Upload
doanbao
View
222
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
SISTEM PENGAWASAN PEMANFAATAN ZAT RADIOAKTIFDI INDONESIA BERBASIS KONSEP CRADLE TO GRAVE
Moekhamad Alfiyanemail: [email protected]
Staf Bidang Pengkajian Industri dan Penelitian, PPSTPFRZRBAPETEN
ABSTRAK
Penggunaan zat radioaktif di Indonesia di bidang industri, kesehatan, dan penelitian terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk, ekonomi, sosial, budaya, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, perkembangan tersebut dapat dijadikan indikator keberterimaan masyarakat dan keunggulan teknologi nuklir. Pemanfaatan zat radioaktif yang meliputi kegiatan penggunaan, produksi, ekspor/import, pengangkutan dan pengalihan memiliki dua aspek, yaitu manfaat dan resiko radiologis terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan oleh karena itu perlu diawasi secara ketat oleh pemerintah. Penyusunan makalah dilakukan dengan pengumpulan dan review data sekunder dan studi literatur. Riwayat zat radiokatif di pantau secara ketat sejak zat radioaktif dihasilkan sampai dengan nasib akhir zat radioaktif sebagaimana konsep cradle to grave yang diterapkan untuk pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Penggunaan, produksi, ekspor/import dan pengalihan wajib memiliki izin dari Badan Pengawas sedangkan pengangangkutan zat radioaktif wajib mendapat persetujuan dari Badan Pengawas dan hanya boleh dilakukan oleh pihak yang telah memiliki izin dari Badan Pengawas. Hasil samping atau limbah zat radioaktif wajib dikirimkan ke Badan Pelaksana atau negara asal zat radioaktif dengan persetujuan Badan Pengawas. Pengelolaan limbah radioaktif oleh Badan Pelaksana juga wajib memiliki izin dari Badan Pengawas. Limbah radioaktif dapat dilepaskan ke lingkungan setelah mendapat penetapan klierens dari Badan Pengawas Untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan maka Badan Pengawas akan melakukan inspeksi yang dilakukan secara rutin atau sewaktuwaktu. Kata Kunci: radioaktif, cradle to grave, Badan Pengawas
ABSTRACT
Usage of Radioactive for research, medicine, and industry purpose increases as development of population, economic, society, culture and knowledge. The increase of such utilization can be used as indicator of public acceptance and nuclear technology advancement. Utilization of radioactive including usage, production, export/import, transportation and transfer has two impact benefit and radiological risk to occupational, public and environment. Therefore it needs to be regulated seriously by the government. This paper is composed through gathering and reviewing secondary data and literature study. Life history of radioactive is regulated strictly from generation phase until dissipation phase as cradle to grave concept for hazardous waste management. Usage, production, export/import, and, transfer have to get license from regulatory body while all transportation of radioactive have to get approval from regulatory body and can only be performed by licensees. Radioactive waste shall be sent to organizer body or original country of radioactive with approval from regulatory body. Radioactive waste management by organizer body shall have radioactive waste management license from regulatory body. Radioactive waste can be released to environment after getting clearance approval from regulatory body. To ensure that regulation is fulfilled by user, regulatory body conduct, routine or unschedule inspection.
1
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
Key Words: radioactive, cradle to grave, regulatory body
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut UndangUndang No 10
Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,
tenaga tuklir adalah tenaga dalam bentuk
apa pun yang dibebaskan dalam proses
transformasi inti, termasuk tenaga yang
berasal dari sumber radiasi pengion(1).
Pemanfaatan teknologi nuklir yang
mencakup pemanfaatan zat radioaktif di
Indonesia dalam bidang industri,
kesehatan, dan penelitian terus
berkembang sebagai wujud
kemampulaksanaan, keberterimaan
masyarakat secara tidak langsung dan
keunggulan tenaga nuklir dibandingkan
dengan teknologi lain.
