25
Pendahuluan Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk dipisahkan. Mungkin keimpulan seperti itulah yang muncul ketika penulis membaca buku seorang kristenArab, Jamil Shaliba yang berjudul al-Falsafah al- Arabiyyah. Pilar-pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India. Berangkat dari tesis itu, penulis sepakat untuk mengatakan bahwa kebudayaan Yunani telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik. Agar uraian tulisan ini tidak melebar terlalu jauh, penulis akan mengerucutkan wilayah peradaban Islam pada bidang filsafat. Filsafat sebagai khazanah Islam telah membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.

Sejarah Politik Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Oleh Novi Hendra, S.IP

Citation preview

Page 1: Sejarah Politik Islam

Pendahuluan

Peradaban Islam dan kebudayaan Yunani merupakan dua hal yang sangat sulit untuk

dipisahkan. Mungkin keimpulan seperti itulah yang muncul ketika penulis membaca

buku seorang kristenArab, Jamil Shaliba yang berjudul al-Falsafah al-Arabiyyah. Pilar-

pilar peradaban Islam yang berhasil melahirkan filsuf, dokter, astronom, ahli matematika

hingga hukum berkelas dunia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari jasa-jasa ilmuan yang

berasal dari kebudayaan pra-Islam, seperti kebudayaan Yunani, Persia dan India.

Berangkat dari tesis itu, penulis sepakat untuk mengatakan bahwa kebudayaan Yunani

telah memberikan andil yang sangat besar bagi bangunan peradaban Islam klasik.  Agar

uraian tulisan ini tidak melebar terlalu jauh, penulis akan mengerucutkan wilayah

peradaban Islam pada bidang filsafat.  Filsafat sebagai khazanah Islam telah

membuktikan diri sebagai lokomotif utama bagi gerakan pengetahuan yang kemudian

menjadi fondasi bagi peradaban Islam. Keterbukaan umat Islam terhadap khazanah klasik

pra-Islam memberikan ruang bagi proses penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani,

Persia dan India. Proses penerjemahan ini memiliki pengaruh pengaruh yang sangat besar

bagi perkembangan pengetahuan dalam dunia Islam. Filsafat dalam hal ini menjadi

bidang yang cukup digandrungi oleh sebagian intelektual Islam pada masa itu.

Lantas bagaimanakah proses penyebaran dan pembentukan filsafat dalam dunia Islam?

Filsafat yang berasal dari kata Yunani, Philosophia, berarti cinta kebijaksanaan. Kata ini

kemudian diserap ke dalam bahasaArab menjadi al-falsafah, sementara orang yang

menggeluti bidang ini disebut al-falasifah (para filsuf). Filsafat Islam dalam hal ini adalah

sebuah produk dari proses pemikiran yang dihasilkan oleh para sarjana muslim klasik

setelah mengalami persinggungan dengan kebudayaan Yunani. Karena, seperti yang

sudah penulis sampaikan, kata filsafat sendiri berasal dari bahasa Yunani mulai dikenal

oleh umat Islam setelah membaca buku-buku pemikir dari Yunani.  Orang Islam pertama

yang dikenal sebagai filsuf Islam pertama adalah Abu Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi (Wafat

sekitar 257 H/ 870 M).

Page 2: Sejarah Politik Islam

Uraian tentang transmisi kebudayaan Yunani dalam peradaban Islam ini akan penulis

mulai dengan perkenalan umat Islam akan kebudayaan-kebudayaan besar pra-Islam yang

ada di beberapa wilayah kekuasaan umat Islam yang sedang meluas saat itu. Perkenalan

yang didasari atas semangat Islam yang menganjurkan untuk mempelajari pengetahuan

dari siapa pun berlanjut pada proses penerjemahan besar-besaran selama kurang lebih dua

abad, dari awal abad ketujuh hingga akhir abad kedelapan. Proses penerjemahan ini

meliputi dari berbagai kebudayaan, khususnya dari Yunani kemudian Persia dan India.

Selama kurang dari dua abad ini, yang terjadi adalah sebuah proses penerjemahan yang

melibatkan banyak intelektual Kristen Nestorian yang kebetulan mahir dalam beberapa

bahasa penting saat itu, Yunani, Suryani danArab. Baru setelah banyak buku-buku dari

kebudayaan non-Islam diterjemahkan ke dalam bahasaArab, mulailah bermunculan

produk-produk pemikiran yang disebut filsafat Islam.

Pertautan Dengan Kebudayaan Pra-Islam

Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat pada 632 M, para shahabat berkumpul di Majlis

Bani Tsaqifah untuk memilih seorang khalifah (pengganti Nabi).  Melalui sebuah proses

konsensus yang cukup panas dan menegangkan akhirnya muncul Abu Bakar al-Siddiq

sebagai khalifah pertama umat Islam. Estafet kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh

Umar ibn Khattab. Pada masa Umar terjadi  gelombang ekspansi untuk pertama kalinya.

