Upload
vuonghuong
View
296
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN TROPIS BERKELANJUTAN 2
i
Prosiding
Seminar Nasional Program Studi Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
“Peningkatan Produktivitas Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan dalam
Mendukung Ketersediaan Pangan Hewani”
Surakarta, 6 November 2017
Editor:
Dr.sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P
Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P.
Ari Kusuma Wati, SPt., M.Sc.
Rendi Fathoni Hadi, S.Pt., M.Sc.
Program Studi Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2018
ii
Prosiding
Seminar Nasional Program Studi Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
“Peningkatan Produktivitas Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan dalam
Mendukung Ketersediaan Pangan Hewani”
Surakarta, 6 November 2017
ISBN: 978-602-50128-2-2
Panitia Pelaksana:
Dr. Ir. Eka Handayanta, M.P
Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P
Editor:
Dr.sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P
Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P.
Ari Kusuma Wati, SPt., M.Sc.
Rendi Fathoni Hadi, S.Pt., M.Sc.
Reviewer:
Dr.sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P
Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P.
Ari Kusuma Wati, SPt., M.Sc.
Desain Sampul dan Tata Letak:
Tristianto Nugroho
Achmad Fajar Nugroho
Penerbit :
Program Studi Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret
Alamat Penerbit:
Jalan Ir. Sutami No. 36A, Surakarta,
Jawa Tengah 57126
Tel /Fax +62271-637457
e-mail : [email protected]
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk
dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Isi naskah dalam prosiding ini menjadi tanggung jawab masing-masing penulis dan tidak
ada campur tangan dari tim editor.
iii
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan kekuatan dan
kesempatan untuk menyelesaikan proses penyusunan dan penerbitan prosiding seminar ini.
Kegiatan seminar yang telah dilaksanakan pada tanggal 6 November 2017 merupakan
seminar nasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret. Seminar ini bertujuan untuk memperoleh informasi hasil
penelitian aplikatif dan inovatif guna mendukung pembangunan peternakan di Indonesia.
Secara spesifik, seminar nasional peternakan kali ini membahas tema “Peningkatan
Produktivitas Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan dalam Mendukung Ketersediaan
Pangan Hewani”. Pelaksanaan dan hasil seminar diharapkan dapat menjalin komunikasi
ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi dalam pengembangan peternakan di
Indonesia. Selain itu juga menjadi ajang untuk penyebar luasan informasi ilmu dan
pengetahuan serta teknologi hasil penelitian peternakan berbasis pada pengembangan
ternak lokal secara terpadu dan berkelanjutan.
Sebagai penutup, ungkapan terimakasih yang tak terhingga dan doa terbaik untuk
segala bantuan baik langsung maupung tidak langsung dihaturkan kepada semua pihak
yang telah banyak membantu penyelenggaraan seminar sampai dengan penerbitan
prosiding ini. Mohon maaf sebesar-besarnya bilamana dalam penyelenggaraan seminar ini
ada hal-hal yang tidak berkenan, sampai bertemu pada program seminar selanjutnya.
Surakarta, Maret 2018
Tim Editor
iv
Daftar Isi
Halaman Sampul ............................................................................................ i
Kata Pengantar .............................................................................................. iii
Daftar Isi ......................................................................................................... iv
Makalah Utama
Arah dan Kebijakan Penelitian untuk Pengembangan Ternak Unggas Lokal
di Indonesia ...................................................................................................... 1
Makalah Pendukung
Penampilan Produksi Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Konsentrat
Menir Kedelai Terproteksi ............................................................................... 11
Kinerja Reproduksi Kelinci yang Diberi Tambahan Pakan Buah Jambu Biji
dan Kecambah Kacang Hijau sebagai Sumber Vitamin C Dan E: Studi
Pendahuluan. .................................................................................................... 15
Gambaran Hematology Darah Pedet Friesian Holstein yang Diberi Pellet
Calf Starter dengan Limbah Kubis terfermentasi ............................................ 23
Produksi Rumput Setaria sphacelata yang Diberi Pupuk Kandang dengan
Level Berbeda pada Tanah Bekas Tambang Batubara di Bengkulu ............... 28
Pemanfaatan Umbi Amorphophallus Companulatus terhadap Pertumbuhan
Broiler .............................................................................................................. 32
Suplementasi Enzim Celulase dan Precursor Karnitin Serta Minyak Ikan
dalam Ransum Pengaruhnya Terhadap Kadar Eikosapentaenoic Acid (EPA)
dan Dokosaheksaenoic Acid (DHA) Telur Ayam Kampung .......................... 37
Penggunaan Bolus Ternak Ruminansia Sebagai Sumber Mikroba dalam
Fermentasi Limbah Pertanian dan Suplementasi Molases Blok untuk Pakan
Ternak di Kabupaten Wonogiri ....................................................................... 44
Analisis Potensi Sumber Daya Pakan Ternak Ruminansia pada Musim
Kemarau di Daerah Pertanian Lahan Kering (Studi Kasus di Kecamatan
Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta) ................................................ 50
Kajian Suplementasi Pakan Sumber Energi dengan Tingkat Degradasi yang
Berbeda Ditinjau dari Kinetika Fermentasi dalam Rumen Sapi ..................... 56
Evaluasi Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Ayam Broiler yang Diberi
Pakan Suplementasi Probiotik Bacillus Diperkaya Vitamin dan Mineral ....... 63
Evaluasi Penggunaan Limbah Tauge yang Difermentasi Trichoderma
harzianum terhadap Konsumsi Bahan Kering, Kecernaan Bahan Kering dan
Bahan Organik pada Ransum Itik Lokal .......................................................... 68
v
Pengaruh Pemberian Probiotik Bacillusplus Vitamin dan Mineral terhadap
Trigliserida, Kolesterol, LDL, Dan HDL pada Serum Darah Ayam Broiler ... 77
Pemanfaatan Tepung Biji Durian (Durio zibethinusmurr) sebagai Subtitusi
Jagung dalam Ransum Terhadap Konsumsi Kalsium, Retensi Kalsium dan
Tebal Cangkang Ayam Petelur ........................................................................ 81
Pengaruh Pemberian Tepung Biji Durian sebagai Substitusi Jagung dalam
Ransum Ayam Petelur terhadap Konsumsi Serat Kasar, Kecernaan Serat
Kasar dan Laju Digesta .................................................................................... 86
Status Fisiologis Hati Ayam Petelur yang Diberi Tepung Biji Durian
sebagai Subtitusi Jagung dalam Ransum ......................................................... 90
Pemanfaatan Biji Durian sebagai Bahan Substitusi Jagung pada Ransum
Ayam Petelur terhadap Kecernaan Protein dan Massa Protein Telur .............. 93
Pengaruh Paritas Induk terhadap Performan Berat Lahir dan Berat Sapih
Sapi Bali ........................................................................................................... 98
Dinamika Performa Sapi Bali (Bos javanicus) pada Populasi Progeny Test
Tahun 2011 – 2014 di BPTU-HPT Denpasar .................................................. 103
Half Sib Family Analysis untuk Estimasi Parameter Genetik Sifat Produksi
Kambing Boerja ............................................................................................... 107
Litter Size Kambing Persilangan Boer dan Jawarandu pada Paritas yang
Berbeda ............................................................................................................ 113
Potensi Genetik Sapi Bali: Nilai Pemuliaan Pejantan pada Sifat Bobot
Sapih, Bobot Setahun dan Pertambahan Bobot Badan .................................... 117
Hubungan False Mounting dengan Kualitas Semen Sapi Bali Produksi Balai
Inseminasi Buatan Daerah di Bengkulu ........................................................... 125
Akurasi Pendugaan Bobot Badan Sapi Bali (Bos javanicus) Umur Satu
Tahun Menggunakan Rumus Schoorl, Smith dan Winter ............................... 130
Studi Karakteristik Fenotip Empat Galur Puyuh Lokal di Eks Karisedenan
Surakarta .......................................................................................................... 133
Upaya Peningkatan Keamanan Pangan pada Susu Kambing Melalui
Pelatihan Good Hygienic Practices pada Peternak Kambing Perah dalam
Usus Ayam Broiler .......................................................................................... 137
Identifikasi Faktor-Faktor Penghambat Adopsi Teknologi Inseminasi
Buatan oleh Peternak Sapi Potong Rakyat di Kecamatan Tugumulyo
Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan ...................................................... 142
Mengolah Potensi “Emas Hitam” sebagai Upaya Mengembangkan Sistem
Peternakan Ramah Lingkungan ....................................................................... 149
vi
Biogas sebagai Sumber Energi Utama Keluarga di Desa Jagoan, Sambi,
Boyolali ............................................................................................................ 154
Model Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif bagi
Masyarakat pada Kelompok Ternak Niti Rejeki Pleret, Bantul ...................... 160
Analisis Keberdayaan Peternak Sapi Potong berbasis Limbah Industri Brem
di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri ........................................ 164
Analisis Modal Fisik Usaha Kerajinan Tatah Sungging Kulit Berbasis Local
Cultural Heritage di Kabupaten Sukoharjo, Indonesia .................................... 169
Orientasi Kewirausahaan Pelaku Usaha Pengolahan Susu di Kabupaten
Boyolali ........................................................................................................... 174
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
1
Makalah 001
Arah dan Kebijakan Penelitian untuk Pengembangan Ternak
Unggas Lokal di Indonesia
Soeharsono
Balai Penelitian Ternak- Ciawi Bogor
Jl. Veteran III Ciawai - Bogor
Abstrak
Sejalan dengan arah pembangunan pertanian, tugas utama Balitbangtan adalah menciptakan
benih/bibit unggul dan teknologi berdaya saing, yang memiliki: (1) Nilai tambah ekonomi tinggi yang
berkontribusi secara ekonomis dan berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat; dan (2) Nilai
ilmiah tinggi (scientific recognition) untuk menjamin bahwa kegiatan dan hasil yang didapat
berdasarkan kaidah ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber daya genetik (SDG) unggas
lokal, telah teridentifikasi sebanyak 39 rumpun ayam lokal Indonesia dengan berbagai ciri spesifik dan
fungsinya serta didukung sumber pakan lokal yang berlimpah. Sampai saat ini pengembangan unggas lokal
tersebut masih belum mendapat perhatian yang optimal baik pemerintah, swasta, maupun lembaga riset,
sehingga perkembangan unggas lokal cenderung stagnan. Program perbenihan/perbibitan ternak unggas
yang selama ini telah dilakukan belum memberikan dampak secara luas. Ketersediaan bibit unggul
saat ini menjadi salah satu kunci dan titik awal suksesnya usaha peternakan unggas. Inovasi Badan
Litbang Pertanian sangat strategis dalam mewujudkan program dimaksud. Berkaitan penelitan dan
pengembangan ternak unggas lokal maka Puslitbang Peternakan difokuskan dalam menghasilkan
inovasi teknologi berbasis sumberdaya genetic unggas lokal yang tersedia dan dituntut untuk dapat
menyediakan bibit/benih unggul berikut teknologi budidaya serta model transfer teknologi kepada
peternak secara masif. Balai Penelitian Ternak yang merupakan UPT Puslitbang Peternakan
berkomitmen, dengan berbasis sumberdaya genetic unggas lokal di Indonesia untuk mewujudkan
inovasi ternak unggas unggul sehingga mampu berperan dan mensukseskan program perbibitan ternak
unggas lokal di Indonesia. Hal ini juga mengimplementasikan bahwa bibit unggul yang dihasilkan
selaras dengan upaya diversifikasi pangan guna memenuhi kebutuhan protein asal ternak. Program
penelitan pengembangan ternak unggas berorientasi dalam skala massif dan berkolaborasi dengan
pusat-pusat pembibitan dengan lembaga penelitian, instansi pemerintah pusat, daerah, swasta.
Penyebaran bibit/benih ternak unggul di masyarakat harus dilakukan agar populasi ternak unggul
semakin meningkat dan produksi yang dihasilkan akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Kata kunci : pengembangan unggas lokal, bibit unggul, inovasi teknologi
Pendahuluan
Produksi daging nasional mencapai 3.062.000 ton dimana sebagian besar bersumber dari daging
ayam ras (broiler) sebanyak 1.722.000 ton (56,24%), dan sebagian kecil dari ayam lokal sebanyak
314.000 ton (10,25%). Proporsi daging ayam lokal terhadap total produksi unggas mencapai 15,42%
(Statisitik Peternakan, 2016). Target konsumsi daging unggas per kapita mencapai 15 kg/tahun pada
tahun 2017. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar komponen produksi (bibit, bahan baku pakan,
obat dan vaksin, dan lain sebagainya) ayam ras berasal dari impor. Hal ini dapat menganggu peta jalan
yang telah dibangun dalam RPJMN jangka menengah dan panjang dalam mewujudkan kedaulatan pangan
nasional. Jika 10 persen (perhitungan konservatif) bisa dinaikkan sehingga kontribusi dari ayam lokal
menjadi 25% maka pasokan yang harus disediakan sekitar 550 juta ekor/tahun, meningkat 400 % dengan
asumsi nilai perdagangan Rp 33 Triliun.
Ketergantungan penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya
produksi dan bibit khususnys grand perent stock (GPS) tergantung dari impor dalam pengembangan
ayam ras, menyebabkan lemahnya daya saing ditingkat global. Dominasi pangan unggas terbesar
dipasok dari ayam ras (broiler dan petelur), sedangkan unggas lokal masih rendah, namun mempunyai
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
2
potensi segmen pasar tersendiri dan cukup besar di masyarakat sehingga terus ditingkatkan. Unggas
lokal (ayam kampung dan itik) yang didukung dengan ketersediaan sumberdaya unggas lokal dan
pakan lokal dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan kalangan
tertentu secara nasional.
Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah (mega biodiversity), termasuk
plasma nutfah. Biodiversity darat Indonesia merupakan terbesar nomor dua di dunia setelah Brasil,
sedangkan bila termasuk kelautan maka Indonesia nomor satu dunia. Keanekaragaman hayati yang
didukung dengan sebaran kondisi geografis, berupa dataran rendah dan tinggi serta limpahan sinar
matahari, intesitas curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun di sebagian wilayah, serta
keanekragaman jenis tanah memungkinkan dibudidayakannya aneka jenis tanaman dan ternak asli
daerah tropis maupun komoditas introduksi dari daerah subtropis secara merata sepanjang tahun di
Indonesia.
Strategi meningkatkan daya saing unggas lokal harus dimulai dari sekarang, meskipun saat ini
perkembangan unggas lokal masih jauh tertinggal dibandingkan dengan usaha ayam ras. Potensi
sumberdaya genetik unggas lokal yang dimiliki cukup besar, dimana telah teridentifikasi 39 rumpun
ayam lokal yang mempunyai karakteristik spesifik dengan pemanfaatan yang berbeda-beda. Saat ini
kontribusi produk unggas lokal mencapai sekitar 15,42% dan memiliki potensi untuk ditingkatkan
menjadi 25% terhadap produk ayam nasional pada tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya pendapatan masyarakat, kesadaran akan konsumsi gizi yang seimbang dan perubahan
gaya hidup. Perkembangan ini dapat memacu pemanfaatan berbagai SDG unggas lokal nasional yang
apabila tidak diarahkan dengan baik dan benar dapat berluang menghilangkan potensi plasma nutfah
nasional.
Bibit ternak mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses produksi ternak, sehingga
diperlukan ketersediaan bibit ternak secara berkelanjutan, baik kuantitas maupun kualitas. Badan
Litbang Pertanian telah banyak merakit dan melepaskan varietas dan galur ternak unggul baru, namun
yang digunakan petani masih terbatas sehingga perlu upaya intensif untuk mensosialisasikan varietas
dan galur unggul tersebut. Keberhasilan diseminasi teknologi dalam memanfaatkan varietas dan galur
unggul baru, antara lain ditentukan oleh kemampuan industri bibit ternak untuk memasok hingga
sampai ke tangan petani. Oleh karena itu keberadaan sistem perbenihan yang kokoh (produktif,
efisien, berdaya saing dan berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan
produksi dan mutu produk peternakan. Balitnak yang merupakan UPT Badan Litbang Pertanian sudah
mengantisipasi kondisi ini dengan menghasilkan bibit tetua unggul ayam dan itik lokal. Penciptaan inovasi
galur bibit unggul unggas lokal melalui program seleksi yang terus menerus telah menghasilkan unggas
lokal unggul Balitbangtan. Inovasi sistem budidaya tersebut perlu diakselerasi dan lebih fokus untuk
menghasilkan produk bibit unggul yang massif sehingga pengembangan ke arah industrialisasi peternakan
unggas lokal untuk mendukung arah dan program Kementerian Pertanian segera dapat terwujud. Makalah
ini membahas arah dan kebijakan penelitan untuk pengambangan unggas lokal di Indonesia
Arah dan Kebijakan Penelitian Unggas
Perkembangan unggas lokal belum searah arah dengan ayam ras. Sebagian besar peternak
dalam rangka budidaya tidak ditujukan untuk produksi daging dan telur secara optimal sebagaimana
pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan untuk usaha sambilan atau tabungan yang setiap saat dapat
diambil manfaatnya. Sangat sedikit yang mengarahkan seleksi untuk produksi telur atau daging,
sehingga sulit bagi unggas lokal untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur
dan daging yang banyak. Para peternak pembibit ayam kampung lebih berfungsi sebagai penjaga
plasma nutfah yang andal atau hanya sebagai hobi hewan piaraan.
Peran unggas lokal terutama ayam kampung dalam ekonomi keluarga dan masyarakat masih
cukup tinggi, terutama di pedesaan. Ayam Kampung dipelihara masyarakat terutama untuk tabungan
keluarga,yang bisa dijual sewaktu-waktu pada saat memerlukan uang tunai. Telur ayam kampung
dimanfaatkan selain untukditetaskan, sebagian dikonsumsi untuk perbaikan gizi keluarga dalam
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ayam lokal dipelihara masyarakat sebagai sumber
penghasilan tambahan, tabungan dan sumber protein hewani keluarga. Oleh karena itu, ayam lokal
sebagai aset nasional mau tidak mau harus diupayakan untuk dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin
untuk mensubstitusi kebutuhan daging dan telur ayam nasional.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
3
Sejalan dengan arah pembangunan pertanian, tugas utama Balitbangtan adalah menciptakan
benih/bibit unggul dan teknologi berdaya saing, yang memiliki: (1) Nilai tambah ekonomi tinggi yang
berkontribusi secara ekonomis dan berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat; dan (2) Nilai
ilmiah tinggi (scientific recognition) untuk menjamin bahwa kegiatan dan hasil yang didapat
berdasarkan kaidah ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Program perbenihan/perbibitan yang
selama ini telah dilakukan belum memberikan dampak secara luas. Tahun 2018 dicanangkan sebagai
Tahun Benih/Bibit Nasional, sehingga ketersediaan benih/bibit unggul saat ini menjadi salah satu
kunci dan titik awal suksesnya usaha pertanian. Dalam hal ini inovasi Badan Litbang Pertanian sangat
strategis dalam mewujudkan program dimaksud, dimana seluruh UK/UPT Balitbangtan harus dapat
menyediakan bibit/benih unggul berikut teknologi budidaya serta model transfer teknologi kepada
petani. Puslitbang Peternakan beserta seluruh UPT-nya telah berkomitmen untuk mewujudkan
suksesnya program perbibitan ternak unggul ini. Fokus komoditas penelitian dan pengembangan
meliputi sapi potong, unggas lokal. Hal ini juga mengimplementasikan bahwa bibit unggul yang
dihasilkan selaras dengan upaya diversifikasi pangan guna memenuhi kebutuhan protein asal ternak.
Salah satu Unit Pelaksana Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan adalah Balai
Penelitian Ternak (Balitnak). Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/OT.140/3/2013
tentang Oganisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Ternak, bahwa Balai Penelitian Ternak adalah Unit
Pelaksana Teknis di bidang penelitian dan pengembangan peternakan yang mempunyai tugas pokok
melaksanakan penelitian ternak Unggas, Sapi Perah dan Sapi Dwiguna, Kerbau, Domba, Kambing Perah,
Aneka Ternak. Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, Balitnak menyelenggarakan fungsi : a)
Pelaksanaan penyusunan program, rencana kerja, anggaran, evaluasi dan laporan penelitian ternak, b)
Pelaksanaan penelitian eksplorasi, identifikasi, karakterisasi, evaluasi, serta pemanfaatan plasma nutfah
ternak; c) Pelaksanaan penelitian pemuliaan, reproduksi dan nutrisi pada ternak unggas, sapi perah dan sapi
dwiguna, kerbau, domba, kambing perah serta aneka ternak; d) Pelaksanaan penelitian bioteknologi ternak,
agrostologi dan fisiologi hasil ternak; e) Pelaksanaan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha
agribisnis ternak; f) Pelaksanaan penelitian penanganan hasil ternak dan hijauan pakan ternak, g)
Pemberian pelayanan teknis penelitian ternak; h) Penyiapan kerjasama, informasi dan dokumentasi serta
penyebarluasan dan pendayagunaan hasil penelitian ternak; dan i) Pelaksanaan urusan kepegawaian,
keuangan, rumah tangga dan perlengkapan.
Indonesia kaya akan sumber daya genetik (SDG) unggas lokal, telah teridentifikasi sebanyak 39
rumpun ayam lokal Indonesia dengan berbagai ciri spesifik dan fungsinya serta didukung sumber pakan
lokal yang berlimpah. Sampai saat ini pengembangan unggas lokal tersebut masih belum mendapat
perhatian yang optimal baik pemerintah, swasta, maupun lembaga riset, sehingga perkembangan unggas
lokal cenderung stagnan. Sebagian besar usaha masih dilakukan secara tradisional di tingkat peternak
rakyat. Keterbatasan bibit ungggul unggas lokal menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan
secara industri peternakan ayam lokal yang berkesinambungan. Ditinjau dari keanekaragaman
sumberdaya genetik ternak yang tersedia, terdapat beberapa jenis ternak lokal yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai bibit unggul berdasarkan keragaman genetik yang masih tinggi serta daya
adaptasinya pada berbagai kondisi agro-ekosistem. Sumberdaya genetik berbagai jenis unggas lokal
merupakan aset yang sangat berharga bagi perkembangan industri di masa sekarang maupun masa
mendatang, karena daya adaptasinya yang tinggi pada kondisi sub-optimal dan juga untuk
mengantisipasi adanya perubahan keinginan konsumen di masa mendatang.
Ayam Lokal. Arah pembentukan bibit ternak unggas lokal unggul dilakukan seleksi sehigga
terbentuklah pureline-pureline ayam lokal untuk menghasilkan GPS (Grand Parent Stock), PS (Parent
Stock) dan FS (Final Stock) ayam lokal unggul. Balai Penelitian Ternak telah menghasilkan 2 galur
unggul ayam lokal melalui penelitian strategi/program pemuliaan dengan seleksi selama 6 generasi;
1). Ayam KUB-1 (Kampung Unggul Balitbangtan) yang merupakan hasil penelitian seleksi galur
betina (female line) dengan mengurangi sifat mengeramnya dengan produksi telur yang tinggi, dan 2).
SenSi-1 Agrinak yang merupakan hasil penelitian seleksi galur pejantan (male line) dengan bobot
badan yang tinggi.
Ayam KUB merupakan ayam Kampung murni hasil seleksi betina selama enam generasi
dengan keunggulan produksi telur tinggi, 45-50% henday dengan sifat mengeram 10% dari total
populasi. Warna bulu masih seperti ayam Kampung pada umumnya yaitu beragam, namun demikian
didominasi oleh warna hitam, campur coklat dan kehitaman. Jengger berbentuk tunggal (single comb)
dan berbentuk Pea. Keunggulan Ayam KUB dapat dijadikan sebagai bibit galur betina merupakan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
4
bibit parent stock yang dapat dikawinkan dengan pejantan ayam lokal lainnya yang mempunyai bobot
badan besar seperti ayam Pelung, Gaok, Sentul, Nunukan dan lainnya untuk menghasilkan DOC (day
old chick) final stock ayam Kampung pedaging dengan bobot badan 1 kg pada umur 70 hari.
Keunggulan ayam KUB bila dibandingkan dengan ayam Kampung biasa produksi telurnya lebih
tinggi, karena seleksi diarahkan untuk produksi telur, frekuensi bertelurnya ada yang setiap hari atau
dua hari sekali tanpa clutch. Konsumsi pakannya rendah sekitar 80-85 gram dan konversi pakan
rendah, 3,8 kg pakan/kg telur (Sartika et al.,2013). Ayam KUB merupakan ayam unggulan Badan
Litbang Pertanian sejak tahun 2009 melalui (SK Mentan RI No. 274/Kpts/SR.120/2/2014) tentang
Pelepasan Galur Ayam KUB. Keunggulan produksi telur tinggi yaitu produksi telur henday 45-50%,
Puncak produksi 65%, produksi telur/tahun 160-180 butir, konsumsi pakan 80-85 gram, sifat
mengeram 10% dari total populasi, Umur pertama bertelur 22-24 minggu, bobot telur 35-45 gram dan
konversi pakan 3,8 (Sartika et al., 2010). Penampilan luarnya masih bervariasi, yaitu warna bulu
masih beragam didominasi warna hitam, dan campur baur coklat kehitaman. Jenggernya pun
bervariasi dan didominasi oleh bentuk jengger single dan Pea, demikian halnya dengan warna
kulit/shank masih bervariasi dimulai dari warna hitam, abu-abu, kehijauan, putih dan kuning (Iskandar
et al., 2012).
Ayam SenSi-1 Agrinak diproklamirkan sebagai ayam unggulan Balitnak pada tahun 2017
melalui SK Menteri Pertanian No. 39/Kpts/PK.020/1/2017 pada tanggal 20 Januari 2017 tentang
pelepasan galur ayam SenSi-1 Agrinak. Ayam SenSi-1 Agrinak ini merupakan hasil penelitian seleksi
galur jantan (male line) selama 6 generasi dengan keunggulan pertumbuhan dan bobot badan yang
lebih tinggi. Ayam SenSi-1 Agrinak dibagi dalam 2 kelompok berdasarkan warna bulu; SenSi-1
Agrinak berbulu ABU dan SenSi-1 Agrinak berbulu PUTIH. Hasil seleksi bobot hidup umur 10
minggu pada jantan baik pada ayam SenSi-1 Agrinak berwaran bulu (PUTIH maupun ABU) sudah
diatas >1 kg, dengan ratan bobot hidup umur 10 minggu sedikit lebih tinggi pada dan SenSi-1
Agrinak berbulu PUTIH; jantan 1051 gram/ekor; betina 751,00 gram/ekor dan SenSi-1 Agrinak
berbulu ABU sebesar; jantan 1015 gram/ekor; betina 739,00 gram/ekor, (Hasnelly et., al., 2014, 2015,
2016). Kalau dilihat dari frekuwensi sebaran bobot badan umur 10 minggu ≥ 700 g/ekor pada SenSi-1
Agrinak berbulu Putih (terdapat bercak/totol hitam 10%) jantan mencapai 96,98% dan betina
mencapai 82,52%. SenSi-1 Agrinak berbulu Abu jantan mencapai 94,19% dan betina mencapai
80,08% (Hasnelly et., al., 2015). Seperti yang diperkirakan bahwa frekewensi bobot hidup umur 10
minggu dengan kisaran ≥ 700 g/ekor lebih tinggi pada jantan dibanding betina, karena memang
seleksi bobot tubuh dilakukan hanya untuk yang jantan.
Itik lokal. Sejak tahun 2000 Balai Penelitian Ternak (Balitnak) telah merintis proses pemuliaan
itik lokal melalui program seleksi. Sejauh ini telah dihasilkan 2 galur bibit induk yang berasal dari
kelompok itik Alabio dan kelompok itik Mojosari yang telah mengalami proses seleksi untuk
meningkatkan produktivitas serta konsistensi produksinya. Kedua galur tersebut merupakan bibit
induk, dan hasil persilangan di antara keduanya merupakan hibrida yang cukup unggul sebagai bibit
niaga (final stock) itik petelur dibandingkan bibit-bibit itik tetuanya (Prasetyo dan Susanti, 2000)
maupun bibit lain yang ada selama ini. Secara generik, itik hibrida tersebut dinamakan itik ‘MA’,
sedangkan nama komersial akan diberikan oleh masing-masing pembibit komersial nantinya.
Keunggulan itik ‘MA’ terlihat pada rataan produksi telur setahun sebesar 71% dan rataan umur
pertama bertelur sebesar 20 minggu (Hardjosworo et al., 2002), dan keunggulan ini telah terbukti dari
permintaan yang cukup tinggi. Sebagai bibit itik pedaging, saat ini dikembangkan itik Serati yang
berupa hasil persilangan antara entog dan itik dengan pertumbuhan yang cukup cepat. Akan tetapi,
bibit induk (female line) yang mantap dan dengan produktivitas tinggi belum tersedia. Bibit induk
dalam menghasilkan itik pedaging Serati tersebut sedang dalam proses seleksi di Balitnak dan
diharapkan dapat diperoleh hasil yang unggul dalam 2-3 tahun. Memang selama ini daging itik
tergantung sepenuhnya pada itik Peking yang diimpor, sebagai galur itik pedaging yang unggul. Akan
tetapi dengan potensi sumberdaya genetik lokal yang ada, terdapat peluang untuk mengembangkan
galur itik pedaging yang tidak tergantung impor (Prasetyo dan Setiadi, 2006).
Penerapan teknologi pemanfaatan bahan pakan lokal sangat diperlukan untuk mempercepat
upaya pengembangan ayam kampung guna memenuhi kebutuhan protein masyarakat dan
meningkatkan pendapatan peternak. Oleh karena itu, arah pengembangan bahan pakan lokal ke depan
adalah: 1) Memaksimalkan penggunaan bahan pakan lokal untuk mengurangi impor bahan baku pakan
dan menciptakan formulasi pakan yang murah untuk ayam kampung. Menggali berbagai jenis bahan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
5
pakan lokal alternatif yang belum diketahui potensinya untuk diversifikasi pakan ayam kampung.
Mengubah pola pemberian pakan ayam kampung dari ekstensif menjadi intensif dengan berbasis
bahan pakan lokal. Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan pakan lokal pada ayam kampung yang
didukung oleh perbaikan genetik dan manajemen pemeliharaan. Muara dari arah pengembangan
tersebut adalah meningkatnya produktivitas, nilai tambah, dan daya saing ayam kampung. Ayam
kampung memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibanding ayam ras, tetapi
perkembangannya lambat karena faktor keragaman mutu genetik, manajemen pemeliharaan, dan pola
pemberian pakan yang belum memenuhi kebutuhan ternak. Sistem pemberian pakan ayam kampung
mengalami perkembangan dari periode sebelum dan sesudah introduksi ayam ras, sejalan dengan
perubahan sistem pemeliharaan dari ekstensif menjadi semiintensif dan intensif. Kebutuhan nutrisi
untuk ayam kampung pedaging maupun petelur lebih rendah dari ayam ras . Kebutuhan nutrisi ayam
kampung pedaging adalah protein 15-19% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg, sedangkan untuk ayam
petelur adalah protein 14-15% dan energi metabolis 2.600kkal/kg.Penambahan asam amino dalam
pakan ayam kampung pedaging maupun petelur dapat meningkatkan efisiensi konversi pakan 5-10%.
Teknologi pengolahan bahan pakan lokal dengan proses pemanasan, fermentasi, dan enzimatis dapat
meningkatkan efisiensi konversi pakan 5-10% dan pendayagunaannya (Resnawati, 2012).
Balitnak yang merupakan salah satu Unit Pelayanan Teknis Pusat penelitian dan Pengembangan
Peternakan, Badan Litbang Pertanian mempunyai tugas kewajiban dalam menghasilkan inovasi
teknologi peternakan unggul sekaligus mendiseminasikan hasil-hasil penelitian agar dapat mencapai
pengguna akhir dan dapat dimanfaatkan dalam mendorong pengembangan industri peternakan
nasional, baik kepada pihak publik maupun swasta komersial.
Strategi penelitian yang sudah – sedang – akan dilakukan diarahkan pada : 1) Pemanfaatan dan
pelestarian sumberdaya genetik ternak, yang intinya berisi upaya pengembangan bibit unggul
berdasarkan sumberdaya genetik unggas lokal ke arah perbaikan produktivitas dan ketahanan terhadap
penyakit. 2) Penelitian bioteknologi menunjang peningkatan efisiensi produksi ternak, yang berupaya
menghasilkan terobosan bioteknologi yang dapat mempercepat peningkatan produktivitas. 3)
Penelitian komponen teknologi untuk menghasilkan produk peternakan yang berdaya saing dan
berwawasan lingkungan, dengan fokus untuk mencari pola budidaya yang sesuai dengan kondisi
setempat khususnya untuk kondisi sub-optimal. 4) Penelitian komponen teknologi pendukung sistem
usahatani di lahan marjinal, yang dimaksudkan untuk lebih memberdayakan lahan-lahan marjinal
sehingga dapat lebih termanfaatkan. Sistem research dilakukan secara mandiri melalui dana APBN
maupun pola kerjasama research luar negeri maupun kerjasama multi stakeholder (Swasta, Pemerintah
Daerah, Perguruan Tinggi, Kementerian dan Lembaga lainnya). Badan Litbang Pertanian memberikan
kesempatan kegiatan kerjasama Kemitraan Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Pertanian
Strategis (KP4S) (kp4s.litbang.pertanian.go.id). Strategi system diseminasi inovasi teknologi dapat
dilakukan secara langsung kepada pengguna melalui pengujian produk/teknologi di lapang di berbagai
tempat secara langsung meng- gunakan lahan peternak. Mengadakan pameran untuk publik dan
seminar ilmiah setiap tahun. Mengadakan temu bisnis dengan berbagai pihak sebagai calon pengguna
yang prospektif. Mengatur kunjungan berbagai kalangan seperti petani/peternak, mahasiswa dan lain-
lain, untuk mengadakan diskusi langsung dengan calon pengguna. Menyebarkan berbagai bentuk
leaflet, booklet, poster, compact disc dan lain- lain. Berpartisipasi secara aktif program Akselerasi
Diseminasi Teknologi Pertanian) oleh Badan Litbang Pertanian. Membuka situs jaringan
(balitnak.litbang.pertanian.go.id/. Mengadakan pelatihan budidaya berbagai jenis ternak.
Pengembangan Unggas Lokal
Ternak unggas lokal dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasar
tertentu, dimana hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan ayam lokal dan itik
cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Pengembangan
unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih
memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah penyakit Avian Influenza
(AI) beberapa waktu yang lalu memberi pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi
industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis,
ekonomis maupun sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan
inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha (Resnawati, 2012).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
6
Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk: (a) menghasilkan pangan
protein hewani sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional, (b)
meningkatkan kemandirian usaha, (c) melestarikan dan memanfaatkan secara sinergis
keanekaragaman sumberdaya lokal untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan (d)
mendorong serta menciptakan produk yang berdayasaing dalam upaya meraih peluang ekspor.
Pengembangan agribisnis komoditas unggas ditujukan untuk (a) membangun kecerdasan dan
menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang
aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang
optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan
tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa
negara. Kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis
peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong pembangunan
peternakan unggas yang tangguh dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang diperlukan dan
berpengaruh efektif mencapai visi tersebut adalah kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan
basis produksi melalui peningkatan investasi swasta, pemerintah dan masyarakat; serta kebijakan
pewilayahan komoditas dan peningkatkan penelitian, penyuluhan dan pendidikan bagi peternak
disertai pengembangan kelembagaan (Suryana, 2005). Kerangka pengembangan unggas lokal sesuai
dengan kebijakan peternakan unggas diharapkan mampu menjadi bagian agribisnis unggas lokal
dalam bentuk kerangka agroindustri
Gambar 1. Kerangka Agribisnis Pengambangan Unggas Lokal
Komoditas unggas khususnya ayam mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena
didukung oleh karakteristik produk unggas berupa daging dan telur yang disukai oleh masyarakat
Indonesia. Harga relatif terjangkau dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan
produk pangan yang tersedia di pasar. Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein
hewani nasional, sehingga prospek yang cukup baik ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan
peternak di pedesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal (Nuryati et al., 2015).
Agribisnis unggas lokal di Indonesia dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan inovasi teknologi
yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
7
bersaing dengan produk-produk unggas dari luar negeri. Melalui mitra inovasi dengan menggerakkan
kelembagaan dan sumberdaya yang tersedia serta teknologi maka sistem inti-plasma berpeluang
sebagai model pengembangan unggas lokal di Indonesia, karena peternak memiliki resiko yang relatif
lebih kecil dibandingkan dengan usaha mandiri, mengingat sebagian komponen produksi berupa DOC,
pakan, obat dan vaksin dipasok oleh pihak perusahaan induk, peternak berperan sebagai pemelihara
dengan kesepakatan kontrak harga tertentu
Gambar 2. Pendekatan pengembangan unggas lokal
Pengembangan Unggas Lokal Unggul Balitbangtan
Sistem pengembangan unggas lokal bagi pemerintah masih banyak kelemahan dan yang paling
sulit ditembus adalah kelemahan dalam upaya berkoordinasi dengan berbagai sumberdaya yang ada di
lingkup pemerintah pusat sendiri maupun denga pemerintah daerah dalam rangka membangun suatu
strategi pengembangan ayam lokal secara sinergis terencana dan konsekuen dilaksanakan. Sebagai
ilustrasi, fasilitas kandang dan biaya pemeliharaan ternak di BPTU Sembawa Sumatera Selatan dan
BPTU Plaehari Kalimantan Selatan dan UPTD Perbibitan Unggas di masiing-masing daerah (Prov/
Kab) belum optimal dalam menghasilkan bibit unggal lokal dalam memenuhi kebutuhan bibit secara
nasional yang bisa dimanfaatkan peternak dalam bentuk bisnis.
Sistem pengembangan unggas lokal dapat dilakukan dengan pendekatan terintegrasi Kolaborasi
pengembangan ayam lokal secara nasional - regional dalam penyediaan bibit dilakukan secara
terintegrasi intitusi pusat yaitu Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) dan Balai Peneitian Ternak
(Balitnak) didukung UPTD Perbibitan Unggas Lokal dan Mitra Usaha yang bergerak dalam
pembibitan unggas lokal di tiap daerah (Propinsi/Kab/Kota).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
8
Gambar 1. Sistem pengembangan unggas lokal secara terintegrasi
Balitnak melalui seleksi dan persilangan rumpun unggas lokal menghasilkan galur unggul GPS
dan PS unggas lokal yang yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi selanjutnya diperbanyak oleh
BPTU untuk menghasilkan bibit PS dan didistribusi ke UPTD untuk dilanjutkan produksi
menghasilakn FS ayam lokal niaga yang didistribusikan dalam rangka pengembangan kelompok
ternak maupun peternak untuk kegiatan usaha. Dalam rangka mendapatkan umpan balik inovasi
teknologi maka Balitnak melakukan uji multi lokasi bersama UPTD maupun Kelompok masyarakat.
Ketiga instansi terkait penghasil dan pengganda bibit unggul basil seleksi, harus secara terus menerus
melakukan tukar menukar output baik dalam bentuk materi seperti bibit unggas lokal unggul, maupun
informasi umpan balik sebagai bahan perbaikan setiap generasi bibit unggul yang dihasilkan
Balitnak menyediakan bibit ternak unggul kepada masyarakat dan betul-betul perlu dikawal dan
didampingi agar sukses. Oleh karenanya, program litbang peternakan harus berorientasi dalam skala
massif dan dibentuk pusat-pusat pembibitan di daerah. Kerjasama dengan BPTP dan UPT/D
Kementerian Pertanian menjadi sangat penting dalam hal ini. Penyebaran bibit/benih ternak unggul di
masyarakat harus dilakukan agar populasi ternak unggul semakin meningkat dan produksi yang
dihasilkan akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.
Dalam masa-masa awal pelaksanaan program promosi dan pemberdayaan masyarakat
pengguna, instansi pemerintah di daerah khususnya harus ikut terlibat. BPTP Balitbangtan yang ada
dimasing-masing provinsi bersama Dinas atau subdinas petemakan kabupaten atau kota sebagai
kelanjutan tangan pengembangan bibit unggul berfungsi untuk melakukan pendampingan, pengawalan
teknologi, inventarisai, pembentukan, pemantauan perkembangan kelompok-kelompok ternak di
daerahnya untuk terlibat dalam program pengembangan unggas lokal.
Instansi potensial yang dapat mempercepat pengembangan ayam lokal adalah Dinas atau Sub
Dinas Peternakan Kabupaten atau Kota yang mempunyai tugas pokok pengembangan dan peningkatan
populasi unggas lokal di wilayahnya. Seringkali program dan proyek dinas mengenai pengembangan
ayam lokal terhambat oleh penyediaan bibit yang berkualitas dalam jumlah memadai programnya.
Hambatan ini sering menjadi penyebab gagalnya program dan proyek, karena harapan keuntungan
petani peserta tidak tercapai karena kualitas yang tidak memadai, meskipun kekuatan yang terdapat
pada instansi ini adalah kekuatan dalam penyuluhan dan penguasaan kondisi wilayah kerja yang lebih
baik. Demikian pula bahwa pengawalan teknologi yang seharusnya diperlukan untuk pengembangan
unggas lokal kurang diperhitungkan.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
9
Gambar 4. Model Pengembangan Unggas Unggul Lokal Balitbangtan
Simpulan
Sumber daya genetik (SDG) unggas lokal, telah teridentifikasi sebanyak 39 rumpun ayam lokal
Indonesia dengan berbagai ciri spesifik dan fungsinya serta didukung sumber pakan lokal yang berlimpah.
Sampai saat ini pengembangan unggas lokal tersebut masih belum mendapat perhatian yang optimal baik
pemerintah, swasta, maupun lembaga riset, sehingga perkembangan unggas lokal cenderung stagnan.
Kebijakan penelitian unggas lokal diarahkan pada penciptaan inovasi bibit unggas lokal dan
teknologi berdaya saing. Memiliki nilai tambah ekonomi tinggi yang berkontribusi secara ekonomis
dan berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Nilai ilmiah tinggi (scientific recognition)
untuk menjamin bahwa kegiatan dan hasil yang didapat berdasarkan kaidah ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Ketersediaan bibit unggul saat ini menjadi salah satu kunci dan titik awal suksesnya usaha
pengembangan ternak unggas lokal. Inovasi penelitan dan pengembangan ternak unggas lokal
difokuskan dalam menghasilkan inovasi teknologi berbasis sumberdaya genetic unggas lokal yang
tersedia dan dituntut untuk dapat menyediakan bibit/benih unggul berikut teknologi budidaya serta
model transfer teknologi kepada peternak secara masif.
Strategi mengimplementasi inovasi unggas lokal unggul diselaraskan dengan upaya diversifikasi
pangan guna memenuhi kebutuhan protein asal ternak. Pengembangan ternak unggas lokla dalam
skala massif dan berkolaborasi dengan pusat-pusat pembibitan dengan lembaga penelitian, instansi
pemerintah pusat - daerah, dan swasta.
Daftar Pustaka
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Statistik Peternakan. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Kementerioan Pertanian
Hardjosworo, P.S., A. Setioko, P.P. ketaren dan L.H. prasetyo. 2002. Perkembangan Teknologi Peternakan
Unggas Air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air 6- 7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan IPB
dan Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
10
Hasnelly Zainal. Tike Sartika. Sofjan Iskandar 2015. Kinerja Ayam Lokal Sentul Hasil Seleksi Sebagai Calon
Galur Penjantan. Prosiding Seminar Unggas Lokal V. Peran Unggas Lokal dalam Menunjang Industri
Perunggasan di Indonesia. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang, 18
November 2015.
Iskandar, S. 2012. Panduan pelaksanaan pengembangan ayam KUB. Edisi khusus untuk pengembangan di 10
propinsi. Balai Penelitian Ternak
Nuryati, L., Noviati, B. Waryanto, dan R. Widaningsih. 2015. Outlook komoditas pertanian subsektor
peternakandaging ayam. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat JenderalKementerian
Pertanian
Prasetyo, L. H., dan B. Setiadi. 2006. Inovasi teknologi aplikatif mendukung usahaternak unggas berdayasaing.
Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing,
Puslitbang Peternakan
Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan Timbal Balik antara Itik Alabio dan Mojosari: Periode Awal
Bertelur. JITV 5(4): 210-214.
Resnawati, H. 2012. Inovasi teknologi pemanfaatan bahan pakan lokal mendukung pengembangan industri ayam
kampung. Journal Pengembangan Inovasi Pertanian 5(2), 2012: 79-95
Sartika T, Desmayati, S. Iskandar, H. R. Resnawati, A. R. Setioko, Sumanto, A. P. Sinurat, Isbandi, B.
Tiesnamurti, dan E. Romjali. 2013. Ayam KUB-1. IAARD Press. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta
Sartika, T., S. Iskandar, D. Zainuddin, S. Sopiyana, B. Wibowo Dan A. Udjianto. 2010. Seleksi dan “open
nucleus” ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak). Lap. Penelitian No: NR/G-01/Breed/APBN 2009.
Suryana, A. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
11
Makalah 002
Penampilan Produksi Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Konsentrat
Menir Kedelai Terproteksi
Riyanto J., Sudibya dan N. Khotimah
Email : [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan menir kedelai terproteksi
formaldehid terhadap penampilan produksi Domba Ekor Tipis. Kegiatan penelitian menemukan
formula dan produk konsentrat asam lemak omega-3 dan -6 berasal dari menir kedelai ditinjau dari
hasil performan produksi. Domba digunakan sebanyak 15 ekor jantan dibagi dalam tiga perlakuan.
Rancangan percobaan RAL 3 perlakuan masing-masing diulang 5 ekor. Perlakuan penggemukan P1 =
30% RG +70% KK. P2 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai terproteksi tanpa proteksi,
P3 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai terproteksi proteksi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan menir kedelai terproteksi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap
pertambahan berat badan harian namun berpengaruh tidak nyata terhadap FCR, FER dan IOFC.
Kesimpulan penelitiian penggunaan menir kedelai terproteksi sebanyak 10% dalam ransum
penggemukan mampu meningkatkan pertambahan berat badan hariandomba ekor tipis.
Kata kunci : konsentrat asam lemak omega-3 dan -6, Domba Ekor Tipis, Meni kedeli, proteksi
Pendahuluan
Usaha peternakan Domba di Indonesia masih dilaksanakan secara konvensional. Tingkat
produktivitas masih rendah diantaranya pertambahan berat badan harian masih dibawah 300
g/ekor/hari dan belum efisien dalam pemberian pakan. Disisi lain, konsumen daging domba
beranggapan bahwa daging Domba tinggi kolesetrol sehingga menurunkan minat mengkonsumsi
daging Domba. Salah satu langkah strategi percepatan peningkatan produktivitas Domba dilakukan
melalui pemanfaatan secara maksimal protein ransum. Sumber bahan pakan local sumber protein tingi
dapat diperoleh dari limbah industry kedelai berupa menir kedelai.
Menir kedelai diperoleh dari hasil sortiran kedelai utuh berupa pecahan kedelai, sehingga secara
fisik menir kedelai dan kandugan nutrisi sama dengan kedelai utuh (Riyanto, et al. 2017). Di dalam
rumen selama proses fermentasi protein menir kedelai mengalami degradasi oleh mikro organism
rumen, untuk itu perlu dilakukan proteksi (Riyanto dan Sudibya, 2018). Proteksi protein dapat
dilakukan menggunakan aldehid dalam bentuk formaldehid (Riyanto, et al. 2013). Ikatan silang
protein dengan aldehid mampu berikatan silang untuk meloloskan protein hingga ke abomasum dan
diserap oleh usus halus sebagai sumber protein (Riyanto dan Sudibya, 2017)
Belum banyak diperoleh data hasil penelitian suplementasi protein dari bahan pakan lokal
sebagai feed supllement pakan penggemukan Domba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan protein terproteksi dalam ransum sebagai feed supplement untuk penggemukan
Domba Ekor Tipis dan pengaruhnya terhadap penampilan produksi secara uji biologis.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan. Penelitian ini dilaksanakan di kandang Domba Ekor
Tipis di Desa Bendungan, Kecamatan Simo, Boyolali. Laboratorium Produksi Ternak Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian UNS.
Bahan dan Alat
Domba Ekor Tipis digunakan sebanyak 15 ekor, jantan, keadaan sehat, berat badan 25-30 kg,
body condition score (BCS) = 2,75 (1-5). Menir kedelai diperoleh dari Bantul, Yogyakarta.
Jalan penelitian
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
12
Pakan penggemukan diberikan 3-4% dari kebutuhan bahan kering. Komposisi pakan pakan
perlakuan adalah jerami 30% Rumput Gajah (RG), 60% konsentrat kontrol (KK), dan 10% konsentrat
perlakuan (Tabel 1). Konsentrat kontrol terdiri dari 15% bungkil sawit, 23% kopra, 25% bekatul, 27%
onggok, 5,5% molases, 2% mineral, 1,5% urea, dan 1% garam. Proteksi menggunakan formaldehid
kadar 37% sebanyak 1% dari berat konsentrat perlakuan berdasarkan bahan kering.
Rancangan percobaan.
Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah 3 perlakuan dan
pengulangan 5 kali masing-masing sebanyak 1 ekor Domba Ekor Tipis :
P1 = 30% RG +70% KK.
P2 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai tanpa proteksi
P3 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai terproteksi proteksi
Tabel 1. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan
Nama Bahan Pakan Perlakuan
P0 (%) P1(%) P2(%)
Rumput gajah 30,00 30,00 30,00
Konsentrat Kontrol 70,00 60,00 60,00
Menir kedelai tanpa terproteksi 0 10 0
Menir kedelai terproteksi 0 0 10
Jumlah 100 100 100
Kandungan Nutrien --------------------------- (%) ------------------------
Protein kasar (PK) 9.90 11.98 12.05
Lemak kasar (LK) 4.53 5.54 5.49
Serat kasar (SK) 25.80 24.09 24.35
TDN (1) 63.72 65.38 62.48
Cara pengumpulan data dan variabel.
Peubah yang diamati pada penelitian ini, antara lain:
a. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Pertambahan bobot badan dapat diperoleh dengan menghitung selisih antara bobot
badan kambing akhir dengan bobot awal selama peneliian (g/ekor/hari).
b. Feed Convertion Ratio (FCR)
Konversi pakan dihitung dengan cara membagi rata-rata konsumsi bahan kering
(ekor/hari) dengan rata-rata produksi pertambahan berat badan (ekor/hari).
FCR = Konsumsi pakan (g)
𝑃𝐵𝐵𝐻 (𝑔)
c. Feed Effisiency Ratio (FER)
Konversi pakan dihitung dengan cara membagi rata-rata produksi pertambahan berat
badan (ekor/hari) dengan rata-rata konsumsi bahan kering (ekor/hari)
FER = P B B H (g)
Konsumsi pakan (g)
d. Income Over Feed Cost
Pendapatan (Rupiah) yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya pakan selama
penelitian (Rupiah)
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian pengaruh perlakuan terhadap pergtambahan berat badan, FCR, FER dan IOFC
dapat dilihat pada tabel 2.
Dari tabel 2 tampak bahwa perbedaan pakan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05)
terhadap pertambahan badan harian, n amun tidak berpengaruh terhadap FCR, FER dan IOFC. Dari
hasil anova diperileh hasil penelitian suplementasi protein terproteksi aldehid dalam ransum dihasilkan
pertambahan berat abdan harian yang lebih tinggi dari dapa perlakuan lainya. Suplementasi menir
kedelai tanpa proteksi dalam ransum menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata dengan ransum
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
13
tanpa suplementasi protein, sedangkan suplementasi protein terproteksi nyata meningkatkan
pertanbahan berat badan harian. Keadaan ini menunjukkan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan
yang lebih pada domba-domba yang di diberi ransum mengandung suplemen protein terproteksi. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa suplementasi protein terproteksi kedalam ransum meningkatan palatabilitas
ransum baik rasa, warna dan tekstur ransum. Suplementasi protein terproteksi dalam ransum mampu
meningkatkan palatabilitas ransum sehingga dapat berakibat pada peningkatan konsumsi ransum
(Riyanto, et., 2017). Domba yang diberi ransum mengandung prtein terproteksi dihasilkan
pertambahan berat badan yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Protein merupakan komponen
pembentukan otot pada ternak. Sintesis protein daging sangat membutuhkan protein yang berkualitas
dan kualitas protein sangat ditentukan oleh jumlah dan macam asam amino yang terkandung
didalamnya. Konsumsi protein ransum menentukan jumlah protein ransum yang masuk kedalam tubuh
ternak untuk menyediakan asam amino bagi pertumbuhan ternak. Konsumsi ransum lebih dipengaruhi
oleh faktor fisik maupun kimiawi Suplementasi minyak dalam ransum akan meningkatkan densitas
energi pakan, sehingga secara kimiawi energi pakan dapat membatasi jumlah pakan yang dikonsumsi
ternak (McDonald et al., (2002). Protein dengan ketahanan degradasi rumen rendah perlu dilindungi
agar sebagian proteinnya dapat mencapai pascarumen, sehingga dapat memasok asam amino bagi
ruminansia (Puastuti et al., 2006).
Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap PBBH, FCR, FER dan IOFC
Nama Bahan Pakan Perlakuan
P0 P1 P2
Pertambahan berat badan harian (g/ekor/hari) 73±1,4a 73±2,9a 85±2,7b
Feed Convertion Ratio (FCR) 11.73±2.48 17.48±9.77 11.99±5.45
Feed Efficiensy Ratio (FER) 0.08±0.015 0.06±0.028 0.09±0.026
Income Over Feed Cost (IOFC) (Rp) 78.330 70.500 109.500
FCR menunjukkan banyaknya ransum yang dibutuhkan untuk membentuk satu satuan bobot
badan. Semakin tinggi angka FCR menunjukkan rendahnya ransum yang dapat dikonversikan menjadi
bobot badan. Secara tidak langsung nilai ini menentukan kualitas dan nilai ekonomis ransum. Angka
FCR dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh suplementasi protein terproteksi dari menir kedelai
dalam ransum domba. Widiyanto (2008) bahwa suplementasi minyak biji kapok tak terproteksi pada
aras 10% atau lebih, menurunkan kecernaan bahan kering, bahan organik dan produksi protein total
dari pakan berserat, proteksi protein mengeliminasi pengaruh negatif tersebut.
Efisiensi pakan adalah nilai yang diperoleh dari pertambahan bobot badan yang dihasilkan per
unit bahan kering ransum yang terkonsumsi (Akbar, 2007). Besar kecilnya nilai efisiensi pakan
dipengaruhi oleh PBBH dan pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Semakin tinggi nilai efisiensi ransum
maka jumlah ransum yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit
(Setyowati, 2005).
Pemberian protein terproteksi formaldehid menghasilkan efisiensi ransum yang sama dengan
pakan kontrol. Penggunaan level menir kedelai terproteksi pada penelitian ini adalah 10% dari total
ransum, diduga level tersebut belum optimal. Nilai efisiensi pakan berkaitan dengan nilai konversi
pakan. Nilai efisensi pakan yang rendah disebabkan karena rendahnya rerata PBBH dan rendahnya
nilai nutrien dari bahan pakan yang dikonsumsi domba penelitian. Hasil penelitian sebelumnya oleh
Nurdiati et al. (2012) didapatkan hasil bahwa sapi Simpo yang diberi pakan hijauan berupa legum dan
limbah pertanian menghasilkan efisiensi pakan sebesar 0,02. Sehingga bila dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya efisiensi pakan pada penelitian ini lebih tinggi. Pakan menir kedelai terproteksi
menghasilkan penerimaan yang paling tinggi dari ketiga perlakuan. Hal tersebut disebabkan karena
ransum mengandung suplemen prtein terproteksi menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang
tinggi bila dibandingkan ransum lain, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan penerimaan.
Besar kecilnya penerimaan peternak dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan dari usaha ternak sap
serta harga produk dipasaran. Penerimaan usaha diperoleh dari mengalikan total hasil berupa
pertambahan bobot badan harian ternak dengan harga bobot hidup per kg ternak pada saat itu
(Zulfanita, 2011).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
14
Simpulan
Penelitiian penggunaan menir kedelai terproteksi sebanyak 10% dalam ransum mampu
meningkatkan pertambahan berat badan harian penggemukan domba ekor tipis.
Daftar Pustaka
Akbar, S. A. 2007. Pemanfaatan tandan kosong sawit fermentasi yang dikombinasikan dengan defaunasi dan
protein by pass rumen terhadap performans ternak domba. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis.
32(2): 80 - 85.
Astuti, S. T. 2014. Evaluasi Menir Kedelai Terproteksi Ditinjau dari Kecernaan Nutrien secara In Vitro. Skripsi.
Program Studi Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
McDonald, P., R.A. Edward and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. 4th edition. English Language
Book Society, Longman, London.
Perdhana, P. W., J. Riyanto., A. Ratriyanto., S. D. Widyawati dan W. P. S. Suprayogi. 2013. Pengaruh
penggunaan tepung ikan dan menir kedelai terproteksi dalam ransum terhadap kecernaan nutrien pada
sapi persilangan simmental peranakan ongole jantan. Journal Tropical Animal Husbandry. 2 (1): 1 – 7
Puastuti, W., I. W. Mathius dan D. Yulistiani. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai
pakan imbuhan ternak domba: in sacco dan in vivo. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 11(2): 106 – 115
Pujiati, A. 2010. Pengaruh Menir Kedelai, Tepung Ikan Dan Bungkil Kelapa Sawit Terproteksi Terhadap
Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum Sapi PO Berfistula. Skripsi.
Program Studi Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Riyanto, J., S.D. Widyawati, A. Pramono, Lutojo dan Riyanti. Penampilan Produksi Penggemukan Feedlot
Sapi Persilangan Simental-Ongole Jantan Diberi Ransum Menir Kedelai-Minyak Ikan Lemuru
Terproteksi. Sains Peternakan Vol. 15 (1) : 22-28. DOI: http://dx.doi.org/10.20961/sainspet.15.1.22-28
Riyanto, J., S.D. Widyawati, W. P. Suprayogi, A. P. Astuti dan T. R. Setiadi. 2013b. Degradasi secara in Vivo
tepung ikan, menir kedelai dan bungkil kelapa sawit terproteksi dalam ransum sapi Potong. Dalam:
Prosiding. Peningkatan Produktivitas Sumber Daya Peternakan. Jatinangor. pp: 519-523
Riyanto, J and Sudibya. 2017. Characteristics of Fermentation Kinetics and Digestibility of PUFA Saponification
and Aldehyde Protected as Cattle Feed Supplement In Vivo. Proceeding of the 1st International
Conference on Tropical Agriculture. © Springer International Publishing AG 2017. DOI 10.1007/978-3-
319-60363-6_38
Riyanto and Sudibya. 2018. Evaluaion of feed for Thin Thailed Sheep fattening with supplemented protected and
unprotected. IOP Conf. Series. Earth ad Environmet. Sci. 119(2018)012020. DOI 10.1088/1755-
11315/119/1/012020
Setyowati, A. D. 2005. Pengaruh Limbah Media Produksi Jamur Pelapuk Kayu Isolat Hs terhadap Konsumsi,
Produksi dan Efisiensi Pakan pada Ternak Domba. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Yulianti, A., U. Hidayat dan T. R. Tawaf. 2007. Production Performance Of Australian Commercial Cross (Acc)
Steer That Given Ration Based On Rice Straw Result Of Aerobic Microbe Bioprocess. International
Seminar Biotechnology. Bandung
Widiyanto.2008. Suplementasi Minyak Biji Kapok Terproteksi Sebagai Sumber Asam Lemak Tidak Jenuh
Untuk Meningkatkan Produktivitas Daging Domba Lokal Jawa Ekor Kurus Jantan Rendah Kolesterol
Kaya Asam Lemak Omega 6. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.
Zulfanita. 2011. Kajian analisis usaha ternak kambing di desa Lubangsampang kecamatan Pituruh kabupaten
Purworejo. Mediagro. 7(2): 61 – 68
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
15
Makalah 003
Kinerja Reproduksi Kelinci yang Diberi Tambahan Pakan Buah Jambu Biji dan
Kecambah Kacang Hijau Sebagai Sumber Vitamin C dan E: Studi Pendahuluan
Isnani Herianti
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah
Jl. Soekarno-Hatta KM 26 No.10, Kotak Pos 124 Bergas Kabupateb Semarang 50552..
Abstrak
Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi sangat tinggi, karenanya potensial sebagai
penghasil daging. Adanya tuntutan kesehatan dari masyarakat usia lanjut dan banyaknya kasus flu
burung belakangan ini tampaknya ada peluang untuk mengintroduksikan kembali pangan asal kelinci.
Telah dilakukan kegiatan rekayasa terhadap ransum untuk kelinci dengan penambahan jambu biji
sebagai sumber vitamin C dan kecambah sebagai sumber vitamin E dengan tujuan harapan untuk
meningkatkan kesuburan induk agar diperoleh jumlah anak per kelahiran yang tinggi. Beberapa
pustaka menyatakan asam ascorbat/vitamin C tidak perlu ditambahkan dalam diet beberapa jenis
ternak termasuk kelinci karena hewan tersebut mampu mensintesa asam askorbat dalam jaringan
tubuhnya. Kegiatan ini berawal dari uji coba yang dilakukan bahwa pemberian vitamin C sebanyak ±
250 mg/kg pakan cenderung menekan mortalitas anak – anak kelinci yang dilahirkan. Landasan ilmu
yang digunakan adalah bahwa vitamin C dan vitamin E merupakan mikronutrien yang berpengaruh
terhadap proses reproduksi hewan. Pada percobaan ini, 15 ekor kelinci jenis New Zealand White
dikawinkan dengan pejantan sejenis. Jambu biji dan kecambah ditambahkan sejumlah 50% dari pakan
basalnya. Sebagai kontrol kelinci diberi pakan tanpa tambahan keduanya. Masing-masing perlakuan
dilakukan 5 pengulangan dengan rancangan acak lengkap. Hasil analisa terhadap jumlah anak
sekelahiran (litter size) menunjukkan bahwa kelompok kelinci yang diberi tambahan kecambah dalam
ransumnya mempunyai jumlah litter yang lebih banyak (P < 0,05). Namun demikian pada akhir
kegiatan yakni saat anak disapih pada umur 2 bulan terlihat adanya bukti bahwa kelompok kelinci
yang diberi tambahan jambu biji mempunyai jumlah anak yang mampu bertahan hidup lebih banyak
(P < 0,05).
Pendahuluan
Kelinci, Oryctolagus cuniculus (L) dimasukkan dalam filum Chordata, subfilum Craniata, kelas
Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies Oryctolagus
cuniculus (Thakur dan Puranik, 1981 dalam Juarini et al., 2005). Potensi biologis kelinci berkaitan
dengan tujuan budidaya antara lain kemampuan reproduksi yang tinggi. Pertumbuhannya relatif cepat,
dewasa matang kelamin pada umur ± 6 bulan dengan masa gestasi antara 28 – 35 hari. Telah
diketahui bahwa dalam satu tahun kelinci mampu melahirkan hingga lima kali (Matienzo dan Gatica,
1975; Cheeke, 1982). Lebih lanjut Cheeke (1982) menekankan bahwa setiap induk kelinci mampu
memberikan 6 - 12 ekor anak pada setiap kelahiran. Sementara Farrell dan Raharjo (1984)
menyatakan bahwa di Indonesia biasanya sekitar 8 sampai 10 ekor anak, namun seringkali angka
kematiannya tinggi (25%), sehingga rata-rata jumlah anak lepas sapih sekitar enam ekor.
Selain itu kelinci mempunyai kemampuan yang tinggi memanfaatkan hijauan, limbah pertanian
dan limbah industri pangan sehingga tidak berkompetisi dengan manusia dan tidak memerlukan lahan
yang luas. Prawirodigdo et al (2004) berdasarkan penelitiannya mendokumentasikan bahwa rata-rata
kenaikan bobot badan hidup kelinci yang diberi pakan pellet yang mengandung sisa sayuran dan buah
adalah 23 g/hari. Temuan tersebut yang mendasari Prawirodigdo et al. (2004) menyimpulkan bahwa
kelinci hidup dari pakan limbah pertanian, dan tampaknya kelinci sebagai ternak mikro potensial
untuk memenuhi kebutuhan daging orang-orang negara berkembang termasuk di Indonesia.
Daging kelinci mempunyai kandungan protein tinggi, rendah lemak jenuh dan kolesterol
sementara hasil ekskresinya mempunyai kandungan N, P dan K yang tinggi sehingga dapat
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
16
dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk budidaya tanaman. Kulit bulu kelinci mempunyai prospek
pasar yang cukup baik untuk berbagai produk kerajinan. Budidaya kelinci sebagai penghasil daging
mempunyai peluang kompetitif bagi budidaya jenis ternak seperti ayam yang saat ini mengalami
pasang surut dengan adanya kasus flu burung. Terlebih bila dibandingkan dengan ternak besar yang
secara hitungan waktu produksinya memerlukan masa yang lebih panjang dan investasi yang lebih
besar pula. Kelinci dengan sifat prolifik serta beberapa keunggulan lain merupakan penyedia daging
sehat yang perlu dipertimbangkan pengembangannya dimasa mendatang khususnya dalam mengatasi
pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permasalahan kesulitan penyediaan rumput di kawasan
perkotaan untuk pemenuhan pakan hijauan bagi kelinci dapat diatasi dengan pemberian sisa sayuran,
daun atau kulit pisang yang lebih mudah diperoleh.
Telah diterima secara luas bahwa asupan nutrisi yang memadai merupakan faktor penting yang
mempengaruhi kematangan gonad hewan dan jumlah sel telur yang dihasilkan. Selama masa
perkembangan embrio, beberapa nutrisi mikro dan kandungan asam lemak esensial dari pakan untuk
perkembang-biakan kelinci terakumulasi di dalam sel telur, sebagai bentuk energi atau jaringan tubuh.
Vitamin E (tokoferol) merupakan vitamin yang berpengaruh terhadap proses reproduksi (Tillman et al,
1988). Kekurangan vitamin E menurut Bykov et al. (1968) akan menyebabkan hilangnya fertilitas,
kegagalan kebuntingan, kerusakan foetus, resorbsi foetus oleh uterus atau keguguran. Lebih lanjut
diinformasikan bahwa vitamin E dapat memulihkan kembali organ seksual dan menjamin kontinyuitas
kebuntingan serta kelahiran anak. Cheeke (1987) menyatakan bahwa efek kekurangan vitamin E pada
kelinci adalah menurunnya kesuburan. Oleh karena itu dalam pembiakan, kelinci perlu
mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin E. Arrington dan Kelley (1976), menyatakan
bahwa defisiensi vitamin E menyebabkan kegagalan reproduksi meski pada kelinci belum sepenuhnya
dievaluasi.
Selanjutnya, vitamin C (asam askorbat) adalah salah satu antioksidan yang dapat larut dalam
air yang memainkan peran penting dalam mensintesis kolagen protein (Wardlaw et al., 1992;
Mcdonald et al., 1992). Vitamin C juga sangat penting untuk penyerapan zat besi karena menjaga zat
besi dalam bentuk yang paling mudah diserap dan pengangkutan ion besi yang selanjutnya disimpan di
hati, limpa, dan sumsum tulang (Mcdonald et al., 1992). Meskipun demikian, vitamin C ditentukan
sebagai makanan yang tidak penting untuk kelinci bunting (Nrc, 1977; Cheeke, 1987); karena hewan
tersebut mampu mensintesa asam askorbat dalam jaringan tubuhnya. Tillman et al., 1982, menyatakan
bahwa kelinci mempunyai enzim L-gulunolaktone oksidase yang memungkinkan sintesa asam
askorbat dari glukose. Meski demikian pernyataan Card dan Nesheim (1975) yang dikutip oleh
Harimurti, 1994 bahwa meski pun vitamin C dapat disintesa oleh tubuh ayam namun bila ditambahkan
dalam ransum dapat meningkatkan produksi telur, menjadikan dasar pemikiran dilakukannya kegiatan
penelitian ini. Suplementasi vitamin C tersebut mungkin memiliki manfaat dalam mengurangi
pengaruh stres. Cheeke (1987) mengutip Verde dan PiqueR (1986) sepakat bahwa pada kelinci yang
terpapar stres (suhu lingkungan tinggi); profil asam askorbat secara signifikan menurun. Karena
Indonesia adalah negara tropis, ada kemungkinan resiko kelinci mengalami cekaman panas. Namun,
belum ada informasi tentang penggunaan buah jambu biji untuk pembibitan kelinci yang ada.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh jambu biji atau kecambah kacang hijau dalam
pakanan sebagai sumber vitamin C atau E pada kinerja reproduksi kelinci.
Materi dan Metode
Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah,
menggunakan 15 ekor kelinci betina New Zealand White berumur sekitar 6 bulan dengan bobot tubuh
3,8 - 4,0 kg. Masing-masing dimasukkan ke dalam kandang bambu yang dilengkapi dengan nampan
yang dipasang di bawah kandang untuk pengumpulan tumpahan pakan yang akan diperhitungkan
dalam pengukuran konsumsi pakan. Dalam penelitian ini pakan percobaan dimodifikasi berdasarkan
pakan tradisional yang diberikan untuk kelinci di lokasi penelitian. Pakan basal tradisional yang
diberikan adalah ampas tahu dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari pagi dan sore dengan jumlah
pemberian 200 g/ekor/hari dan rumput lapang sebagai kebutuhan dasar kelinci diberikan pada malam
hari secara ad libitum. Air diberikan ad libitum menggunakan wadah aluminium selama masa
percobaan. Tahap berikutnya induk kelinci dikawinkan dengan pejantan sejenis. Penentuan
kebuntingan dilakukan pada hari ke 11 post coitus melalui palpasi abdomen. Pada hari ke 28
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
17
kebuntingan, masing-masing kandang dilengkapi dengan kotak sarang kayu untuk anak-anak kelinci
yang dilahirkan. Sebagai perlakuan adalah (1) pemberian jambu biji sebanyak 50% dari pakan basal
±100 g, (2) pemberian kecambah kacang hijau sebanyak 50%, yang dicampurkan dalam pakan
basalnya, dan (3) kontrol tanpa pemberian tambahan keduanya. Tujuan penambahan jambu biji atau
kecambah biji kacang hijau masing-masing untuk menyediakan vitamin C dan vitamin E dalam pakan.
Estimasi profil nutrisi dari bahan pakan yang digunakan dalam eksperimen saat ini disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi (g pakan/hari/ekor) pakan percobaan sebagai pakan basal.
Uraian Proporsi pakan (g/hari)
Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3
Bahan pakan: Ampas tahu (Soybean curd by product /Glycine
soya) 200 200 200
Rumput lapang Native green feed) 500 500 500 Buah jambu biji (Guava fruit /Pfidium gua Java
L.) 100 - -
Kecambah kacang hijau (Mung bean sprout
/Phaseolus aureus) - 100 -
Estimasi profil nutrien Bahan Kering 127 133 127 Protein kasar 12.38 12.26 12.06
Keterangan: dihitung berdasarkan data Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia (Hartadi et al., 1990).
Perlakuan pakan diberikan 2 minggu sebelum hewan uji dikawinkan hingga anak lepas sapih
yakni umur 2 bulan. Masing-masing perlakuan dengan ulangan 5 kali. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap. Pengolahan data dilakukan dengan analisa varian dan uji beda nyata
terkecil untuk setiap beda nyata yang terjadi (Steel dan Torrie, 1995). Parameter yang diamati adalah
jumlah anak per kelahiran/litter size dan jumlah anak lepas sapih.
Hasil dan Pembahasan
Konsumsi pakan
Data yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang
signifikan antara konsumsi bahan kering oleh kelinci yang diberi pakan salah satu dari tiga pakan
percobaan (Tabel 2). Menurut Raharjo (komunikasi pribadi), biasanya konsumsi pakan dari kelinci
bunting adalah 125 - 150 g/hari yaitu sekitar 111,3 - 133,5 g bahan kering/hari. Oleh karena itu,
hewan uji pada percobaan ini menerima jumlah bahan kering yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya.
Table 2. Konsumsi bahan kering dan protein kasar kelinci uji.
Uraian Pakan uji Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3
Asupan pakan
Bahan kering (g/hari) 125 a 132 a 127 a
Protein kasar (g/hari) 12.9 a 12.7 a 12.1 a Keterangan: Notasi huruf yang sama dalam satu lajur mengindikasikan tidak berbeda makna
(P>0.05)
Jumlah anak sekelahiran (litter size)
Menurut Calvert (1973) dan Hafez, (1970) yang diutip oleh Sartika dan Diwyanto, 1986, bahwa
pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi litter size selain umur induk betina, bangsa
kelinci, ukuran tubuh induk kelinci, iklim dan lingkungan. Semantara Arrington dan Kelley (1976)
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
18
menyatakan bahwa jumlah litter cenderung meningkat hingga litter ketiga kemudian konstan sampai
kurang lebih 2 tahun dan selanjutnya mulai menurun.
Banyaknya anak sekelahiran masing-masing perlakuan dapat disimak pada Tabel 3. Kelinci
yang diberi pakan dengan penambahan jambu biji mempunyai rata-rata jumlah anak 4,0 ekor, kontrol
dengan rata-rata 4,4 ekor sedangkan kelinci yang diberi pakan dengan penambahan kecambah rata-rata
7,2 ekor. Hasil analisa jumlah litter size menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kecambah
kacang hijau memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan ketimbang
kontrol maupun perlakuan penambahan jambu biji (P0,05) sedangkan antara kontrol dengan
perlakuan penambahan jambu biji tidak berbeda makna (P0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian jambu biji tidak mempunyai pengaruh terhadap jumlah anak kelinci yang dilahirkan.
Penambahan vitamin C dalam ransum pada ikan menjelang pemijahan akan mempercepat
ovulasi. Sedangkan kelinci termasuk dalam kelompok hewan dengan ovulasi spontan karena rangsang
coitus (van Tienhoven,1983). Copulasi menstimulasi tonic center dari hipotalamus untuk menginisiasi
kelenjar pituitari mensekresi Luteinizing Hormone (LH), sementara ciclic center bertanggung jawab
terhadap lonjakan konsentrasi LH untuk menstimulasi pecahnya folikel ovarium yang matang
melepaskan telur 10 - 12 jam setelah copulasi (Bykov et al., 1968; van Tienhoven,1983).
Tabel 3. Jumlah anak sekelahiran
Perlakuan Jumlah anak per kelahiran (ekor) Rata-rata
1 2 3 4 5 Penambahan jambu biji (Pakan 1) 6 2 4 6 2 4,0 a Penambahan kecambah (Pakan 2) 8 5 8 8 7 7,2 b
Kontrol (Pakan 3) 4 5 8 2 3 4,4 a Keterangan: Notasi huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda makna
(P>0.05)
Menurut Arrington dan Kelley, 1976, kelinci memerlukan vitamin E sebesar 1 mg per kg bobot
tubuh untuk pertumbuhan dan masa gestasi. Artinya kebutuhan kelinci dalam percobaan ini berkisar
antara 3,8 – 4,0 mg. Lembaga/kecambah kacang-kacangan sangat kaya akan vitamin E. Menurut
Winarsi (2007) dikutip oleh Maulana (2010) bahwa dalam 10 g kecambah kacang hijau mengandung
1,53 mg vitamin E.
Vitamin E atau tokoferol sering disebut dengan vitamin antisterilitas yang menurut Tillman et
al., 1982, tokos dalam bahasa Yunani berarti kelahiran anak dan fero adalah kandungan. Lebih lanjut
dinyatakan bahwa vitamin E merupakan antioksidan yang melindungi vitamin-vitamin lain seperti
vitamin A (retinol). Pernyataan Nichols yang diterjemahkan oleh Sediaoetama (1976) bahwa vitamin
E diperlukan untuk penyerapan yang lebih baik terhadap vitamin A. Hal ini disebabkan oleh sifat
antioksidan dari tokoferol yang juga mempunyai pengaruh menghemat vitamin A pada penimbunan
atau pemanfaatan secara intraseluler. Sementara menurutnya bahwa kelinci tidak dapat menimbun
vitamin A di dalam hatinya. Berkaitan dengan adanya pengaruh antar vitamin, diduga kondisi yang
terjadi ada hubungannya dengan kecukupan kebutuhan akan vitamin A dalam tubuh kelinci.
Defisiensi vitamin A pada kelinci akan menyebabkan perubahan pada sel-sel epitel kornea menuju
keruhnya kornea, dan berakibat mengurangi kemampuan penglihatan. Arrington dan Kelley (1976)
menyatakan bahwa defisiensi vitamin A mempunyai pengaruh terganggunya reproduksi.
Pengaruh vitamin A terhadap ketajaman penglihatan diduga berperan pula dalam proses
reproduksi yang berlangsung pada perlakuan ini. Cahaya yang diterima mata berpengaruh terhadap
pelepasan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) hipotalamus, memicu kelenjar pituitari
mensekresi gonadotropin untuk menginisiasi sekresi streroid gonad yang akan menginduksi
perkembangan dan pematangan folikel ovarium. Menurut Bligh (1976) dan Norris (1980) bahwa
retina merupakan jaringan khusus sistem saraf pusat yang sensitif terhadap cahaya. Respon cahaya
yang mencapai retina akan diteruskan ke hipotalamus yang akan menginisiasi perkembangan ovarium
lebih lanjut sehingga kesiapan organ reproduksi untuk proses berikutnya menjadi lebih cepat dicapai.
