82
A. Seven Jump 1. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut: a. RS Tipe D : Bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pelayanan terdiri dari kedokteran umum dan kedokteran gigi. Menerima pelayanan rujukan dari puskesmas. b. Insuli rapid 6-6-4 : Insulin kerja cepat dengan onset 10-15 menit. Pemberian boluls insulin pada pagi hari saat sarapan sebanyak 6 unit, siang hari saat makan siang sebanyak 6 unit, dan malam hari saat makan malam sebanyak 4 unit. c. Captopril 3x 25: Adalah obat anti hipertensi golongan ACE inhibitor dengan cara mensupresi system renin angiotensin aldosteron. Dosis awal 12,5 x 3, bila 2 minggu penurunan tekanan darah belum memuaskan maka dosis ditingkatkan menjadi 25 x 3. d. Somnolen: Kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal. e. Pemeriksaan Urin Rutin : pemeriksaan yang meliputi kimia, sedimen mikroskopis, dan makroskopis urin. f. GCS E3V4M5 : Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale ) 1. Menilai respon membuka mata (E) (4) : spontan

ske 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sken 1

Citation preview

A. Seven Jump

1. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep

Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:

a. RS Tipe D : Bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pelayanan terdiri dari kedokteran umum dan kedokteran gigi. Menerima pelayanan rujukan dari puskesmas.b. Insuli rapid 6-6-4 : Insulin kerja cepat dengan onset 10-15 menit. Pemberian boluls insulin pada pagi hari saat sarapan sebanyak 6 unit, siang hari saat makan siang sebanyak 6 unit, dan malam hari saat makan malam sebanyak 4 unit. c. Captopril 3x 25: Adalah obat anti hipertensi golongan ACE inhibitor dengan cara mensupresi system renin angiotensin aldosteron. Dosis awal 12,5 x 3, bila 2 minggu penurunan tekanan darah belum memuaskan maka dosis ditingkatkan menjadi 25 x 3.d. Somnolen: Kesadaran menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.e. Pemeriksaan Urin Rutin : pemeriksaan yang meliputi kimia, sedimen mikroskopis, dan makroskopis urin.f. GCS E3V4M5 : Secara Kuantitatif dengan GCS ( Glasgow Coma Scale )

1. Menilai respon membuka mata (E)

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon

2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

3. Menilai respon motorik (M)

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1

Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil kesimpulan :

(Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) / Somnolen(11-10) / Delirium (GCS: 9-7)/ Sporo coma (GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3))g. RefleksFisiologis: serangkaianpemeriksaanuntukmendeteksikelainanpadasystemsaraf.h. Refleks Patologis : refleks yang normal muncul pada orang yang sehat. Refleks yang muncul pada orang dengan kelainan neurologis adalah refleks patologis.

i. Pemeriksaan gas darah : pemeriksaan untuk mengukur keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida dalam darah.j. Ureum : hasil perombakan akhir dari proteink. Kreatinin : Produk limbah dari protein daging dalam makanan dan dari otot-otot tubuh. Kreatinin dibuang dari darah olehginjal. Kreatinin dalam darah danurinmeningkat bila ada gangguan ginjal.l. Bolus Insulin : 2. Langkah II: Menetapkan/mendefinisikan permasalahan

Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:

1. Bagaimana alur rujukan Pasien Gawat Darurat?

2. Mengapa pasien tidak sadar 5 jam SMRS?

3. Apa hubungan 3 hari sebelumnya pasien mual,muntah,poliuri,nyeri pinggang dan urin keruh?

4. Apa hubungan pasien tidak makan 3 hari terakhir dengan kondisi sekarang?

5. Apa hubungan riwayat pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi dengan kondisi pasien sekarang?

6. Apa hubungan jarang kontrol dan tidak suntik insulin 2 hari sebelumna dengan kondisi sekarang?

7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan lab?

