187
SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN TROPIS BERKELANJUTAN 2

peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

SEMINAR NASIONAL PETERNAKAN TROPIS BERKELANJUTAN 2

Page 2: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

i

Prosiding

Seminar Nasional Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

“Peningkatan Produktivitas Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan dalam

Mendukung Ketersediaan Pangan Hewani”

Surakarta, 6 November 2017

Editor:

Dr.sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P

Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P.

Ari Kusuma Wati, SPt., M.Sc.

Rendi Fathoni Hadi, S.Pt., M.Sc.

Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Surakarta

2018

Page 3: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

ii

Prosiding

Seminar Nasional Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

“Peningkatan Produktivitas Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan dalam

Mendukung Ketersediaan Pangan Hewani”

Surakarta, 6 November 2017

ISBN: 978-602-50128-2-2

Panitia Pelaksana:

Dr. Ir. Eka Handayanta, M.P

Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P

Editor:

Dr.sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P

Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P.

Ari Kusuma Wati, SPt., M.Sc.

Rendi Fathoni Hadi, S.Pt., M.Sc.

Reviewer:

Dr.sc.agr. Adi Ratriyanto, S.Pt., M.P

Dr. Ir. Joko Riyanto, M.P.

Ari Kusuma Wati, SPt., M.Sc.

Desain Sampul dan Tata Letak:

Tristianto Nugroho

Achmad Fajar Nugroho

Penerbit :

Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Alamat Penerbit:

Jalan Ir. Sutami No. 36A, Surakarta,

Jawa Tengah 57126

Tel /Fax +62271-637457

e-mail : [email protected]

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk

dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit.

Isi naskah dalam prosiding ini menjadi tanggung jawab masing-masing penulis dan tidak

ada campur tangan dari tim editor.

Page 4: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

iii

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan kekuatan dan

kesempatan untuk menyelesaikan proses penyusunan dan penerbitan prosiding seminar ini.

Kegiatan seminar yang telah dilaksanakan pada tanggal 6 November 2017 merupakan

seminar nasional yang diselenggarakan oleh Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret. Seminar ini bertujuan untuk memperoleh informasi hasil

penelitian aplikatif dan inovatif guna mendukung pembangunan peternakan di Indonesia.

Secara spesifik, seminar nasional peternakan kali ini membahas tema “Peningkatan

Produktivitas Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan dalam Mendukung Ketersediaan

Pangan Hewani”. Pelaksanaan dan hasil seminar diharapkan dapat menjalin komunikasi

ilmiah antara akademisi, peneliti dan praktisi dalam pengembangan peternakan di

Indonesia. Selain itu juga menjadi ajang untuk penyebar luasan informasi ilmu dan

pengetahuan serta teknologi hasil penelitian peternakan berbasis pada pengembangan

ternak lokal secara terpadu dan berkelanjutan.

Sebagai penutup, ungkapan terimakasih yang tak terhingga dan doa terbaik untuk

segala bantuan baik langsung maupung tidak langsung dihaturkan kepada semua pihak

yang telah banyak membantu penyelenggaraan seminar sampai dengan penerbitan

prosiding ini. Mohon maaf sebesar-besarnya bilamana dalam penyelenggaraan seminar ini

ada hal-hal yang tidak berkenan, sampai bertemu pada program seminar selanjutnya.

Surakarta, Maret 2018

Tim Editor

Page 5: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

iv

Daftar Isi

Halaman Sampul ............................................................................................ i

Kata Pengantar .............................................................................................. iii

Daftar Isi ......................................................................................................... iv

Makalah Utama

Arah dan Kebijakan Penelitian untuk Pengembangan Ternak Unggas Lokal

di Indonesia ...................................................................................................... 1

Makalah Pendukung

Penampilan Produksi Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Konsentrat

Menir Kedelai Terproteksi ............................................................................... 11

Kinerja Reproduksi Kelinci yang Diberi Tambahan Pakan Buah Jambu Biji

dan Kecambah Kacang Hijau sebagai Sumber Vitamin C Dan E: Studi

Pendahuluan. .................................................................................................... 15

Gambaran Hematology Darah Pedet Friesian Holstein yang Diberi Pellet

Calf Starter dengan Limbah Kubis terfermentasi ............................................ 23

Produksi Rumput Setaria sphacelata yang Diberi Pupuk Kandang dengan

Level Berbeda pada Tanah Bekas Tambang Batubara di Bengkulu ............... 28

Pemanfaatan Umbi Amorphophallus Companulatus terhadap Pertumbuhan

Broiler .............................................................................................................. 32

Suplementasi Enzim Celulase dan Precursor Karnitin Serta Minyak Ikan

dalam Ransum Pengaruhnya Terhadap Kadar Eikosapentaenoic Acid (EPA)

dan Dokosaheksaenoic Acid (DHA) Telur Ayam Kampung .......................... 37

Penggunaan Bolus Ternak Ruminansia Sebagai Sumber Mikroba dalam

Fermentasi Limbah Pertanian dan Suplementasi Molases Blok untuk Pakan

Ternak di Kabupaten Wonogiri ....................................................................... 44

Analisis Potensi Sumber Daya Pakan Ternak Ruminansia pada Musim

Kemarau di Daerah Pertanian Lahan Kering (Studi Kasus di Kecamatan

Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta) ................................................ 50

Kajian Suplementasi Pakan Sumber Energi dengan Tingkat Degradasi yang

Berbeda Ditinjau dari Kinetika Fermentasi dalam Rumen Sapi ..................... 56

Evaluasi Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Ayam Broiler yang Diberi

Pakan Suplementasi Probiotik Bacillus Diperkaya Vitamin dan Mineral ....... 63

Evaluasi Penggunaan Limbah Tauge yang Difermentasi Trichoderma

harzianum terhadap Konsumsi Bahan Kering, Kecernaan Bahan Kering dan

Bahan Organik pada Ransum Itik Lokal .......................................................... 68

Page 6: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

v

Pengaruh Pemberian Probiotik Bacillusplus Vitamin dan Mineral terhadap

Trigliserida, Kolesterol, LDL, Dan HDL pada Serum Darah Ayam Broiler ... 77

Pemanfaatan Tepung Biji Durian (Durio zibethinusmurr) sebagai Subtitusi

Jagung dalam Ransum Terhadap Konsumsi Kalsium, Retensi Kalsium dan

Tebal Cangkang Ayam Petelur ........................................................................ 81

Pengaruh Pemberian Tepung Biji Durian sebagai Substitusi Jagung dalam

Ransum Ayam Petelur terhadap Konsumsi Serat Kasar, Kecernaan Serat

Kasar dan Laju Digesta .................................................................................... 86

Status Fisiologis Hati Ayam Petelur yang Diberi Tepung Biji Durian

sebagai Subtitusi Jagung dalam Ransum ......................................................... 90

Pemanfaatan Biji Durian sebagai Bahan Substitusi Jagung pada Ransum

Ayam Petelur terhadap Kecernaan Protein dan Massa Protein Telur .............. 93

Pengaruh Paritas Induk terhadap Performan Berat Lahir dan Berat Sapih

Sapi Bali ........................................................................................................... 98

Dinamika Performa Sapi Bali (Bos javanicus) pada Populasi Progeny Test

Tahun 2011 – 2014 di BPTU-HPT Denpasar .................................................. 103

Half Sib Family Analysis untuk Estimasi Parameter Genetik Sifat Produksi

Kambing Boerja ............................................................................................... 107

Litter Size Kambing Persilangan Boer dan Jawarandu pada Paritas yang

Berbeda ............................................................................................................ 113

Potensi Genetik Sapi Bali: Nilai Pemuliaan Pejantan pada Sifat Bobot

Sapih, Bobot Setahun dan Pertambahan Bobot Badan .................................... 117

Hubungan False Mounting dengan Kualitas Semen Sapi Bali Produksi Balai

Inseminasi Buatan Daerah di Bengkulu ........................................................... 125

Akurasi Pendugaan Bobot Badan Sapi Bali (Bos javanicus) Umur Satu

Tahun Menggunakan Rumus Schoorl, Smith dan Winter ............................... 130

Studi Karakteristik Fenotip Empat Galur Puyuh Lokal di Eks Karisedenan

Surakarta .......................................................................................................... 133

Upaya Peningkatan Keamanan Pangan pada Susu Kambing Melalui

Pelatihan Good Hygienic Practices pada Peternak Kambing Perah dalam

Usus Ayam Broiler .......................................................................................... 137

Identifikasi Faktor-Faktor Penghambat Adopsi Teknologi Inseminasi

Buatan oleh Peternak Sapi Potong Rakyat di Kecamatan Tugumulyo

Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan ...................................................... 142

Mengolah Potensi “Emas Hitam” sebagai Upaya Mengembangkan Sistem

Peternakan Ramah Lingkungan ....................................................................... 149

Page 7: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

vi

Biogas sebagai Sumber Energi Utama Keluarga di Desa Jagoan, Sambi,

Boyolali ............................................................................................................ 154

Model Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif bagi

Masyarakat pada Kelompok Ternak Niti Rejeki Pleret, Bantul ...................... 160

Analisis Keberdayaan Peternak Sapi Potong berbasis Limbah Industri Brem

di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri ........................................ 164

Analisis Modal Fisik Usaha Kerajinan Tatah Sungging Kulit Berbasis Local

Cultural Heritage di Kabupaten Sukoharjo, Indonesia .................................... 169

Orientasi Kewirausahaan Pelaku Usaha Pengolahan Susu di Kabupaten

Boyolali ........................................................................................................... 174

Page 8: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

1

Makalah 001

Arah dan Kebijakan Penelitian untuk Pengembangan Ternak

Unggas Lokal di Indonesia

Soeharsono

Balai Penelitian Ternak- Ciawi Bogor

Jl. Veteran III Ciawai - Bogor

Abstrak

Sejalan dengan arah pembangunan pertanian, tugas utama Balitbangtan adalah menciptakan

benih/bibit unggul dan teknologi berdaya saing, yang memiliki: (1) Nilai tambah ekonomi tinggi yang

berkontribusi secara ekonomis dan berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat; dan (2) Nilai

ilmiah tinggi (scientific recognition) untuk menjamin bahwa kegiatan dan hasil yang didapat

berdasarkan kaidah ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Sumber daya genetik (SDG) unggas

lokal, telah teridentifikasi sebanyak 39 rumpun ayam lokal Indonesia dengan berbagai ciri spesifik dan

fungsinya serta didukung sumber pakan lokal yang berlimpah. Sampai saat ini pengembangan unggas lokal

tersebut masih belum mendapat perhatian yang optimal baik pemerintah, swasta, maupun lembaga riset,

sehingga perkembangan unggas lokal cenderung stagnan. Program perbenihan/perbibitan ternak unggas

yang selama ini telah dilakukan belum memberikan dampak secara luas. Ketersediaan bibit unggul

saat ini menjadi salah satu kunci dan titik awal suksesnya usaha peternakan unggas. Inovasi Badan

Litbang Pertanian sangat strategis dalam mewujudkan program dimaksud. Berkaitan penelitan dan

pengembangan ternak unggas lokal maka Puslitbang Peternakan difokuskan dalam menghasilkan

inovasi teknologi berbasis sumberdaya genetic unggas lokal yang tersedia dan dituntut untuk dapat

menyediakan bibit/benih unggul berikut teknologi budidaya serta model transfer teknologi kepada

peternak secara masif. Balai Penelitian Ternak yang merupakan UPT Puslitbang Peternakan

berkomitmen, dengan berbasis sumberdaya genetic unggas lokal di Indonesia untuk mewujudkan

inovasi ternak unggas unggul sehingga mampu berperan dan mensukseskan program perbibitan ternak

unggas lokal di Indonesia. Hal ini juga mengimplementasikan bahwa bibit unggul yang dihasilkan

selaras dengan upaya diversifikasi pangan guna memenuhi kebutuhan protein asal ternak. Program

penelitan pengembangan ternak unggas berorientasi dalam skala massif dan berkolaborasi dengan

pusat-pusat pembibitan dengan lembaga penelitian, instansi pemerintah pusat, daerah, swasta.

Penyebaran bibit/benih ternak unggul di masyarakat harus dilakukan agar populasi ternak unggul

semakin meningkat dan produksi yang dihasilkan akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

Kata kunci : pengembangan unggas lokal, bibit unggul, inovasi teknologi

Pendahuluan

Produksi daging nasional mencapai 3.062.000 ton dimana sebagian besar bersumber dari daging

ayam ras (broiler) sebanyak 1.722.000 ton (56,24%), dan sebagian kecil dari ayam lokal sebanyak

314.000 ton (10,25%). Proporsi daging ayam lokal terhadap total produksi unggas mencapai 15,42%

(Statisitik Peternakan, 2016). Target konsumsi daging unggas per kapita mencapai 15 kg/tahun pada

tahun 2017. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar komponen produksi (bibit, bahan baku pakan,

obat dan vaksin, dan lain sebagainya) ayam ras berasal dari impor. Hal ini dapat menganggu peta jalan

yang telah dibangun dalam RPJMN jangka menengah dan panjang dalam mewujudkan kedaulatan pangan

nasional. Jika 10 persen (perhitungan konservatif) bisa dinaikkan sehingga kontribusi dari ayam lokal

menjadi 25% maka pasokan yang harus disediakan sekitar 550 juta ekor/tahun, meningkat 400 % dengan

asumsi nilai perdagangan Rp 33 Triliun.

Ketergantungan penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya

produksi dan bibit khususnys grand perent stock (GPS) tergantung dari impor dalam pengembangan

ayam ras, menyebabkan lemahnya daya saing ditingkat global. Dominasi pangan unggas terbesar

dipasok dari ayam ras (broiler dan petelur), sedangkan unggas lokal masih rendah, namun mempunyai

Page 9: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

2

potensi segmen pasar tersendiri dan cukup besar di masyarakat sehingga terus ditingkatkan. Unggas

lokal (ayam kampung dan itik) yang didukung dengan ketersediaan sumberdaya unggas lokal dan

pakan lokal dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan kalangan

tertentu secara nasional.

Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah (mega biodiversity), termasuk

plasma nutfah. Biodiversity darat Indonesia merupakan terbesar nomor dua di dunia setelah Brasil,

sedangkan bila termasuk kelautan maka Indonesia nomor satu dunia. Keanekaragaman hayati yang

didukung dengan sebaran kondisi geografis, berupa dataran rendah dan tinggi serta limpahan sinar

matahari, intesitas curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun di sebagian wilayah, serta

keanekragaman jenis tanah memungkinkan dibudidayakannya aneka jenis tanaman dan ternak asli

daerah tropis maupun komoditas introduksi dari daerah subtropis secara merata sepanjang tahun di

Indonesia.

Strategi meningkatkan daya saing unggas lokal harus dimulai dari sekarang, meskipun saat ini

perkembangan unggas lokal masih jauh tertinggal dibandingkan dengan usaha ayam ras. Potensi

sumberdaya genetik unggas lokal yang dimiliki cukup besar, dimana telah teridentifikasi 39 rumpun

ayam lokal yang mempunyai karakteristik spesifik dengan pemanfaatan yang berbeda-beda. Saat ini

kontribusi produk unggas lokal mencapai sekitar 15,42% dan memiliki potensi untuk ditingkatkan

menjadi 25% terhadap produk ayam nasional pada tahun 2025. Hal ini disebabkan oleh semakin

meningkatnya pendapatan masyarakat, kesadaran akan konsumsi gizi yang seimbang dan perubahan

gaya hidup. Perkembangan ini dapat memacu pemanfaatan berbagai SDG unggas lokal nasional yang

apabila tidak diarahkan dengan baik dan benar dapat berluang menghilangkan potensi plasma nutfah

nasional.

Bibit ternak mempunyai peranan yang sangat strategis dalam proses produksi ternak, sehingga

diperlukan ketersediaan bibit ternak secara berkelanjutan, baik kuantitas maupun kualitas. Badan

Litbang Pertanian telah banyak merakit dan melepaskan varietas dan galur ternak unggul baru, namun

yang digunakan petani masih terbatas sehingga perlu upaya intensif untuk mensosialisasikan varietas

dan galur unggul tersebut. Keberhasilan diseminasi teknologi dalam memanfaatkan varietas dan galur

unggul baru, antara lain ditentukan oleh kemampuan industri bibit ternak untuk memasok hingga

sampai ke tangan petani. Oleh karena itu keberadaan sistem perbenihan yang kokoh (produktif,

efisien, berdaya saing dan berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung upaya peningkatan

produksi dan mutu produk peternakan. Balitnak yang merupakan UPT Badan Litbang Pertanian sudah

mengantisipasi kondisi ini dengan menghasilkan bibit tetua unggul ayam dan itik lokal. Penciptaan inovasi

galur bibit unggul unggas lokal melalui program seleksi yang terus menerus telah menghasilkan unggas

lokal unggul Balitbangtan. Inovasi sistem budidaya tersebut perlu diakselerasi dan lebih fokus untuk

menghasilkan produk bibit unggul yang massif sehingga pengembangan ke arah industrialisasi peternakan

unggas lokal untuk mendukung arah dan program Kementerian Pertanian segera dapat terwujud. Makalah

ini membahas arah dan kebijakan penelitan untuk pengambangan unggas lokal di Indonesia

Arah dan Kebijakan Penelitian Unggas

Perkembangan unggas lokal belum searah arah dengan ayam ras. Sebagian besar peternak

dalam rangka budidaya tidak ditujukan untuk produksi daging dan telur secara optimal sebagaimana

pada ayam ras, tetapi lebih ditujukan untuk usaha sambilan atau tabungan yang setiap saat dapat

diambil manfaatnya. Sangat sedikit yang mengarahkan seleksi untuk produksi telur atau daging,

sehingga sulit bagi unggas lokal untuk bersaing dengan ayam ras dalam menghasilkan jumlah telur

dan daging yang banyak. Para peternak pembibit ayam kampung lebih berfungsi sebagai penjaga

plasma nutfah yang andal atau hanya sebagai hobi hewan piaraan.

Peran unggas lokal terutama ayam kampung dalam ekonomi keluarga dan masyarakat masih

cukup tinggi, terutama di pedesaan. Ayam Kampung dipelihara masyarakat terutama untuk tabungan

keluarga,yang bisa dijual sewaktu-waktu pada saat memerlukan uang tunai. Telur ayam kampung

dimanfaatkan selain untukditetaskan, sebagian dikonsumsi untuk perbaikan gizi keluarga dalam

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Ayam lokal dipelihara masyarakat sebagai sumber

penghasilan tambahan, tabungan dan sumber protein hewani keluarga. Oleh karena itu, ayam lokal

sebagai aset nasional mau tidak mau harus diupayakan untuk dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin

untuk mensubstitusi kebutuhan daging dan telur ayam nasional.

Page 10: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

3

Sejalan dengan arah pembangunan pertanian, tugas utama Balitbangtan adalah menciptakan

benih/bibit unggul dan teknologi berdaya saing, yang memiliki: (1) Nilai tambah ekonomi tinggi yang

berkontribusi secara ekonomis dan berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat; dan (2) Nilai

ilmiah tinggi (scientific recognition) untuk menjamin bahwa kegiatan dan hasil yang didapat

berdasarkan kaidah ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Program perbenihan/perbibitan yang

selama ini telah dilakukan belum memberikan dampak secara luas. Tahun 2018 dicanangkan sebagai

Tahun Benih/Bibit Nasional, sehingga ketersediaan benih/bibit unggul saat ini menjadi salah satu

kunci dan titik awal suksesnya usaha pertanian. Dalam hal ini inovasi Badan Litbang Pertanian sangat

strategis dalam mewujudkan program dimaksud, dimana seluruh UK/UPT Balitbangtan harus dapat

menyediakan bibit/benih unggul berikut teknologi budidaya serta model transfer teknologi kepada

petani. Puslitbang Peternakan beserta seluruh UPT-nya telah berkomitmen untuk mewujudkan

suksesnya program perbibitan ternak unggul ini. Fokus komoditas penelitian dan pengembangan

meliputi sapi potong, unggas lokal. Hal ini juga mengimplementasikan bahwa bibit unggul yang

dihasilkan selaras dengan upaya diversifikasi pangan guna memenuhi kebutuhan protein asal ternak.

Salah satu Unit Pelaksana Teknis Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan adalah Balai

Penelitian Ternak (Balitnak). Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 28/Permentan/OT.140/3/2013

tentang Oganisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Ternak, bahwa Balai Penelitian Ternak adalah Unit

Pelaksana Teknis di bidang penelitian dan pengembangan peternakan yang mempunyai tugas pokok

melaksanakan penelitian ternak Unggas, Sapi Perah dan Sapi Dwiguna, Kerbau, Domba, Kambing Perah,

Aneka Ternak. Dalam melaksanakan tugas tersebut diatas, Balitnak menyelenggarakan fungsi : a)

Pelaksanaan penyusunan program, rencana kerja, anggaran, evaluasi dan laporan penelitian ternak, b)

Pelaksanaan penelitian eksplorasi, identifikasi, karakterisasi, evaluasi, serta pemanfaatan plasma nutfah

ternak; c) Pelaksanaan penelitian pemuliaan, reproduksi dan nutrisi pada ternak unggas, sapi perah dan sapi

dwiguna, kerbau, domba, kambing perah serta aneka ternak; d) Pelaksanaan penelitian bioteknologi ternak,

agrostologi dan fisiologi hasil ternak; e) Pelaksanaan penelitian komponen teknologi sistem dan usaha

agribisnis ternak; f) Pelaksanaan penelitian penanganan hasil ternak dan hijauan pakan ternak, g)

Pemberian pelayanan teknis penelitian ternak; h) Penyiapan kerjasama, informasi dan dokumentasi serta

penyebarluasan dan pendayagunaan hasil penelitian ternak; dan i) Pelaksanaan urusan kepegawaian,

keuangan, rumah tangga dan perlengkapan.

Indonesia kaya akan sumber daya genetik (SDG) unggas lokal, telah teridentifikasi sebanyak 39

rumpun ayam lokal Indonesia dengan berbagai ciri spesifik dan fungsinya serta didukung sumber pakan

lokal yang berlimpah. Sampai saat ini pengembangan unggas lokal tersebut masih belum mendapat

perhatian yang optimal baik pemerintah, swasta, maupun lembaga riset, sehingga perkembangan unggas

lokal cenderung stagnan. Sebagian besar usaha masih dilakukan secara tradisional di tingkat peternak

rakyat. Keterbatasan bibit ungggul unggas lokal menjadi salah satu penghambat dalam pengembangan

secara industri peternakan ayam lokal yang berkesinambungan. Ditinjau dari keanekaragaman

sumberdaya genetik ternak yang tersedia, terdapat beberapa jenis ternak lokal yang berpotensi untuk

dikembangkan sebagai bibit unggul berdasarkan keragaman genetik yang masih tinggi serta daya

adaptasinya pada berbagai kondisi agro-ekosistem. Sumberdaya genetik berbagai jenis unggas lokal

merupakan aset yang sangat berharga bagi perkembangan industri di masa sekarang maupun masa

mendatang, karena daya adaptasinya yang tinggi pada kondisi sub-optimal dan juga untuk

mengantisipasi adanya perubahan keinginan konsumen di masa mendatang.

Ayam Lokal. Arah pembentukan bibit ternak unggas lokal unggul dilakukan seleksi sehigga

terbentuklah pureline-pureline ayam lokal untuk menghasilkan GPS (Grand Parent Stock), PS (Parent

Stock) dan FS (Final Stock) ayam lokal unggul. Balai Penelitian Ternak telah menghasilkan 2 galur

unggul ayam lokal melalui penelitian strategi/program pemuliaan dengan seleksi selama 6 generasi;

1). Ayam KUB-1 (Kampung Unggul Balitbangtan) yang merupakan hasil penelitian seleksi galur

betina (female line) dengan mengurangi sifat mengeramnya dengan produksi telur yang tinggi, dan 2).

SenSi-1 Agrinak yang merupakan hasil penelitian seleksi galur pejantan (male line) dengan bobot

badan yang tinggi.

Ayam KUB merupakan ayam Kampung murni hasil seleksi betina selama enam generasi

dengan keunggulan produksi telur tinggi, 45-50% henday dengan sifat mengeram 10% dari total

populasi. Warna bulu masih seperti ayam Kampung pada umumnya yaitu beragam, namun demikian

didominasi oleh warna hitam, campur coklat dan kehitaman. Jengger berbentuk tunggal (single comb)

dan berbentuk Pea. Keunggulan Ayam KUB dapat dijadikan sebagai bibit galur betina merupakan

Page 11: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

4

bibit parent stock yang dapat dikawinkan dengan pejantan ayam lokal lainnya yang mempunyai bobot

badan besar seperti ayam Pelung, Gaok, Sentul, Nunukan dan lainnya untuk menghasilkan DOC (day

old chick) final stock ayam Kampung pedaging dengan bobot badan 1 kg pada umur 70 hari.

Keunggulan ayam KUB bila dibandingkan dengan ayam Kampung biasa produksi telurnya lebih

tinggi, karena seleksi diarahkan untuk produksi telur, frekuensi bertelurnya ada yang setiap hari atau

dua hari sekali tanpa clutch. Konsumsi pakannya rendah sekitar 80-85 gram dan konversi pakan

rendah, 3,8 kg pakan/kg telur (Sartika et al.,2013). Ayam KUB merupakan ayam unggulan Badan

Litbang Pertanian sejak tahun 2009 melalui (SK Mentan RI No. 274/Kpts/SR.120/2/2014) tentang

Pelepasan Galur Ayam KUB. Keunggulan produksi telur tinggi yaitu produksi telur henday 45-50%,

Puncak produksi 65%, produksi telur/tahun 160-180 butir, konsumsi pakan 80-85 gram, sifat

mengeram 10% dari total populasi, Umur pertama bertelur 22-24 minggu, bobot telur 35-45 gram dan

konversi pakan 3,8 (Sartika et al., 2010). Penampilan luarnya masih bervariasi, yaitu warna bulu

masih beragam didominasi warna hitam, dan campur baur coklat kehitaman. Jenggernya pun

bervariasi dan didominasi oleh bentuk jengger single dan Pea, demikian halnya dengan warna

kulit/shank masih bervariasi dimulai dari warna hitam, abu-abu, kehijauan, putih dan kuning (Iskandar

et al., 2012).

Ayam SenSi-1 Agrinak diproklamirkan sebagai ayam unggulan Balitnak pada tahun 2017

melalui SK Menteri Pertanian No. 39/Kpts/PK.020/1/2017 pada tanggal 20 Januari 2017 tentang

pelepasan galur ayam SenSi-1 Agrinak. Ayam SenSi-1 Agrinak ini merupakan hasil penelitian seleksi

galur jantan (male line) selama 6 generasi dengan keunggulan pertumbuhan dan bobot badan yang

lebih tinggi. Ayam SenSi-1 Agrinak dibagi dalam 2 kelompok berdasarkan warna bulu; SenSi-1

Agrinak berbulu ABU dan SenSi-1 Agrinak berbulu PUTIH. Hasil seleksi bobot hidup umur 10

minggu pada jantan baik pada ayam SenSi-1 Agrinak berwaran bulu (PUTIH maupun ABU) sudah

diatas >1 kg, dengan ratan bobot hidup umur 10 minggu sedikit lebih tinggi pada dan SenSi-1

Agrinak berbulu PUTIH; jantan 1051 gram/ekor; betina 751,00 gram/ekor dan SenSi-1 Agrinak

berbulu ABU sebesar; jantan 1015 gram/ekor; betina 739,00 gram/ekor, (Hasnelly et., al., 2014, 2015,

2016). Kalau dilihat dari frekuwensi sebaran bobot badan umur 10 minggu ≥ 700 g/ekor pada SenSi-1

Agrinak berbulu Putih (terdapat bercak/totol hitam 10%) jantan mencapai 96,98% dan betina

mencapai 82,52%. SenSi-1 Agrinak berbulu Abu jantan mencapai 94,19% dan betina mencapai

80,08% (Hasnelly et., al., 2015). Seperti yang diperkirakan bahwa frekewensi bobot hidup umur 10

minggu dengan kisaran ≥ 700 g/ekor lebih tinggi pada jantan dibanding betina, karena memang

seleksi bobot tubuh dilakukan hanya untuk yang jantan.

Itik lokal. Sejak tahun 2000 Balai Penelitian Ternak (Balitnak) telah merintis proses pemuliaan

itik lokal melalui program seleksi. Sejauh ini telah dihasilkan 2 galur bibit induk yang berasal dari

kelompok itik Alabio dan kelompok itik Mojosari yang telah mengalami proses seleksi untuk

meningkatkan produktivitas serta konsistensi produksinya. Kedua galur tersebut merupakan bibit

induk, dan hasil persilangan di antara keduanya merupakan hibrida yang cukup unggul sebagai bibit

niaga (final stock) itik petelur dibandingkan bibit-bibit itik tetuanya (Prasetyo dan Susanti, 2000)

maupun bibit lain yang ada selama ini. Secara generik, itik hibrida tersebut dinamakan itik ‘MA’,

sedangkan nama komersial akan diberikan oleh masing-masing pembibit komersial nantinya.

Keunggulan itik ‘MA’ terlihat pada rataan produksi telur setahun sebesar 71% dan rataan umur

pertama bertelur sebesar 20 minggu (Hardjosworo et al., 2002), dan keunggulan ini telah terbukti dari

permintaan yang cukup tinggi. Sebagai bibit itik pedaging, saat ini dikembangkan itik Serati yang

berupa hasil persilangan antara entog dan itik dengan pertumbuhan yang cukup cepat. Akan tetapi,

bibit induk (female line) yang mantap dan dengan produktivitas tinggi belum tersedia. Bibit induk

dalam menghasilkan itik pedaging Serati tersebut sedang dalam proses seleksi di Balitnak dan

diharapkan dapat diperoleh hasil yang unggul dalam 2-3 tahun. Memang selama ini daging itik

tergantung sepenuhnya pada itik Peking yang diimpor, sebagai galur itik pedaging yang unggul. Akan

tetapi dengan potensi sumberdaya genetik lokal yang ada, terdapat peluang untuk mengembangkan

galur itik pedaging yang tidak tergantung impor (Prasetyo dan Setiadi, 2006).

Penerapan teknologi pemanfaatan bahan pakan lokal sangat diperlukan untuk mempercepat

upaya pengembangan ayam kampung guna memenuhi kebutuhan protein masyarakat dan

meningkatkan pendapatan peternak. Oleh karena itu, arah pengembangan bahan pakan lokal ke depan

adalah: 1) Memaksimalkan penggunaan bahan pakan lokal untuk mengurangi impor bahan baku pakan

dan menciptakan formulasi pakan yang murah untuk ayam kampung. Menggali berbagai jenis bahan

Page 12: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

5

pakan lokal alternatif yang belum diketahui potensinya untuk diversifikasi pakan ayam kampung.

Mengubah pola pemberian pakan ayam kampung dari ekstensif menjadi intensif dengan berbasis

bahan pakan lokal. Meningkatkan efisiensi penggunaan bahan pakan lokal pada ayam kampung yang

didukung oleh perbaikan genetik dan manajemen pemeliharaan. Muara dari arah pengembangan

tersebut adalah meningkatnya produktivitas, nilai tambah, dan daya saing ayam kampung. Ayam

kampung memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dibanding ayam ras, tetapi

perkembangannya lambat karena faktor keragaman mutu genetik, manajemen pemeliharaan, dan pola

pemberian pakan yang belum memenuhi kebutuhan ternak. Sistem pemberian pakan ayam kampung

mengalami perkembangan dari periode sebelum dan sesudah introduksi ayam ras, sejalan dengan

perubahan sistem pemeliharaan dari ekstensif menjadi semiintensif dan intensif. Kebutuhan nutrisi

untuk ayam kampung pedaging maupun petelur lebih rendah dari ayam ras . Kebutuhan nutrisi ayam

kampung pedaging adalah protein 15-19% dan energi metabolis 2.900 kkal/kg, sedangkan untuk ayam

petelur adalah protein 14-15% dan energi metabolis 2.600kkal/kg.Penambahan asam amino dalam

pakan ayam kampung pedaging maupun petelur dapat meningkatkan efisiensi konversi pakan 5-10%.

Teknologi pengolahan bahan pakan lokal dengan proses pemanasan, fermentasi, dan enzimatis dapat

meningkatkan efisiensi konversi pakan 5-10% dan pendayagunaannya (Resnawati, 2012).

Balitnak yang merupakan salah satu Unit Pelayanan Teknis Pusat penelitian dan Pengembangan

Peternakan, Badan Litbang Pertanian mempunyai tugas kewajiban dalam menghasilkan inovasi

teknologi peternakan unggul sekaligus mendiseminasikan hasil-hasil penelitian agar dapat mencapai

pengguna akhir dan dapat dimanfaatkan dalam mendorong pengembangan industri peternakan

nasional, baik kepada pihak publik maupun swasta komersial.

Strategi penelitian yang sudah – sedang – akan dilakukan diarahkan pada : 1) Pemanfaatan dan

pelestarian sumberdaya genetik ternak, yang intinya berisi upaya pengembangan bibit unggul

berdasarkan sumberdaya genetik unggas lokal ke arah perbaikan produktivitas dan ketahanan terhadap

penyakit. 2) Penelitian bioteknologi menunjang peningkatan efisiensi produksi ternak, yang berupaya

menghasilkan terobosan bioteknologi yang dapat mempercepat peningkatan produktivitas. 3)

Penelitian komponen teknologi untuk menghasilkan produk peternakan yang berdaya saing dan

berwawasan lingkungan, dengan fokus untuk mencari pola budidaya yang sesuai dengan kondisi

setempat khususnya untuk kondisi sub-optimal. 4) Penelitian komponen teknologi pendukung sistem

usahatani di lahan marjinal, yang dimaksudkan untuk lebih memberdayakan lahan-lahan marjinal

sehingga dapat lebih termanfaatkan. Sistem research dilakukan secara mandiri melalui dana APBN

maupun pola kerjasama research luar negeri maupun kerjasama multi stakeholder (Swasta, Pemerintah

Daerah, Perguruan Tinggi, Kementerian dan Lembaga lainnya). Badan Litbang Pertanian memberikan

kesempatan kegiatan kerjasama Kemitraan Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Pertanian

Strategis (KP4S) (kp4s.litbang.pertanian.go.id). Strategi system diseminasi inovasi teknologi dapat

dilakukan secara langsung kepada pengguna melalui pengujian produk/teknologi di lapang di berbagai

tempat secara langsung meng- gunakan lahan peternak. Mengadakan pameran untuk publik dan

seminar ilmiah setiap tahun. Mengadakan temu bisnis dengan berbagai pihak sebagai calon pengguna

yang prospektif. Mengatur kunjungan berbagai kalangan seperti petani/peternak, mahasiswa dan lain-

lain, untuk mengadakan diskusi langsung dengan calon pengguna. Menyebarkan berbagai bentuk

leaflet, booklet, poster, compact disc dan lain- lain. Berpartisipasi secara aktif program Akselerasi

Diseminasi Teknologi Pertanian) oleh Badan Litbang Pertanian. Membuka situs jaringan

(balitnak.litbang.pertanian.go.id/. Mengadakan pelatihan budidaya berbagai jenis ternak.

Pengembangan Unggas Lokal

Ternak unggas lokal dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasar

tertentu, dimana hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan ayam lokal dan itik

cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Pengembangan

unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih

memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah penyakit Avian Influenza

(AI) beberapa waktu yang lalu memberi pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi

industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis,

ekonomis maupun sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan

inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha (Resnawati, 2012).

Page 13: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

6

Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk: (a) menghasilkan pangan

protein hewani sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional, (b)

meningkatkan kemandirian usaha, (c) melestarikan dan memanfaatkan secara sinergis

keanekaragaman sumberdaya lokal untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan (d)

mendorong serta menciptakan produk yang berdayasaing dalam upaya meraih peluang ekspor.

Pengembangan agribisnis komoditas unggas ditujukan untuk (a) membangun kecerdasan dan

menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang

aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang

optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan

tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa

negara. Kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis

peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong pembangunan

peternakan unggas yang tangguh dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang diperlukan dan

berpengaruh efektif mencapai visi tersebut adalah kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan

basis produksi melalui peningkatan investasi swasta, pemerintah dan masyarakat; serta kebijakan

pewilayahan komoditas dan peningkatkan penelitian, penyuluhan dan pendidikan bagi peternak

disertai pengembangan kelembagaan (Suryana, 2005). Kerangka pengembangan unggas lokal sesuai

dengan kebijakan peternakan unggas diharapkan mampu menjadi bagian agribisnis unggas lokal

dalam bentuk kerangka agroindustri

Gambar 1. Kerangka Agribisnis Pengambangan Unggas Lokal

Komoditas unggas khususnya ayam mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena

didukung oleh karakteristik produk unggas berupa daging dan telur yang disukai oleh masyarakat

Indonesia. Harga relatif terjangkau dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan

produk pangan yang tersedia di pasar. Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein

hewani nasional, sehingga prospek yang cukup baik ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan

peternak di pedesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal (Nuryati et al., 2015).

Agribisnis unggas lokal di Indonesia dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan inovasi teknologi

yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu

Page 14: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

7

bersaing dengan produk-produk unggas dari luar negeri. Melalui mitra inovasi dengan menggerakkan

kelembagaan dan sumberdaya yang tersedia serta teknologi maka sistem inti-plasma berpeluang

sebagai model pengembangan unggas lokal di Indonesia, karena peternak memiliki resiko yang relatif

lebih kecil dibandingkan dengan usaha mandiri, mengingat sebagian komponen produksi berupa DOC,

pakan, obat dan vaksin dipasok oleh pihak perusahaan induk, peternak berperan sebagai pemelihara

dengan kesepakatan kontrak harga tertentu

Gambar 2. Pendekatan pengembangan unggas lokal

Pengembangan Unggas Lokal Unggul Balitbangtan

Sistem pengembangan unggas lokal bagi pemerintah masih banyak kelemahan dan yang paling

sulit ditembus adalah kelemahan dalam upaya berkoordinasi dengan berbagai sumberdaya yang ada di

lingkup pemerintah pusat sendiri maupun denga pemerintah daerah dalam rangka membangun suatu

strategi pengembangan ayam lokal secara sinergis terencana dan konsekuen dilaksanakan. Sebagai

ilustrasi, fasilitas kandang dan biaya pemeliharaan ternak di BPTU Sembawa Sumatera Selatan dan

BPTU Plaehari Kalimantan Selatan dan UPTD Perbibitan Unggas di masiing-masing daerah (Prov/

Kab) belum optimal dalam menghasilkan bibit unggal lokal dalam memenuhi kebutuhan bibit secara

nasional yang bisa dimanfaatkan peternak dalam bentuk bisnis.

Sistem pengembangan unggas lokal dapat dilakukan dengan pendekatan terintegrasi Kolaborasi

pengembangan ayam lokal secara nasional - regional dalam penyediaan bibit dilakukan secara

terintegrasi intitusi pusat yaitu Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) dan Balai Peneitian Ternak

(Balitnak) didukung UPTD Perbibitan Unggas Lokal dan Mitra Usaha yang bergerak dalam

pembibitan unggas lokal di tiap daerah (Propinsi/Kab/Kota).

Page 15: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

8

Gambar 1. Sistem pengembangan unggas lokal secara terintegrasi

Balitnak melalui seleksi dan persilangan rumpun unggas lokal menghasilkan galur unggul GPS

dan PS unggas lokal yang yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi selanjutnya diperbanyak oleh

BPTU untuk menghasilkan bibit PS dan didistribusi ke UPTD untuk dilanjutkan produksi

menghasilakn FS ayam lokal niaga yang didistribusikan dalam rangka pengembangan kelompok

ternak maupun peternak untuk kegiatan usaha. Dalam rangka mendapatkan umpan balik inovasi

teknologi maka Balitnak melakukan uji multi lokasi bersama UPTD maupun Kelompok masyarakat.

Ketiga instansi terkait penghasil dan pengganda bibit unggul basil seleksi, harus secara terus menerus

melakukan tukar menukar output baik dalam bentuk materi seperti bibit unggas lokal unggul, maupun

informasi umpan balik sebagai bahan perbaikan setiap generasi bibit unggul yang dihasilkan

Balitnak menyediakan bibit ternak unggul kepada masyarakat dan betul-betul perlu dikawal dan

didampingi agar sukses. Oleh karenanya, program litbang peternakan harus berorientasi dalam skala

massif dan dibentuk pusat-pusat pembibitan di daerah. Kerjasama dengan BPTP dan UPT/D

Kementerian Pertanian menjadi sangat penting dalam hal ini. Penyebaran bibit/benih ternak unggul di

masyarakat harus dilakukan agar populasi ternak unggul semakin meningkat dan produksi yang

dihasilkan akan bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

Dalam masa-masa awal pelaksanaan program promosi dan pemberdayaan masyarakat

pengguna, instansi pemerintah di daerah khususnya harus ikut terlibat. BPTP Balitbangtan yang ada

dimasing-masing provinsi bersama Dinas atau subdinas petemakan kabupaten atau kota sebagai

kelanjutan tangan pengembangan bibit unggul berfungsi untuk melakukan pendampingan, pengawalan

teknologi, inventarisai, pembentukan, pemantauan perkembangan kelompok-kelompok ternak di

daerahnya untuk terlibat dalam program pengembangan unggas lokal.

Instansi potensial yang dapat mempercepat pengembangan ayam lokal adalah Dinas atau Sub

Dinas Peternakan Kabupaten atau Kota yang mempunyai tugas pokok pengembangan dan peningkatan

populasi unggas lokal di wilayahnya. Seringkali program dan proyek dinas mengenai pengembangan

ayam lokal terhambat oleh penyediaan bibit yang berkualitas dalam jumlah memadai programnya.

Hambatan ini sering menjadi penyebab gagalnya program dan proyek, karena harapan keuntungan

petani peserta tidak tercapai karena kualitas yang tidak memadai, meskipun kekuatan yang terdapat

pada instansi ini adalah kekuatan dalam penyuluhan dan penguasaan kondisi wilayah kerja yang lebih

baik. Demikian pula bahwa pengawalan teknologi yang seharusnya diperlukan untuk pengembangan

unggas lokal kurang diperhitungkan.

Page 16: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

9

Gambar 4. Model Pengembangan Unggas Unggul Lokal Balitbangtan

Simpulan

Sumber daya genetik (SDG) unggas lokal, telah teridentifikasi sebanyak 39 rumpun ayam lokal

Indonesia dengan berbagai ciri spesifik dan fungsinya serta didukung sumber pakan lokal yang berlimpah.

Sampai saat ini pengembangan unggas lokal tersebut masih belum mendapat perhatian yang optimal baik

pemerintah, swasta, maupun lembaga riset, sehingga perkembangan unggas lokal cenderung stagnan.

Kebijakan penelitian unggas lokal diarahkan pada penciptaan inovasi bibit unggas lokal dan

teknologi berdaya saing. Memiliki nilai tambah ekonomi tinggi yang berkontribusi secara ekonomis

dan berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat. Nilai ilmiah tinggi (scientific recognition)

untuk menjamin bahwa kegiatan dan hasil yang didapat berdasarkan kaidah ilmiah dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Ketersediaan bibit unggul saat ini menjadi salah satu kunci dan titik awal suksesnya usaha

pengembangan ternak unggas lokal. Inovasi penelitan dan pengembangan ternak unggas lokal

difokuskan dalam menghasilkan inovasi teknologi berbasis sumberdaya genetic unggas lokal yang

tersedia dan dituntut untuk dapat menyediakan bibit/benih unggul berikut teknologi budidaya serta

model transfer teknologi kepada peternak secara masif.

Strategi mengimplementasi inovasi unggas lokal unggul diselaraskan dengan upaya diversifikasi

pangan guna memenuhi kebutuhan protein asal ternak. Pengembangan ternak unggas lokla dalam

skala massif dan berkolaborasi dengan pusat-pusat pembibitan dengan lembaga penelitian, instansi

pemerintah pusat - daerah, dan swasta.

Daftar Pustaka

Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2016. Statistik Peternakan. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Kementerioan Pertanian

Hardjosworo, P.S., A. Setioko, P.P. ketaren dan L.H. prasetyo. 2002. Perkembangan Teknologi Peternakan

Unggas Air di Indonesia. Prosiding Lokakarya Unggas Air 6- 7 Agustus 2001. Fakultas Peternakan IPB

dan Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Page 17: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

10

Hasnelly Zainal. Tike Sartika. Sofjan Iskandar 2015. Kinerja Ayam Lokal Sentul Hasil Seleksi Sebagai Calon

Galur Penjantan. Prosiding Seminar Unggas Lokal V. Peran Unggas Lokal dalam Menunjang Industri

Perunggasan di Indonesia. Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Semarang, 18

November 2015.

Iskandar, S. 2012. Panduan pelaksanaan pengembangan ayam KUB. Edisi khusus untuk pengembangan di 10

propinsi. Balai Penelitian Ternak

Nuryati, L., Noviati, B. Waryanto, dan R. Widaningsih. 2015. Outlook komoditas pertanian subsektor

peternakandaging ayam. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat JenderalKementerian

Pertanian

Prasetyo, L. H., dan B. Setiadi. 2006. Inovasi teknologi aplikatif mendukung usahaternak unggas berdayasaing.

Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi dalam Mendukung Usahaternak Unggas Berdayasaing,

Puslitbang Peternakan

Prasetyo, L.H. dan T. Susanti. 2000. Persilangan Timbal Balik antara Itik Alabio dan Mojosari: Periode Awal

Bertelur. JITV 5(4): 210-214.

Resnawati, H. 2012. Inovasi teknologi pemanfaatan bahan pakan lokal mendukung pengembangan industri ayam

kampung. Journal Pengembangan Inovasi Pertanian 5(2), 2012: 79-95

Sartika T, Desmayati, S. Iskandar, H. R. Resnawati, A. R. Setioko, Sumanto, A. P. Sinurat, Isbandi, B.

Tiesnamurti, dan E. Romjali. 2013. Ayam KUB-1. IAARD Press. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian Kementerian Pertanian. Jakarta

Sartika, T., S. Iskandar, D. Zainuddin, S. Sopiyana, B. Wibowo Dan A. Udjianto. 2010. Seleksi dan “open

nucleus” ayam KUB (Kampung Unggul Balitnak). Lap. Penelitian No: NR/G-01/Breed/APBN 2009.

Suryana, A. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis unggas. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta

Page 18: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

11

Makalah 002

Penampilan Produksi Domba Ekor Tipis Jantan yang Diberi Konsentrat

Menir Kedelai Terproteksi

Riyanto J., Sudibya dan N. Khotimah

Email : [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penggunaan menir kedelai terproteksi

formaldehid terhadap penampilan produksi Domba Ekor Tipis. Kegiatan penelitian menemukan

formula dan produk konsentrat asam lemak omega-3 dan -6 berasal dari menir kedelai ditinjau dari

hasil performan produksi. Domba digunakan sebanyak 15 ekor jantan dibagi dalam tiga perlakuan.

Rancangan percobaan RAL 3 perlakuan masing-masing diulang 5 ekor. Perlakuan penggemukan P1 =

30% RG +70% KK. P2 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai terproteksi tanpa proteksi,

P3 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai terproteksi proteksi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan menir kedelai terproteksi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap

pertambahan berat badan harian namun berpengaruh tidak nyata terhadap FCR, FER dan IOFC.

Kesimpulan penelitiian penggunaan menir kedelai terproteksi sebanyak 10% dalam ransum

penggemukan mampu meningkatkan pertambahan berat badan hariandomba ekor tipis.

Kata kunci : konsentrat asam lemak omega-3 dan -6, Domba Ekor Tipis, Meni kedeli, proteksi

Pendahuluan

Usaha peternakan Domba di Indonesia masih dilaksanakan secara konvensional. Tingkat

produktivitas masih rendah diantaranya pertambahan berat badan harian masih dibawah 300

g/ekor/hari dan belum efisien dalam pemberian pakan. Disisi lain, konsumen daging domba

beranggapan bahwa daging Domba tinggi kolesetrol sehingga menurunkan minat mengkonsumsi

daging Domba. Salah satu langkah strategi percepatan peningkatan produktivitas Domba dilakukan

melalui pemanfaatan secara maksimal protein ransum. Sumber bahan pakan local sumber protein tingi

dapat diperoleh dari limbah industry kedelai berupa menir kedelai.

Menir kedelai diperoleh dari hasil sortiran kedelai utuh berupa pecahan kedelai, sehingga secara

fisik menir kedelai dan kandugan nutrisi sama dengan kedelai utuh (Riyanto, et al. 2017). Di dalam

rumen selama proses fermentasi protein menir kedelai mengalami degradasi oleh mikro organism

rumen, untuk itu perlu dilakukan proteksi (Riyanto dan Sudibya, 2018). Proteksi protein dapat

dilakukan menggunakan aldehid dalam bentuk formaldehid (Riyanto, et al. 2013). Ikatan silang

protein dengan aldehid mampu berikatan silang untuk meloloskan protein hingga ke abomasum dan

diserap oleh usus halus sebagai sumber protein (Riyanto dan Sudibya, 2017)

Belum banyak diperoleh data hasil penelitian suplementasi protein dari bahan pakan lokal

sebagai feed supllement pakan penggemukan Domba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh penggunaan protein terproteksi dalam ransum sebagai feed supplement untuk penggemukan

Domba Ekor Tipis dan pengaruhnya terhadap penampilan produksi secara uji biologis.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan. Penelitian ini dilaksanakan di kandang Domba Ekor

Tipis di Desa Bendungan, Kecamatan Simo, Boyolali. Laboratorium Produksi Ternak Jurusan

Peternakan Fakultas Pertanian UNS.

Bahan dan Alat

Domba Ekor Tipis digunakan sebanyak 15 ekor, jantan, keadaan sehat, berat badan 25-30 kg,

body condition score (BCS) = 2,75 (1-5). Menir kedelai diperoleh dari Bantul, Yogyakarta.

Jalan penelitian

Page 19: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

12

Pakan penggemukan diberikan 3-4% dari kebutuhan bahan kering. Komposisi pakan pakan

perlakuan adalah jerami 30% Rumput Gajah (RG), 60% konsentrat kontrol (KK), dan 10% konsentrat

perlakuan (Tabel 1). Konsentrat kontrol terdiri dari 15% bungkil sawit, 23% kopra, 25% bekatul, 27%

onggok, 5,5% molases, 2% mineral, 1,5% urea, dan 1% garam. Proteksi menggunakan formaldehid

kadar 37% sebanyak 1% dari berat konsentrat perlakuan berdasarkan bahan kering.

Rancangan percobaan.

Percobaan dilaksanakan menggunakan rancangan acak lengkap pola searah 3 perlakuan dan

pengulangan 5 kali masing-masing sebanyak 1 ekor Domba Ekor Tipis :

P1 = 30% RG +70% KK.

P2 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai tanpa proteksi

P3 = 30% RG +60% KK+10% suplemen menir kedelai terproteksi proteksi

Tabel 1. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Perlakuan

Nama Bahan Pakan Perlakuan

P0 (%) P1(%) P2(%)

Rumput gajah 30,00 30,00 30,00

Konsentrat Kontrol 70,00 60,00 60,00

Menir kedelai tanpa terproteksi 0 10 0

Menir kedelai terproteksi 0 0 10

Jumlah 100 100 100

Kandungan Nutrien --------------------------- (%) ------------------------

Protein kasar (PK) 9.90 11.98 12.05

Lemak kasar (LK) 4.53 5.54 5.49

Serat kasar (SK) 25.80 24.09 24.35

TDN (1) 63.72 65.38 62.48

Cara pengumpulan data dan variabel.

Peubah yang diamati pada penelitian ini, antara lain:

a. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Pertambahan bobot badan dapat diperoleh dengan menghitung selisih antara bobot

badan kambing akhir dengan bobot awal selama peneliian (g/ekor/hari).

b. Feed Convertion Ratio (FCR)

Konversi pakan dihitung dengan cara membagi rata-rata konsumsi bahan kering

(ekor/hari) dengan rata-rata produksi pertambahan berat badan (ekor/hari).

FCR = Konsumsi pakan (g)

𝑃𝐵𝐵𝐻 (𝑔)

c. Feed Effisiency Ratio (FER)

Konversi pakan dihitung dengan cara membagi rata-rata produksi pertambahan berat

badan (ekor/hari) dengan rata-rata konsumsi bahan kering (ekor/hari)

FER = P B B H (g)

Konsumsi pakan (g)

d. Income Over Feed Cost

Pendapatan (Rupiah) yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya pakan selama

penelitian (Rupiah)

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian pengaruh perlakuan terhadap pergtambahan berat badan, FCR, FER dan IOFC

dapat dilihat pada tabel 2.

Dari tabel 2 tampak bahwa perbedaan pakan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05)

terhadap pertambahan badan harian, n amun tidak berpengaruh terhadap FCR, FER dan IOFC. Dari

hasil anova diperileh hasil penelitian suplementasi protein terproteksi aldehid dalam ransum dihasilkan

pertambahan berat abdan harian yang lebih tinggi dari dapa perlakuan lainya. Suplementasi menir

kedelai tanpa proteksi dalam ransum menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata dengan ransum

Page 20: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

13

tanpa suplementasi protein, sedangkan suplementasi protein terproteksi nyata meningkatkan

pertanbahan berat badan harian. Keadaan ini menunjukkan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan

yang lebih pada domba-domba yang di diberi ransum mengandung suplemen protein terproteksi. Hal

ini dapat dijelaskan bahwa suplementasi protein terproteksi kedalam ransum meningkatan palatabilitas

ransum baik rasa, warna dan tekstur ransum. Suplementasi protein terproteksi dalam ransum mampu

meningkatkan palatabilitas ransum sehingga dapat berakibat pada peningkatan konsumsi ransum

(Riyanto, et., 2017). Domba yang diberi ransum mengandung prtein terproteksi dihasilkan

pertambahan berat badan yang lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Protein merupakan komponen

pembentukan otot pada ternak. Sintesis protein daging sangat membutuhkan protein yang berkualitas

dan kualitas protein sangat ditentukan oleh jumlah dan macam asam amino yang terkandung

didalamnya. Konsumsi protein ransum menentukan jumlah protein ransum yang masuk kedalam tubuh

ternak untuk menyediakan asam amino bagi pertumbuhan ternak. Konsumsi ransum lebih dipengaruhi

oleh faktor fisik maupun kimiawi Suplementasi minyak dalam ransum akan meningkatkan densitas

energi pakan, sehingga secara kimiawi energi pakan dapat membatasi jumlah pakan yang dikonsumsi

ternak (McDonald et al., (2002). Protein dengan ketahanan degradasi rumen rendah perlu dilindungi

agar sebagian proteinnya dapat mencapai pascarumen, sehingga dapat memasok asam amino bagi

ruminansia (Puastuti et al., 2006).

Tabel 2. Pengaruh perlakuan terhadap PBBH, FCR, FER dan IOFC

Nama Bahan Pakan Perlakuan

P0 P1 P2

Pertambahan berat badan harian (g/ekor/hari) 73±1,4a 73±2,9a 85±2,7b

Feed Convertion Ratio (FCR) 11.73±2.48 17.48±9.77 11.99±5.45

Feed Efficiensy Ratio (FER) 0.08±0.015 0.06±0.028 0.09±0.026

Income Over Feed Cost (IOFC) (Rp) 78.330 70.500 109.500

FCR menunjukkan banyaknya ransum yang dibutuhkan untuk membentuk satu satuan bobot

badan. Semakin tinggi angka FCR menunjukkan rendahnya ransum yang dapat dikonversikan menjadi

bobot badan. Secara tidak langsung nilai ini menentukan kualitas dan nilai ekonomis ransum. Angka

FCR dalam penelitian ini tidak dipengaruhi oleh suplementasi protein terproteksi dari menir kedelai

dalam ransum domba. Widiyanto (2008) bahwa suplementasi minyak biji kapok tak terproteksi pada

aras 10% atau lebih, menurunkan kecernaan bahan kering, bahan organik dan produksi protein total

dari pakan berserat, proteksi protein mengeliminasi pengaruh negatif tersebut.

Efisiensi pakan adalah nilai yang diperoleh dari pertambahan bobot badan yang dihasilkan per

unit bahan kering ransum yang terkonsumsi (Akbar, 2007). Besar kecilnya nilai efisiensi pakan

dipengaruhi oleh PBBH dan pakan yang dikonsumsi oleh ternak. Semakin tinggi nilai efisiensi ransum

maka jumlah ransum yang diperlukan untuk menghasilkan satu kilogram daging semakin sedikit

(Setyowati, 2005).

Pemberian protein terproteksi formaldehid menghasilkan efisiensi ransum yang sama dengan

pakan kontrol. Penggunaan level menir kedelai terproteksi pada penelitian ini adalah 10% dari total

ransum, diduga level tersebut belum optimal. Nilai efisiensi pakan berkaitan dengan nilai konversi

pakan. Nilai efisensi pakan yang rendah disebabkan karena rendahnya rerata PBBH dan rendahnya

nilai nutrien dari bahan pakan yang dikonsumsi domba penelitian. Hasil penelitian sebelumnya oleh

Nurdiati et al. (2012) didapatkan hasil bahwa sapi Simpo yang diberi pakan hijauan berupa legum dan

limbah pertanian menghasilkan efisiensi pakan sebesar 0,02. Sehingga bila dibandingkan dengan

penelitian sebelumnya efisiensi pakan pada penelitian ini lebih tinggi. Pakan menir kedelai terproteksi

menghasilkan penerimaan yang paling tinggi dari ketiga perlakuan. Hal tersebut disebabkan karena

ransum mengandung suplemen prtein terproteksi menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang

tinggi bila dibandingkan ransum lain, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan penerimaan.

Besar kecilnya penerimaan peternak dipengaruhi oleh produk yang dihasilkan dari usaha ternak sap

serta harga produk dipasaran. Penerimaan usaha diperoleh dari mengalikan total hasil berupa

pertambahan bobot badan harian ternak dengan harga bobot hidup per kg ternak pada saat itu

(Zulfanita, 2011).

Page 21: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

14

Simpulan

Penelitiian penggunaan menir kedelai terproteksi sebanyak 10% dalam ransum mampu

meningkatkan pertambahan berat badan harian penggemukan domba ekor tipis.

Daftar Pustaka

Akbar, S. A. 2007. Pemanfaatan tandan kosong sawit fermentasi yang dikombinasikan dengan defaunasi dan

protein by pass rumen terhadap performans ternak domba. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis.

32(2): 80 - 85.

Astuti, S. T. 2014. Evaluasi Menir Kedelai Terproteksi Ditinjau dari Kecernaan Nutrien secara In Vitro. Skripsi.

Program Studi Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

McDonald, P., R.A. Edward and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. 4th edition. English Language

Book Society, Longman, London.

Perdhana, P. W., J. Riyanto., A. Ratriyanto., S. D. Widyawati dan W. P. S. Suprayogi. 2013. Pengaruh

penggunaan tepung ikan dan menir kedelai terproteksi dalam ransum terhadap kecernaan nutrien pada

sapi persilangan simmental peranakan ongole jantan. Journal Tropical Animal Husbandry. 2 (1): 1 – 7

Puastuti, W., I. W. Mathius dan D. Yulistiani. 2006. Bungkil kedelai terproteksi cairan batang pisang sebagai

pakan imbuhan ternak domba: in sacco dan in vivo. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 11(2): 106 – 115

Pujiati, A. 2010. Pengaruh Menir Kedelai, Tepung Ikan Dan Bungkil Kelapa Sawit Terproteksi Terhadap

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik dan Protein Kasar Ransum Sapi PO Berfistula. Skripsi.

Program Studi Peternakan. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Riyanto, J., S.D. Widyawati, A. Pramono, Lutojo dan Riyanti. Penampilan Produksi Penggemukan Feedlot

Sapi Persilangan Simental-Ongole Jantan Diberi Ransum Menir Kedelai-Minyak Ikan Lemuru

Terproteksi. Sains Peternakan Vol. 15 (1) : 22-28. DOI: http://dx.doi.org/10.20961/sainspet.15.1.22-28

Riyanto, J., S.D. Widyawati, W. P. Suprayogi, A. P. Astuti dan T. R. Setiadi. 2013b. Degradasi secara in Vivo

tepung ikan, menir kedelai dan bungkil kelapa sawit terproteksi dalam ransum sapi Potong. Dalam:

Prosiding. Peningkatan Produktivitas Sumber Daya Peternakan. Jatinangor. pp: 519-523

Riyanto, J and Sudibya. 2017. Characteristics of Fermentation Kinetics and Digestibility of PUFA Saponification

and Aldehyde Protected as Cattle Feed Supplement In Vivo. Proceeding of the 1st International

Conference on Tropical Agriculture. © Springer International Publishing AG 2017. DOI 10.1007/978-3-

319-60363-6_38

Riyanto and Sudibya. 2018. Evaluaion of feed for Thin Thailed Sheep fattening with supplemented protected and

unprotected. IOP Conf. Series. Earth ad Environmet. Sci. 119(2018)012020. DOI 10.1088/1755-

11315/119/1/012020

Setyowati, A. D. 2005. Pengaruh Limbah Media Produksi Jamur Pelapuk Kayu Isolat Hs terhadap Konsumsi,

Produksi dan Efisiensi Pakan pada Ternak Domba. Skripsi. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak.

Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Yulianti, A., U. Hidayat dan T. R. Tawaf. 2007. Production Performance Of Australian Commercial Cross (Acc)

Steer That Given Ration Based On Rice Straw Result Of Aerobic Microbe Bioprocess. International

Seminar Biotechnology. Bandung

Widiyanto.2008. Suplementasi Minyak Biji Kapok Terproteksi Sebagai Sumber Asam Lemak Tidak Jenuh

Untuk Meningkatkan Produktivitas Daging Domba Lokal Jawa Ekor Kurus Jantan Rendah Kolesterol

Kaya Asam Lemak Omega 6. Disertasi. Universitas Gadjah Mada.

Zulfanita. 2011. Kajian analisis usaha ternak kambing di desa Lubangsampang kecamatan Pituruh kabupaten

Purworejo. Mediagro. 7(2): 61 – 68

Page 22: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

15

Makalah 003

Kinerja Reproduksi Kelinci yang Diberi Tambahan Pakan Buah Jambu Biji dan

Kecambah Kacang Hijau Sebagai Sumber Vitamin C dan E: Studi Pendahuluan

Isnani Herianti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Jl. Soekarno-Hatta KM 26 No.10, Kotak Pos 124 Bergas Kabupateb Semarang 50552..

Abstrak

Kelinci mempunyai kemampuan reproduksi sangat tinggi, karenanya potensial sebagai

penghasil daging. Adanya tuntutan kesehatan dari masyarakat usia lanjut dan banyaknya kasus flu

burung belakangan ini tampaknya ada peluang untuk mengintroduksikan kembali pangan asal kelinci.

Telah dilakukan kegiatan rekayasa terhadap ransum untuk kelinci dengan penambahan jambu biji

sebagai sumber vitamin C dan kecambah sebagai sumber vitamin E dengan tujuan harapan untuk

meningkatkan kesuburan induk agar diperoleh jumlah anak per kelahiran yang tinggi. Beberapa

pustaka menyatakan asam ascorbat/vitamin C tidak perlu ditambahkan dalam diet beberapa jenis

ternak termasuk kelinci karena hewan tersebut mampu mensintesa asam askorbat dalam jaringan

tubuhnya. Kegiatan ini berawal dari uji coba yang dilakukan bahwa pemberian vitamin C sebanyak ±

250 mg/kg pakan cenderung menekan mortalitas anak – anak kelinci yang dilahirkan. Landasan ilmu

yang digunakan adalah bahwa vitamin C dan vitamin E merupakan mikronutrien yang berpengaruh

terhadap proses reproduksi hewan. Pada percobaan ini, 15 ekor kelinci jenis New Zealand White

dikawinkan dengan pejantan sejenis. Jambu biji dan kecambah ditambahkan sejumlah 50% dari pakan

basalnya. Sebagai kontrol kelinci diberi pakan tanpa tambahan keduanya. Masing-masing perlakuan

dilakukan 5 pengulangan dengan rancangan acak lengkap. Hasil analisa terhadap jumlah anak

sekelahiran (litter size) menunjukkan bahwa kelompok kelinci yang diberi tambahan kecambah dalam

ransumnya mempunyai jumlah litter yang lebih banyak (P < 0,05). Namun demikian pada akhir

kegiatan yakni saat anak disapih pada umur 2 bulan terlihat adanya bukti bahwa kelompok kelinci

yang diberi tambahan jambu biji mempunyai jumlah anak yang mampu bertahan hidup lebih banyak

(P < 0,05).

Pendahuluan

Kelinci, Oryctolagus cuniculus (L) dimasukkan dalam filum Chordata, subfilum Craniata, kelas

Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies Oryctolagus

cuniculus (Thakur dan Puranik, 1981 dalam Juarini et al., 2005). Potensi biologis kelinci berkaitan

dengan tujuan budidaya antara lain kemampuan reproduksi yang tinggi. Pertumbuhannya relatif cepat,

dewasa matang kelamin pada umur ± 6 bulan dengan masa gestasi antara 28 – 35 hari. Telah

diketahui bahwa dalam satu tahun kelinci mampu melahirkan hingga lima kali (Matienzo dan Gatica,

1975; Cheeke, 1982). Lebih lanjut Cheeke (1982) menekankan bahwa setiap induk kelinci mampu

memberikan 6 - 12 ekor anak pada setiap kelahiran. Sementara Farrell dan Raharjo (1984)

menyatakan bahwa di Indonesia biasanya sekitar 8 sampai 10 ekor anak, namun seringkali angka

kematiannya tinggi (25%), sehingga rata-rata jumlah anak lepas sapih sekitar enam ekor.

Selain itu kelinci mempunyai kemampuan yang tinggi memanfaatkan hijauan, limbah pertanian

dan limbah industri pangan sehingga tidak berkompetisi dengan manusia dan tidak memerlukan lahan

yang luas. Prawirodigdo et al (2004) berdasarkan penelitiannya mendokumentasikan bahwa rata-rata

kenaikan bobot badan hidup kelinci yang diberi pakan pellet yang mengandung sisa sayuran dan buah

adalah 23 g/hari. Temuan tersebut yang mendasari Prawirodigdo et al. (2004) menyimpulkan bahwa

kelinci hidup dari pakan limbah pertanian, dan tampaknya kelinci sebagai ternak mikro potensial

untuk memenuhi kebutuhan daging orang-orang negara berkembang termasuk di Indonesia.

Daging kelinci mempunyai kandungan protein tinggi, rendah lemak jenuh dan kolesterol

sementara hasil ekskresinya mempunyai kandungan N, P dan K yang tinggi sehingga dapat

Page 23: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

16

dimanfaatkan sebagai pupuk organik untuk budidaya tanaman. Kulit bulu kelinci mempunyai prospek

pasar yang cukup baik untuk berbagai produk kerajinan. Budidaya kelinci sebagai penghasil daging

mempunyai peluang kompetitif bagi budidaya jenis ternak seperti ayam yang saat ini mengalami

pasang surut dengan adanya kasus flu burung. Terlebih bila dibandingkan dengan ternak besar yang

secara hitungan waktu produksinya memerlukan masa yang lebih panjang dan investasi yang lebih

besar pula. Kelinci dengan sifat prolifik serta beberapa keunggulan lain merupakan penyedia daging

sehat yang perlu dipertimbangkan pengembangannya dimasa mendatang khususnya dalam mengatasi

pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permasalahan kesulitan penyediaan rumput di kawasan

perkotaan untuk pemenuhan pakan hijauan bagi kelinci dapat diatasi dengan pemberian sisa sayuran,

daun atau kulit pisang yang lebih mudah diperoleh.

Telah diterima secara luas bahwa asupan nutrisi yang memadai merupakan faktor penting yang

mempengaruhi kematangan gonad hewan dan jumlah sel telur yang dihasilkan. Selama masa

perkembangan embrio, beberapa nutrisi mikro dan kandungan asam lemak esensial dari pakan untuk

perkembang-biakan kelinci terakumulasi di dalam sel telur, sebagai bentuk energi atau jaringan tubuh.

Vitamin E (tokoferol) merupakan vitamin yang berpengaruh terhadap proses reproduksi (Tillman et al,

1988). Kekurangan vitamin E menurut Bykov et al. (1968) akan menyebabkan hilangnya fertilitas,

kegagalan kebuntingan, kerusakan foetus, resorbsi foetus oleh uterus atau keguguran. Lebih lanjut

diinformasikan bahwa vitamin E dapat memulihkan kembali organ seksual dan menjamin kontinyuitas

kebuntingan serta kelahiran anak. Cheeke (1987) menyatakan bahwa efek kekurangan vitamin E pada

kelinci adalah menurunnya kesuburan. Oleh karena itu dalam pembiakan, kelinci perlu

mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin E. Arrington dan Kelley (1976), menyatakan

bahwa defisiensi vitamin E menyebabkan kegagalan reproduksi meski pada kelinci belum sepenuhnya

dievaluasi.

Selanjutnya, vitamin C (asam askorbat) adalah salah satu antioksidan yang dapat larut dalam

air yang memainkan peran penting dalam mensintesis kolagen protein (Wardlaw et al., 1992;

Mcdonald et al., 1992). Vitamin C juga sangat penting untuk penyerapan zat besi karena menjaga zat

besi dalam bentuk yang paling mudah diserap dan pengangkutan ion besi yang selanjutnya disimpan di

hati, limpa, dan sumsum tulang (Mcdonald et al., 1992). Meskipun demikian, vitamin C ditentukan

sebagai makanan yang tidak penting untuk kelinci bunting (Nrc, 1977; Cheeke, 1987); karena hewan

tersebut mampu mensintesa asam askorbat dalam jaringan tubuhnya. Tillman et al., 1982, menyatakan

bahwa kelinci mempunyai enzim L-gulunolaktone oksidase yang memungkinkan sintesa asam

askorbat dari glukose. Meski demikian pernyataan Card dan Nesheim (1975) yang dikutip oleh

Harimurti, 1994 bahwa meski pun vitamin C dapat disintesa oleh tubuh ayam namun bila ditambahkan

dalam ransum dapat meningkatkan produksi telur, menjadikan dasar pemikiran dilakukannya kegiatan

penelitian ini. Suplementasi vitamin C tersebut mungkin memiliki manfaat dalam mengurangi

pengaruh stres. Cheeke (1987) mengutip Verde dan PiqueR (1986) sepakat bahwa pada kelinci yang

terpapar stres (suhu lingkungan tinggi); profil asam askorbat secara signifikan menurun. Karena

Indonesia adalah negara tropis, ada kemungkinan resiko kelinci mengalami cekaman panas. Namun,

belum ada informasi tentang penggunaan buah jambu biji untuk pembibitan kelinci yang ada.

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui pengaruh jambu biji atau kecambah kacang hijau dalam

pakanan sebagai sumber vitamin C atau E pada kinerja reproduksi kelinci.

Materi dan Metode

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Rejowinangun Selatan, Kota Magelang, Jawa Tengah,

menggunakan 15 ekor kelinci betina New Zealand White berumur sekitar 6 bulan dengan bobot tubuh

3,8 - 4,0 kg. Masing-masing dimasukkan ke dalam kandang bambu yang dilengkapi dengan nampan

yang dipasang di bawah kandang untuk pengumpulan tumpahan pakan yang akan diperhitungkan

dalam pengukuran konsumsi pakan. Dalam penelitian ini pakan percobaan dimodifikasi berdasarkan

pakan tradisional yang diberikan untuk kelinci di lokasi penelitian. Pakan basal tradisional yang

diberikan adalah ampas tahu dengan frekuensi pemberian 2 kali sehari pagi dan sore dengan jumlah

pemberian 200 g/ekor/hari dan rumput lapang sebagai kebutuhan dasar kelinci diberikan pada malam

hari secara ad libitum. Air diberikan ad libitum menggunakan wadah aluminium selama masa

percobaan. Tahap berikutnya induk kelinci dikawinkan dengan pejantan sejenis. Penentuan

kebuntingan dilakukan pada hari ke 11 post coitus melalui palpasi abdomen. Pada hari ke 28

Page 24: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

17

kebuntingan, masing-masing kandang dilengkapi dengan kotak sarang kayu untuk anak-anak kelinci

yang dilahirkan. Sebagai perlakuan adalah (1) pemberian jambu biji sebanyak 50% dari pakan basal

±100 g, (2) pemberian kecambah kacang hijau sebanyak 50%, yang dicampurkan dalam pakan

basalnya, dan (3) kontrol tanpa pemberian tambahan keduanya. Tujuan penambahan jambu biji atau

kecambah biji kacang hijau masing-masing untuk menyediakan vitamin C dan vitamin E dalam pakan.

Estimasi profil nutrisi dari bahan pakan yang digunakan dalam eksperimen saat ini disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi (g pakan/hari/ekor) pakan percobaan sebagai pakan basal.

Uraian Proporsi pakan (g/hari)

Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3

Bahan pakan: Ampas tahu (Soybean curd by product /Glycine

soya) 200 200 200

Rumput lapang Native green feed) 500 500 500 Buah jambu biji (Guava fruit /Pfidium gua Java

L.) 100 - -

Kecambah kacang hijau (Mung bean sprout

/Phaseolus aureus) - 100 -

Estimasi profil nutrien Bahan Kering 127 133 127 Protein kasar 12.38 12.26 12.06

Keterangan: dihitung berdasarkan data Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia (Hartadi et al., 1990).

Perlakuan pakan diberikan 2 minggu sebelum hewan uji dikawinkan hingga anak lepas sapih

yakni umur 2 bulan. Masing-masing perlakuan dengan ulangan 5 kali. Penelitian ini menggunakan

Rancangan Acak Lengkap. Pengolahan data dilakukan dengan analisa varian dan uji beda nyata

terkecil untuk setiap beda nyata yang terjadi (Steel dan Torrie, 1995). Parameter yang diamati adalah

jumlah anak per kelahiran/litter size dan jumlah anak lepas sapih.

Hasil dan Pembahasan

Konsumsi pakan

Data yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara konsumsi bahan kering oleh kelinci yang diberi pakan salah satu dari tiga pakan

percobaan (Tabel 2). Menurut Raharjo (komunikasi pribadi), biasanya konsumsi pakan dari kelinci

bunting adalah 125 - 150 g/hari yaitu sekitar 111,3 - 133,5 g bahan kering/hari. Oleh karena itu,

hewan uji pada percobaan ini menerima jumlah bahan kering yang cukup untuk memenuhi

kebutuhannya.

Table 2. Konsumsi bahan kering dan protein kasar kelinci uji.

Uraian Pakan uji Pakan 1 Pakan 2 Pakan 3

Asupan pakan

Bahan kering (g/hari) 125 a 132 a 127 a

Protein kasar (g/hari) 12.9 a 12.7 a 12.1 a Keterangan: Notasi huruf yang sama dalam satu lajur mengindikasikan tidak berbeda makna

(P>0.05)

Jumlah anak sekelahiran (litter size)

Menurut Calvert (1973) dan Hafez, (1970) yang diutip oleh Sartika dan Diwyanto, 1986, bahwa

pakan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi litter size selain umur induk betina, bangsa

kelinci, ukuran tubuh induk kelinci, iklim dan lingkungan. Semantara Arrington dan Kelley (1976)

Page 25: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

18

menyatakan bahwa jumlah litter cenderung meningkat hingga litter ketiga kemudian konstan sampai

kurang lebih 2 tahun dan selanjutnya mulai menurun.

Banyaknya anak sekelahiran masing-masing perlakuan dapat disimak pada Tabel 3. Kelinci

yang diberi pakan dengan penambahan jambu biji mempunyai rata-rata jumlah anak 4,0 ekor, kontrol

dengan rata-rata 4,4 ekor sedangkan kelinci yang diberi pakan dengan penambahan kecambah rata-rata

7,2 ekor. Hasil analisa jumlah litter size menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kecambah

kacang hijau memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah anak yang dilahirkan ketimbang

kontrol maupun perlakuan penambahan jambu biji (P0,05) sedangkan antara kontrol dengan

perlakuan penambahan jambu biji tidak berbeda makna (P0,05). Hal ini menunjukkan bahwa

pemberian jambu biji tidak mempunyai pengaruh terhadap jumlah anak kelinci yang dilahirkan.

Penambahan vitamin C dalam ransum pada ikan menjelang pemijahan akan mempercepat

ovulasi. Sedangkan kelinci termasuk dalam kelompok hewan dengan ovulasi spontan karena rangsang

coitus (van Tienhoven,1983). Copulasi menstimulasi tonic center dari hipotalamus untuk menginisiasi

kelenjar pituitari mensekresi Luteinizing Hormone (LH), sementara ciclic center bertanggung jawab

terhadap lonjakan konsentrasi LH untuk menstimulasi pecahnya folikel ovarium yang matang

melepaskan telur 10 - 12 jam setelah copulasi (Bykov et al., 1968; van Tienhoven,1983).

Tabel 3. Jumlah anak sekelahiran

Perlakuan Jumlah anak per kelahiran (ekor) Rata-rata

1 2 3 4 5 Penambahan jambu biji (Pakan 1) 6 2 4 6 2 4,0 a Penambahan kecambah (Pakan 2) 8 5 8 8 7 7,2 b

Kontrol (Pakan 3) 4 5 8 2 3 4,4 a Keterangan: Notasi huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda makna

(P>0.05)

Menurut Arrington dan Kelley, 1976, kelinci memerlukan vitamin E sebesar 1 mg per kg bobot

tubuh untuk pertumbuhan dan masa gestasi. Artinya kebutuhan kelinci dalam percobaan ini berkisar

antara 3,8 – 4,0 mg. Lembaga/kecambah kacang-kacangan sangat kaya akan vitamin E. Menurut

Winarsi (2007) dikutip oleh Maulana (2010) bahwa dalam 10 g kecambah kacang hijau mengandung

1,53 mg vitamin E.

Vitamin E atau tokoferol sering disebut dengan vitamin antisterilitas yang menurut Tillman et

al., 1982, tokos dalam bahasa Yunani berarti kelahiran anak dan fero adalah kandungan. Lebih lanjut

dinyatakan bahwa vitamin E merupakan antioksidan yang melindungi vitamin-vitamin lain seperti

vitamin A (retinol). Pernyataan Nichols yang diterjemahkan oleh Sediaoetama (1976) bahwa vitamin

E diperlukan untuk penyerapan yang lebih baik terhadap vitamin A. Hal ini disebabkan oleh sifat

antioksidan dari tokoferol yang juga mempunyai pengaruh menghemat vitamin A pada penimbunan

atau pemanfaatan secara intraseluler. Sementara menurutnya bahwa kelinci tidak dapat menimbun

vitamin A di dalam hatinya. Berkaitan dengan adanya pengaruh antar vitamin, diduga kondisi yang

terjadi ada hubungannya dengan kecukupan kebutuhan akan vitamin A dalam tubuh kelinci.

Defisiensi vitamin A pada kelinci akan menyebabkan perubahan pada sel-sel epitel kornea menuju

keruhnya kornea, dan berakibat mengurangi kemampuan penglihatan. Arrington dan Kelley (1976)

menyatakan bahwa defisiensi vitamin A mempunyai pengaruh terganggunya reproduksi.

Pengaruh vitamin A terhadap ketajaman penglihatan diduga berperan pula dalam proses

reproduksi yang berlangsung pada perlakuan ini. Cahaya yang diterima mata berpengaruh terhadap

pelepasan Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH) hipotalamus, memicu kelenjar pituitari

mensekresi gonadotropin untuk menginisiasi sekresi streroid gonad yang akan menginduksi

perkembangan dan pematangan folikel ovarium. Menurut Bligh (1976) dan Norris (1980) bahwa

retina merupakan jaringan khusus sistem saraf pusat yang sensitif terhadap cahaya. Respon cahaya

yang mencapai retina akan diteruskan ke hipotalamus yang akan menginisiasi perkembangan ovarium

lebih lanjut sehingga kesiapan organ reproduksi untuk proses berikutnya menjadi lebih cepat dicapai.

Szendrö (2007) menyatakan bahwa peningkatan intensitas sinar selama 7 - 8 hari sebelum induk

kelinci dikawinkan akan meningkatkan kesuburan.

Page 26: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

19

Jumlah anak lepas sapih

Mortalitas anak kelinci selama periode pengasuhan pada kontrol cukup besar antara 33,3 -

100%, pada kelinci yang diberi pakan dengan penambahan kecambah antara 20 - 50% sedangkan

kelinci yang diberi pakan dengan penambahan jambu biji antara 0 - 16,7%. Prosentase anak kelinci

yang mampu bertahan hidup hingga umur sapih dapat disimak pada Tabel 4. Hasil pengujian statistik

menunjukkan bahwa ada beda yang bermakna antara perlakuan yang diterapkan. Tidak ada perbedaan

antara kontrol dengan perlakuan penambahan kecambah (P0,05), namun antara kelinci yang diberi

pakan dengan penambahan jambu biji berbeda dengan kedua perlakuan lainnya yakni pada kontrol dan

kelompok kelinci yang diberi pakan dengan penambahan kecambah (P 0,05).

