34
Problematika Pelarangan Penerjemahan Al- Qur’an dan Pengaruhnya pada Perkembangan Tafsir di Indonesia Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Tafsir di Indonesia Disusun oleh: Nurlela 1121030086 JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Sejarah Tafsir Indonesia Problematika Pelarangan Penerjemahan Al-qur'An

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SEJARAH TAFSIR

Citation preview

Problematika Pelarangan Penerjemahan Al-Quran dan Pengaruhnya pada Perkembangan Tafsir di IndonesiaDiajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Tafsir di Indonesia

Disusun oleh:Nurlela1121030086

JURUSAN TAFSIR HADITS FAKULTAS USHULUDDINUNIVERSITAS ISLAM NEGERISUNAN GUNUNG DJATIBANDUNG 2015

ABSTRAK

Al-Quran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui malaikat Jibril dengan menggunakan bahasa arab. Namun Islam tidak hanya berkembang di jazirah Arab. Sehingga bukan hanya orang Arab yang membaca Al-Quran tersebut. Al-Quran tidak hanya wajib dibaca tetapi juga dikaji, difahami, dan diamalkan. Oleh sebab itu tidak hanya cukup hanya membaca Al-Quran, tetapi mentadaburinya agar kita mampu menyerap pesan-pesan Allah yang disampaikan didalam Al-Quran. Bagi bangsa non-Arab menerjemahkan Al-Quran adalah pintu untuk mentadaburi Al-Quran. Namun hal ini menjadi problem yang banyak dibicarakan. Yaitu adanya pelarangan penerjemahan Al-Quran ke bahasa lain. Di Asia Tenggara, Al-Quran juga sudah pula diterjemahkan dalam bahasa rumpun melayu seperti Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tak hanya itu, penerjemahan Al-Quran juga dilakukan dalam rumpun lokal, seperti penerjemahan kedalam bahasa sunda, madura, melayu, jawa dan yang lainnya.Perkembangan tafsir di Indonesia amatlah lambat. Hal ini merupakan salah satu penyebab dari Pelarangan penerjemahan Al-Quran di Indonesia. Terlebih bangsa Indonesia mengenal huruf latin jauh setelah Islam masuk ke Nusantara. Akibatnya tafsir-tafsir yang lahir di Indonesia adalah tafsir dengan bahasa melayu yang menggunakan Arab pegon.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian dan Jenis-Jenis Terjemah Terjemah menurut etimologi mengandung empat makna yang terkait[footnoteRef:1] : [1: Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001), h. 57]

1. Menyampaikan berita kepada yang terhalang menerima berita2. Menjelaskan maksud kalimat dengan cara menggunakan bahasa aslinya3. Menjelaskan maksud dari suatu kalimat dengan perantaraan bahasa lainnya4. Alih bahasa, yaitu pengalihan makna atau amanat dari bahasa tertentu ke bahasa lainnya. Secara ternimologi, terjemah adalah ungkapan makna dari bahasa tertentu ke bahsa lain sesuai dengan maksud yang terkandung dalam bahsa tertentu tersebut[footnoteRef:2]. [2: Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, h. 60]

Ada dua macam jenis Terjemah. Terjemah hatfiyah dan Terjemah Maknawiyah.1. Terjemah Harfiyah Terjemah harfiyah ialah pengalihan bahasa yang dilakukan sesuai urut-urutan kata basa sumber. Menurut Az- Zar qani, terjemah seperti ini tidak ubahnya dengan kegiatan mencari padanan kata.terjemah seperti ini disebut dengan terjamahan Lafdziah2. Terjemah Maknawiyah Ialah alih bahasa tanpa terikat dengan urut- urutan kata atau susunan kalimat bahasa sumber. Yaitu mengutamakan ketepatan makna dan maksud secara sempurna dengan konsekuensi terjadi perubahan susunan kata atau kalimat[footnoteRef:3] [3: Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, h. 61]