8. Apa indikasi pemberian RL 2 jalur dan bolus insulin 0,1 unit/kgBB ?Bagaimana prosedurnya?

9. Apa efek terapi insulin rapid 6-6-4 dan Captopril 3x25?

10. Bagaimana penilaian pasien KGD?Bagaimana prinsip tatalaksananya?

11. Apakah pemeriksaan penunjang yang lain?

12. Bagaimana Diagnosis dan diagnosis bandingnya?

13. Komplikasi yang mungkin timbul?

14. Bagaimana prosedur Informed Consent pada pasien Gawat darurat dalam kasus ini?

15. Shock : Etiologi,jenis,dan tatalaksana (kurang lengkap,tatalaksana : Atrinda)3.III: Analisis masalahBerikut analisa dan pernyataan sementara dari masalah yang telah ditetapkan:1. Jenis-Jenis RS dan Alur Rujukan RSTipe rumah sakit rujukanBerdasarkan Permenkes RI Nomor 986/Menkes/Per/11/1992 pelayanan rumah sakit umum pemerintah Departemen Kesehatan dan Pemerintah Daerah diklasifikasikan menjadi kelas/tipe A,B,C,D dan E (Azwar,1996):

i. Rumah Sakit Kelas A

Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah, rumah sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi (top referral hospital) atau disebut juga rumah sakit pusat.

ii. Rumah Sakit Kelas B

Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis terbatas. Direncanakan rumah sakit tipe B didirikan di setiap ibukota propinsi (provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.

iii. Rumah Sakit kelas C

Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam pelayanan spesialis disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan kandungan. Direncanakan rumah sakit tipe C ini akan didirikan di setiap kabupaten/kota (regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari puskesmas.

iv. Rumah Sakit Kelas D

Rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit tipe D hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi. Sama halnya dengan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D juga menampung pelayanan yang berasal dari puskesmas.

v. Rumah Sakit Kelas E

Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus (special hospital) yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada saat ini banyak tipe E yang didirikan pemerintah, misalnya rumah sakit jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan rumah sakit ibu dan anak.

Alur Rujukan Rumah Sakit

Gambar 1. Alur Pelayanan kesehatan (BPJS, 2014)

Gambar 2. Sistemrujukanberjenjang(BPJS, 2014)

Pasien dengan kegawatdaruratan tidak menerapkan sistem rujukan untuk pertolonganpertamanya sehingga dapat ditolong meskipun pada rumah sakit (RS) tipe A (Gambar 1). Sistem rujukan pada era BPJS secara umum terbagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat pertama, kedua,dan ketiga. Tingkat pertama merupakan pelayanan primer, atau dokter umum. Tingkat kedua olehtenaga kesehatan spesialistik pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan pertama. Kemudian tingkatketiga adalah pelayanan oleh tenaga kesehatan spesialistik pada rujukan tingkat kedua.Sedangkan pada kasus yang sudah ditegakkan diagnosisnya dapat langsung menuju ke tingkatketiga (BPJS, 2014). Untuk alur rujukan rumah sakit yaitu sebagai berikut, RS tipe C dan D serta puskesmas memberikan rujukan ke RS tipe B. RS tipe B akan memberikan rujukan ke RS tipe A.Rujukan langsung ke RS tipe A juga diperkenankan untuk daerah yang memiliki kondisi geografisyang tidak baik (Kemenkes, 2014).

Gambar 3.( Sistemrujukan regional(Kemenkes, 2014)

2. Pasien tidak sadar 5 jam SMRS.

Gangguan Kesadaran

1. Penyebab Pasien Tidak Sadar

Pemantauan status kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale). Skala tersebut menggambarkan fungsi neurologis seseorang. GCS mengambarkan kerusakan di sistem saraf pusat, bukan saraf perifer.

Penyebab gangguan di SSP yang non traumatologi adalah sebagai berikut:

a. Pecahnya pembuluh darah di otak karena hipertensi atau thrombus,

sehingga terjadi peningkatan TIK.

b. Saturasi O2 yang menurun. Hal ini dapat diakibatkan oleh

obstruksi jalan nafas, keracunan inhalasi CO sehingga menyebabkan otak kekurangan O2, kemudian penurunan fungsi otak dan akhirnya tidak sadar.

c. Kelainan keseimbangan asam basa. Peningkatan maupun

penurunan pH mengganggu metabolisme dari tubuh. Hal ini dapat menyebabkan keadaan sebagai berikut.

1) Asidosis respiratorik,

Asidosis Respiratorik adalah keasaman darah yang berlebihan karena penumpukankarbondioksidadalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru yang buruk atau pernafasan yang lambat. Keadaan ini timbul akibat ketidakmampuan paru untuk mengeluarkan CO2hasil metabolisme (keadaan hipoventilasi). Hal ini menyebabkan peningkatan H2CO3 dan konsentrasi ion hidrogen sehingga menghasilkan asidosis.

