Upload
rizky-zentalian
View
59
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III
‘OTITIS MEDIA’
Di susun oleh Kelompok 1
1. Hajar Qurrota Ayyun (09600023)
2. Sayyadi (09600063)
3. wigi agus hariyadi (20101660006)
4. Anik Mudifah (20101660040)
5. Nurviki Ledi Martviakristy (20101660023)
6. Inayatur R (20101660025)
7. SebtiAKMELYA F.R (20101660052)
8. Moch. Maksum Arip (20101660055)
9. Moch. Ibrahim (20101660015)
S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2013
Daftar Isi
Cover.........................................................................................................................
Daftar Isi....................................................................................................................
Kata Pengantar...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................
1.2 Permasalahan.......................................................................................................
1.3 Tujuan..................................................................................................................
1.4 Metode Penelitian...............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otitis Media.......................................................................................
2.2 Etiologi Otitis Media............................................................................................
2.3 Patofisiologi Otitis Media.....................................................................................
2.4 Tanda dan Gejala pada Otitis Media .....................................................................
2.5 Gambaran Umum yang Khas pada OtitisMedia.....................................................
2.6 Pemeriksaan diagnostik pada Otitis Media.............................................................
2.7 Komplikasi pada Otitis Media.................................................................................
2.8 Prognosa Otitis Media.............................................................................................
2.9 Pencegahan pada Otitis Media................................................................................
2.10 Penatalaksanaan pada Otitis Media.......................................................................
BAB III Asuhan Keperawatan pada pasien anak dengan Otitis Media
3.1 Pengkajian Keperawatan.........................................................................................
3.2 Diagnosa Keperawatan............................................................................................
3.3 Intervensi Keperawatan...........................................................................................
3.4 Implementasi Keperawatan....................................................................................
3.5 Evaluasi Keperawatan............................................................................................
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan..........................................................................................................
4.2 Saran....................................................................................................................
Daftar Pustaka.............................................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat rahmat dan karunia-Nya makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan
OTITIS MEDIA” dapat terselesaikan. Makalah ini di susun guna memenuhi tugas
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I.
Keperawatan di Indonesia saat ini masih dalam suatu proses profesionalisasi
yaitu terjadinya suatu perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai tuntunan
secara global dan local atau otonomi. Untuk mewujudkannya maka perawat Indonesia
harus mampu memberikan Asuhan Keperawatan secara profesional kepada pasien
dan berpartisipasi secara aktif dalam membangun bangsa dan negara Indonesia
tercinta. Sehingga masyarakat (masyarakat umum dan masyarakat profesional)
mengenal dan mengakui eksistensi profesi keperawatan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bu Eni S.Kep, Ns. selaku dosen
mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah III, apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan makalah ini, maka mohon dimaaafkan dan demi kesempurnaan makalah ini
kami memerlukan kritik, saran, maupun masukan dari dosen mata kuliah dan rekan-
rekan. Akhirnya penulis mengharapkan makalah ini bisa bermanfaat bagi semua.
Surabaya, September 2013
Kelompok 1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Telinga adalah organ penginderaan dengan fungsi ganda dan kompleks
(pendengaran dan keseimbanga Anatominya juga sangat rumit . Indera pende¬ngaran
berperan penting pada partisipasi seseorang dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Sangat penting untuk perkembangan normal dan pemeliharaan bicara, dan
kemampuan berkomunikasi dengan orang lain melalui bicara tergantung pada
kemampuan mendengar.
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara. Gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan tinggi
karena kompresi (pemampatan)molekul-molekul udara yang berselang seling dengan
daerah-daerah bertekanan rendah karena penjarangan molekul tersebut. (Sherwood,
2001).
Sewaktu suatu gelombang suara mengenai jendela oval, tercipta suatu
gelombang tekanan di telinga dalam. Gelombang tekanan menyebabkan perpindahan
mirip-gelombang pada membran basilaris terhadap membrana tektorium. Sewaktu
menggesek membrana tektorium, sel-sel rambut tertekuk. Hal ini menyebabkan
terbentuknya potensial aksi. Apabila deformitasnya cukup signifikan, maka saraf-
saraf aferen yang bersinaps dengan sel-sel rambut akan terangsang untuk melepaskan
potensial aksi dan sinyal disalurkan ke otak (Corwin, 2001).
Proses mendengar pada anak atau orang dewasa normal merupakan proses yang
alami, timbul tanpa usaha tertentu dari individu dan sepertinya terjadi secara otomatis
dan tanpa kita sadari, padahal untuk dapat mendengar bunyi atau suara percakapan
harus melalui suatu tahapan atau proses.
Proses mendengar sebenarnya sudah terjadi segera setelah bayi dilahirkan
normal ke dunia, bahkan organ pendengaran sudah berfungsi seperti layaknya orang
dewasa tatkala janin berusia 20 minggu kehamilan. Janin sudah dapat memberikan
reaksi ketika diberikan stimulus berupa nada murni berfrekwensi tinggi melalui
microphone yang ditempatkan pada perut ibu seperti yang dilaporkan pertama kali
oleh seorang peneliti yang bernama Johansson et al pada tahun 1964.
Kemudian dalam perjalanan hidupnya sejak dilahirkan, bayi akan mendapat
input suara-suara yang ada dilingkungan sekitarnya sehari-hari secara terus menerus.
Dalam keadaan pendengaran normal, rangsangan suara tadi akan direkam dan
dipersepsikan dipusat sensorik diotak sehingga anak dapat mengenal suara yang
pernah didengarnya.
Pendengaran sebagai salah satu indera, memegang peranan yang sangat penting
karena perkembangan bicara sebagai komponen utama komunikasi pada manusia
sangat tergantung pada fungsi pendengaran.
Dari uraian diatas sangatlah jelas hubungan antara kemampuan anak untuk
mendengar dan kemampuan untuk berbicara. Apabila terjadi gangguan pendengaran
sejak dini maka akan terjadi pula gangguan perkembangan bicara
2. Tujuan
2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami masalah dengan kasus gangguan
persepsi dan sensori pada berbagai tingkat usia dengan memperhatikan aspek legal
dan etis.
2.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa mampu memahami anatomi fisiologi system persepsi dan sensori
pendengaran.
2. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi pada gangguan sistem persepsi dan
sensori pendengaran pada berbagai tingkat usia.
3. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian dengan gangguan system persepsi dan
sensori pendengaran pada berbagai tingkat usia.
4. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan dengan gangguan system
persepsi dan sensori pendengaran pada berbagai tingkat usia
5. Mahasiswa mampu memahami system pelayanan kesehatan untuk pasien dengan
gangguan system persepsi dan sensori pendengaran.
6. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami pencegahan primer, sekunder, dan
tersier pada masalah system persepsi dan sensori pendengaran
7. Mahasiswa mampu mengklasifikasi kasus dan mampu memprioritaskan masalah
keperawatan dengan gangguan system persepsi dan sensori pendengaran
8. Mahasiswa mampu melakukan fungsi advocacy pada kasus gangguan system
pendengaran
9. Mahasiswa mampu menggunakan hasil-hasil penelitian dalam mengatasi masalah
system persepsi dan sensori pendengaran.
10. Mahasiswa mampu mendemonstrasikan intervensi keperawatan pada kasus dengan
gangguan system persepsi dan sensori pendengaran pada berbagai tingkat usia dengan
standar yang berlaku dengan berfikir kreatif dan inovasi sehingga menghasilkan
pelayanan yang efisien dan efektif dengan memperhatikan aspek legal dan etik.
3. Rumusan masalah
Dilihat dari latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut :
“Bagaimana melakukan simulasi asuhan keperawatan, pendidikan kesehatan,
pengelolaan asuhan keperawatan, nursing advokasi, mengidentifikasi masalah
penelitian dan mengatasi masalah keperawatan dengan kasus system persepsi dan
sensori pendengaran pada berbagai tingkat usia dengan tetap memperhatikan aspek
legal dan etis ?”