Tabel 4. Prosentase jumlah anak lepas sapih

Perlakuan Jumlah anak lepas sapih (%) Rata-rata

1 2 3 4 5 Penambahan jambu biji (Pakan 1) 65,88 89,45 89,45 89,45 89,45 84,74 b Penambahan kecambah (Pakan 2) 60,00 63,44 43,00 60,00 57,67 56,82 a

Kontrol (Pakan 3) 43,00 89,45 43,00 0,00 54,76 46,04 a Notasi huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan tidak berbeda makna

Hal ini sesuai dengan uji pendahuluan yang telah dilakukan yang menunjukkan kecenderungan

bahwa anak kelinci yang diberi tambahan vitamin C sebesar 250 mg/kg pakan dalam ransumnya atau

sekitar 50 mg/200 g pakan mempunyai tingkat kelulus hidupan lebih tinggi hingga umur lepas sapih.

Menurut Karyadi dan Muhilal (1990) dikutip oleh Harimurti (1994) bahwa kandungan vitamin C

dalam 100 g jambu biji sebesar 87 - 100 mg, lebih tinggi ketimbang pemberian vitamin C pada uji

pendahuluan. Diduga ketercukupan vitamin C dalam tubuh kelinci mampu meningkatkan tanggap

kebal anak-anak kelinci hingga umur sapih. Menurut Oser (1965) dikutip oleh Aritonang et al., 1981

bahwa vitamin C mampu meningkatkan resistensi tubuh terhadap infeksi dan racun organisme

patogen. Thaxton (1986) disitasi oleh Harimurti (1994) yang mencoba penambahan vitamin C pada

ransum ayam terbukti dapat mencegah stress serta memperkecil mortalitas.

Kaitannya dengan pakan basal yang diberikan, ampas tahu mempunyai kandungan serat kasar

yang cukup tinggi ± 12,9 % (Murtisari, 2005). Demikian juga dengan rumput lapang sekitar 38,98%

(Tabel 5). Prawirodigdo, 2007 (pers. comm.) menyatakan bahwa pakan berserat tinggi mempunyai

kandungan vitamin C yang rendah, oleh karena itu diduga penambahan jambu biji sebagai sumber

vitamin C mempunyai pengaruh positif terhadap ketersediaan vitamin C dalam tubuhnya dan

berpengaruh terhadap peningkatan tanggap kebal pada anak-anak kelinci hingga mencapai umur sapih.

Namun demikian perlu penelitian lebih mendalam tentang kandungan vitamin C dan vitamin E dalam

tubuh kelinci/alat reproduksi sehingga diperoleh bahasan yang lebih tepat pengaruhnya secara faali

dalam proses reproduksi kelinci. Demikian juga pengaruh zat-zat lain yang terkandung dalam jambu

biji seperti tanin dan pektin sebagai anti-nutrisi yang dilaporkan dari beberapa penelitian mempunyai

pengaruh menghambat pertumbuhan.

Page 27: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

20

Tabel 5. Komposisi proksimat rumput dan limbah pertanian (%)

Jenis Tanaman Kadar Air

Kadar Abu

Lemak Kasar

Serat Kasar

Protein Kasar

Rumput 4,85 6,88 1,72 38,98 3,72 Jerami Padi 5,38 19,27 2,57 31,05 4,46

Jerami kedelai 5,97 7,48 1,62 39,68 5,25 Jerami Kacang hijau 4,81 8,12 2,13 30,62 5,69

Jerami jagung 5,15 12,14 4,19 23,81 11,59 Jerami tebu 5,17 11,21 1,06 27,64 5,96

Sumber : Hasyim et al., 2004 dikutip oleh Imran, 2006

Pengamatan bobot anak-anak kelinci disajikan pada Tabel 6. Dari hasil analisa yang dilakukan

menunjukkan bahwa tidak ada beda yang bermakna (P> 0,05) antara kedua perlakuan dengan kontrol,

rata – rata bobot tubuh masing – masing perlakuan sebesar 1,75 g, 1,68 g dan 172 g. Menurut Eiben

et al. (2007) bahwa pemberian vitamin E sangat dianjurkan dan pemberian dosis yang tinggi (240

mg/kg pakan) mampu meningkatkan pertumbuhan (bobot badan) pada anak kelinci.

Tabel 6. Rata – rata bobot tubuh (g) anak-anak kelinci lepas sapih

Perlakuan Bobot tubuh (g) Rata-rata

1 2 3 4 5 Penambahan jambu biji (Pakan 1) 1,60 1,80 1,63 1,65 1,75 1,68 a Penambahan kecambah (Pakan 2) 1,67 1,75 1,75 1,73 1,70 1,72 a

Kontrol (Pakan 3) 1,75 1,66 1,70 - 1,90 1,75 a Keterangan: Huruf yang sama dibelakang nilai rata-rata menunjukkan tidak adanya beda bermakna.

Kematian anak-anak kelinci yang terjadi pada perlakuan ini disebabkan karena menderita diarea

(enteritis), biasanya disebabkan karena rusaknya dinding sel sebelah dalam dari saluran pencernaan.

Kelinci merupakan hewan monogastric artinya kemampuan untuk mencerna serat kasar seperti

selulose dan lignin terbatas meski kelinci termasuk hewan herbivor, berbeda dengan kelompok

ruminan lain seperti sapi dan kerbau yang memiliki 4 kompartemen di bagian lambungnya. Cheeke

dan Patton, 1981 disitasi oleh Farrell dan Raharjo, 1984 memperingatkan bahwa kandungan serat

kasar yang tinggi (>22,0%) dapat menyebabkan enteritis mucosae pada kelinci. Menurut Arrington

dan Kelley (1976) bahwa kebutuhan serat kasar kelinci berkisar antara 16 - 18%.

Simpulan

Pemberian kecambah dalam ransum induk kelinci sebelum dikawinkan ternyata memberikan

jumlah litter size yang lebih banyak sedangkan pemberian jambu biji mampu menekan mortalitas anak

– anak kelinci hingga umur sapih. Perlunya kombinasi pemberian kecambah dan jambu biji dalam

ransum kelinci untuk mendapatkan jumlah anak-anak yang banyak dan mampu bertahan hidup hingga

lepas sapih.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bp Suwartono Alm. yang telah mendukung

dilaksanakannya kegiatan penelitian ini. Demikian juga kepada DR. Susanto Prawirodigdo sebagai

pakar nutrisi atas koreksi dan perbaikan dalam penulisan ini.

Daftar Pustaka

Aritonang, D., D.T.H. Sihombing, M.R. Toelihere dan D. Sugandi, 1981. Pengaruh Pemberian Asam Ascorbat

Dalam Ransum Dan Intensitas Memandikan Terhadap Ternak Babi Yang Sedang Bertumbuh.

Prosiding: Seminar Penelitian Peternakan. Bogor, 23 – 26 Maret 1981. Puslitbangnak, Balitbangtan.

270 – 278.

Page 28: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

21

Arrington, L.R. dan K.C. Kelley, 1976. Domestic Rabbit Biology And Production. The University Presses of

Florida. Gainesville, Florida. 230p.

Bligh, J, 1976. Reproduction in: Environmental Physiology of Animals. Edited by BLIGH, J, J.L.C. Thompson

and A.C. Macdonald. Blackwell Scientific Publication. Oxford London Edenburgh Melbourne. Pp.197

– 215.

Bykov , K.M., G.Y. Vladimirov, V.Y. Delov, G.P. Konradi and A.D. Slonim, 1968. Text Book Of Physiology.

Peace Publisher. Moscow. 757p.

Cheeke, P.R. 1983. Rabbit production in Indonesia. J. Appl. Rabbit res. 6:80-86

Cheeke, P.R. 1987. Rabbit feeding and nutrition. Academic Press, Inc. Harcourt Brace Jovanovich, Publishers.

New York.

Eiben, Cs, Gódor, SK, Végi, R., Virág, Gy, Fébel, H., Zsédely, E., Tóth, T. And Schmidt, 2007. Effect Of

Sunflower Oil And Linseed Oil And Vitamin E Dietary Suplementation On Growing And Slaughter

Performance Of Rabbits. Proceeding. International Conference On Rabbit Production. Bogor 24 – 25

Juli 2007.

Farrel, DJ dan Y.C. Yono Raharjo, 1984. Potensi Ternak Kelinci Sebagai Penghasil Daging (The Potential For

Meat Production From Rabbits).Puslitbangnak, Bogor. 34 hal.

Harimurti, S. 1994. Pengaruh Pemberian Jambu Biji Dalam Pakan Petelur Terhadap Respon Anti Stress Dan

Kandungan Kolesterol Telur. Buletin Peternakan. Fak. Peternakan UGM, Yogyakarta. Hal: 96 – 104.

Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo dan A. D. Tillman. 1990. Tabel komposisi pakan untuk Indonesia. Gama Press.

Imran, 2006 Kerbau Sumbawa Dan Padang Penggembalaan. Prosiding: Lokakarya Nasional Usaha Ternak

Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4 – 5 Agustus 2006. Puslitbangnak,

Bogor. Hal: 241-244.

Juarini, E., Sumanto dan B. Wibowo, 2005. Ketersediaan Teknologi Dalam Menunjang Pengembangan Kelinci

Di Indonesia. Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30

September 2005. Hal 121 – 130.

Maulana, A.I. 2010. Pengruh ekstrak tauge (Phaseolus radiatus) pada mencit (Mus musculus) yang diinduksi

dengan parasetamol. Sripsi. Fak Kedokteran UNS, Surakarta.

MATIENZO, Jr. L.H. and R.A. GATICA. 1975. The prolific rabbit. Green fields, 5(3): 3- 8.

MURTISARI, T., 2005. Pemanfaatan Limbah Pertanian Sebagai Pakan Untuk Menunjang Agribisnis Kelinci.

Lokakarya Nasional. Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Bandung 30 September

2005. Hal 41 – 54.

Noriss, D.O., 1980. Vertebrate Endocrinology. Lea & Febiges. Philadeplhia.pp: 55 – 474.

NRC (National Research Council). 1977. Nutrient requirements of domestic animals: Nutrient requirement of

rabbits. National Academy of Sciences. Washington, D.C.

Prawirodigdo, S. 1992. Potensi kelinci dalam perbaikan gizi keluarga dan substitusi bahan baku industri pangan asal

daging serta industri barang dari kulit di Jawa Tengah. Bull. ISPI Purwokerto 6: 383-397.

Prawirodigo, S. Muryanto dan D.M. Yuwono. 2004. Rice bran inclusion in the fruit and vegetable waste-based diets

for fryer rabbits. J.I.T.V., 9 (3): 151-156.

Sartika T. dan K. Diwyanto, 1986. Produktivitas Kelinci Lokal: Litter Size, Pertumbuhan, Mortalitas dan

Kondisi Induk. Ilmu dan Peternakan Balitnak, Bogor. Hal: 117 – 122.

Sediaoetama, A.D. 1976. Ilmu Gizi Dan Ilmu Diit Di Daerah Tropik. Balai Pustaka, Jakarta. 675 hal.

Steel, R.D. dan J.H. Torrie, 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Suatu pendekatan biometric. Gramedia

Pustaka Utama. hal: 105 – 447.

Szendrö Zs, (2007). Management Of Rabbit Does In Small And Medium Scale Rabbit Farms. Proceeding.

International Conference On Rabbit Production. Bogor 24 – 25 Juli 2007.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosoekojo., 1982. Ilmu Makanan

Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. 422 hal.

Page 29: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

22

Van Tienhoven, A., 1983. Reproduction Physiology Of Vertebrate. Cornell University Press. Ithaca London. pp:

38 - 399

Wardlaw, G.M., P.M. Insel, and M.F. Seyler. 1992. Contemporary nutrition: Issues and insights. Mosby Year

Book, Inc. St.Louis, MO.

Page 30: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

23

Makalah 004

Gambaran Hematology Darah Pedet Friesian Holstein yang Diberi Pelletcalf Starter

dengan Limbah Kubis Terfermentasi

Darmawan A.D, S. Mukodiningsih dan F. Wahyono

Program Studi S1 Peternakan

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang

[email protected]

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengkaji kualitas pelletcalf starter dengan penambahan limbah kubis

terfermentasi melalui uji biologis pada pedet Friesian Holstein yang ditinjau dari hematology darah.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi ( SplitPlot Design). Terdiri

dari dua perlakuan yaitu umur ternak sebagai petak utama (A1: umur 3 minggu dan A2: 6 minggu) dan

penambahan limbah kubis fermentasi sebagai anak petak (T1: 2% T2: 4% dan T3: 6%) dengan 4

ulangan. Materi yang digunakan adalah 12 ekor pedet sapi FH prasapih umur 7-42 hari dengan obot

badan rata-rata 38 kg±5 kg, bahan pakan yang terdiri dari jagung giling, bekatul, bungkil kedelai,

molasses, mieral mix, limbah kubis, gula dan garam, air. Peralatan yang digunakan meliputi cooling

box, venoject dan tabung EDTA. Parameter yang diamati meliputi eritrosit dan leukosit darah. Data

yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Analysis of Variance/ ANOVA).Hasil

penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh interaksi antara umur dan jenis calf starter

terhadap eritrosit dan leukosit. Pedet pada umur 3 minggu pada T1, T2,T3 masing masing

mengasilkan eritrosit darah4,62;4,83; T3: 4,92 juta/ml danLeukosit sebesar 11.325;11.200; 9.800

gr/dl. Pedet umur 6 minggu memiliki Eritrosit T1, T2, T3 = 4,78; 4.93; 5.17 juta/mldan Leukosit

T1,T2,T3 = 10.567;8.967;8.632 gr/dl.

Kata kunci: pellet calf starter, fermentasi limbah kubis, eritrosit, leukosit

Pendahuluan

Fase pemeliharaan pedet yang baru lahir sampai dengan umur 6 minggu merupakan fase penting

dalam pemeliharan sapi, karena pada fase ini sapi mulai tumbuh dan berkembang, sehingga perlu

dilakukan upaya untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan pedet. Pedet ketika lahir memiliki

rumen yang belum berkembang dan belum berfungsi dengan baik, oleh karena itu perkembangan

rumen harus dirangsang dengan pemberian pakan starter (Cunningham,1995). Pemberian calf starter

dengan sumber protein dari bungkil kedelai dengan tambahan molases menghasikan perkembangan

rumen yang baik pada pedet FH (Mukodiningsihet el, 2016).

Di sisi lain pedet baru lahir sangat rentan terhadap gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh

bakteri patogen, salah satunya yaitu gangguan pencernaan seperti diare yang menyebabkan kematian.

Tingkat kesakitan dan kematian pedet cukup tinggi yaitu 62% dan 22% dan kejadian tertinggi

disebabkan oleh kasus diare sebesar 39% (Wuduet al., 2008). Diare terjadi akibat peningkatan jumlah

bakteri patogen (Krehbielet al., 2003), oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi

bakteri patogen pada pedet. Jumlah bakteri patogen dalam saluran pencernaan dapat ditekan dengan

menggunakan antibiotik, akan tetapi antibiotik berpotensi ikut terserap pada produk hasil peternakan

(Greathead 2003). Oleh karena itu diperlukan alternatif salah satunya menggunakan bakteri asam

laktat yang dihasilkan dari limbah kubis terfermentasi.

Limbah kubis secara alami mengandung bakteri asam laktat (BAL) yang jumlahnya dapat

diperbanyak melalui fermentasi (Suprihatin dan Perwitasari, 2010).Bakteri asam laktat dapat

digunakan sebagai sumber probiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen (Murwani,

2008). Bakteri tersebut bersifat menekan bakteri patogen yang akan berkembang dalam saluran

pencernaan, sehingga tercipta kondisi pencernaan dan penyerapan nutrien yang baik. Kesehatan ternak

Page 31: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

24

dapat dilihat dari hematology darahnya, karena darah memiliki fungsi penting dalam pengaturet aan

fisiologis tubuh. Jumlah eritrosit, hemoglobin, dan hematokrit menggambarkan kemampuan membawa

oksigen ke jaringan dan ekskresikan karbondioksida (CO2) dari tubuh. Ketiga parameter ini berjalan

sejajar dan memiliki fungsi terkait satu sama lain (Meyer et al. 2004). Nilai leukosit darah

menunjukakan ada tidaknya infeksi dalam tubuh, ketika terjadi infeksi maka nilai leukosit dalam darah

akan meningkat (Frandson 1996). Hasil uji mikrobiologis pemanfaatan limbah kubis fermentasi

dalam pellet calf starter sebanyak 6%, menghasikan bakteri asam laktat paling tertinggi disbanding 2

dan 4% (Sholikhah, 2015).

Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji kualitas pelletcalf starter dengan

penambahan limbah kubis terfermentasi melalui uji biologis terhadap perkembangan rumen dan

kesehatan pedet Friesian Holstein yang ditinjau dari hematology darahnya. Manfaat dari penelitian ini

adalah memberikan informasi kualitas pellet calf starter dengan penambahan limbah kubis fermentasi

yang teruji secara biologis pada pedet FH dari gambaran hematology darahnya.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - Agustus 2016. Pembuatan pakan dilakukan di

Laboratorium Teknologi Makanan Ternak dan Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Fakultas

Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Pemeliharaan pedet bertempat di Balai Besar

Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden, Purwokerto.

Analisis sempel darah dilakuakan di Laboratorium Klinik Omnia Purwokerto.

Materi

Penelitian yang telah dilakukan menggunakan 12 ekor pedet Frisien Holstein (FH) lepas

colostrum dengan umur antara 7 hari – 42 hari, bahan penyusun pellet. Alat-alat yang digunakan

antara lain adalah peralatan pelleting, peralatan kandang, timbangan pedet dan peralatan tulis serta

peralatan laboratorium untuk pengambilan sampel darah.

Metode

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan, pembuatan limbah kubis

fermentasi dan pembuatan pellet calf starter (Mukodiningsih et al, 2010), pelaksaaan, pengambilan

data, analisis sampel dan analisis data.

Tahap persiapan dilakukan kurang lebih 1 bulan yang meliputi pengadaan bahan pakan dan

peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian.

Pembuatan limbah kubis fermentasi dilakukan dengan cara, limbah kubis dipotong-potong

dengan ukuran ± 1 cm. Kemudian diblender hingga tekstur berubah seperti bubur. Limbah kubis yang

telah halus kemudian ditambahkan garam sebesar 6% dan gula 6,4% dari berat limbah kubis yang

dibuat. Campuran limbah kubis, garam dan gula lalu dibungkus dengan menggunakan plastik hingga

anaerob dan diperam selama 6 hari. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Sholikhah, 2015) limbah

kubis yang ditambah garam sebesar 6% dan diperam selama 6 hari menghasilkan total bakteri tertinggi

yaitu 1,1 x 108 cfug.

Pembuatan pelet meliputi beberapa proses, yaitu menyiapakan bahan baku seperti jagung giling,

bekatul, bungkil kedelai, molases dan mineral mix serta aquadest sebanyak 70% dari berat calf starter

yang dibuat. Selanjutnya adalah mencampur beberapa bahan baku pakan diatas dan ditambahkan

Aquadest sebanyak 35% dari total bahan pakan. mencampur formula calf starter yang disusun atas

dasar Total Digestible Nutrient (TDN) 79,10% dan Protein Kasar (PK) 19,61%

Proses selanjutnya adalah conditioning calf starter dengan cara dikukus menggunakan panci

pengukus dan kompor hingga suhu mencapai 800 C kemudian diangkat dan diangin-anginkan hingga

dingin. Setelah dingin kemudian dicampur fermentasi limbah kubis sesuai perlakuan yang diberikan

yaitu: T1 (2% limbah kubis terfermentasi + 100% Calf starter), T2 (4% limbah kubis terfermentasi +

100% Calf starter) dan T3 (6% limbah kubis terfermentasi + 100% Calf starter)

Hasil campuran ditambahkan aquadest sebanyak 35% (sisa aquadest), kemudian dicetak dengan

menggunakan mesin pelleter dengan lubang berdiameter 5 mm. Pengeringan pellet dilakukan hingga

diperoleh kadar air pellet sebesar 12,5 - 13%. Pengeringan dilakukan dengan menggunakan inkubator

Page 32: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

25

yang dilengkapai blower in dan blower out sebagai penguat aliran udara serta sumber pemanas

inkubator berasal dari luar kotak inkubator.

Tahap uji biologis (feeding trial) dilakukan dengan carapemberian formula pellet Calf starter plus

LKF pada pedet selama 5 minggu dengan 1 minggu pertama sebagai masa adaptasi dan 4 minggu

selanjutnya untuk pengambilan data. Kebutuhan nutrisi pedet dihitung berdasarkan bobot badan dan

pertambahan bobot badan per minggu sesuai dengan kebutuhan nutrisi pedet dalam NRC (2001)

dengan perbandingan susu dan Calf starter sebesar 60 : 40 dan hijauan secara ad libitum. Susu

diberikan pada pagi hari sekitar pukul 05.30 WIB dan sore hari sekitar pukul 15.30-16.00 WIB. Calf

starter diberikan 30 menit setelah pemberian susu sedangkan air minum diberikan ad libitum.

Parameter yang diamati meliputi adalah eritrosdit dan leukosit darah. Pengambilan sampel darah

dilakukan pada saat pedet berumur 3 minggu dan 6 minggu. Pengambilan sampel darah dilakukan

melalui vena jugularis menggunakan jarum venoject bermata dua dengan bantuan holder untuk

menampung darah pada tabung vacutainer yang berisi antikoagulan EDTA (Ethylene Diamine

Tetraacetic Acid), sebanyak 3 ml. Sampel darah kemudian dimasukkan dibawa ke Laboratorium untuk

dianalisis. Darah dalam bentuk whole blood digunakan untuk analisis hematology meliputi jumlah sel

darah merah (eritrosit) dan jumlah sel darah putih (leukosit).

Analisis data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam (Analisys of Variance) untuk

mengetahui pengaruh perlakuan terhadap nilai hematology darah pedet FH , jika terjadi pengaruh

nyata dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) pada tingkat

kepercayaan 5% (Steel dan Torrie, 1993).

Hasil dan Pembahasan

Sel Darah Merah (Eritrosit)

Hasil analisis kadar Eritrosit pada darah pedet dengan perlakuan pellet calf starter yang

ditambah limbah kubis terfermentasi dengan taraf berbeda dan rentang umur berbeda dapat dilihat

pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Nilai Eritrosit.

Pakan Perlakuan

Umur Rata rata 3 minggu 6 minggu

----- (x 106/ml) --- T1 4,62 4,78 4,70 T2 4,83 4,93 4,88 T3 4,92 5,17 5,04 Rata-rata 4,79 4,96

Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa tidak ada pengaruh interaksi (P>0,05) antara

pemberian pellet calf starter yang ditambah limbah kubis terfermentasi dengan umur pedet terhadap

nilai eritrosit darah pedet. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pellet calf starter dengan

penambahan limbah kubis terfermentasi pada umur 3 dan 6 minggu menghasilkan nilai eritrosit yang

sama. Hasil ANAVA menunjukkan bahwa perbedaan umur tidak memberikan pengaruh nyata (P >

0,05) terhadap jumlah eritrosit, begitu juga dengan perlakuan jenis pakan memberikan pengaruh tidak

nyata (P > 0,05). Menurut Adeyemo et al., (2010) jumlah total eritrosit dipengaruhi oleh peningkatan

umur, kondisi nutrisi, aktivitas fisik dan jenis kelamin. Menurut Cunningham (1995) bahwa pedet saat

lahir hingga 6 minggu memiliki kondisi fisiologis yang sama, tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin

jantan dan betina. Kondisi nutrisi calf starter yang diberikan pada pedet juga sama baik kandungan

protein maupun TDN. Hal ini menyebabkan jumlah produksi eritrosit darah pedet penelitian sama.

Namun masih dalam kisaran standart sesuai dengan pernyataan Weiss dan Wardrop (2010) bahwa

nilai normal eritrosit sapi berkisar 4,9-7,5 juta/ml. Guyton dan Hall (1996) menyatakan bahwafungsi

utama dari sel-sel darah merah adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya mengangkut oksigen

dari paru-paru ke jaringan.

Page 33: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

26

Sel Darah Putih (Leukosit)

Hasil analisis kadar Leukosit pada darah pedet dengan perlakuan pellet calf starter yang

ditambah limbah kubis terfermentasi dengan taraf berbeda dan rentang umur berbeda dapat dilihat

pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Nilai Leukosit

Pakan

Umur Rata –

rata 3 minggu 6 minggu

----- (/ml) ------- T1 11.325 10.567 10.946 T2 11.200 8.967 10.083 T3 9.800 8.633 9.216 Rerata 10.775 9.389

Berdasarkan hasil analisis ragam diketahui bahwa tidak ada pengaruh interaksi (P>0,05) antara

pemberian pellet calf starter yang ditambah limbah kubis terfermentasi dengan umur pedet terhadap

nilai leukosit darah pedet. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pellet calf starter dengan

penambahan limbah kubis terfermentasi pada umur 3 dan 6 minggu menghasilkan nilai leukosit yang

sama. Hasil ANAVA menunjukakan bahwa perbedaan umur tidak memberikan pengaruh nyata (P >

0,05) terhadap penurunan jumlah leukosit, begitu juga dengan perlakuan pakan yang memberikan

pengaruh tidak nyata (P > 0,05). Rata rata jumlah leukosit yang didapat dari pedet hasil penelitian

berada dibawah standar maksimal yang disampaikan oleh Lumsden et al., (1980) yaitu bahwa pedet

yang berumur 2 minggu - 6 bulan memiliki nilai leukosit sebesar 5,6-13,7 x103/ml. Juga sesuai dengan

pernyataan Bami et al., (2008) yang menyatakan bahwa pedet yang berumur 7-24 hari memiliki

jumlah leukosit sebesar 10,92-13,88 x103/ml. Sedangkan menurut Weiss dan Wardrop (2010) Jumlah

Leukosit sapi normal adalah 5,1-13,3 x103/ml.

Sesuai dengan pernyataan Alakomi et al., (2000) bahwa bakteri asam laktat dapat menghambat

bakteri pembusuk dan bakteri patogen seperti bakteri gram negatif. Penurunan jumlah leukosit ini juga

menunjukan bahwa kesehatan ternak semakin baik karena jumlah leukosit darah dapat

mengindikasikan ada tidaknya infeksi dan penyakit pada ternak. Frandson (1996) menyatakan bahwa

sel darah putih (leukosit) merupakan salah satu sarana pertahanan tubuh terhadap suatu infeksi dan

apabila jumlah sel ini berlebihan, berkaitan dengan adanya penyakit yang bersifat kronis. Nilai

leukosit pedet pada umur 3 dan 6 minggu tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi

menunjukkan adanya penurunan jumlah dari umur 3 minggu ke 6 minggu. Hal ini dimungkinkan

karena fungsi organ tubuh pedet terutama rumen mulai berfungsi dengan baik sehingga kesehatan

ternak semakin membaik.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pedet yang

mendapatkan perlakuan pakan pellet calf starter yang ditambah limbah kubis terfermentasi dengan

taraf berbeda dengan umur berbeda hingga 6 minggu menghasilkan nilai eritrosit dan leukosit darah

sama. Perbedaan umur 3 dan 6 minggu menghasilkan nilai eritrosit dan leukosit darah sama. Taraf

penambahan limbah kubis fermentas dalam pellet calf starter juga menghasilkan nilai eritrosit dan

leukosit darah sama.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepala BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah atas

bantuan penyediaan materi dan dukungan tenaga teknis dalam penelitian sampai koleksi sampel,

laboratorium teknologi pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro atas fasilitas

yang telah diberikan.

Page 34: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

27

Daftar Pustaka

Alakomi HL, Skytta E, Saarela M, Mattila-Sandholm T. 2000. Lactid acid permeabilizes Gram negatif bacteria

by distrupting the outer membran. J. Appl. Enuiron. Microbiol. 66:2001-2005

Chuningham, G.G. 1995. Veterinary Fisiology. WR. Saunders Company, Tokyo.

Chuzaaemi, S. 2012. Fisiologi Nutrisi Ruminansia. UB Press. Malang.

Cunningham, J. G. 2002. Textbook of Veterinary Phisiology. Saunders Company, USA.

Frandson, R.D. 1996. Anatomi dan Fisiologi Ternak IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

(Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan K. Praseno)

Greathead H. 2003. Plants and plant extracts for improving animal productivity. Proc Nutr Soc. 62:279-290.

Guyton, A.C. dan Hall. 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 9. EGC, Jakarta.

Krehbiel, C.R. , S.R. Rust, G. Zhang, and S.E. Gilliland. 2003. Bacterial direct fed microbials in ruminants diet:

Performance response and mode of action. J. Dairy Sci. 81 (2): 120-132.

Mayer, D.J. and J.W., Harvey. 1998. Veterninary Laboratory Medicine, Interpretation and Diagnostic 2nd Ed., W.

B. Saunders Company. Philadelphia, pp : 43-44, 48, 62-64.

Meyer DJ, Coles EH, Rich LJ. 2004. Veterinary Laboratory Madicine Interpretation and Diagnosis.WB

Saunders Company, Philadelphia,Pennsylvania (US).

Mukodiningsih, S., S. Budhi A. Agus, Haryadi dan S.J. Ohh. 2010. Effect of molasses addition level to the

mixture of calf starter and corn fodder on pellet quality, rumen development and performance of

Holstein-Friesian calves in Indonesia. Journal of Animal Science and Technology 52 (3):229-236.

Mukodiningsih S, Achmadi J, Wahyono F, Sung K I and Ohh S J. 2016. Effect of feeding pellet type complete

calf starter combined with maize fodder and molasses on the rumen development of dairy calves.

Livestock Research For Rural Development 28 (5)

Murwani, R. 2008. Aditif Pakan. Universitas Negeri Semarang Press. Semarang.

National Research Council. 2001. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. 7th Revised Edition. National Academy

Press, Washington D. C.

Nurhasanah, H. 1995. Pemeliharaan Pedet Sapi Perah, Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Parakkasi, A. 1999.Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta: Universitas Indonesia Press

Quigly, Jd., III, L. A. Caldwell, G. D. Sinks And R. N. Heitmann. 1991. Changes In Blood Glucose,

Noneterified Fatty Acid, And Ketones In Response To Weaning And Feed Intake In Young Calves. J.

Dairy Sci. 74: 250-257.

Sholikhah, S.C. 2015. Populasi Bakteri dan Keberadaan Bakteri Gram Pada PelletCalfStarter Dengan

Penambahan Bakteri Asam Laktat dari Limbah Kubis Fermentasi. Fakultas peternakan dan Pertanian

Universitas Diponegoro (Skripsi).

Suprihatin dan D. S. Perwitasari. 2010. Pembuatan asam laktat dari limbah kubis. Seminar Nasional Teknik

Kimia Soebardjo Brotohardjono. ISSN 1978-0427. 281-288.

Weiss D J And Wardrop K J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology Sixth Edition. Blackwell Publishing .Lowa

USA.

Wudu & B. Kelay & H. M. Mekonnen & K. Tesfu. 2008. Calf morbidity and mortality in smallholder dairy

farms in Ada’a Liben district of Oromia, Ethiopia. Trop Anim Health Prod 40:369–376.Yogyakarta.

Page 35: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

28

Makalah 005

Produksi Rumput Setaria Sphacelata yang Diberi Pupuk Kandang dengan Level

Berbeda pada Tanah Bekas Tambang Batubara di Bengkulu

Dwatmadji, Edi Soetrisno, Tatik Suteky, dan Yedi Efrison

Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu.

Jl. WR Supratman, Kandanglimun, Bengkulu. 38371.

Email: [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi produksi rumput Setaria sphacelata yang

diberi pupuk kandang pada tanah bekas tambang batubara di Bengkulu. Penelitian ini dilakukan di

tanah bekas tambang batubara PT Danau Mas Hitam, Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi

Bengkulu dan dilakukan selama 4 bulan. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap

(RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dengan ulangan masing-masing perlakuan sebanyak 6 kali, yakni

P0: Tanpa pupuk, P1: Ditambah pupuk kandang dengan level 5 ton/ha, P2: Ditambah pupuk kandang

dengan level 10 ton/ha, P3: Ditambah pupuk kandang dengan level 15 ton/ha, dan P4: Ditambah

pupuk kandang dengan level 20 ton/ha. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi

tanaman (cm), panjang daun (cm), lebar daun (cm), jumlah anakan (batang), produksi segar (g), dan

produksi bahan kering (g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pupuk kandang

berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap semua parameter yang diamati dan semakin tinggi level pupuk

kandang maka semakin tinggi produksi rumput.

Pendahuluan

Saat ini luas lahan bataubara di Indonesia sudah mencapai 93,36 juta ha dengan pengelola

sebanyak 11.142 IUP (Ijin Usaha Pertambangan), 514 ribu ha diantaranya ada di Bengkulu (Indonesia

Investment, 2017). Akibat penambangan batubara, yang di Indonesia biasanya menggunakan teknik

tambang terbuka (open pit mining), kerusakan lahan menjadi sangat umum terjadi (Patiung, 2012).

Untuk mengembalikan kondisi lahan yang rusak pasca pasca penambangan batu bara (Stumpf et al.

2014) perlu dilakukan reklamasi (Sheoran et al., 2010). Salah satu keberhasilan reklamasi bekas

tambang batu bara adalah keberhasilan dalam melakukan revegetasi. Dalam reklamasi bekas tambang,

keberhasilan penanaman awal tanaman penutup tanah sangat penting untuk menjaga kestabilan lahan

dan untuk pemanfaatan lahan nantinya (Nicholas and McGinnies, 1982).

Reklamasi yang sukses biasanya diikuti beberapa langkah untuk menjamin kehidupan dan

pertumbuhan vegetasi, antara lain mencakup penimbunan dengan topsoils (topsoil stockpiling),

tambahan irigasi, penggunaan mulsa, dan pemupukan (Day and Ludeke, 1986). Lahan reklamasi

selanjutnya dapat digunakan untuk laha penggembalaan ternak (Yeiser et al., 2016). Pemupukan yang

dianggap paling murah dan mudah mendapatkannya adalah dengan menggunakan pupuk kandang.

Pupuk kandang diketahui pula sangat kaya akan unsur-unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh

tanaman (Eck et al., 1999; Sawyer dan Hoeft, 1990). Untuk itu, penelitian bertujuan untuk mengetahui

produksi rumput Setaria sphacelata yang diberi pupuk kandang dengan level berbeda pada tanah

bekas tambang batubara di Bengkulu.

Materi dan Metode

Penelitian dilakukan di lokasi lahan bekas tambang batubara di lahan PT Danau Mas Hitam,

Kabupaten Bengkulu Tengah, Propinsi Bengkulu. Penelitian dilakukan selama 120 hari (4 bulan).

Penelitian menggunakan design RAKL (Rancangan Acak Kelompok Lengkap) dengan 4 perlakuan

yaitu P0: tanpa pupuk kandang, P1: dengan pupuk kandang 5 ton/ha, P2: dengan pupuk kandang 10

ton/ha, P3: dengan pupuk kandang 15 ton/ha, dan P4: dengan pupuk kandang 20 ton/ha, dengan

Page 36: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

29

masing-masing ulangan sebanyak 6 polybag. Tanah bekas tambang batubara diambil dan di ayak, dan

kemudian dicampur dengan pupuk kandang sesuai dengan perlakuan, dan dimasukkan kedalam

polybag. Rumput Setaria splendida ditanam dalam bentuk pols dan ditanam dalam polybag (30x50

cm) atau untuk berat 5 kg. Penyiraman dilakukan dua kali sehari, kecuali kalau ada hujan.

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah tinggi tanaman (cm), panjang daun (cm),

lebar daun (cm), jumlah anakan (batang), produksi segar (g/m2), dan produksi berat kering (g/m2).

Parameter produksi diukur pada minggu ke 12, sedangkan parameter lainnya diukur setiap minggu.

Perbedaan antar perlakuan dilakukan dengan ANOVA (Daniel, 1991), dan apabila ada perbedaan

dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) dengan menggunakan software SPSS.

Hasil dan Pembahasan

Produksi rumput

Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian pupuk kandang mampu meningkatkan produksi (baik

berat segar maupun berat kering) rumput Setaria secara nyata (P<0,05). Apabila dihitung berdasarkan

produksi berat kering, maka rumput Setaria pada P1, P2, P3, dan P4 mengalami kenaikan produksi

berturut-turut sebesar 10.64, 14.60, 16.32, dan 15.94 kali lipat dibanding P0. Tidak adanya perbedaan

produksi yang nyata (P>0,05) pada P3 dan P4 menunjukkan bahwa batas optimum pemberian pupuk

kandang dalam penelitian ini adalah pada P3 (15 ton/ha).

Tabel 1. Berat rata-rata dan standar deviasi produksi rumput berat segar dan berat kering Setaria

sphacelata (g/m2) yang diukur pada umur panen 12 minggu.

Perlakuan Berat segar Berat kering P0 66,3 ± 12,53 a

45,4 ± 8,20 a

P1 918,8 ± 101,33 b

705,4 ± 77,75 b P2 1.297,5 ± 88,83 c

967,9 ± 103,97 c P3 1.458,8 ± 112,53 d

1082,2 ± 102,48 d

P4 1.455,0 ± 62,63 d 1057,0 ± 42,29 d Superscript yang berbeda pada baris yang yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Hasil peningkatan produksi akibat pemupukan dengan pupuk kandang ini sejalan dengan

penelitian Ako (1997) yang menunjukkan bahwa semakin banyak pemberian pupuk kandang maka

produksi berat kering Sorghum akan meningkat. Peningkatan produksi rumput Setaria pada penelitian

ini karena pertumbuhan akar yang semakin banyak, yang akhirnya juga mengakibatkan parameter

produksi lainnya (panjang daun, lebar daun, tinggi rumput, dan jumlah anakan) juga meningkat.

Secara umum, pemupukan (N) mampu meningkatkan produksi dan kandungan N rumput (Yossif and

Ibrahim, 2013; Anderson et al., 2010. Produksi berat kering rumput meningkat secara linear dengan

dosis pemupukan (N) sebesar 200 sd 400 kg N/ha/tahun (Sun et al., 2008).

Parameter pertumbuhan

Hasil pengukuran panjang daun, lebar daun, tinggi rumput, dan jumlah anakan yang dilakukan

selama 12 minggu untuk masing-masing perlakuan dapat dilihat di Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan bahwa secara keseluruhan pemupukan dengan pupuk kandang

menyebabkan parameter pertumbuhan (panjang daun, lebar daun, tinggi tanaman, dan jumlah anakan)

pada P1, P2, P3, dan P4 lebih tinggi dibanding P0, terutama sejak rumput mencapai umur 4 s/d 7

minggu. Secara spesifik, pada pengukuran minggu ke 12, panjang daun, tinggi tanaman, dan jumlah

anakan pada perlakuan P1, P2, P3, dan P4 secara nyata (P<0,05) lebih tinggi dibanding P0.

Pertumbuhan yang lebih baik ini akhirnya berakibat dengan meningkatnya produksi biomasa (segar

dan berat kering) rumput Setaria pada penelitian ini (lihat Tabel 1). Pertumbuhan yang lebih cepat

akibat pemupukan pada rumput juga dinyatakan oleh Anderson et al., (2010), sehingga rumput terlihat

lebih kokoh dan dapat mengurangi invasi gulma; karakter tanaman yang juga diinginkan dalam proses

reklamasi. Meningkatnya parameter pertumbuhan karena penambahan pupuk kandang dalam

penelitian ini, diduga karena pupuk kandang mampu meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan

Page 37: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

30

air (water holding-capacity) (Ryals and Silver 2013) dan meningkatnya input carbon (C) tanah

sehingga menstimulasi pertumbuhan rumput (Ryals and Silver 2013; Owen et al., 2015).

Gambar 1. Hasil pengukuran panjang daun (cm), lebar daun (cm) , tinggi tanaman (cm) dan jumlah

anakan (buah) rumput Setaria sphacelata yang diukur pada umur 12 minggu.

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan

produksi rumput Setaria sphacelata dan pemupukan sampai dengan level 15 ton/ha sudah efektif

meningkatkan produksi rumput Setaria sphacelata pada lahan bekas tambang batu bara di Bengkulu.

Daftar Pustaka

Ako, A. 1997. Pengaruh tingkat pemberian pupuk kandang terhadap pertumbuhan dan produksi rumput Gajah

(Pennisetum purpureum Schumach) dan Sorgum (Sorghum bicolor Moench). Media Veteriner. 4(2):34-

42.

Anderson, B.E., Volesky, J.D. and C.A. Shapiro. 2010. Fertilizing grass pastures and hayland. UNL Extension

publications, G1977. Institute of Agriculture and Natural Resources at the University of Nebraska–

Lincoln, USA.

Daniel, W.W. 1991 Biostatistics: A Foundation for Analysis in the Health Sciences. Fifth Edition. John Wiley &

Sons. New York.

Day, A.D. and K.L. Ludeke.1986. Reclamation and fertilization of coal mine soils in the Southwestern Desert.

Desert Plants. 8(1): 20-22.

Eck, H.V., S.R. Winter and S.J. Smith. 1990. Sugarbeet yield and quality in relation to residual beef feedlot

waste. Agron. J., 82:250-254.

Indonesia Investments, 2017. Batubara. https://www.indonesia-investments.com/id/ bisnis/ komoditas / batu-

bara/item236?. Diakses pada 10 Oktober 2017.

Nicholas, P.J. and W.J. Mcginnies. 1982. An evaluation of 17 grasses and 2 legumes for revegetation of soil and

spoil on a coal strip mine. Journal of Range Management. 35(3):288-293.

10

20

30

40

50

60

70

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Pan

jan

g d

aun

(cm

)

Minggu

P0

P1

P2

P3

P4

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

2.2

2.4

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Leb

ar d

aun

(cm

)

Minggu

P0

P1

P2

P3

P4

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jum

lah

an

akan

(b

uah

)

Minggu

P0

P1

P2

P3

P4

20

30

40

50

60

70

80

90

100

110

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Tin

ggi

tan

aman

(cm

)

Minggu

P0

P1

P2

P3

P4

Page 38: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

31

Owen, J.J., , Parton, W.J., and W.L. Silver. 2015. Long-term impacts of manure amendments on carbon and

greenhouse gas dynamics of rangelands. Global Change Biology. 21(12): 4533–4547

Patiung, O. 2012. Kajian dampak reklamasi lahan tambang batubara terhadap komponen fungsi hidrologis dan

ekologis das serta manfaat bagi masyarakat. Disertasi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Ryals, R. and W. Silver. 2013: Effects of organic matter amendments on net primary productivity and

greenhouse gas emissions in annual grasslands. Ecol. Appl., 23(1): 46–59.

Sawyer, J.E. and R.G. Hoeft. 1990. Greenhouse evaluation of simulated injected liquid beef manure. Agron. J.

82:613-618.

Sheoran, V.; Sheoran, A. S.; and P. Poonia, P. 2010. Soil reclamation of abandoned mine land by revegetation: a

review. International Journal of Soil, Sediment and Water: Vol. 3, Iss. 2, Article 13. Available at:

http://scholarworks.umass.edu/intljssw/vol3/iss2/13.

Stumpf, L., Pauletto E.A., Fernandes, F.F., Suzuki, L.E.A.S,, Silva, T.S., Pinto, L.F.S. and C.L.R. Lima. 2014.

Perennial grasses for recovery of the aggregation capacity of a reconstructed soil in a coal mining area

in southern Brazil. Rev Bras Cienc Solo. 38:327-35.

Sun X, Luo, N. Longhurst, B., and J. Luo. 2008. Fertiliser nitrogen and factors affecting pasture responses. The

Open Agriculture Journal. 2:35-42.

Yeiser J.M., Baxley, D.L., Robinson, B.A., Morgan, J.J., Stewart, J.N. & J.O. Barnard. 2016. A comparison of

coal mine reclamation seed mixes in Kentucky: implications for grassland establishment in Appalachia.

International Journal of Mining, Reclamation and Environment. 30(3):257-267.

Yossif,A.M. and Y.M. Ibrahim. 2013. Effect of fertilizers (urea, farmyard and chicken manure) on growth and

yield of Rhodes grass (Chloris Gayana L. Knuth.). Universal Journal of Plant Science. 1:85-90. doi:

10.13189/ujps.2013.010305.

Page 39: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

32

Makalah 006

Pemanfaatan Umbi Amorphophallus companulatus terhadap Pertumbuhan Broiler

Theresia Nur Indah Koni1,2, Zuprizal2,, Rusman2

, Chusnul Hanim2

1Jurusan Peternakan, Politeknik Pertanian Negeri Kupang 2Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan umbi Amorphophallus

companulatus dalam pakan terhadap konsumsi pakan, bobot badan dan konveri pakan broiler.

Penelitian ini dilakukan selama lima minggu, menggunakan rancangan acak lengkap yang terdiri dari

empat perlakuan, empat ulangan dan setiap ulangan menggunakan tujuh ekor broiler. Keempat

perlakuan yaitu (P0) : Ransum kontrol (tanpa Amorphophallus companulatus); (P1) ransum dengan

kandungan Amorphophallus companulatus 5%; (P2) ransum dengan kandungan Amorphophallus

companulatus 10%; (P3) ransum dengan kandungan Amorphophallus companulatus 15%. Data

dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji lanjut jarak berganda Duncan. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan umbi Amorphophallus companulatus menurunkan

konsumsi, bobot badan dan konversi pakan (P < 0,01).

Kata kunci: Amorphophallus companulatus, konsumsi pakan, bobot badan, konversi pakan, Broiler

Pendahuluan

Pakan penting dalam pemeliharaan ternak, pengadaan pakan dapat mencapai 70% dari total

biaya produksi (Abdulrashid dan Agwunobi, 2009; Maidala dan Bilkisu. 2016). Jagung merupakan

sumber energi utama dalam pakan ayam broiler, penggunaannya mencapai 50%, jagung juga

merupakan bahan pangan dan untuk kebutuhan dalam negeri masih diimpor sehingga harga pakan

menjadi relatif tinggi (Mathius and Sinurat 2001). Untuk mengatasinya maka perlu dimanfaatkan

bahan pakan sumber energi alternatif dari hasil pertanian maupun limbah pertanian.

Umbi tanaman Amorphophallus companulatus (AC) dapat dijadikan bahan pakan. Tanaman

ini merupakan tanaman yang tumbuh secara liar di hutan dan belum dibudidayakan secara luas di

Indonesia (Santosa et al. 2015). Di India tanaman ini sudah dibudidayakan, mempunyai produksi 50-

80 ton/ha (Ravi et al. 2009). Koni et al (2015) mengemukakan bahwa di NTT tanaman ini tumbuh

banyak pada saat musim hujan namun masih dianggap sebagai gulma, produksi tanaman ini 4-5 kg

umbi per rumpun. Umbi tanaman Amorphophallus telah digunakan sebagai bahan pangan tradisional

di Malaysia, Filipina, Banglades, dan India (Ravi et al.. 2009; Paul et al. 2013, Santosa et al. 2013)

digunakan sebagai obat tradisional (Ravi et al. 2009) dan sebagai bahan pakan (Paul et al. 2013).

Tanaman ini memiliki kandungan fosfor 34 mg/100 g kalsium 50 mg/100 g dan vitamin A 434 IU/100

g (Ravi et al. 2009), protein kasar 7,33%, dan gross energi 3570,60 kcal/kg ( Koni et al. 2015),

0,46% lemak, 32.1 mg/100 g kalsium dan 1,68% serat kasar (Peetabas et al., 2015). Penelitian ini

bertujuan untuk mengkaji tingkat penggunaan yang dapat memberikan pertumbuhan, yang terbaik

pada ayam broiler.

Materi dan Metode

Persiapan kandang. Satu bulan sebelum penelitian dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan

pembersihan kandang menggunakan air dan detergen, dilanjutkan dengan penyucihamaan kandang

dan peralatan menggunakan desinfektan.

Persiapan umbi Amorphophallus sp. Umbi AC diambil dari desa Amarasi Timur kecamatan

Amarasi Timur Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Umbi dibersihkan dengan air mengalir

untuk mengeluarkan tanah pada kulit umbi. Umbi diiris lebih ± 7 cm dengan ketebalan ± 3 cm dan

Page 40: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

33

kemudian dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari selama ± 2 hari, setelah kering

umbi ini digiling. Pakan disusun berdasarkan formulasi dengan kadar penggunaan umbi AC. Pakan

perlakuan disusun dengan kandungan protein kasar berkisar 21,02 hingga 21,39% dan energi

metabolisme 3027,17- 2044,77 kcal/kg (Tabel 1)

Tabel 1. Formulasi (%) dan kandungan nutrien pakan perlakuan

No Bahan Pakan Level umbi Amorphophallus companulatus (%) 0 5 10 15

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jagung Dedak Halus Tepung daging dan tulang Bungkil

Kedelai Premix DL-Metionin L- Lysin HCl NaCl Amorphophallus companulatus Total

53,00 13,00 7,35

25,00 0,50 0,30 0,60 0,25 0,00 100

50,50 10,50 7,35

25,00 0,50 0,30 0,60 0,25 5,00 100

48,00 8,00 7,35

25,00 0,50 0,30 0,60 0,25

10,00 100

45,50 5,50 7,35 25,00 0,50 0,30 0,60 0,25 10,00 100

Kandungan nutrien pakan perlakuan 1 Bahan Kering (%) 86,77 86,56 86,35 86,14 2 Protein kasar (%) 21,39 21,27 21,15 21,02 3 Energi Metabolisme (Kcal/kg) 3027,17 3029,32 3031,47 3033,62 4 Serat Kasar (%) 4,25 4,02 3,79 3,57 5 Lemak Kasar (%) 4,24 3,97 3,71 3,44 6 Calsium (%) 0,91 0,90 0,90 0,89 7 Fosfor (%) 0,48 0,48 0,49 0,49 8 Lisin (%) 1,02 1,01 1,00 1,00 9 Metionin (%) 0,53 0,53 0,52 0,52

Percobaan biologis. Penelitian ini menggunakan ayam broiler jantan. Pakan yang diberikan

dalam bentuk mash, pakan dan air minum diberikan ad libitum. Untuk pencegahan penyakit Newcastle

Disease (ND) dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin “medivac ND Hitchner B1” pada umur 4

hari dengan cara tetes mata. Jumlah pakan yang diberi dan sisa pakan ditimbang setiap hari untuk

mengetahui konsumsi harian per kelompok. Berat ayam ditimbang seminggu sekali sampai umur lima

minggu.

Parameter penelitian yaitu konsumsi pakan, bobot badan, konversi pakan. Konsumsi pakan

diperoleh dengan menghitung selisih antara jumlah pakan yang diberikan dengan jumlah pakan sisa

(gram/ekor). Bobot badan ditimbang setiap minggu selama penelitian. Konversi pakan diperoleh

dengan cara membagi jumlah pakan yang dihabiskan dengan pertambahan bobot badan.

Penelitian ini yaitu rancangan acak lengkap pola searah, dengan empat perlakuan dan empat

ulangan, masing-masing ulangan berisi 7 ekor ayam. Keempat perlakuan yaitu (P0) : Ransum tanpa

AC; (P1) ransum dengan kandungan AC 5%; (P2) ransum dengan kandungan AC 10%; (P3) ransum

dengan kandungan AC 15%.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA) dan dilanjutkan

dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Gasperz, 1991)

Hasil dan Pembahasan

Konsumsi Pakan

Rataan konsumsi pakan, bobot badan dan konversi pakan ditampilkan pada pada Tabel 2.

Konsumsi ayam broiler selama lima minggu berkisar 1824,43 hingga 2637,14 gram. Penggunaan

umbi AC dalam ransum nyata (P<0,01) menurunkan konsumsi ransum ayam broiler

Tabel 2. Rerata konsumsi pakan, bobot badan, konversi pakan ayam broiler yang diberi umbi AC

Page 41: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

34

Perlakuan Parameter

Konsumsi pakan (g/ekor) Bobot badan (g/ekor) Konversi Pakan P0 2637,14 ± 46,96d 1525,37 ± 43,31c 1,97 ± 0,05b P1 2083,61 ± 42,49c 914,43 ± 10,02b 2,67 ± 0,02a P2 1946,15 ± 53,12b 889,39 ± 10,38b 2,59 ± 0,07a P3 1824,43 ± 50,42a 775,17 ± 79,51a 2,84 ± 0,30a

Keterangan : (P0) pakan tanpa AC; (P1) pakan dengan AC 5%; (P2) pakan dengan AC 10%; (P3) pakan

dengan AC 15%. Perlakuan sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan, bobot badan

serta konversi pakan (P<0,01). abcd superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan berbeda nyata (P<0,05)

Perbedaan konsumsi ini kemungkinan karena palatabilitas pakan yang berbeda, selain itu

kemungkinan karena adanya zat antinutrien yang ada pada umbi umbi AC. Scoot et al. (1982)

menyatakan bahwa jumlah konsumsi dipengaruhi oleh ada tidaknya antimetabolit di dalam pakan.

Amrullah (2004) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsi ransum adalah

ternak itu sendiri, lingkungan fisik dan makanan. Faktor ternak seperti tipe ayam, umur, status

fisiologis. Lingkungan fisik seperti temperatur udara. Faktor makanan seperti kandungan energi

ransum, serat kasar, palatabilitas, lemak kasar, bentuk fisik ransum, aroma, warna. Pada penelitian ini

kandungan energi ransum hampir sama (Tabel 1) sehingga kadar energi kemungkinan tidak

memberikan dampak pada konsumsi.

Kemungkinan adanya anti nutrien dalam umbi AC sehingga membatasi konsumsi. Ravi et al.

(2009) mengemukakan bahwa tanaman Amorphophallus mengandung oksalat yang cukup tinggi.

Amorphophallus companulatus yang dibudidayakan di India mengandung oksalat 2,91 - 18,50

mg/100 g (Chattopadhyay et al., 2010); tepung Amorphophallus mueleri mengandung oksalat 6,24%

(Wijanarko et al., 2011). Kadar oksalat pada umbi AC dalam penelitian ini 318.51 ± 3,210 mg/kg,

sehingga pada pakan yang mengandung AC 5,10 dan 15% mempunyai kandungan oksalat 15,93,

31,86 dan 47,78 mg/kg. James dan Butcher (1972) mengemukakan bahwa kandungan oksalat yang

tinggi pada pakan akan menurunkan konsumsi pakan dan meningkatkan konsumsi air. Bahan makanan

yang mengandung oksalat dapat menyebabkan pembengkakan dinding rumen pada ternak ruminansia

(Cheeke dan Shull, 1985), menurunkan penyerapan kalsium, sehingga terjadi hipokalsemia dan terjadi

pembentukan kristal kalsium oksalat pada ginjal (Cheeke, 1995), menimbulkan rasa gatal dan iritasi

pada bibir, mulut dan kerongkongan (Lane,1994; Haryani dan Hargono, 2008), dan terjadi kerusakan

mekanis pada dinding saluran urinaria herbivora (Rahman et al., 2012).

Bobot Badan

Bobot badan ayam pada penelitian ini berkisar 775,17 hingga 1525,37 gram/ekor.

Penggunaan umbi AC sangat nyata (P<0,01) menurunkan bobot badan broiler. Semakin tinggi

penggunaan tepung umbi AC maka bobot badan makin menurun. Rendahnya bobot badan yang

diperoleh disebabkan karena rendahnya konsumsi pakan sehingga asupan nutrien yang diperlukan

oleh tubuh untuk bertumbuh pun tidak tersedia. Wahju (1997) bahwa konsumsi ransum yang tinggi

akan memberikan pertambahan bobot badan yang tinggi. Selain itu adanya oksalat pada bahan pakan

akan mengikat kalsium sehingga ternak akan mengalami kekurangan kalsium. Kalsium merupakan

mineral yang diperlukan dalam kontraksi otot dan pertumbuhan.

Oksalat mempunyai sifat mengikat mineral seperti kalsium, magnesium sehingga mineral

tersebut tidak tersedia bagi tubuh. Kalsium merupakan mineral yang penting bagi unggas, kekurangan

kalsium dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan, menurunnya konsumsi pakan, osteoporosis,

bentuk tubuh yang abnormal, peningkatan volume urin, kejang dan menurunnya ketebalan tulang dan

kerabang telur (Scoot et al., 1982; Wahju, 1997), kalsium berperan dalam proses fisiologi seperti

kontraksi otot, pembekuan darah (Centeno et al. 2009). Scoot et al. (1982) mengemukakan tubuh

ayam dengan bobot badan 2 kg mengandung 15 g kalsium dan kandungan normal kalsium plasma

pada ayam yang berumur 2 minggu yaitu 8,62 mg dan fosfor 5,44 mg. Pada tulang mengandung 37%

kalsium dan 18% fosfor (Amrullah, 2004).

Allison et al. (1981) menyatakan bahwa pada ternak ruminansia mempunyai ketahanan yang

lebih tinggi pada oksalat karena oksalat dicerna oleh mikro organisme di dalam rumen. Rahman

et al. (2012) mengemukakan bahwa agar tidak berdampak negatif pada ternak maka sebaiknya

Page 42: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

35

kandungan oksalat dalam pakan ternak non-ruminansia lebih kecil dari 0,5% sedangkan untuk

ruminansia dapat mencapai 2%.

Konversi Pakan

Penggunaan umbi AC sangat nyata (P< 0,01) berpengaruh pada nilai konversi ransum.

Rendahnya nilai konversi ransum pada perlakuan penggunaan umbi AC disebabkan karena konsumsi

yang tidak seimbang dengan bobot badan yang dihasilkan. Menurut Amrullah (2004) faktor yang

mempengaruhi konversi ransum adalah mutu ransum, umur dan strain, semakin baik mutu ransum

semakin baik nilai konversinya. Hasil uji jarak berganda Duncan menunjukkan bahwa pakan kontrol

nyata memiliki nilai konveri pakan yang lebih baik daripada perlakuan penggunaan umbi AC

sedangkan antara perlakuan penggunaan umbi 5, 10 dan 15% tidak berbeda nyata (P>0,05).

Simpulan

Pemberian umbi AC dalam pakan broiler menurunkan konsumsi, bobot badan dan nilai konversi

pakan. Disarankan agar sebelum dimanfaatkan sebagai bahan pakan ayam sebaiknya umbi ini diolah

untuk menghilangkan kandungan anti nutrien.

Daftar Pustaka

Abdulrashid, M. and L.N. Agwunobi. 2009. Taro cocoyam (Colocasia esculenta) meal as feed ingredient in

poultry. Pakistan Journal of Nutrition. 5: 666 – 673

Allison, M. J., H. M. Cook, and K. A. Dawson. 1981. Selection of oxalate degrading rumen bacteria in

continuous cultures. Journal of Animal Science. 53: 810- 815

Amrullah, K.I. 2004. Nutrisi Broiler. Cetakan II. Lembaga Satu Gunungbudi. Bogor.

Chattopadhyay, A., B. Saha, S. Pal, A. Bhattacharya and H. Sen. 2010. Quantitative and qualitative aspects of

elephant foot yam. International Journal of Vegetable Science. 16: 73-84.

Centeno, V., G.D. de-Barboza, A. Marchionatti, V. Rodriguez and N.T. de- Talamoni. 2009.

Molecular mechanims triggered by low-calsium diets. Nutrition Research Reviews. 22: 163 -174.

Cheeke, P.R., and L.R. Shull. 1985. Natural toxicants in feeds and poisonous plants. AVI publishing company,

INC. Westport, Connecticut.

Cheeke, P.R. 1995. Endogenous toxins and mycotoxins in forage grasses and their effects on livestock. Journal

of Animal Science. 73: 909 – 918.

Gasperz, V. 1991. Teknik Analisa Dalam Penelitian Percobaan. Cetakan III. Tarsito. Bandung.

Haryani, K. and Hargono. 2008. Proses pengolahan iles-iles (Amorphophallus sp.) menjadi glukomannan

sebagai gelling agent pengganti boraks. Momentum.4(2): 38–41.

James, L.F. and J.E. Butcher .1972. Halogetan poisoning of sheep: effect of high level oxalate oxalate intake.

Journal of Animal Science 35: 1233-1238.

Koni, T.N.I., A. Paga, R. Wea and T.A. Foenay. 2015. Nutritive value and metabolizable energi of

Amorphophallus companulatus fermented by Rhyzopus oligosporus as poultry feed. Pakistan Journal of

Nutrition. 6: 322 - 324.

Lane, B.G.1994. Oksalat,germin and the extracelluler matrix of higher plants. The Fabse J. 1: 294 – 301

Maidala, A. and A. I., Bilkisu. 2016. Utilization of Millet (Pennisetum Spp) as an Energy Source by Broiler

Chickens: A Review International Journal of Agriculture and Earth Science. 2 (7): 18-24.

Mathius, I.W, dan A.P. Sinurat. 2001. Pemanfaatan bahan pakan inkonvensional untuk ternak. Wartazoa. 11:20-

31.

Paul, K.K., M.A Bari, S.M.S Islam and S.C. Debnath. 2013. In vitro shoot regeneration in elephant foot yam,

Amorphophallus companulatus Blume. Plant Tissue Culture and Biotechnology. 23: 121-126.

Peetabas, N., R.P. Panda, N. Padhy and G. Pal,2015. Nutritional composition of two edible aroids. Int. J.

Bioassays, 4: 4085-4087.

Page 43: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

36

Rahman, M.M., R.B. Abdullah and W.E.W. Khadijah. 2012. A review of oxalate poisoning in domestic animals:

tolerance and performance aspects. Journal of Animal Physiology and Animal Nutrition. 97: 605 – 614.

Ravi, V., C.S. Ravindran, and G. Suja, 2009. Growth and productivity of elephant foot yam ( Amorphophallus

paeoniifolius (Dennst) Nicolson). J. Root Crops, 35: 131-142.

Santosa, E., S. Halimah, A.D. Susila, A.P. Lontoh, Y. Mine and N. Sugiyama, 2013. KNO3 application affect

growth and production of Amorphophallus muelleri blume. Indo. J. Agro.,41: 228 – 234.

Santosa, E., A. D. Susila, A.P. Lontoh, A. Noguchi, K.Takahata and N. Sugiyama. 2015. NPK fertilizers for

elephant foot yam (Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson) intercropped with coffee trees. J.

Agron. Indonesia 43 (3) : 257 – 263.

Scoot, M.L., M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of The Chicken. 3rd ed. M.L. Scott & Associates.

Ithaca, New York.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutisi Unggas. Cetakan IV. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Widjanarko, S.B., A. Nugroho and T. Estiasih. 2011.Functional interaction components of protein isolates and

glucomannan in food bars by FTIR and SEM. African Journal of Food Science. 1: 12 - 21

Page 44: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

37

Makalah 007

Suplementasi Enzim Celulase dan Precursor Karnitin Serta Minyak Ikan dalam

Ransum Pengaruhnya terhadap Kadar Eikosapentaenoic Acid (EPA) DAN

Dokosaheksaenoic Acid ( DHA) Telur Ayam Kampung

Sudibya dan J. Riyanto

Prodi Peternakan Fakultas Pertanian UNS

Abstrak

Produk formula pakan dan telur ayam kampung yang kaya asam lemak omega-3 dan rendah

kolesterol belum banyak diungkap maka sangat perlu untuk diteliti. Penelitian serupa sudahdilakukan

pada ayam broiler, burung puyuh, sapi potong,domba,sapi perah serta kambing perah merupakan

bahan pijakan. Tujuan khusus penelitiZan ini untuk mengkaji kadar EPA dan DHA telur ayam

kampung. Menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 5 perlakuan dengan 6 kali ulangan. Setiap

unit ulangan berisi 5 ekor ayam kampung betina periode produksi. Perlakuannya masing-masing:P0=

Ransum kontrol, P1=P0+0,1% enzim selulase,P2=P1 +L-karnitin 30 ppm, P3=P2 +minyak ikan tuna

dengan level 4% dalam ransum, P4=P3+ minyak ikan lemuru dengan level 4% dalam ransum. Hasil

analisis variansi menunjukkan bahwa suplementasi enzim selulase dan minyak ikan serta l-karnitin

dalam ransum berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar EPA dari 0,09% menjadi 2,95% dan

DHA mulai dari 0,31% hingga 3,9 % pada telur ayam kampung. Kesimpulannya adalah suplementasi

enzim selulase dan minyak ikan serta l-karnitin dalam ransum mampu meningkatkan kadar EPA

dan DHA telur ayam kampung.

Kata kunci: enzim selulase,l-karnitin, minyak ikan tuna dan minyak ikan lemuru.

Pendahuluan

Membuat produk telur ayam kampung yang kaya akan asam lemak omega-3 dan 6 serta rendah

kolesterol merupakan terobosan baru untuk menghasilkan produk hewani yang sehat. Produk tersebut

dapat dibuat dengan memanipulasi yakni dengan suplementasi asam lemak PUFA dalam konsentrat dan

secara terproteksi serta precursor karnitin yang dicampur dalam ransum. Selanjutnya perlu dikaji

perubahan komposisinya dari produk tersebut setelah dilakukan pemasakan (telur masak dan sate ayam

kampung) dengan cara uji organoleptik dan kimiawi.

Penelitian tentang produk telur dan daging ayam kampung yang kaya asam lemak omega-3

belum banyak diungkap, namun sebagai bahan pijakan pada telur puyuh,daging ayam broiler, sapi

potong pernah dilakukan oleh Sudibya dkk.(2003) yang dilanjutkan pada tahun (2006) serta pada tahun

(2007) pada ternak kambing dan pada tahun (2009) pada sapi perah, tahun (2012) pada air susu

kambing serta tahun (2013) pada telur puyuh hasilnya sangat signifikan oleh karena itu bila metode

tersebut diterapkan pada itik dan kelinci dampaknya tidak mengalami perbedaan.

Suplementasi enzim selulase dalam ransum mampu merombak struktur selulosa menjadi gula-

gula reduksi yang akan digunakan sebagai sumber energi yang potensial bagi ternak dan dapat

meningkatkan nilai kecernannya.

Penambahan L-karnitin dalam pakan yang mengandung lemak sangat dibutuhkan, L-karnitin

berperan dalam transfer asam lemak rantai panjang untuk melintasi membran dalam mitokondria

menuju ke matriks mitokondria sehingga meningkatkan hasil energinya (Owen, 1996). Selanjutnya

Suplementasi L-karnitin juga dapat digunakan untuk menurunkan kadar kolesterol daging, dapat

meningkatkan digestibilitas nutrient, memperbaiki konversi pakan dan dapat menurunkan kandungan

lemak karkas (Owen et al., 2001).

Sumber asam lemak omega-3 banyak dijumpai pada ikan laut, utamanya ikan lemuru, ikan tuna

dan ikan hiu. Ikan lemuru bila di pres akan menghasilkan minyak ikan yang banyak mengandung asam

lemak omega-3 utamanya EPA (Eikosapentaenoat) 34,17% dan DHA (Dokosaheksaenoat) sebanyak

Page 45: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

38

17,40 persen dan kandungan lemaknya 6% serta TDN 182 kkal/kg sedang minyak ikan Tuna bila di

pres akan menghasilkan minyak ikan yang banyak mengandung asam lemak omega-3 utamanya EPA

(Eikosapentaenoat) 33,6hingga 44,85% dan DHA (Dokosaheksaenoat) sebanyak 14,64% serta

mengandung lemak 5,8% dan TDN 178 kkal/kg (Sudibya dkk. 2010 dan 2013). Atas dasar perbedaan

kandungan tersebut perlu diteliti untuk dibandingkan.

Minyak ikan merupakan sumber lemak. Manipulasi metabolisme lemak dalam rumen ditujukan

untuk menghasilkan dua partikel yang pertama mengontrol pengaruh antimikroba dari asam lemak

untuk meminimkan gangguan fermentasi rumen, sehingga level lemak tertinggi dapat dimasukkan

dalam pakan, kedua mengontrol biohidrogenasi untuk meningkatkan absorpsi asam lemak yang

dikehendaki untuk meningkatkan kualitas nutrisi produk ternak (Chillard, 1993). Suplementasi minyak

ikan dalam pakan harus dengan dosis tertentu agar tidak mengganggu aktivitas mikroorganisme

rumen. Jenkins (1993) menyatakan bahwa penambahan minyak ikan dalam pakan ruminansia tidak

boleh lebih dari 6-7% dari bahan kering ransum karena akan mempengaruhi fermentasi

mikroorganisme rumen.Asam lemak tak jenuh dapat mengalami hidrogenasi dalam rumen menjadi

lemak jenuh padat yang sulit dicerna.Oleh karena itu agar tidak menganggu aktivitas rumen, sebelum

dicampur dalam pakan, lemak diberi perlakuan. Salah satu cara memproteksi asam lemak diantaranya

dapat dilakukan dengan diikat pada ion logam yang dapat membentuk garam asam lemak atau lebih

dikenal sebagai sabun.

Sudibya (1998) fungsi asam lemak omega-3 dalam menurunkan kadar kolesterol melalui dua

cara yakni: 1) merangsang ekskresi kolesterol melalui empedu dari hati ke dalam usus dan 2)

merangsang katabolisme kolesterol oleh HDL ke hati kembali menjadi asam empedu dan tidak

diregenerasi lagi namun dikeluarkan bersama ekskreta.

Telur dan daging ayam kampung biasanya dikonsumsi oleh manusia dalam keadaan dimasak

(telur dan sate ayam) sehingga perlu dilakukan uji organoleptik (rasa, bau dan warna) dan kandungan

asam lemak omega-3 apakah mengalami perubahan atau tidak serta produk oksidasi lemak dengan

kadar peroksida serta kadar malonaldehid dengan uji TBA (asam thiobarbiturat).

Atas dasar pemikiran di atas perlu adanya penelitian dengan judul “Suplementasi Enzim

Selulase dan Precursor Karnitin serta Minyak Ikan Dalam Ransum Pengaruhnya Terhadap Kadar

Eikosapentaenoat dan Dokosaheksaenoat Telur Ayam Kampung“.

Materi dan Metode

Materi

- Enzim selulase merk cellupract

- L-Karnitin (pada formula susu bubuk merk L- Men) mengandung 50.000 ppm dengan kadar

protein kasar 30 persen dan berwarna coklat

- Ayam kampung betina fase produksi sejumlah 150 ekor

- Ransum dasar sesuai dengan perlakuan

- Ekstrak asam lemak tak jenuh yang diperoleh dari minyak ikan tuna dan minyak ikan lemuru

Metode

Menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan masing-masing yakni:

P0= Ransum control (bekatul, jagung kuning dan konsentrat untuk ayam petelur ).

P1=P0+enzim selulase 0,1% dalam ransum

P2=P1 +L-karnitin 30 ppm setara dengan 0,003% dalam ransum,

P3=P2 + minyak ikan tuna dengan level 4% dalam ransum

P4=P2 + minyak ikan lemuru dengan level 4% dalam ransum

dan diulang sebanyak 6 kali. Setiap unit ulangan berisi 5 ekor ayam kampung betina siap produksi.

Susunan ransum pada penelitian ini dilihat pada tabel 1,,2,3 dan 4.

Page 46: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

39

Tabel 1. Kebutuhan nutrient ayam kampung umur layer (>20 minggu)

Kandungan Nutrient Layer

Protein kasar 17

ME (kkal/kg) Min 2750

Serat kasar (%) 10

Lemak kasar (%) 7

Kalsium (%) 1

Phospor tersedia (%) 0,4

Sumber :Sudaryani dan Santoso (2003) serta Iskandar (2006)

Tabel 2. Kandungan nutrien bahan pakan yang digunakan

Kandungan Nutrien ME PK LK SK Ca P Abu

Bekatul1) 2887 12 10,7 5,2 0,04 1,27 7,70

Jagung kuning 3321 8,9 4,0 2,2 0,02 0,08 1,7

Konsentrat ayam petelur3) 1960 36 2,0 8,0 12 15 35

Minyak ikan tuna2) 8260 - 5,8 0,75 - - -

Minyak ikan lemuru3) 8280 - 6,0 0,76 - - -

L-karnitin - 30 - - - - -

Mineral - - - - 22 15 16

1)Hartadi et al (2005)

2)Sudibya dkk.,(2015) 3) Comfeed (2017)

Tabel 3.Susunan ransum pada ayam kampung

Macam bahan ransum (%) P0 P1 P2 P3 P4 Bekatul 50 50 50 50 50 Jagung kuning 25 25 25 25 25 Konsentrat ayam petelur 25 25 25 25 25 Enzim selulse 0 0,1 0,1 0,1 0,1 L-Karnitin 0 0 0,003 0,003 0,003 Minyak ikan tuna 0 0 0 4 0 Minyak ikan lemuru 0 0 0 0 4 Total 100 100,1 100,103 104,103 104,103

Tabel 4. Kandungan nutrien ransum perlakuan

Kandungan nutrien P0 P1 P2 P3 P4

Protein kasar (%) 17,225 17,225 17,225 17,225 17,225 ME kkal/kg 2763,750 2763,750 3094,150 3094,950 3094,950 Lemak kasar (%) 6,850 6,850 7,080 7,090 7,090 Serat kasar (%) 5,150 5,150 5,150 5,150 5,150 Kalsium (%) 3,020 3,020 3,020 3,020 3,020

Phospor (%) 0,230 0,230 0,230 0,230 0,230 Sumber: Hasil perhitungan berdasar Tabel 3

Tabel 5. Kandungan nutrien (100%)

Kandungan nutrien P0 P1 P2 P3 P4

Protein kasar (%) 17,225 17,225 17,225 17,225 17,225 ME kkal/kg 2763,750 2763,750 3094,150 3094,950 3094,950 Lemak kasar (%) 6,850 6,850 7,080 7,090 7,090 Serat kasar (%) 5,150 5,150 5,150 5,150 5,150 Kalsium (%) 3,020 3,020 3,020 3,020 3,020

Phospor (%) 0,230 0,230 0,230 0,230 0,230 Sumber: Hasil Perhitungan Berdasar Tabel 4

Page 47: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

40

Peubah yang diukur yakni:

- Kadar asam lemak eikosapenaenoat (EPA) dan dokosaheksaenoat (DHA) pada telur ayam

kampung dengan metode (AOAC, 2001).

- Uji organoleptik (rasa, warna dan bau) dan kadar peroksida telur (Adnan, 1980).

Analisis Data :

Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan uji kontras orthogonal (Steel dan Torrie,

1980 ). Model matematik yang digunakan yaitu :

Yij= + αi + ij

(i=1,2, 3,4 dan 5; j=1,2, 3,4,5 dan 6 )

yang mana:

Yij =Pengamatan pada unit eksperimen ke-j dalam suplementasi minyak ikan dan precursor karnitin

dalam ransum yang mengandung enzim selulase ke-i

= Rataan umum

i = Pengaruh suplementasi minyak ikan dan precursor karnitin dalam ransum yang mengandung

enzim selulase ke-i

ij = Pengaruh kesalahan percobaan ke-j dalam suplementasi minyak ikan dan precursor karnitin

dalam ransum yang mengandung enzim selulase ke-i

Hasil dan Pembahasan

Kadar Asam lemak EPA (Eikosapentaenoat ) dalam telur ayam kampung

Kadar asam lemak EPA yang tertinggi pada perlakuan P4 yakni 2,95 % sedangkan yang

terendah pada perlakuan P0 yakni 0,09 persen.Data selengkapnya terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan kadar EPA serta DHA pada telur ayam kampung

Peubah yang diukur P0 P1 P2 P3 P4

Kadar EPA (%) 0,09a 0,07a 0,23a 2,80b 2,95b

Kadar DHA (%) 0,31a 0,34a 0,35a 3,80b 3,90b

Ket: Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang

sangat nyata (P<0,01)

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi minyak ikan dan l-karnitin

30 ppm dalam ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh sangat nyata (P<0,01

) terhadap kadar EPA pada telur. Dari uji lanjut orthogonal kontras terlihat bahwa kadar EPA telur

pada P0 dan P1 serta P2 berbeda sangat nyata dengan P3 dan P4. Selanjutnya P3 dan P4 berbeda tidak

nyata terhadap kadar EPA telur.

Pada perlakuan P1 dan P2 yakni suplementasi enzim selulase dan L-karnitin 30 ppm dalam

ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh tidak nyata (P>0,05 ) terhadap kadar

EPA, hal ini dapat dijelaskan bahwa enzim selulase dan l-karnitin (bahan keduanya) tidak

mengandung sumber asam lemak tak jenuh, sehingga tidak dapat meningkatkan deposisi EPA dalam

telurnya.

Pada perlakuan suplementasi minyak ikan tuna (P3 ) dan minyak ikan lemuru (P4) berpengaruh

sangat nyata dapat meningkatkan kandungan EPA telur ayam, hal ini karena kedua minyak ikan

tersebut mengandung asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi sehingga mampu meningkatkan kadar

asam lemak esensiel utamanya kadar EPA dalam telurnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suarez et

al. ( 1996 ) yang menyatakan bahwa suplementasi asam lemak omega-3 pada ransum berpengaruh

terhadap konsentrasi asam lemak tak jenuh utamanya EPA pada jaringan tubuh. Hal ini diperjelas

dalam penelitian Sudibya dkk (2006,2007,2009,2015 dan 2016) bahwa produk daging sapi,daging

kambing,daging domba, air susu kambing dan air susu sapi perah (semua produk tersebut kaya akan

EPA ) apabila dalam ransumnya disuplementasi dengan sumber asam lemak tak jenuh tinggi (minyak

ikan tuna dan minyak ikan lemuru ) .Selanjutnya P3 berbeda tidak nyata dengan P4, hal ini disebabkan

Page 48: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

41

oleh kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak ikan tuna dengan minyak ikan lemuru yang relatif

sama sehingga pengaruhnya tidak nampak berbeda.

Kadar Asam lemak DHA (Dokosaheksaenoat) dalam telur ayam kampung

Kadar asam lemak DHA yang tertinggi pada perlakuan P5 yakni 3,90 % sedangkan yang

terendah pada perlakuan P0 yakni 0,31 persen.Data selengkapnya terlihat pada Tabel 10.

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan suplementasi minyak ikan dan l-karnitin

30 ppm dalam ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh sangat nyata (P<0,01

) terhadap kadar DHA pada telur. Dari uji lanjut orthogonal kontras terlihat bahwa kadar DHA telur

pada P0 dan P1 serta P2 berbeda sangat nyata dengan P3 dan P4. Selanjutnya P3 dan P4 berbeda

tidak nyata terhadap kadar DHA telur.

Pada perlakuan P1 dan P2 yakni suplementasi enzim selulase dan L-karnitin 30 ppm dalam

ransum yang mengandung enzim selulase 0,1 persen berpengaruh tidak nyata (P>0,05 ) terhadap kadar

DHA , hal ini dapat dijelaskan bahwa enzim selulase dan l-karnitin (bahan keduanya ) tidak

mengandung sumber asam lemak tak jenuh, sehingga tidak dapat meningkatkan deposisi DHA dalam

telurnya.

Pada perlakuan suplementasi minyak ikan tuna (P3 ) dan minyak ikan lemuru (P4) berpengaruh

sangat nyata dapat meningkatkan kandungan DHA telur ayam, hal ini karena kedua minyak ikan

tersebut mengandung asam lemak tak jenuh yang sangat tinggi sehingga mampu meningkatkan kadar

asam lemak esensiel utamanya kadar DHA dalam telurnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Suarez et

al. ( 1996 ) yang menyatakan bahwa suplementasi asam lemak omega-3 pada ransum berpengaruh

terhadap konsentrasi asam lemak tak jenuh utamanya EPA pada jaringan tubuh. Hal ini diperjelas

dalam penelitian Sudibya dkk (2006,2007,2009,2015 dan 2016) bahwa produk daging sapi,daging

kambing,daging domba, air susu kambing dan air susu sapi perah (semua produk tersebut kaya akan

DHA ) apabila dalam ransumnya disuplementasi dengan sumber asam lemak tak jenuh tinggi (minyak

ikan tuna dan minyak ikan lemuru ) .Selanjutnya P3 berbeda tidak nyata dengan P4, hal ini disebabkan

oleh kandungan asam lemak tak jenuh pada minyak ikan tuna dengan minyak ikan lemuru yang relatif

sama sehingga pengaruhnya tidak nampak berbeda.

Simpulan

Suplementasi minyak ikan hingga level 4% dan l-karnitin 0,003% dalam ransum yang mengandung

enzim selulase 0,1 persen mampu meningkatkan kadar EPA dari 0,09% hingga 2,95% serta kadar

DHA mulai 0,31% menjadi 3,9 persen.

