1
20 SENIN (PAHING) 11 JUNI 2018 26 RAMADAN 1439 H PUASA 1951 P ADA Jumat, 7 April 2017 sil am, Yayasan Odesa Indonesia mengadakan rapat untuk mem bahas persoalan kehidupan warga petani di kawasan Ban dung utara (KBU), terutama di tempat or ganisasi yang memiliki spirit organizer, or ganizing, organic, dan online desa ini. Budhi ana Kartawijaya sebagai Ketua Pembina Odesa Indonesia kemudian meletakkan pandangan hasil pemetaan dan konsolidasi gerakan kebudayaan tersebut dengan ru musan ga bidang yang harus digarap, yaitu 1) ekonomi, 2) pendidikan, 3) kese hatan. Hipotesis baru muncul dari panjangnya kegiatan seharihari yang dilakukan oleh Odesa Indonesia, berlanjut kemudian de ngan program riset kualitaf yang menyim pulkan ga problem mendasar tersebut. Pertama, kenyataan bahwa petani meng alami kelemahan ekonomi antara lain kare na minimnya ilmu pengetahuan ekonomi, termasuk ternggal dalam urusan budi daya pangan, minimnya jaringan relasi ekonomi, dan rendahnya budaya hidup (pola pikir, mental, dan eka). Keadaan ini merekomendasikan ndakan pember dayaan dak cukup pelahan instan, tetapi harus dalam model pendampingan jangka panjang. Kedua, problem kesehatan karena keku rangan sumber pangan bergizi dan ling kungan rumah tangga yang dak memadai. Solusinya, pada bidang kesehatan selain mengadakan kegiatan penyuluhan, juga di lakukan pendampingan akses ke rumah sakit karena problem paling mendasar ke luarga miskin adalah kedakmampuan mengakses sarana kesehatan akibat prob lem ekonomi harian. Kega, pada bidang pendidikan dua strategi besar dilakukan, yaitu dengan se ringnya mendatangi orangtua dan siswa agar kembali bersekolah formal. Karena pa da kenyataannya strategi mendorong kegiatan belajar formal dak semua bisa diterapkan, strategi pendidikan luar sekolah untuk siswa yang masih sekolah maupun yang putus sekolah dilakukan. Kesimpulan ga bidang tersebut, dalam catatan Odesa Indonesia, merangkum pe rincian beberapa problem sebagai berikut: Problem individu: 1. Mayoritas kepala dan ibu rumah tang ga berusia di atas 40 tahun dak lulus SD. 2. Mayoritas kepala dan ibu rumah tang ga berusia di atas 25 tahun lulusan SD. 3. Mayoritas Kepala dan ibu rumah tang ga berusia di atas 17 tahun jebolan SMP. 4. Mayoritas individu remaja pranikah usia 12 lulus SMP. 5. Minoritas yang mengenyam pen didikan SMA. 6. Sangat susah mencari individu menda pat pendidikan nggi. 7. Wawasan minim karena individu yang merantau menimba pengalaman ke kota dan membawa pengetahuan di luar perta nian. 8. Para perantau kebanyakan transmi gran spekulan, di Sumatra mengelola per tanian yang sama dengan kampung hala mannya. Pulang hanya membawa hasil yang tak memadai. 9. Tidak mendapatkan dorongan belajar atau sekolah lebih nggi dari orangtua karena kesulitan ekonomi. 10. Tidak ada peran negara dalam mem bangun kapasitas kepada warga secara merata. Kalau ada hanya pelahan yang bi asanya dimonopoli oleh perangkat desa yang loyal kepada kades. 11. Tidak mendapatkan pengetahuan pengetahuan pemberdayaan/pendamping an dari LSM. 12. Terjebak pada arus kultur pragmas. Tidak memiliki beberapa pilihan pemikiran strategis (jangka pendek, menengah, dan panjang). Problem keluarga: 1. Petani dengan luas tanah 1/4 hektare dak adapf dengan ilmu pengetahuan. 2. Buruh tani berpenghasilan antara Rp 500.000Rp 800.000 untuk menghidupi 3 4 anggota keluarga. 3. Rumah kecil 4 x 6, 5 x 7, 6 x 8 sudah menua dan kayukayunya lapuk. Atap bo cor. Dapur buruk, dak ada MCK atau MCK sangat buruk, menyatu dengan kan dang ternak. 4. Pekarangan terdapat pemakaman. Tanah dak bisa menjadi lahan. Kuburan diinjakinjak. 5. Perkawinan usia dini. Umur 1416 tahun, dikawinkan dengan pemalsuan usia. 6. Pangan bergizi dak tercukupi. Kon sentrasi hidup seharihari hanya mengejar beras. 7. Pakaian buruk dan dak sehat. Jarang bergan pakaian. 8. Saat terdesak urusan di luar pangan, utang kepada rentenir menjadi solusi. 