Upload
dewiayupambudi
View
133
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sistem pembuktian ptun dan analisis hakim aktif dalam acara ptun
Citation preview
SENGKETA PERTANAHAN ANTARA ERNEST SAROYAN SUDJA DENGAN
KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA PUSAT
DAN PT. PERUSAHAAN PERDAGANGAN PERINDUSTRIAN DAN
PEMBANGUNAN OEI (PT. OEI) ATAS TANAH TERLETAK DI JALAN BATU
TULIS XV, NO. 1, RT. 004, RW. 02, KELURAHAN KEBON KELAPA,
KECAMATAN GAMBIR,
JAKARTA PUSAT
A. Latar Belakang
Tugas seorang Hakim ialah menetapkan hukum untuk suatu keadaan tertentu, atau
menerapkan hukum atau undang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” anatara dua
pihak yang bersangkutan itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu, masing-
masing pihak mengajukan dalil-dalil (posita) yang saling bertentangan. Hakim harus
memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang
tidak benar. Berdasarkan duduk perkara yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, Hakim
dalam amar atau “dictum” putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan
siapakah yang dikalahkan. Dalam melaksanakan pemerikasaan itu tadi, Hakim harus
mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian. Kesewenang-wenangan (willekeur) akan
timbul apabila Hakim dalam melaksanakan tugasya itu, diperbolehkan menyandarkan
putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni. Keyakinan
Hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang dinamakan alat
bukti. Dengan alat bukti ini, masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau
pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang diwajibkan memutusi perkara mereka.1
Kasus Posisi
Ernest Saroyan Sudja (Penggugat) memiliki bangunan rumah tinggal yang berdiri
diatas sebagian tanah negara Ex. Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 51/Kebon Kelapa,
seluas +/- 391 M2, terletak di Jalan Batu Tulis XV Pusat. Bangunan rumah tinggal yang
berdiri diatas sebagian tanah negara tersebut, dahulu didirikan oleh Alm. Ayah Penggugat
1 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995, cet. XI, hal. 2
bernama Kwok Hie Sen (Sugiono Sudja) berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan Nomor :
4009/IMB/PG/81 tanggal 21 Maret 1981 yang dikeluarkan oleh Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Tanah negara seluas +/- 391 M2, Ex. Sertipikat Hak Guna Bangunan
Nomor : 51/Kebon Kelapa, yang diatasnya berdiri bangunan rumah tinggal Penggugat secara
fisik hingga saat ini masih dikuasai dan ditempati oleh Penggugat maupun oleh pemilik
terdahulunya sejak berpuluh-puluh tahun lamanya.
Penggugat pernah mengajukan permohonan pengukuran ke Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Pusat. Namun menurut Surat dari Kepala Seksi Survei, Pengukuran dan
Pemetaan Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat Nomor :
2805/3-31.71-200/XI/2013 tanggal 13 Nopember 2013, bidang tanah yang dimohonkan
pengukuran oleh Penggugat tersebut telah diterbitkan Sertipikat Hak Guna Bangunan
Nomor : 2619/ Kebon Kelapa, seluas 387 M2, Surat Ukur Nomor : 00014/Kebon
Kelapa/2013 tanggal 27 Pebruari 2013 atas nama PT. “Perusahaan Perdagangan Perindustrian
dan Pembangunan OEI” (PT. OEI). Penerbitan Objek Sengketa tersebut jelas-jelas telah
merugikan hak dan kepentingan Penggugat karena hak Penggugat terhadap tanah negara
tersebut menjadi hilang dan Penggugat sebagai pihak yang menempati dan menguasai tanah
Negara tersebut secara fisik tidak dapat mengajukan permohonan pengukuran ke Kantor
Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat, sebagai dasar untuk diajukannya permohonan
Sertipikat terhadap tanah negara seluas +/- 391 M2, Ex. Sertipikat Hak Guna Bangunan
Nomor : 51/Kebon Kelapa, terletak di Jalan Batu Tulis XV, No. 1, RT. 004, RW. 02,
Kelurahan Kebon Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat.