Daftar Pustaka

Adnan, M. 1980. Lipid Properties and Stability of Partially Defatted Peanuts. Disertation Doctor. University of

Illinois at Urbana. Champaign.

AOAC, 1990. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Association of

Official Analytical Chemist, Washington, D.C.

AOAC, 2001. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Association of

Official Analytical Chemist, Washington, D.C.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati dan S. Budiyanto, 1989. Petunjuk Laboratorium

Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB Bogor.

Assman, G. 1982. Lipid metabolism and Atherosclerosis Schattaver. Verlag Stuffgart.

Cherian,G. and J.S. Sim. 1992. Preferential Accumulation of n-3 fatty acids in the brain of chicks from eggs

enriched with n-3 fatty acids. Poult.Sci.71:1658-1668.

Feller, A.G., and D. Rudman, 1988. Role of Carnitine in Human Nutrition. J. Nutr. 118: 541-547.

Fenita, Y. 2002. Suplementasi lisin dan metionin serta minyak ikan lemuru kedalam ransum berbasis hidrolisat

bulu ayam terhadap pertumbuhan ayam niaga pedaging . Disertasi. Program Pasca Sarjana IPB.Bogor.

Hunter,J.E. 1987. PUFA and eicosanoid research. J.Am.Oil.Chem.Soc. 64(8):1088-1092.

Page 49: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

42

Kempen, T.A., T.G. Van and J. Odle. 1995. Carnitine effects octanoat oxidation to carbondioxide and

dicarboxylic acids in colostrum-deprived piglets : In vivo analysis of mechanisms involved based on CoA

and carnitine ester profiles. J. Nutr. 125 : 238-250.

Kinsella,J.E.B. Lokesh and R.A. Stone. 1990. Dietary n-3 polyunsaturated fatty acids and amelioration of

cardiovascular disease posible mechanism. Am.J.Clin.Nutr.2:28

Kleiner,I.S., and L.B. Dotti, 1962. Laboratory Instruction in Biochemistry sixth edition. The C.V. Mosby

Company. New York.

Lin,D.S. and W.E. Connor. 1990. Are the n-3 fatty acids from dietary fish oil deposited in the triglyceride

storoges of adipose tissue. Am.J.Clin.Nutr.51:535-539

Newton,I.S. 1996. Food enricment with long-chain n-3 PUFA. INFORM 7:169-171.

Owen,K.Q.,T.L. Weeden, J.L. Nelssen, S.A. Blum and R.D. Goodband, 1993. The effect of L-carnitine addition

on performance and carcass characteristic ofof growing-finishing swine. J.Anim. Sci. :62

Owen, J.L. Nelssen, R.D. Goodband, T.L. Weeden and S.A. Blum. 1996. Effect of L-carnitine and soybean oil

growth performance and body composition of early weaned pigs. J.Anim. Sci. 74:1612-1619

Owen,L.H. Kim and C.S. Kim. 1997. The role of L-carnitine in swine nutrition and metabolism. Kor. J.Anim.

Nutr. Feed. 21 (1):41-58.

Reese, E.T., 1976. History of Cellulose Program at The US Army Development of Centre in. EL. Gaden

Enzymatic Convertion of Cellulose Material Technology and Aplication. Pp: 171-173.

Sardesai, V.M. 1992. Nutritional role of polyunsaturated fatty acids. J.Nutr.Biochem. 3:154-166.

Silva, S.S.P and R.R. Smithard, 1999. Digestion of Protein and Energy in Based Broiler Diets in Improved by

The Adition of Esogenous Xylanase and Protease. Abstract British Poultry Science. Pp: 89-90.

Simopoulos,A.P. 1989. Summary of the NATO advanced research workshop on dietary -3 and -6 fatty

acids:Bilogical effects and nutritional essentially. Am.inst.of nutr. 22:521-527.

Steel, R.G.D., and J.H. Torrie, 1980. Principles and Prosedures of Statistic. Mc Graw-Hill Inc. New York.

Toronto. London.

Suarez, A. M.D.C.Ramires, M.J. Faus and A. Gil. 1996. Dietary long-chain polyunsaturated fatty acids

influence tissue fatty acid composition in rats at weaning. J.Nutr. 126:887-897.

Sudibya, 1998. Manipulasi Kadar Kolesterol dan Asam Lemak Omega-3 Telur Ayam Melalui Penggunaan

Kepala Udang dan Minyak Ikan Lemuru. Disertasi Program Pasca Sarjana IPB Bogor.

Sudibya dan S. Wasito, 2002. Penggunaan Kepala Udang Terhidrolisis dan Minyak Ikan Lemuru Terhadap

Asam Lemak Omega-3, Omega-6 dan Kadar Kolesterol Daging Itik Tegal Periode Starter. Journal

Animal Production. Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto.

Sudibya, Suparwi, T.R. Sutardi , H. Soeprapto dan Y.Dwi, 2003. Produksi Daging Sapi Rendah Kolesterol Yang

Kaya Asam Lemak Omega-3 dan Pupuk Organik dengan EM-4 Di Kelompok Martini Indah di

Kabupaten Purwodadi. Proyek Pengembangan dan Peningkatan Kemampuan Teknologi Proyek Program

Iptekda VI. LIPI. Jakarta. Lembaga Penelitian Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Sudibya, D. Prabowo dan Hartoko, 2004. Suplementasi enzim selulase dan ekstrak asam lemak tak jenuh dalam

ransum dasar terhadap kualitas dan kuantitas asam lemak tak jenuh telur ayam Journal Ilmiah. Lembaga

Penelitian Unsoed. No.2 Vol. XXX. Edisi Juli Tahun 2004.

Sudibya, 2004. Peningkatan Kualitas Telur Ayam Melalui Suplementasi L-Karnitin dan Minyak Ikan Tuna

Terhadap Kadar Asam Lemak Omega-3, Omega-6, Omega-9 dan Kadar Kolesterol. Fakultas Peternakan

.Laporan Penelitian Lembaga Penelitian Unsoed. Purwokerto.

Sudibya, 2005. Suplementasi Prekursor Karnitin dan L-Karnitin Serta Minyak Ikan Tuna Terhadap Kadar

Kolesterol dan Asam Lemak Tak Jenuh Telur Itik Tegal. Fakultas Peternakan Unsoed Purwokerto

Sudibya, S. Triatmojo dan H.Pratiknyo, 2006. Perbaikan Kualitas daging Sapi Melalui Transfer Omega-3

Terkapsul dan Tape Bekatul Serta Produksi Pupuk Organik dengan Starter Gama-95 Di Kelompok

Ternak Sapi Potong “Sidamaju” di Kabupaten Bantul. Proyek Pengembangan dan Peningkatan

Kemampuan Teknologi Proyek Program Iptekda IX. LIPI. Jakarta. Lembaga Pengabdian Kepada

Madyarakat Univesitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Page 50: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

43

Sudibya, T. Widyastuti dan R.S. Santoso, 2008. Transfer Omega-3 Terkapsulisasi dan L-Karnitin Pengaruhnya

Terhadap Komposisi Kimia Daging Kambing. Hibah Bersaing XIV. Laporan Penelitian Fakultas

Peternakan Universitas Jederal Soedirman. Purwokerto.

Sudibya, Darsono dan Pujomartatmo, 2009. Transfer Omega-3 Terkapsulisasi dan L- Karnitin Pengaruhnya

Terhadap Kandungan Asam Lemak Susu Segar dan dimasak. Laporan Penelitian Hibah Stranas. Prodi

Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Sudibya, P.Martatmo, dan Sudiyono, 2009. Transfer Omega- 3 Terproteksi dan Minyak Kedele Dalam Ransum

Bekatul Terfermentasi Terhadap Kadar Asam Linolenat, Linoleat dan Arakhidonat Air susu Sapi

Perah..Laporan Penelitian Hibah SINTA Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

Surakarta.

Sudibya, P.Martatmo, A. Ratriyanto dan Darsono, 2010. Transfer Omega- 3 Terproteksi dan L-Karnitin Dalam

Ransum Limbah Pasar Terfermentasi Terhadap Komposisi Kimiawi Daging Sapi Simental.Laporan

Penelitian Hibah Kompetensi Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sudibya, PujoMartatmo dan Darsono, 2012. Transfer Asam Lemak PUFA Terproteksi dan Precursor Karnitin

Dalam Ransum Pengaruhnya Terhadap Komposisi Kimiawi Air Susu Kambing . Laporan Penelitian

Hibah Bersaing. Prodi Peternakan Fakultas Pertanian University Press. Universitas Sebelas Maret.

Sudibya dan S.H. Purnomo. 2013. Transfer of pufa Fatty Acid Protected and Carnitin Precursor on the ration of

chemical composition of milk dairy goat . Open Journal of Animal Sciences.Vol3 Number 3. April

2013.Page 222-227

Sudibya dan S.Hadi Purnomo. 2013. Transfer of Omega-3 Fatty Acid Protected and Rice Bran Fermented in The

Ration of Chemical Composition of milk Dairy Cow. Jurnal Media Peternakan Animal Science and

Tehcnology Vol.33 Number 3.Dec.2013. Page 222-229

Sudibya dan S.Hadi Purnomo. 2013. Transfer of Omega-3 Fatty Acid Protected and Rice Bran Fermented in The

Ration of Chemical Composition of milk Dairy Cow. Jurnal Media Peternakan Animal Science and

Tehcnology Vol.33 Number 3.Dec.2013. Page 222-229

Sudibya , E.Handayanta dan A.Intansari. 2015. Suplementasi Asam Lemak PUFA Terproteksi dan L-Karnitin

dalam Ransum Limbah Pasar Organik Terfermentasi Pengaruhnya Terhadap Komposisi Kimiawi Air

Susu Kambing. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Sudibya , E.Handayanta dan A.Intansari. 2016. Suplementasi Asam Lemak PUFA Terproteksi dan L-Karnitin

dalam Ransum Limbah Pasar Organik Terfermentasi Pengaruhnya Terhadap Komposisi Kimiawi Air

Susu Sapi Perah. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Sustriawan, B., R. Naufalin dan N. Aini, 2002. Mikroenkasulasi Konsentrat Asam lemak Omega-3 dari Minyak

Ikan Tuna. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian Jurusan Teknologi Pertanian. Lembaga Penelitian

Unsoed.

Tranggono, 1986. Perubahan Lemak Selama Pemanasan dan Pengaruhnya terhadap Konsumen. Seminar

Keamanan Pangan dan Penyajian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.UGM. Yogyakarta 1-3

September 1986.

Turner, C.D. and J.T. Bagnara, 1976. Endokrinology umum. Haryono. Penerjemah Airlangga . Terjemahan

Endocrinology.

Widiyastuti, T. C.H. Prayitno dan Sudibya, 2005. Pemanfaatan Kepala udang dan Suplementasi L-Carnitin Pada

pakan Itik Lokal Yang mengandung Daun Lamtoro. Program Semi Que V Tahun II. Fakultas Peternakan.

Laporan Penelitian Program Studi Nutrisi Ternak.

Zabriskie, D.W., 1982. Production of Cellulose Powders Using Cellulose Enzymes Biochem Technology. Inc.

Malvern. pp: 165.

Page 51: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

44

Makalah 008

Pemanfaatan Bolus Ternak Ruminansia sebagai Sumber Mikroba dalam

Fermentasi Limbah Pertanian dan Suplementasi Urea Molases Blok untuk Pakan

Ternak Ruminansia di Kabupaten Wonogiri.

Sudibya dan Marsudi

Abstrak

Penggunaan limbah pertanian sebagai pakan ternak ruminansia mempunyai keterbatasan yaitu

adanya kandungan serat kasar yang tinggi sehingga daya cernanya rendah. Agar penggunaan dari

limbah pertanian dapat ditingkatkan nilai daya cernanya (nilai nutriennya) sehingga perlu adanya

metode pengolahan antara lain dengan fermentasi. Melalui fermentasi maka limbah pertanian dapat

ditingkatkan kualitas dan daya cernanya.Selanjutnya biasanya peternakan rakyat dalam memberikan

pakan khususnya bahan baku konsentrat tidak selalu rutin artinya diberikan pada waktu musim panen

padi saja, sehingga kecukupan nutrient dari ternak belum memenuhi baik secara kualitas dan

kuantitasnya. Oleh karena itu perlu pakan tambahan dalam hal ini urea molasses blok.

Tujuan pertama dari kegiatan ini yaitu a) memproduksi fermentasi dari limbah pertanian

dengan bolus ternak rumnansia sebagai sumber mikroba, b) menumbuhkan budaya penerapan Ipteks

hasil penelitian perguruan tinggi secara komersial, c) menumbuhkan usaha kecil menengah, d)

meningkatkan sumber daya manusia,e) menciptakan lapangan kerja, f) memanfaatkan potensi sumber

daya daerah khususnya limbah pertanian dan g) menumbuhkan kegiatan usaha yang income

generating. Tujuan yang kedua dari kegiatan ini yaitu ingin menambahkan molasses blok untuk

meningkatkan nilai nutrien sehingga daya cerna dari konsentrat ternak meningkat, akibat lebih lanjut

pertambahan bobot badannya meningkat.

Target luaran dari kegiatan ini adalah a) tercapainya peternak yang mampu melakukan

pengelolaan pakan dengan fermentasi dari limbah pertanian sebagai teknologi tepat guna,

b)ketersediaan pakan sepanjang tahun dapat terpenuhi, sehingga peternak tidak kesulitan dalam

pemberian pakan ternak. Selain itu suplementasi molasses blok akan meningkatkan nilai nutrient

bahan dan nilai kecernaanya bertambah akibat lebih lanjut produktifitas ternak meningkat terutama

bobot badan sapi dan kambing, sehingga pendapatan peternak bertambah.

Manfaat dari kegiatan tersebut adalah menambah pengetahuan kepada peternak dalam bidang

bahan pakan terutama hijauan, meningkatkan keterampilan peternak dalam mengolah limbah pertanian

dengan teknik silase dan fermentasi menjadi bahan baku hijauan yang siap keberadaannya sepanjang

tahun dan dapat meningkatkan nilai nutriennya serta suplementasi molasses blok dapat meningkatkan

nilai nutrient konsentrat..

Metode yang digunakan pada kegiatan ini adalah ceramah, percontohan dan evaluasi kegiatan.

Khalayak sasaran yang strategis adalah kelompok ternak sapi potong dan ternak kambing.

Lokasi kegiatan adalah di kelompok ternak “ Ngudi Hasil” di desa Jendi Kecamatan Selogiri

Kabupaten Wonogiri dan kelompok ternak kambing “TirtaSari” Desa Bakalan Kecamatan Purwantoro

Kabupaten Wonogiri. Beberapa institusi yang terlibat antara lain Dinas Peternakan kabupaten

Wonogiri, Universitas Sebelas Maret serta pemerintah desa Jendi kecamatan Selogiri dan desa

Bakalan kecamatan purwantoro kabupaten Wonogiri.

Sebagai kerangka pemikiran untuk memecahkan masalah adalah diperlukan adanya

pendekatan dengan masyarakat setempat agar terjadi interaksi social. Pendekatan tersebut

menggunakan system instruksional dalam bentuk penyuluhan dan percontohan. Adanya daninteraksi

sosial tersebut diharapkan tumbuh pengertian yang memberikan manfaat bagi masyarakat tersebut.

Adapun yang menjadi khalayak sasaran adalah masyarakat peternak sapi potong sebanyak 33 orang di

wilayah kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri termasuk para ketua kelompok, anggota kelompok

dan pamong ternak dan 40 orang di wilayah kecamatan Purwantoro kabupaten Wonogiri. Metode

yang digunakan dalam pelaksanaan program Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) adalah metode penyuluhan

dan percontohan pembuatan silase dan fermentasi dari limbah pertanian dan suplementasi molasses

blok..

Page 52: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

45

Berdasarkan hasil survey dari Tim kegiatan program IbM telah dilaksanakan di desa Jendi

kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri dan desa Bakalan kecamatan Purwantoro. Seluruh rangkaian

kegiatan yang dimulai dengan orientasi lapang sampai pada percontohan pembuatan fermentasi

dengan inokulum bolus sapi dan limbah pertanian serta suplementasi molasses blok terus evaluasi

tahap akhir selesai pada pertengahan bulan Oktober 2013.

Hasil kegiatan ini menunjukkan bahwa proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi kepada

peternak di desa Jendi kecamatan Selogiri dan desa Bakalan kecamatan Purwantoro kabupaten

Wonogiri cukup baik, dibuktikan bahwa sekitar 95 persen peserta memberikan respon yang antosias

untuk menindaklanjuti materi yang telah disampaikan selama kegiatan berlangsung.

Berdasarkan pelaksanaan dan evaluasi hasil kegiatan dapat disimpulkan bahwa sembilan

puluh (90) persen peserta dapat menyerap dan melakukan kembali pembuatan silase dan fermentasi

dari limbah pertanian sebagai pakan ternak sapi potong serta suplementasi molasses blok sebagai

pengganti konsentrat. Semua peserta sadar akan pentingnya pola pakan sepanjang tahun yang

berkesinambungan dengan memanfaatkan limbah pertanian. Namun ada diantara peserta yang kurang

mampu meluangkan waktunya untuk membuat fermentasi limbah pertanian dan suplementasi

molasses blok untuk mengganti konsentrat secara berkesinambungan.

Disarankan perlunya evaluasi yang kontinyu untuk menindaklanjuti kegiatan tersebut yaitu

mengenai perubahan sikap peternak dan produktivitas ternaknya, sehingga setiap materi yang

disampaikan kepada peternak mampu diserap dan membawa perubahan kearah yang lebih baik

Pendahuluan

Bolus ruminansia adalah bagian dari isi rumen ternak ruminansia yang belum mengalami

proses pencernaan dan mengalami pencernaan, oleh karena itu nilai nutriennya masih tinggi. Cara

memperolehnya mudah yaitu hanya mengambil di rumah potong hewan, kemudian dikeringkan

dengan sinar matahari dan selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber mikroba. Jumlah isi rumen

kira-kira 20 persen dari bobot badannya.

Pakan merupakan komponen terbesar dalam usaha produksi peternakan, proporsi pakan bisa

mencapai 70 % sendiri dari total biaya produksi, sehingga pakan menjadi penentu keberhasilan

peternak, selain faktor bibit dan manajemen budidaya. Manajemen pakan yang baik akan menjadi

kunci keberhasilan sebuah peternakan, hal ini meliputi pengadaan pakan, formulasi pakan, dan

teknologi pengelolaan pakan.

Pada praktiknya, penyediaan pakan sangat terkendala dengan musim, pada musim-musim

tertentu kesediaannya sangat melimpah, dan dilain waktu ketersediannya sangat terbatas. Fluktuasi

ketersediaan pakan ini sangat merugikan para peternak, sebab saat musim paceklik pakan, ternak

hanya mendapatkan pakan yang tidak memenuhi syarat nutrien yang cukup bagi ternak yang akan

menyebabkan produktivitas ternak menurun. Terlebih peternak juga belum menguasai teknologi

pengelolaan pakan yang tepat guna.

Proses perlakuan fermentasi dengan bolus ternak ruminansia sendiri berfungsi untuk

meningkatkan nilai kecernaan bahan pakan dan dapat menurunkan zat anti nutrien misalnya asam

phitat serta dapat memperbaiki flavour, tekstur, kenampakan, aroma dan sintesis vitamin. Selanjutnya

melalui pengolahan bahan-bahan konvensional (limbah pertanian ) sedikitnya dapat diperoleh empat

manfaat 1) sebagai sumber pakan ternak, 2) mengurangi tempat pencemaran lingkungan,

3)mengurangi ketergantungan pada rumput di penggembalaan, dan 4) usaha untuk mencari bahan

pakan yang tidak bersaing dengan kebutuhan manusia, masih mempunyai nilai nutrien tinggi dan

berada disekitar lokasi serta harganya relatif murah.

Salah satu jalan yang dapat memecahkan masalah tersebut adalah dengan pelatihan dan

percontohan yang dilakukan dengan cara memotivasi para kelompok ternak mitra usaha sapi potong

”Ngudi Hasil” dan kelompok ternak kambing ”Tirtosari” yang difokuskan kepada tata laksana

penggunaan berbagai bahan limbah untuk pakan sapi potong dan kambing dan cara menyusun

ransumnya.

Di samping ketersediaan bahan pakan hijauan yang kurang ada permasalahan yang kedua yang

lebih penting lagi yakni ketersediaan bahan baku konsentrat juga mengalami kekurangan. Guna

memenuhi tuntutan ternak tersebut diperlukan upaya untuk memenuhinya yaitu dengan jalan

suplementasi molases blok.

Page 53: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

46

Untuk itulah Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah, Lembaga Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Sebelas Maret Surakarta (PUSLITDESBANGDA LPPM

UNS), setelah mengetahui fenomena itu melakukan kerja sama dengan Kabupaten Wonogiri yang

membina para kelompok ternak di wilayah tersebut dan kelompok ternak kambing “ Untuk

melakukan pelatihan pembuatan teknologi fermentasi dan suplementasi molasses blok dalam

mencukupi pakan ternak secara rutin terutama pada musim kemarau panjang.

Metode Pelaksanaan

a. Realisasi Penyelesaian Masalah

Berdasarkan petunjuk dari hasil survey Tim Ipteks tahun 2013, kegiatan pengabdian kepada

masyarakat khususnya program Ipteks diutamakan dilaksanakan di kelompok ternak “Ngudi Hasil” di

desa Jendi kecamatan Selogiri dan kelompok ternak “Tirta Sari” di desa Bakalan kecamatan

Purwantoro kabupaten Wonogiri. Program Ipteks tersebut ditujukan kepada warga masyarakat petani

peternak sapi potong serta para santri “Yayasan PPIT Al-Huda” dan warga masyarakat peternak

kambing.

Pada kegiatan program Ipteks tersebut diberikan penjelasan agar peternak memahami pola

penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun yang berkesinambungan tanpa merusak sumber daya alam.

Selain itu disadarkan pula tentang pentingnya memanfaatkan limbah pertanian yang dapat

difermentasi untuk meningkatkan nilai nutrisinya serta dapat untuk pakan ternak sepanjang tahun.

Diterangkan pula tentang beberapa jenis limbah pertanian (jerami padi,jerami kedele dan tebon jagung

) yang ada disekitar kecamatan Selogiri dan kecamatan Purwantoro tersebut yang dapat difermentasi

untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia tersedia sepanjang tahun.

b. Khalayak Sasaran

Sasaran kegiatan ini ada 2 UKM yaitu 1) anggota kelompok ternak sapi potong ”Ngudi Hasil ”

di Desa Jendi kecamatan Selogiri dan 2) anggota kelompok ternak kambing ” Tirtasari ” di desa

Bakalan kecamatan Purwantoro Jumlah khalayak ini jumlahnya 50 persen dari jumlah anggota

peternak di dua kecamatan tersebut yang berada diwilayah kabupaten Wonogiri (Total peserta

pengabdian sebanyak 62 orang). .Pemilihan khalayak ini diharapkan mampu menyebarluaskan

informasi yang telah diberikan sehingga mampu sebagai motivator.

c. Metode Yang Digunakan

Dalam rangka mencapai tujuan kegiatan tersebut, metode pelaksanaan program ini dilaksanakan

sebagai berikut :

1. Penyuluhan dalam bentuk ceramah

Penyuluhan atau ceramah dengan pemaparan mengenai fermentasi pada limbah pertanian

dengan inokulum mikroba rumen (bolus sapi ) dan pembuatan urea molases blok dengan materi

penyuluhan :1)Teknik Fermentasi Limbah Pertanian Dengan Bolus Sapi oleh Prof.Dr.Ir.Sudibya,MS,

2) Peningkatan nilai Nutrien Limbah Pertanian Melalui Teknologi Amoniasi Oleh : Drs.Marsudi dan

3) Fermentasi Limbah Pakan Berserat Oleh Prof.Dr.Ir.Sudibya,MS.

2. Kegiatan Percontohan

Pelaksanaan kegiatan atau penyampaian materi mengenai seluk beluk fermentasi limbah

pertanian dengan inokulum bolus sapi dan pembuatan urea molases blok, kemudian dilanjutkan

dengan kegiatan percontohan di dua kelompok yakni di desa Jendi dan desa Bakalan harapan agar

peternak atau peserta program mempunyai gambaran yang jelas mengenai proses fermentasi dan

pembuatan urea molases blok dapat mengerjakannya dengan baik secara individu maupun secara

kelompok. Kepada masyarakat khususnya program Ipteks diutamakan dilaksanakan di desa Jendi

kecamatan Selogiri kabupaten Wonogiri. Program Ipteks tersebut ditujukan kepada warga masyarakat

petani peternak sapi potong.

Pada kegiatan program Ipteks tersebut diberikan penjelasan agar peternak memahami pola

penyediaan pakan hijauan sepanjang tahun yang berkesinambungan tanpa merusak sumber daya alam.

Selain itu disadarkan pula tentang pentingnya memanfaatkan limbah tebon jagung yang dapat diolah

Page 54: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

47

menjadi silase dan amoniasi untuk meningkatkan nilai nutrisinya serta dapat untuk pakan ternak

sepanjang tahun.

Diterangkan pula tentang beberapa jenis limbah yang ada disekitar kecamatan Selogiri tersebut

yang dapat dibuat silase dan amoniasi untuk digunakan sebagai pakan ternak ruminansia tersedia

sepanjang tahun, sehingga diharapkan para petani peternak dapat melakukannya sendiri.

Sebagai tindak nyata dari rangkaian kegiatan tersebut dilakukan percontohan pembuatan silase

tebon jagung dan amoniasi tebon jagung, dengan melibatkan secara langsung para peserta. Pada

kesempatan tersebut dijelaskan juga cara-cara memberikan produk silase dan amoniasi tebon jagung

sebagai pengganti hijauan (rumput gajah dan jerami padi ) kepada ternak sapi potong. Harapan

penggunaan bahan tersebut supaya produktivitas ternak sapi potong di daerah tersebut meningkat

sehingga keinginan beternak sapi potong bertambah.

Hasil dan Pembahasan

Kegiatan Penyuluhan

Informasi yang dibutuhkan sebelum penyuluhan adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman

peternak mengenai tata cara penyediaan bahan limbah pertanian, proses fermentasi dan pembuatan

urea molasses blok serta tata cara pengujian dari hasil fermentasi dan urea molasses blok kepada

ternak sapi potong dan ternak kambing.

Untuk itu dilakukan tanya jawab, pre tes disekitar masalah tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi

awal dapat diketahui bahwa peserta penyuluhan belum banyak mengetahui tentang fermentasi limbah

pertanian dan pembuatan urea molases blok, pada umumnya mereka memberikan limbah pertanian

pada ternaknya apa adanya (belum dilakukan proses fermentasi). Peserta belum mengetahui jenis

pengolahan yang harus diterapkan pada limbah pertanian secara umum. Indikator keberhasilan adalah

peserta dapat menyebutkan limbah pertanian yang dapat difermentasi dan cara pembuatan urea

molasses blok, manfaat fermentasi dan , proses pembuatan urea molases blok serta dapat mengetahui

kualitas fermentasi dan urea molasses blok yang baik. Sebelum dilakukan penyuluhan ternyata 65

persen peserta belum mengetahui fermentasi dan molasses blok, 60 persen belum mengetahui bentuk

fermentasi dan urea molasses blok, 70 persen belum mengetahui proses pembuatan fermentasi dan

urea molasses blok serta 80 persen belum mengetahui kualitas fermentasi dan urea molasses blok yang

baik.

Berdasarkan hasil evaluasi setelah dilakukan penyuluhan ternyata semua peserta telah

mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi

penyuluhan dapat diserap dengan baik.

Dalam upaya untuk mencapai hal tersebut di atas maka alur yang digunakan adalah :

Metode yang digunakan :

Dalam rangka mencapai tujuan kegiatan tersebut, metode pelaksanaan program ini dilaksanakan

sebagai berikut :

-Pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan dilakukan selama 8 hari (8 kali) yakni pada tanggal 27

September hingga 5 Oktober dan evaluasi sampai tanggal 15 Nopember tahun 2017.

Evaluasi

Evaluasi dilakukan pada awal, tengah dan akhir kegiatan pelaksanaan program. Sebelum

kegiatan dimulai dibutuhkan beberapa informasi dari peserta mengenai tingkat pengetahuan peserta

tentang teknik fermentasi dan pembuatan urea molasses blok yang sudah dilakukan dan sejauh mana

peserta mengetahui tentang teknik fermentasi dan urea molasses blok tersebut. Untuk mengetahui hal

tersebut peserta pada awal kegiatan diberikan pre tes dan pada akhir kegiatan diadakan post tes.

Setelah dilakukan percontohan ada tiga kelompok ternak yang ditunjuk untuk melakukan

pembuatan fermentasi dan urea molasses blok . Acara tersebut kita pantau aktivitasnya mulai dari

tahap awal sampai tahap akhir. Selanjutnya hasil dari percontohan tadi diberikan kepada ternak sapi

potong dan ternak kambing untuk bahan pakan pengganti hijauan dan konsentrat hasilnya 90 persen

menyatakan baik. Kriteria ini didasarkan pada :

-Mudahnya cara mendapatkan bahan baku limbah pertanian dan bolus ternak ruminansia.

Page 55: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

48

-Mudahnya cara mendapatkan peralatan fermentasi dan bahan tetes dan urea untuk pembuatan urea

molasses blok.

-Mudahnya cara melakukan pembuatan proses fermentasi dan urea molasses blok.

-Hasil produk fermentasi dan urea molasses blok sangat disukai oleh ternak sapi potong dan ternak

kambing , dengan ditandai rasa palatabilitasnya tinggi dan adanya kenaikan pertambahan bobot

badanya.-Peternak sapi potong dan kambing sangat tertarik dengan teknologi fermentasi dan cara

pembuatan urea molasses blok yang praktis tersebut.

Setelah dilakukan penyuluhan dan percontohan maka diadakan pos tes ternyata para peserta

penyuluhan ternyata 95 persen sudah mengetahui fermentasi dan urea molasses blok, 90 persen sudah

mengetahui bentuk fermentasi dan urea molasses blok, 100 persen sudah mengetahui proses

pembuatan fermentasi dan urea molasses blok serta 100 persen sudah mengetahui kualitas fermentasi

dan urea molasses blok yang baik.

Faktor Pendorong :

Yang pertama keinginan para peserta untuk memanfaatkan limbah pertanian untuk dibuat

fermentasi dan pembuatan urea molasses blok, sehingga pada musim kemarau kesulitan untuk

mendapatkan bahan pakan ternak dapat ditanggulangi.

Yang kedua mendapatkan bahan pakan (limbah pertanian ) dan bolus ternak ruminansia untuk

inokulum fermentasi sangat mudah.

Kesimpulan

Sembilan puluh (90) persen peserta dapat menyerap dan melakukan kembali pembuatan

fermentasi dari limbah pertanian dan suplementasi urea molasses blok sebagai pakan ternak sapi

potong dan ternak kambing. Semua peserta sadar akan pentingnya pola pakan sepanjang tahun yang

berkesinambungan dengan memanfaatkan limbah pertanian. Ada peningkatan kesejahteraan para

peternak terbukti ada pertambahan bobot badan untuk sapi 0,8 kg/hari/ekor dan kambing 0,3

kg/hari/ekor selama kegiatan berlangsung.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1983. Teknologi Instruksional. Dalam Materi Dasar Pendidikan

Program Akta Mengajar V. Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi.Jakarta

Nuraida, L.R. Utari dan P. Haryadi, 1977. Aplikasi Bioteknologi untuk Peningkatan Nilai Gizi Bahan Pakan

Ternak. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Rahman, J.J., Ryanto, B. Bakrie dan Syaiful, 1997. Pemanfaatan Biokonversi Daun Ubi Kayu dengan

Aspergillus niger dalam Ransum Ternak Sapi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak. Ciawi

Bogor.

Schlegel, S.A., 1977. Realitas dan Penelitian Sosial. Lembaga Sosial Budaya. Universitas Syiah Kuala. Aceh.

Sudibya, S.Wiluto, Suparwi, Prayitno dan M. Budiono, 1995. Penggunaan Kapang dan Yeast Untuk Pengolahan

Limbah Kulit Ketela sebagai Pakan Ternak Ruminansia. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan

Unsoed. Purwokerto.

Sudibya, T.Widyastuti, E.Susanti dan Sukardi, 2004. Peningkatan Kualitas Limbah Kulit Singkong dan Kulit

Pisang Melalui Teknik Fermentasi Untuk Pakan kambing di Kecamatan Somagede.Laporan Pengabdian

Kepada Masyarakat.Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto.

Sudibya dan Suharto.2015. Penggunaan Bolus Kambing Dalam Fermentasi Limbah Pertanian dan Suplementasi

molases blok di kabupaten Wonogiri. Laporan Pengabdian kepada Masyarakat. Pusat Penelitian Pedesaan

dan Pengembangan Daerah.Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Sudibya dan Suharto.2016. Penggunaan Bolus Sapi Perah Dalam Fermentasi Limbah Pertanian dan

Suplementasi molases blok untuk pakan ternak ruminansia di kabupaten Wonogiri. Laporan Pengabdian

kepada Masyarakat. Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah.Universitas Sebelas Maret.

Surakarta.

Page 56: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

49

Sudibya dan Marsudi.2017. Penggunaan Bolus Ternak Ruminansia Dalam Fermentasi Limbah Pertanian dan

Suplementasi molases blok untuk pakan ternak ruminansia di kabupaten Wonogiri. Laporan Pengabdian

kepada Masyarakat. Pusat Penelitian Pedesaan dan Pengembangan Daerah.Universitas Sebelas Maret.

Surakarta.

Suparwi dan Sudibya, 1996. Penggunaan Tricoderma Viride untuk Pengolahan Limbah Kulit Pisang sebagai

Pakan Ternak Ruminansia. Laporan Hasil Penelitian. Fakultas Peternakan Unsoed. Purwokerto.

Suparwi, Sudibya dan Sukardi, 2000. Penggunaan Bahan Limbah untuk Meningkatkan Pendapatan Peternak

Sapi Perah di Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas. Laporan Magang Kewirausahaan. Fakultas

Peternakan Unsoed. Purwokerto.

Suparwi, Sudibya dan Sukardi, 2001. Penggunaan Bahan Limbah untuk Meningkatkan Pendapatan Peternakan

Sapi Potong di Kecamatan Wirasaba Kabupaten Purbalingga. Laporan Magang Kewirausahaan. Fakultas

Peternakan Unsoed. Purwokerto.

Page 57: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

50

Makalah 009

Analisis Potensi Sumber Daya Pakan Ternak Ruminansia pada Musim Kemarau di

Daerah Pertanian Lahan Kering

(Studi Kasus di Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta)

Eka Handayanta, Febri Isra Hermansyah dan Yusron Alfian

Program Studi Peternakan

Fakultas Pertanian UNS

Jl. Ir. Sutami 36 A Kentingan, Surakarta

Email : [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ketersediaan bahan pakan, dan ,

menghitung kemampuan wilayah pertanian lahan kering dalam menampung ternak ruminansia,

khususnya di musim kemarau. Pengambilan data lapangan dilakukan di wililayah Desa Kemejing,

Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis laboratorium

(proksimat) sampel pakan dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas

Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian bersifat parsitipatif (Participatory Rural Appraisal), dengan menganbil data dari 17

sampel peternak responden yang ditentukan secara purposive sampling untuk mengetahui jenis pakan

yang biasa diberikan ke ternaknya, dan ini sebagai dasar untuk mengetahui potensi pakan ternak

ruminansia di wilayah penelitian.

Potensi bahan pakan dihitung berdasarkan hasil ubinan (cuplikan) dikalikan dengan luas panen dan

dinyatakan dalam produksi bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan total

digestible nutrients (TDN). Kemampuan wilayah dalam menampung ternak ruminansia dihitung

berdasarkan kebutuhan BK, BO, PK dan TDN tiap unit ternak (UT), dimana 1 (satu) UT setara

dengan satu ekor ternak sapi dengan bobot badan 350 kg.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan pakan yang potensial tersedia adalah jerami padi,

jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai, jerami kacang hijau, daun ketela pohon dan

rumput gajah, Produksi BK, BO, PK dan TDN bahan pakan selama musim kemarau berturut-turut

adalah 15.003,83 ton, 11947,95 ton, 1.244,23 ton dan TDN 6.924,86 ton. Kesimpulannya adalah

kemampuan wilayah kecamatan Semin dalam menampung ternak selama musim kemarau

berdasarkan kebutuhan BK, BO, PK dan TDN berturut-turut sebanyak 10.248,52 UT, 10.720.75 UT,

9.313,78 UT dan 9.653,26 UT

Kata kunci : lahan kering, bahan pakan, daya tampung, musim kemarau, ternak ruminansia

Pendahuluan

Kecamatan Semin merupakan salah satu kecamatan yang terletak di wilayah kabupaten

Gunungkidul propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem pertaniannya secara keseluruhan berupa

pertanian lahan kering (BPS, 2014) yaang merupakan salah satu bentuk sistem pertanian di Indonesia.

Karakteristik pertanian lahan kering pada umumnya adalah lahannya marginal (kurang subur atau

tandus) dan ketersediaan airnya sangat tergantung pada curah hujan. Kondisi yang demikian sangat

rentan terhadap resiko gagal panen, yang selanjutnya akan berdampak pada tidak terpenuhinya

kebutuhan sehari-hari keluarga petani (subsisten). Salah satu upaya mengurangi resiko gagal panen,

petani biasanya memelihara ternak dalam bentuk usaha tani terintegrasi tanaman-ternak (integrated

farming system) dengan bercocok tanam tanaman pangan sebagai komoditi utama dan memelihara

ternak sebagai komoditi tambahan (usaha sampingan). Sistem pertanian terintegrasi ini terbukti

Page 58: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

51

mampu meningkatkan produktifitas pertanian secara keseluruhan (on farm) (Devendra et al., 2001),

karena masing-masing komponen dapat saling melengkapi (komplementer). Sistem integrasi tanaman-

ternak dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan, mengurangi resiko gagal panen serta dapat

meningkatkan pendapatan dan atau kesejahteraan petani. Ternak ruminansia (sapi, kambing dan

domba) lebih banyak diusahakan (dipelihara) pada sistem integrasi tanaman-ternak, karena kedua

komoditi tersebut saling mendukung, dimana tanaman pangan menyediakan limbahnya sebagai pakan

ternak, sedangkan ternak menghasilkan kotoran (pupuk) yang dapat menyuburkan tanaman. Untuk

meningkatkan produktifitas ternak ruminansia tersebut, dibutuhkan pakan yang cukup kuantitas dan

kualitasnya.

Produksi ternak ruminansia pada dasarnya adalah konversi pakan menjadi produk ternak

(daging dan susu). Pakan utama ternak ruminansia pada dasarnya adalah hijauan. Oleh karena itu,

memperkirakan produksi ternak ruminansia di suatu wilayah (daerah) harus diketahui ketersediaan

pakan hijauannya, baik jumlah maupun kualitasnya. Kenyataan di lapangan sulit untuk menyesuaikan

jumlah ternak dengan pakan yang tersedian karena, ketersediaan hijauan sangat tergantung pada

musim, dimana pada saat musim hujan melimpah sedangkan saat musim kemarau sedikit. Fluktuasi

ketersediaan pakan dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara ketersediaan pakan dengan jumlah

ternak yang ada. Dengan jumlah ternak konstan mungkin dapat terjadi kekurangan pakan pada

musim kemarau dan terjadi kelebihan di musim penghujan. Dalam kondisi yang demikian akan sulit

menentukan berapa jumlah ternak yang dapat dipelihara dan tingkat produksi yang dicapai atau

dengan kata lain seberapa besar ketersediaan pakan suatu wilayah dapat menampung sejumlah ternak

agar diperoleh produktivitas ternak yang optimal.

Beberapa penelitian untuk menghitung kapasitas tampung suatu wilayah terhadap ternak

ruminansia, didasarkan pada kecukupan nutrien atas bahan kering (BK), protein kasar (PK), atau

energi (TDN) (Ngadwati, 2001; Ruswendi, 2004), memberikan hasil yang berbeda-beda, hal ini

dikarenakan kondisi lahan pertanian serta musim yang berbeda. Atas dasar permasalahan tersebut

maka peneliti tertarik untuk mengkaji potensi sumber pakan dan kemampuan tampung (carrying

capacity) suatu wilayah dengan sitem pertanian lahan kering di musim kemarau.

Materi dan Metode

Penelitian lapangan ini telah dilakukan dari bulan April sampai bulan September (musim

kemarau) dengan pengambilan data atau sampel dilakukan pada saat terjadi panen tanaman pangan.

Lokasi penelitian berada di wilayah Desa Kemejing, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul,

Daerah Istimewa Yogyakarta. Analisis laboratorium (proksimat) sampel pakan dilaksanakan di

Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian UNS Surakarta.

Metode penentuan lokasi dan penentuan sampel peternak pada penelitian ini dilakukan secara

sengaja (purposive). Sampel peternak responden sebanyak 17 orang ditentukan dengan pertimbangan

akses lokasi (secara teknis dapat digunakan sebagai lokasi pengambilan sampel), waktu, tenaga, biaya

dan sesuai dengan model penelitian yang bersifat parsitipatif (Participatory Rural Appraisal).

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pendahuluan selama 10 hari mengambil data di 17

peternak responden dengan tujuan untuk mengetahui jenis pakan yang diberikan pada ternaknya

(potensi pakan) dan tahap pelaksanaan penelitian dengan mengambil sampel di lahan petani dengan

cara mengubin pada semua jenis pakan yang digunakan oleh peternak baik rumput, maupun limbah

pertanian (hijauan).

Produksi hijauan diperoleh dengan mengambil cuplikan melalui pengubinan pada lahan

penghasil hijauan pakan yakni lahan rumput, tanaman padi dan palawija pada saat dipanen. Tanaman

palawija meliputi jagung, kacang tanah, kacang kedelai, kacang hijau dan ketela pohon. Pengubinan

dilakukan secara random di areal tersebut dengan menggunakan ukuran luas 1 x 1 m2 untuk rumput

raja (Reksohadiprodjo, 1985), 2,5 x 2,5 m2 untuk tanaman jagung, kacang tanah, kacang kedelai dan

kacang hijau (Anonimus, 1982) dan untuk tanaman ketela pohon yang ditanam dengan sistem tanam

larikan mengelilingi lahan serta di tengah lahan, maka cuplikan dilakukan pada larikan sepanjang 5

m. Masing-masing jenis hijauan diubin di 3 lokasi yang berbeda dan tiap-tiap lokasi dilakukan 3x

ubinan sebagai ulangan. Hasil ubinan ditimbang, dirata-rata selanjutnya dikonversikan ke dalam

produksi (bahan segar dan BK) per ha. Produksi hijauan per wilayah diperoleh dengan mengalikan

produksi per ha dengan luas panen. Data luas panen masing-masing komoditi tanaman pangan

Page 59: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

52

diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Semin Pada tiap ubinan diambil sampel

sebesar 200 g/jenis pakan/ubinan, dikeringkan, digiling (grinding) dan dibuat bulk sample dan

dikomposit sebelum dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan BK, BO, PK, SK, LK dan

abu (AOAC, 1965)

Hasil dan Pembahasan

Keadaan Pertanian

Lahan pertanian di wilayah kecamatan Semin, kabupaten Gunungkidul semuanya merupakan

lahan pertanian tadah hujan (sistem pertanian lahan kering). Lahan pertanian ini ditanami berbagai

jenis komoditi tanaman pangan dan pakan (rumput) seperti padi, jagung, kedelai, kacang tanah,

kacang hijau, ketela pohon, dan rumput gajah, sedangkan lahan sawah tadah hujan biasa ditanami padi

sebanyak 2 kali dalam setahun dan setelah itu ditanami tanaman palawija. Luas panen komoditi

tanaman pangan dan rumput gajah pada musim kemarau di kecamatan Semin seperti terlihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Luas panen komoditi tanaman pangan dan rumput gajah pada musim kemarau di kecamatan

Semin (Ha)

Jenis Komoditi Luas Panen Jumlah

sawah tadah hujan tegalan

Padi 1.964 - 1.964

Jagung 45 127 172

Kedelai 425 1.690 2.115

Kacang tanah 6 1.079 1.085

Kacang hijau 49 58 107

Ketela pohon - 3.505 3.505

Rumput gajah 80 - 80

Jumlah 2.569 6.459 9.028

Sumber : Badan Pusat Statistik (2014).

Tabel 1 menunjukkan bahwa luas panen dari berbagai jenis komoditi tanaman pangan yang

ditanam dan rumput budidaya adalah sebesar 1.964 ha (padi), 172 ha (jagung), 2.115 ha (kedelai),

1.085 ha (kacang tanah), 107 ha (kacang hijau), 3.505 ha (ketela pohon), dan 80 ha (rumput gajah).

Luas panen yang dihasilkan dari lahan sawah tadah hujan sebesar 2.569 ha dan lahan tegalan sebesar

6.459 ha. Jeni komoditi tanaman padi hanya ditanam pada lahan sawah tadah hujan, sedangkan jenis

komoditi tanaman palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau sebagian besar ditanam

pada lahan tegalan, dan pada lahan sawah khususnya pada masa tanam ke-3 (setelah panen padi pada

masa panen ke-2). Komoditi tanaman ketela pohon hanya ditanam pada lahan tegalan. Sebagian besar

limbah dari hasil panen komoditi tanaman pangan di kecamatan Semin digunakan sebagai pakan

ternak ruminansia, sedangkan rumput yang digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah rumput

alam dan rumput gajah.

Keadaan Bahan Pakan Ternak

Secara umum sistem pemeliharaan ternak ruminansia di wilayah kecamatan Semin, adalah

dengan cara dikandangkan sepanjang tahun. Oleh karena itu cara pemberian pakannya adalah dengan

cara peternak memotong rumput atau hijauan lain kemudian membawanya pulang untuk diberikan

kepada ternak yang dipeliharanya di kandang (cut and carry).

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan di lapangan, dapat diketahui jenis pakan yang

diberikan sangat tergantung pada ketersediaan bahan pakan yang ada di lapangan yang dimiliki oleh

petani peternak. Terdapat 7 jenis bahan pakan yang paling banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak

ruminansia, diantaranya adalah jerami padi, rumput gajah, jerami jagung, rumput alam, jerami kacang

tanah, daun ketela pohon, jerami kacang hijau, dan jerami kedelai. Peternak tidak menggunakan

konsentrat sebagai bahan pakan tambahan untuk ternaknya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahan

pakan utama yang digunakan hanya berupa limbah pertanian dan rumput gajah saja.

Page 60: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

53

Limbah pertanian lain yang digunakan sebagai pakan ternak yaitu jerami kedelai dan daun

ketela pohon. Bahan pakan tersebut tidak banyak digunakan karena jumlah tanaman kedelai yang

ditanam tidak sebanyak tanaman komoditi yang lain. Sedangkan penggunaan daun ketela pohon juga

tidak banyak dikarenakan waktu pemanenan ketela pohon dilakukan setahun sekali dan daun ketela

pohon tidak dapat diawetkan seperti halnya jerami padi. Sehingga daun ketela pohon banyak

digunakan sebagai pakan ternak ruminansia pada saat musim panen, yaitu sekitar bulan Agustus.

Jenis rumput yang dimanfaatkan di lokasi penelitian adalah rumput budidaya (rumput gajah)

dan rumput lapangan. Rumput gajah banyak ditanam pada lahan yang berada di pinggir sungai dan

pematang-pematang sawah atau batas antar petak tanah. Rata-rata pemanenan dilakukan setelah

rumput gajah berumur ± 30 hari. Rumput lapangan cukup banyak digunakan atau dimanfaatkan

sebagai bahan pakan. Rumput tersebut diperoleh peternak pada saat menyiangi tanaman pangan.

Sehingga rumput lapang susah dalam hal menghitung jumlah/total luasan dan produksinya.

Selain limbah pertanian dan rumput, terdapat hijauan pakan lain yang digunakan yaitu berupa

hijauan dari tanaman lain, misalnya daun mahoni, daun akasia, daun pisang dan lain-lain. Waktu dan

jumlah pemberiannya tidak sering dan tidak banyak, hanya pada saat terjadi kekurangan hijauan

pakan. Peternak mencarinya dengan cara merampas dari pohon yang berada di pekarangan sekitar

rumah atau kebun. Daun-daunan tersebut juga susah dalam menghitung jumlah/total luasan dan

produksinya, seperti halnya dengan rumput lapangan. Sehingga dari keseluruhan bahan pakan yang

tersedia dan sudah dimanfaatkan sebagai pakan ternak, hanya terdapat 7 jenis bahan pakan yang dapat

dihitung produksinya, yaitu limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung, jerami kedelai, kacang

tanah, jerami kacang hijau, daun ketela pohon) dan rumput gajah.

Produksi Bahan Pakan

Dari 7 (tujuh) jenis bahan pakan potensial yang digunakan peternak, dianalisis proksimat

untuk mengetahui kandungan nutrien serta produksi BK, BO, PK dan TDN bahan pakan tersebut.

Kandungan nutrien dari masing-masing bahan pakan seperti terlihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kandungan nutrien bahan pakan potensial yang digunakan oleh petani peternak

Jenis Bahan Pakan BK

(%)

Kandungan Nutrien (% BK)

BO PK LK SK TDN*)

Jerami padi 22,81 74,00 5,78 9,68 32,22 36,67 Jerami jagung 28,26 89,97 7,16 11,55 23,06 56,11 Jerami kedelai 50,23 93,95 10,58 11,23 5,11 48,01 Jerami kacang tanah 19,46 89,92 12,67 11,68 21,62 59,94

Jerami kacang hijau 27,11 89,34 11,18 12,08 23,14 56,64

Daun ketela pohon 26,53 93,24 18,14 15,00 17,54 66,86

Rumput gajah 19,96 78,83 9,61 10,14 34,27 40,77

*) : hasil perhitungan berdasarkan Hartadi (1998)

Sumber : Hasil analisis proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Pertanian

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Berdasarkan data kandungan nutrien dan luas panen masing-masing jenis komoditi tanaman

pangan dan rumput gajah musim kemarau, dilakukan penghitungan produksi bahan pakan yakni bahan

segar, bahan kering (BK), bahan organik (BO), protein kasar (PK) dan total digestible nutrient (TDN)

yang dinyatakan dalam ton. Produksi bahan pakan sangat ditentukan oleh luas areal panen dari

masing-masing jenis tanaman pangan dan atau pakan yang ditanam pada suatu wilayah. Produksi

segar, BK, BO, PK dan TDN bahan pakan di wilayah kecamatan Semin pada musim kemarau seperti

terlihat pada Tabel 3 berikut.

Page 61: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

54

Tabel 3. Produksi bahan pakan Kecamatan Semin pada musim kemarau (ton)

Jenis Bahan Pakan Segar BK BO PK TDN

Jerami padi 41.047,60 9.362,96 6.928,59 541,18 3.517,66 Jerami Jagung 1.410,40 398,58 358,60 28,54 189,68 Jerami Kedelai 2.115,00 1.062,37 997,98 112,40 621,91 Jerami kacang tanah 7.703,50 1.499,10 1.347,99 189,94 906,21 Jerami kacang hijau 374,50 101,53 90,70 11,35 63,14 Daun ketela pohon 4.991,38 1.324,21 1.234,71 240,21 926,55 Rumput gajah 6.288,00 1.255,09 989,38 120,61 699,71

Jumlah 63.930,38 15.003,83 11.947,95 1.244,23 6.924,86

Selama musim kemarau, jumlah produksi bahan pakan di wilayah kecamatan Semin (segar,

BK, BO, PK dan TDN ) berturut-turut adalah 63.930,38 ton, 15.003,83 ton, 11.947,95 ton, 1.244,23

dan 6.924,86 ton. Produksi bahan pakan tertinggi adalah jerami padi, sedangkan produksi terendah

adalah jerami kacang hijau. Jerami padi produksi paling tinggi apabila dibandingkan dengan jenis

bahan pakan lainnya, dikarenakan tingginya luas panen untuk tanaman padi. Jerami kacang hijau

memiliki produksi paling rendah karena luas panen tanaman kacang hijau paling rendah (sempit)

dibandingkan dengan luas panen komoditi tanaman pangan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa

komoditi kacang hijau kurang diminati oleh petani untuk ditanam baik di wilayah kecamatan Semin.

Daya Tampung Ternak

Daya tampung ternak ruminansia wilayah kecamatan Semin berdasarkan kebutuhan BK, BO,

PK dan TDN sesuai dengan (Kearl, 1982) seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Daya tampung ternak berdasarkan kebutuhan BK, BO, PK dan TDN masing-masing jenis

bahan pakan (UT)

Jenis Bahan Pakan (UT/BK) UT/BO UT/PK UT/TDN

Jerami padi 6395,46 6.216,94 4051,04 4903,62

Jerami jagung 272,25 321,77 213,63 264,42

Jerami kedelai 725,66 895,48 841,37 866,94

Jerami kacang tanah 1023,98 1.209,54 1421,78 1.263,25

Jerami kacang hijau 69,35 81,39 84,97 88,02

Daun ketela pohon 904,52 1.107,88 1798,13 1.291,61

Rumput gajah 857,30 887,76 902,86 975,40

Jumlah 10.248,52 10.720,75 9.313,78 9.653.26

Berdasarkan produksi BK, BO, PK dan TDN bahan pakan di wilayah kecamatan Semin selama

musim kemarau (Tabel 3) mampu memenuhi kebutuhan ternak ruminansia berturu-turut sebanyak

10.248,52 UT. 10.720,75 UT, 9.313,78 UT dan 9.653.26 UT.

Satu ekor ternak sapi yang telah dewasa setara dengan 1,0 UT, atau 0,16 UT untuk satu ekor

kambing dewasa atau 0,14 UT untuk satu ekor domba dewasa (Soekoharto, 1990), maka berdasarkan

produksi bahan pakan di wilayah tersebut, maka daya tampung untuk masing-masing komoditi

ternak pada musim kemarau adalah, sapi berkisar 9.313 – 10.720 ekor, kambing berkisar 58.211 -

67.004 ekor dan domba brkisar 66.527 – 76.576 ekor.

Hasil perhitungan daya tampung ternak ruminansia di wilayah kecamatan Semin dibandingkan

dengan jumlah populasi ternak yang ada di wilayah tersebut pada saat penelitian yakni sebanyak

9.880,70 UT, maka dapat diketahui bahwa ketersediaan bahan pakan berdasarkan BK, BO dan TDN

mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak ruminansia yang ada, sedangkan ketersediaan bahan

pakan berdasarkan PK belum dapat memenuhi kebutuhan pakannya. Hal ini berarti bahwa

ketersediaan bahan pakan khususnya BK, BO dan TDN di wilayah kecamatan semin pada saat musim

kemarau dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia yang ada, akan tetapi kebutuhan PK-nya tidak

terpenuhi. Sehingga belum terjadi keseimbangan dari bahan pakan yang dimanfaatkan sebagai pakan

ternak ruminansia, dimana kebutuhan energi bisa terpenuhi, sedangkan kebutuahan PK belum

Page 62: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

55

terpenuhi (kurang). Kondisi yang demikian dapat dipahami karena limbah tanaman pangan pada

umumnya tinggi kandungan SK (energi)-nya dan rendah kandungan PK-nya.

Upaya untuk memenuhi kebutuhan PK bahan pakan dapat ditempuh dengan mengintensifkan

lahan yang ada dengan cara menanam tanaman pertanian yang limbahnya dapat dimanfaatkan sebagai

bahan pakan sumber protein misalnya tanaman kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang, dan lain-

lain. Cara lain yang juga dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan PK adalah dengan

memanfaatkan tanaman Leguminoceae pakan seperti turi, gamal, lamtoro, dan lain-lain, yang

memiliki kandungan nutrien terutama kandungan PK yang tinggi, atau dengan cara meningkatkan

kualitas bahan pakan yang telah ada (khususnya limbah pertanian) dengan cara pengolahan-

pengolahan bahan pakan seperti pembuatan jerami padi fermentasi.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah :

1. Bahan pakan yang dominan digunakan sebagai pakan ternak ruminansia di wilayah kecamatan

Semin adalah berupa limbah pertanian (jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami

kacang hijau, jerami kedelai, dan daun ketela pohon) dan rumput gajah.

2. Belum terjadi keseimbangan jumlah pakan yang tersedia dengan jumlah ternak (populasi) yang

ada, ketersediaan PK lebih rendah dari kebutuhannya.

Daftar Pustaka

Anonimus. 1982. Inventarisasi Limbah Pertanian. Laporan survai. Direktorat Bina Produksi

Peternakan. Ditjen. Peternakan. Deptan dan Fak. Peternakan UGM. Yogyakarta

AOAC, 1965. Official Methods of Analysis of the Association of the Official Agricultural Chemists.

9th.Eds. Washington DC

Badan Pusat Statistik. 2014. Gunungkidul dalam Angka (Gunungkidul in Figure). Kerjasama dengan

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul.

Devendra, C., C. Sevilla and D. Pezo, 2001. Food-feed systems in Asia. Review. Asian-Aust. J. Anim.

Sci. 14(5) : 733-745

Hartadi, H., S. Reksohadiprojo dan A.D. Tillman. 1998. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia.

Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Kearl, L. C. 1982. Nutrient Requirements of Ruminant in Developing Countries. International

Feedstuff Institute, Utah Agricultural Experiment Station. Utah State University. Logan.

Utah.

Ngadmawati, S. 2001. Evaluasi Daya Dukung Pakan Ternak Ruminansia di Kab. Kebumen. Propinsi

Jawa Tengah. Tesis S2. Program Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.

Reksohadiprodjo, S. 1985. Produksi Tanaman Hijauan Makanan Ternak Tropik. BPFE. Yogyakarta.

Ruswendi, 2004. Analisis Potensi Sumberdaya Pakan untuk Pabrik Pakan Ternak Sapi Potong di

Kabupaten Gunungkidul. Tesis S2. Program Pasca Sarjana. UGM. Yogyakarta.

Soekoharto. 1990. Pedoman untuk Perencanaan Ekonomi Pembangunan Peternakan. Fakultas

Peternakan UGM. Yogyakarta.

Page 63: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

56

Makalah 010

Kajian Suplementasi Pakan Sumber Energi Dengan Tingkat Degradasi Yang Berbeda

Ditinjau Dari Kinetika Fermentasi Dalam Rumen Sapi

Susi Dwi Widyawati1), Wara Pratitis Sabar Suprayogi1) dan Ristianto Utomo2)

1)Staf Pengajar Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian UNS,

2)Staf Pengajar Fakultas Peternakan UGM

Abstrak

Kajian dalam penelitian ini ditekankan pada sapi yang biasa dipelihara pada peternakan rakyat.

Pemberian pakan tunggal jerami padi kurang mencukupi kebutuhan produksi ternak, oleh karena itu

perlu formulasi pakan yang mampu meningkatkan nilai nutrisi pada pakan serat kualitas rendah.

Mengkombinasikan pakan basal kualitas rendah yaitu jerami padi dengan suplemen untuk

optimalisasi sintesis mikrobia rumen sehingga kecernaan nutrien dan pertambahan bobot badan

meningkat serta dapat memperpendek lama pemeliharaan sapi.

Populasi mikrobia yang optimal akan meningkatkan efisiensi penggunaan ransum, untuk

meningkatkan populasi mikrobia dibutuhkan prekursor sumber energi dan sumber protein yang selaras

kesediaanya.

Penelitian bertujuan untuk menyusun formulasi suplemen berkualitas dengan sinkronisasi

sumber energi dan sumber protein bersumber bahan pakan lokal. Perlakuan yang diaplikasikan

mempertimbangkan kombinasi sumber energi cepat-sumber protein cepat, sumber energi lambat –

sumber protein lambat. P0 = kontrol (1% urea), P2 =P1 + minyak , P3 = P2 + dedak padi, P4 = P2 +

Onggok. Evaluasi nutrisi ransum perlakuan menggunakan sapi berfistula rumen, dengan kinetika

fermentabilitas ransum dengan mengambil cairan rumen 0, 4, 8, 12, 24 jam setelah distribusi pakan

yang pertama.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pakan suplemen menunjukkan kinetika pH

,ammonia, sintesis mikrobia rumen cairan rumen pada perlakuan P3 dan P4 memberikan hasil yang

tidak berfluktuatif sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian suplemen pemacu kinerja mikrobia

(PKM) pada pakan sumber energi onggok dan bekatul mampu memberikan hasil yang sama jika

ternak tersebut diberikan konsentrat.

Kata kunci : pakan suplemen, fermentabilitas, kinetika amonia, VFA, sintesis mikrobia

Pendahuluan

Peternakan rakyat di Indonesia, sistem pemeliharaan sapi yang dikelola masih bersifat

tradisional, ternak yang dipelihara hanya diberikan hijauan berupa rumput lapang atau jerami padi

terutama pada musim panen dan pakan penguat (konsentrat) tidak selalu diberikan. Pakan jenis ini

tidak akan mampu mendukung pertumbuhan ternak sesuai dengan potensi genetiknya. Dengan

demikian perlu perubahan manajemen pakan kearah efisiensi dan efektifitas penggunaan pakan

melalui manipulasi fermentasi dalam rumen sehingga utilitas pakan dapat optimal.

Pakan serat kualitas rendah menuntut kerja keras dari mikrobia rumen pada proses

penmcernaannya. Aktivitas dan pertumbuhan optimal mikrobia bergantung pada senyawa Nitrogen

(N) dan asam alfa keto dari pakan. Urea merupakan pakan yang potensial sebagai sumber N bagi

mikrobia rumen, harganya murah dan selalu tersedia. Penggunaan urea mempunyai kendala yaitu

bersifat cepat terdegradasi menjadi amonia didalam rumen, sehingga apabila terakumulasi dalam

jumlah banyak akan bersifat toksik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dengan mengusahakan

urea untuk bisa lepas lambat dalam rumen (slow relesed-ammonia) sehingga dapat disinergikan

dengan sumber Carbon (C) dari dedak padi, onggok, dedak jagung dan gaplek yang mempunyai

tingkat degradasi yang berbeda dalam rumen. Penggunaan urea dengan minyak bertujuan untuk

memperlambat hidrolisis urea dalam cairan rumen, sehingga amonia tersedia sepanjang waktu

Page 64: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

57

bersamaan dengan ketersediaan sumber C dari pakan sumber karbohidrat. Seperti halnya dengan urea

yang mampu menyediakan N sepanjang waktu, maka perlu disediakan sumber C yang tersedia setiap

saat sehingga terjadi sinkronisasi sumber N dan C. Penggunaan urea-minyak sawit dalam ransum sapi

pada taraf 1-2% urea dengan minyak sawit 3-6% sebagai upaya optimalisasi sintesis mikrobia rumen

dapat dilakukan tanpa memberikan efek negatif pada sapi (Widyawati, dkk., 2010). Selanjutnya dapat

dilaporkan bahwa kinetika amonia pada ransum baik dengan urea 1%-minyak sawit 3% maupun urea

2%-minyak sawit 6% cukup stabil selama 24 jam, keadaan ini menunjukkan bahwa urea terdegradasi

secara lambat atau urea lepas lambat, sehingga memungkinkan penyediaan sumber N sepanjang hari,

kinetika produksi VFA cukup memadai untuk mendukung terjadinya sintesis mikroba rumen.

Sebagaimana yang dinyatakan Widyobroto et al., 2001 bahwa sinkronisasi kerangka C dan N-amonia

akan sangat mendukung sintesis mikroba rumen.

Pada pemberian pakan basal berkualitas rendah, pemenuhan protein untuk ternak ruminansia

sangat tergantung dari protein asal mikrobia itu sendiri, karena protein asal mikrobia mampu

menyumbangkan sekitar 40-80% (Johnson, 1980; Czerkawski, 1986) dari kebutuhan protein untuk

ternak. Biomassa mikroba rumen telah diketahui merupakan sumber asam amino esensial bagi induk

semang (host).

Dari permasalahan di atas, diharapkan hasil penelitian ini mampu membuat formula pakan

suplemen yang mempunyai aspek terhadap perbaikan sintesis mikrobia rumen sehingga proses

pencernaan fermentatif terhadap pakan serat kualitas rendah dapat berjalan dengan baik, pada akhirnya

dapat memperbaiki performan ternak sapi, memperpendek masa pemeliharaan khususnya pada

peternakan rakyat.

Metode Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kandang sapi potong Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta dengan

menggunakan sapi berfistula rumen sebanyak 4 ekor.

Analisis bahan percobaan dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas

Pertanian UNS. Analisis konsentrasi amonia dan protein mikrobia dilakukan di Laboratorium

Biokimia Nutrisi Fakultas Peternakan UGM. Sedangkan produksi VFA parsial dilakukan di

Laboratorium Kimia PAU UGM.

Bahan pakan ternak yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh di daerah Surakarta dan

sekitarnya.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Penyusun Ransum Perlakuan

Bahan Pakan P1 P2 P3 P4

Jerami Padi Fermentasi 50 49 49 49

Konsentrat 49 30 - -

Dedak Padi - - 30 -

Onggok - - - 30

Urea 1 1 1 1

Molases - 5 5 5

Minyak - 3 3 3

Bungkil Sawit 10 10 10 10

Vitamin + Mineral - 2 2 2

Jumlah 100 100 100 100

Kandungan nutrien ransum perlakuan disajikan pada Tabel 2. Kandungan PK dan SK cenderung

semakin menurun dengan penggunaan pakan sumber energi yang berbeda.

Jerami padi fermentasi dibuat dengan bahan dasar jerami padi berkadar air 60% ditambahlan urea dan

starbio dengan persentase yang sama 0.06%.

Peubah yang diamati pada penelitian adalah Fermentabilitas ransum. Data tersebut diukur

dengan pengambilan cairan rumen pada periode waktu 24 jam, yaitu 0, 4, 8, 12 dan 24 jam setelah

pemberian pakan yang pertama pada sapi berfistula rumen sebanyak 4 ekor yang diacak kedalam 4

perlakuan ransum mengikuti Rancangan Bujur Sangkar Latin. Selanjutnya dilakukan pengukuran

terhadap pH cairan rumen, konsentrasi amonia dan protein mikrobia.

Page 65: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

58

Pengukuran konsentrasi amonia dalam cairan rumen mencerminkan kemampuan ransum dalam

menyediakan Nitrogen bagi mikrobia rumen. Selain untuk tumbuh dan berkembangnya mikrobia

rumen, juga untuk mengetahui aktivitas mikrobia dalam memfermentasi pakan. Metode penentuan

kadar amonia menurut (Chaney and Marbach, 1962 cit Laboratorium Biokimia Nutrisi, 2006).

Metode yang digunakan pada penentuan protein mikrobia rumen adalah metode Lowry. Sampel

sebanyak 0.5 ml ditambah dengan larutan Lowry B dan didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya

ditambahkan 0.25 Lowry A dan dicampur kemudian didiamkan selama 30 menit. Baca dengan

menggunakan Spektronik pada χ 750 nm.

Tabel.2. Kandungan nutrien ransum perlakuan

Bahan

Pakan P1 P2 P3 P4

BO 83.38 83.18 83.46 83.01

PK 9.33 9.11 7.87 7.47

LK 3.58 7.40 9.87 6.95

SK 14.96 10.40 5.78 7.92

Abu 16.62 16.82 16.54 16.99

BETN 55.52 56.26 59.95 60.65

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam sesuai dengan rancangan yang digunakan.

Jika berbeda nyata dilakukan uji lanjut terhadap rataan dengan uji beda nyata DMRT dan Kontras

Ortogonal (Astuti, 1980).

Hasil dan Pembahasan

Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) sangat berpengaruh terhadap proses fermentasi mikrobial dalam rumen,

penyerapan nutrien yang terbentuk dari hasil fermentasi, optimalisasi peran mikrobia dalam rumen.

Perubahan pH cairan rumen akan berakibat pada aktivitas dan kinerja mikrobia dalam rumen.

Mikrobia rumen mempunyai karakteristik dalam memfermentasi ransum yang dikonsumsi oleh ternak.

Mikrobia rumen mempunyai karakteristik dalam memfermentasi ransum yang dikonsumsi oleh ternak.

Tabel 1. pH cairan rumen

Waktu Inkubasi (jam) P1 P2 P3 P4

0 6.47 6.66 6.60 6.54

4 6.46 6.37 6.16 6.31

8 6.65 6.57 6.20 6.46

12 6.37 6.21 6.08 6.22

24 6.49 6.40 6.38 6.40

Rata-rata 6.54 6.38 6.20 6.58

Mikrobia dapat beraktifitas dengan optimal apabila derajat keasaman pH berkisar 6 - 7 dengan

temperatur 38- 42oC ( Yokohama dan Johnson, 1988).Pada kondisi pH tertentu, maka mikrobia

mampu menjalankan perannya dengan baik dan mikrobia sendiri dapat tumbuh dan berkembang

dengan optimal.

Rerata pH cairan rumen selama 24 jam dari perlakuan P1, P2, P3 dan P4 masih dalam kisaran

yang normal untuk aktivitas mikrobia rumen. Hal ini disebabkan ransum dari keempat perlakuan

mempunyai komposisi hijauan : konsentrat yaitu 50% : 50%. Pemberian hijauan yang lebih tinggi

dibandingkan konsentrat akan merangsang sekresi saliva di dalam mulut sehingga pH di dalam rumen

cenderung meningkat. Saliva berfungsi sebagai buffering capacity dalam cairan rumen. Sebaliknya.

Kinetika pH cairan rumen pada keempat perlakuan relatif stabil pada kisaran yang normal

cairan rumen. Ada kecenderungan penurunan pH cairan rumen setelah distribusi pakan konsentrat

Page 66: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

59

setelah itu mengalami kenaikan yang tidak tajam. Rerata pH cairan rumen selama pengamat 24 jam

menunjukkan nilai yang optimal untuk terjadinya degradasi nutrien oleh mikrobia rumen. Kisaran

yang optimal untuk bekerjanya bakteri selulolitik adalah 6.2 – 6.8. Kondisi pH rumen perlakuan yang

relatif konstan disebabkan imbangan pemberian ransum hijauan : konsentrat sebesar 50% : 50%

yang berarti sekresi saliva kedalam rumen mampu mempertahankan pH rumen tetap stabil, hal ini

sesuai dengan penyataan Van Soest, (1994) bahwa adanya buffering capacity dari saliva karena

banyak mengandung bicarbonat dan fosfat serta terjadi sistem absorbsi VFA melalui dinding rumen.

Jika porsi konsentrat lebih banyak dibandingkan hijauan, maka akan menurunkan sekresi saliva yang

akan mengakibatkan penurunan pH cairan rumen karena proses fermentasi terhadap konsentrat lebih

cepat. Kecepatan fermentasi konsentrat akan memperepat terbentuknya asam-asam organik yang

selanjutnya derajat keasaman cairan rumen akan meningkat dan menurun pH

Konsentrasi Amonia (N-NH3)

Amonia merupakan hasil akhir degradasi protein dalam rumen. Tinggi rendahnya konsentrasi

amonia tergantung dari sifat protein yang terkandung dalam ransum yaitu daya larut atau solubilitas

protein dalam rumen. Konsentrasi amonia ransum perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Kinetika konsentrasi amonia ransum perlakuan (mg/100ml)

Waktu Inkubasi P1 P2 P3 P4

0 15.42 13.16 16.41 11.11

4 24.98 25.94 27.73 30.02

8 26.93 24.98 12.55 11.30

12 19.62 20.87 12.17 17.25

24 13.24 18.55 17.95 15.64

Ilustrasi di bawah ini menggambarkan bahwa konsentrasi amonia dari keempat ransum

perlakuan berfluktuasi selama 24 jam pengamatan. Ransum P1 dan P2 memperlihatkan konsentrasi

amonia yang cukup tinggi dibandingkan kedua ransum perlakuan yang lain yaitu P3 dan P4. Ransum

P1 dan P2 dalam degradasinya di rumen menghasilkan konsentrasi amonia yang tinggi, 17.66 dan 28

16 mg/100 ml yang setara dengan 10.39 dan 16.56 mM, sedangkan ransum P3 dan P4 sebatas ukup

untuk pertumbuhan dan perkembangan mikrobia yang normal yaitu sebesar 5.84 dan 6.11 mg/100 ml

yang setara dengan 3.43 dan 3.60 mM.

Gambar 1. Kinetika konsentarsi amonia ransum perlakuan

Hasil penelitian yang sebelumnya dijelaskan bahwa penggunaan minyak sawit : urea dengan

perbandingan 3 : 1 memberikan hasil kinetika amonia yang sangat baik (Widyawati dkk., 2011).

Selanjutnya dijelaskan bahwa pada penggunaan urea 2% dan minyak sawit 6% tidak memberikan efek

buruk bagi ternak. Kinetika degradasi protein pada perlakuan P3 dan P4 lebih lambat dan tidak

berfluktuatif jika dibandingkan P1 dan P2. Keadaan ini menjelaskan bahwa kombinasi urea dan

minyak membuat urea tidak mudah terdegradasi di dalam rumen sehingga memberikan konsentrasi

amonia yang aman bagi ternak alaupun berada pada dosis yang tinggi (2%). Minyak sawit diduga

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26

R1 R2 R3 R4

Page 67: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

60

mampu menyelimuti urea (physical coating) dalam proses degradasinya sehingga terjadi degradasi

lepas lambat dan konsentrasi amonia berada pada kondisi yang aman bagi ternak.

Hal lain yang dapat dijelaskan pada penelitian ini bahwa rerata konsentrasi amonia selama

pengamatan 24 jam pada ransum P3 dan P4 yaitu sebesar 5.84 dan 6.11 mg/100 ml yang setara dengan

3.44 dan 3.59 mM. Konsentrasi ini cukup optimal untuk digunakan oleh mikrobia rumen sebagai

sumber Nitrogen untuk tumbuh, berkembang dan beraktivitas. Sebagaimana yang dilaporkan oleh

Satter dan Slyter (1977) dan Sutardi (1978) bahwa kebutuhan amonia untuk sintesis mikrobia rumen

sebesar 3.57 – 7.14 mM, konsentrasi yang lebih tinggi tidak mengakibatkan peningkatan pertumbuhan

mikrobia rumen. Sebagaimana yang dijelaskan Sutardi (1979) bahwa konsentrasi 98.3 mg/100 ml

(57.82 mM) tidak meningkatkan sintesis mikrobia rumen. Konsentrasi amonia di dalam rumen

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain solubilitas dan laju degradasi pakan (Sauvant, 1995 ;

Widyobroto et al., 1995)

Protein Mikrobia

Mikrobia di dalam cairan rumen berperan utama dalam mencerna pakan. Konsentrasi di dalam

rumen sangat dipengaruhi oleh jenis pakan. Kinetika dan rerata selam 24 jam kosentrasi mikrobia

cairan rumen dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kinetika produksi protein mikrobia (mg/ml)

Waktu Inkubasi P1 P2 P3 P4

0 0.46 0.42 0.49 0.51

4 0.49 0.44 0.75 0.61

8 0.32 0.33 0.30 0.35

12 0.33 0.33 0.30 0.35

24 0.28 0.34 0.30 0.29

Evolusi konsentrasi protein mikrobia maksimal terjadi pada 4 jam setelah distribusi pakan pada

P1, P2, P3 dan P4. Sintesis mikrobia P2 dan P3 cenderung berfluktuatif sedangkan pada P1 dan P4

cenderung relatif stabil. Rerata konsentrasi mikrobia rumen selama 24 jam pada ransum perlakuan P2

dan P3 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan P1 dan P4.Sintesis protein mikrobia

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya ketersediaan NH3, energi dan kerangka karbon, suplai

mineral , tingkat konsumsi dan laju aliran partikel pakan dari rumen (Orskov,1992) Dilihat dari rata-

rata produksi protein mikrobia rumen menunjukkan bahwa P1, P2, P3 dan P4 masing-masing sebesar

18.09, 34.79, 34.54 dan 18.20 mg/100 ml cairan rumen. Jika dikaitkan dengan konsentrasi amonia

menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang tinggi pada perlakuan P1 dan P2 tidak diikuti oleh

produksi protein mikrobia.

Gambar 2. Kinetika produksi mikrobia rumen

0,00

0,10

0,20

0,30

0,40

0,50

0,60

0,70

0,80

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26

R1 R2 R3 R4

Page 68: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

61

Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa tidak semua amonia dimanfaatkan oleh mikrobia rumen

untuk pertumbuhannya, namun banyak faktor yang mempengaruhinya. Sebagaimana yang dijelaskan

oleh Widyobroto, dkk., (1999) bahwa sumber energi dan sumber N bagi mikrobia rumen berada secara

bersama sama, atau sinkronisasi sumber C dan N sangat penting untuk optimalisasi sintesis mikrobia

rumen

P3 dan P4 menghasilkan rata-rata konsentrasi amonia yang hampir sama, namun sangat berbeda

produksi protein mikrobia rumen yang dihasilkan. Keadaan yang diharapkan pada penelitian ini

bahwa kinetika degradasi urea dalam rumen secara lambat atau slow release urea. Sehingga pada

penelitian ini ransum P3 dan P4 memberikan hasil yang stabil selama 24 jam inkubasi dalam rumen.

Konsentrasi yang berlebihan dalam rumen, maka amonia hanya akan di daur ulang (N recycling) dan

di dalam hati akan diubbah menjadi urea, dan jika masih kelebihan akan difiltrasi di ginjal (Tillman et

al.,1991). Penggunaan kelebihan amonia terkendala oleh hati oleh kemampuan hati mengubah amonia

menjadi urea. Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa P3 menyediakan amonia dalam jumlah yang

cukup untuk mikrobia rumen dan tidak berlebihan namun menghasilkan protein mikrobia rumen yang

cukup tinggi.

Simpulan

Penggunaan dedak padi dan onggok memberikan nilai nutrisi yang setara dengan konsentrat

ditinjau dari konsumsi nutrien, fermentabilitas ransum dan kecernaan nutriennya.

Penggunaan Onggok dalam ransum memberikan perbaikan nilai nutrisi ransum dibandingkan

dedak padi. Penggunaan onggok dengan suplementasi nutrien untuk peningkatan sintesis mikrobia

rumen mampu memperbaiki lingkungan rumen.

.

Daftar Pustaka

Anonim, 2004. Petunjuk Praktikum Biokimia Nutrisi. Laboratorium Biokimia Nutrisi, Jurusan Nutrisi dan

Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, UGM. Yogyakarta.

Association of Official Analysis Chemist. 1980. Official methods of analysis of the Association of Official

Analytical Chemist. 13th ed. Association of Official Analytical Chemist, Washington, DC.

Chen,X.B., Y.B. Chen, Franklin, E.R. Orskov and W.J. Shand. 1992.The effect of feed intake and body weigh on

purine derivative excretion and microbial protein supply in sheep. J. Anim. Sci. 70:1534 - 1542

Czerkawski, J. W. 1986. An Introduction to Rumen Studies.Pergamon Press. Oxford

Dhiman, T.R. and L.D. Satter. 1997. Effect of ruminally degraded protein on protein available at the intestine

assessed using blood amino acid concentrations. J. Anim. Sci. 1997. 75:1674-1680.

Goering and Van Soest. 1970. Forages fiber analysis (apparatus, reagents, procedures and some applications).

Agriculture Handbook No. 379. Agricultural Reasearch Service United State Departement of Agriculture.

Washington, D.C.

McDonald, P., R.A. Edward and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. 4th edition. English Language Book

Society, Longman, London.

McDonald, P., R.A. Edward and J.F.D. Greenhalgh. 2002. Animal Nutrition. 6th edition. English Language Book

Society, Longman, London.

Tillman, A.D., H.Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.Prawirokusumo dan S. Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan

Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press.

Ørskov, E.R. 1992. Protein Nutrition in Ruminants. Second edition. Academic Press. London.

Sauvant, D and J. Van Milgen. 1995. Dynamic aspects of carbohydrate and protein breakdown and the

associated microbial matter synthesis. In : Ruminant Physiology : Digestion, Metabolism, Growth and

Reproduction (Engelhardt et al, Ed). Proceedings of the eight International Symposium on Ruminant

Physiology. Stuttgart Germany. 71-87.

Sutardi, T. 1978. Ikhtisar Ruminologi. Dept. Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Bogor.

Van Soest, P.J. 1994. Nutritional Ecology of The Ruminant. Cornell University. Ithaca and London.

Page 69: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

62

Widyawati, S.D., W.P.S. Suprayogi, R. Utomo, S.P.S. Budhi. 2010. Percepatan Penggemukan Ternak Sapi

Melalui Suplementasi Sumber Protein Dengan Metode Slow Released-Ammonia. Laporan Penelitian

Hibah Pekerti. Fakultas Pertanian UNS.