Tahun 635 M, kota Damaskus  jatuh ke dalam kekuasaan Islam. Tahun 641, Aleksandria

menyerah pada tentara Islam di bawah pimpinan ‘Amr Ibn al-‘Ash. Singkat kata, dengan

terjadinya gelombang ekspansi pertama ini, semenanjungArab, Palestina, Suria, Irak,

Persia dan Mesir sudah masuk dalam wilayah kekuasaan Islam. Paska Umar,

kekhalifahan dilanjutkan oleh Utsman ibn Affan, mantu Nabi Muhammad Saw. Namun

karena terjadi kecemburuan kekuasaan akibat dari sikap nepotisme Utsman,

kekuasaannya  diakhiri dengan pembunuhan terhadap dirinya.  Kekhalifahan umat Islam

saat itu betul-betul mengalami ujian berat. Kemudian tampil Ali sebagai pengganti

Utsman. Namun kepemimpinan Ali telah membuat kecewa kubu Utsman karena tidak

berhasil mengusut kematian Utsman hingga tuntas.  Kepemimpinan Ali ini menjadi

puncak dari sistem kekhalifahan dalam sejarah Islam yang kemudian akhirnya digantikan

dengan sistem dinasti.

Page 3: Sejarah Politik Islam

Setelah terjadi perang saudara antara Ali dan Mu’awiyah yang menjadi gubernur

Damaskus saat itu, konflik kekuasaan di tubuh kekhalifahan memuncak hingga akhirnya

Ali pun dibunuh oleh kelompok yang berasal dari kubunya sendiri karena telah menerima

tahkim (arbitrase) dari pihak Mu’awiyah. Pada 661 M, Mu’awiyah membangun dinasti

Bani Umayah dan dimulailah gelombang ekspansi yang kedua. Perluasan kekuasaan yang

sudah dimulai sejak zaman Umar dilanjutkan kembali setelah beberapa lama banyak

mengurusi masalah internal.

Namun konflik internal kembali terjadi di lingkungan dinasti yang menyebabkan

kekuasaan Bani Umayah hanya berlangsung selama kurang lebih sembilanpuluh tahun

dan kemudian diambil alih oleh Bani  ‘Abbasiyah (keturunan Al-Abbas ibn Abd Al-

Muttallib – Paman Nabi). Bani Abbasiyah diwarisi kekuasaan yang cukup luas, meliputi

Spanyol, Afrika Utara, Suriah, SemenanjungArabia, Irak, sebagian dari Asia Kecil,

Persia, Afganistan dan sebagian wilayah Asia Tengah. Di beberapa wilayah kekuasaan

itu merupakan pusat kebudayaan besar seperti Yunani, Suryani, Persia dan India.

Karenanya beberapa khalifah pada masa Bani Abbasiyah lebih memusatkan pada

pengembangan pengetahuan.

Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa

kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak

813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara

besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah. Perpustakaan

besar Bait al-hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian

menjadi pusat penerjemahan dan intelektual. Sebuah perpustakaan yang sangat bagus

sekali yang tidak didapatkan contohnya di dalam kebudayaan Eropa Barat. Para

penerjemah yang pada umumnya adalah kamu Nasrani dan Yahudi  bahkan penyembah

bintang digaji dengan harga yang sangat tinggi.

Buku-buku yang ditejemahkan terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani,

Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin. Keberagaman sumber pengetahuan

dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya.  Dan

perlu dikui bahwa di antara banyak pengetahuan dan kebudayaan yang ditejemahkan ke

Page 4: Sejarah Politik Islam

dalam bahasaArab, karya-karya klasik Yunani adalah yang paling banyak menyita

perhatian. Khususnya karya-karya filsuf besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles.

Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah

astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama. Seperti karya Al-Biruni

(w. 1048), sejarahwan  dan astronom muslim terkemuka, Tahqiq ma li Al-Hind min

Maqulah (Kebenaran Ihwal Kepercayaan Rakyat India). Dalam tulisannya itu ia

menguraikan kepercayaan fundamental orang-otang Hindu dan menyejajarkannya dengan

filsafat Yunani. Atau terjemahan Ibn Al-Muqaffa’ (w. 759) yang berjudul Kalilah wa

Dimnah (Fabel-fabel Tentang Guru) diterjemahkan dari bahasa Sanskerta yang

merupakan penegetahuan sastra Persia.

Seperti yang dikatakan oleh Shaliba dalam bukunya, Al-falsafah Al-‘arabiyah,

terbentuknya filsafat Islam terjadi dalam dua tahap. Pertama tahap penerjemahan dan

kedua tahap produksi pengetahuan atau pemikiran. Setelah melewati tahap penerjemahan

maka mulailah bermunculan filsuf-filsuf Islam yang mengambil jalur metode filsafat

Yunani seperti yang dimulai dari al-Kindi hingga Ibnu Khaldun. Menurut Fazlur

Rahman, yang disebut filsafat Islam dalam hubungannya dengan filsafat Yunani harus

dilihat dalam konteks hubungan “bentuk-materi.” Jadi filsafat Islam sebenarnya adalah

adalah filsafat Yunani secara material namun diaktualkan dalam bentuk sistem yang

bermerk Islam. Sehingga dengan demikian tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa

filsafat Islam hanya merupakan carbon copy dari filsafat Yunani atau

HelenismeSementara Shaliba yang kurang lebih sependapat dengan pendapat Rahman, ia

mengatakan bahwa salah satu perbedaan filsafat Islam dengan Yunani ada pada maksud

dan tujuannya. Menurutnya, tujuan dari filsafat Yunani adalah lebih dilatarbelakangi nilai

estetis sementara dalam filsafat Islam karena dorongan ajaran agama (Islam).

