Upload
dhudie-dhie
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan negara berkedaulatan rakyat yang telah dijelaskan
pada pembukaan Undang-undang dasar 1945 alenia IV dan berdasarkan Pasal 1 Ayat 1
UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Jadai
berdasar hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan,
sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik yang taat dan patuh terhadap
undang-undang dasar negara.
Pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Selain bentuk negara
kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Dengan kata lain
Indonesia menganut Sistem Pemerintahan Presidensial.
Di Indonesia mengalami 3 kali masa pemerintahan yang berebeda, pertama masa
orde lama, orde baru dan sekarang era reformasi, pada masa yang berbeda terdapat pula
perbedaan yang terjadi pada sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas mengenai perbedaan sistem pemerintahan
presidensial yang terjadi antara pada masa orde lama,orde baru dan era reformasi.
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mengenal lebih dalam lagi mengenai sistem pemerintahan diIndonesia.
2. Mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi didalam sistem pemerintahan
presidensial pada masa-masa yang berbeda,
3. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh dosen Sistem Pemerintahan
Indonesia
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan.
Kata system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti
susunan, tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata
pemerintah, dan yang berasal dari kata perintah. Dan dalam Kamus Bahasa Indonesia,
kata-kata itu berarti:
a. Perintah adalah perkataan yang bermakna menyuruh melakukan sesuatau
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
c. Pemerintahan adalaha perbuatan, cara, hal, urusan dalam memerintah
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang
dilakukan oleh badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara
dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit,
pemerintaha adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif
beserta jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sistem
pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai
komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam
mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Kekuasaan dalam suatu Negara
menurut Montesquieu diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Kekuasaan Eksekutif
yang berarti kekuasaan menjalankan undang-undang atau kekuasaan menjalankan
pemerintahan; Kekuasaan Legislatif yang berate kekuasaan membentuk undang-
undang; Dan Kekuasaan Yudiskatif yang berate kekuasaan mengadili terhadap
pelanggaran atas undang-undang. Komponen-komponen tersebut secara garis besar
meliputi lembaga eksekutif, legislative dan yudikatif. Jadi, system pemerintaha
negara menggambarkan adanya lembaga-lembaga negara, hubungan antarlembaga
negara, dan bekerjanya lembaga negara dalam mencapai tujuan pemerintahan negara
yang bersangkutan.
2
2.2 Sistem Pemerintahan Indonesia
Berdasarkan undang – undang dasar 1945 sistem pemerintahan Negara Republik
Indonesia adalah sebagai berikut :
1. Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka.
2. Pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
3. Kekuasaan Negara yang tertinggi berada di tangan majelis permusyawaratan rakyat.
4. Presiden adalah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi dibawah MPR.
Dalam menjalankan pemerintahan Negara kekuasaan dan tanggung jawab adalah
ditangan prsiden.
5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden harus mendapat
persetujuan dewan perwakilan rakyat dalam membentuk undang – undang dan untuk
menetapkan anggaran dan belanja Negara.
6. Menteri Negara adalah pembantu presiden yang mengangkat dan memberhentikan
mentri Negara. Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada DPR.
7. Kekuasaan kepala Negara tidak terbatas. presiden harus memperhatikan dengan
sungguh – sungguh usaha DPR.
Kekuasaan pemerintahan Negara Indonesia menurut undang–undang dasar 1
sampai dengan pasal 16. pasal 19 sampai dengan pasal 23 ayat (1) dan ayat (5), serta
pasal 24 adalah:
1. Kekuasaan menjalan perundang – undangan Negara atau kekuasaan eksekutif yang
dilakukan oleh pemerintah.
2. Kekuasaan memberikan pertimbangan kenegaraan kepada pemerintah atau
kekuasaan konsultatif yang dilakukan oleh DPA.
3. Kekuasaan membentuk perundang – undang Negara atau kekuasaan legislatif yang
dilakukan oleh DPR.
4. Kekuasaan mengadakan pemeriksaan keuangan Negara atau kekuasaan eksaminatif
atau kekuasaan inspektif yang dilakukan oleh BPK.
5. Kekuasaan mempertahankan perundang – undangan Negara atau kekuasaan
yudikatif yang dilakukan oleh MA.
