Utusang sebagai wakil pribadi raja untuk mengurus kepentingan kerajaan, seperti mengumpulkan upeti dan tugas-tugas khusus lainnya. Pada daerah-daerah taklukan yang bukan kerajaan, raja mengangkat seorang Salahakan (Gubernur), sementara daerah-daerah taklukan yang sudah ada rajanya maka raja tetap memegang kekuasaan dan daerahnya menjadi vasal.

    Situasi Ekonomi Kekayaan Maluku terutama diperoleh dari rempah-rempah cengkih. Tanaman rempah-

    rempah ini mula-mula tumbuh secara liar di pulau Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan Kasiruta. Cengkih baru dibudidayakan mulai tahun 1450. Kekayaan akan rempah-rempah tersebut telah menyebabkan para pedagang Cina, Melayu, Jawa, Arab, Persia, dan Gujarat datang di daerah-daerah ini dengan membawa tekstil, beras, perhiasan dan kebutuhan hidup lainnya untuk ditukar dengan rempah-rempah.

    Para pedagang asing tersebut meraup keuntungan berlipat ganda dari pada rakyat kerajaan-kerajaan Ternate, Tidore, dan Bacan penghasil rempah-rempah. Tetapi para sultan, terutama Ternate dan Tidore yang menguasai sentra-sentra perdagangan rempah-rempah, juga menjadi kaya raya dan sangat makmur.

    Bahan makanan utama rakyat Maluku adalah sagu, beras, dan ikan. Tetapi sagu dan beras tidak dihasilkan oleh Ternate dan Tidore. Kedua jenis bahan pangan ini didatangkan dari Moro, Bacan, Sahu, dan wilayah Halmahera lainnya.

    Situasi Keagamaan Sebelum masuknya Islam, kepercayaan yang dianut raja dan rakyat adalah

    Animisme. Walaupun dalam sejarah Indonesia dikatakan bahwa sebelum masuknya Islam, Kerajaan Majapahit yang Hindu itu telah menguasai seluruh Nusantara, namun di Maluku tidak terdapat bukti kesejarahan bahwa rakyat dan para rajanya pernah menjadi penganut agama Hindu. Di kawasan ini tidak pernah ditemukan candi atau prasasti yang mengidentifikasikan hal itu. Bertolak dari bukti-bukti kesejarahan tersebut, sangat disangsikan apakah kekuasaan Majapahit yang besar itu pernah sempat menanamkan pengaruhnya di Maluku.

  • BAB 2 Kerajaan-kerajaan Maluku dalam Mitos dan Legenda

    Mitos Kelahiran Kerajaan-kerajaan Maluku Sejumlah mitos mengisahkan kelahiran dan asal-usul kerajaan-kerajaan di Maluku,

    khususnya empat kerajaan besar: Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Naidah, salah seorang klan Jiko yang menjabat sebagai Hukum Soasio dari 1859-1864 dan penulis Sejarah Ternate, berceritera tentang riwayat kelahiran raja-raja Maluku yang mirip legenda Jaya Katwang di Jawa Timur. Naskahnya, yang ditulis dalam bahasa Ternate, telah diterjemahkan oleh P. van der Crab -- mantan Residen Ternate (1863-1864) -- ke dalam bahasa Belanda dan diberi anotasi, kemudian diterbitkan pada 1878 dalam Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde van Nederlandsch Indie (BKI).1 Hikayat ini diberi judul oleh Crab: "Geschiedenis van Ternate, in der Ternataanschen en Maleischen Tekst, beschreven door der Ternataan Naidah, met Vertaling en Aantekeringen door P. van der Crab" (Sejarah Ternate, dalam Teks berbahasa Ternate dan Melayu, ditulis oleh Naidah, seorang Ternate, dengan terjemahan dan catatan oleh P. van der Crab).

    Tentang asal-usul kerajaan-kerajaan besar Maluku, Naidah menuturkan: Syahdan, mendaratlah di Ternate seorang Arab bernama Jafar Sadek (terkadang

    disebut juga Jafar Noh).2 Dia naik ke atas sebuah bukit bernama Jore-jore dan membangun rumahnya di sana. Di kaki bukit itu terdapat sebuah danau kecil bernama Ake Santosa. Suatu petang, ketika hendak mandi, Jafar Sadek melihat tujuh bidadari sedang mandi di danau itu. Jafar Sadek menyembunyikan salah satu sayap ketujuh bidadari itu. Setelah puas mandi, ketujuh bidadari bersiap-siap pulang, tetapi salah seorang di antaranya, bernama Nur Sifa, tidak dapat terbang pulang karena sayapnya hilang. Nur Sifa adalah puteri bungsu di antara ketujuh bersaudara itu.

    Karena tidak punya sayap, Nur Sifa terpaksa tinggal di bumi dan kawin dengan Jafar Sadek. Dari perkawinan ini lahirlah tiga orang anak laki-laki, dan masing-masing diberi nama: yang tertua Buka, yang kedua Darajat dan yang ketiga Sahajat.

    Pada suatu hari, ketika Nur Sifa memandikan si bungsu Sahajat, ia melihat bayangan sayapnya yang terpantul di air mandi Sahajat. Ia melihat ke atas dan sayapnya tersisip di atap rumahnya, tempat suaminya menyembunyikannya. Ia lalu mengambil sayapnya dan mencoba terbang sebanyak tiga kali. Tetapi, setiap kali terbang, si bungsu Sahajat selalu menangis. Ia lalu menampung air susunya pada sebuah gelas serta berpesan kepada si sulung Buka agar memberi minum adiknya bila menangis, dan agar memberitahukan ayahnya kalau pulang, bahwa ibunya telah kembali ke tempat asalnya. Setelah itu, Nur Sifa terbang tanpa mengindahkan tangisan Sahajat.

    1 BKI, 26. pp.381-493. 2 Tanggal 6 Muharram 643 H/1245 M disebut Naidah sebagai tanggal kedatangan Jafar Sadek ke Ternate

  • 10

    Ketika Jafar Sadek tiba di rumah dan mendengar pemberitahuan Buka, ia pun menangis. Tangisan Jafar Sadek didengar seekor burung elang laut (Ternate: guheba) yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.3 Setelah Jafar Sadek menceriterakan segalanya, burung itu menawarkan jasa menerbangkannya ke Kayangan dengan menaiki punggungnya. Sesampainya di Kayangan, Jafar Sadek bertemu ayah Nur Sifa dan berkata kepadanya: "Isteri saya, anak Anda." Penguasa Langit (heer van de hemel) itu lalu menghadirkan tujuh bidadari yang secara lahiriah mirip, baik wajah, postur tubuh maupun perawakannya. Jafar Sadek diminta menunjuk isterinya, salah seorang di antara ketujuh bidadari yang serupa itu, dengan syarat bila ia tidak dapat menunjuk secara tepat, ia harus mati. Ia boleh membawa pulang isterinya bila dapat menunjuknya dengan tepat.