Penerjemah dan Buku-buku Yang Diterjemahkan

Perpustakaan Bait al-Hikmah yang didirikan oleh khalifah al-Ma’mun berisi para

penerjemah yang terdiri dari orang Yahudi, Kristen dan para penyembah Bintang. Di

antara para penerjemah yang cukup terkenal dengan produk terjemahannya itu adalah

Yahya ibn al-Bitriq (wafat 200 H/ 815 M) yang banyak menerjemahkan buku-buku

Page 5: Sejarah Politik Islam

kedokteran pemikir Yunani, seperti Kitab al-hayawan (buku tentang makhluk hidup) dan

Timaeus karya Plato. Al-Hajjaj ibn Mathar yang hidup pada masa pemerintahan al-

Ma’mun dan telah menerjemahkan buku Euklids ke dalam bahasaArab serta menafsirkan

buku al-Majisti karya Ptolemaeus. Abd al-Masih ibn Na’imah al-Himsi (wafat 220 H/

835 M) yang menerjemahkan buku Sophistica karya Aristoteles.  Yuhana ibn Masawaih

seorang dokter pandai dari Jundisapur (Wafat 242 H/ 857 M) yang kemudian diangkat

oleh khalifah al-Ma’mun sebagai kepala perpustakaan bait al-hikmah, banyak

menerjemahkan buku-buku kedokteran klasik.

Seorang penerjemah yang sangat terkenal karena banyak terjemahan yang dilahirkannya

adalah Hunain ibn Ishaq al-Abadi yang merupakan seorang Kristen Nestorian (194-260

H/ 810-873 M). Ia adalah seorang penerjemah yang dikumpulkan  oleh Yuhana Ibn

Masawaih dan kemudian belajar ilmu kedokteran darinya. Ia menguasai beberapa bahasa

penting saat itu karena memuat banyak kebudayaan besar, seperti bahasa Persia, Yunani,

Yunani dan bahasaArab. Hasil terjemahan Hunain ini dihargai emas oleh khalifah

setimbang dengan berat buku yang diterjemahkannya. Buku-buku yang besar saat itu ia

ringkas sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh orang yang menggelutinya. Di antara

buku yang ia terjemahkan ke dalam bahasaArab adalah buku Politicus, Timaues karya

Plato dan Etika serta fisika karya Aristoteles. Masih banyak penerjemah yang lain yang

telah menyumbangkan kemahiran dan penguasaan pengetahuan mereka bagi khazanah

perpustakaan Bait al-Hikmah.

Di antara buku-buku filsafat terpenting yang diterjemahkan ke dalam bahasaArab oleh

tim yang terdiri atas Hunain, Hubaisy sepupu Hunain dan Isa ibn Yahya murid Hunain

adalah Analytica posteriora karya Aristoteles, Synopsis of the Ethics karya Galen serta

ringkasan karya-karya Plato seperti Sophist, Permenides, Politicus, Republic dan Laws.

Sementara karya-karya Aristoteles seperti Categories, Hermeneutica, Generation and

Corruption, Nichomachean Ethics diarabkan oleh Ishaq ibn Hunain dari bahasa Suryani. 

Selain proses penerjemahan, masih cukup banyak juga buku-buku Yunani dan Suryani

yang ditafsirkan atau diringkas oleh para penerjemah yang kebetulan menguasai

pengetahuan tentang isi buku tersebut.

Page 6: Sejarah Politik Islam

Namun demikian, proses penerjemahan yang terjadi secara besar-besaran ini tidak

semuanya berhasil mancapai hasil yang sukses sebagai sebuah terjemahan yang layak.

Ada beberapa buku terjemahan yang bahkan menyulitkan pembaca untuk memahami isi

buku. Di antara orang yang menderita akibat buruknys mutu sebuah terjemahan adalah

Ibnu Sina. Menurut Jamil Shaliba, Ibnu Sina pernah membaca  buku terjemahan

Metafisika Aristoteles sebanyak empat puluh kali, tetapi ia sama sekali tidak dapat

mengerti maksud dari tulisan tersebut. Hal ini setidaknya dikarenakan dua hal, pertama

karena memang sulit dan begitu dalamnya tulisan Aristoteles tentang Metafisika dan

kedua karena kesulitan proses penerjemahannnya ke dalam bahasaArab. Buruknya

beberapa mutu terjemahan juga dikarenakan metode terjemahan yang terlalu harfiah dari

bahasa non-Arab ke dalam bahasaArab. Ibnu Abi Usbu’aih pernah mengkategorikan

tingkat mutu terjemahan ketika itu, yakni tingkat baik seperti terjemahan Hunain ibn

Ishaq dan anaknya Ishaq Ibn Hunain, tingkat sedang ada pada terjemahan Ibnu Na’imah

dan Tsabit ibn Qurrah. Dan tingkat yang ketiga adalah buruk, seperti yang ada pada

terjemahan Ibn al-Bitriq.