9. Ternak sering gagal karena untuk bi aya hidup di luar pangan (contoh jual sapi untuk modal tanam sayuran. Sayuran gagal sapi dak bisa kembali). 10. Kambing dijual untuk anak yang sa kit. Sekalipun punya KIS, ongkos biaya sakit dak pernah ada. 11. Tanah dijual untuk perkawinan atau untuk membeli kendaraan (motor), beralih menjadi tukang ojek atau pedagang kecil. 12. Buruh tani dak punya tanah kecuali pekarangan sempit. Tidak ada ilmu penge tahuan dalam pengelola lahan pekarangan. Penghasilan labil (ratarata hanya bekerja 1012 hari) kerja dengan penghasilan an tara Rp 40.000RP 60.000 seap hari. Problem kultur: 1. Tidak ada kepemimpinan dalam uru san sosial kemasyarakatan. 2. Tidak ada kepemimpinan keagamaan yang membumi dan mengultur dengan penananam nilainilai ek dan etos. Ada beberapa pesentren lebih melayani siswa dari luar Cimenyan. Ustazustaz sebatas berperan sebagai guru ngaji, bukan sebagai tokoh kultur yang mampu memobilisasi kegiatan sosial. 3. Urusan sosial kemasyarakatan bergan tung pada RT/RW/kades dengan kapasitas kepemimpinan yang terbatas. Hampir se mua ”arus keuntungan” dari negara masuk ke domain oikos/rumah tangga dan kera batnya. Watak polik lebih bercorak oli garkis. 4. Gotong royong berjalan dengan kelemahan yang merata. Kemiskinan mem buat tenaga kerja susah dialokasikan untuk pekerjaan sosial karena tersita untuk kerja dalam rangka memenuhi kebutuhan priba di/keluarga. Urusan sosial lemah karena kuatnya monesasi/komersialisasi tenaga. 5. Peran orang kota yang memiliki tanah di desadesa Cimenyan sebatas memper lakukan warga desa sebagai kuli rendahan. Mereka lebih suka menyedot keuntungan. Kalaupun berbuat baik sebatas mem berikan pekerjaan upahan atau membantu derma/charity. 6. Pengetahuan rasional dak masuk melalui forumforum run sehingga mis s/takhayul dak bergeser. (Herry Dim)*** RUTIN bergiat dalam keseharian, menghasilkan ga bidang strategis yang harus dijawab dengan model pendampingan. Harus telaten mengurai satu per satu benang kusut kemiskinan budaya. I STILAH budaya sering kali dilihat dalam konteks ekspresi atas tradisi. Halhal yang terekspresikan dalam kegiatan seni kemudian dianggap sebagai kegiatan budaya. Ini adalah kesalahan. Ada islah tradisi, ada islah budaya, dan ada islah peradaban. Pada kega islah ini menurut saya perlu dibuat pelevelan. Pada masyarakat paling terbelakang (prakebu dayaan) kita menyebut masyarakat hanya memiliki tradisi. Adapun masyarakat yang lebih maju, kita sebut islah masyarakat berbudaya dan masyarakat yang lebih maju sebagai masyarakat yang berperadaban. Pada tradisi kita dak perlu repot memakai ukuran karena apa yang dikenal dalam tradisi tak lebih sebagai kebiasaan. Kebiasaan yang buruk atau bahkan dak manusiawi pun kadang bisa disebut sebagai tradisi. Semen tara itu, melalui opk kebudayaan kita bisa memilah mana tradisi yang baik dan yang bu ruk untuk disebut berbudaya atau dak. Pada level masyarakat berbudaya ukuran nya juga perlu diperjelas, yaitu menyangkut ga pokok, 1) kualitas berpikir, 2) kualitas mental, 3) kualitas ”moral” yang keganya sangat pas maknawinya budi dan daya untuk menghasilkan produksi nilai (values) hingga pada lapangan yang lebih luas menghasilkan virtue, yang kita harapkan dampaknya muncul common good (kebaikan umum) sam pai muncul individuindividu berkualitas (demos) yang memungkinkan terciptanya ke wargaan berkualitas nggi (civicvirtue). Kemudian pada peradaban, seorang Il muwan Jared Diamond menginspirasi saya untuk merujuk pada skema penng mene mukan ukuran peradaban dengan rumusan empat kekuatan yang ada di masyarakat, yaitu 1) pangan, 2) ternak, 3) literasi, dan 4) teknologi. Bangsa kita masih sangat lemah dalam ke budayaan. Sudah tentu usaha kita mencapai kategori bangsa berperadaban tentu masih sangat jauh karena dalam urusan budaya kita masih rapuh. Kita menghuni tanah subur, tetapi kuantas dan kualitas hasil budi daya pangan sangat rendah. Impor menjadi hobi. Usaha pemenuhan daging bergizi dan pupuk organik juga rendah. Pada literasi