Widyobroto B.P., S. Padmowijoto dan R. Utomo. 1995. Pendugaan Kualitas Protein Bahan Pakan (Hijauan,

Limbah Pertanian dan Konsentrat) Untuk Ternak Ruminansia. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan

UGM.

Widyobroto B.P., S.P.S. Budhi, A. Agus and B. Santosa. 1999. Effect of undegraded protein level on nutrient

digestibility and microbial protein synthesis of dairy cows. In : Lobley GE, A. White and JC. MacRae.

(Ed). Protein metabolism and nutrition. Book of

abstracts of the VIIIth International Symposium on Protein and Metabolism. P. 72. EAAP publication

Wageningen Holland.

Weimer, P.J.1996. Why Don’t Ruminal Bakteri Digest Cellulose Faster? Journal Dairy Science. 79 : 1496-1502.

Yusiati L., M. Soejono, Z. Bachrudin, S.P. S. Budhi, B.P. Widyobroto. 1997. Response of Glumerular Filtration

Rate and Purine Derivatives Excretin to Feed Intake in Bali and Ongole Crossed Bred Cattle. Buletin of

Animal Science Special Edition. P. 155-159.

Yokoyama,M.T and K.A. Johnson. 1988. Microbiology of the rumen digestive physiology and nutrition. In :

D.C. Church (Ed.), The Ruminant Animal. Printice Hall, Englewood Cliifs, New Jersey. Pp. 125 -144.

Page 70: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

63

Makalah 011

Evaluasi Jumlah Eritrosit dan Kadar Hemoglobin Ayam Broiler yang Diberi Pakan

Suplementasi Probiotik Bacillus Diperkaya Vitamin dan Mineral

Mia Mitasari, I. Isroli dan H. I. Wahyuni

Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Email :[email protected]; [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penambahan probiotik Bacillus plus vitamin dan

mineral terhadap jumlah eritrosit dan hemoglobin ayam broiler pada hari ke-14 dan hari ke-28. Materi

yang digunakan dalam penelitian ini adalah 200 ekor ayam broiler strain Lohmann umur sehari yang

tidak dibedakan jenis kelaminnya dengan rerata bobot badan yaitu 45,9 1,80 gram. Probiotik

Bacillus plus vitamin dan mineral diberikan dalam pakan pada perlakuan dengan level 0% (T0), 0,1%

(T1), 0,5% (T2) dan 1% (T3). Parameter yang diamati yaitu jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin

pada hari ke-14 dan hari ke-28. Data dianalisis keragamannya berdasarkan rancangan acak lengkap

(RAL) pada taraf 5% untuk mengetahui perbedaan antara umur 14 dan 28 hari digunakan uji-t. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan probiotik Bacillus dengan vitamin

serta mineral terhadap jumlah eritrosit namun berpengaruh terhadap kadar hemoglobin ayam broiler.

Pengaruh nyata ditunjukkan pada eritrosit umur yang berbeda dan hemoglobin pada umur 14 hari.

Dapat disimpulkan bahwa probiotik Bacillus dengan vitamin serta mineral meningkatkan kadar

hemoglobin dan pada ayam yang unurnya lebih muda mempunyai jumlah eritrosit yang lebih tinggi.

Kata kunci: Probiotik, eritrosit, hemoglobin, ayam broiler

Pendahuluan

Ayam broiler merupakan ternak unggas yang dengan produksi daging tinggi dan sebagai

sumber protein dari kebanyakan masyarakat Indonesia. Konsumsi daging ayam semakin meningkat

dari tahun ke tahun melihat pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat. Keunggulan ayam

broiler yaitu produktivitasnya tinggi dilihat dari laju pertumbuhan yang cepat dan sangat efisien dalam

menggunakan pakan yang dikonsumsi. Di samping produktivitas yang tinggi tersebut juga memiliki

kelemahan yaitu sangat rentan terhadap penyakit. Kondisi kesehatan ayam broiler dapat diketahui

melalui darah (seperti eritrosit dan hemoglobin) yang berfungsi dalam transportasi nutrien dan oksigen

ke jaringan tubuh. Jumlah eritrosit dan hemoglobin dapat menurun apabila dalam kondisi kekurangan

nutrien atau terinfeksi penyakit dan dapat meningkat ketika tubuh membutuhkan banyak oksigen

sehingga ayam harus selalu dijaga kondisi kesehatannya.

Salah satu cara untuk mencegah penyakit dan menjaga kesehatan ayam broiler digunakan

tambahan pakan berupa antibiotik atau Antibiotic Growth Promoters (AGPs). Penggunaan antibiotik

sudah sejak lama dalam dunia peternakan terutama unggas. Padahal saat ini terdapat larangan

penggunaan antibiotik sebagai pakan tambahan ternak karena adanya resistensi pada ayam dan

manusia sebagai konsumen. Salah satu dampak penggunaan antibiotik yaitu penurunan performa,

kesehatan dan peningkatan prevalensi terhadap beberapa penyakit pada ayam broiler.

Penggunaan obat alami untuk ayam broiler sangat dibutuhkan sebagai pengganti antibiotik yang

dapat merugikan konsumen. Probiotik merupakan mikroba hidup yang dapat menyeimbangkan

keberadaan mikroorganisme dan mengeliminasi mikroba patogen dalam tubuh (April et al., 2001).

Bacillus adalah salah satu bakteri yang saat ini banyak digunakan sebagai probiotik dalam pakan

ternak dan untuk hasil yang efektif oleh aktivitas probiotik digunakan strain Bacillus dari isolasi isi

rumen sapi (Sugiharto, 2016). Kebutuhan vitamin dan mineral ayam dapat meningkat kapan saja

karena memiliki fungsi untuk pertahanan tubuh ayam. Vitamin dan mineral dalam tubuh berfungsi

dalam proses fisiologis dan metabolisme serta sangat vital walaupun dalam jumlah sedikit menjadi

Page 71: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

64

bagian dari enzim-enzim atau hormon yang berperan dalam bagian struktural molekul seluler (Arifin,

2008). Oleh karena itu penambahan vitamin dan mineral perlu dilakukan untuk memenuhi

ketersediaannya. Probiotik berbasis bacilus ini akan diperpadukan dengan penambahan vitamin dan

mineral untuk menjaga agar ayam tetap dalam kondisi sehat sehingga eritrosit dan hemoglobin dapat

bekerja dengan optimal.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian probiotik berbasis Bacillus yang

diperkaya dengan vitamin dan mineral terhadap jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin ayam broiler.

Manfaat dari penelitian ini yaitu meningkatkan daya guna bakteri Bacillus yang diperkaya vitamin dan

mineral dalam pakan untuk lebih memperbaiki tingkat kesehatan ayam. Hipotesis dari penelitian ini

adalah penambahan probiotik Bacillus plus vitamin dapat mempertahankan kondisi hematologis,

sehingga mampu mempertahankan kesehatan dan meningkatkan produktivitas ayam broiler.

Materi dan Metode

Penelitian ini menggunakan DOC (Day Old Chick) ayam broiler sebanyak 300 ekor dengan

bobot badan awal rata-rata sebesar 45,9 1,80 gram. Pakan yang digunakan yaitu pakan komersial

serta pakan tambahan probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Setiap unit percobaan diisi 12 ekor DOC ayam broiler

(unsex). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA

(Analisis Varians) dan uji F pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1993). Data diambil 2 kali yaitu pada

umur 14 dan 28 hari. Untuk mengetahui perbedaan rataan pada umur yang berbeda dilakukan uji-t.

apabila data diketahui signifikan maka dilakukan uji Duncan. Perlakuan yang diberikan pada pakan

sebagai berikut:

T0 : Pakan komersial tanpa ditambah probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral

T1 : Pakan komersial ditambah 0,1% probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral

T2 : Pakan komersial ditambah 0,5% probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral

T3 : Pakan komersial ditambah 1% probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral

Penelitian dilakukan dengan 3 tahap yang meliputi tahap persiapan, tahap pemeliharaan dengan

perlakuan dan tahap pengumpulan data. Tahap persiapan dilakukan dengan mempersiapkan kandang

litter. Pembuatan kandang sebanyak 16 petak, kandang terlebih dahulu dicuci, dilakukan pengapuran,

instalansi lampu, pemasangan tempat pakan dan minum, pemasangan termometer dan higrometer serta

persiapan alat-alat pendukug selama penelitian. Bakteri Bacillus didapatkan dari isi rumen sapi yang

diisolasi dan dikombinasikan dengan vitamin dan mineral. Pakan yang diberikan berupa pakan

komersial untuk ayam pedaging.

Tahap pemeliharaan dengan perlakuan pertama dilakukan penimbangan dan penempatan DOC

secara acak dalam masing-masing kandang litter. Ayam broiler diberi perlakuan pakan selama 6

minggu masa pemeliharaan dengan rincian 2 minggu pertama sebagai adaptasi dan 4 minggu

berikutnya pengambilan data. Pemberian pakan dan air minum dilakukan secara adlibitum.

Tahap pengambilan data dilakukan pada saat ayam berumur 14 dan 28 hari. Setiap petak

kandang diambil sebanyak satu ekor ayam secara acak untuk dijadikan sebagai sampel. Pengambilan

darah pertama pada ayam umur 1 minggu dilakukan dengan memotong ayam, darah yang mengalir

ditampung sebanyak 2 ml. Pengambilan darah pada ayam umur 4 minggu dilakukan melalui vena

brachialis dengan spuit ukuran 3 ml.

Hasil dan Pembahasan

Eritrosit

Hasil pemeriksaaan hematologis darah ayam broiler pada umur 14 dan 28 hari yang diberi

ransum suplementasi probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral tersaji pada Tabel 1. Berdasarkan

analisis ragam pada uji-t terdapat pengaruh nyata (P<0,05) penambahan suplemen berbasis probiotik

Bacillus dengan vitamin serta mineral terhadap jumlah eritrosit.

Page 72: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

65

Tabel 1. Rata-rata Jumlah Eritrosit Ayam Broiler yang Diberi Probiotik Bacillus dengan Vitamin serta

Mineral umur14 dan 28 Hari

Suplemen P1 (Hari Ke-14) P2 (Hari Ke-28)

0% 3,71 1,04 2,00 0,15 0,1% 4,56 1,07a 2,16 0,18b

0,5% 4,40 0,88a 1,94 0,03b

1,0% 3,58 1,69a 2,02 0,15b

Keterangan : Superskrip taraf kelompok pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Total eritrosit pada umur 14 dan 28 hari dalam penelitian ini yaitu 3,58 – 4,56 juta/mm3 dan

1,94 – 2,16 juta/mm3. Hasil tersebut normal dan sedikit diatas standar karena jumlah normal ertrosit

ayam pedaging berkisar 2,11 – 3,5 juta/mm3 (Sugiharto et al., 2016; Dharmawan, 2002). Hal ini

menandakan bahwa penambahan probiotik Bacillus dengan vitamin serta mineral dalam pakan tidak

mengganggu jumlah eritrosit ayam broiler. Menurut Julendra et al. (2010) peran eritrosit sejalan

dengan tugas hemoglobin, yaitu berperan dalam pertukuran gas dan distribusi oksigen kedalam sel,

serta membawa nutrisi dari sistem pencernaan untuk proses metabolisme dan mengedarkan hasil

metabolisme ke seluruh tubuh. Faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit yaitu tingkat kebutuhan O2

, kecukupan nutrisi dan hormon. Semakin banyaknya jumlah eritrosit menunjukkan tingginya hasil

metabolisme yang dibawa untuk di edarkan ke seluruh tubuh, sehingga semakin baik karena dapat

meningkatkan produktivitas ayam broiler. Hal ini dibuktikan dengan rata-rata bobot badan ayam

broiler pada umur 35 hari berbeda nyata (P<0,05) perlakuan T2. Pada uji-t menunjukkan kadar

eritrosit berbeda nyata (P<0,05) pada perlakuan T1, T2 dan T3. Adanya pengaruh nyata menunjukkan

bahwa kadar eritrosit pada umur 14 hari lebih tinggi dari eritrosit umur 28 hari. Perbedaan kadar

eritrosit tersebut dipengaruhi oleh umur dan lingkungan ayam broiler. Hal ini sesuai dengan pendapat

Sugiharto (2016) yang menyatakan bahwa umur dan kondisi lingkungan tertentu dapat mempengaruhi

profil darah merah ayam pedaging. Ayam broiler pada umur 14 hari masih berada dalam masa

brooding yaitu periode dalam induk buatan. Menurut Fatmaningsih et al. (2016) anak ayam yang

berumur 0 sampai 14 hari merupakan kondisi yang kritis selama pemeliharaan karena menentukan

baik tidaknya performa ayam di periode selanjutnya. Dalam periode brooding akan terjadi proses

perbanyakan sel (hyperplasia) yang meliputi perkembangan saluran pencernaan, saluran pernapasan

dan sistem kekebalan tubuh. Pada masa brooding ayam memerlukan O2 lebih banyak untuk proses

metabolisme nutrien dalam menunjang pertumbuhan yang cepat. Perlakuan T1, T2 dan T3 umur ayam

yang lebih muda mempunyai eritrosit lebih banyak.

Hemoglobin

Rata-rata jumlah hemoglobin ayam broiler yang diberi pakan tambahan berupa probiotik

Bacillus dengan vitamin serta mineral disajikan pada Tabel 2. Perlakuan yang berbeda mengakibatkan

jumlah hemoglobin yang berbeda pula. Terdapat perbedaan jumlah hemoglobin ayam broiler pada

umur 14 dan 28 hari.

Tabel 2. Rata-rata jumlah hemoglobin ayam broiler pada umur 14 dan 28 hari

Suplemen P1 (Hari Ke-14) P2 (Hari Ke-28)

0% 8,45 1,05b 9,13 0,42

0,1% 10,30 1,82ab 9,43 0,68

0,5% 11,15 1,32a 8,90 0,66

1,0% 10,26 1,89ab 9,15 0,95

Keterangan : Super skrip pada kolom yang sama dalam menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin ayam broiler umur 14 hari berkisar

8,45 – 11,15 g/dL dan pada umur 28 hari berkisar 8,90 – 9,43 g/dL. Hasil hemoglobin pada umur 14

dan 28 hari terbilang normal karena kadar hemoglobin yang normal pada ayam broiler yaitu berkisar

7,0 gr/dl-13,0 gr/dl (Dharmawan, 2002). Secara statistik kadar hemoglobin ayam tidak ada perbedaan

tetapi secara absolut pada umur 14 hari kadar hemoglobin cenderung lebih banyak dibandingkan pada

Page 73: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

66

umur ke-28 hari. Menurut pendapat Ulupi dan Ihwantoro (2014) dalam masa brooding ayam akan

memerlukan suhu lingkungan yang lebih tinggi karena ayam belum mampu beradaptasi terhadap

lingkungan akibat pengaturan panas di dalam tubuh yang belum sempurna. Sehingga untuk

menghasilkan panas yang lebih, tubuh meningkatkan proses metabolisme. Proses metabolisme tinggi

akan meningkatkan kebutuhan oksigen dan memicu peningkatan kadar hemoglobin sehingga jumlah

eritrosit dalam tubuh meningkat. Keadaan hemoglobin yang normal mengindikasikan bahwa

penambahan probiotik Bacillus dengan vitamin serta mineral dalam pakan tidak berpengaruh negatif

terhadap kadar hemoglobin ayam broiler. Hemoglobin berfungsi dalam pertukaran gas (CO2) dan

distribusi oksigen (O2) di dalam sel (Yuniwarti, 2015). Rata-rata kadar hemoglobin umur 14 hari pada

ayam tanpa diberi suplemen tidak berbeda dengan yang diberi suplemen 0,1% dan 1%, namun berbeda

(P<0,05) dengan yang diberi suplemen 0,5%. Kadar hemoglobin tertinggi yaitu yang mendapat

perlakuan suplemen 0,5%. Hal ini dimungkinkan karena dari ketiga perlakuan pemberian suplemen

dengan kadar 0,5% adalah yang paling ideal. Menurut Haryati (2011) penggunaan pakan tambahan

berupa probiotik untuk ternak non ruminansia yang efisien yaitu sekitar 0,4 – 0,5% dan penambahan

sebanyak 0,8 – 1% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kinerja, aktifitas enzim

pencernaan, mikroflora usus atau morfologinya. Menurut pendapat Napirah et al. (2013) jumlah

hemoglobin yang baik mampu mencukupi kebutuhan oksigen dalam metabolisme tubuh sehingga

semakin banyak tersedianya kadar hemoglobin dalam darah semakin optimal proses metabolisme

sehingga suplai nutrien terpenuhi dan kesehatan ayam terjaga secara optimal.

Simpulan

Penambahan probiotik berbasis Bacillus yang diperkaya oleh vitamin dan mineral dalam

pakan ayam broiler menghasilkan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin lebih banyak pada umur yang

lebih muda yaitu 14 hari. Hasil perlakuan terbaik yaitu jumlah eritrosit dan hemoglobin tertinggi

ditunjukkan pada pemberian suplemen dengan kadar 0,5%.

Daftar Pustaka

Arifin, Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan metode analisisnya. Jurnal

Litbang Pertanian, 27 (3): 99 – 105.

Dharmawan, NS. 2002. Pengantar Patologi Klinik Veteriner, Hematologi Klinik. Universitas Udayana:

Denpasar.

Fatmaningsih, R., Riyanti dan K. Nova. 2016. Performa ayam pedaging pada sistem brooding konvensional dan

thermos. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu 4 (3): 222 – 229.

Haryati, T. 2011. Probiotik dan prebiotik sebagai pakan imbuhan nonruminansia. WARTAZOA 21 (3): 125 -

132.

Julendra, H., Zuprizal dan Supadmo. 2010. Penggunaan tepung cacing tanah (Lumbricus rubellus) sebagai aditif

pakan terhadap penampilan produksi ayam pedaging, profil darah, dan kecernaan protein. Buletin

Peternakan 34 (1): 21 – 29.

Napirah, A., Supadmo, dan Zuprizal. 2013. Pengaruh penambahan tepung kunyit (Curcuma domestica valet)

dalam pakan terhadap parameter hematologi darah puyuh (Coturnix-coturnix japonica) pedaging.

Buletin Peternakan. 37 (2): 114-119.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1981. Principles and Procedures of Statistics a Biometrical Approach. Mc. Graw-

Hill Book Co. International Ed, Singapore.

Sugiharto. 2016. Role of nutraceuticals in gut health and growth performance of poultry. Journal of the Saudi

Society of Agricultural Sciences. 15: 99 –111.

Sugiharto., T. Yudiarti, dan I. Isroli. 2016. Haematological and biochemical parameters of broilers fed cassava

pulp fermented withfilamentous fungi isolated from the Indonesian fermented dried cassava. Livestock

Research for Rural Development. 28 (4): 1 – 6.

Ulupi, N. dan T. T. Ihwantoro. 2014. Gambaran darah ayam kampung dan ayam petelur komersial pada kandang

terbuka di daerah tropis. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan. 2 (1): 219 – 223.

Page 74: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

67

Yuniwarti, E. Y. W. 2015. Profil darah ayam broiler setelah vaksinasi AI dan pemberian berbagai kadar VCO.

Buletin Anatomi dan Fisiologi. 23 (1): 38 – 46.

Page 75: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

68

Makalah 012

Evaluasi Penggunaan Limbah Tauge yang Difermentasi Trichoderma

harzianum terhadap Konsumsi Bahan Kering, Kecernaan Bahan

Kering dan Bahan Organik pada Ransum Itik Lokal

Dewi Istiqomah, Retno Iswarin P dan Sri Sumarsih

Fakutas Peternakan dan Pertanian, S1-Peternakan, Universitas Diponegoro, Semarang

Jl. Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Kota Semarang Kode Pos 50275

Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengkaji pengaruh penggunaan limbah tauge fermentasi terhadap

konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik itik lokal. Materi yang digunakan

yaitu itik lokal (itik tegal) jantan sebanyak48 ekor yang berumur 7 hari dengan bobot badan 52,81 ±

8,31 gram. Pakan terdiri dari dedak padi, bungkil sawit, pollard, tepung ikan, onggok dan bungkil

kedelai. Limbah tauge kacang hijau yang didapatkan dari pasar tradisional di Semarang, Salatiga dan

Kudus. Trichoderma harzianumdari Laboratorium Produksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Jendral Soedirman Purwokerto, molasses dan aquades. Peralatan yang digunakan antara lain baskom,

timbangan digital,plastik,lakban, kandang dan alat untuk tempat pemeliharaan itik.Hasil penelitian

menunjukkan bahwa limbah tauge fermentasi tidak berpengaruh nyata (p>0,05) pada konsumsi bahan

kering, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik. Konsumsi bahan kering limbah tauge

fermentasi itik lokal jantan untuk T0, T1, T2 danT3 masing-masing adalah 98,19 gram/ekor/hari;

96,67 gram/ekor/hari; 97,82 gram/ekor/hari dan 95,92 gram/ekor/hari. Kecernaan bahan kering limbah

tauge fermentasi itik lokal jantan untuk T0, T1, T2 danT3 masing-masing adalah 67,99 %; 68,30 %;

66,68 % dan 68,64%. Kecernaan bahan organik limbah tauge fermentasi itik lokal jantan untuk T0,

T1, T2 dan T3 masing-masing adalah 64,14 %; 64,51 %; 62,86 % dan 65,61 %.Berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan limbah tauge tidak perlu dilakukan fermentasi dan

dengan pemberian sampai taraf 15%.

Kata kunci: Itik Tegal, limbah tauge, fermentasi, konsumsi, bahan kering, kecernaan, bahan kering,

bahan organik

Pendahuluan

Itik Tegal merupakan jenis itik lokal yang berasal dari Tegal Jawa Tengah. Itik tegal dikenal

sebagai itik tipe dwiguna yaitu penghasil telur dan daging. Itik tegal jantan lebih dipilih sebagai

penghasil daging oleh masyarakat karena harga bibit lebih murah, pertumbuhannya lebih cepat

dibandingkan dengan itik betina dan dapat diberikan pakan dengan kandungan serat kasar yang

tinggi(Mangisah dkk., 2008), namun itik juga memiliki batas toleransi terhadap serat kasar yang

dicerna (Denbow, 2000). Keunggulan tersebut yang membuat masyarakat banyak memelihara itik

namun terdapat kendala dalam memelihara itik tersebut diantaranya mahalnya harga bahan pakan

penyusun ransum sehingga perlu adanya pakan alternatif.

Bahan pakan inkonvensional bisa diperoleh dari limbah pertanian maupun industri pertanian

yang memiliki ketersediaan cukup tinggi, kontinyu, murah, mudah didapat, tidak beracun, kandungan

nutrisi yang potensial bagi produksi ternak serta tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Salah satu

limbah pertanian yang berpotensi dijadikan pakan ternak yaitu limbah tauge. Limbah tauge kacang

hijau merupakan sisa produksi tauge terdiri dari kulit kacang hijau dan pecahan-pecahan tauge yang

dibawa dalam pencucian akhir pembuatan tauge segar yang tidak memiliki nilai ekonomis.

Limbah tauge yang berlimpah dan merupakan limbah industri yang memiliki kandungan nutrisi

diantaranya bahan kering (BK) 87,94%, abu 2,32%, protein kasar (PK) 14,42%, serat kasar (SK)

38,50%, lemak kasar (LK) 0,21%, Ca 0,86% dan P 0,41%(Farid, 2012). Produksi kacang hijau secara

Page 76: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

69

nasional sekitar 271.463 ton pada tahun 2015 dan setiap satu kilogram kacang hijau akan

menghasilkan 5 kg tauge dan 20% – 40% merupakan kulit kecambah segar (BPS, 2015). Limbah

tauge digunakan sebagai pakan ternak dari kandungan nutrisi yang masih baik dan sebagai sumber

energi ternak. Limbah tauge dapat diberikan pada ternak unggas yang dapat mencerna serat kasar

dengan baik salah satunya yaitu itik (Mangisah dkk., 2009).

Rata-rata peternak memberikan limbah tauge pada itik dalam keadaan segar karena limbah

tersebut tidak tahan lama dan kandungan serat kasarnya melebihi kemampuan itik untuk mencerna

serat kasar.Serat kasar yang dicerna itik berkisar 5 – 10% (Denbow, 2000). Kendala tersebut dapat

ditangani dengan pengolahan pakan fermentasi untuk menurunkan serat kasar dari bahan pakan

tersebut dan dapat memperpanjang masa simpan dari bahan pakan yang difermentasi. Fermentasi

dapat dilakukan menggunakan berbagai starter salah satunya yaitu Trichoderma harzianum.

Trichoderma harzianum merupakan salah satu kapang yang digunakan sebagai starter dalam

fermentasi. Trichoderma harzianum digunakan sebagai starter dalam proses fermentasi karena

pertumbuhan dari kapang tersebut lebih cepat(Aini dkk. 2013), dapat dilihat secara organoleptik serta

menghasilkan enzim selulase yang membantu perombakan selulosa menjadi glukosa sehingga

meningkatkan kecernaan bahan pakan. Kecernaan pakan digunakan sebagai tolak ukur dari kualias

pakan yang diberikan pada ternak, kecernaan tersebut diantaranya kecernaan bahan kering dan

kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan kering dan bahan organik yang baik menunjukkan kualitas

pakan yang diberikan memiliki kandungan nutrisi yang baik dan dapat dimanfaatkan ternak secara

optimal untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan produktifitas.

Tujuan penelitian adalah mengkaji pengaruh penggunaan limbah tauge fermentasi terhadap

konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik itik lokal. Manfaat penelitian

adalah untuk memberi informasi konsumsi bahan kering, kecernaan bahan kering dan bahan organik

limbah tauge fermentasi pada itik lokal. Hipotesis penelitian adalah diduga limbah tauge fermentasi

akan meningkatkan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada itik lokal periode starter.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2016 sampai Januari 2017 di Kelurahan Getas

Pendowo, Kecamatan Kuripan, Purwodadi, di Laboratorium Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu

dan Nutrisi Pakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang.

Materi

Materi yang digunakan diantaranya 48 itik lokal (itik tegal) jantan berumur 7 hari dengan bobot

badan 52,81 ± 8,31 gram. Pakan yang terdiri dari dedak padi, bungkil sawit, pollard, tepung ikan,

onggok dan bungkil kedelai sesuai kebutuhan nutrisi itik fase starter. Limbah tauge kacang hijau yang

diperoleh dari pasar tradisional di Semarang, Salatiga dan Kudus. Trichoderma harzianum dari

Laboratorium Produksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto,

molasses dan aquades. Peralatan yang digunakan antara lain baskom, timbangan digital, plastik,

lakban, kandang dan alat untuk tempat pemeliharaan itik. Plastik yang digunakan untuk tempat

fermentasi bahan pakan. Lakban yang digunakan untuk merapatkan plastik fermentasi. Kandang dan

alat untuk tempat pemeliharaan itik.

Metode

Rancangan percobaan yang akan digunakan dalam penelitian adalah rancangan acak lengkap

(RAL), dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan sehingga ada 16 unit percobaan. Perlakuan sebagai berikut :

T0= Penggunaan Limbah Tauge 15%

T1= Penggunaan Limbah Tauge 10% + Limbah Tauge Fermentasi 5%

T2= Penggunaan Limbah Tauge 5% + Limbah Tauge Fermentasi 10 %

T3= Penggunaan Limbah Tauge Fermentasi 15%.

Page 77: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

70

Model matematika menururt Steel dan Torie (1991) sebagai berikut :

Yij=µ +Ʈi + ƹij

Keterangan:

Yij = konsumsi bahan kering, konsumai bahan organik, kecernaan bahan kering

dan kecernaan bahan organik ke-j yang memperoleh perlakuan pemberian

pakan mengandung limbah tauge fermentasi ke-i.

I = perlakuan (T0, T1,T2, T3)

J = ulangan (U1,U2, U3, U4)

µ = nilai tengah umum (rata-rata) konsumsi bahan kering, konsumai bahan

organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik.

Ʈi = pengaruh pemberian limbah tauge fermentasi dalam pakan dengan

penambahan ke-i.

Ƹij = pengaruh galat percobaan pada konsumsi bahan kering, konsumai bahan

organik, kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik pakan ke-j

akibat pengaruh pemberian pakan meengandung limbah tauge fermentasi ke-

i.

Data dianalisis ragam atau analisis of variance(ANOVA) dan jika ada pengaruh nyata (P<0,05)

maka dilakukan uji lanjut dengan uji beda nyata terkecil (BNT) (Gomez dan Gomez, 1984).

Parameter yang diamati

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah :

1. Konsumsi bahan kering

Mengkaji penggunaan limbah tauge fermentasi pada taraf pemberian yang berbeda terhadap

konsumsi bahan kering pada itik lokal jantan.Cara menghitung konsumsi bahan kering

menggunakan metode Banurea dkk.(2016).

2. Kecernaan bahan kering

Mengkaji penggunaan limbah tauge fermentasi pada taraf pemberian yang berbeda terhadap

kecernaan bahan kering pada itik lokal jantan.Cara yang digunakan untuk mengukur kecernaan

bahan kering menggunakan metode Cahyadi dkk. (2014).

3. Kecernaan bahan organik

Mengkaji penggunaan limbah tauge fermentasi pada taraf pemberian yang berbeda terhadap

kecernaan bahan organik pada itik lokal jantan.Cara yang digunakan untuk mengukur kecernaan

bahan organik menggunakan metode Hidanah dkk. (2013).

Tahapan Penelitian

Penelitian dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap analisis

data.

Tahap persiapan

Tahap persiapan meliputi persiapan kandang (pengadaan perlengkapan pemeliharaan),

pembuatan fermentasi limbah tauge dan pengadaan bahan pakan. Itik dibagi dalam 4 (empat)

kelompok perlakuan setiap kelompok terdiri dari 4 ulangan dan setiap ulangan terdapat 3 ekor itik.

Persiapan kandang itik meliputi pembuatan kandang yang terdiri dari 16 kandang litter (80 cm x 80

cm x 50 cm) terbuat dari bambu, 16 kandang battery (30 cm x 40 cm x 40 cm) terbuat dari kawat dan

kayu, pengadaan perlengkapan pemeliharaan meliputi mempersiapkan peralatan kandang (sekop,

desinfektan, sapu, tempat pakan dan minum) untuk pemeliharaan itik.

Persiapan pembuatan limbah tauge fermentasi diantaranya menyiapkan starter, limbah tauge,

air, tetes tebu, plastik yang sudah dilubangi, timbangan analitik dantimbangan 50 kg. Limbah tauge

dengan kadar air ± 32,4% ditimbang sesuai kebutuhan dalam ransum, molasses ditambah sebanyak

15% dan penambahan Trichoderma harzianum sebanyak 6%berdasarkan bahan kering.Aquades

Page 78: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

71

dicampur dengan Trichoderma harzianum sampai dengan kadar air 60 – 70%, larutan tersebut

kemudian dicampurkan dengan limbah tauge. Limbah tauge yang sudah tercampur rata kemudian

dimasukkan plastik yang telah dilubangi, diperam selama 6 hari. Limbah tauge yang sudah diperam

selama 6 hari maka siap untuk diberikan pada ternak yang sebelumnya diangin-anginkan terlebih

dahulu sebelum diberikan pada ternak. Alur pembuatan fermentasi dapat dilihat pada Ilustrasi 1.

Persiapan pengadaan bahan pakan yang dipersiapkan yaitu membeli beberapa bahan pakan

diantaranya bungkil kedelai, jagung giling, bekatul, tepung ikan, premix, pollard dan limbah tauge dan

masing-masing bahan pakan dianalisis proksimat untuk mengetahui kandungan nutrisinya. Kandungan

nutrisi bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 1.

Bahan pakan yang sudah diketahui kandungan nutrisinya selanjutnya disusun menjadi ransum

sesuai kebutuhan dari itik,komposisi ransum dapat dilihat pada Tabel 2.

Limbah tauge

dengan kadar air

32,4%

Kadar air sebelum diperam

60% kemudian

dihomogenkan

Molasses 5%, air dan

Trichoderma harzianum 6%

dilarutkan dalam aquades

sampai kadar air akhir bahan

60%

Bungkus dengan

plastik yang sudah

dilubangi

Peram selama 6 hari

Buka, diangin-

anginkan

Limbah tauge fermentasi digunakan

sebagai pakan

Ilustrasi 1. Alur Pembuatan Limbah Tauge Fermentasi

Page 79: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

72

Tabel 1. Kandungan nutrisi bahan pakan

Bahan Pakan Energi

Metabolis (EM)

Bahan

Kering (BK)

Protein

Kasar (PK)

Serat

Kasar (SK)

Lemak

Kasar (LK) Ca P

(kkal/kg) ---------------------------(%)----------------------------

Limbah Tauge1

Limbah Tauge

Fermentasi1

2689

2488

67,60

94,06

12,09

13,62

50,89

46,36

1,18

0,65

0,37

0,38

0,33

0,39

Bekatul1 2752 89,16 11,93 19,09 9,96 0,04 1,27

Bungkil kedelai1 2985 85,64 42,84 1,90 2,98 0,24 0,57

Pollard1 2587 89,58 12,06 4,48 0,7 12,08 3,05

Tepung Ikan1 2091 96,83 38,55 2,31 5,18 0,09 0,78

Premix1 959 95,33 - - - - -

Jagung kuning2 3604 86,83 7,49 2,44 4,22 0,03 0,23

Keterangan :

Sumber (1): Hasil Analisis Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan UNDIP (2016). (2): Hasil Analisis Laboratorium Sidomuncul Ungaran (2016).

Tabel 2. Komposisi ransum Itik Tegal.

BahanPakan T0 T1 T2 T3

------------------------(%)--------------------------

Limbah tauge 15,0 10,0 5,0 -

Limbah tauge fermentasi - 5,0 10,0 15,0

Bekatul 18,9 18,8 18,2 18,3

Bungkil kedelai 18,7 18,6 18,8 18,9

Pollard 12,9 12,6 12,3 11,7

Tepung ikan 6,8 6,8 6,4 6,1

Premix 1,0 1,0 1,0 1,0

Jagung 26,7 27,6 28,3 29,0

Total 100 100 100 100

EM (kkal/kg) 2843,73 2839,39 2836 2832,87

PK (%) 18,30 18,31 18,32 18,31

SK (%) 13,02 12,76 12,44 12,21

LK (%) 4,23 4,22 4,15 4,15

Ca (%) 0,98 0,98 0,93 0,90

P (%) 0,76 0,76 0,75 0,74

Tahap pelaksanaan

Tahap pelaksanaan secara in vivo yaitu pemeliharaan itik selama 28 hari dengan periode

adaptasi selama 7 hari, perlakuan 14 dan total koleksi selama 7 hari. Pakan diberikan 2 kali per hari

pagi dan sore. Pemberian pakan mengikuti umur itik setiap minggunya. Pengumpulan sisa pakan

dilakukan setiap hari dan penampungan ekskreta dilakukan selama periode total koleksi. Total koleksi

ekskreta dilakukan pada hari terakhir selama 7 hari. Hari pertama dan hari terakhir total koleksi ternak

dipuasakan selama 24 jam dan pada hari kedua sampai kelima itik diberikan pakan seperti biasanya

dan pemberian air minum secara ad libitum. Metode total koleksi dilakukan sesuai metode Widodo

dkk. (2013) ekskreta yang sudah kering dihaluskan dan diambil sampel secara komposit. Sampel yang

sudah diambil kemudian dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan UNDIP.

Hasil dan Pembahasan

Konsumsi Bahan Kering Limbah Tauge Fermentasi menggunakan Starter Trichoderma

harzianum pada Itik Lokal Jantan

Konsumsi bahan kering limbah tauge fermentasi menggunakan Trichoderma harzianum pada

itik lokal jantan tercantum dalam Tabel 3.

Page 80: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

73

Tabel 3. Konsumsi bahan kering limbah tauge fermentasi menggunakan starter Trichoderma

harzianum pada itik lokal jantan

perlakuan Ulangan

Rerata 1 2 3 4

-------------------------------- gram/ekor/hari -------------------------------- T0 98,79 94,99 99,48 99,48 98,19 T1 98,56 98,56 94,10 95,47 96,67 T2 97,82 97,82 97,82 97,82 97,82 T3 96,93 96,93 96,93 92,88 95,92

Berdasarkan Tabel 3. rata-rata konsumsi bahan kering pakan yang diperoleh adalah T0 = 98,19

gram/ekor/hari, T1 = 96,67 gram/ekor/hari, T2 = 97,82 gram/ekor/hari dan T3 = 95,92 gram/ekor/hari.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan limbah tauge fermentasi dengan starter

Trichoderma harzianum dalam pakan itik lokal jantan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap

konsumsi bahan kering pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian limbah tauge

fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum sampai taraf 15% dalam ransum tidak

mempengaruhi konsumsi bahan kering pakan.

Faktor yang menyebabkan tidak ada pengaruh nyata konsumsi bahan kering limbah tauge

fermentasi pada itik lokal diantaranya energi metabolis pakan, serat kasar pakan, tekstur pakan yang

diberikan berupa campuran mash dan crumble, suhu lingkungan dan kondisi kesehatan ternak.

Menurut Lubis (1992) disunting oleh Banurea dkk. (2016) ada dua faktor yang mempengaruhi

konsumsi bahan kering pakan diantaranya faktor pakan yang meliputi palatabilitas dan daya cerna

pakan, dan faktor ternak yang meliputi bangsa, kesehatan ternak, umur serta jenis kelamin.

Muhammad dkk. (2014) menyatakan bahwa jenis itik, jenis pakan dan waktu pemeliharaan

berpengaruh pada konsumsi bahan kering pakan.

Kandungan energi pakan tidak menunjukan perbedaan pada semua perlakuan (Tabel 2) terhadap

konsumsi bahan kering. Energi pada pakan sangat mempengaruhi tingkat konsumsi bahan kering

karena pakan yang memiliki energi tinggi menyebabkan itik akan cepat terpenuhi kebutuhan energinya

sehingga bahan kering yang dikonsumsi akan lebih sedikit. Widodo dkk. (2013) bahwa kesetaraan

tingkat energi pada pakan akan menyebabkan pakan yang dikonsumsi relatif sama pada tiap perlakuan.

Menurut Suryanto dan Badriyah (2010) bahwa ternak unggas mengonsumsi pakan tergantung jumlah

energi yang masuk sehingga pakan dengan energi tinggi akan menurunkan konsumsi dari pakan

ternak. Wibawa dkk. (2016) ternak unggas mengonsumsi pakan untuk memenuhi kebutuhan energi.

Tekstur pakan yang diberikan pada ternak berbentuk mash yang mengakibatkan ternak kurang

optimal mengonsumsi pakan. Konsumsi pakan yang kurang optimal berakibat pada komsumsi dari

bahan kering ternak juga kurang optimal. Ketaren dan Prasetyo (2002) menyatakan bahwa pakan

dengan bentuk pellet dan crumble dapat meningkatkan konsumsi itik dibandingkan dengan pakan yang

berbentuk mash atau tepung. Ketaren (2007) menyatakan bahwa pakan dalam bentuk tepung dapat

mengakibatkan pakan yang tercecer lebih banyak.

Pakan perlakuan yang diberikan T0, T1, T2, dan T3 pada itik tidak memberikan pengaruh nyata

(p>0,05) pada konsumsi bahan kering karena serat kasar pakan yang diberikan tidak menunjukan

perbedaan pada semua perlakuan. Banurea dkk. (2016) menyatakan bahwa pakan yang mengandung

serat kasar tinggi dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering pakan. Partama (2010) pakan yang

mengandung serat kasar tinggi dapat menyebabkan ternak mengurangi konsumsi pakan yang berimbas

pada konsumsi bahan kering yang berkurang. Wahju (2004) pakan dengan serat kasar yang tinggi sulit

dicerna karena memiliki sifat bulky (pengganjal).

Energi metabolis, serat kasar dan bentuk pakan merupakan beberapa faktor yang perlu

diperhatikan dalam pemberian pakan dan disesuaikan dengan kebutuhan itik. Guna mencapai

konsumsi bahan kering pakan maka beberapa faktor tersebut perlu diperhatikan karena dengan

konsumsi bahan kering yang baik akan mengakibatkan kecernaan bahan pakan baik.

Page 81: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

74

Kecernaan Bahan Kering Limbah Tauge Fermentasi menggunakan Starter Trichoderma

harzianum pada Itik Lokal Jantan

Rata-rata kecernaan bahan kering itik lokal jantan yang mendapat pelakuan yang berbeda

tercantum dalam Tabel 4.

Tabel 4. Kecernaan bahan kering limbah tauge fermentasi menggunakan starter Trichoderma

harzianum pada itik lokal jantan (%)

perlakuan Ulangan

Rerata 1 2 3 4

-------------------------------- % -------------------------------- T0 68,64 68,42 66,59 68,30 67,99 T1 70,21 70,12 65,76 67,12 68,30 T2 67,59 73,06 60,10 65,98 66,68 T3 71,93 71,91 68,38 62,33 68,64

Berdasarkan Tabel 4. rata-rata kecernaan bahan kering pakan yang diperoleh adalah T0 = 67,99

%, T1 = 68,30 %, T2 = 66,68 % dan T3 = 68,64%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

penggunaan limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum dalam pakan itik lokal

jantan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kecernaan bahan kering pakan. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pemberian limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum

sampai taraf 15% dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering pakan.

Nilai kecernaan ternak dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies ternak, zat anti

nutrisi pada bahan pakan, pengolahan bahan pakan, dan kondisi ternak. Daya cerna dipengaruhi juga

oleh suhu lingkungan, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik pakan, komposisi

ransum, jenis kelamin, umur dan strain (Prasetyo, 2016). Rompas dkk. (2016) bahwa kecernaan bahan

kering pakan pada itik dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya kecernaan dari komponen bahan

kering itu sendiri seperti pada protein kasar, karbohidrat (BETN dan serat kasar), lemak kasar dan abu.

Hal tersebut terjadi karena ransum antar perlakuan disusun berdasarkan kandungan nutrisi yang

sama (Tabel 2.) diantaranya kandungan serat kasar dan protein kasar. Komposisi ransum yang

diberikan pada ternak dengan kandungan nutrisi yang hampir sama merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi konsumsi dari bahan kering (Tabel 3) yang berakibat pada kecernaan bahan kering

tidak berpengaruh nyata. Prasetyo (2016) menyatakan bahwa komposisi pakan dapat mempengaruhi

kecernaan bahan kering pakan. Cahyadi dkk. (2014) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang

sama akan mengakibatkan kecernaan bahan kering relatif sama pada setiap perlakuan.

Pengolahan pakan dengan fermentasi tidak memberikan pengaruh nyata pada kecernaan bahan

kering karena enzim selulase yang dihasilkan kapang belum bekerja secara optimal untuk

mendegradasi serat kasar yang ada pada limbah tauge fermentasi. Serat kasar sebelum fermentasi yaitu

50,89% dan serat kasar setelah fermentasi sebanyak 46,36% sedangkan batas maksimum toleransi itik

mencerna serat kasar yaitu 5 – 10% (Denbow, 2000). Wahju (2004) pakan akan bersifat bulky

(pengganjal) bila mengandung serat kasar yang tinggi sehingga sulit dicerna.

Kecernaan Bahan Organik Limbah Tauge Fermentasi Trichoderma harzianum pada Itik Lokal

Jantan

Rata-rata kecernaan bahan organik itik lokal jantan yang mendapat pelakuan yang berbeda

tercantum dalam Tabel 5.

Page 82: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

75

Tabel 5. Kecernaan bahan organik limbah tauge fermentasi menggunakan starter Trichoderma

harzianum pada itik lokal jantan (%)

perlakuan Ulangan

Rerata 1 2 3 4

------------------------------------ % ------------------------------------- T0 65,77 63,74 62,56 64,48 64,14 T1 66,30 66,96 61,61 63,15 64,51 T2 63,97 69,79 57,29 60,40 62,86 T3 68,45 68,19 64,01 61,78 65,61

Berdasarkan Tabel 5. Rata-rata kecernaan bahan organik pakan yang diperoleh adalah T0 =

64,14 %, T1 = 64,51 %, T2 = 62,86 % dan T3 = 65,61 %. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

penggunaan limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum dalam pakan itik lokal

jantan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kecernaan bahan organik pakan. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pemberian limbah tauge fermentasi dengan starter Trichoderma harzianum

sampai taraf 15% dalam ransum tidak mempengaruhi kecernaan bahan organik pakan.

Hal tersebut terjadi karena beberapa faktor diantaranya kandungan bahan pakan, serat kasar dan

energi metabolis pada pakan. Hidanah dkk. (2013) secara umum kecernaan bahan organik dipengaruhi

oleh umur, spesies ternak dan kandungan nutrisi ransum.

Kecernaan bahan organik yang tidak berpengaruh nyata (p>0,05) karena dipengaruhi oleh

kecernaan bahan kering. Kecernaan bahan kering yang tidak signifikan akan berakibat pada kecernaan

bahan organik karena keduanya berbanding lurus. Pengaruh yang tidak nyata pada kecernaan bahan

organik ransum limbah tauge fermentasi pada pakan itik juga dapat dipengaruhi oleh kandungan zat

nutrisi yang ada pada pakan dan konsumsi pakan. Hal tersebut sesuai pendapat Mangisah dkk. (2009)

kandungan nutrisi pakan ternak dapat mempengaruhi kecernaan bahan organik pakan tersebut.

Cahyadi dkk. (2014) menyatakan bahwa konsumsi bahan kering yang sama akan mengakibatkan

kecernaan bahan organik relatif sama pada pakan.

Faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan organik adalah kandungan nutrisi ransum.

Komponen bahan organik limbah tauge fermentasi pada ransum tidak dapat dicerna oleh ternak secara

optimal karena masih terikat dengan selulosa yang akan menurunkan kecernaan bahan organik. Kerja

dari enzim selulase yang dihasilkan Trichoderma harzianum belum maksimal bekerja. Mangisah

(2009) menyatakan selulosa bahan pakan yang tidak terurai mengurangi kecernaan dari bahan pakan.

Hidanah dkk. (2013).

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penggunaan limbah tauge tidak perlu

dilakukan fermentasi dan dengan pemberian sampai taraf 15%.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini, penulis menyucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Retno Iswarin P.,

M.Agr.Sc. sebagai pembimbing utama dan Dr. Sri Sumarsih, S.Pt. M.P. selaku pembimbing dan

anggota yang telah memberikan arahan dan bimbingan, serta pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan

satupersatu yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah.

Daftar Pustaka

Aini, F. N., S. Sukamto., D. Wahyuni., R. G. Suhesti., dan Q. Ayunin. 2013. Penghambatan pertumbuhan

Colletotrichum gloeosporioides oleh Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, Bacillus subtilis

dan Pseudomonas fluorescens. J. Pelita Perkebunan. 29 (1) : 44-52.

Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Kacang Hijau Menurut Provinsi (Ton) Tahun 1993 – 2015.

Page 83: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

76

Banurea, M. R., I M. Mudita, I W. Suberata dan I G. N. Kayana. 2016. Pengaruh pemberian suplemen yang

diproduksi dengan inokulan cacing tanah dalam ransum terhadap penampilan itik bali umur 2 – 8 minggu.

Journal of Tropical Animal Science. 4 (1) : 253 – 267.

Cahyadi, R., Atmomarsono, U. dan Suprijatna, E. 2014. Kecernaan ransum, kadar serum aminotransferase dan

aktivitas alkalin fosfatase itik lokal yang diberi pakan mengandung eceng gondok (Eichhornia crassipes)

terfermentasi. Agromedia. 31 (1) : 12 – 24.

Denbow, D. M. 2000. Gastrointestinal anatomy and physiology. dalam: Sturkie’s Avian Physiology. Whittow,

G. C. (Editor). Academic Press, London. Hal : 299 – 325.

Farid, A. 2012. Performa Domba Jonggol dan Domba Garut Jantan dengan Ransum Komplit Menggunakan

Indigofera sp. dan Limbah Tauge. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Skripsi).

Gomez, K. A. dan A. A. Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An

International Rice Research Institute Book. John Wiley and Sons, New York. Printed in Singapore.

Hidanah, S. Tamrin, E. M., Nazar, D. S. dan Safitri, E. 2013. Limbah tempe dan limbah tempe fermentasi

sebagai substitusi jagung terhadap daya cerna serat kasar dan bahan organik pada itik petelur.

Agroveteriner. 2 (1) : 71 – 79.

Kataren, P. P. dan Prasetyo, LH. 2002. Penngaruh pemberian pakan terbatas terhadap produktivitas itik silang

mojosari x albino (MA): 2. Masa telur fase kedua umur 44-67 minggu. 7 (2) : 76 – 83.

Ketaren, P. P. 2007. Peran itik sebagai penghasil telur dan daging. Wartazoa. 17 (3) : 117 – 127.

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. PT Pembangunan. Jakarta.

Mangisah, I., M.H. Nasoetion, W. Murningsih dan Arifah. 2008. Pengaruh Serat Kasar Ransum terhadap

pertumbuhan, produksi dan penyerapan volatile fatty acids pada itik tegal. Majalah Ilmiah Peternakan : 10

(3) : 83-88.

Mangisah, I., Sukamto, B. dan Nasution, M. H. 2009. Implementasi daun eceng gondok fermentasi dalam

ransum itik. Jurnal Indonesia Tropic Animal Agriculture. 34 (2) : 127 – 133.

Muhammad, N., Sahara, E., Sandi, S. dan Yosi, F. 2014. Pemberian ransum komplit berbasis bahan baku lokal

fermentasi terhadap konsumsi, pertambahan bobot badan dan berat telur itik lokal Sumatera Selatan.

Jurnal Peternakan Sriwijaya. 3 (2) : 20 – 27.

Partama, I. B. G. 2010. Pengaruh supple,emtasi ragi tape dan anzim kompleks dalam ransum yang mengandung

POD kakao terhadap penampilan itik Bali umur 2 – 8 minggu. Majalah ilmu peternakan. 13 (3) : 88 – 93.

Prasetyo, I. F. 2016. Pengaruh Pemberian Infus Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) dan Kulit Manggis

(Garnica mangostana L.) terhadap Daya Cerna Bahan Kering dan Bahan Organik pada Ayam Broiler

yang Dipapar Heat Stress. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Airlangga. Surabaya. (Skripsi).

Rompas, R., Tulung, B., Mandey, J. S. dan Regar, M. 2016. Penggunaan eceng gondok (Eichhornia crassipes)

terfermentasi dalam ransum itik terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik. Jurnal Zootek. 36

(2) : 372 – 378.

Sany, S. W., Heswantari, S. R., Sudibya, Purnomo, S. H. dan Hanifa, A. 2015. Pengaruh suplementasi minyak

ikan dan L-Karnitin dalam pakan jagung kuning terfermentasi terhadap kecernaan pakan dan performa

puyuh (Coturnix coturnix japonica). Buletin Peternakan. 39 (1) : 31 – 41.

Steel, R.G.D. & Torrie, J.H. 1993. Principles and Procedures of Statistics A Biometrical Approach. London.

Suryanto, D. dan Badriyah. 2010. Pemanfaatan limbah karak nasi sebagai bahan alternatif pengganti jagung

dalam ransum ayam petelur jantan. Jurnal Penelitian Al Buhuts Universitas Islam Malang. 15 (1) : 24 –

35.

Wibawa, A. A. P. P., Witariadi, N. M. dan Partama, I. B. G. 2016. Penambahan enzim fitase kompleks dalam

ransum berbahan dasar dedak padi terhadap performans dan lemak abdomen itik. Majalah Ilmu

Peternakan. 19 (1) : 41 – 46.

Widodo, A. R., Setiawan, H., Sudibya dan Indreswari, R. 2013. Kecernaan nutrien dan performan puyuh

(Coturnix coturnix japonica) jantan yang diberi ampas tahu fermentasi dalam ransum. J. Tropical Animal

Husbandry. 2 (1) : 51 – 57.

Page 84: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

77

Makalah 013

Pengaruh Pemberian Probiotik Bacillus Plus Vitamin dan Mineral Terhadap

Trigliserida, Kolesterol, LDL dan HDL pada Serum Darah Ayam Broiler

Al’Alam, V. M1), Isroli2) dan S. Sumarsih2)

1)Mahasiswa Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

2)Dosen Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Email :[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan level probiotik Bacillus plus

vitamin dan mineral pada ransum ayam broiler terhadap kadar trigliserida, LDL, HDL, dan kolesterol

pada serum darah ayam broiler. Materi yang digunakan yaituDOC ayam broiler 240 ekor dengan

bobot badan ± 45,9 gram, pakan ayam komersil, probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral, dan air

bersih. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan yaitu T0:Pakan

komersil tanpa tambahan probiotik, T1: Pakan komersil + probiotik 0,1%, T2: Pakan komersil +

probiotik 0,5%dan T3: Pakan komersil+probiotik 1%. Parameter yang diamati adalah kadar

trigliserida, kolesterol, HDL, dan LDL serum darah ayam broiler. Data tersebut dianalisis

keragamannya pada taraf 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian probiotik Bacillus plus

vitamin dan mineral dalam ransum 0,1 – 1% tidak berpengaruh nyata (P>0,05) pada kadar trigliserida,

kolesterol, LDL, dan HDL.Pada masing-masing perlakuan T0, T1, T2, dan T3 kadar kolesterol adalah

108,80 mg/dL; 110,75 mg/dL; 111,83 mg/dL; dan 107,25 mg/dL. Kadar trigliserida berturut-turut

90,29 mg/dL; 88,48 mg/dL; 75,78 mg/dL; dan 75,70 mg/dL. Kadar LDL berturut-turut 28,14 mg/dL;

38,19 mg/dL; 36,57 mg/dL; dan 25,20 mg/dL. Kadar HDL berturut-turut 62,20 mg/dL; 58,20 mg/dL;

63,40 mg/dL; dan 73,20 mg/dL.Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini yaitu pemberian probiotik

Bacillus plus vitamin dan mineral tidak menurunkan profil lemak darah ayam broiler.

Kata kunci : ayam broiler, probiotik, kadar lemak darah

Pendahuluan

Peternakan ayam broiler yang berkembang di masyarakat saat inilebih memilih menggunakan

pakan komersil karena dianggap lebih praktis, tetapi yang terjadi banyak pakan komersil yang diterima

peternakmemiliki komposisi pakan yang berubah terutama mineral dan vitamin sehingga pertumbuhan

ayam kurang optimal.Hal ini terjadi karena proses penanganan pakan yang kurang baik.Penambahan

kombinasi probiotik, vitamin dan mineral dapat memperbaiki pertumbuhan, sistem kekebalan tubuh

dan mencukupi kebutuhan vitamin dan mineral (Winkler dkk., 2005). Probiotik merupakan suplemen

pakan yang diharapkan dapat menggantikan antibiotic growth promoters (AGPs) yang berfungsi

sebagai pemicu pertumbuhan dan menjaga kesehatan ayam broiler.Vitamin dan mineral sangat

dibutuhkan dalam proses metabolisme dan sistem pertahanan tubuh ayam broiler (Sanda dkk.,

2015).Ayam broiler dikenal sebagai ayam yang banyak lemak terutama lemak abdomen dan subkutan

(dibawah kulit). Lemak merupakan produk yang tidak dikehendaki karena lemak merupakan produk

buangan.

Saat ini masyarakat lebih selektif dalam pemilihan daging untuk dikonsumsi sebagai sumber

protein hewani dengan kriteria daging yang rendah lemak seperti kolesterol, karkas yang bersih aman

dikonsumsi dan memiliki perdagingan yang lebih banyak. Kadar kolesterol tersebut dipengaruhi oleh

genetik dan pakan yang dikonsumsi sehingga upaya untuk menurunkan kadar kolesterol harus

dilakukan. Probiotik akan mengendalikan mikroorganisme patogen dalam tubuh inangnya,

menstimulasi produksi enzim pencernaan maupun vitamin, dan mengatur keseimbangan populasi

mikroba pada saluran pencernaan (Laksmiwati, 2006). Keuntungan dari penambahan probiotik yaitu

Page 85: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

78

probiotik dapat memperbaiki saluran pencernaan, meningkatkan sekresi empedu, dan dapat

menurunkan perlemakan (Sarwono dkk., 2012). Probiotik yang sering digunakan biasanya berasal

dari bakteri asam laktat (BAL) tetapi untuk saat ini probiotik sudah mulai berbahan bakteri

Bacilluskarena mampu tetap aktif pada suhu tinggi dan mampu memenuhi kebutuhan vitamin dan

mineral yang berkurang saat proses penanganan pakan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan level probiotikBacillus plus

vitamin dan mineral pada ransum ayam broiler terhadap kadar trigliserida, LDL, HDL, dan kolesterol

pada serum darah ayam broiler. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi terkait penggunaan

probiotik Bacillusplus vitamin dan mineral sebagai pengganti antibiotik yang tepat untuk ayam

broiler.Penambahan probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral diharapkan mampu menurunkan

trigliserida kolesterol dan LDL serta dapat meningkatkan HDL pada ayam broiler.

Materi dan Metode

Penelitian tentang pengaruh pemberian probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral terhadap

trigliserida, kolesterol, LDL, dan HDL pada serum darah ayam broilerdilaksanakan pada bulan Mei –

Juli 2017 di Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang. Penelitian

inimenggunakan 240 ekor ayam broiler dengan bobot badan ± 45,9 gram. Perlengkapan dan peralatan

yang digunakan adalah kandang ayam yang dibagi menjadi 20 petak, tempat pakan, tempat minum,

timbangan digital dan alat tulis. Bahan yang digunakan yaitu probiotik Bacillusplus vitamin dan

mineral, pakan ayam komersil, dan air bersih.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan

dengan 5 ulangan, sehingga terdapat 20 unit percobaan. Setiap unit percobaan diisi dengan 12 DOC

ayam broiler (unsex). Penelitian ini dilakukan selama 42 hari dan pengambilan sampel darah dilakukan

pada hari ke-28. Ransum menggunakan pakan komersial dengan perlakuan penambahan probiotik

Bacillus plus vitamin dan mineral yaitu T0 (ransum tanpa diberi tambahan probiotik), T1(ransum

ditambah probiotik sebanyak 0,1%), T2 (ransum ditambah probiotik sebanyak 0,5%), dan T3 (ransum

ditambah probiotik sebanyak 1%). Pemberian ransum dan air minum dilakukan secara ad

libitum.Pengambilan data dilakukan dengan mengambil sampel darah ayam melalui vena

brachialismenggunakan spuit, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 2000 rpm, setelah serum

terpisah kemudian dimasukkan cup sampel dan disimpan dalam freezer.Setiap unit percobaan diambil

satu ekor ayam secara acak pada umur 28 hari.Sampel serum darah selanjutnya dianalisis profil

lemaknya menggunakan metode Enzymatic Cholesterol High Performance CHOD-PAP KIT

(Boehringer, 1993). Data yang diperoleh dianalisis keragamannya pada taraf 5% dan 1%, apabila

terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan uji beda menggunakan Uji Duncan.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian kadar trigliserida, kolesterol, LDL, dan HDL pada serum darah ayam broiler

yang diberi probiotik Bacillusplus vitamin dan mineral pada masing-masing perlakuan disajikan dalam

Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa kadar trigliserida darah ayam yang diberi perlakuan

probiotik Bacillus plus mineral dan vitamin tidak berbeda nyata (P>0,05) tetapi angka menunjukkan

penurunan pada pemberian probiotik 1%. Rerata trigliserida pada T0 adalah 90,29 mg/dL; T1 adalah

88,48 mg/dL; T2 adalah 75,78 mg/dL; dan T3 adalah 75,70 mg/dL. Kadar trigliserida tidak berbeda

antar perlakuan karena probiotik membantu proses sintesis asam lemak dalam tubuh ternak.Santoso

dkk.(1995) menyatakan bahwa pemberian probiotik ini dapat menurunkan trigliserida karena probiotik

dapat secara efektif menurunkan aktivitas enzim yang berperan dalam laju sintesis asam

lemak.Basmacioglu dan Ergul (2005) menyatakan bahwa kadar trigliserida normal dalam tubuh yaitu

kurang dari 150 mg/dL.

Page 86: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

79

Tabel 1. Rerata kadar trigliserida, kolesterol, LDL, dan HDL pada serum darah ayam broiler yang

diberi probiotik Bacillus plus vitamin dan mineral

Parameter yang

diamati

Penggunaan Probiotik

T0 0% T1 0,1% T2 0,5% T3 1%

------------------------------------- mg/dL -----------------------------------

Trigliserida 90,29 88,48 75,78 75,70

Kolesterol 108,80 110,75 111,83 107,25

LDL 28,14 38,19 36,57 25,20

HDL 62,20 58,20 63,40 73,20

Rerata kolesterol padaT0 adalah 108,80 mg/dL; T1 adalah 110,75 mg/dL; T2 adalah 111,83

mg/dL; dan T3 adalah 107,25 mg/dL. Rerata tersebut secara statistik tidak berbeda antar

perlakuan.Hasil dari keempat perlakuan menunjukkan masih dalam kisaran normal.Menurut pendapat

dari Tagi dkk. (2013), bahwa kisaran normal dari kadar kolesterol dalam darah berkisar antara 52 –

148 mg/dL. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa secara statistik, kolesterol tidak berbeda antar

perlakuan namun pada penelitian ini T0, T1 dan T2 berurutan mengalami peningkatan sedangkan pada

T3 kadar kolesterol mengalami perununan hal ini sebabkan karena pada T3 terdapat penambahan

probiotik dengan dosis tinggi. Menurut Meliandasari dkk. (2014),kadar kolesterol 25-40% berasal dari

pakan yang dikonsumsi.

Rerata LDL padaT0 adalah 28,14 mg/dL; T1 adalah 38,19 mg/dL; T2 adalah 36,57mg/dL; dan

T3 adalah 25,20 mg/dL. Rerata tersebut secara statistik tidak berbeda nyata. Pakan yang memiliki

kandungan probiotik yang rendah pada T0 memiliki kadar LDL dibawah standar sedangkan pakan

yang memiliki kandungan probiotik yang tinggi pada T3 juga memiliki kadar LDL dibawah standar.

Menurut pendapat dari Basmacioglu dan Ergul (2005) menyatakan bahwa standar kadar LDL yaitu 31

– 62 mg/dL. Tinggi rendahnya kadar LDL dalam darah dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya

adalah genetik dan kandungan asam lemak dalam pakan. Menurut pendapat Astuti dkk. (2016), kadar

kolesterol dipengaruhi oleh faktor genetik, jumlah asam lemak dalam pakan dan jumlah HDL dalam

darah.

Rerata HDL padaT0 adalah 62,20 mg/dL; T1 adalah 58,20 mg/dL; T2 adalah 63,40 mg/dL; dan

T3 adalah 73,20 mg/dL.Secara statistik, tidak ada pengaruh perlakuan probiotik sehingga reratakadar

HDL tidak berbeda antar perlakuan. Menurut pendapat dari Basmacioglu dan Ergul (2005)

menyatakan bahwa jumlah HDL ayam ras yaitu > 22 mg/dL. Rerata LDL pada hasil penelitian lebih

rendah dibandingkan kadar HDL sehingga HDL dapat bekerja dengan baik sesuai dengan fungsinya.

Menurut pendapat Sutianto (2006) dari menyatakan bahwa HDL yang tinggi akan bekerja dengan baik

jika jumlah LDL < 150 mg/dL. Tagi dkk. (2013) menyatakan bahwa HDL memiliki fungsi untuk

mengeluarkan kolesterol jahat dari pembuluh darah dan jaringan lain dengan cara membuka sumbatan

LDL yang melekat di dinding arteri dan jaringan sehingga aliran darah akan normal.

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan bahwa penambahan probiotik Bacillus plus vitamin

dan mineral dalam pakan tidak menurunkan kadar trigliserida, kolesterol, dan LDL serta tidak

meningkatkan kadar HDL darah ayam broiler.

Daftar Pustaka

Astuti., S. Umniyati., A. Rakhmawati dan E. Yulianti. 2016. Pemanfaatan probiotik bakteri asam laktat dari

limbah kotoran ikan terhadap kadar ldl darah ayam broiler strain lohhman. J. Sains. Dasar. 5(1):48-51.

Basmacioglu, H and M. Ergul. 2005. Research on the factor affecting cholesterol content and some other

characteristics of eggs in laying hens. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 29:157-164.

Boehringer, M. D. 1993. Enzymatic Cholesterol High Performance CHOD-PAP KIT France SA. 38240.

Laksmiwati, N. 2006.Pengarus pemberian starbio dan effective microorganism-4 (EM-4) sebagai probiotik

terhadap penampilan itik jantan umur 0-8 minggu.Denpasar.

Page 87: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

80

Meliandasari, D., B. Dwiloka dan E. Suprijatna. 2014. Profil perlemakan darah ayam broiler yang diberi pakan

tepung daun kayambang (Salvinia molesta). J. Ilmu Peternakan. 24 (1): 45-55.

Samadi, 2004. Feed quality for Feed Safety, Kapankah di Indonesia. IPTEK.Edisi Vol 2IXVI/November 2004.

Sanda, M. E., M. C. O. Ezeibe dan B. M. Anene. 2015. Effects of vitamins A, C and E and selenium on immune

response of broilers to Newcastle Disease (ND) vaccine. IOSR J. Agric. Vet. Sci. 8: 13-15.

Sarwono, S. R., T. Yudiarti dan E. Suprijatna. 2012. Pengaruh pemberian probiotik terhadap trigliserida darah,

lemak abdominal, bobot dan panjang saluran pencernaan ayam kampung. J. Anim. Agri. 1 (2): 157-167.

Sutianto, H. 2006. Jangan Biarkan Kolesterol Tinggi. Harian Fajar, Hal. 8, Makassar.

Tagi, A., L. Agustina and S. Garantjang. 2013. The effect ofred fruit (Pandanus conoudeuslam) extract in the via

feed on cholesterol, HDL, and LDL broiler. Hasanuddin University Press.1-9.

Winkler, P., M. de Vrese, Ch. Laue and J. Schrezenmeir. 2005. Effect of dietary supplement containing

proboiotic bacteria plus vitamins and mineral on common cold infection and cellular immune

parameters. Int. J. Clin. Pharmacol.Ther. 43: 318-326.

Page 88: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

81

Makalah 014

Pemanfaatan Tepung Biji Durian (DuriozibethinusMurr) sebagai Subtitusi

Jagung dalam Ransum terhadap Konsumsi Kalsium, Retensi Kalsium dan

Tebal Cangkang Ayam Petelur

L. D. Djati1), I. Mangisah2), B. Sukamto2),V. D. Yunianto2) dan F. Wahyono2)

1)Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro 2)Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang

Jl. Prof. H. Soedarto, Tembalang – Semarang

Email : [email protected]

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tepung biji durian sebagai subtitusi jagung

terhadap konsumsi kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang ayam petelur . Materi yang digunakan

adalah ayam petelur strain lohmann brownumur 40 minggu sebanyak 120 ekor dengan bobot awal

rata-rata 1815,2 g. Penelitian menggunakan rancangan acak lengap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5

ulangan,setiap unit kandang di isi 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu T0 = Kontrol tanpa

tepung biji durian, T1= 3 % tepung biji durian subtitusi jagung, T2= 6 % tepung biji durian subtitusi

jagung dan T3 =9 % tepung biji durian subtitusi jagung. Parameter yang diambil adalah konsumsi

kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang ayam petelur.Tepung biji durian sebagai subtitusi jagung

menurunkan konsumsi kalsium dari 3,17 g sampai 3,01 g, meningkatkan retensi kalsium pada taraf

subtitusi 3 % namun menurunkan pada taraf subtitusi 6 % dan 9 %. Tebal cangkang mengalami

penurunan dari 0,48 mm menjadi 0,40 mm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan tepung

biji durian sebagai pengganti jagung dalam ransum nyata (P<0,05) berpengaruh terhadap retensi

kalsium dan tebal cangkang namun tidak berbeda nyata pada konsumsi kalsium ransum.Kesimpulan

penelitian bahwa subtitusi tepung biji durian sebagai pengganti jagung pada ayam petelur sampai 9 %

dapat menurunkan retensi kalsium dan tebal cangkang namun konsumsi kalsiumsama.

Kata kunci : tepung biji durian, ayam petelur, konsumsi kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang

Pendahuluan

Pakan merupakan bahan utama dalam keberlangsungan usaha peternakan. Bahan pakan yang

mahal dan langka menuntut inovasi untuk mencari bahan pakan alternatif . Jagung merupakan salah

satu bahan pakan yang mahal oleh sebab itu subtitusi bahan pakan jagung sangat diperlukan. Faktor

mahalnya jagung disebabkan adanya biaya distribusi dan panen raya yang gagal menjadi salah satu

faktor mahalnya harga jagung. Kondisi sekarang mengindikasikan bahwa stok jagung dalam taraf

yang memprihatinkan dan dikhawatirkan jagung sebagai pakan ternak akan menjadi korban. Oleh

karena itu perlu upaya mencari pengganti sebagian atau seluruhnya fungsi jagung sebagai pakan

ternak khususnya untuk ayam (Nuraini dkk, 2008). Pemanfaatan bahan pakan alternatif sangat

diperlukan di dunia peternakan. Bahan pakan alternatif sebagai subtitusi jagung contohnya adalah biji

durian. Pemanfaatan limbah durian yang hanya dianggap sampah dan barang yang tak berguna dapat

dikumpulkan dan diolah kembali sebagai bahan pakan alternatif (Suciyati dkk, 2015).

Harga pakan yang semakin mahal, maka perlu dipikirkan pakan alternatif yang dapat diberikan

kepada ayam petelur yang dapat mengurangi biaya produksi (Hasnawati dkk, 2016). Pemanfaatan

bahan pakan alternatif diharapkan dapat menekan biaya pakan 40 – 50 %. Bahan pakan ayam petelur

didominanasi Jagung, sehingga jagung perlu disubtitusi dengan bahan pakan alternatif yang murah,

memiliki ketersediaan cukup dan mudah didapatkan.Kandungan energi metabolis di dalam biji durian

lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan energi metabolis jagung. Tepung biji durian diharapkan

Page 89: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

82

mampu menggantikan jagung sebagai sumber energi. Energi jagung berkisar 3.197,68 kkal/kg

sedangkan tepung biji durian sebesar 3.325 kkal/kg.

Penelitian bertujuan untuk memaksimalkan limbah dari biji durian sebagai bahan alternatif

subtitusi jagung terhadap konsumsi kalsium ransum, retensi kalsium dan tebal cangkang. Manfaat dari

penelitian untuk mengetahui pengaruh subtitusi tepung biji durian terhadap jagung.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Mei – 15 Juni 2017 di Kandang ayam petelur Fakultas

Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Pengujian dan analisis dilakukan di

Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

Semarang.

Penelitian menggunakan ayam petelur strain lohmann brown umur 40 minggu sebanyak 120

ekor dengan bobot badan awal rata-rata 1815,2 g. Kandang yang digunakan adalah kandang baterai.

Komposisi bahan pakan penyusun ransum serta kandungan nutrisinya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi bahan pakan penyusun ransum ayam petelur layer 1 dan kandungan nutriennya

Bahan Pakan T0 T1 T2 T3

------------------------%------------------------

Jagung 43 40 37 34

Tepung biji durian 0 3 6 9

Bekatul 18 18 18 18

Bungkil kedelai 19.5 19.5 19.5 19.5

Tepung ikan 10 10 10 10

CaCO3 3.5 3.5 3.5 3.5

Tepung cangkang kerang 5 5 5 5

Premix 1 1 1 1

Minyak 0.5 0.5 0.5 0.5 TOTAL 100,5 100.5 100.5 100.5

Kandungan nutrisi ransum (%)

Energi metabolis 2690.84 2694.66 2698.48 2702.30

Protein kasar 17.78 17.79 17.80 17.81

Serat kasar 4.44 4.95 5.46 5.97

Lemak kasar 6.32 6.20 6.09 5.98

Kalsium 3.31 3.30 3.29 3.28 Pospor total 0.68 0.67 0.66 0.65 ImbanganCa: P total 4.87 : 1 4.92 : 1 4.98 : 1 5.04 : 1 Keterangan : *) Analisis proksimat dan nilai EM (diuji terlebih dahulu)

**) Kandungan bahan pakan penyusun ransum berdasarkan NRC (1994)

Prosedur penelitian diawali dengan pembuatan tepung biji durian dengan cara mengumpulkan

biji durian terlebih dahulu dicuci hingga bersih, merebus hingga lunak, di iris tipis-tipis, pengeringan

dan penepungan biji durian di Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro. Persiapan

kandang, perlengkapan pemeliharaan, pengadaan bahan pakan untuk penyusunan ransum, pembuatan

ransum dan analisis proksimat yang dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Pakan Universitas

Diponegoro.Tahap berikutnya adalah pemeliharaan ayam petelur di dalam kandang Fakultas

Peternakan dan Pertanian, ayam petelur di timbang terlebih dahulu yang digunakan sebagai data bobot

badan awal. Ayam dipelihara dengan pemberian perlakuan selama 35 hari. Ayam petelur dipelihara

dalam kandang baterai.

Page 90: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

83

Pemberian ransum dan air minum dilakukan pada pagi dan sore hari secara add libitum,

Penggantian air minum di lakukan pada pagi dan sore hari. Pengambilan telur dilakukan pada sore hari

dan dihitung jumlah telur tiap hari. Pengukuran sisa ransum dilakukan pada sore hari untuk

mendapatkan data konsumsi ransum yang diukur dari selisih pemberian ransum dan sisa ransum.

Metode untuk mengukur konsumsi kalsium adalah :

Konsumsi kalsium ransum = Konsumsi ransum x kadar kalsium dalam ransum

Metode yang digunakan untuk perhitungan retensi kalsium adalah dengan menggunakan metode total

koleksi dimana pakan diberikan Fe2O3 sebagai indikator.

Retensi Kalsium = Konsumsi kalsium ransum – kadar kalsium eksreta.

Tebal cangkang = Pengukuran dengan menggunakan jangka sorong, tiap ulangan diambil 2 data

untuk diambil rata-ratanya.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan

5ulangan, setiap unit kandang di isi 6 ekor ayam.Data dianalisis dengan menggunakan analisis ragam

atau uji F pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika perlakuan berpengaruh nyata

pada sebuah peubah tertentu (P<0,05), dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf signifikansi 5%.

T0 = Ransum basal tanpa biji durian

T1 = 97 % ransum basal + 3 % tepung biji durian

T2 = 94 % ransum basal + 6% tepung biji durian

T3 = 91 ransum basal + 9% tepung biji durian

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam pada Tabel 2 menunjukkan bahwa subtitusi tepung biji durian sebagai

pengganti jagung terhadap konsumsi kalsium, retensi kalsium dan tebal cangkang.

Tabel 2.Konsumsi kalsium ransum, retensi kalsium dan tebal cangkang pada Ayam Petelur

Parameter Perlakuan T0 T1 T2 T3

Konsumsi kalsium ransum (g) 3,17 3,12 3,01 3,05 Retensi kalsium (g) 3,05a 3,06a 2,99a 2,88b Tebal cangkang (mm) 0,48a 0,38b 0,40b 0,43b

Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

Konsumsi kalsium

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa tepung biji durian sebagai subtitusi

jagung tidak berbeda nyata terhadap konsumsi kalsium ransum ayam petelur. Konsumsi kalsium

ransum dengan subtitusi tepung biji durian pada perlakuan T0 tidak berbeda nyata dengan T1,T2, dan

T3. Konsumsi kalsium ransum, disajikan pada Tabel 2. Konsumsi kalsium ransum menurun tiap

perlakuan disebabkan oleh kandungan serat kasar di dalam ransum tinggi. Konsumsi kalsium ransum

berhubungan erat dengan konsumsi ransum dari ayam petelur. Konsumsi rata-rata adalah 104,92

g/ekor/hari sedangkan konsumsi kalsium ransum berkisar antara 3,01 g – 3,17 g. Konsumsi rata-rata

ayam petelur umur 32 – 40 minggu adalah 129 g/ekor/hari. Hal ini sesuai dengan pendapat

Warmadewi (2009) yang menyatakan bahwa konsumsi rata-rata ayam petelur umur 32 – 40 minggu

adalah 129,30 g/ekor/hari dengan konsumsi kalsium sebesar 4,61 g.Kenaikan taraf subtitusi tepung biji

durian menurunkan kandungan nutrisi kalsium di dalam ransum karena kandungan kalsium tepung biji

durian 0,04 %. Konsumsi ransum dan konsumsi kalsium menurun disebabkan oleh kandungan serat

kasar ransum meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Wulandari, dkk (2012) yang menyatakan

bahwa kandungan SK yang tinggi dapat menyebabkan konsumsi ransum rendah, hal ini dikarenakan

unggas merasa cepat kenyang dan tidak mampu mencerna serat kasar dengan baik.

Retensi Kalsium

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan tepung

biji durian sebagai pengganti jagung pada retensi kalsium ayam petelur (P < 0,05). Retensi kalsium

Page 91: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

84

dengan penambahan tepung biji durian pada perlakuan T0 tidak berbeda nyata dengan T1 dan T2

tetapi berbeda nyata dengan T3 . T1 tidak berbeda nyata dengan T0dan T2 tetapi berbeda nyata

dengan T3. T2 tidak berbeda nyata dengan T0 dan T1, tetapi berbeda nyata dengan T3. T3 berbeda

nyata dengan T0,T1 dan T2. Retensi kalsium merupakan jumlah mineral kalsium yang diserap tubuh

ternak. Faktor yang mempengaruhi retensi kalsium adalah perbandingan kalsium dan phospor dalam

ransum serta kandungan serat kasar dalam ransum. Kandungan serat yang tinggi dapat menyebabkan

penurunan retensi kalsium ransum. Hal ini sesuai dengan pendapat Wulandari, dkk (2012) yang

menyatakan bahwa kandungan serat kasar yang tinggi di dalam ternak ayam petelur menyebabkan

penurunan retensi kalsium. Kandungan serat kasar sebagian besar adalah lignin, lignin sendiri adalah

bagian komponen dari serat kasar yang sulit untuk dicerna. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa

retensi kalsium tertinggi adalah pada perlakuan T0 dan terendah pada perlakuan T3. Faktor yang

sangat berpengaruh terhadap penyerapan kalsium adalah keseimbangan antara kalsium dan fosfor. Hal

ini sesuai dengan pendapat Wahyuni (2011) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

penyerapan kalsium adalah keseimbangan antara kalsium dengan fosfor dalam ransum.

Tebal Cangkang

Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penambahan tepung

biji durian sebagai pengganti jagung pada tebal cangkang ayam petelur (P < 0,05). Tebal cangkang

dengan penambahan tepung biji durian pada perlakuan T0 berbeda nyata dengan T1,T2 dan T3. Tebal

cangkang menunjukan kualitas telur secara eksternal dimana kualitas telur ini dapat dilihat secara

fisik. Penambahan tepung biji durian sebagai pengganti jagung terhadap tebal cangkang dalam

penelitian ini dapat menurunkan tebal cangkang telur. Tebal cangkanghasil penelitian berkisar antara

0,38 – 0,48 (Tabel 2). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Mampioper, dkk (2008) yang

menyatakan bahwa rata-rata tebal cangkang normal adalah 0,44 – 0,46. Pemberian pakan, umur dan

stress pada ayam petelur dapat mempengaruhi tebal cangkang. Hal ini sesuai dengan pendapat Jazil,

dkk (2013) yang menyatakan bahwa tebal tipisnya cangkang telur dipengaruhi oleh strain ayam, umur

induk, pakan, stress dan penyakit pada induk. Pembentukan cangkang telur perlu adanya ion-ion

kalsium. Faktor-faktor yang mempengaruhi di dalam pembentukan tebal cangkang diantaranya adalah

kandungan kalsium ransum, konsumsi kalsium ransum dan retensi kalsium. Kalsium pada ayam

petelur digunakan untuk pembentukan cangkang. Pembentukan cangkang telur selain berasal dari

konsumsi kalsium ransum juga berasal dari perombakan medula tulang. Hal ini sesuai dengan

pendapat Indreswari, dkk (2009) yang menyatakan bahwa pembentukan cangkang dapat berasal dari

dua sumber yaitu konsumsi kalsium ransum dan perombakan medula tulang. Apabila diperhitungkan

antara konsumsi kalsium rata-rata (Tabel 2) ternyata rata-rata ayam mendapat asupan kalsium

sebanyak3,08 g/ekor/hari.

Kesimpulan

Penambahan tepung biji durian sebagai pengganti jagung pada ayam petelur tidak

menurunkan konsumsi kalsium namun menurunkan retensi kalsium dan tebal cangkang.