Motivasi Gerakan Penerjemahan

Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan yang sudah dimulai

sejak zaman Bani Umayah dan kemudian menemukan puncaknya pada dinasti Bani

‘Abbasiyah. Pertama motovasi praktis dan kedua motivasi kultural. Pada motivasi yang

pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsaArab saat itu untuk mempelajari ilmu-

ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis dapat

membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam

ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh

umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan

falak (astronomi). Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan

hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu

Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.

Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada

masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia, Yunani untuk

Page 7: Sejarah Politik Islam

menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal aqidah yang datang dari luar Islam.

Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum

Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu

bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis

lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. Umat Islam dianjurkan untuk

mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari

luar.

Selain itu ada sebuah kisah yang diceritakan oleh Ibn al-Nadim tentang motivasi

penerjemahan buku-buku filsafat pada masa kekuasaan khalifah al-Ma’mun. Ia

menceritakan bahwa pada suatu malam, khalifah al-Ma’mun bermimpi berjumpa dengan

seorang laki-laki yang memakai pakaian putih, jidatnya botak, alisnya menyambung dan

mata agak kebiru-biruan. Laki-laki ini duduk di atas singgasana khalifah al-Ma’mun.

Kemudian khalifah al-Ma’mun bertanya kepada laki-laki itu, “siapa engkau?”. Laki-laki

itu menjawab “aku Aristoteles.” Dalam mimpi itu, khalifah al-Ma’mun merasa sangat

senang karena dapat bertemu dengan filsuf yang menjadi pujaannya. Kemudian al-

Ma’mun bertanya kepada laki-laki yang mengaku sebagai Aristoteles, “wahai sang filsuf,

aku ingin bertanya, apa itu ‘baik’?” Laki-laki itu menjawab: “baik itu adalah apa yang

baik menurut akal.” “Kemudian apa lagi wahai sang filsuf ?”, khalifah bertanya lagi. “apa

yang baik menurut syari’at” laki-laki itu menjawab lagi. “Kemudian apa lagi wahai sang

filsuf?” khalifah bertanya lagi. “Apa yang baik menurut kebanyakan (jumhur)” laki-laki

itu menjawab, dan tidak ada setelah itu.

Sepintas lalu mungkin kita akan menyimpulkan  bahwa mimpi khalifah al-Ma’mun itu

hanya sekedar bagian dari kembang tidur semata. Namun Ibn al-Nadim, dalam bukunya

al-Fihrist, sangat meyakini bahwa mimpi itu menjadi motivator yang cukup kuat bagi al-

Ma’mun untuk menggerakkan penerjemahan pada masa kekuasaannya. Sampai-sampai ia

mengirim surat kepada raja Romawi untuk meminta izinnya agar buku-buku yang ada di

kerajaan Romawi dapat diterjemahkan oleh para penerjemah yang ada di perpustakaan

Bait al-Hikmah. Namun dalam catatan yang lain, gerakan penerjemahan itu buka semata-

mata karena mimpi yang dialami oleh sang khalifah, melainkan lebih dikarenakan dari

hasil renungan atas mimpi itu bahwa proses penerjemahan yang ia lakukan itu baik dari

Page 8: Sejarah Politik Islam

perspektif nalar maupun syariat. Selain itu mungkin saja terjadinya mimpi itu juga

dikarenakan oleh kecenderungan sang khalifah pada mazhab mu’tazilah.

Di balik gencarnya penerjemahan buku-buku Yunani yang dilakukan oleh umat Islam

pada masa itu, ada sebuah bidang yang tidak terlalu diminati, yakni bidang sastra, seperti

karya Homerus. Mengapa? Ada banyak jawaban atas pertanyaan ini. Di antaranya adalah

karena adanya keyakinan dalam masyarakatArab bahwa sastraArab bersifat self

sufficient, sehingga  mereka tidak terlalu memperhatikan buku-buku sastra yang ada

dalam bahasa Yunani. Selain itu sastra juga tidak memberikan pengaruh apa pun tehadap

proses penguatan aqidah umat Islam. Namun argumentasi ini tidak terlalu kuat karena

pada sisi yang lain umat Islam  cukup gemar menerjemahkan buku-buku sastra yang

berasal dari kebudayaan Persia dan India yang kebetulan beragama Majusi dan Dahriah.

Sehingga muncul alasan yang lain bahwa tidak adanya minat umat Islam untuk

menerjemahkan karya sastra Yunani lebih dikarenakan tidak cocoknya karya sastra

Yunani bagi masyarakatArab bila dibandingkan dengan karya sastra dari Persia dan

India. Sehingga dengan demikian, alasan tidak berkembangnya penerjemahan sastra

Yunani tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi saja.

Pengaruh Karya-karya Terjemahan

Proses penerjemahan yang berlangsung selama kurang lebih dua abad telah menjadi

berkah yang besar bagi umat Islam saat itu. Hal ini dapat dipahami karena proses

penerjemahan ini menjadi mediator dalam dialog antara kebudayaan pengetahuan pra-

Islam dengan umat Islam yang sedang haus ilmu. Khazanah kebudayaan besar yang

meliputi Yunani, Persia dan India sedang mengalami kesepian di negerinya sendiri, di

dunia Islam, karya-karya tersebut mendapatkan sambutan yang sangat luar biasa. Sampai-

sampai seorang khalifah mau membayar sebuah buku yang sudah diterjemahkan dengan

nilai emas seberat buku tersebut. Selain itu, motivasi ini juga dilatarbelakangi oleh

keyakinan umat Islam saat itu bahwa peradaban hanya dapat dibangun dengan ilmu

pengetahuan yang kuat. Dan dalam melakukan proses itu, Islam yang baru saja berdiri

tidak dapat melakukan tugas itu sendirian, melainkan harus dibantu dengan khazanah

kebudayaan besar yang ada sebelumnya.

