32
Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak Berusia 6 Tahun Celine Citra Surya 102013044/F8 Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.16, Jakarta Barat 11510 [email protected] Pendahuluan Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Kadang- kadang ada laporan bahwa salah satu dari tiga tipe histologis telah diubah menjadi tipe lain memberi kesan bahwa sindrom ini mungkin merupakan suatu gangguan dengan berbagai gambaran histologis. Namun, agaknya lebih mungkin, bahwa sindrom menggambarkan beberapa penyakit yang mempunyai manifestasi klinis serupa. Penyelesaian masalah ini menunggu penemuan faktor-faktor patogenetiknya. Sindrom ini telah dilaporkan pada beberapa keluarga tertentu dengan frekuensi yang tampaknya meningkat melebihi frekuensi yang diharapkan, tetapi sindrom ini tampaknya tidak diwariskan. 1 Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini belum diketahui tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2g/24 jam dan terutama terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasarnya adalah 1

Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah PBL BLOK 21 Sindrom Nefrotik

Citation preview

Page 1: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak Berusia 6 Tahun

Celine Citra Surya

102013044/F8

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.16, Jakarta Barat 11510

[email protected]

Pendahuluan

Sindrom ini merupakan sekitar 90% nefrosis pada anak. Kadang-kadang ada laporan bahwa

salah satu dari tiga tipe histologis telah diubah menjadi tipe lain memberi kesan bahwa sindrom ini

mungkin merupakan suatu gangguan dengan berbagai gambaran histologis. Namun, agaknya lebih

mungkin, bahwa sindrom menggambarkan beberapa penyakit yang mempunyai manifestasi klinis

serupa. Penyelesaian masalah ini menunggu penemuan faktor-faktor patogenetiknya. Sindrom ini telah

dilaporkan pada beberapa keluarga tertentu dengan frekuensi yang tampaknya meningkat melebihi

frekuensi yang diharapkan, tetapi sindrom ini tampaknya tidak diwariskan.1

Kelainan patogenetik yang mendasari nefrosis adalah proteinuria, akibat dari kenaikan

permeabilitas dinding kapiler glomerulus. Mekanisme dari kenaikan permeabilitas ini belum diketahui

tetapi mungkin terkait, setidak-tidaknya sebagian, dengan hilangnya muatan negatif glikoprotein dalam

dinding kapiler. Pada status nefrosis, protein yang hilang biasanya melebihi 2g/24 jam dan terutama

terdiri dari albumin; hipoproteinemianya pada dasarnya adalah hipoalbuminemia. Umumnya, edema

muncul bila kadar albumin serum turun di bawah 2,5g/dL (25g/L).1

Skenario 6

Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun datang dibawa ibunya ke RS dengan keluhan selalu bangun

dengan kondisi wajah yang sembab terutama di daerah mata setiap paginya sejak 3 hari yang lalu.

PF: Berat badan meningkat dari sebelum sakit, edema scrotal

PP: Kolestrol total 300mg/dL, albuminuria +3

1

Page 2: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Anamnesis

Hal yang perlu kita lakukan terlebih dahulu sebagai dokter sebelum mendiagnosis suatu

penyakit terhadap adanya temuan klinis pada pasien yaitu dengan anamnesis. Anamnesis ini dapat

dilakukan dalam 2 bentuk : alloanamnesis dan autoanamnesis. Perbedaan antar kedua bentuk anamnesis

tersebut, yaitu; alloanamnesis artinya kita melakukan anamnesis dengan kerabat pasien (seperti orang

tua). Hal ini dilakukan bila pasien dalam kondisi tidak sadar atau terjadi penurunan kesadaran serta

pada pasien anak-anak, sedangkan autoanamnesis yaitu kita melakukan anamnesis langsung dengan

pasien dengan keadaan pasien yang masih baik kesadarannya.2

Pertanyaan yang dapat diajukan dalam anamenesis kepada pasien sesuai dengan kasus ini

dengan pendekatan umum; perkenalan diri anda, ciptakan hubungan yang baik, menanyakan identitas

pasien. (Nama pasien, umur). Nilai keluhan utama dan riwayatnya : misalnya bengkak pada anggota

badan (sejak kapan bengkak dialami, lokasi bengkak, menjalar/tidak), apakah sudah pernah dibawa

berobat sebelumnya dengan diuretik? Tanyakan mengenai kebiasaan dalam pembuangan urin dan

konsistensi urin: apakah urin pasien terlihat mengandung darah (hematuria)? Ada kesulitan saat

berkemih? Ada rasa nyeri pada saat berkemih? Berapa kali buang air kecilnya sehari? Berapa banyak

air seni yang dikeluarkan? Ada pola perubahan dalam pembuangan urin (seperti mengejan atau tidak)?

dan bagaimana pancaran urinnya. Keluhan tambahan lainnya dan pola makan pasien; apakah ada rasa

nyeri di daerah suprapubik atau daerah lainnya, mual muntah, keringat dingin, lemas? bagaimana pola

makan anak (teratur atau tidak)? Dan nafsu makan si anak (meningkat atau menurun), apakah ada alergi

pada si anak.2

Kemudian tanyakan riwayat penyakit sekarang, pada umur berapa pertama kala anak ketika

terjadi onset (semakin muda anak adalah lebih besar resiko), gejala klinis yang terkait, riwayat infeksi

oleh streptococcus atau tuberculosis atau virus. Pada riwayat penyakit dahulu tanyakan riwayat bengkak

sebelumnya, riwayat penyakit ginjal seperti sindrom nefrotik, hepatitis atau gagal jantung sebelumnya.