Daftar Pustaka

Hasnawati., Hafsah dan Sugiarto. Penggunaan tepung biji durian (Durio Zibethinus Murr) sebagai

sumber energi dalam pakan terhadap performan itik lokal jantan (Anas platyrhynchos). Jurnal

Agrisains. 17 (1) : 62 – 67.

Indreswari, R., H.I.Wahyuni., N. Suthama dan P.W.Ristiana. 2009. Pemanfaatan kaslium untuk

pembentukan cangkang telur akibat perbedaan porsi pemberian ransum pagi dan siang pada

ayam petelur. Jurnal Tropika dan Animal Agriculture. 34 (2) : 134 – 138.

Jazil, N., Hintono, A dan Mulyani, S. 2013. Penurunan kualitas telur ayam ras dengan intensitas warna

coklat cangkang berbeda selama penyimpanan. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan. 2(1) : 43 –

47.

Mampioper, A., Rumetor, S. D dan Pattiselanno. 2008. Kualitas ayam petelur yang Mendapat ransum

perlakuan subtitusi jagung dengan tepung singkong. Jurnal Ternak Tropika. 9(2) : 42 – 51.

Page 92: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

85

Nuraini., Sabrina dan Latif, S.A. 2008. Performa ayam dan kualitas telur yang menggunakan ransum

mengandung onggok fermentasi dengan Neurospora crassa. Jurnal Media Peternakan. 31(3) :

195 – 202.

Suciyati, H., Sulistyowati, E dan Fenita, Y. 2015. evaluasi nutrisi limbah kulit durian (Durio

Zibethinus) yang difermentasi jamur tiram putih (Pleurotus Ostreatus) pada masa inkubasi yang

berbeda. Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 10(2) : 77 – 85.

Wahyuni, S. H. S. 2011. Efek ransum mengandung dedak padi fermentasi oleh Aspirgillus ficuum

terhadap kualitas telur ayam. Jurnal Ilmu Ternak. 11 (1) : 44 – 48.

Warmadewi, D. A., E. Puspani., A.A.S. Trisnadewi., D.P.M.A. Candrawati., T.I. Putri., N.N.

Candraasih, K. dan I.G.N.G.Bidura. 2009. Produktifitas ayam petelur lohmann brown yang

diberi pakan mengandung kulit gandum dan kulit kacang kedelai dengan suplementasi ragi

tape. Jurnal Indonesia Tropikal Animal Agriculture. 34 (2) : 101 – 106.

Wulandari. E. C., W. Murningsih dan H. I. Wahyuni. Deposisi kalsium dan phospor pada cangkang

telur ayam arab dengan pemberian berbagai level Azolla Microphylalla. Animal Agricalture

Journal. 1(1) : 507 – 520.

Page 93: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

86

Makalah 015

Pengaruh Pemberian Tepung Biji Durian sebagai Substitusi Jagung dalam

Ransum Ayam Petelur terhadap Konsumsi Serat Kasar, Kecernaan Serat

Kasar dan Laju Digesta

W. S. T. Mumpuni1), V. D. Yunianto2), I. Mangisah2), F. Wahyono2) dan B. Sukamto2)

1)Mahasiswa Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

2)Dosen Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro

E-mail : [email protected]

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi biji durian terhadap kemampuan

produktivitas ayam petelur ditinjau dari kecernaan serat kasar dan laju digesta. Materi yang digunakan

adalah ayam petelur strain Lohmann Brown umur 40 minggu sebanyak 120 ekor. Penelitian

menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5 ulangan, masing-masing

ulangan menggunakan 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu T0 = kontrol tanpa tepung biji

durian, T1 = 3% tepung biji durian substitusi jagung, T2 = 6% tepung biji durian substitusi jagung dan

T3 = 9% tepung biji durian substitusi jagung. Parameter yang diamati adalah konsumsi serat kasar,

kecernaan serat kasar dan laju digesta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi jagung dengan

tepung biji durian dalam ransum ayam petelur nyata (P<0,05) menurunkan menaikkan konsumsi serat

kasar, menurunkan kecernaan serat kasar dan mempercepat laju digesta. Kesimpulan penelitian

pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai bahan pakan substitusi jagung pada taraf 3 – 9% dapat

menaikkan konsumsi serat kasar, menurunkan kecernaan serat kasar dan mempercepat laju digesta

ayam petelur.

Kata kunci: tepung biji durian, ayam petelur, konsumsi serat kasar, kecernaan serat kasar dan laju

digesta

Pendahuluan

Usaha peternakan ayam petelur merupakan penyedia produk pangan protein hewani yang

harganya relatif terjangkau oleh masyarakat. Harga telur akan semakin mahal seiring dengan

meningkatnya permintaan dan harga pakan yang semakin melambung tinggi. Harga pakan saat ini

semakin melambung tinggi karena sulitnya untuk mendapatkan bahan pakan yang berkualitas di

Indonesia. Pakan merupakan faktor utama dalam keberlangsungan sebuah usaha peternakan. Bahan

pakan utama dalam usaha peternakan unggas khususnya ayam petelur sebesar 50% adalah jagung.

Oleh sebab itu diperlukan pakan sumber energi alternatif baru yang mampu menggantikan jagung

sehingga peternak dapat menghemat biaya pengeluaran untuk pakan. Inovasi pakan dapat berasal dari

limbah pertanian yang masih dapat dimanfaatkan seperti biji durian. Selama ini, masyarakat hanya

mengkonsumsi buah duriannya saja, sedangkan kulit dan biji menjadi limbah yang belum banyak

dimanfaatkan. Persentase kulit durian 60 – 75%, biji 5 – 15% dan buah hanya 20 – 35%

(Prasetyaningrum, 2010). Limbah durian berupa biji atau pongge masih mengandung nutrisi yang

tinggi khususnya energi. Kandungan energi pada jagung kuning sebesar 3394 kkal/kg (Martawijaya

dkk., 2004), sedangkan kandungan energi pada biji durian sebesar 3775 kkl/kg (Suhaidi, 2004).

Kandungan energi yang tinggi pada biji durian dapat digunakan sebagai pakan alternatif substitusi

jagung. Biji durian mentah tidak dapat dimakan secara langsung karena terdapat kandungan zat anti

nutrisi berupa asam lemak siklopropena yang beracun dan apabila dalam ransum mengandung asam

lemak siklopropena dapat mengakibatkan produktivitas ternak menurun (Djaeni dan Prasetyaningrum,

2010), sehingga diperlukan pengolahan seperti perebusan dan pengeringan terlebih dahulu untuk

mengurangi kandungan zat anti nutrisi dalam biji durian sebelum diberikan kepada ternak sebagai

bahan pakan alternatif substitusi jagung.

Page 94: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

87

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai bahan

pakan alternatif substitusi jagung terhadap konsumsi serat kasar, kecernaan serat kasar dan laju digesta

ayam petelur.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 11 Mei – 15 Juni 2017 di Kandang ayam petelur

Departemen Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

Analisis dan pengujian dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan

Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu ayam petelur strain Lohmann Brown sebanyak

120 ekor umur 40 minggu. Bahan penyusun ransum yang digunakan yaitu jagung kuning, bungkil

kedelai, bekatul, tepung ikan, CaCO3, tepung cangkang kerang, premiks dan minyak sawit. Komposisi

bahan pakan penyusun ransum serta kandungan nutrisinya disajikan pada Tabel 1. Ayam petelur diberi

pakan sebanyak 120 g/hari. Pemberian ransum dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari.

Pemberian air minum dilakukan secara ad libitum. Pengukuran sisa ransum dilakukan setiap sore hari

untuk mendapatkan data konsumsi ransum yang diukur dari selisih pemberian ransum dengan sisa

ransum.

Tabel 1. Komposisi dan Kandungan Nutrien Ransum Penelitian

Bahan Ransum Perlakuan

T0 T1 T2 T3

-------------------------- (%) ------------------------

Jagung kuning 43 40 37 34

Biji durian 0 3 6 9

Bekatul 18 18 18 18

Bungkil kedelai 19,5 19,5 19,5 19,5

Tepung ikan 10 10 10 10

CaCO3 3,5 3,5 3,5 3,5

Kulit kerang 5 5 5 5

Premix 1 1 1 1

Minyak kelapa sawit 0,5 0,5 0,5 0,5

TOTAL 100,5 100,5 100,5 100,5

Kandungan nutrien*(%)

Energi metabolis**(kkal/kg) 2690,84 2694,66 2698,48 2702,30

Protein kasar 17,78 17,79 17,80 17,81

Serat kasar 4,44 4,95 5,46 5,97

Lemak kasar 6,32 6,20 6,09 5,98

Kalsium 3,31 3,30 3,29 3,28

Phospor 0,68 0,67 0,66 0,65

*Berdasarkan hasil analisis proksimat setiap bahan penyusun ransum

**Dihitung berdasarkan rumus Balton (Sibbald, 1989)

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan

5 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 6 ekor ayam. Data dianalisis dengan menggunakan

analisis ragam atau uji F pada taraf 5% untuk mengetahui pengaruh perlakuan. Jika suatu perlakuan

berpengaruh nyata pada sebuah peubah tertentu (P<0,05), dilanjutkan dengan uji wilayah ganda

(Duncan) pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1991).

Perlakuan penelitian adalah sebagai berikut:

T0 = Ransum kontrol tanpa biji durian

T1 = Ransum + 3% tepung biji durian

Page 95: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

88

T2 = Ransum + 6% tepung biji durian

T3 = Ransum + 9% tepung biji durian

Metode penelitian diawali dengan pencarian limbah biji durian, kemudian biji durian dicuci

hingga bersih, direbus hingga lunak, diiris tipis-tipis dan di jemur dibawah sinar matahari hingga

kering. Biji durian yang telah kering, kemudian di giling dengan mesin grinder hingga menjadi

tepung. Tahap berikutnya yaitu persiapan kandang, perlengkapan pemeliharaan, pengadaan bahan

pakan penyusun ransum dan pemeliharaan ayam. Ayam petelur ditimbang untuk mendapatkan bobot

badan awal. Penempatan ayam ke dalam kandang battery untuk kombinasi perlakuan dilakukan secara

acak. Ayam petelur diadaptasikan dengan pakan perlakuan terlebih dahulu selama 7 hari, setelah itu

ayam dipelihara dengan pemberian perlakuan T0, T1, T2 dan T3 selama 30 hari. Laju digesta dan

kecernaan serat kasar diukur dengan menggunakan metode total koleksi kombinasi tanpa adanya

pemuasaan dan penambahan indikator Fe2O3 (Wahju, 1997). Total koleksi dilakukan selama 3 hari

berturut-turut yaitu pada hari ke 28, 29 dan 30. Pada hari ke 28 dan 30 dengan penambahan Fe2O3

sebanyak 1% dari berat ransum 120 g, sedangkan pada hari ke 29 tanpa penambahan indikator dalam

ransum. Nilai laju digesta dihitung dari selisih waktu saat ransum berindikator diberikan dan saat

indikator pertama kali keluar pada ekskreta. Ekskreta ditampung dalam nampan yang telah dilapisi

plastik hitam, ditandai tiap perlakuan dan diletakkan dibawah kandang battery. Penampungan ekskreta

dimulai saat perubahan warna ekskreta dari warna coklat normal menjadi warna merah sesuai dengan

warna indikator, kemudian ekskreta yang tertampung dalam nampan disemprot dengan HCl 0,2 N

untuk mengikat nitrogen ekskreta agar tidak menguap. Ekskreta yang terkumpul, kemudian

dibersihkan dari rontokan bulu dan pakan. Ekskreta ditimbang untuk mendapatkan berat basah,

kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari untuk mendapatkan berat kering. Ekskreta yang telah

kering, kemudian dihaluskan untuk selanjutnya dianalisis di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan

Departemen Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang.

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa substitusi jagung dengan tepung biji

durian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kecernaan serat kasar, konsumsi serat kasar dan laju

digesta.

Tabel 2. Kecernaan Serat Kasar, Konsumsi Serat Kasar dan Laju Digesta

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2 T3

Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 106,74ns 104,88ns 101,32ns 102,75ns

Konsumsi Serat Kasar (g/ekor/hari) 11,43d 12,17c 14,11b 16,71a

Kecernaan Serat Kasar (%) 25,56 a 15,16 b 15,08 b 11,93 b

Laju Digesta (menit) 293,42a 253,92b 250,67b 253,67b

Keterangan : Superskrip pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).

ns: Non significant

Berdasarkan hasil analisis ragam Tabel 2. dapat diketahui bahwa semakin tinggi penambahan

level tepung biji durian sebagai bahan pakan substitusi jagung dapat menaikkan konsumsi serat kasar.

Konsumsi serat kasar T1, T2 dan T3 lebih tinggi daripada perlakuan kontrol. Hal tersebut dipengaruhi

oleh rendahnya kandungan serat dalam ransum kontrol. Serat kasar merupakan salah satu nutrisi yang

diperlukan oleh unggas untuk membantu proses pencernaan, namun apabila kandungan serat kasar

dalam ransum yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan ransum kurang disukai oleh unggas sehingga

mengakibatkan konsumsi ransum rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2003) yang

menyatakan bahwa konsumsi serat dipengaruhi oleh kandungan serat dalam ransum karena kandungan

serat kasar yang tinggi dalam ransum bersifat voluminous sehingga dapat menurunkan konsumsi

ransum karena unggas cepat merasa kenyang. Wahju (2004) menambahkan bahwa serat kasar bersifat

sebagai pengganjal serta sehingga semakin tinggi serat kasar dalam ransum menyebabkan jumlah

konsumsi ransum semakin menurun.

Berdasarkan analisis ragam Tabel 2. dapat diketahui bahwa semakin tinggi penambahan level

tepung biji durian sebagai bahan pakan substitusi jagung dapat menurunkan kecernaan serat kasar

Page 96: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

89

ayam petelur. Kecernaan serat kasar perlakuan kontrol lebih baik dari perlakuan T1, T2 dan T3 karena

semakin besar nilai kecernaan, maka semakin banyak nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ayam

petelur. Rendahnya kecernaan serat kasar pada perlakuan T1, T2 dan T3 dikarenakan tingginya

kandungan serat kasar pada perlakuan T1, T2 dan T3 dibandingkan perlakuan kontrol serta masih

terdapatnya kandungan zat anti nutrisi asam siklopropena dalam biji durian yang dapat mengganggu

kecernaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Anggorodi (1994) yang menyatakan bahwa kecernaan

ransum akan semakin rendah apabila kandungan serat kasar dalam ransum semakin tinggi. Djaeni dan

Prasetyaningrum (2010) menambahkan bahwa pengaruh asam lemak siklopropena dalam ransum

pakan ternak yaitu dapat menurunkan produktivitas serta mempengaruhi metabolisme dalam tubuh.

Berdasarkan analisis ragam Tabel 2. dapat diketahui bahwa laju digesta T1, T2 dan T3 lebih

cepat daripada perlakuan kontrol. Cepatnya laju digesta T1, T2 dan T3 daripada perlakuan T0 akibat

perlakuan substitusi tepung biji durian diduga karena tingginya kandungan serat kasar dalam ransum

T1, T2 dan T3 dibanding perlakuan kontrol. Hal ini sesuai dengan pendapat Prawitasari dkk. (2012)

yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi laju digesta yakni kandungan serat kasar dalam

ransum, jenis ternak, temperatur lingkungan dan umur ternak. Semakin tinggi kandungan serat kasar

dalam ransum, maka akan mempercepat laju digesta sehingga dapat mengakibatkan pula kecernaan

serat menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Amrullah (2003) yang menyatakan bahwa serat kasar

dalam ransum yang semakin tinggi dapat mempercepat laju digesta sehingga mengakibatkan

penyerapan nutrisi ransum dalam saluran pencernaan tidak maksimal.

Simpulan

Pemberian tepung biji durian sebagai substitusi jagung pada ransum ayam petelur pada taraf 3

– 9% dapat menaikkan konsumsi serat kasar, menurunkan kecernaan serat kasar dan mempercepat laju

digesta ayam petelur.

Daftar Pustaka

Amrullah, I. K. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Lembaga Satu Gunung Budi, Bogor.

Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Cetakan ke-5. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Djaeni, M., dan A. Prasetyaningrum. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif : aspek nutrisi

dan tekno ekonomi. J. Riptek. 4 (2): 37 – 45.

Martawijaya, E. I., E. Martanto, dan N. Tinaprilla. 2004. Panduan Beternak Itik Petelur Secara Intensif.

Agromedia Pustaka, Jakarta.

Prasetyaningrum, A. 2010. Mekanisasi proses olahan biji durian menjadi produk pangan yang kompetitif.

Riptek. 4 (2): 47 – 52.

Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismadi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan protein kasar dan serat kasar serta

laju digesta pada ayam arab yang diberi ransum dengan berbagai level azolla microphylla. J. Animal

Agriculture. 1 (1): 471- 483.

Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Edisi ke-2.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Diterjemahkan oleh: B. Sumatri).

Suhaidi, I. 2004. Pemanfaatan Limbah Biji Durian sebagai Bahan Pakan Ternak Ayam Pedaging. Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, Medan. (Tesis Magister Sains).

Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan Ketiga. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wahju, J. 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke lima. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 97: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

90

Makalah 016

Status Fisiologis Hati Ayam Petelur yang Diberi Tepung Biji Durian sebagai

Subtitusi Jagung dalam Ransum

K. Nissa1), F. Wahyono2), I. Mangitsah2), B. Sukamto2) dan V.D. Yunianto2)

1)Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang **)Mahasiswa Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang

Email :[email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai pakan

pengganti jagung terhadap status fiologis hati yaitu SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat

Transminase) dan SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase).Materi yang digunakan adalah 120

ekor ayam petelur fase layer dengan 4 macam perlakuan dan 5 kali ulangan. Penelitian ini

menggunakan perlakuan pada ransum yakni T0= 0% (kontrol); T1 = 3% tepung biji durian subtitusi

jagung; T2: 6% tepung biji durian subtitusi jagung; dan T3: 9 % tepung biji durian subtitusi jagung.

Parameter yang diamati adalah kadar SGOT SGPT dan rasio H/L dalam darah. Data dianalisis dengan

uji F probabilitas 5% dan dilanjutkan uji wilayah ganda Duncan apabila data menunjukkan pengaruh

nyata. Hasil SGPT pada T0; T1; T2; dan T3 berturut-turut sebesar 5,78; 5,8; 6,08; dan 7,18 serta

SGOT pada T0;T1;T2; dan T3 berturut-turut sebesar 223,49; 240,11; 242,13; dan 242,54. Hasil ini

menunjukkan bahwa perlakuan pemberian tepung biji durian tidak menunjukan pengaruh yang nyata

(P>0,05) terhadap kadar SGPT dalam darah namun menunjukkan pengaruh nyata (P<0,05) pada kadar

SGOT. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian dengan tepung biji durian

pada taraf 3% menyebabkan kelainan fungsi sel hati pada ayam petelur selama proses pemeliharaan.

Kata kunci:sgpt, sgot, rasio h/l, ayam petelur, tepung biji durian

Pendahuluan

Pengembangan ayam petelur di Indonesia semakin meningkat seiring dengan meningkatnya

permintaan telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat. Meningkatnya produksi

ayam petelur berimbas pada kenaikan harga pakan yang sebagian besar masih impor salah satunya

adalah jagung. Oleh karena itu perlu adanya subtitusi jagung dengan bahan pakan lain yang memiliki

kandungan nutrisi hampir sama dengan jagung. Pemilihan biji durian sebagai subtitusi jagung dalam

ransum dikarenakan kandungan energi yang hampir sama. Kandungan EM pada biji durian sebesar

2225 Kkal/kg (Guntoro, 2014) sedangkan pada jagung sebesar 3394 Kkal/kg (Rasyaf, 1990). Biji

durian mentah mengandung zat antinutrisi berupa asam siklopropena dan asam oksalat yang bersifat

racun dan berefek pada pengikatan protein, oleh karena itu perlu pengolahan lebih lanjut unuk

mengurangi antinutrisi tersebut. Salah satu pengolahan biji durian adalah dengan melalui proses

perebusan dan pengeringan kemudian menjadikannya sebagai tepung.

SGOT dan SGPT merupakan enzim yang menjadi indikator kerusakan hati dalam darah.

Kerusakan hati dapat terjadi karena adanya paparan racun. Kadar SGOT dan SGPT yang normal dapat

mempengaruhi peningkatan ketahanan tubuh pada ayam petelur. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai subtitusi jagung terhadap kadar

SGOT dan SGPT.

Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni di Kandang Ayam Petelur Fakultas

Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang. Analisis proksimat bahan pakan

Page 98: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

91

dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro Semarang.

Penelitian menggunakan 120 ekor ayam petelur umur 40 minggu. Bahan penyusun ransum yang

digunakan yaitu jagung kuning, bungkil kedelai, bekatul, tepung ikan, tepung cangkang kerang,

kalsium karbonat (CaCO3), premix, dan tepung biji durian.

Prosedur penelitian diawali dengan pembuatan tepung biji durian. Biji durian yang telah

didapatkan kemudian direbus selama 1 jam kemudian diiris tipis dan dijemur hingga kering. Biji

durian kering kemudian dihaluskan menggunakan mesin grinder dan didapatkan tepung biji durian.

Persiapan kandang, perlengkapan pemeliharaan, pengadaan bahan penyusun ransum, dan analisis

proksimat bahan penyusun ransum.

Tahap berikutnya yaitu tahap pemeliharaan ayam. Ayam petelur dipelihara di kandang battray

dan diberi sekat tiap perlakuan. Ayam dipelihara selama 4 minggu dan diberi pakan sebanyak

120g/hari pada pagi dan sore.

Perlakuan penelitian yaitu level penambahan tepung biji durian pada ayam petelur sebagai substitusi

jagung pada ransum. Perlakuan penelitian adalah sebagai berikut:

T0 = Ransum basal tanpa tepung biji durian

T1 = Ransum + 3% tepung biji durian

T2 = Ransum + 6% tepung biji durian

T3 = Ransum + 9% tepung biji durian

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan 4 perlakuan dan

5 ulangan. Masing-masing ulangan terdiri dari 6 ekor ayam.

Ayam yang telah dipelihara selama 4 minggu kemudian diambil darah pada pembuluh darah

bagian sayap. Darah diambil menggunakan spuit berukuran 3 ml. Darah kemudian dimasukkan ke

dalam tabung EDTA K3 kemudian dianalisis SGOT dan SGPT. Analisis SGOT dan SGPT dilakukan

secara spektrofotometri.

Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam atau uji F untuk

mengetahui pengaruh perlakuan. Apabila terdapat pengaruh perlakuan nyata, dilanjutkan dengan uji

wilayah ganda (Duncan) pada taraf 5%.

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pemberian tepung biji durian sebagai

subtitusi jagung memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar SGOT dan rasio H/L dalam darah,

namun tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar SGPT dalam darah.

Tabel 1. Kadar SGPT, SGOT, dan rasio H/L pada ayam petelur

Parameter Treatment

T0 T1 T2 T3 SGPT 5,78 5,80 6,08 7,18

SGOT 223,49 b 240,11a 242,13a 242,54a Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Berdasarkan Tabel 1dapat diketahui bahwa semakin tinggi level pemberian tepung biji durian

yakni pada perlakuan T1, T2 dan T3, semakin meningkat pula kadar SGPT dan SGOT. Peningkatan

enzim SGPT dan SGOT menunjukkan adanya tingkat kerusakan sel – sel hati. Menurut Suharjo

(2009), makin tinggi peningkatan kadar SGPT dan SGOT, semakin meningkat pula kerusakan sel – sel

hati. Kerusakan sel – sel hati dapat disebabkan karena adanya paparan toksik atau racun dalam hal ini

paparan antinutrisi yang terdapat dalam biji durian. Antinutrisi merupakan zat yang diproduksi oleh

tumbuhan dan bersifat racun yang berbahaya. Antinutrisi asam siklopropena pada biji durian

menyebabkan gangguan pada metabolisme lemak pada tubuh sehingga produktivitas ternak menjadi

turun (Djaeni dan Prasetyaningrum, 2010). Kerusakan pada membran sel hati menyebabkan enzim

keluar dari sitoplasma yang rusak (Sacher dan McPherson, 2004). Enzim yang keluar dari hepatosit

akan meningkatkan kadarnya dalam serum sehingga dapat menjadi indikator kerusakan hati

(Armansyah dkk., 2010). Enzim GPT banyak terdapat di hati, sedangkan enzim GOT banyak terdapat

di otot rangka, ginjal, pankreas, limpa, paru dan otak (Rosida, 2016).

Page 99: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

92

Simpulan

Semakin tinggi level pemberian tepung biji durian pada perlakuan T1, T2, dan T3 menunjukkan

kelainan pada fungsi sel hati pada ayam petelur dibanding dengan perlakuan kontrol yaitu perlakuan

T0 sehingga perlakuan kontrol lebih baik dibanding dengan perlakuan pemberian tepung biji durian.

Daftar Pustaka

Armansyah, T. T. R., A. Sutriana, H. Vanda, E. Rahmi. 2010. JIIP. 13(6) : 292-298

Djaeni, M. dan A. Prasetyaningrum. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif : aspek nutrisi

dan tekno ekonomi. J. Riptek. 4(11) : 37-45

Guntoro, E.J. 2014. Evaluasi kualitas nutrisi kulit dan biji buah durian fermentasi dengan Phanerochaete

chrysosporium dan Neurospora crassa. Thesis unpublish. Fakultas Peternakan. Universitas Andalas,

Padang

Rasyaf, M., 1990. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Kanisius, Yogyakarta

Rosida, A. 2016. Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. J. Berkala Kedokteran. 12(1) : 123-131

Sacher, R. A. dan McPherson, R.A. 2004. Tinjauan Klinis Pemeriksaan Laboratorium. EGC, Jakarta

Suharjo, J.B. 2009. Hepatitis A. Kanisius, Yogyakarta

Page 100: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

93

Makalah 017

Pemanfaatan Biji Durian sebagai Bahan Substitusi Jagung pada Ransum Ayam Petelur

Terhadap Kecernaan Protein dan Massa Protein Telur

Y. A. Nugraha, I. Mangisah, B. Sukamto, V. D. Yunianto, dan F. Wahyono

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang

Jl. Prof. H. Soedarto, Tembalang – Semarang

Email : [email protected], [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tepung biji durian sebagai bahan

substitusi jagung terhadap kecernaan protein dan massa protein telur. Materi yang digunakan yaitu

ayam petelur strain Lohmann Brown umur 40 minggu sebanyak 120 ekor, bobot badan

1815,20±174,28 g. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan

dan 5 ulangan, setiap unit kandang diisi 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu pemberian level

tepung biji durian 0, 3, 6, 9% dari ransum. Parameter yang diamati meliputi konsumsi protein,

kecernaan protein dan massa protein telur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian level

tepung biji durian sampai 9% sebagai bahan substitusi jagung tidak berpengaruh nyata (P>0,05)

terhadap konsumsi protein, namun nyata (P<0,05) menurunkan kecernaan protein dan massa protein

telur pada ayam petelur fase layer. Kesimpulan dalam penelitian bahwa pemberian tepung biji durian

sebagai bahan substitusi jagung dalam ransum tidak menurunkan konsumsi protein namun

menurunkan kecernaan protein dan massa protein telur.

Kata kunci : ayam petelur, biji durian, jagung, kecernaan protein, massa telur

Pendahuluan

Ayam petelur merupakan salah satu komoditas ternak yang memiliki potensi yang besar untuk

dikembangkan karena dapat menghasilkan produk yang bergizi tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan

protein hewani bagi masyarakat. Protein hewani sangat bermanfaat bagi tubuh manusia untuk

pertumbuhan, hal ini mendorong peternakan ayam petelur untuk meningkatkan produksi telur supaya

dapat memenuhi permintaan konsumen. Pakan merupakan faktor yang sangat penting dalam produksi

telur selain bibit dan manajemen. Biaya pakan memiliki bagian yang besar dalam biaya produksi yaitu

sekitar 70% dari total biaya produksi (Mangisah dkk, 2004).

Harga jagung yang mahal dan ketersediaan yang tidak menentu dapat menjadi faktor

penghambat dalam usaha peternakan ayam petelur, maka perlu adanya upaya untuk menekan biaya

produksi dengan cara substitusi jagung menggunakan bahan pakan lokal yang murah dan memiliki

kandungan nutrisi yang hampir sama dengan jagung, salah satunya adalah biji durian yang

presentasenya mencapai 5-15%. Biji durian biasanya dibuang sebagai limbah pertanian yang dapat

dimanfaatkan sebagai pakan (Sistanto dkk, 2017). Biji durian memiliki kandungan karbohidrat yang

tinggi yaitu 46,2% dibandingkan singkong (34,7%) ataupun ubi jalar (27,9%) (Djaeni dan

Prasetyaningrum, 2010). Kandungan nutrisi pada biji durian yang hampir sama dengan jagung,

memungkinkan untuk dijadikan sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur. Biji durian

yang mentah mengandung asam lemak siklopropena dan aksolat yang bersifat racun. Racun tersebut

dapat diturunkan kadarnya dengan cara perebusan dan pengeringan biji durian (Hasnawati dkk, 2016).

Jagung mengandung pro-vitamin A yang dapat meningkatkan kualitas telur dan memberikan

warna kuning pada kuning telur, namun memiliki kandungan asam amino lisin dan triptofan yang

rendah. Kekurangan tersebut dapat diatasi dengan penggunaan bahan lain sumber protein yang

memiliki kandungan asam amino lisin dan triptofan yang tinggi seperti bungkil kedelai ataupun asam

amino sintetis (Sukamto, 2012). Penggunaan tepung biji durian sebagai pengganti jagung diharapkan

dapat meningkatkan kecernaan protein dan massa protein telur pada ayam petelur. Penelitian

Page 101: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

94

Hasnawati dkk. (2016) penggunaan tepung biji durian pada taraf 5%, dapat meningkatkan konsumsi

dan pertambahan bobot badan serta menurunkan konversi ransum pada itik lokal jantan.

Tujuan dari penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pengaruh pemberian tepung biji

durian sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur terhadap konsumsi protein,

kecernaan protein dan massa protein telur.

Materi dan Metode

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 11 Mei sampai 15 Juni 2017 di Kandang Ayam Petelur

Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro, Semarang. Analisis nutrien pakan

dilakukan di Laboratium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas

Diponegoro, Semarang.

Sebanyak 120 ekor ayam petelur strain Lohmann Brown fase layer umur 40 minggu dengan

bobot badan 1815,20±174,28 g dimasukkan ke dalam 20 unit kandang, setiap unit diisi 6 ekor.

Kandang yang digunakan yaitu kandang baterai. Biji durian yang diperoleh tersebut diolah untuk

dijadikan tepung biji durian. Biji durian yang diperoleh, dicuci sampai bersih kemudian direbus

selama 1 jam lalu ditiriskan dan dipotong tipis – tipis selanjutnya dijemur dibawah sinar matahari

hingga kering. Biji durian yang sudah kering kemudian dihaluskan menggunakan mesin glinder

hingga halus sampai bentuknya menjadi tepung. Komposisi bahan pakan penyusun ransum serta

kandungan nutrisinya disajikan pada Tabel 1.

Pemberian ransum dan air minum dilakukan pada pagi dan sore secara ad libitum. Parameter

yang diamati dalam penelitian ini adalah konsumsi protein, kecernaan protein dan massa protein telur.

Metode untuk mengukur konsumsi protein adalah :

Konsumsi Protein = Konsumsi ransum × Kadar protein dalam ransum (%)

Metode yang digunakan dalam perhitungan kecernaan protein yaitu metode total koleksi dengan

indikator Fe2O3. Kecernaan Protein dihitung menggunakan rumus McDonald dkk. (1988) yaitu:

Kecernaan Protein = Konsumsi PK - PK ekskreta

Konsumsi PK × 100%

Massa protein telur merupakan data yang diperoleh dari protein telur dikalikan dengan massa telur

tanpa cangkang. Massa protein telur dihitung menggunakan rumus:

Massa Protein Telur = Kadar protein telur × Massa telur tanpa cangkang

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 5

ulangan, setiap ulangan terdiri dari 6 ekor ayam. Perlakuan yang diberikan yaitu level pemberian

tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur sebagai berikut:

T0 = Ransum kontrol (tanpa tepung biji durian)

T1 = Ransum dengan tepung biji durian 3%

T2 = Ransum dengan tepung biji durian 6%

T3 = Ransum dengan tepung biji durian 9%

Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan sidik ragam untuk mengetahui

pengaruh perlakuan, apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan Uji Wilayah

Ganda (Duncan) pada taraf 5%.

Page 102: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

95

Tabel 1. Komposisi bahan pakan penyusun ransum ayam petelur layer dan kandungan nutriennya

Bahan Pakan T0 T1 T2 T3

------------------------%------------------------

Jagung 43 40 37 34

Tepung Biji Durian 0 3 6 9

Bekatul 18 18 18 18

Bungkil kedelai 19.5 19.5 19.5 19.5

Tp Ikan 10 10 10 10

CaCO3 3.5 3.5 3.5 3.5

Tepung Cangkang Kerang 5 5 5 5

Premix 1 1 1 1

Minyak 0.5 0.5 0.5 0.5

TOTAL 100,5 100.5 100.5 100.5

Kandungan nutrisi ransum

Energi Metabolis (kkal/kg) 2690.84 2694.66 2698.48 2702.30

Protein Kasar 17.78 17.79 17.80 17.81

Serat Kasar 4.44 4.95 5.46 5.97

Lemak Kasar 6.32 6.20 6.09 5.98

Kalsium 3.31 3.30 3.29 3.28 P tersedia 0.68 0.67 0.66 0.65 Imbangan Ca : P tersedia 4.87 : 1 4.92 : 1 4.98 : 1 5.04 : 1

Keterangan : *) Analisis proksimat dan nilai EM (diuji terlebih dahulu)

**) Kandungan bahan pakan penyusun ransum dianalisis proksimat di Laboratium Ilmu

Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro,

Semarang

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung biji durian sebagai bahan

substitusi jagung pada ransum ayam petelur terhadap konsumsi protein, kecernaan protein dan massa

protein telur dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Konsumsi Protein, Kecernaan Protein dan Massa Protein Telur.

Parameter Perlakuan

T0 T1 T2 T3 Konsumsi Protein (g/ekor/hari) 17,06 16,84 16,30 16,60 Kecernaan Protein (%) 71,98a 70,58a 68,37a 60,88b Massa Protein Telur (g) 7,02a 6,89a 6,29b 6,26b Keterangan : Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Konsumsi Protein

Rataan konsumsi protein selama penelitian pada T0, T1, T2, T3 yaitu 17,06 , 16,84 , 16,30 dan

16,60 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian

tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap

konsumsi protein ayam petelur. Konsumsi protein pada ayam petelur dengan pemberian tepung biji

durian sebagai bahan substitusi sama pada semua perlakuan. Konsumsi protein dipengaruhi oleh

kandungan protein ransum, sedangkan konsumsi ransum dipengaruhi oleh tingkat energi ransum

(Wahju, 1997). Kandungan protein yang relatif sama dalam ransum pada setiap perlakuan dapat

menyebabkan tingkat konsumsi protein yang sama. Hal ini sesuai dengan pendapat Winedar dkk.

(2004) bahwa semakin tinggi kandungan protein dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi protein,

namun jika kandungan proteinnya sama maka konsumsi protein akan sama pada tingkat energi ransum

yang sama. Konsumsi ransum dipengaruhi oleh energi metabolis dalam ransum, jumlah energi

metabolis yang sama pada setiap perlakuan dapat menyebabkan konsumsi ransum yang sama.

Page 103: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

96

Menurut Mulyatini (2014) bahwa rendahnya energi yang terdapat dalam ransum dapat meningkatkan

konsumsi ransum, sedangkan energi dalam ransum yang tinggi dapat menurunkan tingkat konsumsi.

Kecernaan Protein

Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukan bahwa pemberian tepung biji

durian sebagai bahan substitusi jagung pada ransum ayam petelur secara nyata (P<0,05) menurunkan

kecernaan protein. Level pemberian tepung biji durian pada taraf 3% dan 6% hasil kecernaan

proteinnya sama dengan perlakuan tanpa pemberian tepung biji durian, namun pada level pemberian

tepung biji durian sampai 9% menurunkan kecernaan protein. Hal ini disebabkan oleh adanya

kandungan zat anti nutrisi pada tepung biji durian berupa aksolat dan asam lemak siklopropena pada

tepung biji durian. Proses perebusan dan pengeringan biji durian hanya dapat menurunkan zat

antinutrisi tersebut (Hasnawati dkk, 2016). Kandungan anti nutrisi pada tepung biji durian dapat

menghambat proses absorpsi protein sehingga kecernaan protein menjadi rendah. Menurut Mateos

dkk. (1982) bahwa bahan pakan yang memiliki kualitas yang baik dan tidak mengandung zat anti

nutisi dapat meningkatkan proses absorbsi sehingga kecernaan protein meningkat. Semakin sedikit

jumlah protein yang dapat dikonsumsi oleh ternak dapat menyebabkan kecernaan protein yang rendah.

Hal ini sesuai dengan pendapat Prawitasari dkk. (2012) bahwa tinggi rendahnya kecernaan protein

dapat dipengaruhi oleh jumlah kandungan asam amino yang berkeseimbangan dalam ransum dan

banyaknya protein yang dapat masuk ke dalam saluran pencernaan.

Massa Protein Telur

Berdasarkan hasil analisis ragam pada Tabel 2. menunjukkan bahwa pemberian tepung biji

durian sebagai bahan substitusi jagung pada ayam petelur fase layer nyata (P<0,05) menurunkan

massa protein telur. Pemberian level tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung dalam ransum

hingga 3% tidak menurunkan masa protein telur, tetapi pemberian tepung biji durian pada taraf 6%

dan 9% menurunkan massa protein telur. Semakin tinggi level pemberian tepung biji durian dapat

menurunkan massa protein telur. Hal ini disebabkan oleh kurangnya jumlah protein yang dikonsumsi,

sehingga massa telur semakin kecil. Menurut Siahaan dkk. (2013) bahwa kurangnya konsumsi protein

dapat mempengaruhi kebutuhan dalam pembentukan sebutir telur. Kecernaan protein yang rendah

dapat menyebabkan kurangnya asupan protein dalam proses pembentukan telur sehingga dapat

memperkecil massa telur. Hal ini sesuai dengan pendapat Summer dan Leeson (1994) bahwa ayam

yang kekurangan asupan protein pada usai pertumbuhan dapat memperlambat dewasa kelamin serta

memperkecil ukuran dan massa telur yang dihasilkan.

Simpulan

Pemberian level tepung biji durian sebagai bahan substitusi jagung sampai 6% pada ransum

ayam petelur tidak menurunkan konsumsi protein namun menurunkan kecernaan protein dan massa

protein telur.

Daftar Pustaka

Djaeni, M. dan Prasetyaningrum. 2010. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif: aspek nutrisi dan

tekno ekonomi. J. Riptek. 4 (11): 37 – 45

Hasnawati, Hafzah dan Sugiarto. 2016. Penggunaan tepung biji durian (Durio zibethinus murr) sebagai sumber

energi dalam pakan terhadap performan itik lokal jantan (Anas platyrhynchos). J. Agrisains. 17 (1): 62 –

67

Mangisah, I., I. Estiningdriati dan S. Sumarsih. 2004. Kelayakan biji durian sebagai bahan pangan alternatif:

aspek nutrisi dan tekno ekonomi. J. Indonesia Tropical Animal Agriculture. 29 (1): 39 – 43

Mateos, G. G., J. L. Sell and J.A. Eastwood. 1982. Rate of Food Passage (Transit Time) as Influence by Level

Supplemental Fat. J. Poultry Science., 61: 94-100

Mulyatini, N. G. A. 2014. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 104: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

97

Prawitasari, R. H., V. D. Y. B. Ismadi dan I. Estiningdriati. 2012. Kecernaan protein kasar dan serat kasar serta

laju digesta pada ayam arab yang diberi ransum dengan berbagai level Azolla microphylla. J. Animal

Agricultural. 1 (1): 471 – 483

Rozako, M. R., E. Sudjarwo dan A. A. Hamiyanti. 2015. Pengaruh penambahan tepung biji durian dalam pakan

terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan persentase karkas pada burung puyuh

(Cortunix cortunix japonica). Fakultas Peternakan. Universitas Brawijaya, Malang.

Siahaan, N. B., E. Suprijatna dan L. D. Mahfudz. 2013. Pengaruh penambahan tepung jahe merah (Zingiber

officinale var. Rubrum) dalam ransum terhadap laju bobot badan dan produksi telur ayam kampung

periode layer. J. Animal Agricultural. 2 (1): 478 – 488

Sistanto, E. Sulistyowati dan Yuwana. 2017. Pemanfaatan Limbah Biji Durian (Durio zibethinus Murr) sebagai

Bahan Penstabil Es Krim Susu Sapi Perah. J. Sain Peternakan Indonesia. 12 (1): 9 – 23.

Sukamto, B. 2012. Kebutuhan Energi dan Protein Ransum Unggas. Diponegoro University Press, Semarang

Summers, O.J. and S. Leeson. 1994. Laying hen performance influence by protein intake to sixteen weeks of age

and body weight at point of lay. J. Poultry. Science. 73: 495-501.

Wahju, J. 1997. Ilmu Nutrisi Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Winedar, H. Shanti Listyanti dan Sutarno. 2004. Daya Cerna Protein Pakan, Kandungan Protein Daging, Dan

Pertambahan Berat Bdan Ayam Broiler Setelah Pemberian Pakan Yang Difermentasi Dengn Effective

Microorganisms (EM-4). J. Bioteknologi. 3 (1):14-19.

Page 105: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

98

Makalah 018

Pengaruh Paritas Induk Terhadap Berat Lahir Dan Berat Sapih Sapi Bali

Ahmad Zainuri1, Ainun Rasyid Hariansyah1, Afif Raharjo1, Yudi Parwoto2, Dwi Prasetiyo2,

Sigit Prastowo1 dan Nuzul Widyas1

1Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta

2Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Denpasar Bali

Abstrak

Progeny test merupakan salah satu cara seleksi kualitas genetik ternak berdasarkan performa

keturunannya. Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar

Bali telah melaksanakan pemuliaan, pengembangan dan penyebaran bibit Sapi Bali yang sudah lolos

progeny test. Induk sapi Bali yang digunakan dalam program progeny test memiliki paritas yang

berbeda-beda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh paritas induk terhadap berat lahir

(BL) dan berat sapih umur 205 hari (BS205) pada populasi progeny test di BPTU-HPT Denpasar. Data

recording sapi Bali yang mengikuti program progeny test tahun 2010-2013 meliputi BL, BS205,

pejantan, jenis kelamin dan paritas induk. Data BL dan BS205 dianalisis menggunakan metode linear

regression dengan paritas, jenis kelamin dan tahun kelahiran sebagai fixed effect. Hasil analisis

menunjukkan bahwa paritas berpengaruh (P<0,05) terhadap BL, tetapi tidak berpengaruh (P>0,05)

terhadap BS205. Berat lahir terendah dicapai saat paritas pertama (17,21 ± 0,92 kg) kemudian

meningkat hingga paritas kelima (18,05 ± 1,30 kg) dan turun sampai paritas kedelapan (17,67 ± 1,36

kg). Kesimpulan dari penelitian ini adalah BL sapi Bali dipengaruhi oleh paritas induk.

Kata kunci : paritas induk, berat lahir, berat sapih, Sapi Bali

Pendahuluan

Sapi bali merupakan sapi indigenous Indonesai yang mempunyai potensi untuk dikembangkan

secara komersial. Sapi bali memiliki kemampuan adaptasi pada iklim tropis dan ketahanan pakan

kualitas rendah, yang mana cocok untuk dikembangkan pada daerah kering. Selain itu, kemampuan

produksi daging sapi Bali terlihat pada persentase karkasnya yang tinggi, meskipun proporsi tubuh

sapi Bali cenderung lebih kecil dibandingkan sapi dari daratan Eropa (Hafid dan Rugayah, 2009).

Ditinjau dari kemampuan reproduksi sapi Bali memiliki frekuensi melahirkan anak (paritas) tinggi

(Tavares et al., 2012). Hal tersebut menguntungkan peternak dimana setiap tahun dapat memperoleh

pedet.

Seleksi atau pemilihan ternak banyak menggunakan indikator sifat berat sapih maupun berat

lahir. Sifat pertumbuhan berat lahir dan berat sapih sapi Bali dipengaruhi oleh pejantan, jenis kelamin,

umur induk dan paritas (Gunawan dan Jakaria, 2011). Paritas induk berhubungan erat dengan umur

induk saat melahirkan, maupun jumlah anak yang dilahirkan. Secara umum induk sapi pada paritas

pertama mempunyai produksi susu lebih rendah dibandingkan paritas kedua atau ketiga. Diharapkan

pada paritas middle dengan asupan susu dari induk yang lebih banyak menghasilkan berat sapih anak

sapi yang lebih baik. Pertumbuhan anak telah diinisiasi ketika dalam kandungan (Meyer, 1992),

implikasinya adalah adanya variasi berat lahir. Hal ini salah satunya berhubungan dengan asupan

nutrien yang didapatkan anak dari induk selama periode kebuntingan. Induk muda atau pada paritas

awal memerlukan energi lebih besar karena selain untuk maintenance dan pertumbuhan juga dibagi

dengan fetus (Toelihere, 1985). Jika terjadi imbangan energi negatif kemungkinan anak yang

dilahirkan mempunyai berat badan kecil. Sehingga performa anak-anak sapi tersebut dapat digunakan

untuk mengetahui pengaruh paritas induk.

Melihat potensi pada sapi Bali tersebut maka perlu dilakukan evaluasi berkelanjutan untuk

melihat perkembangan pada sapi Bali. Kemampuan reproduksi sapi Bali yang dapat melahirkan anak

tiap tahun membuat manajemen paritas penting dilakukan. Evaluasi induk berdasarkan paritas yaitu

Page 106: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

99

berkaitan dengan induk sebagai replacement stock. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

pengaruh paritas induk terhadap performa pada berat lahir dan berat sapih.

Materi dan Metode

Data

Data recording sapi Bali merupakan hasil pencatatan dan pengukuran selama periode progeny

test tahun 2010 - 2013. Adapun jumlah pejantan sebanyak 4 ekor per tahun, induk betina 120 ekor (30

ekor/pejantan) dan keturunan jantan dan betina ±120 ekor per tahun. Pejantan tersebut dikawinkan

dengan induk didalam paddock selama periode perkawinan pada bulan Oktober - Desember yang

kemudian induk akan melahirkan pada bulan Juli - September. Perkawinan dilakukan secara kawin

alam pada pejantan uji dan satu paddock menggunakan pejantan IB (Inseminasi Buatan) yaitu

pejantan yang lolos program progeny test sebelumnya. Data recording produksi diperoleh untuk berat

lahir dan berat sapih.

Selanjutnya data yang diperoleh dikelompokkan atas: paritas (1, 2, 3,.., n), jenis kelamin anak

(1=jantan, 2=betina) dan tahun kelahiran anak (2010, 2011, 2012, 2013). Peubah yang diamati dalam

penelitian ini yaitu berat lahir (BL) dan berat sapih umur 205 hari (BS205).

Standarisasi Sifat Pengamatan

a. Berat Lahir (BL)

Data BL diperoleh berdasarkan data recording yang tersedia dari BPTU-HPT Denpasar.

Pengukuran berat lahir yaitu maksimal 24 jam setelah kelahiran, menggunakan timbangan digital

ternak ruminansia (iconix FX1, New Zealand). Pada sifat pengamatan BL lahir tidak dilakukan

standarisasi.

b. Berat Sapih 205 hari (BS205)

Berat sapih adalah berat yang diperoleh melalui penimbangan distandarisasi pada umur 205

hari. Persamaan yang digunakan dalam koreksi berat sapih berdasarkan umur 205 hari menurut

Hardjosubroto (1994) adalah sebagai berikut:

BS205= FKUI x BL205 x aktualUmur

BL - aktualberat

Keterangan:

BS205 : berat badan terkoreksi pada umur 205 hari

Berat aktual : berat badan saat ditimbang

BL : berat lahir

Umur aktual : umur pada saat penyapihan (hari)

FKUI : Faktor Koreksi Umur Induk

Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode linear regression dengan paritas, jenis kelamin, tahun

kelahiran sebagai fixed effect dan berat lahir, berat sapih umur 205 hari sebagai respon (Ott dan

Longnecker, 2010). Analisis data menggunakan R programming language (R Core Team, 2017).

Model pengamatan dalam penelitian ini:

Yijk = µ + Pi + Kj + Pk + Eijk

Yijk = Observasi (berat lahir, berat sapih umur 205 hari)

µ = Intercept

Pi = Pengaruh paritas, i=1,2,3,…n

Kj = Pengaruh jenis kelamin anak, j=1:jantan, 2:betina

Tk = Pengaruh tahun kelahiran, k=2010, 2011, 2012, 2013

E = Error

Page 107: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

100

Hasil dan Pembahasan

Berat Lahir dan Berat Sapih Berdasarkan Jenis Kelamin

Rerata dan standar deviasi berat lahir (BL) dan berat sapih umur 205 hari (BS205) berdasarkan

jenis kelamin ditampilkan pada Tabel 1. Jenis kelamin tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05)

pada BL tetapi pada BS205 memberikan pengaruh nyata (P<0,05). Lebih lanjut dapat dikatakan BL

jantan dan betina lebih seragam dengan perbedaan 0,15 kg. Rerata pada BS205 anak betina lebih rendah

5,69 kg dibandingkan anak jantan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Gunawan dan Jakaria, (2011)

yang mengkonfirmasi bahwa jenis kelamin pada anak betina sapi Bali mempunyai berat lahir dan berat

sapih lebih rendah.

Komponen yang memengaruhi BL dan BS205 berasal dari individu tersebut salah satunya

adalah jenis kelamin. Menurut Toelihere (1985) pada induk yang mengandung fetus jantan

mempunyai masa kebuntingan yang lebih lama dibandingkan mengandung fetus betina. Lebih

lamanya periode kebuntingan tersebut dapat memberikan pengaruh BL yang lebih tinggi. Selain itu,

selama didalam kandungan fetus jantan mempunyai kemampuan untuk lebih aktif mengadsorbsi

nutrien. Hasil penelitian ini perbedaan jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh signifikan yang

berarti bahwa potensi tumbuh fetus ketika dalam kandungan adalah seragam.

Tabel 1. Rerata dan standar deviasi pada sifat BL dan BS205

Parameter

Sifat yang diamati

BL (kg) BS205 (kg)

Rerata±sd N Rerata±sd n

Paritas

1 17,21±0,.92 104 83,92±16,82 103

2 17,48±1,29 56 87,50±16,48 56

3 17,59±1,03 62 82,09±16,16 61

4 17,46±0,94 48 81,56±17,14 48

5 18,05±1,30 39 80,44±19,44 38

6 17,93±1,12 33 81,21±15,42 32

7 17,75±0,91 20 86,98±12,34 20

8 17,67±1,36 6 94,26±14,08 6

P Value P<0,05 P>0,05

Jenis kelamin anak

Jantan 17,62±1,19 180 86,53±16,97 176

Betina 17,47±0,99 188 80,84±16,00 188

P Value P>0,05 P<0,05

Tahun kelahiran

2010 18,32±1,44 84 73,90±17,69 84

2011 17,57±1,03 100 76,64±13,89 98

2012 17,24±0,75 98 95,95±8,15 97

2013 17,08±0,64 86 87,08±16,05 85

P Value P<0,05 P<0,05

Rerata BS205 pada Tabel 1 menunjukkan anak jantan mempunyai berat lebih tinggi dibandingkan

anak betina. Kemampuan pertumbuhan setelah kelahiran dipengaruhi oleh potensi ternak tersebut

untuk beradaptasi dengan lingkungan. Menurut (Suranjaya et al., 2010) anak jantan mempunyai

kemampuan lebih besar untuk megonsumsi susu dan merangsang produksi susu induk. Sehingga pada

BS205 cenderung lebih tinggi dibandingkan anak betina. Adanya variasi pada berat jantan dan betina

juga disebabkan karena perbedaan hormonal pada sistem endokrin (Hafez dan Hafez, 2000).

Kemampuan pertumbuhan anak jantan yang lebih cepat dibandingkan anak betina yang berhubungan

dengan kadar dan tipe hormon seksual (Mohammadi, 2010). Hasil penelitian Iffandi (2014) melaporan

bahwa kadar hormon pertumbuhan pada sapi Bali jantan lebih tinggi dibandingkan sapi Bali betina.

Hormon testosteron pada jantan mempunyai peran untuk merangsang pengeluaran hormon

pertumbuhan seperti somatotropin. Sementara itu hormon estrogen pada betina melimitasi laju

Page 108: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

101

pertumbuhan tulang, sehingga sapi betina proporsi tubuhnya akan terlihat lebih kecil dibandingkan

sapi jantan.

Berat Lahir dan Berat Sapih Berdasarkan Tahun Kelahiran

Rerata dan standar deviasi BL dan BS205 berdasarkan tahun kelahiran anak disajikan pada Tabel

1. Tahun kelahiran memberikan pengaruh signifikan (P<0,05) pada BL dan BS205. Rerata BL terlihat

tren yang menurun tetapi pada BS205 sebaliknya adanya tren yang terus meningkat dengan rerata

tertinggi pada 2012 (95,95 kg). Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ditemukan juga pengaruh

tahun kelahiran anak terhadap berat badan (Gunawan dan Jakaria, 2011; Krupa et al., 2005; Toušová

et al., 2015).

Ditemukannya signifikansi pada BL dan BS205 dapat dimungkinkan karena induk betina yang

digunakan pada program progeny test tidak sama tiap tahunnya. Diketahui bahwa komponen induk

seperti paritas (Silva et al., 2016; Tavares et al., 2012) dan produksi susu (Albuquerque dan Meyer,

2001) memberikan kontribusi pada berat badan keturunan. Pengamatan pada perbedaan tahun

kelahiran dapat menggambarkan adanya variasi distribusi curah hujan yang berkaitan dengan

ketersediaan pakan hijauan di pastura (Toušová et al., 2015). Ketersediaan pakan tersebut akan

berhubungan dengan kemampuan produksi susu induk dan kondisi maintenance induk sebelum

melahirkan terutama pada periode trimester akhir kebuntingan (Marques, 2016). Ketersediaan pakan

yang mencukupi untuk induk dalam menunjang pertumbuhan anak sebelum dan setelah kelahiran serta

adanya manajemen yang terkontrol perlu diperhatikan untuk mendapatkan nilai berat lahir dan berat

sapih yang baik.

Berat Lahir dan Berat Sapih Berdasarkan Paritas

Rerata dan standar deviasi BL dan BS205 berdasarkan paritas disajikan pada Tabel 1. Paritas

memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada BL tetapi tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada

BS205. Pengaruh paritas pada BL cukup bervariasi, dimana tren BL meningkat sampai paritas 3 dan

tertinggi pada paritas 5 (18,05 kg). Sedangkan pada BS205 berat badan tertinggi justru pada paritas

akhir 8 (94,26 kg).

Faktor yang memengaruhi BL diantaranya genetik, musim (Gunawan dan Jakaria, 2011), jenis

kelamin, paritas (Tavares et al., 2012), umur induk (Silva et al., 2016). Paritas atau frekuensi induk

melahirkan hubungannya erat dengan umur induk tersebut. Secara umum, berat badan anak akan

meningkat setelah paritas pertama kemudian akan mengalami penurunan. Tabel 1 menunjukkan bahwa

BL pada paritas kedua lebih tinggi dibandingkan dengan paritas pertama. Kemampuan pertumbuhan

BL anak selain oleh adanya potensi genetik untuk tumbuh juga dipengaruhi oleh faktor keindukan

(maternal). Pengaruh induk dapat dibedakan pada saat pra-kelahiran (prenatal) dan paska kelahiran

(postnatal). Ketika sebelum kelahiran, pada induk muda imbangan nutrisi harus dicukupi untuk

pertumbuhan fetus tetapi juga dibagi untuk pertumbuhan dan maintenance induk tersebut (Toelihere,

1985). Berkebalikan pada induk dewasa yang memiliki body condition score yang lebih baik, selama

periode kebuntingan dapat memberikan nutrisi lebih untuk pertumbuhan fetus. Oleh karena itu,

berbagai faktor untuk menjaga lingkungan uterus menjadi penting untuk mendukung pertumbuhan

fetus yang normal (Meyer, 1992). Pemilihan induk pada paritas middle atau akhir dapat menjadi

pertimbangan untuk mendapatkan nilai BL yang lebih tinggi.

Induk akan tetap bersama anak hingga mencapai umur sapih. Dalam kondisi itu kemampuan

anak untuk tumbuh tidak tidak hanya bergantung pada induknya tetapi juga daya adaptasinya pada

lingkungan. Selain itu, beberapa komponen lain yang memengaruhi BS205 diantaranya jenis kelamin

(Gunawan dan Jakaria, 2011), pejantan (Toušová et al., 2015) dan pengaruh pakan. Produksi susu

induk sapi Bali cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan jenis sapi lainnya (Pane, 1986). Hal

ini merefleksikan pengaruh induk yang mulai berkurang terutama diakhir masa sapih. Pengaruh paritas

hubungannya dengan faktor maternal paska-kelahiran seperti produksi susu dan mothering ability

tidak terepresentasi pada BS205. Dapat juga dikatakan bahwa pengaruh paritas induk tersebut paska-

kelahiran cukup seragam.

Page 109: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

102

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sifat produksi berat lahir dipengaruhi

oleh faktor pasitas induk dan perbedaan tahun kelahiran sedangkan berat sapih lebih dipengaruhi oleh

jenis kelamin dan perbedaan tahun kelahiran.

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih kepada BPTU-HPT Denpasar Bali yang telah memberikan fasilitas dan tempat dalam

pelaksanaan penelitian ini.

Daftar Pustaka

Albuquerque, L. G. dan K. Meyer. 2001. Estimates of direct and maternal genetic effects for weights from birth

to 600 days of age in Nelore cattle. Journal of Animal Breeding and Genetics: 118:83–92.

Gunawan, A. dan Jakaria. 2011. Genetic and non-genetics effect on birth , weaning and yearling weight of Bali

Cattle. Media Peternakan 34(2):93–98.

Hafez, B. dan E. S. E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals (7th Edition). Lippincott Williams and

Wilkins, USA.

Hafid, H dan N. Rugayah. 2009. Persentase karkas sapi Bali pada berbagai berat badan dan lama pemuasaan

sebelum pemotongan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2009. Hal. 77-85.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta.

Krupa, E., M. Oravcová, P. Polák, J. Huba, Z. Krupová. 2005. Factors affecting growth traits of beef cattle

breeds raised in Slovakia. Czech Journal Animal Science 50 (1):14-21.

Marques R, R. M. Cooke, P. Moriel dan D. Bohnert. 2016. Impacts of cow body condition score during gestation

on weaning performance of the offspring. Livestock Science 191:174-178.

Meyer, K. 1992. Variance components due to direct and maternal effects for growth traits of Australian beef

cattle. Livestock Production Science 31(3):179–204.

Mohammadi, K., M. T. B. Nassiri, J. Fayazi, H. Roshanfekr. 2010. Effects of environmental factors on

preweaning growth traits in Zandi lambs. Journal of Animal and Veterinary Advances 9(5): 903-906.

Ott, R. L dan M. Longnecker. 2010. An Introduction to Statistical Methods and Data Analysis (6th Edition).

Brooks/Cole. United States of America.

Pane, I. 1986. Pemuliabiakan Ternak Sapi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

R Core Team. 2017. R: A language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical

Computing, Vienna, Austria. URL https://www.R-project.org/.

Silva, A. G., J. A. Musgrave, J. Nollette, A. Applegarth dan R. N. Funston. 2016. Effect of dam age on offspring

productivity. Nebraska Beef Cattle Reports 874:19-21.

Suranjaya, I. G., I. N. Ardika dan R. R. Indrawati. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas sapi

Bali di wilayah binaan proyek pembibitan dan pengembangan sapi Bali di Bali. Majalah Ilmiah

Peternakan, 13(3): 83–87.

Tavares, L., E. Baliarti, dan S. Bintara. 2012. Pre weaning growth of bali calves at Balai Pembibitan Ternak

Unggul sapi Bali. Buletin Peternakan 36(3):199–204.

Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Toušová, R., J. Ducháček, L. Stádník, M. Ptáček dan J. Beran. 2015. The selected factors influenced growth

ability to weaning of Aberdeen Angus cattle. Acta Universitatis Agriculturae et Silviculturae Mendelianae

Brunensis 63(2):457–461.

Page 110: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

103

Makalah 019

Dinamika Performa Sapi Bali (Bos javanicus) pada Populasi Progeny Test

Tahun 2011 – 2014 di BPTU-HPT Denpasar

Surya Aditya, Ainun Rasyid Hariansyah, Afif Raharjo, Ahmad Zainuri, Tristianto Nugroho, Nuzul

Widyas, Sigit Prastowo

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Abstrak

Sapi Bali (Bos javanicus) adalah sapi asli Indonesia yang dikenal memiliki kualitas karkas dan

kemampuan adaptasi yang baik. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas genetik Sapi Bali,

Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar melakukan

program progeny test setiap tahun untuk memilih pejantan terbaik berdasarkan performa

keturunannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bobot sapih dan bobot satu tahun Sapi Bali

pada periode yang berbeda. Data yang digunakan merupakan recording yang diperoleh dari BPTU-

HPT Denpasar mulai tahun 2011 sampai dengan 2014. Pejantan yang masuk dalam program progeny

test pada tahun 2011-2013 adalah 3 ekor pertahun, sedangkan pada tahun 2014 sebanyak 4 ekor.

Setiap pejantan melakukan perkawinan alami dengan 30 ekor Sapi Bali betina pada masing masing

paddock. Sebanyak 281 data berat sapih dan berat satu tahun dianalisis menggunakan General Linear

Model dengan tahun kelahiran dan jenis kelamin sebagai fixed effect. Hasil analisis menunjukkan

bahwa tahun lahir dan jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot sapih dan bobot satu tahun. Bobot

sapih pada tahun 2012 (98,69 ± 8,76 Kg) dan 2014 (95,74 ± 15,12 Kg) lebih tinggi (P < 0,01)

dibandingkan tahun 2013 (90,02 ± 17,39 Kg) dan 2011 (79,17 ± 14,25 Kg). Bobot satu tahun pada

tahun 2014 (134,13 ± 9,34 Kg) dan 2013 (131,42 ± 15,92 Kg) lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan

tahun 2011 (115,44 ± 10,95 Kg) dan 2012 (112,20 ± 9,11 Kg). Peningkatan bobot sapih dan bobot satu

tahun Sapi Bali pada penelitian ini dapat menjadi indikator bahwa terdapat peningkatan kualitas

genetik Sapi Bali dari tahun ke tahun.

Kata kunci: Sapi Bali, dinamika performa, bobot sapih, bobot satu tahun

Pendahuluan

Indonesia memiliki sapi lokal yang asli atau indegenous dan memiliki habitat khusus di Pulau

Bali sehingga disebut Sapi Bali (Bos javanicus). Sapi bali banyak tersebar di seluruh Indonesia, tetapi

wilayah pengembangan utama berada di kawasan timur Indonesia (Widyas, Nugroho, dan Prastowo

2017). Sapi bali memiliki berbagai kelebihan seperti tahan terhadap lingkungan tropis dan pakan

berkualitas rendah, kemampuan reproduksi yang baik serta memiliki kualitas karkas yang bagus

(Copland, 1997). Namun Sapi Bali memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan sapi

dari bangsa yang lain (Setyawan 2015).

Populasi Sapi Bali di Pulau Bali terus menerus turun dari tahun ke tahun (Talib et al, 2002).

Selain itu, kualitas genetik Sapi Bali diduga juga terus mengalami penurunan (Widyas et al. 2017).

Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas genetik Sapi Bali, Balai Pembibitan Ternak

Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar melakukan program progeny test setiap

tahun untuk memilih pejantan terbaik berdasarkan performa keturunannya. Dalam program ini,

beberapa ekor pejantan sapi Bali dari peternak lokal diuji dalam program progeny test kemudian akan

di sebarkan ke seluruh Indonesia sebagai pejantan penghasil semen.

Performa produksi menjadi hal yang perlu diamati karena berhubungan dengan nilai ekonomi.

Bobot sapih dan bobot satu tahun merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan dalam seleksi

(Wiryosuhanto, 1997). Bobot sapih menjadi parameter yang cukup bisa mencerminkan potensi genetik

ternak, sedangkan bobot satu tahun bisa mengevaluasi genetik ternak sekaligus manajemen (Martojo,

Page 111: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

104

2003). Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dinamika performa Sapi

Bali dalam populasi progeny test.

Materi dan Metode

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data catatan kelahiran dan penimbangan Sapi

Bali di BPTU-HPT Denpasar dari tahun 2011 hingga 2014. Pada program progeny test setiap tahun

BPTU-HPT Denpasar mendatangkan Sapi Bali jantan dari berbagai wilayah di pulau Bali. Pada tahun

2011 hingga 2013, setiap tahun digunakan 3 ekor sapi sebagai pejantan, sedangkan pada tahun 2014

menggunakan 4 ekor. Setiap ekor sapi jantan digabungkan dengan 30 ekor sapi betina dalam satu

paddock. Berdasarkan data recording, setiap ekor pejantan memiliki anak antara 22 hingga 26 ekor.

Setiap anak sapi dilakukan penimbangan pada fase fase tertentu. Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data bobot sapih dan bobot satu tahun.

Data bobot sapih di standardisasi ke umur 205 hari dan bobot satu tahun di standardisasi ke

umur 365 hari menggunakan rumus dari Hardjosubroto (1994).

Keterangan:

BS205 : berat badan terkoreksi pada umur 205 hari

Berat aktual : berat badan saat ditimbang

BL : berat lahir

Umur aktual : umur pada saat penyapihan (hari)

FKUI : Faktor Koreksi Umur Induk

Keterangan:

BB365 : berat badan terkoreksi pada umur 365 hari

Berat aktual : berat badan saat ditimbang

BS : berat sapih tanpa koreksi

Jarak waktu : jarak waktu penyapihan dan penimbangan berat 365 hari

BS205 : berat badan terkoreksi pada umur 205 hari

Data dianalisis dengan General Linear Model yang melibatkan tahun kelahiran dan jenis

kelamin sebagai fixed effect. Uji Duncan Multiple Range Test dilakukan apabila terdapat pengaruh dari

fixed effect untuk mengetahui level yang berbeda. Rumus matematika yang digunakan adalah

yijk= u + sexi + Sij + eijk

Keterangan:

yijk = Performans individu

u = Nilai rerata

sexi = Jenis kelamin anak pejantan

Sij = Pejantan (tahun)

eijk = Faktor error

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis menunjukkan bahwa sapi jantan selalu memiliki bobot sapih dan bobot satu tahun

lebih tinggi (P<0,01) dibandingkan sapi betina (Tabel 1). Sapi jantan memiliki laju pertumbuhan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan sapi betina. Menurut Suranjaya, Ardika, dan Indrawati (2010) Sapi

Bali jantan memiliki kemampuan untuk mengonsumsi susu dan merangsang produksi susu induk lebih

FKUI x BL205 x aktualUmur

BL - aktualberat BS205

205365 BS 160 ujarak wakt

BS - aktualberat BB

x

Page 112: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

105

banyak. Hal ini berkaitan dengan aktivitas hormonal dan respons terhadap lingkungan. Aktivitas

endokrinologi sapi jantan memicu pertumbuhan yang lebih cepat sehingga menghasilkan bobot yang

lebih tinggi. Selain itu, sapi jantan dapat mengonsumsi pakan lebih banyak dan lebih tahan terhadap

kondisi lingkungan.

Table 1. Bobot sapih dan bobot satu tahun Sapi Bali

Variabel Bobot Sapih Bobot Satu Tahun

Tahun

2011 79,17± 14,25c 115,4± 10,95a

2012 98,69 ± 8,76a 112,2± 9,11a

2013 90,02± 17,39b 131,4± 15,92b

2014 95,74± 15,12a 134,1± 9,34b

P Value <0,01 <0,01

Jenis Kelamin

Jantan 93,19±17.20a 129,4±16.37a

Betina 88,61±17,20b 117,7±18,81b

P Value <0,01 <0,01

Keterangan: a b superskrip yang berbeda pada masing masing kolom

menunjukkan berbeda nyata

Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot sapih dipengaruhi (P<0,01) oleh tahun kelahiran.

Bobot sapih berfluktuasi tidak menentu pada masing masing tahun, sehingga tidak menunjukkan trend.

Bobot sapih dari tahun 2011 naik pada tahun 2012 dan kemudian turun pada tahun selanjutnya.

Namun pada tahun 2014 kembali menunjukkan peningkatan. Menurut (Gunawan dan Jakaria

2011)bobot sapih dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan induk

(dam effect) masih memberikan pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan anak sapi. Hal ini karena

anak sapi masih bergantung pada produksi susu induk dan kenyamanan yang diberikan induk.

Ditambahkan oleh Oka (2002) ketersediaan produksi susu dan kualitas susu induk dipengaruhi oleh

manajemen dan ketersediaan pakan. Ketersediaan pakan dan manajemen antar tahun dimungkinkan

selalu berbeda sehingga memberikan hasil yang berbeda.

Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot satu tahun menunjukkan hasil yang berbeda (P<0,01)

setiap tahun. Bobot satu tahun pada tahun 2013 dan 2014 lebih tinggi dibandingkan tahun 2011 dan

2012. Bobot satu tahun mencerminkan kemampuan ternak dalam beradaptasi dengan lingkungan.

Menurut (Gunawan dan Jakaria 2011) perbedaan bobot badan setiap tahun dapat disebabkan oleh

perbedaan manajemen dan curah hujan setiap tahun. Ketersediaan pakan setiap tahunnya mengalami

fluktuasi sehingga dapat menyebabkan perbedaan bobot badan.

Sapi jantan yang digunakan dalam program progeny test selalu berbeda setiap tahun. Sedangkan

sebagian sapi betina merupakan sapi yang digunakan pada multi tahun dan sebagian yang lain

merupakan sapi keturunan program progeny test. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat peningkatan

kualitas genetik sapi dari tahun ke tahun. Selain itu manajemen yang diterapkan oleh BPTU-HPT

Denpasar mengalami perbaikan sehingga menunjukkan performa bobot badan yang mengalami

peningkatan setiap tahun.

Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah performa sapi bali dilihat dari bobot sapih dan bobot satu tahun

terdapat dinamika yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Bobot badan sapi bali jantan lebih

tinggi dibandingkan sapi betina.

Daftar Pustaka

Copland J 1997 Bali Cattle: Origins in Indonesia Jembrana Disease and the Bovine Lentivirus ed G E

Wilcox, S Soeharsono, D M N Dharma and J W Copland (Australian Centre for International

Agricultural Research) Pages 29–33

Page 113: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

106

Gunawan, A. dan Jakaria Jakaria. 2011. “Genetic and Non-Genetics Effect on Birth, Weaning, and

Yearling Weight of Bali Cattle.” Media Peternakan 34(2):93–98. Diambil

(http://medpet.journal.ipb.ac.id/index.php/mediapeternakan/article/view/3375).

Martojo, Harimurti. 2003. “Indigenous Bali Cattle : The Best Suited Cattle Breed for Sustainable

Small Farms in Indonesia.”

Oka L 2002 Performance of Bali Cattle Heifers and Calves prior to Weaning Weight n a Feedlot

System Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia ed K Entwistle dan D R Lindsay

(Australian Centre for International Agricultural Research) Pages 14–16

Setyawan, Ahmad D. W. I. 2015. “Review : Genetic diversity of local and exotic cattle and their

crossbreeding impact on the quality of Indonesian cattle.” 16(2):327–54.

Suranjaya, I. G., I. N. Ardika, dan R. R. Indrawati. 2010. “Faktor-faktor yang mempengaruhi

produktivitas sapi Bali di wilayah binaan proyek pembibitan dan pengembangan sapi Bali di

Bali.” Majalah Ilmiah Peternakan 13(3):83–87.

Talib C, Entwistle K, Siregar A, Budiarti-Tunner S and Lindsay D 2002 Survey of Population and

Production Dynamics of Bali Cattle and Existing Breeding Programs in Indonesia Strategies to

Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia ed K Entwistle dan D R Lindsay (Australian Centre

for International Agricultural Research) Pages 3–9

Widyas, N., T. Nugroho, dan S. Prastowo. 2017. “Rooms for genetic improvement in Indonesian Bali

cattle population.” Hal. 1–5 in International Conference On Food Science and Engineering

2016, vol. 193. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering.

Wiryosuhanto S 1997 Bali Cattle–Their Economic Importance in Indonesia Jembrana Disease and the

Bovine Lentivirus ed G E Wilcox, S Soeharsono, D M N Dharma and J W Copland (Australian

Centre for International Agricultural Research) Pages 34–42

Page 114: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

107

Makalah 020

Half Sib Family Analysis untuk Estimasi Parameter Genetik Sifat Produksi

Kambing Boerja

Astri Ivo Ayuningtyas, Atik Nurhidayati, Cici Kustiyani, Nuzul Widyas, Sigit Prastowo

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan estimasi parameter genetik nilai heritabilitas (h2) dan

Nilai Pemuliaan (NP) pada kambing Boerja dengan metode progeny test di CV. Kambing Burja Batu

Jawa Timur. Materi yang digunakan adalah catatan bobot lahir, bobot sapih pada tahun 2012-2016.

Recording yang digunakan adalah data dari pejantan yang memiliki catatan bobot lahir dan bobot

sapih keturunan yang lengkap. Data kemudian disamakan dengan metode bootstrap, yang selanjutnya

dilakukan analysis of varians (ANOVA). Estimasi h2 menggunakan metode half sib family analysis.

Estimasi h2 pada bobot lahir dan bobot sapih termasuk kategori sedang. Nilai h2 kemudian digunakan

untuk menghitung NP pada 8 pejantan (Adam, Breet, CecilJr, Chata, Debonair, Guardian, Songstar,

Terie). Estimasi NP bobot lahir dan bobot sapih tertinggi adalah 0,039 dan 0,505. Berdasarkan

peringkat NP, pejantan unggul adalah pejantan Adam dan Chata.

Kata kunci : parameter genetik, heritabilitas, nilai pemuliaan, Kambing Boerja

Pendahuluan

Kambing Boer merupakan salah satu tipe kambing pedaging yang memiliki persentase karkas

yang tinggi dan mampu beradaptasi dengan baik pada berbagai kondisi iklim (Erasmus 2000; Sulastri

et al., 2014). Beberapa tahun terakhir ini telah diimport kambing Boer dari Australia untuk tujuan

memperbaiki mutu genetik kambing-kambing lokal, sehingga keturunannya memiliki sifat produksi

yang tinggi. Untuk mendapatkan ternak yang memiliki mutu genetik tinggi diperlukan seleksi

pemilihan ternak untuk dikembangkan lebih lanjut serta ternak yang terseleksi diharapkan mampu

menghasilkan keturunan dengan sifat produksi yang baik untuk generasi selanjutnya (Hardjosubroto,

1994).

Seleksi pada pejantan mempunyai peran besar dalam memperbaiki mutu genetik, karena

kemampuannya untuk menghasilkan anak dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat (Wiggans et

al., 1984; Anggraeni 2011). Berat Lahir dan Berat Sapih anak tidak terlepas dari pengaruh pejantan,

sehingga pejantan memiliki kontribusi pada peningkatan sifat produksi.

Pendugaan parameter genetik sangat diperlukan dalam melakukan seleksi. Parameter genetik

merupakan besaran yang menggambarkan kondisi genetik pada ternak untuk memprediksi nilai (Duma

et al., 2002). Penilaian parameter genetik tersebut digunakan untuk membandingkan ternak satu

dengan ternak yang lainnya untuk selanjutnya dilakukan seleksi. Umumnya parameter genetik yang

dipertimbangkan adalah h2 dan NP. Dijelaskan bahwa heritabilitas adalah genetik yang diturunkan

oleh tetua kepada keturunannya (Kurnianto, 2009), sedangkan Nilai Pemuliaan adalah penilaian mutu

genetik ternak untuk suatu sifat tertentu (Hardjosubroto, 1994).

Metode yang digunakan untuk menghitung nilai heritabilitas yaitu half sib, half sib adalah

hubungan antara anggota keluarga bersifat saudara tiri (Hardjosubroto, 1994). Setelah ditemukan nilai

h2 dilakukan progeny test. Progeny test adalah salah satu cara untuk menduga NP pejantan atas dasar

penampilan anaknya (Hardjosubroto, 1994). Keturunan dari pejantan tersebut dibandingkan dengan

keturunan pejantan peserta uji progeny lainnya untuk dasar pemilihan pejantan yang memiliki sifat

unggul.

Page 115: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

108

Materi dan Metode

Materi

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan April 2017. Pengambilan data

dilaksanakan di CV. Kambing Burja, Batu, Jawa Timur. Materi penelitian yang digunakan berupa data

recording kambing Boer, kambing Jawarandu dan persilangannya yang dikumpulkan oleh CV.

Kambing Burja mulai Januari 2012 sampai dengan Juni 2016.

Metode

1. Quality Control (QC)

Recording di CV. Kambing Burja diambil semua untuk dilakukan progeny test. Pejantan yang

digunakan minimal memiliki anak 10 ekor. Pejantan yang memiliki anak kurang dari 10 ekor tidak

dilakukan progeny test. Jumlah anak pejantan yang akan dilakukan progeny test disamakan dengan

menggunakan metode bootstrap. Pejantan yang digunakan tersebut, memiliki recording dari

persetaraan anak yang bersaudara tiri. Data silsilah yang tidak memiliki hubungan kekerabatan

saudara tiri akan dihilangkan. Pejantan yang digunakan yaitu Adam0161 (Adam), Brett1077 (Brett),

CecilJr008 (CecilJr), Chata0187 (Chata), Debonair0602 (Debonair), Guardian1105 (Guardian),

Songstar0037 (Songstar), Terje0124 (Terje).

2. Standarisasi

Data yang digunakan adalah data recording BL dan BS77. Adapun metode pengambilan data

untuk masing-masing parameter adalah:

a. BL

Pengukuran BL dilakukan setelah anak kambing lahir. Menurut Hardjosubroto (1994)

penimbangan berat lahir dilakukan dalam kurun waktu 24 jam.

b. BS77

Berat sapih adalah berat saat anak mulai dipisahkan dari induknya pada umur yang paling muda

(Kostaman dan Sutama, 2005). Berat sapih distandarisasi dengan berat anak pada umur 77 hari dengan

rumus :

BS77 = (BL + BS−BL

umur x 77) x FKTL x FKUI

Analisis Data

Analisis data akan menghasilkan dua nilai utama yaitu h2 dan NP. Analisis dilakukan dengan

metode half sib family analysis, menurut model Hardjosubroto (1994) sebagai berikut:

yijk = µ + sexi + Sij + eijk

Keterangan:

yijk = Respons

µ = Rerata umum

sexi = Jenis kelamin

Sij = Pejantan

eijk = Eror

Analisis data dengan menggunakan ANOVA untuk mendapatkan komponen-komponen

varians, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai h2 dengan rumus sebagai berikut:

h2 = 4 × σS

2

σS2+ σe

2

Keterangan :

σS2 = Aditif Pejantan

σe2 = Faktor error

h2 = Estimasi Nilai Heritabilitas

Page 116: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

109

Estimasi NP pejantan dihitung setelah didapatkan nilai h2 pada sifat seleksi dengan rumus

sebagai berikut:

NP = b × (𝑃𝑎𝑛𝑎𝑘−𝑃𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖)

b =

1

4nh2

1+(n−1)h2

Keterangan :

NP = Nilai Pemuliaan

b = Koefisien Progeny test

𝑃𝑎𝑛𝑎𝑘 = Rata-rata Anak

𝑃𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 = Rata-rata Populasi

n = Jumlah Anak Setiap Pejantan

Hasil Dan Pembahasan

Populasi Ternak

Populasi ternak di CV. Kambing Burja dari tahun 2012 sampai tahun 2016 dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Data Populasi Kambing di CV. Kambing Burja

Populasi/Tahun Pejantan Induk Anak

2012

2013

2014

2015

2016

21

12

11

17

16

512

873

924

934

109

841

1589

1713

1449

143

Sumber: Data penelitian 2017

Tabel 1. diatas merupakan populasi ternak kambing yang terdapat di CV. Kambing Burja dari

bulan Januari 2012 sampai Juni 2016. Jumlah pejantan berbeda dari tahun ke tahun. Jumlah kambing

betina mengalami peningkatan dari tahun 2012 ke 2013 dan kemudian stabil di tahun-tahun

berikutnya., sedangkan populasi anak per tahun mengalami fluktuasi. Sistem perkawinan di CV.