kita jauh ternggal dan pada teknologi kita menjadi bulanbulanan pasar global. Dari berbagai kelemahan tersebut, budaya miskin juga ter pampang jelas di manamana. Karena dak mendapat perhaan serius dari negara, lama kelamaan virus kemiskinan budaya pun mewabah. Kata kemiskinan merujuk pada pengeran suatu keadaan masyarakat yang dak memi liki kemampuan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonominya. Pa da pengeran yang lebih jauh, kemiskinan ju ga membentuk pola hidup kolekf yang ke mudian mentradisi atau bahkan dalam masyarakat berbudaya sekalipun masih menyisakan pola hidup budaya miskin. Sementara itu, islah kemiskinan budaya yang dimunculkan oleh cendekiawan Jalalud din Rakhmat pada suatu diskusi dengan pe ngurus Odesa Indonesia, merujuk pada pengeran suatu keadaan masyarakat yang hidup dalam keadaan kekurangan nilainilai mendasar kehidupan yang diukur dalam em pat nilai dasar, yakni 1) nilai moral, 2) nilai ekonomi, 3) nilai seni, dan 4) nilai sains. Itulah mengapa saya berani mengatakan, pada level kebudayaan, terutama di perde saan sebagaimana yang kami rekam dari kawasan Bandung utara (KBU), kita mudah sekali menemukan masyarakat yang meng alami kemiskinan budaya. Berpikir makro Banyak sekali potensi manusia di perde saan yang sebenarnya dak akan menjadi problem kehidupan negara manakala diberikan kesempatan untuk mendapatkan akses dalam ilmu pengetahuan. Hal yang pa ling mendasar untuk memutus belenggu kemiskinan budaya pada akhirnya harus meletakkan pada prinsip memberi kesem patan untuk berubah, dan itu dilakukan melalui strategi pendidikan yang berpijak pa da gerakan literasi. Sekalipun dalam gerakan Odesa Indonesia ada ndakan yang sifatnya karikaf seper amal sosial beras, pakaian, buku/alat tulis, mendorong warga kota memperbaiki sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) atau memba ngun rumah reyot, tetapi hal itu hanya dile takkan sebagai pintu masuk kegiatan pen dampingan literasi. Sektor literasi paling potensial untuk memutus belengggu kemiskinan adalah kelompok anakanak dan remaja. Pendampingan literasi ini tujuannya untuk menghasilkan kualitas gerakan, bukan sekadar menjalankan nilai kebaikan. Kita dak melakukan ndakan kebaikan yang dak mengubah kehidupan mereka menjadi baik. Oleh karena itu, amal sosial dak boleh ”melempar koin kepada si miskin, sedangkan kemiskinan itu sendiri dak hilang”. Falsafah Odesa Indonesia dalam ndakan ini adalah membumi dalam kebersamaan, menyatu, berproses bersama dalam meng ubah keadaan secara transformaf (transfor masi sosial dibedakan dengan revolusi sosial). Berpikir makro (dengan melihat peta keadaan nasional di tengah percaturan ke hidupan global) adalah kebutuhan. Semen tara itu, berndak mikro dengan aksiaksi konkret adalah kewajiban. Kerusakan lingkungan di kawasan Ban dung utara memang menjadi fakta yang gam blang. Akan tetapi, fokus pembaruan sumber daya manusia lebih utama kembang lang sung mengurus sumber daya alam. Ibaratnya, manusiamanusia desa ini yang menghuni rumah. Maka, mereka harus bisa mengurus rumah sendiri. Rumah yang tak terurus, beta pa pun kokoh dan menterengnya, niscaya akan rusak dalam hitungan beberapa bulan. Lingkungan desa hanya akan selamat mana kala diurus oleh orang desa, bukan oleh ne gara atau orang kota dengan catatan mereka bisa mengurusnya secara tepat. (Faiz Manshur, Ketua OdesaIndonesia)*** FOTO: FAIZ MANSHUR PETANI di Kecamatan Cimenyan mengalami kelemahan ekonomi. Hal ini akibat minimnya ilmu pengetahuan ekonomi, termasuk terting gal dalam urusan budi daya pangan, minimnya jaringan relasi ekonomi, dan rendahnya budaya hidup.* Tiga Problem Utama Kemiskinan di Desa FOTO: FAIZ MANSHUR SEBAGIAN warga Cimenyan bertahan hidup dengan beternak. Namun, usaha ternak mereka masih sederhana. Demikian juga dengan kandangkandang untuk hewan ternak yang dibuat berdekatan dengan rumah, sehingga menambah kesan kumuh.* Strategi Kebudayaan: Pangan, Ternak, Literasi, & Teknologi