3
2.3 Sistem Pemerintahan Presidensial
Sejak merdeka tahun 1945 Indonesia sudah menganut sitem pemerintahan
presidensial, adapun ciri-ciri dari sistem pemerintaha presidensial adalah sebagai
berikut:
1. Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden adalah kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi
dipilih langsung oleh rakyat atau suatu dewan majelis.
2. Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet bertangungjawab
kepada presiden dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau legislatif.
3. Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu dikarenakan presiden
tidak dipilih oleh parlemen.
4. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam sistem parlementer.
5. Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai lembaga perwakilan.
Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.
6. Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung parlemen.
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :
Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada
parlemen.
Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden
Indonesia adalah lima tahun.
Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa
jabatannya.
Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan eksekutif karena dapat
diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :
Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif sehingga dapat
menciptakan kekuasaan mutlak.
Sistem pertanggungjawaban kurang jelas.
4
Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil tawar-menawar
antara eksekutif dan legislatif sehingga dapat terjadi keputusan tidak tegas dan
memakan waktu yang lama.
Di Indonesia terjadi 3 kali perubahan masa pemerintahan yang pertama disebut
pemerintahan Orde lama yang kedua disebut Orde Baru dannyang terakhir sampai
sekarang disebut era reformasi. Jadi setiap masa tersebut terjadi sedikit perbedaan
sistem pemerintahan,walaupun masih menganut sistem pemerintahan presidensial.
2.4 Sistem Pemerintahan Presidensial Orde Lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di
Indonesia. Orde Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968. Dalam jangka waktu
tersebut, Indonesia menggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem
ekonomi komando. Di saat menggunakan sistem ekonomi liberal, Indonesia
menggunakan sistem pemerintahan parlementer. Presiden Soekarno di gulingkan saat
Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Era 1950 - 1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan
konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode
ini berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Sebelum Republik Indonesia
Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan
suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan
perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17
Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang
Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.
Konstituante
Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai
amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat
konstitusi baru. Maka Presiden Soekarno menyampaikan konsepsi tentang Demokrasi
Terpimpin pada DPR hasil pemilu yang berisi ide untuk kembali pada UUD 1945.
5
Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan
Konstituante.
Pergantian Kabinet – Kabinet
Pada masa ini terjadi banyak pergantian kabinet diakibatkan situasi politik yang
tidak stabil. Tercatat ada 7 kabinet pada masa ini.
• 1950-1951 - Kabinet Natsir
• 1951-1952 - Kabinet Sukiman-Suwirjo
• 1952-1953 - Kabinet Wilopo
• 1953-1955 - Kabinet Ali Sastroamidjojo I
• 1955-1956 - Kabinet Burhanuddin Harahap
• 1956-1957 - Kabinet Ali Sastroamidjojo II
• 1957-1959 - Kabinet Djuanda
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ialah dekrit yang mengakhiri masa parlementer dan
digunakan kembalinya UUD 1945. masa sesudah ini lazim disebut masa Demokrasi
Terpimpin. Isinya ialah:
1. Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
2. Pembubaran Konstituante
3. Pembentukan MPRS dan DPAS
Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia,
yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja.Pada bulan 5
Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Presiden Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden. Soekarno juga membubarkan Konstituante yang ditugasi untuk
menyusun Undang-Undang Dasar yang baru, dan sebaliknya menyatakan
diberlakukannya kembali Undang-Undang Dasar 1945, dengan semboyan "Kembali ke
UUD' 45". Soekarno memperkuat tangan Angkatan Bersenjata dengan mengangkat para
jendral militer ke posisi-posisi yang penting.
6
Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan
keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden
tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti
yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan
mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik
yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka
menimbulkan problem dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berkembang pada waktu itu bukan masalah -masalah yang bersifat ideologis politik
yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis
politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula
kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif
ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu
bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan “excessive”
(berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan)
seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung
(verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi
(gekwalificeerde democratie).