    Dalam keadaan bingung, datanglah seekor lalat besar berwarna hijau (Ternate: gufu sang) hinggap di pundaknya dan menawarkan jasa sambil meminta imbalan. Kepada gufu sang Jafar Sadek menjanjikan semua yang berbau busuk di muka bumi ini untuknya, dan gufu sang menyetujuinya dengan pesan: "Perhatikan baik-baik, saya akan terbang mengelilingi semua bidadari itu, tetapi pada siapa aku hinggap, itulah isterimu." Gufu sang mengenal Nur Sifa dan bau badannya sebagai seorang yang tengah menyusui. Atas bantuan gufu sang, Jafar Sadek menunjuk dengan tepat isterinya, dan akhirnya Penguasa Kayangan menerima Jafar Sadek sebagai anggota keluarganya serta merestui perkawinannya.

    Selama tinggal di Kayangan, Jafar Sadek dan Nur Sifa dikaruniai seorang putera yang diberi nama Mashur Malamo. Setelah putera itu berusia setahun, mereka pamit hendak kembali ke bumi. Tetapi, setiap kali akan kembali, si kecil selalu menangis. Maka Penguasa Langit itu berkata: "Pasti ia mau penutup kepalaku" (Ternate: kopiah). Ketika kopiah itu dikenakan di kepala si kecil, ia pun diam. Maka kembalilah keluarga itu ke bumi, dan Mashur Malamo dengan kopiah yang dibawanya dari langit, pemberian kakeknya si Penguasa Langit.

    Ketika Jafar Sadek dan Nur Sifa tiba di bumi, mereka bersua kembali dengan ketiga anaknya yang telah lama ditinggalkan. Nur Sifa memberi tanda-tanda tertentu sebagai tempat duduk keempat anaknya. Anak pertama, Buka, diberinya sepotong buncak pohon (Ternate: age). Buka kemudian bertolak ke Makian dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Bacan. Anak kedua, Darajat, mendapat tempat duduk sepotong kayu terapung (Ternate: ginoti). Ia bertolak ke Moti dan menjadi cikal bakal Kerajaan Jailolo. Anak ketiga, Sahajat, memperoleh batu (Ternate: mari) sebagai tempat duduk. Ia pergi ke Tidore dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Tidore. Anak keempat, Mashur Malamo, memperoleh tempat duduk sebuah kursi dan menjadi cikal-bakal Kerajaan Ternate. Kopiah pemberian kakeknya yang dibawa dari langit menjadi mahkota Kerajaan Ternate.4

    Hikayat Bacan Pada 1923, W. Ph. Coolhaas mempublikasi Hikayat Bacan dalam Tijdschrift van het

    Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschap (jilid LXIII, penerbitan kedua). Belakangan, hikayat ini diterbitkan terpisah dalam bentuk buku dengan judul Kroniek van het Rijk Batjan, dengan teks dalam bahasa Belanda dan Melayu. Sekalipun tidak diketahui siapa penulis Hikayat Bacan, suntingan Coolhaas ini merupakan salah satu sumber penting tentang sejarah Bacan, dan kerajaan Maluku lainnya.

    3 Dalam cerita ini guheba disebutkan juga sebagai burung garuda 4 Naidah, Sejarah Ternate, pp. 382-384.

  • 11

    Hikayat Bacan menuturkan mitos kelahiran empat kerajaan Maluku secara agak berbeda dari versi Naidah dalam Sejarah Ternate yang telah dikemukakan di atas. Tokoh sentral dalam Hikayat Bacan masih tetap seorang Arab bernama Jafar Noh atau Jafar Sadek. Hikayat Bacan tidak menyebut nama isterinya, demikian pula tujuh bidadari Kayangan, seperti dituturkan Naidah. Jika Naidah menyebutkan jumlah anak Jafar Sadek sebanyak empat orang dan semuanya laki-laki, maka Hikayat Bacan menyebut lima orang, empat laki-laki dan seorang perempuan. Kisah kelahiran raja-raja pendiri kerajan di Maluku dalam versi Hikayat Bacan adalah sebagai berikut:

    Di zaman dahulu kala, Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan bersambung menjadi satu semenanjung dan semuanya bernama Gapi. Di semenanjung ini terdapat banyak negeri yang dikepalai masing-masing kepalanya dengan kekuasaannya sendiri-sendiri. Kepala tiap-tiap negeri itu bergelar Ambasoya. Maka terdapatlah Ambasoya seperti Kasiruta, Sungebodol, Indapoat, Lata-lata, Supae, Mandioli, Topa atau Ombi, Sungai Ra, Amasing, Salap dan Samboki. Ambasoya adalah bahasa Bacan yang bermakna Ngofamanyira atau Datu, yang berarti Kimalaha atau Sangaji.

    Syahdan, tiba di tanah Gapi seorang dari tanah Arab bernama Noh Ibnu Jafar Sadek. Ia memperoleh lima anak, empat laki-laki dan seorang perempuan, di atas bukit tanah Gapi. Ketika anak-anak itu sudah besar, bapaknya berkata kepada mereka: "Aku berdoa memohon kepada Allah SWT supaya kamu dijadikan Raja Moloku di tanah yang berlain-lainan. Maka Jafar Sadek pun berdoa sesuai perkataannya itu.

    Tiba-tiba datang gelap-gulita, guntur dan kilat, angin ribut serta hujan lebat semalam suntuk hingga terbit fajar di pagi hari. Ketika pagi tiba, semenanjung dari Ternate sampai Bacan sudah terputus-putus dan berselang-seling menjadi pulau Ternate, Tidore, Moti dan Makian.

    Maka tiap-tiap anak dari keempat anak laki-laki itu diberi tempat. Anak pertama, bernama Said Muhammad Bakir atau Said Husin, di atas gunung Makian dan bergelar Maharaja Yang Bertakhta Kerajaan Moloku Astana Bacan, Negeri Komolo Besi Limau Dolik. Anak Kedua menjadi Moloku Jailolo. Anak Ketiga menjadi Moloku Tidore. Dan anak keempat menjadi Moloku Ternate. Yang kelima, anak perempuan, pergi ke tanah Gapi di Banggai dan bermukim di sana.5

    Hikayat Rua Ake Rica Baru-baru ini tersiar sebuah kisah di internet tentang mitos terbentuknya kerajaan-

    kerajaan di Maluku. Kisah tersebut adalah sebagai berikut:

    Sekitar abad ke-13, empat kerajaan besar eksis di kepulauan Maluku Utara. Keempat penguasanya saling berhubungan antara satu dengan lainnya, tetapi memiliki pengaruh yang berbeda. Mereka adalah anak keturunan seorang guru agama dari tanah Arab yang pada 1204 singgah di Rua Akerica, sebuah kampung yang terletak 24 km di sebelah barat pulau Ternate.