SENIN (PAHING) 11 JUNI 2018 PUASA 1951 Tiga Problem Utama Kemiskinan di …odesa.id/wp-content/uploads/2018/06/TIGA-PROBLEM... · 2018. 6. 19. · 4. Gotong royong berjalan dengan

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 20 SENIN (PAHING) 11 JUNI 201826 RAMADAN 1439 HPUASA 1951

    PADA Jumat, 7 April 2017 silam, Yayasan Odesa Indonesiamengadakan rapat untuk membahas persoalan kehidupanwarga petani di kawasan Bandung utara (KBU), terutama di tempat organisasi yang memiliki spirit organizer, organizing, organic, dan online desa ini. Budhiana Kartawijaya sebagai Ketua PembinaOdesa Indonesia kemudian meletakkanpandangan hasil pemetaan dan konsolidasigerakan kebudayaan tersebut dengan rumusan @ga bidang yang harus digarap,yaitu 1) ekonomi, 2) pendidikan, 3) kesehatan.

    Hipotesis baru muncul dari panjangnyakegiatan seharihari yang dilakukan olehOdesa Indonesia, berlanjut kemudian de ngan program riset kualita@f yang menyimpulkan @ga problem mendasar tersebut.

    Pertama, kenyataan bahwa petani meng alami kelemahan ekonomi antara lain karena minimnya ilmu pengetahuan ekonomi,termasuk ter@nggal dalam urusan budidaya pangan, minimnya jaringan relasiekonomi, dan rendahnya budaya hidup(pola pikir, mental, dan e@ka). Keadaan inimerekomendasikan @ndakan pemberdayaan @dak cukup pela@han instan, tetapiharus dalam model pendampingan jangkapanjang.

    Kedua, problem kesehatan karena kekurangan sumber pangan bergizi dan ling kungan rumah tangga yang @dak memadai.Solusinya, pada bidang kesehatan selainmengadakan kegiatan penyuluhan, juga dilakukan pendampingan akses ke rumahsakit karena problem paling mendasar ke luarga miskin adalah ke@dakmampuanmengakses sarana kesehatan akibat problem ekonomi harian.

    Ke@ga, pada bidang pendidikan duastrategi besar dilakukan, yaitu dengan se ringnya mendatangi orangtua dan siswaagar kembali bersekolah formal. Karena pada kenyataannya strategi mendorongkegiatan belajar formal @dak semua bisaditerapkan, strategi pendidikan luar sekolahuntuk siswa yang masih sekolah maupunyang putus sekolah dilakukan.