BERAKHIRNYA ORDE LAMA
Setelah turunnya presiden soekarno dari tumpuk kepresidenan maka berakhirlah
orde lama.kepemimpinan disahkan kepada jendral soeharto mulai memegang
kendali.pemerintahan dan menanamkan era kepemimpinanya sebagai orde baru
konsefrasi penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehidupan demokrasi
menitipberatkan pada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan
nasional.untuk mencapai titik-titik tersebut dilakukanlah upaya pembenahan sistem
keanekaragaman dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah sisi
yang menonjol.yaitu;
1.adanya konsep difungsi ABRI
2.pengutamaan golonga karya
3.manifikasi kekuasaan di tangan eksekutif
7
4.diteruskannya sistem pengangkatan dalam lembaga-lembaga pendidikan pejabat
5.kejaksaan depolitisan khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep masca
mengembang(flating mass)
6.karal kehidupan pers
Konsep diafungsikannya ABRI pada masa itu secara inplisit sebelumnya sudah
ditempatkan oleh kepala staf angkatan darat.mayjen A.H.NASUTION tahun 1958 yaitu
dengan konsep jalan tengah prinsipnya menegaskan bahwaperan tentara tidak terbatas
pada tugas profesional militer belaka melainkan juga mempunyai tugas-tugas di bidang
sosial politik dengan konsep seperti inilah dimungkinkan dan bhakan menjadi semacam
KEWAJIBAN JIKALAU MILITER BERPARTISIPASI DI BIDANG POLITIK
PENERAPAN , konjungsi ini menurut pennafsiran militer dan penguasa orde baru
memperoleh landasan yuridi konstitusional di dalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang
menegaskan majelis permusyawaratan rakyat.
2.5 Sistem Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di
Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan
Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang
dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini
dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara
rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun
sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun
1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Soeharto melakukan pergerakan
untuk kensenjangan antara rakyat kaya dan miskin dalam berbagai bidang dan
peningkatan antara lain:
Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan
secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang
ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Salah satu kebijakan pertama yang
dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesiamenjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada
8
tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk
melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-
kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau
Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan
terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal
dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari
mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan
aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan
lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol). Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan
nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif.
Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang
dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar
oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap
tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan
antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad
II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto
merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas
politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang
kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional,
Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang
tinggi.
Eksploitasi sumber daya selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini,
dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah
orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Warga
9
keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan
dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah
warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa
Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa
Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan
sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis
dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya
Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa
Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah
Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini
dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa
orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika
itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan
menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa
kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang
dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan
dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi
memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa
Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan
"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah
adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa,
Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan
Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah
terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap
penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
10
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa
di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain
dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu
gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian
keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap
para transmigran.
A.Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru
1. Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan
pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000
2. Sukses transmigrasi
3. Sukses KB
4. Sukses memerangi buta huruf
5. Sukses swasembada pangan
6. Pengangguran minimum
7. Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
8. Sukses Gerakan Wajib Belajar
9. Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh
10. Sukses keamanan dalam negeri
11. Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia
12. Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri
B.Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru
1. Semaraknya korupsi,kolusi,nepotisme
2. Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan
pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah
sebagian besar disedot ke pusat.
3. Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
4. pembangunan, terutama di Aceh dan Papua
11
5. Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh
tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya
6. Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin)
7. Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
8. Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang
dibreidel
9. Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program
"Penembakan Misterius" (petrus)
10. Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden
selanjutnya)
Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia
(), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan
komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam,
dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para
mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa
yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR
melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil
Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
C. Berakhirnya Orde Lama
Kekuasaan dilawan dengan kekuasaan. Demikian kiranya yang terjadi dengan
tumbangnya Orde Lama oleh gerakan Orde Baru. Krisis ekonomi pada masa Orde Lama
memunculkan gerakan politik yang dimobilisasikan dengan kekuatan massa yang terdiri
dari masyarakat umum, khususnya mahasiswa yang didukung oleh tentara.
Lahirnya Orde Reformasi di Indonesia ditandai oleh mundurnya Soeharto
sebagai presiden RI pada tnaggal 21 Mei 1998. Penyebabnya adalah krisis moneter yang
melanda Indonesia sejak pertengahan Juli 1997. Di pasaran mata uang dunia nilai rupiah
terus merosot terhadap dollar Amerika. Sebagai gambaran, pada tahun 1996 nilai rupiah
terhadap dollar adalah Rp.6000 per US$ dan pada Desember 1997 rupiah terpuruk
hingga posisi Rp.6.400 per US$.
12
Dunia usaha khususnya usaha kecil dan menengah (UKM) tidak tahun 1998
kemerosotannilai rupiah kian drastis. Pada tanggal 13 April nilairupiah mencapai
Rp.8.000 per US$. Pada tanggal 17 Mei nilai rupiah mencapai Rp.12.800per US$
bahkan dalam perdagangan valuta asing nilai rupiah sudah mencapai Rp.16.000 per
US$.