4. Metode penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah pengumpulan data,
yaitu studi kepustakaan untuk mendapatkan sumber-sumber teoritis
yang berhubungan dengan asuhan keperawatan dengan kasus gangguan system
persepsi sensori.
Sistematika Penulisan digunakan untuk menyusun urutan makalah secara lebih
rinci dan jelas, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari penulisan makalah
ini,maka penulis menguraikan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, meliputi Latar Belakang, Tujuan, Rumusan Masalah,
Metode Penulisan.
BAB II Tinjauan Teoritis, meliputi Anatomi dan Fisiologi System
Pendengaran, Konsep Dasar Penyakit Otitis Media (OM), Asuhan Keperawatan
BAB III Pembahasan Kasus, meliputi Scenario Kasus 1 dan Jawaban Scenario.
BAB IV Penutup.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Otitis Media
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga yang paling
sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan juga pada
orang dewasa (Soepardi, 1998).
Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustaruchius,antum mastoid dan sel-sel mastoid.
Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non superativ (=otitis
media sorusa,otitis media sekrotoria,otitis media musinosa,otitismedia efusi(OME)
masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronis,yaitu otitis media
supuratif akut(otitis media akut = OMA)dan otitis media supuratif kronis (OMSK).
Begitu pula otitis media serosa terbagi menjadi otitis media surosa akut (barotruma
=aerotitis ) dan otitis media serosa kronis . selain itu terdapat otitis media spesifik,
seperti otitis media tuberkolosa atau otitis media sifilitika . otitis media yang lain
ialah otitis media adhesive. (dr.Bambang Hermani,Sp.THT.2001)
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustacheus, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid/( soepardi, iskandar ,1990)
Otitis media perforata (OMP) atau otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah
infeksi kronis di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang
keluar dari telinga tengah terus menerus atau hilang timbul, sekret mungkin encer
atau kental, bening atau bernanah.(Kapita selekta kedokteran, 1999)
Otitis media koronik adalah perforasi pada gendang telinga ( warmasif, 2009)
Otitis media kronis adalah peradangan teliga tengah yang gigih, secara khas
untuk sedikitnya satu bulan serta orang awam biasanya menyebut congek (Alfatih,
2007)
Otitis media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan
struktur tulang di dalam kavum timpani. Otitis media sering dijumpai pada anak –
anak di bawah usia 15 tahun.
Otitis media kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media akut
yang tak tertangani.
Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga yang paling
sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan juga pada
orang dewasa (Soepardi, 1998).
Otitis media kronik adalah keradangan kronik yang mengenai mukosa dan struktur
tulang di dalam kavum timpani. Otitis media sering dijumpai pada anak – anak di
bawah usia 15 tahun. Ada 3 ( tiga ) jenis otitis media yang paling umum ditemukan di
klinik, yaitu :
A. Otitis Media Akut
Otitis media akut adalah keadaan dimana terdapatnya cairan di dalam telinga tengah
dengan tanda dan gejala infeksi. Otitis media akut Adalah peradangan akut sebagian
atau seluruh periosteum telinga tengah, yang disebabkan oleh bakteri atau virus.
Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia, tetapi paling sering ditemukan pada
anak-anak terutama usia 3 bulan – 3 tahun.
B. Otitis Media Serosa (Otitis media dengan efusi)
Otitis media serosa / efusi adalah keadaan terdapatnya cairan di dalam telinga tengah
tanpa adanya tanda dan gejala infeksi aktif. Secara teori, cairan ini sebagai akibat
tekanan negative dalam telinga tengah yang disebabkan oleh obstruksi tuba eustachii.
Pada penyakit ini, tidak ada agen penyebab definitive yang telah diidentifikasi,
meskipun otitis media dengan efusi lebih banyak terdapat pada anak yang telah
sembuh dari otitis media akut dan biasanya dikenal dengan “glue ear”. Bila terjadi
pada orang dewasa, penyebab lain yang mendasari terjadinya disfungsi tuba eustachii
harus dicari. Efusi telinga tengah sering terlihat pada pasien setelah mengalami
radioterapi dan barotrauma ( eg : penyelam ) dan pada pasien dengan disfungsi tuba
eustachii akibat infeksi atau alergi saluran napas atas yang terjadi.
C. Otitis Media Kronik
Otitis media kronik sendiri adalah kondisi yang berhubungan dengan patologi
jaringan irreversible dan biasanya disebabkan oleh episode berulang otitis media akut
yang tak tertangani. Sering berhubungan dengan perforasi menetap membrane
timpani. Infeksi kronik telinga tengah tak hanya mengakibatkan kerusakan membrane
timpani tetapi juga dapat menghancurkan osikulus dan hampir selalu melibatkan
mastoid. Sebelum penemuan antibiotic, infeksi mastoid merupakan infeksi yang
mengancam jiwa. Sekarang, penggunaan antibiotic yang bijaksana pada otitis media
akut telah menyebabkan mastoiditis koalesens akut menjadi jarang. Kebanyakan
kasus mastoiditis akut sekarang ditemukan pada pasien yang tidak mendapatkan
perawatan telinga yang memadai dan mengalami infeksi telinga yang tak ditangani.
Mastoiditis kronik lebih sering, dan beberapa dari infeksi kronik ini, dapat
mengakibatkan pembentukan kolesteatoma, yang merupakan pertumbuhan kulit ke
dalam ( epitel skuamosa ) dari lapisan luar membrane timpani ke telinga tengah. Kulit
dari membrane timpani lateral membentuk kantong luar, yang akan berisi kulit yang
telah rusak dan bahan sebaseus. Kantong dapat melekat ke struktur telinga tengah dan
mastoid. Bila tidak ditangani, kolesteatoma dapat tumbuh terus dan menyebabkan
paralysis nervus fasialis ( N. Cranial VII ), kehilangan pendengaran sensorineural
dan/ atau gangguan keseimbangan (akibat erosi telinga dalam) dan abses otak
2.2 Pembagian Otitis Media
Otitis media terbagi atas :
1. Otitis media supuratif
a. Otitis media supuratif akut atau otitis media akut
b. Otitis media supuratif kronik
2. Otitis media non supuratif atau otitis media serosa
a. Otitis media serosa akut (barotrauma atau aerotitis)
b. Otitis media serosa kronik (glue ear)
3. Otitis media spesifik, seperti otitis media sifilitika atau otitis media tuberkulosa.
4. Otitis media adhesiva
2.3 Otitis Media Akut
2.3.1 Pengertian
Otitis media akut adalah keadaan dimana terdapatnya cairan di dalam telinga tengah
dengan tanda dan gejala infeksi.
Adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga tengah, yang
disebabkan oleh bakteri atau virus. Otitis media akut bisa terjadi pada semua usia,
tetapi paling sering ditemukan pada anak-anak terutama usia 3 bulan – 3 tahun.
2.3.2 Etiologi
Sumbatan pada tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media.
Pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga pencegahan
invasi kuman ke dalam telinga tengah terganggu juga. Selain itu, ISPA juga
merupakan salah satu faktor penyebab yang paling sering. Kuman penyebab OMA
adalah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus, Haemophilus Pneumoniae
(38%), Pneumococcus. Influenzae (27%), Staphylococcus aureus (2%), Streptococcus
Pada anak-anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya
otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya
pendek, lebar, dan letaknya agak horisontal.
Streptococcus.
Stapilococcus.
Diplococcus pneumonie.
Hemopilus influens.
Gram Positif : S. Pyogenes, S. Albus.
Gram Negatif : Proteus spp, Psedomonas spp, E. Coli.