    Guru agama itu mendakwahkan agama Islam dan, setelah berhasil, ia menikahi anak perempuan keluarga lokal terhormat. Dari perkawinan tersebut, pasangan ini memperoleh delapan orang anak, empat laki-laki dan empat perempuan.

    5 Hikayat Bacan tidak menyebut nama anak kedua, ketiga dan keempat, demikian pula nama anak perempuan Jafar Sadek. Tetapi, van Fraassen menyebut nama anak perempuan itu adalah Saharnawi atau Sarnawi. Raja-raja Loloda berasal dari keturunan Sarnawi. Lihat van Frassen, op.cit. jilid I, catatan kaki 5, p. 462.

  • 12

    Ketika anak-anak itu dewasa, yang laki-lakinya mencari jalan masing-masing untuk mendirikan kerajaan. Salah seorang anak laki-laki pergi ke pulau Makian dan mendirikan Kerajaan Kie Besi. Tetapi, lantaran ancaman gunung berapi, ia kemudian pindah ke pulau Bacan. Anak laki-laki lainnya pergi ke pulau Moti dan mendirikan Kerajaan Tuanane. Tetapi, karena pulau ini sangat tandus, ia pindah ke Jailolo di Halmahera. Anak laki-laki ketiga bermukim di pulau Tidore dan mendirikan Kerajaan Duku. Sementara anak laki-laki termuda pergi ke Gapi di pulau Ternate dan mendirikan Kerajaan Gapi, serta bergelar Sultan Cico.

    Keempat kerajaan di atas itulah yang dikenal sebagai Moluku Kie Raha, atau Empat Kerajaan Kepulauan. Tetapi, dari keempat kerajaan tersebut, hanya Ternate dan Tidore yang berhasil dan berkembang.6

    Tentang Kedatangan Jafar Sadek ke Maluku Dalam legenda-legenda di atas, Jafar Sadek yang disebut sebagai ayah dari pendiri

    kerajaan-kerajaan di Maluku dikatakan datang ke Ternate dari tanah Arab. Tentang kedatangannya ke Maluku ini, ketika itu bernama Gapi, Kronik Bacan menuturkan sebagai berikut:

    Ketika Jafar Sadek masih di tanah Arab, pada suatu hari ia dalam keadaan sedih dan bertafakkur. Tiba-tiba datang seorang utusan Tuhan dan berkata kepadanya: "Wahai Noh Jafar, pergilah ke arah timur. Di sana engkau akan menemukan empat orang tua." Jafar Sadek lalu bangkit dari renungannya dan langsung berangkat. 7

    Menurut versi Sejarah Ternate yang ditulis Naidah, Jafar Sadek terdampar di Ternate karena kapalnya rusak dalam suatu pelayaran dari Jawa. Dalam Sejarah Ternate8 Naidah menulis sebagai berikut: Toma enage Mashurmalamo ibaba Djafar Sadek odero ngofa atomodi toma kaha Jawa simara isa toma Ternate.(Dahulu, ayah Mashurmalamo Djafar Sadek, memperoleh 7 orang anak di tanah Jawa, barulah datang ke Ternate).

    Naidah mencatat Djafar Sadek tiba di Ternate pada hari senin tanggal 6 Muharram tahun 643 Hijriah.9 Dalam bukunya, Prof. de Graaf dan Th.G.Th.Pigeaud Chinese Muslim in Java in the 15th and 16th centuries10 menyatakan, bahwa Jafar Sadek adalah seorang dari Mesir yang dikirim pemerintahnya ke Jawa sebagai Ambassador Plenipotentiary (Duta Besar Berkuasa penuh) dari kesultanan Mesir Dinasti Abbasiyah. Tetapi menurut sumber-sumber Cina, Jafar Sadek adalah Ja Tek Su, seorang muslim ahli perkapalan Cina yang menjadi muballigh Islam di Jawa pada abad ke XV.

    Menurut sejarah Ternate versi Tidore, Jafar Sadek tidak menikahi Nurul Sifa puteri bungsu dari kayangan, tetapi ia menjadi suami seorang perempuan bangsawan Tidore bernama Tasuma.

    Sementara Hikayat Bacan11 menyebutkan bahwa Jafar Sadek tiba di Gapi tanpa menggunakan alat pelayaran apapun. Ia tiba-tiba saja keluar dari laut dan naik ke pantai Gapi

    6 History, Courtesy of ITPB, 26 August 2000, ID 17613. 7 Hikayat Bacan, pp. 492-493. 8 BKI, 1873, 26 pp.384ff. 9 Ibid.p.492. 10 Monash Papers on South Asia, no.12. M.C. Ricklefs (ed.), pp.30-31. 11 Ibid.

  • 13

    ketika itu semua pulau masih bersambung menjadi satu semenanjung bernama Gapi. Hikayat Bacan selanjutnya menuturkan bahwa karena Jafar Sadek tiba-tiba keluar dari laut ke tepi pantai, banyak orang yang berdatangan kepadanya. Orang-orang itu gembira dan menjabat tangannya lalu menciumnya. Mereka kemudian mengaraknya keliling kampung mereka yang bernama Foramadiahi. Setelah itu, kepala persekutuan membawa Jafar Sadek ke kediamannya dan di tempat itu ia memberitahukan bahwa ia datang dari tanah Arab serta bernama Noh Bin Jafar Sadek. Ia lalu naik ke gunung dan mendakwahkan agama Islam. Semua penduduk Gapi kemudian memeluk agama tersebut.

    Menurut Sejarah Bacan, Jafar Sadek mempunyai empat anak laki-laki dan empat anak perempuan. Kedelapan putera-puteri Jafar Sadek adalah:

    a. Anak laki-laki: 1. Said Muhammad Bakir, yang kemudian mendirikan dan menjadi Raja Bacan; 2. Said Ahmad Sani, yang kemudian mendirikan dan menjadi Raja Jailolo; 3. Said Muhammad Nukil, yang kemudian mendirikan dan menjadi Raja Tidore;

    dan

    4. Said Muhammad Nurussafar, yang kemudian mendirikan dan menjadi Raja Ternate.

    b. Anak Perempuan: 1. Boki Saharnawi, induk Marsaoli Sukiloti; 2. Boki Sadarnawi, induk Jalakafo; 3. Boki Sagarnawi, induk Soa Ciu; dan 4. Boki Siti Dewa, induk Marsaoli Mardike.

    Sementara Raja-raja Tobungku berinduk pada Boki Sadarnawi, raja-raja Banggai pada Boki Saharnawi, dan raja-raja Loloda pada Boki Sagarnawi.12

    Dari berbagai legenda dan mitos di atas, hikayat yang ditulis Naidah paling populer. Bahkan, di kalangan tertentu rakyat Maluku Utara, mitos versi Naidah itu dipandang dan dituturkan secara turun-temurun sebagai sebuah kebenaran sejati.