Kambing Burja melakukan sistem kawin kelompok. Ternak yang siap kawin dipindah ke kandang

mating dengan memasukkan 1 pejantan dan betina 20-25 ekor.

Data yang digunakan hanya sebagian dari data keseluruhan. Quality Control dilakukan untuk

memastikan bahwa data yang di gunakan adalah data pejantan yang memiliki catatan BL anak, BS77

anak dan umur induk yang lengkap. Hasil QC terhadap data, diperoleh data pejantan yang memiliki

catatan lengkap sebanyak 8 ekor pejantan, dengan jumlah anak masing-masing adalah Adam sebanyak

53 ekor, Brett sebanyak 52 ekor, CecilJr sebanyak 24 ekor, Chata sebanyak 69 ekor, Debonair

sebanyak 51 ekor, Guardian sebanyak 53 ekor, Songstar sebanyak 56 ekor, Terje sebanyak 45 ekor.

Jumlah anak pejantan harus disamakan untuk dapat dilakukan analisis. Jumlah anak untuk setiap

pejantan disamakan menjadi 50 ekor anak. Metode yang digunakan untuk menyamakan jumlah anak

pejantan menggunakan metode bootstrap. Bootstrap merupakan bagian dari metode untuk penarikan

sampel berulang dari himpunan data asli sehingga disebut prosedur resampling (Chernick, 2008;

Novianti et al., 2010). Perbandingan data awal dengan jumlah anak berbeda dan setelah dilakukan

bootstrap dengan menyamakan jumlah anak menjadi 50, disajikan pada Tabel 2.

Page 117: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

110

Tabel 2. Jumlah, hasil rataan dan simpangan baku pada sifat seleksi

Pejantan

DATA ASLI

SETELAH BOOTSTRAP

BL BS77 BL BS77

n

(ekor) 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑 n

(ekor) 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑 𝑥 ̅ ± 𝑠𝑑

Adam

Brett

CecilJr

Chata

Debonair

Guardian

Songstar

Terje

53

52

24

69

51

53

56

45

3,049±0,61

3,080±0,65

3,208±0,69

3,132±0,73

2,973±0,50

3,221±0,65

2,834±0,65

3,03±0,55

16,303±5,50

14,877±4,52

12,375±3,90

15,328±4,48

15,364±4,85

15,260±4,44

14,883±4,58

15,500±3,91

50

50

50

50

50

50

50

50

2,888±0,52

3,064±0,74

3,16±0,59

3,209±0,79

2,955±0,45

3,025±0,62

2,8±0,58

3,132±0,66

17,323±6,36

15,32±4,70

12,672±4,32

14,559±4,03

16,020±4,26

16,086±4,99

13,763±3,85

15,887±4,85

Sumber: Data penelitian 2017

Hasil rataan dan simpangan baku sifat seleksi pada data asli dan data setelah bootstrap memiliki

perbedaan yang tidak terlalu jauh, sehingga dapat dikatakan masih dalam kisaran normal.

Parameter Genetik

Hasil analisis parameter genetik untuk BL dan BS77 disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Heritabilitas

Variabel σS2 σe

2 Heritabilitas

BL 0,012 0,39 0,12

BS77 1,74 22,39 0,29

Sumber: Data penelitian 2017

Nilai h2 telah sesuai dengan pendapat Warwick (1990) dinyatakan bahwa nilai taksiran h2 untuk

BL dan BS77 kambing berkisar antara 0,1-0,3. Penelitian dari Sulastri et al. (2012) mendapatkan nilai

h2 BL dan BS kambing Rambon yaitu 0,14±0,07 dan 0,22±0,08. Beberapa peneliti melaporkan bahwa

estimasi h2 BL 0,19 pada kambing Boer (Zhang et al., 2008), sedangkan estimasi h2 BS kambing

Kacang dengan metode hubungan saudara tiri sebapak 0,36 (Elieser, 2012). Estimasi h2 BS pada

beberapa bangsa kambing termasuk kategori sedang bahkan tinggi. Heritabilitas performans

pertumbuhan yang bernilai sedang menunjukkan bahwa korelasi antara fenotip dengan genetik

berderajat sedang sehingga performans pertumbuhan cukup akurat untuk menduga mutu genetik

ternak (Warwick et al., 1990).

Estimasi h2 BL dan BS77 kambing Boerja pada Tabel 3, memiliki hasil yang tidak jauh berbeda

dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Estimasi h2 termasuk dalam kategori sedang seperti yang

dikemukakan Hardjosubroto (1994), nilai h2 termasuk dalam kategori rendah apabila nilainya berkisar

antara 0-0,1, kategori sedang apabila nilainya 0,1-0,3 dan tinggi apabila besarnya lebih dari 0,3.

Menurut Warwick et al. (1990), nilai h2 yang dikategorikan sedang sampai tinggi dapat memberikan

petunjuk bahwa seleksi yang dilakukan akan lebih efekif dan efisien dalam meningkatkan perbaikan

mutu genetik bila dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan pada nilai h2 rendah.

Nilai Pemuliaan

Nilai pemuliaan pejantan dilihat berdasarkan dari sifat produksi keturunannya dengan dasar

informasi half sib family. Nilai pemuliaan dapat digunakan untuk melakukan seleksi dengan memilih

ternak yang nilai pemuliaannya paling tinggi. Tabel 4. menunjukkan hasil NP BL dan BS77 kambing

Boerja mulai tahun 2012-2016.

Tabel 4. menunjukkan hasil NP BL dan BS77 kambing Boerja mulai tahun 2012-2016. Nilai

pemuliaan bernilai negatif menunjukkan bawah NP tersebut dibawah rata-rata kelompok, sebaliknya

apabila diatas rata-rata maka nilai pemuliaan bernilai positif. Martojo (1992), menyatakan bahwa

dugaan nilai pemuliaan seekor ternak dapat digunakan sebagai dasar seleksi, dengan membuat

peringkat keunggulan nilai pemuliaan pada sekelompok ternak. Urutan pejantan terbaik untuk sifat BL

dan BS77 dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

Page 118: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

111

Tabel 4. Nilai Pemuliaan BL dan BS77

PEJANTAN NP BL NP BS77

Adam -0,0307 0,505

Brett 0,007 0,027

CecilJr 0,028 -0,603

Chata 0,039 -0,153

Debonair -0,016 0,194

Guardian -0,00089 0,210

Songstar -0,049 -0,343

Terje 0,022 0,162

Sumber: Data penelitian 2017

Menurut Bourdon (1997), NP dapat menjadi dasar dalam melakukan seleksi dengan memilih

ternak yang nilai pemuliaannya paling tinggi untuk dijadikan tetua. Dari Gambar 1, dapat dilihat

bahwa pejantan yang memiliki NP tertinggi untuk BL adalah pejantan Chata sebesar 0,039, sedangkan

pada Gambar 2, NP tertinggi untuk BS77 adalah pejantan Adam sebesar 0,505. Seleksi dapat dilakukan

dengan memilih ternak pada peringkat utama yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan jumlah

pejantan yang dijadikan tetua untuk memperbaiki mutu genetik keturunnya.

Gambar 1. Grafik Nilai Pemuliaan pada sifat BL

Gambar 2. Grafik Nilai Pemuliaan pada sifat BS77.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan nilai h2 untuk BL dan BS77 masing-masing adalah

0,12 dan 0,29. Pejantan terbaik berdasar NP untuk sifat BL adalah pejantan Chata dan sifat BS77

adalah pejantan Adam.

Page 119: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

112

Daftar Pustaka

Anggraeni, A., K. Sutama., Komaruddin, Setiyorini dan Jakaria. 2011. Evaluasi Genetik Sifat Pertumbuhan

Anak dari Jantan Muda Uji Progeni pada Kambing PE. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner 465-471.

Bourdon, R. M. 1997. Understanding Animal Breeding. Prentice Hall. Inc., New Jersey. USA.

Chernick, M. R. 2008. Bootstrap Methods A Guide for Practitioners and Researches. 2nd Ed. John Wiley & Son,

Inc. New Jersey.

Duma, Y., Sumadi dan W. Hardjosubroto. 2002. Estimasi Repitabilitas Sifat Pertumbuhan pada Sapi Brahman

Cross dan Ongole di Ladang Ternak Bila River Ranch. Buletin Peternakan 26 (4): 47–56.

Elieser, S. 2012. Performan Hasil Persilangan antara Kambing Boer dan Kacang sebagai Dasar Pembentukan

Kambing Komposit. Disertasi. Program Pascasarjana. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada.

Yogyakarta.

Erasmus, J. A. 2000. Adaptation to Various Environments and Resistance to Disease of Improved Boer Goat.

Small Rum. Res. 36: 179-187.

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta.

Kostaman, T., dan I. K. Sutama. 2005. Laju Pertumbuhan Kambing Anak Hasil Persilangan antara Kambing

Boer dengan Peranakan Etawah pada Periode Pra-sapih. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 10 (2): 106-

112.

Kurnianto, E. 2009. Pemuliaan Ternak. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Martojo, H. 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Pusat Antar Universitas dan Bioteknologi. Insititut

Pertanian Bogor, Bogor.

Novianti, P., A. A. Mattjik dan I. M. Sumertajaya. 2010. Pendugaan Kestabilan Genotipe pada Model AMMI

Menggunakan Metode Resampling Bootstrap. Forum Statistika dan Komputasi 15 (1): 28-35

Sulastri, T., Hartatik dan N. Ngadiyono. 2012. Estimasi Parameter Genetik dan Kemampuan Bereproduksi

Performans Pertumbuhan Kambing Rambon. Jurnal AgriSains 5 (3): 1-16.

Sulastri, Sumadi, T. Hartatik dan N. Ngadiyono. 2014. Performans Pertumbuhan Kambing Boerawa di Village

Breeding Centre, Desa Dadapan, Kecamatan Sumberejo, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lmpung. Sains

Peternakan 12 (1): 1-9.

Warwick, E., J. M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Wiggans, G.R., F. N. Dickinson, G. J. King and J. I. Weller. 1984. Genetic Evaluation of Dairy Goat Bucks For

Daughter Milk and Fat. Jurnal Dairy Sci. 67: 201 – 207.

Zhang, C.Y., L.G. Yang, and Z. Shen. 2008. Variance Components and Genetic Parameters for Weight and Size

at Birth in the Boer Goat. Livest. Sci. pp. 73–79.

Page 120: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

113

Makalah 021

Litter size Kambing Persilangan Boer dan Jawarandu pada Paritas yang Berbeda

Tristianto Nugroho, Atik Nurhidayati, Astri Ivo Ayuningtyas, Cici Kustiyani,

Nuzul Widyas, Sigit Prastowo

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Abstrak

Crossbreeding merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas ternak. Kambing

lokal di Indonesia disilangkan dengan Kambing Boer untuk meningkatkan produksi daging kambing

lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji jumlah anak sekelahiran (litter size) kambing hasil

persilangan antara Kambing Boer dengan kambing Jawarandu. Data diperoleh dari CV. Kambing

Burja, Batu, Jawa Timur yang merupakan catatan kelahiran dari tahun 2013 sampai 2016. Kambing

Boer jantan fullblood (n=17) dikawinkan dengan kambing betina yang memiliki 3 komposisi bangsa

yang berbeda, yaitu Kambing Boer 100% (n=126), Boer 75% (n=90) dan Boer 50% (n= 387). Data

litter size dianalisis menggunakan General Linear Model dengan komposisi bangsa dan paritas sebagai

fixed effect. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara komposisi bangsa induk dan

paritas terhadap litter size. Kambing Boer 100% pada paritas ketiga memiliki litter size tertinggi.

Kambing Boer 100% pada paritas 1 dan 2 menghasilkan litter size yang sama dengan Kambing Boer

50% pada paritas 1, 2 dan 3. Kambing Boer 100% menghasilkan litter size lebih tinggi (P < 0,01)

dibandingkan Boer 75% dan Boer 50%. Paritas 1 dan 3 menghasilkan litter size yang sama, tetapi

lebih tinggi (P < 0,01) dibandingkan paritas 2. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kambing betina

hasil persilangan antara Kambing Boer dan Jawarandu mampu menghasilkan anak dengan litter size

yang sama dengan Kambing Boer murni pada kelahiran pertama dan kedua.

Kata kunci: Kambing Boer, Kambing Jawarandu, Boerja, crossbreeding, litter size

Pendahuluan

Peningkatan produktivitas ternak lokal dapat dilakukan dengan persilangan (crossbreeding).

Ternak lokal dikawinkan dengan ternak impor yang memiliki produktivitas tinggi untuk menghasilkan

keturunan yang mampu agar menghasilkan produksi tinggi. Peningkatan produktivitas akibat dari

persilangan merupakan efek dari heterosis atau hybrid vigor (Prastowo, Widi, dan Widyas 2017).

Namun program persilangan di Indonesia belum mampu memanfaatkan heterosis dengan baik. Salah

satu contoh crossbreeding di Indonesia adalah persilangan kambing lokal Jawarandu dengan Kambing

Boer. Kambing Jawarandu dikenal sebagai kambing hasil persilangan antara kambing peranakan

etawa dengan kambing kacang, tetapi tidak diketahui dengan pasti proporsi bangsanya. Menurut

(Ginting dan Mahmilia 2008) persilangan Kambing Boer dengan kambing kacang mampu

menghasilkan anak dengan bobot badan lebih tinggi dibandingkan kambing kacang. Crossbreeding

mampu meningkatkan produktivitas ternak, tetapi peningkatan produksi sering kali diikuti dengan

penurunan kualitas reproduksi.

Kambing dikenal sebagai ternak prolific, yaitu mampu melahirkan anak lebih dari satu ekor

setiap beranak. Oleh karena itu, jumlah anak sekelahiran (litter size) penting untuk dipertimbangkan

dalam seleksi karena termasuk dalam parameter reproduksi dan produksi (Browning Jr dan Leite-

Browning 2011). Kambing diharapkan mampu beranak lebih dari satu setiap kelahiran, tetapi apabila

terlalu banyak dapat meningkatkan resiko anak lahir lemah dan mortalitas tinggi. Sehingga kambing

yang mampu menghasilkan anak dua ekor dalam sekali kelahiran memiliki nilai ekonomis lebih tinggi

dibandingkan satu ekor atau tiga ekor (Hagan et al. 2014).

Litter size dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Setiap bangsa kambing

memiliki litter size yang berbeda beda. Bahkan terdapat hasil yang bervariasi mengenai litter size

Kambing Boer yang sudah diamati oleh beberapa penelitian terdahulu (Casey dan Van Niekerk 1988;

Elieser, Sumadi, Budisatria, et al. 2012; Mahmilia 2007). Sedangkan paritas berkaitan erat dengan

Page 121: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

114

tingkat kedewasaan ternak, sehingga berpengaruh terhadap perkembangan organ reproduksi induk

betina. Selain itu paritas satu dengan paritas yang lain berada pada rentang waktu yang jauh berbeda,

sehingga kondisi manajemen, iklim dan lain sebagainya memungkinkan memengaruhi litter size

(Elieser, Sumadi, Suparta, et al. 2012). Penelitian yang menunjukkan performa reproduksi kambing

hasil persilangan hingga keturunan kedua belum banyak ditemukan. Oleh karena itu penelitian ini

bertujuan untuk mengkaji pengaruh komposisi bangsa induk pada paritas yang berbeda terhadap litter

size kambing persilangan Boer dan Jawarandu.

Materi dan Metode

Materi yang digunakan dalam penelitian merupakan data catatan kelahiran kambing di CV.

Kambing Burja, Batu, Jawa Timur dari Januari 2012 hingga Juni 2016. Data dirapikan untuk

mengelompokkan komposisi bangsa induk, paritas induk dan litter size pada setiap kelahiran.

Sehingga didapatkan data sebanyak 17 ekor Kambing Boer jantan yang mengawini kambing betina

dengan 3 komposisi bangsa berbeda. Jumlah kambing induk kambing yang digunakan adalah

sebanyak 532 ekor (Boer100 = 50 ekor, Boer75 = 93 ekor dan Boer50 = 389 ekor) yang menghasilkan

keturunan sebanyak 1390 ekor anak kambing.

Kambing Jawarandu diperoleh dari peternakan rakyat daerah Jawa Timur dan tidak diketahui

sudah berapa kali melahirkan, sehingga tidak dimasukkan dalam analisis. Kambing betina

dikandangkan secara koloni yang terdiri dari 20-25 ekor setiap kandang. Kambing tidak dipisahkan

berdasarkan komposisi bangsa, sehingga mendapat perlakuan manajemen yang sama. Setiap pejantan

dapat mengawini ketiga macam kambing betina dalam satu periode perkawinan (45 hari), sehingga

faktor pejantan tidak dimasukkan dalam analisis.

Data dianalisis dengan metode General Lineal Model dengan komposisi bangsa induk dan

paritas sebagai fixed effect. Untuk menguji perbedaan pada masing masing fixed effect maka

dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT).

𝐲𝐢𝐣𝐤 = 𝛍 + 𝐀𝐢 + 𝐁𝐣 + (𝐀𝐁)𝐢𝐣 + 𝛆𝐢𝐣𝐤

Keterangan

Yijk : Respon (litter size)

µ : Rerata umum

Ai : Pengaruh komposisi bangsa induk (i = 1,2,3)

Bj : Pengaruh paritas (j = 1,2,3)

(AB)ij : Pengaruh interaksi komposisi bangsa induk dan paritas, dan

εijk : Eror

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis menunjukkan bahwa Komposisi Bangsa berpengaruh (P < 0,01) terhadap Litter

size (Tabel 1). Kambing Boer menghasilkan litter size yang paling tinggi, sedangkan Kambing Boer

75% dan Kambing Boer 50% menghasilkan litter size yang sama. Hal ini diduga karena Kambing

Boer50 dan Boer75 sudah memiliki campuran beberapa komposisi bangsa yang akhirnya menekan

kinerja reproduksi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Elieser, Sumadi, Suparta, et al.

2012) yang menyatakan bahwa Kambing Boer memiliki litter size yang lebih tinggi dibandingkan

persilangan Kambing Boer dan kacang pada keturunan pertama dan kedua. Kambing Boer dikenal

sebagai kambing yang prolific dan memiliki litter size 1,75 (Elieser, Sumadi, Budisatria, et al. 2012)

hingga 2,25 (Casey dan Van Niekerk 1988).

Hasil analisis menunjukkan bahwa Paritas Induk berpengaruh terhadap Litter size. Kambing

pada paritas satu menghasilkan Litter size tertinggi dan paritas dua terendah. Paritas induk berkaitan

erat dengan umur induk ketika bunting dan melahirkan. Kualitas pakan dan lingkungan yang berbeda

setiap tahun, dapat memengaruhi kesuburan Induk. Sehingga litter size yang dihasilkan menjadi

fluktuatif karena pengaruh lingkungan yang tidak pasti setiap tahunnya. Hasil penelitian ini berbeda

dengan penelitian (Elieser, Sumadi, Budisatria, et al. 2012) yang menyatakan bahwa litter size

Kambing Boer dan kacang meningkat dari paritas satu hingga empat kemudian mengalami penurunan

pada paritas ke lima.

Page 122: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

115

Tabel 1. Jumlah data (n) serta litter size Kambing Boer dan

persilangan pada paritas berbeda Faktor N Litter size Interaksi Komposisi Bangsa dan Paritas Induk Boer100 1 51 1,529ab Boer100 2 49 1,531ab Boer100 3 43 1,744a Boer75 1 91 1,495abc Boer75 2 36 1,250cd Boer75 3 9 1,111d Boer50 1 360 1,533ab Boer50 2 234 1,427bc Boer50 3 89 1,427bc Signifikansi 0,02

Pengaruh Komposisi Bangsa Boer100 143 1,594a Boer75 136 1,404b Boer50 683 1,483b Signifikansi < 0,01

Pengaruh Paritas Induk 1 502 1,526a 2 319 1,423b 3 141 1,504ab Signifikansi <0,01

Gambar 1. Interaksi antara komposisi bangsa induk dengan paritas terhadap litter size

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat interaksi (P = 0,049) antara Komposisi Bangsa

Induk dengan Paritas terhadap litter size (Tabel 1 dan Gambar 1). Kambing Boer 100% menghasilkan

litter size yang meningkat seiring dengan peningkatan paritas. Sedangkan Kambing Boer 75%

mengalami penurunan litter size dari paritas 1 hingga paritas 3. Menurut (Greyling 2000), Kambing

Boer memiliki kemampuan reproduksi yang baik. Kambing Boer mampu menghasilkan anak lebih

dari dua dalam satu kali kelahiran. Hal ini didukung pula oleh (Elieser, Sumadi, Suparta, et al. 2012)

yang menyatakan bahwa kambing semakin meningkatnya paritas induk Kambing Boer, maka litter

size akan bertambah.

Kambing Boer50 merupakan keturunan pertama dari persilangan Kambing Boer dan

jawarandu. Hal ini menyebabkan hubungan darah antara pejantan dan induk betina tidak terlalu dekat,

sehingga pengaruh heterosis memungkinkan untuk muncul. Sedangkan pada pada Kambing Boer75,

induk Kambing Boer sudah memiliki komposisi bangsa Boer yang cukup besar dan akhirnya

mengecilkan kemungkinan heterosis. Penurunan litter size Boer75 dari paritas 1 hingga paritas 3

mungkin disebabkan karena ukuran data yang kecil. Namun selain itu, diduga Kambing Boer75

Page 123: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

116

kurang mampu beradaptasi dengan lingkungan sehingga tingkat kesuburannya menurun. Hal ini

didukung hasil penelitian (Ginting dan Mahmilia 2008)yang menyatakan bahwa persilangan Kambing

Boer dan kambing kacang hanya optimal pada keturunan pertama saja.

Simpulan

Kambing Boer 50% mampu menghasilkan litter size yang sama dengan Kambing Boer 100%

pada paritas 1 dan 2. Namun, Kambing Boer 75% memiliki trend litter size yang menurun pada setiap

paritas. Sehingga Persilangan Kambing Boer dan Jawarandu keturunan pertama masih baik untuk

digunakan sebagai calon Indukan dilihat dari sifat Litter size.

Daftar Pustaka

Browning Jr, R, dan M L Leite-Browning. 2011. “Birth to weaning kid traits from a complete diallel of Boer ,

Kiko , and Spanish meat goat breeds semi-intensively managed.” Journal Animal Science 89: 2696–2707.

Casey, N. H., dan W. A. Van Niekerk. 1988. “The boer goat. I. Origin, adaptability, performance testing,

reproduction and milk production.” Small Ruminant Research 1(3): 291–302.

Elieser, S, Sumadi, G S Budisatria, dan Subandriyo. 2012. “Productivity Comparison Between Boer and Kacang

Goat Dam.” Journal Indonesian Tropical Animal Agriculture 37(1): 15–21.

Elieser, S, Sumadi, G Suparta, dan Subandriyo. 2012. “Kinerja Reproduksi Induk Kambing Boer, Kacang dan

Boerka.” Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 17(2): 100–106.

Ginting, Simon P, dan F Mahmilia. 2008. “Kambing ‘ Boerka ’: Kambing Tipe Pedaging Hasil Persilangan Boer

X Kacang.” Wartazoa 18(3): 115–26.

Greyling, J P C. 2000. “Reproduction traits in the Boer goat doe.” Small Ruminant Research 36(2): 171–77.

Hagan, B. A., J. K. Nyameasem, A. Asafu-Adjaye, dan J. L. Duncan. 2014. “Effects of non-genetic factors on

the birth weight, litter size and pre-weaning survivability of West African Dwarf goats in the Accra

Plains.” Livestock Research for Rural Development 26(1): 1–8.

Mahmilia, F. 2007. “Penampilan reproduksi kambing induk: Boer, Kacang dan Kacang yang disilangkan dengan

pejantan Boer.” In Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2007, , 485–90.

Prastowo, S, TSM Widi, dan N Widyas. 2017. “Preliminary analysis on hybrid vigor in Indonesian indigenous

and crossbred cattle population using data from published studies.” In International Conference On Food

Science and Engineering 2016, IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 1–5.

http://stacks.iop.org/1757-899X/193/i=1/a=012028?key=crossref.e3e84911f7f14a2e63eb947cc4412442.

Page 124: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

117

Makalah 022

Potensi Genetik Sapi Bali: Nilai Pemuliaan Pejantan pada Sifat Bobot Sapih, Bobot

Setahun dan Pertambahan Bobot Badan

Andoyo Supriyantono, Trisiwi Wahyu Widayati, Iriani Sumpe

Fakultas Peternakan Universitas Papua, Manokwari

e-mail: [email protected]

Abstrak

Kinerja sapi Bali dalam menghasilkan daging belum maksimal sehingga diperlukan berbagai

upaya untuk mengoptimalkannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk 1). mempelajari potensi pejantan

sapi Bali melalui nilai pemuliaan; 2). Menganalisis respon seleksi langsung dan tidak langsung.

Sebanyak 1.284 data yang terdiri dari 428 bobot sapih, 428 bobot setahun dan 428 pertambahan bobot

badan yang berasal dari 99 ekor induk dengan 2-7 catatan tiap induk digunakan untuk menganalisis

nilai pemuliaan pejantan dan respon seleksi. Pendugaan komponen ragam dan peragam genetik dan

lingkungan, dan nilai heritabilitas diperoleh dengan menggunakan program Variance Component

Estimation. Pengaruh tetap adalah curah hujan, umur pengukuran dan tahun kelahiran sedangkan

sebagai pengaruh acak adalah ternak. Estimasi Nilai Pemuliaan dilakukan pada pejantan dengan

menggunakan program PEST. Respon seleksi diestimasi berdasarkan nilai heritabilitas yang

diperoleh, simpangan baku populasi dan intensitas seleksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari

28 ekor pejantan yang diuji, 53,57% mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih positif; pada karakter

bobot setahun, 42,86% pejantan mempunyai nilai pemuliaan positif; sebanyak 53,57 persen

mempunyai nilai pemuliaan positif pada karakter pertambahan bobot badan.

Respon seleksi secara langsung untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan

berturut-turut 0,26 kg, 1,17 kg dan 0,38 kg sedangkan respon seleksi berkorelasi antara bobot sapih-

bobot setahun dan bobot sapih-pertambahan bobot badan berturut-turut 0,21 kg dan 0,04 kg.

Kata kunci: Sapi Bali, nilai pemuliaan, respon seleksi

Pendahuluan

Permintaan daging di Indonesia setiap tahunnya meningkat sebesar 6-8% terutama di daerah

yang padat penduduknya seperti pulau Jawa. Peningkatan tersebut sejalan dengan meningkatnya

jumlah penduduk, tingkat pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi yang berasal

dari ternak.

Pemenuhan daging dalam negeri sebagian dipasok oleh sapi-sapi lokal antara lain sapi Bali,

sapi Ongole, sapi Madura dan beberapa bangsa sapi lain. Menurut data statistik peternakan Indonesia,

populasi sapi Bali menempati jumlah terbanyak (26,92 persen) dibanding bangsa sapi lain, itu berarti

kontribusi sapi Bali dalam memenuhi kebutuhan daging sangat berarti. Namun demikian kinerja sapi

Bali dalam menghasilkan daging belum maksimal sehingga diperlukan berbagai upaya untuk

mengoptimalkannya. Usaha-usaha yang sudah dan tengah dilakukan di berbagai daerah antara lain

dengan menerapkan berbagai strategi pemberian pakan (Mastika, 2002; Pengelly dan Lisson, 2002),

managemen pemeliharaan (Oka, 2002; Bamualim dan Wirdahayati, 2002) dan peningkatan genetik

melalui seleksi (Graser, 2002; Toelihere, 2002).

Kinerja pertumbuhan sapi Bali selama ini menjadi perhatian utama terutama pada karakter

peningkatan bobot badan pada umur tertentu, bobot lahir dan bobot sapih. Selain kinerja pertumbuhan,

karakter reproduksi seperti service per conception, calving rate dan calving interval pada betina serta

fertilitas semen pada jantan juga menjadi salah satu parameter keberhasilan dalam program

perkawinan (alami maupun buatan). Beberapa hasil penelitian pada sapi Bali menunjukkan bahwa

service per conception sebesar 1,8 – 2,00 (Mastika, 2002), calving rate 64 – 78% (Bamualim dan

Wirdahayati, 2002). Pertambahan bobot badan dengan pakan yang baik dapat mencapai 0,7 kg/hari

Page 125: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

118

(jantan dewasa) dan 0,6 kg/hari (betina dewasa), persentase karkas berkisar antara 51,5 – 59,8%,

dengan persentase tulang kurang dari 15 persen dan dagingnya berkadar lemak rendah (Pane, 1991).

Potensi-potensi tersebut mendorong pemerintah untuk melestarikan dan mengembangkan

sumber daya genetik sapi Bali di kawasan sumber bibit ternak dengan membentuk Balai Pembibitan

Ternak Unggul Sapi Bali. Dalam kegiatannya, perbibitan ternak meliputi pemuliaan dan

pembudidayaan, perbanyakan, pengawasan penyakit, penyebaran dan peredaran, pengawasan mutu,

pelestarian sumberdaya ternak dan pengendalian lingkungan serta pengembangan usaha perbibitan

yang dapat dilakukan oleh pemerintah atau swasta.

Dibidang pemuliaan, seleksi dapat dilakukan pada pejantan dan betina pada sifat-sifat yang

bernilai ekonomis seperti bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan. Seleksi pada

sifat-sifat tersebut sudah banyak dilakukan terutama pada sapi potong di beberapa negara (Koch, et al.,

2004; Bennet, et al., 2008; Bennet, 2008; Boligon, et al., 2016), sementara pada sapi Bali masih

jarang dilakukan (Jan, 2000; Sukmasari, et al., 2002; Supriyantono, et al., 2011). Tujuan penelitian ini

adalah untuk 1). mempelajari potensi pejantan sapi Bali melalui nilai pemuliaan bobot sapih, bobot

setahun dan pertambahan bobot badan; 2). Membandingkan respon seleksi langsung dan tidak

langsung pada karakter bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan.

Materi dan Metode

Sebanyak 1.284 data sapi Bali yang berasal dari Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Sapi

Bali digunakan untuk menganalisis nilai pemuliaan pejantan dan respon seleksi. Data tersebut terdiri

dari 428 bobot sapih, 428 bobot setahun dan 428 pertambahan bobot badan yang berasal dari 99 ekor

induk dengan 2-7 catatan tiap induk.

Pendugaan komponen ragam dan peragam genetik dan lingkungan, dan nilai heritabilitas

diperoleh dengan menggunakan program Variance Component Estimation (VCE 4.2) (Groeneveld,

1998). Pengaruh tetap untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan adalah curah

hujan, umur pengukuran dan tahun kelahiran. Sebagai pengaruh acak untuk semua karakter adalah

ternak.

Secara umum model statistik untuk animal model adalah: Yi= Xibi + Ziui + ei

Dimana: Y= vektor pengamatan berukuran n x 1; b= vektor dari pengaruh tetap yang berukuran p x l

; u= vektor dari pengaruh acak yang berukuran q x l yang memiliki matriks ragam peragam G yang

merupakan vektor nilai pemuliaan yang dievaluasi; X= matriks yang diketahui yang menyatakan

pengaruh tetap (b); Z= matriks yang diketahui yang menyatakan pengaruh acak (u); e= vektor acak

yang tak dapat diamati berukuran n x l dengan matriks ragam peragam R (Henderson 1985) .

Respon seleksi diestimasi berdasarkan nilai heritabilitas yang diperoleh, simpangan baku

populasi dan intensitas seleksi (i). Intensitas seleksi menentukan besarnya respons seleksi yang

dicapai setiap generasi, semakin sedikit ternak terpilih untuk dijadikan tetua untuk menghasilkan

keturunan generasi mendatang maka intensitas seleksi semakin tinggi. Nilai intensitas seleksi

diperoleh berdasarkan Tabel (Falconer dan Mackay, 1997).

Estimasi Nilai Pemuliaan dilakukan pada pejantan untuk sifat-sifat bobot sapih, bobot setahun

dan pertambahan bobot badan. Estimasi NP setiap karakter dilakukan dengan menggunakan program

PEST (Groeneveld, 1990) dengan memasukkan nilai-nilai ragam genetik (vg) dan ragam lingkungan

(ve) dari karakter yang sama. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari output program VCE 4.2.

Hardjosubroto (1994); Warwick, et al., (1995) dan Falconer dan Mackay (1997) merumuskan

ramalan respons seleksi langsung dan tidak langsung sebagai berikut:

1. Repons seleksi langsung: RS = l

hi P

2;

2. Respons seleksi tidak langsung: CRy2.1 = l

rhih pg 221

Dimana: Rs= respons seleksi langsung; p= simpangan baku karakter yang diukur; h2= heritabilitas;

CRy2.1= respon seleksi tidak langsung; h1= akar nilai heritabilitas karakter pertama; h2= akar nilai

heritabilitas karakter kedua; rg= korelasi genetik karakter pertama dan kedua; p2 =simpangan baku

karakter kedua; i= rata-rata intensitas seleksi; l= rata-rata interval generasi

Page 126: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

119

Hasil dan Pembahasan

Sepuluh pejantan terbaik berdasarkan nilai pemuliaan bobot sapih, bobot setahun dan

pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 1, yang dapat diringkas seperti pada Gambar 1,

Gambar 2 dan Gambar 3.

Tabel 2. Sepuluh Pejantan Terbaik Berdasarkan Nilai Pemuliaan (NP) Bobot Sapih,

Bobot Setahun dan Pertambahan Bobot Badan

Bobot Sapih Bobot Setahun Pertambahan Bobot Badan Ranking

Pejntn NP Pejntan NP Pejntan NP 73996 12.164 4 20.748 4 10.751 1

1 8.564 79792 15.68 77789 8.476 2 79792 8.151 1 9.874 75994 6.659 3

105293 7.517 75994 9.793 79792 6.303 4 11 7.242 105293 9.583 3 5.436 5

74591 5.085 3 9.461 6 3.568 6 5 4.725 77789 8.905 73091 2.908 7

77789 4.649 73491 8.439 1 2.672 8 8 4.073 309293 3.813 309293 2.395 9

110296 3.519 10 2.51 10 2.288 10

Urutan sepuluh pejantan terbaik bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan

berbeda satu sama lain, dengan pejantan alami lebih banyak daripada pejantan IB untuk bobot sapih

dan bobot setahun sedangkan pada karakter PBB, jumlahnya seimbang.

Gambar 1. Nilai Pemuliaan Bobot Sapih Pejantan

Gambar 1 menunjukkan bahwa dari 28 ekor pejantan yang diuji, 53,57 persen diantaranya

mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih positif dan sisanya mempunyai nilai pemuliaan bobot sapih

negatif. Dari 28 ekor pejantan yang diuji, 11 ekor merupakan pejantan yang memproduksi mani beku

yang berasal dari BIB Singosari tetapi hanya 54,54 persen (6 ekor) yang mempunyai nilai pemuliaan

bobot sapih positif.

-15

-10

-5

0

5

10

15

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27

Nila

i P

em

ulia

an

Kode Pejantan

Page 127: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

120

Gambar 2. Nilai Pemuliaan Bobot Setahun Pejantan

Pada karakter bobot setahun, dari 28 ekor pejantan yang diuji 42,86 persen mempunyai nilai

pemuliaan positif. Jumlah pejantan yang memproduksi mani beku sebanyak 11 ekor dengan nilai

pemuliaan positif hanya 18,18 persen (dua ekor).

Gambar 3. Nilai Pemuliaan Pertambahan Bobot Badan

Nilai pemuliaan pertambahan bobot badan dari pejantan-pejantan yang diuji, sebanyak 53,57

persen mempunyai nilai pemuliaan positif, 46,67 diantaranya merupkan pejantan IB. Nilai pemuliaan

(NP) dalam penelitian ini adalah NP setiap individu baik itu anak, induk maupun pejantan. Semakin

tinggi nilai pemuliaan dari seekor pejantan menunjukkan semakin unggulnya pejantan tersebut

dibandingkan dengan pejantan yang nilai pemuliaanya rendah, karena pejantan dengan NP yang tinggi

akan mempunyai keturunan dengan keunggulan relatif lebih tinggi pula. Oleh karena itu nilai

pemuliaan dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi untuk memilih pejantan yang relatif

lebih unggul untuk dimanfaatkan semennya seluas mungkin di wilayah proyek maupun di tempat lain.

Berdasarkan nilai pemuliaan bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan

ternyata urutan sepuluh pejantan terbaik berbeda antar karakter. Berbedanya urutan pejantan tersebut

diduga disebabkan tidak semua ternak mempunyai catatan lengkap. Ternak-ternak yang tercatat yang

mempunyai bobot sapih pada tahun 2003, ternyata belum mempunyai catatan bobot satu tahun.

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27

Nila

i P

em

ulia

an

Kode Pejantan

-8

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

12

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27Nila

i P

em

ulia

an

Kode Pejantan

Page 128: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

121

BLUP dengan program VCE memungkinkan untuk menganalisis data dengan kondisi seperti tersebut.

Penyebab lain yaitu pertambahan bobot badan negatif pada beberapa ekor ternak, yang mempengaruhi

rataan populasi. Apabila diketahui nilai ekonomi untuk masing-masing sifat maka dapat dicari nilai

pemuliaan kumulatif dari sifat-sifat yang diukur. Pada penelitian ini tidak diketahui nilai-nilai

ekonomi tersebut sehingga tidak dapat dijadikan pembobot untuk mengurutkan pejantan secara

keseluruhan berdasarkan semua karakter.

Sedikitnya pejantan IB yang masuk dalam sepuluh terbaik mengindikasikan bahwa pejantan

lokal yang digunakan sudah beradaptasi dengan baik pada lingkungan tropis sehingga dapat

mengekspresikan kemampuan genetiknya dengan baik. Walaupun diketahui bahwa pejantan IB

memiliki keunggulan secara genetik karena memang sudah teruji sebelumnya namun ternyata dari

hasil estimasi nilai pemuliaannya ternyata pejantan lokal masih lebih baik.

Urutan nilai pemuliaan bobot sapih tertinggi adalah pejantan nomor 73996 dengan nilai

pemuliaan relatif sebesar 12,164, ini berarti bahwa apabila pejantan nomor 73996 dikawinkan dengan

induk secara acak maka rataan keunggulan bobot sapih anak-anaknya akan menunjukkan keunggulan

sekitar 6,08 dari bobot sapih populasinya, karena keunggulan pejantan akan diturunkan sebanyak

setengah dari nilai pemuliaan (Hardjosubroto, 1994).

Seekor pejantan apabila digunakan sebagai pemacek secara alami mempunyai keterbatasan

antara lain karena umur. Selanjutnya apabila dilihat dari umur, maka pejantan yang masuk dalam

kategori sepuluh besar semuanya sudah tua. Pemanfaatan pejantan-pejantan non IB yang masuk

dalam sepuluh besar hendaknya mulai dipikirkan lagi, sebaiknya pejantan-pejantan yang dimaksud

dimanfaatkan semennya untuk tujuan IB.

Untuk menduga repons seleksi langsung beberapa karakter, digunakan intensitas seleksi yang

didasarkan atas nilai pemuliaan di atas rata-rata untuk setiap karakter terseleksi, seperti yang disajikan

pada Tabel 3.

Tabel 3. Respons Seleksi (Rs) Langsung Beberapa Karakter

Karakter i h2 SD Rs/generasi Rs/tahun

Bobot Sapih 1,30 0,09 11,79 1,38 0,26 Bobot Setahun 1,35 0,27 17,32 6,31 1,17 Pertambahan Bobot

Badan

0,88 0,47 4,98 2,06 0,38

Keterangan: i= intensitas seleksi; h2= heritabilitas

Untuk mengetahui respons seleksi per tahun maka perlu dihitung interval generai populasi sapi

Bali di Pulukan. Pada populasi sapi Bali di BPTU interval generasi dihitung berdasarkan sebaran

umur dari pejantan dan induk yang digunakan. Hasil perhitungan diperoleh interval generasi induk

sebesar 6,5 tahun dan pejantan sebesar 4,3 tahun, sehingga diperoleh rataan interval generasi sebesar

5,4 tahun.

Respons seleksi tidak langsung antara bobot sapih dan beberapa karakter lain disajikan pada

Tabel 4. Perhitungan pasangan karakter-karakter tersebut disebabkan bobot sapih datangnya lebih

dulu dibandingkan karakter lain, sehingga dapat dilakukan efisiensi waktu apabila seleksi dilakukan

terhadap bobot sapih. Sebagai pembanding, digunakan respons seleksi secara langsung per tahun

untuk karakter-karakter yang berkorelasi dengan bobot sapih.

Seperti diketahui bahwa rataan interval generasi di Inti Pulukan sebesar 5,4 tahun, dengan

mengacu respons seleksi optimum maka akan diperoleh respons seleksi per tahun sebesar 0,37 kg per

tahun. Dengan rataan bobot sapih saat ini sebesar 82,09 kg maka sepuluh tahun yang akan datang

diperoleh rataan bobot sapih sebesar 85.79 kg. Angka ini masih jauh dari tujuan awal yaitu dalam 12

tahun sejak didirikannya diharapkan bobot sapih mencapai 120-130 kg.

Faktor-faktor yang menjadi kendala dalam pencapaian bobot sapih ini antara lain yaitu (1)

sistem penjaringan bibit yang tidak tepat karena hanya berdasarkan bobot badan sebesar 140 kg tanpa

melihat mutu genetiknya. Kegiatan uji kinerja setiap tahun membutuhkan sekitar 50 ekor bibit jantan

sebagai peserta. Jumlah ini tidak seluruhnya dipenuhi dari Inti Pulukan maupun IPD Tabanan.

Kekurangan bibit diperoleh melalui pembelian dari pasar hewan Bringkit, ini yang menjadikan salah

satu faktor kelemahan di dalam pencapaian target. Penurunan jumlah peserta uji kinerja lebih

disebabkan karena pada tahun 1988 terjadi wabah penyakit Jembrana yang mengakibatkan sebagian

Page 129: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

122

besar sapi di Inti Pulukan mati. Untuk mengurangi resiko ini maka jumlah peserta dikurangi dari yang

semula 100 ekor menjadi hanya sekitar 50 ekor ; (2). Menurunnya jumlah peserta uji kinerja berakibat

pula terhadap penurunan jumlah pejantan yang ikut dalam progeny testing sehingga pilihan terhadap

pejantan menjadi sangat terbatas. Keadaan ini diperparah dengan fasilitas kredit yang menurun di IPD

Tabanan yang mengakibatkan jumlah induk juga berkurang. Dampak dari berkurangnya jumlah induk

ini adalah hilangnya paling sedikit 50% peluang kemajuan genetik seperti yang ditargetkan (van Asch,

et al., 1990); (3) Pemanfaatan hasil progeny testing yang lebih besar dari pada yang telah ditetapkan

pada awalnya (hanya 5 persen terbaik). Ini terjadi karena luasnya penyebaran induk pada tingkat IPD

dan kurangnya fasilitas IB untuk progeny testing menyebabkan dibutuhkannya sejumlah besar

pejantan untuk perkawinan alami; (4) hilangnya induk-induk dengan superior performance diakhir

lima tahun masa kredit, karena secara otomatis peternak peserta kredit akan berakhir status pesertanya

ketika telah melunasi pembayaran selama lima tahun.

Tabel 4. Respons Seleksi Berkorelasi antara Bobot Sapih dan Karakter Lain.

Karakter rg h1 h2 SB2 i l CRy2.1 Rind BSxBB1th 0,314 0,3 0,52 17,32 1,33 5,4 0,21 1,17 BSxPBB 0,182 0,3 0,69 4,98 1,09 5,4 0,04 0,38

Keterangan: BS= bobot sapih; B1th= Bobot setahun; PBB= pertambahan bobot badan; h1=

akar heritabilitas bobot sapih; h2= akar heritabilitas karakter kedua; SB2=

simpangan baku karakter kedua; i= intensitas seleksi; l= interval generasi; CR=

correlateed response; Rind= respons seleksi individu.

Di Inti Pulukan, kebutuhan akan bibit sebenarnya tidak bisa dipenuhi dari populasi itu sendiri.

Data menunjukkan bahwa secara kuantitas terjadi penurunan jumlah sapi dengan adanya persentase

kematian yang lebih besar dari pada persentase kelahiran yaitu sebesar –5,81 persen. Rendahnya

persentase kelahiran disebabkan karena jumlah induk efektif yang ada di dalam populasi ini juga

rendah sebesar 24,66 persen. Pada populasi yang ideal jumlah induk efektif mestinya mencapai 45-60

persen (Hardjosubroto, 1994), sehingga memungkinkan kebutuhan bibit dipenuhi dari populasi itu

sendiri. Walaupun persentase panen pedet mencapai 61,18 persen, akan tetapi karena proporsi umur

induk yang tidak merata menyebabkan persentase panen pedet tidak mampu memenuhi kebutuhan

bibit itu sendiri.

Apabila umur optimum betina dipertimbangkan dalam pembiakan maka betina-betina tua yang

berumur di atas tujuh tahun harus dikeluarkan dari populasi. Menurut van der Werf (1999) bahwa

mempertahankan ternak hingga umur tua akan memperpanjang interval generasi yang berakibat pada

menurunnya respons seleksi, akan tetapi estimasi nilai pemuliaannya akan semakin akurat. Di lain

pihak, memperpendek interval generasi akan meningkatkan respons seleksi tetapi akurasi nilai

pemuliaan akan semakin berkurang.

Simpulan

Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: Urutan sepuluh pejantan terbaik bobot

sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan berbeda satu sama lain, dengan pejantan alami

lebih banyak daripada pejantan IB. Dari 28 ekor pejantan yang diuji, 53,57% mempunyai nilai

pemuliaan bobot sapih positif termasuk diantaranya 6 ekor pejantan dari BBIB Singosari; pada

karakter bobot setahun, 42,86% pejantan mempunyai nilai pemuliaan positif dengan 2 ekor pejantan

dari BBIB; nilai pemuliaan pertambahan bobot badan dari pejantan-pejantan yang diuji, sebanyak

53,57 persen mempunyai nilai pemuliaan positif, 46,67 diantaranya merupkan pejantan IB.

Respon seleksi secara langsung untuk bobot sapih, bobot setahun dan pertambahan bobot badan

berturut-turut 0,26 kg, 1,17 kg dan 0,38 kg sedangkan respon seleksi berkorelasi (tidak langsung)

antara bobot sapih-bobot setahun dan bobot sapih-pertambahan bobot badan berturut-turut 0,21 kg dan

0,04 kg.

Page 130: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

123

Daftar Pustaka

Bamualim, A. dan R.B. Wirdahayati, 2002. Nutrition and Management Strategies to Improve Bali Cattle

Productivity in Nusa Tenggara. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Bennett, G.L., 2008. Experimental selection for calving ease and postnatal growth in seven cattle populations. I.

Changes in estimated breeding values. J. of Animal Sci. 86: 9: 2093-2102

Bennett, G.L., R. M. Thallman, W. M. Snelling and L. A. Kuehn, 2008. Experimental selection for calving ease

and postnatal growth in seven cattle populations. II. Phenotypic differences. J. of Animal Sci. 86: 9:

2103-2114

Boligon, A.A., I. S. Vicente, R. Z. Vaz, G. S. Campos, F. R. P. Souza, R. Carvalheiro and L. G. Albuquerque,

2016. Principal component analysis of breeding values for growth and reproductive traits and genetic

association with adult size in beef cattle. J. of Animal Sci. 94: 12: 5014-5022

Falconer, D.S., and T.F.C. Mackay., 1997. Introduction to Quantitative Genetics. 4th Edition. Addison Wesley

Longman Limited, Edinburgh Gate, Harlow.

Graser, H., 2002. Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia: Implementing Pedigree System.

Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Groeneveld, E., 1990. PEST User’s Manual. FAL, Nuestadt.

Groeneveld, E., 1998. VCE4 Programme, User’s Guide and Manual Version 1.1. Institut furr Tierzuch und

Tierverhalten, FAL, Mariensee.

Hardjosubroto, W., 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta.

Henderson, C.R., 1985. Best Linear Unbiased Prediction of Nonadditive Genetic Merits in Noninbred

Populations. J. of Animal Sci. 60: 1: 111-117

Jan, R. 2000. Penampilan Sapi Bali di Wilayah Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali di Daerah

Tingkat I Bali. Tesis PPS-UGM, Yogyakarta.

Koch, R.M., L. V. Cundiff, K. E. Gregory and L. D. Van Vleck. 2004. Genetic response to selection for

weaning weight or yearling weight or yearling weight and muscle score in Hereford cattle: Efficiency of

gain, growth, and carcass characteristics. J. of Animal Sci., 82: 3: 668-682

Mastika, I.M., 2002. Feeding Strategies to Improve the Production Performance and Meat Quality of Bali Cattle

(Bos sondaicus). Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Oka, L., 2002. Performance of Bali Heifers and Calves prior to Weaning in Feedlot System. Working Papers:

Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Pane, I., 1991. Produktivitas dan Breeding Sapi Bali. Proceeding Seminar Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang,

2-3 September 1991. Ujung Pandang: Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, p: 50-69.

Pengelly, B.C., dan S.N. Lisson, 2002. Strategies for Using Improved Forages to Enhance Production in Bali

Cattle. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Sukmasari, A.H., R.R. Noor, H. Martojo, C. Talib., 2002. Pendugaan Nilai Pemuliaan dan Kecenderungan

Genetika Bobot Badan Sapi Bali di Proyek Pembibitan dan Pengembangan Sapi Bali. Hayati, Vol. 9,

No.4. Desember, 2002. hal. 109-113.

Supriyantono, A., L. Hakim, Suyadi and Ismudiono, 2011. Breeding Programme Development of Bali Cattle at

Bali Breeding Centre. Journal of Animal Production.

Toelihere, M.R., 2002. Increasing the Success Rate and Adoption of Artificial Insemination for Genetic

Improvement of Bali Cattle. Working Papers: Bali Cattle Workshop. Bali, 4-7 February 2002.

Van Asch R.G., G. Morris, M. McEvoy, A. Kilgour, P. Packard, and M. Cooper, 1990. Draft Final Report:

Review of the Bali Cattle Breeding and Development Project. The New Zealand Ministry of External

Relations and Trade. New Zealand.

Van der Werf, J., 1999. Livestock straight-breeding system structures for the sustainable intensification of

extensive grazing system. In: workshop on developing breeeding strategies for lower input animal

production environments. Ed.: Galal, S., J. Boyazoglu and K. Hammond. Bella, Italy, 22-25

September 1999. P. 105-177.

Page 131: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

124

Warwick, E.J., J.M. Astuti dan W. Hardjosubroto. 1990. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta.

Page 132: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

125

Makalah 023

Hubungan False Mounting dengan Kualitas Semen Sapi Bali Produksi Balai

Inseminasi Buatan Daerah di Bengkulu

Tatik Suteky, Dwatmadji dan Ronal Ambar Surau Iman

Jurusan Peternakan – Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu

[email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi hubungan antara jumlah false mounting dengan

kualitas sperma Sapi Bali. Penelitian dilaksanakan di Balai Inseminasi Buatan Daerah Propinsi

Bengkulu. Sebanyak 45 ejakulat di koleksi dari 3 ekor sapi Bali dengan berat badan berkisar antara

584-662 kg. Parameter yang diamati adalah jumlah false mounting, pemeriksaan makroskopis yang

meliputi (volume, warna, kekentalan dan pH) dan pemeriksaan mikroskopis (gerakan masa, sperma

hidup dan motil, gerakan individu, konsentrasi), serta jumlah straw yang di produksi per ejakulat.

Hasil penelitian menunjukkankan bahwa volume semen berkisar antara 6,05 + 1,04 ml (5,5-6,4),

warna kream, motilitas massa skore 2, sperma yang motil 70-74,1%, konsentrasi 650-875 juta/ ml

(772,23 + 141) juta/ml- dan rataan total sperma per ejakulat sebanyak 4772,88 + 1409 juta . Hasil

penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara jumlah false mounting dengan total

spermatozoa per ejakulat dan total sperma motil. Kualitas semen terbaik jumlah straw yang di

produksi tergantung dari volume, kekentalan sperma, sperma hidup dan konsentrasi.

Kata kunci: false mounting, sapi Bali, kualitas semen.

Pendahuluan

Fertilitas pejantan merupakan faktor terpenting dalam menjaga keberlanjutan produktivitas

ternak (Kastelic, 2013). Koleksi dan evaluasi semen merupakan salah satu metode yang dapat

dipergunakan untuk mengetahui fertilitas pejantan (Ramsiyati et al., 2004). Menurut Feradis (2010)

tujuan evaluasi semen adalah selain untuk mengetahui kualitas semen, sekaligus bisa menghitung

jumlah bahan pengencer yang dibutuhkan dan jumlah straw yang dapat dihasilkan dalam proses

pembekuan semen. Kualitas semen sangat dipengaruhi oleh genetik, lingkungan dan manajemen

(Mathevon et al., 1998), sexual behaviour (Singh et al., 2015). Sementara Prasetyo et al. (2013)

menyatakan faktor yang dapat mempengaruhi kualitas semen adalah genetik, interval koleksi, pakan,

temperatur/iklim dan juga false mounting. Hale dan Almquist (1960) melaporkan bahwa satu false

mount mampu meningkatkan konsentrasi sperma sebesar 50 % dan dua false mount menyebabkan

peningkatan konsentrasi dua kali lipat konsentrasi sperma yang diperoleh tanpa pengekangan.

Mardiyah et al. (2001) melaporkan bahwa 2 false mounting pada sapi Friesian Holstein (FH)

berpengaruh terhadap volume tampung dan konsentrasi semen segar yang di koleksi. Menurut

Menegassi et al. (2011) menyatakan perilaku seksual termasuk false mounting dipengaruhi oleh

interaksi sosial, genetik, lingkungan, pakan, hormonal, umur dan pengalaman.

Unit Pembibitan Ternak Daerah-Bengkulu di dirikan tahun 1980 dengan tujuan untuk

memenuhi sumber bibit di Bengkulu. Tahun 2008 berdasarkan Peraturan Gubernur No 22 dibentuk

Balai Inseminasi Buatan Daerah untuk memenuhi kekurangan semen beku di propinsi Bengkulu.

Tahun 2010 BIBD-Bengkulu mulai memproduksi semen cair dan tahun 2013 memproduksi semen

beku, uji coba implementasi semen beku produksi BIBD-Bengkulu dilakukan pada bulan November

2014 dengan kode produksi BIBD-Bengkulu 177101

Balai Inseminasi Buatan Daerah Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Peternakan dan

Kesehatan Hewan Provinsi Bengkulu mempunyai peranan besar dalam penyediaan semen beku sapi

Bali demi memenuhi permintaan masyarakat akan semen beku. Agar semen beku yang dihasilkan

terjamin ketersediaanya baik secara kualitas maupun kuantitas, maka tersedianya pejantan Bali yang

Page 133: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

126

unggul dan tampilan prestasi reproduksi yang baik sangatlah diperlukan. Sebagai BIBD yang baru

berbagai aspek yang dapat mempengaruhi kualitas semen beku yang di produksi harus diteliti.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan false-mounting dengan kualitas semen.

Materi dan Metode

Penelitian dilakukan di Balai Pembibitan Ternak Daerah Provinsi Bengkulu, semen segar

berasal dari 3 sapi Bali yang berumur 5-6 tahun dengan berat badan 584-662 kg. Penelitian

dilaksanakan pada bulan Agustus–Oktober 2015 dan Januari-Mei 2016. Data berasal dari pengamatan

langsung dan data sekunder yang berasal dari catatan produksi dan evaluasi semen di BIBD-Bengkulu.

Penampungan semen dengan metode vagina buatan dan dilakukan pada pagi hari pukul 07.00-

07.30 WIB sesuai jadwal penampungan yang dilakukan oleh BIBD-Bengkulu, yakni satu kali

penampungan dalam seminggu.

Parameter yang diukur:

1. Jumlah false mounting: jumlah penunggangan yang dilakukan oleh pejantan pada teaser diamati

dengan cara membawa pejantan mendekati teaser lalu membawanya pergi lagi, kemudiann

membiarkan pejantan itu menaiki teaser tetapi tidak ditampung semennya.Diamati dengan cara

menghitung banyaknya pengekangan pada pejantan saat menunggangi teaser sebelum ejakulasi

pertama (Toelihere, 1993).

2. Evaluasi semen: Evaluasi semen segar dilakukan secara makroskopis meliputi: volume, konsistensi

(kekentalan), warna, dan pH. Sedangkan penilaian secara mikroskopis diantaranya gerakan massa

dan individu, konsentrasi, dan % pergerakan progresif. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif

sementara pengaruh jumlah false mounting terhadap parameter kualitas semen di analisis dengan

korelasi Pearson.

Data di tabulasi beberapa parameter di analisis secara deskriptif, untuk mengetahui hubungan

antar parameter yang diukur di lakukan uji korelasi dan regresi dengan menggunakan program SPSS

versi 16.

Hasil dan Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan karakteristik semen sapi Bali pada penelitian ini adalah, volume

semen 6,05 + 1,04 ml, warna kream, motilitas massa skore 2, sperma yang motil 70-74,1%,

konsentrasi 772,23 + 141 dan rataan total sperma per ejakulat sebanyak 4772,88 + 1409. Hasil analisis

regresi menunjukkan ada hubungan yang significant (P<0,05) antara jumlah false mounting dengan

volume dan konsentrasi semen dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,348 sedang koefisien

determinasi (R2) sebesar 0,121. Tabel 1 memperlihatkan ada kecenderungan peningkatan volume

semen sampai false mounting ke 4 , kemudian fluktuatif turun pada false mounting ke 5 dan naik lagi

pada false mounting ke 6. Rataan volume semen pada penelitian ini berkisar antara 5,55-6,40

ml/ejakulasi. Pada penelitian sebelumnya Suteky et al. (2017) melaporkan volume semen sapi Bali

berkisar antara 5,4-7 ml, 5-8 ml (Feradis, 2010), 5,26±0,99 ml (Salmah, 2014), 5,71 (Susilawati,

2011). Arifiantini et al.(2006) dalam penelitian di UPTD Baturiti Bali melaporkan volume semen sapi

Bali berkisar antara 2,24-9,63 dengan rataan 6,3 ml. Sarsaifi et al. (2013) menemukan volume semen

sapi Bali dipengaruhi oleh metode penampungan, tetapi tidak dipengaruhi oleh kelompok umur (2-3 vs

>3-4). Aisah dkk. (2017) menemukan volume semen dipengaruhi oleh curah hujan, pada bulan

Januari ketika curah hujan tinggi volume semen sapi Bali 4,54 ml sedangkan pada bulan Juli

meningkat menjadi 6,05 ml, perbedaan ini mungkin disebabkan pengaruh hormonal.

Hasil penelitian Muada dkk (2017) menunjukkan pH berkorelasi dengan frekuensi

penampungan semen pada sapi bangsa Limousin, semakin tinggi frekuensi koleksi cenderung

menurunkan pH (asam), namum hubungan itu sangat lemah pada sapi bangsa Simental. pH semen

dalam penelitian ini berkisar antara 5,55-6,40, pH tersebut termasuk dalam kisaran normal sesuai

dengan Standar Nasional Indonesia.Warna semen dalam penelitian ini dalam kategori normal yakni

putih susu–kream kecuali pada false mounting ke 5 yang lebih bening. Warna semen sapi normal

adalah putih susu dan 10% saja yang berwarna krem/agak kekuningan (Toelihere, 1985), warna

kekuningan disebabkan oleh riboflavin yang dibawa oleh satu gen autosom resesif dan namun tidak

mempunyai pengaruh terhadap fertilitas. Feradis (2010) menambahkan bahwa semen sapi normal

Page 134: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

127

berwarna putih susu atau krem dan keruh, derajat kekeruhannya tergantung pada konsentrasi

spermatozoa atau dengan kata lain warna semen bisa berkaitan dengan konsentrasinya. Meskipun

demikian, warna bening pada semen tidak selalu mencerminkan konsentrasi sperma, hal ini diduga

disebabkan oleh banyaknya seminal plasma sehingga semen lebih terlihat bening (Khairi, 2016).

Tabel 1. Hasil pemeriksaan semen secara makroskopis

Jumlah False

Mounting (FM) Volume + sd pH + sd Warna Konsistensi

FM 2 5,55 + 0,74 6,50±0,00 3,10+ 0,61 Sedang (2) FM 3 5,95 + 0,97 6,60±0,32 3,3 0+ 0,67 Sedang (2) FM 4 6,40 + 1,16 6,66±0,41 3,6 0+ 0,42 Sedang (2) FM 5 5,60 + 1,02 7,00±0,00 2,8 0+ 0,41 Sedang (2) FM 6 6,35 + 0,78 6,37±0,25 3,40 + 0,56 Sedang (2)

Konsistensi semen sapi Bali di UPTD tidak dipengaruhi oleh jumlah false mounting, pada Tabel

1 terlihat konsistensi semen dari FM 2 sampai FM 6 memiliki skore yang sama yakni 2 atau kategori

sedang. Konsistensi dengan skore 2 telah memenuhi standar SNI 2017 untuk pembuatan semen beku.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa gerakan massa berkisar 2 sedang gerakan individu berkisar

antara 70-74,1 dengan demikian hasil ini sudah memenuhi SNI (2017) tentang syarat semen beku.

Dalam penelitian ini gerakan massa dan individu tidak dipengaruhi oleh jumlah false mounting.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan semen secara mikroskopis

Jumlah False

Mounting (FM) Gerakan massa

(skore) Gerakan

individu (%) Konsentrasi (juta

/ml) Jumlah straw

FM 2 2,0 + 0,0 70,0 + 0,0 650,8 + 167,2 95,0 + 24 FM 3 2,0 + 0,0 71, 0 + 2,1 784,6 + 115,8 96,9 ± 27,9 FM 4 2,1 + 0,4 74,1 + 5,8 875,1 + 163,5 136,3 ± 47,9 FM 5 2,0 + 0,0 70,0 + 0,0 735,7 + 97,7 99,3 ± 40,4 FM 6 2,0 + 0,0 72,5 + 5,0 777,8 + 190,4 130,7 ± 61,8

Rata-rata konsentrasi sperma dalam penelitian ini adalah sebesar 772,23 + 141 x 106 ml-1, pada

penelitian sebelumnya (Suteky dkk., 2017) melaporkan konsentrasi semen sapi Bali 600-700 x 106 ml-

1; sedangkan Ismail et al. (2016) menemukan konsentrasi sperma sapi Bali sangat bervariasi yakni 30-

710 x 106 ml-1. Selanjutnya Ismail et al. (2016) menyatakan faktor yang mempengaruhi konsentrasi

sperma adalah individu ternak. Brito et al. (2002) menyatakan bahwa persiapan sexual, umur, waktu

koleksi, waktu istiratat sebelum koleksi, Syarifuddin dkk. (2017) menemukan penambahan

suplementasi pakan dapat meningkatkan konsentrasi sperma dan motilias sperma.

Tabel 2 memperlihatkan konsentrasi semen sapi Bali cenderung meningkat dengan

meningkatnya jumlah false mounting, ada kenaikan 17% dari FM2 ke FM3, dan ada kenaikan

konsentrasi sperma 25,63% dari FM 2 ke FM4, kemudian konsentrasi sperma cenderung turun. Trend

hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan (Chenoweth and Lorton , 2014) pada sapi perah

konsentrasi sperma meningkat dari false mounting 0 ke 2 kemudian turun pada false mounting ke 3.

Berbeda dengan hasil penelitian ini, Sahin et al. (2016) menemukan korelasi yang signifikan antara

volume, konsentration dan motilitas dengan FM-0, FM-1 FM-2. Pada Tabel 2 menunjukkan jumlah

straw yang diproduksi berkisar antara 96-130, jumlah straw yang di produksi tergantung dari volume,

kekentalan, sperma motil dan konsentrasi.

Rataan total spermatozoa adalah sebanyak 4772,88 + 1409 juta dan total sperma motil

3435,21 + 1061 juta. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

significant (P<0,05) antara jumlah false mounting dengan volume, konsentrasi, total spermatozoa, dan

total sperma motil dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,401 sedang koefisien determinasi (R12)

sebesar 0,161. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Rokhona (2008) yang menemukan

hubungan yang sangat nyata (significant) antara jumlah false mounting dengan total spermatozoa

motil pejantan sapi Madura.

Page 135: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

128

Grafik. Total sperma dan total sperma motil per ejakulat

Simpulan

Kualitas semen produksi BIBD-Bengkulu memenuhi persyaratan untuk proses pembekuan

dengan volume semen 6,05 + 1,04 ml, warna kream, motilitas massa skore 2, sperma yang motil 70-

74,1%, konsentrasi 772,23 + 141 dan rataan total sperma per ejakulat sebanyak 4772,88 + 1409 juta

dan total sperma motil 3435,21 + 1061 juta. Jumlah false mounting berkorelasi dengan volume,

konsentrasi, jumlah total sperma per ejakulat dan total sperma motil.

Daftar Pustaka

Aisah S., Isnaeni N dan S Wahyuningsih. 2017. Kualitas semen segar dan recovery rate sapi Bali pada musim

yang berbeda. Jurnal Ilmu–ilmu Peternakan 27 (1): 63-79

Hale EB dan J. O Almquist. 1960.Effects of sexual preparation on sperm output, semen characteristics and

sexual activity of beef bulls with a comparison to dairy bulls. The Pennsylvania State University. JAS.

36 (2): 331-336.

Arifiantini, R. I., Wresdiyati, T., dan E.F. Retnani. 2006. Pengujian morfologi spermatozoa sapi Bali (bos

sondaicus) menggunakan pewarnaan "Williams". Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Bogor, Bogor. Jurnal Indon. Trop. Anim. Agric. 31 (2): 105-110.

Brito, L. F. C., Silva, A. D. E. F., Rodrigues, L. H., Vieira, F. V., Deragon, A. G., & Kastelic, J. P. 2002. Effect

of Environmental Factors, Age and Genotype on Sperm Production and Semen Quality of B. indicus

and B. taurus AI bulls in Brazil. Theriogenology, 70:181-190.

Chenoweth PJ and S Lorton. 2014. Animal Andrology: Theories and Applications. www.CABI.org

Feradis. 2010. Bioteknologi reproduksi pada ternak. Alfabeta, Bandung.

Ismail MI., FA Zainalabidin, MH Mail, SRM Nor, Loo Shu San, FF Jaffa, P Abdullah D Yusof, AW Haron

and

AM Othman. 2016. Assessment of Fresh Semen Quality of Domesticated Banteng (Bos

Javanicus D’alton, 1823) In Sabah, Malaysia.

Kastelic JP. 2013. Male involvement in fertility and factors affecting semen quality in bulls. Animal Frontier

3(4): 20-25.

Khairi, F. 2016. Evaluasi Produksi dan Kualitas Semen Sapi Simmental Terhadap Tingkat Bobot Badan Berbeda.

Jurnal Peternakan. 13 (2) : 54-58

Mardiyah, E., Suarida, I., Pustaka, I. K., dan R. Hernawati. 2001. Penampungan dan Evaluasi mutu semen sapi

dengan vagina buatan. Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Mathevon N., MM Buhrj and CM Dekkers. 1998. Environmental, Management and Genetc Factors affecting

semen Production in Holstein. Journal of Dairy Science 8 (12):3321-3330.

Menegassi, S. R. O., J. O. J. Barcellos, V. Peripolli, and C. M. Camargo. 2011. Behavioral assessment during

breeding soundness evaluation of beef bulls in Rio Grande do Sul. Animal Reproduction. 8:77-80

FM2 FM3 FM4 FM5 FM6

3612,4

4649,15347,7

4199,9

5585,7

Total spermatozoa (106 )

Total Spermatozoa Total Spermatozoa motil

Page 136: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

129

Muada DB, U Paputungan, MJH Santie dan H. Turanga. 2017. Karakteristik Semen Segar Sapi Bangsa

Limousin Dan Simmental Di Balai Inseminasi Buatan Lembang. Jurnal Zootek. 2017.( 37) 2 : 360-

369.

Prasetyo, A. A., Tagama, T. R., dan D. M. Saleh. 2013. Kualitas semen segar sapi simmental yang dikoleksi

dengan interval yang berbeda di Balai Inseminasi Buatan Lembang. Fakultas Peternakan Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3):907-913.

Ramsiyati, D. T., Sriyana, dan B. Sudarmadi. 2004. Evaluasi kualitas semen sapi potong pada berbagai umur di

peternakan rakyat. Loka penelitian sapi potong. Prosiding temu teknis nasional tenaga fungsional

pertanian, Pasuruan.

Rokhana, E. 2008. Hubungan antara jumlah false mounting dengan produksi semen pejantan sapi madura.

Penerbit Cendekia. Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Islam Kadiri, Jawa timur.

Sahin D., I Baştan, K Tekin, C Stelletta, H Kinet, E Aakçay, A Daşkin. 2016. The number of false mounting

effect on sperm quality andFreeze-ability in bulls.

Salmah, N. 2014. Motilitas, Persentase hidup dan abnormalitas spermatozoa semen beku sapi Bali pada

pengencer andromed dan tris kuning telur. Skripsi Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin,

Makasar.

Sarsaifi K, Y Rosnina, MO Ariff , H Wahid , H Hani , N Yimer , J Vejayan , S Win Naing and MO Abas. 2013.

Effect of Semen Collection Methods on the Quality of Pre- and Post-thawed Bali Cattle (Bos

javanicus ) Spermatozoa. Reproduction in Domestic Animals 48 (6): 1006-1012

Singh S, M. Bhakat, T. K. Mohanty, A. Kumar, A. K. Gupta, A. K. Chakravarty and P. Singh. 2015. Sexual

behavior and its relationship with semen quality parameters in Sahiwal breeding bulls. Veterinary

World 8: 745-749

Standar Nasional Indonesia (SNI). 2017. Semen beku sapi. 01-4869.1-2005.

Susilawati. T. 2011. Spermatologi. UB Press, Malang

Suteky T., Sutriyono, Dwatmadji dan MI Sholihin. 2017. Kualitas Semen produksi UPTD Bengkulu dan tingkat

keberhasilan Inseminasi pada Sapi Bali dan Peranakan Simental di Bengkulu. Jurnal Sain Peternakan

Indonesia 12 (2): 221-229.

Syarifuddin NA, A. L. Toleng D. P. Rahardja, Ismartoyo and M. Yusuf. 2017. Improving Libido and Sperm

Quality of Bali Bulls by Supplementation of Moringa oleifera Leaves. Media Peternakan. 40(2):88-

93

Toelihere, M.R., 1993. Inseminasi Buatan padaTernak. Penerbit Angkasa. Bandung

Page 137: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

130

Makalah 024

Akurasi Pendugaan Bobot Badan Sapi Bali (Bos Javanicus) Umur Satu Tahun

Menggunakan Rumus Schoorl, Smith dan Winter

Ainun Rasyid Hariansyah1, Afif Raharjo1, Ahmad Zainuri1, Yudi Parwoto2, Dwi Prasetiyo2,

Sigit Prastowo1, Nuzul Widyas1

1Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta

2Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Denpasar Bali

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tingkat akurasi pendugaan bobot badan (BB) Sapi

Bali menggunakan rumus Schoorl, Smith dan Winter yang dibandingkan dengan BB hasil

penimbangan. Sebanyak 454 ekor Sapi Bali berumur satu tahun yang dipelihara di Balai Pembibitan

Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar digunakan dalam penelitian ini.

Data BB (kg) Sapi Bali diperoleh dengan cara penimbangan, selain itu juga diukur data vital statistik

(cm) meliputi ukuran Lingkar Dada (LD) dan Panjang Badan (PB). Bobot badan Sapi Bali diduga

dengan menggunakan rumus Schoorl, Smith dan Winter, selanjutnya akurasi dihitung dengan

membandingkan dengan badan hasil penimbangan. Hasil penelitian diperoleh, rata-rata BB hasil

penimbangan, LD dan PB adalah berturut-turut 116,70±16,37 kg; 115,87±9,04 cm dan 90,45±7,52 cm.

Hasil pendugaan BB dengan rumus Schoorl, Smith dan Winter berturut-turut adalah 190,90±24,67 kg;

180,00±23,94 kg dan 109,1±21,9 kg, sedangkan hasil perhitungan akurasi berturut-turut sebesar 0,55;

0,55 dan 0,65. Berdasar hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa, ketiga rumus yang digunakan untuk

menduga BB Sapi Bali kurang akurat, hal demikian dikarenakan Sapi Bali termasuk sapi berukuran

kecil sehingga tidak cocok diduga menggunakan rumus untuk sapi ukuran besar.

Kata Kunci : rumus Schoorl, rumus Smith, rumus Winter, bobot badan, Sapi Bali

Pendahuluan

Penentuan harga jual sapi ditentukan oleh bobot badan. Bobot badan sapi dapat diketahui

dengan cara penimbangan, namun dalam situasi dan kondisi tertentu penimbangan sulit dilakukan apa

bila peternak tidak memiliki alat timbang seperti pada peternakan rakyat. Sapi bali yang memiliki

tempramen agresif menjadikan kendala bagi peternak dalam melakukan penimbangan bobot badan

(Guntoro, 2012). Ukuran timbangan sapi yang besar menyulitkan mobilitas dalam proses pemindahan

timbangan apabila ingin dipindahkan lokasi lain. Sapi bali di beberapa daerah diternakan dengan cara

diumbar sehingga mobilitas menjadi faktor yang penting. Oleh sebab itu dibutuhkan cara lain yang

praktis untuk melakukan estimasi bobot badan seekor ternak. Metode pendugaan dapat digunakan

sebagai alternatif dalam mengukur bobot badan Sapi Bali.

Pendugaan bobot badan tenak bisa dilakukan dengan menggukan dimensi ukuran tubuh. Ukuran

tubuh meliputi lingkar dada (LD), tinggi gumba (TG) dan panjang badan (PB) (Santosa, 2008). Pada

beberapa penelitian menjelaskan adanya hubungan antara dimensi ukuran tubuh pada sapi dengan

bobot badannya, sehingga dihasilkan suatu formula untuk mengestimasi bobot badan pada umur dan

jenis kelamin tertentu (Sumadi et al., 2001; Maskyadji, 1997; Clufran, 1976; Saleh, 1982). Bobot

badan memiliki kolerasi positif terhadap panjang badan (r = 0,90) dan juga lingkar dada (r = 0,96)

(Francis et al, 2002).

Menurut Zurahmah (2011), dikenal beberapa rumus untuk mengestimasi bobot badan pada sapi,

yaitu rumus dari Schoorl, Winter, dan Smith. Ketiga rumus tersebut dapat digunakan untuk menduga

bobot badan sapi, kambing, domba, babi dan kerbau (Badriyah, 2014). Diantara rumus-rumus

pendugaan bobot badan tersebut, rumus schoorl diperkirakan sebagai rumus yang paling akurat

terhadap bobot badan ternak sebenarnya (Badriyah, 2014). Namun menurut Akbar (2008) formula-

formula tersebut memiliki kelemahan karena sifatnya yang umum dan tidak spesifik terhadap satu

Page 138: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

131

bangsa sapi. Tujuan penelitian ini adalah melihat tingkat akurasi dari rumus Schoorl, Winter, dan

Smith terhadap bobot badan aslinya dengan menggunakan korelasi.

Materi dan Metode

Materi dalam penelitian ini menggunakan Sapi Bali sebanyak 454 ekor pada umur satu tahun.

Data recording Sapi Bali yang digunakan berupa bobot badan dan dimensi ukuran tubuh yang meliputi

panjang badan dan lingkar dada. Data rekording diperoleh dari tahun 2010 sampai dengan 2014

meliputi sapi jantan dan betina yang dipelihara di Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan

Ternak (BPTU-HPT) Denpasar.

Variabel yang digunakan berupa bobot badan yang diambil dengan cara penimbangan ternak

menggunakan timbangan ternak digital berkapasitas 1.000 kg, untuk dimensi tubuh panjan badan (cm)

diambil dengan mengukur jarak antara sendi bahu (later tuberosity of humerus) sampai ke tepi

belakang tulang pelvis dengan menggunakan tongkat ukur dan lingkar dada (cm) diambil dengan cara

melingkarkan pita ukur mengikuti lingkar dada atau tubuh di belakang bahu.

Analisis data menggunakan korelasi untuk mencari hubungan antara prediksi bobot badan

menggunakan rumus schoorl, smith dan winter dengan bobot badan hasil penimbangan. Persamaan

rumus schoorl, smith dan winter sebagai berikut :

a. Rumus Schoorl

BB (kg)= (LDcm+22)

2

100

b. Rumus Smith

BB (kg)= (LDcm+18)

2

100

c. Rumus Winter

BB (pound)= PBinchi+ LDinchi

2

300

Akurasi rumus pendugaan dicari dengan menggunakan korelasi pearson, dengan mencari nilai r

dari rumus pendugaan terhadap bobot badan hasil penimbangan. Korelasi bisa dianggap menjadi

akurasi karna korelasi digunakan untuk mencari hubungan persamaan dari suatu model.

Hasil dan Pembahasan

Dimensi ukuran tubuh ternak yang terdiri dari LD dan PB bisa dijadikan sebagai penentu

pertumbuhan ternak (Santosa ,2008), bertambahnya umur ternak semakin bertambah pula dimensi

ukuran tubuh ternak yang berpengaruh terhadap bobot badan ternak. Umur satu tahun merupakan

tahapan dimana ternak sudah tidak bergantung lagi dengan induknya atau mandiri sehingga performa

yang didapatkan berasal faktor genetik serta lingkungannya dan pada tahapan ini pertumbuhan ternak

sudah mulai stabil.

Hubungan antara demensi ukuran tubuh dengan BB membuat dimensi ukuran tubuh dapat

digunakan sebagai pendugaan BB. Penggunaan dimensi ukuran tubuh ternak dianggap lebih mudah

dikarenakan alat pengukuran praktis di lapangan. Sehingga dengan data ukuran tubuh saja kita bisa

menduga BB ternak. Hasil penelitian diperoleh untuk rata-rata BB hasil penimbangan pad sapi adalah

116,70±16,37 kg, BB pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan

pada Sapi Bali oleh Kaswati et al. (2013) yaitu 131,12 ± 25,50 kg penelitian lain oleh Praharani (2007)

didapat 139,5 kg dan penelitian oleh Suranjaya et al (2010) pada jantan 150,78 ± 6,55 kg dan pada

betina 147,42 ± 6,60 kg untuk jenis ternak yang sama.

Hasil penelitian untuk dimensi ukuran tubuh LD diperoleh rata-rata 115,87±9,04 cm, sedangkan

pada penelitian yang lain pada jenis ternak yang sama oleh Zurahmah dan Enos (2011) didapat 138,84

cm untuk umur 1,5 - 2 tahun dan untuk SNI pada Sapi Bali umur 1.5 – 2 tahun kelas I adalah 155 cm ,

kelas II adalah 147 cm dan kelas III adalah 142 cm pada ternak jantan sedangkan untuk ternak betina

kelas I adalah 139 cm , kelas II adalah 130 cm dan kelas III adalah 124 cm. Dimensi ukuran tubuh

untuk PB pada penelitian ini diperoleh rata-rata 90,45±7,52 cm, untuk hasil PB pada penelitian yang

Page 139: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

132

dilakukan oleh Zurahmah dan Enos (2011) pada jenis ternak yang sama untuk umur 1,5 - 2 tahun

didapat 100,23 cm dan untuk SNI pada Sapi Bali umur 1.5 – 2 tahun kelas I adalah 125 cm , kelas II

adalah 120 cm dan kelas III adalah 119 cm pada ternak jantan sedangkan untuk ternak betina kelas I

adalah 112 cm , kelas II adalah 105 cm dan kelas III adalah 101 cm. Hasil penelitian untuk dimensi

ukuran tubuh LD dan PB masih dibawah nilai minimum dari SNI dan juga penelitian oleh Zurahmah

dan Enos (2011) karna ternak yang digunakan masih berumur satu tahun.

Tabel 1. BB dan nilai akurasi rumus pendugaan

Rumus Pendugaan BB Aktual (kg) BB Prediksi (kg) Akurasi

Schoorl 116,70±16,37 190,90±24,67 0,55

Smith 116,70±16,37 180,00±23,94 0,55

Winter 116,70±16,37 109,1±21,9 0,65

Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan penggunaan rumus Schoorl, Smith dan

Winter kurang akurat terhadap berat badan sapi Bali umur 1 tahun. Sapi Bali merupakan sapi

berukuran kecil sehingga tidak cocok diduga menggunakan rumus untuk sapi ukuran besar.

Daftar Pustaka

Akbar, M. 2008. Pendugaan bobot badan sapi persilangan Limousin berdasarkan panjang badan dan lingkar

dada. Skripsi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang.