Mengingat sifatnya, radiasi
memiliki dua aspek, yaitu manfaat dan
resiko dalam arti potensi bahaya radiasi
yang dapat membahayakan dan
merugikan manusia (baik pekerja
maupun masyarakat) serta lingkungan
hidup. Oleh karena itu pemanfaatan
tenaga nuklir tersebut, seperti halnya
dengan pemanfaatan teknologi lainnya,
harus dilakukan secara baik dan benar
serta diawasi secara ketat oleh
pemerintah sesuai dengan
peraturan/ketentuan yang berlaku. Asas
proteksi radiasi telah menggiring upaya
meningkatkan dampak positiif dan
menghindari dampak negatif yang
diitmbulkan dari pemanfaatan tenaga
nuklir sehingga tujuan utama dari
pemanfaatan tenaga nuklir yaitu
meningkatkan kesejahtaraan masyarakat
dengan memprioritaskan keselamatan
pekerja, masyarakat dan lingkungan
hidup pada taraf yang paling tinggi dapat
tercapai.
Kegiatan pemanfaatan,
pengembangan dan penguasaan iptek
nuklir di Indonesia diawasi oleh Badan
Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN).
Pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam UndangUndang No.10 Tahun
1997 tentang Ketenaganukliran Pasal 14
ayat 2 dilaksanakan melalui peraturan,
perizinan dan inspeksi. Peraturan dan
perizinan yang diberikan oleh BAPETEN
juga memperhatikan UndangUndang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UndangUndang No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
Undang Undang No.1 Tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja dan Undang
Undang lainnya yang terkait beserta
produk hukum dibawahnya (2).
2
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
Makalah ini akan membahas
implementasi konsep cradle to grave
dalam sistem pengawasan pemanfaatan
zat radioaktif di Indonesia sehingga
diharapkan dapat membangun opini
positif publik yang tentunya akan
mempengaruhi eksistensi dan evolusi
pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia.
BAB II
TEORI
II. 1. PEMANFAATAN ZAT
RADIOAKTIF DI INDONESIA
Pemanfaatan zat radioaktif yang
dimaksud dalam makalah ini adalah
kegiatan yang berkaitan dengan
keberadaan zat radioaktif yang meliputi
penggunaan, produksi, ekspor/import,
pengangkutan dan pengalihan.
Penggunaan zat radioaktif di
berbagai sektor terbukti telah
memberikan keuntungan teknis, finansial,
dan lingkungan yang berarti, sehingga
penggunaannyapun terus dikembangkan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup
manusia dengan tetap mengedepankan
aspek keselamatan terhadap pekerja,
masyarakat dan lingkungan hidup.
Penggunaan zat radioaktif di
bidang industri antara lain: radiografi
baik untuk tujuan jasa kualitas suatu
produk, pengecekan bagasi atau kontainer
barang. Analisis untuk menganalisa
kandungan unsur dalam suatu sample.
Gauging yang banyak digunakan di
industri minyak, pabrik bahan kimia
untuk mengukur ketinggian (level).
Begitu pula dengan logging yang banyak
digunakan di industri petambangan untuk
investegasi calon lokasi pengeboran. Di
bidang kesehatan, zat radioaktif
digunakan antara lain untuk diagnosa dan
terapi dengan memanfaatkan energi
sinarX, sedangkan untuk kedokteran
nuklir dan litbang digunakan zat
radioaktif yang berbentuk serbuk atau
cairan.
Penggunaan zat radioaktif di
bidang pertanian antara lain untuk
mengawetkan bahan makanan pasca
panen dan pemulihan tanaman, dapat
juga digunakan untuk menentukan
efektivitas pemakaian pupuk tanaman
dan pemberantasan hama melalui teknik
jantan mandul.
Di bidang hidrologi dan
lingkungan, zat radioaktif dapat
digunakan untuk pencarian tempat
kebocoran/rembesan pipa di dalam tanah,
pengukuran transport endapan di sungai,
laut dan danau, pengukuran umur air,
dll(3).