    Di samping Sejarah Ternate yang ditulis Naidah, ada juga sebuah naskah yang disebut sebagai hikayat Ternate, dipublikasikan pada 1938. Sayangnya naskah ini tidak terdapat dalam koleksi penulis dan tidak berhasil diperoleh. Menurut berita yang penulis peroleh dari sumber Kedutaan Kerajaan Belanda di Jakarta, apa yang dikenal dengan hikayat Ternate tersebut di atas, adalah sebuah naskah tulis tangan yang kini tersimpan pada Perpustakaan Kerajaan di Leiden negeri Belanda. Sekalipun demikian, sebagaimana halnya dengan Hikayat Bacan, naskah ini tidak sepopuler Sejarah Ternate yang ditulis Naidah.

    Berbagai sebutan alternatif juga diberikan kepada keempat kerajaan (tanah) Maluku tersebut. Naidah memberikan nama alternatif untuk tanah Bacan sebagai Besi, tanah Jailolo sebagai Tuanane, tanah Tidore sebagai Duko, dan Ternate sebagai Gapi. Di samping istilah "tanah" yang merupakan sinonim dari negeri atau kerajaan Naidah juga mengemukakan nama alternatif berupa nama "binatang" sebagai suatu asosiasi untuk kerajaan-kerajaan tersebut. Bacan disebut sebagai goheka (katak), Jailolo sebagai bilolo (sejenis siput/keong laut

    12 Van Fraassen, op.cit., jilid I, p. 462, catatan kaki no. 5.

  • 14

    yang lazimnya digunakan untuk memancing ikan), Tidore sebagai soho (babi), dan Ternate sebagai hai (kaki seribu atau ulat).13

    Perlu juga dicatat sebutan lainnya bagi keempat kerajaan tersebut:

    1. Jailolo : Jiko ma-kolano, "penguasa teluk." 2. Tidore : Kie ma-kolano, "penguasa gunung." 3. Ternate: Kolano Maluku, "penguasa Maluku." 4. Bacan : dehe ma-kolano, "penguasa tanjung."

    Di samping sebutan untuk empat kerajaan di atas, kerajaan Loloda juga disebut sebagai Ngara ma-beno, "tembok pintu gerbang," karena letaknya paling utara yang menjadi pintu masuk ke kerajaan-kerajaan lain.14

    Menurut Naidah, setelah kembali dari kayangan, isteri Jafar Sadek, Nur Sifa, memberikan sebutan penguasa di atas kepada keempat anaknya. Pemberian ronga (nama) melambangkan peringkat, dan tempat duduk atau dodego melambangkan posisi.

    13 Naidah, Sejarah Ternate, p. 382. 14 Andaya, Leonard Y., The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period, Honululu: Univ. of Hawaii Press, 1993, p.51.

  • 15

    BAB 3 Jailolo: Kerajaan Maluku Tertua

    Asal-usul dan Senioritas Jailolo Dalam urutan berdirinya kerajaan-kerajaan Maluku, Jailolo dipandang sebagai kerajaan

    tertua. Walaupun diakui sebagai kerajaan tertua oleh kerajaan-kerajaan Maluku lainnya, tidak dapat dipastikan kapan kerajaan ini didirikan. Yang dapat dicatat hanyalah peristiwa kesejarahan bahwa pada masa awal ada seorang raja perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuah kerajaan di bagian utara pulau Halmahera mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dari Jailolo. Menurut cerita rakyat di daerah ini, perkawinan antara Ratu Jailolo dengan Raja Loloda merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada Jailolo menguasai seluruh Halmahera. Politik Jailolo berhasil, sebab sebelum tahun 1250, teritorial Kerajaan Jailolo telah meliputi hampir seluruh Halmahera, termasuk Loloda. Sumber Nagarakartagama mengungkapkan bahwa ketika Jailolo terbentuk sebagai Kerajaan, wilayahnya belum mencakup Halmahera Utara bagian barat, karena di sana terdapat Kerajaan Loloda. Di samping itu, di bagian utara Halmahera juga terdapat Kerajaan Moro, yang pada masa belakangan menjadi sasaran perluasan Kerajaan Jailolo di bawah Katarabumi pada abad ke-16.

    Bagian barat Kerajaan Jailolo adalah Batu Cina, yang letaknya berhadapan dengan Kepulauan Maluku yakni pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian.1 Jailolo semula adalah nama sebuah desa, dan kerajaan yang berdiri di desa itu kemudian diberi nama yang sama. Menurut sumber Nagarakartagama, yang disusun oleh Mpu Prapanca, kemungkinan kolano pertama Jailolo adalah seorang perempuan yang berkuasa secara tiran dan memerintah dengan tangan besi.2

    Setelah Ratu Jailolo yang tiran itu wafat, Loloda terlihat mampu melepaskan diri dari kekuasaan Jailolo. Sebab, ketika berlangsung pertemuan Moti pada abad ke-14, Raja Loloda berikhtiar untuk menghadiri pertemuan tersebut, tetapi terhalang oleh angin ribut, yang menyebabkannya mendarat di Dufa-dufa, Ternate.

    Karena memerintah dengan tangan besi, terjadi perlawanan dan pembangkangan terhadap Kolano Jailolo, yang diikuti dengan eksodus para pembangkang politik ke pulau-pulau kecil di sekitar Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Di pulau-pulau inilah para pemberontak Jailolo mendirikan kerajaan-kerajaan salah satu di antaranya yang terbesar dan terkuat adalah Ternate yang, pada gilirannya, merongrong dan bahkan mengakhiri eksistensi Kerajaan Jailolo.

    1 Valentijn, Francoise, Oud en Nieuw Oost Indie, vol.1b, Dordrecht-Amsterdam, 1724, p.93. 2 Paramita R. Abdurrahman: Molucan Responses to the First Intrusions of the West, Amsterdam: North Holland Pub.Co.1978, p.163.

  • 16

    Tentang status Jailolo sebagai kerajaan tertua, pendapat berbeda dikemukakan oleh Prof. Lapian3. Dalam salah satu publikasinya tahun 1994, dengan menelaah berbagai mitos yang berhasil direkam Portugis sekitar tahun 1544, Prof. Lapian sampai pada kesimpulan bahwa garis Raja-raja Maluku berawal dari empat buah telur naga yang menetaskan tiga orang laki-laki dan seorang perempuan4. Dari tiga orang anak laki-laki itu, seorang menjadi Raja Bacan, yang lain menjadi Raja Papua, dan seorang lagi menjadi penguasa Butung dan Banggai, sementara yang perempuan menjadi permaisuri Raja Loloda.