Gejala yang ditimbulkan biasanya adalah meningkatnya nadi dan tingkat pernapasan, pernapasan dangkal, dyspnea, pusing, convulsi, letargi, kelemahan dan sakit kepala.

2) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan,yang ditandai dengan rendahnya kadarbikarbonatdalam darah. Asidosis metabolik dapat disebabkan oleh beberapa penyebab umum seperti :

a) Kegagalan ginjal untuk mengekresikan asam metabolik yang normalnya dibentuk di tubuh.

b) Pembentukan asam metabolik yang berlebihan dalam tubuh.

c) Penambahan asam metabolik kedalam tubuh melalui makanan

d) Kehilangan basa dari cairan tubuh (faal)

Gejala yang dialami pada keadaan ini adalah napas berbau, napas kussmaul (dalam dan cepat), letargi, sakit kepala, kelemahan dan disorientasi.

Pada penderita diabetes melitus, penderita mengalami kegagalan sekresi insulin oleh pankreas yang menghambat penggunaan glukosa dalam metabolisme. Oleh karena itu, terjadi pemecahan lemak menjadi asam asetoasetat dan asam ini di metabolisme oleh jaringan untuk menghasilkan energi, menggantikan glukosa. Pada DM yang berat kadar asetoasetat dalam darah meningkat sangat tinggi sehingga menyebabkan asidosis metabolik yang berat.

3) Alkalosis respiratorik

Alkalosis Respiratorik adalah suatu keadaan dimana darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan dalam, sehingga menyebabkan kadar karbondioksida dalam darah menjadi rendah. Penyebabnya adalah pernafasan yang cepat dan dalam disebuthiperventilasi, yang menyebabkan terlalu banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah.Penyebab hiperventilasi yang paling sering ditemukan adalah kecemasan.

4) Alkalosis metabolik

Alkalosis Metabolik adalah suatu keadaan dimana darah dalam keadaan basa karena tingginya kadarbikarbonat. Alkalosis metabolik terjadi jika tubuh kehilangan terlalu banyak asam. Sebagai contoh adalah kehilangan sejumlah asam lambung selama periode muntah yang berkepanjangan atau bila asam lambung disedot dengan selang lambung (seperti yang kadang-kadang dilakukan di rumah sakit, terutama setelah pembedahan perut).Pada kasus yang jarang, alkalosis metabolik terjadi pada seseorang yang mengkonsumsi terlalu banyak basa dari bahan-bahan seperti soda bikarbonat. Selain itu, alkalosis metabolik dapat terjadi bila kehilangan natrium atau kalium dalam jumlah yang banyak mempengaruhi kemampuan ginjal dalam mengendalikan keseimbangan asam basa darah.Penyebab utama akalosis metabolik:a) Penggunaan diuretik (tiazid, furosemid, asam etakrinat)b) Kehilangan asam karena muntah atau pengosonganlambungc) Kelenjar adrenal yang terlalu aktif (sindroma Cushingatauakibat penggunaan kortikosteroid).Keempat keadaan di atas dapat membuat pasien menjadi tidak sadar.

d. Sepsis

Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran

NoPenyebab metabolik atau sistemikKeterangan

1Elektrolit imbalansHipo- atau hipernatremia, hiperkalsemia, gagal ginjal dan gagal hati.

2EndokrinHipoglikemia, ketoasidosis diabetic

3VaskularEnsefalopati hipertensif

4ToksikOverdosis obat, gas karbonmonoksida (CO)

5NutrisiDefisiensi vitamin B12

6Gangguan metabolikAsidosis laktat

7Gagal organUremia, hipoksemia, ensefalopati hepatic

Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran

NoPenyebab strukturalKeterangan

1VaskularPerdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal bilateral

2InfeksiAbses, ensefalitis, meningitis

3NeoplasmaPrimer atau metastasis

4TraumaHematoma, edema, kontusi hemoragik

5HerniasiHerniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli

6Peningkatan tekanan intrakranialProses desak ruang

3.Hubungan tidak makan terakhir dengan kondisi sekarang

Pasien hanya makan dan minum sedikit sejak 3 hari terakhir, akibatnya tidak ada asupan glukosa yang masuk ke dalam tubuh. Tidak adanya intake glukosa menyebabkan mekanisme glikolisis tidak terjadi sehingga tubuh melakukan kompensasi berupa mekanisme glikogenolisis dan glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Walaupun kadar glukosa darah tinggi, namun glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat pasien tidak suntik insulin selama 2 hari. Kurangnya intake glukosa kedalam sel menyebabkan metabolisme sel terganggu sehingga pasien lemah dan terjadi penurunan kesadaran.