Kuman anaerob : Alergi, diabetes melitus, TBC paru.
2.3.3 Patogenesis
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di
saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya
saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih
akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar
saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.
a
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan yang lebih
banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel (kisaran
pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri. Dan yang paling berat,
cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga karena
tekanannya.
Pathway Otitis Media
Otitis Media
Otitis media supuratif Otitis media non Supuratif
(Otitis media serosa)
Otitis media akut (OMA) Otitis media serosa akut
(lebih 2 bulan)
Otitis media supuratip kronis Otitis media serosa kronis
(OMSK) (Glue ear)
2.3.4 Manifestasi Klinis
Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri.
Pada 25% pasien, tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Virus ditemukan pada 25% kasus da da dan n kadang menginfeksi telinga
tengah bersama bakteri.
Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae,
diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella cattarhalis. Yang perlu
diingat pada OMA, walaupun sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri,
hanya sedikit kasus yang membutuhkan antibiotik. Hal ini dimungkinkan
karena tanpa antibiotik pun saluran Eustachius akan terbuka kembali sehingga
bakteri akan tersingkir bersama aliran lendir.
Anak Lebih Mudah Terserang OMA
Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa karena beberapa hal
sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan.
saluran Eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih pendek
sehingga ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah.
adenoid (adenoid: salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan
dalam kekebalan tubuh) pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa.
Posisi adenoid berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga adenoid
yang besar dapat mengganggu terbukanya saluran Eustachius. Selain itu
adenoid sendiri dapat terinfeksi di mana infeksi tersebut kemudian menyebar
ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
MANIFESTASI KLINIS
A. Otitis Media Akut
Gejala otitis media dapat bervariasi menurut beratnya infeksi dan bisa sangat ringan
dan sementara atau sangat berat. Keadaan ini biasanya unilateral pada orang dewasa.
Membrane tymphani merah, sering menggelembung tanpa tonjolan tulang yang dapat
dilihat, tidak bergerak pada otoskopi pneumatic ( pemberian tekanan positif atau
negative pada telinga tengah dengan insulator balon yang dikaitkan ke otoskop ),
dapat mengalami perforasi.
Otorrhea, bila terjadi rupture membrane tymphani Keluhan nyeri telinga ( otalgia )
Sakit telinga yang berat dan menetap.
Terjadi gangguan pendengaran yang bersifat sementara .
Pada anak-anak bisa mengalami muntah, diare dan demam sampai 40,5ºC
Gendang telinga mengalami peradangan dan menonjol.
Demam
Anoreksia
Limfadenopati servikal anterior
B. Otitis Media Serosa
Pasien mungkin mengeluh kehilangan pendengaran, rasa penuh atau gatal dalam
telinga atau perasaan bendungan, atau bahkan suara letup atau berderik, yang terjadi
ketika tuba eustachii berusaha membuka. Membrane tymphani tampak kusam (warna
kuning redup sampai abu-abu pada otoskopi pneumatik, dan dapat terlihat gelembung
udara dalam telinga tengah. Audiogram biasanya menunjukkan adanya kehilangan
pendengaran konduktif.
C. Otitis Media Kronik
Gejala dapat minimal, dengan berbagai derajat kehilangan pendengaran dan terdapat
otorrhea intermitten atau persisten yang berbau busuk. Biasanya tidak ada nyeri
kecuali pada kasus mastoiditis akut, dimana daerah post aurikuler menjadi nyeri tekan
dan bahkan merah dan edema. Kolesteatoma, sendiri biasanya tidak menyebabkan
nyeri. Evaluasi otoskopik membrane timpani memperlihatkan adanya perforasi, dan
kolesteatoma dapat terlihat sebagai masa putih di belakang membrane timpani atau
keluar ke kanalis eksterna melalui lubang perforasi. Kolesteatoma dapat juga tidak
terlihat pada pemeriksaan oleh ahli otoskopi. Hasil audiometric pada kasus
kolesteatoma sering memperlihatkan kehilangan pendengaran konduktif atau
campuran.
Pemeriksaan Audiometri
Pada pemeriksaan audiometri penderita OMSK biasanya didapati tuli
konduktif. Tapi dapat pula dijumpai adanya tuli sensotineural, beratnya ketulian
tergantung besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas
Derajat ketulian nilai ambang pendengaran
Normal : -10 dB sampai 26 dB
Tuli ringan : 27 dB sampai 40 dB
Tuli sedang : 41 dB sampai 55 dB
Tuli sedang berat : 56 dB sampai 70 dB
Tuli berat : 71 dB sampai 90 dB
Tuli total : lebih dari 90 dB.
Untuk melakukan evaluasi ini, observasi berikut bisa membantu :
1. Perforasi biasa umumnya menyebabkan tuli konduktif tidak lebih dari 15-
20 dB
2. Kerusakan rangkaian tulang-tulang pendengaran menyebabkan tuli
konduktif 30-50 dB apabila disertai perforasi.
3. Diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran dibelakang membran yang
masih utuh menyebabkan tuli konduktif 55-65 dB.
4. Kelemahan diskriminasi tutur yang rendah, tidak peduli bagaimanapun
keadaan hantaran tulang, menunjukan kerusakan kohlea parah.
Pemeriksaan Radiologi.
1. Proyeksi Schuller
Memperlihatkan luasnya pneumatisasi mastoid dari arah lateral dan atas. Foto
ini berguna untuk pembedahan karena memperlihatkan posisi sinus lateral dan
tegmen.
2. Proyeksi Mayer atau Owen,
Diambil dari arah dan anterior telinga tengah. Akan tampak gambaran tulang-
tulang pendengaran dan atik sehingga dapat diketahui apakah kerusakan tulang telah
mengenai struktur-struktur.
3. Proyeksi Stenver
Memperlihatkan gambaran sepanjang piramid petrosus dan yang lebih jelas
memperlihatkan kanalis auditorius interna, vestibulum dan kanalis semisirkularis.
Proyeksi ini menempatkan antrum dalam potongan melintang sehingga dapat
menunjukan adanya pembesaran.
4. Proyeksi Chause III
Memberi gambaran atik secara longitudinal sehingga dapat memperlihatkan
kerusakan dini dinding lateral atik. Politomografi dan atau CT scan dapat
menggambarkan kerusakan tulang oleh karena kolesteatom.
Bakteriologi
Bakteri yang sering dijumpai pada OMSK adalah Pseudomonas aeruginosa,
Stafilokokus aureus dan Proteus. Sedangkan bakteri pada OMSA Streptokokus
pneumonie, H. influensa, dan Morexella kataralis. Bakteri lain yang dijumpai pada
OMSK E. Coli, Difteroid, Klebsiella, dan bakteri anaerob adalah Bacteriodes sp.
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang
tenggorokan atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.
Saat bakteri melalui saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di
saluran tersebut sehingga terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya
saluran, dan datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih
akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya
terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan sekitar
saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-sel di telinga tengah
terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena
gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ
pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan pendengaran
yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus).
Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga
45 desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri.1
Dan yang paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek
gendang telinga karena tekanannya.
Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), otitis
media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak. Di Amerika Serikat,
diperkirakan 75% anak mengalami setidaknya satu episode otitis media sebelum usia
tiga tahun dan hampir setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Di
Inggris, setidaknya 25% anak mengalami minimal satu episode sebelum usia sepuluh
tahun.4 Di negara tersebut otitis media paling sering terjadi pada usia 3-6 tahun.