3
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
Penggunaan zat radioaktif
menuntut ketersediaan zat radioaktif yang
pemenuhannya dapat dilakukan melalui
produksi dan impor dari luar negeri yang
tentunya akan melibatkan kegiatan
pengangkutan dan pengalihan zat
radioaktif. Zat radioaktif dapat pula di
eksport ke luar negeri untuk tujuan
komersiil atau pelimbahan zat radioaktif
bekas.
Sampai dengan 1 Mei tahun 2009
jumlah zat radioaktif yang beredar di
Indonesia dan telah mendapat izin
pemanfaatan yang masih berlaku dari
BAPETEN sekitar 3497 unit zat
radioaktif yang terdiri dari 23 jenis zat
radioaktif dan 2 jenis sumber radiasi.
Penggunaan terbanyak pada bidang
industri yaitu: 3418 unit zat radioaktif
diikuti penggunaan di bidang kesehatan
sebanyak 76 unit zat radioaktif dan di
bidang penelitian sebanyak 3 unit zat
radioaktif.
Tabel. 1 Rincian Penggunaan Zat Radioaktif di Indonesia yang Memiliki Izin Penggunaan dari BAPETEN untuk Setiap Bidang/Tujuan
Bidang/Tujuan Jumlah IzinJumlah Instansi
PenggunaIndustri1 Analisa Zat Radioaktif 14 62 Fotofluorografi dengan Zat
Radiokatif Aktivitas Sedang11 2
3 Gauging 959 1014 Gauging Industri dengan
Pembangkit Radiasi Pengion Energi Rendah
1 1
5 Gauging Industri dangan Zat Radioaktif Aktivitas Rendah
304 54
6 Gauging Industri dangan Zat Radioaktif AktivitasTinggi
757 42
7 Kalibrasi 3 38 Logging 528 249 Penyimpanan Zat Radioaktif 1 110 Radiografi 31 1611 Radiografi Industri Fasilitas
Terbuka231 46
12 Tracer 1 113 Well Logging 577 20 Total Bidang Industri 3418 318Kesehatan
4
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
1 Impor dan Pengalihan Zat Radioaktif untuk Keperluan Medik 0 0
2 Kalibrasi 2 23 Kedokteran Nuklir Diagnos
tik Invivo0 0
4 Konstruksi 2 25 Radioterapi 41 106 Terapi Zat Radioaktif 31 11
Total Bidang Kesehatan 76 25Penelitian1 Penelitian 2 12 Penelitian dan Pengem
bangan dalam Radiografi Industri Fasilitas Terbuka
1 1
Total Bidang Penelitian 3 2Total 3497 345
Sumber Data: Badan Pengawas Tenaga Nuklir, sampai dengan 1 Mei 2009
Ditinjau dari tujuan
penggunaannya, dibidang industri, zat
radioaktif banyak digunakan untuk tujuan
Gauging yaitu 951 unit zat radioaktif,
dibidang kesehatan paling banyak untuk
tujuan radioterapi, yaitu 41 unit zat
radioaktif sedangkan penggunaan untuk
tujuan penelitian relatif masih terbatas.
Rincian mengenai jenis dan jumlah
penggunaan zat radioaktif di Indonesia
secara lengkap ditampilkan pada Tabel 1
di atas.
Penggunaan zat radioaktif hingga
saat ini telah melibatkan sekitar 345
instansi pemerintah dan swasta sebagai
pihak pemegang izin yang
bertanggunjawab atas penggunaan zat
radioaktif yang dimilikinya. Pemegang
izin berkewajiban memenuhi ketentuan
peraturan perundangundangan yang
berlaku selama menyelenggarakan
penggunaan dan sanggup menerima
konsekuensi hukum atas tidak
dipatuhinya peraturan perundang
undangan.
Jenis zat radioaktif yang banyak
digunakan adalah Cs137 terutama untuk
tujuan gauging dan well logging.