4.hubungan jarang kontrol dan tidak suntik insulin 2 hari sebelumna dengan kondisi sekarang.

Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.

Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price, 1995).

Jump IV

Menginventarisasi permasalahan-permasalahan dan membuat pernyataan secara sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan pada langkah 3.

PETA KONSEPPeta KoTrid ini ditambahin ya haha

Jump V

Merumuskan tujuan pembelajaran

1. Apa hubungan 3 hari sebelumnya pasien mual,muntah,poliuri,nyeri pinggang dan urin keruh?

2. Apa hubungan riwayat pasien Diabetes Melitus dan Hipertensi dengan kondisi pasien sekarang?

3. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan lab?

4. Apa indikasi pemberian RL 2 jalur dan bolus insulin 0,1 unit/kgBB ?Bagaimana prosedurnya?

5. Apa efek terapi insulin rapid 6-6-4 dan Captopril 3x25?

6. Bagaimana penilaian pasien KGD?Bagaimana prinsip tatalaksananya?

7. Apakah pemeriksaan penunjang yang lain?

8. Bagaimana Diagnosis dan diagnosis bandingnya?

9. Komplikasi yang mungkin timbul?

10. Bagaimana prosedur Informed Consent pada pasien Gawat darurat dalam kasus ini?

Shock : Etiologi,jenis,dan tatalaksanaJump VI

Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri)

Jump VII

Melaporkan, membahas, dan menata kemabali informasi baru yang telah diperoleh

1. Hubungan 3 hari sebelumnya pasien mual,muntah,poliuri,nyeri pinggang dan urin keruh

a. Mual dan muntah

Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus adalah gastroparesis diabetika. Gejala gastroparesis diabetika adalah mual, muntah, nyeri abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak enak di perut bagian atas, rasa terbakar di dada (heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan penurunan berat badan. Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting yang menyebabkan terjadinya gastroparesis. Fischer dkk menunjukkan bahwa hiperglikemia post prandial pada penderita diabetes menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas motorik antrum dan keterlambatan pengosongan lambung. (Sutadi, 2003).

Terjadinya keterlambatan pengosongan lambung liquid maupun solid pada penderita diabetes berkaitan dengan terjadinya penurunan aktivitas motorik lambung proksimal, penurunan kativitas motorik lambung distal berupa hipomotilitas antrum post prandial, terjadinya peningkatan aktifitas motorik pylorus serta terganggunya koordinasi dari motilitas antropyloroduodenal. Hal tersebut disebabkan karena neuropati diabetikum yang ditandai dengan adanya penurunan densitas serabut myelinated vagus dan degenerasi serabut unmyelinated. (Sutadi, 2003).

ii. Sering kencing (Poliuri)Pada penderita diabetes mellitus, kadar glukosa dalam darah meningkat, disebut keadaan hiperglikemia. Salah satu efek dari hiperglikemia adalah peningkatan ambang batas (threshold) ginjal untuk melakukan reabsorbsi sehingga terjadi glukosuria. Selanjutnya, glukosuria akan menginduksi diuresis osmotik sehingga terjadi poliuria. (Kumar et.al., 2007).

b. Nyeri pinggang dan urin keruh

Salah satu komplikasi vaskular jangka panjang diabetes mellitus adalah terjadinya nefropati diabetik. Komplikasi ini terjadi akibat adanya mekanisme pembentukan AGEs (Advanced Glycation End Products), yaitu proses perlekatan glukosa ke gugus amino bebas pada protein tanpa bantuan enzim. Mekanisme ini menyebabkan penebalan membran basal glomerulus ginjal dan menjadi bocor.