Dalam riwayat penyakit keluarga faktor keluarga dengan riwayat edema penting juga ditanyakan

riwayat masa kehamilan dan persalinan. Menilai status gizi anak dengan kemungkinan malnutrisi

seperti pada penyakit Kwashiorkor pada riwayat pertumbuhan dan perkembangan dengan memantau

kurva berat badan dan panjang badan terhadap umur untuk menilai apakah terjadi keterlambatan

pertumbuhan pada anak.2

Pemeriksaan Fisik

2

Page 3: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Lakukan pemeriksaan awal seperti:kesadaran umum, keadaan umum, dan tanda-tanda vital

(suhu, tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan).

Pemeriksaan fisik abdomen:

Inspeksi:

Melihat bentuk abdomen, kesimetrisan, pembesaran organ, atau adanya massa; kemungkinan

temuan penonjolan pinggang, penonjolan suprapubik, pembesaran hati, atau limpa, tumor.2

Ukuran dan bentuk perut

Perut anak kecil: “POT BELLY” perut yang sangat membucit sering merupakan pertanda

adanya malabsorpsi seperti celiac disease,cystic fibrosis, konstipasi atau aerophagia.2

Palpasi:

Kekakuan dinding abdomen, misalnya pada inflamasi peritoneum.

Lakukan dengan tekanan ringan untuk mengetahui adanya nyeri otot, nyeri lepas, dan nyeri

tekan.

Palpasi lebih dalam untuk mengetahui adanya massa atau nyeri tekan.2

Perkusi:

Perkusi abdomen untuk pola bunyi timpani dan pekak. Kemungkinan temuan asites, obstruksi

GI, tumor ovarium.

Auskultasi:

Normal: suara peristaltik dengan intensitas rendah terdengar tiap 10 – 30 detik

Bila dinding perut diketuk : frekuensi dan intensitas bertambah

Nada tingi (nyaring) : obstruksi GIT (metalic sound)

Berkurang/ hilang : peritonitis/ ileus paralitik.2

Pada pemeriksaan fisik untuk Sindrom Nefrotik ini, dapat ditemukan edema. Edema

pitting biasanya ditemukan di wajah, ekstremitas bawah dan daerah periorbital, skrotum atau

labia dan perut (asites). Pada anak-anak dengan asites, kesulitan bernapas dapat terjadi, dan

sebagai kompensasi terjadilah takipneu. Edema paru dan efusi juga dapat menyebabkan

gangguan pernapasan. Nyeri tekan pada abdomen mungkin menunjukan peritonitis.1

Pemeriksaan Antropometri:3

Page 4: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Berbagai nilai baku antropometrik dapat digunakan untuk menilai keadaan pertumbuhan

fisis seorang anak, namun yang paling sering dipakai adalah ukuran berat badan, panjang/tinggi

badan, dan lingkar lengan atas. Ukuran tebal lemak subkutan lengan atas, ukuran tebal lipatan

kulit pada lengan dan tungkai, ukuran lingkar dada, ukuran lingkar perut, pertumbuhan gigi-geligi,

dan umur tulang bukan merupakan ukuran yang tidak rutin diukur. Adapun cara pengukurannya

adalah sebagai berikut :

Pengukuran Berat Badan

Berat badan merupakan indikator untuk keadaan gizi anak. Gangguan pada berat badan

biasanya menggambarkan gangguan yang bersifat perubahan akut/jangka pendek. Pengukuran

harus dilakukan menggunakan alat timbangan yang telah ditera terlebih dahulu. Timbangan

harus diletakkan di atas alas yang rata dan keras. Jenis timbangan yang dipakai tergantung dari

umur anak, khususnya berat badan anak. Pada neonatus hingga anak yang belum bisa berdiri

digunakan dacin atau infant scale. Sementara untuk anak yang sudah bisa berdiri dengan tenang

digunakan timbangan yang juga digunakan pada orang dewasa.3

Pengukuran Tinggi Badan/Panjang Badan

Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan

skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.

Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif pada masalah

kekurangan gizi dalam waktu singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan

nampak dalam waktu yang relatif lama. Untuk bayi atau anak yang belum dapat berdiri dapat

menggunakan infantometer.2

Pengukuran Lingkar Lengan Atas

Merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status gizi karena mudah, murah dan

cepat. Tidak memerlukan data umur yang terkadang susah diperoleh. Memberikan gambaran

tentang keadaan jaringan otot dan lapisan lemak bawah kulit. Lingkar lengan atas

mencerminkan cadangan energi, sehingga dapat mencerminkan status KEP (Kurang Energi

Protein) pada balita.2

Pemeriksaan Penunjang

4

Page 5: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Langkah pertama dalam mengevaluasi anak dengan edema adalah untuk memastikan apakah

anak tersebut menderita sindrom nefrotik atau tidak, karena hipoalbuminemia dapat terjadi

tanpa adanya proteinuria (pada protein-losing enteropathy), dan edema dapat terjadi tanpa

adanya hipoalbuminemia (sepserti pada angioedema, insufisiensi venosa, gagal jantung

kongestif, dan lain sebagainya). Untuk memastikan diagnosis sindroma nefrotik, pada

pemeriksaan laboratorium didapatkan : proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia.

Pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan diantaranya :4

1. Urinalisis.

Pada hasil urinalisis pasien dengan syndrome nefrotik dapat ditemukan hematuria.Hasil

tersering adalah hematuria mikroskopis.Hematuria makrsokopis jarang ditemukan pada kasus

syndrome nefrotik. Proteinuria dapat ditemukan antara 3+ atau 4+, yang menunjukkan

kandungan protein urin sekitar 300 mg/dL.4

2. Protein urin kuantitatif dengan menghitung protein/kreatinin urin pagi, atau dengan protein urin

24 jam.

a. Protein/kreatinin urin pagi lebih mudah dilakukan dan dapat mengeksklusi proteinuria

orthostatik.4

b. Nilai protein/kreatinin urin lebih dari 2-3mg/mg.4

c. Nilai protein urin 24 jam > 40mg/m2/jam atau nilai protein urin sewaktu >100mg/dL,

terkadang mencapai 1000mg/dL.4

d. Sebagian besar protein yang diekskresi pada SN adalah albumin.4

3. Pemeriksaan darah

a. Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematocrit,

LED)4

b. Albumin dan kolesterol serum4

c. Ureum, kreatinin serta bersihan kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus Schwartz4

d. Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan ditambah4

dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA4

4. Biopsi Ginjal

Biopsi ginjal tidak diindikasikan bagi pasien SN primer dengan awitan pada usia 1-8

tahun, kecuali jika riwayat klinis, temuan pada pemeriksaan fisik, maupun hasil dari

pemeriksaan laboratorium mengindikasikan adanya kemungkinan SN sekunder atau SN primer

5

Page 6: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

selain tipe lesi minimal. Biopsi ginjal diindikasikan bagi pasien usia< 1 tahun, dimana SN

kongenital lebih sering terjadi, dan pada pasien usia > 8 tahun dimana penyakit glomerular

kronik memiliki insidensi yang lebih tinggi. Biopsi ginjal hendaknya juga dilakukan bila

riwayat, pemeriksaan, dan hasil uji laboratorium mengindikasikan adanya SN sekunder.4

5. Radiografi

Pemeriksaan ultrasonografi atau venografi ginjal sekiranya dicurigai adanya trombosis

vena ginjal.1,2,4

Pembesaran ginjal dengan korteks hipoekoik dari edema pada fase awal.

Pengurangan ukuran dan meningkatnya ekogenesitas.

Pada Doppler ditemukan aliran arterial diastolic terbalik, absennya aliran vena,

visualisasi thrombus dengan lumen, resistensi tinggi pada arteri renalis dengan

peningkatan indeks resistif.

Working Diagnosis

Sindrom Nefrotik

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik dari glomerulonefritis (GN)

yang ditandai dengan edema, proteinuria masif ≥ 3,5g/hari, hipoalbuminemia < 3,5g/dl,

hiperkolesterolemia dan lipiduria.7 Diagnosa SN harus ditegakkan secara cermat berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan urin. Anamnesis

riwayat pemakaian obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik. Pemeriksaan

lab seperti kadar albumin dalam serum, kadar koleserol, dan trigliserida, serta protein dalam urin 24

jam. Untuk mengetahui jenis SN primer, maka perlu dilakukan biopsi ginjal.5

Pemeriksaan Fisik yang paling tampak pada SN adalah edema, edema dapat mengenai facial,

tungkai bawah, asites, ataupun anasarka. Pasien dengan SN dapat menunjukkan normotensi ataupun

hipertensi, dan jarang menunjukkan hipertensi. Anamnesis mengenai riwayat infeksi, konsumsi obat-

obat tertentu, dan riwayat alergi, dapat menyingkirkan diagnosa banding lainnya.5

Pemeriksaan laboratorium seperti kadar kolesterol, hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperlipidemia,

dan hiperkoagulabilitas merupakan temuan sugestif mengacu pada SN, walaupun tidak diagnostik.

Kadar komplemen yang normal pada serum membedakan SN dengan GNA, walaupun pada SN dengan

lesi histologis MPGN juga dapat ditemukan penurunan komplemen serum. Pada urinalisis dapat

6

Page 7: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

ditemukan albuminuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari. Dapat

ditemukan juga oval fat bodies, dan hematuria mikroskopi (terkadang makroskopik).6

Differential Diagnosis

Sindrom Nefrotik Primer

Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (< 16 tahun)

paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% <

6tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak dari pada wanita. Pada orang dewasa

paling banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-

laki dan wanita 2 : 1. 3,7,8

Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus per 100.000 anak pertahun sedangkan pada dewasa 3 per

1000.000 pertahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes

mellitus. 3,7,8

Pada sindrom nefrotik primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau melakukan

biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi. Selain itu terdapat

perbedaan dalam regimen pengobatan sindrom nefrotik dengan respon terapi yang bervariasi dan sering

terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. 3,7,8

Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik, ginjal tampaknya merupakan satu-satunya organ

utama yang terlibat dan dapat disebut sebagai sindroma nefrotik primer. Sindroma nefrotik dapat pula

berkembang dalam perjalanan suatu penyakit sistemik disini sindroma nefrotik dianggap sekunder. 1-3

Yang termasuk golongan primer :

1. Sindrom nefrotik lesi minimal (MCNS = minimal change nephrotic syndrome)

Pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) (85% dari kasus sindrom nefrotik pada

anak), glomerulus terlihat normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial

dan matrixnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya negative, dan

mikroskop electron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial cell foot processes (podosit)

pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.3,7,8

2. Sindroma nefrotik dengan proliferasi mesangial difus

7

Page 8: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Ditandai dengan adanya peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada

pemeriksaan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluoroscence dapat memperlihatkan jejak 1+

IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop electron memperlihatkan peningkatan dari sel

mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan

lesi histologis ini berespon dengan terapi kortikosteroid.3,7,8

3. Sindroma nefrotik dengan glomerulosklerosis fokal

Glomerulus memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada

pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence menunjukkan adanya

IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis. Pada pemeriksaan dengan mikroskop electron,

dapat dilihat jaringan parut segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada

lumen kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada reflux vesicoureteral, dan

penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien dengan FSGS yang berespon dengan

terapi prednison. Penyakit ini biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua

glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal disease) pada

kebanyakan pasien.3,7,8

Sindrom Nefrotik Sekunder

Sindrom nefrotik sekunder adalah sindrom nefrotik yang berhubungan dengan penyakit/kelainan

sistemik, atau disebabkan oleh obat, alergen, maupun toksin. Secara histopatologis sindrom nefrotik

sekunder dapat berupa kelainan minimal, glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulonefritis

membranosa maupun glomerulonefritis membranoproliferatif. Penyakit sistemik yang sering

menyebabkan sindrom nefrotik sekunder adalah purpura Henoch-Schonlein, lupus eritematosus sistemik,

infeksi sistemik seperti hepatitis B, penyakit sickle cell, diabetes melitus, ataupun keganasan.3,7,8

Glomerulonefritis Akut

Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema awitan mendadak, hematuria, azotemia, dan hipertensi

yang beratnya bervariasi. Keluaran urin dapat menurun hingga kurang dari jumlah yang diperlukan untuk

mengekskresi beban solut minimal. Oliguria serta retensi garam dan air merupakan faktor penyebab

utama edema, konegsti sirkulasim, hipertensi serta gangguan asam basa dan elektrolit. Proteinuria dapat

bervariasi dari yang ringan hingga rentang nefrotik; ekskresi protein urin biasanya kurang dari 1,0 g/24

jam. Hematuria dapat dideteksi hanya dengan pemeriksaan mikroskopik, atau dapat terlihat secara

8

Page 9: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

makroskopis dengan urin yang berwarna seperti teh atau merah daging. Urinalisis secara khas

menunjukkan adanya silinder campuran, granular, dan eritrosit. Kadar kreatinin serum meningkat. Jika

penyebabnya adalah streptokokus, titer ASTO meningkat dan komplemen serum menurun. Tipe tersering

adalah post streptococcal glomerulonephritis oleh Streptococcus B hemolitikus grup A. 5

Etiologi

Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik dan

sekunder akibat penyakit sistemik, seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus

sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6

bulan, merupakan kelainan congenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.9

Berdasarkan gambaran histopatologi ginjal, sebagian besar (80%) SN idiopatik pada anak

merupakan sindrom nefrotik kelainan minimal (MCNS), umumnya terjadi usia 1-6 tahun, dengan

median umur onset 3 tahun. Kemungkinan MCNS sebagai etiologi, menurun dengan meningkatnya usia

onset. Sedangkan kemungkinan etiologi lain, seperti glomerulonefritis membranoproliferatif dan

nefropati membranosa, meningkat.3

Dalam prakteknya, sebagian besar anak tidak menjalani biopsy ginjal pada manifestasi klinis SN

pertama kali. Namun, mereka langsung mendapat terapi empiris kortikosteroid. Penderita SN yang

responsif terhadap pengobatan kortikosteroid, sangant jarang menjalani diagnosis patologi anatomis.

Karenanya, saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik, yaitu SN sensitive steroid

(SNSS) dan SN resisten steroid (SNRS).10

Tabel 1. Etiologi SN11

9

Page 10: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Faktor risiko

1. Usia, sindroma nefrotik pada anak merupakan penyakit pra sekolah dengan prevalensi paling

tinggi pada usia 2-3 tahun, tetapi sebenarnya dapat terjadi pada usia berapapun. Semakin muda

awitan (kecuali beberapa bulan pertama memiliki kemungkinan yang besar bahwa lesi tersebut

adalah MCNS. 6

2. Jenis Kelamin, Sindroma nefrotik mempunyai predominansi sebesar hampi 2:1.6

3. Penyakit sistemik, penyakit sistemik seperti systemic lupus erythematosus (SLE) dan Henoch

schonlein merupakan penyakitsistemik yang dapat menyebabkan sindroma nefrotik sekunder.6

4. Infeksi streptococcal, post streptocoocal infection adalah salah satu etiologi sindroma nefrotik

sekunder.6

Epidemiologi

Insiden terjadinya sindrom nefrotik bervariasi dari umur, ras, dan letak geografis. Insidens SN pada

anak di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan

prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di

Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan

anak laki-laki dan perempuan 2:1.3,7,8

Perbedaan geografis dan/atau etnik juga mempengaruhi insidensi dari sindrom nefrotik.

Contohnya, insiden sindrom nefrotik 6 kali lipat lebih besar pada anak-anak di Asia daripada di Eropa.

Sindrom nefrotik jarang terjadi di daerah Afrika.3,7,8

Patofisiologi

Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel endotel yang mengandung banyak lubang yang disebut

fenestra. Membran basalis membentuk satu lapisan yang berkesinambungan antara sel endotel dan sel

epitel di bagian luar. Membran basalis terdiri dari tiga lapisan yaitu lamina rara interna, lamina densa,

dan lamina rara eksterna. Sel epitel viseralis kapsula Bowman menutupi kapiler dan membentuk

tonjolan sitoplasma yang disebut foot process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna. Di antara