    Berdasarkan versi ini, maka hanya terdapat dua kelompok Maluku Utara, Bacan sebagai yang tertua dan Loloda yang mewakili rakyat yang bertutur dengan bahasa Halmahera Utara. Tidak ada penyebutan tentang Ternate, Tidore, dan Jailolo5.

    Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batu cina yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, di mana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen. Namun Batucina tidak punya hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yang menemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah.

    Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalam teks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kata Bacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan, yang berkedudukan di Jailolo.

    Sekali waktu, Kerajaan Jailolo pernah berada di bawah kekuasaan seorang asing bernama Syarif, yang diduga datang dari Makkah. Ia adalah adik Sultan Mindanao (Mangindanao) dan Sultan Borneo.6 Tetapi, dalam sumber-sumber sejarah tidak dijelaskan kapan Syarif dari Makkah itu berkuasa.

    Ancaman dan Ekspansi Ternate terhadap Jailolo

    Ancaman Ternate terhadap Jailolo dimulai pada 1284, ketika Siale Kolano Ternate ketiga menyerang beberapa desa Kerajaan Jailolo dan mendudukinya. Pada 1304, Kolano Ternate lainnya, Ngara Malamo, menyerang Jailolo dan menduduki untuk waktu yang lama beberapa desa di Batu Cina, di bagian selatan Jailolo.

    Sekalipun dalam Pertemuan Moti (1322) yang melahirkan Persekutuan Moti (Motir Verbond) Jailolo diakui sebagai kerajaan peringkat pertama dari tiga kerajaan lain (Ternate, Tidore, Bacan) dalam hal senioritasnya, tetapi hal ini tidak mengakhiri ambisi Ternate untuk mencaplok Jailolo. Pada 1343, Kolano Ternate, Tulu Malamo, tidak lagi mengakui keputusan Motir Verbond, dan menyerang serta menduduki Jailolo. Raja Jailolo ketika itu tidak dapat berbuat sesuatupun, walaupun tindakan Tulu Malamo menuai reaksi keras dari Kolano Tidore dan Bacan. 3 Lapian, A.B. Bacan and the Early History of North Maluku, Halmahera and Beyond, L.E. Visser (ed.) Leiden, KITLV Press, 1994 pp.11-22. 4 Mitos tersebut terkenal dengan nama Bikusagara, disebut menurut nama tokoh dalam mitos itu. Mitos ini direkam Antonio Galvao, Gubernur Portugis Maluku paling populer yang berkuasa antara tahun 1536-1539.Pen. 5 Lapian, A.B. Op.Cit.p.13ff. 6 Thomas Forrest, A Voyage to New Guinea and the Moluccas, Kuala Lumpur: Oxford Univ. Press, 1969, p. 31.

  • 17

    Sekalipun serbuan Tulu Malamo atas Jailolo telah menuai reaksi keras dari kerajaan-kerajaan lainnya di Maluku, pada 1359 Kolano Ternate, Gapi Malamo, kembali menyatakan tantangannya terhadap Jailolo. Kali ini agresi yang dilancarkan Ternate tidak berhasil. Bala tentara Jailolo dapat menghalau tentara Ternate keluar dari wilayahnya. Kegagalan inilah yang barangkali menyebabkan dilangsungkannya perkawinan politik antara putera sulung Kolano Ternate pengganti Gapi Malamo, yakni Kolano Gapi Baguna, dengan puteri Kolano Jailolo, Kaicil Kawalu, pada 1372. Tetapi, perkawinan politik ini tampaknya tidak berhasil mengimplementasikan ambisi politik Ternate untuk mendominasi Jailolo.

    Antara waktu perkawinan politik tersebut hingga berkuasanya Katarabumi di Jailolo, masih terlihat serangkaian upaya agresi Ternate terhadap Jailolo. Pada 1380, Kumala Putu, Kolano Ternate ke-17, berupaya menyerbu dan menduduki Jailolo. Demikian pula, Kolano Marhum menyerbu Jailolo pada 1465. Kolano Ternate ini relatif berhasil menanamkan pengaruhnya. Sebab, ketika terjadi perang suksesi di kalangan keturunan bangsawan Jailolo, Jamilu, salah satu bangsawan Jailolo kepercayaan Ternate, memenangkannya. Tetapi, Jamilu tidak menduduki takhta Jailolo, karena diangkat oleh Marhum sebagai Raja Muda di Ambon. Pada 1524, Taruwese, Raja Muda Ternate, melanjutkan upaya pendudukan Jailolo yang gagal, karena berhasil dihalau bala tentara Jailolo. Tiga tahun kemudian (1527), Taruwese mencoba melakukan usaha yang sama dengan bantuan Portugis. Kali ini ia berhasil menduduki sebagian Jailolo, tetapi tidak untuk waktu yang lama.

    Persekutuan Jailolo-Spanyol

    Sejak 1521, ketika sisa-sisa armada Magellan mencapai Tidore, Jailolo telah menjalin persahabatan dengan Spanyol untuk menghadapi Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Jailolo selalu berharap akan kunjungan orang-orang Spanyol ke kerajaannya. Pada 1 Maret 1532, Sultan Jailolo Zainal Abidin Syah, secara sengaja berupaya memancing perhatian Raja Spanyol Charles V dengan layanannya yang baik kepada orang-orang Spanyol. Ia juga menawarkan kerajaannya sebagi vazal Spanyol. Ia menyatakan bahwa pada ekspedisi Spanyol sebelumnya, ayahnya, Sultan Jusuf, telah menawarkan hal serupa. Tetapi, tawaran ini tidak memperoleh respon. Karena itu, sekali lagi ia mengulangi tawaran yang sama dengan harapan akan memperoleh tanggapan Spanyol di masa depan.

    Pada 1527, Herman Cortes ditugaskan mengirimkan sebuah armada Spanyol ke kepulauan rempah-rempah guna membantu orang-orang Looysa yang sudah berada di Tidore. Armada itu bertolak dari Spanyol baru sebutan untuk Mexico pada waktu itu pada 31 Oktober 1527, dengan beranggotakan tiga kapal di bawah pimpinan Alvares de Saanedra, sepupu Cortes.

    Di antara ke-3 kapal itu, satu di antaranya bernama Florida, yang membawa 450 tentara Spanyol lengkap dengan persenjataannya. Ketika Florida dan kedua kapal lainnya tiba di Tidore, orang-orang Portugis dan pasukan Kerajaan Ternate yang berkekuatan 1000 tentara, dipimpin Don Jonge Menexes dan Taruwese, sedang menyerbu Mareku ibu kota Kerajaan Tidore yang baru dibangun. Setelah diobrak-abrik dan dirampok, pasukan gabungan itu menyerbu benteng Spanyol di dekatnya. Ketika kapal Florida tiba, kaum penyerbu dapat dipukul mundur oleh armada Spanyol. Portugis lari ke Ternate dan Taruwese ke Makian.