B. Sejarah Penerjemahan Al-Quran di Indonesia Penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-17 M. Adalah Abdul Ra'uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara. Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari ditinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra'uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya terjemahan Alquran karya Abdul Ra'uf Fansuri, hampir tak ditemukan lagi terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M. Abdur Rauf menimba di Arab Saudi sejak 1640. Ia kembali ke Tanah Air pada 1661. Ulama terkemuka itu lalu menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam tafsir Tarjuman al-Mustafid. Tafsir Alquran pertama di Nusantara itu disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan memahami isi ajaran Alquran.Selain di Indonesia, tafsir tersebut juga digunakan oleh umat Islam di Singapura dan Malaysia. Tafsir itu pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matbaah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta Makkah (al-Amiriah).Sedikitnya ada dua pendapat besar mengenai tafsir yang ditulis Abdul Rauf itu. Pertama, orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje menganggap bahwa terjemah tersebut lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan tafsir al-Baidawi, karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir Jalalain. Kedua, Riddel dan Harun memastikan bahwa Tarjuman Al-Mustafid adalah terjemahan tafsir Jalalain, hanya pada bagian tertentu saja tafsir tersebut memanfaatkan tafsir al-Baidaiwi dan tafsir al-Khanzin. Abdul Rauf, menurut kedua ahli itu, cenderung memilih tafsir Jalalain. Secara emosional, Singkel memiliki runtutan sanad itu dapat ditelusuri melalui gurunya, baik al-Qusyasyi maupun atau al-Kurani.Menurut Azyumardi Azra, Abdul Rauf menulis terjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh, ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid karya Abdul Rauf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu. Penerjemahan generasi kedua di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur'an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Quran oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir Al-Quranil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing. tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) dianggap mewakili generasi ketiga.Kendati karya-karya terjemahan Alquran berbahasa Indonesia masih terbilang sedikit, namun pemerintah Republik Indonesia menaruh perhatian besar terhadap terjemahan Alquran ini. Hal ini terbukti bahwa penerjemahan Alquran masuk dalam Pola I Pembangunan Semesta Berencana, sesuai dengan keputusan MPR. Untuk melaksanakan program ini Kementerian Agama pada masa itu telah membentuk sebuah lembaga Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Alquran yang diketuai oleh Prof RHA Soenarjo SH, mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, waktu itu. Tim ini beranggotakan para ulama dan para sarjana Islam yang mempunyai keahlian dalam bidangnya masing-masing.[footnoteRef:4] [4: Nidia Zuraya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2mmqq-jejak-penerjemahan-alquran-di-indonesia , diakses 17 April 2012, jam 20:56 WIB.]

C. Problematika Penerjemahan Al-Quran Menerjemahkan Alquran selalu menjadi sebuah problematika dan isu yang sulit dalam teologi Islam. Karena Muslim menghormati Alquran sebagai mukjizat dan tak bisa ditiru. Terlebih, kata-kata dalam Alquran memiliki berbagai arti tergantung pada konteks, sehingga untuk membuat sebuah terjemahan yang akurat amatlah sulit. Menurut Afnan Fatani (2006) dalam "Translation and the Qur'an" yang dikutip oleh Nidia Zuraya pada sebuah artikel di media elektronik Republika.Ziyadul Ul Haq dalam bukunya Psikologi Qurani, mengatakan bahwa: menerjemahkan Alquran bukanlah usaha untuk menduplikasi atau mengganti teks Alquran yang asli. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan manusia tidak sama dengan Alquran itu sendiri. Keaslian dan kemurnian Alquran dijaga oleh tangan Ilahi.Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya. (QS Al-Hijr [15]:9). Usaha manusia dalam menterjemahkan bahasa ilahiyah sangat tergantung pada kapasitas manusia itu sendiri.[footnoteRef:5] [5: Nidia Zuraya, http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-sejarah-penerjemahan-alquran, diakses 17 April 2012, jam 16:01WIB.]

Para ulama Islam tidak pernah menganjurkan upaya penerjemahan Al-Quran. Bahakan sebagian mereka melarang dan mengharamkannya. Baik itu penerjemahan ke dalam huruf latin maupun penerejemahan ke bahasa penerima. Dalam disertasinya, Dadang Darmawan menjelaskan alasan-alasan para ulama melarang penerjemahan Al-Quran sebagai berikut: dengan menukar huruf-huruf Al-Quran ke dalam huruf latin adalah sebuah ke-kafiran karena dalam sebuah hadits di sebutkan barang siapa mengubah sesuatu dari Al-Quran maka ia telah kafir, Al-Quran adalah kalam Allah yang azali, yang qodim, bukan makhluk. Menurut K.H. Oeyek Abdoellah Al-Quran dalam mushaf adalah tulisan arab. Tulisan itu tidak boleh di rubah, di tukar atau di ganti barang satu huruf pun ke dalam tulisan lain. Kendati demikian penerjemahan Al-Quran dilakukan pertama kali orang-orang non-Muslim, khususnya di Eropa, dan bukan oleh orang-orang Islam. Namun, memasuki zaman modern, upaya penerjemahan Al-Quran tidak bisa lagi di bending. Seperti dijelaskan dengan sangat bagus oleh M.Ayoub, upaya penerjemahan Al-Quran ke bahasa non-Arab pada mulanya sebuah kebutuhan untuk membendung missionaris Kristen. Kaum muslimin do Negara-negara no n-Arab merasa kesulitan berinteraksi langsung dengan kitab suci mereka, sementara para missionaris secara gencar menyebarluaskan kitab suci dengan bahasa lokal dimana kaum Muslim tinggal. Untuk menandingi misionaris, para ulama akhirnya memperbolehkan penerjemahan Al-Quran.[footnoteRef:6] [6: Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2009), h.26-27]