    Kesimpulan @ga bidang tersebut, dalamcatatan Odesa Indonesia, merangkum pe rincian beberapa problem sebagai berikut:

    Problem individu:1. Mayoritas kepala dan ibu rumah tang

    ga berusia di atas 40 tahun @dak lulus SD.2. Mayoritas kepala dan ibu rumah tang

    ga berusia di atas 25 tahun lulusan SD.3. Mayoritas Kepala dan ibu rumah tang

    ga berusia di atas 17 tahun jebolan SMP.4. Mayoritas individu remaja pranikah

    usia 12 lulus SMP.5. Minoritas yang mengenyam pen

    didikan SMA.6. Sangat susah mencari individu menda

    pat pendidikan @nggi.7. Wawasan minim karena individu yang

    merantau menimba pengalaman ke kotadan membawa pengetahuan di luar perta nian.

    8. Para perantau kebanyakan transmigran spekulan, di Sumatra mengelola pertanian yang sama dengan kampung halamannya. Pulang hanya membawa hasilyang tak memadai.

    9. Tidak mendapatkan dorongan belajaratau sekolah lebih @nggi dari orangtuakarena kesulitan ekonomi.

    10. Tidak ada peran negara dalam membangun kapasitas kepada warga secaramerata. Kalau ada hanya pela@han yang biasanya dimonopoli oleh perangkat desayang loyal kepada kades.

    11. Tidak mendapatkan pengetahuanpengetahuan pemberdayaan/pendamping an dari LSM.

    12. Terjebak pada arus kultur [email protected] memiliki beberapa pilihan pemikiranstrategis (jangka pendek, menengah, danpanjang).

    Problem keluarga:1. Petani dengan luas tanah 1/4 hektare

    @dak adap@f dengan ilmu pengetahuan.2. Buruh tani berpenghasilan antara Rp

    500.000Rp 800.000 untuk menghidupi 34 anggota keluarga.

    3. Rumah kecil 4 x 6, 5 x 7, 6 x 8 sudahmenua dan kayukayunya lapuk. Atap bocor. Dapur buruk, @dak ada MCK atauMCK sangat buruk, menyatu dengan kandang ternak.

    4. Pekarangan terdapat pemakaman.Tanah @dak bisa menjadi lahan. Kuburandiinjakinjak.

    5. Perkawinan usia dini. Umur 1416tahun, dikawinkan dengan pemalsuan usia.

    6. Pangan bergizi @dak tercukupi. Konsentrasi hidup seharihari hanya mengejarberas.

    7. Pakaian buruk dan @dak sehat. Jarangbergan@ pakaian.

    8. Saat terdesak urusan di luar pangan,utang kepada rentenir menjadi solusi.

    9. Ternak sering gagal karena untuk biaya hidup di luar pangan (contoh jual sapiuntuk modal tanam sayuran. Sayuran gagalsapi @dak bisa kembali).

    10. Kambing dijual untuk anak yang sa kit. Sekalipun punya KIS, ongkos biaya sakit@dak pernah ada.

    11. Tanah dijual untuk perkawinan atauuntuk membeli kendaraan (motor), beralihmenjadi tukang ojek atau pedagang kecil.

    12. Buruh tani @dak punya tanah kecualipekarangan sempit. Tidak ada ilmu pengetahuan dalam pengelola lahan pekarangan.Penghasilan labil (ratarata hanya bekerja1012 hari) kerja dengan penghasilan antara Rp 40.000RP 60.000 se@ap hari.

    Problem kultur:1. Tidak ada kepemimpinan dalam uru

    san sosial kemasyarakatan.2. Tidak ada kepemimpinan keagamaan

    yang membumi dan mengultur denganpenananam nilainilai e@k dan etos. Adabeberapa pesentren lebih melayani siswadari luar Cimenyan. Ustazustaz sebatasberperan sebagai guru ngaji, bukan sebagaitokoh kultur yang mampu memobilisasikegiatan sosial.

    3. Urusan sosial kemasyarakatan bergantung pada RT/RW/kades dengan kapasitaskepemimpinan yang terbatas. Hampir semua ”arus keuntungan” dari negara masukke domain oikos/rumah tangga dan kera batnya. Watak poli@k lebih bercorak oligarkis.

    4. Gotong royong berjalan dengankelemahan yang merata. Kemiskinan membuat tenaga kerja susah dialokasikan untukpekerjaan sosial karena tersita untuk kerjadalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi/keluarga. Urusan sosial lemah karenakuatnya mone@sasi/komersialisasi tenaga.