  • 18

    Setelah memukul mundur pasukan Portugis dan Ternate, armada Spanyol berlayar ke Jailolo dan disambut hangat Sultan Zainal Abidin Syah. Spanyol kemudian menempatkan 27 orang pasukannya di Jailolo atas permintaan Zainal Abidin. Pada tahun itu juga (1527), Zainal Abidin wafat dan digantikan puteranya, Sultan Yusuf.

    Orang-orang Spanyol memberikan senjata kepada rakyat Jailolo dan melatih mereka menggunakannya, sehingga rakyat kerajaan ini diharapkan mampu mempertahankan diri. Spanyol juga membenahi benteng Jailolo dan menempatkan persenjataan artileri untuk memperkuat pertahanan dan meningkatkan kemampuan bela diri terhadap berbagai gangguan keamanan. Penduduk lokal dilatih untuk mengatasi dan meloloskan diri bila terjadi pengepungan yang dilakukan orang-orang Portugis.

    Katarabumi: Kolano Jailolo Terbesar Pada 1529, bangsawan tinggi Katarabumi (Catabruno) diangkat sebagai Mangkubumi

    Jailolo. Dengan pengangkatan Katarabumi, Ternate mulai mengalami kesulitan dalam melakukan ambisi politiknya. Berkat bantuan Kerajaan Tidore, Katarabumi berhasil menangkis semua serbuan Ternate yang dibantu Portugis.

    Pada 1533 Sultan Jusuf wafat dan digantikan puteranya, Firuz Alauddin, sebagai penguasa Jailolo. Karena Sultan Jailolo itu masih di bawah umur dan sering sakit-sakitan, Katarabumi ditunjuk sebagai Mangkubumi untuk menjalankan roda pemerintahan Kesultanan Jailolo.

    Sementara itu, Gubernur Portugis Tristao dAtaide menuduh orang-orang Spanyol yang ada di Jailolo telah memberikan perlindungan kepada 4 hingga 5 negeri yang dahulu berada di bawah kekuasaan Portugis. Dengan alasan tersebut, Ataide mengerahkan tentaranya menyerang dan setelah mengepung selama beberapa waktu memerintahkan Jailolo menyerah. Sultan Jailolo yang masih di bawah umur, Firuz Alauddin, dibawa ke Benteng Gamlamo di Ternate untuk berobat. Evakuasi ini merupakan konspirasi antara dAtaide dengan Katarabumi, yang ketika itu menjabat sebagai Mangkubumi Kesultanan Jailolo. Persekongkolan ini baru terungkap setelah berbagai hadiah yang diberikan dAtaide kepada Katarabumi secara berlebihan, termasuk hadiah payung emas dan pakaian dalam jumlah besar, diketahui umum.

    Pada 1534, Katarabumi mengambil-alih Kesultanan Jailolo dan memproklamasikan dirinya sebagai Kolano, setelah putera mahkota yang berobat di rumah sakit Portugis di Ternate mati diracuni orang-orang suruhan Katarabumi. Dalam proklamasinya, Katarabumi mengatakan bahwa ia akan memerintah Jailolo atas nama Raja Portugal, Raja pertama yang akan memberikan kevazalannya dengan wibawa Kerajaan.7 Selama berkuasa, Katarabumi berhasil membebaskan seluruh wilayah Kesultanan Jailolo yang diduduki Kesultanan Ternate.

    Tetapi, keberhasilan Katarabumi mengusir kekuasaan Ternate dari wilayah Kesultanan Jailolo dan penyerbuan-penyerbuan yang dilakukannya ke Kerajaan Moro telah menimbulkan kecurigaan orang-orang Portugis. Mereka tidak menyangka bahwa Katarabumi bisa tampil sebagai kekuatan baru yang tangguh dan disegani di seluruh kawasan Maluku. Semua pernyataan 7 Andaya, Leonard J., The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Moden Period, Honolulu: Univ.of Hawaii Press, 1933 pp.121-122.

  • 19

    Katarabumi yang pro-Portugis ternyata hanya kamuflase untuk menutupi serbuan-serbuannya dan politik anti Kristen serta anti Portugis yang dilakukannya di Kerajaan Moro.

    Sukses Katarabumi juga telah menimbulkan kecemburuan Ternate. Dalam berbagai pernyataan yang diberikan beberapa waktu setelah penobatannya, Katarabumi selalu berujar bahwa raja-raja Maluku ingin tetap bersahabat dengan Portugis. Pernyataan ini sangat membingungkan Gubernur dAtaide, karena Katarabumi terus menyerang Misi Jesuit di Moro, dan bersekutu dengan Deyalo, Sultan Ternate yang dilengserkan Portugis dari takhtanya dan sedang dicari-cari. Dengan Deyalo, Katarabumi membuat persetujuan membantunya merebut takhta Kesultanan Ternate. Sebagai imbalannya, daerah Moro menjadi milik Jailolo.

    Katarabumi dan Konspirasi Raja-raja Maluku Ketika Sultan Khairun berkuasa di Ternate, pada 1540 ia mulai menjalankan kebijakan

    bertetangga-baik dengan tujuan menjalin Ternate-Jailolo ke dalam sebuah ikatan imperium dengan mahkota Ternate sebagai pimpinannya. Tetapi, cita-cita Khairun tidak sempat terlaksana, karena kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan di dalam Kesultanannya berkenaan dengan Kristenisasi yang dilakukan Misi Jesuit.

    Khairun yang menginginkan Kerajaan Moro menjadi vazal-nya dengan mendudukkan salah seorang puteranya sebagai raja, mencoba mengambil hati Portugis, terutama para misionaris, dengan memberikan kemudahan yang bersifat membantu operasi misi di kerajaan Moro. Akibatnya, terjadi perkembangan pesat Kristenisasi di dalam komunitas-komunitas utama kerajaan tersebut seperti di Tolo, Mamuya, Pune, Sugala (Morotia), Sakita, Mira, dan Rao (Morotai) yang pada akhirnya merepotkan Khairun sendiri. Sampai pada 1547, hampir seluruh kerajaan Moro, praktis telah berada di bawah kekuasaan Misi Jesuit, yang mendapat dukungan kuat dari tentara dan penguasa Portugis di bawah Gubernur Bernaldyn de Sousa.

    Untuk mengantisipasi keadaan ini, Khairun mengundang Sultan Bacan, Tidore, dan Kolano Katarabumi untuk membahas dan mencari solusinya. Dalam pertemuan rahasia itu, para raja Maluku dengan suara bulat sepakat akan menyetop laju dan perkembangan misi Jesuit. Para Sultan itu setuju untuk mengenyahkan orang-orang Kristen dari Maluku.8 Segi-segi politik kesepakatan ini ditangani Sultan Khairun, dan upaya militernya diserahkan kepada Katarabumi.