Sebab itu, upaya penerjemahan Al-Quran selalu dikontrol secara ketat. Negara selalu mengambil peran dalam melakukan penerjemahan resmi, sementara upaya-upaya penerjemahan individual tidak pernah digalakan, dan kalau perlu dilarang. Kasus terjemahan al-queran ke dalam bahasa inggris oleh Rashad Khalifa (The Quran: The Final Scripture) dan kedalam bahsa Indonesia oleh H.B. Jassin (Al-Quran berwajah puisi) adalah contoh betapa penerjemahan Al-Quran secara individual bisa membahayakan pelakunya. Diatas ini semua, perlu digaris bawahi bahwa para ulama Islam hampir sepakat bahwa terjemahan Al-Quran sesungguhnya bukanlah Al-Quran. Al-Quran itu, menurut mereka, untrestable, tidak bisa diterjemahkan. Pesannya jelas bahwa Al-Quran dalam bahasa arab adalah sesuatu yang agung, yang suci, yang tak terwakili oleh bahasa non-Arab. [footnoteRef:7] [7: Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Quran, h.28]

Di Indonesia terjemahan Al-Quran telah menjadi bagian dari isu tabu dan sensitif bagi kaum muslim. R.A kartini (1879-1904) dalam suratnya tanggal 6 November 1899 sempat mengeluhkan tentang terlalu sucinya Al-Quran pada masanya untuk diterjemahkan kedalam bahasa apapun. Sekitar 1909, Sayyid Uthman, seorang mufti polemis Batavia yang dekat dengan kolonial Belanda secara terbuka menyebarkan pamflet untuk merespon usulan terjemah berbahasa Jawa. Sekitar tahun 1925, msalh terjemah juga muncul dalam fatwa Rasyid Ridha di majalah Al- Manar Mesir terkait perkataan Basyuni Imran dari Sambas Kalimantan Barat mengenai upaya H.O.S Tjokroaminato yang menerjemahkan The Holy Al-Quran karya Muhammad Ali , ulama Ahmadiyah kealam bahasa melayu Indonesia. Di Priangan, Ahmad Sanusi juga pernah memicu perdebatan tentang masalah terkait penolakan ulama Pakauman terhadap karangannya berupa Tafsir berbahasa Melayu Tamsjijjatoel Moeslimin tahun 1934. Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa pada masa dahulu terjemah umumnya masih dianggap tabu oleh ulama Indonesia, setidaknya hingga paruh Abad ke-20. Penolakan ulama atas terjemah didasarkan bahwa terjemah dianggap sesuatu yang mustahl karena tidak bisa menggantikan Bahasa Arab Al-Quran . bisa dipahami bawa kemudian terjemah non-Arab dihukumi Haram.[footnoteRef:8] [8: Jajang A Rohmana. Sejarah Tafsir Al-Quran ditatar Sunda, (Bandung: Mujahid Press, 2014), h.71]

Ada 4 tahap problematika penerjemahan Al-Quran di Indonesia:1. Tahap awal, segala bentuk penerjemahan Al-Quran adalah dilarang jikapun diperbolehkan itu hanya bisa di lakukan oleh para mujtahid.2. Tahap ke-dua, adanya pembolehan penerjemahan ke bahas penerima.3. Tahap ke-tiga, hampir seluruh ulama memperbolehkan penerjemahan Al-Quran ke bahasa lain (terjemah tafsiriyah).4. Tahap ke-4, adanya produk tafsir secara kuantitas. Contoh mufasir di Indonesia yang menerjemahkan Al-Quran ke bahasa melayu dan tulisan Arab pegon adalah H. Ahmad Sanusi yang menyajikan tafsir dengan dua bahasa yakni bahasa arab yang didampingi arab latin dengan tafsirnya Tamsiyatul Muslim. Hal ini menuai banyak kritik dari kalangan yang berbeda. Karena pada saat itu penerjemahan Al-Quran dengan penulisan arab latin dianggap menyimpang ajaran Rosululloh SAW. H. Mansoer dan H. Oesman yang menyatakan bahwa tafsir hasil karya beliau tak lebih dari sebuah kebohongan belaka. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa beliau menulis Al-Quran dengan huruf latin. Kenyataan ini, akhirnya akan memecah belah umat muslim, sebagai tindakan prefentif, kedua ulam tersebut, mengharamkan penulisan Al-Quran dengan menggunakan bahasa Hindie (Latin).Sebab itu H. Ahmad Sanusi menjelaskan dengan beberapa uraian berikut ini:1. Penulisan Quran dengan huruf latin bukanlah tindak kesewenangan beliau secara individu, tetapi sudah merupaka ijma dari para ulama. Selain itu, penulisan Al-Quran dengan tulisan latin, tidak merubah dzat, lafadz, kalimah ataupun hakikat ayat yang ditulis.2. Penulisan sahabat, Tabiin dan ulama pada kurun abad pertama sampai disusunnya tafsir ini dengan memakai bahasa arab, tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak penulisan Al-Quran dengan huruf latin. Karena Islam telah menetapkan, apapun pekerjaan yang telah dilakukan oleh sahabat, tabiit dan tabiin itu tidaklah wajib. Bahakan Ibnu Hazim berkata: perbuatan-perbuatan Nabi itu bukanlah wajib dan bukanlah fardu, kecuali ia mengandung perintah-perintah dari Allah.3. Sesuatu yang wajib itu seyogyanya didukung oleh ayat Al-Quran ataupun hadits, sedang perkara yang diharamklan harus pula memiliki bukti pengharamnya dari Al-Quran ataupun hadits, selain itu perkara-perkara yang tidak ada perintah ataupun larangannya dari Quran atau haidits, maka itu namanya masqut an-hu/ afiyah.[footnoteRef:9] [9: Rosihon Anwar, Kumpulan Makalah Sejarah Tafsir Indonesia ]