Szendrö (2007) menyatakan bahwa peningkatan intensitas sinar selama 7 - 8 hari sebelum induk
kelinci dikawinkan akan meningkatkan kesuburan.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
19
Jumlah anak lepas sapih
Mortalitas anak kelinci selama periode pengasuhan pada kontrol cukup besar antara 33,3 -
100%, pada kelinci yang diberi pakan dengan penambahan kecambah antara 20 - 50% sedangkan
kelinci yang diberi pakan dengan penambahan jambu biji antara 0 - 16,7%. Prosentase anak kelinci
yang mampu bertahan hidup hingga umur sapih dapat disimak pada Tabel 4. Hasil pengujian statistik
menunjukkan bahwa ada beda yang bermakna antara perlakuan yang diterapkan. Tidak ada perbedaan
antara kontrol dengan perlakuan penambahan kecambah (P0,05), namun antara kelinci yang diberi
pakan dengan penambahan jambu biji berbeda dengan kedua perlakuan lainnya yakni pada kontrol dan
kelompok kelinci yang diberi pakan dengan penambahan kecambah (P 0,05).
Tabel 4. Prosentase jumlah anak lepas sapih
Perlakuan Jumlah anak lepas sapih (%) Rata-rata
1 2 3 4 5 Penambahan jambu biji (Pakan 1) 65,88 89,45 89,45 89,45 89,45 84,74 b Penambahan kecambah (Pakan 2) 60,00 63,44 43,00 60,00 57,67 56,82 a
Kontrol (Pakan 3) 43,00 89,45 43,00 0,00 54,76 46,04 a Notasi huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda makna
Hal ini sesuai dengan uji pendahuluan yang telah dilakukan yang menunjukkan kecenderungan
bahwa anak kelinci yang diberi tambahan vitamin C sebesar 250 mg/kg pakan dalam ransumnya atau
sekitar 50 mg/200 g pakan mempunyai tingkat kelulus hidupan lebih tinggi hingga umur lepas sapih.
Menurut Karyadi dan Muhilal (1990) dikutip oleh Harimurti (1994) bahwa kandungan vitamin C
dalam 100 g jambu biji sebesar 87 - 100 mg, lebih tinggi ketimbang pemberian vitamin C pada uji
pendahuluan. Diduga ketercukupan vitamin C dalam tubuh kelinci mampu meningkatkan tanggap
kebal anak-anak kelinci hingga umur sapih. Menurut Oser (1965) dikutip oleh Aritonang et al., 1981
bahwa vitamin C mampu meningkatkan resistensi tubuh terhadap infeksi dan racun organisme
patogen. Thaxton (1986) disitasi oleh Harimurti (1994) yang mencoba penambahan vitamin C pada
ransum ayam terbukti dapat mencegah stress serta memperkecil mortalitas.
Kaitannya dengan pakan basal yang diberikan, ampas tahu mempunyai kandungan serat kasar
yang cukup tinggi ± 12,9 % (Murtisari, 2005). Demikian juga dengan rumput lapang sekitar 38,98%
(Tabel 5). Prawirodigdo, 2007 (pers. comm.) menyatakan bahwa pakan berserat tinggi mempunyai
kandungan vitamin C yang rendah, oleh karena itu diduga penambahan jambu biji sebagai sumber
vitamin C mempunyai pengaruh positif terhadap ketersediaan vitamin C dalam tubuhnya dan
berpengaruh terhadap peningkatan tanggap kebal pada anak-anak kelinci hingga mencapai umur sapih.
Namun demikian perlu penelitian lebih mendalam tentang kandungan vitamin C dan vitamin E dalam
tubuh kelinci/alat reproduksi sehingga diperoleh bahasan yang lebih tepat pengaruhnya secara faali
dalam proses reproduksi kelinci. Demikian juga pengaruh zat-zat lain yang terkandung dalam jambu
biji seperti tanin dan pektin sebagai anti-nutrisi yang dilaporkan dari beberapa penelitian mempunyai
pengaruh menghambat pertumbuhan.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
20
Tabel 5. Komposisi proksimat rumput dan limbah pertanian (%)
Jenis Tanaman Kadar Air
Kadar Abu
Lemak Kasar
Serat Kasar
Protein Kasar
Rumput 4,85 6,88 1,72 38,98 3,72 Jerami Padi 5,38 19,27 2,57 31,05 4,46
Jerami kedelai 5,97 7,48 1,62 39,68 5,25 Jerami Kacang hijau 4,81 8,12 2,13 30,62 5,69
Jerami jagung 5,15 12,14 4,19 23,81 11,59 Jerami tebu 5,17 11,21 1,06 27,64 5,96
Sumber : Hasyim et al., 2004 dikutip oleh Imran, 2006
Pengamatan bobot anak-anak kelinci disajikan pada Tabel 6. Dari hasil analisa yang dilakukan
menunjukkan bahwa tidak ada beda yang bermakna (P> 0,05) antara kedua perlakuan dengan kontrol,
rata – rata bobot tubuh masing – masing perlakuan sebesar 1,75 g, 1,68 g dan 172 g. Menurut Eiben
et al. (2007) bahwa pemberian vitamin E sangat dianjurkan dan pemberian dosis yang tinggi (240
mg/kg pakan) mampu meningkatkan pertumbuhan (bobot badan) pada anak kelinci.
Tabel 6. Rata – rata bobot tubuh (g) anak-anak kelinci lepas sapih
Perlakuan Bobot tubuh (g) Rata-rata
1 2 3 4 5 Penambahan jambu biji (Pakan 1) 1,60 1,80 1,63 1,65 1,75 1,68 a Penambahan kecambah (Pakan 2) 1,67 1,75 1,75 1,73 1,70 1,72 a
Kontrol (Pakan 3) 1,75 1,66 1,70 - 1,90 1,75 a Keterangan: Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan tidak adanya beda bermakna.
Kematian anak-anak kelinci yang terjadi pada perlakuan ini disebabkan karena menderita diarea
(enteritis), biasanya disebabkan karena rusaknya dinding sel sebelah dalam dari saluran pencernaan.
Kelinci merupakan hewan monogastric artinya kemampuan untuk mencerna serat kasar seperti
selulose dan lignin terbatas meski kelinci termasuk hewan herbivor, berbeda dengan kelompok
ruminan lain seperti sapi dan kerbau yang memiliki 4 kompartemen di bagian lambungnya. Cheeke
dan Patton, 1981 disitasi oleh Farrell dan Raharjo, 1984 memperingatkan bahwa kandungan serat
kasar yang tinggi (>22,0%) dapat menyebabkan enteritis mucosae pada kelinci. Menurut Arrington
dan Kelley (1976) bahwa kebutuhan serat kasar kelinci berkisar antara 16 - 18%.
Simpulan
Pemberian kecambah dalam ransum induk kelinci sebelum dikawinkan ternyata memberikan
jumlah litter size yang lebih banyak sedangkan pemberian jambu biji mampu menekan mortalitas anak
– anak kelinci hingga umur sapih. Perlunya kombinasi pemberian kecambah dan jambu biji dalam
ransum kelinci untuk mendapatkan jumlah anak-anak yang banyak dan mampu bertahan hidup hingga
lepas sapih.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bp Suwartono Alm. yang telah mendukung
dilaksanakannya kegiatan penelitian ini. Demikian juga kepada DR. Susanto Prawirodigdo sebagai
pakar nutrisi atas koreksi dan perbaikan dalam penulisan ini.
Daftar Pustaka
Aritonang, D., D.T.H. Sihombing, M.R. Toelihere dan D. Sugandi, 1981. Pengaruh Pemberian Asam Ascorbat
Dalam Ransum Dan Intensitas Memandikan Terhadap Ternak Babi Yang Sedang Bertumbuh.
Prosiding: Seminar Penelitian Peternakan. Bogor, 23 – 26 Maret 1981. Puslitbangnak, Balitbangtan.
270 – 278.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
21
Arrington, L.R. dan K.C. Kelley, 1976. Domestic Rabbit Biology And Production. The University Presses of
Florida. Gainesville, Florida. 230p.
Bligh, J, 1976. Reproduction in: Environmental Physiology of Animals. Edited by BLIGH, J, J.L.C. Thompson
and A.C. Macdonald. Blackwell Scientific Publication. Oxford London Edenburgh Melbourne. Pp.197
– 215.
Bykov , K.M., G.Y. Vladimirov, V.Y. Delov, G.P. Konradi and A.D. Slonim, 1968. Text Book Of Physiology.
Peace Publisher. Moscow. 757p.
Cheeke, P.R. 1983. Rabbit production in Indonesia. J. Appl. Rabbit res. 6:80-86
Cheeke, P.R. 1987. Rabbit feeding and nutrition. Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.
New York.
Eiben, Cs, Gódor, SK, Végi, R., Virág, Gy, Fébel, H., Zsédely, E., Tóth, T. And Schmidt, 2007. Effect Of
Sunflower Oil And Linseed Oil And Vitamin E Dietary Suplementation On Growing And Slaughter
Performance Of Rabbits. Proceeding. International Conference On Rabbit Production. Bogor 24 – 25
Juli 2007.
Farrel, DJ dan Y.C. Yono Raharjo, 1984. Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging (The Potential For
Meat Production From Rabbits).Puslitbangnak, Bogor. 34 hal.
Harimurti, S. 1994. Pengaruh Pemberian Jambu Biji Dalam Pakan Petelur Terhadap Respon Anti Stress Dan
Kandungan Kolesterol Telur. Buletin Peternakan. Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta. Hal: 96 – 104.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1990. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Gama Press.
Imran, 2006 Kerbau Sumbawa Dan Padang Penggembalaan. Prosiding: Lokakarya Nasional Usaha Ternak
Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbangnak,
Bogor. Hal: 241-244.
Juarini, E., Sumanto dan B. Wibowo, 2005. Ketersediaan Teknologi Dalam Menunjang Pengembangan Kelinci
Di Indonesia. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30
September 2005. Hal 121 – 130.
Maulana, A.I. 2010. Pengruh ekstrak tauge (Phaseolus radiatus) pada mencit (Mus musculus) yang diinduksi
dengan parasetamol. Sripsi. Fak Kedokteran UNS, Surakarta.
MATIENZO, Jr. L.H. and R.A. GATICA. 1975. The prolific rabbit. Green fields, 5(3): 3- 8.
MURTISARI, T., 2005. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Untuk Menunjang Agribisnis Kelinci.
Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September
2005. Hal 41 – 54.
Noriss, D.O., 1980. Vertebrate Endocrinology. Lea & Febiges. Philadeplhia.pp: 55 – 474.
NRC (National Research Council). 1977. Nutrient requirements of domestic animals: Nutrient requirement of
rabbits. National Academy of Sciences. Washington, D.C.
Prawirodigdo, S. 1992. Potensi kelinci dalam perbaikan gizi keluarga dan substitusi bahan baku industri pangan asal
daging serta industri barang dari kulit di Jawa Tengah. Bull. ISPI Purwokerto 6: 383-397.
Prawirodigo, S. Muryanto dan D.M. Yuwono. 2004. Rice bran inclusion in the fruit and vegetable waste-based diets
for fryer rabbits. J.I.T.V., 9 (3): 151-156.
Sartika T. dan K. Diwyanto, 1986. Produktivitas Kelinci Lokal: Litter Size, Pertumbuhan, Mortalitas dan
Kondisi Induk. Ilmu dan Peternakan Balitnak, Bogor. Hal: 117 – 122.
Sediaoetama, A.D. 1976. Ilmu Gizi Dan Ilmu Diit Di Daerah Tropik. Balai Pustaka, Jakarta. 675 hal.
Steel, R.D. dan J.H. Torrie, 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu pendekatan biometric. Gramedia
Pustaka Utama. hal: 105 – 447.
Szendrö Zs, (2007). Management Of Rabbit Does In Small And Medium Scale Rabbit Farms. Proceeding.
International Conference On Rabbit Production. Bogor 24 – 25 Juli 2007.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo., 1982. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. 422 hal.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
22
Van Tienhoven, A., 1983. Reproduction Physiology Of Vertebrate. Cornell University Press. Ithaca London. pp:
38 - 399
Wardlaw, G.M., P.M. Insel, and M.F. Seyler. 1992. Contemporary nutrition: Issues and insights. Mosby Year
Book, Inc. St.Louis, MO.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
23
Makalah 004
Gambaran Hematology Darah Pedet Friesian Holstein yang Diberi Pelletcalf Starter
dengan Limbah Kubis Terfermentasi
Darmawan A.D, S. Mukodiningsih dan F. Wahyono
Program Studi S1 Peternakan
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengkaji kualitas pelletcalf starter dengan penambahan limbah kubis
terfermentasi melalui uji biologis pada pedet Friesian Holstein yang ditinjau dari hematology darah.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi ( SplitPlot Design). Terdiri
dari dua perlakuan yaitu umur ternak sebagai petak utama (A1: umur 3 minggu dan A2: 6 minggu) dan
penambahan limbah kubis fermentasi sebagai anak petak (T1: 2% T2: 4% dan T3: 6%) dengan 4
ulangan. Materi yang digunakan adalah 12 ekor pedet sapi FH prasapih umur 7-42 hari dengan obot
badan rata-rata 38 kg±5 kg, bahan pakan yang terdiri dari jagung giling, bekatul, bungkil kedelai,
molasses, mieral mix, limbah kubis, gula dan garam, air. Peralatan yang digunakan meliputi cooling
box, venoject dan tabung EDTA. Parameter yang diamati meliputi eritrosit dan leukosit darah. Data
yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Analysis of Variance/ ANOVA).Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara umur dan jenis calf starter
terhadap eritrosit dan leukosit. Pedet pada umur 3 minggu pada T1, T2,T3 masing masing
mengasilkan eritrosit darah4,62;4,83; T3: 4,92 juta/ml danLeukosit sebesar 11.325;11.200; 9.800
gr/dl. Pedet umur 6 minggu memiliki Eritrosit T1, T2, T3 = 4,78; 4.93; 5.17 juta/mldan Leukosit
T1,T2,T3 = 10.567;8.967;8.632 gr/dl.
Kata kunci: pellet calf starter, fermentasi limbah kubis, eritrosit, leukosit
Pendahuluan
Fase pemeliharaan pedet yang baru lahir sampai dengan umur 6 minggu merupakan fase penting
dalam pemeliharan sapi, karena pada fase ini sapi mulai tumbuh dan berkembang, sehingga perlu
dilakukan upaya untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan pedet. Pedet ketika lahir memiliki
rumen yang belum berkembang dan belum berfungsi dengan baik, oleh karena itu perkembangan
rumen harus dirangsang dengan pemberian pakan starter (Cunningham,1995). Pemberian calf starter
dengan sumber protein dari bungkil kedelai dengan tambahan molases menghasikan perkembangan
rumen yang baik pada pedet FH (Mukodiningsihet el, 2016).
Di sisi lain pedet baru lahir sangat rentan terhadap gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh
bakteri patogen, salah satunya yaitu gangguan pencernaan seperti diare yang menyebabkan kematian.
Tingkat kesakitan dan kematian pedet cukup tinggi yaitu 62% dan 22% dan kejadian tertinggi
disebabkan oleh kasus diare sebesar 39% (Wuduet al., 2008). Diare terjadi akibat peningkatan jumlah
bakteri patogen (Krehbielet al., 2003), oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi
bakteri patogen pada pedet. Jumlah bakteri patogen dalam saluran pencernaan dapat ditekan dengan
menggunakan antibiotik, akan tetapi antibiotik berpotensi ikut terserap pada produk hasil peternakan
(Greathead 2003). Oleh karena itu diperlukan alternatif salah satunya menggunakan bakteri asam
laktat yang dihasilkan dari limbah kubis terfermentasi.
Limbah kubis secara alami mengandung bakteri asam laktat (BAL) yang jumlahnya dapat
diperbanyak melalui fermentasi (Suprihatin dan Perwitasari, 2010).Bakteri asam laktat dapat
digunakan sebagai sumber probiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Murwani,
2008). Bakteri tersebut bersifat menekan bakteri patogen yang akan berkembang dalam saluran
pencernaan, sehingga tercipta kondisi pencernaan dan penyerapan nutrien yang baik. Kesehatan ternak
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
24
dapat dilihat dari hematology darahnya, karena darah memiliki fungsi penting dalam pengaturet aan
fisiologis tubuh. Jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit menggambarkan kemampuan membawa
oksigen ke jaringan dan ekskresikan karbondioksida (CO2) dari tubuh. Ketiga parameter ini berjalan
sejajar dan memiliki fungsi terkait satu sama lain (Meyer et al. 2004). Nilai leukosit darah
menunjukakan ada tidaknya infeksi dalam tubuh, ketika terjadi infeksi maka nilai leukosit dalam darah
akan meningkat (Frandson 1996). Hasil uji mikrobiologis pemanfaatan limbah kubis fermentasi
dalam pellet calf starter sebanyak 6%, menghasikan bakteri asam laktat paling tertinggi disbanding 2
dan 4% (Sholikhah, 2015).
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji kualitas pelletcalf starter dengan
penambahan limbah kubis terfermentasi melalui uji biologis terhadap perkembangan rumen dan
kesehatan pedet Friesian Holstein yang ditinjau dari hematology darahnya. Manfaat dari penelitian ini
adalah memberikan informasi kualitas pellet calf starter dengan penambahan limbah kubis fermentasi
yang teruji secara biologis pada pedet FH dari gambaran hematology darahnya.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2016. Pembuatan pakan dilakukan di
Laboratorium Teknologi Makanan Ternak dan Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Pemeliharaan pedet bertempat di Balai Besar
Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden, Purwokerto.
Analisis sempel darah dilakuakan di Laboratorium Klinik Omnia Purwokerto.
Materi
Penelitian yang telah dilakukan menggunakan 12 ekor pedet Frisien Holstein (FH) lepas
colostrum dengan umur antara 7 hari – 42 hari, bahan penyusun pellet. Alat-alat yang digunakan
antara lain adalah peralatan pelleting, peralatan kandang, timbangan pedet dan peralatan tulis serta
peralatan laboratorium untuk pengambilan sampel darah.
Metode
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, pembuatan limbah kubis
fermentasi dan pembuatan pellet calf starter (Mukodiningsih et al, 2010), pelaksaaan, pengambilan
data, analisis sampel dan analisis data.
Tahap persiapan dilakukan kurang lebih 1 bulan yang meliputi pengadaan bahan pakan dan
peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian.
Pembuatan limbah kubis fermentasi dilakukan dengan cara, limbah kubis dipotong-potong
dengan ukuran ± 1 cm. Kemudian diblender hingga tekstur berubah seperti bubur. Limbah kubis yang
telah halus kemudian ditambahkan garam sebesar 6% dan gula 6,4% dari berat limbah kubis yang
dibuat. Campuran limbah kubis, garam dan gula lalu dibungkus dengan menggunakan plastik hingga
anaerob dan diperam selama 6 hari. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Sholikhah, 2015) limbah
kubis yang ditambah garam sebesar 6% dan diperam selama 6 hari menghasilkan total bakteri tertinggi
yaitu 1,1 x 108 cfug.
Pembuatan pelet meliputi beberapa proses, yaitu menyiapakan bahan baku seperti jagung giling,
bekatul, bungkil kedelai, molases dan mineral mix serta aquadest sebanyak 70% dari berat calf starter
yang dibuat. Selanjutnya adalah mencampur beberapa bahan baku pakan diatas dan ditambahkan
Aquadest sebanyak 35% dari total bahan pakan. mencampur formula calf starter yang disusun atas
dasar Total Digestible Nutrient (TDN) 79,10% dan Protein Kasar (PK) 19,61%
Proses selanjutnya adalah conditioning calf starter dengan cara dikukus menggunakan panci
pengukus dan kompor hingga suhu mencapai 800 C kemudian diangkat dan diangin-anginkan hingga
dingin. Setelah dingin kemudian dicampur fermentasi limbah kubis sesuai perlakuan yang diberikan
yaitu: T1 (2% limbah kubis terfermentasi + 100% Calf starter), T2 (4% limbah kubis terfermentasi +
100% Calf starter) dan T3 (6% limbah kubis terfermentasi + 100% Calf starter)
Hasil campuran ditambahkan aquadest sebanyak 35% (sisa aquadest), kemudian dicetak dengan
menggunakan mesin pelleter dengan lubang berdiameter 5 mm. Pengeringan pellet dilakukan hingga
diperoleh kadar air pellet sebesar 12,5 - 13%. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan inkubator
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
25
yang dilengkapai blower in dan blower out sebagai penguat aliran udara serta sumber pemanas
inkubator berasal dari luar kotak inkubator.
Tahap uji biologis (feeding trial) dilakukan dengan carapemberian formula pellet Calf starter plus
LKF pada pedet selama 5 minggu dengan 1 minggu pertama sebagai masa adaptasi dan 4 minggu
selanjutnya untuk pengambilan data. Kebutuhan nutrisi pedet dihitung berdasarkan bobot badan dan
pertambahan bobot badan per minggu sesuai dengan kebutuhan nutrisi pedet dalam NRC (2001)
dengan perbandingan susu dan Calf starter sebesar 60 : 40 dan hijauan secara ad libitum. Susu
diberikan pada pagi hari sekitar pukul 05.30 WIB dan sore hari sekitar pukul 15.30-16.00 WIB. Calf
starter diberikan 30 menit setelah pemberian susu sedangkan air minum diberikan ad libitum.
Parameter yang diamati meliputi adalah eritrosdit dan leukosit darah. Pengambilan sampel darah
dilakukan pada saat pedet berumur 3 minggu dan 6 minggu. Pengambilan sampel darah dilakukan
melalui vena jugularis menggunakan jarum venoject bermata dua dengan bantuan holder untuk
menampung darah pada tabung vacutainer yang berisi antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine
Tetraacetic Acid), sebanyak 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan dibawa ke Laboratorium untuk
dianalisis. Darah dalam bentuk whole blood digunakan untuk analisis hematology meliputi jumlah sel
darah merah (eritrosit) dan jumlah sel darah putih (leukosit).
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Analisys of Variance) untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap nilai hematology darah pedet FH , jika terjadi pengaruh
nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada tingkat
kepercayaan 5% (Steel dan Torrie, 1993).
Hasil dan Pembahasan
Sel Darah Merah (Eritrosit)
Hasil analisis kadar Eritrosit pada darah pedet dengan perlakuan pellet calf starter yang
ditambah limbah kubis terfermentasi dengan taraf berbeda dan rentang umur berbeda dapat dilihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Nilai Eritrosit.
Pakan Perlakuan
Umur Rata rata 3 minggu 6 minggu
----- (x 106/ml) --- T1 4,62 4,78 4,70 T2 4,83 4,93 4,88 T3 4,92 5,17 5,04 Rata-rata 4,79 4,96
Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa tidak ada pengaruh interaksi (P>0,05) antara
pemberian pellet calf starter yang ditambah limbah kubis terfermentasi dengan umur pedet terhadap
nilai eritrosit darah pedet. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pellet calf starter dengan
penambahan limbah kubis terfermentasi pada umur 3 dan 6 minggu menghasilkan nilai eritrosit yang
sama. Hasil ANAVA menunjukkan bahwa perbedaan umur tidak memberikan pengaruh nyata (P >
0,05) terhadap jumlah eritrosit, begitu juga dengan perlakuan jenis pakan memberikan pengaruh tidak
nyata (P > 0,05). Menurut Adeyemo et al., (2010) jumlah total eritrosit dipengaruhi oleh peningkatan
umur, kondisi nutrisi, aktivitas fisik dan jenis kelamin. Menurut Cunningham (1995) bahwa pedet saat
lahir hingga 6 minggu memiliki kondisi fisiologis yang sama, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin
jantan dan betina. Kondisi nutrisi calf starter yang diberikan pada pedet juga sama baik kandungan
protein maupun TDN. Hal ini menyebabkan jumlah produksi eritrosit darah pedet penelitian sama.
Namun masih dalam kisaran standart sesuai dengan pernyataan Weiss dan Wardrop (2010) bahwa
nilai normal eritrosit sapi berkisar 4,9-7,5 juta/ml. Guyton dan Hall (1996) menyatakan bahwafungsi
utama dari sel-sel darah merah adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya mengangkut oksigen
dari paru-paru ke jaringan.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
26
Sel Darah Putih (Leukosit)
Hasil analisis kadar Leukosit pada darah pedet dengan perlakuan pellet calf starter yang
ditambah limbah kubis terfermentasi dengan taraf berbeda dan rentang umur berbeda dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Nilai Leukosit
Pakan
Umur Rata –
rata 3 minggu 6 minggu
----- (/ml) ------- T1 11.325 10.567 10.946 T2 11.200 8.967 10.083 T3 9.800 8.633 9.216 Rerata 10.775 9.389
Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa tidak ada pengaruh interaksi (P>0,05) antara
pemberian pellet calf starter yang ditambah limbah kubis terfermentasi dengan umur pedet terhadap
nilai leukosit darah pedet. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pellet calf starter dengan
penambahan limbah kubis terfermentasi pada umur 3 dan 6 minggu menghasilkan nilai leukosit yang
sama. Hasil ANAVA menunjukakan bahwa perbedaan umur tidak memberikan pengaruh nyata (P >
0,05) terhadap penurunan jumlah leukosit, begitu juga dengan perlakuan pakan yang memberikan
pengaruh tidak nyata (P > 0,05). Rata rata jumlah leukosit yang didapat dari pedet hasil penelitian
berada dibawah standar maksimal yang disampaikan oleh Lumsden et al., (1980) yaitu bahwa pedet
yang berumur 2 minggu - 6 bulan memiliki nilai leukosit sebesar 5,6-13,7 x103/ml. Juga sesuai dengan
pernyataan Bami et al., (2008) yang menyatakan bahwa pedet yang berumur 7-24 hari memiliki
jumlah leukosit sebesar 10,92-13,88 x103/ml. Sedangkan menurut Weiss dan Wardrop (2010) Jumlah
Leukosit sapi normal adalah 5,1-13,3 x103/ml.
Sesuai dengan pernyataan Alakomi et al., (2000) bahwa bakteri asam laktat dapat menghambat
bakteri pembusuk dan bakteri patogen seperti bakteri gram negatif. Penurunan jumlah leukosit ini juga
menunjukan bahwa kesehatan ternak semakin baik karena jumlah leukosit darah dapat
mengindikasikan ada tidaknya infeksi dan penyakit pada ternak. Frandson (1996) menyatakan bahwa
sel darah putih (leukosit) merupakan salah satu sarana pertahanan tubuh terhadap suatu infeksi dan
apabila jumlah sel ini berlebihan, berkaitan dengan adanya penyakit yang bersifat kronis. Nilai
leukosit pedet pada umur 3 dan 6 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi
menunjukkan adanya penurunan jumlah dari umur 3 minggu ke 6 minggu. Hal ini dimungkinkan
karena fungsi organ tubuh pedet terutama rumen mulai berfungsi dengan baik sehingga kesehatan
ternak semakin membaik.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pedet yang
mendapatkan perlakuan pakan pellet calf starter yang ditambah limbah kubis terfermentasi dengan
taraf berbeda dengan umur berbeda hingga 6 minggu menghasilkan nilai eritrosit dan leukosit darah
sama. Perbedaan umur 3 dan 6 minggu menghasilkan nilai eritrosit dan leukosit darah sama. Taraf
penambahan limbah kubis fermentas dalam pellet calf starter juga menghasilkan nilai eritrosit dan
leukosit darah sama.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah atas
bantuan penyediaan materi dan dukungan tenaga teknis dalam penelitian sampai koleksi sampel,
laboratorium teknologi pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro atas fasilitas
yang telah diberikan.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
27
Daftar Pustaka
Alakomi HL, Skytta E, Saarela M, Mattila-Sandholm T. 2000. Lactid acid permeabilizes Gram negatif bacteria
by distrupting the outer membran. J. Appl. Enuiron. Microbiol. 66:2001-2005
Chuningham, G.G. 1995. Veterinary Fisiology. WR. Saunders Company, Tokyo.
Chuzaaemi, S. 2012. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. UB Press. Malang.
Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Phisiology. Saunders Company, USA.
Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
(Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan K. Praseno)
Greathead H. 2003. Plants and plant extracts for improving animal productivity. Proc Nutr Soc. 62:279-290.
Guyton, A.C. dan Hall. 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 9. EGC, Jakarta.
Krehbiel, C.R. , S.R. Rust, G. Zhang, and S.E. Gilliland. 2003. Bacterial direct fed microbials in ruminants diet:
Performance response and mode of action. J. Dairy Sci. 81 (2): 120-132.
Mayer, D.J. and J.W., Harvey. 1998. Veterninary Laboratory Medicine, Interpretation and Diagnostic 2nd Ed., W.
B. Saunders Company. Philadelphia, pp : 43-44, 48, 62-64.
Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 2004. Veterinary Laboratory Madicine Interpretation and Diagnosis.WB
Saunders Company, Philadelphia,Pennsylvania (US).
Mukodiningsih, S., S. Budhi A. Agus, Haryadi dan S.J. Ohh. 2010. Effect of molasses addition level to the
mixture of calf starter and corn fodder on pellet quality, rumen development and performance of
Holstein-Friesian calves in Indonesia. Journal of Animal Science and Technology 52 (3):229-236.
Mukodiningsih S, Achmadi J, Wahyono F, Sung K I and Ohh S J. 2016. Effect of feeding pellet type complete
calf starter combined with maize fodder and molasses on the rumen development of dairy calves.
Livestock Research For Rural Development 28 (5)
Murwani, R. 2008. Aditif Pakan. Universitas Negeri Semarang Press. Semarang.
National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. 7th Revised Edition. National Academy
Press, Washington D. C.
Nurhasanah, H. 1995. Pemeliharaan Pedet Sapi Perah, Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Parakkasi, A. 1999.Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Quigly, Jd., III, L. A. Caldwell, G. D. Sinks And R. N. Heitmann. 1991. Changes In Blood Glucose,
Noneterified Fatty Acid, And Ketones In Response To Weaning And Feed Intake In Young Calves. J.
Dairy Sci. 74: 250-257.
Sholikhah, S.C. 2015. Populasi Bakteri dan Keberadaan Bakteri Gram Pada PelletCalfStarter Dengan
Penambahan Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kubis Fermentasi. Fakultas peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro (Skripsi).
Suprihatin dan D. S. Perwitasari. 2010. Pembuatan asam laktat dari limbah kubis. Seminar Nasional Teknik
Kimia Soebardjo Brotohardjono. ISSN 1978-0427. 281-288.
Weiss D J And Wardrop K J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Blackwell Publishing .Lowa
USA.
Wudu & B. Kelay & H. M. Mekonnen & K. Tesfu. 2008. Calf morbidity and mortality in smallholder dairy
farms in Ada’a Liben district of Oromia, Ethiopia. Trop Anim Health Prod 40:369–376.Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
28
Makalah 005
Produksi Rumput Setaria Sphacelata yang Diberi Pupuk Kandang dengan Level
Berbeda pada Tanah Bekas Tambang Batubara di Bengkulu
Dwatmadji, Edi Soetrisno, Tatik Suteky, dan Yedi Efrison
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.
Jl. WR Supratman, Kandanglimun, Bengkulu. 38371.
Email: [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi produksi rumput Setaria sphacelata yang
diberi pupuk kandang pada tanah bekas tambang batubara di Bengkulu. Penelitian ini dilakukan di
tanah bekas tambang batubara PT Danau Mas Hitam, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi
Bengkulu dan dilakukan selama 4 bulan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan ulangan masing-masing perlakuan sebanyak 6 kali, yakni
P0: Tanpa pupuk, P1: Ditambah pupuk kandang dengan level 5 ton/ha, P2: Ditambah pupuk kandang
dengan level 10 ton/ha, P3: Ditambah pupuk kandang dengan level 15 ton/ha, dan P4: Ditambah
pupuk kandang dengan level 20 ton/ha. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi
tanaman (cm), panjang daun (cm), lebar daun (cm), jumlah anakan (batang), produksi segar (g), dan
produksi bahan kering (g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua parameter yang diamati dan semakin tinggi level pupuk
kandang maka semakin tinggi produksi rumput.
Pendahuluan
Saat ini luas lahan bataubara di Indonesia sudah mencapai 93,36 juta ha dengan pengelola
sebanyak 11.142 IUP (Ijin Usaha Pertambangan), 514 ribu ha diantaranya ada di Bengkulu (Indonesia
Investment, 2017). Akibat penambangan batubara, yang di Indonesia biasanya menggunakan teknik
tambang terbuka (open pit mining), kerusakan lahan menjadi sangat umum terjadi (Patiung, 2012).
Untuk mengembalikan kondisi lahan yang rusak pasca pasca penambangan batu bara (Stumpf et al.
2014) perlu dilakukan reklamasi (Sheoran et al., 2010). Salah satu keberhasilan reklamasi bekas
tambang batu bara adalah keberhasilan dalam melakukan revegetasi. Dalam reklamasi bekas tambang,
keberhasilan penanaman awal tanaman penutup tanah sangat penting untuk menjaga kestabilan lahan
dan untuk pemanfaatan lahan nantinya (Nicholas and McGinnies, 1982).
Reklamasi yang sukses biasanya diikuti beberapa langkah untuk menjamin kehidupan dan
pertumbuhan vegetasi, antara lain mencakup penimbunan dengan topsoils (topsoil stockpiling),
tambahan irigasi, penggunaan mulsa, dan pemupukan (Day and Ludeke, 1986). Lahan reklamasi
selanjutnya dapat digunakan untuk laha penggembalaan ternak (Yeiser et al., 2016). Pemupukan yang
dianggap paling murah dan mudah mendapatkannya adalah dengan menggunakan pupuk kandang.
Pupuk kandang diketahui pula sangat kaya akan unsur-unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh
tanaman (Eck et al., 1999; Sawyer dan Hoeft, 1990). Untuk itu, penelitian bertujuan untuk mengetahui
produksi rumput Setaria sphacelata yang diberi pupuk kandang dengan level berbeda pada tanah
bekas tambang batubara di Bengkulu.
Materi dan Metode
Penelitian dilakukan di lokasi lahan bekas tambang batubara di lahan PT Danau Mas Hitam,
Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu. Penelitian dilakukan selama 120 hari (4 bulan).
Penelitian menggunakan design RAKL (Rancangan Acak Kelompok Lengkap) dengan 4 perlakuan
yaitu P0: tanpa pupuk kandang, P1: dengan pupuk kandang 5 ton/ha, P2: dengan pupuk kandang 10
ton/ha, P3: dengan pupuk kandang 15 ton/ha, dan P4: dengan pupuk kandang 20 ton/ha, dengan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
29
masing-masing ulangan sebanyak 6 polybag. Tanah bekas tambang batubara diambil dan di ayak, dan
kemudian dicampur dengan pupuk kandang sesuai dengan perlakuan, dan dimasukkan kedalam
polybag. Rumput Setaria splendida ditanam dalam bentuk pols dan ditanam dalam polybag (30x50
cm) atau untuk berat 5 kg. Penyiraman dilakukan dua kali sehari, kecuali kalau ada hujan.
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi tanaman (cm), panjang daun (cm),
lebar daun (cm), jumlah anakan (batang), produksi segar (g/m2), dan produksi berat kering (g/m2).
Parameter produksi diukur pada minggu ke 12, sedangkan parameter lainnya diukur setiap minggu.
Perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan ANOVA (Daniel, 1991), dan apabila ada perbedaan
dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan menggunakan software SPSS.
Hasil dan Pembahasan
Produksi rumput
Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan produksi (baik
berat segar maupun berat kering) rumput Setaria secara nyata (P<0,05). Apabila dihitung berdasarkan
produksi berat kering, maka rumput Setaria pada P1, P2, P3, dan P4 mengalami kenaikan produksi
berturut-turut sebesar 10.64, 14.60, 16.32, dan 15.94 kali lipat dibanding P0. Tidak adanya perbedaan
produksi yang nyata (P>0,05) pada P3 dan P4 menunjukkan bahwa batas optimum pemberian pupuk
kandang dalam penelitian ini adalah pada P3 (15 ton/ha).
Tabel 1. Berat rata-rata dan standar deviasi produksi rumput berat segar dan berat kering Setaria
sphacelata (g/m2) yang diukur pada umur panen 12 minggu.
Perlakuan Berat segar Berat kering P0 66,3 ± 12,53 a
45,4 ± 8,20 a
P1 918,8 ± 101,33 b
705,4 ± 77,75 b P2 1.297,5 ± 88,83 c
967,9 ± 103,97 c P3 1.458,8 ± 112,53 d
1082,2 ± 102,48 d
P4 1.455,0 ± 62,63 d 1057,0 ± 42,29 d Superscript yang berbeda pada baris yang yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil peningkatan produksi akibat pemupukan dengan pupuk kandang ini sejalan dengan
penelitian Ako (1997) yang menunjukkan bahwa semakin banyak pemberian pupuk kandang maka
produksi berat kering Sorghum akan meningkat. Peningkatan produksi rumput Setaria pada penelitian
ini karena pertumbuhan akar yang semakin banyak, yang akhirnya juga mengakibatkan parameter
produksi lainnya (panjang daun, lebar daun, tinggi rumput, dan jumlah anakan) juga meningkat.
Secara umum, pemupukan (N) mampu meningkatkan produksi dan kandungan N rumput (Yossif and
Ibrahim, 2013; Anderson et al., 2010. Produksi berat kering rumput meningkat secara linear dengan
dosis pemupukan (N) sebesar 200 sd 400 kg N/ha/tahun (Sun et al., 2008).
Parameter pertumbuhan
Hasil pengukuran panjang daun, lebar daun, tinggi rumput, dan jumlah anakan yang dilakukan
selama 12 minggu untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemupukan dengan pupuk kandang
menyebabkan parameter pertumbuhan (panjang daun, lebar daun, tinggi tanaman, dan jumlah anakan)
pada P1, P2, P3, dan P4 lebih tinggi dibanding P0, terutama sejak rumput mencapai umur 4 s/d 7
minggu. Secara spesifik, pada pengukuran minggu ke 12, panjang daun, tinggi tanaman, dan jumlah
anakan pada perlakuan P1, P2, P3, dan P4 secara nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding P0.
Pertumbuhan yang lebih baik ini akhirnya berakibat dengan meningkatnya produksi biomasa (segar
dan berat kering) rumput Setaria pada penelitian ini (lihat Tabel 1). Pertumbuhan yang lebih cepat
akibat pemupukan pada rumput juga dinyatakan oleh Anderson et al., (2010), sehingga rumput terlihat
lebih kokoh dan dapat mengurangi invasi gulma; karakter tanaman yang juga diinginkan dalam proses
reklamasi. Meningkatnya parameter pertumbuhan karena penambahan pupuk kandang dalam
penelitian ini, diduga karena pupuk kandang mampu meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
30
air (water holding-capacity) (Ryals and Silver 2013) dan meningkatnya input carbon (C) tanah
sehingga menstimulasi pertumbuhan rumput (Ryals and Silver 2013; Owen et al., 2015).
Gambar 1. Hasil pengukuran panjang daun (cm), lebar daun (cm) , tinggi tanaman (cm) dan jumlah
anakan (buah) rumput Setaria sphacelata yang diukur pada umur 12 minggu.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan
produksi rumput Setaria sphacelata dan pemupukan sampai dengan level 15 ton/ha sudah efektif
meningkatkan produksi rumput Setaria sphacelata pada lahan bekas tambang batu bara di Bengkulu.
Daftar Pustaka
Ako, A. 1997. Pengaruh tingkat pemberian pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi rumput Gajah
(Pennisetum purpureum Schumach) dan Sorgum (Sorghum bicolor Moench). Media Veteriner. 4(2):34-
42.
Anderson, B.E., Volesky, J.D. and C.A. Shapiro. 2010. Fertilizing grass pastures and hayland. UNL Extension
publications, G1977. Institute of Agriculture and Natural Resources at the University of Nebraska–
Lincoln, USA.
Daniel, W.W. 1991 Biostatistics: A Foundation for Analysis in the Health Sciences. Fifth Edition. John Wiley &
Sons. New York.
Day, A.D. and K.L. Ludeke.1986. Reclamation and fertilization of coal mine soils in the Southwestern Desert.
Desert Plants. 8(1): 20-22.
Eck, H.V., S.R. Winter and S.J. Smith. 1990. Sugarbeet yield and quality in relation to residual beef feedlot
waste. Agron. J., 82:250-254.
Indonesia Investments, 2017. Batubara. https://www.indonesia-investments.com/id/ bisnis/ komoditas / batu-
bara/item236?. Diakses pada 10 Oktober 2017.
Nicholas, P.J. and W.J. Mcginnies. 1982. An evaluation of 17 grasses and 2 legumes for revegetation of soil and
spoil on a coal strip mine. Journal of Range Management. 35(3):288-293.
10
20
30
40
50
60
70
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Pan
jan
g d
aun
(cm
)
Minggu
P0
P1
P2
P3
P4
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
2.2
2.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Leb
ar d
aun
(cm
)
Minggu
P0
P1
P2
P3
P4
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jum
lah
an
akan
(b
uah
)
Minggu
P0
P1
P2
P3
P4
20
30
40
50
60
70
80
90
100
110
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tin
ggi
tan
aman
(cm
)
Minggu
P0
P1
P2
P3
P4
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
31
Owen, J.J., , Parton, W.J., and W.L. Silver. 2015. Long-term impacts of manure amendments on carbon and
greenhouse gas dynamics of rangelands. Global Change Biology. 21(12): 4533–4547
Patiung, O. 2012. Kajian dampak reklamasi lahan tambang batubara terhadap komponen fungsi hidrologis dan
ekologis das serta manfaat bagi masyarakat. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Ryals, R. and W. Silver. 2013: Effects of organic matter amendments on net primary productivity and
greenhouse gas emissions in annual grasslands. Ecol. Appl., 23(1): 46–59.
Sawyer, J.E. and R.G. Hoeft. 1990. Greenhouse evaluation of simulated injected liquid beef manure. Agron. J.
82:613-618.
Sheoran, V.; Sheoran, A. S.; and P. Poonia, P. 2010. Soil reclamation of abandoned mine land by revegetation: a
review. International Journal of Soil, Sediment and Water: Vol. 3, Iss. 2, Article 13. Available at:
http://scholarworks.umass.edu/intljssw/vol3/iss2/13.
Stumpf, L., Pauletto E.A., Fernandes, F.F., Suzuki, L.E.A.S,, Silva, T.S., Pinto, L.F.S. and C.L.R. Lima. 2014.
Perennial grasses for recovery of the aggregation capacity of a reconstructed soil in a coal mining area
in southern Brazil. Rev Bras Cienc Solo. 38:327-35.
Sun X, Luo, N. Longhurst, B., and J. Luo. 2008. Fertiliser nitrogen and factors affecting pasture responses. The
Open Agriculture Journal. 2:35-42.
Yeiser J.M., Baxley, D.L., Robinson, B.A., Morgan, J.J., Stewart, J.N. & J.O. Barnard. 2016. A comparison of
coal mine reclamation seed mixes in Kentucky: implications for grassland establishment in Appalachia.
International Journal of Mining, Reclamation and Environment. 30(3):257-267.
Yossif,A.M. and Y.M. Ibrahim. 2013. Effect of fertilizers (urea, farmyard and chicken manure) on growth and
yield of Rhodes grass (Chloris Gayana L. Knuth.). Universal Journal of Plant Science. 1:85-90. doi:
10.13189/ujps.2013.010305.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
32
Makalah 006
Pemanfaatan Umbi Amorphophallus companulatus terhadap Pertumbuhan Broiler
Theresia Nur Indah Koni1,2, Zuprizal2,, Rusman2
, Chusnul Hanim2
1Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang 2Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan umbi Amorphophallus
companulatus dalam pakan terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan konveri pakan broiler.
Penelitian ini dilakukan selama lima minggu, menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari
empat perlakuan, empat ulangan dan setiap ulangan menggunakan tujuh ekor broiler. Keempat
perlakuan yaitu (P0) : Ransum kontrol (tanpa Amorphophallus companulatus); (P1) ransum dengan
kandungan Amorphophallus companulatus 5%; (P2) ransum dengan kandungan Amorphophallus
companulatus 10%; (P3) ransum dengan kandungan Amorphophallus companulatus 15%. Data
dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji lanjut jarak berganda Duncan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan umbi Amorphophallus companulatus menurunkan
konsumsi, bobot badan dan konversi pakan (P < 0,01).
Kata kunci: Amorphophallus companulatus, konsumsi pakan, bobot badan, konversi pakan, Broiler
Pendahuluan
Pakan penting dalam pemeliharaan ternak, pengadaan pakan dapat mencapai 70% dari total
biaya produksi (Abdulrashid dan Agwunobi, 2009; Maidala dan Bilkisu. 2016). Jagung merupakan
sumber energi utama dalam pakan ayam broiler, penggunaannya mencapai 50%, jagung juga
merupakan bahan pangan dan untuk kebutuhan dalam negeri masih diimpor sehingga harga pakan
menjadi relatif tinggi (Mathius and Sinurat 2001). Untuk mengatasinya maka perlu dimanfaatkan
bahan pakan sumber energi alternatif dari hasil pertanian maupun limbah pertanian.
Umbi tanaman Amorphophallus companulatus (AC) dapat dijadikan bahan pakan. Tanaman
ini merupakan tanaman yang tumbuh secara liar di hutan dan belum dibudidayakan secara luas di
Indonesia (Santosa et al. 2015). Di India tanaman ini sudah dibudidayakan, mempunyai produksi 50-
80 ton/ha (Ravi et al. 2009). Koni et al (2015) mengemukakan bahwa di NTT tanaman ini tumbuh
banyak pada saat musim hujan namun masih dianggap sebagai gulma, produksi tanaman ini 4-5 kg
umbi per rumpun. Umbi tanaman Amorphophallus telah digunakan sebagai bahan pangan tradisional
di Malaysia, Filipina, Banglades, dan India (Ravi et al.. 2009; Paul et al. 2013, Santosa et al. 2013)
digunakan sebagai obat tradisional (Ravi et al. 2009) dan sebagai bahan pakan (Paul et al. 2013).
Tanaman ini memiliki kandungan fosfor 34 mg/100 g kalsium 50 mg/100 g dan vitamin A 434 IU/100
g (Ravi et al. 2009), protein kasar 7,33%, dan gross energi 3570,60 kcal/kg ( Koni et al. 2015),
0,46% lemak, 32.1 mg/100 g kalsium dan 1,68% serat kasar (Peetabas et al., 2015). Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji tingkat penggunaan yang dapat memberikan pertumbuhan, yang terbaik
pada ayam broiler.
Materi dan Metode
Persiapan kandang. Satu bulan sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan
pembersihan kandang menggunakan air dan detergen, dilanjutkan dengan penyucihamaan kandang
dan peralatan menggunakan desinfektan.
Persiapan umbi Amorphophallus sp. Umbi AC diambil dari desa Amarasi Timur kecamatan
Amarasi Timur Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Umbi dibersihkan dengan air mengalir
untuk mengeluarkan tanah pada kulit umbi. Umbi diiris lebih ± 7 cm dengan ketebalan ± 3 cm dan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
33
kemudian dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari selama ± 2 hari, setelah kering
umbi ini digiling. Pakan disusun berdasarkan formulasi dengan kadar penggunaan umbi AC. Pakan
perlakuan disusun dengan kandungan protein kasar berkisar 21,02 hingga 21,39% dan energi
metabolisme 3027,17- 2044,77 kcal/kg (Tabel 1)
Tabel 1. Formulasi (%) dan kandungan nutrien pakan perlakuan
No Bahan Pakan Level umbi Amorphophallus companulatus (%) 0 5 10 15
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jagung Dedak Halus Tepung daging dan tulang Bungkil
Kedelai Premix DL-Metionin L- Lysin HCl NaCl Amorphophallus companulatus Total
53,00 13,00 7,35
25,00 0,50 0,30 0,60 0,25 0,00 100
50,50 10,50 7,35
25,00 0,50 0,30 0,60 0,25 5,00 100
48,00 8,00 7,35
25,00 0,50 0,30 0,60 0,25
10,00 100
45,50 5,50 7,35 25,00 0,50 0,30 0,60 0,25 10,00 100
Kandungan nutrien pakan perlakuan 1 Bahan Kering (%) 86,77 86,56 86,35 86,14 2 Protein kasar (%) 21,39 21,27 21,15 21,02 3 Energi Metabolisme (Kcal/kg) 3027,17 3029,32 3031,47 3033,62 4 Serat Kasar (%) 4,25 4,02 3,79 3,57 5 Lemak Kasar (%) 4,24 3,97 3,71 3,44 6 Calsium (%) 0,91 0,90 0,90 0,89 7 Fosfor (%) 0,48 0,48 0,49 0,49 8 Lisin (%) 1,02 1,01 1,00 1,00 9 Metionin (%) 0,53 0,53 0,52 0,52
Percobaan biologis. Penelitian ini menggunakan ayam broiler jantan. Pakan yang diberikan
dalam bentuk mash, pakan dan air minum diberikan ad libitum. Untuk pencegahan penyakit Newcastle
Disease (ND) dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin “medivac ND Hitchner B1” pada umur 4
hari dengan cara tetes mata. Jumlah pakan yang diberi dan sisa pakan ditimbang setiap hari untuk
mengetahui konsumsi harian per kelompok. Berat ayam ditimbang seminggu sekali sampai umur lima
minggu.
Parameter penelitian yaitu konsumsi pakan, bobot badan, konversi pakan. Konsumsi pakan
diperoleh dengan menghitung selisih antara jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan sisa
(gram/ekor). Bobot badan ditimbang setiap minggu selama penelitian. Konversi pakan diperoleh
dengan cara membagi jumlah pakan yang dihabiskan dengan pertambahan bobot badan.
Penelitian ini yaitu rancangan acak lengkap pola searah, dengan empat perlakuan dan empat
ulangan, masing-masing ulangan berisi 7 ekor ayam. Keempat perlakuan yaitu (P0) : Ransum tanpa
AC; (P1) ransum dengan kandungan AC 5%; (P2) ransum dengan kandungan AC 10%; (P3) ransum
dengan kandungan AC 15%.
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Gasperz, 1991)
Hasil dan Pembahasan
Konsumsi Pakan
Rataan konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan ditampilkan pada pada Tabel 2.
Konsumsi ayam broiler selama lima minggu berkisar 1824,43 hingga 2637,14 gram. Penggunaan
umbi AC dalam ransum nyata (P<0,01) menurunkan konsumsi ransum ayam broiler
Tabel 2. Rerata konsumsi pakan, bobot badan, konversi pakan ayam broiler yang diberi umbi AC
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
34
Perlakuan Parameter
Konsumsi pakan (g/ekor) Bobot badan (g/ekor) Konversi Pakan P0 2637,14 ± 46,96d 1525,37 ± 43,31c 1,97 ± 0,05b P1 2083,61 ± 42,49c 914,43 ± 10,02b 2,67 ± 0,02a P2 1946,15 ± 53,12b 889,39 ± 10,38b 2,59 ± 0,07a P3 1824,43 ± 50,42a 775,17 ± 79,51a 2,84 ± 0,30a
Keterangan : (P0) pakan tanpa AC; (P1) pakan dengan AC 5%; (P2) pakan dengan AC 10%; (P3) pakan
dengan AC 15%. Perlakuan sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot badan
serta konversi pakan (P<0,01). abcd superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)
Perbedaan konsumsi ini kemungkinan karena palatabilitas pakan yang berbeda, selain itu
kemungkinan karena adanya zat antinutrien yang ada pada umbi umbi AC. Scoot et al. (1982)
menyatakan bahwa jumlah konsumsi dipengaruhi oleh ada tidaknya antimetabolit di dalam pakan.
Amrullah (2004) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi ransum adalah
ternak itu sendiri, lingkungan fisik dan makanan. Faktor ternak seperti tipe ayam, umur, status
fisiologis. Lingkungan fisik seperti temperatur udara. Faktor makanan seperti kandungan energi
ransum, serat kasar, palatabilitas, lemak kasar, bentuk fisik ransum, aroma, warna. Pada penelitian ini
kandungan energi ransum hampir sama (Tabel 1) sehingga kadar energi kemungkinan tidak
memberikan dampak pada konsumsi.
Kemungkinan adanya anti nutrien dalam umbi AC sehingga membatasi konsumsi. Ravi et al.
(2009) mengemukakan bahwa tanaman Amorphophallus mengandung oksalat yang cukup tinggi.
Amorphophallus companulatus yang dibudidayakan di India mengandung oksalat 2,91 - 18,50
mg/100 g (Chattopadhyay et al., 2010); tepung Amorphophallus mueleri mengandung oksalat 6,24%
(Wijanarko et al., 2011). Kadar oksalat pada umbi AC dalam penelitian ini 318.51 ± 3,210 mg/kg,
sehingga pada pakan yang mengandung AC 5,10 dan 15% mempunyai kandungan oksalat 15,93,
31,86 dan 47,78 mg/kg. James dan Butcher (1972) mengemukakan bahwa kandungan oksalat yang
tinggi pada pakan akan menurunkan konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air. Bahan makanan
yang mengandung oksalat dapat menyebabkan pembengkakan dinding rumen pada ternak ruminansia
(Cheeke dan Shull, 1985), menurunkan penyerapan kalsium, sehingga terjadi hipokalsemia dan terjadi
pembentukan kristal kalsium oksalat pada ginjal (Cheeke, 1995), menimbulkan rasa gatal dan iritasi
pada bibir, mulut dan kerongkongan (Lane,1994; Haryani dan Hargono, 2008), dan terjadi kerusakan
mekanis pada dinding saluran urinaria herbivora (Rahman et al., 2012).
Bobot Badan
Bobot badan ayam pada penelitian ini berkisar 775,17 hingga 1525,37 gram/ekor.
Penggunaan umbi AC sangat nyata (P<0,01) menurunkan bobot badan broiler. Semakin tinggi
penggunaan tepung umbi AC maka bobot badan makin menurun. Rendahnya bobot badan yang
diperoleh disebabkan karena rendahnya konsumsi pakan sehingga asupan nutrien yang diperlukan
oleh tubuh untuk bertumbuh pun tidak tersedia. Wahju (1997) bahwa konsumsi ransum yang tinggi
akan memberikan pertambahan bobot badan yang tinggi. Selain itu adanya oksalat pada bahan pakan
akan mengikat kalsium sehingga ternak akan mengalami kekurangan kalsium. Kalsium merupakan
mineral yang diperlukan dalam kontraksi otot dan pertumbuhan.
Oksalat mempunyai sifat mengikat mineral seperti kalsium, magnesium sehingga mineral
tersebut tidak tersedia bagi tubuh. Kalsium merupakan mineral yang penting bagi unggas, kekurangan
kalsium dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, menurunnya konsumsi pakan, osteoporosis,
bentuk tubuh yang abnormal, peningkatan volume urin, kejang dan menurunnya ketebalan tulang dan
kerabang telur (Scoot et al., 1982; Wahju, 1997), kalsium berperan dalam proses fisiologi seperti
kontraksi otot, pembekuan darah (Centeno et al. 2009). Scoot et al. (1982) mengemukakan tubuh
ayam dengan bobot badan 2 kg mengandung 15 g kalsium dan kandungan normal kalsium plasma
pada ayam yang berumur 2 minggu yaitu 8,62 mg dan fosfor 5,44 mg. Pada tulang mengandung 37%
kalsium dan 18% fosfor (Amrullah, 2004).
Allison et al. (1981) menyatakan bahwa pada ternak ruminansia mempunyai ketahanan yang
lebih tinggi pada oksalat karena oksalat dicerna oleh mikro organisme di dalam rumen. Rahman
et al. (2012) mengemukakan bahwa agar tidak berdampak negatif pada ternak maka sebaiknya
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
35
kandungan oksalat dalam pakan ternak non-ruminansia lebih kecil dari 0,5% sedangkan untuk
ruminansia dapat mencapai 2%.
Konversi Pakan
Penggunaan umbi AC sangat nyata (P< 0,01) berpengaruh pada nilai konversi ransum.
Rendahnya nilai konversi ransum pada perlakuan penggunaan umbi AC disebabkan karena konsumsi
yang tidak seimbang dengan bobot badan yang dihasilkan. Menurut Amrullah (2004) faktor yang
mempengaruhi konversi ransum adalah mutu ransum, umur dan strain, semakin baik mutu ransum
semakin baik nilai konversinya. Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa pakan kontrol
nyata memiliki nilai konveri pakan yang lebih baik daripada perlakuan penggunaan umbi AC
sedangkan antara perlakuan penggunaan umbi 5, 10 dan 15% tidak berbeda nyata (P>0,05).
Simpulan
Pemberian umbi AC dalam pakan broiler menurunkan konsumsi, bobot badan dan nilai konversi
pakan. Disarankan agar sebelum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ayam sebaiknya umbi ini diolah
untuk menghilangkan kandungan anti nutrien.
Daftar Pustaka
Abdulrashid, M. and L.N. Agwunobi. 2009. Taro cocoyam (Colocasia esculenta) meal as feed ingredient in
poultry. Pakistan Journal of Nutrition. 5: 666 – 673
Allison, M. J., H. M. Cook, and K. A. Dawson. 1981. Selection of oxalate degrading rumen bacteria in
continuous cultures. Journal of Animal Science. 53: 810- 815
Amrullah, K.I. 2004. Nutrisi Broiler. Cetakan II. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor.
Chattopadhyay, A., B. Saha, S. Pal, A. Bhattacharya and H. Sen. 2010. Quantitative and qualitative aspects of
elephant foot yam. International Journal of Vegetable Science. 16: 73-84.
Centeno, V., G.D. de-Barboza, A. Marchionatti, V. Rodriguez and N.T. de- Talamoni. 2009.
Molecular mechanims triggered by low-calsium diets. Nutrition Research Reviews. 22: 163 -174.
Cheeke, P.R., and L.R. Shull. 1985. Natural toxicants in feeds and poisonous plants. AVI publishing company,
INC. Westport, Connecticut.
Cheeke, P.R. 1995. Endogenous toxins and mycotoxins in forage grasses and their effects on livestock. Journal
of Animal Science. 73: 909 – 918.
Gasperz, V. 1991. Teknik Analisa Dalam Penelitian Percobaan. Cetakan III. Tarsito. Bandung.
Haryani, K. and Hargono. 2008. Proses pengolahan iles-iles (Amorphophallus sp.) menjadi glukomannan
sebagai gelling agent pengganti boraks. Momentum.4(2): 38–41.
James, L.F. and J.E. Butcher .1972. Halogetan poisoning of sheep: effect of high level oxalate oxalate intake.
Journal of Animal Science 35: 1233-1238.
Koni, T.N.I., A. Paga, R. Wea and T.A. Foenay. 2015. Nutritive value and metabolizable energi of
Amorphophallus companulatus fermented by Rhyzopus oligosporus as poultry feed. Pakistan Journal of
Nutrition. 6: 322 - 324.
Lane, B.G.1994. Oksalat,germin and the extracelluler matrix of higher plants. The Fabse J. 1: 294 – 301
Maidala, A. and A. I., Bilkisu. 2016. Utilization of Millet (Pennisetum Spp) as an Energy Source by Broiler
Chickens: A Review International Journal of Agriculture and Earth Science. 2 (7): 18-24.
Mathius, I.W, dan A.P. Sinurat. 2001. Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak. Wartazoa. 11:20-
31.
Paul, K.K., M.A Bari, S.M.S Islam and S.C. Debnath. 2013. In vitro shoot regeneration in elephant foot yam,
Amorphophallus companulatus Blume. Plant Tissue Culture and Biotechnology. 23: 121-126.
Peetabas, N., R.P. Panda, N. Padhy and G. Pal,2015. Nutritional composition of two edible aroids. Int. J.
Bioassays, 4: 4085-4087.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
36
Rahman, M.M., R.B. Abdullah and W.E.W. Khadijah. 2012. A review of oxalate poisoning in domestic animals:
tolerance and performance aspects. Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition. 97: 605 – 614.
Ravi, V., C.S. Ravindran, and G. Suja, 2009. Growth and productivity of elephant foot yam ( Amorphophallus
paeoniifolius (Dennst) Nicolson). J. Root Crops, 35: 131-142.
Santosa, E., S. Halimah, A.D. Susila, A.P. Lontoh, Y. Mine and N. Sugiyama, 2013. KNO3 application affect
growth and production of Amorphophallus muelleri blume. Indo. J. Agro.,41: 228 – 234.
Santosa, E., A. D. Susila, A.P. Lontoh, A. Noguchi, K.Takahata and N. Sugiyama. 2015. NPK fertilizers for
elephant foot yam (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) intercropped with coffee trees. J.
Agron. Indonesia 43 (3) : 257 – 263.
Scoot, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken. 3rd ed. M.L. Scott & Associates.
Ithaca, New York.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Widjanarko, S.B., A. Nugroho and T. Estiasih. 2011.Functional interaction components of protein isolates and
glucomannan in food bars by FTIR and SEM. African Journal of Food Science. 1: 12 - 21
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
37
Makalah 007
Suplementasi Enzim Celulase dan Precursor Karnitin Serta Minyak Ikan dalam
Ransum Pengaruhnya terhadap Kadar Eikosapentaenoic Acid (EPA) DAN
Dokosaheksaenoic Acid ( DHA) Telur Ayam Kampung
Sudibya dan J. Riyanto
Prodi Peternakan Fakultas Pertanian UNS
Abstrak
Produk formula pakan dan telur ayam kampung yang kaya asam lemak omega-3 dan rendah
kolesterol belum banyak diungkap maka sangat perlu untuk diteliti. Penelitian serupa sudahdilakukan
pada ayam broiler, burung puyuh, sapi potong,domba,sapi perah serta kambing perah merupakan
bahan pijakan. Tujuan khusus penelitiZan ini untuk mengkaji kadar EPA dan DHA telur ayam
kampung. Menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dengan 6 kali ulangan. Setiap
unit ulangan berisi 5 ekor ayam kampung betina periode produksi. Perlakuannya masing-masing:P0=
Ransum kontrol, P1=P0+0,1% enzim selulase,P2=P1 +L-karnitin 30 ppm, P3=P2 +minyak ikan tuna
dengan level 4% dalam ransum, P4=P3+ minyak ikan lemuru dengan level 4% dalam ransum. Hasil
analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi enzim selulase dan minyak ikan serta l-karnitin
dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar EPA dari 0,09% menjadi 2,95% dan
DHA mulai dari 0,31% hingga 3,9 % pada telur ayam kampung. Kesimpulannya adalah suplementasi
enzim selulase dan minyak ikan serta l-karnitin dalam ransum mampu meningkatkan kadar EPA
dan DHA telur ayam kampung.
Kata kunci: enzim selulase,l-karnitin, minyak ikan tuna dan minyak ikan lemuru.
Pendahuluan
Membuat produk telur ayam kampung yang kaya akan asam lemak omega-3 dan 6 serta rendah
kolesterol merupakan terobosan baru untuk menghasilkan produk hewani yang sehat. Produk tersebut
dapat dibuat dengan memanipulasi yakni dengan suplementasi asam lemak PUFA dalam konsentrat dan
secara terproteksi serta precursor karnitin yang dicampur dalam ransum. Selanjutnya perlu dikaji
perubahan komposisinya dari produk tersebut setelah dilakukan pemasakan (telur masak dan sate ayam
kampung) dengan cara uji organoleptik dan kimiawi.
Penelitian tentang produk telur dan daging ayam kampung yang kaya asam lemak omega-3
belum banyak diungkap, namun sebagai bahan pijakan pada telur puyuh,daging ayam broiler, sapi
potong pernah dilakukan oleh Sudibya dkk.(2003) yang dilanjutkan pada tahun (2006) serta pada tahun
(2007) pada ternak kambing dan pada tahun (2009) pada sapi perah, tahun (2012) pada air susu
kambing serta tahun (2013) pada telur puyuh hasilnya sangat signifikan oleh karena itu bila metode
tersebut diterapkan pada itik dan kelinci dampaknya tidak mengalami perbedaan.
Suplementasi enzim selulase dalam ransum mampu merombak struktur selulosa menjadi gula-
gula reduksi yang akan digunakan sebagai sumber energi yang potensial bagi ternak dan dapat
meningkatkan nilai kecernannya.
Penambahan L-karnitin dalam pakan yang mengandung lemak sangat dibutuhkan, L-karnitin
berperan dalam transfer asam lemak rantai panjang untuk melintasi membran dalam mitokondria
menuju ke matriks mitokondria sehingga meningkatkan hasil energinya (Owen, 1996). Selanjutnya
Suplementasi L-karnitin juga dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol daging, dapat
meningkatkan digestibilitas nutrient, memperbaiki konversi pakan dan dapat menurunkan kandungan
lemak karkas (Owen et al., 2001).
Sumber asam lemak omega-3 banyak dijumpai pada ikan laut, utamanya ikan lemuru, ikan tuna
dan ikan hiu. Ikan lemuru bila di pres akan menghasilkan minyak ikan yang banyak mengandung asam
lemak omega-3 utamanya EPA (Eikosapentaenoat) 34,17% dan DHA (Dokosaheksaenoat) sebanyak
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
38
17,40 persen dan kandungan lemaknya 6% serta TDN 182 kkal/kg sedang minyak ikan Tuna bila di
pres akan menghasilkan minyak ikan yang banyak mengandung asam lemak omega-3 utamanya EPA
(Eikosapentaenoat) 33,6hingga 44,85% dan DHA (Dokosaheksaenoat) sebanyak 14,64% serta
mengandung lemak 5,8% dan TDN 178 kkal/kg (Sudibya dkk. 2010 dan 2013). Atas dasar perbedaan
kandungan tersebut perlu diteliti untuk dibandingkan.
Minyak ikan merupakan sumber lemak. Manipulasi metabolisme lemak dalam rumen ditujukan
untuk menghasilkan dua partikel yang pertama mengontrol pengaruh antimikroba dari asam lemak
untuk meminimkan gangguan fermentasi rumen, sehingga level lemak tertinggi dapat dimasukkan
dalam pakan, kedua mengontrol biohidrogenasi untuk meningkatkan absorpsi asam lemak yang
dikehendaki untuk meningkatkan kualitas nutrisi produk ternak (Chillard, 1993). Suplementasi minyak
ikan dalam pakan harus dengan dosis tertentu agar tidak mengganggu aktivitas mikroorganisme
rumen. Jenkins (1993) menyatakan bahwa penambahan minyak ikan dalam pakan ruminansia tidak
boleh lebih dari 6-7% dari bahan kering ransum karena akan mempengaruhi fermentasi
mikroorganisme rumen.Asam lemak tak jenuh dapat mengalami hidrogenasi dalam rumen menjadi
lemak jenuh padat yang sulit dicerna.Oleh karena itu agar tidak menganggu aktivitas rumen, sebelum
dicampur dalam pakan, lemak diberi perlakuan. Salah satu cara memproteksi asam lemak diantaranya
dapat dilakukan dengan diikat pada ion logam yang dapat membentuk garam asam lemak atau lebih
dikenal sebagai sabun.
Sudibya (1998) fungsi asam lemak omega-3 dalam menurunkan kadar kolesterol melalui dua
cara yakni: 1) merangsang ekskresi kolesterol melalui empedu dari hati ke dalam usus dan 2)
merangsang katabolisme kolesterol oleh HDL ke hati kembali menjadi asam empedu dan tidak
diregenerasi lagi namun dikeluarkan bersama ekskreta.
Telur dan daging ayam kampung biasanya dikonsumsi oleh manusia dalam keadaan dimasak
(telur dan sate ayam) sehingga perlu dilakukan uji organoleptik (rasa, bau dan warna) dan kandungan
asam lemak omega-3 apakah mengalami perubahan atau tidak serta produk oksidasi lemak dengan
kadar peroksida serta kadar malonaldehid dengan uji TBA (asam thiobarbiturat).
Atas dasar pemikiran di atas perlu adanya penelitian dengan judul “Suplementasi Enzim
Selulase dan Precursor Karnitin serta Minyak Ikan Dalam Ransum Pengaruhnya Terhadap Kadar
Eikosapentaenoat dan Dokosaheksaenoat Telur Ayam Kampung“.
Materi dan Metode
Materi
- Enzim selulase merk cellupract
- L-Karnitin (pada formula susu bubuk merk L- Men) mengandung 50.000 ppm dengan kadar
protein kasar 30 persen dan berwarna coklat
- Ayam kampung betina fase produksi sejumlah 150 ekor
- Ransum dasar sesuai dengan perlakuan
- Ekstrak asam lemak tak jenuh yang diperoleh dari minyak ikan tuna dan minyak ikan lemuru
Metode
Menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan masing-masing yakni:
P0= Ransum control (bekatul, jagung kuning dan konsentrat untuk ayam petelur ).
P1=P0+enzim selulase 0,1% dalam ransum
P2=P1 +L-karnitin 30 ppm setara dengan 0,003% dalam ransum,
P3=P2 + minyak ikan tuna dengan level 4% dalam ransum
P4=P2 + minyak ikan lemuru dengan level 4% dalam ransum
dan diulang sebanyak 6 kali. Setiap unit ulangan berisi 5 ekor ayam kampung betina siap produksi.
Susunan ransum pada penelitian ini dilihat pada tabel 1,,2,3 dan 4.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
39
Tabel 1. Kebutuhan nutrient ayam kampung umur layer (>20 minggu)
Kandungan Nutrient Layer
Protein kasar 17
ME (kkal/kg) Min 2750
Serat kasar (%) 10
Lemak kasar (%) 7
Kalsium (%) 1
Phospor tersedia (%) 0,4
Sumber :Sudaryani dan Santoso (2003) serta Iskandar (2006)
Tabel 2. Kandungan nutrien bahan pakan yang digunakan
Kandungan Nutrien ME PK LK SK Ca P Abu
Bekatul1) 2887 12 10,7 5,2 0,04 1,27 7,70
Jagung kuning 3321 8,9 4,0 2,2 0,02 0,08 1,7
Konsentrat ayam petelur3) 1960 36 2,0 8,0 12 15 35
Minyak ikan tuna2) 8260 - 5,8 0,75 - - -
Minyak ikan lemuru3) 8280 - 6,0 0,76 - - -
L-karnitin - 30 - - - - -
Mineral - - - - 22 15 16
1)Hartadi et al (2005)
2)Sudibya dkk.,(2015) 3) Comfeed (2017)
Tabel 3.Susunan ransum pada ayam kampung
Macam bahan ransum (%) P0 P1 P2 P3 P4 Bekatul 50 50 50 50 50 Jagung kuning 25 25 25 25 25 Konsentrat ayam petelur 25 25 25 25 25 Enzim selulse 0 0,1 0,1 0,1 0,1 L-Karnitin 0 0 0,003 0,003 0,003 Minyak ikan tuna 0 0 0 4 0 Minyak ikan lemuru 0 0 0 0 4 Total 100 100,1 100,103 104,103 104,103
Tabel 4. Kandungan nutrien ransum perlakuan
Kandungan nutrien P0 P1 P2 P3 P4
Protein kasar (%) 17,225 17,225 17,225 17,225 17,225 ME kkal/kg 2763,750 2763,750 3094,150 3094,950 3094,950 Lemak kasar (%) 6,850 6,850 7,080 7,090 7,090 Serat kasar (%) 5,150 5,150 5,150 5,150 5,150 Kalsium (%) 3,020 3,020 3,020 3,020 3,020
Phospor (%) 0,230 0,230 0,230 0,230 0,230 Sumber: Hasil perhitungan berdasar Tabel 3
Tabel 5. Kandungan nutrien (100%)
Kandungan nutrien P0 P1 P2 P3 P4
Protein kasar (%) 17,225 17,225 17,225 17,225 17,225 ME kkal/kg 2763,750 2763,750 3094,150 3094,950 3094,950 Lemak kasar (%) 6,850 6,850 7,080 7,090 7,090 Serat kasar (%) 5,150 5,150 5,150 5,150 5,150 Kalsium (%) 3,020 3,020 3,020 3,020 3,020
Phospor (%) 0,230 0,230 0,230 0,230 0,230 Sumber: Hasil Perhitungan Berdasar Tabel 4
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
40
Peubah yang diukur yakni:
- Kadar asam lemak eikosapenaenoat (EPA) dan dokosaheksaenoat (DHA) pada telur ayam
kampung dengan metode (AOAC, 2001).
- Uji organoleptik (rasa, warna dan bau) dan kadar peroksida telur (Adnan, 1980).
Analisis Data :
Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan uji kontras orthogonal (Steel dan Torrie,
1980 ). Model matematik yang digunakan yaitu :
Yij= + αi + ij
(i=1,2, 3,4 dan 5; j=1,2, 3,4,5 dan 6 )
yang mana:
Yij =Pengamatan pada unit eksperimen ke-j dalam suplementasi minyak ikan dan precursor karnitin
dalam ransum yang mengandung enzim selulase ke-i
= Rataan umum
i = Pengaruh suplementasi minyak ikan dan precursor karnitin dalam ransum yang mengandung
enzim selulase ke-i
ij = Pengaruh kesalahan percobaan ke-j dalam suplementasi minyak ikan dan precursor karnitin
dalam ransum yang mengandung enzim selulase ke-i
Hasil dan Pembahasan
Kadar Asam lemak EPA (Eikosapentaenoat ) dalam telur ayam kampung
Kadar asam lemak EPA yang tertinggi pada perlakuan P4 yakni 2,95 % sedangkan yang
terendah pada perlakuan P0 yakni 0,09 persen.Data selengkapnya terlihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan kadar EPA serta DHA pada telur ayam kampung
Peubah yang diukur P0 P1 P2 P3 P4
Kadar EPA (%) 0,09a 0,07a 0,23a 2,80b 2,95b
Kadar DHA (%) 0,31a 0,34a 0,35a 3,80b 3,90b
Ket: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01)
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi minyak ikan dan l-karnitin
30 ppm dalam ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh sangat nyata (P<0,01
) terhadap kadar EPA pada telur. Dari uji lanjut orthogonal kontras terlihat bahwa kadar EPA telur
pada P0 dan P1 serta P2 berbeda sangat nyata dengan P3 dan P4. Selanjutnya P3 dan P4 berbeda tidak
nyata terhadap kadar EPA telur.
Pada perlakuan P1 dan P2 yakni suplementasi enzim selulase dan L-karnitin 30 ppm dalam
ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh tidak nyata (P>0,05 ) terhadap kadar
EPA, hal ini dapat dijelaskan bahwa enzim selulase dan l-karnitin (bahan keduanya) tidak
mengandung sumber asam lemak tak jenuh, sehingga tidak dapat meningkatkan deposisi EPA dalam
telurnya.
Pada perlakuan suplementasi minyak ikan tuna (P3 ) dan minyak ikan lemuru (P4) berpengaruh
sangat nyata dapat meningkatkan kandungan EPA telur ayam, hal ini karena kedua minyak ikan
tersebut mengandung asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi sehingga mampu meningkatkan kadar
asam lemak esensiel utamanya kadar EPA dalam telurnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suarez et
al. ( 1996 ) yang menyatakan bahwa suplementasi asam lemak omega-3 pada ransum berpengaruh
terhadap konsentrasi asam lemak tak jenuh utamanya EPA pada jaringan tubuh. Hal ini diperjelas
dalam penelitian Sudibya dkk (2006,2007,2009,2015 dan 2016) bahwa produk daging sapi,daging
kambing,daging domba, air susu kambing dan air susu sapi perah (semua produk tersebut kaya akan
EPA ) apabila dalam ransumnya disuplementasi dengan sumber asam lemak tak jenuh tinggi (minyak
ikan tuna dan minyak ikan lemuru ) .Selanjutnya P3 berbeda tidak nyata dengan P4, hal ini disebabkan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
41
oleh kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak ikan tuna dengan minyak ikan lemuru yang relatif
sama sehingga pengaruhnya tidak nampak berbeda.
Kadar Asam lemak DHA (Dokosaheksaenoat) dalam telur ayam kampung
Kadar asam lemak DHA yang tertinggi pada perlakuan P5 yakni 3,90 % sedangkan yang
terendah pada perlakuan P0 yakni 0,31 persen.Data selengkapnya terlihat pada Tabel 10.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi minyak ikan dan l-karnitin
30 ppm dalam ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh sangat nyata (P<0,01
) terhadap kadar DHA pada telur. Dari uji lanjut orthogonal kontras terlihat bahwa kadar DHA telur
pada P0 dan P1 serta P2 berbeda sangat nyata dengan P3 dan P4. Selanjutnya P3 dan P4 berbeda
tidak nyata terhadap kadar DHA telur.
Pada perlakuan P1 dan P2 yakni suplementasi enzim selulase dan L-karnitin 30 ppm dalam
ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh tidak nyata (P>0,05 ) terhadap kadar
DHA , hal ini dapat dijelaskan bahwa enzim selulase dan l-karnitin (bahan keduanya ) tidak
mengandung sumber asam lemak tak jenuh, sehingga tidak dapat meningkatkan deposisi DHA dalam
telurnya.
Pada perlakuan suplementasi minyak ikan tuna (P3 ) dan minyak ikan lemuru (P4) berpengaruh
sangat nyata dapat meningkatkan kandungan DHA telur ayam, hal ini karena kedua minyak ikan
tersebut mengandung asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi sehingga mampu meningkatkan kadar
asam lemak esensiel utamanya kadar DHA dalam telurnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suarez et
al. ( 1996 ) yang menyatakan bahwa suplementasi asam lemak omega-3 pada ransum berpengaruh
terhadap konsentrasi asam lemak tak jenuh utamanya EPA pada jaringan tubuh. Hal ini diperjelas
dalam penelitian Sudibya dkk (2006,2007,2009,2015 dan 2016) bahwa produk daging sapi,daging
kambing,daging domba, air susu kambing dan air susu sapi perah (semua produk tersebut kaya akan
DHA ) apabila dalam ransumnya disuplementasi dengan sumber asam lemak tak jenuh tinggi (minyak
ikan tuna dan minyak ikan lemuru ) .Selanjutnya P3 berbeda tidak nyata dengan P4, hal ini disebabkan
oleh kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak ikan tuna dengan minyak ikan lemuru yang relatif
sama sehingga pengaruhnya tidak nampak berbeda.