Keadaan tersebut perlu menjadi perhatian
serius mengenai limbah dari Cs137 yang
merupakan zat radioaktif berumur paro
cukup panjang yaitu 30 tahun sehingga
penanganan limbahnya akan
membutuhkan alokasi waktu yang lebih
lama dan lebih ketat serta dapat menjadi
beban bagi generasi yang akan datang.
Untuk memenuhi salah satu prinsip
prinsip pengelolaan limbah radioaktif
5
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
yang direkomendasikan secara
internasional yaitu tidak menjadi beban
generasi yang akan datang maka perlu
ada tindakan preventif dan kuratif untuk
mengantisipasi permasalahan tersebut.
Tindakan preventif melalui minimalisasi
pemanfaatan Cs137 melalui subtitusi Cs
137 dengan zat radioaktif lain yang
berumur paro pendek dan tindakan
kuratif melalui minimalisasi limbah Cs
137. Selain Cs137, penggunaan Am
241 juga mempuyai permasalahan yang
sama, umur paro yang dimiliki oleh Am
241 jauh lebih lama yaitu 432 tahun. Zat
radioaktif ini banyak digunakan pada
bidang industri untuk tujuan gauging.
Jenis dan jumlah zat radioaktif yang
digunakan pada berbagai bidang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis Zat Radioaktif di Indonesia yang Digunakan Pada Bidang Industri, Kesehatan dan Penelitian
Jenis Zat Radioaktif
Bidang Industri Bidang Kesehatan Bidang Penelitina
Cd109, Fe55, Ni63, Co60, Am241, Am241Be, Cm244, Cs137, Kr85, Pm147, Ra226, Sr90, Cf252, Ba133, Co57, H3, Th228, Th232, Ir192, Se75, K40
Co60, Am241, Cs137, Sr90, Ir192, Ge68, I131
Co60, Ir192
Sumber data: Badan Pengawas Tenaga Nuklir, sampai dengan 1 Mei 2009
II.2. Konsep Cradle to Grave (timbul
sampai akhir)
Konsep cradle to grave adalah
analisis siklus hidup yang dapat
digunakan untuk mengkaji secara
langsung atau tidak langsung dampak
suatu sistem atau proses terhadap
lingkungan serta memberikan
pengetahuan tentang interaksi yang
terjadi didalamnya mulai tahap ekstraksi
bahan baku, transport, proses produksi,
penggunaan, disposal sampai tahap
degredasi. Tujuan dari pengawasan
dengan pendekatan cradle to grave,
meliputi:
1. Memberikan gambaran yang lengkap
kemungkinan interaksi antara suatu
kegiatan dengan lingkungan.
2. Memberikan pemahaman secara
menyeluruh sifat saling ketergantunan
antara lingkungan dan aktivitas
manusia.
3. Menyediakan informasi bagi
pengambil keputusan mengenai
dampak terhadap lingkungan dari
suatu kegiatan manusia beserta
6
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
pilihan penanggulan dan perbaikan
dampak tersebut (4).
II.3. PENGAWASAN
PEMANFAATAN ZAT
RADIOAKTIF DI INDONESIA
Telah disebutkan diatas bahwa
pemanfaatan zat radioaktif di Indonesia
menjadi kewenangan dan tanggungjawab
Badan Pengawas Tenaga Nuklir
(BAPETEN). Pengawasan melalui
mekanisme peraturan, perizinan dan
Inspeksi. Pengawasan terhadap
pemanfaatan zat radioaktif di lakukan
secara komprehensif mulai dari
pengadaan fasilitas dan hingga limbah
radioaktif yang dihasilkan.
II.3.1. Peraturan
Peraturan berfungsi untuk
memberikan arah, batasan tindakan dan
kewajiban yang harus dipenuhi oleh
pemanfaat tenaga nuklir dengan tujuan
melindungi pekerja, masyarakat dan
lingkungan hidup. Penyusunan peraturan
perundangundangan tidak terlepas dari
rekomendasi internasional yang
mengalami adaptasi dan harmonisasi
dengan situasi, kebijakan dan strategi
nasional.