Defisiensi insulin pada diabetes mellitus menyebabkan ginjal bekarja hiperfungsi sehingga ginjal menjadi hipertrofi dan terjadi peningkatan tekanan intra kapiler glomerulus yang menyebabkan terjadinya glomeruloskerosis. Glomerulosklerosis menyebabkan gagalnya fungsi filtrasi ginjal sehingga urin menjadi keruh. Glomerulosklerosis progresif juga menyebabkan terjadinya gagal ginjal yang ditandai dengan adanya nyeri pada pinggang. (Dewi, 2012).

2. Hubungan DM-hipertensi dengan keluhan

Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak lima tahun yang lalu. Diabetes melitus yang tidak diterapi atau pada pasien yang tiba-tiba menghentikan terapi akan berakibat pada ketoasidosis diabetik. Pasien pada kasus tidak menyuntikan insulin selama dua hari sebelumnya yang merupakan faktor resiko terjadi ketoasidosis diabetik. Hal ini dikarenakan tubuh tidak dapat menghasilkan energi dari pemecahan glukosa pada pasien diabetes melitus sehingga memecah lemak sebagai kompensasinya. Hasil akhir dari pemecahan lemak adalah benda keton yang bersifat asam. Hal ini ditandai dengan pernafasan pasien yang meningkat sebagai kompensasi mengeluarkan asam pada tubuh (Sudoyo, 2009).

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan kompleks gangguan metabolik yang memiliki karakteristik hiperglikemi, ketoasidosis, dan ketonuri. KAD biasanya terjadi sebagai konsekuensi dari defisiensi insulin absolut atau relatif yang diikuti dengan peningkatan hormon kontra regulasi seperti glukagon, kortisol, growth hormone, dan epinefrin). Hormon yang tidak seimbang memperbesar glukoneogenesis hepar, glikogenolisis, dan lipolisis. Glukoneogenesis hepar, glikogenolisis sekunder sampai defisiensi insulin dan hormon kontra regulasi yang berlebih mengakibatkan hiperglikemi yang sangat buruk, sementara lipolisis meningkatkan serum asam lemak bebas. Metabolisme asam lemak bebas pada hepar sebagai sumber tenaga alternatif (ketogenesis) menyebabkan akumulasi dari asam intermediet dan metabolit akhir (seperti keton dan asam keton). Keton termasuk aseton, beta-hidroksibutirat, dan asetoasetat.

Glukoneogenesis hepar, glikogenolisis sekunder sampai defisiensi insulin, dan hormon kontra regulasi yang berlebih menyebabkan hiperglikemi yang sangat buruk, sementara lipolisis meningkatkan serum asam lemak bebas. Badan keton diproduksi dari asetil koenzim A terutama pada mitokondria dengan hepatosit ketika penggunaan karbohidrat terganggu karena defisiensi insulin relatif atau absolut, seperti energi yang didapat dari metabolisme asam lemak.Tingginya kadar asetil koenzim A pada sel menghambat dehidrogenase pituvat kompleks, tetapi karboksilasi piruvat telah aktif. Sehingga, oksaloasetat dihasilkan melalui glukoneogenesis daripada siklus asam sitrat, akhirnya juga dihambat oleh kadar nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) yang tinggi yang dihasilkan dari beta-oksidasi berlebih dari asam lemak, yang merupakan konsekuensi lain dari resistensi insulin/defisiensi insulin.

Asetil koenzim A yang berlebih akan masuk ke jalur ketogenesis. Ketoon termasuk aseton, beta-hidroksibutirat, dan asetoasetat. Peningkatan konsentrasi darah yang progresif dari subtansi asam organik ini menyebabkan keadaan awal dari ketonemi, walaupun ekstraselular dan intraselular penyangga tubuh dapat membatasi ketonemi pada tahap awal, yang direfleksikan oleh pH arteri normal berhubungan dengan defisit dasar dan gap anion ringan. Ketika akumulasi keton berlebih pada kapasitas tubuh untuk ekstraksi, mereka mengalir melalui urin (seperti ketonuri). Jika situasi tidak diobati secara tepat, akumulasi dari asam organik semakin besar yang menyebabkan asidosis metabolik (seperti ketoasidosis), dengan tanda penurunan pH dan kadar serum bikarbonat.