Karena itu berdasarkan Pasal 53 ayat (1) Penggugat sebagai orang perorangan yang
kepentingannya telah dirugikan oleh Tergugat dengan adanya penerbitan Objek Sengketa
tersebut, sangat berhak menuntut agar Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 2619/Kebon
Kelapa, seluas 387 M2, Surat Ukur Nomor : 00014/Kebon Kelapa/2013 tanggal 27 Pebruari
2013 atas nama PT. “Perusahaan Perdagangan Perindustrian dan Pembangunan OEI” (PT.
OEI), dinyatakan batal atau tidak sah dan berdasarkan Pasal 53 ayat (2) penerbitan Objek
Sengketa tersebut telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan bertentangan pula dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dan secara tegas
mengindikasikan tindakan Tergugat yang sewenangwenang.
Tanah negara yang diajukan permohonan sertipikatnya oleh PT. “Perusahaan
Perdagangan Perindustrian dan Pembangunan OEI” (PT. OEI) dan diterbitkannya Objek
Sengketa oleh Tergugat adalah tanah negara yang berasal dari sebagian tanah negara Ex.
Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 51/Kebon Kelapa, Surat Ukur tanggal 31 Juli 1935
Nomor : 296, yang merupakan hasil konversi dari Hak Barat berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, yang pemegang haknya adalah PT. “HANDEL MAATSCHAPPIJ EN
OLIE FABRIEK OEI” yang berlaku selama 20 tahun dan berakhir haknya pada tanggal 23
September 1980 dan ternyata PT. “HANDEL MAATSCHAPPIJ EN OLIE FABRIEK OEI”,
sekarang PT. “Perusahaan Perdagangan Perindustrian dan Pembangunan OEI” (PT. OEI),
sampai dengan tanggal 23 September 1980 tidak memperbaharui haknya.2
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian kasus posisi di atas, penulis membuat rumusan masalah :
1. Bagaimana sistem pembuktian dalam acara PTUN pada kasus sengketa
pertanahan yang diuraikan diatas?
2. Apabila pada kasus diatas hakim bersifat aktif, bagaimana penerapan asas
keaktifan hakim dalam persidangan PTUN?
2 Kasus diambil dari PUTUSAN NOMOR : 01/G/2014/PTUN-JKT Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id diakses pada 13 Mei 2014 pukul 23.04 WIB
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Pembuktian Proses Peradilan Tata Usaha Negara pada kasus diatas
Pembuktian merupakan tahapan yang sangat menentukan putusan dalam proses
peradilan. Hukum pembuktian mengenal beberapa teori sistem pembuktian, yaitu (Harahap,
2000 : 256-258; Sudikno, 2002 : 135-137 ; dan Samudra, 1992 : 2628) :
a. Conviction-time
menurut sistem ini, menentukan sah atau tidaknya KTUN semata-mata ditentukan
oleh penilaian keyakinan hakim. Dalam melakukan penilain, hakim menarik
berdasarkan keyakinannya saja, yang dapat diperoleh dan disimpulkan dari alat-
alat bukti yang diperiksa dalam persidangan. Kesimpulan dapat ditarik oleh hakim
mengacu pada pendapat-pendapat para pihak (penggugat dan tergugat).
Keyakinan hakim dominan dalam sistem ini.
b. Conviction-raisonee
Dalam sistem ini keyakinan hakim dibatasi dan harus didukung oleh alas an-
alasan yang jelas. Hakim harus menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa
yang mendasari keyakinannhya. Keyakinan hakim dibatasi oleh reasoning yang
bersifat logis dan dapat diterima akal.
c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif/afirmatif
Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang. Untuk menentukan putusannya, hakim semata-
mata mendasarkan pada alat-alat bukti yang sah tanpa diperlukan keyakinan
hakim.
d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif
Pembuktian menurut sistem ini merupakan perpaduan antara teori pembuktian
menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim (conviction-in time). Dalam sistem ini, hakim harus memutuskan
berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan yang diatur serta mengikuti prosedur
dalam undang-undang yang didukung oleh keyakinan hakim.
Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum PTUN adalah sistem pembuktian
bebas, yang dipengaruhi oleh ajaran pembuktian bebas (vrije bewijsleer) dengan sistem
pembuktian negatif. Pasal 107 menunjukkan adanya kebebasan hakim dan memberikan
kewenangan kepada hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, serta untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Dengan memperhatikan segala sesuatu yang
terjadi selama pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para
pihak. Hal tersebut berkaitan dengan usaha menemukan kebenaran materiel (materiel
waarheid) dalam Peradilan Tata Usaha Negara.
Sifat terbatas dalam sistem pembuktian terlihat dari pembatasan kewenangan hakim
untuk menilai sahnya pembuktian yang paling sedikit harus dipenuhi syarat sahnya
pembuktian (properly proof) yaitu : Sahnya pembuktian : minimal 2 alat bukti + keyakinan
hakim.
Pada kasus ini hakim menggunakan pembuktian menurut undang-undang secara
negative dengan memadukan antara undang-undang dengan keyakinan hakim. Hakim
memutuskan berdasarkan alat-alat bukti yang sah dan mengikuti prosedur. Dalam kasus ini
hakim memperhatikan keterangan dari pihak tergugat dan penggugat dengan cermat. Yang
kemudian ditemukan fakta-fakta berikut :
Dengan adanya bukti Tergugat II Intervensi yakni Surat Tanda Terima
Nomor : 3640/1/HGB/2/8O tanggal 23 September 1980 yang menurut Pasal
101 huruf a Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara memiliki kriteria
sebagai Akta Otentik, karena diterbitkan sendiri oleh Kantor Agraria Jakarta
Pusat, maka menurut hukum pembuktian, apabila alat bukti ini dihubungkan
dengan fakta yuridis tentang Pengakuan Penggugat atas kebenaran eksistensi
dan legalitas Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 51/Kebon Kelapa adalah
atas nama PT OEI / Tergugat II Intervensi, terbantahlah dalil Pemohon yang
mendeklarasikan Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 51/ Kebon Kelapa
secara mutlak telah jatuh menjadi tanah Negara Ex Hak Guna Bangunan
Nomor : 51/Kebon Kelapa ;
Kenyataannya atau de-facto, tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor :
51/Kebon Kelapa tetap dikuasai dan diusahai PT OEI / Tergugat II Intervensi
dalam Disewakan Kepada Penggugat. Secara De-Jure atau berdasar kenyataan
hukumnya, eksistensi, legalitas dan validitas Hubungan Hukum Sewa
Menyewa (huur overenkomst, lease/tenancy agreement) “tanpa batas waktu”
(onafzegbare huur) serta “tidak dibuat secara tertulis” (huur zonder geschrift)
berdasar pasal 1571 KUHPerdata antara PT OEl/Tergugat II Intervensi dengan
penggugat dalam kedudukannya rneneruskan hubungan sewa dengar ayahnya
sebagai Ahli Waris, Tidak Dapat Dibantah ;
Berturut Tergugat II Intervensi telah menyampaikan Surat Tegoran Kepada
Penggugat Atas Keingkarannya Membayar Sewa Isi pokok surat Tegoran
tersebut : Pemohon Lalai membayar sewa tanah Jalan Batu Tulis XV No. 1
Jakarta Pusat. Oleh karena itu, supaya Pemohon memenuhi pembayarannya.