Page 9: Sejarah Politik Islam

Pengaruh dari proses penerjemahan ini dapat kita lihat pada perkembangan dunia

kedokteran, astronomi, matematika, hukum (qiyas dalam ilmu fiqih), politik dan filsafat

itu sendiri. Dalam kedokteran, kita mengenal Ibnu Sina, politik pada al-Farabi,

matematika pada al-Biruni, astronomi pada Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, sejarah

peradaban pada Ibnu Khaldun dan masih banyak lagi para sarjana muslim klasik yang

telah menorehkan tinta emasnya bagi peradaban Islam karena bersentuhan dengan karya-

karya kebudayaan pra-Islam yang sudah diterjemahkan. Dalam proses penerjemahan itu

juga terjadi penyerapan bahasa Yunani yang kemudian menjadi bahasaArab. Seperti kata

al-falsafah, al-musiqy, al-kimya, al-jigrafiyah dan lainnya

Perpaduan antara semangat umat Islam dengan kebudayaan pra-Islam melahirkan sebuah

sintesa yang tidak sederhana. Sintesa yang dihasilkan bukan hanya sekedar penjiplakan

pengetahuan sebelumnya yang kemudian diberi label Islam karena telah diterjemahkan ke

dalam bahasaArab. Lebih dari itu, sintesa ini juga meliputi proses reproduksi yang giat

dilakukan oleh para ilmuan muslim. Karya-karya filsafat yang diterjemahkan dari bahasa

Yunani tidak berhenti hanya pada hasil terjemahan namun telah merangsang para

intelektual muslim untuk mengomentari atau sekedar memberikan sebuah penafsiran atas

karya-karya filsuf Yunani itu.

Warna kebudayaan ilmiah pra-Islam yang dominan pada pandangan dunia umat Islam

dapat kita lihat dalam bentuk corak berpikir rasional atau dalam metode historis yang

dikembangkan oleh para periwayat hadits. Dalam teks-teks yang ditulis pada masa itu,

cukup banyak metode atau tradisi filosofis yang tersaji dalam  kajian-kajian ilmu alam.

Terutama pada kajian-kajian yang mendasarkan diri pada matematika. Hukum qiyas atau

analogi adalah salah satu pengaruh logika yang dapat kita lihat dalam wilayah fikih.

Pengaruh-pengaruh ini menjadi inheren dalam kebudayaan Islam sehingga dalam proses

sejarah yang panjang kadang kita sulit untuk membedakan mana yang mempengaruhi dan

yang dipengaruhi.

Page 10: Sejarah Politik Islam

Beberapa Aliran Filsafat Dalam Islam

Cukup sulit untuk mengklasifikasikan kecenderungan filsafat Islam dalam satu aliran

yang rigid. Sebagai contoh, paham Neoplatonisme yang berkembang di kalangan filsuf

Islam dianggap sebagai titik temu ajaran Plato dan Aristoteles.  Padahal, pada saat ini kita

mengetahui bahwa dua filsuf ini memiliki jalan yang berbeda dengan Neoplatonisme

yang dimaksud. Buku yang dianggap sebagai karya Aristoteles saat itu adalah Theology.

Namun belakangan diketahui bahwa buku tersebut adalah karya tambahan dari Enneads-

nya Plotinus.  Karenanya akan lebih aman bila kita mengatakan bahwa ada banyak corak

Neoplatonisme dari pada hanya ada satu corak Neoplatonisme. Hal serupa juga

dinyatakan oleh cak Nur dalam bukunya, Islam Doktrin dan Peradaban, bahwa paham

Neoplatonisme yang sampai dan berkembang di kalangan filsuf Islam sudah tercampur

dengan penafsiran Aristotelianisme. Sementara ajaran Aristoteles yang dipelajari oleh

para filsuf Islam sebenarnya sudah bukan ajaran Aristoteles yang murni melainkan

ajaran-ajaran dari para penafsir Aristoteles. Sehingga dengan demikian bukan Aristoteles

sendiri yang berpengaruh dalam filsafat Islam melainkan Aristotelianisme

Untuk meneropong beberapa kecenderungan aliran dalam filsafat Islam, penulis

menyajikan dua aliran yang menjadi kecenderungan sebagian besar filsuf Islam, yakni

aliran Peripatetik dan aliran Iluminasi. Pada umumnya gaya berfilsafat peripatetik

menjadi kecenderungan para filsuf Islam yang berada di wilayah barat seperti Andalusia.

Sementara pada aliran Iluminasi, mereka yang mencoba memadukan filsafat Yunani

dengan kebijaksanaan timur (oriental wisdom), pada umumnya berdiam di wilayah

bagian timur seperti Persia dan Suriah.