Kompensasi pernafasan dari kondisi asidosis menyeabkan pernafasan dangkal (pernafasan Kussmaul). Beta-hidroksibutirat meningkatkan nausea dan muntah yang menyebabkan perburukan cairan dan kehilangan elektrolit yang terjadi pada KAD. Selain itu, aseton memproduksi fruity breath odor yang merupakan karakteristik dari pasien ketotik. Hiperglikemi, diuresis osmotik, serum hiperosmolaritas, dan metabolik asidosis menyebabkan gangguan berat elektrolit. Hal ini dikarakteristikkan sebagai kehilangan cairan kalium. Kehilangan ini tidak berpengaruh pada kadar serum kalium, mungkin rendah atau mungkin tinggi. Kehilangan kalium dikarenakan berpindahnya kalium dari intraselular ke ruang ekstraselular dan bertukar dengan ion hidrogen sehingga terakumulasi pada ekstraselular pada asidosis. Kalium yang terdapat pada ekstraselular hilang dan terdapat pada urin akibat diuresis osmotik. Pasien dengan hipokalemi biasanya memiliki kadar kalium tubuh yang buruk dan mengalami deplesi kalium.

Tingginya osmolaritas serum juga menyebabkan air berpindah dari intraselular ke ruang ekstraselular, sehingga terjadi hiponatremi dilusional. Sodium juga hilang dan terkandung pada urin selama diuresis osmotik. Secara keseluruhan elektrolit hilang, termasuk 200-500 mEq/L dari kalium, 300-700 mEq/L dari sodium dan 350-500 mEq/L dari klorida. Kombinasi efek dari dehidrasi hiperosmolaritas serum dan asidosis menyebabkan peningkatan osmolaritas pada sel otak sehingga terjadi manifestasi klinis seperti perubahan tingkat kesadaran. Beberapa gangguan patofisiologi pada KAD biasanya dapat langsung terdeteksi oleh klinisi dan perlu pengobatannya perlu diawasi. Perhatian yang mendalam pada data laboratorium dapat mendeteksi asidosis dan hiperglikemi, sama seperti pencehajan dari komplikasi potensial letal seperti hipoglikemi, hiponatremi, dan hipokalemi (Raghavan et al., 2014).

Pada pasien diabetes melitus juga terjadi penurunan sistem imun dimana sel polimorfonuklear mengalami penurunan mobilisi dan kemotaksis sehingga tidak dapat menjalani fungsi nya dengan maksimal. Pada penderita diabetes melitus juga mengalami penurunan jumlah sel monosit juga kemampuan deteksi terhadap membran mikroorganisme menurun. Hal ini mengurangi kemampuan fagosit dari monosit (Manaf, 2008).

3. Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium1. Keadaan umuma. Somnolen : merupakan salah satu hasil pemeriksaan kesadaran secara kualitatif. Pasien dalam keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri. Pada alloanamnesis, pasien bisa dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak menyambung.

b. GCS (Glasgow Comma Scale) : merupakan pemeriksaan kesadaran secara kuantitatif. E (eye) 3: membuka mata dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata), V(verbal) 4: bingung; berbicara mengacau (sering berulang-ulang); disorientasi tempat dan waktu, M (motoric) 5: melokalisasi nyeri (menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri).

2. Tanda vitala. Tekanan darah 80/40 mmHg: hipotensi

b. Suhu 38oC

: demam

c. RR 32 kali/menit

: takipneu

d. Nadi 128 kali/menit

: takikardi

Berdasarkan tekanan darah dan denyut nadi, pasien mengalami syok derajat III.

3. Rhonki di kedua lapang paru (-)

Auskultasi pada kedua lapang paru tidak ditemukan bunyi napas tambahan rhonki. Bila ditemukan rhonki, maka ada sekret dalam saluran nafas yang besar, misalnya pada syok kardiogenik atau pada pasien pneumonia.

4. Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis (-)

Refleks fisiologis merupakan refleks yang normal pada orang sehat, sedangkan refleks patologis ditemukan pada orang yang mengalami gangguan pada sistem sarafnya..

ii. Pemeriksaan laboratorium

1. Hb 13 g %

: normal (N : 13-18 g %)

2. Leukosit 25.000 / mm3 : leukositosis (N : 4.000-11.000)

3. Trombosit 350.000 / mm3 : normal (N : 150.000-400.000)

4. GDS 600 mg / dL

: hiperglikemia (N : 140-200 mg / dL )

5. Ureum 60 mg / dL

: hiperurisemia (N : 15-40 mg / dL )