Krisis moneter memicu terjadinya kemerosotan ekonomi secara meluas.
Perbankan nasional kolaps, banyak Bank berkutik dan banyak yagn gulung tikar.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tampak terjadi di banyak tempat. Harga Sembilan
bahan kebutuhan pokok (sembako) yang menjadi kebutuhan masyarakt sehari-hari
melambung tinggi, bahkan sempat terjadi kelangkaan.
Meski diliputi oleh kerusuhan etnis dan lepasnya Timor Timur, transformasi dari
Orde Baru ke Era Reformasi berjalan relatif lancar dibandingkan negara lain seperti Uni
Soviet dan Yugoslavia. Hal ini tak lepas dari peran Habibie yang berhasil meletakkan
pondasi baru yang terbukti lebih kokoh dan kuat menghadapi perubahan zaman.
2.6 Sistem Pemerintahan Era Reformasi
Era reformasi ini dimulai sejak tahun 1998, pada era ini terjadi 4 kali pergantian
presiden. Setelah lengsernya soeharto berakhir pula orde baru. Berikut penjelasan
singkat mengenai pemerintahan ke-4 presiden:
A. Pemerintahan B.J. Habibie
Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas
pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional
dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
B. Pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur)
Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI
Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang
pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai
Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober
1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai
13
wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya,
Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle
kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan
perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian
ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan
antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang
ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan
yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-
masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan
menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang
meluap-luap.
C. Pemerintahan Megawati Soekarno Putri
Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid
memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan
demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil
presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama
kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet gotong
royong.
D. Pemerintahan Suslilo Bambang Yudhoyono
Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang
Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal
masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa
bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian
dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara
pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri
konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh. Dan sampai saat ini tidak
terjadi lagi kerusuhan diAceh.
14
Tahun 2009 kembali diadakan pemilu dan sekali lagi Susilo Bambang
Yudhoyono memenangkan pemilu namun dengan wakil yang berbeda,yang dulunya
bersama Jusuf Kalla dan sekarang bersama Boediono dengan masa pemerintahan 2009-
2014
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan
SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata
pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi,
dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%,
kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan. Pertumbuhan ekonomi
era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980 dengan angka 9,9%, seperti terlihat pada
Tabel 1. Tentu relatif lebih sulit menilai kinerja Presiden BJ Habibie (21 Mei 1998-20
Oktober 1999) dan Presiden Abdurahman Wahid (20 Oktober 1999–23 Juli 2001),
karena pemerintahannya relatif pendek, dimana fungsi perencanaan dan pelaksanaan
APBN tidak sepenuhnya dilakukan mereka. Sedangkan pada pemerintahan Megawati
Soekarnoputri (23 Juli 2001-20 Oktober 2004), yang lebih panjang dari dua Presiden
sebelumnya, menunjukkan tren yang meningkat. Tren yang sama sebenarnya terjadi di
semua pemerintahan setelah reformasi, dengan fluktuasi yang berbeda. Misalnya,
Habibie mampu mengubah pertumbuhan ekonomi negatif menjadi positif secara
signifikan dengan prestasi year on year 12,3%. Abdurrahman Wahid mencatat
pertumbuhan ekonomi tertinggi yang pertama sejak krisis 1997. Megawati mampu
menjaga pertumbuhan ekonomi secara stabil dan menunjukkan peningkatan terus
menerus tiap tahunnya. SBY-JK mencatat pertumbuhan ekonomi yang mulai solid di
atas 6% dan menjadi benchmark bagi perekonomian yang mulai stabil. Apakah ini
berarti dengan memberi waktu yang cukup bagi suatu pemerintahan, misalnya minimal
lima tahun
2.7 Perbedaan Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi :
Orde lama (Demokrasi Terpimpin)
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain
disebabkan oleh :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang
secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI
15
menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De
Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for
Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di
daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga
mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai
pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang
beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup
pintu perdagangan luar negeri RI.
c. Kas negara kosong.
d.Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
a. Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman
dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
b. Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak
dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera
dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c. Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan
yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu :
masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
d. Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga
bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e. Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa
petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan
perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : sektor pertanian
merupakan sumber kekayaan).
2. Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya
menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-
16
teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha
pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama
pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian
Indonesia yang baru merdeka.
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain :
a) Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
b) Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan
pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan
impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi
impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-
perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan
ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang
cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi.
c) Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951
lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
d) Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan
pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan
pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi
usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena
pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
e) Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran
Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual
perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil
alih perusahaan-perusahaan tersebut.