Simpulan
Suplementasi minyak ikan hingga level 4% dan l-karnitin 0,003% dalam ransum yang mengandung
enzim selulase 0,1 persen mampu meningkatkan kadar EPA dari 0,09% hingga 2,95% serta kadar
DHA mulai 0,31% menjadi 3,9 persen.
Daftar Pustaka
Adnan, M. 1980. Lipid Properties and Stability of Partially Defatted Peanuts. Disertation Doctor. University of
Illinois at Urbana. Champaign.
AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Association of
Official Analytical Chemist, Washington, D.C.
AOAC, 2001. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Association of
Official Analytical Chemist, Washington, D.C.
Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto, 1989. Petunjuk Laboratorium
Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Bogor.
Assman, G. 1982. Lipid metabolism and Atherosclerosis Schattaver. Verlag Stuffgart.
Cherian,G. and J.S. Sim. 1992. Preferential Accumulation of n-3 fatty acids in the brain of chicks from eggs
enriched with n-3 fatty acids. Poult.Sci.71:1658-1668.
Feller, A.G., and D. Rudman, 1988. Role of Carnitine in Human Nutrition. J. Nutr. 118: 541-547.
Fenita, Y. 2002. Suplementasi lisin dan metionin serta minyak ikan lemuru kedalam ransum berbasis hidrolisat
bulu ayam terhadap pertumbuhan ayam niaga pedaging . Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB.Bogor.
Hunter,J.E. 1987. PUFA and eicosanoid research. J.Am.Oil.Chem.Soc. 64(8):1088-1092.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
42
Kempen, T.A., T.G. Van and J. Odle. 1995. Carnitine effects octanoat oxidation to carbondioxide and
dicarboxylic acids in colostrum-deprived piglets : In vivo analysis of mechanisms involved based on CoA
and carnitine ester profiles. J. Nutr. 125 : 238-250.
Kinsella,J.E.B. Lokesh and R.A. Stone. 1990. Dietary n-3 polyunsaturated fatty acids and amelioration of
cardiovascular disease posible mechanism. Am.J.Clin.Nutr.2:28
Kleiner,I.S., and L.B. Dotti, 1962. Laboratory Instruction in Biochemistry sixth edition. The C.V. Mosby
Company. New York.
Lin,D.S. and W.E. Connor. 1990. Are the n-3 fatty acids from dietary fish oil deposited in the triglyceride
storoges of adipose tissue. Am.J.Clin.Nutr.51:535-539
Newton,I.S. 1996. Food enricment with long-chain n-3 PUFA. INFORM 7:169-171.
Owen,K.Q.,T.L. Weeden, J.L. Nelssen, S.A. Blum and R.D. Goodband, 1993. The effect of L-carnitine addition
on performance and carcass characteristic ofof growing-finishing swine. J.Anim. Sci. :62
Owen, J.L. Nelssen, R.D. Goodband, T.L. Weeden and S.A. Blum. 1996. Effect of L-carnitine and soybean oil
growth performance and body composition of early weaned pigs. J.Anim. Sci. 74:1612-1619
Owen,L.H. Kim and C.S. Kim. 1997. The role of L-carnitine in swine nutrition and metabolism. Kor. J.Anim.
Nutr. Feed. 21 (1):41-58.
Reese, E.T., 1976. History of Cellulose Program at The US Army Development of Centre in. EL. Gaden
Enzymatic Convertion of Cellulose Material Technology and Aplication. Pp: 171-173.
Sardesai, V.M. 1992. Nutritional role of polyunsaturated fatty acids. J.Nutr.Biochem. 3:154-166.
Silva, S.S.P and R.R. Smithard, 1999. Digestion of Protein and Energy in Based Broiler Diets in Improved by
The Adition of Esogenous Xylanase and Protease. Abstract British Poultry Science. Pp: 89-90.
Simopoulos,A.P. 1989. Summary of the NATO advanced research workshop on dietary -3 and -6 fatty
acids:Bilogical effects and nutritional essentially. Am.inst.of nutr. 22:521-527.
Steel, R.G.D., and J.H. Torrie, 1980. Principles and Prosedures of Statistic. Mc Graw-Hill Inc. New York.
Toronto. London.
Suarez, A. M.D.C.Ramires, M.J. Faus and A. Gil. 1996. Dietary long-chain polyunsaturated fatty acids
influence tissue fatty acid composition in rats at weaning. J.Nutr. 126:887-897.
Sudibya, 1998. Manipulasi Kadar Kolesterol dan Asam Lemak Omega-3 Telur Ayam Melalui Penggunaan
Kepala Udang dan Minyak Ikan Lemuru. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB Bogor.
Sudibya dan S. Wasito, 2002. Penggunaan Kepala Udang Terhidrolisis dan Minyak Ikan Lemuru Terhadap
Asam Lemak Omega-3, Omega-6 dan Kadar Kolesterol Daging Itik Tegal Periode Starter. Journal
Animal Production. Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto.
Sudibya, Suparwi, T.R. Sutardi , H. Soeprapto dan Y.Dwi, 2003. Produksi Daging Sapi Rendah Kolesterol Yang
Kaya Asam Lemak Omega-3 dan Pupuk Organik dengan EM-4 Di Kelompok Martini Indah di
Kabupaten Purwodadi. Proyek Pengembangan dan Peningkatan Kemampuan Teknologi Proyek Program
Iptekda VI. LIPI. Jakarta. Lembaga Penelitian Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Sudibya, D. Prabowo dan Hartoko, 2004. Suplementasi enzim selulase dan ekstrak asam lemak tak jenuh dalam
ransum dasar terhadap kualitas dan kuantitas asam lemak tak jenuh telur ayam Journal Ilmiah. Lembaga
Penelitian Unsoed. No.2 Vol. XXX. Edisi Juli Tahun 2004.
Sudibya, 2004. Peningkatan Kualitas Telur Ayam Melalui Suplementasi L-Karnitin dan Minyak Ikan Tuna
Terhadap Kadar Asam Lemak Omega-3, Omega-6, Omega-9 dan Kadar Kolesterol. Fakultas Peternakan
.Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Unsoed. Purwokerto.
Sudibya, 2005. Suplementasi Prekursor Karnitin dan L-Karnitin Serta Minyak Ikan Tuna Terhadap Kadar
Kolesterol dan Asam Lemak Tak Jenuh Telur Itik Tegal. Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto
Sudibya, S. Triatmojo dan H.Pratiknyo, 2006. Perbaikan Kualitas daging Sapi Melalui Transfer Omega-3
Terkapsul dan Tape Bekatul Serta Produksi Pupuk Organik dengan Starter Gama-95 Di Kelompok
Ternak Sapi Potong “Sidamaju” di Kabupaten Bantul. Proyek Pengembangan dan Peningkatan
Kemampuan Teknologi Proyek Program Iptekda IX. LIPI. Jakarta. Lembaga Pengabdian Kepada
Madyarakat Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
43
Sudibya, T. Widyastuti dan R.S. Santoso, 2008. Transfer Omega-3 Terkapsulisasi dan L-Karnitin Pengaruhnya
Terhadap Komposisi Kimia Daging Kambing. Hibah Bersaing XIV. Laporan Penelitian Fakultas
Peternakan Universitas Jederal Soedirman. Purwokerto.
Sudibya, Darsono dan Pujomartatmo, 2009. Transfer Omega-3 Terkapsulisasi dan L- Karnitin Pengaruhnya
Terhadap Kandungan Asam Lemak Susu Segar dan dimasak. Laporan Penelitian Hibah Stranas. Prodi
Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Sudibya, P.Martatmo, dan Sudiyono, 2009. Transfer Omega- 3 Terproteksi dan Minyak Kedele Dalam Ransum
Bekatul Terfermentasi Terhadap Kadar Asam Linolenat, Linoleat dan Arakhidonat Air susu Sapi
Perah..Laporan Penelitian Hibah SINTA Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Sudibya, P.Martatmo, A. Ratriyanto dan Darsono, 2010. Transfer Omega- 3 Terproteksi dan L-Karnitin Dalam
Ransum Limbah Pasar Terfermentasi Terhadap Komposisi Kimiawi Daging Sapi Simental.Laporan
Penelitian Hibah Kompetensi Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sudibya, PujoMartatmo dan Darsono, 2012. Transfer Asam Lemak PUFA Terproteksi dan Precursor Karnitin
Dalam Ransum Pengaruhnya Terhadap Komposisi Kimiawi Air Susu Kambing . Laporan Penelitian
Hibah Bersaing. Prodi Peternakan Fakultas Pertanian University Press. Universitas Sebelas Maret.
Sudibya dan S.H. Purnomo. 2013. Transfer of pufa Fatty Acid Protected and Carnitin Precursor on the ration of
chemical composition of milk dairy goat . Open Journal of Animal Sciences.Vol3 Number 3. April
2013.Page 222-227
Sudibya dan S.Hadi Purnomo. 2013. Transfer of Omega-3 Fatty Acid Protected and Rice Bran Fermented in The
Ration of Chemical Composition of milk Dairy Cow. Jurnal Media Peternakan Animal Science and
Tehcnology Vol.33 Number 3.Dec.2013. Page 222-229
Sudibya dan S.Hadi Purnomo. 2013. Transfer of Omega-3 Fatty Acid Protected and Rice Bran Fermented in The
Ration of Chemical Composition of milk Dairy Cow. Jurnal Media Peternakan Animal Science and
Tehcnology Vol.33 Number 3.Dec.2013. Page 222-229
Sudibya , E.Handayanta dan A.Intansari. 2015. Suplementasi Asam Lemak PUFA Terproteksi dan L-Karnitin
dalam Ransum Limbah Pasar Organik Terfermentasi Pengaruhnya Terhadap Komposisi Kimiawi Air
Susu Kambing. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Sudibya , E.Handayanta dan A.Intansari. 2016. Suplementasi Asam Lemak PUFA Terproteksi dan L-Karnitin
dalam Ransum Limbah Pasar Organik Terfermentasi Pengaruhnya Terhadap Komposisi Kimiawi Air
Susu Sapi Perah. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.
Sustriawan, B., R. Naufalin dan N. Aini, 2002. Mikroenkasulasi Konsentrat Asam lemak Omega-3 dari Minyak
Ikan Tuna. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian. Lembaga Penelitian
Unsoed.
Tranggono, 1986. Perubahan Lemak Selama Pemanasan dan Pengaruhnya terhadap Konsumen. Seminar
Keamanan Pangan dan Penyajian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.UGM. Yogyakarta 1-3
September 1986.
Turner, C.D. and J.T. Bagnara, 1976. Endokrinology umum. Haryono. Penerjemah Airlangga . Terjemahan
Endocrinology.
Widiyastuti, T. C.H. Prayitno dan Sudibya, 2005. Pemanfaatan Kepala udang dan Suplementasi L-Carnitin Pada
pakan Itik Lokal Yang mengandung Daun Lamtoro. Program Semi Que V Tahun II. Fakultas Peternakan.
Laporan Penelitian Program Studi Nutrisi Ternak.
Zabriskie, D.W., 1982. Production of Cellulose Powders Using Cellulose Enzymes Biochem Technology. Inc.
Malvern. pp: 165.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
44
Makalah 008
Pemanfaatan Bolus Ternak Ruminansia sebagai Sumber Mikroba dalam
Fermentasi Limbah Pertanian dan Suplementasi Urea Molases Blok untuk Pakan
Ternak Ruminansia di Kabupaten Wonogiri.
Sudibya dan Marsudi
Abstrak
Penggunaan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia mempunyai keterbatasan yaitu
adanya kandungan serat kasar yang tinggi sehingga daya cernanya rendah. Agar penggunaan dari
limbah pertanian dapat ditingkatkan nilai daya cernanya (nilai nutriennya) sehingga perlu adanya
metode pengolahan antara lain dengan fermentasi. Melalui fermentasi maka limbah pertanian dapat
ditingkatkan kualitas dan daya cernanya.Selanjutnya biasanya peternakan rakyat dalam memberikan
pakan khususnya bahan baku konsentrat tidak selalu rutin artinya diberikan pada waktu musim panen
padi saja, sehingga kecukupan nutrient dari ternak belum memenuhi baik secara kualitas dan
kuantitasnya. Oleh karena itu perlu pakan tambahan dalam hal ini urea molasses blok.
Tujuan pertama dari kegiatan ini yaitu a) memproduksi fermentasi dari limbah pertanian
dengan bolus ternak rumnansia sebagai sumber mikroba, b) menumbuhkan budaya penerapan Ipteks
hasil penelitian perguruan tinggi secara komersial, c) menumbuhkan usaha kecil menengah, d)
meningkatkan sumber daya manusia,e) menciptakan lapangan kerja, f) memanfaatkan potensi sumber
daya daerah khususnya limbah pertanian dan g) menumbuhkan kegiatan usaha yang income
generating. Tujuan yang kedua dari kegiatan ini yaitu ingin menambahkan molasses blok untuk
meningkatkan nilai nutrien sehingga daya cerna dari konsentrat ternak meningkat, akibat lebih lanjut
pertambahan bobot badannya meningkat.
Target luaran dari kegiatan ini adalah a) tercapainya peternak yang mampu melakukan
pengelolaan pakan dengan fermentasi dari limbah pertanian sebagai teknologi tepat guna,
b)ketersediaan pakan sepanjang tahun dapat terpenuhi, sehingga peternak tidak kesulitan dalam
pemberian pakan ternak. Selain itu suplementasi molasses blok akan meningkatkan nilai nutrient
bahan dan nilai kecernaanya bertambah akibat lebih lanjut produktifitas ternak meningkat terutama
bobot badan sapi dan kambing, sehingga pendapatan peternak bertambah.
Manfaat dari kegiatan tersebut adalah menambah pengetahuan kepada peternak dalam bidang
bahan pakan terutama hijauan, meningkatkan keterampilan peternak dalam mengolah limbah pertanian
dengan teknik silase dan fermentasi menjadi bahan baku hijauan yang siap keberadaannya sepanjang
tahun dan dapat meningkatkan nilai nutriennya serta suplementasi molasses blok dapat meningkatkan
nilai nutrient konsentrat..
Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah ceramah, percontohan dan evaluasi kegiatan.
Khalayak sasaran yang strategis adalah kelompok ternak sapi potong dan ternak kambing.
Lokasi kegiatan adalah di kelompok ternak “ Ngudi Hasil” di desa Jendi Kecamatan Selogiri
Kabupaten Wonogiri dan kelompok ternak kambing “TirtaSari” Desa Bakalan Kecamatan Purwantoro
Kabupaten Wonogiri. Beberapa institusi yang terlibat antara lain Dinas Peternakan kabupaten
Wonogiri, Universitas Sebelas Maret serta pemerintah desa Jendi kecamatan Selogiri dan desa
Bakalan kecamatan purwantoro kabupaten Wonogiri.
Sebagai kerangka pemikiran untuk memecahkan masalah adalah diperlukan adanya
pendekatan dengan masyarakat setempat agar terjadi interaksi social. Pendekatan tersebut
menggunakan system instruksional dalam bentuk penyuluhan dan percontohan. Adanya daninteraksi
sosial tersebut diharapkan tumbuh pengertian yang memberikan manfaat bagi masyarakat tersebut.
Adapun yang menjadi khalayak sasaran adalah masyarakat peternak sapi potong sebanyak 33 orang di
wilayah kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri termasuk para ketua kelompok, anggota kelompok
dan pamong ternak dan 40 orang di wilayah kecamatan Purwantoro kabupaten Wonogiri. Metode
yang digunakan dalam pelaksanaan program Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) adalah metode penyuluhan
dan percontohan pembuatan silase dan fermentasi dari limbah pertanian dan suplementasi molasses
blok..
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
45
Berdasarkan hasil survey dari Tim kegiatan program IbM telah dilaksanakan di desa Jendi
kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri dan desa Bakalan kecamatan Purwantoro. Seluruh rangkaian
kegiatan yang dimulai dengan orientasi lapang sampai pada percontohan pembuatan fermentasi
dengan inokulum bolus sapi dan limbah pertanian serta suplementasi molasses blok terus evaluasi
tahap akhir selesai pada pertengahan bulan Oktober 2013.
Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada
peternak di desa Jendi kecamatan Selogiri dan desa Bakalan kecamatan Purwantoro kabupaten
Wonogiri cukup baik, dibuktikan bahwa sekitar 95 persen peserta memberikan respon yang antosias
untuk menindaklanjuti materi yang telah disampaikan selama kegiatan berlangsung.
Berdasarkan pelaksanaan dan evaluasi hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa sembilan
puluh (90) persen peserta dapat menyerap dan melakukan kembali pembuatan silase dan fermentasi
dari limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong serta suplementasi molasses blok sebagai
pengganti konsentrat. Semua peserta sadar akan pentingnya pola pakan sepanjang tahun yang
berkesinambungan dengan memanfaatkan limbah pertanian. Namun ada diantara peserta yang kurang
mampu meluangkan waktunya untuk membuat fermentasi limbah pertanian dan suplementasi
molasses blok untuk mengganti konsentrat secara berkesinambungan.
Disarankan perlunya evaluasi yang kontinyu untuk menindaklanjuti kegiatan tersebut yaitu
mengenai perubahan sikap peternak dan produktivitas ternaknya, sehingga setiap materi yang
disampaikan kepada peternak mampu diserap dan membawa perubahan kearah yang lebih baik
Pendahuluan
Bolus ruminansia adalah bagian dari isi rumen ternak ruminansia yang belum mengalami
proses pencernaan dan mengalami pencernaan, oleh karena itu nilai nutriennya masih tinggi. Cara
memperolehnya mudah yaitu hanya mengambil di rumah potong hewan, kemudian dikeringkan
dengan sinar matahari dan selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber mikroba. Jumlah isi rumen
kira-kira 20 persen dari bobot badannya.
Pakan merupakan komponen terbesar dalam usaha produksi peternakan, proporsi pakan bisa
mencapai 70 % sendiri dari total biaya produksi, sehingga pakan menjadi penentu keberhasilan
peternak, selain faktor bibit dan manajemen budidaya. Manajemen pakan yang baik akan menjadi
kunci keberhasilan sebuah peternakan, hal ini meliputi pengadaan pakan, formulasi pakan, dan
teknologi pengelolaan pakan.
Pada praktiknya, penyediaan pakan sangat terkendala dengan musim, pada musim-musim
tertentu kesediaannya sangat melimpah, dan dilain waktu ketersediannya sangat terbatas. Fluktuasi
ketersediaan pakan ini sangat merugikan para peternak, sebab saat musim paceklik pakan, ternak
hanya mendapatkan pakan yang tidak memenuhi syarat nutrien yang cukup bagi ternak yang akan
menyebabkan produktivitas ternak menurun. Terlebih peternak juga belum menguasai teknologi
pengelolaan pakan yang tepat guna.
Proses perlakuan fermentasi dengan bolus ternak ruminansia sendiri berfungsi untuk
meningkatkan nilai kecernaan bahan pakan dan dapat menurunkan zat anti nutrien misalnya asam
phitat serta dapat memperbaiki flavour, tekstur, kenampakan, aroma dan sintesis vitamin. Selanjutnya
melalui pengolahan bahan-bahan konvensional (limbah pertanian ) sedikitnya dapat diperoleh empat
manfaat 1) sebagai sumber pakan ternak, 2) mengurangi tempat pencemaran lingkungan,
3)mengurangi ketergantungan pada rumput di penggembalaan, dan 4) usaha untuk mencari bahan
pakan yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, masih mempunyai nilai nutrien tinggi dan
berada disekitar lokasi serta harganya relatif murah.
Salah satu jalan yang dapat memecahkan masalah tersebut adalah dengan pelatihan dan
percontohan yang dilakukan dengan cara memotivasi para kelompok ternak mitra usaha sapi potong
”Ngudi Hasil” dan kelompok ternak kambing ”Tirtosari” yang difokuskan kepada tata laksana
penggunaan berbagai bahan limbah untuk pakan sapi potong dan kambing dan cara menyusun
ransumnya.
Di samping ketersediaan bahan pakan hijauan yang kurang ada permasalahan yang kedua yang
lebih penting lagi yakni ketersediaan bahan baku konsentrat juga mengalami kekurangan. Guna
memenuhi tuntutan ternak tersebut diperlukan upaya untuk memenuhinya yaitu dengan jalan
suplementasi molases blok.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
46
Untuk itulah Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah, Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Sebelas Maret Surakarta (PUSLITDESBANGDA LPPM
UNS), setelah mengetahui fenomena itu melakukan kerja sama dengan Kabupaten Wonogiri yang
membina para kelompok ternak di wilayah tersebut dan kelompok ternak kambing “ Untuk
melakukan pelatihan pembuatan teknologi fermentasi dan suplementasi molasses blok dalam
mencukupi pakan ternak secara rutin terutama pada musim kemarau panjang.
Metode Pelaksanaan
a. Realisasi Penyelesaian Masalah
Berdasarkan petunjuk dari hasil survey Tim Ipteks tahun 2013, kegiatan pengabdian kepada
masyarakat khususnya program Ipteks diutamakan dilaksanakan di kelompok ternak “Ngudi Hasil” di
desa Jendi kecamatan Selogiri dan kelompok ternak “Tirta Sari” di desa Bakalan kecamatan
Purwantoro kabupaten Wonogiri. Program Ipteks tersebut ditujukan kepada warga masyarakat petani
peternak sapi potong serta para santri “Yayasan PPIT Al-Huda” dan warga masyarakat peternak
kambing.
Pada kegiatan program Ipteks tersebut diberikan penjelasan agar peternak memahami pola
penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun yang berkesinambungan tanpa merusak sumber daya alam.
Selain itu disadarkan pula tentang pentingnya memanfaatkan limbah pertanian yang dapat
difermentasi untuk meningkatkan nilai nutrisinya serta dapat untuk pakan ternak sepanjang tahun.
Diterangkan pula tentang beberapa jenis limbah pertanian (jerami padi,jerami kedele dan tebon jagung
) yang ada disekitar kecamatan Selogiri dan kecamatan Purwantoro tersebut yang dapat difermentasi
untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia tersedia sepanjang tahun.
b. Khalayak Sasaran
Sasaran kegiatan ini ada 2 UKM yaitu 1) anggota kelompok ternak sapi potong ”Ngudi Hasil ”
di Desa Jendi kecamatan Selogiri dan 2) anggota kelompok ternak kambing ” Tirtasari ” di desa
Bakalan kecamatan Purwantoro Jumlah khalayak ini jumlahnya 50 persen dari jumlah anggota
peternak di dua kecamatan tersebut yang berada diwilayah kabupaten Wonogiri (Total peserta
pengabdian sebanyak 62 orang). .Pemilihan khalayak ini diharapkan mampu menyebarluaskan
informasi yang telah diberikan sehingga mampu sebagai motivator.
c. Metode Yang Digunakan
Dalam rangka mencapai tujuan kegiatan tersebut, metode pelaksanaan program ini dilaksanakan
sebagai berikut :
1. Penyuluhan dalam bentuk ceramah
Penyuluhan atau ceramah dengan pemaparan mengenai fermentasi pada limbah pertanian
dengan inokulum mikroba rumen (bolus sapi ) dan pembuatan urea molases blok dengan materi
penyuluhan :1)Teknik Fermentasi Limbah Pertanian Dengan Bolus Sapi oleh Prof.Dr.Ir.Sudibya,MS,
2) Peningkatan nilai Nutrien Limbah Pertanian Melalui Teknologi Amoniasi Oleh : Drs.Marsudi dan
3) Fermentasi Limbah Pakan Berserat Oleh Prof.Dr.Ir.Sudibya,MS.
2. Kegiatan Percontohan
Pelaksanaan kegiatan atau penyampaian materi mengenai seluk beluk fermentasi limbah
pertanian dengan inokulum bolus sapi dan pembuatan urea molases blok, kemudian dilanjutkan
dengan kegiatan percontohan di dua kelompok yakni di desa Jendi dan desa Bakalan harapan agar
peternak atau peserta program mempunyai gambaran yang jelas mengenai proses fermentasi dan
pembuatan urea molases blok dapat mengerjakannya dengan baik secara individu maupun secara
kelompok. Kepada masyarakat khususnya program Ipteks diutamakan dilaksanakan di desa Jendi
kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri. Program Ipteks tersebut ditujukan kepada warga masyarakat
petani peternak sapi potong.
Pada kegiatan program Ipteks tersebut diberikan penjelasan agar peternak memahami pola
penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun yang berkesinambungan tanpa merusak sumber daya alam.
Selain itu disadarkan pula tentang pentingnya memanfaatkan limbah tebon jagung yang dapat diolah
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
47
menjadi silase dan amoniasi untuk meningkatkan nilai nutrisinya serta dapat untuk pakan ternak
sepanjang tahun.
Diterangkan pula tentang beberapa jenis limbah yang ada disekitar kecamatan Selogiri tersebut
yang dapat dibuat silase dan amoniasi untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia tersedia
sepanjang tahun, sehingga diharapkan para petani peternak dapat melakukannya sendiri.
Sebagai tindak nyata dari rangkaian kegiatan tersebut dilakukan percontohan pembuatan silase
tebon jagung dan amoniasi tebon jagung, dengan melibatkan secara langsung para peserta. Pada
kesempatan tersebut dijelaskan juga cara-cara memberikan produk silase dan amoniasi tebon jagung
sebagai pengganti hijauan (rumput gajah dan jerami padi ) kepada ternak sapi potong. Harapan
penggunaan bahan tersebut supaya produktivitas ternak sapi potong di daerah tersebut meningkat
sehingga keinginan beternak sapi potong bertambah.
Hasil dan Pembahasan
Kegiatan Penyuluhan
Informasi yang dibutuhkan sebelum penyuluhan adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman
peternak mengenai tata cara penyediaan bahan limbah pertanian, proses fermentasi dan pembuatan
urea molasses blok serta tata cara pengujian dari hasil fermentasi dan urea molasses blok kepada
ternak sapi potong dan ternak kambing.
Untuk itu dilakukan tanya jawab, pre tes disekitar masalah tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi
awal dapat diketahui bahwa peserta penyuluhan belum banyak mengetahui tentang fermentasi limbah
pertanian dan pembuatan urea molases blok, pada umumnya mereka memberikan limbah pertanian
pada ternaknya apa adanya (belum dilakukan proses fermentasi). Peserta belum mengetahui jenis
pengolahan yang harus diterapkan pada limbah pertanian secara umum. Indikator keberhasilan adalah
peserta dapat menyebutkan limbah pertanian yang dapat difermentasi dan cara pembuatan urea
molasses blok, manfaat fermentasi dan , proses pembuatan urea molases blok serta dapat mengetahui
kualitas fermentasi dan urea molasses blok yang baik. Sebelum dilakukan penyuluhan ternyata 65
persen peserta belum mengetahui fermentasi dan molasses blok, 60 persen belum mengetahui bentuk
fermentasi dan urea molasses blok, 70 persen belum mengetahui proses pembuatan fermentasi dan
urea molasses blok serta 80 persen belum mengetahui kualitas fermentasi dan urea molasses blok yang
baik.
Berdasarkan hasil evaluasi setelah dilakukan penyuluhan ternyata semua peserta telah
mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi
penyuluhan dapat diserap dengan baik.
Dalam upaya untuk mencapai hal tersebut di atas maka alur yang digunakan adalah :
Metode yang digunakan :
Dalam rangka mencapai tujuan kegiatan tersebut, metode pelaksanaan program ini dilaksanakan
sebagai berikut :
-Pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan dilakukan selama 8 hari (8 kali) yakni pada tanggal 27
September hingga 5 Oktober dan evaluasi sampai tanggal 15 Nopember tahun 2017.
Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada awal, tengah dan akhir kegiatan pelaksanaan program. Sebelum
kegiatan dimulai dibutuhkan beberapa informasi dari peserta mengenai tingkat pengetahuan peserta
tentang teknik fermentasi dan pembuatan urea molasses blok yang sudah dilakukan dan sejauh mana
peserta mengetahui tentang teknik fermentasi dan urea molasses blok tersebut. Untuk mengetahui hal
tersebut peserta pada awal kegiatan diberikan pre tes dan pada akhir kegiatan diadakan post tes.
Setelah dilakukan percontohan ada tiga kelompok ternak yang ditunjuk untuk melakukan
pembuatan fermentasi dan urea molasses blok . Acara tersebut kita pantau aktivitasnya mulai dari
tahap awal sampai tahap akhir. Selanjutnya hasil dari percontohan tadi diberikan kepada ternak sapi
potong dan ternak kambing untuk bahan pakan pengganti hijauan dan konsentrat hasilnya 90 persen
menyatakan baik. Kriteria ini didasarkan pada :
-Mudahnya cara mendapatkan bahan baku limbah pertanian dan bolus ternak ruminansia.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
48
-Mudahnya cara mendapatkan peralatan fermentasi dan bahan tetes dan urea untuk pembuatan urea
molasses blok.
-Mudahnya cara melakukan pembuatan proses fermentasi dan urea molasses blok.
-Hasil produk fermentasi dan urea molasses blok sangat disukai oleh ternak sapi potong dan ternak
kambing , dengan ditandai rasa palatabilitasnya tinggi dan adanya kenaikan pertambahan bobot
badanya.-Peternak sapi potong dan kambing sangat tertarik dengan teknologi fermentasi dan cara
pembuatan urea molasses blok yang praktis tersebut.
Setelah dilakukan penyuluhan dan percontohan maka diadakan pos tes ternyata para peserta
penyuluhan ternyata 95 persen sudah mengetahui fermentasi dan urea molasses blok, 90 persen sudah
mengetahui bentuk fermentasi dan urea molasses blok, 100 persen sudah mengetahui proses
pembuatan fermentasi dan urea molasses blok serta 100 persen sudah mengetahui kualitas fermentasi
dan urea molasses blok yang baik.
Faktor Pendorong :
Yang pertama keinginan para peserta untuk memanfaatkan limbah pertanian untuk dibuat
fermentasi dan pembuatan urea molasses blok, sehingga pada musim kemarau kesulitan untuk
mendapatkan bahan pakan ternak dapat ditanggulangi.
Yang kedua mendapatkan bahan pakan (limbah pertanian ) dan bolus ternak ruminansia untuk
inokulum fermentasi sangat mudah.
Kesimpulan
Sembilan puluh (90) persen peserta dapat menyerap dan melakukan kembali pembuatan
fermentasi dari limbah pertanian dan suplementasi urea molasses blok sebagai pakan ternak sapi
potong dan ternak kambing. Semua peserta sadar akan pentingnya pola pakan sepanjang tahun yang
berkesinambungan dengan memanfaatkan limbah pertanian. Ada peningkatan kesejahteraan para
peternak terbukti ada pertambahan bobot badan untuk sapi 0,8 kg/hari/ekor dan kambing 0,3
kg/hari/ekor selama kegiatan berlangsung.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. Teknologi Instruksional. Dalam Materi Dasar Pendidikan
Program Akta Mengajar V. Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi.Jakarta
Nuraida, L.R. Utari dan P. Haryadi, 1977. Aplikasi Bioteknologi untuk Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan
Ternak. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.
Rahman, J.J., Ryanto, B. Bakrie dan Syaiful, 1997. Pemanfaatan Biokonversi Daun Ubi Kayu dengan
Aspergillus niger dalam Ransum Ternak Sapi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi
Bogor.
Schlegel, S.A., 1977. Realitas dan Penelitian Sosial. Lembaga Sosial Budaya. Universitas Syiah Kuala. Aceh.
Sudibya, S.Wiluto, Suparwi, Prayitno dan M. Budiono, 1995. Penggunaan Kapang dan Yeast Untuk Pengolahan
Limbah Kulit Ketela sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan
Unsoed. Purwokerto.
Sudibya, T.Widyastuti, E.Susanti dan Sukardi, 2004. Peningkatan Kualitas Limbah Kulit Singkong dan Kulit
Pisang Melalui Teknik Fermentasi Untuk Pakan kambing di Kecamatan Somagede.Laporan Pengabdian
Kepada Masyarakat.Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto.
Sudibya dan Suharto.2015. Penggunaan Bolus Kambing Dalam Fermentasi Limbah Pertanian dan Suplementasi
molases blok di kabupaten Wonogiri. Laporan Pengabdian kepada Masyarakat. Pusat Penelitian Pedesaan
dan Pengembangan Daerah.Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Sudibya dan Suharto.2016. Penggunaan Bolus Sapi Perah Dalam Fermentasi Limbah Pertanian dan
Suplementasi molases blok untuk pakan ternak ruminansia di kabupaten Wonogiri. Laporan Pengabdian
kepada Masyarakat. Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah.Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
49
Sudibya dan Marsudi.2017. Penggunaan Bolus Ternak Ruminansia Dalam Fermentasi Limbah Pertanian dan
Suplementasi molases blok untuk pakan ternak ruminansia di kabupaten Wonogiri. Laporan Pengabdian
kepada Masyarakat. Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah.Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.
Suparwi dan Sudibya, 1996. Penggunaan Tricoderma Viride untuk Pengolahan Limbah Kulit Pisang sebagai
Pakan Ternak Ruminansia. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto.
Suparwi, Sudibya dan Sukardi, 2000. Penggunaan Bahan Limbah untuk Meningkatkan Pendapatan Peternak
Sapi Perah di Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas. Laporan Magang Kewirausahaan. Fakultas
Peternakan Unsoed. Purwokerto.
Suparwi, Sudibya dan Sukardi, 2001. Penggunaan Bahan Limbah untuk Meningkatkan Pendapatan Peternakan
Sapi Potong di Kecamatan Wirasaba Kabupaten Purbalingga. Laporan Magang Kewirausahaan. Fakultas
Peternakan Unsoed. Purwokerto.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
50
Makalah 009
Analisis Potensi Sumber Daya Pakan Ternak Ruminansia pada Musim Kemarau di
Daerah Pertanian Lahan Kering
(Studi Kasus di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta)
Eka Handayanta, Febri Isra Hermansyah dan Yusron Alfian
Program Studi Peternakan
Fakultas Pertanian UNS
Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan, Surakarta
Email : [email protected]
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ketersediaan bahan pakan, dan ,
menghitung kemampuan wilayah pertanian lahan kering dalam menampung ternak ruminansia,
khususnya di musim kemarau. Pengambilan data lapangan dilakukan di wililayah Desa Kemejing,
Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis laboratorium
(proksimat) sampel pakan dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian bersifat parsitipatif (Participatory Rural Appraisal), dengan menganbil data dari 17
sampel peternak responden yang ditentukan secara purposive sampling untuk mengetahui jenis pakan
yang biasa diberikan ke ternaknya, dan ini sebagai dasar untuk mengetahui potensi pakan ternak
ruminansia di wilayah penelitian.
Potensi bahan pakan dihitung berdasarkan hasil ubinan (cuplikan) dikalikan dengan luas panen dan
dinyatakan dalam produksi bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan total
digestible nutrients (TDN). Kemampuan wilayah dalam menampung ternak ruminansia dihitung
berdasarkan kebutuhan BK, BO, PK dan TDN tiap unit ternak (UT), dimana 1 (satu) UT setara
dengan satu ekor ternak sapi dengan bobot badan 350 kg.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan pakan yang potensial tersedia adalah jerami padi,
jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai, jerami kacang hijau, daun ketela pohon dan
rumput gajah, Produksi BK, BO, PK dan TDN bahan pakan selama musim kemarau berturut-turut
adalah 15.003,83 ton, 11947,95 ton, 1.244,23 ton dan TDN 6.924,86 ton. Kesimpulannya adalah
kemampuan wilayah kecamatan Semin dalam menampung ternak selama musim kemarau
berdasarkan kebutuhan BK, BO, PK dan TDN berturut-turut sebanyak 10.248,52 UT, 10.720.75 UT,
9.313,78 UT dan 9.653,26 UT
Kata kunci : lahan kering, bahan pakan, daya tampung, musim kemarau, ternak ruminansia
Pendahuluan
Kecamatan Semin merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah kabupaten
Gunungkidul propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem pertaniannya secara keseluruhan berupa
pertanian lahan kering (BPS, 2014) yaang merupakan salah satu bentuk sistem pertanian di Indonesia.
Karakteristik pertanian lahan kering pada umumnya adalah lahannya marginal (kurang subur atau
tandus) dan ketersediaan airnya sangat tergantung pada curah hujan. Kondisi yang demikian sangat
rentan terhadap resiko gagal panen, yang selanjutnya akan berdampak pada tidak terpenuhinya
kebutuhan sehari-hari keluarga petani (subsisten). Salah satu upaya mengurangi resiko gagal panen,
petani biasanya memelihara ternak dalam bentuk usaha tani terintegrasi tanaman-ternak (integrated
farming system) dengan bercocok tanam tanaman pangan sebagai komoditi utama dan memelihara
ternak sebagai komoditi tambahan (usaha sampingan). Sistem pertanian terintegrasi ini terbukti
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
51
mampu meningkatkan produktifitas pertanian secara keseluruhan (on farm) (Devendra et al., 2001),
karena masing-masing komponen dapat saling melengkapi (komplementer). Sistem integrasi tanaman-
ternak dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan, mengurangi resiko gagal panen serta dapat
meningkatkan pendapatan dan atau kesejahteraan petani. Ternak ruminansia (sapi, kambing dan
domba) lebih banyak diusahakan (dipelihara) pada sistem integrasi tanaman-ternak, karena kedua
komoditi tersebut saling mendukung, dimana tanaman pangan menyediakan limbahnya sebagai pakan
ternak, sedangkan ternak menghasilkan kotoran (pupuk) yang dapat menyuburkan tanaman. Untuk
meningkatkan produktifitas ternak ruminansia tersebut, dibutuhkan pakan yang cukup kuantitas dan
kualitasnya.
Produksi ternak ruminansia pada dasarnya adalah konversi pakan menjadi produk ternak
(daging dan susu). Pakan utama ternak ruminansia pada dasarnya adalah hijauan. Oleh karena itu,
memperkirakan produksi ternak ruminansia di suatu wilayah (daerah) harus diketahui ketersediaan
pakan hijauannya, baik jumlah maupun kualitasnya. Kenyataan di lapangan sulit untuk menyesuaikan
jumlah ternak dengan pakan yang tersedian karena, ketersediaan hijauan sangat tergantung pada
musim, dimana pada saat musim hujan melimpah sedangkan saat musim kemarau sedikit. Fluktuasi
ketersediaan pakan dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara ketersediaan pakan dengan jumlah
ternak yang ada. Dengan jumlah ternak konstan mungkin dapat terjadi kekurangan pakan pada
musim kemarau dan terjadi kelebihan di musim penghujan. Dalam kondisi yang demikian akan sulit
menentukan berapa jumlah ternak yang dapat dipelihara dan tingkat produksi yang dicapai atau
dengan kata lain seberapa besar ketersediaan pakan suatu wilayah dapat menampung sejumlah ternak
agar diperoleh produktivitas ternak yang optimal.
Beberapa penelitian untuk menghitung kapasitas tampung suatu wilayah terhadap ternak
ruminansia, didasarkan pada kecukupan nutrien atas bahan kering (BK), protein kasar (PK), atau
energi (TDN) (Ngadwati, 2001; Ruswendi, 2004), memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini
dikarenakan kondisi lahan pertanian serta musim yang berbeda. Atas dasar permasalahan tersebut
maka peneliti tertarik untuk mengkaji potensi sumber pakan dan kemampuan tampung (carrying
capacity) suatu wilayah dengan sitem pertanian lahan kering di musim kemarau.
Materi dan Metode
Penelitian lapangan ini telah dilakukan dari bulan April sampai bulan September (musim
kemarau) dengan pengambilan data atau sampel dilakukan pada saat terjadi panen tanaman pangan.
Lokasi penelitian berada di wilayah Desa Kemejing, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis laboratorium (proksimat) sampel pakan dilaksanakan di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian UNS Surakarta.
Metode penentuan lokasi dan penentuan sampel peternak pada penelitian ini dilakukan secara
sengaja (purposive). Sampel peternak responden sebanyak 17 orang ditentukan dengan pertimbangan
akses lokasi (secara teknis dapat digunakan sebagai lokasi pengambilan sampel), waktu, tenaga, biaya
dan sesuai dengan model penelitian yang bersifat parsitipatif (Participatory Rural Appraisal).
Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan selama 10 hari mengambil data di 17
peternak responden dengan tujuan untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan pada ternaknya
(potensi pakan) dan tahap pelaksanaan penelitian dengan mengambil sampel di lahan petani dengan
cara mengubin pada semua jenis pakan yang digunakan oleh peternak baik rumput, maupun limbah
pertanian (hijauan).
Produksi hijauan diperoleh dengan mengambil cuplikan melalui pengubinan pada lahan
penghasil hijauan pakan yakni lahan rumput, tanaman padi dan palawija pada saat dipanen. Tanaman
palawija meliputi jagung, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau dan ketela pohon. Pengubinan
dilakukan secara random di areal tersebut dengan menggunakan ukuran luas 1 x 1 m2 untuk rumput
raja (Reksohadiprodjo, 1985), 2,5 x 2,5 m2 untuk tanaman jagung, kacang tanah, kacang kedelai dan
kacang hijau (Anonimus, 1982) dan untuk tanaman ketela pohon yang ditanam dengan sistem tanam
larikan mengelilingi lahan serta di tengah lahan, maka cuplikan dilakukan pada larikan sepanjang 5
m. Masing-masing jenis hijauan diubin di 3 lokasi yang berbeda dan tiap-tiap lokasi dilakukan 3x
ubinan sebagai ulangan. Hasil ubinan ditimbang, dirata-rata selanjutnya dikonversikan ke dalam
produksi (bahan segar dan BK) per ha. Produksi hijauan per wilayah diperoleh dengan mengalikan
produksi per ha dengan luas panen. Data luas panen masing-masing komoditi tanaman pangan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
52
diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Semin Pada tiap ubinan diambil sampel
sebesar 200 g/jenis pakan/ubinan, dikeringkan, digiling (grinding) dan dibuat bulk sample dan
dikomposit sebelum dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan BK, BO, PK, SK, LK dan
abu (AOAC, 1965)
Hasil dan Pembahasan
Keadaan Pertanian
Lahan pertanian di wilayah kecamatan Semin, kabupaten Gunungkidul semuanya merupakan
lahan pertanian tadah hujan (sistem pertanian lahan kering). Lahan pertanian ini ditanami berbagai
jenis komoditi tanaman pangan dan pakan (rumput) seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah,
kacang hijau, ketela pohon, dan rumput gajah, sedangkan lahan sawah tadah hujan biasa ditanami padi
sebanyak 2 kali dalam setahun dan setelah itu ditanami tanaman palawija. Luas panen komoditi
tanaman pangan dan rumput gajah pada musim kemarau di kecamatan Semin seperti terlihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Luas panen komoditi tanaman pangan dan rumput gajah pada musim kemarau di kecamatan
Semin (Ha)
Jenis Komoditi Luas Panen Jumlah
sawah tadah hujan tegalan
Padi 1.964 - 1.964
Jagung 45 127 172
Kedelai 425 1.690 2.115
Kacang tanah 6 1.079 1.085
Kacang hijau 49 58 107
Ketela pohon - 3.505 3.505
Rumput gajah 80 - 80
Jumlah 2.569 6.459 9.028
Sumber : Badan Pusat Statistik (2014).
Tabel 1 menunjukkan bahwa luas panen dari berbagai jenis komoditi tanaman pangan yang
ditanam dan rumput budidaya adalah sebesar 1.964 ha (padi), 172 ha (jagung), 2.115 ha (kedelai),
1.085 ha (kacang tanah), 107 ha (kacang hijau), 3.505 ha (ketela pohon), dan 80 ha (rumput gajah).
Luas panen yang dihasilkan dari lahan sawah tadah hujan sebesar 2.569 ha dan lahan tegalan sebesar
6.459 ha. Jeni komoditi tanaman padi hanya ditanam pada lahan sawah tadah hujan, sedangkan jenis
komoditi tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau sebagian besar ditanam
pada lahan tegalan, dan pada lahan sawah khususnya pada masa tanam ke-3 (setelah panen padi pada
masa panen ke-2). Komoditi tanaman ketela pohon hanya ditanam pada lahan tegalan. Sebagian besar
limbah dari hasil panen komoditi tanaman pangan di kecamatan Semin digunakan sebagai pakan
ternak ruminansia, sedangkan rumput yang digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah rumput
alam dan rumput gajah.
Keadaan Bahan Pakan Ternak
Secara umum sistem pemeliharaan ternak ruminansia di wilayah kecamatan Semin, adalah
dengan cara dikandangkan sepanjang tahun. Oleh karena itu cara pemberian pakannya adalah dengan
cara peternak memotong rumput atau hijauan lain kemudian membawanya pulang untuk diberikan
kepada ternak yang dipeliharanya di kandang (cut and carry).
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan di lapangan, dapat diketahui jenis pakan yang
diberikan sangat tergantung pada ketersediaan bahan pakan yang ada di lapangan yang dimiliki oleh
petani peternak. Terdapat 7 jenis bahan pakan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak
ruminansia, diantaranya adalah jerami padi, rumput gajah, jerami jagung, rumput alam, jerami kacang
tanah, daun ketela pohon, jerami kacang hijau, dan jerami kedelai. Peternak tidak menggunakan
konsentrat sebagai bahan pakan tambahan untuk ternaknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan
pakan utama yang digunakan hanya berupa limbah pertanian dan rumput gajah saja.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
53
Limbah pertanian lain yang digunakan sebagai pakan ternak yaitu jerami kedelai dan daun
ketela pohon. Bahan pakan tersebut tidak banyak digunakan karena jumlah tanaman kedelai yang
ditanam tidak sebanyak tanaman komoditi yang lain. Sedangkan penggunaan daun ketela pohon juga
tidak banyak dikarenakan waktu pemanenan ketela pohon dilakukan setahun sekali dan daun ketela
pohon tidak dapat diawetkan seperti halnya jerami padi. Sehingga daun ketela pohon banyak
digunakan sebagai pakan ternak ruminansia pada saat musim panen, yaitu sekitar bulan Agustus.
Jenis rumput yang dimanfaatkan di lokasi penelitian adalah rumput budidaya (rumput gajah)
dan rumput lapangan. Rumput gajah banyak ditanam pada lahan yang berada di pinggir sungai dan
pematang-pematang sawah atau batas antar petak tanah. Rata-rata pemanenan dilakukan setelah
rumput gajah berumur ± 30 hari. Rumput lapangan cukup banyak digunakan atau dimanfaatkan
sebagai bahan pakan. Rumput tersebut diperoleh peternak pada saat menyiangi tanaman pangan.
Sehingga rumput lapang susah dalam hal menghitung jumlah/total luasan dan produksinya.
Selain limbah pertanian dan rumput, terdapat hijauan pakan lain yang digunakan yaitu berupa
hijauan dari tanaman lain, misalnya daun mahoni, daun akasia, daun pisang dan lain-lain. Waktu dan
jumlah pemberiannya tidak sering dan tidak banyak, hanya pada saat terjadi kekurangan hijauan
pakan. Peternak mencarinya dengan cara merampas dari pohon yang berada di pekarangan sekitar
rumah atau kebun. Daun-daunan tersebut juga susah dalam menghitung jumlah/total luasan dan
produksinya, seperti halnya dengan rumput lapangan. Sehingga dari keseluruhan bahan pakan yang
tersedia dan sudah dimanfaatkan sebagai pakan ternak, hanya terdapat 7 jenis bahan pakan yang dapat
dihitung produksinya, yaitu limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, kacang
tanah, jerami kacang hijau, daun ketela pohon) dan rumput gajah.
Produksi Bahan Pakan
Dari 7 (tujuh) jenis bahan pakan potensial yang digunakan peternak, dianalisis proksimat
untuk mengetahui kandungan nutrien serta produksi BK, BO, PK dan TDN bahan pakan tersebut.
Kandungan nutrien dari masing-masing bahan pakan seperti terlihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Kandungan nutrien bahan pakan potensial yang digunakan oleh petani peternak
Jenis Bahan Pakan BK
(%)
Kandungan Nutrien (% BK)
BO PK LK SK TDN*)
Jerami padi 22,81 74,00 5,78 9,68 32,22 36,67 Jerami jagung 28,26 89,97 7,16 11,55 23,06 56,11 Jerami kedelai 50,23 93,95 10,58 11,23 5,11 48,01 Jerami kacang tanah 19,46 89,92 12,67 11,68 21,62 59,94
Jerami kacang hijau 27,11 89,34 11,18 12,08 23,14 56,64
Daun ketela pohon 26,53 93,24 18,14 15,00 17,54 66,86
Rumput gajah 19,96 78,83 9,61 10,14 34,27 40,77
*) : hasil perhitungan berdasarkan Hartadi (1998)
Sumber : Hasil analisis proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Berdasarkan data kandungan nutrien dan luas panen masing-masing jenis komoditi tanaman
pangan dan rumput gajah musim kemarau, dilakukan penghitungan produksi bahan pakan yakni bahan
segar, bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan total digestible nutrient (TDN)
yang dinyatakan dalam ton. Produksi bahan pakan sangat ditentukan oleh luas areal panen dari
masing-masing jenis tanaman pangan dan atau pakan yang ditanam pada suatu wilayah. Produksi
segar, BK, BO, PK dan TDN bahan pakan di wilayah kecamatan Semin pada musim kemarau seperti
terlihat pada Tabel 3 berikut.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
54
Tabel 3. Produksi bahan pakan Kecamatan Semin pada musim kemarau (ton)
Jenis Bahan Pakan Segar BK BO PK TDN
Jerami padi 41.047,60 9.362,96 6.928,59 541,18 3.517,66 Jerami Jagung 1.410,40 398,58 358,60 28,54 189,68 Jerami Kedelai 2.115,00 1.062,37 997,98 112,40 621,91 Jerami kacang tanah 7.703,50 1.499,10 1.347,99 189,94 906,21 Jerami kacang hijau 374,50 101,53 90,70 11,35 63,14 Daun ketela pohon 4.991,38 1.324,21 1.234,71 240,21 926,55 Rumput gajah 6.288,00 1.255,09 989,38 120,61 699,71
Jumlah 63.930,38 15.003,83 11.947,95 1.244,23 6.924,86
Selama musim kemarau, jumlah produksi bahan pakan di wilayah kecamatan Semin (segar,
BK, BO, PK dan TDN ) berturut-turut adalah 63.930,38 ton, 15.003,83 ton, 11.947,95 ton, 1.244,23
dan 6.924,86 ton. Produksi bahan pakan tertinggi adalah jerami padi, sedangkan produksi terendah
adalah jerami kacang hijau. Jerami padi produksi paling tinggi apabila dibandingkan dengan jenis
bahan pakan lainnya, dikarenakan tingginya luas panen untuk tanaman padi. Jerami kacang hijau
memiliki produksi paling rendah karena luas panen tanaman kacang hijau paling rendah (sempit)
dibandingkan dengan luas panen komoditi tanaman pangan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa
komoditi kacang hijau kurang diminati oleh petani untuk ditanam baik di wilayah kecamatan Semin.
Daya Tampung Ternak
Daya tampung ternak ruminansia wilayah kecamatan Semin berdasarkan kebutuhan BK, BO,
PK dan TDN sesuai dengan (Kearl, 1982) seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4. Daya tampung ternak berdasarkan kebutuhan BK, BO, PK dan TDN masing-masing jenis
bahan pakan (UT)
Jenis Bahan Pakan (UT/BK) UT/BO UT/PK UT/TDN
Jerami padi 6395,46 6.216,94 4051,04 4903,62
Jerami jagung 272,25 321,77 213,63 264,42
Jerami kedelai 725,66 895,48 841,37 866,94
Jerami kacang tanah 1023,98 1.209,54 1421,78 1.263,25
Jerami kacang hijau 69,35 81,39 84,97 88,02
Daun ketela pohon 904,52 1.107,88 1798,13 1.291,61
Rumput gajah 857,30 887,76 902,86 975,40
Jumlah 10.248,52 10.720,75 9.313,78 9.653.26
Berdasarkan produksi BK, BO, PK dan TDN bahan pakan di wilayah kecamatan Semin selama
musim kemarau (Tabel 3) mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia berturu-turut sebanyak
10.248,52 UT. 10.720,75 UT, 9.313,78 UT dan 9.653.26 UT.
Satu ekor ternak sapi yang telah dewasa setara dengan 1,0 UT, atau 0,16 UT untuk satu ekor
kambing dewasa atau 0,14 UT untuk satu ekor domba dewasa (Soekoharto, 1990), maka berdasarkan
produksi bahan pakan di wilayah tersebut, maka daya tampung untuk masing-masing komoditi
ternak pada musim kemarau adalah, sapi berkisar 9.313 – 10.720 ekor, kambing berkisar 58.211 -
67.004 ekor dan domba brkisar 66.527 – 76.576 ekor.
Hasil perhitungan daya tampung ternak ruminansia di wilayah kecamatan Semin dibandingkan
dengan jumlah populasi ternak yang ada di wilayah tersebut pada saat penelitian yakni sebanyak
9.880,70 UT, maka dapat diketahui bahwa ketersediaan bahan pakan berdasarkan BK, BO dan TDN
mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang ada, sedangkan ketersediaan bahan
pakan berdasarkan PK belum dapat memenuhi kebutuhan pakannya. Hal ini berarti bahwa
ketersediaan bahan pakan khususnya BK, BO dan TDN di wilayah kecamatan semin pada saat musim
kemarau dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia yang ada, akan tetapi kebutuhan PK-nya tidak
terpenuhi. Sehingga belum terjadi keseimbangan dari bahan pakan yang dimanfaatkan sebagai pakan
ternak ruminansia, dimana kebutuhan energi bisa terpenuhi, sedangkan kebutuahan PK belum
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
55
terpenuhi (kurang). Kondisi yang demikian dapat dipahami karena limbah tanaman pangan pada
umumnya tinggi kandungan SK (energi)-nya dan rendah kandungan PK-nya.
Upaya untuk memenuhi kebutuhan PK bahan pakan dapat ditempuh dengan mengintensifkan
lahan yang ada dengan cara menanam tanaman pertanian yang limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai
bahan pakan sumber protein misalnya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang, dan lain-
lain. Cara lain yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan PK adalah dengan
memanfaatkan tanaman Leguminoceae pakan seperti turi, gamal, lamtoro, dan lain-lain, yang
memiliki kandungan nutrien terutama kandungan PK yang tinggi, atau dengan cara meningkatkan
kualitas bahan pakan yang telah ada (khususnya limbah pertanian) dengan cara pengolahan-
pengolahan bahan pakan seperti pembuatan jerami padi fermentasi.
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :
1. Bahan pakan yang dominan digunakan sebagai pakan ternak ruminansia di wilayah kecamatan
Semin adalah berupa limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami
kacang hijau, jerami kedelai, dan daun ketela pohon) dan rumput gajah.
2. Belum terjadi keseimbangan jumlah pakan yang tersedia dengan jumlah ternak (populasi) yang
ada, ketersediaan PK lebih rendah dari kebutuhannya.
Daftar Pustaka
Anonimus. 1982. Inventarisasi Limbah Pertanian. Laporan survai. Direktorat Bina Produksi
Peternakan. Ditjen. Peternakan. Deptan dan Fak. Peternakan UGM. Yogyakarta
AOAC, 1965. Official Methods of Analysis of the Association of the Official Agricultural Chemists.
9th.Eds. Washington DC
Badan Pusat Statistik. 2014. Gunungkidul dalam Angka (Gunungkidul in Figure). Kerjasama dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul.
Devendra, C., C. Sevilla and D. Pezo, 2001. Food-feed systems in Asia. Review. Asian-Aust. J. Anim.
Sci. 14(5) : 733-745
Hartadi, H., S. Reksohadiprojo dan A.D. Tillman. 1998. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminant in Developing Countries. International
Feedstuff Institute, Utah Agricultural Experiment Station. Utah State University. Logan.
Utah.
Ngadmawati, S. 2001. Evaluasi Daya Dukung Pakan Ternak Ruminansia di Kab. Kebumen. Propinsi
Jawa Tengah. Tesis S2. Program Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.
Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE. Yogyakarta.
Ruswendi, 2004. Analisis Potensi Sumberdaya Pakan untuk Pabrik Pakan Ternak Sapi Potong di
Kabupaten Gunungkidul. Tesis S2. Program Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.
Soekoharto. 1990. Pedoman untuk Perencanaan Ekonomi Pembangunan Peternakan. Fakultas
Peternakan UGM. Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
56
Makalah 010
Kajian Suplementasi Pakan Sumber Energi Dengan Tingkat Degradasi Yang Berbeda
Ditinjau Dari Kinetika Fermentasi Dalam Rumen Sapi
Susi Dwi Widyawati1), Wara Pratitis Sabar Suprayogi1) dan Ristianto Utomo2)
1)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian UNS,
2)Staf Pengajar Fakultas Peternakan UGM
Abstrak
Kajian dalam penelitian ini ditekankan pada sapi yang biasa dipelihara pada peternakan rakyat.
Pemberian pakan tunggal jerami padi kurang mencukupi kebutuhan produksi ternak, oleh karena itu
perlu formulasi pakan yang mampu meningkatkan nilai nutrisi pada pakan serat kualitas rendah.
Mengkombinasikan pakan basal kualitas rendah yaitu jerami padi dengan suplemen untuk
optimalisasi sintesis mikrobia rumen sehingga kecernaan nutrien dan pertambahan bobot badan
meningkat serta dapat memperpendek lama pemeliharaan sapi.
Populasi mikrobia yang optimal akan meningkatkan efisiensi penggunaan ransum, untuk
meningkatkan populasi mikrobia dibutuhkan prekursor sumber energi dan sumber protein yang selaras
kesediaanya.
Penelitian bertujuan untuk menyusun formulasi suplemen berkualitas dengan sinkronisasi
sumber energi dan sumber protein bersumber bahan pakan lokal. Perlakuan yang diaplikasikan
mempertimbangkan kombinasi sumber energi cepat-sumber protein cepat, sumber energi lambat –
sumber protein lambat. P0 = kontrol (1% urea), P2 =P1 + minyak , P3 = P2 + dedak padi, P4 = P2 +
Onggok. Evaluasi nutrisi ransum perlakuan menggunakan sapi berfistula rumen, dengan kinetika
fermentabilitas ransum dengan mengambil cairan rumen 0, 4, 8, 12, 24 jam setelah distribusi pakan
yang pertama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan suplemen menunjukkan kinetika pH
,ammonia, sintesis mikrobia rumen cairan rumen pada perlakuan P3 dan P4 memberikan hasil yang
tidak berfluktuatif sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen pemacu kinerja mikrobia
(PKM) pada pakan sumber energi onggok dan bekatul mampu memberikan hasil yang sama jika
ternak tersebut diberikan konsentrat.
Kata kunci : pakan suplemen, fermentabilitas, kinetika amonia, VFA, sintesis mikrobia
Pendahuluan
Peternakan rakyat di Indonesia, sistem pemeliharaan sapi yang dikelola masih bersifat
tradisional, ternak yang dipelihara hanya diberikan hijauan berupa rumput lapang atau jerami padi
terutama pada musim panen dan pakan penguat (konsentrat) tidak selalu diberikan. Pakan jenis ini
tidak akan mampu mendukung pertumbuhan ternak sesuai dengan potensi genetiknya. Dengan
demikian perlu perubahan manajemen pakan kearah efisiensi dan efektifitas penggunaan pakan
melalui manipulasi fermentasi dalam rumen sehingga utilitas pakan dapat optimal.
Pakan serat kualitas rendah menuntut kerja keras dari mikrobia rumen pada proses
penmcernaannya. Aktivitas dan pertumbuhan optimal mikrobia bergantung pada senyawa Nitrogen
(N) dan asam alfa keto dari pakan. Urea merupakan pakan yang potensial sebagai sumber N bagi
mikrobia rumen, harganya murah dan selalu tersedia. Penggunaan urea mempunyai kendala yaitu
bersifat cepat terdegradasi menjadi amonia didalam rumen, sehingga apabila terakumulasi dalam
jumlah banyak akan bersifat toksik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan mengusahakan
urea untuk bisa lepas lambat dalam rumen (slow relesed-ammonia) sehingga dapat disinergikan
dengan sumber Carbon (C) dari dedak padi, onggok, dedak jagung dan gaplek yang mempunyai
tingkat degradasi yang berbeda dalam rumen. Penggunaan urea dengan minyak bertujuan untuk
memperlambat hidrolisis urea dalam cairan rumen, sehingga amonia tersedia sepanjang waktu
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
57
bersamaan dengan ketersediaan sumber C dari pakan sumber karbohidrat. Seperti halnya dengan urea
yang mampu menyediakan N sepanjang waktu, maka perlu disediakan sumber C yang tersedia setiap
saat sehingga terjadi sinkronisasi sumber N dan C. Penggunaan urea-minyak sawit dalam ransum sapi
pada taraf 1-2% urea dengan minyak sawit 3-6% sebagai upaya optimalisasi sintesis mikrobia rumen
dapat dilakukan tanpa memberikan efek negatif pada sapi (Widyawati, dkk., 2010). Selanjutnya dapat
dilaporkan bahwa kinetika amonia pada ransum baik dengan urea 1%-minyak sawit 3% maupun urea
2%-minyak sawit 6% cukup stabil selama 24 jam, keadaan ini menunjukkan bahwa urea terdegradasi
secara lambat atau urea lepas lambat, sehingga memungkinkan penyediaan sumber N sepanjang hari,
kinetika produksi VFA cukup memadai untuk mendukung terjadinya sintesis mikroba rumen.
Sebagaimana yang dinyatakan Widyobroto et al., 2001 bahwa sinkronisasi kerangka C dan N-amonia
akan sangat mendukung sintesis mikroba rumen.
Pada pemberian pakan basal berkualitas rendah, pemenuhan protein untuk ternak ruminansia
sangat tergantung dari protein asal mikrobia itu sendiri, karena protein asal mikrobia mampu
menyumbangkan sekitar 40-80% (Johnson, 1980; Czerkawski, 1986) dari kebutuhan protein untuk
ternak. Biomassa mikroba rumen telah diketahui merupakan sumber asam amino esensial bagi induk
semang (host).
Dari permasalahan di atas, diharapkan hasil penelitian ini mampu membuat formula pakan
suplemen yang mempunyai aspek terhadap perbaikan sintesis mikrobia rumen sehingga proses
pencernaan fermentatif terhadap pakan serat kualitas rendah dapat berjalan dengan baik, pada akhirnya
dapat memperbaiki performan ternak sapi, memperpendek masa pemeliharaan khususnya pada
peternakan rakyat.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di kandang sapi potong Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta dengan
menggunakan sapi berfistula rumen sebanyak 4 ekor.
Analisis bahan percobaan dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas
Pertanian UNS. Analisis konsentrasi amonia dan protein mikrobia dilakukan di Laboratorium
Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan UGM. Sedangkan produksi VFA parsial dilakukan di
Laboratorium Kimia PAU UGM.
Bahan pakan ternak yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh di daerah Surakarta dan
sekitarnya.
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Penyusun Ransum Perlakuan
Bahan Pakan P1 P2 P3 P4
Jerami Padi Fermentasi 50 49 49 49
Konsentrat 49 30 - -
Dedak Padi - - 30 -
Onggok - - - 30
Urea 1 1 1 1
Molases - 5 5 5
Minyak - 3 3 3
Bungkil Sawit 10 10 10 10
Vitamin + Mineral - 2 2 2
Jumlah 100 100 100 100
Kandungan nutrien ransum perlakuan disajikan pada Tabel 2. Kandungan PK dan SK cenderung
semakin menurun dengan penggunaan pakan sumber energi yang berbeda.
Jerami padi fermentasi dibuat dengan bahan dasar jerami padi berkadar air 60% ditambahlan urea dan
starbio dengan persentase yang sama 0.06%.
Peubah yang diamati pada penelitian adalah Fermentabilitas ransum. Data tersebut diukur
dengan pengambilan cairan rumen pada periode waktu 24 jam, yaitu 0, 4, 8, 12 dan 24 jam setelah
pemberian pakan yang pertama pada sapi berfistula rumen sebanyak 4 ekor yang diacak kedalam 4
perlakuan ransum mengikuti Rancangan Bujur Sangkar Latin. Selanjutnya dilakukan pengukuran
terhadap pH cairan rumen, konsentrasi amonia dan protein mikrobia.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
58
Pengukuran konsentrasi amonia dalam cairan rumen mencerminkan kemampuan ransum dalam
menyediakan Nitrogen bagi mikrobia rumen. Selain untuk tumbuh dan berkembangnya mikrobia
rumen, juga untuk mengetahui aktivitas mikrobia dalam memfermentasi pakan. Metode penentuan
kadar amonia menurut (Chaney and Marbach, 1962 cit Laboratorium Biokimia Nutrisi, 2006).
Metode yang digunakan pada penentuan protein mikrobia rumen adalah metode Lowry. Sampel
sebanyak 0.5 ml ditambah dengan larutan Lowry B dan didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya
ditambahkan 0.25 Lowry A dan dicampur kemudian didiamkan selama 30 menit. Baca dengan
menggunakan Spektronik pada χ 750 nm.
Tabel.2. Kandungan nutrien ransum perlakuan
Bahan
Pakan P1 P2 P3 P4
BO 83.38 83.18 83.46 83.01
PK 9.33 9.11 7.87 7.47
LK 3.58 7.40 9.87 6.95
SK 14.96 10.40 5.78 7.92
Abu 16.62 16.82 16.54 16.99
BETN 55.52 56.26 59.95 60.65
Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan.
Jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut terhadap rataan dengan uji beda nyata DMRT dan Kontras
Ortogonal (Astuti, 1980).
Hasil dan Pembahasan
Derajat keasaman (pH)
Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap proses fermentasi mikrobial dalam rumen,
penyerapan nutrien yang terbentuk dari hasil fermentasi, optimalisasi peran mikrobia dalam rumen.
Perubahan pH cairan rumen akan berakibat pada aktivitas dan kinerja mikrobia dalam rumen.
Mikrobia rumen mempunyai karakteristik dalam memfermentasi ransum yang dikonsumsi oleh ternak.
Mikrobia rumen mempunyai karakteristik dalam memfermentasi ransum yang dikonsumsi oleh ternak.
Tabel 1. pH cairan rumen
Waktu Inkubasi (jam) P1 P2 P3 P4
0 6.47 6.66 6.60 6.54
4 6.46 6.37 6.16 6.31
8 6.65 6.57 6.20 6.46
12 6.37 6.21 6.08 6.22
24 6.49 6.40 6.38 6.40
Rata-rata 6.54 6.38 6.20 6.58
Mikrobia dapat beraktifitas dengan optimal apabila derajat keasaman pH berkisar 6 - 7 dengan
temperatur 38- 42oC ( Yokohama dan Johnson, 1988).Pada kondisi pH tertentu, maka mikrobia
mampu menjalankan perannya dengan baik dan mikrobia sendiri dapat tumbuh dan berkembang
dengan optimal.
Rerata pH cairan rumen selama 24 jam dari perlakuan P1, P2, P3 dan P4 masih dalam kisaran
yang normal untuk aktivitas mikrobia rumen. Hal ini disebabkan ransum dari keempat perlakuan
mempunyai komposisi hijauan : konsentrat yaitu 50% : 50%. Pemberian hijauan yang lebih tinggi
dibandingkan konsentrat akan merangsang sekresi saliva di dalam mulut sehingga pH di dalam rumen
cenderung meningkat. Saliva berfungsi sebagai buffering capacity dalam cairan rumen. Sebaliknya.
Kinetika pH cairan rumen pada keempat perlakuan relatif stabil pada kisaran yang normal
cairan rumen. Ada kecenderungan penurunan pH cairan rumen setelah distribusi pakan konsentrat
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
59
setelah itu mengalami kenaikan yang tidak tajam. Rerata pH cairan rumen selama pengamat 24 jam
menunjukkan nilai yang optimal untuk terjadinya degradasi nutrien oleh mikrobia rumen. Kisaran
yang optimal untuk bekerjanya bakteri selulolitik adalah 6.2 – 6.8. Kondisi pH rumen perlakuan yang
relatif konstan disebabkan imbangan pemberian ransum hijauan : konsentrat sebesar 50% : 50%
yang berarti sekresi saliva kedalam rumen mampu mempertahankan pH rumen tetap stabil, hal ini
sesuai dengan penyataan Van Soest, (1994) bahwa adanya buffering capacity dari saliva karena
banyak mengandung bicarbonat dan fosfat serta terjadi sistem absorbsi VFA melalui dinding rumen.
Jika porsi konsentrat lebih banyak dibandingkan hijauan, maka akan menurunkan sekresi saliva yang
akan mengakibatkan penurunan pH cairan rumen karena proses fermentasi terhadap konsentrat lebih
cepat. Kecepatan fermentasi konsentrat akan memperepat terbentuknya asam-asam organik yang
selanjutnya derajat keasaman cairan rumen akan meningkat dan menurun pH
Konsentrasi Amonia (N-NH3)
Amonia merupakan hasil akhir degradasi protein dalam rumen. Tinggi rendahnya konsentrasi
amonia tergantung dari sifat protein yang terkandung dalam ransum yaitu daya larut atau solubilitas
protein dalam rumen. Konsentrasi amonia ransum perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Kinetika konsentrasi amonia ransum perlakuan (mg/100ml)
Waktu Inkubasi P1 P2 P3 P4
0 15.42 13.16 16.41 11.11
4 24.98 25.94 27.73 30.02
8 26.93 24.98 12.55 11.30
12 19.62 20.87 12.17 17.25
24 13.24 18.55 17.95 15.64
Ilustrasi di bawah ini menggambarkan bahwa konsentrasi amonia dari keempat ransum
perlakuan berfluktuasi selama 24 jam pengamatan. Ransum P1 dan P2 memperlihatkan konsentrasi
amonia yang cukup tinggi dibandingkan kedua ransum perlakuan yang lain yaitu P3 dan P4. Ransum
P1 dan P2 dalam degradasinya di rumen menghasilkan konsentrasi amonia yang tinggi, 17.66 dan 28
16 mg/100 ml yang setara dengan 10.39 dan 16.56 mM, sedangkan ransum P3 dan P4 sebatas ukup
untuk pertumbuhan dan perkembangan mikrobia yang normal yaitu sebesar 5.84 dan 6.11 mg/100 ml
yang setara dengan 3.43 dan 3.60 mM.
Gambar 1. Kinetika konsentarsi amonia ransum perlakuan
Hasil penelitian yang sebelumnya dijelaskan bahwa penggunaan minyak sawit : urea dengan
perbandingan 3 : 1 memberikan hasil kinetika amonia yang sangat baik (Widyawati dkk., 2011).
Selanjutnya dijelaskan bahwa pada penggunaan urea 2% dan minyak sawit 6% tidak memberikan efek
buruk bagi ternak. Kinetika degradasi protein pada perlakuan P3 dan P4 lebih lambat dan tidak
berfluktuatif jika dibandingkan P1 dan P2. Keadaan ini menjelaskan bahwa kombinasi urea dan
minyak membuat urea tidak mudah terdegradasi di dalam rumen sehingga memberikan konsentrasi
amonia yang aman bagi ternak alaupun berada pada dosis yang tinggi (2%). Minyak sawit diduga
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26
R1 R2 R3 R4
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
60
mampu menyelimuti urea (physical coating) dalam proses degradasinya sehingga terjadi degradasi
lepas lambat dan konsentrasi amonia berada pada kondisi yang aman bagi ternak.
Hal lain yang dapat dijelaskan pada penelitian ini bahwa rerata konsentrasi amonia selama
pengamatan 24 jam pada ransum P3 dan P4 yaitu sebesar 5.84 dan 6.11 mg/100 ml yang setara dengan
3.44 dan 3.59 mM. Konsentrasi ini cukup optimal untuk digunakan oleh mikrobia rumen sebagai
sumber Nitrogen untuk tumbuh, berkembang dan beraktivitas. Sebagaimana yang dilaporkan oleh
Satter dan Slyter (1977) dan Sutardi (1978) bahwa kebutuhan amonia untuk sintesis mikrobia rumen
sebesar 3.57 – 7.14 mM, konsentrasi yang lebih tinggi tidak mengakibatkan peningkatan pertumbuhan
mikrobia rumen. Sebagaimana yang dijelaskan Sutardi (1979) bahwa konsentrasi 98.3 mg/100 ml
(57.82 mM) tidak meningkatkan sintesis mikrobia rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain solubilitas dan laju degradasi pakan (Sauvant, 1995 ;
Widyobroto et al., 1995)
Protein Mikrobia
Mikrobia di dalam cairan rumen berperan utama dalam mencerna pakan. Konsentrasi di dalam
rumen sangat dipengaruhi oleh jenis pakan. Kinetika dan rerata selam 24 jam kosentrasi mikrobia
cairan rumen dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Kinetika produksi protein mikrobia (mg/ml)
Waktu Inkubasi P1 P2 P3 P4
0 0.46 0.42 0.49 0.51
4 0.49 0.44 0.75 0.61
8 0.32 0.33 0.30 0.35
12 0.33 0.33 0.30 0.35
24 0.28 0.34 0.30 0.29
Evolusi konsentrasi protein mikrobia maksimal terjadi pada 4 jam setelah distribusi pakan pada
P1, P2, P3 dan P4. Sintesis mikrobia P2 dan P3 cenderung berfluktuatif sedangkan pada P1 dan P4
cenderung relatif stabil. Rerata konsentrasi mikrobia rumen selama 24 jam pada ransum perlakuan P2
dan P3 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P4.Sintesis protein mikrobia
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ketersediaan NH3, energi dan kerangka karbon, suplai
mineral , tingkat konsumsi dan laju aliran partikel pakan dari rumen (Orskov,1992) Dilihat dari rata-
rata produksi protein mikrobia rumen menunjukkan bahwa P1, P2, P3 dan P4 masing-masing sebesar
18.09, 34.79, 34.54 dan 18.20 mg/100 ml cairan rumen. Jika dikaitkan dengan konsentrasi amonia
menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang tinggi pada perlakuan P1 dan P2 tidak diikuti oleh
produksi protein mikrobia.
Gambar 2. Kinetika produksi mikrobia rumen
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
0,60
0,70
0,80
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26
R1 R2 R3 R4
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
61
Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa tidak semua amonia dimanfaatkan oleh mikrobia rumen
untuk pertumbuhannya, namun banyak faktor yang mempengaruhinya. Sebagaimana yang dijelaskan
oleh Widyobroto, dkk., (1999) bahwa sumber energi dan sumber N bagi mikrobia rumen berada secara
bersama sama, atau sinkronisasi sumber C dan N sangat penting untuk optimalisasi sintesis mikrobia
rumen
P3 dan P4 menghasilkan rata-rata konsentrasi amonia yang hampir sama, namun sangat berbeda
produksi protein mikrobia rumen yang dihasilkan. Keadaan yang diharapkan pada penelitian ini
bahwa kinetika degradasi urea dalam rumen secara lambat atau slow release urea. Sehingga pada
penelitian ini ransum P3 dan P4 memberikan hasil yang stabil selama 24 jam inkubasi dalam rumen.
Konsentrasi yang berlebihan dalam rumen, maka amonia hanya akan di daur ulang (N recycling) dan
di dalam hati akan diubbah menjadi urea, dan jika masih kelebihan akan difiltrasi di ginjal (Tillman et
al.,1991). Penggunaan kelebihan amonia terkendala oleh hati oleh kemampuan hati mengubah amonia
menjadi urea. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa P3 menyediakan amonia dalam jumlah yang
cukup untuk mikrobia rumen dan tidak berlebihan namun menghasilkan protein mikrobia rumen yang
cukup tinggi.
Simpulan
Penggunaan dedak padi dan onggok memberikan nilai nutrisi yang setara dengan konsentrat
ditinjau dari konsumsi nutrien, fermentabilitas ransum dan kecernaan nutriennya.
Penggunaan Onggok dalam ransum memberikan perbaikan nilai nutrisi ransum dibandingkan
dedak padi. Penggunaan onggok dengan suplementasi nutrien untuk peningkatan sintesis mikrobia
rumen mampu memperbaiki lingkungan rumen.
.
Daftar Pustaka
Anonim, 2004. Petunjuk Praktikum Biokimia Nutrisi. Laboratorium Biokimia Nutrisi, Jurusan Nutrisi dan
Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.
Association of Official Analysis Chemist. 1980. Official methods of analysis of the Association of Official
Analytical Chemist. 13th ed. Association of Official Analytical Chemist, Washington, DC.
Chen,X.B., Y.B. Chen, Franklin, E.R. Orskov and W.J. Shand. 1992.The effect of feed intake and body weigh on
purine derivative excretion and microbial protein supply in sheep. J. Anim. Sci. 70:1534 - 1542
Czerkawski, J. W. 1986. An Introduction to Rumen Studies.Pergamon Press. Oxford
Dhiman, T.R. and L.D. Satter. 1997. Effect of ruminally degraded protein on protein available at the intestine
assessed using blood amino acid concentrations. J. Anim. Sci. 1997. 75:1674-1680.
Goering and Van Soest. 1970. Forages fiber analysis (apparatus, reagents, procedures and some applications).
Agriculture Handbook No. 379. Agricultural Reasearch Service United State Departement of Agriculture.
Washington, D.C.
McDonald, P., R.A. Edward and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. 4th edition. English Language Book
Society, Longman, London.
McDonald, P., R.A. Edward and J.F.D. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th edition. English Language Book
Society, Longman, London.
Tillman, A.D., H.Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.Prawirokusumo dan S. Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan
Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press.
Ørskov, E.R. 1992. Protein Nutrition in Ruminants. Second edition. Academic Press. London.
Sauvant, D and J. Van Milgen. 1995. Dynamic aspects of carbohydrate and protein breakdown and the
associated microbial matter synthesis. In : Ruminant Physiology : Digestion, Metabolism, Growth and
Reproduction (Engelhardt et al, Ed). Proceedings of the eight International Symposium on Ruminant
Physiology. Stuttgart Germany. 71-87.
Sutardi, T. 1978. Ikhtisar Ruminologi. Dept. Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Bogor.