    Serangan atas Kerajaan Moro Pada 1536, Katarabumi dan pasukannya yang besar menuju Moro. Kampung Sugala di

    pesisir utara Morotia diserang. Setelah Sugala jatuh ke tangannya, penduduk Kristen setempat dimurtadkannya. Orang-orang Sugala yang sudah murtad itu kemudian menuntut agar Pastor Alvarez dan beberapa orang Portugis menyerahkan kapal yang tengah mereka buat. Pastor Alvarez dapat meloloskan diri bersama bawahannya, tetapi mereka ditangkap oleh armada Jailolo lainnya. Hanya dengan tipu muslihat, Alvarez akhirnya tiba di Ternate.

    8 Francois Valentijn, Oud en Niew Oost Indien, vol.1b, (Dordrecht-Amsterdam, 1724), pp.203.

  • 20

    Dari Sugala, Katarabumi melanjutkan operasinya dengan membersihkan kampung-kampung Tutumaloleo dan Lalonga dari unsur-unsur Kristen. Dari sana Katarabumi menyerbu Pune kemudian mengepung Mamuya, ibukota kerajaan Moro. Setelah seminggu terkepung, Katarabumi memberi waktu 24 jam kepada Raja Moro, Tioliza yang telah menganut Kristen dan mengganti namanya menjadi Don Joao agar menyerah. Bila tidak, pasukan Jailolo akan membakar semua ladang dan kebun kelapa penduduk Mamuya. Katarabumi juga menuntut agar orang-orang Portugis yang selama ini mengawal Raja Moro ikut menyerah.

    Sebelum batas waktu berakhir, orang-orang Portugis pengawal Raja Moro telah melarikan diri ke hutan, tetapi mereka dibunuh rakyat setempat. Pada malam sebelum penyerahan diri, Raja Moro Tioliza membunuh sendiri istri dan anak-anaknya agar tidak tertawan atau jatuh ke tangan musuh. Don Joao alias Tioliza bermaksud melakukan bunuh diri, tetapi sempat dicegah oleh anak buahnya. Keesokan harinya, Tioliza menyerahkan diri kepada Katarabumi. Atas permohonan kaum kerabatnya, Raja Moro itu tidak dibunuh.

    Dari Mamuya, pasukan Katarabumi meneruskan serangannya ke Tolo, pusat Misi Jesuit di Kerajaan Moro. Tetapi di Tolo, Katarabumi mendapat perlawanan kuat. Kampung berpenduduk 3000 jiwa itu, dengan bantuan tentara Portugis yang ditempatkan di situ, berhasil menahan serangan Katarabumi dan baru menyerah sebulan kemudian.

    Ketika Tolo diserbu, terdapat 36 orang Kristen Tolo yang berhasil meloloskan diri ke Ternate dan melaporkan situasinya kepada Gubernur. Pasukan Portugis dalam jumlah besar kemudian dikerahkan menyerang Galela dan Pune. Dalam penyerbuan itu, pasukan Portugis membakar habis kedua kampung tersebut, meskipun Pune adalah pemukiman Kristen. Setelah itu, pasukan Portugis menduduki Tolo serta mengusir Katarabumi dan pasukannya kembali ke Jailolo.

    Sejak Katarabumi melakukan serbuannya ke kerajaan Moro, dalam hal ini Morotia, banyak orang Kristen dimurtadkan. Bahkan, di Cawa dekat Tolo, orang-orang yang sudah murtad membakar atau menghancurkan gereja dan altarnya sendiri. Sementara Portugis di Ternate tidak tahu-menahu tentang penyerbuan Katarabumi atas Moro. Gubernur Portugis di Ternate de Freitas baru mengetahui penyerbuan itu pada 20 Maret 1543, setelah 36 orang-orang Moro yang meloloskan diri dari Tolo memberikan laporannya. Orang-orang Kristen Moro baru dipulihkan keimanannya setelah Fransiscus Xaverius mengunjungi daerah ini antara bulan September 1546 hingga Januari 1547.

    Serbuan Katarabumi ke Moro, dukungannya kepada Deyalo, berikut pernyataan-pernyataannya yang kontroversial tentang hubungan Portugis-Jailolo, telah menimbulkan kesan Portugis bahwa Katarabumi adalah pribadi yang sukar dipercaya dan, karena itu, harus disisihkan dari percaturan politik dan militer di Maluku. Tetapi, Portugis menilai bahwa Katarabumi cukup tangguh dari segi militer. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa untuk mengusirnya dari Morotia selain pengerahan pasukan dalam jumlah besar Portugis memerlukan waktu 3 bulan.

    Sebagai balasan atas aksi-aksi Katarabumi, Bernaldin de Sousa yang diangkat sebagai Gubernur untuk kedua kalinya berencana memberi pelajaran kepada Katarabumi dengan menyerbu Jailolo pada 1551. Walaupun perang ini diprakarsai Portugis sendiri, tetapi label yang diberikan kepadanya adalah serbuan Ternate dengan bantuan Portugis.

  • 21

    Serbuan Portugis ke Jailolo Pada 1551, Portugis memutuskan menyerbu Jailolo dan meminta keikutsertaan Ternate

    dalam ekspedisi militer ini. Ternate mula-mula menolaknya, tetapi akhirnya terpaksa menerima permintaan itu. Rencana penyerbuan Portugis ke Jailolo telah diketahui terlebih dahulu melalui agen-agen Jailolo dalam ketentaraan Ternate. Karena itu, untuk menghadapi serbuan tersebut, benteng Jailolo diperkuat dan tembok-temboknya yang rusak diperbaiki serta ketinggiannya ditambah, sehingga seekor tikuspun tidak dapat melewatinya. Benteng dipersenjatai dengan 100 pucuk senjata laras panjang, 18 pucuk meriam serta sebuah mortir dan berbagai senjata lainnya buatan Jawa, berikut berbagai peralatan untuk mengatasi kepungan.

    Pasukan Alifuru Jailolo dalam jumlah besar disiapkan dengan beragam senjata tradisional, seperti tombak, kelewang, dan lembing. Reputasi mereka dalam perang hutan begitu menakutkan, dan pasukan ini sewaktu-waktu dapat menghilang tanpa diketahui jejaknya. Akan tetapi, setelah Portugis memperketat pengepungannya selama lebih dari 3 bulan, benteng yang dipersenjatai sangat kuat itu akhirnya jatuh. Jailolo, di bawah pimpinan Katarabumi yang perkasa itu akhirnya takluk tanpa syarat. Katarabumi pun menyerah, walaupun Portugis tidak pernah masuk ke dalam benteng dan meletuskan senapannya. Blokade yang lama menyebabkan terputusnya hubungan dengan dunia luar dan kekurangan perbekalan.