    5. Peran orang kota yang memiliki tanahdi desadesa Cimenyan sebatas memperlakukan warga desa sebagai kuli rendahan.Mereka lebih suka menyedot keuntungan.Kalaupun berbuat baik sebatas memberikan pekerjaan upahan atau membantuderma/charity.

    6. Pengetahuan rasional @dak masukmelalui forumforum ru@n sehingga mis @s/takhayul @dak bergeser. (Herry Dim)***

    RUTIN bergiat dalam keseharian,menghasilkan �ga bidang strategis yang

    harus dijawab dengan modelpendampingan. Harus telaten mengurai

    satu per satu benang kusut kemiskinan budaya.

    ISTILAH budaya sering kali dilihat dalamkonteks ekspresi atas tradisi. Halhalyang terekspresikan dalam kegiatan senikemudian dianggap sebagai kegiatan budaya.Ini adalah kesalahan.

    Ada is@lah tradisi, ada is@lah budaya, danada is@lah peradaban. Pada ke@ga is@lah inimenurut saya perlu dibuat pelevelan. Padamasyarakat paling terbelakang (prakebudayaan) kita menyebut masyarakat hanyamemiliki tradisi. Adapun masyarakat yanglebih maju, kita sebut is@lah masyarakatberbudaya dan masyarakat yang lebih majusebagai masyarakat yang berperadaban.

    Pada tradisi kita @dak perlu repot memakaiukuran karena apa yang dikenal dalam tradisitak lebih sebagai kebiasaan. Kebiasaan yangburuk atau bahkan @dak manusiawi punkadang bisa disebut sebagai tradisi. Sementara itu, melalui op@k kebudayaan kita bisamemilah mana tradisi yang baik dan yang buruk untuk disebut berbudaya atau @dak.

    Pada level masyarakat berbudaya ukurannya juga perlu diperjelas, yaitu menyangkut@ga pokok, 1) kualitas berpikir, 2) kualitasmental, 3) kualitas ”moral” yang ke@ganyasangat pas maknawinya budi dan daya untukmenghasilkan produksi nilai (values) hinggapada lapangan yang lebih luas menghasilkanvirtue, yang kita harapkan dampaknyamuncul common good (kebaikan umum) sampai muncul individuindividu berkualitas(demos) yang memungkinkan terciptanya kewargaan berkualitas @nggi (civicvirtue).

    Kemudian pada peradaban, seorang Ilmuwan Jared Diamond menginspirasi sayauntuk merujuk pada skema pen@ng menemukan ukuran peradaban dengan rumusanempat kekuatan yang ada di masyarakat,yaitu 1) pangan, 2) ternak, 3) literasi, dan 4)teknologi.

    Bangsa kita masih sangat lemah dalam kebudayaan. Sudah tentu usaha kita mencapaikategori bangsa berperadaban tentu masihsangat jauh karena dalam urusan budaya kitamasih rapuh. Kita menghuni tanah subur,tetapi kuan@tas dan kualitas hasil budi dayapangan sangat rendah. Impor menjadi hobi.Usaha pemenuhan daging bergizi dan pupukorganik juga rendah. Pada literasi kita jauh

    ter@nggal dan pada teknologi kita menjadibulanbulanan pasar global. Dari berbagaikelemahan tersebut, budaya miskin juga terpampang jelas di manamana. Karena @dakmendapat perha@an serius dari negara, lamakelamaan virus kemiskinan budaya punmewabah.

    Kata kemiskinan merujuk pada penger@ansuatu keadaan masyarakat yang @dak memiliki kemampuan yang cukup untukmemenuhi kebutuhan dasar ekonominya. Pada penger@an yang lebih jauh, kemiskinan juga membentuk pola hidup kolek@f yang kemudian mentradisi atau bahkan dalammasyarakat berbudaya sekalipun masihmenyisakan pola hidup budaya miskin.

    Sementara itu, is@lah kemiskinan budayayang dimunculkan oleh cendekiawan Jalaluddin Rakhmat pada suatu diskusi dengan pe ngurus Odesa Indonesia, merujuk padapenger@an suatu keadaan masyarakat yanghidup dalam keadaan kekurangan nilainilai

    mendasar kehidupan yang diukur dalam empat nilai dasar, yakni 1) nilai moral, 2) nilaiekonomi, 3) nilai seni, dan 4) nilai sains.