10

Page 11: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

tonjolan tersebut terdapat celah filtrasi yang disebut slit pore dan ditutupi oleh suatu membran yaitu slit

diafragma.2

Pada glomerulus, sawar filtrasi glomerulus terdiri dari fenestra endotelium, membran basalis

glomerulus, dan sel epitel viseralis. Membran basalis glomerulus merupakan jaringan yang terdiri dari

kolagen tipe IV, laminin, nidogen, dan proteoglikan. Membran basalis ini berfungsi sebagai sawar size-

and charge selective (sawar muatan dan ukuran).3 Slit diafragma yang terdapat di antara foot process

epitel turut berperan dalam sawar size-selective. Molekul utama yang menentukan anionic site yang

merupakan size- and charge selective pada glomerulus adalah proteoglikan heparan sulfat membran

basalis terutama lamina rara eksterna, serta sialoglikolipid dan sialoglikoprotein pada sel endotel dan

permukaan sel podosit epitel viseralis. Selain heparan sulfat, terdapat juga kelompok anionik lain

seperti residu karboksil yang merupakan glikoprotein membran basalis glomerulus, dan glikoprotein

kondroitin sulfat. Patogenesis sindrom nefrotik pada anak terjadi berdasarkan mekanisme imunologis

berupa abnormalitas sintesis globulin dan respons mitogen limfosit.3

Adanya defek pada fungsi sel T atau produknya akan menyebabkan disfungsi glomerulus

terhadap protein serum. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan pengeluaran heparan sulfat dan

kondroitin sulfat urin.3

Pengeluaran proteoglikan heparan sulfat dalam urin ini akan menyebabkan penurunan muatan

anionik dan hilangnya sawar elektrostatik yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran

basalis glomerulus dan menimbulkan proteinuria.3

Proteinuria akan menyebabkan hipoalbuminemia dan selanjutnya terjadi edema,

hiperkolesterolemia, dan manifestasi lain sindrom nefrotik. Vermylen dkk. (1989) melaporkan

penurunan heparan sulfat pada membran basalis glomerulus sindrom nefrotik jenis sklerosis mesangial

difus dan peningkatan ekskresi heparan sulfat dalam urin pasien SN lebih berat dibandingkan

pengeluaran kondroitin sulfat. Nephrin diproduksi sel epitel dan berperan dalam perkembangan atau

terpeliharanya sawar filtrasi glomerulus. Nephrin merupakan protein transmembran superfamili

imunoglobulin yang mempunyai berat molekul 135 kD. Bagian ekstraselular nephrin mengandung 8

domain immunoglobulin-like dan 1 domain fibronectin tipe III like module. Bagian ini diikuti oleh 1

domain transmembran tunggal dan 1 cytosolic C- terminal. Protein ini dapat berinteraksi dengan protein

membran atau dengan komponen membran basalis glomerulus. Kelainan pada interaksi ini dapat

menyebabkan disintegrasi sawar filtrasi.3

Proteinuria

11

Page 12: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari kebocoran

glomerulus (proteinuraia glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri

tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas

glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin.9

Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus.

Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya

dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier.

Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity

sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity.9

Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme

albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti

kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau menurun.9

Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),

trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau

menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer

(penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari

darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan

tekanan onkotik.9

Lipiduria

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal

dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.9

Edema

Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemi

dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon

antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus

albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi

12

Page 13: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan

teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah

serta peningkatan ANP.9

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa

pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara

bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.5

Hiperkoagulabilitas

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen

activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen,

peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor

IX, XI).9

Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan

sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri

berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan

imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.5

Manifestasi Klinik

Sindrom nefrotik idiopatik paling lazim muncul antara usia 2 dan 6 tahun. Sindrom terdini telah

dilaporkan pada setengah tahun terakhir dan usia satu tahun dan lazim pada orang dewasa. Episode

awal dan kekambuhan berikutnya dapat terjadi pasca-infeksi virus saluran pernapasan atas yang

nyata.Penyakit ini biasanya muncul sebagai edema, yang pada mulanya ditemukan di sekitar mata dan

pada tungkai bawah, dimana edemanya bersifat pitting edema.Semakin lama, edema menjadi

menyeluruh dan mungkin disertai kenaikan berat badan, timbul asites dan/atau efusi pleura, penurunan

curah urin.Edemanya berkumpul pada tempat-tempat tergantung dari hari-ke hari tampak berpindah

dari muka dan punggung ke perut, perineum, dan kaki. Anoreksia, nyeri perut, dan diare lazim terjadi;

jarang ada hipertensi.1,2,4

13

Page 14: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Terlepas dari histopatologik yang terjadi, manifestasi utama SN adalah edema, tanda yang

ditemukan pada 95% anak. Edema pada awal awitan dapat tersembunyi, sehinga para orangtua hanya

mengira anak merekea tumbuh dengan cepat, pada banyak anak, edema mucul secara intermiten.

Edema biasanya tampak mula-mula pada preorbital, serta daerah skrotm, labi amyora, dan akhirnya

dapat menyeluruh. Edema pada SN bersifat pitting edema. Pasien juga biasanya mengalami anoreksia

irritabilitas, lelash, dispepesia, diare, serta distres pernapasan. Pada beberapa anak, hipertensi agaknya

merupakan respon fisisologis terhadap penurunan volume plasma.6

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat proteinuria berat, mikrohematuria, dan leukosituria.

Selain albumin, banyak protein yang keluar melalui urin seperti imunoglobulin G (IgG), transferin,

apoprotein, lipoprotein lipase, antitrombin III (ATIII), seruloplasmin, protein pengikat vitamin D

(vitamin D binding protein), 25 OH kolekalsiferol, dan thyroid binding globulin. Hal ini akan

menyebabkan kadar protein tersebut dalam serum rendah dan dapat menyebabkan anemia defisiensi

besi, pertumbuhan terhambat, ossifikasi terlambat, dan hipotiroidism. Tiroksin yang rendah akan

menyebabkan peningkatan hormon thyroid stimulating hormon (TSH). IgG serum yang rendah dan

pengeluaran komplemen faktor B dan D melalui urin menyebabkan meningkatnya risiko infeksi.