6. Kreatinin 1,0mg / dL : normal (N : 0,5-1,5 mg / dL)

7. Kalium 4,5 mmol / L

: normal (N : 3,5-5,0 mg / dL)

Berdasarkan hasil pemeriksaan ureum yang naik dan kreatinin normal, maka pasien menderita gangguan prerenal, gangguan tersebut diakibatkan oleh gangguan pembuluh darah sebelum masuk ke ginjal. Gula darah sewaktu tinggi karena penderita jarang kontrol dan dua hari sebelumnya tidak suntik insulin. Selain itu, pemeriksaan urin rutin dan gas darah masih menunggu hasil. Kedua pemeriksaan ini dilakukan karena sesuai dengan kondisi pasien, di mana salah satu indikasi pemeriksaan gas darah adalah pada pasien dengan syok dan pemeriksaan urin dilakukan karena pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol serta hasil pemriksaan leukosit tinggi dengan adanya kemungkinan infeksi saluran kemih.

Pemerksaan lab

perbedaan hasil lab antara DKA dan HHNK:

PembedaDKAHHNK

RinganSedangBerat

Glukosa Plasma (mg/dL)>250>250>250>600

pH arteri7.25 7.307.00 7.247.30

Bikarbonat serum (mEq/L)15 1810 14< 10>15

Keton urin-serum+++-

Osmolaritas serum (mOsm/kg)BervariasiBervariasiBervariasi>320

Anion Gap>10>12> 12Bervariasi

KesadaranSadarSadar, somnolenStupor, komaStupor, koma

b. Prosedur pemeriksaan reflex fisiologis dan reflex patologis

i. Refleks fisiologis

1. Refleks Biceps : Pasien dalam keadaan duduk dan relaks. Lengan pasien harus relaks dan sedikit ditekuk pada siku dengan telapak tangan mengarah ke bawah. Letakkan siku padien dalam lengan/tangan pemeriksa. Letakkan ibu jari pemeriksa untuk menean tendon biceps pasien. Dengan menggunakan palu refleks, pukul ibu jari anda (yang menekan tendon tadi) untuk memunculkan refleks biceps. Reaksi pertama adalah kontraksi dari otot biceps dan kemudian fleksi pada siku.

2. Refleks Triceps : Pasien diminta untuk duduk dalam posisi yang relaks. Letakkan lengan pasien pada lengan/tangan pemeriksa. Posisi pasien sama seperti saat pemeriksaan refleks biceps. Pasien diminta untuk me-relaks-kan lengannya. Saat lengan pasien sudah benar-benar relaks, pukul tendon triceps yang melalui fossa olecranii. Reaksinya adalah kontraksi otot triceps dan sedikit terhentak. Rekasi ini dapat terlihat ataupun dirasakan oleh lengan pemeriksa yang menahan lengan pasien.

3. Refleks Patella : Pasien duduk dengan posisi tungkai menggantung. Lakukan palpasi pada sisi kanan dan sisis kiri tendon patella. Tahan daerah distal paha dengan menggunakan satu tangan, sedangkan tangan yang lain memukul tendon patella untuk memunculkan refleks. Tangan pemeriksa yang menahan bagian distal paha akan merasakan kontraksi otot quadriceps dan pemeriksa mungkin dapat melihat gerakan tiba-tiba dari tungkai bagian bawah.

4. Refleks Achilles : Pasien diminta untuk duduk dengan satu tungkai menggantung, atau berbaring dengan posisi supine, atau berdiri dengan bertumpu pada lutut dimana bagian bawah tungkai dan kaki berada di luar meja pemeriksaan. Tegangkan tendon achilles dengan cara menahan kaku di posisi dorsofleksi. Pukul tendon Achilles dengan ringan dan cepat untuk memunculkan refleks Achilles yaitu fleksi kaki yang tiba-tiba.

ii. Refleks patologis

1. Reflek hoffmann tromer : Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal, sedangkan unilateral hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .

2. Grasping reflek : Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibu jari dan telunjuk penderita. Maka timbul genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa, maka kemungkinan terdapat lesi di area premotorik cortex.

3. Reflek palmomental : Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.

4. Reflek snouting / menyusu : Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularos oris, maka akan menimbulkan reflek menyusu. Menggaruk bibir dengan tingue spatel maka akan timbul reflek menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.