    Itulah mengapa saya berani mengatakan,pada level kebudayaan, terutama di perdesaan sebagaimana yang kami rekam darikawasan Bandung utara (KBU), kita mudahsekali menemukan masyarakat yang meng alami kemiskinan budaya.

    Berpikir makro Banyak sekali potensi manusia di perde

    saan yang sebenarnya @dak akan menjadiproblem kehidupan negara manakaladiberikan kesempatan untuk mendapatkanakses dalam ilmu pengetahuan. Hal yang pa ling mendasar untuk memutus belenggukemiskinan budaya pada akhirnya harusmeletakkan pada prinsip memberi kesempatan untuk berubah, dan itu dilakukanmelalui strategi pendidikan yang berpijak pada gerakan literasi.

    Sekalipun dalam gerakan Odesa Indonesiaada @ndakan yang sifatnya karika@f seper@amal sosial beras, pakaian, buku/alat tulis,mendorong warga kota memperbaiki saranamandi, cuci, dan kakus (MCK) atau memba ngun rumah reyot, tetapi hal itu hanya diletakkan sebagai pintu masuk kegiatan pendampingan literasi. Sektor literasi palingpotensial untuk memutus belengggukemiskinan adalah kelompok anakanak danremaja.

    Pendampingan literasi ini tujuannya untukmenghasilkan kualitas gerakan, bukansekadar menjalankan nilai kebaikan. Kita@dak melakukan @ndakan kebaikan yang@dak mengubah kehidupan mereka menjadibaik. Oleh karena itu, amal sosial @dak boleh”melempar koin kepada si miskin, sedangkankemiskinan itu sendiri @dak hilang”.

    Falsafah Odesa Indonesia dalam @ndakanini adalah membumi dalam kebersamaan,menyatu, berproses bersama dalam meng

    ubah keadaan secara transforma@f (transformasi sosial dibedakan dengan revolusi sosial).Berpikir makro (dengan melihat petakeadaan nasional di tengah percaturan kehidupan global) adalah kebutuhan. Sementara itu, ber@ndak mikro dengan aksiaksikonkret adalah kewajiban.

    Kerusakan lingkungan di kawasan Bandung utara memang menjadi fakta yang gamblang. Akan tetapi, fokus pembaruan sumberdaya manusia lebih utama ke@mbang langsung mengurus sumber daya alam. Ibaratnya,manusiamanusia desa ini yang menghunirumah. Maka, mereka harus bisa mengurusrumah sendiri. Rumah yang tak terurus, betapa pun kokoh dan menterengnya, niscayaakan rusak dalam hitungan beberapa bulan.Lingkungan desa hanya akan selamat mana kala diurus oleh orang desa, bukan oleh negara atau orang kota dengan catatan merekabisa mengurusnya secara tepat. (Faiz Manshur, Ketua OdesaIndonesia)***

    FOTO: FAIZ MANSHUR

    PETANI di Kecamatan Cimenyan mengalamikelemahan ekonomi. Hal ini akibat minimnyailmu pengetahuan ekonomi, termasuk tertinggal dalam urusan budi daya pangan, minimnyajaringan relasi ekonomi, dan rendahnya budayahidup.*

    Tiga Problem Utama Kemiskinan di Desa

    FOTO: FAIZ MANSHUR

    SEBAGIAN warga Cimenyan bertahan hidup dengan beternak. Namun, usaha ternak mereka masih sederhana. Demikian juga dengan kandangkandang untuk hewan ternak yang dibuat berdekatandengan rumah, sehingga menambah kesan kumuh.*

    Strategi Kebudayaan: Pangan, Ternak, Literasi, & Teknologi

    Ahmad Heryawan menggelar sejum-

    l

    d

    s

    proses Penerimaan Peser-

    t pada dasarnya adalah

    s

    Karakter

    M menjelaskan bahwad

    daerah menjelaskan ten-

    t

    rusaknya karakterm

    denganp

    lebihb ada beberapa hal

    y 2) penegakan atu-

    r

    pihak terkait dalam pe-

    m

    tentang proses

    P wajib dilakukan. S

    agar masyarakat kita terhin-d

    Adanya

    mengatakan,

    U

    T

    “Mahasiswa yang ketahuan

    j

    arus lalu lin-

    t

    Orang

    Prihatin dengan Kasus Perjokian di FK