Van Soest, P.J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. Cornell University. Ithaca and London.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
62
Widyawati, S.D., W.P.S. Suprayogi, R. Utomo, S.P.S. Budhi. 2010. Percepatan Penggemukan Ternak Sapi
Melalui Suplementasi Sumber Protein Dengan Metode Slow Released-Ammonia. Laporan Penelitian
Hibah Pekerti. Fakultas Pertanian UNS.
Widyobroto B.P., S. Padmowijoto dan R. Utomo. 1995. Pendugaan Kualitas Protein Bahan Pakan (Hijauan,
Limbah Pertanian dan Konsentrat) Untuk Ternak Ruminansia. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan
UGM.
Widyobroto B.P., S.P.S. Budhi, A. Agus and B. Santosa. 1999. Effect of undegraded protein level on nutrient
digestibility and microbial protein synthesis of dairy cows. In : Lobley GE, A. White and JC. MacRae.
(Ed). Protein metabolism and nutrition. Book of
abstracts of the VIIIth International Symposium on Protein and Metabolism. P. 72. EAAP publication
Wageningen Holland.
Weimer, P.J.1996. Why Don’t Ruminal Bakteri Digest Cellulose Faster? Journal Dairy Science. 79 : 1496-1502.
Yusiati L., M. Soejono, Z. Bachrudin, S.P. S. Budhi, B.P. Widyobroto. 1997. Response of Glumerular Filtration
Rate and Purine Derivatives Excretin to Feed Intake in Bali and Ongole Crossed Bred Cattle. Buletin of
Animal Science Special Edition. P. 155-159.
Yokoyama,M.T and K.A. Johnson. 1988. Microbiology of the rumen digestive physiology and nutrition. In :
D.C. Church (Ed.), The Ruminant Animal. Printice Hall, Englewood Cliifs, New Jersey. Pp. 125 -144.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
63
Makalah 011
Evaluasi Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Ayam Broiler yang Diberi Pakan
Suplementasi Probiotik Bacillus Diperkaya Vitamin dan Mineral
Mia Mitasari, I. Isroli dan H. I. Wahyuni
Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Email :[email protected]; [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penambahan probiotik Bacillus plus vitamin dan
mineral terhadap jumlah eritrosit dan hemoglobin ayam broiler pada hari ke-14 dan hari ke-28. Materi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 ekor ayam broiler strain Lohmann umur sehari yang
tidak dibedakan jenis kelaminnya dengan rerata bobot badan yaitu 45,9 1,80 gram. Probiotik
Bacillus plus vitamin dan mineral diberikan dalam pakan pada perlakuan dengan level 0% (T0), 0,1%
(T1), 0,5% (T2) dan 1% (T3). Parameter yang diamati yaitu jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin
pada hari ke-14 dan hari ke-28. Data dianalisis keragamannya berdasarkan rancangan acak lengkap
(RAL) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan antara umur 14 dan 28 hari digunakan uji-t. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan probiotik Bacillus dengan vitamin
serta mineral terhadap jumlah eritrosit namun berpengaruh terhadap kadar hemoglobin ayam broiler.
Pengaruh nyata ditunjukkan pada eritrosit umur yang berbeda dan hemoglobin pada umur 14 hari.
Dapat disimpulkan bahwa probiotik Bacillus dengan vitamin serta mineral meningkatkan kadar
hemoglobin dan pada ayam yang unurnya lebih muda mempunyai jumlah eritrosit yang lebih tinggi.
Kata kunci: Probiotik, eritrosit, hemoglobin, ayam broiler
Pendahuluan
Ayam broiler merupakan ternak unggas yang dengan produksi daging tinggi dan sebagai
sumber protein dari kebanyakan masyarakat Indonesia. Konsumsi daging ayam semakin meningkat
dari tahun ke tahun melihat pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Keunggulan ayam
broiler yaitu produktivitasnya tinggi dilihat dari laju pertumbuhan yang cepat dan sangat efisien dalam
menggunakan pakan yang dikonsumsi. Di samping produktivitas yang tinggi tersebut juga memiliki
kelemahan yaitu sangat rentan terhadap penyakit. Kondisi kesehatan ayam broiler dapat diketahui
melalui darah (seperti eritrosit dan hemoglobin) yang berfungsi dalam transportasi nutrien dan oksigen
ke jaringan tubuh. Jumlah eritrosit dan hemoglobin dapat menurun apabila dalam kondisi kekurangan
nutrien atau terinfeksi penyakit dan dapat meningkat ketika tubuh membutuhkan banyak oksigen
sehingga ayam harus selalu dijaga kondisi kesehatannya.
Salah satu cara untuk mencegah penyakit dan menjaga kesehatan ayam broiler digunakan
tambahan pakan berupa antibiotik atau Antibiotic Growth Promoters (AGPs). Penggunaan antibiotik
sudah sejak lama dalam dunia peternakan terutama unggas. Padahal saat ini terdapat larangan
penggunaan antibiotik sebagai pakan tambahan ternak karena adanya resistensi pada ayam dan
manusia sebagai konsumen. Salah satu dampak penggunaan antibiotik yaitu penurunan performa,
kesehatan dan peningkatan prevalensi terhadap beberapa penyakit pada ayam broiler.
Penggunaan obat alami untuk ayam broiler sangat dibutuhkan sebagai pengganti antibiotik yang
dapat merugikan konsumen. Probiotik merupakan mikroba hidup yang dapat menyeimbangkan
keberadaan mikroorganisme dan mengeliminasi mikroba patogen dalam tubuh (April et al., 2001).
Bacillus adalah salah satu bakteri yang saat ini banyak digunakan sebagai probiotik dalam pakan
ternak dan untuk hasil yang efektif oleh aktivitas probiotik digunakan strain Bacillus dari isolasi isi
rumen sapi (Sugiharto, 2016). Kebutuhan vitamin dan mineral ayam dapat meningkat kapan saja
karena memiliki fungsi untuk pertahanan tubuh ayam. Vitamin dan mineral dalam tubuh berfungsi
dalam proses fisiologis dan metabolisme serta sangat vital walaupun dalam jumlah sedikit menjadi
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
64
bagian dari enzim-enzim atau hormon yang berperan dalam bagian struktural molekul seluler (Arifin,
2008). Oleh karena itu penambahan vitamin dan mineral perlu dilakukan untuk memenuhi
ketersediaannya. Probiotik berbasis bacilus ini akan diperpadukan dengan penambahan vitamin dan
mineral untuk menjaga agar ayam tetap dalam kondisi sehat sehingga eritrosit dan hemoglobin dapat
bekerja dengan optimal.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian probiotik berbasis Bacillus yang
diperkaya dengan vitamin dan mineral terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin ayam broiler.
Manfaat dari penelitian ini yaitu meningkatkan daya guna bakteri Bacillus yang diperkaya vitamin dan
mineral dalam pakan untuk lebih memperbaiki tingkat kesehatan ayam. Hipotesis dari penelitian ini
adalah penambahan probiotik Bacillus plus vitamin dapat mempertahankan kondisi hematologis,
sehingga mampu mempertahankan kesehatan dan meningkatkan produktivitas ayam broiler.
Materi dan Metode
Penelitian ini menggunakan DOC (Day Old Chick) ayam broiler sebanyak 300 ekor dengan
bobot badan awal rata-rata sebesar 45,9 1,80 gram. Pakan yang digunakan yaitu pakan komersial
serta pakan tambahan probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral.
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap unit percobaan diisi 12 ekor DOC ayam broiler
(unsex). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA
(Analisis Varians) dan uji F pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993). Data diambil 2 kali yaitu pada
umur 14 dan 28 hari. Untuk mengetahui perbedaan rataan pada umur yang berbeda dilakukan uji-t.
apabila data diketahui signifikan maka dilakukan uji Duncan. Perlakuan yang diberikan pada pakan
sebagai berikut:
T0 : Pakan komersial tanpa ditambah probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral
T1 : Pakan komersial ditambah 0,1% probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral
T2 : Pakan komersial ditambah 0,5% probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral
T3 : Pakan komersial ditambah 1% probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral
Penelitian dilakukan dengan 3 tahap yang meliputi tahap persiapan, tahap pemeliharaan dengan
perlakuan dan tahap pengumpulan data. Tahap persiapan dilakukan dengan mempersiapkan kandang
litter. Pembuatan kandang sebanyak 16 petak, kandang terlebih dahulu dicuci, dilakukan pengapuran,
instalansi lampu, pemasangan tempat pakan dan minum, pemasangan termometer dan higrometer serta
persiapan alat-alat pendukug selama penelitian. Bakteri Bacillus didapatkan dari isi rumen sapi yang
diisolasi dan dikombinasikan dengan vitamin dan mineral. Pakan yang diberikan berupa pakan
komersial untuk ayam pedaging.
Tahap pemeliharaan dengan perlakuan pertama dilakukan penimbangan dan penempatan DOC
secara acak dalam masing-masing kandang litter. Ayam broiler diberi perlakuan pakan selama 6
minggu masa pemeliharaan dengan rincian 2 minggu pertama sebagai adaptasi dan 4 minggu
berikutnya pengambilan data. Pemberian pakan dan air minum dilakukan secara adlibitum.
Tahap pengambilan data dilakukan pada saat ayam berumur 14 dan 28 hari. Setiap petak
kandang diambil sebanyak satu ekor ayam secara acak untuk dijadikan sebagai sampel. Pengambilan
darah pertama pada ayam umur 1 minggu dilakukan dengan memotong ayam, darah yang mengalir
ditampung sebanyak 2 ml. Pengambilan darah pada ayam umur 4 minggu dilakukan melalui vena
brachialis dengan spuit ukuran 3 ml.
Hasil dan Pembahasan
Eritrosit
Hasil pemeriksaaan hematologis darah ayam broiler pada umur 14 dan 28 hari yang diberi
ransum suplementasi probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan
analisis ragam pada uji-t terdapat pengaruh nyata (P<0,05) penambahan suplemen berbasis probiotik
Bacillus dengan vitamin serta mineral terhadap jumlah eritrosit.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
65
Tabel 1. Rata-rata Jumlah Eritrosit Ayam Broiler yang Diberi Probiotik Bacillus dengan Vitamin serta
Mineral umur14 dan 28 Hari
Suplemen P1 (Hari Ke-14) P2 (Hari Ke-28)
0% 3,71 1,04 2,00 0,15 0,1% 4,56 1,07a 2,16 0,18b
0,5% 4,40 0,88a 1,94 0,03b
1,0% 3,58 1,69a 2,02 0,15b
Keterangan : Superskrip taraf kelompok pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Total eritrosit pada umur 14 dan 28 hari dalam penelitian ini yaitu 3,58 – 4,56 juta/mm3 dan
1,94 – 2,16 juta/mm3. Hasil tersebut normal dan sedikit diatas standar karena jumlah normal ertrosit
ayam pedaging berkisar 2,11 – 3,5 juta/mm3 (Sugiharto et al., 2016; Dharmawan, 2002). Hal ini
menandakan bahwa penambahan probiotik Bacillus dengan vitamin serta mineral dalam pakan tidak
mengganggu jumlah eritrosit ayam broiler. Menurut Julendra et al. (2010) peran eritrosit sejalan
dengan tugas hemoglobin, yaitu berperan dalam pertukuran gas dan distribusi oksigen kedalam sel,
serta membawa nutrisi dari sistem pencernaan untuk proses metabolisme dan mengedarkan hasil
metabolisme ke seluruh tubuh. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit yaitu tingkat kebutuhan O2
, kecukupan nutrisi dan hormon. Semakin banyaknya jumlah eritrosit menunjukkan tingginya hasil
metabolisme yang dibawa untuk di edarkan ke seluruh tubuh, sehingga semakin baik karena dapat
meningkatkan produktivitas ayam broiler. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata bobot badan ayam
broiler pada umur 35 hari berbeda nyata (P<0,05) perlakuan T2. Pada uji-t menunjukkan kadar
eritrosit berbeda nyata (P<0,05) pada perlakuan T1, T2 dan T3. Adanya pengaruh nyata menunjukkan
bahwa kadar eritrosit pada umur 14 hari lebih tinggi dari eritrosit umur 28 hari. Perbedaan kadar
eritrosit tersebut dipengaruhi oleh umur dan lingkungan ayam broiler. Hal ini sesuai dengan pendapat
Sugiharto (2016) yang menyatakan bahwa umur dan kondisi lingkungan tertentu dapat mempengaruhi
profil darah merah ayam pedaging. Ayam broiler pada umur 14 hari masih berada dalam masa
brooding yaitu periode dalam induk buatan. Menurut Fatmaningsih et al. (2016) anak ayam yang
berumur 0 sampai 14 hari merupakan kondisi yang kritis selama pemeliharaan karena menentukan
baik tidaknya performa ayam di periode selanjutnya. Dalam periode brooding akan terjadi proses
perbanyakan sel (hyperplasia) yang meliputi perkembangan saluran pencernaan, saluran pernapasan
dan sistem kekebalan tubuh. Pada masa brooding ayam memerlukan O2 lebih banyak untuk proses
metabolisme nutrien dalam menunjang pertumbuhan yang cepat. Perlakuan T1, T2 dan T3 umur ayam
yang lebih muda mempunyai eritrosit lebih banyak.
Hemoglobin
Rata-rata jumlah hemoglobin ayam broiler yang diberi pakan tambahan berupa probiotik
Bacillus dengan vitamin serta mineral disajikan pada Tabel 2. Perlakuan yang berbeda mengakibatkan
jumlah hemoglobin yang berbeda pula. Terdapat perbedaan jumlah hemoglobin ayam broiler pada
umur 14 dan 28 hari.
Tabel 2. Rata-rata jumlah hemoglobin ayam broiler pada umur 14 dan 28 hari
Suplemen P1 (Hari Ke-14) P2 (Hari Ke-28)
0% 8,45 1,05b 9,13 0,42
0,1% 10,30 1,82ab 9,43 0,68
0,5% 11,15 1,32a 8,90 0,66
1,0% 10,26 1,89ab 9,15 0,95
Keterangan : Super skrip pada kolom yang sama dalam menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin ayam broiler umur 14 hari berkisar
8,45 – 11,15 g/dL dan pada umur 28 hari berkisar 8,90 – 9,43 g/dL. Hasil hemoglobin pada umur 14
dan 28 hari terbilang normal karena kadar hemoglobin yang normal pada ayam broiler yaitu berkisar
7,0 gr/dl-13,0 gr/dl (Dharmawan, 2002). Secara statistik kadar hemoglobin ayam tidak ada perbedaan
tetapi secara absolut pada umur 14 hari kadar hemoglobin cenderung lebih banyak dibandingkan pada
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
66
umur ke-28 hari. Menurut pendapat Ulupi dan Ihwantoro (2014) dalam masa brooding ayam akan
memerlukan suhu lingkungan yang lebih tinggi karena ayam belum mampu beradaptasi terhadap
lingkungan akibat pengaturan panas di dalam tubuh yang belum sempurna. Sehingga untuk
menghasilkan panas yang lebih, tubuh meningkatkan proses metabolisme. Proses metabolisme tinggi
akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan memicu peningkatan kadar hemoglobin sehingga jumlah
eritrosit dalam tubuh meningkat. Keadaan hemoglobin yang normal mengindikasikan bahwa
penambahan probiotik Bacillus dengan vitamin serta mineral dalam pakan tidak berpengaruh negatif
terhadap kadar hemoglobin ayam broiler. Hemoglobin berfungsi dalam pertukaran gas (CO2) dan
distribusi oksigen (O2) di dalam sel (Yuniwarti, 2015). Rata-rata kadar hemoglobin umur 14 hari pada
ayam tanpa diberi suplemen tidak berbeda dengan yang diberi suplemen 0,1% dan 1%, namun berbeda
(P<0,05) dengan yang diberi suplemen 0,5%. Kadar hemoglobin tertinggi yaitu yang mendapat
perlakuan suplemen 0,5%. Hal ini dimungkinkan karena dari ketiga perlakuan pemberian suplemen
dengan kadar 0,5% adalah yang paling ideal. Menurut Haryati (2011) penggunaan pakan tambahan
berupa probiotik untuk ternak non ruminansia yang efisien yaitu sekitar 0,4 – 0,5% dan penambahan
sebanyak 0,8 – 1% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kinerja, aktifitas enzim
pencernaan, mikroflora usus atau morfologinya. Menurut pendapat Napirah et al. (2013) jumlah
hemoglobin yang baik mampu mencukupi kebutuhan oksigen dalam metabolisme tubuh sehingga
semakin banyak tersedianya kadar hemoglobin dalam darah semakin optimal proses metabolisme
sehingga suplai nutrien terpenuhi dan kesehatan ayam terjaga secara optimal.
Simpulan
Penambahan probiotik berbasis Bacillus yang diperkaya oleh vitamin dan mineral dalam
pakan ayam broiler menghasilkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin lebih banyak pada umur yang
lebih muda yaitu 14 hari. Hasil perlakuan terbaik yaitu jumlah eritrosit dan hemoglobin tertinggi
ditunjukkan pada pemberian suplemen dengan kadar 0,5%.
Daftar Pustaka
Arifin, Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal
Litbang Pertanian, 27 (3): 99 – 105.
Dharmawan, NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner, Hematologi Klinik. Universitas Udayana:
Denpasar.
Fatmaningsih, R., Riyanti dan K. Nova. 2016. Performa ayam pedaging pada sistem brooding konvensional dan
thermos. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 4 (3): 222 – 229.
Haryati, T. 2011. Probiotik dan prebiotik sebagai pakan imbuhan nonruminansia. WARTAZOA 21 (3): 125 -
132.
Julendra, H., Zuprizal dan Supadmo. 2010. Penggunaan tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai aditif
pakan terhadap penampilan produksi ayam pedaging, profil darah, dan kecernaan protein. Buletin
Peternakan 34 (1): 21 – 29.
Napirah, A., Supadmo, dan Zuprizal. 2013. Pengaruh penambahan tepung kunyit (Curcuma domestica valet)
dalam pakan terhadap parameter hematologi darah puyuh (Coturnix-coturnix japonica) pedaging.
Buletin Peternakan. 37 (2): 114-119.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics a Biometrical Approach. Mc. Graw-
Hill Book Co. International Ed, Singapore.
Sugiharto. 2016. Role of nutraceuticals in gut health and growth performance of poultry. Journal of the Saudi
Society of Agricultural Sciences. 15: 99 –111.
Sugiharto., T. Yudiarti, dan I. Isroli. 2016. Haematological and biochemical parameters of broilers fed cassava
pulp fermented withfilamentous fungi isolated from the Indonesian fermented dried cassava. Livestock
Research for Rural Development. 28 (4): 1 – 6.
Ulupi, N. dan T. T. Ihwantoro. 2014. Gambaran darah ayam kampung dan ayam petelur komersial pada kandang
terbuka di daerah tropis. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 2 (1): 219 – 223.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
67
Yuniwarti, E. Y. W. 2015. Profil darah ayam broiler setelah vaksinasi AI dan pemberian berbagai kadar VCO.
Buletin Anatomi dan Fisiologi. 23 (1): 38 – 46.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
68
Makalah 012
Evaluasi Penggunaan Limbah Tauge yang Difermentasi Trichoderma
harzianum terhadap Konsumsi Bahan Kering, Kecernaan Bahan
Kering dan Bahan Organik pada Ransum Itik Lokal
Dewi Istiqomah, Retno Iswarin P dan Sri Sumarsih
Fakutas Peternakan dan Pertanian, S1-Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang
Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Kota Semarang Kode Pos 50275
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh penggunaan limbah tauge fermentasi terhadap
konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik itik lokal. Materi yang digunakan
yaitu itik lokal (itik tegal) jantan sebanyak48 ekor yang berumur 7 hari dengan bobot badan 52,81 ±
8,31 gram. Pakan terdiri dari dedak padi, bungkil sawit, pollard, tepung ikan, onggok dan bungkil
kedelai. Limbah tauge kacang hijau yang didapatkan dari pasar tradisional di Semarang, Salatiga dan
Kudus. Trichoderma harzianumdari Laboratorium Produksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas
Jendral Soedirman Purwokerto, molasses dan aquades. Peralatan yang digunakan antara lain baskom,
timbangan digital,plastik,lakban, kandang dan alat untuk tempat pemeliharaan itik.Hasil penelitian
menunjukkan bahwa limbah tauge fermentasi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada konsumsi bahan
kering, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Konsumsi bahan kering limbah tauge
fermentasi itik lokal jantan untuk T0, T1, T2 danT3 masing-masing adalah 98,19 gram/ekor/hari;
96,67 gram/ekor/hari; 97,82 gram/ekor/hari dan 95,92 gram/ekor/hari. Kecernaan bahan kering limbah
tauge fermentasi itik lokal jantan untuk T0, T1, T2 danT3 masing-masing adalah 67,99 %; 68,30 %;
66,68 % dan 68,64%. Kecernaan bahan organik limbah tauge fermentasi itik lokal jantan untuk T0,
T1, T2 dan T3 masing-masing adalah 64,14 %; 64,51 %; 62,86 % dan 65,61 %.Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan limbah tauge tidak perlu dilakukan fermentasi dan
dengan pemberian sampai taraf 15%.
Kata kunci: Itik Tegal, limbah tauge, fermentasi, konsumsi, bahan kering, kecernaan, bahan kering,
bahan organik
Pendahuluan
Itik Tegal merupakan jenis itik lokal yang berasal dari Tegal Jawa Tengah. Itik tegal dikenal
sebagai itik tipe dwiguna yaitu penghasil telur dan daging. Itik tegal jantan lebih dipilih sebagai
penghasil daging oleh masyarakat karena harga bibit lebih murah, pertumbuhannya lebih cepat
dibandingkan dengan itik betina dan dapat diberikan pakan dengan kandungan serat kasar yang
tinggi(Mangisah dkk., 2008), namun itik juga memiliki batas toleransi terhadap serat kasar yang
dicerna (Denbow, 2000). Keunggulan tersebut yang membuat masyarakat banyak memelihara itik
namun terdapat kendala dalam memelihara itik tersebut diantaranya mahalnya harga bahan pakan
penyusun ransum sehingga perlu adanya pakan alternatif.
Bahan pakan inkonvensional bisa diperoleh dari limbah pertanian maupun industri pertanian
yang memiliki ketersediaan cukup tinggi, kontinyu, murah, mudah didapat, tidak beracun, kandungan
nutrisi yang potensial bagi produksi ternak serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu
limbah pertanian yang berpotensi dijadikan pakan ternak yaitu limbah tauge. Limbah tauge kacang
hijau merupakan sisa produksi tauge terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang
dibawa dalam pencucian akhir pembuatan tauge segar yang tidak memiliki nilai ekonomis.
Limbah tauge yang berlimpah dan merupakan limbah industri yang memiliki kandungan nutrisi
diantaranya bahan kering (BK) 87,94%, abu 2,32%, protein kasar (PK) 14,42%, serat kasar (SK)
38,50%, lemak kasar (LK) 0,21%, Ca 0,86% dan P 0,41%(Farid, 2012). Produksi kacang hijau secara
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
69
nasional sekitar 271.463 ton pada tahun 2015 dan setiap satu kilogram kacang hijau akan
menghasilkan 5 kg tauge dan 20% – 40% merupakan kulit kecambah segar (BPS, 2015). Limbah
tauge digunakan sebagai pakan ternak dari kandungan nutrisi yang masih baik dan sebagai sumber
energi ternak. Limbah tauge dapat diberikan pada ternak unggas yang dapat mencerna serat kasar
dengan baik salah satunya yaitu itik (Mangisah dkk., 2009).
Rata-rata peternak memberikan limbah tauge pada itik dalam keadaan segar karena limbah
tersebut tidak tahan lama dan kandungan serat kasarnya melebihi kemampuan itik untuk mencerna
serat kasar.Serat kasar yang dicerna itik berkisar 5 – 10% (Denbow, 2000). Kendala tersebut dapat
ditangani dengan pengolahan pakan fermentasi untuk menurunkan serat kasar dari bahan pakan
tersebut dan dapat memperpanjang masa simpan dari bahan pakan yang difermentasi. Fermentasi
dapat dilakukan menggunakan berbagai starter salah satunya yaitu Trichoderma harzianum.
Trichoderma harzianum merupakan salah satu kapang yang digunakan sebagai starter dalam
fermentasi. Trichoderma harzianum digunakan sebagai starter dalam proses fermentasi karena
pertumbuhan dari kapang tersebut lebih cepat(Aini dkk. 2013), dapat dilihat secara organoleptik serta
menghasilkan enzim selulase yang membantu perombakan selulosa menjadi glukosa sehingga
meningkatkan kecernaan bahan pakan. Kecernaan pakan digunakan sebagai tolak ukur dari kualias
pakan yang diberikan pada ternak, kecernaan tersebut diantaranya kecernaan bahan kering dan
kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik yang baik menunjukkan kualitas
pakan yang diberikan memiliki kandungan nutrisi yang baik dan dapat dimanfaatkan ternak secara
optimal untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan produktifitas.
Tujuan penelitian adalah mengkaji pengaruh penggunaan limbah tauge fermentasi terhadap
konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik itik lokal. Manfaat penelitian
adalah untuk memberi informasi konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik
limbah tauge fermentasi pada itik lokal. Hipotesis penelitian adalah diduga limbah tauge fermentasi
akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada itik lokal periode starter.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai Januari 2017 di Kelurahan Getas
Pendowo, Kecamatan Kuripan, Purwodadi, di Laboratorium Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu
dan Nutrisi Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi
Materi yang digunakan diantaranya 48 itik lokal (itik tegal) jantan berumur 7 hari dengan bobot
badan 52,81 ± 8,31 gram. Pakan yang terdiri dari dedak padi, bungkil sawit, pollard, tepung ikan,
onggok dan bungkil kedelai sesuai kebutuhan nutrisi itik fase starter. Limbah tauge kacang hijau yang
diperoleh dari pasar tradisional di Semarang, Salatiga dan Kudus. Trichoderma harzianum dari
Laboratorium Produksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto,
molasses dan aquades. Peralatan yang digunakan antara lain baskom, timbangan digital, plastik,
lakban, kandang dan alat untuk tempat pemeliharaan itik. Plastik yang digunakan untuk tempat
fermentasi bahan pakan. Lakban yang digunakan untuk merapatkan plastik fermentasi. Kandang dan
alat untuk tempat pemeliharaan itik.
Metode
Rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap
(RAL), dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan sehingga ada 16 unit percobaan. Perlakuan sebagai berikut :
T0= Penggunaan Limbah Tauge 15%
T1= Penggunaan Limbah Tauge 10% + Limbah Tauge Fermentasi 5%
T2= Penggunaan Limbah Tauge 5% + Limbah Tauge Fermentasi 10 %
T3= Penggunaan Limbah Tauge Fermentasi 15%.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
70
Model matematika menururt Steel dan Torie (1991) sebagai berikut :
Yij=µ +Ʈi + ƹij
Keterangan:
Yij = konsumsi bahan kering, konsumai bahan organik, kecernaan bahan kering
dan kecernaan bahan organik ke-j yang memperoleh perlakuan pemberian
pakan mengandung limbah tauge fermentasi ke-i.
I = perlakuan (T0, T1,T2, T3)
J = ulangan (U1,U2, U3, U4)
µ = nilai tengah umum (rata-rata) konsumsi bahan kering, konsumai bahan
organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.
Ʈi = pengaruh pemberian limbah tauge fermentasi dalam pakan dengan
penambahan ke-i.
Ƹij = pengaruh galat percobaan pada konsumsi bahan kering, konsumai bahan
organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pakan ke-j
akibat pengaruh pemberian pakan meengandung limbah tauge fermentasi ke-
i.
Data dianalisis ragam atau analisis of variance(ANOVA) dan jika ada pengaruh nyata (P<0,05)
maka dilakukan uji lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Gomez dan Gomez, 1984).
Parameter yang diamati
Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :
1. Konsumsi bahan kering
Mengkaji penggunaan limbah tauge fermentasi pada taraf pemberian yang berbeda terhadap
konsumsi bahan kering pada itik lokal jantan.Cara menghitung konsumsi bahan kering
menggunakan metode Banurea dkk.(2016).
2. Kecernaan bahan kering
Mengkaji penggunaan limbah tauge fermentasi pada taraf pemberian yang berbeda terhadap
kecernaan bahan kering pada itik lokal jantan.Cara yang digunakan untuk mengukur kecernaan
bahan kering menggunakan metode Cahyadi dkk. (2014).
3. Kecernaan bahan organik
Mengkaji penggunaan limbah tauge fermentasi pada taraf pemberian yang berbeda terhadap
kecernaan bahan organik pada itik lokal jantan.Cara yang digunakan untuk mengukur kecernaan
bahan organik menggunakan metode Hidanah dkk. (2013).
Tahapan Penelitian
Penelitian dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisis
data.
Tahap persiapan
Tahap persiapan meliputi persiapan kandang (pengadaan perlengkapan pemeliharaan),
pembuatan fermentasi limbah tauge dan pengadaan bahan pakan. Itik dibagi dalam 4 (empat)
kelompok perlakuan setiap kelompok terdiri dari 4 ulangan dan setiap ulangan terdapat 3 ekor itik.
Persiapan kandang itik meliputi pembuatan kandang yang terdiri dari 16 kandang litter (80 cm x 80
cm x 50 cm) terbuat dari bambu, 16 kandang battery (30 cm x 40 cm x 40 cm) terbuat dari kawat dan
kayu, pengadaan perlengkapan pemeliharaan meliputi mempersiapkan peralatan kandang (sekop,
desinfektan, sapu, tempat pakan dan minum) untuk pemeliharaan itik.
Persiapan pembuatan limbah tauge fermentasi diantaranya menyiapkan starter, limbah tauge,
air, tetes tebu, plastik yang sudah dilubangi, timbangan analitik dantimbangan 50 kg. Limbah tauge
dengan kadar air ± 32,4% ditimbang sesuai kebutuhan dalam ransum, molasses ditambah sebanyak
15% dan penambahan Trichoderma harzianum sebanyak 6%berdasarkan bahan kering.Aquades
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
71
dicampur dengan Trichoderma harzianum sampai dengan kadar air 60 – 70%, larutan tersebut
kemudian dicampurkan dengan limbah tauge. Limbah tauge yang sudah tercampur rata kemudian
dimasukkan plastik yang telah dilubangi, diperam selama 6 hari. Limbah tauge yang sudah diperam
selama 6 hari maka siap untuk diberikan pada ternak yang sebelumnya diangin-anginkan terlebih
dahulu sebelum diberikan pada ternak. Alur pembuatan fermentasi dapat dilihat pada Ilustrasi 1.
Persiapan pengadaan bahan pakan yang dipersiapkan yaitu membeli beberapa bahan pakan
diantaranya bungkil kedelai, jagung giling, bekatul, tepung ikan, premix, pollard dan limbah tauge dan
masing-masing bahan pakan dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisinya. Kandungan
nutrisi bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 1.
Bahan pakan yang sudah diketahui kandungan nutrisinya selanjutnya disusun menjadi ransum
sesuai kebutuhan dari itik,komposisi ransum dapat dilihat pada Tabel 2.
Limbah tauge
dengan kadar air
32,4%
Kadar air sebelum diperam
60% kemudian
dihomogenkan
Molasses 5%, air dan
Trichoderma harzianum 6%
dilarutkan dalam aquades
sampai kadar air akhir bahan
60%
Bungkus dengan
plastik yang sudah
dilubangi
Peram selama 6 hari
Buka, diangin-
anginkan
Limbah tauge fermentasi digunakan
sebagai pakan
Ilustrasi 1. Alur Pembuatan Limbah Tauge Fermentasi
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
72
Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan
Bahan Pakan Energi
Metabolis (EM)
Bahan
Kering (BK)
Protein
Kasar (PK)
Serat
Kasar (SK)
Lemak
Kasar (LK) Ca P
(kkal/kg) ---------------------------(%)----------------------------
Limbah Tauge1
Limbah Tauge
Fermentasi1
2689
2488
67,60
94,06
12,09
13,62
50,89
46,36
1,18
0,65
0,37
0,38
0,33
0,39
Bekatul1 2752 89,16 11,93 19,09 9,96 0,04 1,27
Bungkil kedelai1 2985 85,64 42,84 1,90 2,98 0,24 0,57
Pollard1 2587 89,58 12,06 4,48 0,7 12,08 3,05
Tepung Ikan1 2091 96,83 38,55 2,31 5,18 0,09 0,78
Premix1 959 95,33 - - - - -
Jagung kuning2 3604 86,83 7,49 2,44 4,22 0,03 0,23
Keterangan :
Sumber (1): Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan UNDIP (2016). (2): Hasil Analisis Laboratorium Sidomuncul Ungaran (2016).
Tabel 2. Komposisi ransum Itik Tegal.
BahanPakan T0 T1 T2 T3
------------------------(%)--------------------------
Limbah tauge 15,0 10,0 5,0 -
Limbah tauge fermentasi - 5,0 10,0 15,0
Bekatul 18,9 18,8 18,2 18,3
Bungkil kedelai 18,7 18,6 18,8 18,9
Pollard 12,9 12,6 12,3 11,7
Tepung ikan 6,8 6,8 6,4 6,1
Premix 1,0 1,0 1,0 1,0
Jagung 26,7 27,6 28,3 29,0
Total 100 100 100 100
EM (kkal/kg) 2843,73 2839,39 2836 2832,87
PK (%) 18,30 18,31 18,32 18,31
SK (%) 13,02 12,76 12,44 12,21
LK (%) 4,23 4,22 4,15 4,15
Ca (%) 0,98 0,98 0,93 0,90
P (%) 0,76 0,76 0,75 0,74
Tahap pelaksanaan
Tahap pelaksanaan secara in vivo yaitu pemeliharaan itik selama 28 hari dengan periode
adaptasi selama 7 hari, perlakuan 14 dan total koleksi selama 7 hari. Pakan diberikan 2 kali per hari
pagi dan sore. Pemberian pakan mengikuti umur itik setiap minggunya. Pengumpulan sisa pakan
dilakukan setiap hari dan penampungan ekskreta dilakukan selama periode total koleksi. Total koleksi
ekskreta dilakukan pada hari terakhir selama 7 hari. Hari pertama dan hari terakhir total koleksi ternak
dipuasakan selama 24 jam dan pada hari kedua sampai kelima itik diberikan pakan seperti biasanya
dan pemberian air minum secara ad libitum. Metode total koleksi dilakukan sesuai metode Widodo
dkk. (2013) ekskreta yang sudah kering dihaluskan dan diambil sampel secara komposit. Sampel yang
sudah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan UNDIP.
Hasil dan Pembahasan
Konsumsi Bahan Kering Limbah Tauge Fermentasi menggunakan Starter Trichoderma
harzianum pada Itik Lokal Jantan
Konsumsi bahan kering limbah tauge fermentasi menggunakan Trichoderma harzianum pada
itik lokal jantan tercantum dalam Tabel 3.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
73
Tabel 3. Konsumsi bahan kering limbah tauge fermentasi menggunakan starter Trichoderma
harzianum pada itik lokal jantan
perlakuan Ulangan
Rerata 1 2 3 4
-------------------------------- gram/ekor/hari -------------------------------- T0 98,79 94,99 99,48 99,48 98,19 T1 98,56 98,56 94,10 95,47 96,67 T2 97,82 97,82 97,82 97,82 97,82 T3 96,93 96,93 96,93 92,88 95,92
Berdasarkan Tabel 3. rata-rata konsumsi bahan kering pakan yang diperoleh adalah T0 = 98,19
gram/ekor/hari, T1 = 96,67 gram/ekor/hari, T2 = 97,82 gram/ekor/hari dan T3 = 95,92 gram/ekor/hari.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge fermentasi dengan starter
Trichoderma harzianum dalam pakan itik lokal jantan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap
konsumsi bahan kering pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian limbah tauge
fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum sampai taraf 15% dalam ransum tidak
mempengaruhi konsumsi bahan kering pakan.
Faktor yang menyebabkan tidak ada pengaruh nyata konsumsi bahan kering limbah tauge
fermentasi pada itik lokal diantaranya energi metabolis pakan, serat kasar pakan, tekstur pakan yang
diberikan berupa campuran mash dan crumble, suhu lingkungan dan kondisi kesehatan ternak.
Menurut Lubis (1992) disunting oleh Banurea dkk. (2016) ada dua faktor yang mempengaruhi
konsumsi bahan kering pakan diantaranya faktor pakan yang meliputi palatabilitas dan daya cerna
pakan, dan faktor ternak yang meliputi bangsa, kesehatan ternak, umur serta jenis kelamin.
Muhammad dkk. (2014) menyatakan bahwa jenis itik, jenis pakan dan waktu pemeliharaan
berpengaruh pada konsumsi bahan kering pakan.
Kandungan energi pakan tidak menunjukan perbedaan pada semua perlakuan (Tabel 2) terhadap
konsumsi bahan kering. Energi pada pakan sangat mempengaruhi tingkat konsumsi bahan kering
karena pakan yang memiliki energi tinggi menyebabkan itik akan cepat terpenuhi kebutuhan energinya
sehingga bahan kering yang dikonsumsi akan lebih sedikit. Widodo dkk. (2013) bahwa kesetaraan
tingkat energi pada pakan akan menyebabkan pakan yang dikonsumsi relatif sama pada tiap perlakuan.
Menurut Suryanto dan Badriyah (2010) bahwa ternak unggas mengonsumsi pakan tergantung jumlah
energi yang masuk sehingga pakan dengan energi tinggi akan menurunkan konsumsi dari pakan
ternak. Wibawa dkk. (2016) ternak unggas mengonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Tekstur pakan yang diberikan pada ternak berbentuk mash yang mengakibatkan ternak kurang
optimal mengonsumsi pakan. Konsumsi pakan yang kurang optimal berakibat pada komsumsi dari
bahan kering ternak juga kurang optimal. Ketaren dan Prasetyo (2002) menyatakan bahwa pakan
dengan bentuk pellet dan crumble dapat meningkatkan konsumsi itik dibandingkan dengan pakan yang
berbentuk mash atau tepung. Ketaren (2007) menyatakan bahwa pakan dalam bentuk tepung dapat
mengakibatkan pakan yang tercecer lebih banyak.
Pakan perlakuan yang diberikan T0, T1, T2, dan T3 pada itik tidak memberikan pengaruh nyata
(p>0,05) pada konsumsi bahan kering karena serat kasar pakan yang diberikan tidak menunjukan
perbedaan pada semua perlakuan. Banurea dkk. (2016) menyatakan bahwa pakan yang mengandung
serat kasar tinggi dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering pakan. Partama (2010) pakan yang
mengandung serat kasar tinggi dapat menyebabkan ternak mengurangi konsumsi pakan yang berimbas
pada konsumsi bahan kering yang berkurang. Wahju (2004) pakan dengan serat kasar yang tinggi sulit
dicerna karena memiliki sifat bulky (pengganjal).
Energi metabolis, serat kasar dan bentuk pakan merupakan beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam pemberian pakan dan disesuaikan dengan kebutuhan itik. Guna mencapai
konsumsi bahan kering pakan maka beberapa faktor tersebut perlu diperhatikan karena dengan
konsumsi bahan kering yang baik akan mengakibatkan kecernaan bahan pakan baik.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
74
Kecernaan Bahan Kering Limbah Tauge Fermentasi menggunakan Starter Trichoderma
harzianum pada Itik Lokal Jantan
Rata-rata kecernaan bahan kering itik lokal jantan yang mendapat pelakuan yang berbeda
tercantum dalam Tabel 4.
Tabel 4. Kecernaan bahan kering limbah tauge fermentasi menggunakan starter Trichoderma
harzianum pada itik lokal jantan (%)
perlakuan Ulangan
Rerata 1 2 3 4
-------------------------------- % -------------------------------- T0 68,64 68,42 66,59 68,30 67,99 T1 70,21 70,12 65,76 67,12 68,30 T2 67,59 73,06 60,10 65,98 66,68 T3 71,93 71,91 68,38 62,33 68,64
Berdasarkan Tabel 4. rata-rata kecernaan bahan kering pakan yang diperoleh adalah T0 = 67,99
%, T1 = 68,30 %, T2 = 66,68 % dan T3 = 68,64%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
penggunaan limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum dalam pakan itik lokal
jantan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kecernaan bahan kering pakan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum
sampai taraf 15% dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering pakan.
Nilai kecernaan ternak dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies ternak, zat anti
nutrisi pada bahan pakan, pengolahan bahan pakan, dan kondisi ternak. Daya cerna dipengaruhi juga
oleh suhu lingkungan, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik pakan, komposisi
ransum, jenis kelamin, umur dan strain (Prasetyo, 2016). Rompas dkk. (2016) bahwa kecernaan bahan
kering pakan pada itik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kecernaan dari komponen bahan
kering itu sendiri seperti pada protein kasar, karbohidrat (BETN dan serat kasar), lemak kasar dan abu.
Hal tersebut terjadi karena ransum antar perlakuan disusun berdasarkan kandungan nutrisi yang
sama (Tabel 2.) diantaranya kandungan serat kasar dan protein kasar. Komposisi ransum yang
diberikan pada ternak dengan kandungan nutrisi yang hampir sama merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi konsumsi dari bahan kering (Tabel 3) yang berakibat pada kecernaan bahan kering
tidak berpengaruh nyata. Prasetyo (2016) menyatakan bahwa komposisi pakan dapat mempengaruhi
kecernaan bahan kering pakan. Cahyadi dkk. (2014) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang
sama akan mengakibatkan kecernaan bahan kering relatif sama pada setiap perlakuan.
Pengolahan pakan dengan fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata pada kecernaan bahan
kering karena enzim selulase yang dihasilkan kapang belum bekerja secara optimal untuk
mendegradasi serat kasar yang ada pada limbah tauge fermentasi. Serat kasar sebelum fermentasi yaitu
50,89% dan serat kasar setelah fermentasi sebanyak 46,36% sedangkan batas maksimum toleransi itik
mencerna serat kasar yaitu 5 – 10% (Denbow, 2000). Wahju (2004) pakan akan bersifat bulky
(pengganjal) bila mengandung serat kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna.
Kecernaan Bahan Organik Limbah Tauge Fermentasi Trichoderma harzianum pada Itik Lokal
Jantan
Rata-rata kecernaan bahan organik itik lokal jantan yang mendapat pelakuan yang berbeda
tercantum dalam Tabel 5.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
75
Tabel 5. Kecernaan bahan organik limbah tauge fermentasi menggunakan starter Trichoderma
harzianum pada itik lokal jantan (%)
perlakuan Ulangan
Rerata 1 2 3 4
------------------------------------ % ------------------------------------- T0 65,77 63,74 62,56 64,48 64,14 T1 66,30 66,96 61,61 63,15 64,51 T2 63,97 69,79 57,29 60,40 62,86 T3 68,45 68,19 64,01 61,78 65,61
Berdasarkan Tabel 5. Rata-rata kecernaan bahan organik pakan yang diperoleh adalah T0 =
64,14 %, T1 = 64,51 %, T2 = 62,86 % dan T3 = 65,61 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
penggunaan limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum dalam pakan itik lokal
jantan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kecernaan bahan organik pakan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum
sampai taraf 15% dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan bahan organik pakan.
Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor diantaranya kandungan bahan pakan, serat kasar dan
energi metabolis pada pakan. Hidanah dkk. (2013) secara umum kecernaan bahan organik dipengaruhi
oleh umur, spesies ternak dan kandungan nutrisi ransum.
Kecernaan bahan organik yang tidak berpengaruh nyata (p>0,05) karena dipengaruhi oleh
kecernaan bahan kering. Kecernaan bahan kering yang tidak signifikan akan berakibat pada kecernaan
bahan organik karena keduanya berbanding lurus. Pengaruh yang tidak nyata pada kecernaan bahan
organik ransum limbah tauge fermentasi pada pakan itik juga dapat dipengaruhi oleh kandungan zat
nutrisi yang ada pada pakan dan konsumsi pakan. Hal tersebut sesuai pendapat Mangisah dkk. (2009)
kandungan nutrisi pakan ternak dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik pakan tersebut.
Cahyadi dkk. (2014) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang sama akan mengakibatkan
kecernaan bahan organik relatif sama pada pakan.
Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan nutrisi ransum.
Komponen bahan organik limbah tauge fermentasi pada ransum tidak dapat dicerna oleh ternak secara
optimal karena masih terikat dengan selulosa yang akan menurunkan kecernaan bahan organik. Kerja
dari enzim selulase yang dihasilkan Trichoderma harzianum belum maksimal bekerja. Mangisah
(2009) menyatakan selulosa bahan pakan yang tidak terurai mengurangi kecernaan dari bahan pakan.
Hidanah dkk. (2013).
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan limbah tauge tidak perlu
dilakukan fermentasi dan dengan pemberian sampai taraf 15%.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini, penulis menyucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Retno Iswarin P.,
M.Agr.Sc. sebagai pembimbing utama dan Dr. Sri Sumarsih, S.Pt. M.P. selaku pembimbing dan
anggota yang telah memberikan arahan dan bimbingan, serta pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan
satupersatu yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah.
Daftar Pustaka
Aini, F. N., S. Sukamto., D. Wahyuni., R. G. Suhesti., dan Q. Ayunin. 2013. Penghambatan pertumbuhan
Colletotrichum gloeosporioides oleh Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, Bacillus subtilis
dan Pseudomonas fluorescens. J. Pelita Perkebunan. 29 (1) : 44-52.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Kacang Hijau Menurut Provinsi (Ton) Tahun 1993 – 2015.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
76
Banurea, M. R., I M. Mudita, I W. Suberata dan I G. N. Kayana. 2016. Pengaruh pemberian suplemen yang
diproduksi dengan inokulan cacing tanah dalam ransum terhadap penampilan itik bali umur 2 – 8 minggu.
Journal of Tropical Animal Science. 4 (1) : 253 – 267.
Cahyadi, R., Atmomarsono, U. dan Suprijatna, E. 2014. Kecernaan ransum, kadar serum aminotransferase dan
aktivitas alkalin fosfatase itik lokal yang diberi pakan mengandung eceng gondok (Eichhornia crassipes)
terfermentasi. Agromedia. 31 (1) : 12 – 24.
Denbow, D. M. 2000. Gastrointestinal anatomy and physiology. dalam: Sturkie’s Avian Physiology. Whittow,
G. C. (Editor). Academic Press, London. Hal : 299 – 325.
Farid, A. 2012. Performa Domba Jonggol dan Domba Garut Jantan dengan Ransum Komplit Menggunakan
Indigofera sp. dan Limbah Tauge. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).
Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An
International Rice Research Institute Book. John Wiley and Sons, New York. Printed in Singapore.
Hidanah, S. Tamrin, E. M., Nazar, D. S. dan Safitri, E. 2013. Limbah tempe dan limbah tempe fermentasi
sebagai substitusi jagung terhadap daya cerna serat kasar dan bahan organik pada itik petelur.
Agroveteriner. 2 (1) : 71 – 79.
Kataren, P. P. dan Prasetyo, LH. 2002. Penngaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang
mojosari x albino (MA): 2. Masa telur fase kedua umur 44-67 minggu. 7 (2) : 76 – 83.
Ketaren, P. P. 2007. Peran itik sebagai penghasil telur dan daging. Wartazoa. 17 (3) : 117 – 127.
Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. PT Pembangunan. Jakarta.
Mangisah, I., M.H. Nasoetion, W. Murningsih dan Arifah. 2008. Pengaruh Serat Kasar Ransum terhadap
pertumbuhan, produksi dan penyerapan volatile fatty acids pada itik tegal. Majalah Ilmiah Peternakan : 10
(3) : 83-88.
Mangisah, I., Sukamto, B. dan Nasution, M. H. 2009. Implementasi daun eceng gondok fermentasi dalam
ransum itik. Jurnal Indonesia Tropic Animal Agriculture. 34 (2) : 127 – 133.
Muhammad, N., Sahara, E., Sandi, S. dan Yosi, F. 2014. Pemberian ransum komplit berbasis bahan baku lokal
fermentasi terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan dan berat telur itik lokal Sumatera Selatan.
Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3 (2) : 20 – 27.
Partama, I. B. G. 2010. Pengaruh supple,emtasi ragi tape dan anzim kompleks dalam ransum yang mengandung
POD kakao terhadap penampilan itik Bali umur 2 – 8 minggu. Majalah ilmu peternakan. 13 (3) : 88 – 93.
Prasetyo, I. F. 2016. Pengaruh Pemberian Infus Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dan Kulit Manggis
(Garnica mangostana L.) terhadap Daya Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik pada Ayam Broiler
yang Dipapar Heat Stress. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Surabaya. (Skripsi).
Rompas, R., Tulung, B., Mandey, J. S. dan Regar, M. 2016. Penggunaan eceng gondok (Eichhornia crassipes)
terfermentasi dalam ransum itik terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Jurnal Zootek. 36
(2) : 372 – 378.
Sany, S. W., Heswantari, S. R., Sudibya, Purnomo, S. H. dan Hanifa, A. 2015. Pengaruh suplementasi minyak
ikan dan L-Karnitin dalam pakan jagung kuning terfermentasi terhadap kecernaan pakan dan performa
puyuh (Coturnix coturnix japonica). Buletin Peternakan. 39 (1) : 31 – 41.
Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1993. Principles and Procedures of Statistics A Biometrical Approach. London.
Suryanto, D. dan Badriyah. 2010. Pemanfaatan limbah karak nasi sebagai bahan alternatif pengganti jagung
dalam ransum ayam petelur jantan. Jurnal Penelitian Al Buhuts Universitas Islam Malang. 15 (1) : 24 –
35.
Wibawa, A. A. P. P., Witariadi, N. M. dan Partama, I. B. G. 2016. Penambahan enzim fitase kompleks dalam
ransum berbahan dasar dedak padi terhadap performans dan lemak abdomen itik. Majalah Ilmu
Peternakan. 19 (1) : 41 – 46.
Widodo, A. R., Setiawan, H., Sudibya dan Indreswari, R. 2013. Kecernaan nutrien dan performan puyuh
(Coturnix coturnix japonica) jantan yang diberi ampas tahu fermentasi dalam ransum. J. Tropical Animal
Husbandry. 2 (1) : 51 – 57.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
77
Makalah 013
Pengaruh Pemberian Probiotik Bacillus Plus Vitamin dan Mineral Terhadap
Trigliserida, Kolesterol, LDL dan HDL pada Serum Darah Ayam Broiler
Al’Alam, V. M1), Isroli2) dan S. Sumarsih2)
1)Mahasiswa Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
2)Dosen Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Email :[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan level probiotik Bacillus plus
vitamin dan mineral pada ransum ayam broiler terhadap kadar trigliserida, LDL, HDL, dan kolesterol
pada serum darah ayam broiler. Materi yang digunakan yaituDOC ayam broiler 240 ekor dengan
bobot badan ± 45,9 gram, pakan ayam komersil, probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral, dan air
bersih. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu T0:Pakan
komersil tanpa tambahan probiotik, T1: Pakan komersil + probiotik 0,1%, T2: Pakan komersil +
probiotik 0,5%dan T3: Pakan komersil+probiotik 1%. Parameter yang diamati adalah kadar
trigliserida, kolesterol, HDL, dan LDL serum darah ayam broiler. Data tersebut dianalisis
keragamannya pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik Bacillus plus
vitamin dan mineral dalam ransum 0,1 – 1% tidak berpengaruh nyata (P>0,05) pada kadar trigliserida,
kolesterol, LDL, dan HDL.Pada masing-masing perlakuan T0, T1, T2, dan T3 kadar kolesterol adalah
108,80 mg/dL; 110,75 mg/dL; 111,83 mg/dL; dan 107,25 mg/dL. Kadar trigliserida berturut-turut
90,29 mg/dL; 88,48 mg/dL; 75,78 mg/dL; dan 75,70 mg/dL. Kadar LDL berturut-turut 28,14 mg/dL;
38,19 mg/dL; 36,57 mg/dL; dan 25,20 mg/dL. Kadar HDL berturut-turut 62,20 mg/dL; 58,20 mg/dL;
63,40 mg/dL; dan 73,20 mg/dL.Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu pemberian probiotik
Bacillus plus vitamin dan mineral tidak menurunkan profil lemak darah ayam broiler.
Kata kunci : ayam broiler, probiotik, kadar lemak darah
Pendahuluan
Peternakan ayam broiler yang berkembang di masyarakat saat inilebih memilih menggunakan
pakan komersil karena dianggap lebih praktis, tetapi yang terjadi banyak pakan komersil yang diterima
peternakmemiliki komposisi pakan yang berubah terutama mineral dan vitamin sehingga pertumbuhan
ayam kurang optimal.Hal ini terjadi karena proses penanganan pakan yang kurang baik.Penambahan
kombinasi probiotik, vitamin dan mineral dapat memperbaiki pertumbuhan, sistem kekebalan tubuh
dan mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral (Winkler dkk., 2005). Probiotik merupakan suplemen
pakan yang diharapkan dapat menggantikan antibiotic growth promoters (AGPs) yang berfungsi
sebagai pemicu pertumbuhan dan menjaga kesehatan ayam broiler.Vitamin dan mineral sangat
dibutuhkan dalam proses metabolisme dan sistem pertahanan tubuh ayam broiler (Sanda dkk.,
2015).Ayam broiler dikenal sebagai ayam yang banyak lemak terutama lemak abdomen dan subkutan
(dibawah kulit). Lemak merupakan produk yang tidak dikehendaki karena lemak merupakan produk
buangan.
Saat ini masyarakat lebih selektif dalam pemilihan daging untuk dikonsumsi sebagai sumber
protein hewani dengan kriteria daging yang rendah lemak seperti kolesterol, karkas yang bersih aman
dikonsumsi dan memiliki perdagingan yang lebih banyak. Kadar kolesterol tersebut dipengaruhi oleh
genetik dan pakan yang dikonsumsi sehingga upaya untuk menurunkan kadar kolesterol harus
dilakukan. Probiotik akan mengendalikan mikroorganisme patogen dalam tubuh inangnya,
menstimulasi produksi enzim pencernaan maupun vitamin, dan mengatur keseimbangan populasi
mikroba pada saluran pencernaan (Laksmiwati, 2006). Keuntungan dari penambahan probiotik yaitu
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
78
probiotik dapat memperbaiki saluran pencernaan, meningkatkan sekresi empedu, dan dapat
menurunkan perlemakan (Sarwono dkk., 2012). Probiotik yang sering digunakan biasanya berasal
dari bakteri asam laktat (BAL) tetapi untuk saat ini probiotik sudah mulai berbahan bakteri
Bacilluskarena mampu tetap aktif pada suhu tinggi dan mampu memenuhi kebutuhan vitamin dan
mineral yang berkurang saat proses penanganan pakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan level probiotikBacillus plus
vitamin dan mineral pada ransum ayam broiler terhadap kadar trigliserida, LDL, HDL, dan kolesterol
pada serum darah ayam broiler. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi terkait penggunaan
probiotik Bacillusplus vitamin dan mineral sebagai pengganti antibiotik yang tepat untuk ayam
broiler.Penambahan probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral diharapkan mampu menurunkan
trigliserida kolesterol dan LDL serta dapat meningkatkan HDL pada ayam broiler.
Materi dan Metode
Penelitian tentang pengaruh pemberian probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral terhadap
trigliserida, kolesterol, LDL, dan HDL pada serum darah ayam broilerdilaksanakan pada bulan Mei –
Juli 2017 di Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian
inimenggunakan 240 ekor ayam broiler dengan bobot badan ± 45,9 gram. Perlengkapan dan peralatan
yang digunakan adalah kandang ayam yang dibagi menjadi 20 petak, tempat pakan, tempat minum,
timbangan digital dan alat tulis. Bahan yang digunakan yaitu probiotik Bacillusplus vitamin dan
mineral, pakan ayam komersil, dan air bersih.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan
dengan 5 ulangan, sehingga terdapat 20 unit percobaan. Setiap unit percobaan diisi dengan 12 DOC
ayam broiler (unsex). Penelitian ini dilakukan selama 42 hari dan pengambilan sampel darah dilakukan
pada hari ke-28. Ransum menggunakan pakan komersial dengan perlakuan penambahan probiotik
Bacillus plus vitamin dan mineral yaitu T0 (ransum tanpa diberi tambahan probiotik), T1(ransum
ditambah probiotik sebanyak 0,1%), T2 (ransum ditambah probiotik sebanyak 0,5%), dan T3 (ransum
ditambah probiotik sebanyak 1%). Pemberian ransum dan air minum dilakukan secara ad
libitum.Pengambilan data dilakukan dengan mengambil sampel darah ayam melalui vena
brachialismenggunakan spuit, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm, setelah serum
terpisah kemudian dimasukkan cup sampel dan disimpan dalam freezer.Setiap unit percobaan diambil
satu ekor ayam secara acak pada umur 28 hari.Sampel serum darah selanjutnya dianalisis profil
lemaknya menggunakan metode Enzymatic Cholesterol High Performance CHOD-PAP KIT
(Boehringer, 1993). Data yang diperoleh dianalisis keragamannya pada taraf 5% dan 1%, apabila
terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan uji beda menggunakan Uji Duncan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian kadar trigliserida, kolesterol, LDL, dan HDL pada serum darah ayam broiler
yang diberi probiotik Bacillusplus vitamin dan mineral pada masing-masing perlakuan disajikan dalam
Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa kadar trigliserida darah ayam yang diberi perlakuan
probiotik Bacillus plus mineral dan vitamin tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi angka menunjukkan
penurunan pada pemberian probiotik 1%. Rerata trigliserida pada T0 adalah 90,29 mg/dL; T1 adalah
88,48 mg/dL; T2 adalah 75,78 mg/dL; dan T3 adalah 75,70 mg/dL. Kadar trigliserida tidak berbeda
antar perlakuan karena probiotik membantu proses sintesis asam lemak dalam tubuh ternak.Santoso
dkk.(1995) menyatakan bahwa pemberian probiotik ini dapat menurunkan trigliserida karena probiotik
dapat secara efektif menurunkan aktivitas enzim yang berperan dalam laju sintesis asam
lemak.Basmacioglu dan Ergul (2005) menyatakan bahwa kadar trigliserida normal dalam tubuh yaitu
kurang dari 150 mg/dL.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
79
Tabel 1. Rerata kadar trigliserida, kolesterol, LDL, dan HDL pada serum darah ayam broiler yang
diberi probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral
Parameter yang
diamati
Penggunaan Probiotik
T0 0% T1 0,1% T2 0,5% T3 1%
------------------------------------- mg/dL -----------------------------------
Trigliserida 90,29 88,48 75,78 75,70
Kolesterol 108,80 110,75 111,83 107,25
LDL 28,14 38,19 36,57 25,20
HDL 62,20 58,20 63,40 73,20
Rerata kolesterol padaT0 adalah 108,80 mg/dL; T1 adalah 110,75 mg/dL; T2 adalah 111,83
mg/dL; dan T3 adalah 107,25 mg/dL. Rerata tersebut secara statistik tidak berbeda antar
perlakuan.Hasil dari keempat perlakuan menunjukkan masih dalam kisaran normal.Menurut pendapat
dari Tagi dkk. (2013), bahwa kisaran normal dari kadar kolesterol dalam darah berkisar antara 52 –
148 mg/dL. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara statistik, kolesterol tidak berbeda antar
perlakuan namun pada penelitian ini T0, T1 dan T2 berurutan mengalami peningkatan sedangkan pada
T3 kadar kolesterol mengalami perununan hal ini sebabkan karena pada T3 terdapat penambahan
probiotik dengan dosis tinggi. Menurut Meliandasari dkk. (2014),kadar kolesterol 25-40% berasal dari
pakan yang dikonsumsi.
Rerata LDL padaT0 adalah 28,14 mg/dL; T1 adalah 38,19 mg/dL; T2 adalah 36,57mg/dL; dan
T3 adalah 25,20 mg/dL. Rerata tersebut secara statistik tidak berbeda nyata. Pakan yang memiliki
kandungan probiotik yang rendah pada T0 memiliki kadar LDL dibawah standar sedangkan pakan
yang memiliki kandungan probiotik yang tinggi pada T3 juga memiliki kadar LDL dibawah standar.
Menurut pendapat dari Basmacioglu dan Ergul (2005) menyatakan bahwa standar kadar LDL yaitu 31
– 62 mg/dL. Tinggi rendahnya kadar LDL dalam darah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah genetik dan kandungan asam lemak dalam pakan. Menurut pendapat Astuti dkk. (2016), kadar
kolesterol dipengaruhi oleh faktor genetik, jumlah asam lemak dalam pakan dan jumlah HDL dalam
darah.
Rerata HDL padaT0 adalah 62,20 mg/dL; T1 adalah 58,20 mg/dL; T2 adalah 63,40 mg/dL; dan
T3 adalah 73,20 mg/dL.Secara statistik, tidak ada pengaruh perlakuan probiotik sehingga reratakadar
HDL tidak berbeda antar perlakuan. Menurut pendapat dari Basmacioglu dan Ergul (2005)
menyatakan bahwa jumlah HDL ayam ras yaitu > 22 mg/dL. Rerata LDL pada hasil penelitian lebih
rendah dibandingkan kadar HDL sehingga HDL dapat bekerja dengan baik sesuai dengan fungsinya.
Menurut pendapat Sutianto (2006) dari menyatakan bahwa HDL yang tinggi akan bekerja dengan baik
jika jumlah LDL < 150 mg/dL. Tagi dkk. (2013) menyatakan bahwa HDL memiliki fungsi untuk
mengeluarkan kolesterol jahat dari pembuluh darah dan jaringan lain dengan cara membuka sumbatan
LDL yang melekat di dinding arteri dan jaringan sehingga aliran darah akan normal.
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa penambahan probiotik Bacillus plus vitamin
dan mineral dalam pakan tidak menurunkan kadar trigliserida, kolesterol, dan LDL serta tidak
meningkatkan kadar HDL darah ayam broiler.
Daftar Pustaka
Astuti., S. Umniyati., A. Rakhmawati dan E. Yulianti. 2016. Pemanfaatan probiotik bakteri asam laktat dari
limbah kotoran ikan terhadap kadar ldl darah ayam broiler strain lohhman. J. Sains. Dasar. 5(1):48-51.
Basmacioglu, H and M. Ergul. 2005. Research on the factor affecting cholesterol content and some other
characteristics of eggs in laying hens. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 29:157-164.
Boehringer, M. D. 1993. Enzymatic Cholesterol High Performance CHOD-PAP KIT France SA. 38240.
Laksmiwati, N. 2006.Pengarus pemberian starbio dan effective microorganism-4 (EM-4) sebagai probiotik
terhadap penampilan itik jantan umur 0-8 minggu.Denpasar.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
80
Meliandasari, D., B. Dwiloka dan E. Suprijatna. 2014. Profil perlemakan darah ayam broiler yang diberi pakan
tepung daun kayambang (Salvinia molesta). J. Ilmu Peternakan. 24 (1): 45-55.
Samadi, 2004. Feed quality for Feed Safety, Kapankah di Indonesia. IPTEK.Edisi Vol 2IXVI/November 2004.
Sanda, M. E., M. C. O. Ezeibe dan B. M. Anene. 2015. Effects of vitamins A, C and E and selenium on immune
response of broilers to Newcastle Disease (ND) vaccine. IOSR J. Agric. Vet. Sci. 8: 13-15.
Sarwono, S. R., T. Yudiarti dan E. Suprijatna. 2012. Pengaruh pemberian probiotik terhadap trigliserida darah,
lemak abdominal, bobot dan panjang saluran pencernaan ayam kampung. J. Anim. Agri. 1 (2): 157-167.
Sutianto, H. 2006. Jangan Biarkan Kolesterol Tinggi. Harian Fajar, Hal. 8, Makassar.
Tagi, A., L. Agustina and S. Garantjang. 2013. The effect ofred fruit (Pandanus conoudeuslam) extract in the via
feed on cholesterol, HDL, and LDL broiler. Hasanuddin University Press.1-9.
Winkler, P., M. de Vrese, Ch. Laue and J. Schrezenmeir. 2005. Effect of dietary supplement containing
proboiotic bacteria plus vitamins and mineral on common cold infection and cellular immune
parameters. Int. J. Clin. Pharmacol.Ther. 43: 318-326.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
81
Makalah 014
Pemanfaatan Tepung Biji Durian (DuriozibethinusMurr) sebagai Subtitusi
Jagung dalam Ransum terhadap Konsumsi Kalsium, Retensi Kalsium dan
Tebal Cangkang Ayam Petelur
L. D. Djati1), I. Mangisah2), B. Sukamto2),V. D. Yunianto2) dan F. Wahyono2)
1)Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro 2)Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang
Jl. Prof. H. Soedarto, Tembalang – Semarang
Email : [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung biji durian sebagai subtitusi jagung
terhadap konsumsi kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang ayam petelur . Materi yang digunakan
adalah ayam petelur strain lohmann brownumur 40 minggu sebanyak 120 ekor dengan bobot awal
rata-rata 1815,2 g. Penelitian menggunakan rancangan acak lengap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5
ulangan,setiap unit kandang di isi 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu T0 = Kontrol tanpa
tepung biji durian, T1= 3 % tepung biji durian subtitusi jagung, T2= 6 % tepung biji durian subtitusi
jagung dan T3 =9 % tepung biji durian subtitusi jagung. Parameter yang diambil adalah konsumsi
kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang ayam petelur.Tepung biji durian sebagai subtitusi jagung
menurunkan konsumsi kalsium dari 3,17 g sampai 3,01 g, meningkatkan retensi kalsium pada taraf
subtitusi 3 % namun menurunkan pada taraf subtitusi 6 % dan 9 %. Tebal cangkang mengalami
penurunan dari 0,48 mm menjadi 0,40 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung
biji durian sebagai pengganti jagung dalam ransum nyata (P<0,05) berpengaruh terhadap retensi
kalsium dan tebal cangkang namun tidak berbeda nyata pada konsumsi kalsium ransum.Kesimpulan
penelitian bahwa subtitusi tepung biji durian sebagai pengganti jagung pada ayam petelur sampai 9 %
dapat menurunkan retensi kalsium dan tebal cangkang namun konsumsi kalsiumsama.
Kata kunci : tepung biji durian, ayam petelur, konsumsi kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang
Pendahuluan
Pakan merupakan bahan utama dalam keberlangsungan usaha peternakan. Bahan pakan yang
mahal dan langka menuntut inovasi untuk mencari bahan pakan alternatif . Jagung merupakan salah
satu bahan pakan yang mahal oleh sebab itu subtitusi bahan pakan jagung sangat diperlukan. Faktor
mahalnya jagung disebabkan adanya biaya distribusi dan panen raya yang gagal menjadi salah satu
faktor mahalnya harga jagung. Kondisi sekarang mengindikasikan bahwa stok jagung dalam taraf
yang memprihatinkan dan dikhawatirkan jagung sebagai pakan ternak akan menjadi korban. Oleh
karena itu perlu upaya mencari pengganti sebagian atau seluruhnya fungsi jagung sebagai pakan
ternak khususnya untuk ayam (Nuraini dkk, 2008). Pemanfaatan bahan pakan alternatif sangat
diperlukan di dunia peternakan. Bahan pakan alternatif sebagai subtitusi jagung contohnya adalah biji
durian. Pemanfaatan limbah durian yang hanya dianggap sampah dan barang yang tak berguna dapat
dikumpulkan dan diolah kembali sebagai bahan pakan alternatif (Suciyati dkk, 2015).
Harga pakan yang semakin mahal, maka perlu dipikirkan pakan alternatif yang dapat diberikan
kepada ayam petelur yang dapat mengurangi biaya produksi (Hasnawati dkk, 2016). Pemanfaatan
bahan pakan alternatif diharapkan dapat menekan biaya pakan 40 – 50 %. Bahan pakan ayam petelur
didominanasi Jagung, sehingga jagung perlu disubtitusi dengan bahan pakan alternatif yang murah,
memiliki ketersediaan cukup dan mudah didapatkan.Kandungan energi metabolis di dalam biji durian
lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan energi metabolis jagung. Tepung biji durian diharapkan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
82
mampu menggantikan jagung sebagai sumber energi. Energi jagung berkisar 3.197,68 kkal/kg
sedangkan tepung biji durian sebesar 3.325 kkal/kg.
Penelitian bertujuan untuk memaksimalkan limbah dari biji durian sebagai bahan alternatif
subtitusi jagung terhadap konsumsi kalsium ransum, retensi kalsium dan tebal cangkang. Manfaat dari
penelitian untuk mengetahui pengaruh subtitusi tepung biji durian terhadap jagung.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Mei – 15 Juni 2017 di Kandang ayam petelur Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Pengujian dan analisis dilakukan di
Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro
Semarang.
Penelitian menggunakan ayam petelur strain lohmann brown umur 40 minggu sebanyak 120
ekor dengan bobot badan awal rata-rata 1815,2 g. Kandang yang digunakan adalah kandang baterai.
Komposisi bahan pakan penyusun ransum serta kandungan nutrisinya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi bahan pakan penyusun ransum ayam petelur layer 1 dan kandungan nutriennya
Bahan Pakan T0 T1 T2 T3
------------------------%------------------------
Jagung 43 40 37 34
Tepung biji durian 0 3 6 9
Bekatul 18 18 18 18
Bungkil kedelai 19.5 19.5 19.5 19.5
Tepung ikan 10 10 10 10
CaCO3 3.5 3.5 3.5 3.5
Tepung cangkang kerang 5 5 5 5
Premix 1 1 1 1
Minyak 0.5 0.5 0.5 0.5 TOTAL 100,5 100.5 100.5 100.5
Kandungan nutrisi ransum (%)
Energi metabolis 2690.84 2694.66 2698.48 2702.30
Protein kasar 17.78 17.79 17.80 17.81
Serat kasar 4.44 4.95 5.46 5.97
Lemak kasar 6.32 6.20 6.09 5.98
Kalsium 3.31 3.30 3.29 3.28 Pospor total 0.68 0.67 0.66 0.65 ImbanganCa: P total 4.87 : 1 4.92 : 1 4.98 : 1 5.04 : 1 Keterangan : *) Analisis proksimat dan nilai EM (diuji terlebih dahulu)
**) Kandungan bahan pakan penyusun ransum berdasarkan NRC (1994)
Prosedur penelitian diawali dengan pembuatan tepung biji durian dengan cara mengumpulkan
biji durian terlebih dahulu dicuci hingga bersih, merebus hingga lunak, di iris tipis-tipis, pengeringan
dan penepungan biji durian di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Persiapan
kandang, perlengkapan pemeliharaan, pengadaan bahan pakan untuk penyusunan ransum, pembuatan
ransum dan analisis proksimat yang dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan Universitas
Diponegoro.Tahap berikutnya adalah pemeliharaan ayam petelur di dalam kandang Fakultas
Peternakan dan Pertanian, ayam petelur di timbang terlebih dahulu yang digunakan sebagai data bobot
badan awal. Ayam dipelihara dengan pemberian perlakuan selama 35 hari. Ayam petelur dipelihara
dalam kandang baterai.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
83
Pemberian ransum dan air minum dilakukan pada pagi dan sore hari secara add libitum,
Penggantian air minum di lakukan pada pagi dan sore hari. Pengambilan telur dilakukan pada sore hari
dan dihitung jumlah telur tiap hari. Pengukuran sisa ransum dilakukan pada sore hari untuk
mendapatkan data konsumsi ransum yang diukur dari selisih pemberian ransum dan sisa ransum.
Metode untuk mengukur konsumsi kalsium adalah :
Konsumsi kalsium ransum = Konsumsi ransum x kadar kalsium dalam ransum
Metode yang digunakan untuk perhitungan retensi kalsium adalah dengan menggunakan metode total
koleksi dimana pakan diberikan Fe2O3 sebagai indikator.
Retensi Kalsium = Konsumsi kalsium ransum – kadar kalsium eksreta.
Tebal cangkang = Pengukuran dengan menggunakan jangka sorong, tiap ulangan diambil 2 data
untuk diambil rata-ratanya.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan
5ulangan, setiap unit kandang di isi 6 ekor ayam.Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam
atau uji F pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata
pada sebuah peubah tertentu (P<0,05), dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5%.
T0 = Ransum basal tanpa biji durian
T1 = 97 % ransum basal + 3 % tepung biji durian
T2 = 94 % ransum basal + 6% tepung biji durian
T3 = 91 ransum basal + 9% tepung biji durian
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa subtitusi tepung biji durian sebagai
pengganti jagung terhadap konsumsi kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang.
Tabel 2.Konsumsi kalsium ransum, retensi kalsium dan tebal cangkang pada Ayam Petelur
Parameter Perlakuan T0 T1 T2 T3
Konsumsi kalsium ransum (g) 3,17 3,12 3,01 3,05 Retensi kalsium (g) 3,05a 3,06a 2,99a 2,88b Tebal cangkang (mm) 0,48a 0,38b 0,40b 0,43b
Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Konsumsi kalsium
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung biji durian sebagai subtitusi
jagung tidak berbeda nyata terhadap konsumsi kalsium ransum ayam petelur. Konsumsi kalsium
ransum dengan subtitusi tepung biji durian pada perlakuan T0 tidak berbeda nyata dengan T1,T2, dan
T3. Konsumsi kalsium ransum, disajikan pada Tabel 2. Konsumsi kalsium ransum menurun tiap
perlakuan disebabkan oleh kandungan serat kasar di dalam ransum tinggi. Konsumsi kalsium ransum
berhubungan erat dengan konsumsi ransum dari ayam petelur. Konsumsi rata-rata adalah 104,92
g/ekor/hari sedangkan konsumsi kalsium ransum berkisar antara 3,01 g – 3,17 g. Konsumsi rata-rata
ayam petelur umur 32 – 40 minggu adalah 129 g/ekor/hari. Hal ini sesuai dengan pendapat
Warmadewi (2009) yang menyatakan bahwa konsumsi rata-rata ayam petelur umur 32 – 40 minggu
adalah 129,30 g/ekor/hari dengan konsumsi kalsium sebesar 4,61 g.Kenaikan taraf subtitusi tepung biji
durian menurunkan kandungan nutrisi kalsium di dalam ransum karena kandungan kalsium tepung biji
durian 0,04 %. Konsumsi ransum dan konsumsi kalsium menurun disebabkan oleh kandungan serat
kasar ransum meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Wulandari, dkk (2012) yang menyatakan
bahwa kandungan SK yang tinggi dapat menyebabkan konsumsi ransum rendah, hal ini dikarenakan
unggas merasa cepat kenyang dan tidak mampu mencerna serat kasar dengan baik.
Retensi Kalsium
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan tepung
biji durian sebagai pengganti jagung pada retensi kalsium ayam petelur (P < 0,05). Retensi kalsium
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
84
dengan penambahan tepung biji durian pada perlakuan T0 tidak berbeda nyata dengan T1 dan T2
tetapi berbeda nyata dengan T3 . T1 tidak berbeda nyata dengan T0dan T2 tetapi berbeda nyata
dengan T3. T2 tidak berbeda nyata dengan T0 dan T1, tetapi berbeda nyata dengan T3. T3 berbeda
nyata dengan T0,T1 dan T2. Retensi kalsium merupakan jumlah mineral kalsium yang diserap tubuh
ternak. Faktor yang mempengaruhi retensi kalsium adalah perbandingan kalsium dan phospor dalam
ransum serta kandungan serat kasar dalam ransum. Kandungan serat yang tinggi dapat menyebabkan
penurunan retensi kalsium ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Wulandari, dkk (2012) yang
menyatakan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi di dalam ternak ayam petelur menyebabkan
penurunan retensi kalsium. Kandungan serat kasar sebagian besar adalah lignin, lignin sendiri adalah
bagian komponen dari serat kasar yang sulit untuk dicerna. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
retensi kalsium tertinggi adalah pada perlakuan T0 dan terendah pada perlakuan T3. Faktor yang
sangat berpengaruh terhadap penyerapan kalsium adalah keseimbangan antara kalsium dan fosfor. Hal
ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2011) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
penyerapan kalsium adalah keseimbangan antara kalsium dengan fosfor dalam ransum.
Tebal Cangkang
Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan tepung
biji durian sebagai pengganti jagung pada tebal cangkang ayam petelur (P < 0,05). Tebal cangkang
dengan penambahan tepung biji durian pada perlakuan T0 berbeda nyata dengan T1,T2 dan T3. Tebal
cangkang menunjukan kualitas telur secara eksternal dimana kualitas telur ini dapat dilihat secara
fisik. Penambahan tepung biji durian sebagai pengganti jagung terhadap tebal cangkang dalam
penelitian ini dapat menurunkan tebal cangkang telur. Tebal cangkanghasil penelitian berkisar antara
0,38 – 0,48 (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mampioper, dkk (2008) yang
menyatakan bahwa rata-rata tebal cangkang normal adalah 0,44 – 0,46. Pemberian pakan, umur dan
stress pada ayam petelur dapat mempengaruhi tebal cangkang. Hal ini sesuai dengan pendapat Jazil,
dkk (2013) yang menyatakan bahwa tebal tipisnya cangkang telur dipengaruhi oleh strain ayam, umur
induk, pakan, stress dan penyakit pada induk. Pembentukan cangkang telur perlu adanya ion-ion
kalsium. Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam pembentukan tebal cangkang diantaranya adalah
kandungan kalsium ransum, konsumsi kalsium ransum dan retensi kalsium. Kalsium pada ayam
petelur digunakan untuk pembentukan cangkang. Pembentukan cangkang telur selain berasal dari
konsumsi kalsium ransum juga berasal dari perombakan medula tulang. Hal ini sesuai dengan
pendapat Indreswari, dkk (2009) yang menyatakan bahwa pembentukan cangkang dapat berasal dari
dua sumber yaitu konsumsi kalsium ransum dan perombakan medula tulang. Apabila diperhitungkan
antara konsumsi kalsium rata-rata (Tabel 2) ternyata rata-rata ayam mendapat asupan kalsium
sebanyak3,08 g/ekor/hari.