Penulisan Quran dengan huruf latin bukanlah tindak kesewenangan, tetapi sudah merupakan ijma dari para ulama. Selain itu, penulisan Al-Quran dengan tulisan latin, tidak merubah dzat, lafadz, kalimah ataupun hakikat ayat yang ditulis.D. Tafsir berbahasa Melayu Tamsjijjatoel Moeslimin Pada mulanya Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimin ini diberi judul Pengadjaran dengan Bahasa Sunda. Judul ini dimaksudkan untuk menunjukan bahwa ia tidak bermaksud menafsirkan Al-Quran. Karena sebelumnya K.H. Ahmad Sanoesi telah mengeluarkan sejumlah pernyataan bahwasannya yang boleh melakukan penafsiran al-Quran itu hanyalah mujtahid, selain mujtahid trermasuk oran-orang seperti dirinya harus takut dalam menafsirkan Al-Quran. Tetapi ketika terkumpul 20 jilid beliau mengantinya menjadi Malja al-Thalibin fii Tafsir Kalam Robbil alamin.Dadang Darmawan dalam disertasinya[footnoteRef:10], menjelaskan bahwa dilihat dari judul Tafsir ini, kemungkinan besar K.H. Ahmad Sanusi berharap karyanya itu menjadi tempat rujkan (malja) atau referensi bagi para santrinya yang ingin menafsirkan Al-Quran, sehingga mereka tidak perlu lagi merujuk pada kitab-kitab tafsir berbahasa Arab, karena ia telah merangkum dan memindahkan isi beberapa kitab tafsir yang mutamad ke dalam karyanya itu. Dengan adanya Tafsir itu Ahmad Sanoesi nampaknya berharap kesulitan yang dihadapi para santri itu dapat diatasi. Yang mana pada zaman itu kitab-kitab tafsir sangat sulit didapat, hanya beberapa orang yang dapat membelinya, itupun harus dilakukan ketika berhaji ke tanah suci. Sebulan setelah kepulangannya ke Sukabumi K.H. Ahmad Sanoesi menerbitkan tafsir Tamsjijatoel-Moeslim Fie Tafsieri Kalami-Rabbilalamien. Dengan huruf latin dan bahasa Melayu tidak seperti biasanya. Biasanya ia menggunakan tulisan arab pegon dan bahasa sunda. Feature baru ini menjadi bukti bahwa Tafsir Tamsjijatoel-Moeslim Fie Tafsieri Kalami-Rabbilalamien seperti yang dapat dilihat dari judulnya diperuntukan bagi komunitas yang lebih umum. Dan tujuan jelas yaitu menggerakan, mengaktifkan, atau dalam istilah K.H. Ahmad Sanoesi untuk menindakan seluruh orang islam agar mendalami tafsir Al-Quran. [10: Dadang Darmawan, Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama Terhadap Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimin.]