Ekskresi plasminogen dan ATIII melalui urin akan menimbulkan kompensasi berupa sintesis protein

yang menyebabkan peningkatan makroglobulin, fibrinogen, tromboplastin, factor II, V, VII, VIII, X,

XII, dan XIII yang dapat menyebabkan koagulopati. Albumin serum yang rendah, dan konsentrasi asam

lemak bebas yang meningkat menyebabkan hipertrigliseridemia. Kadar kolesterol total dan kolesterol

low density lipoprotein (LDL) meningkat tetapi high density lipoprotein (HDL) rendah. Kelainan lemak

dan perubahan arteriol dapat merupakan risiko arteriosklerosis.3

Penatalaksanaan

Medika mentosa

Pada episode pertama nefrosis, anak dapat dirawat-inap di rumah sakit untuk tujuan diagnostik,

pendidikan, terapeutik. Bila timbul edema, masukan natrium dikurangi dengan memulai diet tidak

ditambah garam. Orang tua dinasihati untuk memasak tanpa garam, menyembunyikan garam meja,

dan menghindari menyajikan makanan yang jelas-jelas bergaram. Pembatasan garam dihentikan bila

edemanya membaik. Jika edemanya tidak berat, masukan cairan tidak batasi namun tidak perlu

didorong. Anaknya dapat masuk sekolah dan berpartisipasi dalam aktivitas sekolah seperti yang dapat

14

Page 15: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

ditoleransi. Sampai diuresis akibat kortikosteroid dimulai, edema ringan sampai sedang dapat dikelola

di rumah dengan klorotiazid 10-40 mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi.1

Bila terjadi hipokalemia, dapat ditambahkan kalium klorida atau spironolakton (3-5 mg.kg/24 jam

dibagi menjadi 4 dosis). Jika edemanya menjadi berat, mengakibatkan kegawatan pernapasan akibat

efusi pleura yang massif dan asites atau pada edema skrotum yang berat, anak harus dirawat-inap di

rumah sakit. Pembatasan natrium harus diteruskan, tetapi pengurangan masukan yang lebih lanjut

jarang efektif dalam mengendalikan edema. Skrotum yang membengkak dinaikkan dengan bantal

untuk meningkatkan pengeluaran cairan dengan gravitasi.1

Di masa lampau, edema yang berat diobati dengan pemberian albumin intravena, pada beberapa

penderita disertai dengan pemberian furosemid intravena. Tetapi sekarang terapi tipe ini telah diganti

dengan pemberian furosemid oral (1-2 mg/kg setiap 4 jam) bersama dengan metolazon (0,2-0,4

mg/kg/24 jam dalam dua dosis terbagi); metolazon dapat bekerja pada tubulus proksimal dan distal.

Bila menggunakan kombinasi yang kuat ini, kadar elektrolit dan fungsi ginjal harus dimonitor secara

ketat. Pada beberapa keadaan edema berat, pemberian albumin manusia 25% ( 1 g/kg/24 jam)

intravena mungkin diperlukan, tetapi efeknya biasanya sementara dan harus dihindari terjadinya

kelebihan beban volume dengan hipertensi dan gagal jantung.1

Setelah diagnosis sindrom nefrotikya diperkuat dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat,

patofisiologi dan pengobatan nefrosis ditinjau lagi bersama-sama dengan keluarganya untuk

meningkatkan pengertian mereka tentang penyakit anaknya. Remisi kemudian diinduksi dengan

pemberian prednisone, kortikosteroid yang kurang mahal, dengan dosis 60 mg/m2/24 jam (maksimum

dosis 60 mg setiap hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis selama sehari. Digunakan terapi dosis-

terbagi bukannya dosis tunggal karena beberapa penderita yang gagal berespons terhadap dosis

tunggal akan berespons terhadap dosis terbagi. Waktu yang dibutuhkan untuk berespons terhadap

prednisone rata-rata sekitar 2 minggu, responnya ditetapkan pada saat urin menjadi bebas protein.

Jika anak berlanjut menderita proteinuria (2+ atau lebih) setelah satu bulan mendapat prednisone

dosis terbagi yang terus-menerus setiap hari, nefrosis demikian disebut resistance steroid dan biopsi

ginjal terindikasikan untuk menentukan penyebab penyakitnya yang tepat.1

Lima hari setelah urin menjadi bebas protein (negatif, sedikit sekali, atau +1 pada dipstick), dosis

prednisone diubah menjadi 60 mg/m2 (dosis maksimum 60 mg) diberikan selang sehari sebagai dosis

tunggal bersama dengan makan pagi. Regimen selang sehari ini diteruskan selama 3-6 bulan. Tujuan

15

Page 16: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

terapi selang sehari ini adalah mempertahankan remisi dengan menggunakan dosis prednisone yang

relatif nontoksik, dengan demikian menghindari seringnya kekambuhan dan toksisitas kumulatif

akibat pemberian kortikosteroid setiap hari. Setelah periode terapi selang sehari tersebut, prednisone

dapat dihentikan secara mendadak. Sebaliknya, dalam waktu sampai dengan satu tahun setelah

penyelesaian terapi kortikosteroid, anak akan membutuhkan terapi tambahan kortikosteroid untuk

penyakit yang berat atau pembedahan.9

Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan sebagai berulangnya

edema dan bukan hanya proteinuria, karena beberapa anak dengan keadaan ini akan menderita

proteinuria intermiten yang menyembuh spontan. Sejumlah kecil penderita yang berespons terhadap

terapi dosis-terbagi setiap hari, akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah

penghentian terapi selang sehari. Penderita demikian itu disebut tergantung steroid.9

Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas kortikosteroid berat

(tampak cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh), kemudian harus dipikirkan terapi siklofosfamid.