Kesimpulan
Penambahan tepung biji durian sebagai pengganti jagung pada ayam petelur tidak
menurunkan konsumsi kalsium namun menurunkan retensi kalsium dan tebal cangkang.
Daftar Pustaka
Hasnawati., Hafsah dan Sugiarto. Penggunaan tepung biji durian (Durio Zibethinus Murr) sebagai
sumber energi dalam pakan terhadap performan itik lokal jantan (Anas platyrhynchos). Jurnal
Agrisains. 17 (1) : 62 – 67.
Indreswari, R., H.I.Wahyuni., N. Suthama dan P.W.Ristiana. 2009. Pemanfaatan kaslium untuk
pembentukan cangkang telur akibat perbedaan porsi pemberian ransum pagi dan siang pada
ayam petelur. Jurnal Tropika dan Animal Agriculture. 34 (2) : 134 – 138.
Jazil, N., Hintono, A dan Mulyani, S. 2013. Penurunan kualitas telur ayam ras dengan intensitas warna
coklat cangkang berbeda selama penyimpanan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(1) : 43 –
47.
Mampioper, A., Rumetor, S. D dan Pattiselanno. 2008. Kualitas ayam petelur yang Mendapat ransum
perlakuan subtitusi jagung dengan tepung singkong. Jurnal Ternak Tropika. 9(2) : 42 – 51.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
85
Nuraini., Sabrina dan Latif, S.A. 2008. Performa ayam dan kualitas telur yang menggunakan ransum
mengandung onggok fermentasi dengan Neurospora crassa. Jurnal Media Peternakan. 31(3) :
195 – 202.
Suciyati, H., Sulistyowati, E dan Fenita, Y. 2015. evaluasi nutrisi limbah kulit durian (Durio
Zibethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus Ostreatus) pada masa inkubasi yang
berbeda. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 10(2) : 77 – 85.
Wahyuni, S. H. S. 2011. Efek ransum mengandung dedak padi fermentasi oleh Aspirgillus ficuum
terhadap kualitas telur ayam. Jurnal Ilmu Ternak. 11 (1) : 44 – 48.
Warmadewi, D. A., E. Puspani., A.A.S. Trisnadewi., D.P.M.A. Candrawati., T.I. Putri., N.N.
Candraasih, K. dan I.G.N.G.Bidura. 2009. Produktifitas ayam petelur lohmann brown yang
diberi pakan mengandung kulit gandum dan kulit kacang kedelai dengan suplementasi ragi
tape. Jurnal Indonesia Tropikal Animal Agriculture. 34 (2) : 101 – 106.
Wulandari. E. C., W. Murningsih dan H. I. Wahyuni. Deposisi kalsium dan phospor pada cangkang
telur ayam arab dengan pemberian berbagai level Azolla Microphylalla. Animal Agricalture
Journal. 1(1) : 507 – 520.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
86
Makalah 015
Pengaruh Pemberian Tepung Biji Durian sebagai Substitusi Jagung dalam
Ransum Ayam Petelur terhadap Konsumsi Serat Kasar, Kecernaan Serat
Kasar dan Laju Digesta
W. S. T. Mumpuni1), V. D. Yunianto2), I. Mangisah2), F. Wahyono2) dan B. Sukamto2)
1)Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
2)Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro
E-mail : [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi biji durian terhadap kemampuan
produktivitas ayam petelur ditinjau dari kecernaan serat kasar dan laju digesta. Materi yang digunakan
adalah ayam petelur strain Lohmann Brown umur 40 minggu sebanyak 120 ekor. Penelitian
menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, masing-masing
ulangan menggunakan 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu T0 = kontrol tanpa tepung biji
durian, T1 = 3% tepung biji durian substitusi jagung, T2 = 6% tepung biji durian substitusi jagung dan
T3 = 9% tepung biji durian substitusi jagung. Parameter yang diamati adalah konsumsi serat kasar,
kecernaan serat kasar dan laju digesta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi jagung dengan
tepung biji durian dalam ransum ayam petelur nyata (P<0,05) menurunkan menaikkan konsumsi serat
kasar, menurunkan kecernaan serat kasar dan mempercepat laju digesta. Kesimpulan penelitian
pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai bahan pakan substitusi jagung pada taraf 3 – 9% dapat
menaikkan konsumsi serat kasar, menurunkan kecernaan serat kasar dan mempercepat laju digesta
ayam petelur.
Kata kunci: tepung biji durian, ayam petelur, konsumsi serat kasar, kecernaan serat kasar dan laju
digesta
Pendahuluan
Usaha peternakan ayam petelur merupakan penyedia produk pangan protein hewani yang
harganya relatif terjangkau oleh masyarakat. Harga telur akan semakin mahal seiring dengan
meningkatnya permintaan dan harga pakan yang semakin melambung tinggi. Harga pakan saat ini
semakin melambung tinggi karena sulitnya untuk mendapatkan bahan pakan yang berkualitas di
Indonesia. Pakan merupakan faktor utama dalam keberlangsungan sebuah usaha peternakan. Bahan
pakan utama dalam usaha peternakan unggas khususnya ayam petelur sebesar 50% adalah jagung.
Oleh sebab itu diperlukan pakan sumber energi alternatif baru yang mampu menggantikan jagung
sehingga peternak dapat menghemat biaya pengeluaran untuk pakan. Inovasi pakan dapat berasal dari
limbah pertanian yang masih dapat dimanfaatkan seperti biji durian. Selama ini, masyarakat hanya
mengkonsumsi buah duriannya saja, sedangkan kulit dan biji menjadi limbah yang belum banyak
dimanfaatkan. Persentase kulit durian 60 – 75%, biji 5 – 15% dan buah hanya 20 – 35%
(Prasetyaningrum, 2010). Limbah durian berupa biji atau pongge masih mengandung nutrisi yang
tinggi khususnya energi. Kandungan energi pada jagung kuning sebesar 3394 kkal/kg (Martawijaya
dkk., 2004), sedangkan kandungan energi pada biji durian sebesar 3775 kkl/kg (Suhaidi, 2004).
Kandungan energi yang tinggi pada biji durian dapat digunakan sebagai pakan alternatif substitusi
jagung. Biji durian mentah tidak dapat dimakan secara langsung karena terdapat kandungan zat anti
nutrisi berupa asam lemak siklopropena yang beracun dan apabila dalam ransum mengandung asam
lemak siklopropena dapat mengakibatkan produktivitas ternak menurun (Djaeni dan Prasetyaningrum,
2010), sehingga diperlukan pengolahan seperti perebusan dan pengeringan terlebih dahulu untuk
mengurangi kandungan zat anti nutrisi dalam biji durian sebelum diberikan kepada ternak sebagai
bahan pakan alternatif substitusi jagung.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
87
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai bahan
pakan alternatif substitusi jagung terhadap konsumsi serat kasar, kecernaan serat kasar dan laju digesta
ayam petelur.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Mei – 15 Juni 2017 di Kandang ayam petelur
Departemen Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
Analisis dan pengujian dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan
Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu ayam petelur strain Lohmann Brown sebanyak
120 ekor umur 40 minggu. Bahan penyusun ransum yang digunakan yaitu jagung kuning, bungkil
kedelai, bekatul, tepung ikan, CaCO3, tepung cangkang kerang, premiks dan minyak sawit. Komposisi
bahan pakan penyusun ransum serta kandungan nutrisinya disajikan pada Tabel 1. Ayam petelur diberi
pakan sebanyak 120 g/hari. Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari.
Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Pengukuran sisa ransum dilakukan setiap sore hari
untuk mendapatkan data konsumsi ransum yang diukur dari selisih pemberian ransum dengan sisa
ransum.
Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Penelitian
Bahan Ransum Perlakuan
T0 T1 T2 T3
-------------------------- (%) ------------------------
Jagung kuning 43 40 37 34
Biji durian 0 3 6 9
Bekatul 18 18 18 18
Bungkil kedelai 19,5 19,5 19,5 19,5
Tepung ikan 10 10 10 10
CaCO3 3,5 3,5 3,5 3,5
Kulit kerang 5 5 5 5
Premix 1 1 1 1
Minyak kelapa sawit 0,5 0,5 0,5 0,5
TOTAL 100,5 100,5 100,5 100,5
Kandungan nutrien*(%)
Energi metabolis**(kkal/kg) 2690,84 2694,66 2698,48 2702,30
Protein kasar 17,78 17,79 17,80 17,81
Serat kasar 4,44 4,95 5,46 5,97
Lemak kasar 6,32 6,20 6,09 5,98
Kalsium 3,31 3,30 3,29 3,28
Phospor 0,68 0,67 0,66 0,65
*Berdasarkan hasil analisis proksimat setiap bahan penyusun ransum
**Dihitung berdasarkan rumus Balton (Sibbald, 1989)
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan
5 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 6 ekor ayam. Data dianalisis dengan menggunakan
analisis ragam atau uji F pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika suatu perlakuan
berpengaruh nyata pada sebuah peubah tertentu (P<0,05), dilanjutkan dengan uji wilayah ganda
(Duncan) pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1991).
Perlakuan penelitian adalah sebagai berikut:
T0 = Ransum kontrol tanpa biji durian
T1 = Ransum + 3% tepung biji durian
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
88
T2 = Ransum + 6% tepung biji durian
T3 = Ransum + 9% tepung biji durian
Metode penelitian diawali dengan pencarian limbah biji durian, kemudian biji durian dicuci
hingga bersih, direbus hingga lunak, diiris tipis-tipis dan di jemur dibawah sinar matahari hingga
kering. Biji durian yang telah kering, kemudian di giling dengan mesin grinder hingga menjadi
tepung. Tahap berikutnya yaitu persiapan kandang, perlengkapan pemeliharaan, pengadaan bahan
pakan penyusun ransum dan pemeliharaan ayam. Ayam petelur ditimbang untuk mendapatkan bobot
badan awal. Penempatan ayam ke dalam kandang battery untuk kombinasi perlakuan dilakukan secara
acak. Ayam petelur diadaptasikan dengan pakan perlakuan terlebih dahulu selama 7 hari, setelah itu
ayam dipelihara dengan pemberian perlakuan T0, T1, T2 dan T3 selama 30 hari. Laju digesta dan
kecernaan serat kasar diukur dengan menggunakan metode total koleksi kombinasi tanpa adanya
pemuasaan dan penambahan indikator Fe2O3 (Wahju, 1997). Total koleksi dilakukan selama 3 hari
berturut-turut yaitu pada hari ke 28, 29 dan 30. Pada hari ke 28 dan 30 dengan penambahan Fe2O3
sebanyak 1% dari berat ransum 120 g, sedangkan pada hari ke 29 tanpa penambahan indikator dalam
ransum. Nilai laju digesta dihitung dari selisih waktu saat ransum berindikator diberikan dan saat
indikator pertama kali keluar pada ekskreta. Ekskreta ditampung dalam nampan yang telah dilapisi
plastik hitam, ditandai tiap perlakuan dan diletakkan dibawah kandang battery. Penampungan ekskreta
dimulai saat perubahan warna ekskreta dari warna coklat normal menjadi warna merah sesuai dengan
warna indikator, kemudian ekskreta yang tertampung dalam nampan disemprot dengan HCl 0,2 N
untuk mengikat nitrogen ekskreta agar tidak menguap. Ekskreta yang terkumpul, kemudian
dibersihkan dari rontokan bulu dan pakan. Ekskreta ditimbang untuk mendapatkan berat basah,
kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari untuk mendapatkan berat kering. Ekskreta yang telah
kering, kemudian dihaluskan untuk selanjutnya dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan
Departemen Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa substitusi jagung dengan tepung biji
durian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan serat kasar, konsumsi serat kasar dan laju
digesta.
Tabel 2. Kecernaan Serat Kasar, Konsumsi Serat Kasar dan Laju Digesta
Parameter Perlakuan
T0 T1 T2 T3
Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 106,74ns 104,88ns 101,32ns 102,75ns
Konsumsi Serat Kasar (g/ekor/hari) 11,43d 12,17c 14,11b 16,71a
Kecernaan Serat Kasar (%) 25,56 a 15,16 b 15,08 b 11,93 b
Laju Digesta (menit) 293,42a 253,92b 250,67b 253,67b
Keterangan : Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
ns: Non significant
Berdasarkan hasil analisis ragam Tabel 2. dapat diketahui bahwa semakin tinggi penambahan
level tepung biji durian sebagai bahan pakan substitusi jagung dapat menaikkan konsumsi serat kasar.
Konsumsi serat kasar T1, T2 dan T3 lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Hal tersebut dipengaruhi
oleh rendahnya kandungan serat dalam ransum kontrol. Serat kasar merupakan salah satu nutrisi yang
diperlukan oleh unggas untuk membantu proses pencernaan, namun apabila kandungan serat kasar
dalam ransum yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan ransum kurang disukai oleh unggas sehingga
mengakibatkan konsumsi ransum rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2003) yang
menyatakan bahwa konsumsi serat dipengaruhi oleh kandungan serat dalam ransum karena kandungan
serat kasar yang tinggi dalam ransum bersifat voluminous sehingga dapat menurunkan konsumsi
ransum karena unggas cepat merasa kenyang. Wahju (2004) menambahkan bahwa serat kasar bersifat
sebagai pengganjal serta sehingga semakin tinggi serat kasar dalam ransum menyebabkan jumlah
konsumsi ransum semakin menurun.
Berdasarkan analisis ragam Tabel 2. dapat diketahui bahwa semakin tinggi penambahan level
tepung biji durian sebagai bahan pakan substitusi jagung dapat menurunkan kecernaan serat kasar
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
89
ayam petelur. Kecernaan serat kasar perlakuan kontrol lebih baik dari perlakuan T1, T2 dan T3 karena
semakin besar nilai kecernaan, maka semakin banyak nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ayam
petelur. Rendahnya kecernaan serat kasar pada perlakuan T1, T2 dan T3 dikarenakan tingginya
kandungan serat kasar pada perlakuan T1, T2 dan T3 dibandingkan perlakuan kontrol serta masih
terdapatnya kandungan zat anti nutrisi asam siklopropena dalam biji durian yang dapat mengganggu
kecernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1994) yang menyatakan bahwa kecernaan
ransum akan semakin rendah apabila kandungan serat kasar dalam ransum semakin tinggi. Djaeni dan
Prasetyaningrum (2010) menambahkan bahwa pengaruh asam lemak siklopropena dalam ransum
pakan ternak yaitu dapat menurunkan produktivitas serta mempengaruhi metabolisme dalam tubuh.
Berdasarkan analisis ragam Tabel 2. dapat diketahui bahwa laju digesta T1, T2 dan T3 lebih
cepat daripada perlakuan kontrol. Cepatnya laju digesta T1, T2 dan T3 daripada perlakuan T0 akibat
perlakuan substitusi tepung biji durian diduga karena tingginya kandungan serat kasar dalam ransum
T1, T2 dan T3 dibanding perlakuan kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Prawitasari dkk. (2012)
yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju digesta yakni kandungan serat kasar dalam
ransum, jenis ternak, temperatur lingkungan dan umur ternak. Semakin tinggi kandungan serat kasar
dalam ransum, maka akan mempercepat laju digesta sehingga dapat mengakibatkan pula kecernaan
serat menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa serat kasar
dalam ransum yang semakin tinggi dapat mempercepat laju digesta sehingga mengakibatkan
penyerapan nutrisi ransum dalam saluran pencernaan tidak maksimal.
Simpulan
Pemberian tepung biji durian sebagai substitusi jagung pada ransum ayam petelur pada taraf 3
– 9% dapat menaikkan konsumsi serat kasar, menurunkan kecernaan serat kasar dan mempercepat laju
digesta ayam petelur.
Daftar Pustaka
Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Djaeni, M., dan A. Prasetyaningrum. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif : aspek nutrisi
dan tekno ekonomi. J. Riptek. 4 (2): 37 – 45.
Martawijaya, E. I., E. Martanto, dan N. Tinaprilla. 2004. Panduan Beternak Itik Petelur Secara Intensif.
Agromedia Pustaka, Jakarta.
Prasetyaningrum, A. 2010. Mekanisasi proses olahan biji durian menjadi produk pangan yang kompetitif.
Riptek. 4 (2): 47 – 52.
Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismadi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan protein kasar dan serat kasar serta
laju digesta pada ayam arab yang diberi ransum dengan berbagai level azolla microphylla. J. Animal
Agriculture. 1 (1): 471- 483.
Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Diterjemahkan oleh: B. Sumatri).
Suhaidi, I. 2004. Pemanfaatan Limbah Biji Durian sebagai Bahan Pakan Ternak Ayam Pedaging. Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan. (Tesis Magister Sains).
Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke lima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
90
Makalah 016
Status Fisiologis Hati Ayam Petelur yang Diberi Tepung Biji Durian sebagai
Subtitusi Jagung dalam Ransum
K. Nissa1), F. Wahyono2), I. Mangitsah2), B. Sukamto2) dan V.D. Yunianto2)
1)Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang **)Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang
Email :[email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai pakan
pengganti jagung terhadap status fiologis hati yaitu SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat
Transminase) dan SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase).Materi yang digunakan adalah 120
ekor ayam petelur fase layer dengan 4 macam perlakuan dan 5 kali ulangan. Penelitian ini
menggunakan perlakuan pada ransum yakni T0= 0% (kontrol); T1 = 3% tepung biji durian subtitusi
jagung; T2: 6% tepung biji durian subtitusi jagung; dan T3: 9 % tepung biji durian subtitusi jagung.
Parameter yang diamati adalah kadar SGOT SGPT dan rasio H/L dalam darah. Data dianalisis dengan
uji F probabilitas 5% dan dilanjutkan uji wilayah ganda Duncan apabila data menunjukkan pengaruh
nyata. Hasil SGPT pada T0; T1; T2; dan T3 berturut-turut sebesar 5,78; 5,8; 6,08; dan 7,18 serta
SGOT pada T0;T1;T2; dan T3 berturut-turut sebesar 223,49; 240,11; 242,13; dan 242,54. Hasil ini
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian tepung biji durian tidak menunjukan pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap kadar SGPT dalam darah namun menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) pada kadar
SGOT. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian dengan tepung biji durian
pada taraf 3% menyebabkan kelainan fungsi sel hati pada ayam petelur selama proses pemeliharaan.
Kata kunci:sgpt, sgot, rasio h/l, ayam petelur, tepung biji durian
Pendahuluan
Pengembangan ayam petelur di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
permintaan telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Meningkatnya produksi
ayam petelur berimbas pada kenaikan harga pakan yang sebagian besar masih impor salah satunya
adalah jagung. Oleh karena itu perlu adanya subtitusi jagung dengan bahan pakan lain yang memiliki
kandungan nutrisi hampir sama dengan jagung. Pemilihan biji durian sebagai subtitusi jagung dalam
ransum dikarenakan kandungan energi yang hampir sama. Kandungan EM pada biji durian sebesar
2225 Kkal/kg (Guntoro, 2014) sedangkan pada jagung sebesar 3394 Kkal/kg (Rasyaf, 1990). Biji
durian mentah mengandung zat antinutrisi berupa asam siklopropena dan asam oksalat yang bersifat
racun dan berefek pada pengikatan protein, oleh karena itu perlu pengolahan lebih lanjut unuk
mengurangi antinutrisi tersebut. Salah satu pengolahan biji durian adalah dengan melalui proses
perebusan dan pengeringan kemudian menjadikannya sebagai tepung.
SGOT dan SGPT merupakan enzim yang menjadi indikator kerusakan hati dalam darah.
Kerusakan hati dapat terjadi karena adanya paparan racun. Kadar SGOT dan SGPT yang normal dapat
mempengaruhi peningkatan ketahanan tubuh pada ayam petelur. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai subtitusi jagung terhadap kadar
SGOT dan SGPT.
Materi dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni di Kandang Ayam Petelur Fakultas
Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang. Analisis proksimat bahan pakan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
91
dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro Semarang.
Penelitian menggunakan 120 ekor ayam petelur umur 40 minggu. Bahan penyusun ransum yang
digunakan yaitu jagung kuning, bungkil kedelai, bekatul, tepung ikan, tepung cangkang kerang,
kalsium karbonat (CaCO3), premix, dan tepung biji durian.
Prosedur penelitian diawali dengan pembuatan tepung biji durian. Biji durian yang telah
didapatkan kemudian direbus selama 1 jam kemudian diiris tipis dan dijemur hingga kering. Biji
durian kering kemudian dihaluskan menggunakan mesin grinder dan didapatkan tepung biji durian.
Persiapan kandang, perlengkapan pemeliharaan, pengadaan bahan penyusun ransum, dan analisis
proksimat bahan penyusun ransum.
Tahap berikutnya yaitu tahap pemeliharaan ayam. Ayam petelur dipelihara di kandang battray
dan diberi sekat tiap perlakuan. Ayam dipelihara selama 4 minggu dan diberi pakan sebanyak
120g/hari pada pagi dan sore.
Perlakuan penelitian yaitu level penambahan tepung biji durian pada ayam petelur sebagai substitusi
jagung pada ransum. Perlakuan penelitian adalah sebagai berikut:
T0 = Ransum basal tanpa tepung biji durian
T1 = Ransum + 3% tepung biji durian
T2 = Ransum + 6% tepung biji durian
T3 = Ransum + 9% tepung biji durian
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan
5 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 6 ekor ayam.
Ayam yang telah dipelihara selama 4 minggu kemudian diambil darah pada pembuluh darah
bagian sayap. Darah diambil menggunakan spuit berukuran 3 ml. Darah kemudian dimasukkan ke
dalam tabung EDTA K3 kemudian dianalisis SGOT dan SGPT. Analisis SGOT dan SGPT dilakukan
secara spektrofotometri.
Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam atau uji F untuk
mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila terdapat pengaruh perlakuan nyata, dilanjutkan dengan uji
wilayah ganda (Duncan) pada taraf 5%.
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis ragam pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian tepung biji durian sebagai
subtitusi jagung memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar SGOT dan rasio H/L dalam darah,
namun tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar SGPT dalam darah.
Tabel 1. Kadar SGPT, SGOT, dan rasio H/L pada ayam petelur
Parameter Treatment
T0 T1 T2 T3 SGPT 5,78 5,80 6,08 7,18
SGOT 223,49 b 240,11a 242,13a 242,54a Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Berdasarkan Tabel 1dapat diketahui bahwa semakin tinggi level pemberian tepung biji durian
yakni pada perlakuan T1, T2 dan T3, semakin meningkat pula kadar SGPT dan SGOT. Peningkatan
enzim SGPT dan SGOT menunjukkan adanya tingkat kerusakan sel – sel hati. Menurut Suharjo
(2009), makin tinggi peningkatan kadar SGPT dan SGOT, semakin meningkat pula kerusakan sel – sel
hati. Kerusakan sel – sel hati dapat disebabkan karena adanya paparan toksik atau racun dalam hal ini
paparan antinutrisi yang terdapat dalam biji durian. Antinutrisi merupakan zat yang diproduksi oleh
tumbuhan dan bersifat racun yang berbahaya. Antinutrisi asam siklopropena pada biji durian
menyebabkan gangguan pada metabolisme lemak pada tubuh sehingga produktivitas ternak menjadi
turun (Djaeni dan Prasetyaningrum, 2010). Kerusakan pada membran sel hati menyebabkan enzim
keluar dari sitoplasma yang rusak (Sacher dan McPherson, 2004). Enzim yang keluar dari hepatosit
akan meningkatkan kadarnya dalam serum sehingga dapat menjadi indikator kerusakan hati
(Armansyah dkk., 2010). Enzim GPT banyak terdapat di hati, sedangkan enzim GOT banyak terdapat
di otot rangka, ginjal, pankreas, limpa, paru dan otak (Rosida, 2016).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
92
Simpulan
Semakin tinggi level pemberian tepung biji durian pada perlakuan T1, T2, dan T3 menunjukkan
kelainan pada fungsi sel hati pada ayam petelur dibanding dengan perlakuan kontrol yaitu perlakuan
T0 sehingga perlakuan kontrol lebih baik dibanding dengan perlakuan pemberian tepung biji durian.
Daftar Pustaka
Armansyah, T. T. R., A. Sutriana, H. Vanda, E. Rahmi. 2010. JIIP. 13(6) : 292-298
Djaeni, M. dan A. Prasetyaningrum. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif : aspek nutrisi
dan tekno ekonomi. J. Riptek. 4(11) : 37-45
Guntoro, E.J. 2014. Evaluasi kualitas nutrisi kulit dan biji buah durian fermentasi dengan Phanerochaete
chrysosporium dan Neurospora crassa. Thesis unpublish. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas,
Padang
Rasyaf, M., 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Kanisius, Yogyakarta
Rosida, A. 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. J. Berkala Kedokteran. 12(1) : 123-131
Sacher, R. A. dan McPherson, R.A. 2004. Tinjauan Klinis Pemeriksaan Laboratorium. EGC, Jakarta
Suharjo, J.B. 2009. Hepatitis A. Kanisius, Yogyakarta
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
93
Makalah 017
Pemanfaatan Biji Durian sebagai Bahan Substitusi Jagung pada Ransum Ayam Petelur
Terhadap Kecernaan Protein dan Massa Protein Telur
Y. A. Nugraha, I. Mangisah, B. Sukamto, V. D. Yunianto, dan F. Wahyono
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang
Jl. Prof. H. Soedarto, Tembalang – Semarang
Email : [email protected], [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai bahan
substitusi jagung terhadap kecernaan protein dan massa protein telur. Materi yang digunakan yaitu
ayam petelur strain Lohmann Brown umur 40 minggu sebanyak 120 ekor, bobot badan
1815,20±174,28 g. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan
dan 5 ulangan, setiap unit kandang diisi 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu pemberian level
tepung biji durian 0, 3, 6, 9% dari ransum. Parameter yang diamati meliputi konsumsi protein,
kecernaan protein dan massa protein telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian level
tepung biji durian sampai 9% sebagai bahan substitusi jagung tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap konsumsi protein, namun nyata (P<0,05) menurunkan kecernaan protein dan massa protein
telur pada ayam petelur fase layer. Kesimpulan dalam penelitian bahwa pemberian tepung biji durian
sebagai bahan substitusi jagung dalam ransum tidak menurunkan konsumsi protein namun
menurunkan kecernaan protein dan massa protein telur.
Kata kunci : ayam petelur, biji durian, jagung, kecernaan protein, massa telur
Pendahuluan
Ayam petelur merupakan salah satu komoditas ternak yang memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan karena dapat menghasilkan produk yang bergizi tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan
protein hewani bagi masyarakat. Protein hewani sangat bermanfaat bagi tubuh manusia untuk
pertumbuhan, hal ini mendorong peternakan ayam petelur untuk meningkatkan produksi telur supaya
dapat memenuhi permintaan konsumen. Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam produksi
telur selain bibit dan manajemen. Biaya pakan memiliki bagian yang besar dalam biaya produksi yaitu
sekitar 70% dari total biaya produksi (Mangisah dkk, 2004).
Harga jagung yang mahal dan ketersediaan yang tidak menentu dapat menjadi faktor
penghambat dalam usaha peternakan ayam petelur, maka perlu adanya upaya untuk menekan biaya
produksi dengan cara substitusi jagung menggunakan bahan pakan lokal yang murah dan memiliki
kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jagung, salah satunya adalah biji durian yang
presentasenya mencapai 5-15%. Biji durian biasanya dibuang sebagai limbah pertanian yang dapat
dimanfaatkan sebagai pakan (Sistanto dkk, 2017). Biji durian memiliki kandungan karbohidrat yang
tinggi yaitu 46,2% dibandingkan singkong (34,7%) ataupun ubi jalar (27,9%) (Djaeni dan
Prasetyaningrum, 2010). Kandungan nutrisi pada biji durian yang hampir sama dengan jagung,
memungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur. Biji durian
yang mentah mengandung asam lemak siklopropena dan aksolat yang bersifat racun. Racun tersebut
dapat diturunkan kadarnya dengan cara perebusan dan pengeringan biji durian (Hasnawati dkk, 2016).
Jagung mengandung pro-vitamin A yang dapat meningkatkan kualitas telur dan memberikan
warna kuning pada kuning telur, namun memiliki kandungan asam amino lisin dan triptofan yang
rendah. Kekurangan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan bahan lain sumber protein yang
memiliki kandungan asam amino lisin dan triptofan yang tinggi seperti bungkil kedelai ataupun asam
amino sintetis (Sukamto, 2012). Penggunaan tepung biji durian sebagai pengganti jagung diharapkan
dapat meningkatkan kecernaan protein dan massa protein telur pada ayam petelur. Penelitian
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
94
Hasnawati dkk. (2016) penggunaan tepung biji durian pada taraf 5%, dapat meningkatkan konsumsi
dan pertambahan bobot badan serta menurunkan konversi ransum pada itik lokal jantan.
Tujuan dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemberian tepung biji
durian sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur terhadap konsumsi protein,
kecernaan protein dan massa protein telur.
Materi dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 11 Mei sampai 15 Juni 2017 di Kandang Ayam Petelur
Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Analisis nutrien pakan
dilakukan di Laboratium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang.
Sebanyak 120 ekor ayam petelur strain Lohmann Brown fase layer umur 40 minggu dengan
bobot badan 1815,20±174,28 g dimasukkan ke dalam 20 unit kandang, setiap unit diisi 6 ekor.
Kandang yang digunakan yaitu kandang baterai. Biji durian yang diperoleh tersebut diolah untuk
dijadikan tepung biji durian. Biji durian yang diperoleh, dicuci sampai bersih kemudian direbus
selama 1 jam lalu ditiriskan dan dipotong tipis – tipis selanjutnya dijemur dibawah sinar matahari
hingga kering. Biji durian yang sudah kering kemudian dihaluskan menggunakan mesin glinder
hingga halus sampai bentuknya menjadi tepung. Komposisi bahan pakan penyusun ransum serta
kandungan nutrisinya disajikan pada Tabel 1.
Pemberian ransum dan air minum dilakukan pada pagi dan sore secara ad libitum. Parameter
yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi protein, kecernaan protein dan massa protein telur.
Metode untuk mengukur konsumsi protein adalah :
Konsumsi Protein = Konsumsi ransum × Kadar protein dalam ransum (%)
Metode yang digunakan dalam perhitungan kecernaan protein yaitu metode total koleksi dengan
indikator Fe2O3. Kecernaan Protein dihitung menggunakan rumus McDonald dkk. (1988) yaitu:
Kecernaan Protein = Konsumsi PK - PK ekskreta
Konsumsi PK × 100%
Massa protein telur merupakan data yang diperoleh dari protein telur dikalikan dengan massa telur
tanpa cangkang. Massa protein telur dihitung menggunakan rumus:
Massa Protein Telur = Kadar protein telur × Massa telur tanpa cangkang
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5
ulangan, setiap ulangan terdiri dari 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu level pemberian
tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur sebagai berikut:
T0 = Ransum kontrol (tanpa tepung biji durian)
T1 = Ransum dengan tepung biji durian 3%
T2 = Ransum dengan tepung biji durian 6%
T3 = Ransum dengan tepung biji durian 9%
Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam untuk mengetahui
pengaruh perlakuan, apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Wilayah
Ganda (Duncan) pada taraf 5%.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
95
Tabel 1. Komposisi bahan pakan penyusun ransum ayam petelur layer dan kandungan nutriennya
Bahan Pakan T0 T1 T2 T3
------------------------%------------------------
Jagung 43 40 37 34
Tepung Biji Durian 0 3 6 9
Bekatul 18 18 18 18
Bungkil kedelai 19.5 19.5 19.5 19.5
Tp Ikan 10 10 10 10
CaCO3 3.5 3.5 3.5 3.5
Tepung Cangkang Kerang 5 5 5 5
Premix 1 1 1 1
Minyak 0.5 0.5 0.5 0.5
TOTAL 100,5 100.5 100.5 100.5
Kandungan nutrisi ransum
Energi Metabolis (kkal/kg) 2690.84 2694.66 2698.48 2702.30
Protein Kasar 17.78 17.79 17.80 17.81
Serat Kasar 4.44 4.95 5.46 5.97
Lemak Kasar 6.32 6.20 6.09 5.98
Kalsium 3.31 3.30 3.29 3.28 P tersedia 0.68 0.67 0.66 0.65 Imbangan Ca : P tersedia 4.87 : 1 4.92 : 1 4.98 : 1 5.04 : 1
Keterangan : *) Analisis proksimat dan nilai EM (diuji terlebih dahulu)
**) Kandungan bahan pakan penyusun ransum dianalisis proksimat di Laboratium Ilmu
Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro,
Semarang
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung biji durian sebagai bahan
substitusi jagung pada ransum ayam petelur terhadap konsumsi protein, kecernaan protein dan massa
protein telur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Protein, Kecernaan Protein dan Massa Protein Telur.
Parameter Perlakuan
T0 T1 T2 T3 Konsumsi Protein (g/ekor/hari) 17,06 16,84 16,30 16,60 Kecernaan Protein (%) 71,98a 70,58a 68,37a 60,88b Massa Protein Telur (g) 7,02a 6,89a 6,29b 6,26b Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Konsumsi Protein
Rataan konsumsi protein selama penelitian pada T0, T1, T2, T3 yaitu 17,06 , 16,84 , 16,30 dan
16,60 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian
tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
konsumsi protein ayam petelur. Konsumsi protein pada ayam petelur dengan pemberian tepung biji
durian sebagai bahan substitusi sama pada semua perlakuan. Konsumsi protein dipengaruhi oleh
kandungan protein ransum, sedangkan konsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat energi ransum
(Wahju, 1997). Kandungan protein yang relatif sama dalam ransum pada setiap perlakuan dapat
menyebabkan tingkat konsumsi protein yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Winedar dkk.
(2004) bahwa semakin tinggi kandungan protein dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi protein,
namun jika kandungan proteinnya sama maka konsumsi protein akan sama pada tingkat energi ransum
yang sama. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh energi metabolis dalam ransum, jumlah energi
metabolis yang sama pada setiap perlakuan dapat menyebabkan konsumsi ransum yang sama.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
96
Menurut Mulyatini (2014) bahwa rendahnya energi yang terdapat dalam ransum dapat meningkatkan
konsumsi ransum, sedangkan energi dalam ransum yang tinggi dapat menurunkan tingkat konsumsi.
Kecernaan Protein
Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukan bahwa pemberian tepung biji
durian sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur secara nyata (P<0,05) menurunkan
kecernaan protein. Level pemberian tepung biji durian pada taraf 3% dan 6% hasil kecernaan
proteinnya sama dengan perlakuan tanpa pemberian tepung biji durian, namun pada level pemberian
tepung biji durian sampai 9% menurunkan kecernaan protein. Hal ini disebabkan oleh adanya
kandungan zat anti nutrisi pada tepung biji durian berupa aksolat dan asam lemak siklopropena pada
tepung biji durian. Proses perebusan dan pengeringan biji durian hanya dapat menurunkan zat
antinutrisi tersebut (Hasnawati dkk, 2016). Kandungan anti nutrisi pada tepung biji durian dapat
menghambat proses absorpsi protein sehingga kecernaan protein menjadi rendah. Menurut Mateos
dkk. (1982) bahwa bahan pakan yang memiliki kualitas yang baik dan tidak mengandung zat anti
nutisi dapat meningkatkan proses absorbsi sehingga kecernaan protein meningkat. Semakin sedikit
jumlah protein yang dapat dikonsumsi oleh ternak dapat menyebabkan kecernaan protein yang rendah.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prawitasari dkk. (2012) bahwa tinggi rendahnya kecernaan protein
dapat dipengaruhi oleh jumlah kandungan asam amino yang berkeseimbangan dalam ransum dan
banyaknya protein yang dapat masuk ke dalam saluran pencernaan.
Massa Protein Telur
Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian tepung biji
durian sebagai bahan substitusi jagung pada ayam petelur fase layer nyata (P<0,05) menurunkan
massa protein telur. Pemberian level tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung dalam ransum
hingga 3% tidak menurunkan masa protein telur, tetapi pemberian tepung biji durian pada taraf 6%
dan 9% menurunkan massa protein telur. Semakin tinggi level pemberian tepung biji durian dapat
menurunkan massa protein telur. Hal ini disebabkan oleh kurangnya jumlah protein yang dikonsumsi,
sehingga massa telur semakin kecil. Menurut Siahaan dkk. (2013) bahwa kurangnya konsumsi protein
dapat mempengaruhi kebutuhan dalam pembentukan sebutir telur. Kecernaan protein yang rendah
dapat menyebabkan kurangnya asupan protein dalam proses pembentukan telur sehingga dapat
memperkecil massa telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Summer dan Leeson (1994) bahwa ayam
yang kekurangan asupan protein pada usai pertumbuhan dapat memperlambat dewasa kelamin serta
memperkecil ukuran dan massa telur yang dihasilkan.
Simpulan
Pemberian level tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung sampai 6% pada ransum
ayam petelur tidak menurunkan konsumsi protein namun menurunkan kecernaan protein dan massa
protein telur.
Daftar Pustaka
Djaeni, M. dan Prasetyaningrum. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif: aspek nutrisi dan
tekno ekonomi. J. Riptek. 4 (11): 37 – 45
Hasnawati, Hafzah dan Sugiarto. 2016. Penggunaan tepung biji durian (Durio zibethinus murr) sebagai sumber
energi dalam pakan terhadap performan itik lokal jantan (Anas platyrhynchos). J. Agrisains. 17 (1): 62 –
67
Mangisah, I., I. Estiningdriati dan S. Sumarsih. 2004. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif:
aspek nutrisi dan tekno ekonomi. J. Indonesia Tropical Animal Agriculture. 29 (1): 39 – 43
Mateos, G. G., J. L. Sell and J.A. Eastwood. 1982. Rate of Food Passage (Transit Time) as Influence by Level
Supplemental Fat. J. Poultry Science., 61: 94-100
Mulyatini, N. G. A. 2014. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
97
Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismadi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan protein kasar dan serat kasar serta
laju digesta pada ayam arab yang diberi ransum dengan berbagai level Azolla microphylla. J. Animal
Agricultural. 1 (1): 471 – 483
Rozako, M. R., E. Sudjarwo dan A. A. Hamiyanti. 2015. Pengaruh penambahan tepung biji durian dalam pakan
terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan persentase karkas pada burung puyuh
(Cortunix cortunix japonica). Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.
Siahaan, N. B., E. Suprijatna dan L. D. Mahfudz. 2013. Pengaruh penambahan tepung jahe merah (Zingiber
officinale var. Rubrum) dalam ransum terhadap laju bobot badan dan produksi telur ayam kampung
periode layer. J. Animal Agricultural. 2 (1): 478 – 488
Sistanto, E. Sulistyowati dan Yuwana. 2017. Pemanfaatan Limbah Biji Durian (Durio zibethinus Murr) sebagai
Bahan Penstabil Es Krim Susu Sapi Perah. J. Sain Peternakan Indonesia. 12 (1): 9 – 23.
Sukamto, B. 2012. Kebutuhan Energi dan Protein Ransum Unggas. Diponegoro University Press, Semarang
Summers, O.J. and S. Leeson. 1994. Laying hen performance influence by protein intake to sixteen weeks of age
and body weight at point of lay. J. Poultry. Science. 73: 495-501.
Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Winedar, H. Shanti Listyanti dan Sutarno. 2004. Daya Cerna Protein Pakan, Kandungan Protein Daging, Dan
Pertambahan Berat Bdan Ayam Broiler Setelah Pemberian Pakan Yang Difermentasi Dengn Effective
Microorganisms (EM-4). J. Bioteknologi. 3 (1):14-19.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
98
Makalah 018
Pengaruh Paritas Induk Terhadap Berat Lahir Dan Berat Sapih Sapi Bali
Ahmad Zainuri1, Ainun Rasyid Hariansyah1, Afif Raharjo1, Yudi Parwoto2, Dwi Prasetiyo2,
Sigit Prastowo1 dan Nuzul Widyas1
1Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta
2Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Denpasar Bali
Abstrak
Progeny test merupakan salah satu cara seleksi kualitas genetik ternak berdasarkan performa
keturunannya. Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar
Bali telah melaksanakan pemuliaan, pengembangan dan penyebaran bibit Sapi Bali yang sudah lolos
progeny test. Induk sapi Bali yang digunakan dalam program progeny test memiliki paritas yang
berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paritas induk terhadap berat lahir
(BL) dan berat sapih umur 205 hari (BS205) pada populasi progeny test di BPTU-HPT Denpasar. Data
recording sapi Bali yang mengikuti program progeny test tahun 2010-2013 meliputi BL, BS205,
pejantan, jenis kelamin dan paritas induk. Data BL dan BS205 dianalisis menggunakan metode linear
regression dengan paritas, jenis kelamin dan tahun kelahiran sebagai fixed effect. Hasil analisis
menunjukkan bahwa paritas berpengaruh (P<0,05) terhadap BL, tetapi tidak berpengaruh (P>0,05)
terhadap BS205. Berat lahir terendah dicapai saat paritas pertama (17,21 ± 0,92 kg) kemudian
meningkat hingga paritas kelima (18,05 ± 1,30 kg) dan turun sampai paritas kedelapan (17,67 ± 1,36
kg). Kesimpulan dari penelitian ini adalah BL sapi Bali dipengaruhi oleh paritas induk.
Kata kunci : paritas induk, berat lahir, berat sapih, Sapi Bali
Pendahuluan
Sapi bali merupakan sapi indigenous Indonesai yang mempunyai potensi untuk dikembangkan
secara komersial. Sapi bali memiliki kemampuan adaptasi pada iklim tropis dan ketahanan pakan
kualitas rendah, yang mana cocok untuk dikembangkan pada daerah kering. Selain itu, kemampuan
produksi daging sapi Bali terlihat pada persentase karkasnya yang tinggi, meskipun proporsi tubuh
sapi Bali cenderung lebih kecil dibandingkan sapi dari daratan Eropa (Hafid dan Rugayah, 2009).
Ditinjau dari kemampuan reproduksi sapi Bali memiliki frekuensi melahirkan anak (paritas) tinggi
(Tavares et al., 2012). Hal tersebut menguntungkan peternak dimana setiap tahun dapat memperoleh
pedet.
Seleksi atau pemilihan ternak banyak menggunakan indikator sifat berat sapih maupun berat
lahir. Sifat pertumbuhan berat lahir dan berat sapih sapi Bali dipengaruhi oleh pejantan, jenis kelamin,
umur induk dan paritas (Gunawan dan Jakaria, 2011). Paritas induk berhubungan erat dengan umur
induk saat melahirkan, maupun jumlah anak yang dilahirkan. Secara umum induk sapi pada paritas
pertama mempunyai produksi susu lebih rendah dibandingkan paritas kedua atau ketiga. Diharapkan
pada paritas middle dengan asupan susu dari induk yang lebih banyak menghasilkan berat sapih anak
sapi yang lebih baik. Pertumbuhan anak telah diinisiasi ketika dalam kandungan (Meyer, 1992),
implikasinya adalah adanya variasi berat lahir. Hal ini salah satunya berhubungan dengan asupan
nutrien yang didapatkan anak dari induk selama periode kebuntingan. Induk muda atau pada paritas
awal memerlukan energi lebih besar karena selain untuk maintenance dan pertumbuhan juga dibagi
dengan fetus (Toelihere, 1985). Jika terjadi imbangan energi negatif kemungkinan anak yang
dilahirkan mempunyai berat badan kecil. Sehingga performa anak-anak sapi tersebut dapat digunakan
untuk mengetahui pengaruh paritas induk.
Melihat potensi pada sapi Bali tersebut maka perlu dilakukan evaluasi berkelanjutan untuk
melihat perkembangan pada sapi Bali. Kemampuan reproduksi sapi Bali yang dapat melahirkan anak
tiap tahun membuat manajemen paritas penting dilakukan. Evaluasi induk berdasarkan paritas yaitu
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
99
berkaitan dengan induk sebagai replacement stock. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh paritas induk terhadap performa pada berat lahir dan berat sapih.
Materi dan Metode
Data
Data recording sapi Bali merupakan hasil pencatatan dan pengukuran selama periode progeny
test tahun 2010 - 2013. Adapun jumlah pejantan sebanyak 4 ekor per tahun, induk betina 120 ekor (30
ekor/pejantan) dan keturunan jantan dan betina ±120 ekor per tahun. Pejantan tersebut dikawinkan
dengan induk didalam paddock selama periode perkawinan pada bulan Oktober - Desember yang
kemudian induk akan melahirkan pada bulan Juli - September. Perkawinan dilakukan secara kawin
alam pada pejantan uji dan satu paddock menggunakan pejantan IB (Inseminasi Buatan) yaitu
pejantan yang lolos program progeny test sebelumnya. Data recording produksi diperoleh untuk berat
lahir dan berat sapih.
Selanjutnya data yang diperoleh dikelompokkan atas: paritas (1, 2, 3,.., n), jenis kelamin anak
(1=jantan, 2=betina) dan tahun kelahiran anak (2010, 2011, 2012, 2013). Peubah yang diamati dalam
penelitian ini yaitu berat lahir (BL) dan berat sapih umur 205 hari (BS205).
Standarisasi Sifat Pengamatan
a. Berat Lahir (BL)
Data BL diperoleh berdasarkan data recording yang tersedia dari BPTU-HPT Denpasar.
Pengukuran berat lahir yaitu maksimal 24 jam setelah kelahiran, menggunakan timbangan digital
ternak ruminansia (iconix FX1, New Zealand). Pada sifat pengamatan BL lahir tidak dilakukan
standarisasi.
b. Berat Sapih 205 hari (BS205)
Berat sapih adalah berat yang diperoleh melalui penimbangan distandarisasi pada umur 205
hari. Persamaan yang digunakan dalam koreksi berat sapih berdasarkan umur 205 hari menurut
Hardjosubroto (1994) adalah sebagai berikut:
BS205= FKUI x BL205 x aktualUmur
BL - aktualberat
Keterangan:
BS205 : berat badan terkoreksi pada umur 205 hari
Berat aktual : berat badan saat ditimbang
BL : berat lahir
Umur aktual : umur pada saat penyapihan (hari)
FKUI : Faktor Koreksi Umur Induk
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode linear regression dengan paritas, jenis kelamin, tahun
kelahiran sebagai fixed effect dan berat lahir, berat sapih umur 205 hari sebagai respon (Ott dan
Longnecker, 2010). Analisis data menggunakan R programming language (R Core Team, 2017).
Model pengamatan dalam penelitian ini:
Yijk = µ + Pi + Kj + Pk + Eijk
Yijk = Observasi (berat lahir, berat sapih umur 205 hari)
µ = Intercept
Pi = Pengaruh paritas, i=1,2,3,…n
Kj = Pengaruh jenis kelamin anak, j=1:jantan, 2:betina
Tk = Pengaruh tahun kelahiran, k=2010, 2011, 2012, 2013
E = Error
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
100
Hasil dan Pembahasan
Berat Lahir dan Berat Sapih Berdasarkan Jenis Kelamin
Rerata dan standar deviasi berat lahir (BL) dan berat sapih umur 205 hari (BS205) berdasarkan
jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 1. Jenis kelamin tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05)
pada BL tetapi pada BS205 memberikan pengaruh nyata (P<0,05). Lebih lanjut dapat dikatakan BL
jantan dan betina lebih seragam dengan perbedaan 0,15 kg. Rerata pada BS205 anak betina lebih rendah
5,69 kg dibandingkan anak jantan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Gunawan dan Jakaria, (2011)
yang mengkonfirmasi bahwa jenis kelamin pada anak betina sapi Bali mempunyai berat lahir dan berat
sapih lebih rendah.
Komponen yang memengaruhi BL dan BS205 berasal dari individu tersebut salah satunya
adalah jenis kelamin. Menurut Toelihere (1985) pada induk yang mengandung fetus jantan
mempunyai masa kebuntingan yang lebih lama dibandingkan mengandung fetus betina. Lebih
lamanya periode kebuntingan tersebut dapat memberikan pengaruh BL yang lebih tinggi. Selain itu,
selama didalam kandungan fetus jantan mempunyai kemampuan untuk lebih aktif mengadsorbsi
nutrien. Hasil penelitian ini perbedaan jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh signifikan yang
berarti bahwa potensi tumbuh fetus ketika dalam kandungan adalah seragam.
Tabel 1. Rerata dan standar deviasi pada sifat BL dan BS205
Parameter
Sifat yang diamati
BL (kg) BS205 (kg)
Rerata±sd N Rerata±sd n
Paritas
1 17,21±0,.92 104 83,92±16,82 103
2 17,48±1,29 56 87,50±16,48 56
3 17,59±1,03 62 82,09±16,16 61
4 17,46±0,94 48 81,56±17,14 48
5 18,05±1,30 39 80,44±19,44 38
6 17,93±1,12 33 81,21±15,42 32
7 17,75±0,91 20 86,98±12,34 20
8 17,67±1,36 6 94,26±14,08 6
P Value P<0,05 P>0,05
Jenis kelamin anak
Jantan 17,62±1,19 180 86,53±16,97 176
Betina 17,47±0,99 188 80,84±16,00 188
P Value P>0,05 P<0,05
Tahun kelahiran
2010 18,32±1,44 84 73,90±17,69 84
2011 17,57±1,03 100 76,64±13,89 98
2012 17,24±0,75 98 95,95±8,15 97
2013 17,08±0,64 86 87,08±16,05 85
P Value P<0,05 P<0,05
Rerata BS205 pada Tabel 1 menunjukkan anak jantan mempunyai berat lebih tinggi dibandingkan
anak betina. Kemampuan pertumbuhan setelah kelahiran dipengaruhi oleh potensi ternak tersebut
untuk beradaptasi dengan lingkungan. Menurut (Suranjaya et al., 2010) anak jantan mempunyai
kemampuan lebih besar untuk megonsumsi susu dan merangsang produksi susu induk. Sehingga pada
BS205 cenderung lebih tinggi dibandingkan anak betina. Adanya variasi pada berat jantan dan betina
juga disebabkan karena perbedaan hormonal pada sistem endokrin (Hafez dan Hafez, 2000).
Kemampuan pertumbuhan anak jantan yang lebih cepat dibandingkan anak betina yang berhubungan
dengan kadar dan tipe hormon seksual (Mohammadi, 2010). Hasil penelitian Iffandi (2014) melaporan
bahwa kadar hormon pertumbuhan pada sapi Bali jantan lebih tinggi dibandingkan sapi Bali betina.
Hormon testosteron pada jantan mempunyai peran untuk merangsang pengeluaran hormon
pertumbuhan seperti somatotropin. Sementara itu hormon estrogen pada betina melimitasi laju
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
101
pertumbuhan tulang, sehingga sapi betina proporsi tubuhnya akan terlihat lebih kecil dibandingkan
sapi jantan.
Berat Lahir dan Berat Sapih Berdasarkan Tahun Kelahiran
Rerata dan standar deviasi BL dan BS205 berdasarkan tahun kelahiran anak disajikan pada Tabel
1. Tahun kelahiran memberikan pengaruh signifikan (P<0,05) pada BL dan BS205. Rerata BL terlihat
tren yang menurun tetapi pada BS205 sebaliknya adanya tren yang terus meningkat dengan rerata
tertinggi pada 2012 (95,95 kg). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ditemukan juga pengaruh
tahun kelahiran anak terhadap berat badan (Gunawan dan Jakaria, 2011; Krupa et al., 2005; Toušová
et al., 2015).
Ditemukannya signifikansi pada BL dan BS205 dapat dimungkinkan karena induk betina yang
digunakan pada program progeny test tidak sama tiap tahunnya. Diketahui bahwa komponen induk
seperti paritas (Silva et al., 2016; Tavares et al., 2012) dan produksi susu (Albuquerque dan Meyer,
2001) memberikan kontribusi pada berat badan keturunan. Pengamatan pada perbedaan tahun
kelahiran dapat menggambarkan adanya variasi distribusi curah hujan yang berkaitan dengan
ketersediaan pakan hijauan di pastura (Toušová et al., 2015). Ketersediaan pakan tersebut akan
berhubungan dengan kemampuan produksi susu induk dan kondisi maintenance induk sebelum
melahirkan terutama pada periode trimester akhir kebuntingan (Marques, 2016). Ketersediaan pakan
yang mencukupi untuk induk dalam menunjang pertumbuhan anak sebelum dan setelah kelahiran serta
adanya manajemen yang terkontrol perlu diperhatikan untuk mendapatkan nilai berat lahir dan berat
sapih yang baik.
Berat Lahir dan Berat Sapih Berdasarkan Paritas
Rerata dan standar deviasi BL dan BS205 berdasarkan paritas disajikan pada Tabel 1. Paritas
memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada BL tetapi tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada
BS205. Pengaruh paritas pada BL cukup bervariasi, dimana tren BL meningkat sampai paritas 3 dan
tertinggi pada paritas 5 (18,05 kg). Sedangkan pada BS205 berat badan tertinggi justru pada paritas
akhir 8 (94,26 kg).
Faktor yang memengaruhi BL diantaranya genetik, musim (Gunawan dan Jakaria, 2011), jenis
kelamin, paritas (Tavares et al., 2012), umur induk (Silva et al., 2016). Paritas atau frekuensi induk
melahirkan hubungannya erat dengan umur induk tersebut. Secara umum, berat badan anak akan
meningkat setelah paritas pertama kemudian akan mengalami penurunan. Tabel 1 menunjukkan bahwa
BL pada paritas kedua lebih tinggi dibandingkan dengan paritas pertama. Kemampuan pertumbuhan
BL anak selain oleh adanya potensi genetik untuk tumbuh juga dipengaruhi oleh faktor keindukan
(maternal). Pengaruh induk dapat dibedakan pada saat pra-kelahiran (prenatal) dan paska kelahiran
(postnatal). Ketika sebelum kelahiran, pada induk muda imbangan nutrisi harus dicukupi untuk
pertumbuhan fetus tetapi juga dibagi untuk pertumbuhan dan maintenance induk tersebut (Toelihere,
1985). Berkebalikan pada induk dewasa yang memiliki body condition score yang lebih baik, selama
periode kebuntingan dapat memberikan nutrisi lebih untuk pertumbuhan fetus. Oleh karena itu,
berbagai faktor untuk menjaga lingkungan uterus menjadi penting untuk mendukung pertumbuhan
fetus yang normal (Meyer, 1992). Pemilihan induk pada paritas middle atau akhir dapat menjadi
pertimbangan untuk mendapatkan nilai BL yang lebih tinggi.
Induk akan tetap bersama anak hingga mencapai umur sapih. Dalam kondisi itu kemampuan
anak untuk tumbuh tidak tidak hanya bergantung pada induknya tetapi juga daya adaptasinya pada
lingkungan. Selain itu, beberapa komponen lain yang memengaruhi BS205 diantaranya jenis kelamin
(Gunawan dan Jakaria, 2011), pejantan (Toušová et al., 2015) dan pengaruh pakan. Produksi susu
induk sapi Bali cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis sapi lainnya (Pane, 1986). Hal
ini merefleksikan pengaruh induk yang mulai berkurang terutama diakhir masa sapih. Pengaruh paritas
hubungannya dengan faktor maternal paska-kelahiran seperti produksi susu dan mothering ability
tidak terepresentasi pada BS205. Dapat juga dikatakan bahwa pengaruh paritas induk tersebut paska-
kelahiran cukup seragam.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
102
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sifat produksi berat lahir dipengaruhi
oleh faktor pasitas induk dan perbedaan tahun kelahiran sedangkan berat sapih lebih dipengaruhi oleh
jenis kelamin dan perbedaan tahun kelahiran.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada BPTU-HPT Denpasar Bali yang telah memberikan fasilitas dan tempat dalam
pelaksanaan penelitian ini.
Daftar Pustaka
Albuquerque, L. G. dan K. Meyer. 2001. Estimates of direct and maternal genetic effects for weights from birth
to 600 days of age in Nelore cattle. Journal of Animal Breeding and Genetics: 118:83–92.
Gunawan, A. dan Jakaria. 2011. Genetic and non-genetics effect on birth , weaning and yearling weight of Bali
Cattle. Media Peternakan 34(2):93–98.
Hafez, B. dan E. S. E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals (7th Edition). Lippincott Williams and
Wilkins, USA.
Hafid, H dan N. Rugayah. 2009. Persentase karkas sapi Bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan
sebelum pemotongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Hal. 77-85.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.
Krupa, E., M. Oravcová, P. Polák, J. Huba, Z. Krupová. 2005. Factors affecting growth traits of beef cattle
breeds raised in Slovakia. Czech Journal Animal Science 50 (1):14-21.
Marques R, R. M. Cooke, P. Moriel dan D. Bohnert. 2016. Impacts of cow body condition score during gestation
on weaning performance of the offspring. Livestock Science 191:174-178.
Meyer, K. 1992. Variance components due to direct and maternal effects for growth traits of Australian beef
cattle. Livestock Production Science 31(3):179–204.
Mohammadi, K., M. T. B. Nassiri, J. Fayazi, H. Roshanfekr. 2010. Effects of environmental factors on
preweaning growth traits in Zandi lambs. Journal of Animal and Veterinary Advances 9(5): 903-906.
Ott, R. L dan M. Longnecker. 2010. An Introduction to Statistical Methods and Data Analysis (6th Edition).
Brooks/Cole. United States of America.
Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
R Core Team. 2017. R: A language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical
Computing, Vienna, Austria. URL https://www.R-project.org/.
Silva, A. G., J. A. Musgrave, J. Nollette, A. Applegarth dan R. N. Funston. 2016. Effect of dam age on offspring
productivity. Nebraska Beef Cattle Reports 874:19-21.
Suranjaya, I. G., I. N. Ardika dan R. R. Indrawati. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi
Bali di wilayah binaan proyek pembibitan dan pengembangan sapi Bali di Bali. Majalah Ilmiah
Peternakan, 13(3): 83–87.
Tavares, L., E. Baliarti, dan S. Bintara. 2012. Pre weaning growth of bali calves at Balai Pembibitan Ternak
Unggul sapi Bali. Buletin Peternakan 36(3):199–204.
Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.
Toušová, R., J. Ducháček, L. Stádník, M. Ptáček dan J. Beran. 2015. The selected factors influenced growth
ability to weaning of Aberdeen Angus cattle. Acta Universitatis Agriculturae et Silviculturae Mendelianae
Brunensis 63(2):457–461.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
103
Makalah 019
Dinamika Performa Sapi Bali (Bos javanicus) pada Populasi Progeny Test
Tahun 2011 – 2014 di BPTU-HPT Denpasar
Surya Aditya, Ainun Rasyid Hariansyah, Afif Raharjo, Ahmad Zainuri, Tristianto Nugroho, Nuzul
Widyas, Sigit Prastowo
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak
Sapi Bali (Bos javanicus) adalah sapi asli Indonesia yang dikenal memiliki kualitas karkas dan
kemampuan adaptasi yang baik. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas genetik Sapi Bali,
Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar melakukan
program progeny test setiap tahun untuk memilih pejantan terbaik berdasarkan performa
keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bobot sapih dan bobot satu tahun Sapi Bali
pada periode yang berbeda. Data yang digunakan merupakan recording yang diperoleh dari BPTU-
HPT Denpasar mulai tahun 2011 sampai dengan 2014. Pejantan yang masuk dalam program progeny
test pada tahun 2011-2013 adalah 3 ekor pertahun, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 4 ekor.
Setiap pejantan melakukan perkawinan alami dengan 30 ekor Sapi Bali betina pada masing masing
paddock. Sebanyak 281 data berat sapih dan berat satu tahun dianalisis menggunakan General Linear
Model dengan tahun kelahiran dan jenis kelamin sebagai fixed effect. Hasil analisis menunjukkan
bahwa tahun lahir dan jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot sapih dan bobot satu tahun. Bobot
sapih pada tahun 2012 (98,69 ± 8,76 Kg) dan 2014 (95,74 ± 15,12 Kg) lebih tinggi (P < 0,01)
dibandingkan tahun 2013 (90,02 ± 17,39 Kg) dan 2011 (79,17 ± 14,25 Kg). Bobot satu tahun pada
tahun 2014 (134,13 ± 9,34 Kg) dan 2013 (131,42 ± 15,92 Kg) lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan
tahun 2011 (115,44 ± 10,95 Kg) dan 2012 (112,20 ± 9,11 Kg). Peningkatan bobot sapih dan bobot satu
tahun Sapi Bali pada penelitian ini dapat menjadi indikator bahwa terdapat peningkatan kualitas
genetik Sapi Bali dari tahun ke tahun.
Kata kunci: Sapi Bali, dinamika performa, bobot sapih, bobot satu tahun
Pendahuluan
Indonesia memiliki sapi lokal yang asli atau indegenous dan memiliki habitat khusus di Pulau
Bali sehingga disebut Sapi Bali (Bos javanicus). Sapi bali banyak tersebar di seluruh Indonesia, tetapi
wilayah pengembangan utama berada di kawasan timur Indonesia (Widyas, Nugroho, dan Prastowo
2017). Sapi bali memiliki berbagai kelebihan seperti tahan terhadap lingkungan tropis dan pakan
berkualitas rendah, kemampuan reproduksi yang baik serta memiliki kualitas karkas yang bagus
(Copland, 1997). Namun Sapi Bali memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi
dari bangsa yang lain (Setyawan 2015).
Populasi Sapi Bali di Pulau Bali terus menerus turun dari tahun ke tahun (Talib et al, 2002).
Selain itu, kualitas genetik Sapi Bali diduga juga terus mengalami penurunan (Widyas et al. 2017).
Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas genetik Sapi Bali, Balai Pembibitan Ternak
Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar melakukan program progeny test setiap
tahun untuk memilih pejantan terbaik berdasarkan performa keturunannya. Dalam program ini,
beberapa ekor pejantan sapi Bali dari peternak lokal diuji dalam program progeny test kemudian akan
di sebarkan ke seluruh Indonesia sebagai pejantan penghasil semen.
Performa produksi menjadi hal yang perlu diamati karena berhubungan dengan nilai ekonomi.
Bobot sapih dan bobot satu tahun merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan dalam seleksi
(Wiryosuhanto, 1997). Bobot sapih menjadi parameter yang cukup bisa mencerminkan potensi genetik
ternak, sedangkan bobot satu tahun bisa mengevaluasi genetik ternak sekaligus manajemen (Martojo,
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
104
2003). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dinamika performa Sapi
Bali dalam populasi progeny test.
Materi dan Metode
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data catatan kelahiran dan penimbangan Sapi
Bali di BPTU-HPT Denpasar dari tahun 2011 hingga 2014. Pada program progeny test setiap tahun
BPTU-HPT Denpasar mendatangkan Sapi Bali jantan dari berbagai wilayah di pulau Bali. Pada tahun
2011 hingga 2013, setiap tahun digunakan 3 ekor sapi sebagai pejantan, sedangkan pada tahun 2014
menggunakan 4 ekor. Setiap ekor sapi jantan digabungkan dengan 30 ekor sapi betina dalam satu
paddock. Berdasarkan data recording, setiap ekor pejantan memiliki anak antara 22 hingga 26 ekor.
Setiap anak sapi dilakukan penimbangan pada fase fase tertentu. Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data bobot sapih dan bobot satu tahun.
Data bobot sapih di standardisasi ke umur 205 hari dan bobot satu tahun di standardisasi ke
umur 365 hari menggunakan rumus dari Hardjosubroto (1994).
Keterangan:
BS205 : berat badan terkoreksi pada umur 205 hari
Berat aktual : berat badan saat ditimbang
BL : berat lahir
Umur aktual : umur pada saat penyapihan (hari)
FKUI : Faktor Koreksi Umur Induk
Keterangan:
BB365 : berat badan terkoreksi pada umur 365 hari
Berat aktual : berat badan saat ditimbang
BS : berat sapih tanpa koreksi
Jarak waktu : jarak waktu penyapihan dan penimbangan berat 365 hari
BS205 : berat badan terkoreksi pada umur 205 hari
Data dianalisis dengan General Linear Model yang melibatkan tahun kelahiran dan jenis
kelamin sebagai fixed effect. Uji Duncan Multiple Range Test dilakukan apabila terdapat pengaruh dari
fixed effect untuk mengetahui level yang berbeda. Rumus matematika yang digunakan adalah
yijk= u + sexi + Sij + eijk
Keterangan:
yijk = Performans individu
u = Nilai rerata
sexi = Jenis kelamin anak pejantan
Sij = Pejantan (tahun)
eijk = Faktor error
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis menunjukkan bahwa sapi jantan selalu memiliki bobot sapih dan bobot satu tahun
lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan sapi betina (Tabel 1). Sapi jantan memiliki laju pertumbuhan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan sapi betina. Menurut Suranjaya, Ardika, dan Indrawati (2010) Sapi
Bali jantan memiliki kemampuan untuk mengonsumsi susu dan merangsang produksi susu induk lebih
FKUI x BL205 x aktualUmur
BL - aktualberat BS205
205365 BS 160 ujarak wakt
BS - aktualberat BB
x
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
105
banyak. Hal ini berkaitan dengan aktivitas hormonal dan respons terhadap lingkungan. Aktivitas
endokrinologi sapi jantan memicu pertumbuhan yang lebih cepat sehingga menghasilkan bobot yang
lebih tinggi. Selain itu, sapi jantan dapat mengonsumsi pakan lebih banyak dan lebih tahan terhadap
kondisi lingkungan.
Table 1. Bobot sapih dan bobot satu tahun Sapi Bali
Variabel Bobot Sapih Bobot Satu Tahun
Tahun
2011 79,17± 14,25c 115,4± 10,95a
2012 98,69 ± 8,76a 112,2± 9,11a
2013 90,02± 17,39b 131,4± 15,92b
2014 95,74± 15,12a 134,1± 9,34b
P Value <0,01 <0,01
Jenis Kelamin
Jantan 93,19±17.20a 129,4±16.37a
Betina 88,61±17,20b 117,7±18,81b
P Value <0,01 <0,01
Keterangan: a b superskrip yang berbeda pada masing masing kolom
menunjukkan berbeda nyata
Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot sapih dipengaruhi (P<0,01) oleh tahun kelahiran.
Bobot sapih berfluktuasi tidak menentu pada masing masing tahun, sehingga tidak menunjukkan trend.
Bobot sapih dari tahun 2011 naik pada tahun 2012 dan kemudian turun pada tahun selanjutnya.
Namun pada tahun 2014 kembali menunjukkan peningkatan. Menurut (Gunawan dan Jakaria
2011)bobot sapih dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan induk
(dam effect) masih memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan anak sapi. Hal ini karena
anak sapi masih bergantung pada produksi susu induk dan kenyamanan yang diberikan induk.
Ditambahkan oleh Oka (2002) ketersediaan produksi susu dan kualitas susu induk dipengaruhi oleh
manajemen dan ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan dan manajemen antar tahun dimungkinkan
selalu berbeda sehingga memberikan hasil yang berbeda.
Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot satu tahun menunjukkan hasil yang berbeda (P<0,01)
setiap tahun. Bobot satu tahun pada tahun 2013 dan 2014 lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 dan
2012. Bobot satu tahun mencerminkan kemampuan ternak dalam beradaptasi dengan lingkungan.
Menurut (Gunawan dan Jakaria 2011) perbedaan bobot badan setiap tahun dapat disebabkan oleh
perbedaan manajemen dan curah hujan setiap tahun. Ketersediaan pakan setiap tahunnya mengalami
fluktuasi sehingga dapat menyebabkan perbedaan bobot badan.
Sapi jantan yang digunakan dalam program progeny test selalu berbeda setiap tahun. Sedangkan
sebagian sapi betina merupakan sapi yang digunakan pada multi tahun dan sebagian yang lain
merupakan sapi keturunan program progeny test. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan
kualitas genetik sapi dari tahun ke tahun. Selain itu manajemen yang diterapkan oleh BPTU-HPT
Denpasar mengalami perbaikan sehingga menunjukkan performa bobot badan yang mengalami
peningkatan setiap tahun.
Simpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah performa sapi bali dilihat dari bobot sapih dan bobot satu tahun
terdapat dinamika yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bobot badan sapi bali jantan lebih
tinggi dibandingkan sapi betina.
Daftar Pustaka
Copland J 1997 Bali Cattle: Origins in Indonesia Jembrana Disease and the Bovine Lentivirus ed G E
Wilcox, S Soeharsono, D M N Dharma and J W Copland (Australian Centre for International
Agricultural Research) Pages 29–33
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
106
Gunawan, A. dan Jakaria Jakaria. 2011. “Genetic and Non-Genetics Effect on Birth, Weaning, and
Yearling Weight of Bali Cattle.” Media Peternakan 34(2):93–98. Diambil
(http://medpet.journal.ipb.ac.id/index.php/mediapeternakan/article/view/3375).
Martojo, Harimurti. 2003. “Indigenous Bali Cattle : The Best Suited Cattle Breed for Sustainable
Small Farms in Indonesia.”
Oka L 2002 Performance of Bali Cattle Heifers and Calves prior to Weaning Weight n a Feedlot
System Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia ed K Entwistle dan D R Lindsay
(Australian Centre for International Agricultural Research) Pages 14–16
Setyawan, Ahmad D. W. I. 2015. “Review : Genetic diversity of local and exotic cattle and their
crossbreeding impact on the quality of Indonesian cattle.” 16(2):327–54.
Suranjaya, I. G., I. N. Ardika, dan R. R. Indrawati. 2010. “Faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas sapi Bali di wilayah binaan proyek pembibitan dan pengembangan sapi Bali di
Bali.” Majalah Ilmiah Peternakan 13(3):83–87.
Talib C, Entwistle K, Siregar A, Budiarti-Tunner S and Lindsay D 2002 Survey of Population and
Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia Strategies to
Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia ed K Entwistle dan D R Lindsay (Australian Centre
for International Agricultural Research) Pages 3–9
Widyas, N., T. Nugroho, dan S. Prastowo. 2017. “Rooms for genetic improvement in Indonesian Bali
cattle population.” Hal. 1–5 in International Conference On Food Science and Engineering
2016, vol. 193. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering.
Wiryosuhanto S 1997 Bali Cattle–Their Economic Importance in Indonesia Jembrana Disease and the
Bovine Lentivirus ed G E Wilcox, S Soeharsono, D M N Dharma and J W Copland (Australian
Centre for International Agricultural Research) Pages 34–42
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
107
Makalah 020
Half Sib Family Analysis untuk Estimasi Parameter Genetik Sifat Produksi
Kambing Boerja
Astri Ivo Ayuningtyas, Atik Nurhidayati, Cici Kustiyani, Nuzul Widyas, Sigit Prastowo
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan estimasi parameter genetik nilai heritabilitas (h2) dan
Nilai Pemuliaan (NP) pada kambing Boerja dengan metode progeny test di CV. Kambing Burja Batu
Jawa Timur. Materi yang digunakan adalah catatan bobot lahir, bobot sapih pada tahun 2012-2016.
Recording yang digunakan adalah data dari pejantan yang memiliki catatan bobot lahir dan bobot
sapih keturunan yang lengkap. Data kemudian disamakan dengan metode bootstrap, yang selanjutnya
dilakukan analysis of varians (ANOVA). Estimasi h2 menggunakan metode half sib family analysis.
Estimasi h2 pada bobot lahir dan bobot sapih termasuk kategori sedang. Nilai h2 kemudian digunakan
untuk menghitung NP pada 8 pejantan (Adam, Breet, CecilJr, Chata, Debonair, Guardian, Songstar,
Terie). Estimasi NP bobot lahir dan bobot sapih tertinggi adalah 0,039 dan 0,505. Berdasarkan
peringkat NP, pejantan unggul adalah pejantan Adam dan Chata.
Kata kunci : parameter genetik, heritabilitas, nilai pemuliaan, Kambing Boerja
Pendahuluan
Kambing Boer merupakan salah satu tipe kambing pedaging yang memiliki persentase karkas
yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi iklim (Erasmus 2000; Sulastri
et al., 2014). Beberapa tahun terakhir ini telah diimport kambing Boer dari Australia untuk tujuan
memperbaiki mutu genetik kambing-kambing lokal, sehingga keturunannya memiliki sifat produksi
yang tinggi. Untuk mendapatkan ternak yang memiliki mutu genetik tinggi diperlukan seleksi
pemilihan ternak untuk dikembangkan lebih lanjut serta ternak yang terseleksi diharapkan mampu
menghasilkan keturunan dengan sifat produksi yang baik untuk generasi selanjutnya (Hardjosubroto,
1994).
Seleksi pada pejantan mempunyai peran besar dalam memperbaiki mutu genetik, karena
kemampuannya untuk menghasilkan anak dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat (Wiggans et
al., 1984; Anggraeni 2011). Berat Lahir dan Berat Sapih anak tidak terlepas dari pengaruh pejantan,
sehingga pejantan memiliki kontribusi pada peningkatan sifat produksi.
Pendugaan parameter genetik sangat diperlukan dalam melakukan seleksi. Parameter genetik
merupakan besaran yang menggambarkan kondisi genetik pada ternak untuk memprediksi nilai (Duma
et al., 2002). Penilaian parameter genetik tersebut digunakan untuk membandingkan ternak satu
dengan ternak yang lainnya untuk selanjutnya dilakukan seleksi. Umumnya parameter genetik yang
dipertimbangkan adalah h2 dan NP. Dijelaskan bahwa heritabilitas adalah genetik yang diturunkan
oleh tetua kepada keturunannya (Kurnianto, 2009), sedangkan Nilai Pemuliaan adalah penilaian mutu
genetik ternak untuk suatu sifat tertentu (Hardjosubroto, 1994).
Metode yang digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas yaitu half sib, half sib adalah
hubungan antara anggota keluarga bersifat saudara tiri (Hardjosubroto, 1994). Setelah ditemukan nilai
h2 dilakukan progeny test. Progeny test adalah salah satu cara untuk menduga NP pejantan atas dasar
penampilan anaknya (Hardjosubroto, 1994). Keturunan dari pejantan tersebut dibandingkan dengan
keturunan pejantan peserta uji progeny lainnya untuk dasar pemilihan pejantan yang memiliki sifat
unggul.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
108
Materi dan Metode
Materi
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2017. Pengambilan data
dilaksanakan di CV. Kambing Burja, Batu, Jawa Timur. Materi penelitian yang digunakan berupa data
recording kambing Boer, kambing Jawarandu dan persilangannya yang dikumpulkan oleh CV.
Kambing Burja mulai Januari 2012 sampai dengan Juni 2016.
Metode
1. Quality Control (QC)
Recording di CV. Kambing Burja diambil semua untuk dilakukan progeny test. Pejantan yang
digunakan minimal memiliki anak 10 ekor. Pejantan yang memiliki anak kurang dari 10 ekor tidak
dilakukan progeny test. Jumlah anak pejantan yang akan dilakukan progeny test disamakan dengan
menggunakan metode bootstrap. Pejantan yang digunakan tersebut, memiliki recording dari
persetaraan anak yang bersaudara tiri. Data silsilah yang tidak memiliki hubungan kekerabatan
saudara tiri akan dihilangkan. Pejantan yang digunakan yaitu Adam0161 (Adam), Brett1077 (Brett),
CecilJr008 (CecilJr), Chata0187 (Chata), Debonair0602 (Debonair), Guardian1105 (Guardian),
Songstar0037 (Songstar), Terje0124 (Terje).
2. Standarisasi
Data yang digunakan adalah data recording BL dan BS77. Adapun metode pengambilan data
untuk masing-masing parameter adalah:
a. BL
Pengukuran BL dilakukan setelah anak kambing lahir. Menurut Hardjosubroto (1994)
penimbangan berat lahir dilakukan dalam kurun waktu 24 jam.
b. BS77
Berat sapih adalah berat saat anak mulai dipisahkan dari induknya pada umur yang paling muda
(Kostaman dan Sutama, 2005). Berat sapih distandarisasi dengan berat anak pada umur 77 hari dengan
rumus :
BS77 = (BL + BS−BL
umur x 77) x FKTL x FKUI
Analisis Data
Analisis data akan menghasilkan dua nilai utama yaitu h2 dan NP. Analisis dilakukan dengan
metode half sib family analysis, menurut model Hardjosubroto (1994) sebagai berikut:
yijk = µ + sexi + Sij + eijk
Keterangan:
yijk = Respons
µ = Rerata umum
sexi = Jenis kelamin
Sij = Pejantan
eijk = Eror
Analisis data dengan menggunakan ANOVA untuk mendapatkan komponen-komponen
varians, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai h2 dengan rumus sebagai berikut:
h2 = 4 × σS
2
σS2+ σe
2
Keterangan :
σS2 = Aditif Pejantan
σe2 = Faktor error
h2 = Estimasi Nilai Heritabilitas
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
109
Estimasi NP pejantan dihitung setelah didapatkan nilai h2 pada sifat seleksi dengan rumus
sebagai berikut:
NP = b × (𝑃𝑎𝑛𝑎𝑘−𝑃𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖)
b =
1
4nh2
1+(n−1)h2
Keterangan :
NP = Nilai Pemuliaan
b = Koefisien Progeny test
𝑃𝑎𝑛𝑎𝑘 = Rata-rata Anak
𝑃𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 = Rata-rata Populasi
n = Jumlah Anak Setiap Pejantan
Hasil Dan Pembahasan
Populasi Ternak
Populasi ternak di CV. Kambing Burja dari tahun 2012 sampai tahun 2016 dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Data Populasi Kambing di CV. Kambing Burja
Populasi/Tahun Pejantan Induk Anak
2012
2013
2014
2015
2016
21
12
11
17
16
512
873
924
934
109
841
1589
1713
1449
143
Sumber: Data penelitian 2017
Tabel 1. diatas merupakan populasi ternak kambing yang terdapat di CV. Kambing Burja dari
bulan Januari 2012 sampai Juni 2016. Jumlah pejantan berbeda dari tahun ke tahun. Jumlah kambing
betina mengalami peningkatan dari tahun 2012 ke 2013 dan kemudian stabil di tahun-tahun
berikutnya., sedangkan populasi anak per tahun mengalami fluktuasi. Sistem perkawinan di CV.