Badriyah, N. 2014 Kesesuaian Rumus Schoorl Terhadap Bobot Badan 2 99–158

Clufran. 1976. Korelasi antara berat hidup dengan lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba sapi Bali

kualitas ekspor asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Skripsi, Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta.

Francis, S. Sibanda, and T. Kristensen. 2002. Estimating body weight of cattle using linear body measurements.

Zimbabwe Veteriner Journal.

Guntoro, Suprio. 2012. Membudidayakan Sapi Bali. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Maskyadji, A.S.Z.Z. 1997. Pertumbuhan dan penentuan output sapi Madura dari Pulau Madura. Tesis, Fakultas

Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Saleh, A.R. 1982. Korelasi antara bobot badan dengan lingkar dada, lebar dada, tinggi pundak, panjang badan

dan dalam dada sapi Ongole di Pulau Sumba. Karya Ilmiah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian

Bogor, Bogor

Santosa, U. 2008. Mengelola Peternakan Sapi Secara Profesional. Penebar Swadaya. Jakarta. 179 halaman

Sumadi, W. Hardjosubroto, N. Ngadiyono, dan S. Prihadi. 2001. Potensi sapi potong di Kabupaten Sleman:

analisis dari segi pemuliaan dan produksi daging. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan, Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

Zurahmah, N., & The, E. (2011). Pendugaan bobot badan calon pejantan sapi bali menggunakan dimensi ukuran

tubuh, 35(3), 160–164.

Page 140: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

133

Makalah 025

Studi Karakteristik Fenotip Empat Galur Puyuh Lokal Di Eks Karisedenan Surakarta

Abubakar BAA Assegaf, Ratih Dewanti, Muhammad Cahyadi, Nuzul Widyas1

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Surakarta 1Corresponding author email: [email protected]

Abstrak

Puyuh (Coturnic coturnic japonica) potensial sebagai komoditas penghasil telur dan daging

serta sebagai hewan eksperimen. Di eks-karesidenan Surakarta, puyuh petelur komersial berasal dari

persilangan dua jenis puyuh yaitu puyuh coklat jantan dan puyuh hitam betina. Tujuan persilangan

adalah autosexing dengan memanfaatkan fenomena criss-cross inheritance. Penelitian ini bertujuan

untuk mempelajari karakteristik fenotip dari masing-masing galur puyuh hitam dan coklat dari dua

breeding center (VBC) yang berbeda.

Delapan ratus ekor puyuh betina dari dua VBC dan warna bulu yang berbeda digunakan dalam

penelitian ini. Faktor warna dan VBC dikombinasikan untuk membertuk empat galur artifisial: H1

(puyuh hitam VBC1), C1 (puyuh coklat VBC1), H2 (puyuh hitam VBC2), C2 (puyuh coklat VBC2)

dimana masing-masing galur terdapat 100 individu puyuh. Karakteristik fenotip yang diamati adalah

bobot badan umur 1 minggu, bobot badan umur 10 minggu, berat telur (gram) dan produksi telur (%).

Analisis variansi dan Tukey’s range test dengan level signifikansi 5% digunakan untuk menguji

hipothesis bahwa keempat galur memiliki karakteristik fenotip yang sama.

Hasil analisis menunjukkan galur artificial memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot

badan satu minggu, produksi telur dan berat telur (p<0,05) sedangkan bobot dewasa (10 minggu) antar

galur relatif setara. Secara umum, puyuh coklat memiliki berat tubuh umur satu minggu yang lebih

besar daripada puyuh hitam. Puyuh coklat juga memiliki bobot telur yang lebih besar dari pada puyuh

hitam. Produksi telur dari VBC 2 lebih tinggi daripada puyuh dari VBC1.

Kata kunci: puyuh hitam, puyuh colkat, petelur, galur murni, fenotip

Pendahuluan

Puyuh merupakan suatu komoditas ternak yang digemari di Indonesia yang memanfaatkan

produksi telurnya untuk dikonsumsi, selain memiliki produksi yang baik, telur puyuh relatif murah,

yang dapat dijangkau oleh berbagai kalangan. Keuntungan lain untuk burung puyuh adalah mulai

berproduksi dalam waktu singkat, memerlukan modal yang relatif tidak terlalu besar, mudah dan dapat

dipertahankan pada lahan yang terbatas serta dapat diintegrasikan dengan ternak lainnya (Wheindrata,

2014).

Banyak puyuh yang tersebar di seluruh Indonesia adalah puyuh-puyuh hasil persilangan antar

keturunannya informasi tersebut didapatkan dari hasil observasi pra penelitian dan wawancara dengan

para peternak. Menurut Golden et al. (2002) para peternak di lapangan sampai saat ini belum ada

breeding farm atau perusahaan khusus pembibitan puyuh kemersial sebagaimana halnya ternak ayam.

Untuk mengatasi kelangkaan bibit para peternak melakukan penetasan telur milik sendiri. Namun

upaya tersebut tidak diiringi dengan suatu program yang terencana dan terarah dengan baik.

Puyuh yang terdapat di eks-Karesidenan Surakarta terdiri dari dua galur yang dianggap murni,

yaitu puyuh galur warna hitam dan galur puyuh warna coklat. Karakteristik perbedaan warna bulu ini

sangat mudah dibedakan, sehingga perkawinan silang dilakukan untuk membentuk galur komersil.

Persilangan puyuh warna coklat dan hitam ini bertujuan selain untuk menghindari inbreeding juga

untuk mempermudah melakukan sexing sedini mungkin, karena dengan persilangan ini akan

menampilkan fenomena criss – cross inheritance sehingga sexing dapat dilakukan pada hari pertama

telur menetas.

Page 141: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

134

Berdasarkan hasil wawancara dengan para peternak puyuh pada saat pra penelitian didapatkan

informasi bahwa sampai saat ini belum terdapat standar yang jelas untuk puyuh dengan galur warna

hitam dan coklat. Berdasarkan informasi tersebut penelitian ini dilakukan untuk mengetahaui fenotip

dan karakteristik puyuh hitam dan coklat. Selain itu dilakukan pengecekan terhadap variasi, fenotip,

puyuh hitam dan coklat melalui kluster tiap tiap galurnya.

Materi dan Metode

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juli – Desember 2017. Pengambilan data

dilaksanakan di Kandang Experimental Farm Program Studi Peternakan, Kelurahan Jatikuwung,

Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 100 ekor puyuh betina umur 1 minggu

dengan 4 galur yang berbeda. Definisi galur dalam penelitian ini adalah kombinasi antara 2 bangsa

puyuh (hitam dan cokelat) yang berasal dari dua Village Breeding Center (VBC) yang berbeda.

Analisis data menggunakan uji anova dengan rancangan acak lengkap dengan galur sebagai

factor sebanyak 4 level. Uji lanjut pada penelitian ini menggunakan Tukey’s range test dengan alpha

5%.

Hasil dan Pembahasan

Tabel 1. Nilai Fenotiptik Puyuh dari Empat line yang Berbeda pada Kandang Koloni

Variabel H1 C1 H2 C2 P value

Bobot Badan Minggu 1 23.322 22.226 34.385 32.289 < 0,01

Bobot Badan Minggu 10 167.749 164.234 168.071 171.324 0.3892

Berat Telur 9.094 10.667 9.300 10.857 < 0,01

Produksi Telur (%) 65.256 68.209 72.244 72.343 < 0,01

Bobot Badan 1 Minggu

Rataan bobot badan pada umur 1 minggu penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel

1. dapat dilihat bobot badan pada umur 1 minggu pengamatan yang tertinggi adalah pada line H2

dengan nilai 34.385 g dan terendah pada line C1 dengan nilai 22.226 g. Hasil penelitian ini lebih tinggi

dibandingkan dengan hasil penelitian Bakrie et al (2011) yang menunjukan bobot badan umur 1

minggu 18.80 g. selain itu hasil penelitian Fauzi et al (2016) menunjukan bobot badan puyuh betina

umur 1 minggu 19,29 g.

Hasil penelitian menunjukan hasil yang berbeda pada vbf 1 dan vbf 2. Warna bulu coklat dan

hitam dari vilage breeding center 1 menunjukan hasil yang lebih tinggi dari pada vilage breeding farm

2. Hal tersebut mungkin terjadi disebababkan oleh perbedaan manajemen baik dalam hal pakan,

kandang atau perbedaan lingkungan. Selain itu perbedaan itu terjadi disebabkan oleh perbedaan

potensi genetik yang meliputi lama seleksi, proses seleksi atau kriteria seleksi.

Bobot Badan 10 Minggu

Rataan bobot badan pada umur 10 minggu penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan

tabel 1. dapat dilihat bobot badan pada umur 10 minggu pengamatan yang tertinggi adalah pada line

C2 dengan nilai 171.324g dan terendah pada line C1 dengan nilai 164.234 g. Hal ini tidak sesuai

dengan Shanaway (1994) yang menyatakan bobot badan dewasa puyuh betina sekitar 120 – 160 g. Hal

ini juga tidak sesuai dengan hasil penelitian Yassin et al (2017) yang menunjukan bobot badan puyuh

umur 10 mingu dengan warna bulu coklat 210.48 g dan hitam 208.71 g.

Hasil penelitian menunjukan hasil yang tidak berbeda pada empat line puyuh.. Hal tersebut

terjadi karena pertumbuhannya sudah stabil. Puyuh dewasa tubuh pada saat umur 6 minggu (Rendall

et al , 2008) sehingga pada umur 10 minggu pertumbuhan tidak difokuskan pada pertambahan bobot

badan melainkan beralih pada bobot telur dan produksi telur. Hal ini menolak pernyataan bahwa

terdapat perbedaan potensi genetik yang terdapat pada asumsi bobot badan 1 minggu.

Page 142: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

135

Bobot Telur

Rataan bobot telur penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat bobot

telur pengamatan yang tertinggi adalah pada line C2 dengan nilai 10.857 dan terendah pada line H1

dengan nilai 9.094 g. Hal ini sesuai dengan Yuwanta (2010) yang menyatakan bahwa bobot telur

puyuh berkisar antara 8–10 g.

Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Islam et al (2014) dan Faruque (2013) yang

menyatakan bahwa bobot telur puyuh warna coklat lebih tinggi dibandingkan dengan bobot telur

puyuh warna hitam. Hal ini diduga karena puyuh dengan warna bulu coklat memiliki genetis yang

lebih baik dibandingkan pada puyuh hitam. Hal ini memungkinkan terdapat perbedaan potensi genetik

antara dua warna bulu pada puyuh.

Produksi Telur

Rataan produksi telur penelitian disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel 1. dapat dilihat

produksi telur pengamatan yang tertinggi adalah pada line C2 dengan nilai 72.343 % dan terendah

pada line H1 dengan nilai 65.256 %. Data yang diambil pada variabel produksi telur berasal dari

perhitungan jumlah telur dalam sehari dibagi jumlah puyuh dikali 100%. Data yang diambil pada

produksi hari ke 45 sampai 51. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Wuryadi (2011) bahwa Rata-

rata produksi telur dalam satu populasi berkisar 78–85%.

Hasil penelitian menunjukan hasil yang berbeda pada vbf 1 dan vbf 2. Warna bulu coklat dan

hitam dari vilage breeding center 2 menunjukan produksi telur yang lebih tinggi dari pada vilage

breeding center 1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perbedaan potensi genetik antara vbc

1 dan vbc 2. Selain itu produksi telur puyuh berwarna bulu coklat memiliki produksi telur yang lebih

tinggi dari pada puyuh berwarna hitam. Hal ini mengidentifikasikan bahwa benar terdapat perbedaan

genetik dari puyuh warna bulu coklat dan hitam.

Simpulan

Pada variabel bobot badan 1 minggu vbc 2 memiliki bobot badan yang lebih tinggi akan tetapi

pada bobot badan 10 minggu niilainya tidak berbeda nyata. Pada variabel bobot telur dan produksi

telur puyuh warna bulu coklat memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan warna bulu hitam baik

pada vbc 1 dan vbc 2.

Daftar Pustaka

Bakrie, B., Manshur, E. dan Sukadana, I.M. 2011. Pemberian Berbagai Level Tepung Cangkang Udang Ke

Dalam Ransum Anak Puyuh Dalam Masa Pertumbuhan (Umur 1-6 Minggu). Universitas Respati

Indonesia. Jakarta.

Faruque, S., H. Khatun, M. S. Islam and M. N. Islam. 2013. Conservation and improvement of quail.

Proceedings of the Annual Research Review Workshop-2013, BLRI, Savar, Dhaka, Bangladesh. pp. 37-

38.

Fauzi, M. F., Anang, A. dan Sujana, E. 2016. Kurva pertumbuhan puyuh (cortunix cortunix japonica) Betina

umur 0-6 Minggu galur warna coklat generasi 3. Universitas Padjajaran. Bandung.

Golden, B.L., Bourdon, R.M. and Snelling, W.M. 2002. Additive Genetic Groups For Animals Evaluated In

More Than One Breed Association National Cattle Evaluation. J. Poultry science Department of Animal

Sciences, Colorado State University. Fort Collins 80523.

Islam, M.S., Faruque, S., Khatun, H. and Islam, M.N. 2014. Effects Of Quail Genotypes On Hatchability Traits,

Body Weight And Egg Production. Poultry Production Research Division, BLRI, Savar, Dhaka-1341,

Bangladesh.

Randall, M and Bolla, G, (2008), Rasising Japanese quail. Primefacts, 602: 1-5.

Shanaway, M. M. 1994. Quail Production System (A Review). Food And Agriculture Organization of the United

Nations. Rome.

Wheindrata. 2014. Panduan Lengkap Beternak Burung Puyuh Petelur. Lily Publisher. Yogyakarta. 2,3,46.

Wuryadi, S. 2011. Beternak dan Bisnis Puyuh. PT Agro Media Pustaka. Jakarta.

Page 143: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

136

Yassin, E. A., Mohamed, T. I., Ibrahim, I. H. and Abubakar, S. A. 2017. Comparative growth and production

between black and brown Japanese quail (cortunix japonica) performance under sudan conditions.

Sudan University of Science and Technology. Khartoum North.

Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Page 144: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

137

Makalah 026

Upaya Peningkatan Keamanan Pangan pada Susu Kambing melalui Pelatihan Good

Hygienic Practices Kepada Peternak Kambing Perah

Bayu Setya Hertanto, Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, Rendi Fathoni Hadi, Ari Kusuma Wati,

Charisma Dyah Ayu Nurmalasari, Lilik Retna Kartikasari

Laboratorium Industri Pengolahan Hasil Ternak, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sebelas Maret

Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Surakarta

Abstrak

Produksi susu kambing merupakan alternatif usaha peternakan yang dapat dikembangkan

untuk mendukung pemenuhan gizi dan sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. Susu mengandung

enzim-enzim yang dapat menguraikan/memecahkan beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang

akhirnya menyebabkan kerusakan pada susu sehingga susu dikategorikan sebagai pangan yang mudah

rusak (perishable food). Dilihat dari mata rantai penyediaan susu kambing segar di wilayah Sragen

umumnya dihasilkan oleh peternak kambing perah dengan skala kecil yang tergabung dalam

kelompok ternak kambing perah yang belum memprioritaskan aspek keamanan pangan, sehingga

tahapan terpenting untuk menjaga mutu dan keamanan susu kambing adalah pengawasan

pemeliharaan kambing perah dan penangan pasca panennya yang berbasis keamanan pangan. Kegiatan

pengabdian ini bertujuan untuk menerapkan prinsip good higyenic practices (GHP) di peternakan

kambing perah agar dihasilkan produk susu yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh

masyarakat. Kegiatan ini dilakukan di Kelompok Ternak Kambing Perah Taruna Mukti dan Kelompok

Wanita Tani Ngudi Rahayu yang berlokasi di Kabupaten Sragen. Pelatihan penerapan konsep

didasarkan pada hasil identifikasi titik-titik kritis pada setiap tahapan produksi susu kambing. Hasil

yang diperoleh dari kegiatan pengabdian ini adalah terdapat beberapa titik-titik kritis pada proses

pemerahan dan pengolahan susu yang menjadi sumber kontaminasi pada susu kambing yang meliputi

aspek higienis pekerja, sanitasi peralatan, dan perlakuan pemanasan susu dengan teknologi

pasteurisasi susu. dan pelatihan penerapan GHP telah dilakukan sesuai dengan observasi titik-titik

kritis pada setiap tahapan proses produksi susu kambing serta terjadi penurunan angka bakteri pada

susu.

Pendahuluan

Produksi susu kambing merupakan alternatif usaha peternakan yang dapat dikembangkan

untuk mendukung pemenuhan gizi dan sekaligus menjaga kesehatan masyarakat. Susu sebagai salah

satu pangan asal hewan yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, namun sangat

baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Susu mengandung enzim-enzim yang dapat

menguraikan/memecahkan beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan

kerusakan pada susu sehingga susu dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable

food). Selain itu, beberapa penyakit dapat ditularkan melalui susu (milk-borne disease). Oleh karena

itu, susu yang digunakan sebagai sumber nutrisi bagi manusia perlu diproteksi dari kontaminasi atau

kerusakan yang dimulai dari produksi susu sampai susu siap dikonsumsi yang dikenal sebagai konsep

safe from farm to table concepts (Giovanni, 1998).

Dilihat dari mata rantai penyediaan susu kambing segar di wilayah Sragen umumnya

dihasilkan oleh peternak kambing perah dengan skala kecil yang tergabung dalam kelompok ternak

kambing perah yang belum memprioritaskan aspek keamanan pangan, sehingga tahapan terpenting

untuk menjaga mutu dan keamanan susu kambing adalah pengawasan pemeliharaan kambing perah

dan penangan pasca panennya yang berbasis keamanan pangan. Menurut CAC (2004), pemeliharaan

kambing perah meliputi pemantauan kesehatan kambing yang akan diperah, sanitasi kandang,

kebersihan ternak, pakan, dan air, pemerahan yang higienis, kebersihan individu dan kesejahteraan

Page 145: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

138

hewan, sedangkan penanganan pasca panen meliputi kebersihan peralatan penampungan susu,

kebersihan individu, dan proses pasteurisasi susu yang tepat. Proses pemeliharaan tersebut sangat

rentang terhadap kotaminasi fisik, kimia, dan mikroorganisme terhadap susu, terutama pada tahap

pemerahan dan penanganan susu segar. Penanganan kambing dan susu di peternakan yang kurang baik

dan tidak higienis akan berdampak terhadap mutu dan keamanan susu yang dihasilkan. Oleh sebab itu,

penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di peternakan kambing sangat

penting. Penerapan Good Hygienic Practices (GHP) adalah suatu tindakan atau praktek yang

dilakukan yang berkaitan dengan persyaratan untuk memberikan jaminan terhadap keamanan

makanan (food safety) yang diproses dalam setiap tahapan produksi (CAC, 2003).

Penerapan GHP pada pemeliharaan ternak kambing meliputi aspek kesehatan ternak,

pemerahan yang higienis, kebersihan pakan, air, dan peralatan, serta higienis personal, dan aspek

penanganan pasca panen meliputi penggunaan peralatan yang higienis, dan teknik pasteurisasi susu.

Adanya penerapan tindakan atau praktek yang berbasis pada keamanan pangan pada pemeliharaan

kambing perah dan pengolahan pasca panen susu kambing merupakan langkah yang tepat untuk

menghasilkan susu yang berkualitas dan aman dikonsumsi oleh masyarakat. Kegiatan pengabdian ini

bertujuan untuk menerapkan prinsip GHP peternakan kambing perah agar dihasilkan produk susu yang

bermutu dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

Materi dan Metode

Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan identifikasi titik-titik kritis pada setiap tahapan

produksi susu kambing yang hasilnya indentifikasinya akan digunakan sebagai dasar menerapkan

Good Hygienic Practices (GHP) kepada para peternak di Kelompok Ternak Kambing Perah Taruna

Mukti dan Kelompok Wanita Tani Ngudi Rahayu yang berlokasi di Kabupaten Sragen.

Kegiatan identifikasi titik-titik kritis pada usaha produksi susu kambing mengacu pada

CAC/RCP 57-2004 yang mencakup pematauan kesehatan ternak, kebersihan area pemeliharaan dan

pemerahan kambing perah, pencegahan kontaminasi pada pakan dan air, kebersihan peralatan

perkandangan dan pemerahan, serta higienis personal, dan aspek penanganan pasca panen meliputi

penggunaan peralatan yang higienis, dan higienisasi individu. Penerapan GHP di kelompok ternak

kambing perah merupakan salah satu sistem penjaminan mutu dan keamanan pada susu segar (Gambar

1). Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah memberikan penyuluhan tentang aspek keamanan

pangan pada produksi susu kambing dan pelatihan penerapan prinsip GHP pada setiap tahapan

produksi yang masuk dalam kategori titik kritis produksi.

Hasil dan Pembahasan

Kegiatan pengabdian yang telah dilakukan di Kelompok Ternak Kambing Perah Taruna Mukti

dan Kelompok Wanita Tani Ngudi Rahayu yang berlokasi di Kabupaten Sragen adalah memberikan

pengetahuan tentang aspek – aspek good hygienic practice pada susu yang meliputi aspek keberihan

individu/peternak, kandang, ternak, pakan pemerahan, dan peralatan, dan penaganan susu. Kegiatan

ini dilakukan agar peternak memahami aktivitas produksi susu yang higienis sehingga penerapan

prinsip GHP dapat berjalan dengan baik. Kegiatan berikutnya adalah melakukan pelatihan penerapan

prinsip GHP yang didasarkan pada hasil identifikasi titik-titik kritis pada usaha produksi susu

kambing. Hasil identifikasi titik-titik kritis menemukan beberapa aktivitas peternak yang dapat

menjadi sumber kontaminasi pada susu kambing meliputi kegiatan proses pemerahan dan penanganan

susu yang meliputi aspek higienis pekerja, sanitasi peralatan, dan perlakuan pemanasan susu dengan

teknologi pasteurisasi susu.

Penerapan higienis individu

Pelatihan penerapan higienis individu pada penanganan susu yang terdiri dari kebersihan

tubuh terutama tangan dan perlengkapan higienis meliputi penutup kepala, sarung tangan, dan cairan

antiseptik. Kegiatan ini dimaksudkan agar peternak dapat memahami cara mencegah kontaminasi yang

bersumber dari individu/ peternak itu sendiri. Penggunaan penutup kepala bertujuan untuk mencegah

masuknya rambut atau kotoran dari kepala yang dapat menjadi sumber kontaminasi fisik dan

mikrobiologi pada susu. Kemudian penggunaan sarung tangan bertujuan untuk mencegah kontak

Page 146: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

139

langsung antara tangan dengan susu yang dikarenakan tangan yang tidak bersih menjadi sumber

kuman bagi susu. Selain itu, penggunaan cairan antiseptik pada tangan ditujukan untuk membiasakan

peternak untuk selalu cuci tangan sebelum melakukan aktivitas penangan susu dikarenakan seringnya

tangan berkontak langsung dengan peralatan untuk penanganan susu. Kurwijila (1998) menyatakan

semua orang yang terlibat dalam kegiatan menghasilkan susu harus menjaga kebersihan dan harus

sehat. Organisme dapat berada di tangan, pakaian, hidung, dan mulut dan dari bersin dan batuk

sehingga produsen susu harus memiliki kesehatan yang baik sehingga mereka tidak menjadi sumber

penyakit menular seperti tuberkulosis.

Penerapan sanitasi peralatan

Pelatihan selanjutnya adalah sanitasi peralatan baik pada saat pemerahan maupun penanganan

susu. Penggunaan alat yang tidak mengkontaminasi susu sebagai bagian dari upaya untuk menghasil

susu yang baik. Peternak diberikan contoh peralatan yang tidak mengkontaminasi susu yang

digunakan dalam proses pemerahan dan penaganan susu. Peralatan yang digunakan harus terbuat dari

bahan bahan yang tidak mudah berkarat (stainless steel). Sesuai dengan pendapat Pandey dan Voskuil

(2011) bahwa peralatan yang digunakan selama pemerahan dan penaganan susu harus terbuat dari

bahan yang tidak tahan karat dan tahan korosi. Permukaan harus halus, memiliki sambungan minimal

atau lapisan terbuka dan harus bebas dari bekas benturan.

Kegiatan sanitasi peralatan di kelompok ternak juga melatih peternak untuk menggunakan

peralatan yang bersih dan higienis dengan cara setiap sebelum dan sesudah pemakaian peralatan harus

dibersihkan dengan menggunakan bahan desinfektan dan disimpan di tempat yang bersih agar

kontaminasi mikroorganisme pada susu dapat dihindari. Pauline dan Karin (2006) menyatakan

pembersihan menyeluruh terhadap peralatan susu sangat penting karena kurangnya kebersihan dapat

mencemari susu dengan bakteri jenis lain yang mengubahnya menjadi asam dan mengurangi masa

penyimpanannya. Vissers dan Driehuis (2008) menyebutkan kontaminasi susu dapat terjadi melalui

peralatan pemerahan ketika mikroorganisme berada pada permukaan peralatan pemerah susu dan susu

yang tersisa pada peralatan setelah siklus pembersihan. Selain itu, Lore et al. (2006) menambahkan

penggunaan agen pembersih dan sanitasi perlu dipertimbangkan untuk membersihkan dan

mendesinfeksi peralatan penanganan susu.

Pasteurisasi susu

Pelatihan yang terakhir adalah penaganan susu dengan cara pasteurisasi yang dilakukan

dengan memanaskan susu pada suhu 630C selama 30 menit. Teknik pemanasan tersebut dengan

dilakukan dengan memberikan pemanasan secara tidak langsung pada susu kambing. Teknik

pemanasan dan pendinginan dapat memperpanjang lama simpan susu kambing. Pauline dan Karin

(2006) menyebutkan dalam kondisi tropis, susu non-pasteurisasi dapat bertahan dalam beberapa jam

sehingga harus tetap dingin dan cepat dipasteurisasi dan kembali didinginkan ke suhu 4°C sehingga

dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Alehegne (2004) menambahkan susu murni dan pasteurisasi

dapat disimpan pada suhu pendinginan masing-masing selama 2 dan 7,5 hari sedangkan pada suhu

kamar masing-masing hanya 0,9 dan 4,3 hari.

Penerapan higienis personal Pasteurisasi susu kambing

Page 147: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

140

Susu pasturisasi dalam kemasan Penyimpanan susu pasteurisasi pada suhu dingin

Gambar 2. Pelatihan penerapan prinsip GHP berdasarkan identifikasi titik-titik kritis pada usaha

produksi susu kambing

Hasil analisis bakteri pada susu

Hasil analisis Total plate count (TPC) susu sebelum dan sesudah dilakukan penerapan prinsip

GHP berdasarkan identifikasi titik-titik kritis pada usaha produksi susu menunjukan terjadi penurunan

angka kuman sebanyak 50% (dari 7,8x106 CFU/ml menjadi 3,9x106 CFU/ml). Angka tersebut dapat

menggambarkan penerapan prinsip GHP dapat mencegah pertumbuhan bakteri pada susu, namun TPC

yang tersebut belum memenuhi standar SNI susu yaitu 1x106 CFU/ml sehingga penerapan prinsip

GHP harus terus dilakukan agar dapat menghasil susu yang aman untuk dikonsumsi.

Kesimpulan

Kegiatan observasi dan analisis titik-titik kritis dapat membantu mencegah terjadinya

kontaminasi dan penerapan prinsip good hygienic practice di Kelompok Ternak Kambing Perah

Taruna Mukti dan Kelompok Wanita Tani Ngudi Rahayu dapat menghasilkan susu dengan kualitas

mikrobiologi yang lebih baik dibandingkan sebelum dilakukan pelatihan GHP.

Daftar Pustaka

Alehegne, W. 2004. Bacteriological quality of bovine milk in small holder dairy farms in Debrezeit, Ethiopia.

MSC Thesis. the Faculty of Veterinary Medicine, Addis Ababa University.

Auline, E. and Karin, R. 2006. Preparation of dairy products, 6th Edition. Agromisa Foundation and CTA.

Wageningen. The Netherlands.

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 1998. Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3141-1998) tentang Susu

Segar. Badan Standar Indonesia. Jakarta.

Codex Allimentarius Commission (CAC). 2003. Recommended International Code of Practice : General

Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 1-1969, Rev. 4-2003. Codex Alimentarius Commission. Rome.

Codex Allimentarius Commission (CAC). 2004. Code of Hygienic Pracice for Milk and Milk Products.

CAC/RCP 57-2004. Codex Alimentarius Commission. Rome.

Giovanni, A. 1998. Important of Milk Hygiene to Public Health. Report of MZCP workshop on the management

of milk borne zooneses, surveillance and control in the MZCP countries Cepholonia island, Greece

april1-2,1998.

Kurwijila, L.R. 1998. Dairy Processing marketing in Tanzania: Lessons and Future Challenges: Tanzania

Veterinary association Conference, December 1998, Arusha Tanzania.

Page 148: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

141

Lore, T.A., Kurwijila, L.R. and Omore, A. (2006): Hygienic milk production: a training guide for farm-level

workers and milk handlers in Eastern Africa. ILRI (International Livestock Research Institute), Nairobi,

Kenya.

Luning, P.A., Marcelis, W.J., Jongen, W.M.F. 2003. Food Management Quality – a Techno-Managerial

Approach. Wageningen Pers. Wageningen.

Vissers, M.M.M. and Driehuis, F. 2008. On-Farm Hygienic Milk Production. BLBK061-Tamime.

Page 149: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

142

Makalah 027

Identifikasi Faktor-Faktor Penghambat Adopsi Teknologi Inseminasi Buatan oleh Peternak

Sapi Potong Rakyat Di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan

Tri Ariyani1, Sutrisno Hadi Purnomo2 Endang Tri Rahayu3

1Alumni Prodi Peternakan Fak Pertanian Universitas Sebelas Maret 2,3Dosen Prodi Peternakan Fak Pertanian Universitas Sebelas Maret

Email correponding authors: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat peternak dalam

mengadopsi teknologi IB. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 25 Februari sampai 25 Maret 2016 di

Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas. Data primer penelitian diperoleh melalui kuisioner

dan data sekunder diperoleh dari BPS Kabupaten Musi Rawas, Dinas Perternkan dan Perikanan

Kabupaten Musi Rawas, dan Data Kecamatan Tugumulyo. Jenis penelitian yaitu penelitian survei

dengan analisis deskriptif eksploratif. Analisis data melalui dua tahapan yaitu analisis Delphi dan

analisis faktor. Penelitian menggunakan 12 faktor penghambat adopsi IB diperoleh melalui informasi

yang didapat dari hasil analisis Delphi melalui kuisioner yang dibagikan kepada narasumber. Hasil

analisis Delphi kemudian dijadikan sebagai acuan kuisioner analisis faktor untuk responden peternak.

Hasil uji asumsi terdapat 12 faktor yang memenuhi syarat untuk ekstraksi lanjut analisis faktor. KMO

= 0,813 (>0,5) Chi-square =66 (>50) nilai tersebut berada dalam kategori layak untuk kepentingan

analisis faktor sehingga variabel-variabel dapat dianalisis lebih lanjut. Ekstraksi menggunakan analisis

faktor, menghasilkan 3 faktor kelompok hambatan. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa,

hambatan utama terdiri dari kualitas semen, kondisi resipien, ketersediaan pakan, kepedulian sosial,

dan motivasi. Hambatan Sosial Ekonomi terdiri dari umur dan latar belakang peternak, sosialisasi IB,

sistem pemeliharaan, faktor ekonomi, dan biaya IB. Hambatan Teknis terdiri dari deteksi berahi dan

keterampilan inseminator.

Kata kunci : Faktor Penghambat, Adopsi, Inseminasi Buatan, Sapi Potong,

Pendahuluan

Sebagian besar peternakan di Indonesia masih tergolong peternakan tradisional. Peternakan

tradisional umumnya masih menggunakan teknologi sederhana dalam menjalankan usaha peternakan.

Pola berfikir masyarakat yang cenderung masih sederhana, terkadang menghambat dalam mengadopsi

teknologi terbaru. Masyarakat dengan pola berfikir yang sederhana memiliki anggapan bahwa dengan

kemampuan dan teknologi yang digunakan saat ini sudah dapat memberikan kecukupan dalam

berternak sapi potong, sehingga cenderung tidak ingin mengubah teknologi atau cara dan kebiasaan

dalam menjalankan usaha dibidang peternakan.

Teknologi Inseminasi Buatan merupakan teknologi alternatif yang sedang dikembangkan dalam

usaha meningkatkan produktivitas ternak. Pelaksanaan kegiatan Inseminasi Buatan (IB) merupakan

salah satu upaya penerapan teknologi tepat guna. Sugeng (2001), memberikan pendapat bahwa IB

merupakan salah satu teknologi dalam reproduksi ternak yang memiliki manfaat dalam mempercepat

mutu genetik ternak, mencegah penyebaran penyakit reproduksi yang ditularkan melalui perkawinan

alami, meningkatkan efisiensi penggunaan pejantan unggul, serta menurunkan atau menghilangkan

biaya investasi pengadaan dan pemeliharaan ternak pejantan. Teknologi IB cenderung mudah untuk

digunakan peternak guna menunjang usaha peternakan.

Adopsi dalam penyuluhan pertanian dan peternakan pada hakekatnya diartikan sebagai proses

penerima teknologi/perubahan perilaku yang baik berupa pengetahuan (Cognitive), sikap (affective),

maupun keterampilan (psychomotoric) pada diri seseorang setelah menerima inovasi yang diberikan

Page 150: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

143

penyuluh kepada masyarakat sasarannya. Adopsi dalam pembahasan ini adalah menerima hal baru

yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain atau penyuluh (Mardikanto, 2009).

Musi Rawas merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Sumatera Selatan. Musi

Rawas memiliki potensi yang tinggi untuk pengembangan peternakan. Lahan yang tersedia untuk

mengembangkan usaha peternakan masih sangat luas. Populasi sapi potong di Kabupaten Musi Rawas

pada tahun 2014 adalah sebanyak 22.083 ekor sapi (Dinas Peternakan dan Perikanan Musi Rawas,

2014). Peternakan sapi potong di Kabupaten Musi Rawas khususnya di Kecamatan Tugumulyo masih

cenderung bersifat tradisional. Peternak umumnya memiliki sapi potong 2 ekor sehingga digunakan

sebagai pekerjaan sambilan. Sistem pemeliharaan masih menggunakan sistem tradisonal,ternak

digembalakan pada area terbatas, dan kekurangan pakan diberikan di kandang. Penggunaan IB masih

tergolong rendah yang disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat adopsi IB. Penelitian yang

telah dilakukan sebelumnya menyebutkan beberapa hambatan adopsi IB oleh peternak sapi potong

yaitu kualitas semen yang rendah, kondisi resipien yang tidak baik, deteksi berahi yang tidak tepat

(Aerens, et al., 2013). Menurut Herawati et al., (2012), keterampilan inseminator, umur dan latar

belakang peternak dapat menghambat adopsi teknologi IB. Hambatan lainnya yaitu sosialisasi

teknologi IB masih kurang (Efendy, 2006). Menurut Sariubang (2006) ketersediaan pakan yang

kurang juga dapat menghambat adopsi teknologi IB dan menurut Hernowo (2006) sistem

pemeliharaan yang belum intensif juga dapat menghambat adopsi IB.Berdasarkan pertimbangan diatas

penulis ingin mengetahui hambatan adopsi IB oleh peternak sapi potong rakyat di Kecamatan

Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas Sumatera Selatan.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan tanggal 25 Februari – 25 Maret 2016 di Kecamatan Tugumulyo

Kabupaten Musi Rawas. Penentuan lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan beberapa

pertimbangan yaitu Kecamatan Tugumulyo merupakan Kecamatan dengan populasi ternak sapi

potong terbanyak urutan kedua di Kabupaten Musi Rawas. Pengambilan sampel metode Delphi

dilakukan secara purposive sampling (sengaja) dengan pertimbangan responden mengetahui kondisi

peternakan dan permasalahan IB di Kabupaten Musi Rawas. Metode analisis faktor dilakukan dengan

cara purposive sampling dengan kriteria peternak memiliki minimal satu ekor sapi betina, memiliki

pengalaman beternak minimal dua tahun dan telah menggunakan IB.Jenis penelitian eksploratif

dengan data primer dan sekunder baik kuantitatif maupun kualitatif. Data primer diperoleh melalui

wawancara dan pengisian kuisioner. Penelitian menggunakan 10 responden untuk analisis Delphi yang

bertujuan untuk mengetahui variabel yang akan digunakan untuk analisis faktor. Responden yang

digunakan untuk analisis Delphi berasal dari instansi pemerintah dalam bidang peternakan di

Kabupaten Musi Rawas. Analisis faktor menggunakan 60 responden berasal dari peternak sapi potong

yang mengadopsi IB. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait penelitian yaitu data dari Dinas

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Musi Rawas, Kecamatan Tugumulyo, dan BPS Kabupaten Musi

Rawas.

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif dengan menggunakan

metode Delphi.Tahapan dalam metode Delphi adalah sebagai berikut (Linston dan Turoff, 2002) :

1. Spesifikasi isu,

2. Menyeleksi narasumber

3. Membuat kuisioner,

Penelitian menggunakan metode Delphidilakukan satu kali pemberian kuisioner kepada

narasumber yang kemudian akan langsung dilakukan perataan dan penentuan variabel untuk analisis

faktor.

Analisis faktor merupakan salah satu teknik statistic multivariate. Tujuannya adalah untuk

mengelompokkan data menjadi beberapa kelompok sesuai dengan korelasi antar variabel.Menurut

Kerlinger (1990), maksud dan kegunaan dasar analisis faktor ada dua yaitu; a) mengeksplorasi

wilayah-wilayah variabel guna mengetahui dan menunjukkan faktor-faktor yang diduga melandasi

variabel-variabel itu, b) menguji hipotesis tentang relasi-relasi antar variabel.

Langkah-langkah dalam analisis faktor menurut Santoso (2015), yaitu

1. Membuat matriks korelasi antar masing-masing subfaktor, selanjutnya dilakukan pengujian

Measure of Sampling Adequacy (MSA) dengan Kaiser Meyer Olkin (KMO)

Page 151: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

144

2. Menentukan faktor atau ekstraksi faktor dengan menggunakan Principle Component Analysis

(PCA) karena dapat mengambil atau menyedot variance sebanyak-banyaknya

3. Untuk menghentikan ekstraksi faktor menggunakan tolak ukur eigen value diatas 1.

4. Melakukan rotasi dari faktor yang telah terbentuk.

Tabel 1. Variabel dan Indikator Penelitian

No Variabel Indikator

1 Kualitas semen Kualitas semen yang digunakan dalam IB pada sapi

potong dipengaruhi oleh penyimpanan dalam

bentuk cair dan beku

2 Kondisi resipien Kondisis sapi potong yang akan di IB sehat, tidak

memiliki penyakit, dan riwayat reproduksi yang

baik

3 Deteksi berahi Peternak dapat mendeteksi berahi sapi potong

dengan tepat

4 Keterampilan Inseminator Keakuratan inseminator dalam melakukan IB pada

sapi potong

5 Umur dan Latar Belakang Umur peternak dan pengalaman beternak peternak

6 Sosialisasi IB Intensitas peternak dalam menerima sosialisasi

tentang IB pada sapi potong

7 Ketersediaan Pakan Kemampuan peternak dalam menyediakan pakan

untuk konsumsi ternaknya

8 Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan yang dilakukan peternak

dalam memelihara ternak sapi potong, sistem yang

mendukung IB yaitu sistem pemeliharaan secara

intensif

9 Faktor Ekonomi Keuntungan yang diperoleh peternak dalam

mengadopsi IB

10 Kepedulian Sosial Kepedulian peternak terhadap keberadaan teknologi

IB yang ada dilingkungan sekitarnya

11 Motivasi Dukungan yang diperoleh peternak dari dalam diri

dan lingkungan untuk mengadopsi teknologi IB

12 Biaya Pelaksanaan IB Estimasi biaya yang dikeluarkan peternak untuk

mengadopsi teknologi IB

Sumber : Siahaan (2012). Aerenset al., (2013). Herawatiet al., (2012). Efendy (2006). Sariubang

(2006). Hernowo (2006). Mzoughi (2010).

Hasil dan Pembahasan

Sapi potong merupakan komoditas peternakan dengan jumlah cukup besar yang terdapat di

Kecamatan Tugumulyo yaitu sebanyak 3.513 ekor. Potensi pengembangan sapi potong di Kecamatan

Tugumulyo sangat besar, dapat dilihat dari jumlah sapi potong yang dipelihara. Potensi pengembangan

sapi potong di Kecamatan Tugumulyo didukung oleh lahan yang belum diolah masih cukup luas.

Iklim tropis basah yang terdapat pada Kecamatan Tugumulyo dapat mendukung dalam penyediaan

pakan hijauan.

Karakteristik Responden

Berdasarkan tabel 2 klasifikasi responden berdasarkan tingkat umur menunjukkan bahwa 90%

responden tergolong usia produktif yang memiliki kisaran usia antara 15-64 tahun, sedangakan

terdapat 10% responden berada pada usia tidak produktif dengan kisaran usia ≥65 tahun. Peternak

mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 70% dan perempuan 30%. Usaha peternakan

sapi potong membutuhkan tenaga yang lebih besar dan umumnya dilakukan kaum laki-laki karena

lebih kuat bekerja daripada perempuan, namun tidak menutup kemungkinan bagi kaum perempuan

untuk mampu melakukannya pula. Umur produktif akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja

Page 152: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

145

seperti tenaga yang masih prima, mampu menerima perkembangan teknologi dan inovatif (Hasan,

2000).

Tabel 2. Karakteristik responden

Karakteristik Jumlah (orang) Presentase (%)

Umur

15-54 Tahun

>65 Tahun

54

6

90

10

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

42

18

70

30

Pendidikan

SD

SMP

SMA

Sarjana

32

13

13

2

53,3

21,3

21,3

3,3

Kepemilikan Ternak

1-3

4-5

>6

46

12

2

77

20

3

Sumber: Data primer terolah, 2016.

Berdasarkan tingkat pendidikan diperoleh hasil bahwa tingkat pendidikan responden mayoritas

pada tingkat SD yaitu dengan jumlah 32 orang (53,3%) dan yang terendah adalah tingkat Sarjana yaitu

2 orang (3,3%). Kondisi ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan peternak sapi potong masih

sangat rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap pola berpikir dalam melakukan pengambilan

keputusan pembiayaan terhadap usahanya.

Kepemilikian ternak pada peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo menunjukan bahwa

kepemilikan ternak tertinggi pada 1-3 ekor dengan jumlah peternak sebanyak 46 orang dengan

presentase 77%. Jika dilihat dari jumlah ternak pada masing-masing peternak dapat digolongkan

dalam peternakan rakyat. Hal ini sesuai dengan pendapat Fadilah et al., (2007) bahwa golongan usaha

peternakan yang dengan jumlah ternak skala kecil disebut juga sebagai peternakan rakyat.

Penelitian dimulai dengan pembagian kuisioner kepada kalangan ahli yang mengerti

permasalahan mengenai adopsi IB di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas. Kalangan ahli

dalam penelitian ini yaitu Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Musi Rawas beserta

staf, penyuluh peternakan, dan inseminator. Tujuan dari pembagian kuisioner dengan metode Delphi

yaitu peneliti mendapatkan informasi mengenai apa saja hambatan IB yang kemudian informasi yang

diperoleh dapat digunakan sebagai variabel penelitian untuk responden, dalam hal ini yaitu peternak.

Penilaian dilakukan dengan kuisioner dengan skala Likert tingkatan nilai diukur dari gradasi

sangat positif sangat negatif berupa : Nilai 5 (sangat setuju), nilai 4 (setuju), nilai 3 (ragu-ragu), nilai 2

(tidak setuju), dan nilai 1 (sangat tidak setuju).

Page 153: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

146

Tabel 3. Hasil Jawaban Pertanyaan Responden Delphi

Variabel Responden

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

X1 2 1 1 2 3 1 1 1 3 1

X2 3 1 1 2 2 1 1 1 2 2

X3 4 2 2 3 2 3 2 2 2 1

X4 3 1 1 3 2 1 1 1 4 1

X5 4 1 1 3 3 1 1 3 2 2

X6 2 1 1 2 3 1 1 1 4 2

X7 4 3 3 4 4 3 3 1 4 2

X8 4 4 3 5 4 5 4 3 2 1

X9 4 1 1 4 1 1` 1 1 2 1

X10 4 2 2 3 4 3 2 1 2 1

X11 3 2 2 2 1 1 1 1 2 1

X12 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2

Sumber : Data primer terolah, 2016

Analisis faktor digunakan untuk mengelompokkan beberapa variabel yang memiliki kemiripan

untuk dijadikan satu faktor, sehingga dimungkinkan dari beberapa atribut yang memengaruhi satu

komponen variabel dapat diringkas menjadi beberapa faktor utama yang jumlahnya lebih sedikit.

Responden dalam penelitian berjumlah 60 peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo.

Tabel 4. Klasifikasi Jawaban Responden Berdasarkan Tingkatan Skala Penilaian Setiap Variabel.

No Variabel

Jumlah jawaban responden yang

menilai Total

responden 1 2 3 4 5

1. Kualitas semen 17 26 12 5 0 60

2. Kondisi Resepien 19 24 7 3 7 60

3. Deteksi Berahi 1 6 25 28 0 60

4 Keterampilan Inseminator 3 3 30 21 3 60

5. Umur Latar belakang peternak 0 2 11 35 12 60

6. Sosialisasi IB 1 3 6 42 8 60

7. Ketersediaan Pakan 0 26 21 5 8 60

8. Sistem Pemeliharaan 0 3 6 41 10 60

9. Faktor Ekonomi 0 4 11 37 9 60

10. Kepedulian Sosial 1 38 9 6 6 60

11. Motivasi 0 40 12 6 2 60

12. Biaya pelaksanaan 0 3 7 45 5 60

Sumber : Data primer terolah, 2016

Langkah pertama dalam menentukan variabel yang akan di ekstraksi lebih lanjut dapat dilihat

dari nilai besaran KMO MSA, Chi-Square dan Signifikansi. Syarat atau ketentuan besarnya nilai-nilai

tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5.Output Langkah Pertama (Pemilihan Variabel) berdasarkan nilai KMO MSA, Chi-Square dan

Signifikansi

No Output langkah pertama Nilai Perolehan Syarat/Ketentuan

1. KMO MSA 0,813 ≥ 0,5

2. Chi-Square 552,600 ≥ 66

3. Signifikansi 0,000 ≤ 0,05

Sumber : Data primer terolah, 2016

Berdasarkan Bartlett’s Tes of Sphericitydengan Chi-Square 552,600 = (≥66) dan nilai sig =

0,000 (≤ 0,05) menunjukkan bahwa matriks korelasi bukan merupakan matriks identitas sehingga

dapat dilakukan analisis komponen utama. Nilai KMOyang dihasilkan adalah sebesar 0,813 serta p-

value sebesar 0,000 (≤ 0,05), nilai tersebut jatuh dalam kategori “lebih dari cukup” layak untuk

kepentingan analisis faktor. Variabel-variabel dapat dianalisis lebih lanjut (Santoso, 2015).

Page 154: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

147

Tabel 6. Hasil analisis faktor

No Variabel Component

1 2 3

1. Kualitas_semen 0,886

2. Kondisi_resepien 0,905

3. Deteksi_berahi 0,833

4. Keterampilan_inseminator 0,843

5. Umur_latarbelakang 0,590

6. Sosialisasi 0,728

7. Ketersediaan_pakan 0,833

8. Sistem_pemeliharaan 0,922

9. Faktor_ekonomi 0,739

10. Kepedulian_sosial 0,918

11. Motivasi 0,926

12. Biaya_pelaksanaan 0,907

Sumber : Data primer terolah, 2016

Hasil analisis terlihat bahwa setiap variabel berkorelasi kuat dengan salah satu faktor. Loading

factor yang telah dianalisisdapat menjelaskan keragaman variabel awal dengan tepat dan hasilnya

adalah sebagai berikut :

Faktor 1 (Hambatan Utama) yaitu : kualitas semen (X1), kondisi resipien (X2), ketersediaan pakan

(X7), kepedulian sosial (X10), motivasi (X11).

Faktor 2 (Hambatan Sosial dan Ekonomi) yaitu : umur dan latar belakang peternak (X5), sosialisasi

(X6), sistem pemeliharaan (X8), faktor ekonomi (X9), Biaya IB (X12).

Faktor 3 (Hambatan Teknis) yaitu :deteksi berahi (X3), keterampilan inseminator (X4),

Kondisi sapi potong yang dipelihara peternak di Kecamatan Tugumulyo tergolong dalam

keadaan sehat namun tidak memiliki ukuran tubuh yang ideal. Hal ini didukung oleh ketersediaan

pakan yang sesuai dengan kebutuhan sapi potong namun kurang memadai sehingga perlu dilakukan

pembibitan dan pemeliharaan hijauan tanam pakan untuk sapi potong, atau penerapan teknologi pakan

seperti silase atau fermentasi agar pakan yang diberikan dapat menunjang kebutuhan ternak. Peternak

sapi potong di Kecamatan Tugumulyo, mengetahui semen yang digunakan oleh inseminator dalam

melakukan IB berasal dari BIB Lembang, BIB Singosari, dan BIB Palembang menunjukkan tingkat

kepedulian peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo cukup baik, namun peternak memiliki

hambatan atau dorongan dari dalam diri dan masyarakat untuk mengadopsi teknologi tersebut.

Peternak di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas beraggapan bahwa umur dan

pendidikan menghambat mereka dalam mengadopsi teknologi IB pada sapi potong. Peternak yang

mengadopsi teknologi IB mayoritas mereka telah memelihara sapi potong secara intensif. Sebagian

peternak beranggapan bahwa keuntungan yang diperoleh tidak lebih banyak dibanding tidak

mengadopsi teknologi IB. Biaya yang dikeluarkan peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo

untuk melakukan IB tergolong tinggi berkisar antara Rp 150.000-Rp 200.000. Sosialisasi IB di

Kecamatan Tugumulyo hanya dilakukan dikalangan elit atau tokoh-tokoh masyarakat yang ada tanpa

memperhatikan peternak yang kurang mampu mencari informasi yang baru. Hagmann, et al., (2000)

menyatakan bahwa pendekatan penyuluhan yang paling efektif yaitu pengungkapan masalah yang

berasal dari keseluruhan kalangan peternak yang secara bersama-sama berkumpul dan mencari solusi

bersama.

Peternak sapi potong di Kecamatan Tugumulyo kurang mampu mendeteksi sapi yang sedang

berada pada masa berahi. Sistem pemeliharaan yang masih ekstensif dan semi intensif menyulitkan

peternak dalam deteksi berahi. Ketepatan deteksi berahi memengaruhi berhasil tidaknya IB.

Inseminator yang ada di Kabupaten Musi Rawas berjumlah 20 inseminator. Dari 20 inseminator

tersebut tentu ada yang belum ahli dalam melaksanakan inseminasi, sehingga terjadi beberapa

kegagalan. Kebanyakan inseminator yang belum ahli dan kurang terampil merupakan inseminator

pemula. Keahlian dan keterampilan inseminator dalam akurasi pengenalan birahi, sanitasi alat,

penanganan (handling) semen beku, pencairan kembali (thawing) yang benar, serta kemampuan

melakukan IB akan menentukan keberhasilan (Herawati et al., 2012).

Page 155: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

148

Simpulan

Hambatan peternak sapi potong rakyat di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musi Rawas

untuk mengadopsi inseminasi buatan terdiri dari

1. Hambatan Utama yaitu variabel kualitas semen, kondisi resipien, ketersediaan pakan, kepedulian

sosial, dan motivasi

2. Hambatan Sosial Ekonomi yaitu umur dan latar belakang peternak, sosialisasi, sistem

pemeliharaan, faktor ekonomi, dan Biaya IB

3. Hambatan Teknis yaitu deteksi berahi dan keterampilan inseminator.

Daftar Pustaka

Aerens, D.C. Candra, M. N. Ihsan dan N. Isnaini. 2013. Perbedaan Kuantitatif dan Kualitatif Semen Segar pada

Berbagai Bangsa Sapi Potong. Malang.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Musi Rawas. 2014. Hasil Sensus Ternak Kabupaten Musi Rawas.

Musi Rawas

Efendy, J. 2006. Opinion Leader Peranannya dalam Proses Adopsi Teknologi IB Ternak Sapi Madura. Jurnal

prosiding peternakan.

Fadillah, R., A. Polana., S. Alam., & E. Parwanto. 2007. Sukses Beternak Ayam Broiler. Jakarta.Agromedia

Pustaka.

Hagmann, J., E. Chuma, K. Murwira dan Mi. Connolly. 2000. Learning Together Through Participatory

Extension. Germany.Universum Verlagsanstalt.

Hasan, I. 2000. Analisis Produksi Kopi di Desa Mbenti Kecamatan Minyambow Kabupaten Manokwari.

Manokwari.Universitas Cendrawasih Press.

Herawati, T. A. Anggraeni, L. Praharani, D. Utami dan A. Argiris. 2012. Peran Inseminator dalam Keberhasilan

Inseminasi Buatan pada Sapi Perah. Jurnal informatika pertanian, vol. 21 no.2, Desember:81 – 88.

Hernowo, B. 2006. Prospek Pengemangan Usaha Peternakan Sapi Potong di Kecamatan Surade Kabupaten

Sukabumi. Bogor: Fakultas peternakan Institut pertanian Bogor.

Kerlinger, F. N. 1990. Asas-asas Penelitian Behavioral. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada Press.

Linstone, H., dan M. Turoff. 2002. The Delphi Method Techniques and Application. London : Linstone Inc.

Mardikanto, T. 2009. Membangun Pertanian Modern. Surakarta. UNS Press.

Mzoughi, N. 2010. Farmers adoption of integrated crop protection and organic farming: Do moral and social

concerns matter?. Jurnal INRA, UR 767 Ecodéveloppement, Domaine Saint-Paul, France. ECOLEC-

03919; No of Pages 10.

Santoso, S. 2015. Buku latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta. Gramedia.

Sariubang, M. 2006. Pengkajian teknologi pembibitan sapi potong berbasis pedesaan mendukung swasembada

daging di Sulawesi Selatan. Jurnal SulSel Litbang DepTan.

Siahaan, E. A. 2012. Efektivitas penambahan berbagai konsentrasi β-karoten terhadap motilitas dan daya hidup

spermatozoa sapi bali post thawing. Jurnal Indonesia medicus veterinus 1(2): 239 - 251 ISSN : 2301-

7848.

Sugeng, Y. B. 2001. Pembiakan Ternak Sapi. Jakarta. Gramedia.

Page 156: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

149

Makalah 028

Mengolah Potensi “Emas Hitam” Sebagai Upaya Mengembangkan Sistem Peternakan

Ramah Lingkungan

Ayu Intan Sari dan Endang Tri Rahayu

Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian UNS

[email protected]

Abstrak

Pengolahan emas hitam atau kotoran ternak ini merupakan suatu kegiatan pemberdayaan

masyarakat khususnya bagi petani dan peternak dengan tujuan meningkatkan nilai tambah (value

added) kotoran ternak menjadi sumber energi dan memecahkan masalah pencemaran lingkungan,

peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui efisiensi biaya penyediaan energi dan biaya pembelian

pupuk kimia. Program ini sejauh mungkin melibatkan kelompok mitra dalam pelaksanaannya atau

dengan menggunakan metode Participatory Rural Appraisal (PRA), melalui kegiatan focus group

discussion, penyuluhan, transfer tehnologi tepat guna (instalasi biogas dan pengolahan limbah),

pelatihan dan percontohan. Hasil yang dicapai adalah telah dilaksanakan pembangunan instalasi

biogas ukuran 18m3 untuk menampung feses 15 ekor sapi yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber

penerang (2 lampu) dan 1 kompor 2 tungku, perbaikan lantai kandang, perakitan dan pemasangan

instalasi penampung urine, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan peternak mengenai pengolahan

limbah feses menjadi biogas, dan urine menjadi pupuk cair organik melalui penyuluhan dan pelatihan.

Dari hasil aplikasi kegiatan ini diharapkan nilai ekonomi limbah kotoran ternak meningkat. Peternak

akan memperoleh sumber energi berupa biogas yang dapat dimanfaatkan untuk memasak, penerangan,

serta pupuk organik bagi tanaman mereka. Dampak ikutan dari program pemberdayaan masyarakat

ini, usaha peternakan sapi potong dan pertanian tanaman pangan akan ramah lingkungan (environment

friendly) dan berlangsung tanpa limbah (zero waste).

Kata kunci : sapi potong, feses, biogas, pupuk urine

Pendahuluan

Krisis energi yang membuat harga minyak dunia mencapai US $ 70/barel semakin menghimpit

kehidupan masyarakat berbagai lapisan di Indonesia. Kenaikan harga BBM yang dilakukan

pemerintah membuat harga minyak tanah menyamai harga premium. Dalam situasi seperti ini

pencarian, pengembangan, dan penyebaran teknologi energi non BBM yang ramah lingkungan

menjadi penting, terutama ditujukan pada keluarga miskin sebagai golongan yang banyak terkena

dampak kenaikan BBM. Salah satu teknologi energi yang sesuai dengan persyaratan tersebut adalah

teknologi biogas.

Di Indonesia, program pengembangan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970.

Pengembangan tersebut bertujuan untuk memanfaatkan limbah dan biomassa laiannya dalam rangka

mencari sumber energy lain di luar kayu bakar dan minyak tanah. Program tersebut tidak berkembang

meluas di masyarakat, hal ini disebabkan karena masyarakat pada waktu itu masih mampu membeli

minyak tanah dan gas, adanya kebijakan subsidi dari pemerintah, disamping itu sumber energi lain

seperti kayu bakar masih banyak tersedia. Namun saat ini, biogas menjadi salah satu alternatif yang

banyak dimanfaatkan oleh masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah, khususnya masyarakat

yang bekerja di bidang peternakan. Dengan teknologi yang sangat sederhana ini, kotoran ternak yang

tadinya hanya mencemari lingkungan, dapat diubah menjadi sumber energi terbarukan yang bernilai

ekonomi tinggi.

Banyak kalangan berpendapat peternakan tidak lagi dianggap sub sektor pinggiran melainkan

akan menjadi sektor unggulan dan sektor peternakan juga telah terbukti memiliki ketangguhan dalam

menghadapi situasi krisis. Produksi usaha peternakan, seperti sapi, diibaratkan sebagai penghasil emas

Page 157: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

150

yang tidak ternilai harganya seperti "emas merah" berupa daging,”emas putih” berupa susu yang kaya

protein bagi tubuh serta “emas hitam”, berupa kotoran yang berguna untuk pupuk dan bahan energi

alternatif biogas untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Kotoran ternak juga dapat menunjang

sektor pertanian yang berkelanjutan dalam bentuk pupuk kandang (pupuk organik) yang memegang

peranan yang sangat penting karena sangat berguna untuk memperbaiki struktur tanah pertanian.

Dengan potensi pakan yang dimiliki oleh Kabupaten Karanganyar, masyarakat tidak mengalami

kesulitan dalam pengembangan peternakan, seperti peternak sapi potong yang dapat diberi pakan

jerami, bungkil kacang tanah, ubi kayu, bungkil kopi, dan pucuk tebu. Di Karanganyar tepatnya

Kecamatan Tasikmadu juga terdapat pabrik tebu, sehingga limbah tebu yang berupa tetes juga dapat

diberikan sebagai pakan ternak. Dengan demikian Kabupaten Karanganyar sangat fisibel untuk

pengembangan peternakan khususnya sapi potong. Jenis ternak ruminansia besar yang paling banyak

dibudidayakan di Kabupaten Karanganyar adalah sapi potong, sebesar 60.023 ekor dengan rincian

21.827 ekor sapi pejantan dan 38.196 ekor sapi betina.

Usaha pertanian dan peternakan sapi dijadikan tumpuan hidup bagi masyarakat pedesaan.

Masyarakat menjalankan usaha pertanian dan peternakan secara berdampingan yaitu sebagai mata

pencaharian utama dan sampingan, namun disatu sisi usaha pertanian dan peternakan juga

menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran lingkungan karena manajemen pengelolaan limbah

yang belum optimal. Usaha peternakan sapi potong baik penggemukan maupun pemeliharaan induk

penghasil pedet dapat dipastikan menghasilkan limbah kotoran feses dan urin. Setiap ekor sapi setiap

hari menghasilkan feses segar sebanyak 15-20 kg dan 10-15 liter urin (Sunarto dan Lutojo, 2008).

Pada usaha penggemukan atau feedlot selama 4 bulan diperoleh limbah feses 1.800-2.400 kg feses

segar dan 1.200-1.800 liter urin, sedangkan pada usaha pemeliharaan induk sapi penghasil pedet rata-

rata 12 bulan diperoleh feses segar 5.400 kg dan urin 3.600-5.400 liter urin sapi (Riyanto, dkk., 2009).

Kotoran ternak menyimpan potensi sebagai bahan baku utama biogas, karena keduanya

merupakan bahan organik yang mempunyai kandungan Nitrogen (N) tinggi, disamping unsur C, H,

dan O. Kotoran sapi yang tersusun dari feses, urin, dan sisa pakan mengandung nitrogen yang lebih

tinggi dari pada yang hanya berasal dari feses. Jumlah nitrogen yang dapat diperoleh dari kotoran sapi

dengan total bobot badan +120 kg (6 ekor sapi dewasa) dengan periode pengumpulan kotoran selama

tiga bulan sekali mencapai 7,4 kg. Jumlah ini dapat disetarakan dengan 16,2 kg urea (46% nitrogen)

(Balitnak, 2009) cit (Kaharudin dan Sukmawati, 2010).

Selama ini masyarakat hanya memanfaatkan limbah padat sapi (feses) sebagai pupuk secara

langsung itupun dalam jumlah yang terbatas, sedangkan limbah cair atau urine sapi terbuang begitu

saja padahal limbah ini justru memiliki potensi lebih, yaitu sebagai pupuk cair atau pestisida organik

bagi tanaman. Urin sapi murni mengandung rasio C:N 0,85 %, 1,68-1,96 % N total, 0,31-0,38 % P2O5

dan 1,7-0,21 K2O (Lutojo, dkk., 2010). Pupuk organik padat asal fesessapi mengandung BK 65%,

P2O5 1,81%, K2O 1,89%, CaO 1,96%, MgO 2,96%, C/N ratio max 0,70% dan bakteri patogen

22,3%.

Namun disisi lain, kotoran ternak berpotensi sebagai bahan sumber pencemar lingkungan.

Dampak merugikan limbah peternakan dan pertanian dapat menjadi pollutan asal gas methane (CH4)

dan sebagai media perkembangbiakan mikroorganisme penyebab penyakit. Menurut Goodland dan

Anhang (2009) limbah kotoran ternak menyumbang emisi tingkat pemanasan global kurang lebih 51

%. Dari informasi tersebut diperlukan suatu aplikasi teknologi untuk meningkatkan nilai ekonomis

limbah feses dan urin dari usaha peternakan sapi potong sekaligus mengurangi dampak merugikan

terhadap lingkungan dan kesehatan manusia menjadi biogas dan pupuk organik.

Metode Pelaksanaan

Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini dilaksanakan selama 8 bulan yaitu pada bulan Mei 2016

sampai dengan Desember 2016. Lokasi kegiatan dan kelompok sasaran ditentukan secara sengaja

(purposive sampling) di usaha ternak KTT “Subur Makmur” dan Agrobiz Abadi Jaya Dukuh

Blimbing, Desa Jeruksawit, Gondangrejo, Karanganyar. Penentuan lokasi ini didasarkan pada analisis

permasalahan yang sedang dihadapi kelompok mitra dan beberapa faktor pendukung lainnya, seperti

motivasi untuk bekerjasama dalam mengembangkan kelompok. Program pemberdayaan ini sejauh

mungkin melibatkan kelompok mitra dalam pelaksanaannya atau dengan menggunakan metode

Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA adalah suatu metode yang menempatkan masyarakat

Page 158: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

151

sebagai subyek, perencana, pelaksana, sekaligus sebagai penilai dalam program pemberdayaan

sehingga tim dan stakeholder yang terlibat sebagai fasilitator dan masyarakat dalam hal ini kelompok

mitra ternak sebagai pelakunya (Sidu, 2006). Sebagai solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi

oleh kelompok mitra seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diterapkan beberapa kegiatan

yaitu mengadakan dialog dengan mitra melalui kegiatan program FGD (Focuss Group Disscussion),

pembuatan/pemasangan instalasi pengolah limbah feses menjadi biogas dan urine menjadi pupuk cair.

Hasil Dan Pembahasan

Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan solusi terhadap permasalahan yang sedang

dihadapi oleh mitra berkaitan dengan teknologi dan manajemen melalui pendekatan secara terpadu,

yang dilaksanakan dalam bentuk pendidikan, pelatihan, dan pelayanan masyarakat, serta kaji tindak

dari ipteks yang dihasilkan perguruan tinggi.

Kegiatan dimulai dari survai dan koordinasi dengan masyarakat untuk mengidentifikasi kondisi

mitra, antara lain mengenai permasalahan yang sedang dihadapi, peralatan yang telah dimiliki,

tehnologi yang telah dikuasai, serta hal-hal lain yang diperlukan. Tim pengabdi mengumpulkan

informasi tentang ternak sapi potong yang dimiliki oleh para peternak. Pengabdi juga mengumpulkan

informasi tentang pemanfaatan limbah peternakan dan kondisi kandang Mitra. Dari pengumpulan

informasi tersebut, para peternak belum dapat memanfaatkan limbah peternakan secara maksimal.

Limbah peternakan yang berupa kotoran sapi dan urine sapi dapat dimanfaatkan untuk biogas, serta

pupuk organik padat dan cair. Pertemuan tersebut sekaligus melakukan koordinasi untuk melakukan

pembangunan instalasi biogas sebagai pemanfaatan dari limbah peternakan yang belum dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pembuatan Instalasi/Digester Biogas dan Instalasi Penampungan Urine

Berdasarkan hasil survai dan koordinasi dengan mitra, pemasalahan limbah merupakan

permasalahan utama yang harus segera diselesaikan. Limbah padat (feses) dibiarkan menumpuk

dikandang bagian belakang sehingga dapat mengganggu kesehatan ternak, sedangkan limbah cair

(urine sapi) dibiakan terbuang, padahal kedua jenis limbah ini memiliki potensi besar jika diolah,

diantaranya menjadi sumber energi ramah lingkungan (biogas) dan pupuk cair organik. Prinsip

pembuatan instalasi biogas adalah menampung limbah organik yang berupa kotoran ternak, kemudian

memproses limbah tersebut dan mengambil gasnya untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi serta

menampung sisa hasil pemrosesan yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik. Dalam proses ini

dibutuhkan 3 pemroses/pencerna/digester, dan tabung penampung sisa hasil pemrosesan. Bahan

pembuat tabung dapat berasal dari bata merah, plastik, atau drum bekas baik dari seng maupun plastik.

Ketiga tabung tersebut ditempatkan pada posisi tertentu agar proses pembuatan biogas dapat berjalan

dengan baik.

Instalasi biogas yang dibuat dalam program pemberdayaan masyarakat ini, menggunakan

desain konstruksi batu bata dengan tabung digester tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe kubah

adalah digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat bangunan dengan batu bata,

pasir dan semen yang berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah

(bulatan setengah bola) (Rahman, 2005).

Digester biogas yang dibangun merupakan digester beton dengan volume 18 m3, mampu

menampung feses dari 15 ekor sapi. Gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk 4 rumah tangga,

namun karena biogas ini dimanfaatkan untuk lampu penerang sehingga daya yang dibutuhkan lebih

besar, sehingga sementara baru dapat dimanfaatkan untuk 2 lampu, dan 1 kompor 2 tungku. Proses

pembangunan digester biogas dilaksanakan dalam waktu 14 hari. Setelah digester selesai dibangun,

maka dilanjutkan dengan pemasangan instalasi pipa gas dan instalasi pengukur tekanan gas.Peternak

melakukan pengisian digester dengan feses sapi setiap hari, namun karena ukuran tabung digester

cukup besar maka proses pengisian memakan waktu cukup lama. Dalam waktu 1 minggu pengisian,

pada alat pengukur diketahui tekanan biogas sudah ada tapi masih kurang besar yaitu sekitar 20 mm,

sehingga gas belum menyala.

Page 159: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

152

Gambar 1. Instalasi Biogas (Kaharudin dan Sukmawati, 2010)

Instalasi penampungan urine yang di aplikasikan dalam program ini dirancang dari bak

plastik, karena akan lebih efisien secara teknis pemasangan, resiko kebocoran lebih kecil, serta

memudahkan peternak dalam perawatan dan pembersihan.

Penyuluhan Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong dan Pengolahan Limbah

Meskipun peternak anggota kelompok mitra telah memiliki pengalaman beternak yang cukup

lama dan jumlah sapi yang cukup banyak, serta dalam manajemen pemeliharaan peternak sudah

modern, namun dalam pengolahan limbah kotoran belum optimal. Limbah kotoran padat (feses) hanya

ditumpuk dibelakang area kandang dan sesekali dimanfaatkan untuk memupuk lahan hijauan,

sedangkan limbah cair (urine) terbuang begitu saja. Kondisi ini dapat menimbulkan pencemaran

lingkungan berupa bau tidak sedap dan banyak lalat. Dengan demikian diperlukan upaya peningkatan

pengetahuan dan pengalaman praktis peternak mengenai manajemen pengolahan limbah.

Kegiatan penyuluhan dan pelatihan pengolahan limbah kotoran ternak dilaksanakan pada

tanggal 7 Oktober 2016, menunggu biogas menyala dan penampung urine penuh sehingga peternak

bisa melihat langsung hasil pemanfaatan limbah kotoran sapi. Sesuai dengan kajian teori, suatu inovasi

akan semakin mudah di adopsi oleh masyarakat apabila dapat di uji coba dan hasilnya dapat diamati

secara langsung. Menurut Amanah (2007) penyuluhan merupakan ilmu dan gerakan transformasi

masyarakat melalui pengembangan potensi yang dimiliki melalui pendekatan edukasi. Peningkatan

pengetahuan merupakan satu aspek mendasar yang dijadikan parameter keberhasilan penyuluhan.

Pengukuran pengetahuan peserta penyuluhan sebelum dan sesudah penyuluhan merupakan salah satu

evaluasi efektivitas dan peran kegiatan penyuluhan. Hasil pre tes menunjukkan nilai rata-rata

pengetahuan peternak sebelum penyuluhan sebesar 45 sedangkan hasil post tes menunjukkan nilai

rata-rata sebesar 78 atau mengalami presentase kenaikan sebesar 33%.

Simpulan

Simpulan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat ini adalah pengetahuan dan ketrampilan peternak

anggota kelompok mitra tentang pemeliharaan sapi dengan pakan berbasis limbah pertanian, produksi

pupuk organik cair berbasis urin sapi, serta pengolahan limbah ternak menjadi biogas meningkat. Telah terjadi optimalisasi pengolahan limbah peternakan menjadi pupuk organic dan biogas sebagai

sumber energi alternatif yang dapat mendukung terwujudnya sistem peternakan yang ramah

lingkungan.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Kemenristek Dikti, LPPM UNS, Kelompok Mitra

(Agrobiz Abadi Jaya dan KTT Subur Makmur), Masyarakat Dukuh Blimbing, Desa Jeruksawit,

Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, serta berbagai pihak yang telah membantu

pelaksanaan program ini.

Page 160: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

153

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Kabupaten Karanganyar. 2014. Karanganyar Dalam Angka. BPS Karangnyar

Dikshie. 2004. Proyekers Sapi & K-Prosperity (inkubasi industri reaktor Biogas dan Kompos).

http://ipv6.ppk.itb.ac.id/mailman/listinfo/proyekers

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Pengembangan Kawasan Peternakan

Kaharudin dan F. Sukmawati. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Umum Limbah Ternak untuk

Kompos dan Biogas. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian NTB

Lutojo, Sunarto dan J. Riyanto. 2010. Aplikasi Rancang Bangun Instalasi Terpadu Pengolah Limbah

Feses Dan Urin Untuk Industri Pupuk Organik Padat Dan Cair Pada Usaha Penggemukan Sapi

Potong

Muryanto, Pramono, Suprapto, Ekaningtyas, dan Sudadiyono. 2006. Biogas energi Alternatif Ramah

Lingkungan. Badan Penelitian dan Pengembangan pertanian BPTP Jawa Tengah, Semarang

Rahman, B. 2005. Biogas, Sumber Energi Alternatif. http://www. Kimianet.lipi.go.id. Kompas (8

Agustus 2005)

Sidu, D. 2006. “Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Jompi, Kabupaten Muna, Propinsi

Sulawesi Tenggara”. Disertasi Doktor. Pasca Sarjana IPB. Bogor

Sutejo, M. 1995. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT. Rineka Cipta, Jakarta

www.karanganyarkab.go.id. 2014. Profil Kabupaten Karanganyar

Page 161: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

154

Makalah 029

Biogas Sebagai Sumber Energi Utama Keluarga di Desa Jagoan,

Sambi, Boyolali

Joko Riyanto, Sunarto dan Lutojo

Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian UNS

Email : [email protected]

ABSTRAK

Pada usaha peternakan sapi potong dapat dipastikan diperoleh feses sebagai limbah. Namun

disisi lain, feses mempunyai potensi sebagai sumber bioenergi berupa biogas. Permasalahan pada

kelompok ternak “SambiMulyo”, “BerkahMulyo” dan “SidoMulyo” desa Jagoan Boyolali feses belum

maksimal pemanfaatannya sebagai biogas. Sebagian besar peternak belum memiliki digester biogas

sebagai sumber energy rumah tangga. Program IbDM di desa jagoan ini bertujuan untuk

memasyarakatkan penggunaan biogas sebagai sumber energi kompor biogas dan merintis

mewujudkan desa mandiri energi biogas. Metode penerapan ipteks dilakukan dengan metode (1)

instruksional dan dialog melalui kegiatan program penyuluhan menggunakan teknik FGD (Focus

Group Disscusion) disertai dengan evaluasi kemajuan tingkat pengetahuan dan pemahaman materi, (2)

pelatihan dengan peragaan pembuatan digester biogas skala rumah tangga dan produksi biogas (3)

metode percontohan pembuatan penggunaan biogas scalar umah tangga(4) monitoring dan evaluasi

berkelanjutan. Hasil yang diperoleh telah dibangun 4 unit instalasi biogas kapasitas 10 m3 pada ketiga

kelompok tani ternak dan telah berproduksi biogas sebagai sumber energy kompor biogas, sebanyak

16 Kepala Keluarga menggunakan kompor biogas sebagai pengganti kompor LPG, dan, penghematan

biaya energi rumah tangga sebesar Rp 45.400 per bulan per KK dan tidak tergantung LPG sebagai

sumber energi, peternak meningkat pengetahuan dan pemahaman tentang biogas, peningkatan fungsi

kelembagaan KTT dan gotong royong mengelola produksi biogas, usaha peternakan sapi potong tanpa

limbah (zero waste), dan lingkungan bersih (friendly environment).

Kata kunci : feses, biogas, slurry, mandiri energi, bioenergi rumah tangga

Pendahuluan

Di Desa Jagoan terdapat potensi biogas sebanyak 960 – 1.680 kg biogas perhari atau setara

dengan 320 – 560 tabung LPG kapasitas 3 kg. bSedangkan limbah biogas berupa slude atau slurry

masih dapat dimanfaatkan untuk produksi pupuk organik padat dan cair limbah biogas. Slurry dapat

digunakan sebagai pupuk organic (kompos) dengan kadar pencemar BOD dan COD kurang dari 90%

yang menyebabkan kompos tidak berbau dan berdampak lingkungan kandang tidak berbau

(environment friendly) dan tanpa diperoleh limbah (zero waste). Jumlah total peternak di ketiga

kelompok saat ini 60 orang. Jumlah sapi mencapai 100 -175 ekor sapi potong dengan kepemilikan 2 -

3 ekor sapi per peternak. Dari sisa usaha peternakan sapi tersebut diperoleh limbah feses setiap ekor

sapi sebanyak 20 kg jika diolah menjadi biogas maka dapat dihasilkan 2 m3 biogas atau setara dengan

elpiji 9,6 kg untuk setiap ekor sapi senilai Rp 65.000 per ekor sapi per hari atau Rp 1.950.000 per

bulan. Masyarakat Desa Jagoan sebagian besar sebagai peternak sapi potong yang tergabung dalam

kelompok tani ternak “Sambi Mulyo”, “Berkah Mulyo” dan “Sido Mulyo” merupakan kelompok

peternak usaha penggemukan dan pembibitan sapi potong. Usaha sapi potong berkembang dengan

kerjasama Universitas Sebelas Maret khususnya Prodi Peternakan.

Biogas dari feses sapi adalah gas yang dihasilkan dari proses penguraian bahan-bahan organik

oleh mikroorganisme pada kondisi langka oksigen (anaerob) dalam suatu instalasi biogas atau reactor

biogas. Biogas merupakan bahan bakar gas dapat diperbaharui (renewable fuel) (yang dihasilkan

secara anaerobic digestion atau fermentasi anaerob dari bahan organik dengan bantuan bakteri metana

Page 162: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

155

Methanobacterium sp untuk energi rumah tangga (Darsin, 2006; Wikan dan Asari, 2009). Proses

fermentasi memerlukan waktu 7 - 10 hari untuk menghasilkan biogas dengan suhu 35 oC dan pH

optimum 6,4 – 7,9 (Gunnerson dan Stucky, 1986, Anonimus, 1989). Nilai kalor biogas 4800 – 6700

k.kal/m3 (Anonimus, 1989). Kapasitas digester instalasi biogas 30 m3 digunakan untuk mengolah feses

dari 15 ekor sapi (Sudrajad, 2004, Muhammad, 1987). Digester biogas pada peternakan sapi potong

10-12 ekor atau kira-kira 18m3 mampu memproduksi biogas 6m3 perhari (Lutojo et al. 2014a). Setiap

KK menggunakan biogas tanpa batasan untuk sumber energi kompor tanpa dikenakan biaya (Lutojo et

al. 2014b).

Dari hasil pendampingan mulai tahun 2007di Desa Jagoan ini telah memiliki 4 digester biogas

menggunakan instalasi biogas model “fixed dome biogas plant”. terdiri dari 2 unit digester kapasitas

30m3 dari 20 ekor sapi potong sudah digunakan untuk 14 Kepala Keluarga (KK) rata-rata 4 anggota

keluarga dan 2 unit kapasitas 10m3 dari 10 ekor sapi potong digunakan untuk 7 KK. Namun demikian,

masyarakat Desa Jagoan Boyolali terutama peternak sapi potong belum maksimal memanfaatkan feses

sebagai sumber bioenergi berupa biogas dan limbah biogas sebagai pupuk organic padat dan cair.

Sekitar 90% peternak belum memiliki digester biogas atau belum memasyarakat penggunaan digester

biogas sebagai sumber energi rumah tangga. Hal ini dikarenakan masih rendahnya pengetahuan

peternak mengenai potensi feses sebagai sumber energi biogas dan pembuatan digester biogas serta

potensi limbah biogas (slurry) yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik padat dan cair.

Berdasarkan keadaan teresebut maka secara bersama-sama tim IbDM dengan masyarakat

peternak di ketiga kelompok tani ternak Desa Jagoan dilakuan kegiatan peningkatan kinerja instalasi

biogas menggunakan tambahan absorber, pengolahan limbah biogas padat dan cair untuk produksi

pupuk organik padat dan cair herbal limbah biogas, peningkatan pengetahuan dan keterampilan

memproduksi biogas dan pupuk organik padat dan cair limbah biogas, dan

perbanyakan/pemasyarakatan pembangunan instalasi biogas.

Materi dan Metode

Metode Penerapan Ipteks

• Metode instruksional dan dialog melalui kegiatan program penyuluhan menggunakan teknik FGD

(Focus Group Disscusion) disertai dengan evaluasi kemajuan tingkat pengetahuan dan

pemahaman materi dengan menghitung persentase kemajuan nilai berupa perbandingan nilai pre-

test dan pos-test. Materi berupa pembuatan digester biogas serta inovasi produksi dan penjualan

pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah biogas.

• Metode pelatihan dengan peragaan pembuatan digester biogas serta inovasi produksi dan

penjualan pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah biogas

• Metode percontohan dengan cara pembuatan dan penerapan pembuatan digester biogas serta

inovasi produksi dan penjualan pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah

biogas

• Penerapan dan pemasyarakatan pembuatan digester biogas serta inovasi produksi dan penjualan

pupuk organik padat limbah padat dan organik cair herbal limbah biogas.