Tanah Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 51/Kebon Kelapa, tidak
pernah dinyatakan secara formil dan ofisial bahwa Hak Guna Bangunan
tersebut secara materiil dinyatakan : “Diambil Alih" oleh penguasa untuk
dijadikan Proyek Pembagunan Kepentingan Umum. Sertipikat Hak Guna
Bangunan Nomor : 2619/Kebon Kelapa,seluas 387 M2, Surat Ukur Nomor :
00014/Kebon Kelapa/2013 tanggal 27 Pebruari 2013 atas nama PT.
“Perusahaan Perdagangan Perindustrian dan Pembangunan OEI” (PT. OEI).
Sehingga Kepala Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat tidak
melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) dan telah
menjalankan kewaibannya sesuai prosedur.
Yang kemudian pada akhirnya, hakim dengan keyakinan dan pertimbangannya
memutuskan bahwa :
1. Menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima ;
2. Menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.382.000,-
(Tiga Ratus Delapan Puluh Dua Ribu Rupiah).
Mengenai alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dalam pembuktian di PTUN secara
limitative meliputi (pasal 100 UU Peradilan TUN):
1. Surat atau tulisan
Surat sebagai alat bukti atas tiga jenis, yaitu :
a. akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat
umum yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c. Surat-surat lainnya yang bukan akta.
2. Keterangan ahli
3. Keterangan saksi
4. Pengakuan dari para pihak
5. Pengetahuan hakim
Dalam kasus ini terdapat pula alat bukti serta dihadirkan saksi.
Alat bukti :
1. Sertipikat Hak Guna Bangunan Nomor : 51/Kebon Kelapa
2. Surat Tanda Terima Nomor : 3640/1/HGB/2/8O
3. Surat Tegoran tanggal 2 Januari 1987 (T.II Intervensi.....................................)
4. Surat Tegoran tanggal 19 April 2012 (T. II Intervensi.....................................)
5. Bukti Tertulis yang diajukan penggugat berupa fotokopi surat-surat yang telah
dimeteraikan dengan cukup dan telah disesuaikan dengan aslinya, bukti
tersebut diberi tanda P-1 sampai dengan P-35.
6. Tergugat telah mengajukan Bukti Tertulis berupa fotokopi surat-surat yang
telah dimeteraikan dengan cukup dan telah disesuaikan dengan aslinya, bukti
tersebut diberi tanda T - 1 sampai dengan T – 5
Saksi-saksi :
Penggugat telah mengajukan Saksi, sebanyak 2 (dua) orang saksi Anwar Gonosaputro
dan Sonny D Swasono.
B. Penerapan Asas Keaktifan Hakim Dalam Persidangan PTUN
Kekatifan hakim disebutkan sebagai salah dari asas-asas yang melandasi hukum acara
PTUN anatara lain oleh Hadjon, dkk (1994:11). Penjelasan umum angka (5) UU No. 5 Tahun
1986 juga menyatakan bahwa pada peradilan TUN hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh kebenaran materil dan untuk itu undang-undang ini mengarah
pada pembuktian bebas. Penjelasan pasal 107 UU No. 5 tahun 1986, dapat disimpulkan
bahwa :
a. Asas keaktifan hakim adalah asas yang memberikan kewenangan kepada hakim
dalam persidangan PTUN untuk menentukan menentukan obyek pembuktian,
subyek pembuktian, prioritas alat bukti, dan penilaian alat bukti.
b. Asas keaktifan hakim memberikan kewenangan yang luas kepada hakim dalam
proses beracara di PTUN.
c. Asas keaktifan hakim memberikan landasan bagi eksistensi prinsip ultra petita,
yaitu kewenangan hakim untuk menyempurnakan obyek sengketa, termasuk
melengkapi hal-hal yang tidak dijadikan dasar gugatan.