Siklofosfamid terbukti memperpanjang lama remisi dan mencegah kekambuhan pada anak yang

sindrom nefrotiknya sering kambuh. Kemungkinan efek samping obat (leucopenia, infeksi varisela

tersebar, sistitis hemoragika, alopesia, sterilitas) harus dipantau pada keluarga. Dosis siklofosfamid

adalah 3 mg/kg/24 jam sebagai dosis tunggal, selama total pemberian 12 minggu, Terapi prednisone

selang sehari sering diteruskan selama pemberian siklofosfamid. Selama terapi dengan siklofosfamid,

leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah

5.000/mm3. Penderita yang resisten steroid berespons terhadap perpanjangan pemberian siklofosfamid

(3-6 bulan), bolus metil prednisolon atau siklosporin.1,9

Non-medika mentosa

Tata laksana suportif

Aktifitas bergantung keadaan umum anak, sedangkan tirah baring tidak dianjurkan kecuali

karena tirah baring potensial meningkatkan risiko thrombosis; terdapat edema anasarka dan disertai

komplikasi.9

Asupan garam dibatasi untuk pencegahan dan pengobatan edema selain mengurangi resiko

hipertensi selama pengobatan prednison. Diet rendah garam hanya pada kasus edema berat sedangkan

kalori harus adekuat, karbohidrat normal, dan relatif rendah lemak. Asupan protein diusahakan

16

Page 17: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

mencapai target 130-140% dari kebutuhan nomal harian sesuai usia atau 1-2 g/kg berat badan/hari.

Pembatasan cairan dianjurkan pada keadaan hiponatremia sedang - berat.9

Pemberian diuretik umumnya tidak diperlukan pada SNKM karena dapat memicu renjatan

hipovolemik; namun pada kasus dengan edema berat disertai kesulitan napas, boleh diberikan

furosemid oral 1-2 mg/kg/hari sesudah koreksi hipovolemia atau spironolakton 2-10 mg/kg BB/hari

bila kreatinin serum normal.9

Albumin meningkatkan tekanan onkotik dan membantu efek diuretik furosemid. Hipovolemia,

yang timbul dengan cepat akibat hilangnya proteinplasma dan dipicu oleh pemberian

diuretik,potensial menyebabkan syok pada anak dengan SNKM. Manifestasi syok meliputi nyeri

perut, akral dingin, volume nadi kurang, hipotensi, dan hemokonsentrasi. Untuk mencegah renjatan

diberikan infus albumin 0.5-1 g/kg/dosis per infuse (5mg/kg berat badan albumin 20% atau 25%)

selama 1 - 4 jam bersama dengan pemberian furosemid.9

Obat penyekat ACE seperti kaptopril sebagai pengobatan tambahan dapat mengurangi

ekskresi protein urin sebanyak 50%. Namun kegunaan jangka panjang pada anak belum terbukti

mencegah progresifitas penyakit. Obat ini jangan diberikan selama pemberian dosis awal prednisone

karena dapat menimbulkan hipotensi dan resiko trombosis.9

Hiperkolesterolemia umumnya bersifat transiendan normal kembali bila pengobatan berhasil.9

Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi pada anak dengan sindrom nefrotik antara lain infeksi dan

thrombosis arteri dan vena.3,7,8

Infeksi adalah komplikasi sindrom nefrotik utama, komplikasi ini akibat dari meningkatnya

kerentanan terhadap infeksi bakteriselama kambuh. Penjelasan yang diusulkan meliputi penurunan

kadar immunoglobulin, cairan edema yang berperan sebagai media perbiakan, defisiensi protein,

penurunan aktivitas bakterisid leukosit, terapi “imunosupresif”, penurunan perfusi limpa karena

hipovolemia, kehilangan faktor komplemen (faktor properdin B) dalam urin yang mengopsonisasi

bakteri tertentu. Belum jelas, mengapa peritonitis spontan merupakan tipe infeksi yang paling sering;

sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi saluran kemih juga dapat ditemukan. Organisme penyebab

peritonitis yang paling lazim adalah S. pneumoniae; bakteri gram-negatif juga ditemukan. Demam dan

temuan-temuan fisik mungkin minimal bila ada terapi kortikosteroid. Oleh karenanya, kecurigaan yang

17

Page 18: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

tinggi, pemeriksaan segera (termasuk biakan darah dan cairan peritoneum), dan memulai terapi awal

yang mencakup organisme gram-positif maupun gram-negatif adalah penting untuk mencegah

terjadinya penyakit yang mengancam jiwa. Bila dalam perbaikan, semua penderita yang sedang

menderita nefrosis harus mendapatkan vaksin pneumokokus polivalen.3,7,8

Komplikasi lain dapat meliputi kenaikan kecenderungan terjadinya thrombosis arteri dan vena