• Penggunaan metode pemantauan melalui teknik monitoring terpadu dan berkelanjutan melibatkan

keterkaitan antara Dinas Pertanian Kabupaten Boyolali dan pemerintah Kecamatan Sambi

Boyolali dengan Tim IbDM Jurusan Peternakan UNS.

Evaluasi hasil kegiatan dengan memberikan penilaian terhadap :

• Respon peternak terhadap penyuluhan tentang penggunaan instalasi biogas skala rumah tangga

juga aplikasi pemanfataan limbah biogas menjadi produk pupuk organik padat dan cair herbal

limbah biogas.

• Dievaluasi hasil pelatihan dan keterampilan peternak tentang penerapan digester biogas skala

rumah tangga dan produk pupuk organik padat dan cair herbal limbah biogas.

• Dievaluasi tingkat penambahan pendapatan baru bagi peternak sapi potong “Sambi Mulyo”,

“Berkah Mulyo” dan “Sido Mulyo” Boyolali.yang menggunakan biogas sebagai sumber energy

utama skala rumah tangga.

Hasil dan Pembahasan

Page 163: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

156

Keadaan Umum Wilayah dan Kelompok Tani Ternak

Kabupaten Boyolali merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah.

Kabupaten Boyolali memiliki suhu sebesar 23 - 320C dan kelembaban 70 – 95%. Kabupaten Boyolali

memiliki luas wilayah sebesar 1.015 km2 yang terdiri dari 19 kecamatan, 267 desa dan 6 kelurahan.

Kecamatan Sambi merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Boyolali.

Kecamatan Sambi terdiri dari 16 desa dan luas wilayah Kecamatan Sambi 46.495 m2. Topografi 400-

700 dpl. Tingkat kepadatan penduduk 1.039 jiwa/km2, jumlah penduduk 48.303 jiwa terdiri dari

23.889 laki-laki dan 24.414 perempuan. Kecamatan Sambi secara administratif mempunyai batas-

batas wilayah yaitu Kecamatan Simo, Kecamatan Banyudono

, Kecamatan Susukan dan Kabupaten Semarang dan Kecamatan Ngemplak. Kecamatan Sambi

merupakan daerah yang subur dan memiliki ketersediaan air yang cukup, sehingga baik untuk

mengembangkan sektor pertanian di wilayah ini.

Desa Jagoan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sambi.Luas wilayah Desa

Jagoan 31.232 ha. Topografi 400-700 dpl. Kepadatan penduduk 100 Km2/jiwa dengan jumlah Kepala

Keluarga 1.086 KK terdiri dari laki-laki 1.948 orang dan perempuan 1.977 orang total jumlah

penduduk 3.925 orang.Desa Jagoan secara administratif mempunyai batas- batas wilayah yaitu

Sebelah Utara : Kecamatan Simo, Selatan : Kelurahan Sambi, Barat : Kelurahan Babatan, dan Timur :

Kecamatan Kepoh (Desa Jagoan, 2016). Desa Jagoan berpotensi untuk pengembangan peternakan

terutama untuk pengembangan ternak besar. Potensi peternakan di Desa Jagoan Sapi Potong sebanyak

290 ekor dan Kambing115 ekor. Desa Jagoan memiliki potensi pengembangan usaha penggemukan

sapi potong. Tersedianya fasilitas lahan peternakan, pakan ternak dan kultur masyarakat yang kental

dengan kehidupan peternakan sapi berpotensi besar untuk dikembangkan. Ternak besar khususnya

sapi potong merupakan komoditi unggulan di Desa Jagoan sedangkan kotorannya dapat dijadikan

pupuk kompos dan biogas.

Kelompok tani ternak “ Sambi Mulyo” berkedudukan di Dukuh Ringinwok Desa Jagoan,

Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah yang berkeinginan memperbaiki

kondisi ekonominya dan masyarakat untuk lebih baik dengan membentuk usaha bersama atau

perkumpulan yang bergerak dibidang usaha tani ternak penggemukan sapi Simental. Jumlah anggota

kelompok tani adalah 60 orang dengan rata-rata anggota memiliki satu sampai dua ekor sapi, lama

penggemukan 4-5 bulan. Keberadaan kelompok ini diharapkan sebagai media kebersamaan

peningkatan produktivitas penggemukan sapi, sehingga kondisi ekonomi dan kesejahteraan keluarga

dan masyarakat meningkat.

Kegiatan IbDM biogas sebagai energy keluarga di Desa Jagoan

Untuk mengatasi akar permasalahan feses hanya sebagai limbah dan bernilai ekonomis rendah

maka telah dilakukan perbaikan perkandangan (saluran buang feses dan urin terpadu dengan instalasi

biogas melalui kegiatan penyuluhan dan penerapan instalasi biogas. Hasil kegiatan berupa pembuatan

instalasi digester dan biogas holder kapasitas 10m3 untuk 5-10 ekor sapi potong dan kapasitas untuk 6

m3. Dilakukan pemasangan dan penggunaan absorber pada instalasi biogas dengan melakukan

kegiatan sosialisai, FGD, penyuluhan, pelatihan dan percontohan serta penerapan pmasangan absorber

pada instalasi biogas. Hasil yang diperoleh produksi meningkat 100% dengan peningkatan tekanan

biogas 100% dengan daya jangkau pengaliran > 500 meter dari instalasi biogas dikandang. Telah

dilakukan peningkatan pengetahuan dan keterampilan memproduksi biogas dan pupuk organik padat

dan cair limbah biogas. Metide kegiatan menggunanan metode FGD, penyuluhan dan pelatihan. Hasil

Page 164: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

157

yang diperoleh sekitar 30% masyarakat Desa Jagoan dan peternak ketiga Mitra meningkat

pengetahuan dan keteranpilan dalam produksi biogas dan pupuk organik padat dan cair limbah biogas

Usaha peternakan sapi potong masih dihasilkan feses yang mencemari lingkungan Perbaikan

manajemen perkandangan dan pembuangan limbah feses dan urin Percontohan kandang terpadu

dengan instalasi biogas 30% kandang sapi sudah dibangun instalasi biogas dan usaha peternakan sapi

potong berlangsung ramah lingkungan (environment friendly) dan tanpa limbah (zero waste).

Untuk mengetahui penerimaam dan peningkatan pengetahuaan dan pemahaman potensi feses

dilakukan evaluasi pre-test dan post test. Penyuluhan dilaksanakan dengan metode ceramah dan

diskusi. Materi pre-test dan post-test dibuat sama, pre-test dilaksanakan sebeleum penyukuhan dan

post-test dilakukan setelah penyuluhan. Materi evaluasi terkait dengan potensi feses sapi potong.

evaluasi dibuat dengan cara peternak menjawab 10 pertanyaan dan sudah disediakan jawaban Benar

dan Salah. Evaluasi tingkat kemajuan dihitung dengan cara mencari prosentase jawaban yang benar

dari 10 soal baik pre-test maupun post-test kemudian selisih nilai dicari persentase terhadap nilai pre-

test. Hasil penyuluhan : kehadiran 100%, terdapat kemajuan peningkatan pengetahuan dan

pemahaman potensi feses 112%. Penyuluhan diberikan kepada semua KTT secara bergilir dan

dijadwal. Tempat penyuluhan di rumah ketua masing-masing KTT. Penyuluhan di KTT Sambi Mulyo

nilai kemajuan pengetahuan materi 120%, di KTT Sido Mulyo nilai kemajuan pengetahuan materi

125% dan KTT Berkah Mulyo nilai kemajuan pengetahuan materi 105%.

Kegiatan penyuluhan dengan topic Pemanfaatan Limbah Biogas Sebagai Pupuk Organik Padat

dan cair dilaksanakan rumah ketua KTT Sido Mulyo Desa Jagoan, Kecamatan Sambi, Kabupaten

Boyolai. Penyuluhan dilaksanakan dengan metode ceramah dan diskusi. Untuk mengetahui

penerimaam dan peningkatan pengetahuaan dan pemahaman potensi feses dilakukan evaluasi pre-test

dan post test. Materi pre-test dan post-test dibuat sama, pre-test dilaksanakan sebeleum penyukuhan

dan post-test dilakukan setelah penyuluhan. Materi evaluasi terkait dengan Pemanfaatan Lim bah

Biogas Sebagai Pupuk Organik Padat dan cair. evaluasi dibuat dengan cara peternak menjawab 10

pertanyaan dan sudah disediakan jawaban Benar dan Salah. Evaluasi tingkat kemajuan dihitung

dengan cara mencari prosentase jawaban yang benar dari 10 soal baik pre-test maupun post-test

kemudian selisih nilai dicari persentase terhadap nilai pre-test. Hasil penyuluhan : kehadiran 100%,

terdapat kemajuan peningkatan pengetahuan dan pemahaman potensi feses 110%.

Pelatihan dilaksanakan dengan metode peserta mendatangi dan dinerikan petunjuk teknis

proses produksi biogas dan manajemen biogas untuk sumber energi kompor gas. Para peserta

ditunjukkan dan dibawa langsung ke peternak Sambi Mulyo yang sudah menggunakan instalasi biogas

untuk memanfaatkan limbah feses sebagai produksi biogas. Peternak mendapatkan infromasi

komponen dan cara kerja masing unit dalam instalasi biogas, praktek langsung manajemen feses

sampai menjadi biogas mulai dari mencampur feses denganair, mengaduk, memasukkan dalam

digester serta cara penggunaan kompor biogas. Selama kegiatan pelatihan peserta didampingi tim

lengak IbDM dan pengurus KTT Sido Mulyo dan peternak. Jadawal pelakasanaan dibuat dengan

bergiliran datang ke tempat pelatihan masing-masing KTT. Pelatihan dilaksanakan secara bergantian

kepada semua KTT dengan tingkat kehadiran 100%.

Di Desa Jagoan khususnya peternak sapi potong yang tergabung dalam KTT Sambi Mulyo,

Sido Mulyo dan Berkah Mulyo telah dilakukan pemanfaatan feses menjadi biogas. Feses saat ini

meningkat nilainya yang tadinya hanya sebagai limbah sekarang meningkat nilainya menjadi sumber

biogas. Dikandang sapi potong sudah tidak ada lagi tumpukan feses. Kandang menjadi lebih bersih

dan sehat serta audah tidak ada limbah lagi (zero waste) dan lingkuan menjadi sehat dan ramah

lingkungan (environment friendly).

Satu unit instalasi 10m3 dapat menampung feses dari 4-5 ekor sapi potong dan produksi

biogas setiap hari sudah dapat digunakan oleh 16 kepala keluarga untuk sumber panas kompor biogas.

Untuk peternak yang rumahnya tidak berdekatan dengan kandang maka biogas dialirkan

menggunakan pipa paralon plastic dari instalasi biogas ke rumah. Semenjak menggunakan biogas

kompor maka peternak sudah tidak pernah lagi menggunakan LPG untuk energy rumah tangga.

Bangunan kandang dan lingkungan kandang menjadai sehat dan mudah dibersihkan serta tidak ada

lagi tumpukan feses disekitaran kandang. Lingkungan jadi sehat, aman, tidak ada bau feses, dan ramah

lingkungan. Sekitar 30% kandang sapi sudah dibangun instalasi biogas dan usaha peternakan sapi

potong berlangsung ramah lingkungan (environment friendly) dan tanpa limbah (zero waste).

Page 165: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

158

KESIMPULAN

Sebanyak 30% peternak ketiga anggota meningkat pengetahuan dan pemahamannya mengenai

biogas terutama dalam hal produksi dan manajemen biogas setelah mereka peternak Kemajuan tingkat

pengetahuan dan pemahaman 105-125% setelah mengikuti pre-test dan post-test ketika penyuluhan

dan pelatihan. Di Desa Jagoan khususnya peternak sapi potong yang tergabung dalam KTT Sambi

Mulyo, Sido Mulyo dan Berkah Mulyo telah memiliki instalasi biogas sebanyak 4unit kapasitas 10 m3

untuk menampung 4-5 ekor sapi per unit biogas. Biogas yang diproduksi sudah digunakan sebagai

sumber utama energy kompor biogas untuk 16 kepala keluarga (30%). Dikandang sapi potong sudah

tidak ada lagi tumpukan feses. Kandang menjadi lebih bersih dan sehat serta audah tidak ada limbah

lagi (zero waste) dan lingkuan menjadi sehat dan ramah lingkungan (environment friendly).

Ucapan Terimakasih

Terimakasih diucapakan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat

Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Sesuai dengan Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Program Pengabdian Masyarakat Nomor :

028/SP2H/PPM/DRPM/IV/2017, tanggal 3 April 2017.

Daftar Pustaka

Anononimus. 1984. Updated Guidebook on Biogas Development - Energy Resources Development Series 1984,

No. 27, United Nations, New York, USA.

Darsin, M. 2006. Design of Biogas Circulator, Seminar Nasional Kreativitas Mesin Brawijaya 2006, Universitas

Barawijaya, Malang.

Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic Digestion: Principles and Practices for Biogas System. The

World bank Washington, D.C., USA.

Lutojo, Yuli Yanti dan Joko Riyanto 2014a. Pemanfaatan Feses Sapi Untuk Produksi Biogas Sebagai Sumber

Energi Rumah Tangga. Proseding Seminar Nasional “Pembangunan Peternakan Indonesia Berbasis Riset

Inovatif” 22-23 Oktober 2014 Fakultas Pertanian UNS.

Lutojo, Yuli Yanti dan Joko Riyanto. 2014b. Pemanfaatan Limbah Biogas Untuk Produksi Pupuk Organik Padat

Dan Cair Herbal. Proseding Berkelanjutan ke-6 “Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal

Menuju Kedaulatan Pangan” Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Nopember 2014. Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran

Muhamad, J. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatakan Unit Gas Bio. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta

Sudradjat, R. 2004. The Potential of Biomass Energy resources in Indonesia for the Possible Development of

Clean Technology Process (CTP). International Workshop on Biomass Clean Fossil Fuel Power Plant

Technology: Sustainable Energy Development CDM. Jakarta, January 13-14, 2004.

Page 166: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

159

Wikan, T.W dan A. Asari . 2009. Teori dan Konstruksi Instalasi Biogas Balai Besar Pengembangan Mekanisasi

Pertanian Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian Serpong,

Page 167: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

160

Makalah 030

Model Pemanfaatan Biogas sebagai Sumber Energi Alternatif bagi Masyarakat pada

Kelompok Ternak Niti Rejeki Pleret, Bantul

Adi Magna Patriadi Nuhriawangsa, Lilik Retna Kartikasari, Bayu Setya Hertanto dan Dani Ardika1)

1)Laboratorium Industri dan Pengolahan Hasil Ternak, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian,

Universitas Sebelas Maret Surakarta, Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Jebres, Surakarta 57154

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengaplikasikan model pemanfaatan biogas dari sumber kotoran

sapi potong di kelompok ternak Niti Rejeki untuk sumber energi alternatif pada kompor dan lampu.

Bahan yang digunakan adalah feses dari 10 ekor sapi potong, instalasi digester biogas 12 m3 dengan

kelengkapan lampu dan kompor, 10 KK anggota kelompok ternak dan model alur pemanfaatan biogas

sebagai sumber energi alternatif. Metode yang digunakan adalah participatory rural appraisal,

ceramah, diskusi dan praktek cara pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif pada tingkat

keluarga. Ceramah, diskusi dan praktek model pemanfaatan biogas telah dilaksanakan pada kelompok

ternak Niti Rejeki, Pleret, Bantul dengan memanfaatkan biogas sebagai sumber kompor dan lampu.

Sepuluh ekor sapi menghasilkan kotoran untuk digester biogas ukuran 7,5 m3 (1,19 m3 gas bio) dapat

digunakan untuk 10 KK dengan pemakaian kompor 5,3 jam (0,75 m3 gas bio) dan lampu 2,1 jam

(0,42 m3 gas bio). Penggunaan ini belum maksimal karena masih ada sisa 4,5 m3 digester kosong

untuk memenuhi digester 12 m3 yang ada. Sepuluh KK anggota kelompok ternak Niti Rejeki dapat

memanfaatan biogas sebagai energi alternatif dengan menggunakan masing-masing satu kompor dan

satu lampu. Pemanfaatan biogas bisa ditingkatkan lagi mencapai volume digester kapasitas 12 m3

dengan menambah 6 ekor sapi.

Kata Kunci: model pemanfaatan biogas, digester, lampu, kompor, kelompok ternak

Pendahuluan

Limbah feses ternak sapi sebagai sumber energi alternatif belum dimanfaatkan oleh peternak,

sehingga jika limbah dibuang di lingkungan dapat mengakibatkan dampak merugikan bagi lingkungan

(Damanik et al., 2014). Biogas yang dihasilkan dari pengolahan kotoran ternak berperan besar bagi

peternak. Peternak dapat memanfaatkan biogas sebagai energi alternatif, sehingga dapat meringankan

biaya bahan bakar dan meningkatkan taraf hidup peternak (Darmawi, 2009). Biogas termasuk bioful

yang mempunyai nilai energi tinggi dari gas metana yang dapat dihasilkan dari fermentasi limbah

ternak. Hasil fermentasi mikrobia dalam limbah ternak tersebut selain menghasilkan biogas juga

menghasilkan lumpur yang dapat digunakan pupuk. Biogas dapat dimanfaatkan sebagai energi

terbarukan dan dapat mengurangi dampak lingkungan dengan adanya limbah organik di daerah

perkotaan maupun pedesaan (das Neves et al., 2009). Biogas sebagai teknologi praktis, andal, bersih

dan menjanjikan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan kayu, sehingga dapat

mengurangi emisi gas rumah kaca yang dapat mempengaruhi iklim (Arthur et al., 2011). Feses ternak

sapi dapat menghasilkan biogas sebanyak 129.396,26 ml dan untuk memasak membutuhkan

112.231,45 ml dengan waktu memasak 18 menit, dengan demikian dapat menggantikan sumber energi

minyak tanah dan kayu bakar (Mirah et al., 2016).

Desa sebagai sumber energi alternatif terbarukan dapat memanfaatkan kotoran sapi menjadi

biogas. Permasalahan biasa yang terjadi dalam pemanfaatan tersebut adalah hak teknologi dan

pengolahan kotoran ternak biogas, potensi limbah yang diolah menjadi biogas sangat besar belum

dimanfaatkan, kurangnya sanitasi lingkungan sapi, bahan bakar keperluan rumah tangga

menggunakan kayu bakar, dan kurangnya informasi dan pemahaman di bidang IPTEK (Hamri et al.,

2017). Teknologi baru aplikasi biogas yang akan diterapkan kepada masyarakat desa harus dilihat dari

kacamata aspek sosio kultural, karena rendahnya latar belakang pendidikan, pengetahuan dan

Page 168: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

161

wawasan yang mereka miliki. Oleh karena itu dalam penerapannya diperlukan sosialisasi yang terus

menerus dan ditunjukan adanya keuntungan secara ekonomi, agar aplikasi tersebut dapat berhasil

(Hastuti, 2009).

Kelompok ternak Niti Rejeki telah memanfaatkan kotoran ternak untuk pembuatan biogas dan

diaplikasikan pada kompor dan lampu di kompleks kandang ternak (Nuhriawangsa et al., 2016a).

Model yang digunakan dalam pembuatan biogas dengan alur tertentu dan instalasi digester

mempunyai kapasitas 12 m2 (Nuhriawangsa et al., 2016b). Pemanfaatan tersebut akan lebih efektif

jika digunakan untuk anggota kelompok ternak, sehingga dalam pengabdian ini dikembangkan model

pemanfaatannya untuk masyarakat yang terdiri dari anggota kelompok ternak tersebut.

Materi dan Metode

Materi yang digunakan adalah feses dari 10 ekor sapi potong jenis PO, instalasi digester biogas

12 m3 model Biru (Biogas Rumah), lampu dan kompor modifikasi untuk biogas, 10 KK anggota

kelompok ternak dan model alur pemanfaatan biogas.

Metode yang digunakan adalah Participatory Rural Appraisal menurut Chambers (1994),

adalah suatu pendekatan dalam proses pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat, yang

tekanannya pada keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan kegiatan pembangunan. Selain itu juga

menggunakan cara analisis deskriptif menurut Sugiyono (2008), cara mengumpulkan data sesuai yang

sebenarnya, data disusun, diolah dan dianalisis untuk memberikan gambaran mengenai masalah yang

ada. Cara yang digunakan dengan ceramah, diskusi, kuisioner dan praktek pemanfaatan biogas.

Hasil dan Pembahasan

Model instalasi biogas yang digunakan adalah komponen reaktor biogas teknologi biru (Gambar

1) yang sudah digunakan di Indonesia untuk tingkat keluarga dengan menggunakan dua ekor sapi.

Pada pengabdian ini digester dimodifikasi ukuran volume digesternya menjadi 12 m3 untuk

kapasitas 15 ekor sapi. Biogas yang dihasilkan digunakan sebagai konsumsi rumah tangga untuk

penggunaan kompor dan lampu (Biru, 2015). Biogas merupakan produk dari pencernaan aerobik feses

sapi yang dapat digunakan untuk memasak dengan sumber bahan baku feses yang selalu tersedia.

Fasilitas biogas yang digunakan untuk tiap keluarga di India mempunyai kapasitas yang berbeda

sesuai dengan perencanaan ekonomi keluarga pengguna dengan kapasitas volume digester 1-5 m3

(Singh dan Sooch, 2004). Pada tingkat keluarga di Andes kapasitas digester untuk produksi biogas

berkisar antara 2,4 dan 7,5 m3 dengan waktu fermentasi 60-90 hari (Ferrer et al., 2012).

Instalasi reaktor biogas teknologi biru terdiri dari inlet (tangki pencampur) dengan mixer

berbentuk lingkaran tempat bahan baku kotoran (feses sapi atau babi) dimasukkan, reaktor (ruang

anaerobik/hampa udara), penampung gas (kubah penampung), outlet (ruang pemisah), sistem pipa

penyalur gas yang dilengkapi dengan water drain dan lubang penampung ampas biogas atau lubang

pupuk kotoran yang telah terfementasi (Biru, 2015). Instalasi biogas terdiri dari bak pengisi dan inlet,

digester dan bak penampung biogas (Putro, 2007: Widodo et al., 2009).

Sepuluh anggota KK dari kelompok ternak Niti Rejeki telah diberi penyuluhan dan pelatihan

untuk pengelolaan dan pemeliharaan instalasi digester serta lampu dan kompor gas sebagai aplikasi

biogas. Dengan demikian dapat menggunakannya untuk aplikasi energi baru terbarukan sebagai

pengganti kayu dan gas. Hal ini sesusia dengan pendapat Rahayu et al. (2009), penyuluhan dengan

cara ceramah, diskusi, workshop dan diseminasi tentang aplikasi pemanfaatan kotoran ternak untuk

pembuatan biogas dapat mengaspirasi kelompok ternak untuk memanfaatkan biogas sebagai sumber

alternatif bahan bakar.

Sepuluh ekor sapi menghasilkan kotoran untuk digester biogas ukuran 7,5 m3 (1,19 m3 gas bio).

Digister untuk menghasilkan biogas dapat dimaksimalkan dengan pengisian sisa 4,5 m3 digester

kosong untuk memenuhi digester 12 m3. Nawan (2012) menyatakan jika digester fermentasi selama 90

hari untuk volume 3,5 m3 maka butuh 5 sapi potong. Hasil pendekatan berdasarkan pendapat Nawan

(2012) tersebut dengan kekosongan volum yang difermentasi 4,5 m3 digister pada kelompok ternak

Niti Rejeki membutuhkan 6 ekor sapi lagi. Biogas dapat dihasilkan dari istalasi biogas yang bersumber

dari kotoran ternak sapi potong (Nuhriawangsa, 2016b). Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan

23,59 kg kotoran tiap harinya (Rahayu et al., 2009), sehingga 10 ekor sapi dapat menghasilkan 235,9

Page 169: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

162

kg kotoran/hari. Sistem peternakan terpadu dengan pendekatan teknologi biogas merupakan salah satu

teknologi tepat guna untuk mengolah limbah peternakan. Teknologi ini menggunakan mikrobia alam

untuk merombak limbah organik pada ruang kedap udara (anaerob) sehingga dihasilkan gas methana

(CH4) sebagai bahan bakar gas (BBG). Produksi biogas merupakan hasil dari sistem pertanian terpadu

yang berkelanjutan dengan sistem proses terbarukan dan ramah lingkungan (Wahyuni, 2008).

Gambar 1. Komponen reaktor biogas teknologi biru (Biru, 2015)

Satu kompor yang dinyalakan 4 jam membutuhkan 1 m3 gas bio dan lampu petromaks

membutuhkan 0,5 m3 untuk hidup 8 jam, sehingga 2 kompor dan 3 lampu dalam satu hari

membutuhkan 3,5 m3 gas bio (Nawan, 2012). Berdasarkan pustaka Nawan (2012) tersebut, maka

kelompok ternak Niti Rejeki dengan jumlah 10 KK dapat memanfaatkan pemakaian kompor selama

3,33 jam (0,83 m3 gas bio) dan lampu 5,00 jam (0,31 m3 gas bio). Dari data tersebut maka tiap KK

dapat memanfaatkan kompor gas selama 19 menit dan lampu petromaks 30 menit dalam pengabdian

ini. Pada penelitian Mirah et al. (2016) pemanfaataan feses ternak sapi dapat menghasilkan biogas

untuk memasak 112.231,45 ml dengan waktu memasak 18 menit, sehingga dapat menggantikan

sumber energi konvensional seperti minyak tanah dan kayu bakar. Biogas yang dihasilkan oleh

peternak berperan sebagai energi alternatif untuk pengganti/subsitusi bahan bakar minyak tanah dan

kayu, sehingga dapat meringankan biaya bahan bakar dengan penggunaan minyak tanah dan kayu

(Darmawi, 2009).

Simpulan

Biogas yang ada di kelompok ternak Niti Rejeki dapat digunakan untuk sumber energi alternatif.

Pemanfaatan biogas bisa ditingkatkan lagi mencapai volume digester kapasitas 12 m3 dengan

menambah 6 ekor sapi.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih kepada Rektor UNS melalui Ketua LPPM UNS dengan diberikannya Hibah

Pemberdayaan Masyarakat (IPM) Kegiatan Ipteks Bagi Masyarakat (IbM) Dana PNBP UNS tahun

2017 dengan Nomer Kontrak Pengabdian No. 624/UN27.21/PM/2017 tanggal 10 April 2017.

Page 170: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

163

Daftar Pustaka

Arthur, R., M. F. Baidoo and E. Antwi. 2011. Biogas as a potential renewable energy source: A Ghanaian case

study. Renewable Energy. 36(2011): 1510-1516.

Biru (Biogas Rumah), 2015. Teknologi Biru. http://www.biru.or.id/index.php/digester/.

Chambers, R . 1994. ‘The origins and practices of participatory rural appraisal’ World Development. Vol (22) :

953-969.

das Neves, L. C. M, A. Convert and T. C. V. Penna. 2009. Biogas production: New trends for alternative energy

sources in rural and urban zones. Chemical Engineering and Technology. 32(8): 1147-1153.

Damanik, L. H., A. H. Husodo dan T. Gunawan. 2014. Pemanfaatan feses ternak sapi sebagai energi alternatif

biogas bagi rumah tangga dan dampaknya terhadap lingkungan. Jurnal TeknoSains. 4(1): 54-63.

Darmawi, D. 2009. Peranan Biogas Limbah Ternak Sapi Bantuan PT. Petrochina bagi peternak di Kabupaten

Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan November. XII(4): 191-195.

Dewi Hastuti. 2009. Aplikasi teknologi biogas guna menunjang kesejahteraan petani ternak. Mediagro. 5(1): 20

- 26.

Ferrer, I., M. Garfí, E. Uggetti, L. Ferrer-Martí, A. Calderon and E. Velo. 2012. Biogas production in low-cost

household digesters at the Peruvian Andes. Biomass and Bioenergy. 35(5): 1668-1674.

Hamri, I. Hasan dan M. Nawir. 2017. Penerapan alat biogas kotoran sapi di Desa Pattiro Deceng, Kecamatan

Camba Kabupaten Maros. Jurnal Balireso. 2(1): 37-46.

Mirah, A. D., J. E. M. Soputan dan C. P. Paruntu. 2016. Feses ternak sapi sebagai penghasil biogas. Jurnal

LPPM Bidang Sains dan Teknologi. 3(1): 1- 9.

Nawan, 2012. Merancang Instalasi Biogas. http://komporbiogas-nawan38.blogspot.co.id/.

Nuhriawangsa, A . M. P., L. R. Kartikasari, B. S. Hertanto, M. Cahyadi dan P. A. Pradana. 2016a. Penerapan

Konsep Zero Waste pada Usaha Sapi Potong sebagai Solusi Peternakan yang Ramah Lingkungan. Dalam:

Prosiding Seminar Nasional Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas maret,

Surakarta: Pengembangan Potensi Ternak Lokal Terpadu Berkelanjutan Berbasis Aplikasi Teknologi

Inovatif. Hal: 218-220.

Nuhriawangsa, A. M. P., L. R. Kartikasari, M. Cahyadi dan B. S. Hertanto. 2016b. Peningkatan Produk

Pengolahan Limbah Kotoran Ternak Sapi sebagai Pupuk Organik Padat dan Cair dengan Konsep Ramah

Lingkungan yang Berbasis pada Peternakan Sapi Potong. Laporan Akhir Skim Hibah IPM-IbM Dana

PNBP UNS. Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Putro, S. 2007. Penerapan Instalasi Sederhana Pengolahan Kotoran Sapi Menjadi Energi Biogas di Desa Sugihan

Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo. WARTA. 10(2): 178 – 188.

Rahayu, S., D. Purwaningsih dan Pujianto. 2009. Pemanfaatan kotoran ternak sapi sebagai sumber energi

alternatif ramah lingkungan beserta aspek sosio kulturalnya. Inotek. 13(2): 150-160.

Singh, K. J. and S. S. Sooch. 2004. Comparative study of economics of different models of family size biogas

plants for state of Punjab, India. Energy Conversion and Management. 45(9-10): 1329-1341.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Alfa Beta, Bandung.

Widodo, T. W., A. Asari, N. Ana and R. Elita. 2009. Design and development of biogas reactor for farmer group

scale. Indonesian Journal of Agriculture. 2(2): 121-128.

Page 171: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

164

Makalah 031

Analisis Keberdayaan Peternak Sapi Potong berbasis Limbah Industri Brem di

Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri

Sudiyono1, Shanti Emawati2, Diffah Hanim3, Endang Tri Rahayu4 dan Ratih Dewanti5

12345Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan, Gizi dan Kesehatan Masyarakat (P4GKM) 1245Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS),

Indonesia 3Program Studi Kedokteran, Fakultas Kedokteran, UNS, Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis keberdayaan peternak sapi potong berbasis

limbah industri brem di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini dilaksanakan

pada tanggal 4 Mei– 28 Agustus 2017 di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri, Indonesia.

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dan penentuan responden dengan

metode purposive (sengaja). Data yang digunakan meliputi data primer dari responden yaitu peternak

sapi potong berbasis limbah industry brem dan data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat

Statistik (BPS) Kabupaten Wonogiri dan Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kabupaten

Wonogiri. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa tingkat keberdayaan peternak di Kecamatan Nguntoronadi tergolong cukup baik. Hal ini

disebabkan, cukup baiknya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat akibat dari

cukup baiknya kualitas sumberdaya manusia (modal manusia) yang dimiliki. Kualitas modal manusia

yang cukup baik akan berakibat pada pengetahuan dan pemahaman peternak terhadap sumberdaya

produksi, lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan lebih percaya diri dalam berinteraksi

dengan pihak luar. Peternak berdaya mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok atau

organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya serta secara

bebas dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan

pemenuhan kebutuhannya.

Kata kunci : analisis keberdayaan, peternak, sapi potong, limbah, industry brem

Pendahuluan

Salah satu upaya pemerintah memenuhi kecukupan daging adalah dengan mengeluarkan Paket

Kebijakan Ekonomi Jilid IX yang memfokuskan upaya untuk memastikan pasokan dan stabilitas harga

daging sapi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan daging sapi dalam negeri terus

meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2016 kebutuhan nasional setahun mencapai 674,69 ribu ton atau

setara dengan 3,9 juta ekor sapi. Permintaan daging sapi yang terus meningkat tersebut belum dapat

dipenuhi oleh pasokan daging sapi dari peternak lokal. Oleh karena itu, saat ini pemerintah tengah

berupaya meningkatkan pasokan produksi daging sapi dalam negeri. Beberapa upaya tersebut

dilakukan antara lain melalui upaya peningkatan populasi, pengembangan logistik dan distribusi,

perbaikan tata niaga sapi dan daging sapi, serta penguatan kelembagaan melalui Sentra Peternakan

Rakyat (SPR).

Produksi sapi peternak lokal hanya mencapai 439,53 ribu ton per tahun, atau setara dengan 2,5

juta ekor sapi. Dengan demikian, masih terdapat kekurangan pasokan sekitar 235,16 ribu ton.

Mengingat upaya pemenuhan pasokan daging sapi dalam negeri memerlukan waktu, maka untuk

memenuhi kebutuhan daging sapi dalam negeri perlu dibarengi dengan pasokan dari luar negeri untuk

menutup kekurangan tersebut yaitu dengan memperluas akses dari negara maupun zona tertentu yang

Page 172: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

165

memenuhi syarat kesehatan hewan, sesuai dengan yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan

Internasional (OIE) (Kemenkeu, 2016).

Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu wilayah yang memiliki jumlah populasi sapi potong

terbanyak kedua di Jawa Tengah setelah Kabupaten Blora yaitu 154,75 ribu ekor. Hal ini

menunjukkan bahwa Kabupaten Wonogiri berpotensi untuk pengembangan sapi potong mengingat

kebutuhan daging terus meningkat.

Salah satu upaya upaya pemenuhan kecukupan daging di Kabupaten Wonogiri adalah dengan

peningkatan produksi sapi peternak lokal melalui penyediaan sumber pakan alternative bagi ternak

sapi yaitu dengan pemanfaatan limbah industry brem. Di Kabupaten Wonogiri terdapat sentra industri

brem yang terletak di Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi. Pengembangan industry brem tersebut

sudah berlangsung sejak lama dan dilakukan secara tradisional dan turun menurun. Masyarakat sekitar

memanfaatkan limbah industry brem untuk pakan ternak sebagai pemacu penggemukan sapi potong

sehingga hampir semua masyarakat yang menggeluti industri brem ini dipastikan memiliki usaha

ternak sapi potong. Pada proses pembuatan makanan brem, dari bahan yang diproses, hanya sekitar

30% yang berhasil menjadi makanan brem. Sisanya 70% menjadi limbah yang berupa air dan ampas

beras (Probowati et al., 2012).

Pemanfaatan limbah industry brem sebagai pakan ternak akan mengurangi biaya pakan ternak

sehingga sangat berpotensi untuk dikembangkan. Diperlukan upaya pemberdayaan bagi peternak sapi

potong agar pemanfaatan bahan limbah industri pertanian sebagai pakan didasarkan pada penyusunan

ransum pakan sesuai kebutuhan ternak. Dalam penggunaan limbah industry brem/ampas brem sebagai

pakan ternak alternatif sangat diperlukan data-data tentang bahan limbah yang akan dipakai. Data-data

atau hasil analisa proksimat bahan limbah pabrik pertanian akan sangat berguna dalam penyusunan

pakan ternak sapi potong sesuai dengan kebutuhan harian gizi ternak. Kandungan nutrisi limbah

industry brem/ampas brem yaitu 81,634% BK, 3,150% PK, 2,120% LK, 2,100% SK dan 55,826%

TDN (Analisa proksimat Laboratorium Pakan Lolit Sapi Potong, Grati, Pasuruan).

Menurut Sidu (2006), tujuan pemberdayaan adalah membentuk individu dan masyarakat

menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan

apa yang dilakukan. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh

masyarakat dan ditandai kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang

dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya,

kekuatan atau kemampuan yang dimiliki. Daya, kekuatan atau kemampuan yang dimaksud adalah

kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik-

material. Menurut Sidu (2006), keberhasilan proses pemberdayaan sangat tergantung dari dukungan

faktor-faktor physical capital, human capital, social capital, dan kemampuan pelaku pemberdayaan.

Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan penelitian yang bertujuan menganalisis keberdayaan

peternak sapi potong berbasis limbah industri brem di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten

Wonogiri.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada 4 Mei– 28 Agustus 2017 di Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten

Wonogiri, Indonesia. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

kuantitatif yaitu penelitian dengan memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang

diangkakan (Sugiyono, 2003). Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap prasurvei dan tahap

survei. Tahap prasurvei dilaksanakan untuk menentukan lokasi pengambilan data. Tahap survei

dilaksanakan untuk pengambilan data, baik data primer dari reponden maupun data sekunder dari

dinas terkait.

Metode penentuan lokasi dan sampel penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) dengan

pertimbangan bahwa Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi merupakan wilayah yang berpotensi

dalam usaha penggemukan sapi potong dengan memanfaatkan limbah industri brem sebagai pakan

sapi. Purposive sampling berarti sampel dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006).

Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk mengidentifikasi potensi dan masalah

serta dapat menentukan alternatif pemecahannya secara mandiri. Keberdayaan masyarakat diukur

melalui tiga aspek perilaku (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) dengan sejumlah parameter.

Page 173: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

166

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Responden

Karakteristik peternak dalam kegiatan ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah

kepemilikan ternak, pekerjaan peternak, dan jumlah anggota keluarga yang ditanggung peternak.

Tabel 1. Karakteristik Responden

No. Karakteristik responden Uraian 1. Tingkat pendidikan SMA 2 Umur 49 tahun 3 Pekerjaan utama Wiraswasta brem 4 Jumlah anggota keluarga 5 orang 5 Jumlah kepemilikan ternak 3 ekor

1. Umur

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa peternak sapi potong rata-rata berusia 49 tahun. Hal ini

menunjukkan umur peternak digolongkan dalam usia produktif untuk bekerja. Hasil tersebut didukung

Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003, seseorang yang dikelompokkan sebagai tenaga

kerja berusia 15 sampai dengan 64 tahun (Arsyad, 1999). Usia peternak yang produktif atau masih

muda pada umumnya rasa keingintahuan terhadap sesuatu semakin tinggi dan minat untuk

mengadopsi terhadap introduksi teknologi semakin tinggi (Chamdi, 2003).

2. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan peternak tergolong tinggi dengan lulusan lulusan SMA dan sederajad.

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi juga tingkat produktivitas atau

kinerja tenaga kerja tersebut (Simanjuntak, 2001). Pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan

sikap seseorang, terutama dalam hal pengambilan keputusan dan pengaturan manajemen dalam

mengelola suatu usaha. Pendidikan mempermudah dalam menerima atau mempertimbangkan suatu

inovasi yang dapat membantu mengembangkan usaha menjadi lebih baik dari sebelumnya, sehingga

peternak tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi yang semakin modern (Tiafery, 2016).

Soekartawi et al. (1986) menyatakan bahwa pendidikan seseorang akan mempengaruhi pula dalam

menjalankan usaha secara efektif dan efisien.

3. Jumlah kepemilikan ternak

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah kepemilikan ternak sapi potong peternak rata-

rata 3 ekor. Menurut pendapat Sostroamidjojo dan Soeradji(1990), skala usaha peternakan sapi rakyat

digambarkan oleh jumlah kepemilikan ternak yang kecil, ternak yang dimiliki petani hanya satu

sampai beberapa ekor. Tingkat kepemilikan ternak sapi sangat berpengaruh kepada besar kecilnya

pendapatan usaha sapi potong (Krisna dan Harry, 2014).

4. Pekerjaan responden

Berdasarkan Tabel 1 sebagian besar peternak sapi potong di Desa Gebang Kecamatan

Nguntoronadi bermatapencaharian sebagai wirausaha industry brem. Usaha peternakan dijadikan

sebagai pekerjaan sampingan karena hasil dari usaha peternakan dapat dijadikan sebagai tambahan

pendapatan bagi keluarga (Tiafery, 2016). Susanto (2003) menyatakan bahwa untuk menghadapi

resiko usaha seperti kegagalan produksi, petani melakukan usaha sampingan sebagai salah satu

sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.

5. Jumlah anggota keluarga

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung

jawab peternak rata-rata 5 orang. Banyaknya jumlah keluarga akan mendorong petani untuk

melakukan banyak aktivitas terutama dalam mencari dan menambah pendapatan keluarganya

Page 174: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

167

(Soekartawi, 2003). Menurut Nurcahya (2009) bahwa keluarga petani yang relatif banyak merupakan

sumber persediaan tenaga kerja, tetapi juga merupakan beban hidup yang harus ditanggung dan

dinafkahi oleh kepala keluarga petani tersebut.

Tingkat Keberdayaan Masyarakat

Hasil analisis tingkat keberdayaan masyarakat tersaji pada Tabel 2

Tabel 2. Tingkat keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi, Kab.Wonogiri

No Keberdayaan Masyarakat Jumlah Kategori Presentase (%)

1

Pengetahuan a. Jumlah skor 5 - 8 4 Kurang baik 13,33

b. Jumlah skor 9 - 12 15 Sedang 50,00

c. Jumlah skor 13 - 15 11 Baik 36,67

2

Sikap a. Jumlah skor 7 - 11 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 12 - 16 5 Sedang 16,67

c. Jumlah skor 17 - 21 25 Baik 83,33

3

Keterampilan a. Jumlah skor 5 - 8 1 Kurang baik 3,33

b. Jumlah skor 9 - 12 12 Sedang 40,00

c. Jumlah skor 13 - 15 17 Baik 56,67 Sumber : Data primer terolah, 2017.

Menurut Sidu (2006) secara umum pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya

masyarakat untuk mengenal, menggali dan memanfaatkan potensi yang dimiliki dan berbuat

sesuai dengan harkat dan martabat sebagai manusia di dalam melaksanakan tanggungjawab dan

menerima serta memanfaatkan hak-haknya sebagai komunitas manusia dan warga negara.

Masyarakat berdaya pada hakekatnya adalah masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri

dengan mengoptimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu agar

masyarakat berdaya harus memiliki kemampuan dalam berpikir, bersikap, bertindak dan

berinovasi dalam dimensi politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Keempat dimensi tersebut

harus terintegrasi dalam perilaku masyarakat secara umum. Hasil penilaian responden terhadap

tingkat keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi berdasarkan aspek kognitif, afektif

dan psikomotorik dapat dilihat pada Tabel 2.

Tingkat keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi tergolong baik. Tingkat

keberdayaan masyarakat di Kecamatan Nguntoronadi tergolong baik, hal ini disebabkan,

baiknya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat akibat dari baiknya kualitas

sumberdaya manusia (modal manusia) yang dimiliki. Kualitas modal manusia yang baik akan

berakibat pada pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap sumberdaya produksi,

lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan

pihak luar. Masyarakat berdaya mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok

atau organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya. Di

dalam kelompok atau organisasi, masyarakat secara bebas dan terlibat penuh dalam

pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan pemenuhan kebutuhannya

baik dalam penentuan sikap politiknya, pengembangan dan peningkatan skala usahanya

(ekonomi), menentukan pola interaksi dan jaringan 167ocial maupun menciptakan lingkungan

yang bersih dan sehat (Sidu, 2006).

Kesimpulan

Tingkat keberdayaan peternak di Kecamatan Nguntoronadi tergolong cukup baik. Hal ini

disebabkan, cukup baiknya kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik masyarakat akibat dari

Page 175: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

168

cukup baiknya kualitas sumberdaya manusia (modal manusia) yang dimiliki. Kualitas modal manusia

yang cukup baik akan berakibat pada pengetahuan dan pemahaman peternak terhadap sumberdaya

produksi, lebih mandiri dalam pengambilan keputusan dan lebih percaya diri dalam berinteraksi

dengan pihak luar. Peternak berdaya mampu mengintegrasikan dirinya dalam suatu kelompok atau

organisasi sebagai wadah yang dapat menampung aspirasi dan kepentingannya serta secara

bebas dan terlibat penuh dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan dan

pemenuhan kebutuhannya.

Ucapan Terima Kasih

Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Kemenristek Dikti tahun anggaran 2017 dengan skim

Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi yang telah mendanai kegiatan penelitian ini. Selain itu, peneliti

juga mengucapkan terimakasih kepada perangkat desa, kecamatan dan kabupaten dengan lokasi di

Desa Gebang, Kecamatan Nguntoronadi, Kabupaten Wonogiri yang telah membantu kegiatan

penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.

Daftar Pustaka

Chamdi, A.N. 2003. Kajian Profil Usaha Kambing di Kecamatan Keradenan Kabupaten Grobogan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 29-30 September 2003.

Puslitbang Peternakan Departemen Pertanian. Bogor.

Kemenkeu. 2016. Ini Upaya Pemerintah Pastikan Stabilitas Pasokan dan Harga Daging Sapi.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Krisna, R. dan Harry. Hubungan Tingkat Kepemilikan dan Biaya Usaha dengan Pendapatan Peternak

Sapi Potong di Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat (Studi Korelasi). Jurnal Aplikasi

Manajemen. Vol.12, No.2. 2014.

Probowati, R.C., C.I. Sutrisno, Dan S. Sumarsih. 2012. Kadar Vfa Dan Nh3 Secara In Vitro Pakan

Sapi Potong Berbasis Limbah Pertanian Dan Hasil Samping Pertanian Difermentasi Dengan A.

Niger ( Vfa And Nh3 In Vitro Levels Of Cattle Feed And Agricultural Waste And By Product

Fermented With A. Niger. Animal Agriculture Journal, Vol. 1. No. 2, 2012, p 258 – 265.

Sidu, D. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Lindung Jompi, Kabupaten Muna, Propinsi

Sulawesi Tenggara. Disertasi Doktor. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Simanjuntak, P. J. 2001. Pengantar Ekonomi Sumber Daya Manusia. Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi UI. Jakarta.

Soekartawi, A., Soeharjo, J. L. Dillon dan J. B. Hardaker. 1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk

Perkembangan Petani Kecil. UI Press. Jakarta.

Sosroamidjojo dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. CV Yasaguna. Jakarta

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan 9. CV Alfabeta. Bandung.

Susanto, W. 2003. Pendapatan Usahatani Pembibitan dan Pembesaran Sapi Potong Betina di Desa

Tegahan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Skripsi S1. Fakultas

Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Tiafery, 2016. Model Pemberdayaan Peternak Rakyat Dalam Pengembangan Usaha Penggemukan

Sapi Potong Di Kecamatan Nogosari Kabupaten Boyolali. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas

Sebelas Maret. Surakarta.

Page 176: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

169

Makalah 032

Analisis Modal Fisik Usaha Kerajinan Tatah Sungging Kulit Berbasis Local

Cultural Heritage di Kabupaten Sukoharjo, Indonesia

Endang Siti Rahayu1, Sutrisno Hadi Purnomo2, Endang Tri Rahayu3, Shanti Emawati4, Ayu

Intan Sari5

2345 Prodi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

1 Dept. of Agribusiness, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University, Indonesia

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis modal fisik usaha kerajinan tatah sungging kulit

berbasis local cultural heritage di Kabupaten Sukoharjo, Indonesia. Penelitian dilaksanakan di

Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo pada bulan Juni-September 2017. Pemilihan lokasi

penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dan pengambilan responden ditentukan dengan

metode sensus. Metode teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi,

wawancara dan FGD. Desain penelitian menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ketersediaan sarana produksi kerajinan tatah sungging berada pada kategori

cukup baik, dengan prosentase sebesar 53,33%. Sarana pendidikan berada pada kategori baik,

yaitu sebanyak 56,67 %. Modal fisik sarana kesehatan berada pada kategori cukup baik, yaitu

sebanyak 93,33 %. Modal fisik sarana ekonomi dan akses ekonomi berada pada kategori baik,

yaitu sebanyak 60 %. Ketersediaan sarana transportasi dikategorikan baik. Modal sarana

komunikasi pada kategori baik yaitu sebanyak 93,33 %.

Kata kunci : modal fisik, kerajinan, tatah sungging kulit, local cultural heritage

Pendahuluan

Industri kecil dan menengah (IKM) telah terbukti merupakan kelompok industri yang paling

bertahan dalam menghadapi krisis perekonomian, baik pada saat krisis pada akhir tahun 1990-an

maupun krisis yang melanda seluruh dunia pada akhir 2008 dan awal 2009. Pada kurun waktu tahun

1997 hingga 2000 kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai lebih dari 46%

pada PDB Indonesia. Kondisi ini membuktikan bahwa IKM memiliki peranan yang penting di dalam

menggerakkan perekonomian Indonesia. IKM ditargetkan menjadi penopang utama produk domestik

bruto (PDB) di tahun 2025. Jumlah IKM yang terus meningkat diharapkan mampu berkontribusi 50%

terhadap PDB. Kabupaten Sukoharjo merupakan salah satu daerah pengembangan yang melibatkan

subsektor industry kreatif, khususnya pengembangan kerajinan tatah sungging kulit sebagai salah satu

kerajinan andalan Kabupaten Sukoharjo. Kerajinan tatah sungging adalah salah satu jenis seni

kerajinan yang banyak ditemukan dalam proses pembuatan wayang kulit, hiasan dinding, kipas, kap

lampu atau benda-benda kerajinan yang terbuat dari kulit. Seni tatah sungging lebih identik dengan

proses pembuatan wayang kulit. Sesuai dengan namanya, seni tatah sungging merupakan dua kegiatan

yang terdiri dari menatah (memahat) dan menyungging (mewarnai). Pembuatan wayang kulit

membutuhkan proses yang cukup panjang. Beberapa tahapan yang dilakukan diantaranya pemilihan

bahan baku berupa kulit, pengolahan kulit, penatahan, menyungging dan finishing.

Kerajinan tatah sunggih kulit sebagai bagian industri kreatif berbasis local cultural heritage

memerlukan perhatian pelestariannya, hal yang selaras dengan peta jalan Industri kreatif Nasional

yang memberikan kontribusi besar dalam ekspor secara signifikan sebesar 18% (Disperindag, 2010).

Permintaan ekpor dalam konteks kebutuhan pengembangan pendidikan lintas budaya (cross cultural

understanding) dan permintaan sovenir dari beberapa negara asing seperti: Malaysia, Belanda,

Australia dan Suriname tersebut seringkali diperoleh melalui pagelaran seni luar negeri, yang

selanjutnya order kebutuhan pemenuhan ekspornya dilimpahkan pada UMKM pembuat wayang di

Desa Sonorejo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo (Murtiasri et al, 2015).

Page 177: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

170

Profil daya tarik ekonomi dan nilai strategis budaya lokal tersebut memberikan diskripsi situasi

makro dan mikro mengenai pentingnya terobosan pemikiran edutainment inovatif dan komersial

dalam kerajinan tatah sunggih kulit sebagai upaya mempertahankan eksistensinya ditengah dinamika

seni entertaiment modern (BPMPP Sukoharjo, 2015).

Salah satu kendala yang sering dihadapi pengrajin tatah sungging kulit di Desa Sonorejo dalam

hal pemasaran adalah masalah branding produk. Branding produk memegang peranan yang sangat

penting dalam kesuksesan sebuah usaha. Oleh sebab itu setiap pengrajin tatah sungging kulit dituntut

untuk memperhatikan penentuan brand produknya dalam bisnis yang semakin kompetitif. Upaya

pemberdayaan melalui branding strategy berbasis local cultural heritage di Kabupaten Sukoharjo

diperlukan untuk meningkatkan nilai jual produk kerajinan tatah sungging kulit. Menurut Suharto

(2005), pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah

serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam

masyarakat. Sebagai tujuan pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh

sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat menjadi berdaya, mempunyai pengetahuan dan

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup, memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan

aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam

melaksanakan kehidupan.

Menurut Oktavianita (2014) pelaku UMKM agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup

usahanya, UMKM dihadapkan untuk menciptakan suatu strategi yang dapat menghadapi kompetensi

persaingan. Kualitas produk sudah menjadi standar yang cenderung dengan mudah, cepat ditiru dan

dimiliki oleh siapapun. Oleh karena itu membangun dan mengelola suatu branding harus menjadi

prioritas karena dengan adanya branding konsumen mendapat jaminan tentang mutu dan kualitas

produk. Branding memudahkan proses pengambilan keputusan pembelian oleh konsumen, dengan

adanya branding, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan

produk lain sehubungan dengan kualitas, kepuasan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat

pada merek tersebut. Ada tiga elemen pokok yang harus dikelola dengan baik untuk membangun

merek yang kuat (Keller, 2000) yaitu brand elements, program pemasaran, dan leveraging secondary

association. Menurut Tjiptono (2005) kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari,

dirasakan, dilihat dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai hasil pengalamannya

sepanjang waktu. Berdasarkan model ini, sebuah merek dikatakan memiliki customer-based brand

equity positif apabila pelanggan bereaksi secara lebih positif terhadap sebuah produk. Pada dasarnya

kunci pokok penciptaan brand equity adalah brand knowledge maksudnya ialah bahwa keberhasilan

sebuah merek ditentukan oleh persepsi konsumen, maka akan lebih tepat menekankan kepada motivasi

strategi dari ekuitas merek untuk menciptakan pengetahuan merek dalam benak konsumen.

Berdasarkan latar belakang tersebut diperlukan diperlukan penelitian yang bertujuan

menganalisis modal fisik usaha kerajinan tatah sungging kulit berbasis local cultural heritage di

Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-September 2017 di Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten

Sukoharjo. Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif

yaitu penelitian dengan memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan

(Sugiyono, 2006). Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap prasurvei dan tahap survei. Tahap

prasurvei dilaksanakan untuk menentukan lokasi pengambilan data. Tahap survei dilaksanakan untuk

pengambilan data yaitu data primer dari reponden maupun data sekunder dari dinas terkait.

Metode penentuan lokasi secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan

Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo merupakan wilayah yang berpotensi dalam usaha kerajinan tatah

sungging. Purposive sampling berarti sampel dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006). Metode penentuan

responden secara sensus yaitu dengan memilih keseluruhan pengrajin tatah sungging di Kecamatan

Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo sebagai responden sebanyak 30 pengrajin.

Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis modal fisik (physical

capital) yang meliputi ketersediaan sarana produksi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana

ekonomi, komunikasi dan sarana transportasi.

Page 178: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

171

Hasil dan Pembahasan

Analisis modal fisik (physical capital) dalam penelitian ini meliputi ketersediaan sarana

produksi, sarana pendidikan, sarana kesehatan, sarana ekonomi, komunikasi dan sarana transportasi.

Modal fisik dalam pemberdayaan merupakan fasilitas atau asset yang dapat digunakan sebagai

alat yang berfungsi sebagai pendukung utama terselenggaranya suatu proses usaha atau aktivitas

produksi dalam rangka pencapaian tujuan. Fasilitas atau alat ini dapat berupa gedung atau rumah

untuk proses produksi, jalan sebagai asset sarana transportasi, alat-alat sebagai penunjang proses

usaha, mesin-mesin sebagai alat bantu usaha dan sebagainya (Eko, 2002).

Hasil analisis dari modal fisik pada penelitian Tatah Sungging dapat diketahui bahwa

ketersediaan sarana produksi kerajinan tatah sungging berada pada kategori cukup baik, dengan

prosentase sebesar 53,33%. Para pengrajin tatah sungging semua sudah memiliki peralatan maupun

bahan baku untuk melakukan proses produksi, karena itu adalah peralatan utama yang harus tersedia

untuk kelancaran proses produksi. Bahan baku untuk kerajinan tatah sungging ini berupa kulit

kambing yang sudah memdapatkan pasokan dari daerah lain. Peralatan yang digunakan berupa alat

untuk menatah, proses sablon, menyungging atau mewarnai dan peralatan yang lain. Dari 30

responden, tidak semua pengrajin kulit kambing itu membuat wayang kulit akan tetapi ada juga yang

membuat kaligrafi dan juga assesoris wayang orang atau juga assesoris untuk penari.

Modal fisik yang berupa sarana pendidikan berada pada kategori baik, yaitu sebanyak 56,67 %.

Hal ini juga ditunjukkan dengan dengan tingkat pendidikan responden yang rata-rata adalah telah lulus

SMP dan SMU. Tingkat Pendidikan sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seorang dalam

menerima informasi dari luar, serta berpengaruh terhadap adanya ide-ide yang baru terutama yang

berkaitan dengan kerajinan tatah sungging. Ketersediaan dan kemudahan akses sarana pendidikan

merupakan salah satu hal yang dapat mempengaruhi berkembangnya suatu usaha peternakan selain

ketrampilan yang dimiliki oleh seorang peternak. Ketersediaan akses dan sarana pendidikan yang baik

akan dapat memaksimalkan peran Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo untuk mengadakan kelas

pendidikan nonformal bagi para pengrajin dengan penyuluhan dan pelatihan terhadap anggota

kelompok pengrajin tatah sungging Pandawa. Adanya penyuluhan dan pelatihan akan dapat

mengembangkan pengetahuan pengrajin. Selain dinas juga ada peran perguruan perguruan tinggi yang

memberikan penyuluhan dan pelatihan untuk mengembangkan usaha tatah sungging. Pelatihan terkait

kerajinan tatah sungging sudah banyak diadakan, hanya responden belum pernah mengikuti pelatihan

apapun terkait dengan rutinitasnya sebagai pengrajin kaligrafi, sedangkan 21 responden lain pernah

mengikuti pelatihan bahkan ada beberapa responden telah mengikuti beberapa jenis pelatihan.

Pelatihan yang pernah diikuti oleh pengrajin tatah sungging ini antara lain pelatihan penyamaan kulit

dan juga pelatihan pemasaran, cara peminjaman, pembukuan, managemen, komunikasi, mutu dan

kualitas, kerajinan dan perindustrian.

Modal fisik sarana kesehatan berada pada kategori cukup baik, yaitu sebanyak 93,33 %. Modal

manusia dalam menjalankan usaha kerajinan kulit tatah sungging yang menjadi faktor pendukung

adalah tingkat kesehatan dari responden. Tingkat kesehatan yang meliputi kesempurnaan fisik dari

responden tergolong besar sebesar 93,33%, dikarenakan pengrajin tidak memiliki riwayat penyakit

serius atau jarang mengalami sakit. Responden juga termasuk dalam kategori pekerja aktif dan

termasuk usia produktif sehingga untuk melakukan aktivitas seperti usaha kerajinan tatah sungging

dan aktivitas-aktivitas yang lain dapat berjalan dengan baik. Todaro (2000) menyatakan bahwa

pencapaian nilai sosial seseorang diperlukan kesehatan fisik yang tinggi. Kesehatan akan

mempengaruhi keaktifan seseorang dalam sebuah keluarga, organisasi, lingkungan sosial dan

keaktifannya dalam membangun nilai dan norma dimasyarakat. Kesehatan fisik pengrajin tatah

sungging akan mempengaruhi pengembangan usaha kerajinan kulit kambing,

Modal fisik sarana ekonomi dan akses ekonomi berada pada kategori baik, yaiitu sebanyak 60

%. Sumber modal usaha kerajinan kaligrafi ada 2 yaitu modal sendiri dan modal dari luar, modal dari

luar merupakan modal pinjaman dari bank, modal sendiri untuk pengrajin skala kecil sedangkan 4

lainnya modalnya dari pinjaman bank.

Page 179: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

172

Tabel 1. Hasil Analisis Modal Fisik

No Modal Fisik Jumlah (orang) Kategori Persentase (%)

1 Sarana Produksi

a. Jumlah skor 1-3 2 Kurang baik 6,67

b. Jumlah skor 4-6 16 Cukup baik 53,33

c. Jumlah skor 7-9 12 Baik 40,00

2 Sarana Pendidikan

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 13 Cukup baik 43,33

c. Jumlah skor 7-9 17 Baik 56,67

3 Sarana Kesehatan

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 28 Cukup baik 93,33

c. Jumlah skor 7-9 2 Baik 6,67

4 Sarana Ekonomi

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 12 Cukup baik 40,00

c. Jumlah skor 7-9 18 Baik 60,00

5 Akses Ekonomi

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 12 Cukup baik 40,00

c. Jumlah skor 7-9 18 Baik 60,00

6 Sarana Komunikasi

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 2 Cukup baik 6,67

c. Jumlah skor 7-9 28 Baik 93,33

7 Akses Komunikasi

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 3 Cukup baik 10,00

c. Jumlah skor 7-9 27 Baik 90,00

8 Prasarana Trans

a. Jumlah skor 1-3 0 Kurang baik 0,00

b. Jumlah skor 4-6 0 Cukup baik 0,00

c. Jumlah skor 7-9 30 Baik 100,00

9 Transportasi

a. Jumlah skor 1-3 5 Kurang baik 16,67

b. Jumlah skor 4-6 15 Cukup baik 50,00

c. Jumlah skor 7-9 10 Baik 33,33

Ketersediaan sarana transportasi yang meliputi kelayakan jalan, kendaraan roda empat dan roda

dua serta sepeda dapat digunakan petani dalam mempermudah akses jual beli ternak dan pakan bagi

ternak mereka (Rasyaf, 2001). Hasil yang didapatkan adalah 100%. Semua pengrajin tatah sungging

memiliki kendaraan pribadi, para responden memiliki kendaraan roda dua maupun roda empat

sehingga dikategorikan baik. Responden memiliki kendaraan roda dua yang digunakan untuk

mempermudah akses untuk produksi kerajinan tatah sungging dan kebutuhan-kebutuhan yang lain.

Akses jalan yang kurang baik, daerah di sekitar merupakan persawahan, perkebunan, dan perumahan

Page 180: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

173

dengan jarak tempuh menuju pasar dan sekolah cukup jauh. Sarana transportasi di daerah ini tidak

didukung adanya transportasi umum seperti bus, angkot dan truk. Hal ini membuat para pengrajin

memiliki kendaraan secara pribadi meski tidak semua memiliki kendaraan roda empat.

Modal sarana komunikasi pada kategori baik yaitu sebanyak 93,33 %. Sarana komunikasi

merupakan salah satu modal sosial yang mempengaruhi kelancaran dalam usaha kerajinan tatah

sungging. Ketersediaan sarana komunikasi meliputi televisi, radio, dan telepon akan lebih

memudahkan pengrajin dalam mencari informasi mengenai cara untuk mengembangkan usaha

kerajinan tatah sungging. Sarana komunikasi juga dapat mempermudah dan mempercepat proses

pemasaran produk kerajinan tatah sungging.

Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan sarana produksi kerajinan tatah sungging

berada pada kategori cukup baik, dengan prosentase sebesar 53,33%. Sarana pendidikan berada pada

kategori baik, yaitu sebanyak 56,67 %. Modal fisik sarana kesehatan berada pada kategori cukup baik,

yaitu sebanyak 93,33 %. Modal fisik sarana ekonomi dan akses ekonomi berada pada kategori baik,

yaitu sebanyak 60 %. Ketersediaan sarana transportasi dikategorikan baik. Modal sarana komunikasi

pada kategori baik yaitu sebanyak 93,33 %.

Ucapan Terimakasih

Peneliti mengucapkan terimakasih atas terselenggaranya penelitian ini melalui skim Penelitian

Unggulan UNS dana PNBP UNS tahun anggaran 2017. Selain itu, peneliti juga mengucapkan

terimakasih kepada perangkat desa, kecamatan dan kabupaten khususnya di Desa Sonorejo,

Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo yang telah membantu kegiatan penelitian ini sehingga

dapat berjalan dengan lancar.

Daftar Pustaka

BPMPP Sukoharjo, 2015. Wayang Sonorejo. Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan.

Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2010. Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Tahun

2009 – 2025

Keller, K.L. 1993. Conceptualizing, measuring, and managing customer based brand equity (2nd ed).

Prentice Hall. New Jersey

Oktavianita, B. , I. Santoso dan R. L. R. Silalahi. 2014. Analisis Pengaruh Strategi Branding Terhadap

Keputusan Pembelian pada Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo dengan Pendekatan

Partial Least Square. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. FTP. Univ. Brawijaya.

Malang.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan 9. CV Alfabeta. Bandung.

Tjiptono, F. 2005. Brand Management and Strategy. ANDI. Yogyakarta.

Page 181: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

174

Makalah 033

Orientasi Kewirausahaan Pelaku Usaha Pengolahan Susu di Kabupaten Boyolali

Sutrisno Hadi Purnomo1, Shanti Emawati2, Ayu Intan Sari3 dan Endang Tri Rahayu4

1245Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret (UNS),

Indonesia

Email : [email protected]

Abstrak

Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menganalisis orientasi kewirausahaan pelaku usaha

pengolahan susu di Kabupaten Boyolali. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juni– 29 Agustus

2017 di Kabupaten Boyolali, Indonesia. Penentuan lokasi penelitian dan responden dilakukan secara

purposive (sengaja) dengan responden adalah para pelaku usaha di Kabupaten Boyolali. Data yang

digunakan meliputi data primer yang diperoleh dari pelaku usaha pengolahan susu melalui instrument

kuesioner dan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali serta dari Dinas

Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali. Analisis data yang digunakan adalah analisis

deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan

susu di Kabupaten Boyolali meliputi kemudahan pengelolaan usaha pengolahan susu memiliki skor

162, kepercayaan usaha pengolahan susu yang dijalankan sebesar 172, penyelesaian masalah yang

timbul agar tidak menghambat usaha memiliki skor 191, kemampuan berusaha semaksimal mungkin

pada usaha pengolahan susu yang dijalankan memiliki skor 194 dan kemampuan menguasai bidang

usaha yang dijalankan memiliki skor 170.

Kata kunci : orientasi, kewirausahaan, pelaku usaha, pengolahan susu

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar di dunia

yaitu menempati rangking 5 terbesar setelah Tiongkok, India, Amerika dan Rusia. Berdasarkan BPS

(Badan Pusat Statistik) pada tahun 2016, jumlah penduduk Indonesia mencapai 252 juta jiwa. Jumlah

tersebut terus mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya tingkat kesejahteraan hidup. Bila

dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, kuantitas penduduk Indonesia lebih unggul. Namun bila

dilihat dari segi kualitas, Indonesia masih kalah bersaing. Hal ini dapat dilihat dari salah satu indikator

kualitas sumberdaya manusia yaitu IPM atau Indeks Pembangunan Manusia.

IPM Indonesia ternyata masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.

Menurut United Nation Development Program (2013) bahwa IPM Indonesia hanya menempati urutan

108 dari 287 negara. Peringkat tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan IPM di Malaysia,

Thailand, dan Filipina yang masing-masing menempati urutan 63,78, dan 90. IPM dalam suatu negara

dapat dipengaruhi oleh pemerataan pelayanan pendidikan, tingkat kemiskinan, dan aspek pangan

protein hewani. Salah satu pangan protein hewani yang dapat dijadikan indikator adalah konsumsi

susu nasional. Konsumsi susu nasional masyarakat Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan

sesama negara ASEAN lainnya. Menurut Kemenperin (2014), konsumsi susu nasional Indonesia

hanya pada kisaran 11,09 liter/kapita/tahun jauh di bawah konsumsi rata-rata negara ASEAN yaitu

sekitar 20 liter/kapita/tahun.

Berdasarkan data Kementan (2015) menunjukkan bahwa pada tahun 2013 populasi sapi perah

Indonesia sebanyak 444.266 ekor dengan produksi susu sebanyak 690.000 ton/tahun. Populasi ini

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 611.939 ekor

dengan produksi susu sebanyak 800.751 ton/tahun, sedangkan konsumsi susu nasional menurut

Kemenperin (2013) sebanyak 3,3 juta ton/tahun dengan pasokan bahan baku susu segar dalam negeri

sebanyak 690 ribu ton per tahun (21 persen) dan sisanya sebesar 2,61 juta ton (79 persen) masih perlu

Page 182: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

175

mengimpor dalam bentuk skim milk powder, anhydrous milk fat, dan butter milk powder dari berbagai

negara seperti Australia, New Zealand, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.

Kabupaten Boyolali merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Tengah dengan populasi

ternak sapi perah dan produksi susu terbesar, yaitu dengan populasi pada tahun 2013 sejumlah 88.533

ekor, dengan produksi susu sebesar 48.075.220 liter (Badan Pusat Statistik, 2014). Predikat sebagai

“Kota Susu” masih tetap dipertahankan oleh kabupaten yang merupakan daerah utama penghasil susu

di Provinsi Jawa Tengah dan termasuk ke jalur susu yaitu jalur Semarang-Boyolali-Klaten-Solo.

Produksi susu sapi di Boyolali masih belum mampu memenuhi permintaan industri yang saat ini

mencapai 250 ton per hari, saat ini produksi baru mencapai 120 ton. Hal ini berarti permintaan produk

susu sapi Boyolali sangat tinggi. Produksi susu sapi Boyolali memasok bahan baku untuk empat IPS

besar yang ada di Boyolali dan Salatiga, diantaranya PT. Indolakto dan PT. Frisian Flag Indonesia.

Permasalahan yang dihadapi peternak sapi perah rakyat meliputi produksi susu nasional yang

rendah, rantai pemasaran yang tidak menguntungkan peternak, kebijakan pemerintah yang tidak

memihak peternak kecil, dan kurangnya pengetahuan peternak dalam mengelola susu segar.

Kurangnya pendampingan dari pemerintah baik dalam pengolahan susu maupun pemasarannya

menyebabkan produk olahan susu segar dari peternak kurang bisa bersaing dengan susu olahan dari

Industri Pengolahan Susu.

Menurut Hadiyati (2008) bahwa faktor – faktor lingkungan berpengaruh terhadap strategi

daya saing. Oleh karena itu, daya saing sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam

menerapkan orientasi kewirausahaan kedalam aktivitas strategi yang akan menentukan tujuan dan

penciptaan kinerja secara superior (Hui Li et al., 2009). Strategi yang tepat sangat diperlukan bagi

pengusaha UKM, mengingat dalam mengembangkan usahanya dituntut kemampuan untuk

mengidentifikasi peluang dan ancaman yang ada dalam lingkungan bisnisnya. Beberapa hasil studi

empiris menunjukkan bahwa strategi bisnis akan mampu menghasilkan kinerja bagi perusahaan (Ritter

dan Gemȕnden, 2004; Hankinson, 2000).

Berdasarkan uraian latarbelakang tersebut maka diperlukan penelitian yang bertujuan

menganalisis orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali dalam

pengembangan agribisnis persusuan berbasis produk pangan fungsional sebagai upaya peningkatan

daya saing di Kabupaten Boyolali.

Materi dan Metode

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 3 Juni– 29 Agustus 2017 di Kabupaten Boyolali. Metode

dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kuantitatif yaitu penelitian dengan

memperoleh data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan (Sugiyono, 2006).

Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap prasurvei dan tahap survei. Tahap prasurvei

dilaksanakan untuk menentukan lokasi pengambilan data. Tahap survei dilaksanakan untuk

pengambilan data, baik data primer dari reponden maupun data sekunder dari dinas terkait.

Metode penentuan lokasi dan sampel penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) dengan

pertimbangan bahwa Kabupaten Boyolali merupakan wilayah yang berpotensi dalam usaha

pengolahan susu. Purposive sampling berarti sampel dipilih dan ditetapkan berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian (Sugiyono, 2006).

Data dianalisis menggunakan analisis deskriptif untuk menganalisis orientasi kewirausahaan

pelaku usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali dalam pengembangan agribisnis persusuan di

Kabupaten Boyolali.

Hasil Dan Pembahasan

Karakteristik responden dalam kegiatan ini meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah

kepemilikan ternak dan pekerjaan peternak.

1. Umur

Umur responden yang mengikuti pelatihan pengembangan UMKM Pengolahan susu di

Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Umur peternak yang mengikuti kegiatan pelatihan di Kabupaten Boyolali

Page 183: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

176

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%) 15-45 38 71,70 46-64 15 28,30 > 64 0 0 Jumlah 53 100

Sumber : Data primer terolah, 2017.

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa jumlah responden tertinggi terdapat pada kelompok

umur 15-45 tahun sebanyak 38 orang dengan persentase sebesar 71,70%. Usia responden tersebut

tergolong usia produktif untuk bekerja. Hasil tersebut didukung Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor

13 Tahun 2003, seseorang yang dikelompokkan sebagai tenaga kerja berusia 15 sampai dengan 64

tahun (Arsyad, 1999). Menurut Setiana (2000) pada usia produktif seseorang mempunyai kondisi fisik,

tindakan, serta kemampuan berfikir yang masih baik. Usia produktif lebih mudah untuk menerima

inovasi baru guna meningkatkan dan mengembangkan usahanya.

2. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan responden yang mengikuti pelatihan UMKM Pengolahan susu di Kabupaten

Boyolali dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tingkat pendidikan responden yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Boyolali

Tingkat pendidikan Jumlah responden (Orang) Persentase (%) SD dan sederajad 4 7,55 SMP dan sederajad 14 26,41 SMA dan sederajad 26 49,06 D1/D2/D3 2 3,77 Perguruan Tinggi 7 13,21 Total 53 100,00

Sumber : Data primer terolah, 2017.

Tingkat pendidikan peternak tergolong cukup tinggi dengan lulusan SMA dan sederajad

sebanyak 26 orang atau sebesar 49,06%. Responden mayoritas berpendidikan cukup tinggi

dikarenakan responden sudah menyadari bahwa dengan memiliki pendidikan tinggi sangat membantu

kegiatan usaha pengolahan susunya. Pendidikan formal merupakan salah satu faktor yang mendukung

kompetensi peternak, karena pengetahuan yang dimiliki dapat mempengaruhi untuk berfikir lebih

rasional, memilih alternatif dan cepat menerima atau melaksanakan suatu inovasi (Soekartawi, 2005).

3. Pekerjaan Responden

Pekerjaan utama responden yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Boyolali dapat dilihat pada

Tabel 3.

Berdasarkan Tabel 4 mayoritas responden yang mengikuti pelatihan pengembangan UMKM

pengolahan susu memiliki pekerjaan utama sebagai petani sebanyak 22 orang dengan persentase

41,51%. Sebagian besar responden menjadikan usaha pengolahan susu sebagai usaha sampingan untuk

mendapatkan tambahan pendapatan. Susanto (2003) menyatakan bahwa untuk menghadapi resiko

usaha seperti kegagalan produksi, petani melakukan usaha sampingan sebagai salah satu sumber

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga.

Page 184: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

177

Tabel 3. Pekerjaan utama responden yang mengikuti pelatihan di Kabupaten Boyolali

Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani 22 41,51

Wiraswasta 5 9,43

PNS 2 3,77 Peternak 7 13,20

Pengolah susu 3 5,66

Pegawai swasta 3 5,66

Pedagang 1 1,89

Mahasiswa 1 1,89

Ibu rumah tangga 9 16,98

Jumlah 53 100 Sumber: Data primer terolah, 2017.

4. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab responden dapat dilihat pada Tabel 4

di bawah ini :

Tabel 4. Jumlah anggota keluarga responden di Kabupaten Boyolali

Jumlah anggota keluarga (Orang) Jumlah responden (Orang) Persentase (%) 2-3 16 30,19 4-5 34 64,15 >5 3 5,66

Total 53 100 Sumber : Data primer terolah, 2017.

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggung jawab

responden tertinggi yaitu pada golongan 4-5 orang dengan jumlah responden 34 orang dan persentase

64,15%. Persentase tertinggi tersebut menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga responden

merupakan jumlah anggota keluarga yang tergolong ideal. Hal ini sesuai dengan pernyataan BKKBN

(1992) yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yang ideal adalah 4 orang yang terdiri dari 1

orang suami, 1 orang istri dan 2 orang anak.

5. Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden yang mengikuti pelatihan pengembangan usaha pengolahan susu dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Jenis kelamin responden yang mengikuti pelatihan

Jenis kelamin Jumlah (orang) Presentase (%) Laki-laki 19 35,85 Perempuan 34 64,15 Total 53 100

Sumber : Data primer terolah, 2016

Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa mayoritas responden yang mengikuti pelatihan

berjenis kelamin perempuan dengan jumlah responden sebanyak 34 orang dan persentase 64,15%.

Sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan tergabung dalam kelompok wanita tani ternak.

Terdapat perbedaan minat antara laki-laki-laki dan perempuan dalam mengikuti pelatihan

pengembangan usaha pengolahan susu. Menurut Crant (1996) jenis kelamin mempunyai pengaruh

pada usaha yang dikembangkan karena adanya perbedaan pandangan terhadap pekerjaan antara laki-

laki dan perempuan.

Page 185: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

178

Orientasi Kewirausahaan

Hasil analisis orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan susu disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Orientasi kewirausahaan

No. Orientasi Kewirausahaan Skor 1 Kemudahan pengelolaan usaha pengolahan susu 162 2 Kepercayaan usaha pengolahan susu yang dijalankan 172 3 Penyelesaian masalah yang timbul agar tidak

menghambat usaha 191

4 Kemampuan berusaha semaksimal mungkin pada usaha

pengolahan susu yang dijalankan 194

5 Kemampuan menguasai bidang usaha yang dijalankan 170 Sumber : Data primer terolah, 2017

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai skor tertinggi orientasi kewirausahaan pelaku

usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali adalah mengenai kemampuan berusaha semaksimal

mungkin pada usaha pengolahan susu yang dijalankan. Menurut Miller (1983), serta Covin dan Slevin

(1989) bahwa orientasi kewirausahaan yang terkait dengan perilaku inovatif, perilaku proaktif dan

keberanian mengambil risiko mampu meningkatkan kinerja usaha. Menurut Miller (1983) bahwa

dengan orientasi kewirausahaan maka wirausaha akan menunjukkan eksistensinya dalam bentuk

keberanian dalam mengambil resiko, melakukan perubahan dan mengeksploitasi perilaku inovatif

untuk memperoleh keunggulan bersaing. Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa resiko yang

mungkin diterima oleh perusahaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perubahan

lingkungan. Oleh karena itu, kekuatan pelaku usaha pengolahan susu dalam mengambil resiko akan

mendorong perusahaan untuk bekerja dengan lebih keras sehingga tingkat keuntungan dapat dicapai.

Tindakan awal yang dapat dilakukan oleh pelaku usaha pengolahan susu dalam menyusun

strategi bisnis adalah dengan meningkatkan kemampuan dari sumber daya manusia yang dimiliki, baik

melalui pelatihan, seminar ataupun lokakarya, yang akan meningkatkan kompetensinya. Dalam

perspektif Resource–Based View (RBV), kepemilikan sumberdaya yang superior akan menyebabkan

perusahaan mampu menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik daripada pesaing. Implikasinya,

RBV akan menghasilkan keunggulan bersaing dalam jangka panjang bagi perusahaan pada situasi

pasar yang dinamis (Mustikowati, 2015).

Kesimpulan

Orientasi kewirausahaan pelaku usaha pengolahan susu di Kabupaten Boyolali adalah mengenai

kemampuan berusaha semaksimal mungkin pada usaha pengolahan susu yang dijalankan. Kekuatan

pelaku usaha pengolahan susu dalam mengambil resiko akan mendorong perusahaan untuk bekerja

dengan lebih keras sehingga tingkat keuntungan dapat dicapai.

Daftar Pustaka

Arsyad, L. 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi keempat. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

BKKBN. 1992. Buku Pegangan Kader KB. Jakarta.

Covin, J. G. dan D. P. Slevin. 1989. Strategic Management of Small Firms in Hostile and

Benign Environments, Strategic Management Journal, Vol. 10, No. 1., pp. 75-87.

Crant, J M. (1996).The proactive personality scale as a predictor of entrepreneurial intentions.

Journal of Small Business Management 34 (3).

Hadiyati, E. 2011. Kreatifitas dan Inovasi berpengaruh terhadap Kewirausahaan Usaha Kecil,

Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Vol. 13. No. 1. Hal. 8-16.

Miller. 1983. The Correlates Of Entrepreneurship In Three Types Of Firms, Management

Science, 29: 770-791.

Page 186: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id

Seminar Nasional Peternakan Tropis Berkelanjutan 2

Surakarta, 6 November 2017

179

Mustikowati, R.I. 2015. Orientasi Kewirausahaan, Inovasi, Dan Strategi Bisnis Untuk

Meningkatkan Kinerja Perusahaan (Studi Pada UKM Sentra Kabupaten Malang). Jurnal

Modernisasi. Volume 10, No.1 Februari.

Setiana. L. 2000. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia, Bogor.

Soekartawi. 2005. Agroindustri Dalam Perspektif Sosial Ekonomi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Susanto, W. 2003. Pendapatan Usahatani Pembibitan dan Pembesaran Sapi Potong Betina di Desa

Tegahan, Kecamatan Grobogan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Skripsi S1 Fakultas

Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Page 187: peternakan.fp.uns.ac.idpeternakan.fp.uns.ac.id/media/Prosiding Seminar Nasional Peternaka…peternakan.fp.uns.ac.id