Induk peraturan perundang
undangan yang mengatur pemafaatan
tenaga nuklir adalah UU No. 10 tahun
1997, yang mengatur pokokpokok
pemanfaatan tenaga nuklir di
Indonenesia. UU tersebut terdiri dari 8
Bab, yaitu: ketentuan umum,
kelembagaan, penelitian dan
pengembangan, pengusahaan,
pengawasan, pengelolaan limbah
radioaktif, pertanggungjawaban kerugian
nuklir, dan ketentuan pidana.
Turunan dari Undangundang
adalah peraturan pemerintah yang
mengatur lebih jelas amanat yang telah
digariskan oleh undangundang.
Peraturan perundangundangan lebih
bersifat fleksibel dan diimbangi dengan
membuka kesempatan yang proporsional
dalam hal konsultasi untuk mencapai
kesepakatan. Peraturan Pemerintah
terkait yang telah diberlakukan adalah PP
No. 26 Tahun 2002 tentang Keselamatan
Pengangkutan Zat Radioaktif, PP No. 27
Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah
Radioaktif, PP No. 43 tahun 2006 tentang
Perizinan Reaktor Nuklir, PP No. 33 Th
2007 tentang Keselamatan Radiasi
Pengion dan Keamanan Sumber
Radioaktif, PP No. 29 tahun 2008 tentang
Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi
Pengion dan Bahan Nuklir, PP No. 27
7
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang
Berlaku Pada Badan Pengawas Tenaga
Nuklir.
Peraturan pelaksana yang mengatur
lebih teknis perihal pemanfaatan tenaga
nuklir yang merupakan turunan dari
peraturan pemerintah diterbitkan Kepala
BAPETEN. Proses pembentukan
peraturan selalu melibatkan partisipasi
pemangku kepentingan (stakeholder),
profesi, dan akademisi dalam bentuk
konsultasi publik. Mekanisme tersebut
sangat efektif untuk mengakomodasi
berbagai kepentingan dan menjamin
kemampulaksanaan dari peraturan yang
diterbitkan. Diantara peraturan Kepala
BAPETEN yang berhubungan langsung
dengan pemanfaatan zat radioaktif, antara
lain: Perka No.7 Tahun 2007 tentang
Keamanan Sumber Radioaktif,
Keputusan Kepala BAPETEN. 01/Ka
BAPETEN/V99, Keputusan Kepala
BAPETEN No 02/KaBAPETEN/V99
Tentang Baku Tingkat Radioaktivitas di
Lingkungan, Keputusan Kepala
BAPETEN No. 03/KaBAPETEN/V99
Tentang Ketentuan Keselamatan Untuk
Pengelolaan Limbah Radioaktif,
Keputusan Kepala BAPETENNo. 04/Ka
BAPETEN/V99 Tentang Ketentuan
Keselamatan untuk Pengangkutan Zat
Radioaktif.
II.3.2. Perizinan
Perizinan sebagai mekanisme
pengawasan yang nyata dan instrumen
8
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
penilaian kepatuhan terhadap peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Perizinan juga dapat digunakan sebagai
barometer perkembangan pemanfaatan
zat radioaktif di Indonesia, dengan
adanya izin maka dapat dinventarisir
jenis dan jumlah zat radioaktif yang
beredar di Indonesia. Izin juga dapat
dijadikan media budaya tertib hukum,
disiplin dan tanggungjawab dan dapat
memberikan kontribusi bagi
profesionalisme dan kewibawaan suatu
perusahaan sehingga berpengaruh
terhadap kepercayaan publik.
Perizinan pemanfaatan zat
radioaktif telah diatur dalam bentuk
Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2008
tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber
Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 29
Tahun 2008, izin pemanfaatan sumber
radiasi pengion dan bahan nuklir terbagi
menjadi tiga kelompok, yaitu izin
kelompok A, B dan C. Pengelompokkan
tersebut didasarkan pada resiko yang
terkait dengan keselamatan dan
keamanan sumber radioaktif dan bahan
nuklir, dengan mempertimbangkan:
potensi bahaya radiasi, tingkat kerumitan
fasilitas, jumlah dan kompetensi personil
bekerja, potensi dampak kecelakaan
radiasi terhadap keselamatan, kesehatan
pekerja dan anggota masyarakat dan
lingkungan serta potensi ancaman
terhadap sumber radioaktif.