a. Biografi Mushonif Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin (Ahmad Sanusi) K.H. Ahmad Sanoesi lahir di daerah Cantayan, kabupaten Sukabumi, tanggal 3-1-1306 Hijriah. Ayahnya seorang ajengan yang memiliki sebuah pesantren di desa Cantayan. K.H. Ahmad Sanoesi belajar ilmu-ilmu agama islam di pesantren ayahnya hingga usia 15 tahun. Atas sarna ayahnya ia belajar di beberapa ulama ternama di daerah SukBUMI, Cianjur, dan Tasikmalaya. Setiap ulama yang beliau datangi memiliki keahlian tersendiri dalam berbagia ilmu agama seperti ushul fiqh, manthiq, nahwu-shorof, dan lain-lain. Pada tahun 1909 saat usianya menginjak usia 21 tahun beliau menunaikan ibadah haji dan belajar di kota tersebut. Beberapa di antara d\gurunya adalah Muhammad Junaedi, Mukhtar, Abdullah Jamawi, Mahfuz al-Tirmisi, Saleh Bafadil dan Said Jawami seorang mufti mazhab syafii.Saat kemabali dari Mekah tahun 1915, K.H. Ahmad Sanoesi membantu ayahnya mengajar di pesantren Cantayan. Ia juga aktif di SI (Serikat Islam) Sukabumi sebagai adviseur. Walaupun sejak 1916 ia sudah mengundurka diri dari organisasi tersebut, namun Belanda terus mengaitkan Ahmad Saboesi dengan organisasi tersebut. Pada tahun 1919 ia sempat di ciduk Belanda dengan tuduhanterlibt SI Afdeling B. Ia ditangkap karena di tuduh menyebarkan pamflet dan menyembunyikan K.H. Muhammad Adrai tokoh SI Afdeling B yang berhasil melarikan diri.b. Karakteristik Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin Berikut karakteristik Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin dilihat dari segi sumber, corak, dan metode penafsiran:1. Sumber Dilihat dari segi sumber, tafsir Tamsjijatoel Moeslimin termasuk kedalam kategori al- tafsir bi Ar-Rayi. Tafsir ini menjelaskan isi kandungan Al-Quran dengan cara istidlal. Adapun dalil- dalil yang digunakan dalam istidlal itu adalah perpaduan antara dalil akal dan naql, tetapi yang lebih dominan adalah dalil-dalil akal sehingga tafsir ini lebih cocok dikategorikan sebagai At-Tafsir bi Ar-Rayi.Misalnya ketika ia menafsirkan Q.S 2:22. Menurutnya, ada 4 syarat agar bumi menjadi atau Tempat yang terhampar bagi manusia: salah satunya, Bumi ini harus diam, tidak boleh menyudut ke atas atau samping. Bila bumi berputar kebawah, maka bumi ini akan terbalik dan jatuh, manusia yang ada juga akan jatuh dan tak berujung. Pada saat jatuh, bumi akan meluncur lebih cepat daripada manusia, karena bumi lebih berat dripada manusia. Dengan begitu, manusia akan melayang selamanya. Demikian pula jika bumi berputar ke samping, kearah Timur misalnya, maka manusia yang berjalannke arah Barat tidak akan pernah sampai ke tempat tujuannya. Karena gerak bumi ke timur lebih cepat daripada gerak manusia kea rah Barat, sehingga ia akan berjalan ditempat. H. 129.Contoh lain misalnya penafsiran tentang Q.S 2:26. Menurutnya Allah tidak segan segan mengambil kutu sebagai perumapamaan bahkan yang lebih kecil lagi dari kutu, sebab menurut pandangan akal dan penyelidikan hati keadaan kutu itu justru lebih dan lebih ajaib: kutu itu ternyata bergigi, bermulut, bertenggorokan dan lainnya. Padahal secara kasat mata, kutu itu tidak terlihat karena saking kecilnya, lalu dengan alat apa lubang pada kutu itu dibuat. Ilmu pengetahuan dan penelitian tidak bias menemukan satu perkakas pun yang mampu membuat lubang sekecil itu pada kutu. Sehingga jika semua manusia berkumpul untuk membuat satu kutu saja, tentu mereka tidak akan sanggup untuk melakukannya. Jika secara umum penfsiran K. H Ahmad Sanusi ini banyak didukung oleh dalil-dalil Aqli, namun demikian istidlal dengan dalil-dalil naqli pun banyak pula dijumpai dalam tafsir ini. Misalnya ketika menefsirkan Q.S 2:200. Ayat tersebut ditafsirkan sebagai berikut, bahwasanya sebagian dari orang- orang yang naik haji itu adalah orang yang kafir dan musyrik yang maksudnya naik haji yang hanya mencari kebahagiaan duniawi dengan meminta-minta kepada Allah Hai Tuhan, berikanlah kepada kami segala harta benda dan kekayaan dunia. Maka orang seperti itu tidak akan mendapatkan pahala, keselamatan dan kebahgiaan di akhirat. Orang-orang seperti ini sangatlah rugi dan celaka, adapun sebab mereka meminta kebahagiaan didunia saja, karena mereka ingkar kepada akhirat. Untuk menguatkan penafsirannya itu ia mengemukkan hadis yang artinya, beteapa ruginya orang-orang yang beribadah hanya dengan maksud mencari keuntungan duniawi tanpa memikirkan kebahagiaan di akhirat kelak. Namun demikaian, penafsiran menggunakan akalnya lebih dominan sehingga dari segi manhaj tafsir ini lebih cocok dikelompokkan ke dalam at-Tafsir bi Ar-Rayi.[footnoteRef:11] [11: Dadang Darmawan, Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama Terhadap Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimin. Disertasi, h.131-132.]