Di Indonesia, penerapan asas ultra petita pernah dilakukan dalam putusan MA No. 5
K/TUN/1992 tertanggal Mei 1991 yaitu tindakan hakim menyempurnakan atau melengkapi
onyek sengketa yang diajukan para pihak kepadanya. Sehubungan asas ultra petita yang
merupakan konsekuensi dianutnya asas keaktifan hakim, dikatakan oleh Van Burren yang
dikutip dari Marbun (1997:303) bahwa :
Hakim administrasi diberikan peran aktif karena hakim tidak mungkin membiarkan
dan mempertahankan tetap berlakunya suatu keputusan administrasi Negara yang
nyata keliru dan jelas bertentangan dengan undang-undang yang berlaku, hanya
karena alasan para pihak tidak mempersoalkan obyek sengketa.
Asas keaktifan hakim (dominus litis)”. Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak yang tidak berimbang (lihat Pasal 58, 63, ayat (1) dan
(2), Pasal 80 dan Pasal 85). Dikaitkan dengan AAUPB dan AAPB, asas keaktifan hakim
harus dapat menunjukkan korelasi positif antara asas motivasi untuk setiap keputusan badan
pemerintahan (principle of motivation) dalam AAUPB dan motiverings beginsel (reasons and
argumentations of decision) dalam AAPB. Pertimbangan putusan hakim administrasi harus
dapat menyempurnakan keabsahan formil dan materil asas motivasi dalam Keputusan Tata
Usaha Negara. Sebaliknya putusan pengadilan harus secara lengkap mengandung motiverings
beginsel (reasons and argumentations of decision) dalam penilaian keabsahan
(rechtsmatigheid) Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Disamping itu
pertimbangan putusan pengadilan yang dilakukan berdasarkan acuan asas keaktifan hakim
harus menjaga agar kebebasan kebijaksanaan (beleidcvrijheid) penguasa tidak melanggar
kepentingan justiabele. Asas keaktifan hakim adalah guidance dalam penyelenggaraan fungsi
Peradilan Tata Usaha Negara. Hakim tidak dibenarkan menolak gugatan hanya karena
penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya.
Asas keaktifan hakim gagal manakala asas keaktifan hakim tidak diimplementasikan
secara konsisten dimana keaktifan pembuktian sangat jarang diberikan kepada tergugat.
Penerapan asas keaktifan tidak sungguh merupakan pelaksanaan filosofi penyelesaian
sengketa hukum public, namun justru menunjukkan adanya pengaruhbyang kuat dari teori
pembuktian afirmatif atau setidaknya menunjukkan kerancuan antara teori pembuktian
afirmatif dengan teori pembuktian negative.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Dalam sengketa pertanahan antara Ernest Saroyan Sudja dengan Kepala
Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Pusat dan Pt. Perusahaan
Perdagangan Perindustrian Dan Pembangunan Oei (PT. Oei) atas tanah
terletak di Jalan Batu Tulis Xv, No. 1, Rt. 004, Rw. 02, Kelurahan Kebon
Kelapa, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, hakim PTUN dalam membuat
keputusannya menggunakan sistem pembuktian menurut Undang-Undang
secara negative.
2. Asas keaktifan hakim menjadi salah satu asas yang problematic dalam
sistem Peradilan TUN. Disatu sisi asas keaktifan hakim bertujuan agar
hakim TUN dapat menyempurnakan penerapan perundang-undangan
dalam keputusan TUN. Hakim dengan kewenangannya berhak untuk
menentukan obyek pembuktian, subyek pembuktian, prioritas alat bukti,
dan penilaian alat bukti terlepas dari fakta dan hal yang diajukan oleh para
pihak. Asas keaktifan hakim gagal manakala asas keaktifan hakim tidak
diimplementasikan secara konsisten dimana keaktifan pembuktian sangat
jarang diberikan kepada tergugat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Subekti, R., Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1995, cet. XI.
Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara Edisi Revisi,
Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2011.
Undang- Undang
Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Website
Putusan Nomor : 01/G/2014/PTUN-JKT Direktori Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia putusan.mahkamahagung.go.id diakses pada 13 Mei 2014 pukul
23.04 WIB