Kambing Burja melakukan sistem kawin kelompok. Ternak yang siap kawin dipindah ke kandang
mating dengan memasukkan 1 pejantan dan betina 20-25 ekor.
Data yang digunakan hanya sebagian dari data keseluruhan. Quality Control dilakukan untuk
memastikan bahwa data yang di gunakan adalah data pejantan yang memiliki catatan BL anak, BS77
anak dan umur induk yang lengkap. Hasil QC terhadap data, diperoleh data pejantan yang memiliki
catatan lengkap sebanyak 8 ekor pejantan, dengan jumlah anak masing-masing adalah Adam sebanyak
53 ekor, Brett sebanyak 52 ekor, CecilJr sebanyak 24 ekor, Chata sebanyak 69 ekor, Debonair
sebanyak 51 ekor, Guardian sebanyak 53 ekor, Songstar sebanyak 56 ekor, Terje sebanyak 45 ekor.
Jumlah anak pejantan harus disamakan untuk dapat dilakukan analisis. Jumlah anak untuk setiap
pejantan disamakan menjadi 50 ekor anak. Metode yang digunakan untuk menyamakan jumlah anak
pejantan menggunakan metode bootstrap. Bootstrap merupakan bagian dari metode untuk penarikan
sampel berulang dari himpunan data asli sehingga disebut prosedur resampling (Chernick, 2008;
Novianti et al., 2010). Perbandingan data awal dengan jumlah anak berbeda dan setelah dilakukan
bootstrap dengan menyamakan jumlah anak menjadi 50, disajikan pada Tabel 2.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
110
Tabel 2. Jumlah, hasil rataan dan simpangan baku pada sifat seleksi
Pejantan
DATA ASLI
SETELAH BOOTSTRAP
BL BS77 BL BS77
n
(ekor) 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑 n
(ekor) 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑
Adam
Brett
CecilJr
Chata
Debonair
Guardian
Songstar
Terje
53
52
24
69
51
53
56
45
3,049±0,61
3,080±0,65
3,208±0,69
3,132±0,73
2,973±0,50
3,221±0,65
2,834±0,65
3,03±0,55
16,303±5,50
14,877±4,52
12,375±3,90
15,328±4,48
15,364±4,85
15,260±4,44
14,883±4,58
15,500±3,91
50
50
50
50
50
50
50
50
2,888±0,52
3,064±0,74
3,16±0,59
3,209±0,79
2,955±0,45
3,025±0,62
2,8±0,58
3,132±0,66
17,323±6,36
15,32±4,70
12,672±4,32
14,559±4,03
16,020±4,26
16,086±4,99
13,763±3,85
15,887±4,85
Sumber: Data penelitian 2017
Hasil rataan dan simpangan baku sifat seleksi pada data asli dan data setelah bootstrap memiliki
perbedaan yang tidak terlalu jauh, sehingga dapat dikatakan masih dalam kisaran normal.
Parameter Genetik
Hasil analisis parameter genetik untuk BL dan BS77 disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Heritabilitas
Variabel σS2 σe
2 Heritabilitas
BL 0,012 0,39 0,12
BS77 1,74 22,39 0,29
Sumber: Data penelitian 2017
Nilai h2 telah sesuai dengan pendapat Warwick (1990) dinyatakan bahwa nilai taksiran h2 untuk
BL dan BS77 kambing berkisar antara 0,1-0,3. Penelitian dari Sulastri et al. (2012) mendapatkan nilai
h2 BL dan BS kambing Rambon yaitu 0,14±0,07 dan 0,22±0,08. Beberapa peneliti melaporkan bahwa
estimasi h2 BL 0,19 pada kambing Boer (Zhang et al., 2008), sedangkan estimasi h2 BS kambing
Kacang dengan metode hubungan saudara tiri sebapak 0,36 (Elieser, 2012). Estimasi h2 BS pada
beberapa bangsa kambing termasuk kategori sedang bahkan tinggi. Heritabilitas performans
pertumbuhan yang bernilai sedang menunjukkan bahwa korelasi antara fenotip dengan genetik
berderajat sedang sehingga performans pertumbuhan cukup akurat untuk menduga mutu genetik
ternak (Warwick et al., 1990).
Estimasi h2 BL dan BS77 kambing Boerja pada Tabel 3, memiliki hasil yang tidak jauh berbeda
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Estimasi h2 termasuk dalam kategori sedang seperti yang
dikemukakan Hardjosubroto (1994), nilai h2 termasuk dalam kategori rendah apabila nilainya berkisar
antara 0-0,1, kategori sedang apabila nilainya 0,1-0,3 dan tinggi apabila besarnya lebih dari 0,3.
Menurut Warwick et al. (1990), nilai h2 yang dikategorikan sedang sampai tinggi dapat memberikan
petunjuk bahwa seleksi yang dilakukan akan lebih efekif dan efisien dalam meningkatkan perbaikan
mutu genetik bila dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan pada nilai h2 rendah.
Nilai Pemuliaan
Nilai pemuliaan pejantan dilihat berdasarkan dari sifat produksi keturunannya dengan dasar
informasi half sib family. Nilai pemuliaan dapat digunakan untuk melakukan seleksi dengan memilih
ternak yang nilai pemuliaannya paling tinggi. Tabel 4. menunjukkan hasil NP BL dan BS77 kambing
Boerja mulai tahun 2012-2016.
Tabel 4. menunjukkan hasil NP BL dan BS77 kambing Boerja mulai tahun 2012-2016. Nilai
pemuliaan bernilai negatif menunjukkan bawah NP tersebut dibawah rata-rata kelompok, sebaliknya
apabila diatas rata-rata maka nilai pemuliaan bernilai positif. Martojo (1992), menyatakan bahwa
dugaan nilai pemuliaan seekor ternak dapat digunakan sebagai dasar seleksi, dengan membuat
peringkat keunggulan nilai pemuliaan pada sekelompok ternak. Urutan pejantan terbaik untuk sifat BL
dan BS77 dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
111
Tabel 4. Nilai Pemuliaan BL dan BS77
PEJANTAN NP BL NP BS77
Adam -0,0307 0,505
Brett 0,007 0,027
CecilJr 0,028 -0,603
Chata 0,039 -0,153
Debonair -0,016 0,194
Guardian -0,00089 0,210
Songstar -0,049 -0,343
Terje 0,022 0,162
Sumber: Data penelitian 2017
Menurut Bourdon (1997), NP dapat menjadi dasar dalam melakukan seleksi dengan memilih
ternak yang nilai pemuliaannya paling tinggi untuk dijadikan tetua. Dari Gambar 1, dapat dilihat
bahwa pejantan yang memiliki NP tertinggi untuk BL adalah pejantan Chata sebesar 0,039, sedangkan
pada Gambar 2, NP tertinggi untuk BS77 adalah pejantan Adam sebesar 0,505. Seleksi dapat dilakukan
dengan memilih ternak pada peringkat utama yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan jumlah
pejantan yang dijadikan tetua untuk memperbaiki mutu genetik keturunnya.
Gambar 1. Grafik Nilai Pemuliaan pada sifat BL
Gambar 2. Grafik Nilai Pemuliaan pada sifat BS77.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan nilai h2 untuk BL dan BS77 masing-masing adalah
0,12 dan 0,29. Pejantan terbaik berdasar NP untuk sifat BL adalah pejantan Chata dan sifat BS77
adalah pejantan Adam.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
112
Daftar Pustaka
Anggraeni, A., K. Sutama., Komaruddin, Setiyorini dan Jakaria. 2011. Evaluasi Genetik Sifat Pertumbuhan
Anak dari Jantan Muda Uji Progeni pada Kambing PE. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner 465-471.
Bourdon, R. M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall. Inc., New Jersey. USA.
Chernick, M. R. 2008. Bootstrap Methods A Guide for Practitioners and Researches. 2nd Ed. John Wiley & Son,
Inc. New Jersey.
Duma, Y., Sumadi dan W. Hardjosubroto. 2002. Estimasi Repitabilitas Sifat Pertumbuhan pada Sapi Brahman
Cross dan Ongole di Ladang Ternak Bila River Ranch. Buletin Peternakan 26 (4): 47–56.
Elieser, S. 2012. Performan Hasil Persilangan antara Kambing Boer dan Kacang sebagai Dasar Pembentukan
Kambing Komposit. Disertasi. Program Pascasarjana. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Erasmus, J. A. 2000. Adaptation to Various Environments and Resistance to Disease of Improved Boer Goat.
Small Rum. Res. 36: 179-187.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.
Kostaman, T., dan I. K. Sutama. 2005. Laju Pertumbuhan Kambing Anak Hasil Persilangan antara Kambing
Boer dengan Peranakan Etawah pada Periode Pra-sapih. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10 (2): 106-
112.
Kurnianto, E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Pusat Antar Universitas dan Bioteknologi. Insititut
Pertanian Bogor, Bogor.
Novianti, P., A. A. Mattjik dan I. M. Sumertajaya. 2010. Pendugaan Kestabilan Genotipe pada Model AMMI
Menggunakan Metode Resampling Bootstrap. Forum Statistika dan Komputasi 15 (1): 28-35
Sulastri, T., Hartatik dan N. Ngadiyono. 2012. Estimasi Parameter Genetik dan Kemampuan Bereproduksi
Performans Pertumbuhan Kambing Rambon. Jurnal AgriSains 5 (3): 1-16.
Sulastri, Sumadi, T. Hartatik dan N. Ngadiyono. 2014. Performans Pertumbuhan Kambing Boerawa di Village
Breeding Centre, Desa Dadapan, Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lmpung. Sains
Peternakan 12 (1): 1-9.
Warwick, E., J. M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Wiggans, G.R., F. N. Dickinson, G. J. King and J. I. Weller. 1984. Genetic Evaluation of Dairy Goat Bucks For
Daughter Milk and Fat. Jurnal Dairy Sci. 67: 201 – 207.
Zhang, C.Y., L.G. Yang, and Z. Shen. 2008. Variance Components and Genetic Parameters for Weight and Size
at Birth in the Boer Goat. Livest. Sci. pp. 73–79.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
113
Makalah 021
Litter size Kambing Persilangan Boer dan Jawarandu pada Paritas yang Berbeda
Tristianto Nugroho, Atik Nurhidayati, Astri Ivo Ayuningtyas, Cici Kustiyani,
Nuzul Widyas, Sigit Prastowo
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Abstrak
Crossbreeding merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak. Kambing
lokal di Indonesia disilangkan dengan Kambing Boer untuk meningkatkan produksi daging kambing
lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jumlah anak sekelahiran (litter size) kambing hasil
persilangan antara Kambing Boer dengan kambing Jawarandu. Data diperoleh dari CV. Kambing
Burja, Batu, Jawa Timur yang merupakan catatan kelahiran dari tahun 2013 sampai 2016. Kambing
Boer jantan fullblood (n=17) dikawinkan dengan kambing betina yang memiliki 3 komposisi bangsa
yang berbeda, yaitu Kambing Boer 100% (n=126), Boer 75% (n=90) dan Boer 50% (n= 387). Data
litter size dianalisis menggunakan General Linear Model dengan komposisi bangsa dan paritas sebagai
fixed effect. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara komposisi bangsa induk dan
paritas terhadap litter size. Kambing Boer 100% pada paritas ketiga memiliki litter size tertinggi.
Kambing Boer 100% pada paritas 1 dan 2 menghasilkan litter size yang sama dengan Kambing Boer
50% pada paritas 1, 2 dan 3. Kambing Boer 100% menghasilkan litter size lebih tinggi (P < 0,01)
dibandingkan Boer 75% dan Boer 50%. Paritas 1 dan 3 menghasilkan litter size yang sama, tetapi
lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan paritas 2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kambing betina
hasil persilangan antara Kambing Boer dan Jawarandu mampu menghasilkan anak dengan litter size
yang sama dengan Kambing Boer murni pada kelahiran pertama dan kedua.
Kata kunci: Kambing Boer, Kambing Jawarandu, Boerja, crossbreeding, litter size
Pendahuluan
Peningkatan produktivitas ternak lokal dapat dilakukan dengan persilangan (crossbreeding).
Ternak lokal dikawinkan dengan ternak impor yang memiliki produktivitas tinggi untuk menghasilkan
keturunan yang mampu agar menghasilkan produksi tinggi. Peningkatan produktivitas akibat dari
persilangan merupakan efek dari heterosis atau hybrid vigor (Prastowo, Widi, dan Widyas 2017).
Namun program persilangan di Indonesia belum mampu memanfaatkan heterosis dengan baik. Salah
satu contoh crossbreeding di Indonesia adalah persilangan kambing lokal Jawarandu dengan Kambing
Boer. Kambing Jawarandu dikenal sebagai kambing hasil persilangan antara kambing peranakan
etawa dengan kambing kacang, tetapi tidak diketahui dengan pasti proporsi bangsanya. Menurut
(Ginting dan Mahmilia 2008) persilangan Kambing Boer dengan kambing kacang mampu
menghasilkan anak dengan bobot badan lebih tinggi dibandingkan kambing kacang. Crossbreeding
mampu meningkatkan produktivitas ternak, tetapi peningkatan produksi sering kali diikuti dengan
penurunan kualitas reproduksi.
Kambing dikenal sebagai ternak prolific, yaitu mampu melahirkan anak lebih dari satu ekor
setiap beranak. Oleh karena itu, jumlah anak sekelahiran (litter size) penting untuk dipertimbangkan
dalam seleksi karena termasuk dalam parameter reproduksi dan produksi (Browning Jr dan Leite-
Browning 2011). Kambing diharapkan mampu beranak lebih dari satu setiap kelahiran, tetapi apabila
terlalu banyak dapat meningkatkan resiko anak lahir lemah dan mortalitas tinggi. Sehingga kambing
yang mampu menghasilkan anak dua ekor dalam sekali kelahiran memiliki nilai ekonomis lebih tinggi
dibandingkan satu ekor atau tiga ekor (Hagan et al. 2014).
Litter size dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Setiap bangsa kambing
memiliki litter size yang berbeda beda. Bahkan terdapat hasil yang bervariasi mengenai litter size
Kambing Boer yang sudah diamati oleh beberapa penelitian terdahulu (Casey dan Van Niekerk 1988;
Elieser, Sumadi, Budisatria, et al. 2012; Mahmilia 2007). Sedangkan paritas berkaitan erat dengan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
114
tingkat kedewasaan ternak, sehingga berpengaruh terhadap perkembangan organ reproduksi induk
betina. Selain itu paritas satu dengan paritas yang lain berada pada rentang waktu yang jauh berbeda,
sehingga kondisi manajemen, iklim dan lain sebagainya memungkinkan memengaruhi litter size
(Elieser, Sumadi, Suparta, et al. 2012). Penelitian yang menunjukkan performa reproduksi kambing
hasil persilangan hingga keturunan kedua belum banyak ditemukan. Oleh karena itu penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji pengaruh komposisi bangsa induk pada paritas yang berbeda terhadap litter
size kambing persilangan Boer dan Jawarandu.
Materi dan Metode
Materi yang digunakan dalam penelitian merupakan data catatan kelahiran kambing di CV.
Kambing Burja, Batu, Jawa Timur dari Januari 2012 hingga Juni 2016. Data dirapikan untuk
mengelompokkan komposisi bangsa induk, paritas induk dan litter size pada setiap kelahiran.
Sehingga didapatkan data sebanyak 17 ekor Kambing Boer jantan yang mengawini kambing betina
dengan 3 komposisi bangsa berbeda. Jumlah kambing induk kambing yang digunakan adalah
sebanyak 532 ekor (Boer100 = 50 ekor, Boer75 = 93 ekor dan Boer50 = 389 ekor) yang menghasilkan
keturunan sebanyak 1390 ekor anak kambing.
Kambing Jawarandu diperoleh dari peternakan rakyat daerah Jawa Timur dan tidak diketahui
sudah berapa kali melahirkan, sehingga tidak dimasukkan dalam analisis. Kambing betina
dikandangkan secara koloni yang terdiri dari 20-25 ekor setiap kandang. Kambing tidak dipisahkan
berdasarkan komposisi bangsa, sehingga mendapat perlakuan manajemen yang sama. Setiap pejantan
dapat mengawini ketiga macam kambing betina dalam satu periode perkawinan (45 hari), sehingga
faktor pejantan tidak dimasukkan dalam analisis.
Data dianalisis dengan metode General Lineal Model dengan komposisi bangsa induk dan
paritas sebagai fixed effect. Untuk menguji perbedaan pada masing masing fixed effect maka
dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).
𝐲𝐢𝐣𝐤 = 𝛍 + 𝐀𝐢 + 𝐁𝐣 + (𝐀𝐁)𝐢𝐣 + 𝛆𝐢𝐣𝐤
Keterangan
Yijk : Respon (litter size)
µ : Rerata umum
Ai : Pengaruh komposisi bangsa induk (i = 1,2,3)
Bj : Pengaruh paritas (j = 1,2,3)
(AB)ij : Pengaruh interaksi komposisi bangsa induk dan paritas, dan
εijk : Eror
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis menunjukkan bahwa Komposisi Bangsa berpengaruh (P < 0,01) terhadap Litter
size (Tabel 1). Kambing Boer menghasilkan litter size yang paling tinggi, sedangkan Kambing Boer
75% dan Kambing Boer 50% menghasilkan litter size yang sama. Hal ini diduga karena Kambing
Boer50 dan Boer75 sudah memiliki campuran beberapa komposisi bangsa yang akhirnya menekan
kinerja reproduksi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Elieser, Sumadi, Suparta, et al.
2012) yang menyatakan bahwa Kambing Boer memiliki litter size yang lebih tinggi dibandingkan
persilangan Kambing Boer dan kacang pada keturunan pertama dan kedua. Kambing Boer dikenal
sebagai kambing yang prolific dan memiliki litter size 1,75 (Elieser, Sumadi, Budisatria, et al. 2012)
hingga 2,25 (Casey dan Van Niekerk 1988).
Hasil analisis menunjukkan bahwa Paritas Induk berpengaruh terhadap Litter size. Kambing
pada paritas satu menghasilkan Litter size tertinggi dan paritas dua terendah. Paritas induk berkaitan
erat dengan umur induk ketika bunting dan melahirkan. Kualitas pakan dan lingkungan yang berbeda
setiap tahun, dapat memengaruhi kesuburan Induk. Sehingga litter size yang dihasilkan menjadi
fluktuatif karena pengaruh lingkungan yang tidak pasti setiap tahunnya. Hasil penelitian ini berbeda
dengan penelitian (Elieser, Sumadi, Budisatria, et al. 2012) yang menyatakan bahwa litter size
Kambing Boer dan kacang meningkat dari paritas satu hingga empat kemudian mengalami penurunan
pada paritas ke lima.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
115
Tabel 1. Jumlah data (n) serta litter size Kambing Boer dan
persilangan pada paritas berbeda Faktor N Litter size Interaksi Komposisi Bangsa dan Paritas Induk Boer100 1 51 1,529ab Boer100 2 49 1,531ab Boer100 3 43 1,744a Boer75 1 91 1,495abc Boer75 2 36 1,250cd Boer75 3 9 1,111d Boer50 1 360 1,533ab Boer50 2 234 1,427bc Boer50 3 89 1,427bc Signifikansi 0,02
Pengaruh Komposisi Bangsa Boer100 143 1,594a Boer75 136 1,404b Boer50 683 1,483b Signifikansi < 0,01
Pengaruh Paritas Induk 1 502 1,526a 2 319 1,423b 3 141 1,504ab Signifikansi <0,01
Gambar 1. Interaksi antara komposisi bangsa induk dengan paritas terhadap litter size
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi (P = 0,049) antara Komposisi Bangsa
Induk dengan Paritas terhadap litter size (Tabel 1 dan Gambar 1). Kambing Boer 100% menghasilkan
litter size yang meningkat seiring dengan peningkatan paritas. Sedangkan Kambing Boer 75%
mengalami penurunan litter size dari paritas 1 hingga paritas 3. Menurut (Greyling 2000), Kambing
Boer memiliki kemampuan reproduksi yang baik. Kambing Boer mampu menghasilkan anak lebih
dari dua dalam satu kali kelahiran. Hal ini didukung pula oleh (Elieser, Sumadi, Suparta, et al. 2012)
yang menyatakan bahwa kambing semakin meningkatnya paritas induk Kambing Boer, maka litter
size akan bertambah.
Kambing Boer50 merupakan keturunan pertama dari persilangan Kambing Boer dan
jawarandu. Hal ini menyebabkan hubungan darah antara pejantan dan induk betina tidak terlalu dekat,
sehingga pengaruh heterosis memungkinkan untuk muncul. Sedangkan pada pada Kambing Boer75,
induk Kambing Boer sudah memiliki komposisi bangsa Boer yang cukup besar dan akhirnya
mengecilkan kemungkinan heterosis. Penurunan litter size Boer75 dari paritas 1 hingga paritas 3
mungkin disebabkan karena ukuran data yang kecil. Namun selain itu, diduga Kambing Boer75
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
116
kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sehingga tingkat kesuburannya menurun. Hal ini
didukung hasil penelitian (Ginting dan Mahmilia 2008)yang menyatakan bahwa persilangan Kambing
Boer dan kambing kacang hanya optimal pada keturunan pertama saja.
Simpulan
Kambing Boer 50% mampu menghasilkan litter size yang sama dengan Kambing Boer 100%
pada paritas 1 dan 2. Namun, Kambing Boer 75% memiliki trend litter size yang menurun pada setiap
paritas. Sehingga Persilangan Kambing Boer dan Jawarandu keturunan pertama masih baik untuk
digunakan sebagai calon Indukan dilihat dari sifat Litter size.
Daftar Pustaka
Browning Jr, R, dan M L Leite-Browning. 2011. “Birth to weaning kid traits from a complete diallel of Boer ,
Kiko , and Spanish meat goat breeds semi-intensively managed.” Journal Animal Science 89: 2696–2707.
Casey, N. H., dan W. A. Van Niekerk. 1988. “The boer goat. I. Origin, adaptability, performance testing,
reproduction and milk production.” Small Ruminant Research 1(3): 291–302.
Elieser, S, Sumadi, G S Budisatria, dan Subandriyo. 2012. “Productivity Comparison Between Boer and Kacang
Goat Dam.” Journal Indonesian Tropical Animal Agriculture 37(1): 15–21.
Elieser, S, Sumadi, G Suparta, dan Subandriyo. 2012. “Kinerja Reproduksi Induk Kambing Boer, Kacang dan
Boerka.” Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 17(2): 100–106.
Ginting, Simon P, dan F Mahmilia. 2008. “Kambing ‘ Boerka ’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer
X Kacang.” Wartazoa 18(3): 115–26.
Greyling, J P C. 2000. “Reproduction traits in the Boer goat doe.” Small Ruminant Research 36(2): 171–77.
Hagan, B. A., J. K. Nyameasem, A. Asafu-Adjaye, dan J. L. Duncan. 2014. “Effects of non-genetic factors on
the birth weight, litter size and pre-weaning survivability of West African Dwarf goats in the Accra
Plains.” Livestock Research for Rural Development 26(1): 1–8.
Mahmilia, F. 2007. “Penampilan reproduksi kambing induk: Boer, Kacang dan Kacang yang disilangkan dengan
pejantan Boer.” In Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007, , 485–90.
Prastowo, S, TSM Widi, dan N Widyas. 2017. “Preliminary analysis on hybrid vigor in Indonesian indigenous
and crossbred cattle population using data from published studies.” In International Conference On Food
Science and Engineering 2016, IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1–5.
http://stacks.iop.org/1757-899X/193/i=1/a=012028?key=crossref.e3e84911f7f14a2e63eb947cc4412442.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
117
Makalah 022
Potensi Genetik Sapi Bali: Nilai Pemuliaan Pejantan pada Sifat Bobot Sapih, Bobot
Setahun dan Pertambahan Bobot Badan
Andoyo Supriyantono, Trisiwi Wahyu Widayati, Iriani Sumpe
Fakultas Peternakan Universitas Papua, Manokwari
e-mail: [email protected]
Abstrak
Kinerja sapi Bali dalam menghasilkan daging belum maksimal sehingga diperlukan berbagai
upaya untuk mengoptimalkannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1). mempelajari potensi pejantan
sapi Bali melalui nilai pemuliaan; 2). Menganalisis respon seleksi langsung dan tidak langsung.
Sebanyak 1.284 data yang terdiri dari 428 bobot sapih, 428 bobot setahun dan 428 pertambahan bobot
badan yang berasal dari 99 ekor induk dengan 2-7 catatan tiap induk digunakan untuk menganalisis
nilai pemuliaan pejantan dan respon seleksi. Pendugaan komponen ragam dan peragam genetik dan
lingkungan, dan nilai heritabilitas diperoleh dengan menggunakan program Variance Component
Estimation. Pengaruh tetap adalah curah hujan, umur pengukuran dan tahun kelahiran sedangkan
sebagai pengaruh acak adalah ternak. Estimasi Nilai Pemuliaan dilakukan pada pejantan dengan
menggunakan program PEST. Respon seleksi diestimasi berdasarkan nilai heritabilitas yang
diperoleh, simpangan baku populasi dan intensitas seleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari
28 ekor pejantan yang diuji, 53,57% mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih positif; pada karakter
bobot setahun, 42,86% pejantan mempunyai nilai pemuliaan positif; sebanyak 53,57 persen
mempunyai nilai pemuliaan positif pada karakter pertambahan bobot badan.
Respon seleksi secara langsung untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan
berturut-turut 0,26 kg, 1,17 kg dan 0,38 kg sedangkan respon seleksi berkorelasi antara bobot sapih-
bobot setahun dan bobot sapih-pertambahan bobot badan berturut-turut 0,21 kg dan 0,04 kg.
Kata kunci: Sapi Bali, nilai pemuliaan, respon seleksi
Pendahuluan
Permintaan daging di Indonesia setiap tahunnya meningkat sebesar 6-8% terutama di daerah
yang padat penduduknya seperti pulau Jawa. Peningkatan tersebut sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk, tingkat pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang berasal
dari ternak.
Pemenuhan daging dalam negeri sebagian dipasok oleh sapi-sapi lokal antara lain sapi Bali,
sapi Ongole, sapi Madura dan beberapa bangsa sapi lain. Menurut data statistik peternakan Indonesia,
populasi sapi Bali menempati jumlah terbanyak (26,92 persen) dibanding bangsa sapi lain, itu berarti
kontribusi sapi Bali dalam memenuhi kebutuhan daging sangat berarti. Namun demikian kinerja sapi
Bali dalam menghasilkan daging belum maksimal sehingga diperlukan berbagai upaya untuk
mengoptimalkannya. Usaha-usaha yang sudah dan tengah dilakukan di berbagai daerah antara lain
dengan menerapkan berbagai strategi pemberian pakan (Mastika, 2002; Pengelly dan Lisson, 2002),
managemen pemeliharaan (Oka, 2002; Bamualim dan Wirdahayati, 2002) dan peningkatan genetik
melalui seleksi (Graser, 2002; Toelihere, 2002).
Kinerja pertumbuhan sapi Bali selama ini menjadi perhatian utama terutama pada karakter
peningkatan bobot badan pada umur tertentu, bobot lahir dan bobot sapih. Selain kinerja pertumbuhan,
karakter reproduksi seperti service per conception, calving rate dan calving interval pada betina serta
fertilitas semen pada jantan juga menjadi salah satu parameter keberhasilan dalam program
perkawinan (alami maupun buatan). Beberapa hasil penelitian pada sapi Bali menunjukkan bahwa
service per conception sebesar 1,8 – 2,00 (Mastika, 2002), calving rate 64 – 78% (Bamualim dan
Wirdahayati, 2002). Pertambahan bobot badan dengan pakan yang baik dapat mencapai 0,7 kg/hari
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
118
(jantan dewasa) dan 0,6 kg/hari (betina dewasa), persentase karkas berkisar antara 51,5 – 59,8%,
dengan persentase tulang kurang dari 15 persen dan dagingnya berkadar lemak rendah (Pane, 1991).
Potensi-potensi tersebut mendorong pemerintah untuk melestarikan dan mengembangkan
sumber daya genetik sapi Bali di kawasan sumber bibit ternak dengan membentuk Balai Pembibitan
Ternak Unggul Sapi Bali. Dalam kegiatannya, perbibitan ternak meliputi pemuliaan dan
pembudidayaan, perbanyakan, pengawasan penyakit, penyebaran dan peredaran, pengawasan mutu,
pelestarian sumberdaya ternak dan pengendalian lingkungan serta pengembangan usaha perbibitan
yang dapat dilakukan oleh pemerintah atau swasta.
Dibidang pemuliaan, seleksi dapat dilakukan pada pejantan dan betina pada sifat-sifat yang
bernilai ekonomis seperti bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan. Seleksi pada
sifat-sifat tersebut sudah banyak dilakukan terutama pada sapi potong di beberapa negara (Koch, et al.,
2004; Bennet, et al., 2008; Bennet, 2008; Boligon, et al., 2016), sementara pada sapi Bali masih
jarang dilakukan (Jan, 2000; Sukmasari, et al., 2002; Supriyantono, et al., 2011). Tujuan penelitian ini
adalah untuk 1). mempelajari potensi pejantan sapi Bali melalui nilai pemuliaan bobot sapih, bobot
setahun dan pertambahan bobot badan; 2). Membandingkan respon seleksi langsung dan tidak
langsung pada karakter bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan.
Materi dan Metode
Sebanyak 1.284 data sapi Bali yang berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi
Bali digunakan untuk menganalisis nilai pemuliaan pejantan dan respon seleksi. Data tersebut terdiri
dari 428 bobot sapih, 428 bobot setahun dan 428 pertambahan bobot badan yang berasal dari 99 ekor
induk dengan 2-7 catatan tiap induk.
Pendugaan komponen ragam dan peragam genetik dan lingkungan, dan nilai heritabilitas
diperoleh dengan menggunakan program Variance Component Estimation (VCE 4.2) (Groeneveld,
1998). Pengaruh tetap untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan adalah curah
hujan, umur pengukuran dan tahun kelahiran. Sebagai pengaruh acak untuk semua karakter adalah
ternak.
Secara umum model statistik untuk animal model adalah: Yi= Xibi + Ziui + ei
Dimana: Y= vektor pengamatan berukuran n x 1; b= vektor dari pengaruh tetap yang berukuran p x l
; u= vektor dari pengaruh acak yang berukuran q x l yang memiliki matriks ragam peragam G yang
merupakan vektor nilai pemuliaan yang dievaluasi; X= matriks yang diketahui yang menyatakan
pengaruh tetap (b); Z= matriks yang diketahui yang menyatakan pengaruh acak (u); e= vektor acak
yang tak dapat diamati berukuran n x l dengan matriks ragam peragam R (Henderson 1985) .
Respon seleksi diestimasi berdasarkan nilai heritabilitas yang diperoleh, simpangan baku
populasi dan intensitas seleksi (i). Intensitas seleksi menentukan besarnya respons seleksi yang
dicapai setiap generasi, semakin sedikit ternak terpilih untuk dijadikan tetua untuk menghasilkan
keturunan generasi mendatang maka intensitas seleksi semakin tinggi. Nilai intensitas seleksi
diperoleh berdasarkan Tabel (Falconer dan Mackay, 1997).
Estimasi Nilai Pemuliaan dilakukan pada pejantan untuk sifat-sifat bobot sapih, bobot setahun
dan pertambahan bobot badan. Estimasi NP setiap karakter dilakukan dengan menggunakan program
PEST (Groeneveld, 1990) dengan memasukkan nilai-nilai ragam genetik (vg) dan ragam lingkungan
(ve) dari karakter yang sama. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari output program VCE 4.2.
Hardjosubroto (1994); Warwick, et al., (1995) dan Falconer dan Mackay (1997) merumuskan
ramalan respons seleksi langsung dan tidak langsung sebagai berikut:
1. Repons seleksi langsung: RS = l
hi P
2;
2. Respons seleksi tidak langsung: CRy2.1 = l
rhih pg 221
Dimana: Rs= respons seleksi langsung; p= simpangan baku karakter yang diukur; h2= heritabilitas;
CRy2.1= respon seleksi tidak langsung; h1= akar nilai heritabilitas karakter pertama; h2= akar nilai
heritabilitas karakter kedua; rg= korelasi genetik karakter pertama dan kedua; p2 =simpangan baku
karakter kedua; i= rata-rata intensitas seleksi; l= rata-rata interval generasi
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
119
Hasil dan Pembahasan
Sepuluh pejantan terbaik berdasarkan nilai pemuliaan bobot sapih, bobot setahun dan
pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 1, yang dapat diringkas seperti pada Gambar 1,
Gambar 2 dan Gambar 3.
Tabel 2. Sepuluh Pejantan Terbaik Berdasarkan Nilai Pemuliaan (NP) Bobot Sapih,
Bobot Setahun dan Pertambahan Bobot Badan
Bobot Sapih Bobot Setahun Pertambahan Bobot Badan Ranking
Pejntn NP Pejntan NP Pejntan NP 73996 12.164 4 20.748 4 10.751 1
1 8.564 79792 15.68 77789 8.476 2 79792 8.151 1 9.874 75994 6.659 3
105293 7.517 75994 9.793 79792 6.303 4 11 7.242 105293 9.583 3 5.436 5
74591 5.085 3 9.461 6 3.568 6 5 4.725 77789 8.905 73091 2.908 7
77789 4.649 73491 8.439 1 2.672 8 8 4.073 309293 3.813 309293 2.395 9
110296 3.519 10 2.51 10 2.288 10
Urutan sepuluh pejantan terbaik bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan
berbeda satu sama lain, dengan pejantan alami lebih banyak daripada pejantan IB untuk bobot sapih
dan bobot setahun sedangkan pada karakter PBB, jumlahnya seimbang.
Gambar 1. Nilai Pemuliaan Bobot Sapih Pejantan
Gambar 1 menunjukkan bahwa dari 28 ekor pejantan yang diuji, 53,57 persen diantaranya
mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih positif dan sisanya mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih
negatif. Dari 28 ekor pejantan yang diuji, 11 ekor merupakan pejantan yang memproduksi mani beku
yang berasal dari BIB Singosari tetapi hanya 54,54 persen (6 ekor) yang mempunyai nilai pemuliaan
bobot sapih positif.
-15
-10
-5
0
5
10
15
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
Nila
i P
em
ulia
an
Kode Pejantan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
120
Gambar 2. Nilai Pemuliaan Bobot Setahun Pejantan
Pada karakter bobot setahun, dari 28 ekor pejantan yang diuji 42,86 persen mempunyai nilai
pemuliaan positif. Jumlah pejantan yang memproduksi mani beku sebanyak 11 ekor dengan nilai
pemuliaan positif hanya 18,18 persen (dua ekor).
Gambar 3. Nilai Pemuliaan Pertambahan Bobot Badan
Nilai pemuliaan pertambahan bobot badan dari pejantan-pejantan yang diuji, sebanyak 53,57
persen mempunyai nilai pemuliaan positif, 46,67 diantaranya merupkan pejantan IB. Nilai pemuliaan
(NP) dalam penelitian ini adalah NP setiap individu baik itu anak, induk maupun pejantan. Semakin
tinggi nilai pemuliaan dari seekor pejantan menunjukkan semakin unggulnya pejantan tersebut
dibandingkan dengan pejantan yang nilai pemuliaanya rendah, karena pejantan dengan NP yang tinggi
akan mempunyai keturunan dengan keunggulan relatif lebih tinggi pula. Oleh karena itu nilai
pemuliaan dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi untuk memilih pejantan yang relatif
lebih unggul untuk dimanfaatkan semennya seluas mungkin di wilayah proyek maupun di tempat lain.
Berdasarkan nilai pemuliaan bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan
ternyata urutan sepuluh pejantan terbaik berbeda antar karakter. Berbedanya urutan pejantan tersebut
diduga disebabkan tidak semua ternak mempunyai catatan lengkap. Ternak-ternak yang tercatat yang
mempunyai bobot sapih pada tahun 2003, ternyata belum mempunyai catatan bobot satu tahun.
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27
Nila
i P
em
ulia
an
Kode Pejantan
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27Nila
i P
em
ulia
an
Kode Pejantan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
121
BLUP dengan program VCE memungkinkan untuk menganalisis data dengan kondisi seperti tersebut.
Penyebab lain yaitu pertambahan bobot badan negatif pada beberapa ekor ternak, yang mempengaruhi
rataan populasi. Apabila diketahui nilai ekonomi untuk masing-masing sifat maka dapat dicari nilai
pemuliaan kumulatif dari sifat-sifat yang diukur. Pada penelitian ini tidak diketahui nilai-nilai
ekonomi tersebut sehingga tidak dapat dijadikan pembobot untuk mengurutkan pejantan secara
keseluruhan berdasarkan semua karakter.
Sedikitnya pejantan IB yang masuk dalam sepuluh terbaik mengindikasikan bahwa pejantan
lokal yang digunakan sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis sehingga dapat
mengekspresikan kemampuan genetiknya dengan baik. Walaupun diketahui bahwa pejantan IB
memiliki keunggulan secara genetik karena memang sudah teruji sebelumnya namun ternyata dari
hasil estimasi nilai pemuliaannya ternyata pejantan lokal masih lebih baik.
Urutan nilai pemuliaan bobot sapih tertinggi adalah pejantan nomor 73996 dengan nilai
pemuliaan relatif sebesar 12,164, ini berarti bahwa apabila pejantan nomor 73996 dikawinkan dengan
induk secara acak maka rataan keunggulan bobot sapih anak-anaknya akan menunjukkan keunggulan
sekitar 6,08 dari bobot sapih populasinya, karena keunggulan pejantan akan diturunkan sebanyak
setengah dari nilai pemuliaan (Hardjosubroto, 1994).
Seekor pejantan apabila digunakan sebagai pemacek secara alami mempunyai keterbatasan
antara lain karena umur. Selanjutnya apabila dilihat dari umur, maka pejantan yang masuk dalam
kategori sepuluh besar semuanya sudah tua. Pemanfaatan pejantan-pejantan non IB yang masuk
dalam sepuluh besar hendaknya mulai dipikirkan lagi, sebaiknya pejantan-pejantan yang dimaksud
dimanfaatkan semennya untuk tujuan IB.
Untuk menduga repons seleksi langsung beberapa karakter, digunakan intensitas seleksi yang
didasarkan atas nilai pemuliaan di atas rata-rata untuk setiap karakter terseleksi, seperti yang disajikan
pada Tabel 3.
Tabel 3. Respons Seleksi (Rs) Langsung Beberapa Karakter
Karakter i h2 SD Rs/generasi Rs/tahun
Bobot Sapih 1,30 0,09 11,79 1,38 0,26 Bobot Setahun 1,35 0,27 17,32 6,31 1,17 Pertambahan Bobot
Badan
0,88 0,47 4,98 2,06 0,38
Keterangan: i= intensitas seleksi; h2= heritabilitas
Untuk mengetahui respons seleksi per tahun maka perlu dihitung interval generai populasi sapi
Bali di Pulukan. Pada populasi sapi Bali di BPTU interval generasi dihitung berdasarkan sebaran
umur dari pejantan dan induk yang digunakan. Hasil perhitungan diperoleh interval generasi induk
sebesar 6,5 tahun dan pejantan sebesar 4,3 tahun, sehingga diperoleh rataan interval generasi sebesar
5,4 tahun.
Respons seleksi tidak langsung antara bobot sapih dan beberapa karakter lain disajikan pada
Tabel 4. Perhitungan pasangan karakter-karakter tersebut disebabkan bobot sapih datangnya lebih
dulu dibandingkan karakter lain, sehingga dapat dilakukan efisiensi waktu apabila seleksi dilakukan
terhadap bobot sapih. Sebagai pembanding, digunakan respons seleksi secara langsung per tahun
untuk karakter-karakter yang berkorelasi dengan bobot sapih.
Seperti diketahui bahwa rataan interval generasi di Inti Pulukan sebesar 5,4 tahun, dengan
mengacu respons seleksi optimum maka akan diperoleh respons seleksi per tahun sebesar 0,37 kg per
tahun. Dengan rataan bobot sapih saat ini sebesar 82,09 kg maka sepuluh tahun yang akan datang
diperoleh rataan bobot sapih sebesar 85.79 kg. Angka ini masih jauh dari tujuan awal yaitu dalam 12
tahun sejak didirikannya diharapkan bobot sapih mencapai 120-130 kg.
Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pencapaian bobot sapih ini antara lain yaitu (1)
sistem penjaringan bibit yang tidak tepat karena hanya berdasarkan bobot badan sebesar 140 kg tanpa
melihat mutu genetiknya. Kegiatan uji kinerja setiap tahun membutuhkan sekitar 50 ekor bibit jantan
sebagai peserta. Jumlah ini tidak seluruhnya dipenuhi dari Inti Pulukan maupun IPD Tabanan.
Kekurangan bibit diperoleh melalui pembelian dari pasar hewan Bringkit, ini yang menjadikan salah
satu faktor kelemahan di dalam pencapaian target. Penurunan jumlah peserta uji kinerja lebih
disebabkan karena pada tahun 1988 terjadi wabah penyakit Jembrana yang mengakibatkan sebagian
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
122
besar sapi di Inti Pulukan mati. Untuk mengurangi resiko ini maka jumlah peserta dikurangi dari yang
semula 100 ekor menjadi hanya sekitar 50 ekor ; (2). Menurunnya jumlah peserta uji kinerja berakibat
pula terhadap penurunan jumlah pejantan yang ikut dalam progeny testing sehingga pilihan terhadap
pejantan menjadi sangat terbatas. Keadaan ini diperparah dengan fasilitas kredit yang menurun di IPD
Tabanan yang mengakibatkan jumlah induk juga berkurang. Dampak dari berkurangnya jumlah induk
ini adalah hilangnya paling sedikit 50% peluang kemajuan genetik seperti yang ditargetkan (van Asch,
et al., 1990); (3) Pemanfaatan hasil progeny testing yang lebih besar dari pada yang telah ditetapkan
pada awalnya (hanya 5 persen terbaik). Ini terjadi karena luasnya penyebaran induk pada tingkat IPD
dan kurangnya fasilitas IB untuk progeny testing menyebabkan dibutuhkannya sejumlah besar
pejantan untuk perkawinan alami; (4) hilangnya induk-induk dengan superior performance diakhir
lima tahun masa kredit, karena secara otomatis peternak peserta kredit akan berakhir status pesertanya
ketika telah melunasi pembayaran selama lima tahun.
Tabel 4. Respons Seleksi Berkorelasi antara Bobot Sapih dan Karakter Lain.
Karakter rg h1 h2 SB2 i l CRy2.1 Rind BSxBB1th 0,314 0,3 0,52 17,32 1,33 5,4 0,21 1,17 BSxPBB 0,182 0,3 0,69 4,98 1,09 5,4 0,04 0,38
Keterangan: BS= bobot sapih; B1th= Bobot setahun; PBB= pertambahan bobot badan; h1=
akar heritabilitas bobot sapih; h2= akar heritabilitas karakter kedua; SB2=
simpangan baku karakter kedua; i= intensitas seleksi; l= interval generasi; CR=
correlateed response; Rind= respons seleksi individu.
Di Inti Pulukan, kebutuhan akan bibit sebenarnya tidak bisa dipenuhi dari populasi itu sendiri.
Data menunjukkan bahwa secara kuantitas terjadi penurunan jumlah sapi dengan adanya persentase
kematian yang lebih besar dari pada persentase kelahiran yaitu sebesar –5,81 persen. Rendahnya
persentase kelahiran disebabkan karena jumlah induk efektif yang ada di dalam populasi ini juga
rendah sebesar 24,66 persen. Pada populasi yang ideal jumlah induk efektif mestinya mencapai 45-60
persen (Hardjosubroto, 1994), sehingga memungkinkan kebutuhan bibit dipenuhi dari populasi itu
sendiri. Walaupun persentase panen pedet mencapai 61,18 persen, akan tetapi karena proporsi umur
induk yang tidak merata menyebabkan persentase panen pedet tidak mampu memenuhi kebutuhan
bibit itu sendiri.
Apabila umur optimum betina dipertimbangkan dalam pembiakan maka betina-betina tua yang
berumur di atas tujuh tahun harus dikeluarkan dari populasi. Menurut van der Werf (1999) bahwa
mempertahankan ternak hingga umur tua akan memperpanjang interval generasi yang berakibat pada
menurunnya respons seleksi, akan tetapi estimasi nilai pemuliaannya akan semakin akurat. Di lain
pihak, memperpendek interval generasi akan meningkatkan respons seleksi tetapi akurasi nilai
pemuliaan akan semakin berkurang.
Simpulan
Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: Urutan sepuluh pejantan terbaik bobot
sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan berbeda satu sama lain, dengan pejantan alami
lebih banyak daripada pejantan IB. Dari 28 ekor pejantan yang diuji, 53,57% mempunyai nilai
pemuliaan bobot sapih positif termasuk diantaranya 6 ekor pejantan dari BBIB Singosari; pada
karakter bobot setahun, 42,86% pejantan mempunyai nilai pemuliaan positif dengan 2 ekor pejantan
dari BBIB; nilai pemuliaan pertambahan bobot badan dari pejantan-pejantan yang diuji, sebanyak
53,57 persen mempunyai nilai pemuliaan positif, 46,67 diantaranya merupkan pejantan IB.
Respon seleksi secara langsung untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan
berturut-turut 0,26 kg, 1,17 kg dan 0,38 kg sedangkan respon seleksi berkorelasi (tidak langsung)
antara bobot sapih-bobot setahun dan bobot sapih-pertambahan bobot badan berturut-turut 0,21 kg dan
0,04 kg.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
123
Daftar Pustaka
Bamualim, A. dan R.B. Wirdahayati, 2002. Nutrition and Management Strategies to Improve Bali Cattle
Productivity in Nusa Tenggara. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Bennett, G.L., 2008. Experimental selection for calving ease and postnatal growth in seven cattle populations. I.
Changes in estimated breeding values. J. of Animal Sci. 86: 9: 2093-2102
Bennett, G.L., R. M. Thallman, W. M. Snelling and L. A. Kuehn, 2008. Experimental selection for calving ease
and postnatal growth in seven cattle populations. II. Phenotypic differences. J. of Animal Sci. 86: 9:
2103-2114
Boligon, A.A., I. S. Vicente, R. Z. Vaz, G. S. Campos, F. R. P. Souza, R. Carvalheiro and L. G. Albuquerque,
2016. Principal component analysis of breeding values for growth and reproductive traits and genetic
association with adult size in beef cattle. J. of Animal Sci. 94: 12: 5014-5022
Falconer, D.S., and T.F.C. Mackay., 1997. Introduction to Quantitative Genetics. 4th Edition. Addison Wesley
Longman Limited, Edinburgh Gate, Harlow.
Graser, H., 2002. Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia: Implementing Pedigree System.
Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Groeneveld, E., 1990. PEST User’s Manual. FAL, Nuestadt.
Groeneveld, E., 1998. VCE4 Programme, User’s Guide and Manual Version 1.1. Institut furr Tierzuch und
Tierverhalten, FAL, Mariensee.
Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.
Henderson, C.R., 1985. Best Linear Unbiased Prediction of Nonadditive Genetic Merits in Noninbred
Populations. J. of Animal Sci. 60: 1: 111-117
Jan, R. 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali di Daerah
Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM, Yogyakarta.
Koch, R.M., L. V. Cundiff, K. E. Gregory and L. D. Van Vleck. 2004. Genetic response to selection for
weaning weight or yearling weight or yearling weight and muscle score in Hereford cattle: Efficiency of
gain, growth, and carcass characteristics. J. of Animal Sci., 82: 3: 668-682
Mastika, I.M., 2002. Feeding Strategies to Improve the Production Performance and Meat Quality of Bali Cattle
(Bos sondaicus). Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Oka, L., 2002. Performance of Bali Heifers and Calves prior to Weaning in Feedlot System. Working Papers:
Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Pane, I., 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang,
2-3 September 1991. Ujung Pandang: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, p: 50-69.
Pengelly, B.C., dan S.N. Lisson, 2002. Strategies for Using Improved Forages to Enhance Production in Bali
Cattle. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Sukmasari, A.H., R.R. Noor, H. Martojo, C. Talib., 2002. Pendugaan Nilai Pemuliaan dan Kecenderungan
Genetika Bobot Badan Sapi Bali di Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali. Hayati, Vol. 9,
No.4. Desember, 2002. hal. 109-113.
Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono, 2011. Breeding Programme Development of Bali Cattle at
Bali Breeding Centre. Journal of Animal Production.
Toelihere, M.R., 2002. Increasing the Success Rate and Adoption of Artificial Insemination for Genetic
Improvement of Bali Cattle. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Van Asch R.G., G. Morris, M. McEvoy, A. Kilgour, P. Packard, and M. Cooper, 1990. Draft Final Report:
Review of the Bali Cattle Breeding and Development Project. The New Zealand Ministry of External
Relations and Trade. New Zealand.
Van der Werf, J., 1999. Livestock straight-breeding system structures for the sustainable intensification of
extensive grazing system. In: workshop on developing breeeding strategies for lower input animal
production environments. Ed.: Galal, S., J. Boyazoglu and K. Hammond. Bella, Italy, 22-25
September 1999. P. 105-177.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
124
Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
125
Makalah 023
Hubungan False Mounting dengan Kualitas Semen Sapi Bali Produksi Balai
Inseminasi Buatan Daerah di Bengkulu
Tatik Suteky, Dwatmadji dan Ronal Ambar Surau Iman
Jurusan Peternakan – Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hubungan antara jumlah false mounting dengan
kualitas sperma Sapi Bali. Penelitian dilaksanakan di Balai Inseminasi Buatan Daerah Propinsi
Bengkulu. Sebanyak 45 ejakulat di koleksi dari 3 ekor sapi Bali dengan berat badan berkisar antara
584-662 kg. Parameter yang diamati adalah jumlah false mounting, pemeriksaan makroskopis yang
meliputi (volume, warna, kekentalan dan pH) dan pemeriksaan mikroskopis (gerakan masa, sperma
hidup dan motil, gerakan individu, konsentrasi), serta jumlah straw yang di produksi per ejakulat.
Hasil penelitian menunjukkankan bahwa volume semen berkisar antara 6,05 + 1,04 ml (5,5-6,4),
warna kream, motilitas massa skore 2, sperma yang motil 70-74,1%, konsentrasi 650-875 juta/ ml
(772,23 + 141) juta/ml- dan rataan total sperma per ejakulat sebanyak 4772,88 + 1409 juta . Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara jumlah false mounting dengan total
spermatozoa per ejakulat dan total sperma motil. Kualitas semen terbaik jumlah straw yang di
produksi tergantung dari volume, kekentalan sperma, sperma hidup dan konsentrasi.
Kata kunci: false mounting, sapi Bali, kualitas semen.
Pendahuluan
Fertilitas pejantan merupakan faktor terpenting dalam menjaga keberlanjutan produktivitas
ternak (Kastelic, 2013). Koleksi dan evaluasi semen merupakan salah satu metode yang dapat
dipergunakan untuk mengetahui fertilitas pejantan (Ramsiyati et al., 2004). Menurut Feradis (2010)
tujuan evaluasi semen adalah selain untuk mengetahui kualitas semen, sekaligus bisa menghitung
jumlah bahan pengencer yang dibutuhkan dan jumlah straw yang dapat dihasilkan dalam proses
pembekuan semen. Kualitas semen sangat dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan manajemen
(Mathevon et al., 1998), sexual behaviour (Singh et al., 2015). Sementara Prasetyo et al. (2013)
menyatakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas semen adalah genetik, interval koleksi, pakan,
temperatur/iklim dan juga false mounting. Hale dan Almquist (1960) melaporkan bahwa satu false
mount mampu meningkatkan konsentrasi sperma sebesar 50 % dan dua false mount menyebabkan
peningkatan konsentrasi dua kali lipat konsentrasi sperma yang diperoleh tanpa pengekangan.
Mardiyah et al. (2001) melaporkan bahwa 2 false mounting pada sapi Friesian Holstein (FH)
berpengaruh terhadap volume tampung dan konsentrasi semen segar yang di koleksi. Menurut
Menegassi et al. (2011) menyatakan perilaku seksual termasuk false mounting dipengaruhi oleh
interaksi sosial, genetik, lingkungan, pakan, hormonal, umur dan pengalaman.
Unit Pembibitan Ternak Daerah-Bengkulu di dirikan tahun 1980 dengan tujuan untuk
memenuhi sumber bibit di Bengkulu. Tahun 2008 berdasarkan Peraturan Gubernur No 22 dibentuk
Balai Inseminasi Buatan Daerah untuk memenuhi kekurangan semen beku di propinsi Bengkulu.
Tahun 2010 BIBD-Bengkulu mulai memproduksi semen cair dan tahun 2013 memproduksi semen
beku, uji coba implementasi semen beku produksi BIBD-Bengkulu dilakukan pada bulan November
2014 dengan kode produksi BIBD-Bengkulu 177101
Balai Inseminasi Buatan Daerah Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu mempunyai peranan besar dalam penyediaan semen beku sapi
Bali demi memenuhi permintaan masyarakat akan semen beku. Agar semen beku yang dihasilkan
terjamin ketersediaanya baik secara kualitas maupun kuantitas, maka tersedianya pejantan Bali yang
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
126
unggul dan tampilan prestasi reproduksi yang baik sangatlah diperlukan. Sebagai BIBD yang baru
berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas semen beku yang di produksi harus diteliti.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan false-mounting dengan kualitas semen.
Materi dan Metode
Penelitian dilakukan di Balai Pembibitan Ternak Daerah Provinsi Bengkulu, semen segar
berasal dari 3 sapi Bali yang berumur 5-6 tahun dengan berat badan 584-662 kg. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Agustus–Oktober 2015 dan Januari-Mei 2016. Data berasal dari pengamatan
langsung dan data sekunder yang berasal dari catatan produksi dan evaluasi semen di BIBD-Bengkulu.
Penampungan semen dengan metode vagina buatan dan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00-
07.30 WIB sesuai jadwal penampungan yang dilakukan oleh BIBD-Bengkulu, yakni satu kali
penampungan dalam seminggu.
Parameter yang diukur:
1. Jumlah false mounting: jumlah penunggangan yang dilakukan oleh pejantan pada teaser diamati
dengan cara membawa pejantan mendekati teaser lalu membawanya pergi lagi, kemudiann
membiarkan pejantan itu menaiki teaser tetapi tidak ditampung semennya.Diamati dengan cara
menghitung banyaknya pengekangan pada pejantan saat menunggangi teaser sebelum ejakulasi
pertama (Toelihere, 1993).
2. Evaluasi semen: Evaluasi semen segar dilakukan secara makroskopis meliputi: volume, konsistensi
(kekentalan), warna, dan pH. Sedangkan penilaian secara mikroskopis diantaranya gerakan massa
dan individu, konsentrasi, dan % pergerakan progresif. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif
sementara pengaruh jumlah false mounting terhadap parameter kualitas semen di analisis dengan
korelasi Pearson.
Data di tabulasi beberapa parameter di analisis secara deskriptif, untuk mengetahui hubungan
antar parameter yang diukur di lakukan uji korelasi dan regresi dengan menggunakan program SPSS
versi 16.
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan karakteristik semen sapi Bali pada penelitian ini adalah, volume
semen 6,05 + 1,04 ml, warna kream, motilitas massa skore 2, sperma yang motil 70-74,1%,
konsentrasi 772,23 + 141 dan rataan total sperma per ejakulat sebanyak 4772,88 + 1409. Hasil analisis
regresi menunjukkan ada hubungan yang significant (P<0,05) antara jumlah false mounting dengan
volume dan konsentrasi semen dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,348 sedang koefisien
determinasi (R2) sebesar 0,121. Tabel 1 memperlihatkan ada kecenderungan peningkatan volume
semen sampai false mounting ke 4 , kemudian fluktuatif turun pada false mounting ke 5 dan naik lagi
pada false mounting ke 6. Rataan volume semen pada penelitian ini berkisar antara 5,55-6,40
ml/ejakulasi. Pada penelitian sebelumnya Suteky et al. (2017) melaporkan volume semen sapi Bali
berkisar antara 5,4-7 ml, 5-8 ml (Feradis, 2010), 5,26±0,99 ml (Salmah, 2014), 5,71 (Susilawati,
2011). Arifiantini et al.(2006) dalam penelitian di UPTD Baturiti Bali melaporkan volume semen sapi
Bali berkisar antara 2,24-9,63 dengan rataan 6,3 ml. Sarsaifi et al. (2013) menemukan volume semen
sapi Bali dipengaruhi oleh metode penampungan, tetapi tidak dipengaruhi oleh kelompok umur (2-3 vs
>3-4). Aisah dkk. (2017) menemukan volume semen dipengaruhi oleh curah hujan, pada bulan
Januari ketika curah hujan tinggi volume semen sapi Bali 4,54 ml sedangkan pada bulan Juli
meningkat menjadi 6,05 ml, perbedaan ini mungkin disebabkan pengaruh hormonal.
Hasil penelitian Muada dkk (2017) menunjukkan pH berkorelasi dengan frekuensi
penampungan semen pada sapi bangsa Limousin, semakin tinggi frekuensi koleksi cenderung
menurunkan pH (asam), namum hubungan itu sangat lemah pada sapi bangsa Simental. pH semen
dalam penelitian ini berkisar antara 5,55-6,40, pH tersebut termasuk dalam kisaran normal sesuai
dengan Standar Nasional Indonesia.Warna semen dalam penelitian ini dalam kategori normal yakni
putih susu–kream kecuali pada false mounting ke 5 yang lebih bening. Warna semen sapi normal
adalah putih susu dan 10% saja yang berwarna krem/agak kekuningan (Toelihere, 1985), warna
kekuningan disebabkan oleh riboflavin yang dibawa oleh satu gen autosom resesif dan namun tidak
mempunyai pengaruh terhadap fertilitas. Feradis (2010) menambahkan bahwa semen sapi normal
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
127
berwarna putih susu atau krem dan keruh, derajat kekeruhannya tergantung pada konsentrasi
spermatozoa atau dengan kata lain warna semen bisa berkaitan dengan konsentrasinya. Meskipun
demikian, warna bening pada semen tidak selalu mencerminkan konsentrasi sperma, hal ini diduga
disebabkan oleh banyaknya seminal plasma sehingga semen lebih terlihat bening (Khairi, 2016).
Tabel 1. Hasil pemeriksaan semen secara makroskopis
Jumlah False
Mounting (FM) Volume + sd pH + sd Warna Konsistensi
FM 2 5,55 + 0,74 6,50±0,00 3,10+ 0,61 Sedang (2) FM 3 5,95 + 0,97 6,60±0,32 3,3 0+ 0,67 Sedang (2) FM 4 6,40 + 1,16 6,66±0,41 3,6 0+ 0,42 Sedang (2) FM 5 5,60 + 1,02 7,00±0,00 2,8 0+ 0,41 Sedang (2) FM 6 6,35 + 0,78 6,37±0,25 3,40 + 0,56 Sedang (2)
Konsistensi semen sapi Bali di UPTD tidak dipengaruhi oleh jumlah false mounting, pada Tabel
1 terlihat konsistensi semen dari FM 2 sampai FM 6 memiliki skore yang sama yakni 2 atau kategori
sedang. Konsistensi dengan skore 2 telah memenuhi standar SNI 2017 untuk pembuatan semen beku.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan massa berkisar 2 sedang gerakan individu berkisar
antara 70-74,1 dengan demikian hasil ini sudah memenuhi SNI (2017) tentang syarat semen beku.
Dalam penelitian ini gerakan massa dan individu tidak dipengaruhi oleh jumlah false mounting.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan semen secara mikroskopis
Jumlah False
Mounting (FM) Gerakan massa
(skore) Gerakan
individu (%) Konsentrasi (juta
/ml) Jumlah straw
FM 2 2,0 + 0,0 70,0 + 0,0 650,8 + 167,2 95,0 + 24 FM 3 2,0 + 0,0 71, 0 + 2,1 784,6 + 115,8 96,9 ± 27,9 FM 4 2,1 + 0,4 74,1 + 5,8 875,1 + 163,5 136,3 ± 47,9 FM 5 2,0 + 0,0 70,0 + 0,0 735,7 + 97,7 99,3 ± 40,4 FM 6 2,0 + 0,0 72,5 + 5,0 777,8 + 190,4 130,7 ± 61,8
Rata-rata konsentrasi sperma dalam penelitian ini adalah sebesar 772,23 + 141 x 106 ml-1, pada
penelitian sebelumnya (Suteky dkk., 2017) melaporkan konsentrasi semen sapi Bali 600-700 x 106 ml-
1; sedangkan Ismail et al. (2016) menemukan konsentrasi sperma sapi Bali sangat bervariasi yakni 30-
710 x 106 ml-1. Selanjutnya Ismail et al. (2016) menyatakan faktor yang mempengaruhi konsentrasi
sperma adalah individu ternak. Brito et al. (2002) menyatakan bahwa persiapan sexual, umur, waktu
koleksi, waktu istiratat sebelum koleksi, Syarifuddin dkk. (2017) menemukan penambahan
suplementasi pakan dapat meningkatkan konsentrasi sperma dan motilias sperma.
Tabel 2 memperlihatkan konsentrasi semen sapi Bali cenderung meningkat dengan
meningkatnya jumlah false mounting, ada kenaikan 17% dari FM2 ke FM3, dan ada kenaikan
konsentrasi sperma 25,63% dari FM 2 ke FM4, kemudian konsentrasi sperma cenderung turun. Trend
hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan (Chenoweth and Lorton , 2014) pada sapi perah
konsentrasi sperma meningkat dari false mounting 0 ke 2 kemudian turun pada false mounting ke 3.
Berbeda dengan hasil penelitian ini, Sahin et al. (2016) menemukan korelasi yang signifikan antara
volume, konsentration dan motilitas dengan FM-0, FM-1 FM-2. Pada Tabel 2 menunjukkan jumlah
straw yang diproduksi berkisar antara 96-130, jumlah straw yang di produksi tergantung dari volume,
kekentalan, sperma motil dan konsentrasi.
Rataan total spermatozoa adalah sebanyak 4772,88 + 1409 juta dan total sperma motil
3435,21 + 1061 juta. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
significant (P<0,05) antara jumlah false mounting dengan volume, konsentrasi, total spermatozoa, dan
total sperma motil dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,401 sedang koefisien determinasi (R12)
sebesar 0,161. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rokhona (2008) yang menemukan
hubungan yang sangat nyata (significant) antara jumlah false mounting dengan total spermatozoa
motil pejantan sapi Madura.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
128
Grafik. Total sperma dan total sperma motil per ejakulat
Simpulan
Kualitas semen produksi BIBD-Bengkulu memenuhi persyaratan untuk proses pembekuan
dengan volume semen 6,05 + 1,04 ml, warna kream, motilitas massa skore 2, sperma yang motil 70-
74,1%, konsentrasi 772,23 + 141 dan rataan total sperma per ejakulat sebanyak 4772,88 + 1409 juta
dan total sperma motil 3435,21 + 1061 juta. Jumlah false mounting berkorelasi dengan volume,
konsentrasi, jumlah total sperma per ejakulat dan total sperma motil.
Daftar Pustaka
Aisah S., Isnaeni N dan S Wahyuningsih. 2017. Kualitas semen segar dan recovery rate sapi Bali pada musim
yang berbeda. Jurnal Ilmu–ilmu Peternakan 27 (1): 63-79
Hale EB dan J. O Almquist. 1960.Effects of sexual preparation on sperm output, semen characteristics and
sexual activity of beef bulls with a comparison to dairy bulls. The Pennsylvania State University. JAS.
36 (2): 331-336.
Arifiantini, R. I., Wresdiyati, T., dan E.F. Retnani. 2006. Pengujian morfologi spermatozoa sapi Bali (bos
sondaicus) menggunakan pewarnaan "Williams". Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor, Bogor. Jurnal Indon. Trop. Anim. Agric. 31 (2): 105-110.
Brito, L. F. C., Silva, A. D. E. F., Rodrigues, L. H., Vieira, F. V., Deragon, A. G., & Kastelic, J. P. 2002. Effect
of Environmental Factors, Age and Genotype on Sperm Production and Semen Quality of B. indicus
and B. taurus AI bulls in Brazil. Theriogenology, 70:181-190.
Chenoweth PJ and S Lorton. 2014. Animal Andrology: Theories and Applications. www.CABI.org
Feradis. 2010. Bioteknologi reproduksi pada ternak. Alfabeta, Bandung.
Ismail MI., FA Zainalabidin, MH Mail, SRM Nor, Loo Shu San, FF Jaffa, P Abdullah D Yusof, AW Haron
and
AM Othman. 2016. Assessment of Fresh Semen Quality of Domesticated Banteng (Bos
Javanicus D’alton, 1823) In Sabah, Malaysia.
Kastelic JP. 2013. Male involvement in fertility and factors affecting semen quality in bulls. Animal Frontier
3(4): 20-25.
Khairi, F. 2016. Evaluasi Produksi dan Kualitas Semen Sapi Simmental Terhadap Tingkat Bobot Badan Berbeda.
Jurnal Peternakan. 13 (2) : 54-58
Mardiyah, E., Suarida, I., Pustaka, I. K., dan R. Hernawati. 2001. Penampungan dan Evaluasi mutu semen sapi
dengan vagina buatan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Mathevon N., MM Buhrj and CM Dekkers. 1998. Environmental, Management and Genetc Factors affecting
semen Production in Holstein. Journal of Dairy Science 8 (12):3321-3330.
Menegassi, S. R. O., J. O. J. Barcellos, V. Peripolli, and C. M. Camargo. 2011. Behavioral assessment during
breeding soundness evaluation of beef bulls in Rio Grande do Sul. Animal Reproduction. 8:77-80
FM2 FM3 FM4 FM5 FM6
3612,4
4649,15347,7
4199,9
5585,7
Total spermatozoa (106 )
Total Spermatozoa Total Spermatozoa motil
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
129
Muada DB, U Paputungan, MJH Santie dan H. Turanga. 2017. Karakteristik Semen Segar Sapi Bangsa
Limousin Dan Simmental Di Balai Inseminasi Buatan Lembang. Jurnal Zootek. 2017.( 37) 2 : 360-
369.
Prasetyo, A. A., Tagama, T. R., dan D. M. Saleh. 2013. Kualitas semen segar sapi simmental yang dikoleksi
dengan interval yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang. Fakultas Peternakan Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3):907-913.
Ramsiyati, D. T., Sriyana, dan B. Sudarmadi. 2004. Evaluasi kualitas semen sapi potong pada berbagai umur di
peternakan rakyat. Loka penelitian sapi potong. Prosiding temu teknis nasional tenaga fungsional
pertanian, Pasuruan.
Rokhana, E. 2008. Hubungan antara jumlah false mounting dengan produksi semen pejantan sapi madura.
Penerbit Cendekia. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kadiri, Jawa timur.
Sahin D., I Baştan, K Tekin, C Stelletta, H Kinet, E Aakçay, A Daşkin. 2016. The number of false mounting
effect on sperm quality andFreeze-ability in bulls.
Salmah, N. 2014. Motilitas, Persentase hidup dan abnormalitas spermatozoa semen beku sapi Bali pada
pengencer andromed dan tris kuning telur. Skripsi Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin,
Makasar.
Sarsaifi K, Y Rosnina, MO Ariff , H Wahid , H Hani , N Yimer , J Vejayan , S Win Naing and MO Abas. 2013.
Effect of Semen Collection Methods on the Quality of Pre- and Post-thawed Bali Cattle (Bos
javanicus ) Spermatozoa. Reproduction in Domestic Animals 48 (6): 1006-1012
Singh S, M. Bhakat, T. K. Mohanty, A. Kumar, A. K. Gupta, A. K. Chakravarty and P. Singh. 2015. Sexual
behavior and its relationship with semen quality parameters in Sahiwal breeding bulls. Veterinary
World 8: 745-749
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2017. Semen beku sapi. 01-4869.1-2005.
Susilawati. T. 2011. Spermatologi. UB Press, Malang
Suteky T., Sutriyono, Dwatmadji dan MI Sholihin. 2017. Kualitas Semen produksi UPTD Bengkulu dan tingkat
keberhasilan Inseminasi pada Sapi Bali dan Peranakan Simental di Bengkulu. Jurnal Sain Peternakan
Indonesia 12 (2): 221-229.
Syarifuddin NA, A. L. Toleng D. P. Rahardja, Ismartoyo and M. Yusuf. 2017. Improving Libido and Sperm
Quality of Bali Bulls by Supplementation of Moringa oleifera Leaves. Media Peternakan. 40(2):88-
93
Toelihere, M.R., 1993. Inseminasi Buatan padaTernak. Penerbit Angkasa. Bandung
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
130
Makalah 024
Akurasi Pendugaan Bobot Badan Sapi Bali (Bos Javanicus) Umur Satu Tahun
Menggunakan Rumus Schoorl, Smith dan Winter
Ainun Rasyid Hariansyah1, Afif Raharjo1, Ahmad Zainuri1, Yudi Parwoto2, Dwi Prasetiyo2,
Sigit Prastowo1, Nuzul Widyas1
1Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta
2Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Denpasar Bali
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tingkat akurasi pendugaan bobot badan (BB) Sapi
Bali menggunakan rumus Schoorl, Smith dan Winter yang dibandingkan dengan BB hasil
penimbangan. Sebanyak 454 ekor Sapi Bali berumur satu tahun yang dipelihara di Balai Pembibitan
Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar digunakan dalam penelitian ini.
Data BB (kg) Sapi Bali diperoleh dengan cara penimbangan, selain itu juga diukur data vital statistik
(cm) meliputi ukuran Lingkar Dada (LD) dan Panjang Badan (PB). Bobot badan Sapi Bali diduga
dengan menggunakan rumus Schoorl, Smith dan Winter, selanjutnya akurasi dihitung dengan
membandingkan dengan badan hasil penimbangan. Hasil penelitian diperoleh, rata-rata BB hasil
penimbangan, LD dan PB adalah berturut-turut 116,70±16,37 kg; 115,87±9,04 cm dan 90,45±7,52 cm.
Hasil pendugaan BB dengan rumus Schoorl, Smith dan Winter berturut-turut adalah 190,90±24,67 kg;
180,00±23,94 kg dan 109,1±21,9 kg, sedangkan hasil perhitungan akurasi berturut-turut sebesar 0,55;
0,55 dan 0,65. Berdasar hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa, ketiga rumus yang digunakan untuk
menduga BB Sapi Bali kurang akurat, hal demikian dikarenakan Sapi Bali termasuk sapi berukuran
kecil sehingga tidak cocok diduga menggunakan rumus untuk sapi ukuran besar.
Kata Kunci : rumus Schoorl, rumus Smith, rumus Winter, bobot badan, Sapi Bali
Pendahuluan
Penentuan harga jual sapi ditentukan oleh bobot badan. Bobot badan sapi dapat diketahui
dengan cara penimbangan, namun dalam situasi dan kondisi tertentu penimbangan sulit dilakukan apa
bila peternak tidak memiliki alat timbang seperti pada peternakan rakyat. Sapi bali yang memiliki
tempramen agresif menjadikan kendala bagi peternak dalam melakukan penimbangan bobot badan
(Guntoro, 2012). Ukuran timbangan sapi yang besar menyulitkan mobilitas dalam proses pemindahan
timbangan apabila ingin dipindahkan lokasi lain. Sapi bali di beberapa daerah diternakan dengan cara
diumbar sehingga mobilitas menjadi faktor yang penting. Oleh sebab itu dibutuhkan cara lain yang
praktis untuk melakukan estimasi bobot badan seekor ternak. Metode pendugaan dapat digunakan
sebagai alternatif dalam mengukur bobot badan Sapi Bali.
Pendugaan bobot badan tenak bisa dilakukan dengan menggukan dimensi ukuran tubuh. Ukuran
tubuh meliputi lingkar dada (LD), tinggi gumba (TG) dan panjang badan (PB) (Santosa, 2008). Pada
beberapa penelitian menjelaskan adanya hubungan antara dimensi ukuran tubuh pada sapi dengan
bobot badannya, sehingga dihasilkan suatu formula untuk mengestimasi bobot badan pada umur dan
jenis kelamin tertentu (Sumadi et al., 2001; Maskyadji, 1997; Clufran, 1976; Saleh, 1982). Bobot
badan memiliki kolerasi positif terhadap panjang badan (r = 0,90) dan juga lingkar dada (r = 0,96)
(Francis et al, 2002).
Menurut Zurahmah (2011), dikenal beberapa rumus untuk mengestimasi bobot badan pada sapi,
yaitu rumus dari Schoorl, Winter, dan Smith. Ketiga rumus tersebut dapat digunakan untuk menduga
bobot badan sapi, kambing, domba, babi dan kerbau (Badriyah, 2014). Diantara rumus-rumus
pendugaan bobot badan tersebut, rumus schoorl diperkirakan sebagai rumus yang paling akurat
terhadap bobot badan ternak sebenarnya (Badriyah, 2014). Namun menurut Akbar (2008) formula-
formula tersebut memiliki kelemahan karena sifatnya yang umum dan tidak spesifik terhadap satu
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
131
bangsa sapi. Tujuan penelitian ini adalah melihat tingkat akurasi dari rumus Schoorl, Winter, dan
Smith terhadap bobot badan aslinya dengan menggunakan korelasi.
Materi dan Metode
Materi dalam penelitian ini menggunakan Sapi Bali sebanyak 454 ekor pada umur satu tahun.
Data recording Sapi Bali yang digunakan berupa bobot badan dan dimensi ukuran tubuh yang meliputi
panjang badan dan lingkar dada. Data rekording diperoleh dari tahun 2010 sampai dengan 2014
meliputi sapi jantan dan betina yang dipelihara di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan
Ternak (BPTU-HPT) Denpasar.
Variabel yang digunakan berupa bobot badan yang diambil dengan cara penimbangan ternak
menggunakan timbangan ternak digital berkapasitas 1.000 kg, untuk dimensi tubuh panjan badan (cm)
diambil dengan mengukur jarak antara sendi bahu (later tuberosity of humerus) sampai ke tepi
belakang tulang pelvis dengan menggunakan tongkat ukur dan lingkar dada (cm) diambil dengan cara
melingkarkan pita ukur mengikuti lingkar dada atau tubuh di belakang bahu.
Analisis data menggunakan korelasi untuk mencari hubungan antara prediksi bobot badan
menggunakan rumus schoorl, smith dan winter dengan bobot badan hasil penimbangan. Persamaan
rumus schoorl, smith dan winter sebagai berikut :
a. Rumus Schoorl
BB (kg)= (LDcm+22)
2
100
b. Rumus Smith
BB (kg)= (LDcm+18)
2
100
c. Rumus Winter
BB (pound)= PBinchi+ LDinchi
2
300
Akurasi rumus pendugaan dicari dengan menggunakan korelasi pearson, dengan mencari nilai r
dari rumus pendugaan terhadap bobot badan hasil penimbangan. Korelasi bisa dianggap menjadi
akurasi karna korelasi digunakan untuk mencari hubungan persamaan dari suatu model.
Hasil dan Pembahasan
Dimensi ukuran tubuh ternak yang terdiri dari LD dan PB bisa dijadikan sebagai penentu
pertumbuhan ternak (Santosa ,2008), bertambahnya umur ternak semakin bertambah pula dimensi
ukuran tubuh ternak yang berpengaruh terhadap bobot badan ternak. Umur satu tahun merupakan
tahapan dimana ternak sudah tidak bergantung lagi dengan induknya atau mandiri sehingga performa
yang didapatkan berasal faktor genetik serta lingkungannya dan pada tahapan ini pertumbuhan ternak
sudah mulai stabil.
Hubungan antara demensi ukuran tubuh dengan BB membuat dimensi ukuran tubuh dapat
digunakan sebagai pendugaan BB. Penggunaan dimensi ukuran tubuh ternak dianggap lebih mudah
dikarenakan alat pengukuran praktis di lapangan. Sehingga dengan data ukuran tubuh saja kita bisa
menduga BB ternak. Hasil penelitian diperoleh untuk rata-rata BB hasil penimbangan pad sapi adalah
116,70±16,37 kg, BB pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
pada Sapi Bali oleh Kaswati et al. (2013) yaitu 131,12 ± 25,50 kg penelitian lain oleh Praharani (2007)
didapat 139,5 kg dan penelitian oleh Suranjaya et al (2010) pada jantan 150,78 ± 6,55 kg dan pada
betina 147,42 ± 6,60 kg untuk jenis ternak yang sama.
Hasil penelitian untuk dimensi ukuran tubuh LD diperoleh rata-rata 115,87±9,04 cm, sedangkan
pada penelitian yang lain pada jenis ternak yang sama oleh Zurahmah dan Enos (2011) didapat 138,84
cm untuk umur 1,5 - 2 tahun dan untuk SNI pada Sapi Bali umur 1.5 – 2 tahun kelas I adalah 155 cm ,
kelas II adalah 147 cm dan kelas III adalah 142 cm pada ternak jantan sedangkan untuk ternak betina
kelas I adalah 139 cm , kelas II adalah 130 cm dan kelas III adalah 124 cm. Dimensi ukuran tubuh
untuk PB pada penelitian ini diperoleh rata-rata 90,45±7,52 cm, untuk hasil PB pada penelitian yang
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
132
dilakukan oleh Zurahmah dan Enos (2011) pada jenis ternak yang sama untuk umur 1,5 - 2 tahun
didapat 100,23 cm dan untuk SNI pada Sapi Bali umur 1.5 – 2 tahun kelas I adalah 125 cm , kelas II
adalah 120 cm dan kelas III adalah 119 cm pada ternak jantan sedangkan untuk ternak betina kelas I
adalah 112 cm , kelas II adalah 105 cm dan kelas III adalah 101 cm. Hasil penelitian untuk dimensi
ukuran tubuh LD dan PB masih dibawah nilai minimum dari SNI dan juga penelitian oleh Zurahmah
dan Enos (2011) karna ternak yang digunakan masih berumur satu tahun.