2.4 Tanda dan Gejala pada Otitis Media
1. Telinga Berair (Otorrhoe)
Sekret bersifat purulen atau mukoid tergantung stadium peradangan. Pada
OMSK tipe jinak, cairan yang keluar mukopus yang tidak berbau busuk yang sering
kali sebagai reaksi iritasi mukosa telinga tengah oleh perforasi membran timpani dan
infeksi. Keluarnya sekret biasanya hilang timbul. Pada OMSK stadium inaktif tidak
dijumpai adannya sekret telinga. Pada OMSK tipe ganas unsur mukoid dan sekret
telinga tengah berkurang atau hilang karena rusaknya lapisan mukosa secara luas.
Sekret yang bercampur darah berhubungan dengan adanya jaringan granulasi dan
polip telinga dan merupakan tanda adanya kolesteatom yang mendasarinya. Suatu
sekret yang encer berair tanpa nyeri mengarah kemungkinan tuberkulosis.
2. Gangguan Pendengaran
Biasanya dijumpai tuli konduktif namun dapat pula bersifat campuran.
Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta
keutuhan dan mobilitas sistem pengantaran suara ke telinga tengah. Pada OMSK tipe
maligna biasanya didapat tuli konduktif berat.
3. Otalgia (Nyeri Telinga)
Pada OMSK keluhan nyeri dapat karena terbendungnya drainase pus. Nyeri
dapat berarti adanya ancaman komplikasi akibat hambatan pengaliran sekret,
terpaparnya durameter atau dinding sinus lateralis, atau ancaman pembentukan abses
otak. Nyeri merupakan tanda berkembang komplikasi OMSK seperti Petrositis,
subperiosteal abses atau trombosis sinus lateralis.
4. Vertigo
Keluhan vertigo seringkali merupakan tanda telah terjadinya fistel labirin
akibat erosi dinding labirin oleh kolesteatom. Vertigo yang timbul biasanya akibat
perubahan tekanan udara yang mendadak atau pada panderita yang sensitif keluhan
vertigo dapat terjadi hanya karena perforasi besar membran timpani yang akan
menyebabkan labirin lebih mudah terangsang oleh perbedaan suhu. Penyebaran
infeksi ke dalam labirin juga akan meyebabkan keluhan vertigo. Vertigo juga bisa
terjadi akibat komplikasi serebelum.
2.6 Pemeriksaan diagnostik pada Otitis Media
1. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar
2. Timpanogram untuk mengukur keseuaian dan kekakuan membrane timpani
3. Kultur dan uji sensitifitas ; dilakukan bila dilakukan timpanosentesis
(Aspirasi jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).
2.7 Komplikasi pada Otitis Media
Tendensi otitis media mendapat komplikasi tergantung pada kelainan
patologik yang menyebabkan otore. Walaupun demikian organisme yang resisten dan
kurang efektifnya pengobatan, akan menimbulkan komplikasi. biasanya komplikasi
didapatkan pada pasien OMSK tipe maligna, tetapi suatu otitis media akut atau suatu
eksaserbasi akut oleh kuman yang virulen pada OMSK tipe benigna pun dapat
menyebabkan komplikasi.
Komplikasi intra kranial yang serius lebih sering terlihat pada eksaserbasi
akut dari OMSK berhubungan dengan kolesteatom.
A. Komplikasi ditelinga tengah :
1. Perforasi persisten membrane timpani
2. Erosi tulang pendengaran
3. Paralisis nervus fasial
B. Komplikasi telinga dalam
1. Fistel labirin
2. Labirinitis supuratif
3. Tuli saraf ( sensorineural)
C. Komplikasi ekstradural
1. Abses ekstradural
2. Trombosis sinus lateralis
3. Petrositis
D. Komplikasi ke susunan saraf pusat
1. Meningitis
2. Abses otak
3. Hindrosefalus otitis
Perjalanan komplikasi infeksi telinga tengah ke intra kranial harus melewati 3
macam lintasan:
1. Dari rongga telinga tengah ke selaput otak
2. Menembus selaput otak.
3. Masuk kejaringan otak.
Otitis media kronik ditandai dengan riwayat keluarnya cairan secara kronik
dari satu atau dua telinga.
Jika gendang telinga telah pecah lebih dari 2 minggu, risiko infeksi menjadi
sangat umum.
Umumnya penanganan yang dilakukan adalah mencuci telinga dan
mengeringkannya selama beberapa minggu hingga cairan tidak lagi keluar.
Otitis media yang tidak diobati dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga
tengah, termasuk otak. Namun komplikasi ini umumnya jarang terjadi.
Salah satunya adalah mastoiditis pada 1 dari 1000 anak dengan OMA
yangtidak diobati.
Otitis media yang tidak diatasi juga dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran permanen.
Cairan di telinga tengah dan otitis media kronik dapat mengurangi
pendengaran anak serta menyebabkan masalah dalam kemampuan bicara dan
bahasa.
Otitis media dengan efusi didiagnosis jika cairan bertahan dalam telinga
tengah selama 3 bulan atau lebih.
Komplikasi yang serius adalah:
Infeksi pada tulang di sekitar telinga tengah (mastoiditis atau petrositis)
Labirintitis (infeksi pada kanalis semisirkuler)
Kelumpuhan pada wajah
Tuli
Peradangan pada selaput otak (meningitis)
Abses otak.
sakit kepala
tuli yang terjadi secara mendadak
vertigo (perasaan berputar)
demam dan menggigil.
2.8 Prognosa
Biasanya , infeksi telinga adalah kondisi sederhana tanpa komplikasi . Sebagian besar
anak-anak akan memiliki kecil , gangguan pendengaran sementara selama dan tepat
setelah infeksi telinga . Kehilangan pendengaran permanen sangat jarang , tetapi
risikonya meningkat jika anak memiliki banyak infeksi telinga . Komplikasi potensial
lainnya termasuk :
Pecah atau berlubang gendang telinga , yang biasanya sembuh sendiri
Kronis , infeksi telinga berulang
Adenoid membesar atau amandel
Mastoiditis , infeksi pada tulang di sekitar tengkorak
Pidato atau keterlambatan bahasa pada anak yang menderita gangguan pendengaran
yang berlangsung dari beberapa , infeksi telinga berulang , sangat jarang
mendukung Penelitian
2.9 Penatalaksanaan pada Otitis Media
Infeksi diobati dengan antibiotika per-oral (melalui mulut).
Pilihan pertama adalah amoxicillin, tetapi untuk penderita dewasa bisa diberikan
penisilin dosis tinggi.
Obat flu yang mengandung phenilephrine bisa membantu membuka tuba eustakius
dan jika terdapat alergi bisa diberikan antihistamin.
Miringotomi dilakukan jika nyerinya menetap atau hebat, demam, muntah atau diare
atau jika gendang telinga menonjol.
Pada prosedur ini dibuat sebuah lubang pada gendang telinga untuk mengeluarkan
cairan dari telinga tengah. Pembuatan lubang ini tidak akan mengganggu fungsi
pendengaran penderita dan nantinya akan menutup kembali dengan sendirinya
II. Terapi
1. Tipe tubetimpanal stadium aktif:
o Anti biotik : Ampisilin / Amoksilin, (3-4 X 500 mg oral) atau klidomisin (3 X 150
– 300 mg oral) Per hari selama 5 –7 hari
o Pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya
o Perawatan lokal dengan perhidoral 3% dan tetes telinga (Klora menikol 1- 2%)
o Pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi
o Pada stadium tenang (kering) di lakukan miringoplastik. ICOPIM (5. 194).
2. Tipe degeneratif :
o Atikoantrotomi (5.203)
o Timpanoplastik (5.195).
3. Tipe meta plastik / campuran
- Mastoidektomi radikal (5.203)
- Mastoidektomi radikal dan rekonstruksi.
Untuk OMK dengan penyulit :
Abses retroaurikuler
1. Insisi abses
2. Antibiotik : Penisilin Prokain 2 X 0,6-1,2 juta IU i.m / hari dan metronidazol X 250
– 500mg oral / sup / hari.