    Lengsernya Katarabumi

    Setelah ada isyarat dari dalam benteng tentang penyerahan, Portugis memerintahkan pintu benteng dibuka untuk memperlihatkan volume persenjataan dan posisi pertahanan benteng selama beberapa hari. Menurut sumber-sumber Portugis,9 Katarabumi menolak menyaksikan penyerahan Jailolo. Dengan mengenakan jubah pemberian Gubernur dAtaide, Sultan Jailolo itu menghilang pada suatu malam yang gelap dan masuk hutan. Ia menjalani hidup sebagai seorang pertapa.

    Tetapi, menurut suatu sumber gereja, pada saat-saat terakhir, Katarabumi ingin mengonversi agamanya menjadi Kristen Katolik. Ketika akan dibaptis dan para pastor telah siap di depannya, mereka meminta agar sebelum dibaptis Katarabumi harus menceraikan istri-istrinya dan menyisakan satu orang saja. Katarabumi menolak permintaan ini, sehingga pembaptisan gagal dilakukan. Beberapa hari kemudian, masih dalam tahun 1551, Katarabumi wafat karena minum racun.

    Sepeninggal Katarabumi, Jailolo kehilangan dinamika dan kekuatannya sebagai sebuah kerajaan. Ia hanya meninggalkan nama dan identitas sebagai bekas sebuah kerajaan tertua dan terbesar pada masa awal kelahiran kerajaan-kerajaan Maluku. Jailolo juga telah meninggalkan identitasnya sebagai salah satu dari empat pilar kerajaan Maluku yakni: Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan yang dikenal sebagai Moloku Kie Raha.

    Menurut para pengamat sejarah Maluku, kerjasama yang dijalin Jailolo di bawah Katarabumi dengan kerajaan-kerajaan Maluku lainnya telah memperkuat posisi Sultan Khairun dari Ternate dalam menghadapi Portugis maupun Misi Jesuit yang memboncenginya, terutama dengan Gubernur Jordao de Freitas yang pongah. 9 Andaya, Op.cit.pp 130.

  • 22

    Jailolo pasca Katarabumi Setelah wafatnya Katarabumi dan Sultan Khairun, pada 1600 Sultan Saidi dari Ternate

    menyerbu kembali Jailolo dan mendudukinya dengan bantuan Portugis. Kolano Jailolo, Saubo, pengganti Katarabumi, terpaksa melarikan diri. Setelah menggalang kembali kekuatannya, Saubo berhasil memperkecil kekalahannya. Bahkan, beberapa waktu setelah Sultan Saidi ditangkap Spanyol dan diasingkan ke Manila, Saubo berhasil merebut kembali seluruh wilayah kekuasaannya.

    Pada 1611, Spanyol menyerbu dan menduduki Jailolo. Ketika itu, Ternate tengah menggalang persekutuan dengan Belanda. Raja Jailolo pun diboyong ke Ternate dan sejak saat itu tidak pernah lagi bertakhta di kerajaannya. Setelah Spanyol meninggalkan Jailolo pada 1620, Ternate menjadikan Jailolo sebagai kerajaan vazal-nya. Raja Jailolo terakhir, Kaicil Alam, tetap ditempatkan di Ternate, bukan di ibukota kerajaannya. Ia dipandang sebagai anggota keluarga Kesultanan Ternate dan dinikahkan dengan Puteri Boki Gamalama, adik Sultan Sibori Amsterdam, meskipun perkawinan ini berakhir dengan perceraian. Pada 1684 Kolano Jailolo terakhir, Kaicil Alam, wafat. Sejak saat itu Jailolo hanya menjadi sebuah distrik di bawah otoritas Ternate. Kepala distrik Jailolo dipegang oleh seorang sangaji. Pada 1858, kepala distrik Jailolo bergelar Fanyira.10

    Tuntutan Restorasi Kesultanan Jailolo Orang pertama yang menghendaki agar Kesultanan Jailolo dihidupkan kembali adalah

    Sultan Tidore, Saifuddin Iskandar Zulkarnain (1657-1689). Baik dalam percakapan maupun surat-surat yang dikirim kepada Gubernur VOC, Padtbrugge, Saifuddin selalu meminta agar Kesultanan Jailolo dihidupkan kembali dan Kaicil Alam penerus takhta Kesultanan Jailolo dipulihkan kekuasaannya sebagai Sultan Jailolo. Alasan-alasan utama yang diajukan Saifuddin adalah restorasi Kesultanan Jailolo akan mengatasi kemelut yang melanda Maluku dan memulihkan pedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Demikian pula, Maluku secara tradisional tegak di atas empat landasan atau tonggak yaitu Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo dan dengan dilikuidasinya Jailolo, Maluku kini sangat lemah, karena hanya tegak di atas tiga tonggak.

    Gagasan Saifuddin tidak memperoleh respon VOC, karena hutang budi dan kedekatan VOC kepada Ternate. Tetapi, di kalangan keluarga keraton Ternate sendiri, gagasan Saifuddin cukup memperoleh sambutan positif. Kaicil Kalamata dan para bobato lainnya, di masa pemerintahan Sibori Amsterdam, pernah mengusulkan agar Kaicil Alam didudukkan kembali ke atas takhta Jailolo. Sibori, tentu saja menolak gagasan ini dengan alasan bahwa Portugislah yang menghapus Kerajaan Jailolo, bukan Ternate.

    10 Ch. F. van Fraassen, "Types of Socio-Political Structure in North Halmaheran History" dalam Masinambouw, Op.Cit., pp. 87 ff.

  • 23

    Kasus Kesultanan Jailolo Bentukan Nuku11 Ketika Nuku dinobatkan sebagai Raja atas Papua serta Seram Timur, kemudian sebagai

    Sultan Tidore, gagasan Saifuddin di atas bergema kembali. Seusai dinobatkan sebagai Sultan Tidore, Nuku menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dan mengangkat Sangaji Tahane sebagai Sultan Jailolo dengan gelar Muhammad Arif Billa. Alasan penghidupan kembali Kesultanan Jailolo sama dengan yang dikemukakan sebelumnya oleh Sultan Saifuddin kepada Gubernur Padtbrugge. Walaupun demikian, upaya Nuku ini tidak dapat dilepaskan dari gagasannya untuk mengimbangi hegemoni dan superioritas Ternate. Kesultanan Ternate memang dengan cerdik telah menunggangi Belanda guna mempertahankan hegemoni dan superioritasnya.

    Sultan Jailolo yang diangkat Nuku, Muhammad Arif Billa, bukanlah pendatang baru dalam struktur Kesultanan Tidore. Di awal karirnya, Billa menjabat sebagai Sangaji Tahane (Makian), kemudian selama 13 tahun menjadi Jogugu Kesultanan Tidore, sejak berkuasanya Sultan Kamaluddin (1784-1797), kakak Nuku. Meski Billa adalah seorang Tahane atau Makian, tetapi lantaran jabatan yang dipangku ia mendapatkan kualifikasi bangsawan setingka