Tabel 1. BB dan nilai akurasi rumus pendugaan
Rumus Pendugaan BB Aktual (kg) BB Prediksi (kg) Akurasi
Schoorl 116,70±16,37 190,90±24,67 0,55
Smith 116,70±16,37 180,00±23,94 0,55
Winter 116,70±16,37 109,1±21,9 0,65
Simpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan penggunaan rumus Schoorl, Smith dan
Winter kurang akurat terhadap berat badan sapi Bali umur 1 tahun. Sapi Bali merupakan sapi
berukuran kecil sehingga tidak cocok diduga menggunakan rumus untuk sapi ukuran besar.
Daftar Pustaka
Akbar, M. 2008. Pendugaan bobot badan sapi persilangan Limousin berdasarkan panjang badan dan lingkar
dada. Skripsi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.
Badriyah, N. 2014 Kesesuaian Rumus Schoorl Terhadap Bobot Badan 2 99–158
Clufran. 1976. Korelasi antara berat hidup dengan lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba sapi Bali
kualitas ekspor asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Skripsi, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta.
Francis, S. Sibanda, and T. Kristensen. 2002. Estimating body weight of cattle using linear body measurements.
Zimbabwe Veteriner Journal.
Guntoro, Suprio. 2012. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Maskyadji, A.S.Z.Z. 1997. Pertumbuhan dan penentuan output sapi Madura dari Pulau Madura. Tesis, Fakultas
Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saleh, A.R. 1982. Korelasi antara bobot badan dengan lingkar dada, lebar dada, tinggi pundak, panjang badan
dan dalam dada sapi Ongole di Pulau Sumba. Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor
Santosa, U. 2008. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional. Penebar Swadaya. Jakarta. 179 halaman
Sumadi, W. Hardjosubroto, N. Ngadiyono, dan S. Prihadi. 2001. Potensi sapi potong di Kabupaten Sleman:
analisis dari segi pemuliaan dan produksi daging. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Zurahmah, N., & The, E. (2011). Pendugaan bobot badan calon pejantan sapi bali menggunakan dimensi ukuran
tubuh, 35(3), 160–164.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
133
Makalah 025
Studi Karakteristik Fenotip Empat Galur Puyuh Lokal Di Eks Karisedenan Surakarta
Abubakar BAA Assegaf, Ratih Dewanti, Muhammad Cahyadi, Nuzul Widyas1
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta 1Corresponding author email: [email protected]
Abstrak
Puyuh (Coturnic coturnic japonica) potensial sebagai komoditas penghasil telur dan daging
serta sebagai hewan eksperimen. Di eks-karesidenan Surakarta, puyuh petelur komersial berasal dari
persilangan dua jenis puyuh yaitu puyuh coklat jantan dan puyuh hitam betina. Tujuan persilangan
adalah autosexing dengan memanfaatkan fenomena criss-cross inheritance. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari karakteristik fenotip dari masing-masing galur puyuh hitam dan coklat dari dua
breeding center (VBC) yang berbeda.
Delapan ratus ekor puyuh betina dari dua VBC dan warna bulu yang berbeda digunakan dalam
penelitian ini. Faktor warna dan VBC dikombinasikan untuk membertuk empat galur artifisial: H1
(puyuh hitam VBC1), C1 (puyuh coklat VBC1), H2 (puyuh hitam VBC2), C2 (puyuh coklat VBC2)
dimana masing-masing galur terdapat 100 individu puyuh. Karakteristik fenotip yang diamati adalah
bobot badan umur 1 minggu, bobot badan umur 10 minggu, berat telur (gram) dan produksi telur (%).
Analisis variansi dan Tukey’s range test dengan level signifikansi 5% digunakan untuk menguji
hipothesis bahwa keempat galur memiliki karakteristik fenotip yang sama.
Hasil analisis menunjukkan galur artificial memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot
badan satu minggu, produksi telur dan berat telur (p<0,05) sedangkan bobot dewasa (10 minggu) antar
galur relatif setara. Secara umum, puyuh coklat memiliki berat tubuh umur satu minggu yang lebih
besar daripada puyuh hitam. Puyuh coklat juga memiliki bobot telur yang lebih besar dari pada puyuh
hitam. Produksi telur dari VBC 2 lebih tinggi daripada puyuh dari VBC1.
Kata kunci: puyuh hitam, puyuh colkat, petelur, galur murni, fenotip
Pendahuluan
Puyuh merupakan suatu komoditas ternak yang digemari di Indonesia yang memanfaatkan
produksi telurnya untuk dikonsumsi, selain memiliki produksi yang baik, telur puyuh relatif murah,
yang dapat dijangkau oleh berbagai kalangan. Keuntungan lain untuk burung puyuh adalah mulai
berproduksi dalam waktu singkat, memerlukan modal yang relatif tidak terlalu besar, mudah dan dapat
dipertahankan pada lahan yang terbatas serta dapat diintegrasikan dengan ternak lainnya (Wheindrata,
2014).
Banyak puyuh yang tersebar di seluruh Indonesia adalah puyuh-puyuh hasil persilangan antar
keturunannya informasi tersebut didapatkan dari hasil observasi pra penelitian dan wawancara dengan
para peternak. Menurut Golden et al. (2002) para peternak di lapangan sampai saat ini belum ada
breeding farm atau perusahaan khusus pembibitan puyuh kemersial sebagaimana halnya ternak ayam.
Untuk mengatasi kelangkaan bibit para peternak melakukan penetasan telur milik sendiri. Namun
upaya tersebut tidak diiringi dengan suatu program yang terencana dan terarah dengan baik.
Puyuh yang terdapat di eks-Karesidenan Surakarta terdiri dari dua galur yang dianggap murni,
yaitu puyuh galur warna hitam dan galur puyuh warna coklat. Karakteristik perbedaan warna bulu ini
sangat mudah dibedakan, sehingga perkawinan silang dilakukan untuk membentuk galur komersil.
Persilangan puyuh warna coklat dan hitam ini bertujuan selain untuk menghindari inbreeding juga
untuk mempermudah melakukan sexing sedini mungkin, karena dengan persilangan ini akan
menampilkan fenomena criss – cross inheritance sehingga sexing dapat dilakukan pada hari pertama
telur menetas.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
134
Berdasarkan hasil wawancara dengan para peternak puyuh pada saat pra penelitian didapatkan
informasi bahwa sampai saat ini belum terdapat standar yang jelas untuk puyuh dengan galur warna
hitam dan coklat. Berdasarkan informasi tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahaui fenotip
dan karakteristik puyuh hitam dan coklat. Selain itu dilakukan pengecekan terhadap variasi, fenotip,
puyuh hitam dan coklat melalui kluster tiap tiap galurnya.
Materi dan Metode
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2017. Pengambilan data
dilaksanakan di Kandang Experimental Farm Program Studi Peternakan, Kelurahan Jatikuwung,
Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 ekor puyuh betina umur 1 minggu
dengan 4 galur yang berbeda. Definisi galur dalam penelitian ini adalah kombinasi antara 2 bangsa
puyuh (hitam dan cokelat) yang berasal dari dua Village Breeding Center (VBC) yang berbeda.
Analisis data menggunakan uji anova dengan rancangan acak lengkap dengan galur sebagai
factor sebanyak 4 level. Uji lanjut pada penelitian ini menggunakan Tukey’s range test dengan alpha
5%.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Nilai Fenotiptik Puyuh dari Empat line yang Berbeda pada Kandang Koloni
Variabel H1 C1 H2 C2 P value
Bobot Badan Minggu 1 23.322 22.226 34.385 32.289 < 0,01
Bobot Badan Minggu 10 167.749 164.234 168.071 171.324 0.3892
Berat Telur 9.094 10.667 9.300 10.857 < 0,01
Produksi Telur (%) 65.256 68.209 72.244 72.343 < 0,01
Bobot Badan 1 Minggu
Rataan bobot badan pada umur 1 minggu penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel
1. dapat dilihat bobot badan pada umur 1 minggu pengamatan yang tertinggi adalah pada line H2
dengan nilai 34.385 g dan terendah pada line C1 dengan nilai 22.226 g. Hasil penelitian ini lebih tinggi
dibandingkan dengan hasil penelitian Bakrie et al (2011) yang menunjukan bobot badan umur 1
minggu 18.80 g. selain itu hasil penelitian Fauzi et al (2016) menunjukan bobot badan puyuh betina
umur 1 minggu 19,29 g.
Hasil penelitian menunjukan hasil yang berbeda pada vbf 1 dan vbf 2. Warna bulu coklat dan
hitam dari vilage breeding center 1 menunjukan hasil yang lebih tinggi dari pada vilage breeding farm
2. Hal tersebut mungkin terjadi disebababkan oleh perbedaan manajemen baik dalam hal pakan,
kandang atau perbedaan lingkungan. Selain itu perbedaan itu terjadi disebabkan oleh perbedaan
potensi genetik yang meliputi lama seleksi, proses seleksi atau kriteria seleksi.
Bobot Badan 10 Minggu
Rataan bobot badan pada umur 10 minggu penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan
tabel 1. dapat dilihat bobot badan pada umur 10 minggu pengamatan yang tertinggi adalah pada line
C2 dengan nilai 171.324g dan terendah pada line C1 dengan nilai 164.234 g. Hal ini tidak sesuai
dengan Shanaway (1994) yang menyatakan bobot badan dewasa puyuh betina sekitar 120 – 160 g. Hal
ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian Yassin et al (2017) yang menunjukan bobot badan puyuh
umur 10 mingu dengan warna bulu coklat 210.48 g dan hitam 208.71 g.
Hasil penelitian menunjukan hasil yang tidak berbeda pada empat line puyuh.. Hal tersebut
terjadi karena pertumbuhannya sudah stabil. Puyuh dewasa tubuh pada saat umur 6 minggu (Rendall
et al , 2008) sehingga pada umur 10 minggu pertumbuhan tidak difokuskan pada pertambahan bobot
badan melainkan beralih pada bobot telur dan produksi telur. Hal ini menolak pernyataan bahwa
terdapat perbedaan potensi genetik yang terdapat pada asumsi bobot badan 1 minggu.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
135
Bobot Telur
Rataan bobot telur penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bobot
telur pengamatan yang tertinggi adalah pada line C2 dengan nilai 10.857 dan terendah pada line H1
dengan nilai 9.094 g. Hal ini sesuai dengan Yuwanta (2010) yang menyatakan bahwa bobot telur
puyuh berkisar antara 8–10 g.
Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Islam et al (2014) dan Faruque (2013) yang
menyatakan bahwa bobot telur puyuh warna coklat lebih tinggi dibandingkan dengan bobot telur
puyuh warna hitam. Hal ini diduga karena puyuh dengan warna bulu coklat memiliki genetis yang
lebih baik dibandingkan pada puyuh hitam. Hal ini memungkinkan terdapat perbedaan potensi genetik
antara dua warna bulu pada puyuh.
Produksi Telur
Rataan produksi telur penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat
produksi telur pengamatan yang tertinggi adalah pada line C2 dengan nilai 72.343 % dan terendah
pada line H1 dengan nilai 65.256 %. Data yang diambil pada variabel produksi telur berasal dari
perhitungan jumlah telur dalam sehari dibagi jumlah puyuh dikali 100%. Data yang diambil pada
produksi hari ke 45 sampai 51. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Wuryadi (2011) bahwa Rata-
rata produksi telur dalam satu populasi berkisar 78–85%.
Hasil penelitian menunjukan hasil yang berbeda pada vbf 1 dan vbf 2. Warna bulu coklat dan
hitam dari vilage breeding center 2 menunjukan produksi telur yang lebih tinggi dari pada vilage
breeding center 1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan potensi genetik antara vbc
1 dan vbc 2. Selain itu produksi telur puyuh berwarna bulu coklat memiliki produksi telur yang lebih
tinggi dari pada puyuh berwarna hitam. Hal ini mengidentifikasikan bahwa benar terdapat perbedaan
genetik dari puyuh warna bulu coklat dan hitam.
Simpulan
Pada variabel bobot badan 1 minggu vbc 2 memiliki bobot badan yang lebih tinggi akan tetapi
pada bobot badan 10 minggu niilainya tidak berbeda nyata. Pada variabel bobot telur dan produksi
telur puyuh warna bulu coklat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan warna bulu hitam baik
pada vbc 1 dan vbc 2.
Daftar Pustaka
Bakrie, B., Manshur, E. dan Sukadana, I.M. 2011. Pemberian Berbagai Level Tepung Cangkang Udang Ke
Dalam Ransum Anak Puyuh Dalam Masa Pertumbuhan (Umur 1-6 Minggu). Universitas Respati
Indonesia. Jakarta.
Faruque, S., H. Khatun, M. S. Islam and M. N. Islam. 2013. Conservation and improvement of quail.
Proceedings of the Annual Research Review Workshop-2013, BLRI, Savar, Dhaka, Bangladesh. pp. 37-
38.
Fauzi, M. F., Anang, A. dan Sujana, E. 2016. Kurva pertumbuhan puyuh (cortunix cortunix japonica) Betina
umur 0-6 Minggu galur warna coklat generasi 3. Universitas Padjajaran. Bandung.
Golden, B.L., Bourdon, R.M. and Snelling, W.M. 2002. Additive Genetic Groups For Animals Evaluated In
More Than One Breed Association National Cattle Evaluation. J. Poultry science Department of Animal
Sciences, Colorado State University. Fort Collins 80523.
Islam, M.S., Faruque, S., Khatun, H. and Islam, M.N. 2014. Effects Of Quail Genotypes On Hatchability Traits,
Body Weight And Egg Production. Poultry Production Research Division, BLRI, Savar, Dhaka-1341,
Bangladesh.
Randall, M and Bolla, G, (2008), Rasising Japanese quail. Primefacts, 602: 1-5.
Shanaway, M. M. 1994. Quail Production System (A Review). Food And Agriculture Organization of the United
Nations. Rome.
Wheindrata. 2014. Panduan Lengkap Beternak Burung Puyuh Petelur. Lily Publisher. Yogyakarta. 2,3,46.
Wuryadi, S. 2011. Beternak dan Bisnis Puyuh. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
136
Yassin, E. A., Mohamed, T. I., Ibrahim, I. H. and Abubakar, S. A. 2017. Comparative growth and production
between black and brown Japanese quail (cortunix japonica) performance under sudan conditions.
Sudan University of Science and Technology. Khartoum North.
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
137
Makalah 026
Upaya Peningkatan Keamanan Pangan pada Susu Kambing melalui Pelatihan Good
Hygienic Practices Kepada Peternak Kambing Perah
Bayu Setya Hertanto, Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, Rendi Fathoni Hadi, Ari Kusuma Wati,
Charisma Dyah Ayu Nurmalasari, Lilik Retna Kartikasari
Laboratorium Industri Pengolahan Hasil Ternak, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret
Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta
Abstrak
Produksi susu kambing merupakan alternatif usaha peternakan yang dapat dikembangkan
untuk mendukung pemenuhan gizi dan sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. Susu mengandung
enzim-enzim yang dapat menguraikan/memecahkan beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang
akhirnya menyebabkan kerusakan pada susu sehingga susu dikategorikan sebagai pangan yang mudah
rusak (perishable food). Dilihat dari mata rantai penyediaan susu kambing segar di wilayah Sragen
umumnya dihasilkan oleh peternak kambing perah dengan skala kecil yang tergabung dalam
kelompok ternak kambing perah yang belum memprioritaskan aspek keamanan pangan, sehingga
tahapan terpenting untuk menjaga mutu dan keamanan susu kambing adalah pengawasan
pemeliharaan kambing perah dan penangan pasca panennya yang berbasis keamanan pangan. Kegiatan
pengabdian ini bertujuan untuk menerapkan prinsip good higyenic practices (GHP) di peternakan
kambing perah agar dihasilkan produk susu yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh
masyarakat. Kegiatan ini dilakukan di Kelompok Ternak Kambing Perah Taruna Mukti dan Kelompok
Wanita Tani Ngudi Rahayu yang berlokasi di Kabupaten Sragen. Pelatihan penerapan konsep
didasarkan pada hasil identifikasi titik-titik kritis pada setiap tahapan produksi susu kambing. Hasil
yang diperoleh dari kegiatan pengabdian ini adalah terdapat beberapa titik-titik kritis pada proses
pemerahan dan pengolahan susu yang menjadi sumber kontaminasi pada susu kambing yang meliputi
aspek higienis pekerja, sanitasi peralatan, dan perlakuan pemanasan susu dengan teknologi
pasteurisasi susu. dan pelatihan penerapan GHP telah dilakukan sesuai dengan observasi titik-titik
kritis pada setiap tahapan proses produksi susu kambing serta terjadi penurunan angka bakteri pada
susu.
Pendahuluan
Produksi susu kambing merupakan alternatif usaha peternakan yang dapat dikembangkan
untuk mendukung pemenuhan gizi dan sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. Susu sebagai salah
satu pangan asal hewan yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, namun sangat
baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Susu mengandung enzim-enzim yang dapat
menguraikan/memecahkan beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan
kerusakan pada susu sehingga susu dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable
food). Selain itu, beberapa penyakit dapat ditularkan melalui susu (milk-borne disease). Oleh karena
itu, susu yang digunakan sebagai sumber nutrisi bagi manusia perlu diproteksi dari kontaminasi atau
kerusakan yang dimulai dari produksi susu sampai susu siap dikonsumsi yang dikenal sebagai konsep
safe from farm to table concepts (Giovanni, 1998).
Dilihat dari mata rantai penyediaan susu kambing segar di wilayah Sragen umumnya
dihasilkan oleh peternak kambing perah dengan skala kecil yang tergabung dalam kelompok ternak
kambing perah yang belum memprioritaskan aspek keamanan pangan, sehingga tahapan terpenting
untuk menjaga mutu dan keamanan susu kambing adalah pengawasan pemeliharaan kambing perah
dan penangan pasca panennya yang berbasis keamanan pangan. Menurut CAC (2004), pemeliharaan
kambing perah meliputi pemantauan kesehatan kambing yang akan diperah, sanitasi kandang,
kebersihan ternak, pakan, dan air, pemerahan yang higienis, kebersihan individu dan kesejahteraan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
138
hewan, sedangkan penanganan pasca panen meliputi kebersihan peralatan penampungan susu,
kebersihan individu, dan proses pasteurisasi susu yang tepat. Proses pemeliharaan tersebut sangat
rentang terhadap kotaminasi fisik, kimia, dan mikroorganisme terhadap susu, terutama pada tahap
pemerahan dan penanganan susu segar. Penanganan kambing dan susu di peternakan yang kurang baik
dan tidak higienis akan berdampak terhadap mutu dan keamanan susu yang dihasilkan. Oleh sebab itu,
penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di peternakan kambing sangat
penting. Penerapan Good Hygienic Practices (GHP) adalah suatu tindakan atau praktek yang
dilakukan yang berkaitan dengan persyaratan untuk memberikan jaminan terhadap keamanan
makanan (food safety) yang diproses dalam setiap tahapan produksi (CAC, 2003).
Penerapan GHP pada pemeliharaan ternak kambing meliputi aspek kesehatan ternak,
pemerahan yang higienis, kebersihan pakan, air, dan peralatan, serta higienis personal, dan aspek
penanganan pasca panen meliputi penggunaan peralatan yang higienis, dan teknik pasteurisasi susu.
Adanya penerapan tindakan atau praktek yang berbasis pada keamanan pangan pada pemeliharaan
kambing perah dan pengolahan pasca panen susu kambing merupakan langkah yang tepat untuk
menghasilkan susu yang berkualitas dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Kegiatan pengabdian ini
bertujuan untuk menerapkan prinsip GHP peternakan kambing perah agar dihasilkan produk susu yang
bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Materi dan Metode
Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan identifikasi titik-titik kritis pada setiap tahapan
produksi susu kambing yang hasilnya indentifikasinya akan digunakan sebagai dasar menerapkan
Good Hygienic Practices (GHP) kepada para peternak di Kelompok Ternak Kambing Perah Taruna
Mukti dan Kelompok Wanita Tani Ngudi Rahayu yang berlokasi di Kabupaten Sragen.
Kegiatan identifikasi titik-titik kritis pada usaha produksi susu kambing mengacu pada
CAC/RCP 57-2004 yang mencakup pematauan kesehatan ternak, kebersihan area pemeliharaan dan
pemerahan kambing perah, pencegahan kontaminasi pada pakan dan air, kebersihan peralatan
perkandangan dan pemerahan, serta higienis personal, dan aspek penanganan pasca panen meliputi
penggunaan peralatan yang higienis, dan higienisasi individu. Penerapan GHP di kelompok ternak
kambing perah merupakan salah satu sistem penjaminan mutu dan keamanan pada susu segar (Gambar
1). Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah memberikan penyuluhan tentang aspek keamanan
pangan pada produksi susu kambing dan pelatihan penerapan prinsip GHP pada setiap tahapan
produksi yang masuk dalam kategori titik kritis produksi.
Hasil dan Pembahasan
Kegiatan pengabdian yang telah dilakukan di Kelompok Ternak Kambing Perah Taruna Mukti
dan Kelompok Wanita Tani Ngudi Rahayu yang berlokasi di Kabupaten Sragen adalah memberikan
pengetahuan tentang aspek – aspek good hygienic practice pada susu yang meliputi aspek keberihan
individu/peternak, kandang, ternak, pakan pemerahan, dan peralatan, dan penaganan susu. Kegiatan
ini dilakukan agar peternak memahami aktivitas produksi susu yang higienis sehingga penerapan
prinsip GHP dapat berjalan dengan baik. Kegiatan berikutnya adalah melakukan pelatihan penerapan
prinsip GHP yang didasarkan pada hasil identifikasi titik-titik kritis pada usaha produksi susu
kambing. Hasil identifikasi titik-titik kritis menemukan beberapa aktivitas peternak yang dapat
menjadi sumber kontaminasi pada susu kambing meliputi kegiatan proses pemerahan dan penanganan
susu yang meliputi aspek higienis pekerja, sanitasi peralatan, dan perlakuan pemanasan susu dengan
teknologi pasteurisasi susu.
Penerapan higienis individu
Pelatihan penerapan higienis individu pada penanganan susu yang terdiri dari kebersihan
tubuh terutama tangan dan perlengkapan higienis meliputi penutup kepala, sarung tangan, dan cairan
antiseptik. Kegiatan ini dimaksudkan agar peternak dapat memahami cara mencegah kontaminasi yang
bersumber dari individu/ peternak itu sendiri. Penggunaan penutup kepala bertujuan untuk mencegah
masuknya rambut atau kotoran dari kepala yang dapat menjadi sumber kontaminasi fisik dan
mikrobiologi pada susu. Kemudian penggunaan sarung tangan bertujuan untuk mencegah kontak
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
139
langsung antara tangan dengan susu yang dikarenakan tangan yang tidak bersih menjadi sumber
kuman bagi susu. Selain itu, penggunaan cairan antiseptik pada tangan ditujukan untuk membiasakan
peternak untuk selalu cuci tangan sebelum melakukan aktivitas penangan susu dikarenakan seringnya
tangan berkontak langsung dengan peralatan untuk penanganan susu. Kurwijila (1998) menyatakan
semua orang yang terlibat dalam kegiatan menghasilkan susu harus menjaga kebersihan dan harus
sehat. Organisme dapat berada di tangan, pakaian, hidung, dan mulut dan dari bersin dan batuk
sehingga produsen susu harus memiliki kesehatan yang baik sehingga mereka tidak menjadi sumber
penyakit menular seperti tuberkulosis.
Penerapan sanitasi peralatan
Pelatihan selanjutnya adalah sanitasi peralatan baik pada saat pemerahan maupun penanganan
susu. Penggunaan alat yang tidak mengkontaminasi susu sebagai bagian dari upaya untuk menghasil
susu yang baik. Peternak diberikan contoh peralatan yang tidak mengkontaminasi susu yang
digunakan dalam proses pemerahan dan penaganan susu. Peralatan yang digunakan harus terbuat dari
bahan bahan yang tidak mudah berkarat (stainless steel). Sesuai dengan pendapat Pandey dan Voskuil
(2011) bahwa peralatan yang digunakan selama pemerahan dan penaganan susu harus terbuat dari
bahan yang tidak tahan karat dan tahan korosi. Permukaan harus halus, memiliki sambungan minimal
atau lapisan terbuka dan harus bebas dari bekas benturan.
Kegiatan sanitasi peralatan di kelompok ternak juga melatih peternak untuk menggunakan
peralatan yang bersih dan higienis dengan cara setiap sebelum dan sesudah pemakaian peralatan harus
dibersihkan dengan menggunakan bahan desinfektan dan disimpan di tempat yang bersih agar
kontaminasi mikroorganisme pada susu dapat dihindari. Pauline dan Karin (2006) menyatakan
pembersihan menyeluruh terhadap peralatan susu sangat penting karena kurangnya kebersihan dapat
mencemari susu dengan bakteri jenis lain yang mengubahnya menjadi asam dan mengurangi masa
penyimpanannya. Vissers dan Driehuis (2008) menyebutkan kontaminasi susu dapat terjadi melalui
peralatan pemerahan ketika mikroorganisme berada pada permukaan peralatan pemerah susu dan susu
yang tersisa pada peralatan setelah siklus pembersihan. Selain itu, Lore et al. (2006) menambahkan
penggunaan agen pembersih dan sanitasi perlu dipertimbangkan untuk membersihkan dan
mendesinfeksi peralatan penanganan susu.
Pasteurisasi susu
Pelatihan yang terakhir adalah penaganan susu dengan cara pasteurisasi yang dilakukan
dengan memanaskan susu pada suhu 630C selama 30 menit. Teknik pemanasan tersebut dengan
dilakukan dengan memberikan pemanasan secara tidak langsung pada susu kambing. Teknik
pemanasan dan pendinginan dapat memperpanjang lama simpan susu kambing. Pauline dan Karin
(2006) menyebutkan dalam kondisi tropis, susu non-pasteurisasi dapat bertahan dalam beberapa jam
sehingga harus tetap dingin dan cepat dipasteurisasi dan kembali didinginkan ke suhu 4°C sehingga
dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Alehegne (2004) menambahkan susu murni dan pasteurisasi
dapat disimpan pada suhu pendinginan masing-masing selama 2 dan 7,5 hari sedangkan pada suhu
kamar masing-masing hanya 0,9 dan 4,3 hari.
Penerapan higienis personal Pasteurisasi susu kambing
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
140
Susu pasturisasi dalam kemasan Penyimpanan susu pasteurisasi pada suhu dingin
Gambar 2. Pelatihan penerapan prinsip GHP berdasarkan identifikasi titik-titik kritis pada usaha
produksi susu kambing
Hasil analisis bakteri pada susu
Hasil analisis Total plate count (TPC) susu sebelum dan sesudah dilakukan penerapan prinsip
GHP berdasarkan identifikasi titik-titik kritis pada usaha produksi susu menunjukan terjadi penurunan
angka kuman sebanyak 50% (dari 7,8x106 CFU/ml menjadi 3,9x106 CFU/ml). Angka tersebut dapat
menggambarkan penerapan prinsip GHP dapat mencegah pertumbuhan bakteri pada susu, namun TPC
yang tersebut belum memenuhi standar SNI susu yaitu 1x106 CFU/ml sehingga penerapan prinsip
GHP harus terus dilakukan agar dapat menghasil susu yang aman untuk dikonsumsi.
Kesimpulan
Kegiatan observasi dan analisis titik-titik kritis dapat membantu mencegah terjadinya
kontaminasi dan penerapan prinsip good hygienic practice di Kelompok Ternak Kambing Perah
Taruna Mukti dan Kelompok Wanita Tani Ngudi Rahayu dapat menghasilkan susu dengan kualitas
mikrobiologi yang lebih baik dibandingkan sebelum dilakukan pelatihan GHP.
Daftar Pustaka
Alehegne, W. 2004. Bacteriological quality of bovine milk in small holder dairy farms in Debrezeit, Ethiopia.
MSC Thesis. the Faculty of Veterinary Medicine, Addis Ababa University.
Auline, E. and Karin, R. 2006. Preparation of dairy products, 6th Edition. Agromisa Foundation and CTA.
Wageningen. The Netherlands.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3141-1998) tentang Susu
Segar. Badan Standar Indonesia. Jakarta.
Codex Allimentarius Commission (CAC). 2003. Recommended International Code of Practice : General
Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003. Codex Alimentarius Commission. Rome.
Codex Allimentarius Commission (CAC). 2004. Code of Hygienic Pracice for Milk and Milk Products.
CAC/RCP 57-2004. Codex Alimentarius Commission. Rome.
Giovanni, A. 1998. Important of Milk Hygiene to Public Health. Report of MZCP workshop on the management
of milk borne zooneses, surveillance and control in the MZCP countries Cepholonia island, Greece
april1-2,1998.
Kurwijila, L.R. 1998. Dairy Processing marketing in Tanzania: Lessons and Future Challenges: Tanzania
Veterinary association Conference, December 1998, Arusha Tanzania.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
141
Lore, T.A., Kurwijila, L.R. and Omore, A. (2006): Hygienic milk production: a training guide for farm-level
workers and milk handlers in Eastern Africa. ILRI (International Livestock Research Institute), Nairobi,
Kenya.
Luning, P.A., Marcelis, W.J., Jongen, W.M.F. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial
Approach. Wageningen Pers. Wageningen.
Vissers, M.M.M. and Driehuis, F. 2008. On-Farm Hygienic Milk Production. BLBK061-Tamime.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
142
Makalah 027
Identifikasi Faktor-Faktor Penghambat Adopsi Teknologi Inseminasi Buatan oleh Peternak
Sapi Potong Rakyat Di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan
Tri Ariyani1, Sutrisno Hadi Purnomo2 Endang Tri Rahayu3
1Alumni Prodi Peternakan Fak Pertanian Universitas Sebelas Maret 2,3Dosen Prodi Peternakan Fak Pertanian Universitas Sebelas Maret
Email correponding authors: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat peternak dalam
mengadopsi teknologi IB. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Februari sampai 25 Maret 2016 di
Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas. Data primer penelitian diperoleh melalui kuisioner
dan data sekunder diperoleh dari BPS Kabupaten Musi Rawas, Dinas Perternkan dan Perikanan
Kabupaten Musi Rawas, dan Data Kecamatan Tugumulyo. Jenis penelitian yaitu penelitian survei
dengan analisis deskriptif eksploratif. Analisis data melalui dua tahapan yaitu analisis Delphi dan
analisis faktor. Penelitian menggunakan 12 faktor penghambat adopsi IB diperoleh melalui informasi
yang didapat dari hasil analisis Delphi melalui kuisioner yang dibagikan kepada narasumber. Hasil
analisis Delphi kemudian dijadikan sebagai acuan kuisioner analisis faktor untuk responden peternak.
Hasil uji asumsi terdapat 12 faktor yang memenuhi syarat untuk ekstraksi lanjut analisis faktor. KMO
= 0,813 (>0,5) Chi-square =66 (>50) nilai tersebut berada dalam kategori layak untuk kepentingan
analisis faktor sehingga variabel-variabel dapat dianalisis lebih lanjut. Ekstraksi menggunakan analisis
faktor, menghasilkan 3 faktor kelompok hambatan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa,
hambatan utama terdiri dari kualitas semen, kondisi resipien, ketersediaan pakan, kepedulian sosial,
dan motivasi. Hambatan Sosial Ekonomi terdiri dari umur dan latar belakang peternak, sosialisasi IB,
sistem pemeliharaan, faktor ekonomi, dan biaya IB. Hambatan Teknis terdiri dari deteksi berahi dan
keterampilan inseminator.
Kata kunci : Faktor Penghambat, Adopsi, Inseminasi Buatan, Sapi Potong,
Pendahuluan
Sebagian besar peternakan di Indonesia masih tergolong peternakan tradisional. Peternakan
tradisional umumnya masih menggunakan teknologi sederhana dalam menjalankan usaha peternakan.
Pola berfikir masyarakat yang cenderung masih sederhana, terkadang menghambat dalam mengadopsi
teknologi terbaru. Masyarakat dengan pola berfikir yang sederhana memiliki anggapan bahwa dengan
kemampuan dan teknologi yang digunakan saat ini sudah dapat memberikan kecukupan dalam
berternak sapi potong, sehingga cenderung tidak ingin mengubah teknologi atau cara dan kebiasaan
dalam menjalankan usaha dibidang peternakan.
Teknologi Inseminasi Buatan merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan dalam
usaha meningkatkan produktivitas ternak. Pelaksanaan kegiatan Inseminasi Buatan (IB) merupakan
salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna. Sugeng (2001), memberikan pendapat bahwa IB
merupakan salah satu teknologi dalam reproduksi ternak yang memiliki manfaat dalam mempercepat
mutu genetik ternak, mencegah penyebaran penyakit reproduksi yang ditularkan melalui perkawinan
alami, meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul, serta menurunkan atau menghilangkan
biaya investasi pengadaan dan pemeliharaan ternak pejantan. Teknologi IB cenderung mudah untuk
digunakan peternak guna menunjang usaha peternakan.
Adopsi dalam penyuluhan pertanian dan peternakan pada hakekatnya diartikan sebagai proses
penerima teknologi/perubahan perilaku yang baik berupa pengetahuan (Cognitive), sikap (affective),
maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang diberikan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
143
penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Adopsi dalam pembahasan ini adalah menerima hal baru
yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain atau penyuluh (Mardikanto, 2009).
Musi Rawas merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Selatan. Musi
Rawas memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan peternakan. Lahan yang tersedia untuk
mengembangkan usaha peternakan masih sangat luas. Populasi sapi potong di Kabupaten Musi Rawas
pada tahun 2014 adalah sebanyak 22.083 ekor sapi (Dinas Peternakan dan Perikanan Musi Rawas,
2014). Peternakan sapi potong di Kabupaten Musi Rawas khususnya di Kecamatan Tugumulyo masih
cenderung bersifat tradisional. Peternak umumnya memiliki sapi potong 2 ekor sehingga digunakan
sebagai pekerjaan sambilan. Sistem pemeliharaan masih menggunakan sistem tradisonal,ternak
digembalakan pada area terbatas, dan kekurangan pakan diberikan di kandang. Penggunaan IB masih
tergolong rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat adopsi IB. Penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya menyebutkan beberapa hambatan adopsi IB oleh peternak sapi potong
yaitu kualitas semen yang rendah, kondisi resipien yang tidak baik, deteksi berahi yang tidak tepat
(Aerens, et al., 2013). Menurut Herawati et al., (2012), keterampilan inseminator, umur dan latar
belakang peternak dapat menghambat adopsi teknologi IB. Hambatan lainnya yaitu sosialisasi
teknologi IB masih kurang (Efendy, 2006). Menurut Sariubang (2006) ketersediaan pakan yang
kurang juga dapat menghambat adopsi teknologi IB dan menurut Hernowo (2006) sistem
pemeliharaan yang belum intensif juga dapat menghambat adopsi IB.Berdasarkan pertimbangan diatas
penulis ingin mengetahui hambatan adopsi IB oleh peternak sapi potong rakyat di Kecamatan
Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan tanggal 25 Februari – 25 Maret 2016 di Kecamatan Tugumulyo
Kabupaten Musi Rawas. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan beberapa
pertimbangan yaitu Kecamatan Tugumulyo merupakan Kecamatan dengan populasi ternak sapi
potong terbanyak urutan kedua di Kabupaten Musi Rawas. Pengambilan sampel metode Delphi
dilakukan secara purposive sampling (sengaja) dengan pertimbangan responden mengetahui kondisi
peternakan dan permasalahan IB di Kabupaten Musi Rawas. Metode analisis faktor dilakukan dengan
cara purposive sampling dengan kriteria peternak memiliki minimal satu ekor sapi betina, memiliki
pengalaman beternak minimal dua tahun dan telah menggunakan IB.Jenis penelitian eksploratif
dengan data primer dan sekunder baik kuantitatif maupun kualitatif. Data primer diperoleh melalui
wawancara dan pengisian kuisioner. Penelitian menggunakan 10 responden untuk analisis Delphi yang
bertujuan untuk mengetahui variabel yang akan digunakan untuk analisis faktor. Responden yang
digunakan untuk analisis Delphi berasal dari instansi pemerintah dalam bidang peternakan di
Kabupaten Musi Rawas. Analisis faktor menggunakan 60 responden berasal dari peternak sapi potong
yang mengadopsi IB. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait penelitian yaitu data dari Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Musi Rawas, Kecamatan Tugumulyo, dan BPS Kabupaten Musi
Rawas.
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif dengan menggunakan
metode Delphi.Tahapan dalam metode Delphi adalah sebagai berikut (Linston dan Turoff, 2002) :
1. Spesifikasi isu,
2. Menyeleksi narasumber
3. Membuat kuisioner,
Penelitian menggunakan metode Delphidilakukan satu kali pemberian kuisioner kepada
narasumber yang kemudian akan langsung dilakukan perataan dan penentuan variabel untuk analisis
faktor.
Analisis faktor merupakan salah satu teknik statistic multivariate. Tujuannya adalah untuk
mengelompokkan data menjadi beberapa kelompok sesuai dengan korelasi antar variabel.Menurut
Kerlinger (1990), maksud dan kegunaan dasar analisis faktor ada dua yaitu; a) mengeksplorasi
wilayah-wilayah variabel guna mengetahui dan menunjukkan faktor-faktor yang diduga melandasi
variabel-variabel itu, b) menguji hipotesis tentang relasi-relasi antar variabel.
Langkah-langkah dalam analisis faktor menurut Santoso (2015), yaitu
1. Membuat matriks korelasi antar masing-masing subfaktor, selanjutnya dilakukan pengujian
Measure of Sampling Adequacy (MSA) dengan Kaiser Meyer Olkin (KMO)
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
144
2. Menentukan faktor atau ekstraksi faktor dengan menggunakan Principle Component Analysis
(PCA) karena dapat mengambil atau menyedot variance sebanyak-banyaknya
3. Untuk menghentikan ekstraksi faktor menggunakan tolak ukur eigen value diatas 1.
4. Melakukan rotasi dari faktor yang telah terbentuk.
Tabel 1. Variabel dan Indikator Penelitian
No Variabel Indikator
1 Kualitas semen Kualitas semen yang digunakan dalam IB pada sapi
potong dipengaruhi oleh penyimpanan dalam
bentuk cair dan beku
2 Kondisi resipien Kondisis sapi potong yang akan di IB sehat, tidak
memiliki penyakit, dan riwayat reproduksi yang
baik
3 Deteksi berahi Peternak dapat mendeteksi berahi sapi potong
dengan tepat
4 Keterampilan Inseminator Keakuratan inseminator dalam melakukan IB pada
sapi potong
5 Umur dan Latar Belakang Umur peternak dan pengalaman beternak peternak
6 Sosialisasi IB Intensitas peternak dalam menerima sosialisasi
tentang IB pada sapi potong
7 Ketersediaan Pakan Kemampuan peternak dalam menyediakan pakan
untuk konsumsi ternaknya
8 Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan yang dilakukan peternak
dalam memelihara ternak sapi potong, sistem yang
mendukung IB yaitu sistem pemeliharaan secara
intensif
9 Faktor Ekonomi Keuntungan yang diperoleh peternak dalam
mengadopsi IB
10 Kepedulian Sosial Kepedulian peternak terhadap keberadaan teknologi
IB yang ada dilingkungan sekitarnya
11 Motivasi Dukungan yang diperoleh peternak dari dalam diri
dan lingkungan untuk mengadopsi teknologi IB
12 Biaya Pelaksanaan IB Estimasi biaya yang dikeluarkan peternak untuk
mengadopsi teknologi IB
Sumber : Siahaan (2012). Aerenset al., (2013). Herawatiet al., (2012). Efendy (2006). Sariubang
(2006). Hernowo (2006). Mzoughi (2010).
Hasil dan Pembahasan
Sapi potong merupakan komoditas peternakan dengan jumlah cukup besar yang terdapat di
Kecamatan Tugumulyo yaitu sebanyak 3.513 ekor. Potensi pengembangan sapi potong di Kecamatan
Tugumulyo sangat besar, dapat dilihat dari jumlah sapi potong yang dipelihara. Potensi pengembangan
sapi potong di Kecamatan Tugumulyo didukung oleh lahan yang belum diolah masih cukup luas.
Iklim tropis basah yang terdapat pada Kecamatan Tugumulyo dapat mendukung dalam penyediaan
pakan hijauan.
Karakteristik Responden
Berdasarkan tabel 2 klasifikasi responden berdasarkan tingkat umur menunjukkan bahwa 90%
responden tergolong usia produktif yang memiliki kisaran usia antara 15-64 tahun, sedangakan
terdapat 10% responden berada pada usia tidak produktif dengan kisaran usia ≥65 tahun. Peternak
mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 70% dan perempuan 30%. Usaha peternakan
sapi potong membutuhkan tenaga yang lebih besar dan umumnya dilakukan kaum laki-laki karena
lebih kuat bekerja daripada perempuan, namun tidak menutup kemungkinan bagi kaum perempuan
untuk mampu melakukannya pula. Umur produktif akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
145
seperti tenaga yang masih prima, mampu menerima perkembangan teknologi dan inovatif (Hasan,
2000).
Tabel 2. Karakteristik responden
Karakteristik Jumlah (orang) Presentase (%)
Umur
15-54 Tahun
>65 Tahun
54
6
90
10
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
42
18
70
30
Pendidikan
SD
SMP
SMA
Sarjana
32
13
13
2
53,3
21,3
21,3
3,3
Kepemilikan Ternak
1-3
4-5
>6
46
12
2
77
20
3
Sumber: Data primer terolah, 2016.
Berdasarkan tingkat pendidikan diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan responden mayoritas
pada tingkat SD yaitu dengan jumlah 32 orang (53,3%) dan yang terendah adalah tingkat Sarjana yaitu
2 orang (3,3%). Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan peternak sapi potong masih
sangat rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap pola berpikir dalam melakukan pengambilan
keputusan pembiayaan terhadap usahanya.
Kepemilikian ternak pada peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo menunjukan bahwa
kepemilikan ternak tertinggi pada 1-3 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 46 orang dengan
presentase 77%. Jika dilihat dari jumlah ternak pada masing-masing peternak dapat digolongkan
dalam peternakan rakyat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah et al., (2007) bahwa golongan usaha
peternakan yang dengan jumlah ternak skala kecil disebut juga sebagai peternakan rakyat.
Penelitian dimulai dengan pembagian kuisioner kepada kalangan ahli yang mengerti
permasalahan mengenai adopsi IB di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas. Kalangan ahli
dalam penelitian ini yaitu Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Musi Rawas beserta
staf, penyuluh peternakan, dan inseminator. Tujuan dari pembagian kuisioner dengan metode Delphi
yaitu peneliti mendapatkan informasi mengenai apa saja hambatan IB yang kemudian informasi yang
diperoleh dapat digunakan sebagai variabel penelitian untuk responden, dalam hal ini yaitu peternak.
Penilaian dilakukan dengan kuisioner dengan skala Likert tingkatan nilai diukur dari gradasi
sangat positif sangat negatif berupa : Nilai 5 (sangat setuju), nilai 4 (setuju), nilai 3 (ragu-ragu), nilai 2
(tidak setuju), dan nilai 1 (sangat tidak setuju).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
146
Tabel 3. Hasil Jawaban Pertanyaan Responden Delphi
Variabel Responden
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
X1 2 1 1 2 3 1 1 1 3 1
X2 3 1 1 2 2 1 1 1 2 2
X3 4 2 2 3 2 3 2 2 2 1
X4 3 1 1 3 2 1 1 1 4 1
X5 4 1 1 3 3 1 1 3 2 2
X6 2 1 1 2 3 1 1 1 4 2
X7 4 3 3 4 4 3 3 1 4 2
X8 4 4 3 5 4 5 4 3 2 1
X9 4 1 1 4 1 1` 1 1 2 1
X10 4 2 2 3 4 3 2 1 2 1
X11 3 2 2 2 1 1 1 1 2 1
X12 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2
Sumber : Data primer terolah, 2016
Analisis faktor digunakan untuk mengelompokkan beberapa variabel yang memiliki kemiripan
untuk dijadikan satu faktor, sehingga dimungkinkan dari beberapa atribut yang memengaruhi satu
komponen variabel dapat diringkas menjadi beberapa faktor utama yang jumlahnya lebih sedikit.
Responden dalam penelitian berjumlah 60 peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo.
Tabel 4. Klasifikasi Jawaban Responden Berdasarkan Tingkatan Skala Penilaian Setiap Variabel.
No Variabel
Jumlah jawaban responden yang
menilai Total
responden 1 2 3 4 5
1. Kualitas semen 17 26 12 5 0 60
2. Kondisi Resepien 19 24 7 3 7 60
3. Deteksi Berahi 1 6 25 28 0 60
4 Keterampilan Inseminator 3 3 30 21 3 60
5. Umur Latar belakang peternak 0 2 11 35 12 60
6. Sosialisasi IB 1 3 6 42 8 60
7. Ketersediaan Pakan 0 26 21 5 8 60
8. Sistem Pemeliharaan 0 3 6 41 10 60
9. Faktor Ekonomi 0 4 11 37 9 60
10. Kepedulian Sosial 1 38 9 6 6 60
11. Motivasi 0 40 12 6 2 60
12. Biaya pelaksanaan 0 3 7 45 5 60
Sumber : Data primer terolah, 2016
Langkah pertama dalam menentukan variabel yang akan di ekstraksi lebih lanjut dapat dilihat
dari nilai besaran KMO MSA, Chi-Square dan Signifikansi. Syarat atau ketentuan besarnya nilai-nilai
tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5.Output Langkah Pertama (Pemilihan Variabel) berdasarkan nilai KMO MSA, Chi-Square dan
Signifikansi
No Output langkah pertama Nilai Perolehan Syarat/Ketentuan
1. KMO MSA 0,813 ≥ 0,5
2. Chi-Square 552,600 ≥ 66
3. Signifikansi 0,000 ≤ 0,05
Sumber : Data primer terolah, 2016
Berdasarkan Bartlett’s Tes of Sphericitydengan Chi-Square 552,600 = (≥66) dan nilai sig =
0,000 (≤ 0,05) menunjukkan bahwa matriks korelasi bukan merupakan matriks identitas sehingga
dapat dilakukan analisis komponen utama. Nilai KMOyang dihasilkan adalah sebesar 0,813 serta p-
value sebesar 0,000 (≤ 0,05), nilai tersebut jatuh dalam kategori “lebih dari cukup” layak untuk
kepentingan analisis faktor. Variabel-variabel dapat dianalisis lebih lanjut (Santoso, 2015).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
147
Tabel 6. Hasil analisis faktor
No Variabel Component
1 2 3
1. Kualitas_semen 0,886
2. Kondisi_resepien 0,905
3. Deteksi_berahi 0,833
4. Keterampilan_inseminator 0,843
5. Umur_latarbelakang 0,590
6. Sosialisasi 0,728
7. Ketersediaan_pakan 0,833
8. Sistem_pemeliharaan 0,922
9. Faktor_ekonomi 0,739
10. Kepedulian_sosial 0,918
11. Motivasi 0,926
12. Biaya_pelaksanaan 0,907
Sumber : Data primer terolah, 2016
Hasil analisis terlihat bahwa setiap variabel berkorelasi kuat dengan salah satu faktor. Loading
factor yang telah dianalisisdapat menjelaskan keragaman variabel awal dengan tepat dan hasilnya
adalah sebagai berikut :
Faktor 1 (Hambatan Utama) yaitu : kualitas semen (X1), kondisi resipien (X2), ketersediaan pakan
(X7), kepedulian sosial (X10), motivasi (X11).
Faktor 2 (Hambatan Sosial dan Ekonomi) yaitu : umur dan latar belakang peternak (X5), sosialisasi
(X6), sistem pemeliharaan (X8), faktor ekonomi (X9), Biaya IB (X12).
Faktor 3 (Hambatan Teknis) yaitu :deteksi berahi (X3), keterampilan inseminator (X4),
Kondisi sapi potong yang dipelihara peternak di Kecamatan Tugumulyo tergolong dalam
keadaan sehat namun tidak memiliki ukuran tubuh yang ideal. Hal ini didukung oleh ketersediaan
pakan yang sesuai dengan kebutuhan sapi potong namun kurang memadai sehingga perlu dilakukan
pembibitan dan pemeliharaan hijauan tanam pakan untuk sapi potong, atau penerapan teknologi pakan
seperti silase atau fermentasi agar pakan yang diberikan dapat menunjang kebutuhan ternak. Peternak
sapi potong di Kecamatan Tugumulyo, mengetahui semen yang digunakan oleh inseminator dalam
melakukan IB berasal dari BIB Lembang, BIB Singosari, dan BIB Palembang menunjukkan tingkat
kepedulian peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo cukup baik, namun peternak memiliki
hambatan atau dorongan dari dalam diri dan masyarakat untuk mengadopsi teknologi tersebut.
Peternak di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas beraggapan bahwa umur dan
pendidikan menghambat mereka dalam mengadopsi teknologi IB pada sapi potong. Peternak yang
mengadopsi teknologi IB mayoritas mereka telah memelihara sapi potong secara intensif. Sebagian
peternak beranggapan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak lebih banyak dibanding tidak
mengadopsi teknologi IB. Biaya yang dikeluarkan peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo
untuk melakukan IB tergolong tinggi berkisar antara Rp 150.000-Rp 200.000. Sosialisasi IB di
Kecamatan Tugumulyo hanya dilakukan dikalangan elit atau tokoh-tokoh masyarakat yang ada tanpa
memperhatikan peternak yang kurang mampu mencari informasi yang baru. Hagmann, et al., (2000)
menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan yang paling efektif yaitu pengungkapan masalah yang
berasal dari keseluruhan kalangan peternak yang secara bersama-sama berkumpul dan mencari solusi
bersama.
Peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo kurang mampu mendeteksi sapi yang sedang
berada pada masa berahi. Sistem pemeliharaan yang masih ekstensif dan semi intensif menyulitkan
peternak dalam deteksi berahi. Ketepatan deteksi berahi memengaruhi berhasil tidaknya IB.
Inseminator yang ada di Kabupaten Musi Rawas berjumlah 20 inseminator. Dari 20 inseminator
tersebut tentu ada yang belum ahli dalam melaksanakan inseminasi, sehingga terjadi beberapa
kegagalan. Kebanyakan inseminator yang belum ahli dan kurang terampil merupakan inseminator
pemula. Keahlian dan keterampilan inseminator dalam akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat,
penanganan (handling) semen beku, pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan
melakukan IB akan menentukan keberhasilan (Herawati et al., 2012).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
148
Simpulan
Hambatan peternak sapi potong rakyat di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas
untuk mengadopsi inseminasi buatan terdiri dari
1. Hambatan Utama yaitu variabel kualitas semen, kondisi resipien, ketersediaan pakan, kepedulian
sosial, dan motivasi
2. Hambatan Sosial Ekonomi yaitu umur dan latar belakang peternak, sosialisasi, sistem
pemeliharaan, faktor ekonomi, dan Biaya IB
3. Hambatan Teknis yaitu deteksi berahi dan keterampilan inseminator.
Daftar Pustaka
Aerens, D.C. Candra, M. N. Ihsan dan N. Isnaini. 2013. Perbedaan Kuantitatif dan Kualitatif Semen Segar pada
Berbagai Bangsa Sapi Potong. Malang.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Musi Rawas. 2014. Hasil Sensus Ternak Kabupaten Musi Rawas.
Musi Rawas
Efendy, J. 2006. Opinion Leader Peranannya dalam Proses Adopsi Teknologi IB Ternak Sapi Madura. Jurnal
prosiding peternakan.
Fadillah, R., A. Polana., S. Alam., & E. Parwanto. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler. Jakarta.Agromedia
Pustaka.
Hagmann, J., E. Chuma, K. Murwira dan Mi. Connolly. 2000. Learning Together Through Participatory
Extension. Germany.Universum Verlagsanstalt.
Hasan, I. 2000. Analisis Produksi Kopi di Desa Mbenti Kecamatan Minyambow Kabupaten Manokwari.
Manokwari.Universitas Cendrawasih Press.
Herawati, T. A. Anggraeni, L. Praharani, D. Utami dan A. Argiris. 2012. Peran Inseminator dalam Keberhasilan
Inseminasi Buatan pada Sapi Perah. Jurnal informatika pertanian, vol. 21 no.2, Desember:81 – 88.
Hernowo, B. 2006. Prospek Pengemangan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Surade Kabupaten
Sukabumi. Bogor: Fakultas peternakan Institut pertanian Bogor.
Kerlinger, F. N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada Press.
Linstone, H., dan M. Turoff. 2002. The Delphi Method Techniques and Application. London : Linstone Inc.
Mardikanto, T. 2009. Membangun Pertanian Modern. Surakarta. UNS Press.
Mzoughi, N. 2010. Farmers adoption of integrated crop protection and organic farming: Do moral and social
concerns matter?. Jurnal INRA, UR 767 Ecodéveloppement, Domaine Saint-Paul, France. ECOLEC-
03919; No of Pages 10.
Santoso, S. 2015. Buku latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta. Gramedia.
Sariubang, M. 2006. Pengkajian teknologi pembibitan sapi potong berbasis pedesaan mendukung swasembada
daging di Sulawesi Selatan. Jurnal SulSel Litbang DepTan.
Siahaan, E. A. 2012. Efektivitas penambahan berbagai konsentrasi β-karoten terhadap motilitas dan daya hidup
spermatozoa sapi bali post thawing. Jurnal Indonesia medicus veterinus 1(2): 239 - 251 ISSN : 2301-
7848.
Sugeng, Y. B. 2001. Pembiakan Ternak Sapi. Jakarta. Gramedia.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
149
Makalah 028
Mengolah Potensi “Emas Hitam” Sebagai Upaya Mengembangkan Sistem Peternakan
Ramah Lingkungan
Ayu Intan Sari dan Endang Tri Rahayu
Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian UNS
Abstrak
Pengolahan emas hitam atau kotoran ternak ini merupakan suatu kegiatan pemberdayaan
masyarakat khususnya bagi petani dan peternak dengan tujuan meningkatkan nilai tambah (value
added) kotoran ternak menjadi sumber energi dan memecahkan masalah pencemaran lingkungan,
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui efisiensi biaya penyediaan energi dan biaya pembelian
pupuk kimia. Program ini sejauh mungkin melibatkan kelompok mitra dalam pelaksanaannya atau
dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA), melalui kegiatan focus group
discussion, penyuluhan, transfer tehnologi tepat guna (instalasi biogas dan pengolahan limbah),
pelatihan dan percontohan. Hasil yang dicapai adalah telah dilaksanakan pembangunan instalasi
biogas ukuran 18m3 untuk menampung feses 15 ekor sapi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber
penerang (2 lampu) dan 1 kompor 2 tungku, perbaikan lantai kandang, perakitan dan pemasangan
instalasi penampung urine, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak mengenai pengolahan
limbah feses menjadi biogas, dan urine menjadi pupuk cair organik melalui penyuluhan dan pelatihan.
Dari hasil aplikasi kegiatan ini diharapkan nilai ekonomi limbah kotoran ternak meningkat. Peternak
akan memperoleh sumber energi berupa biogas yang dapat dimanfaatkan untuk memasak, penerangan,
serta pupuk organik bagi tanaman mereka. Dampak ikutan dari program pemberdayaan masyarakat
ini, usaha peternakan sapi potong dan pertanian tanaman pangan akan ramah lingkungan (environment
friendly) dan berlangsung tanpa limbah (zero waste).
Kata kunci : sapi potong, feses, biogas, pupuk urine
Pendahuluan
Krisis energi yang membuat harga minyak dunia mencapai US $ 70/barel semakin menghimpit
kehidupan masyarakat berbagai lapisan di Indonesia. Kenaikan harga BBM yang dilakukan
pemerintah membuat harga minyak tanah menyamai harga premium. Dalam situasi seperti ini
pencarian, pengembangan, dan penyebaran teknologi energi non BBM yang ramah lingkungan
menjadi penting, terutama ditujukan pada keluarga miskin sebagai golongan yang banyak terkena
dampak kenaikan BBM. Salah satu teknologi energi yang sesuai dengan persyaratan tersebut adalah
teknologi biogas.
Di Indonesia, program pengembangan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970.
Pengembangan tersebut bertujuan untuk memanfaatkan limbah dan biomassa laiannya dalam rangka
mencari sumber energy lain di luar kayu bakar dan minyak tanah. Program tersebut tidak berkembang
meluas di masyarakat, hal ini disebabkan karena masyarakat pada waktu itu masih mampu membeli
minyak tanah dan gas, adanya kebijakan subsidi dari pemerintah, disamping itu sumber energi lain
seperti kayu bakar masih banyak tersedia. Namun saat ini, biogas menjadi salah satu alternatif yang
banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah, khususnya masyarakat
yang bekerja di bidang peternakan. Dengan teknologi yang sangat sederhana ini, kotoran ternak yang
tadinya hanya mencemari lingkungan, dapat diubah menjadi sumber energi terbarukan yang bernilai
ekonomi tinggi.
Banyak kalangan berpendapat peternakan tidak lagi dianggap sub sektor pinggiran melainkan
akan menjadi sektor unggulan dan sektor peternakan juga telah terbukti memiliki ketangguhan dalam
menghadapi situasi krisis. Produksi usaha peternakan, seperti sapi, diibaratkan sebagai penghasil emas
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
150
yang tidak ternilai harganya seperti "emas merah" berupa daging,”emas putih” berupa susu yang kaya
protein bagi tubuh serta “emas hitam”, berupa kotoran yang berguna untuk pupuk dan bahan energi
alternatif biogas untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Kotoran ternak juga dapat menunjang
sektor pertanian yang berkelanjutan dalam bentuk pupuk kandang (pupuk organik) yang memegang
peranan yang sangat penting karena sangat berguna untuk memperbaiki struktur tanah pertanian.
Dengan potensi pakan yang dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar, masyarakat tidak mengalami
kesulitan dalam pengembangan peternakan, seperti peternak sapi potong yang dapat diberi pakan
jerami, bungkil kacang tanah, ubi kayu, bungkil kopi, dan pucuk tebu. Di Karanganyar tepatnya
Kecamatan Tasikmadu juga terdapat pabrik tebu, sehingga limbah tebu yang berupa tetes juga dapat
diberikan sebagai pakan ternak. Dengan demikian Kabupaten Karanganyar sangat fisibel untuk
pengembangan peternakan khususnya sapi potong. Jenis ternak ruminansia besar yang paling banyak
dibudidayakan di Kabupaten Karanganyar adalah sapi potong, sebesar 60.023 ekor dengan rincian
21.827 ekor sapi pejantan dan 38.196 ekor sapi betina.
Usaha pertanian dan peternakan sapi dijadikan tumpuan hidup bagi masyarakat pedesaan.
Masyarakat menjalankan usaha pertanian dan peternakan secara berdampingan yaitu sebagai mata
pencaharian utama dan sampingan, namun disatu sisi usaha pertanian dan peternakan juga
menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan karena manajemen pengelolaan limbah
yang belum optimal. Usaha peternakan sapi potong baik penggemukan maupun pemeliharaan induk
penghasil pedet dapat dipastikan menghasilkan limbah kotoran feses dan urin. Setiap ekor sapi setiap
hari menghasilkan feses segar sebanyak 15-20 kg dan 10-15 liter urin (Sunarto dan Lutojo, 2008).
Pada usaha penggemukan atau feedlot selama 4 bulan diperoleh limbah feses 1.800-2.400 kg feses
segar dan 1.200-1.800 liter urin, sedangkan pada usaha pemeliharaan induk sapi penghasil pedet rata-
rata 12 bulan diperoleh feses segar 5.400 kg dan urin 3.600-5.400 liter urin sapi (Riyanto, dkk., 2009).
Kotoran ternak menyimpan potensi sebagai bahan baku utama biogas, karena keduanya
merupakan bahan organik yang mempunyai kandungan Nitrogen (N) tinggi, disamping unsur C, H,
dan O. Kotoran sapi yang tersusun dari feses, urin, dan sisa pakan mengandung nitrogen yang lebih
tinggi dari pada yang hanya berasal dari feses. Jumlah nitrogen yang dapat diperoleh dari kotoran sapi
dengan total bobot badan +120 kg (6 ekor sapi dewasa) dengan periode pengumpulan kotoran selama
tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2 kg urea (46% nitrogen)
(Balitnak, 2009) cit (Kaharudin dan Sukmawati, 2010).
Selama ini masyarakat hanya memanfaatkan limbah padat sapi (feses) sebagai pupuk secara
langsung itupun dalam jumlah yang terbatas, sedangkan limbah cair atau urine sapi terbuang begitu
saja padahal limbah ini justru memiliki potensi lebih, yaitu sebagai pupuk cair atau pestisida organik
bagi tanaman. Urin sapi murni mengandung rasio C:N 0,85 %, 1,68-1,96 % N total, 0,31-0,38 % P2O5
dan 1,7-0,21 K2O (Lutojo, dkk., 2010). Pupuk organik padat asal fesessapi mengandung BK 65%,
P2O5 1,81%, K2O 1,89%, CaO 1,96%, MgO 2,96%, C/N ratio max 0,70% dan bakteri patogen
22,3%.
Namun disisi lain, kotoran ternak berpotensi sebagai bahan sumber pencemar lingkungan.
Dampak merugikan limbah peternakan dan pertanian dapat menjadi pollutan asal gas methane (CH4)
dan sebagai media perkembangbiakan mikroorganisme penyebab penyakit. Menurut Goodland dan
Anhang (2009) limbah kotoran ternak menyumbang emisi tingkat pemanasan global kurang lebih 51
%. Dari informasi tersebut diperlukan suatu aplikasi teknologi untuk meningkatkan nilai ekonomis
limbah feses dan urin dari usaha peternakan sapi potong sekaligus mengurangi dampak merugikan
terhadap lingkungan dan kesehatan manusia menjadi biogas dan pupuk organik.
Metode Pelaksanaan
Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dilaksanakan selama 8 bulan yaitu pada bulan Mei 2016
sampai dengan Desember 2016. Lokasi kegiatan dan kelompok sasaran ditentukan secara sengaja
(purposive sampling) di usaha ternak KTT “Subur Makmur” dan Agrobiz Abadi Jaya Dukuh
Blimbing, Desa Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar. Penentuan lokasi ini didasarkan pada analisis
permasalahan yang sedang dihadapi kelompok mitra dan beberapa faktor pendukung lainnya, seperti
motivasi untuk bekerjasama dalam mengembangkan kelompok. Program pemberdayaan ini sejauh
mungkin melibatkan kelompok mitra dalam pelaksanaannya atau dengan menggunakan metode
Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA adalah suatu metode yang menempatkan masyarakat
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
151
sebagai subyek, perencana, pelaksana, sekaligus sebagai penilai dalam program pemberdayaan
sehingga tim dan stakeholder yang terlibat sebagai fasilitator dan masyarakat dalam hal ini kelompok
mitra ternak sebagai pelakunya (Sidu, 2006). Sebagai solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi
oleh kelompok mitra seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diterapkan beberapa kegiatan
yaitu mengadakan dialog dengan mitra melalui kegiatan program FGD (Focuss Group Disscussion),
pembuatan/pemasangan instalasi pengolah limbah feses menjadi biogas dan urine menjadi pupuk cair.
Hasil Dan Pembahasan
Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan solusi terhadap permasalahan yang sedang
dihadapi oleh mitra berkaitan dengan teknologi dan manajemen melalui pendekatan secara terpadu,
yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan pelayanan masyarakat, serta kaji tindak
dari ipteks yang dihasilkan perguruan tinggi.
Kegiatan dimulai dari survai dan koordinasi dengan masyarakat untuk mengidentifikasi kondisi
mitra, antara lain mengenai permasalahan yang sedang dihadapi, peralatan yang telah dimiliki,
tehnologi yang telah dikuasai, serta hal-hal lain yang diperlukan. Tim pengabdi mengumpulkan
informasi tentang ternak sapi potong yang dimiliki oleh para peternak. Pengabdi juga mengumpulkan
informasi tentang pemanfaatan limbah peternakan dan kondisi kandang Mitra. Dari pengumpulan
informasi tersebut, para peternak belum dapat memanfaatkan limbah peternakan secara maksimal.
Limbah peternakan yang berupa kotoran sapi dan urine sapi dapat dimanfaatkan untuk biogas, serta
pupuk organik padat dan cair. Pertemuan tersebut sekaligus melakukan koordinasi untuk melakukan
pembangunan instalasi biogas sebagai pemanfaatan dari limbah peternakan yang belum dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pembuatan Instalasi/Digester Biogas dan Instalasi Penampungan Urine
Berdasarkan hasil survai dan koordinasi dengan mitra, pemasalahan limbah merupakan
permasalahan utama yang harus segera diselesaikan. Limbah padat (feses) dibiarkan menumpuk
dikandang bagian belakang sehingga dapat mengganggu kesehatan ternak, sedangkan limbah cair
(urine sapi) dibiakan terbuang, padahal kedua jenis limbah ini memiliki potensi besar jika diolah,
diantaranya menjadi sumber energi ramah lingkungan (biogas) dan pupuk cair organik. Prinsip
pembuatan instalasi biogas adalah menampung limbah organik yang berupa kotoran ternak, kemudian
memproses limbah tersebut dan mengambil gasnya untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi serta
menampung sisa hasil pemrosesan yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik. Dalam proses ini
dibutuhkan 3 pemroses/pencerna/digester, dan tabung penampung sisa hasil pemrosesan. Bahan
pembuat tabung dapat berasal dari bata merah, plastik, atau drum bekas baik dari seng maupun plastik.
Ketiga tabung tersebut ditempatkan pada posisi tertentu agar proses pembuatan biogas dapat berjalan
dengan baik.
Instalasi biogas yang dibuat dalam program pemberdayaan masyarakat ini, menggunakan
desain konstruksi batu bata dengan tabung digester tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe kubah
adalah digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat bangunan dengan batu bata,
pasir dan semen yang berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah
(bulatan setengah bola) (Rahman, 2005).
Digester biogas yang dibangun merupakan digester beton dengan volume 18 m3, mampu
menampung feses dari 15 ekor sapi. Gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk 4 rumah tangga,
namun karena biogas ini dimanfaatkan untuk lampu penerang sehingga daya yang dibutuhkan lebih
besar, sehingga sementara baru dapat dimanfaatkan untuk 2 lampu, dan 1 kompor 2 tungku. Proses
pembangunan digester biogas dilaksanakan dalam waktu 14 hari. Setelah digester selesai dibangun,
maka dilanjutkan dengan pemasangan instalasi pipa gas dan instalasi pengukur tekanan gas.Peternak
melakukan pengisian digester dengan feses sapi setiap hari, namun karena ukuran tabung digester
cukup besar maka proses pengisian memakan waktu cukup lama. Dalam waktu 1 minggu pengisian,
pada alat pengukur diketahui tekanan biogas sudah ada tapi masih kurang besar yaitu sekitar 20 mm,
sehingga gas belum menyala.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
152
Gambar 1. Instalasi Biogas (Kaharudin dan Sukmawati, 2010)
Instalasi penampungan urine yang di aplikasikan dalam program ini dirancang dari bak
plastik, karena akan lebih efisien secara teknis pemasangan, resiko kebocoran lebih kecil, serta
memudahkan peternak dalam perawatan dan pembersihan.
Penyuluhan Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong dan Pengolahan Limbah
Meskipun peternak anggota kelompok mitra telah memiliki pengalaman beternak yang cukup
lama dan jumlah sapi yang cukup banyak, serta dalam manajemen pemeliharaan peternak sudah
modern, namun dalam pengolahan limbah kotoran belum optimal. Limbah kotoran padat (feses) hanya
ditumpuk dibelakang area kandang dan sesekali dimanfaatkan untuk memupuk lahan hijauan,
sedangkan limbah cair (urine) terbuang begitu saja. Kondisi ini dapat menimbulkan pencemaran
lingkungan berupa bau tidak sedap dan banyak lalat. Dengan demikian diperlukan upaya peningkatan
pengetahuan dan pengalaman praktis peternak mengenai manajemen pengolahan limbah.
Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pengolahan limbah kotoran ternak dilaksanakan pada
tanggal 7 Oktober 2016, menunggu biogas menyala dan penampung urine penuh sehingga peternak
bisa melihat langsung hasil pemanfaatan limbah kotoran sapi. Sesuai dengan kajian teori, suatu inovasi
akan semakin mudah di adopsi oleh masyarakat apabila dapat di uji coba dan hasilnya dapat diamati
secara langsung. Menurut Amanah (2007) penyuluhan merupakan ilmu dan gerakan transformasi
masyarakat melalui pengembangan potensi yang dimiliki melalui pendekatan edukasi. Peningkatan
pengetahuan merupakan satu aspek mendasar yang dijadikan parameter keberhasilan penyuluhan.
Pengukuran pengetahuan peserta penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan merupakan salah satu
evaluasi efektivitas dan peran kegiatan penyuluhan. Hasil pre tes menunjukkan nilai rata-rata
pengetahuan peternak sebelum penyuluhan sebesar 45 sedangkan hasil post tes menunjukkan nilai
rata-rata sebesar 78 atau mengalami presentase kenaikan sebesar 33%.
Simpulan
Simpulan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat ini adalah pengetahuan dan ketrampilan peternak
anggota kelompok mitra tentang pemeliharaan sapi dengan pakan berbasis limbah pertanian, produksi
pupuk organik cair berbasis urin sapi, serta pengolahan limbah ternak menjadi biogas meningkat. Telah terjadi optimalisasi pengolahan limbah peternakan menjadi pupuk organic dan biogas sebagai
sumber energi alternatif yang dapat mendukung terwujudnya sistem peternakan yang ramah
lingkungan.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Kemenristek Dikti, LPPM UNS, Kelompok Mitra
(Agrobiz Abadi Jaya dan KTT Subur Makmur), Masyarakat Dukuh Blimbing, Desa Jeruksawit,
Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, serta berbagai pihak yang telah membantu
pelaksanaan program ini.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
153
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar. 2014. Karanganyar Dalam Angka. BPS Karangnyar
Dikshie. 2004. Proyekers Sapi & K-Prosperity (inkubasi industri reaktor Biogas dan Kompos).
http://ipv6.ppk.itb.ac.id/mailman/listinfo/proyekers
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Pengembangan Kawasan Peternakan
Kaharudin dan F. Sukmawati. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Umum Limbah Ternak untuk
Kompos dan Biogas. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian NTB
Lutojo, Sunarto dan J. Riyanto. 2010. Aplikasi Rancang Bangun Instalasi Terpadu Pengolah Limbah
Feses Dan Urin Untuk Industri Pupuk Organik Padat Dan Cair Pada Usaha Penggemukan Sapi
Potong
Muryanto, Pramono, Suprapto, Ekaningtyas, dan Sudadiyono. 2006. Biogas energi Alternatif Ramah
Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian BPTP Jawa Tengah, Semarang
Rahman, B. 2005. Biogas, Sumber Energi Alternatif. http://www. Kimianet.lipi.go.id. Kompas (8
Agustus 2005)
Sidu, D. 2006. “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Jompi, Kabupaten Muna, Propinsi
Sulawesi Tenggara”. Disertasi Doktor. Pasca Sarjana IPB. Bogor
Sutejo, M. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. Rineka Cipta, Jakarta
www.karanganyarkab.go.id. 2014. Profil Kabupaten Karanganyar
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
154
Makalah 029
Biogas Sebagai Sumber Energi Utama Keluarga di Desa Jagoan,
Sambi, Boyolali
Joko Riyanto, Sunarto dan Lutojo
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian UNS
Email : [email protected]
ABSTRAK
Pada usaha peternakan sapi potong dapat dipastikan diperoleh feses sebagai limbah. Namun
disisi lain, feses mempunyai potensi sebagai sumber bioenergi berupa biogas. Permasalahan pada
kelompok ternak “SambiMulyo”, “BerkahMulyo” dan “SidoMulyo” desa Jagoan Boyolali feses belum
maksimal pemanfaatannya sebagai biogas. Sebagian besar peternak belum memiliki digester biogas
sebagai sumber energy rumah tangga. Program IbDM di desa jagoan ini bertujuan untuk
memasyarakatkan penggunaan biogas sebagai sumber energi kompor biogas dan merintis
mewujudkan desa mandiri energi biogas. Metode penerapan ipteks dilakukan dengan metode (1)
instruksional dan dialog melalui kegiatan program penyuluhan menggunakan teknik FGD (Focus
Group Disscusion) disertai dengan evaluasi kemajuan tingkat pengetahuan dan pemahaman materi, (2)
pelatihan dengan peragaan pembuatan digester biogas skala rumah tangga dan produksi biogas (3)
metode percontohan pembuatan penggunaan biogas scalar umah tangga(4) monitoring dan evaluasi
berkelanjutan. Hasil yang diperoleh telah dibangun 4 unit instalasi biogas kapasitas 10 m3 pada ketiga
kelompok tani ternak dan telah berproduksi biogas sebagai sumber energy kompor biogas, sebanyak
16 Kepala Keluarga menggunakan kompor biogas sebagai pengganti kompor LPG, dan, penghematan
biaya energi rumah tangga sebesar Rp 45.400 per bulan per KK dan tidak tergantung LPG sebagai
sumber energi, peternak meningkat pengetahuan dan pemahaman tentang biogas, peningkatan fungsi
kelembagaan KTT dan gotong royong mengelola produksi biogas, usaha peternakan sapi potong tanpa
limbah (zero waste), dan lingkungan bersih (friendly environment).
Kata kunci : feses, biogas, slurry, mandiri energi, bioenergi rumah tangga
Pendahuluan
Di Desa Jagoan terdapat potensi biogas sebanyak 960 – 1.680 kg biogas perhari atau setara
dengan 320 – 560 tabung LPG kapasitas 3 kg. bSedangkan limbah biogas berupa slude atau slurry
masih dapat dimanfaatkan untuk produksi pupuk organik padat dan cair limbah biogas. Slurry dapat
digunakan sebagai pupuk organic (kompos) dengan kadar pencemar BOD dan COD kurang dari 90%
yang menyebabkan kompos tidak berbau dan berdampak lingkungan kandang tidak berbau
(environment friendly) dan tanpa diperoleh limbah (zero waste). Jumlah total peternak di ketiga
kelompok saat ini 60 orang. Jumlah sapi mencapai 100 -175 ekor sapi potong dengan kepemilikan 2 -
3 ekor sapi per peternak. Dari sisa usaha peternakan sapi tersebut diperoleh limbah feses setiap ekor
sapi sebanyak 20 kg jika diolah menjadi biogas maka dapat dihasilkan 2 m3 biogas atau setara dengan
elpiji 9,6 kg untuk setiap ekor sapi senilai Rp 65.000 per ekor sapi per hari atau Rp 1.950.000 per
bulan. Masyarakat Desa Jagoan sebagian besar sebagai peternak sapi potong yang tergabung dalam
kelompok tani ternak “Sambi Mulyo”, “Berkah Mulyo” dan “Sido Mulyo” merupakan kelompok
peternak usaha penggemukan dan pembibitan sapi potong. Usaha sapi potong berkembang dengan
kerjasama Universitas Sebelas Maret khususnya Prodi Peternakan.
Biogas dari feses sapi adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik
oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob) dalam suatu instalasi biogas atau reactor
biogas. Biogas merupakan bahan bakar gas dapat diperbaharui (renewable fuel) (yang dihasilkan
secara anaerobic digestion atau fermentasi anaerob dari bahan organik dengan bantuan bakteri metana
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
155
Methanobacterium sp untuk energi rumah tangga (Darsin, 2006; Wikan dan Asari, 2009). Proses
fermentasi memerlukan waktu 7 - 10 hari untuk menghasilkan biogas dengan suhu 35 oC dan pH
optimum 6,4 – 7,9 (Gunnerson dan Stucky, 1986, Anonimus, 1989). Nilai kalor biogas 4800 – 6700
k.kal/m3 (Anonimus, 1989). Kapasitas digester instalasi biogas 30 m3 digunakan untuk mengolah feses
dari 15 ekor sapi (Sudrajad, 2004, Muhammad, 1987). Digester biogas pada peternakan sapi potong
10-12 ekor atau kira-kira 18m3 mampu memproduksi biogas 6m3 perhari (Lutojo et al. 2014a). Setiap
KK menggunakan biogas tanpa batasan untuk sumber energi kompor tanpa dikenakan biaya (Lutojo et
al. 2014b).
Dari hasil pendampingan mulai tahun 2007di Desa Jagoan ini telah memiliki 4 digester biogas
menggunakan instalasi biogas model “fixed dome biogas plant”. terdiri dari 2 unit digester kapasitas
30m3 dari 20 ekor sapi potong sudah digunakan untuk 14 Kepala Keluarga (KK) rata-rata 4 anggota
keluarga dan 2 unit kapasitas 10m3 dari 10 ekor sapi potong digunakan untuk 7 KK. Namun demikian,
masyarakat Desa Jagoan Boyolali terutama peternak sapi potong belum maksimal memanfaatkan feses
sebagai sumber bioenergi berupa biogas dan limbah biogas sebagai pupuk organic padat dan cair.
Sekitar 90% peternak belum memiliki digester biogas atau belum memasyarakat penggunaan digester
biogas sebagai sumber energi rumah tangga. Hal ini dikarenakan masih rendahnya pengetahuan
peternak mengenai potensi feses sebagai sumber energi biogas dan pembuatan digester biogas serta
potensi limbah biogas (slurry) yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik padat dan cair.