Dengan pengelompokaan izin maka
persyaratan dan tata cara perizinan
ditetapkan sesuai dengan resiko yang
terkait, sehingga semakin tinggi resiko
pemanfaatan, maka persyaratan izin yang
diberlakukan semakin ketat. Izin
kelompok A merupakan kelompok izin
dengan persyaratan paling ketat
sedangkan izin kelompok C merupakan
izin dengan persyaratan paling sederhana.
II.33. Inspeksi
Inspeksi terhadap pemanfaatan zat
radioaktif dilakukan dengan tujuan
menilai kepatuhan terhadap syaratsyarat
dalam perizinan dan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Inspeksi dilaksanakan oleh inspektur
yang diangkat dan diberhentikan oleh
BAPETEN. Berdasarkan waktu
pelaksanaannya, inspeksi terdiri dari
inspeksi berkala dan sewaktuwaktu.
Inspeksi sewaktuwaktu bertujuan
mendapatkan kondisi eksisting dari
fasilitas yang memanfaatkan zat
radioaktif secara obyektif.
BAB III
METODOLOGI
9
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
Makakah ini bersifat diskriptif
membahas sistem pengawasan
pemanfaatan zat radioaktif dengan
konsep cradle to grave. Penyusunan
makalah dilakukan dengan studi pustaka,
melalui tahapan pengumpulan dan review
pustaka, pengolahan data pendukung dan
penyusunan laporan.
BAB IV
PEMBAHASAN
IV.1. Implementasi Konsep Cradle to
Grave Dalam Pemanfaatan Zat
Radioaktif
Pemantauan riwayat zat radioaktif
secara implisit identik dengan penerapan
konsep cradle to grave yang diterapkan
untuk bahan berbahaya dan beracun (B3),
karena secara tidak langsung konsep
cradle to grave dapat dipandang pula
sebagai konsep pengawasan secara ketat
dan komprehensif terhadap suatu obyek
yang memiliki resiko tinggi,
hightechnology, menyangkut komitmen
nasional dan internasional (5).
Skenario pengawasan zat
radioaktif dimulai dari riwayat
dihasilkannya/asal zat radioaktif sampai
penempatan akhir atau nasib (fate) dari
zat radioaktif, termasuk pula hasil
samping dari pemanfaatan zat radioaktif.
Zat radioaktif di Indonesia dapat
dihasilkan dari dua kegiatan, yaitu
produksi dan impor yang keduanya harus
mendapat izin pemanfaatan sumber
radiasi pengion dan bahan nuklir dari
BAPETEN sesuai dengan Peraturan
Pemerintah No. 29 tahun 2008 sehingga
dapat diketahui jumlah dan jenis zat
radioaktif yang berada di Indonesia.
Produksi zat radioaktif buatan
dapat diperoleh melalui
penembakan/reaksi inti terhadap suatu
atom (unsur) yang tidak radioaktif
menjadi radioaktif. Peralatan yang
digunakan untuk memperoleh zat
radioaktif adalah: reaktor atom,
akselerator dan irradiator. Pengoperasian
peralatan Produksi radioisotop, terutama
reaktor nuklir, berpotensi menimbulkan
dampak kontaminasi ke lingkungan
dalam bentuk airborne dan cair sehingga
diperlukan pemantauan rutin terhadap
kedua komponen lingkungan tersebut
untuk mengetahui status radioaktivitas
lingkungan.
Impor zat radioaktif merupakan
kegiatan memasukkan zat radioaktif yang
diproduksi di luar negeri ke Indonesia.
Impor dapat dilakukan oleh importir atau
10
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
pengguna zat radioaktif, yang keduanya
harus memiliki izin pemanfaatan.