Peripatetisme

Filsafat peripatetik dapat kita lihat pada gejala Aristotelianisme. Para filsuf Islam yang

masuk dalam kategori filsuf peripatetik diantaranya adalah Ibnu Bajjah (wafat 533 H/

1138 M), Ibnu Tufail (wafat 581 H/ 1185 M) dan Ibnu Rushd (520-595 H/1126-1198 M).

Abad ke-11 menjadi saksi atas munculnya sejumlah ilmuwan  yang meletakkan dasar-

dasar ilmiah yang genuine. Puncak dari perjalanan ini ada pada kelahiran kembali

Page 11: Sejarah Politik Islam

Aristotelianisme. Peripatetik yang dalam bahasaArab dikenal dengan nama al-

Masyai’yyah berarti orang yang berjalan diambil dari kebiasaan Aristoteles yang selalu

berjalan-jalan dalam mengajar.

Untuk melihat corak filsafat peripatetik, ada baiknya bila kita melihat beberapa filsuf

yang berasal dari wilayah barat ini sekilas. Ibnu Bajjah  yang dikenal Avempace dalam

bahasa latin telah menempatkan diri sebagai filsuf yang berdiri pada tradisi Neoplatonik-

Peripatetik yang diperkenalkan oleh al-Farabi. Bagi Ibnu Bajjah, al-Farabi adalah satu-

satunya guru logika, politik dan metafisika yang berasal dari wilayah timur. Tampaknya

Ibnu Bajjah memiliki hubungan yang cukup dekat dengan filsuf wilayah timur yang satu

ini. Hal ini dapat kita lihat juga pada karya Ibnu Bajjah yang berjudul Tadbir al-

Mutawahhid yang mendasarkan pada pemikiran al-Farabi dengan cukup kental.

Kedekatannya dengan al-Farabi yang dikenal sebagai guru kedua dalam filsafat di mana

guru pertamanya adalah Aristoteles telah memberi warna tersendiri bagi metode filsafat

Ibnu Bajjah.

Salah satu pemikiran Ibnu Bajjah adalah tentang empat tipe mahluk spiritual. Tipe

pertama adalah bentuk-bentuk dari benda-benda langit (forms of the heavenly bodies)

yang sama sekali bersifat imateriil. Ibnu Bajjah menyamakan tipe ini dengan akal-akal

terpisah (separate intelligences) yang dalam kosmologi Aristotelian dan Islam diyakini

sebagai penggerak benda-benda langit. Tipe kedua adalah akal capaian (mustafad) atau

akal aktif yang juga bersifat immateriil. Tipe ketiga adalah bentuk-bentuk materiil yang

diabstraksikan dari materi. Sedangkan tipe yang keempat adalah representasi-representasi

yang tersimpan dalam tiga daya jiwa: sensus communis, imajinasi dan memori. Seperti

bentuk-bentuk materiil, bentuk-bentuk ini juga dinaikkan ke tingkat spiritual melalui

fungsi abstraktif yang terdapat pada jiwa manusia. Puncak dari fungsi abstraktif ini ialah

pemikiran rasional.

Tokoh filsafat perpatetik lainnya adalah Ibnu Tufail yang lahir di Wadi ‘Asy dekat

Granada. Salah satu karya yang cukup terkenal dari Ibnu Tufail adalah sebuah roman

yang berjudul Hayy ibn Yaqzhan. Judul karya ini memang sama dengan dengan karya

yang telah dibuat sebelumnya oleh Ibnu Sina. Dalam buku ini, Ibnu Tufail menekankan

Page 12: Sejarah Politik Islam

kebijaksanaan timur yang dapat diidentifikasikan sebagai tasawuf yang saat itu banyak

ditolak oleh banyak filsuf, termasuk Ibnu Bajjah. Melalui karyanya ini, Ibnu Tufail

mengaku dapat memecahkan pertentangan yang timbul antara filsafat dan agama atau

akal dan iman. Dua hal yang bertentangan ini dapat diumpamakan sebagai kebenaran

internal dan kebenaran eksternal yang pada prinsipnya sama-sama kebenaran. Namun dua

macam kebenaran ini tidak bisa digeneralisasikan untuk siapa saja tanpa melihat

kecerdasan yang dimiliki oleh orang bersangkutan. Karena kebenaran filsafat hanya dapat

dicapai oleh orang-orang khusus yang memiliki kecerdasan yang tinggi maka ia tidak

bisa diberikan begitu saja kepada orang awam. Sementara kebenaran agama yang melalui

kitab suci Alquran yang menggunakan bahasa inderawi dan makna-makna harfiah akan

dapat dengan mudah difahami oleh orang pada umumnya (awam).