2. Metode Tafsir Tamsjijatoel- Muslimin termasuk kepada katagori Tahlili, yaitu tafsir yang menguraikan Al-Quran secara terperinci dan berurutan berdasarkan Tartib Mushaf, tafsir ini memulaii penafsirannya dari Lafadz dan terus lanjut menguraikan A-Quran lafadz per lafadz. Ayat per ayat secara tertib. Sayangnya tafsir ini tidak lengkap, hanya menafsirkan juz Al-Quran saja. Hal inilah yang sesungguhnya dikhawatirkan oleh sebagian pembacanya sehingga mereka sempat meminta agar tafsir ini di terbitkan lebih cepat, dari awlnya sebulan sekali, menjadi seminggu sekali. Menurut mereka kalaun tafsir ini hanya diterbitkan sekali kapan akan selesainya padahal mereka ingin sekali mengoleksi tafsir ini hingga juz 30.Lebih dari itu, tafsir ini juga menafsirkan Al-Quran secara ijmali, walaupun tidak konsisten. Dalam beberapa kesempatan, sesudah menguraikan suatu kelompok ayat, tafsir ini memberikan ulasan singkat yang telah ditafsirkan juga kandungan umum ayat-ayat yang ditafsirkan. Misalnya, setelah menafsirkan Q.S 2:2-20, tafsir ini mengatakan bahwa ayt ini telah menjelaskan tiga macam golongan manusia, yaitu mukmin, kafir dan munafik, sedangkan ayat-ayat selanjutnya akan membahas kewajiban manusia beribadah kepada Allah Swt. Contoh lain setelah menafsirkan Q.S 2:21-24, tafsir ini menjelaskan bahwa aayat ini menjelaskan tentang keesaan Allah, dan Kenabian Muhammas Saw, sedangkan ayat- ayat berikutnya membahas perkara akhirat, yati siksa neraka bagi orang yang durhaka dab pahala surge bagi orang yang bertaqwa. Demikianlah kurang lebih Thariqah yang ditempuh oleh tafsir Tamsjijatoel Moeslimin. H. 128.[footnoteRef:12] [12: Dadang Darmawan, Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama Terhadap Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimin. Disertasi, h. 128.]

3. CorakBasis pemikitan K.H Ahmad Sanusi dalam menulis Tafsir Tamsjijatoel Moeslimin adalah tradisionalisme, ini bererti ia masih terika kuat dengan pemikiran-pemikiran ulama Sunny abad ke-7 sampai dengan abad ke-13 terutama dalam bidabg teologi, fkih dan tasawuf yang di Indonesia lebih dikenal dengan paham Ahli Sunnah wa Al- Jamaah. Dalam kajia tafsirnya juga terikat dengan pemikiran- pemikiran mufassir abad pertengahan. Sihingga tidak mengherankan bila penjelasannya tentang fiqh, teologi atau tasawuf sunni mewarnai halaman-halamannya. Demkian pla pemikiran-pemikiran khas kaum tradisionalis mengenai taklid, bidah, kitab kuning ikut pula mewarnai isi tafsir ini. Hal lain yang menjadi doominan dalam tafsir ini adalah penggunaan hadis dan atsar yang cukup banyak, karena kitab yang menjadi rujukan K.H Ahmad Sanusi sebagian diantaranya adalah kitab-kitab al-Tafsir bi al-Matsur.Klaim tentang Tafsir Tamsjijatoel Moeslimin ini berbasis tradisionaisme, masih harus banyak dibuktikan, skema tentang tafsir ini masih harus dikemukakan. Bukan untuk mengungkap seluruh pemikiran K.H Ahmad Sanusi, melainkan untuk membuktikan bahwa tafsir ini membela tradisionalisme dengan sangat gigih dan isinya tidak ada yang bertentangan dengan tradisonalisme sebagai ajaran Islam ortodoks yang berlaku saat itu.K.H Ahmad Sanusi sendiri telah mengungkapkan skema isi tafsirnya. Menurutnya tafsir ini berisi hadis-hadis kisah-kisah, dan pendapat- pendapat Ahl Sunnah wa al-Jamaah serta madzhab Syafii, Maliki, Hanafi dan Hambali. Kisah israiliyat juga banyak dijumpai dalam tafsir ini. Tapi yang paling penting, tafsir ini berupaya mengenalkan dan membela pemikiran fiqh, teologi dan tasawuf Sunni dari para penentangnya.[footnoteRef:13] [13: Dadang Darmawan, Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama Terhadap Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimin. Disertasi, h.140]