Pemegang izin yang akan melaksanakan
impor wajib mendapat persetujuan dari
Kepala BAPETEN sebelum zat radioaktif
dikeluarkan dari kawasan pabean.
Zat radioaktif yang dihasilkan dari
produksi dan importir dapat
dipindahtangankan ke pengguna untuk
digunakan di bidang kesehatan, industri,
penelitian setelah mendapatkan
persetujuan pengangkutan dari Badan
Pengawas sehingga dapat diketahui
mobilitas dan penanggungjawab zat
radioaktif. Pengangkutan zat radioaktif
wajib mengikuti ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2000
dan Peraturan Kepala BAPETEN N0. 4
tahun 1999.
Selama kegiatan pemanfaatan zat
radioaktif tidak menutup kemungkingan
berdampak timbulnya produk samping
dalam bentuk limbah radioaktif termasuk
zat radioaktif bekas. Pengelolaan limbah
radioaktif telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No 27 Tahun 2002 dan
Peraturan Kepala BAPETEN No. 3
Tahun 1999. Pengelolaan limbah
radioaktif di Indonesia menganut sistem
sentralisasi dengan PTLRBATAN
sebagai Badan Pelaksana sesuai dengan
ketentuan dalam UU No. 10 tahun 1997.
Limbah radioaktif yang dihasilkan
sebagai produk samping penggunaan zat
radioaktif harus dikirimkan ke Badan
Pelaksana untuk dilakukan pengelolaan.
Pemegang izin berkewajiban melakukan
pemisahan dan pengolahan limbah
radioaktif tingkat rendah dan sedang yang
dihasilkannya sebelum dikirim ke Badan
Pelaksana. Untuk zat radioaktif bekas,
ada dua pilihan pengelolaan limbahnya,
yaitu dikirimkan ke Badan Pelaksana atau
dikembalikan ke negara asal zat
radiokatif sesuai dengan perjanjian antara
pemegang izin pemanfaatan dengan
produsen zat radioaktif.
Kegiatan pengiriman limbah
radioaktif dari penghasil ke Badan
Pelaksana atau ke negara asal harus
mendapat persetujuan pengiriman dari
Badan Pengawas sebagaimana
pengiriman zat radioaktif dari
produsen/importir ke pengguna sehingga
mobilitas atau keberadaan dari zat
radioaktif dapat ditelusuri.
Badan Pelaksana sebagai pihak yang
diberikan kewenangan melakukan
pengelolaan limbah radioaktif
berdasarkan UU No. 10 tahun 1997,
dalam menjalankan tugasnya dapat
bekerjasama dengan BUMN atau swasta
dan wajib memiliki izin pemanfaatan dari
Badan Pengawas. Pengelolaan limbah
11
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
radioaktif oleh badan pelaksana dimulai
dengan pemisahan atau pemilahan limbah
berdasarkan fase, aktivitas, dan sifat
limbah.
Pelepasan limbah radioaktif ke
lingkungan oleh penghasil limbah atau
pengelola limbah wajib mematuhi
peraturan yang berlaku yaitu tingkat
peleasan untuk limbah radioaktif cair dan
gas, tingkat klierens untuk limbah
radioaktif berbentuk padat serta kriteria
pembuangan limbah non radioaktif.
Terhadap limbah radioaktif yang
tidak dapat memenuhi tingkat klierens,
pembuangannya adalah disposal kedalam
tanah mulai dari zone permukaan tanah
sampai dengan formasi geologi. Opsi
disposal limbah radioaktif bergantung
pada klasifikasi limbah radioakif yang
dalam peraturan perundangundangan
dibedakan menjadi penyimpanan lestari
untuk limbah radioaktif tingkat tinggi dan
penyimpanan untuk limbah radioaktif
tingkat rendah dan sedang. Implementasi
disposal tersebut sampai saat ini belum
terlaksana yang disebakan kebijakan
nasional yang memilih siklus terbuka
dalam mengelola limbah radioaktif
tingkat tinggi, yaitu bahan bakar nuklir
bekas dan volume limbah radioaktif
tingkat rendah dan sedang yang masih
dalam kapasitas tertangani dalam fasilitas
tempat penyimpanan sementara.