3. Mastoid dektomi radikal urgen.
B. Obat-obatan
Infeksi diobati dengan antibiotika per-oral (melalui mulut).
Pilihan pertama adalah amoxicillin, tetapi untuk penderita dewasa bisa
diberikan penisilin dosis tinggi.
Obat flu yang mengandung phenilephrine bisa membantu membuka tuba
eustakius dan jika terdapat alergi bisa diberikan antihistamin.
Miringotomi dilakukan jika nyerinya menetap atau hebat, demam, muntah
atau diare atau jika gendang telinga menonjol.
Pada prosedur ini dibuat sebuah lubang pada gendang telinga untuk
mengeluarkan cairan dari telinga tengah. Pembuatan lubang ini tidak akan
mengganggu fungsi pendengaran penderita dan nantinya akan menutup
kembali dengan sendirinya
Ibuprofen , asetaminofen - Tanyakan kepada dokter Anda tentang
penggunaan obat oral over-the -counter untuk rasa sakit atau demam ,
seperti ibuprofen ( Advil , Motrin ) atau acetaminophen ( Tylenol ) . Anak
di bawah 19 sebaiknya tidak menggunakan aspirin , karena risiko
mengembangkan penyakit langka tapi serius yang disebut sindrom Reye .
Bedah dan Prosedur Lain
Tabung Drainase ( myringotomy ) - Jika anak Anda telah berulang infeksi
telinga yang tidak merespon terhadap antibiotik atau jika cairan di telinga
mempengaruhi pendengarannya , dokter mungkin menyarankan
menempatkan dalam tabung drainase . Selama operasi ini , yang
membutuhkan anestesi umum , menyisipkan ahli bedah drainase tabung
kecil melalui gendang telinga . Cairan di belakang gendang telinga bisa
mengalir keluar , menyamakan tekanan antara telinga tengah dan luar , yang
harus meningkatkan pendengaran anak Anda . Tabung biasanya keluar pada
mereka sendiri sebagai anak Anda tumbuh dan lubang drainase
menyembuhkan . OMA umumnya adalah penyakit yang akan sembuh
dengan sendirinya.
Sekitar 80% OMA sembuh dalam 3 hari tanpa antibiotik. Penggunaan
antibiotik tidak mengurangi komplikasi yang dapat terjadi, termasuk
berkurangnya pendengaran.
Observasi dapat dilakukan pada sebagian besar kasus. Jika gejala tidak
membaik dalam 48-72 jam atau ada perburukan gejala, antibiotik
diberikan.4,6 American Academy of Pediatrics (AAP) mengkategorikan
OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik
sebagai berikut:
Usia Diagnosis pasti Diagnosis meragukan
< 6 bln Antibiotik Antibiotik
6 bln – 2 th Antibiotik Antibiotik jika gejala berat; observasi
jika gejala ringan
2 thn Antibiotik jika gejala
berat; observasi jika
gejala ringan
Observasi
Yang dimaksud dengan gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam <39°C
dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang – berat
atau demam 39°C.
Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam
bulan – dua tahun dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan
pada anak di atas dua tahun. Untuk dapat memilih observasi, follow-up harus
dipastikan dapat terlaksana. Analgesia tetap diberikan pada masa observasi.
British Medical Journal memberikan kriteria yang sedikit berbeda untuk menerapkan
observasi ini.10 Menurut BMJ, pilihan observasi dapat dilakukan terutama pada anak
tanpa gejala umum seperti demam dan muntah.
Jika diputuskan untuk memberikan antibiotik, pilihan pertama untuk sebagian besar
anak adalah amoxicillin.
Sumber seperti AAFP (American Academy of Family Physician)
menganjurkan pemberian 40 mg/kg berat badan/hari pada anak dengan risiko
rendah dan 80 mg/kg berat badan/hari untuk anak dengan risiko tinggi.
Risiko tinggi yang dimaksud antara lain adalah usia kurang dari dua tahun,
dirawat sehari-hari di daycare, dan ada riwayat pemberian antibiotik dalam
tiga bulan terakhir.
WHO menganjurkan 15 mg/kg berat badan/pemberian dengan maksimumnya
500 mg.
AAP menganjurkan dosis 80-90 mg/kg berat badan/hari.6 Dosis ini terkait
dengan meningkatnya persentase bakteri yang tidak dapat diatasi dengan dosis
standar di Amerika Serikat. Sampai saat ini di Indonesia tidak ada data yang
mengemukakan hal serupa, sehingga pilihan yang bijak adalah menggunakan
dosis 40 mg/kg/hari. Dokumentasi adanya bakteri yang resisten terhadap dosis
standar harus didasari hasil kultur dan tes resistensi terhadap antibiotik.
Antibiotik pada OMA akan menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam.
Dalam 24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai
terjadi perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan
ada penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam
kasus seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini kedua. Misalnya:
Pada pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, antibiotik yang kemudian
dipilih adalah amoxicillin-clavulanate.6 Sumber lain menyatakan pemberian
amoxicillin-clavulanate dilakukan jika gejala tidak membaik dalam tujuh hari
atau kembali muncul dalam 14 hari.4
Jika pasien alergi ringan terhadap amoxicillin, dapat diberikan cephalosporin
seperti cefdinir, cefpodoxime, atau cefuroxime.
Pada alergi berat terhadap amoxicillin, yang diberikan adalah azithromycin
atau clarithromycin
Pilihan lainnya adalah erythromycin-sulfisoxazole atau sulfamethoxazole-
trimethoprim.
Namun kedua kombinasi ini bukan pilihan pada OMA yang tidak membaik
dengan amoxicillin.
Jika pemberian amoxicillin-clavulanate juga tidak memberikan hasil, pilihan
yang diambil adalah ceftriaxone selama tiga hari.
Pemberian antibiotik pada otitis media dilakukan selama sepuluh hari pada
anak berusia di bawah dua tahun atau anak dengan gejala berat.
Pada usia enam tahun ke atas, pemberian antibiotik cukup 5-7 hari. Di Inggris,
anjuran pemberian antibiotik adalah 3-7 hari atau lima hari.
Tidak adanya perbedaan bermakna antara pemberian antibiotik dalam jangka
waktu kurang dari tujuh hari dibandingkan dengan pemberian lebih dari tujuh
hari. Dan karena itu pemberian antibiotik selama lima hari dianggap cukup
pada otitis media. Pemberian antibiotik dalam waktu yang lebih lama
meningkatkan risiko efek samping dan resistensi bakteri.
Analgesia/pereda nyeri
Penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri (analgesia).
Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana seperti
paracetamol atau ibuprofen.
Namun perlu diperhatikan bahwa pada penggunaan ibuprofen, harus
dipastikan bahwa anak tidak mengalami gangguan pencernaan seperti muntah
atau diare karena ibuprofen dapat memperparah iritasi saluran cerna.
Obat lain
Pemberian obat-obatan lain seperti antihistamin (antialergi) atau dekongestan
tidak memberikan manfaat bagi anak.
Pemberian kortikosteroid juga tidak dianjurkan.
Myringotomy (myringotomy: melubangi gendang telinga untuk mengeluarkan
cairan yang menumpuk di belakangnya) juga hanya dilakukan pada kasus-
kasus khusus di mana terjadi gejala yang sangat berat atau ada komplikasi.
Cairan yang keluar harus dikultur.
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis untuk mencegah berulangnya OMA
tidak memiliki bukti yang cukup.
BAB III
Asuhan Keperawatan pada pasien anak dengan Otitis media
3.1 Pengkajian Keperawatan
3.1 Asuhan Keperawatan Teori pada Otitis Media, meliputi :
I. Diagnosis
1. Anamnesis
- Otorea terus menerus / kumat – kumatan lebih dari 6 – 8 minggu
- Pendengaran menurun (Tuli).