4. Contoh penafsiran dalam Tafsir Tamsjijjatoel MoesliminBerikut penfsiran surat Al-baqoroh ayat 136 di dalam kitab Tafsir Tamsjijjatoel Moeslimin. : Tjeritakanlah olehmoe Hai, oemat Islam kepada kaoem Jahoedi dan kaom Nasroni, jang mengadjak kepada kamoe masoek agama Jahoedi dan agama Nasroni. : Kami pertjaja dan memebenarkan dengan ber-toehan : Kepada Alloh : dan kami iman poela kepada kitab Qoeran : jang ia di toeroenkan. : Kepada kami : dan iman poela kepada segala kitab. : jang ia telah di toeroenkan : Kepada N. Ibrahim : Kepada N. Ismail : dan kepada N. Ishaq : Dan kepada N. Jaqoeb : dan kepada sekalian anak tjoetjoe Nabi Jaqoeb. : Dan Iman poela kepada kitab Taurot dan Injil. : Jang di berikan dia : Kepada Nabi Moesa : Dan kepada Nabi Isa : Dan iman poela kepada segala kitab : Jang di berikan dia : Kepada sekalian Nabi : dari pada Toehan mereka itoe : sekali-kali tiadalah kami beda-bedakan. : Antara sala seorang : setengah dari pada mereka itoe.Seoempama iman kepada setengahnja mereke itoe, dan tiada iman kepada setengahnja poela, akan tetapi kami iman kepada sekalian Nabi, dari moelai Nabi Adam sampai kepada Nabi Moesa, kami tidak seoempama kaoem Jahudi jaitu mereka itu pertjaja kepada Nabi Moesa, dan kepada Naabi Moehammad, dan tiada seoempama kaom Nasroni, jaitoe mereka itoe pertjaja kepada Nabi Isa, dan tiada pertjaja kepada Nabi Isa, dan tiada pertjaja kepada Nabi Moesa, dan kepada Nabi Moehammad, bahkan kami iman, dan mengakeo kepada sekalian Nabi, jaitoe sekalian Nabi, jitoe sekaliannja menetepi atas jang haq dari pada Toehannja. : Dan kami sekalian kepada Allah : itoe menjerah dan mengikoet dengan mengerdjakan segala perkara jang di perentah olehnja dan mendjaoehi dari pada segala perkara jang di tegah olehnja.E. Pengaruh Pelarangan Penerjemahan Al-Quran pada Perkembangan Tafsir di Indonesia Akibat dari adanya pelarangan penerjemahan Al-Quran ini sangat dirasakan pada perkembangan tafsir di Indonesia. Karena adanya pelarangan penerjemahan maka tidak banyak ulama Islam di Indonesia yang berani menafsirkan Al-Quran dengan bahasa melayu Karena alasan melanggar titah Nabu dan pada akhirnya dianggap menyesatkan. Sebab itu perkembangan tafsir di Indonesia sangatlah lambat. Bisa dirsakan jarak dari masuknya Islam ke Indonesia dengan produk tafsir Indonesia. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, sedangkan produk tafsir baru ada pada abad ke- 19/20-an. Contoh produk tafsir berbahasa melayu di abad ke-19 adalah Tarjuman al-Mustafidkarya Syeikh Abdurrauf as-Sinkili yang di terbitkan di Istanbul. Adanya serapan dari bahasa Arab ke dalam bahsa Indonesia merupakan pengaruh dari hal tersebut. Banyak kata bhas Arab didalam Al-Quran yang tidak dapat diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia karena kedalaman maknanya. Hari ini beberapa mufasir memakai pendekatan semantic untuk memahami makan dari kata tersebut.F. Hukum Menerjemahkan Maknawi dan Fatwa Larangan Terjemah Harfiyah Al-Quran Dalam menetapkan hukum menerjemahkan Al- Quran, ada empat konotasi yang muncul dari kata Menerjemahkan Al- Quran, yakni :1. Hukum menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian menyebarluaskan ayat-ayatnya ( tabligu alfazihi )2. Hukum menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa sumber ( tafsiratuhu bilugatihi al- arabiah ). 3. Hukum menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian menafsirkannya dalam bahasa penerima ( tafsiratuhu bilugah ajnabiah).4. Hukum menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian alih bahasa ( naqluhu ila lugah ukhra ).5. Pembahasan dalam penelitian ini terbatas pada nomor tiga dan empat, dengan alasan nomor satu merupakan bagian dari pengumpulan dan pembukuan ayat-ayat Al- Quran, sedangkan nomor dua bagian dari penafsiran.6. Menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian menafsirkan nya dalam bahasa penerima7. Menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian menafsirkan nya dalam bahasa penerima, atau dengan kata lain menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain bahasa sumber, hukumnya sama dengan hukum menafsirkan Al- Quran dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu memahami bahasa sumber, yakni wajib, setidak- tidaknya sunat.[footnoteRef:14] dalil yang dipergunakan untuk mendukung pernyataan ini ialah dalil tentang menafsirkan Al- Quran dalam bahasa sumber bagi orang yang mampu memahami bahasa sumber tersebut, yakni : [14: Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001), h. 57]