Untuk memastikan tingkat
radioaktivitas lingkungan disekitar
fasilitas penggunaan zat radioaktif dan
fasilitas pengelolaan limbah radioaktif,
maka wajib dilakukan pemantauan
lingkungan disekitar lokasi untuk menilai
kondisi radioaktivitas lingkungan dan
Badan Pengawas akan melakukan
verifikasi dalam bentuk inspeksi.
Skematis kegiatan pemanfaatan zat
radioaktif sejak ditimbulkan sampai
12
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
penempatan akhir dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Skema Kegiatan Pemanfaatan ZatRadioaktif di Indonesia
IV.2. Potensi Implementasi Konsep
Cradle to Cradle
Berdasarkan analisa penulis
terhadap literatur, pendekatan cradle to
grave cenderung hanya memberikan
kepastian status dan tanggungjawab
terhadap pemanfaatan zat radioaktif,
tanpa mengarah pada upaya
meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pemanfaatan zat radioaktif. Untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan, maka
pendekatan cradle to cradle lebih sesuai
untuk dipromosikan sebagai pengganti
konsep cradle to grave.
Pendekatan cradle to cradle
mengarahkan pemanfaatan zat radioaktif
diupayakan sedemikian rupa sehingga
tidak menghasilkan limbah (zerro waste).
Terdapat tiga kemungkinan dalam
mewujudkan tujuan tersebut, yaitu
melalui: Reuse (zat radioaktif digunakan
kembali untuk tujuan yang sama atau
berbeda), Recycle (zat radioaktif diproses
ulang), dan Recovery (pengambilan
kembali).
Dengan pendekatan cradle to cradle
akan menekan atau mereduksi produksi
zat radioaktif sehingga juga mengurangi
resiko yang ditimbulkannya termasuk
jumlah limbah radioaktif. Pendekatan
cradle to cradle sesuai dengan optimisasi
dalam asas proteksi radiasi sebagai salah
satu persyaratan pemanfaatan zat
radioaktif.
13
Produksi
Zat Radioaktif
Impor
Proses
Manfaat
Limbah Radioaktif
Zat Radioaktif Bekas
Efluen Cair dan Airborne
Pengelolan Limbaholeh Badan Pelaksana
Batas Pelepasan
Penetapan Klierens Lingkungan
Lingkungan
Disposal
Prosiding Seminar Keselamatan Nuklir, 5 – 6 Agustus 2009
BAB V
KESIMPULAN
1. Pengawasan terhadap pemanfaatan zat
radioaktif di Indonesia menjadi
tanggungjawab dan kewenangan
BAPETEN yang diselenggarakan
melalui peraturan, perizinan dan
inspeksi sebagai bentuk penerapan
secara implisit konsep cradle to
grave.
2. Untuk mencapai pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, maka menurut pendapat
penulis, pendekatan cradle to cradle
lebih sesuai untuk dipromosikan
sebagai pengganti konsep cradle to
grave, melalui: reuse, recycle dan
recovery terhadap limbah radioaktif.
DAFTAR PUSTAKA
1. UndangUndang No. 10 Tahun 1997
tentang Ketenaganukliran, Jakarta,
1997
2. Erwansyah Lubis, Keselamatan
Radiasi Lingkukungan dalam
Pengelolaan Limbah Radioaktif di
Indonesia, Jurnal Teknologi
Pengelolaan Limbah, BATAN, 2003
3. Arya Wardhanana, Radioekologi,
Andi Offset, Yogyakarta, 1996.
4. IAEA, TECDOC1279: Non
Technical Factor Impacting on The
Decision Making Processes in
Environmental Remediation, Vienna,
2002
5. KLH, Desentralisasi dan Limbah B3,
KLH, 2000
14