Berdasarkan keadaan teresebut maka secara bersama-sama tim IbDM dengan masyarakat
peternak di ketiga kelompok tani ternak Desa Jagoan dilakuan kegiatan peningkatan kinerja instalasi
biogas menggunakan tambahan absorber, pengolahan limbah biogas padat dan cair untuk produksi
pupuk organik padat dan cair herbal limbah biogas, peningkatan pengetahuan dan keterampilan
memproduksi biogas dan pupuk organik padat dan cair limbah biogas, dan
perbanyakan/pemasyarakatan pembangunan instalasi biogas.
Materi dan Metode
Metode Penerapan Ipteks
• Metode instruksional dan dialog melalui kegiatan program penyuluhan menggunakan teknik FGD
(Focus Group Disscusion) disertai dengan evaluasi kemajuan tingkat pengetahuan dan
pemahaman materi dengan menghitung persentase kemajuan nilai berupa perbandingan nilai pre-
test dan pos-test. Materi berupa pembuatan digester biogas serta inovasi produksi dan penjualan
pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah biogas.
• Metode pelatihan dengan peragaan pembuatan digester biogas serta inovasi produksi dan
penjualan pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah biogas
• Metode percontohan dengan cara pembuatan dan penerapan pembuatan digester biogas serta
inovasi produksi dan penjualan pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah
biogas
• Penerapan dan pemasyarakatan pembuatan digester biogas serta inovasi produksi dan penjualan
pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah biogas.
• Penggunaan metode pemantauan melalui teknik monitoring terpadu dan berkelanjutan melibatkan
keterkaitan antara Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali dan pemerintah Kecamatan Sambi
Boyolali dengan Tim IbDM Jurusan Peternakan UNS.
Evaluasi hasil kegiatan dengan memberikan penilaian terhadap :
• Respon peternak terhadap penyuluhan tentang penggunaan instalasi biogas skala rumah tangga
juga aplikasi pemanfataan limbah biogas menjadi produk pupuk organik padat dan cair herbal
limbah biogas.
• Dievaluasi hasil pelatihan dan keterampilan peternak tentang penerapan digester biogas skala
rumah tangga dan produk pupuk organik padat dan cair herbal limbah biogas.
• Dievaluasi tingkat penambahan pendapatan baru bagi peternak sapi potong “Sambi Mulyo”,
“Berkah Mulyo” dan “Sido Mulyo” Boyolali.yang menggunakan biogas sebagai sumber energy
utama skala rumah tangga.
Hasil dan Pembahasan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
156
Keadaan Umum Wilayah dan Kelompok Tani Ternak
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah.
Kabupaten Boyolali memiliki suhu sebesar 23 - 320C dan kelembaban 70 – 95%. Kabupaten Boyolali
memiliki luas wilayah sebesar 1.015 km2 yang terdiri dari 19 kecamatan, 267 desa dan 6 kelurahan.
Kecamatan Sambi merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Boyolali.
Kecamatan Sambi terdiri dari 16 desa dan luas wilayah Kecamatan Sambi 46.495 m2. Topografi 400-
700 dpl. Tingkat kepadatan penduduk 1.039 jiwa/km2, jumlah penduduk 48.303 jiwa terdiri dari
23.889 laki-laki dan 24.414 perempuan. Kecamatan Sambi secara administratif mempunyai batas-
batas wilayah yaitu Kecamatan Simo, Kecamatan Banyudono
, Kecamatan Susukan dan Kabupaten Semarang dan Kecamatan Ngemplak. Kecamatan Sambi
merupakan daerah yang subur dan memiliki ketersediaan air yang cukup, sehingga baik untuk
mengembangkan sektor pertanian di wilayah ini.
Desa Jagoan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sambi.Luas wilayah Desa
Jagoan 31.232 ha. Topografi 400-700 dpl. Kepadatan penduduk 100 Km2/jiwa dengan jumlah Kepala
Keluarga 1.086 KK terdiri dari laki-laki 1.948 orang dan perempuan 1.977 orang total jumlah
penduduk 3.925 orang.Desa Jagoan secara administratif mempunyai batas- batas wilayah yaitu
Sebelah Utara : Kecamatan Simo, Selatan : Kelurahan Sambi, Barat : Kelurahan Babatan, dan Timur :
Kecamatan Kepoh (Desa Jagoan, 2016). Desa Jagoan berpotensi untuk pengembangan peternakan
terutama untuk pengembangan ternak besar. Potensi peternakan di Desa Jagoan Sapi Potong sebanyak
290 ekor dan Kambing115 ekor. Desa Jagoan memiliki potensi pengembangan usaha penggemukan
sapi potong. Tersedianya fasilitas lahan peternakan, pakan ternak dan kultur masyarakat yang kental
dengan kehidupan peternakan sapi berpotensi besar untuk dikembangkan. Ternak besar khususnya
sapi potong merupakan komoditi unggulan di Desa Jagoan sedangkan kotorannya dapat dijadikan
pupuk kompos dan biogas.
Kelompok tani ternak “ Sambi Mulyo” berkedudukan di Dukuh Ringinwok Desa Jagoan,
Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah yang berkeinginan memperbaiki
kondisi ekonominya dan masyarakat untuk lebih baik dengan membentuk usaha bersama atau
perkumpulan yang bergerak dibidang usaha tani ternak penggemukan sapi Simental. Jumlah anggota
kelompok tani adalah 60 orang dengan rata-rata anggota memiliki satu sampai dua ekor sapi, lama
penggemukan 4-5 bulan. Keberadaan kelompok ini diharapkan sebagai media kebersamaan
peningkatan produktivitas penggemukan sapi, sehingga kondisi ekonomi dan kesejahteraan keluarga
dan masyarakat meningkat.
Kegiatan IbDM biogas sebagai energy keluarga di Desa Jagoan
Untuk mengatasi akar permasalahan feses hanya sebagai limbah dan bernilai ekonomis rendah
maka telah dilakukan perbaikan perkandangan (saluran buang feses dan urin terpadu dengan instalasi
biogas melalui kegiatan penyuluhan dan penerapan instalasi biogas. Hasil kegiatan berupa pembuatan
instalasi digester dan biogas holder kapasitas 10m3 untuk 5-10 ekor sapi potong dan kapasitas untuk 6
m3. Dilakukan pemasangan dan penggunaan absorber pada instalasi biogas dengan melakukan
kegiatan sosialisai, FGD, penyuluhan, pelatihan dan percontohan serta penerapan pmasangan absorber
pada instalasi biogas. Hasil yang diperoleh produksi meningkat 100% dengan peningkatan tekanan
biogas 100% dengan daya jangkau pengaliran > 500 meter dari instalasi biogas dikandang. Telah
dilakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memproduksi biogas dan pupuk organik padat
dan cair limbah biogas. Metide kegiatan menggunanan metode FGD, penyuluhan dan pelatihan. Hasil
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
157
yang diperoleh sekitar 30% masyarakat Desa Jagoan dan peternak ketiga Mitra meningkat
pengetahuan dan keteranpilan dalam produksi biogas dan pupuk organik padat dan cair limbah biogas
Usaha peternakan sapi potong masih dihasilkan feses yang mencemari lingkungan Perbaikan
manajemen perkandangan dan pembuangan limbah feses dan urin Percontohan kandang terpadu
dengan instalasi biogas 30% kandang sapi sudah dibangun instalasi biogas dan usaha peternakan sapi
potong berlangsung ramah lingkungan (environment friendly) dan tanpa limbah (zero waste).
Untuk mengetahui penerimaam dan peningkatan pengetahuaan dan pemahaman potensi feses
dilakukan evaluasi pre-test dan post test. Penyuluhan dilaksanakan dengan metode ceramah dan
diskusi. Materi pre-test dan post-test dibuat sama, pre-test dilaksanakan sebeleum penyukuhan dan
post-test dilakukan setelah penyuluhan. Materi evaluasi terkait dengan potensi feses sapi potong.
evaluasi dibuat dengan cara peternak menjawab 10 pertanyaan dan sudah disediakan jawaban Benar
dan Salah. Evaluasi tingkat kemajuan dihitung dengan cara mencari prosentase jawaban yang benar
dari 10 soal baik pre-test maupun post-test kemudian selisih nilai dicari persentase terhadap nilai pre-
test. Hasil penyuluhan : kehadiran 100%, terdapat kemajuan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman potensi feses 112%. Penyuluhan diberikan kepada semua KTT secara bergilir dan
dijadwal. Tempat penyuluhan di rumah ketua masing-masing KTT. Penyuluhan di KTT Sambi Mulyo
nilai kemajuan pengetahuan materi 120%, di KTT Sido Mulyo nilai kemajuan pengetahuan materi
125% dan KTT Berkah Mulyo nilai kemajuan pengetahuan materi 105%.
Kegiatan penyuluhan dengan topic Pemanfaatan Limbah Biogas Sebagai Pupuk Organik Padat
dan cair dilaksanakan rumah ketua KTT Sido Mulyo Desa Jagoan, Kecamatan Sambi, Kabupaten
Boyolai. Penyuluhan dilaksanakan dengan metode ceramah dan diskusi. Untuk mengetahui
penerimaam dan peningkatan pengetahuaan dan pemahaman potensi feses dilakukan evaluasi pre-test
dan post test. Materi pre-test dan post-test dibuat sama, pre-test dilaksanakan sebeleum penyukuhan
dan post-test dilakukan setelah penyuluhan. Materi evaluasi terkait dengan Pemanfaatan Lim bah
Biogas Sebagai Pupuk Organik Padat dan cair. evaluasi dibuat dengan cara peternak menjawab 10
pertanyaan dan sudah disediakan jawaban Benar dan Salah. Evaluasi tingkat kemajuan dihitung
dengan cara mencari prosentase jawaban yang benar dari 10 soal baik pre-test maupun post-test
kemudian selisih nilai dicari persentase terhadap nilai pre-test. Hasil penyuluhan : kehadiran 100%,
terdapat kemajuan peningkatan pengetahuan dan pemahaman potensi feses 110%.
Pelatihan dilaksanakan dengan metode peserta mendatangi dan dinerikan petunjuk teknis
proses produksi biogas dan manajemen biogas untuk sumber energi kompor gas. Para peserta
ditunjukkan dan dibawa langsung ke peternak Sambi Mulyo yang sudah menggunakan instalasi biogas
untuk memanfaatkan limbah feses sebagai produksi biogas. Peternak mendapatkan infromasi
komponen dan cara kerja masing unit dalam instalasi biogas, praktek langsung manajemen feses
sampai menjadi biogas mulai dari mencampur feses denganair, mengaduk, memasukkan dalam
digester serta cara penggunaan kompor biogas. Selama kegiatan pelatihan peserta didampingi tim
lengak IbDM dan pengurus KTT Sido Mulyo dan peternak. Jadawal pelakasanaan dibuat dengan
bergiliran datang ke tempat pelatihan masing-masing KTT. Pelatihan dilaksanakan secara bergantian
kepada semua KTT dengan tingkat kehadiran 100%.
Di Desa Jagoan khususnya peternak sapi potong yang tergabung dalam KTT Sambi Mulyo,
Sido Mulyo dan Berkah Mulyo telah dilakukan pemanfaatan feses menjadi biogas. Feses saat ini
meningkat nilainya yang tadinya hanya sebagai limbah sekarang meningkat nilainya menjadi sumber
biogas. Dikandang sapi potong sudah tidak ada lagi tumpukan feses. Kandang menjadi lebih bersih
dan sehat serta audah tidak ada limbah lagi (zero waste) dan lingkuan menjadi sehat dan ramah
lingkungan (environment friendly).
Satu unit instalasi 10m3 dapat menampung feses dari 4-5 ekor sapi potong dan produksi
biogas setiap hari sudah dapat digunakan oleh 16 kepala keluarga untuk sumber panas kompor biogas.
Untuk peternak yang rumahnya tidak berdekatan dengan kandang maka biogas dialirkan
menggunakan pipa paralon plastic dari instalasi biogas ke rumah. Semenjak menggunakan biogas
kompor maka peternak sudah tidak pernah lagi menggunakan LPG untuk energy rumah tangga.
Bangunan kandang dan lingkungan kandang menjadai sehat dan mudah dibersihkan serta tidak ada
lagi tumpukan feses disekitaran kandang. Lingkungan jadi sehat, aman, tidak ada bau feses, dan ramah
lingkungan. Sekitar 30% kandang sapi sudah dibangun instalasi biogas dan usaha peternakan sapi
potong berlangsung ramah lingkungan (environment friendly) dan tanpa limbah (zero waste).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
158
KESIMPULAN
Sebanyak 30% peternak ketiga anggota meningkat pengetahuan dan pemahamannya mengenai
biogas terutama dalam hal produksi dan manajemen biogas setelah mereka peternak Kemajuan tingkat
pengetahuan dan pemahaman 105-125% setelah mengikuti pre-test dan post-test ketika penyuluhan
dan pelatihan. Di Desa Jagoan khususnya peternak sapi potong yang tergabung dalam KTT Sambi
Mulyo, Sido Mulyo dan Berkah Mulyo telah memiliki instalasi biogas sebanyak 4unit kapasitas 10 m3
untuk menampung 4-5 ekor sapi per unit biogas. Biogas yang diproduksi sudah digunakan sebagai
sumber utama energy kompor biogas untuk 16 kepala keluarga (30%). Dikandang sapi potong sudah
tidak ada lagi tumpukan feses. Kandang menjadi lebih bersih dan sehat serta audah tidak ada limbah
lagi (zero waste) dan lingkuan menjadi sehat dan ramah lingkungan (environment friendly).
Ucapan Terimakasih
Terimakasih diucapakan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat
Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi
Sesuai dengan Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat Nomor :
028/SP2H/PPM/DRPM/IV/2017, tanggal 3 April 2017.
Daftar Pustaka
Anononimus. 1984. Updated Guidebook on Biogas Development - Energy Resources Development Series 1984,
No. 27, United Nations, New York, USA.
Darsin, M. 2006. Design of Biogas Circulator, Seminar Nasional Kreativitas Mesin Brawijaya 2006, Universitas
Barawijaya, Malang.
Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic Digestion: Principles and Practices for Biogas System. The
World bank Washington, D.C., USA.
Lutojo, Yuli Yanti dan Joko Riyanto 2014a. Pemanfaatan Feses Sapi Untuk Produksi Biogas Sebagai Sumber
Energi Rumah Tangga. Proseding Seminar Nasional “Pembangunan Peternakan Indonesia Berbasis Riset
Inovatif” 22-23 Oktober 2014 Fakultas Pertanian UNS.
Lutojo, Yuli Yanti dan Joko Riyanto. 2014b. Pemanfaatan Limbah Biogas Untuk Produksi Pupuk Organik Padat
Dan Cair Herbal. Proseding Berkelanjutan ke-6 “Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal
Menuju Kedaulatan Pangan” Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Nopember 2014. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran
Muhamad, J. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatakan Unit Gas Bio. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Sudradjat, R. 2004. The Potential of Biomass Energy resources in Indonesia for the Possible Development of
Clean Technology Process (CTP). International Workshop on Biomass Clean Fossil Fuel Power Plant
Technology: Sustainable Energy Development CDM. Jakarta, January 13-14, 2004.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
159
Wikan, T.W dan A. Asari . 2009. Teori dan Konstruksi Instalasi Biogas Balai Besar Pengembangan Mekanisasi
Pertanian Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Serpong,
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
160
Makalah 030
Model Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif bagi Masyarakat pada
Kelompok Ternak Niti Rejeki Pleret, Bantul
Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, Lilik Retna Kartikasari, Bayu Setya Hertanto dan Dani Ardika1)
1)Laboratorium Industri dan Pengolahan Hasil Ternak, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta 57154
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengaplikasikan model pemanfaatan biogas dari sumber kotoran
sapi potong di kelompok ternak Niti Rejeki untuk sumber energi alternatif pada kompor dan lampu.
Bahan yang digunakan adalah feses dari 10 ekor sapi potong, instalasi digester biogas 12 m3 dengan
kelengkapan lampu dan kompor, 10 KK anggota kelompok ternak dan model alur pemanfaatan biogas
sebagai sumber energi alternatif. Metode yang digunakan adalah participatory rural appraisal,
ceramah, diskusi dan praktek cara pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif pada tingkat
keluarga. Ceramah, diskusi dan praktek model pemanfaatan biogas telah dilaksanakan pada kelompok
ternak Niti Rejeki, Pleret, Bantul dengan memanfaatkan biogas sebagai sumber kompor dan lampu.
Sepuluh ekor sapi menghasilkan kotoran untuk digester biogas ukuran 7,5 m3 (1,19 m3 gas bio) dapat
digunakan untuk 10 KK dengan pemakaian kompor 5,3 jam (0,75 m3 gas bio) dan lampu 2,1 jam
(0,42 m3 gas bio). Penggunaan ini belum maksimal karena masih ada sisa 4,5 m3 digester kosong
untuk memenuhi digester 12 m3 yang ada. Sepuluh KK anggota kelompok ternak Niti Rejeki dapat
memanfaatan biogas sebagai energi alternatif dengan menggunakan masing-masing satu kompor dan
satu lampu. Pemanfaatan biogas bisa ditingkatkan lagi mencapai volume digester kapasitas 12 m3
dengan menambah 6 ekor sapi.
Kata Kunci: model pemanfaatan biogas, digester, lampu, kompor, kelompok ternak
Pendahuluan
Limbah feses ternak sapi sebagai sumber energi alternatif belum dimanfaatkan oleh peternak,
sehingga jika limbah dibuang di lingkungan dapat mengakibatkan dampak merugikan bagi lingkungan
(Damanik et al., 2014). Biogas yang dihasilkan dari pengolahan kotoran ternak berperan besar bagi
peternak. Peternak dapat memanfaatkan biogas sebagai energi alternatif, sehingga dapat meringankan
biaya bahan bakar dan meningkatkan taraf hidup peternak (Darmawi, 2009). Biogas termasuk bioful
yang mempunyai nilai energi tinggi dari gas metana yang dapat dihasilkan dari fermentasi limbah
ternak. Hasil fermentasi mikrobia dalam limbah ternak tersebut selain menghasilkan biogas juga
menghasilkan lumpur yang dapat digunakan pupuk. Biogas dapat dimanfaatkan sebagai energi
terbarukan dan dapat mengurangi dampak lingkungan dengan adanya limbah organik di daerah
perkotaan maupun pedesaan (das Neves et al., 2009). Biogas sebagai teknologi praktis, andal, bersih
dan menjanjikan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan kayu, sehingga dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat mempengaruhi iklim (Arthur et al., 2011). Feses ternak
sapi dapat menghasilkan biogas sebanyak 129.396,26 ml dan untuk memasak membutuhkan
112.231,45 ml dengan waktu memasak 18 menit, dengan demikian dapat menggantikan sumber energi
minyak tanah dan kayu bakar (Mirah et al., 2016).
Desa sebagai sumber energi alternatif terbarukan dapat memanfaatkan kotoran sapi menjadi
biogas. Permasalahan biasa yang terjadi dalam pemanfaatan tersebut adalah hak teknologi dan
pengolahan kotoran ternak biogas, potensi limbah yang diolah menjadi biogas sangat besar belum
dimanfaatkan, kurangnya sanitasi lingkungan sapi, bahan bakar keperluan rumah tangga
menggunakan kayu bakar, dan kurangnya informasi dan pemahaman di bidang IPTEK (Hamri et al.,
2017). Teknologi baru aplikasi biogas yang akan diterapkan kepada masyarakat desa harus dilihat dari
kacamata aspek sosio kultural, karena rendahnya latar belakang pendidikan, pengetahuan dan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
161
wawasan yang mereka miliki. Oleh karena itu dalam penerapannya diperlukan sosialisasi yang terus
menerus dan ditunjukan adanya keuntungan secara ekonomi, agar aplikasi tersebut dapat berhasil
(Hastuti, 2009).
Kelompok ternak Niti Rejeki telah memanfaatkan kotoran ternak untuk pembuatan biogas dan
diaplikasikan pada kompor dan lampu di kompleks kandang ternak (Nuhriawangsa et al., 2016a).
Model yang digunakan dalam pembuatan biogas dengan alur tertentu dan instalasi digester
mempunyai kapasitas 12 m2 (Nuhriawangsa et al., 2016b). Pemanfaatan tersebut akan lebih efektif
jika digunakan untuk anggota kelompok ternak, sehingga dalam pengabdian ini dikembangkan model
pemanfaatannya untuk masyarakat yang terdiri dari anggota kelompok ternak tersebut.
Materi dan Metode
Materi yang digunakan adalah feses dari 10 ekor sapi potong jenis PO, instalasi digester biogas
12 m3 model Biru (Biogas Rumah), lampu dan kompor modifikasi untuk biogas, 10 KK anggota
kelompok ternak dan model alur pemanfaatan biogas.
Metode yang digunakan adalah Participatory Rural Appraisal menurut Chambers (1994),
adalah suatu pendekatan dalam proses pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat, yang
tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan pembangunan. Selain itu juga
menggunakan cara analisis deskriptif menurut Sugiyono (2008), cara mengumpulkan data sesuai yang
sebenarnya, data disusun, diolah dan dianalisis untuk memberikan gambaran mengenai masalah yang
ada. Cara yang digunakan dengan ceramah, diskusi, kuisioner dan praktek pemanfaatan biogas.
Hasil dan Pembahasan
Model instalasi biogas yang digunakan adalah komponen reaktor biogas teknologi biru (Gambar
1) yang sudah digunakan di Indonesia untuk tingkat keluarga dengan menggunakan dua ekor sapi.
Pada pengabdian ini digester dimodifikasi ukuran volume digesternya menjadi 12 m3 untuk
kapasitas 15 ekor sapi. Biogas yang dihasilkan digunakan sebagai konsumsi rumah tangga untuk
penggunaan kompor dan lampu (Biru, 2015). Biogas merupakan produk dari pencernaan aerobik feses
sapi yang dapat digunakan untuk memasak dengan sumber bahan baku feses yang selalu tersedia.
Fasilitas biogas yang digunakan untuk tiap keluarga di India mempunyai kapasitas yang berbeda
sesuai dengan perencanaan ekonomi keluarga pengguna dengan kapasitas volume digester 1-5 m3
(Singh dan Sooch, 2004). Pada tingkat keluarga di Andes kapasitas digester untuk produksi biogas
berkisar antara 2,4 dan 7,5 m3 dengan waktu fermentasi 60-90 hari (Ferrer et al., 2012).
Instalasi reaktor biogas teknologi biru terdiri dari inlet (tangki pencampur) dengan mixer
berbentuk lingkaran tempat bahan baku kotoran (feses sapi atau babi) dimasukkan, reaktor (ruang
anaerobik/hampa udara), penampung gas (kubah penampung), outlet (ruang pemisah), sistem pipa
penyalur gas yang dilengkapi dengan water drain dan lubang penampung ampas biogas atau lubang
pupuk kotoran yang telah terfementasi (Biru, 2015). Instalasi biogas terdiri dari bak pengisi dan inlet,
digester dan bak penampung biogas (Putro, 2007: Widodo et al., 2009).
Sepuluh anggota KK dari kelompok ternak Niti Rejeki telah diberi penyuluhan dan pelatihan
untuk pengelolaan dan pemeliharaan instalasi digester serta lampu dan kompor gas sebagai aplikasi
biogas. Dengan demikian dapat menggunakannya untuk aplikasi energi baru terbarukan sebagai
pengganti kayu dan gas. Hal ini sesusia dengan pendapat Rahayu et al. (2009), penyuluhan dengan
cara ceramah, diskusi, workshop dan diseminasi tentang aplikasi pemanfaatan kotoran ternak untuk
pembuatan biogas dapat mengaspirasi kelompok ternak untuk memanfaatkan biogas sebagai sumber
alternatif bahan bakar.
Sepuluh ekor sapi menghasilkan kotoran untuk digester biogas ukuran 7,5 m3 (1,19 m3 gas bio).
Digister untuk menghasilkan biogas dapat dimaksimalkan dengan pengisian sisa 4,5 m3 digester
kosong untuk memenuhi digester 12 m3. Nawan (2012) menyatakan jika digester fermentasi selama 90
hari untuk volume 3,5 m3 maka butuh 5 sapi potong. Hasil pendekatan berdasarkan pendapat Nawan
(2012) tersebut dengan kekosongan volum yang difermentasi 4,5 m3 digister pada kelompok ternak
Niti Rejeki membutuhkan 6 ekor sapi lagi. Biogas dapat dihasilkan dari istalasi biogas yang bersumber
dari kotoran ternak sapi potong (Nuhriawangsa, 2016b). Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan
23,59 kg kotoran tiap harinya (Rahayu et al., 2009), sehingga 10 ekor sapi dapat menghasilkan 235,9
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
162
kg kotoran/hari. Sistem peternakan terpadu dengan pendekatan teknologi biogas merupakan salah satu
teknologi tepat guna untuk mengolah limbah peternakan. Teknologi ini menggunakan mikrobia alam
untuk merombak limbah organik pada ruang kedap udara (anaerob) sehingga dihasilkan gas methana
(CH4) sebagai bahan bakar gas (BBG). Produksi biogas merupakan hasil dari sistem pertanian terpadu
yang berkelanjutan dengan sistem proses terbarukan dan ramah lingkungan (Wahyuni, 2008).
Gambar 1. Komponen reaktor biogas teknologi biru (Biru, 2015)
Satu kompor yang dinyalakan 4 jam membutuhkan 1 m3 gas bio dan lampu petromaks
membutuhkan 0,5 m3 untuk hidup 8 jam, sehingga 2 kompor dan 3 lampu dalam satu hari
membutuhkan 3,5 m3 gas bio (Nawan, 2012). Berdasarkan pustaka Nawan (2012) tersebut, maka
kelompok ternak Niti Rejeki dengan jumlah 10 KK dapat memanfaatkan pemakaian kompor selama
3,33 jam (0,83 m3 gas bio) dan lampu 5,00 jam (0,31 m3 gas bio). Dari data tersebut maka tiap KK
dapat memanfaatkan kompor gas selama 19 menit dan lampu petromaks 30 menit dalam pengabdian
ini. Pada penelitian Mirah et al. (2016) pemanfaataan feses ternak sapi dapat menghasilkan biogas
untuk memasak 112.231,45 ml dengan waktu memasak 18 menit, sehingga dapat menggantikan
sumber energi konvensional seperti minyak tanah dan kayu bakar. Biogas yang dihasilkan oleh
peternak berperan sebagai energi alternatif untuk pengganti/subsitusi bahan bakar minyak tanah dan
kayu, sehingga dapat meringankan biaya bahan bakar dengan penggunaan minyak tanah dan kayu
(Darmawi, 2009).
Simpulan
Biogas yang ada di kelompok ternak Niti Rejeki dapat digunakan untuk sumber energi alternatif.
Pemanfaatan biogas bisa ditingkatkan lagi mencapai volume digester kapasitas 12 m3 dengan
menambah 6 ekor sapi.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Rektor UNS melalui Ketua LPPM UNS dengan diberikannya Hibah
Pemberdayaan Masyarakat (IPM) Kegiatan Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) Dana PNBP UNS tahun
2017 dengan Nomer Kontrak Pengabdian No. 624/UN27.21/PM/2017 tanggal 10 April 2017.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
163
Daftar Pustaka
Arthur, R., M. F. Baidoo and E. Antwi. 2011. Biogas as a potential renewable energy source: A Ghanaian case
study. Renewable Energy. 36(2011): 1510-1516.
Biru (Biogas Rumah), 2015. Teknologi Biru. http://www.biru.or.id/index.php/digester/.
Chambers, R . 1994. ‘The origins and practices of participatory rural appraisal’ World Development. Vol (22) :
953-969.
das Neves, L. C. M, A. Convert and T. C. V. Penna. 2009. Biogas production: New trends for alternative energy
sources in rural and urban zones. Chemical Engineering and Technology. 32(8): 1147-1153.
Damanik, L. H., A. H. Husodo dan T. Gunawan. 2014. Pemanfaatan feses ternak sapi sebagai energi alternatif
biogas bagi rumah tangga dan dampaknya terhadap lingkungan. Jurnal TeknoSains. 4(1): 54-63.
Darmawi, D. 2009. Peranan Biogas Limbah Ternak Sapi Bantuan PT. Petrochina bagi peternak di Kabupaten
Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan November. XII(4): 191-195.
Dewi Hastuti. 2009. Aplikasi teknologi biogas guna menunjang kesejahteraan petani ternak. Mediagro. 5(1): 20
- 26.
Ferrer, I., M. Garfí, E. Uggetti, L. Ferrer-Martí, A. Calderon and E. Velo. 2012. Biogas production in low-cost
household digesters at the Peruvian Andes. Biomass and Bioenergy. 35(5): 1668-1674.
Hamri, I. Hasan dan M. Nawir. 2017. Penerapan alat biogas kotoran sapi di Desa Pattiro Deceng, Kecamatan
Camba Kabupaten Maros. Jurnal Balireso. 2(1): 37-46.
Mirah, A. D., J. E. M. Soputan dan C. P. Paruntu. 2016. Feses ternak sapi sebagai penghasil biogas. Jurnal
LPPM Bidang Sains dan Teknologi. 3(1): 1- 9.
Nawan, 2012. Merancang Instalasi Biogas. http://komporbiogas-nawan38.blogspot.co.id/.
Nuhriawangsa, A . M. P., L. R. Kartikasari, B. S. Hertanto, M. Cahyadi dan P. A. Pradana. 2016a. Penerapan
Konsep Zero Waste pada Usaha Sapi Potong sebagai Solusi Peternakan yang Ramah Lingkungan. Dalam:
Prosiding Seminar Nasional Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas maret,
Surakarta: Pengembangan Potensi Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan Berbasis Aplikasi Teknologi
Inovatif. Hal: 218-220.
Nuhriawangsa, A. M. P., L. R. Kartikasari, M. Cahyadi dan B. S. Hertanto. 2016b. Peningkatan Produk
Pengolahan Limbah Kotoran Ternak Sapi sebagai Pupuk Organik Padat dan Cair dengan Konsep Ramah
Lingkungan yang Berbasis pada Peternakan Sapi Potong. Laporan Akhir Skim Hibah IPM-IbM Dana
PNBP UNS. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Putro, S. 2007. Penerapan Instalasi Sederhana Pengolahan Kotoran Sapi Menjadi Energi Biogas di Desa Sugihan
Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. WARTA. 10(2): 178 – 188.
Rahayu, S., D. Purwaningsih dan Pujianto. 2009. Pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai sumber energi
alternatif ramah lingkungan beserta aspek sosio kulturalnya. Inotek. 13(2): 150-160.
Singh, K. J. and S. S. Sooch. 2004. Comparative study of economics of different models of family size biogas
plants for state of Punjab, India. Energy Conversion and Management. 45(9-10): 1329-1341.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfa Beta, Bandung.
Widodo, T. W., A. Asari, N. Ana and R. Elita. 2009. Design and development of biogas reactor for farmer group
scale. Indonesian Journal of Agriculture. 2(2): 121-128.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
164
Makalah 031
Analisis Keberdayaan Peternak Sapi Potong berbasis Limbah Industri Brem di
Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri
Sudiyono1, Shanti Emawati2, Diffah Hanim3, Endang Tri Rahayu4 dan Ratih Dewanti5
12345Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Gizi dan Kesehatan Masyarakat (P4GKM) 1245Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS),
Indonesia 3Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, UNS, Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keberdayaan peternak sapi potong berbasis
limbah industri brem di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini dilaksanakan
pada tanggal 4 Mei– 28 Agustus 2017 di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri, Indonesia.
Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dan penentuan responden dengan
metode purposive (sengaja). Data yang digunakan meliputi data primer dari responden yaitu peternak
sapi potong berbasis limbah industry brem dan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS) Kabupaten Wonogiri dan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Wonogiri. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat keberdayaan peternak di Kecamatan Nguntoronadi tergolong cukup baik. Hal ini
disebabkan, cukup baiknya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat akibat dari
cukup baiknya kualitas sumberdaya manusia (modal manusia) yang dimiliki. Kualitas modal manusia
yang cukup baik akan berakibat pada pengetahuan dan pemahaman peternak terhadap sumberdaya
produksi, lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan lebih percaya diri dalam berinteraksi
dengan pihak luar. Peternak berdaya mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok atau
organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya serta secara
bebas dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan
pemenuhan kebutuhannya.
Kata kunci : analisis keberdayaan, peternak, sapi potong, limbah, industry brem
Pendahuluan
Salah satu upaya pemerintah memenuhi kecukupan daging adalah dengan mengeluarkan Paket
Kebijakan Ekonomi Jilid IX yang memfokuskan upaya untuk memastikan pasokan dan stabilitas harga
daging sapi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan daging sapi dalam negeri terus
meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 kebutuhan nasional setahun mencapai 674,69 ribu ton atau
setara dengan 3,9 juta ekor sapi. Permintaan daging sapi yang terus meningkat tersebut belum dapat
dipenuhi oleh pasokan daging sapi dari peternak lokal. Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah
berupaya meningkatkan pasokan produksi daging sapi dalam negeri. Beberapa upaya tersebut
dilakukan antara lain melalui upaya peningkatan populasi, pengembangan logistik dan distribusi,
perbaikan tata niaga sapi dan daging sapi, serta penguatan kelembagaan melalui Sentra Peternakan
Rakyat (SPR).
Produksi sapi peternak lokal hanya mencapai 439,53 ribu ton per tahun, atau setara dengan 2,5
juta ekor sapi. Dengan demikian, masih terdapat kekurangan pasokan sekitar 235,16 ribu ton.
Mengingat upaya pemenuhan pasokan daging sapi dalam negeri memerlukan waktu, maka untuk
memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri perlu dibarengi dengan pasokan dari luar negeri untuk
menutup kekurangan tersebut yaitu dengan memperluas akses dari negara maupun zona tertentu yang
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
165
memenuhi syarat kesehatan hewan, sesuai dengan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan
Internasional (OIE) (Kemenkeu, 2016).
Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah populasi sapi potong
terbanyak kedua di Jawa Tengah setelah Kabupaten Blora yaitu 154,75 ribu ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa Kabupaten Wonogiri berpotensi untuk pengembangan sapi potong mengingat
kebutuhan daging terus meningkat.
Salah satu upaya upaya pemenuhan kecukupan daging di Kabupaten Wonogiri adalah dengan
peningkatan produksi sapi peternak lokal melalui penyediaan sumber pakan alternative bagi ternak
sapi yaitu dengan pemanfaatan limbah industry brem. Di Kabupaten Wonogiri terdapat sentra industri
brem yang terletak di Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi. Pengembangan industry brem tersebut
sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara tradisional dan turun menurun. Masyarakat sekitar
memanfaatkan limbah industry brem untuk pakan ternak sebagai pemacu penggemukan sapi potong
sehingga hampir semua masyarakat yang menggeluti industri brem ini dipastikan memiliki usaha
ternak sapi potong. Pada proses pembuatan makanan brem, dari bahan yang diproses, hanya sekitar
30% yang berhasil menjadi makanan brem. Sisanya 70% menjadi limbah yang berupa air dan ampas
beras (Probowati et al., 2012).
Pemanfaatan limbah industry brem sebagai pakan ternak akan mengurangi biaya pakan ternak
sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkan. Diperlukan upaya pemberdayaan bagi peternak sapi
potong agar pemanfaatan bahan limbah industri pertanian sebagai pakan didasarkan pada penyusunan
ransum pakan sesuai kebutuhan ternak. Dalam penggunaan limbah industry brem/ampas brem sebagai
pakan ternak alternatif sangat diperlukan data-data tentang bahan limbah yang akan dipakai. Data-data
atau hasil analisa proksimat bahan limbah pabrik pertanian akan sangat berguna dalam penyusunan
pakan ternak sapi potong sesuai dengan kebutuhan harian gizi ternak. Kandungan nutrisi limbah
industry brem/ampas brem yaitu 81,634% BK, 3,150% PK, 2,120% LK, 2,100% SK dan 55,826%
TDN (Analisa proksimat Laboratorium Pakan Lolit Sapi Potong, Grati, Pasuruan).
Menurut Sidu (2006), tujuan pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat
menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan
apa yang dilakukan. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh
masyarakat dan ditandai kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang
dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya,
kekuatan atau kemampuan yang dimiliki. Daya, kekuatan atau kemampuan yang dimaksud adalah
kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik-
material. Menurut Sidu (2006), keberhasilan proses pemberdayaan sangat tergantung dari dukungan
faktor-faktor physical capital, human capital, social capital, dan kemampuan pelaku pemberdayaan.
Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan penelitian yang bertujuan menganalisis keberdayaan
peternak sapi potong berbasis limbah industri brem di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten
Wonogiri.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada 4 Mei– 28 Agustus 2017 di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten
Wonogiri, Indonesia. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kuantitatif yaitu penelitian dengan memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang
diangkakan (Sugiyono, 2003). Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap prasurvei dan tahap
survei. Tahap prasurvei dilaksanakan untuk menentukan lokasi pengambilan data. Tahap survei
dilaksanakan untuk pengambilan data, baik data primer dari reponden maupun data sekunder dari
dinas terkait.
Metode penentuan lokasi dan sampel penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) dengan
pertimbangan bahwa Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi merupakan wilayah yang berpotensi
dalam usaha penggemukan sapi potong dengan memanfaatkan limbah industri brem sebagai pakan
sapi. Purposive sampling berarti sampel dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006).
Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk mengidentifikasi potensi dan masalah
serta dapat menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri. Keberdayaan masyarakat diukur
melalui tiga aspek perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) dengan sejumlah parameter.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
166
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Responden
Karakteristik peternak dalam kegiatan ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah
kepemilikan ternak, pekerjaan peternak, dan jumlah anggota keluarga yang ditanggung peternak.
Tabel 1. Karakteristik Responden
No. Karakteristik responden Uraian 1. Tingkat pendidikan SMA 2 Umur 49 tahun 3 Pekerjaan utama Wiraswasta brem 4 Jumlah anggota keluarga 5 orang 5 Jumlah kepemilikan ternak 3 ekor
1. Umur
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa peternak sapi potong rata-rata berusia 49 tahun. Hal ini
menunjukkan umur peternak digolongkan dalam usia produktif untuk bekerja. Hasil tersebut didukung
Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003, seseorang yang dikelompokkan sebagai tenaga
kerja berusia 15 sampai dengan 64 tahun (Arsyad, 1999). Usia peternak yang produktif atau masih
muda pada umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk
mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi (Chamdi, 2003).
2. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan peternak tergolong tinggi dengan lulusan lulusan SMA dan sederajad.
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi juga tingkat produktivitas atau
kinerja tenaga kerja tersebut (Simanjuntak, 2001). Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan
sikap seseorang, terutama dalam hal pengambilan keputusan dan pengaturan manajemen dalam
mengelola suatu usaha. Pendidikan mempermudah dalam menerima atau mempertimbangkan suatu
inovasi yang dapat membantu mengembangkan usaha menjadi lebih baik dari sebelumnya, sehingga
peternak tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi yang semakin modern (Tiafery, 2016).
Soekartawi et al. (1986) menyatakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi pula dalam
menjalankan usaha secara efektif dan efisien.
3. Jumlah kepemilikan ternak
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan ternak sapi potong peternak rata-
rata 3 ekor. Menurut pendapat Sostroamidjojo dan Soeradji(1990), skala usaha peternakan sapi rakyat
digambarkan oleh jumlah kepemilikan ternak yang kecil, ternak yang dimiliki petani hanya satu
sampai beberapa ekor. Tingkat kepemilikan ternak sapi sangat berpengaruh kepada besar kecilnya
pendapatan usaha sapi potong (Krisna dan Harry, 2014).
4. Pekerjaan responden
Berdasarkan Tabel 1 sebagian besar peternak sapi potong di Desa Gebang Kecamatan
Nguntoronadi bermatapencaharian sebagai wirausaha industry brem. Usaha peternakan dijadikan
sebagai pekerjaan sampingan karena hasil dari usaha peternakan dapat dijadikan sebagai tambahan
pendapatan bagi keluarga (Tiafery, 2016). Susanto (2003) menyatakan bahwa untuk menghadapi
resiko usaha seperti kegagalan produksi, petani melakukan usaha sampingan sebagai salah satu
sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.
5. Jumlah anggota keluarga
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung
jawab peternak rata-rata 5 orang. Banyaknya jumlah keluarga akan mendorong petani untuk
melakukan banyak aktivitas terutama dalam mencari dan menambah pendapatan keluarganya
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
167
(Soekartawi, 2003). Menurut Nurcahya (2009) bahwa keluarga petani yang relatif banyak merupakan
sumber persediaan tenaga kerja, tetapi juga merupakan beban hidup yang harus ditanggung dan
dinafkahi oleh kepala keluarga petani tersebut.
Tingkat Keberdayaan Masyarakat
Hasil analisis tingkat keberdayaan masyarakat tersaji pada Tabel 2
Tabel 2. Tingkat keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi, Kab.Wonogiri
No Keberdayaan Masyarakat Jumlah Kategori Presentase (%)
1
Pengetahuan a. Jumlah skor 5 - 8 4 Kurang baik 13,33
b. Jumlah skor 9 - 12 15 Sedang 50,00
c. Jumlah skor 13 - 15 11 Baik 36,67
2
Sikap a. Jumlah skor 7 - 11 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 12 - 16 5 Sedang 16,67
c. Jumlah skor 17 - 21 25 Baik 83,33
3
Keterampilan a. Jumlah skor 5 - 8 1 Kurang baik 3,33
b. Jumlah skor 9 - 12 12 Sedang 40,00
c. Jumlah skor 13 - 15 17 Baik 56,67 Sumber : Data primer terolah, 2017.
Menurut Sidu (2006) secara umum pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya
masyarakat untuk mengenal, menggali dan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan berbuat
sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia di dalam melaksanakan tanggungjawab dan
menerima serta memanfaatkan hak-haknya sebagai komunitas manusia dan warga negara.
Masyarakat berdaya pada hakekatnya adalah masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri
dengan mengoptimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu agar
masyarakat berdaya harus memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, bertindak dan
berinovasi dalam dimensi politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Keempat dimensi tersebut
harus terintegrasi dalam perilaku masyarakat secara umum. Hasil penilaian responden terhadap
tingkat keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi berdasarkan aspek kognitif, afektif
dan psikomotorik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tingkat keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi tergolong baik. Tingkat
keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi tergolong baik, hal ini disebabkan,
baiknya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat akibat dari baiknya kualitas
sumberdaya manusia (modal manusia) yang dimiliki. Kualitas modal manusia yang baik akan
berakibat pada pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap sumberdaya produksi,
lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan
pihak luar. Masyarakat berdaya mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok
atau organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya. Di
dalam kelompok atau organisasi, masyarakat secara bebas dan terlibat penuh dalam
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan pemenuhan kebutuhannya
baik dalam penentuan sikap politiknya, pengembangan dan peningkatan skala usahanya
(ekonomi), menentukan pola interaksi dan jaringan 167ocial maupun menciptakan lingkungan
yang bersih dan sehat (Sidu, 2006).
Kesimpulan
Tingkat keberdayaan peternak di Kecamatan Nguntoronadi tergolong cukup baik. Hal ini
disebabkan, cukup baiknya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat akibat dari
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
168
cukup baiknya kualitas sumberdaya manusia (modal manusia) yang dimiliki. Kualitas modal manusia
yang cukup baik akan berakibat pada pengetahuan dan pemahaman peternak terhadap sumberdaya
produksi, lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan lebih percaya diri dalam berinteraksi
dengan pihak luar. Peternak berdaya mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok atau
organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya serta secara
bebas dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan
pemenuhan kebutuhannya.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kemenristek Dikti tahun anggaran 2017 dengan skim
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang telah mendanai kegiatan penelitian ini. Selain itu, peneliti
juga mengucapkan terimakasih kepada perangkat desa, kecamatan dan kabupaten dengan lokasi di
Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri yang telah membantu kegiatan
penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.
Daftar Pustaka
Chamdi, A.N. 2003. Kajian Profil Usaha Kambing di Kecamatan Keradenan Kabupaten Grobogan.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003.
Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. Bogor.
Kemenkeu. 2016. Ini Upaya Pemerintah Pastikan Stabilitas Pasokan dan Harga Daging Sapi.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia.
Krisna, R. dan Harry. Hubungan Tingkat Kepemilikan dan Biaya Usaha dengan Pendapatan Peternak
Sapi Potong di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat (Studi Korelasi). Jurnal Aplikasi
Manajemen. Vol.12, No.2. 2014.
Probowati, R.C., C.I. Sutrisno, Dan S. Sumarsih. 2012. Kadar Vfa Dan Nh3 Secara In Vitro Pakan
Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian Dan Hasil Samping Pertanian Difermentasi Dengan A.
Niger ( Vfa And Nh3 In Vitro Levels Of Cattle Feed And Agricultural Waste And By Product
Fermented With A. Niger. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p 258 – 265.
Sidu, D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Jompi, Kabupaten Muna, Propinsi
Sulawesi Tenggara. Disertasi Doktor. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Simanjuntak, P. J. 2001. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI. Jakarta.
Soekartawi, A., Soeharjo, J. L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk
Perkembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.
Sosroamidjojo dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. CV Yasaguna. Jakarta
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan 9. CV Alfabeta. Bandung.
Susanto, W. 2003. Pendapatan Usahatani Pembibitan dan Pembesaran Sapi Potong Betina di Desa
Tegahan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Skripsi S1. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Tiafery, 2016. Model Pemberdayaan Peternak Rakyat Dalam Pengembangan Usaha Penggemukan
Sapi Potong Di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret. Surakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
169
Makalah 032
Analisis Modal Fisik Usaha Kerajinan Tatah Sungging Kulit Berbasis Local
Cultural Heritage di Kabupaten Sukoharjo, Indonesia
Endang Siti Rahayu1, Sutrisno Hadi Purnomo2, Endang Tri Rahayu3, Shanti Emawati4, Ayu
Intan Sari5
2345 Prodi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
1 Dept. of Agribusiness, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University, Indonesia
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis modal fisik usaha kerajinan tatah sungging kulit
berbasis local cultural heritage di Kabupaten Sukoharjo, Indonesia. Penelitian dilaksanakan di
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo pada bulan Juni-September 2017. Pemilihan lokasi
penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dan pengambilan responden ditentukan dengan
metode sensus. Metode teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi,
wawancara dan FGD. Desain penelitian menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ketersediaan sarana produksi kerajinan tatah sungging berada pada kategori
cukup baik, dengan prosentase sebesar 53,33%. Sarana pendidikan berada pada kategori baik,
yaitu sebanyak 56,67 %. Modal fisik sarana kesehatan berada pada kategori cukup baik, yaitu
sebanyak 93,33 %. Modal fisik sarana ekonomi dan akses ekonomi berada pada kategori baik,
yaitu sebanyak 60 %. Ketersediaan sarana transportasi dikategorikan baik. Modal sarana
komunikasi pada kategori baik yaitu sebanyak 93,33 %.
Kata kunci : modal fisik, kerajinan, tatah sungging kulit, local cultural heritage
Pendahuluan
Industri kecil dan menengah (IKM) telah terbukti merupakan kelompok industri yang paling
bertahan dalam menghadapi krisis perekonomian, baik pada saat krisis pada akhir tahun 1990-an
maupun krisis yang melanda seluruh dunia pada akhir 2008 dan awal 2009. Pada kurun waktu tahun
1997 hingga 2000 kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai lebih dari 46%
pada PDB Indonesia. Kondisi ini membuktikan bahwa IKM memiliki peranan yang penting di dalam
menggerakkan perekonomian Indonesia. IKM ditargetkan menjadi penopang utama produk domestik
bruto (PDB) di tahun 2025. Jumlah IKM yang terus meningkat diharapkan mampu berkontribusi 50%
terhadap PDB. Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah pengembangan yang melibatkan
subsektor industry kreatif, khususnya pengembangan kerajinan tatah sungging kulit sebagai salah satu
kerajinan andalan Kabupaten Sukoharjo. Kerajinan tatah sungging adalah salah satu jenis seni
kerajinan yang banyak ditemukan dalam proses pembuatan wayang kulit, hiasan dinding, kipas, kap
lampu atau benda-benda kerajinan yang terbuat dari kulit. Seni tatah sungging lebih identik dengan
proses pembuatan wayang kulit. Sesuai dengan namanya, seni tatah sungging merupakan dua kegiatan
yang terdiri dari menatah (memahat) dan menyungging (mewarnai). Pembuatan wayang kulit
membutuhkan proses yang cukup panjang. Beberapa tahapan yang dilakukan diantaranya pemilihan
bahan baku berupa kulit, pengolahan kulit, penatahan, menyungging dan finishing.
Kerajinan tatah sunggih kulit sebagai bagian industri kreatif berbasis local cultural heritage
memerlukan perhatian pelestariannya, hal yang selaras dengan peta jalan Industri kreatif Nasional
yang memberikan kontribusi besar dalam ekspor secara signifikan sebesar 18% (Disperindag, 2010).
Permintaan ekpor dalam konteks kebutuhan pengembangan pendidikan lintas budaya (cross cultural
understanding) dan permintaan sovenir dari beberapa negara asing seperti: Malaysia, Belanda,
Australia dan Suriname tersebut seringkali diperoleh melalui pagelaran seni luar negeri, yang
selanjutnya order kebutuhan pemenuhan ekspornya dilimpahkan pada UMKM pembuat wayang di
Desa Sonorejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo (Murtiasri et al, 2015).
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
170
Profil daya tarik ekonomi dan nilai strategis budaya lokal tersebut memberikan diskripsi situasi
makro dan mikro mengenai pentingnya terobosan pemikiran edutainment inovatif dan komersial
dalam kerajinan tatah sunggih kulit sebagai upaya mempertahankan eksistensinya ditengah dinamika
seni entertaiment modern (BPMPP Sukoharjo, 2015).
Salah satu kendala yang sering dihadapi pengrajin tatah sungging kulit di Desa Sonorejo dalam
hal pemasaran adalah masalah branding produk. Branding produk memegang peranan yang sangat
penting dalam kesuksesan sebuah usaha. Oleh sebab itu setiap pengrajin tatah sungging kulit dituntut
untuk memperhatikan penentuan brand produknya dalam bisnis yang semakin kompetitif. Upaya
pemberdayaan melalui branding strategy berbasis local cultural heritage di Kabupaten Sukoharjo
diperlukan untuk meningkatkan nilai jual produk kerajinan tatah sungging kulit. Menurut Suharto
(2005), pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah
serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam
masyarakat. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh
sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan
aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam
melaksanakan kehidupan.
Menurut Oktavianita (2014) pelaku UMKM agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup
usahanya, UMKM dihadapkan untuk menciptakan suatu strategi yang dapat menghadapi kompetensi
persaingan. Kualitas produk sudah menjadi standar yang cenderung dengan mudah, cepat ditiru dan
dimiliki oleh siapapun. Oleh karena itu membangun dan mengelola suatu branding harus menjadi
prioritas karena dengan adanya branding konsumen mendapat jaminan tentang mutu dan kualitas
produk. Branding memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen, dengan
adanya branding, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan
produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat
pada merek tersebut. Ada tiga elemen pokok yang harus dikelola dengan baik untuk membangun
merek yang kuat (Keller, 2000) yaitu brand elements, program pemasaran, dan leveraging secondary
association. Menurut Tjiptono (2005) kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari,
dirasakan, dilihat dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil pengalamannya
sepanjang waktu. Berdasarkan model ini, sebuah merek dikatakan memiliki customer-based brand
equity positif apabila pelanggan bereaksi secara lebih positif terhadap sebuah produk. Pada dasarnya
kunci pokok penciptaan brand equity adalah brand knowledge maksudnya ialah bahwa keberhasilan
sebuah merek ditentukan oleh persepsi konsumen, maka akan lebih tepat menekankan kepada motivasi
strategi dari ekuitas merek untuk menciptakan pengetahuan merek dalam benak konsumen.
Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan diperlukan penelitian yang bertujuan
menganalisis modal fisik usaha kerajinan tatah sungging kulit berbasis local cultural heritage di
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-September 2017 di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten
Sukoharjo. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif
yaitu penelitian dengan memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan
(Sugiyono, 2006). Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap prasurvei dan tahap survei. Tahap
prasurvei dilaksanakan untuk menentukan lokasi pengambilan data. Tahap survei dilaksanakan untuk
pengambilan data yaitu data primer dari reponden maupun data sekunder dari dinas terkait.
Metode penentuan lokasi secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo merupakan wilayah yang berpotensi dalam usaha kerajinan tatah
sungging. Purposive sampling berarti sampel dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006). Metode penentuan
responden secara sensus yaitu dengan memilih keseluruhan pengrajin tatah sungging di Kecamatan
Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo sebagai responden sebanyak 30 pengrajin.
Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis modal fisik (physical
capital) yang meliputi ketersediaan sarana produksi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana
ekonomi, komunikasi dan sarana transportasi.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
171
Hasil dan Pembahasan
Analisis modal fisik (physical capital) dalam penelitian ini meliputi ketersediaan sarana
produksi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana ekonomi, komunikasi dan sarana transportasi.
Modal fisik dalam pemberdayaan merupakan fasilitas atau asset yang dapat digunakan sebagai
alat yang berfungsi sebagai pendukung utama terselenggaranya suatu proses usaha atau aktivitas
produksi dalam rangka pencapaian tujuan. Fasilitas atau alat ini dapat berupa gedung atau rumah
untuk proses produksi, jalan sebagai asset sarana transportasi, alat-alat sebagai penunjang proses
usaha, mesin-mesin sebagai alat bantu usaha dan sebagainya (Eko, 2002).
Hasil analisis dari modal fisik pada penelitian Tatah Sungging dapat diketahui bahwa
ketersediaan sarana produksi kerajinan tatah sungging berada pada kategori cukup baik, dengan
prosentase sebesar 53,33%. Para pengrajin tatah sungging semua sudah memiliki peralatan maupun
bahan baku untuk melakukan proses produksi, karena itu adalah peralatan utama yang harus tersedia
untuk kelancaran proses produksi. Bahan baku untuk kerajinan tatah sungging ini berupa kulit
kambing yang sudah memdapatkan pasokan dari daerah lain. Peralatan yang digunakan berupa alat
untuk menatah, proses sablon, menyungging atau mewarnai dan peralatan yang lain. Dari 30
responden, tidak semua pengrajin kulit kambing itu membuat wayang kulit akan tetapi ada juga yang
membuat kaligrafi dan juga assesoris wayang orang atau juga assesoris untuk penari.
Modal fisik yang berupa sarana pendidikan berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 56,67 %.
Hal ini juga ditunjukkan dengan dengan tingkat pendidikan responden yang rata-rata adalah telah lulus
SMP dan SMU. Tingkat Pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seorang dalam
menerima informasi dari luar, serta berpengaruh terhadap adanya ide-ide yang baru terutama yang
berkaitan dengan kerajinan tatah sungging. Ketersediaan dan kemudahan akses sarana pendidikan
merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi berkembangnya suatu usaha peternakan selain
ketrampilan yang dimiliki oleh seorang peternak. Ketersediaan akses dan sarana pendidikan yang baik
akan dapat memaksimalkan peran Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo untuk mengadakan kelas
pendidikan nonformal bagi para pengrajin dengan penyuluhan dan pelatihan terhadap anggota
kelompok pengrajin tatah sungging Pandawa. Adanya penyuluhan dan pelatihan akan dapat
mengembangkan pengetahuan pengrajin. Selain dinas juga ada peran perguruan perguruan tinggi yang
memberikan penyuluhan dan pelatihan untuk mengembangkan usaha tatah sungging. Pelatihan terkait
kerajinan tatah sungging sudah banyak diadakan, hanya responden belum pernah mengikuti pelatihan
apapun terkait dengan rutinitasnya sebagai pengrajin kaligrafi, sedangkan 21 responden lain pernah
mengikuti pelatihan bahkan ada beberapa responden telah mengikuti beberapa jenis pelatihan.
Pelatihan yang pernah diikuti oleh pengrajin tatah sungging ini antara lain pelatihan penyamaan kulit
dan juga pelatihan pemasaran, cara peminjaman, pembukuan, managemen, komunikasi, mutu dan
kualitas, kerajinan dan perindustrian.
Modal fisik sarana kesehatan berada pada kategori cukup baik, yaitu sebanyak 93,33 %. Modal
manusia dalam menjalankan usaha kerajinan kulit tatah sungging yang menjadi faktor pendukung
adalah tingkat kesehatan dari responden. Tingkat kesehatan yang meliputi kesempurnaan fisik dari
responden tergolong besar sebesar 93,33%, dikarenakan pengrajin tidak memiliki riwayat penyakit
serius atau jarang mengalami sakit. Responden juga termasuk dalam kategori pekerja aktif dan
termasuk usia produktif sehingga untuk melakukan aktivitas seperti usaha kerajinan tatah sungging
dan aktivitas-aktivitas yang lain dapat berjalan dengan baik. Todaro (2000) menyatakan bahwa
pencapaian nilai sosial seseorang diperlukan kesehatan fisik yang tinggi. Kesehatan akan
mempengaruhi keaktifan seseorang dalam sebuah keluarga, organisasi, lingkungan sosial dan
keaktifannya dalam membangun nilai dan norma dimasyarakat. Kesehatan fisik pengrajin tatah
sungging akan mempengaruhi pengembangan usaha kerajinan kulit kambing,
Modal fisik sarana ekonomi dan akses ekonomi berada pada kategori baik, yaiitu sebanyak 60
%. Sumber modal usaha kerajinan kaligrafi ada 2 yaitu modal sendiri dan modal dari luar, modal dari
luar merupakan modal pinjaman dari bank, modal sendiri untuk pengrajin skala kecil sedangkan 4
lainnya modalnya dari pinjaman bank.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
172
Tabel 1. Hasil Analisis Modal Fisik
No Modal Fisik Jumlah (orang) Kategori Persentase (%)
1 Sarana Produksi
a. Jumlah skor 1-3 2 Kurang baik 6,67
b. Jumlah skor 4-6 16 Cukup baik 53,33
c. Jumlah skor 7-9 12 Baik 40,00
2 Sarana Pendidikan
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 13 Cukup baik 43,33
c. Jumlah skor 7-9 17 Baik 56,67
3 Sarana Kesehatan
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 28 Cukup baik 93,33
c. Jumlah skor 7-9 2 Baik 6,67
4 Sarana Ekonomi
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 12 Cukup baik 40,00
c. Jumlah skor 7-9 18 Baik 60,00
5 Akses Ekonomi
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 12 Cukup baik 40,00
c. Jumlah skor 7-9 18 Baik 60,00
6 Sarana Komunikasi
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 2 Cukup baik 6,67
c. Jumlah skor 7-9 28 Baik 93,33
7 Akses Komunikasi
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 3 Cukup baik 10,00
c. Jumlah skor 7-9 27 Baik 90,00
8 Prasarana Trans
a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00
b. Jumlah skor 4-6 0 Cukup baik 0,00
c. Jumlah skor 7-9 30 Baik 100,00
9 Transportasi
a. Jumlah skor 1-3 5 Kurang baik 16,67
b. Jumlah skor 4-6 15 Cukup baik 50,00
c. Jumlah skor 7-9 10 Baik 33,33
Ketersediaan sarana transportasi yang meliputi kelayakan jalan, kendaraan roda empat dan roda
dua serta sepeda dapat digunakan petani dalam mempermudah akses jual beli ternak dan pakan bagi
ternak mereka (Rasyaf, 2001). Hasil yang didapatkan adalah 100%. Semua pengrajin tatah sungging
memiliki kendaraan pribadi, para responden memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat
sehingga dikategorikan baik. Responden memiliki kendaraan roda dua yang digunakan untuk
mempermudah akses untuk produksi kerajinan tatah sungging dan kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Akses jalan yang kurang baik, daerah di sekitar merupakan persawahan, perkebunan, dan perumahan
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
173
dengan jarak tempuh menuju pasar dan sekolah cukup jauh. Sarana transportasi di daerah ini tidak
didukung adanya transportasi umum seperti bus, angkot dan truk. Hal ini membuat para pengrajin
memiliki kendaraan secara pribadi meski tidak semua memiliki kendaraan roda empat.
Modal sarana komunikasi pada kategori baik yaitu sebanyak 93,33 %. Sarana komunikasi
merupakan salah satu modal sosial yang mempengaruhi kelancaran dalam usaha kerajinan tatah
sungging. Ketersediaan sarana komunikasi meliputi televisi, radio, dan telepon akan lebih
memudahkan pengrajin dalam mencari informasi mengenai cara untuk mengembangkan usaha
kerajinan tatah sungging. Sarana komunikasi juga dapat mempermudah dan mempercepat proses
pemasaran produk kerajinan tatah sungging.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan sarana produksi kerajinan tatah sungging
berada pada kategori cukup baik, dengan prosentase sebesar 53,33%. Sarana pendidikan berada pada
kategori baik, yaitu sebanyak 56,67 %. Modal fisik sarana kesehatan berada pada kategori cukup baik,
yaitu sebanyak 93,33 %. Modal fisik sarana ekonomi dan akses ekonomi berada pada kategori baik,
yaitu sebanyak 60 %. Ketersediaan sarana transportasi dikategorikan baik. Modal sarana komunikasi
pada kategori baik yaitu sebanyak 93,33 %.
Ucapan Terimakasih
Peneliti mengucapkan terimakasih atas terselenggaranya penelitian ini melalui skim Penelitian
Unggulan UNS dana PNBP UNS tahun anggaran 2017. Selain itu, peneliti juga mengucapkan
terimakasih kepada perangkat desa, kecamatan dan kabupaten khususnya di Desa Sonorejo,
Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo yang telah membantu kegiatan penelitian ini sehingga
dapat berjalan dengan lancar.
Daftar Pustaka
BPMPP Sukoharjo, 2015. Wayang Sonorejo. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2010. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Tahun
2009 – 2025
Keller, K.L. 1993. Conceptualizing, measuring, and managing customer based brand equity (2nd ed).
Prentice Hall. New Jersey
Oktavianita, B. , I. Santoso dan R. L. R. Silalahi. 2014. Analisis Pengaruh Strategi Branding Terhadap
Keputusan Pembelian pada Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo dengan Pendekatan
Partial Least Square. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. FTP. Univ. Brawijaya.
Malang.
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan 9. CV Alfabeta. Bandung.
Tjiptono, F. 2005. Brand Management and Strategy. ANDI. Yogyakarta.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
174
Makalah 033
Orientasi Kewirausahaan Pelaku Usaha Pengolahan Susu di Kabupaten Boyolali
Sutrisno Hadi Purnomo1, Shanti Emawati2, Ayu Intan Sari3 dan Endang Tri Rahayu4
1245Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS),
Indonesia
Email : [email protected]
Abstrak
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menganalisis orientasi kewirausahaan pelaku usaha
pengolahan susu di Kabupaten Boyolali. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juni– 29 Agustus
2017 di Kabupaten Boyolali, Indonesia. Penentuan lokasi penelitian dan responden dilakukan secara
purposive (sengaja) dengan responden adalah para pelaku usaha di Kabupaten Boyolali. Data yang
digunakan meliputi data primer yang diperoleh dari pelaku usaha pengolahan susu melalui instrument
kuesioner dan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali serta dari Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali. Analisis data yang digunakan adalah analisis
deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan
susu di Kabupaten Boyolali meliputi kemudahan pengelolaan usaha pengolahan susu memiliki skor
162, kepercayaan usaha pengolahan susu yang dijalankan sebesar 172, penyelesaian masalah yang
timbul agar tidak menghambat usaha memiliki skor 191, kemampuan berusaha semaksimal mungkin
pada usaha pengolahan susu yang dijalankan memiliki skor 194 dan kemampuan menguasai bidang
usaha yang dijalankan memiliki skor 170.
Kata kunci : orientasi, kewirausahaan, pelaku usaha, pengolahan susu
Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar di dunia
yaitu menempati rangking 5 terbesar setelah Tiongkok, India, Amerika dan Rusia. Berdasarkan BPS
(Badan Pusat Statistik) pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia mencapai 252 juta jiwa. Jumlah
tersebut terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan hidup. Bila
dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, kuantitas penduduk Indonesia lebih unggul. Namun bila
dilihat dari segi kualitas, Indonesia masih kalah bersaing. Hal ini dapat dilihat dari salah satu indikator
kualitas sumberdaya manusia yaitu IPM atau Indeks Pembangunan Manusia.
IPM Indonesia ternyata masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.
Menurut United Nation Development Program (2013) bahwa IPM Indonesia hanya menempati urutan
108 dari 287 negara. Peringkat tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan IPM di Malaysia,
Thailand, dan Filipina yang masing-masing menempati urutan 63,78, dan 90. IPM dalam suatu negara
dapat dipengaruhi oleh pemerataan pelayanan pendidikan, tingkat kemiskinan, dan aspek pangan
protein hewani. Salah satu pangan protein hewani yang dapat dijadikan indikator adalah konsumsi
susu nasional. Konsumsi susu nasional masyarakat Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan
sesama negara ASEAN lainnya. Menurut Kemenperin (2014), konsumsi susu nasional Indonesia
hanya pada kisaran 11,09 liter/kapita/tahun jauh di bawah konsumsi rata-rata negara ASEAN yaitu
sekitar 20 liter/kapita/tahun.
Berdasarkan data Kementan (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 populasi sapi perah
Indonesia sebanyak 444.266 ekor dengan produksi susu sebanyak 690.000 ton/tahun. Populasi ini
mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 611.939 ekor
dengan produksi susu sebanyak 800.751 ton/tahun, sedangkan konsumsi susu nasional menurut
Kemenperin (2013) sebanyak 3,3 juta ton/tahun dengan pasokan bahan baku susu segar dalam negeri
sebanyak 690 ribu ton per tahun (21 persen) dan sisanya sebesar 2,61 juta ton (79 persen) masih perlu
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
175
mengimpor dalam bentuk skim milk powder, anhydrous milk fat, dan butter milk powder dari berbagai
negara seperti Australia, New Zealand, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Kabupaten Boyolali merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah dengan populasi
ternak sapi perah dan produksi susu terbesar, yaitu dengan populasi pada tahun 2013 sejumlah 88.533
ekor, dengan produksi susu sebesar 48.075.220 liter (Badan Pusat Statistik, 2014). Predikat sebagai
“Kota Susu” masih tetap dipertahankan oleh kabupaten yang merupakan daerah utama penghasil susu
di Provinsi Jawa Tengah dan termasuk ke jalur susu yaitu jalur Semarang-Boyolali-Klaten-Solo.
Produksi susu sapi di Boyolali masih belum mampu memenuhi permintaan industri yang saat ini
mencapai 250 ton per hari, saat ini produksi baru mencapai 120 ton. Hal ini berarti permintaan produk
susu sapi Boyolali sangat tinggi. Produksi susu sapi Boyolali memasok bahan baku untuk empat IPS
besar yang ada di Boyolali dan Salatiga, diantaranya PT. Indolakto dan PT. Frisian Flag Indonesia.
Permasalahan yang dihadapi peternak sapi perah rakyat meliputi produksi susu nasional yang
rendah, rantai pemasaran yang tidak menguntungkan peternak, kebijakan pemerintah yang tidak
memihak peternak kecil, dan kurangnya pengetahuan peternak dalam mengelola susu segar.
Kurangnya pendampingan dari pemerintah baik dalam pengolahan susu maupun pemasarannya
menyebabkan produk olahan susu segar dari peternak kurang bisa bersaing dengan susu olahan dari
Industri Pengolahan Susu.
Menurut Hadiyati (2008) bahwa faktor – faktor lingkungan berpengaruh terhadap strategi
daya saing. Oleh karena itu, daya saing sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam
menerapkan orientasi kewirausahaan kedalam aktivitas strategi yang akan menentukan tujuan dan
penciptaan kinerja secara superior (Hui Li et al., 2009). Strategi yang tepat sangat diperlukan bagi
pengusaha UKM, mengingat dalam mengembangkan usahanya dituntut kemampuan untuk
mengidentifikasi peluang dan ancaman yang ada dalam lingkungan bisnisnya. Beberapa hasil studi
empiris menunjukkan bahwa strategi bisnis akan mampu menghasilkan kinerja bagi perusahaan (Ritter
dan Gemȕnden, 2004; Hankinson, 2000).
Berdasarkan uraian latarbelakang tersebut maka diperlukan penelitian yang bertujuan
menganalisis orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali dalam
pengembangan agribisnis persusuan berbasis produk pangan fungsional sebagai upaya peningkatan
daya saing di Kabupaten Boyolali.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 Juni– 29 Agustus 2017 di Kabupaten Boyolali. Metode
dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif yaitu penelitian dengan
memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono, 2006).
Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap prasurvei dan tahap survei. Tahap prasurvei
dilaksanakan untuk menentukan lokasi pengambilan data. Tahap survei dilaksanakan untuk
pengambilan data, baik data primer dari reponden maupun data sekunder dari dinas terkait.
Metode penentuan lokasi dan sampel penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) dengan
pertimbangan bahwa Kabupaten Boyolali merupakan wilayah yang berpotensi dalam usaha
pengolahan susu. Purposive sampling berarti sampel dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006).
Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis orientasi kewirausahaan
pelaku usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali dalam pengembangan agribisnis persusuan di
Kabupaten Boyolali.
Hasil Dan Pembahasan
Karakteristik responden dalam kegiatan ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah
kepemilikan ternak dan pekerjaan peternak.
1. Umur
Umur responden yang mengikuti pelatihan pengembangan UMKM Pengolahan susu di
Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Umur peternak yang mengikuti kegiatan pelatihan di Kabupaten Boyolali
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
176
Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 15-45 38 71,70 46-64 15 28,30 > 64 0 0 Jumlah 53 100
Sumber : Data primer terolah, 2017.
Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah responden tertinggi terdapat pada kelompok
umur 15-45 tahun sebanyak 38 orang dengan persentase sebesar 71,70%. Usia responden tersebut
tergolong usia produktif untuk bekerja. Hasil tersebut didukung Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor
13 Tahun 2003, seseorang yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja berusia 15 sampai dengan 64
tahun (Arsyad, 1999). Menurut Setiana (2000) pada usia produktif seseorang mempunyai kondisi fisik,
tindakan, serta kemampuan berfikir yang masih baik. Usia produktif lebih mudah untuk menerima
inovasi baru guna meningkatkan dan mengembangkan usahanya.
2. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan responden yang mengikuti pelatihan UMKM Pengolahan susu di Kabupaten
Boyolali dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat pendidikan responden yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Boyolali
Tingkat pendidikan Jumlah responden (Orang) Persentase (%) SD dan sederajad 4 7,55 SMP dan sederajad 14 26,41 SMA dan sederajad 26 49,06 D1/D2/D3 2 3,77 Perguruan Tinggi 7 13,21 Total 53 100,00
Sumber : Data primer terolah, 2017.
Tingkat pendidikan peternak tergolong cukup tinggi dengan lulusan SMA dan sederajad
sebanyak 26 orang atau sebesar 49,06%. Responden mayoritas berpendidikan cukup tinggi
dikarenakan responden sudah menyadari bahwa dengan memiliki pendidikan tinggi sangat membantu
kegiatan usaha pengolahan susunya. Pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang mendukung
kompetensi peternak, karena pengetahuan yang dimiliki dapat mempengaruhi untuk berfikir lebih
rasional, memilih alternatif dan cepat menerima atau melaksanakan suatu inovasi (Soekartawi, 2005).
3. Pekerjaan Responden
Pekerjaan utama responden yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada
Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 4 mayoritas responden yang mengikuti pelatihan pengembangan UMKM
pengolahan susu memiliki pekerjaan utama sebagai petani sebanyak 22 orang dengan persentase
41,51%. Sebagian besar responden menjadikan usaha pengolahan susu sebagai usaha sampingan untuk
mendapatkan tambahan pendapatan. Susanto (2003) menyatakan bahwa untuk menghadapi resiko
usaha seperti kegagalan produksi, petani melakukan usaha sampingan sebagai salah satu sumber
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
177
Tabel 3. Pekerjaan utama responden yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Boyolali
Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)
Petani 22 41,51
Wiraswasta 5 9,43
PNS 2 3,77 Peternak 7 13,20
Pengolah susu 3 5,66
Pegawai swasta 3 5,66
Pedagang 1 1,89
Mahasiswa 1 1,89
Ibu rumah tangga 9 16,98
Jumlah 53 100 Sumber: Data primer terolah, 2017.
4. Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab responden dapat dilihat pada Tabel 4
di bawah ini :
Tabel 4. Jumlah anggota keluarga responden di Kabupaten Boyolali
Jumlah anggota keluarga (Orang) Jumlah responden (Orang) Persentase (%) 2-3 16 30,19 4-5 34 64,15 >5 3 5,66
Total 53 100 Sumber : Data primer terolah, 2017.
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab
responden tertinggi yaitu pada golongan 4-5 orang dengan jumlah responden 34 orang dan persentase
64,15%. Persentase tertinggi tersebut menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga responden
merupakan jumlah anggota keluarga yang tergolong ideal. Hal ini sesuai dengan pernyataan BKKBN
(1992) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yang ideal adalah 4 orang yang terdiri dari 1
orang suami, 1 orang istri dan 2 orang anak.
5. Jenis Kelamin
Jenis kelamin responden yang mengikuti pelatihan pengembangan usaha pengolahan susu dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis kelamin responden yang mengikuti pelatihan
Jenis kelamin Jumlah (orang) Presentase (%) Laki-laki 19 35,85 Perempuan 34 64,15 Total 53 100
Sumber : Data primer terolah, 2016
Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang mengikuti pelatihan
berjenis kelamin perempuan dengan jumlah responden sebanyak 34 orang dan persentase 64,15%.
Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan tergabung dalam kelompok wanita tani ternak.
Terdapat perbedaan minat antara laki-laki-laki dan perempuan dalam mengikuti pelatihan
pengembangan usaha pengolahan susu. Menurut Crant (1996) jenis kelamin mempunyai pengaruh
pada usaha yang dikembangkan karena adanya perbedaan pandangan terhadap pekerjaan antara laki-
laki dan perempuan.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
178
Orientasi Kewirausahaan
Hasil analisis orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan susu disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Orientasi kewirausahaan
No. Orientasi Kewirausahaan Skor 1 Kemudahan pengelolaan usaha pengolahan susu 162 2 Kepercayaan usaha pengolahan susu yang dijalankan 172 3 Penyelesaian masalah yang timbul agar tidak
menghambat usaha 191
4 Kemampuan berusaha semaksimal mungkin pada usaha
pengolahan susu yang dijalankan 194
5 Kemampuan menguasai bidang usaha yang dijalankan 170 Sumber : Data primer terolah, 2017
Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai skor tertinggi orientasi kewirausahaan pelaku
usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali adalah mengenai kemampuan berusaha semaksimal
mungkin pada usaha pengolahan susu yang dijalankan. Menurut Miller (1983), serta Covin dan Slevin
(1989) bahwa orientasi kewirausahaan yang terkait dengan perilaku inovatif, perilaku proaktif dan
keberanian mengambil risiko mampu meningkatkan kinerja usaha. Menurut Miller (1983) bahwa
dengan orientasi kewirausahaan maka wirausaha akan menunjukkan eksistensinya dalam bentuk
keberanian dalam mengambil resiko, melakukan perubahan dan mengeksploitasi perilaku inovatif
untuk memperoleh keunggulan bersaing. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa resiko yang
mungkin diterima oleh perusahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perubahan
lingkungan. Oleh karena itu, kekuatan pelaku usaha pengolahan susu dalam mengambil resiko akan
mendorong perusahaan untuk bekerja dengan lebih keras sehingga tingkat keuntungan dapat dicapai.
Tindakan awal yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha pengolahan susu dalam menyusun
strategi bisnis adalah dengan meningkatkan kemampuan dari sumber daya manusia yang dimiliki, baik
melalui pelatihan, seminar ataupun lokakarya, yang akan meningkatkan kompetensinya. Dalam
perspektif Resource–Based View (RBV), kepemilikan sumberdaya yang superior akan menyebabkan
perusahaan mampu menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik daripada pesaing. Implikasinya,
RBV akan menghasilkan keunggulan bersaing dalam jangka panjang bagi perusahaan pada situasi
pasar yang dinamis (Mustikowati, 2015).
Kesimpulan
Orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali adalah mengenai
kemampuan berusaha semaksimal mungkin pada usaha pengolahan susu yang dijalankan. Kekuatan
pelaku usaha pengolahan susu dalam mengambil resiko akan mendorong perusahaan untuk bekerja
dengan lebih keras sehingga tingkat keuntungan dapat dicapai.
Daftar Pustaka
Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
BKKBN. 1992. Buku Pegangan Kader KB. Jakarta.
Covin, J. G. dan D. P. Slevin. 1989. Strategic Management of Small Firms in Hostile and
Benign Environments, Strategic Management Journal, Vol. 10, No. 1., pp. 75-87.
Crant, J M. (1996).The proactive personality scale as a predictor of entrepreneurial intentions.
Journal of Small Business Management 34 (3).
Hadiyati, E. 2011. Kreatifitas dan Inovasi berpengaruh terhadap Kewirausahaan Usaha Kecil,
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 13. No. 1. Hal. 8-16.
Miller. 1983. The Correlates Of Entrepreneurship In Three Types Of Firms, Management
Science, 29: 770-791.
Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2
Surakarta, 6 November 2017
179
Mustikowati, R.I. 2015. Orientasi Kewirausahaan, Inovasi, Dan Strategi Bisnis Untuk
Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Studi Pada UKM Sentra Kabupaten Malang). Jurnal
Modernisasi. Volume 10, No.1 Februari.
Setiana. L. 2000. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia, Bogor.
Soekartawi. 2005. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Susanto, W. 2003. Pendapatan Usahatani Pembibitan dan Pembesaran Sapi Potong Betina di Desa
Tegahan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Skripsi S1 Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.