[footnoteRef:15] [15: Q.S. 16: 144]

Kami turunkan kepadamu Al- Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka ( perintah-perintah, larangan-larangan, aturan- aturan, dan lain-lain yang terdapat di dalam AlQuran). Dalil ini berlaku dengan alasan bahwa menafsirkan Al- Quran dengan memakai bahasa yang dipahami oleh penerima sama dengan menafsirkannya dalam bahasa sumber buat orang yang memahaminya. Jadi, bukan semata-mata alih bahasa Al- Quran.8. Menerjemahkan Al- Quran dengan pengertian alih bahasa Secara ringkas menerjemahkan Al- Quran disini dapat didefinisikan: Alih bahasa Al- Quran dari bahasa Arab ke bahasa lain. Secara lebih panjang dapat didefinisikan: Mengungkapkan makna dan maksud ayat- ayat Al-Quran dengan bahasa lain. Apabila bentuk terjemahannya sesuai dengan urutan kata dan kalimat bahasa sumber, terjemahannya disebut terjemahan harfiah, atau musawiah. Kalau tidak, disebut terjemahan tafsiriah atau maknawiah.Realisasi penerjemahan Al- Quran dengan pengertian seperti pada nomor dua, mustahil menurut hukum adat dan hukum syari. Artinya, secara adat pelaksanaan model terjemahan seperti ini tidak mungkin, dan secara syariah ( hukum Islam) mencobanya juga sudah haram.Farid Wajdi, menunjukkan bahwa menerjemahkan makna atau maani Al-Quran itu diizinkan. Terjemahan Al-Quran secar sederhana tidak merepresentasikan kata-kata manusia (kalam Annas), karena sekalipun idak mengandung kalam Allah secra harfiyah, kandungan terjemahan terdiri dari makna kata-kata Tuhan.[footnoteRef:16] [16: Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran,(Jakarta: Pustaka Alfabet,2005), h. 399]

Adapun fatwa ulama Saudi yang diketuai Syaikh Bin Baz tentang keharaman penerjemahan Al-Quran secara harfiyah adalah sebagai berikut:Menerjemahkan Al-Quran atau beberapa ayat, untuk menjelaskan yang dimaksud Al-Quran secara utuh, tidak mungkin. Oleh karena itu, menerjemahkan Al-Quran atau beberapa ayat secara harfiyah tidak boleh, sebab hal ini dapat menyebabkan pengertian yang salah, dan penyimpangan dari maksud sebenarnya.Seseorang menerjemahkan suatu ayat atau lebih yang dipahaminya, dan menjelaskan hukum serta tuntunan Al-Quran yang dipahaminya dalam bahasa Inggris, Prancis atau Persia, untuk menyebarkan pengertian Al-Quran yang dipahaminya, dan mengajak manusia kepada Al-Quran. Hal demikian dibolehkan, sebagaimana orang menafsirkan Al-Quran atau beberapa ayat yang dipahaminya dalam bahasa Arab. Akan tetapi yang bersangkutan harus memenuhi syarat sebagai: ahli tafsir Al-Quran, mampu menjelaskan aspek hukum dan tuntunan Al-Quran secara cermat dengan pemahaman yang diperolehnya dari Al-Quran.Maka siapa saja yang tidak memenuhi persyaratan ini, atau tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan maksud Al-Quran, baik dalam bahasa Arab atau Non Arab secara cermat, maka dia tidak boleh melakukan usaha ini. Karena dikhawatirkan merubah makna Al-Quran dari maksud yang sebenarnya, sehingga yang semula maksudnya baik menjadi tidak baik. Dan keinginannya yang semula baik menjadi buruk.Fatwa tersebut ditambahkan pada Kamis 5 Jumadilakhir 1425 H. bertepatan dengan 22 Juli 2004 M. dengan pihak pemberi fatwa: Fatwa Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa. Diterbitkan disitus resmi penerbitan Al-Quran di Madinah al-Munawwaroh (http://www.qurancomplex.org/.

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar dkk, Metodologi Studi Al-Quran (Jakarta: Gramedia, 2009).Anwar , Rosihon, Kumpulan Makalah Sejarah Tafsir Indonesia. Lubis, Ismail, Salsifikasi Terjemahan Al-Quran, (Jogjakarta: Tiara Wahana 2001)Rohmana, Jajang A. Sejarah Tafsir Al-Quran ditatar Sunda, (Bandung: Mujahid Press, 2014).Zuraya, Nidia, http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/04/17/m2mmqq-jejak-penerjemahan-alquran-di-indonesia.Zuraya, Nidia, http://www.republika.co.id/berita/dunia-Islam/khazanah/12/04/17/m2m933-melacak-sejarah-penerjemahan-alquran.Amal, Taufik Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Quran,(Jakarta: Pustaka Alfabet,2005).