Ibnu Rushd merupakan tokoh puncak dalam aliran filsafat peripatetik. Karena

perkembangan filsafat paska Ibnu Rushd sudah mengambil jalan yang lain, yakni

Iluminasi. Ia lahir pada 1126 M di Kordoba dan mempelajari banyak bidang, mulai

bahasaArab, fikih, kalam hingga kedokteran. Seorang khalifah pernah memerintahkannya

untuk menjelaskan karya-karya Aristoteles karena sangat sulit untuk dipahami. Ibnu

Rushd menulis komentar secara komprenhensif mengenai karya-karya Aristoteles kecuali

politics. Karya Aristoteles, Physics, Metaphysics, De Anima, De Coelo dan Analytica

posteriora dikomentari oleh Ibnu Rushd dalam tiga versi, “komentar lengkap”, “komentar

sedang” dan “komentar singkat.” Karya-karya Ibnu Rushd yang lebih orisinal dapat kita

baca pada polemiknya dengan Imam al-Ghazali tentang kesesatan para filsuf pada

Tahafut al-Tahafut (kerancuan dari buku Tahafut karya al-Ghazali). Atau pada Fashl al-

Maqal dan al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah yang menyerang teologi al-Asy’ary dan

menjelaskan hubungan filsafat dan agama yang sangat hangat pada saat itu

Dalam perdebantannya dengan para teolog mengenai penciptaan, Ibnu Rushd banyak

diinspirasikan oleh pandangn Aristoteles. Menurut Ibnu Rushd, ‘penciptaan’ merupakan

tindakan menggabungkan materi dengan bentuk atau teraktualisasinya potensi menjadi

aktus. Jadi penciptaan bukanlah sesuatu yang berasal dari ketiadaan (creatio ex nixilo).

Pandangan Ibnu Rushd yang ia petik dari buah pikiran Aristoteles ini berimplikasi pada

proses tergabungnya bentuk dengan materi. Tuhan dalam hal ini menjadi pencipta unsur-

Page 13: Sejarah Politik Islam

unsur dari gabungan itu sendiri, yang tak lain adalah alam semesta. Pengabungan ini

dapat berlangsung secara terus-menerus atau sekaligus. Bagi Ibnu Rushd, hanya

penciptaan yang terus-menerus (ihdats da’im), seperti yang ia katakan dalam Tahafut al-

Tahafut yang layak bagi penciptaan alam.

Illuminasionisme

Filsafat iluminasi yang dalam bahasa Arab disebut dengan Hikmat al-Isyraq dapat kita

ikuti jejaknya mulai dari al-Maqtul Syihab al-Din al-Suhrawardi. Ia lahir di Aleppo,

Suriah pada 1154 dan dihukum mati oleh Shaladin pada 1191 atas tuduhan kafir seperti

yang diklaim oleh para teolog dan fuqaha. Dalam banyak risalah, al-Suhrawardi

menyatakan bahwa pendapat-pendapatnya sesuai dengan metode peripatetik

konvensional yang ia sebut sebagai metode diskursif yang baik. Namun metode tersebut

tidak lagi memadai bagi mereka yang berusaha mencari Tuhan atau bagi yang ingin

memadukan metode diskursif dengan pengalaman batin sekaligus. Menurut al-

Suhrawardi, agar dapat melakukan tugas ini, seseorang dapat mengambil jalur filsafat

iluminasi  atau Hikmat al-Isyraq.

Inti dari ajaran hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi adalah tentang sifat dan pembiasan

cahaya. Cahaya ini, menurutnya, tidak dapat didefinisikan karena merupakan realitas

yang paling nyata dan yang menampakkan segala sesuatu. Cahaya ini juga merupakan

substansi yang masuk ke dalam komposisi semua substansi yang lain. Segala sesuatu

selain “Cahaya Murni” adalah zat yang membutuhkan penyangga atau sebagai substansi

gelap. Objek-objek materil yang mampu menerima cahaya dan kegelapan sekaligus

disebut barzakh.

Dalam hubungannya dengan objek-objek yang berada di bawahnya, cahaya memiliki dua

bentuk, yakni cahaya yang terang pada dirinya dan cahaya yang menerangi yang lain.

Cahaya yang terakhir ini merupakan penyebab tampaknya segala sesuatu yang tidak bisa

tidak beremanasi darinya. Di puncak urutan wujud terdapat cahaya-cahaya murni yang

membentuk anak tangga menaik. Pada bagian tertinggi dari urutan anak tangga ini

disebut Cahaya di atas Cahaya yang menjadi sumber eksistensi semua cahaya yang ada di

Page 14: Sejarah Politik Islam

bawahnya, baik yang bersifat murni maupun campuran. Oleh al-Suhrawardi cahaya ini

juga disebut Cahaya Mandiri, Cahaya Suci atau Wajib al-Wujud.

Filsuf yang juga banyak diinspirasikan oleh Hikmat al-Isyraq al-Suhrawardi namun

kemudian memodifikasinya ajaran tersebut sedemikian rupa sehinga menjadi ilm al-

huduri (knowledge by presence) adalah Mulla Shadra. Mulla Shadra lahir di Syiraz,

Persia  pada tahun 1572 dan belajar pada guru-guru Isyraqi yang pada saat itu sedang

menggejala di dalam tradisi filsafat Persia. Karya yang menjadi magnum opus Mulla

Shadra  adalah Hikmat al-Muta’aliyah (hikmat transendental) yang lebih dikenal dengan

al-asfar al-arba’ah (empat perjalanan). Empat perjalanan yang dimaksud oleh Mulla

Shadra dikemukakan dalam al-asfar al-arba’ah sebagai berikut: pertama perjalanan dari

makhluk menuju Tuhan, kedua perjalanan menuju Tuhan melalui bimbingan Tuhan,

ketiga perjalanan dari Tuhan menuju makhluk melalui bimbingan  Tuhan, dan yang

keempat adalah perjalanan di dalam makhluk melalui bimbingan Tuhan.