(setidak-tidaknya sebagian karena kenaikan kadar faktor koagulasi tertentu dan inhibitor fibrinolisis

plasma, penurunan kadar anti-trombin III plasma, dan kenaikan agregasi trombosit); defisiensi faktor

koagulasi IX, XI, dan XII; dan penurunan kadar vitamin D serum. 3,7,8

SN yang tidak diobati, dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Seperti, hipovolemia,

hipertensi, hiperlipidemia, hiperkoagulopati, terlambat tumbuh kembang, dan anemia. Asites kronis jika

tidak diobati, menyebabkan dilatasi dindning abdominal. Menyebabkan hernia umbilical, rectal prolaps,

kesulitan bernapas, nyeri skrotum, dan anasarka.5

Penderita SN berisiko tinggi mengalami infeksi, terutama dengan streptococcus pneumonia. SN

dihubungkan dengan kadar IgG yang rendah, bukan karena keluar melalui urin. Kadar IgG yang rendah,

bisa disebabkan terganggunya sintesis. Gangguan fungsi sel T, juga bisa terjadi di SN, yang

menyebabkan kerentanan terhadap infeksi. Akhirnya, yang digunakan mengobati SN, seperti

kortikosteroid dan agen alkylating, menekan system kekebalan dan meningkatkan risiko infeksi.5

Perubahan- perubahan pada status cairan, dapat menyebabkan oliguria dan peningkatan blood urea

nitrogen dan resiko terbentuknya tromboemboli. Tromboemboli sering ditemukan pada penderita SN

dan biasanya berupa deep vein thrombosis di ekstremitas, vena renalis dan vena paru dan serebral.

Risiko untuk mengalami tromboemboli disebabkan oleh keadaan hiperkoagulabilitas yang diakibatkan

penurunan inhibitor koagulase seperti antitrombim III, Protein C dan S serta plasminogen yang

terbuang lewat urin, dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan

agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).9

Selain itu, perkembangan dan pertumbuhan mengalami keterlambatan selama fase aktif SN.

Berbagai penelitian menunjukkan penyebab gangguan pertumbuhan pada anak dengan SN adalah

multifaktoral. Meliputi proteinuria, kehilangan insulin growth factor (IGF) binding protein melalui urin

yang menyebabkan kadar IGD-I dan IGF-II dalam serum menurun, depresi IGF reseptor mRNA, dan

efek pengobatan steroid.9

Anemia juga dapat terjadi akibat terbuangnya zat besi lewat urin. Serta gangguan sintesis eritropoetin.9

18

Page 19: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

Prognosis

Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan histopatologi. Prognosis

untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi

kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus

sangat baik. Karena pada kebanyakan anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2

kali relaps dalam 5 tahun dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya

30 % anak yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon

terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang dari 1%

pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh infeksi dan komplikasi

ekstra renal.12

Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental glomerulonefritis sklerosis,

yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien yang mengalamai relaps menjadi steroid

dependen atau resisten. Penyakit renal stadium akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan

30-40% dalam sepuluh tahun. Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation

mengalami remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi.

Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal isufisiensi yang

progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif glomerulonephropaty umumnya kurang

baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada

perbedaan evidence hasil antara pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini,

karena sekitar 30% pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun.12

Pencegahan

Sindoma Nefrotik sering tidak dapat dicegah, walaupun pengobatan yang adekuat terhadap

penyakit sistemik dan infeksi dapat mengurangi resiko sindroma nefrotik karena sindroma nefrotik

sekunder dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti SLE aataupun infeksi bakteri, virus, dan

parasit.10

Kesimpulan

Sindrom nefrotik merupakan kumpulan gejala yang ditandai dengan proteinuria massif disertai

dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan pitting edema yang tidak diketahui penyebabnua pada

sindrom nefrotik idiopatik. Secara epidemiologi, anak berumur kurang dari 16 tahun sering mengalami

sindrom ini dan anak laki-laki lebih sering terkena daripada anak perempuan dan terbayak pada usia 2-6

tahun. Berdasarkan etiologi dibagi menjadi dua, yaitu sindrom nefrotik primer dan sindrom nefrotik

19

Page 20: Sk6_Sindrom Nefrotik Idiopatik Pada Anak

sekunder. Pada sindrom nefrotik primer terbagi menjadi 5 yaitu: minimal change disease, diffuse

mesangial proliferative glomerulonephritis, focal segmental glomerulosklerosis, membranous

glomerulonephritis, membrano proliferative glomerulonephritis. Sedangkan sindrom nefrotik sekunder

dapat disebabkan oleh penyakit ginjal lain, infeksi dari bakteri dan virus serta pengaruh daya tahan

tubuh, obat-obat imunosupresif, penyakit sistemik, alergi dan adanya penyakit keturunan.

Daftar Pustaka

1. Bergstein JM. Nefrologi. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Ilmu

kesehatan anak Nelson. Vol.II. Edisi 15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2000. hal.

1828-32.

2. Gleadle J. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. h.254-60.

3. Pardede SO. Sindrom nefrotik infantil. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran. 2002; h.32-7, 134.

4. Markum AH, Ismael S, Alatas H, et al. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid I. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2004.h.528-67.

5. Djuanita E, Joseph E. Sindroma nefrotik patofisiologi dan penatalaksanaannya. Jakarta: Majalah

Kedokteran Damianus; 2008.h.151-8.

6. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi ke-20. Jakarta:

EGC; 2007.h.1503-7.

7. Kliegman RM, Emerson NW. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. Philadephia: Elsevier

Saunders. 2011. p.1801-6.

8. Avner ED, Harmon WE, Niaudet P. Pediatric nephrology. Springer. 2009. p. 667-91

9. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran

2006; 150: 50-3.

10. Sindrom nefrotik pada anak. Ethical Digest 2009; 67: 25-36.

11. Field M, Pollock C, Harris D. The renal system basic scienece and clinical conditions. China:

Elsevier; 2010.p.69-88.

12. Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. 6th ed, 2nd vol. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006.

20