2. Pemeriksaan
b) Tipe tubotimpanal (Hipertrofi, benigna).(382.1).
a) Perforasi sentral
b) Mukosa menebal
c) Audiogram: Tuli konduktif dengan “air bone gab” sebesar kl 30 dB
d) X – foto mastoid : Sklerotik.
c) Tipe degeneratif (382.1).
a) Perforasi sentral besar
b) Granulasi atau polip pada mukosa kavum timpani
c) Audiogram : tuli konduktif/campuran dengan penurunan 50 – 60
dB
d) X-foto mastoid : sklerotik.
d) Tipe metaplastik (atikoantral, maligna). (385.3)
a) Perforasi atik atau marginal
b) Terdapat kolesteatom
c) Desttruksi tulang pada margotimpani
d) Audiogram : tuli konduktif / campuran dengan penurunan 60 dB
atau lebih.
e) X- foto mastoid : sklerotik/rongga.
e) Tipe campuran (degeneratif, metaplastik). (385.3)
a) Perforasi marginal besar atau total
b) Granulasi dan kolesteatom
c) Audiogram : tuli konuktif / campuran dengan penurunan 60 dB
atau lebih
d) X- foto mastoid : sklerotik / rongga.
3. Pemeriksaan tambahan : Pembuatan audiogram dan X- foto mastoid
(seperti diatas).
II. Penyulitan
1. Abses retro airkula (383.0)
2. Paresis atau paralisis syaraf fasialis (351)
3. Komplikasi intrakranial :
- Meningitis
- Abses ekstradural
- Abses otak
III. Terapi
1. Tipe tubetimpanal stadium aktif:
- Antibiotik : Ampisilin / Amoksilin, (3-4 X 500 mg oral) atau klidomisin
(3 X 150 – 300 mg oral) Per hari selama 5 –7 hari
- Pengobatan sumber infeksi di rongga hidung dan sekitarnya
- Perawatan lokal dengan perhidoral 3% dan tetes telinga (Klora menikol
1- 2%)
- Pengobatan alergi bila ada latar belakang alergi
Pada stadium tenang (kering) di lakukan miringoplastik. ICOPIM (5.
194).
2. Tipe degeneratif :
- Atikoantrotomi (5.203)
- Timpanoplastik (5.195).
3. Tipe meta plastik / campuran
- Mastoidektomi radikal (5.203)
- Mastoidektomi radikal dan rekonstruksi.
Untuk OMK dengan penyulit :
ABSES RETROAURIKULER
1. Insisi abses
2. Antibiotik : Penisilin Prokain 2 X 0,6-1,2 juta IU i.m / hari dan metronidazol
X 250 – 500mg oral / sup / hari.
3. Mastoid dektomi radikal urgen.
PARESIS ATAU PARALISIS SYARAF FASIALIS
1. Menentukan lokasi lesi :
- Dengan test Scrimer supra atau infra ganglion
- Refleks stapedeus : Positif : lesi di bawah N. Stapedeus
Negatif : lesi di atasnya
- Tes pengecapan pada lidah :
Positif : lesi di bawah korda timpani
Negatif : lesi di atasnya
2. Mastoidektomi urgen dan dekompresi saraf fasialis
3. Rehabilitasi.
LABIRINGITIS
1. Tes fistel
2. Mastoidektomi urgen.
MENINGITIS
1. Perawatan bersama dengan bagian syaraf
2. Antibiotik:
- ampicilin 6 x 2-3 g/ hari i.v di tambah
- Kloranfenikol 4 x 1 G atau seftriakson 1 –2 g / hari i.v
3. Bila meningitis sudah tenang segera di lakukan mastoidektomi radikal.
ABSESE EKSTRADURAL
1. Antibiotik : Ampisilin 4-6 X 2-3 gram/hari i.v
2. ditambah metronodazol 3 X 500mg Sup / hari.
3. Perawatan bersama dengan bagian bedah syaraf
4. Drainase abses oleh bagian bedah syaraf
5. Bila sudah tenang dilakukan matoiddektomi radikal
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
Pengumpulan data
Riwayat
Identitas Pasien
Riwayat adanya kelainan nyeri
Riwayat infeksi saluran nafas atas yang berulang
Riwayat alergi.
OMA berkurang.
Pengkajian Fisik
a) Nyeri telinga
b) Perasaan penuh dan penurunan pendengaran
c) Suhu Meningkat
d) Malaise
e) Nausea Vomiting
f) Vertigo
g) Ortore
h) Pemeriksaan dengan otoskop tentang stadium.
Pengkajian Psikososial
a) Nyeri otore berpengaruh pada interaksi
b) Aktifitas terbatas
c) Takut menghadapi tindakan pembedahan.
Pemeriksaan Laboratorium.
pemeriksaan Diagnostik
a) Tes Audiometri : AC menurun
b) X ray : terhadap kondisi patologi
Misal : Cholesteatoma, kekaburan mastoid.
Pemeriksaan pendengaran
a) Tes suara bisikan
b) Tes garputala
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan
2. Gangguan sensori / presepsi berhubungan dengan kerusakan pada telinga tengah
3. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan mengenai pengobatan dan
pencegahan kekambuhan
4. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan gangguan presepsi pendengaran
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnose 1
Tujuan: Memberikan rasa nyaman, mengurangi rasa nyeri, Mencegah penyebaran
infeksi.
Beri aspirin/analgesik sesuai instruki
Kompres dingin di sekitar area telinga
Atur posisi
Beri sedatif sesuai indikasi
Ganti balutan
tiap hari sesuai keadaan
Observasi tanda
– tanda infeksi lokal
Ajarkan klien
tentang pengobatan
Amati
penyebaran infeksi pada otak : menggigil, kaku kuduk.
Diagnosa 2
Monitor gangguan sesori
Catat status pendengaran
Ingatkan klien bahwa vertigo dan nausea dapat terjadi setelah radikal
mastoidectomi karena gangguan telinga dalam. Berikan tindakan
pengamanan.
Perhatikan droping wajah unilateral atau mati rasa karena perlukaan (injuri)
saraf wajah.
Diagnosa 3
H.E
Ajarkan klien mengganti balutan dan menggunakan antibiotik secara kontinu
sesuai aturan
Beritahu komplikasi yang mungkin terjadi dan bagaimana melaporkannya
Tekankan hal – hal yang penting yang perlu di follow up,evaluasi
pendengaran
Diagnosa 4
Terapi medik
Antibiotik dan tetes telinga : Steroid
Pengeluaran debris dan drainase pus untuk melindungi jaringan dari
kerusakan : miringotomy
Interfensi bedah
Indikasi jika terdapat chaolesteatoma
Indikasi jika terjadi nyeri, vertigo,paralise wajah, kaku kuduk, (gejala awal
meningitis atau obses otak)
Tipe prosedur
Simpel mastoid decstomi
Radical mastoiddectomi
Posteronterior mastoiddectomi
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut.
Penyakitnya muncul mendadak (akut)
Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh)
di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda
berikut:
o menggembungnya gendang telinga
o terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
o adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga
o cairan yang keluar dari telinga
Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan
adanya salah satu di antara tanda berikut:
o kemerahan pada gendang telinga
o nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun
telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran, demam,
sulit makan, mual dan muntah, serta rewel.4,6,7 Namun gejala-gejala ini (kecuali
keluarnya cairan dari telinga) tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA
tidak dapat didasarkan pada riwayat semata.6
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan
gendang telinga dengan jelas).4 Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga
yang menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak
kuning dan suram, serta cairan di liang telinga.
Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan otoskopi pneumatik
(pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga yang dilengkapi
dengan pompa udara kecil untuk menilai respon gendang telinga terhadap perubahan
tekanan udara).6 Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama sekali
dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas
diagnosis OMA. Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop
biasa.4
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan
terhadap gendang telinga).6 Namun timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang
anak. Indikasi perlunya timpanosentesis antara lain adalah OMA pada bayi di bawah
usia enam minggu dengan riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan
gangguan kekebalan tubuh, anak yang tidak memberi respon pada beberapa
pemberian antibiotik, atau dengan gejala sangat berat dan komplikasi.8
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA.
Untuk membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.4
Gejala dan tanda OMA Otitis media dengan
efusi
Nyeri telinga, demam,
rewel
+ -
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang
menggembung
+/- -
Gerakan gendang
berkurang
+ +
Berkurangnya pendengaran+ +
3.1.2 Fokus Intervensi
1) Nyeri berhubungan dengan proses peradangan pada telinga
Tujuan : nyeri berkurang atau hilang
Intervensi:
(a) Beri posisi nyaman ; dengan posisi nyaman dapat mengurangi nyeri.
(b) Kompres panas di telinga bagian luar ; untuk mengurangi nyeri.
(c) Kompres dingin ; untuk mengurangi tekanan telinga (edema)
(d) Kolaborasi pemberian analgetik dan antibiotik
Evaluasi: nyeri hilang atau berkurang
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pengobatan
Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi
Intervensi:
(a) Kaji tanda-tanda perluasan infeksi, mastoiditis, vertigo ; untuk mengantisipasi
perluasan lebih lanjut.
(b) Jaga kebersihan pada daerah liang telinga ; untuk mengurangi pertumbuhan
mikroorganisme
(c) Hindari mengeluarkan ingus dengan paksa/terlalu keras (sisi) ; untuk menghindari
transfer organisme dari tuba eustacius ke telinga tengah.
(d) Kolaborasi pemberian antibiotik
Evaluasi: infeksi tidak terjadi
3) Resiko tinggi injury berhubungan dengan penurunan persepsi sensori
Tujuan : tidak terjadi injury atau perlukaan
Intervensi:
(a) Pegangi anak atau dudukkan anak di pangkuan saat makan ; meminimalkan anak
agar tidak jatuh
(b) Pasang restraint pada sisi tempat tidur ; meminimalkan agar anak tidak jatuh.
(c) Jaga anak saat beraktivitas ; meminimalkan agar anak tidak jatuh
(d) Tempatkan perabot teratur ; meminimalkan agar anak tidak terluka
Evaluasi : anak terhindar dari injury/perlukaan
3.2 Asuhan Keperawatan Pada Otitis Media
Ruang : THT Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo.
Pengkajian diambil tanggal : 1 Oktober 2009 Jam BBWI
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N
Umur : 11 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : -
Pendidikan : SD
Bahasa yang digunakan : Indonesia
Alamat : Surabaya
Tanggal MRS : 1Oktober 2009
Diagnosa Medis : Otitis Media Kronika
Keluhan Utama : Keluar cairan dan darah dari telinga kiri dan
pendengaran berkurang
2. RIWAYAT KEPERAWATAN (NURSING HISTORY)
1) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada usia 2 tahun klien pernah menderita Malaria dan sering kejang-
kejang. Setelah kejang-kejang bagian ekstrimitas lemah.
Klien pernah menderita Meningitis.
Sejak usia 2 tahun pada telinga kiri klien sering mengeluarkan cairan
dan darah.
2) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien post op Radikal Maestoidektomi Sinistra hari pertama
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Riwayat kesehatan keluarga yang lain tidak ada yang menderita
penyakit seperti yang diderita klien saat ini.
4) Keadaan Kesehatan Lingkungan
Klien mengatakan bahwa Lingkungan rumah tempat tinggal cukup
bersih.
3. OBSERVASI DAN PEMERIKSAAN FISIK
1) Keadaan Umum : Lemah dan pucat.
2) Tanda-tanda vital
Suhu : 370 C
Nadi : 92 X/menit.
Tekanan darah : 100/60 mmHg.
Respirasi : 20 x/menit
3) Body Systems
(1) Pernafasan (B 1 : Breathing)
Pernafasan melalui hidung. Frekuensi 20 x/menit, Irama teratur,
tidak terlihat gerakan cuping hidung, tidak terlihat Cyanosis, tidak
terlihat keringat pada dahi, tidak terdengar suara nafas tambahan,
dentuk dada simetris.
(2) Cardiovascular (B 2 : Bleeding)
Nadi 92 X/menit kuat dan teratur, tekanan darah 100/60 mmHg,
Suhu 37 0C, perfusi hangat. Cor S1 S2 tunggal reguler, ekstra
sistole/murmur tidak ada.
(3) Persyarafan (B 3 : Brain)
Tingkat kesadaran (GCS) Membuka mata : Spontan (4)
Verbal : Orientasi baik (5)
Motorik : Menurut perintah (6)
Compos Mentis : Pasien sadar baik.
Persepsi Sensori :
Pendengaran : Tuli konduksi sinistra
Penciuman : Tidak ada kelainan
Pengecapan : Tidak ada kelainan
Penglihatan : Tidak ada kelainan
Perabaan : Tidak ada kelainan
(4) Perkemihan-Eliminasi Uri (B.4 : Bladder)
Jumlah urine 1200 cc/24 jam, warna urine kuning.
(5) Pencernaan-Eliminasi Alvi (B 5 : Bowel)
Mulut dan tenggorokan normal, Abdomen normal, Peristaltik
normal, tidak kembung, tidak terdapat obstipasi maupun diare,
Rectum normal, klien buang air besar 1 X/hari.
(6) Tulang-Otot-Integumen (B 6 : Bone)
Kemampuan pergerakan sendi bebas/terbatas
Parese ada/tidak, Paralise ada/tidak, Hemiparese ada/tidak,
Ekstrimitas :
Atas : Tidak ada kelainan
Bawah : Tidak ada kelainan
Tulang Belakang : Tidak ada kelainan
Warna kulit : Coklat
Akral : Dingin
Turgor : Baik
Tidak terdapat kontraktur maupun dikubitus.
(7) Sistem Endokrin
Terapi hormon : -
Hipoglikemia : -
Polidipsi : -
Poliphagi : -
Poliuri : -
Postural hipotensi : -
Kelemahan :
4. DIAGNOSTIC TEST/PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratoriun
Hb :11,5 gr%
Otoskopi/Mikroskopik tanggal 17 April 2002
Telinga : Kapum timpani : Penebalan mukosa (-), Granulasi (+).
Hidung : Tidak ada kelainan
Tenggorokan : Tidak ada kelainan.
5. ANALISA DATA
NO DATA PENUNJANG ETIOLOGI MASALAH
1. S : Klien mengatakan
telinga kiri sakit
O :
- Telinga kiri bekas
operasi.
- Klien pucat.
- Mimik wajah
menahan kesakitan.
- Perfusi dingin
Kerusakan kulit jaringan
pada tempat operasi
Nyeri akut
2. S : Klien menyatakan
tidak bisa tidur.
O :
- Keadaan umum klien
Nyeri akut Pola istirahat tidur.
lemah.
- Mata sayu.
3. S : Klien mengatakan
telinga kiri kurang
pendengaran
O :
- Telinga sebelah kiri
tuli kondoksi
- Telah dilakukan
radikal
mastoidektomi.
gangguan persepsi
pendengaran
Resiko tinggi trauma
6. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan pada tempat operasi
2. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan nyeri akut
3. Resiko tinggi trauma berhubungan dengan gangguan persepsi pendengaran
7. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Tanggal : 1 Oktober 2009
1. Diagnosa Keperawatan : Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan pada
tempat operasi
Tujuan : Klien dapat mengekspresikan penurunan
nyeri/tidaknyamanan dalam waktu 2 X 24 jam.