Salah satu pemikiran Mulla Shadra yang sampai kini masih fenomenal dalam tradisi

filsafat di Persia (baca: Iran - saat ini) adalah tentang ‘ilm al-huduri atau knowledge by

presence. Ilmu ini biasanya dipertentangkan dengan knowledge by representation (‘ilm

al-husuli). Menurut Mulla Shadra perbedaan antara ‘ilm al-huduri dengan ‘ilm al-Husuli

ada pada hubungan antara subjek penahu dengan objek yang diketahui. Dalam ‘ilm al-

husuli (knowledge by representation), hubungan antara subjek dengan objek jelas

terpisah sehingga ada konsep dualisme di dalamnya. Sementara pada ‘ilm al-huduri

(knowledge by presence) dualisme itu hilang. Yang ada adalah kesatuan antara subjek

penahu dan objek yang diketahui. Salah seorang pakar ‘ilm al-huduri kontemporer,

Mehdi Ha’iri Yazdi menulis sebuah buku khusus tentang ‘ilm al-huduri dalam The

Prisnciple of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence.

Penutup

Seperti yang telah penulis   utarakan di muka, gelombang kebudayaan pra-Islam tidaklah

dapat dipisahkan dari perkembangan peradaban Islam klasik yang banyak disebut oleh

sejarahwan muslim sebagai masa-masa kejayaan Islam atau golden age. Proses

Page 15: Sejarah Politik Islam

penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani, Persia dan India hanya salah satu pintu

dialog antar peradaban, sementara tanpa proses reproduksi, penerjemahan hanya menjadi

tumpukan karya yang sudah dialihbahasakan belaka. Karenanya, dukungan penguasa saat

itu dan dengan gairah keilmuan umat Islam yang luar biasa menjadikan gelombang

kebudayaan ini tidak sia-sia. Segala upaya, baik materil maupun semangat juang yang

telah ditorehkan dalam bentuk maha karya telah menjadi pilar-pilar peradaban Islam yang

sangat menentukan.

Bila peradaban Islam klasik banyak ditopang oleh kebudayaan sebelumnya, hal yang

sama juga dialami oleh bangsa Barat pada abad kelimabelas. Semangat kelahiran kembali

(renaissans) yang dikobarkan oleh masyarakat Eropa Barat tidak bisa dilepaskan dari

peran ilmuwan muslim yang telah menularkan semangat pengetahuan pada masayarakat

Eropa saat itu. Khusus dalam bidang filsafat, Jamil Shaliba pernah memberikan

catatannya atas pengaruh pemikir Islam di dunia Barat (Eropa). Menurutnya pengaruh

peradaban  Islam klasik bagi peradaban Barat Modern masih lebih besar dibandingkan

dengan pengaruh peradaban Yunani bagi peradaban Islam klasik. Pada saat ini, setelah

terjadi kebangkitan di dunia Islam, umat kembali harus banyak belajar dari para pemikir

barat yang sudah jauh meninggalkan dunia Islam.

Sejarah Singkat Kaum Syi’ah

Ide tentang hak Ali beserta anak keturunannya atas jabatan Khalifah atau Imam telah ada

sejak saat wafatnya Nabi. Dalam pertemuan di Tsaqifah Bani Saidah, yang berlangsung

begitu Nabi wafat sudah ada usul bahwa yang diinginkan untuk menjadi khalifah atau

imam adalah dari kalangan Ahlul Bait.

Riwayat lain menceritakan, bersamaan waktunya dengan pertemuan di Tsaqifah Bani

Saidah itu berlangsung pula rapat di rumah Fatimah binti Rasulullah yang dipimpin Ali

dan dihadiri oleh seluruh keluarga Bani Hasyim. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan,

Abbas paman Nabi telah mendesak ali untuk meminta kepastian Nabi siapa yang akan

ditunjuk menjadi pengganti beliau. Ali menolak permintaan Abbas itu, karena beliau

khawatir Nabi menunjuk orang lain, sehingga tertutup kemungkinan baginya untuk

Page 16: Sejarah Politik Islam

menjadi khalifah. Apalagi Ali sendiri tidak yakin, sakit Nabi itu akan menyebabkan

kewafatannya.

Jadi pada saat wafatnya Nabi, masyarakat muslim Madinah terpecah kepada tiga

kelompok :

1.      Bani Hasyim, termasuk Ali yang menghendaki hak legitimasi itu untuk mereka

(ahlul bait).

2.      Muhajirin, yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar dan menghendaki hak

kekhilafahan itu untuk kelompok Muhajirin.

3.      Ansor, yang dipimpin oleh Ubadah ibn Shamit dan menginginkan jabatan

khalifah itu untuk golongan mereka.

Pemikiran ketiga kelompok tersebut dalam masalah kepemimpinan negara akhirnya

dikembangkan oleh tiga golongan, Syi’ah mengembangkan pemikiran kelompok

pertama, Sunni mengembangkan ide kelompok kedua dan ide kelompok ketiga

dikembangkan oleh Khawarij.