3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan
sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem
etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan
membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi
17
(mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang
diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi
Indonesia, antara lain :
a) Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai
berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000
menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
b) Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan
stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-
baranga naik 400%.
c) Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp
1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat
uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat
lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah
meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena
pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak
proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik
konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu
konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan
bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun
bidang-bidang lain.
Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami
perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah
sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas
ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-
perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik
yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan
18
ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami
stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi
pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi
perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor
minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-
asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal
sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-
hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-
masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta
dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada
kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis
sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan
pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan
serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan.
Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya.
Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani,
sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan
petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu
anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat
jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut
sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu
mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk
menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran
penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus
19
dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit
anggaran.Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran
defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah
pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga
antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu
penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu
untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah
dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran
yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip
ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar
negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena
menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak
dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan
akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman
angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan
pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan
Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana
pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal,
ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-
akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi. Hal lain
yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang
terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan
menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi
ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha
meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN
adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai
pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan
20
pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan
tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan
tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi
perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan
waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan
luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat.
Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman
luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa
pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada
akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan
tabungannya.
Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Pada masa krisis ekonomi,ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru
kemudian disusul dengan era reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden
Habibie. Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan,
namun juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan
manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya
diutamakan untuk mengendalikan stabilitas politik. Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan
negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan
orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme),
pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs
rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang menjatuhkan kredibilitasnya di
mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya digantikan oleh presiden Megawati.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang
mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi dan penegakan hukum.
Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi
antara lain :
21
a) Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp 116.3
triliun.
b) Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di
dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi
kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu
berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual
ke perusahaan asing. Di masa ini juga direalisasikan berdirinya KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan konkrit dalam pemberantasan
korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali
untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu jalannya pembangunan
nasional. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan
kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan
harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia.
Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta
bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial.Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada
bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-
kepala daerah.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
UUD 1945 Pasal 4 ayat (1) tegas menyebutkan Presiden memegang kekuasaan
pemerintahan menurut UUD. Artinya pemerintahan yang kita anut adalah sistem
presidensial. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Kedua, masa jabatannya pasti
selama lima tahun. Ketiga, tidak mudah dijatuhkan, meskipun tidak berarti tidak boleh
diberhentikan (impeachment). Dalam praktik pemerintahan presidensial yang
berlangsung selama ini terutama sebelum perubahan UUD 1945 diserahkan sepenuhnya
kepada Presiden dan menempatkannya sebagai hak prerogatif Presiden (hak mutlak
yang dimiliki presiden) walaupun tidak pernah diatur dalam UUD 1945 dan peraturan
pemerintah namun dalam orde baru hak ini dilakukan secara nyata. Akibatnya semua
berjalan dengan landasan Keppres, seperti pembentukan kabinet, pengangkatan menteri,
duta, konsul, grasi, amnesti, abolisi, rehabilitasi, pemberian gelar, kesemuanya tidak ada
kontrol yang “cukup” dari lembaga negara lainnya. Catatan sejarah politik
ketatanegaraan kita jelas membuktikan apabila penggunaan hak-hak prerogatif yang
pernah dipraktikkan di masa lalu, malah menyebabkan timbulnya model kekuasaan
politik yang tidak terkontrol.
Jadi, tidak ada jaminan penggunaan hak prerogatif yang berlebihan terhadap
stabilitas jalannya roda pemerintahan. Belajar dari pengalaman sejarah inilah, maka
penggunaan hak prerogatif memang harus dibatasi. Namun, akan lebih efektif lagi
apabila penguatan sistem presidensial juga dilakukan dengan membuat payung hukum
yang melindungi efektivitas kinerja lembaga kepresidenan. Karenanya, kehadiran UU
No. 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden dan pembentukan UU
Kementerian Negara serta wacana untuk menerbitkan UU Lembaga Kepresidenan
menjadi mutlak perlu, sebagai langkah operasional dari amanat UUD 1945. Kehadiran
UU ini semua akan memberikan jaminan yang pasti terhadap stabilitas roda
pemerintahan didalam sistem pemerintahan presidensial. Sekaligus memberi kepastian
atas kelangsungan pelayanan publik, yang dibutuhkan rakyat.
23