Kriteria hasil : Klien tampak rileks
Mampu tidur atau istirahat dengan tepat
RENCANA TINDAKAN RASIONAL
1. Kaji keluhan nyeri, perhatikan
lokasi, lamanya dan intensitas (skala
0 – 10). Perhatikan reaksi verbal dan
non verbal.
2. Bantu klien dengan posisi nyaman.
3. Berikan tindakan kenyamanan dasar.
Dorong ambulasi dini dan
menggunakan teknik relaksasi,
bimbing imajinasi, sentuhan
terapeutik.
4. Kompres dingin di sekitar area
telinga.
5. Kolaborasi pemberian analgesik.
1. Membantu dalam mengidentifikasi
derajat ketidaknyamanan dan
kebutuhan untuk keefektifan
analgesik.
2. Mempengaruhi kemampuan klien
untuk rileks dan tidur/istirahat secara
efektif.
3. Meningkatkan relaksasi, membantu
untuk mengalihkan perhatian dan
dapat mengalihkan koping.
4. Untuk menghilangkan nyeri
akut/hebat.
2. Diagnosa Keperawatan : Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan
nyeri akut
Tujuan : Klien dapat istirahat atau tidur secara adekuat
Kriteria hasil : Klien tidur 6 – 8 jam sehari.
Beristirahat minimal sesuai kebutuhan.
Mengutarakan perasaan segar pada waktu bangun.
RENCANA TINDAKAN RASIONAL
1. Berikan kesempatan untuk
beristirahat/tidur sejenak
2. Evaluasi tingkat nyeri.
3. Lengkapi jadwal tidur dan ritual
secara teratur.
4. Berikan makanan kecil dan susu
hangatpada waktu sore hari.
5. Turunkan jumlah minum pada sore
hari. Lakukan berkemih sebelum
tidur.
6. Putarkan musik yang lembut.
7. Kolaborasi pemberian sedatif
1. Karena aktifitas fisik dan mental
dapat mengakibatkan kelelahan.
2. Karena nyeri dapat mengganggu
istirahat/tidur.
3. Penundaan waktu tidur
memungkinkan pembuangan energi.
4. Meningkatkan relaksasi dengan
perasaan mengantuk.
5. Menurunkan kebutuhan akan bangun
untuk pergi ke kamar
mandi/berkemih selama malam hari.
6. Menurunkan stimulasi sensori
dengan menghambat suara-suara lain
disekitar yang akan membuat tidur
nyeyak.
7. Sedatif dosis rendah mungkin efektif
dalam mengatasi insomnia.
3. Diagnosa Keperawatan : Resiko tinggi trauma berhubungan dengan gangguan
presepsi pendengaran
Tujuan : Setelah diberikan intervensi keperawatan klien
menurunkan faktor resiko cedera dan melindungi diri
dari cedera.
Kriteria hasil : Mengungkapkan suatu keinginan untuk melakukan
tindakan pengamanan untuk mencegah cedera.
Mengungkapkan suatu maksud untuk melakukan
pencegahan.
RENCANA TINDAKAN RASIONAL
1. Orientasikan klien pada sekeliling,
jelaskan penggunaan alarm/bel
bantuan.
2. Awasi individu secara ketat selama
beberapa malam pertama.
3. Gunakan penerangan/lampuyang
cukup.
4. Anjurkan untuk meminta bantuan
jika diperlukan.
5. Jelaskan tentang kondisi klien
berkaitan dengan penurunan
pendengaran.
1. Klien mampu mengidentifikasi
lingkungan untuk mencegah
kecelakaan.
2. Untuk mengkaji keananan dan
adaptasi klien
3. Untuk meningkatkan keamanan
ruangan dan rangsangan penglihatan.
4. Mengurangi resiko cedera.
5. Keterbukaan dan penjelasan yang
sesungguhnya tentang kondisi klien
akan membantu proses penerimaan
klien pada kondisinya.
8. TINDAKAN KEPERAWATAN
TANGGAL JAM TINDAKAN KEPERAWATAN
1 Oktober
2009
Mengkaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi, lamanya dan
intensitas (skala 0 – 10).
Memperhatikan reaksi verbal dan non verbal.
Membantu klien dengan posisi nyaman.
Memberikan tindakan kenyamanan dasar.
Mendorong ambulasi dini dan menggunakan teknik
relaksasi, bimbing imajinasi, sentuhan terapeutik.
mengompres dingin di sekitar area telinga.
Mengkolaborasikan pemberian analgesik.
1 Oktober
2009
Memberikan kesempatan untuk beristirahat/tidur sejenak.
Mengevaluasi tingkat nyeri.
melengkapi jadwal tidur dan ritual secara teratur.
Memberikan makanan kecil dan susu hangat pada waktu
sore hari.
Menurunkan jumlah minum pada sore hari.
menganjurkan berkemih sebelum tidur.
Memutarkan musik yang lembut.
Mengkolaborasikan pemberian sedatif.
1 Oktober
2009
Mengorientasikan klien pada sekeliling, jelaskan
penggunaan alarm/bel bantuan.
Mengawasi individu secara ketat selama beberapa malam
pertama.
Menggunakan penerangan/lampuyang cukup.
Menganjurkan untuk meminta bantuan jika diperlukan.
Menjelaskan tentang kondisi klien berkaitan dengan
penurunan pendengaran.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pendengaran sebagai salah satu indera, memegang peranan yang sangat penting karena
perkembangan bicara sebagai komponen utama komunikasi pada manusia sangat tergantung
pada fungsi pendengaran. Apabila pendengaran mengalami gangguan pada telinga seperti
otitis media yang tekait dengan kasus ini.
4.2 Saran
Sebaiknya tidak mencoba pemindahan serumen telinga di rumah dengan cotton bud, jepit
rambut, pensil, atau peralatan lain apa pun. Tindakan seperti itu biasanya hanya memasukkan
lilin lebih banyak dan bisa merusakkan gendang pendengar dan akan mengalami
penyumbatan pada bagian telinga dalam.Sabun dan air di atas sehelai waslap menyediakan
higienis telinga eksternal yang memadai.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Couzos S, Lea T, Mueller R, Murray R, Culbong M. Effectiveness of ototopical
antibiotics for chronic suppurative otitis media in Aboriginal children: a
community-based, multicentre, double-blind randomised controlled trial. Medical
Journal of Australia. 2003. Available from URL: http://www.mja.com.au/
2. Dugdale AE. Management of chronic suppurative otitis media. Medical Journal of
Australia. 2004. Available from URL: http://www.mja.com.au/
3. Miura MS, Krumennauer RC, Neto JFL. Intracranial complication of chronic
suppuratif otitis media in children. Brazillian Journal of Otorhinolaringology.
2005. Available from URL: http://www.rborl.org.br/
4. Dunna, D.I. Et al. 1995. Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process
Approach 2 nd Edition : WB Sauders.
5. Makalah Kuliah THT. Tidak dipublikasikan
6. Rothrock, C. J. 2000. Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC :
Jakarta.
7. Sjamsuhidajat & Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
8. Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit
THT. FKUI : Jakarta.
9. Vouloumanou EK , Karageorgopoulos DE , Kazantzi MS , Kapaskelis AM ,
Falagas ME . Antibiotik dibandingkan dengan plasebo atau menunggu waspada
untuk otitis media akut : meta - analisis dari percobaan terkontrol acak . J
Antimicrob Chemother . 2009; 64 ( 1 ) :16 - 24 .
10. Dunna, D.I. Et al. (1995). Medical Surgical Nursing ; A Nursing Process
Approach 2 nd Edition : WB Sauders.
11. Rothrock, C. J. (2000). Perencanaan Asuhan Keperawatan Perioperatif. EGC :
Jakarta.
12. Sjamsuhidajat & Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC : Jakarta.
13. Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (1998). Buku Ajar Ilmu penyakit
THT. FKUI : Jakarta
45