5. Mayer reflek : Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, cecara firmly normal akan timbul adduksi dan aposisi dai ibu jari. Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.

6. Reflek Babinski : Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral, orang noramla akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih ada.

7. Reflek Oppenheim : Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk dan tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek seperti babinski

8. Reflek gordon : Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius . jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski

9. Reflek schaefer : Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski

10. Reflek chaddock : Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski

11. Reflek Rossolimo : Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari kaki.

12. Reflek Mendel-Bacctrerew : Pukulan telapak kaki bagian depan akan memberikan respon fleksi jari-jari kaki

4. Indikasi pemeriksaan urin rutin dan analisa gas darah

a. Pemeriksaan urin rutin

Pemeriksaan urin rutin meliputi pemeriksaan kimia (berat jenis, pH, leukosit esterase, nitrit, albumin, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, darah), sedimen mikroskopis (eritrosit, leukosit, silinder, epitel sel, bakteri, kristal), dan makroskopis (warna dan kejernihan (OCallaghan, 2009Indikasi dilakukannya pemeriksaan urin rutin yaitu:

i. Mendiagnosis dan memantau kelainan ginjal/saluran kemih termasuk kecurigaan dan pemantauan infeksi saluran kemih (ISK)

ii. Mendeteksi penyakit metabolik dan sistemik

b. Analisa gas darah

Pemeriksaan gas darah meliputi PO2, PCO2, pH, HCO3, dan saturasi O2. Pemeriksaan ini dapat berguna untuk mengevaluasi fungsi pernapasan, seperti adanya hipoksia dan keseimbangan asam-basa pada darah. Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :

i. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik, seperti bronchitis kronis dan emfisema

ii. Pasien dengan edema pulmo

iii. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)

iv. Infark miokard

v. Pneumonia

vi. Pasien syok

vii. Post pembedahan coronary arteri baypass

viii. Resusitasi cardiac arrest

2. Informed consent, medikolegal dan etik pada kasus kegawatan

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik, pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1) dijelaskan bahwa Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No 209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) Dalam hal dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat. Hal ini berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

3. Kriteria kasus kegawatdaruratan

Menurut BPJS (2014), kriteria kegawatan sesuai indikasi medis, yaitu:

1. Kecelakaan/Ruda Paksa yang bukan kecelakaan kerja, contoh kasus: Trauma kepala, patah tulang terbuka/tertutup, luka robekan/sayatan pada kulit/otot

2. Serangan jantung, contoh kasus: henti irama jantung, irama jantung yang abnormal, nyeri dada akibat penyempitan/penutupan pembuluh darah jantung

3. Panas tinggi diatas 39 derajat Celsius atau disertai kejang demam, contoh kasus: kejang demam

4. Perdarahan hebat, contoh diagnosis: Trauma dengan perdarahan hebat, muntah/berak darah, abortus (keguguran) , Demam Berdarah Dengue Grade dengan komplikasi perdarahan

5. Muntaber disertai Dehidrasi sedang s/d berat, contoh kasus: Kholera, Gastroenteritis akut dengan dehidrasi sedang/berat, mual dan muntah pada ibu hamil disertai dehidrasi sedang/berat

6. Sesak Napas, contoh kasus: Asma sedang/berat dalam serangan, infeksi paru berat

7. Kehilangan kesadaran, contoh kasus: Ayan/epilepsy, Syok/pingsan akibat kekurangan cairan, gangguan fungsi jantung, alergi berat, infeksi berat

8. Nyeri kolik, contoh kasus: kolik abdomen, kolik renal, kolik ureter, kolik uretra

9. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa

Kegawatdaruratan dalam Skenario dan Diagnosis Banding

a. KAD (Ketoasidosis Diabetik)

KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang berlebihan. Sindroma ini ditandai dengan triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Criteria diagnostic untuk KAD adalah pH arterial < 7.3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glukosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia dan ketonuria moderate.

b. SHH (Status Hiperosmolar Hiperglikemik)

SHH adalah keadaan yang ditandai dengan hiperosmolaritas berat dengan kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni. SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia ekstrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dehidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Nilai normal osmolalitas serum adalah 290 5 mOsm/kg air. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan metode nitropusid pada dilusi 1:2, bikabonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial > 7.3. Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat daripada KAD; kadar glukosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat. (Mansjoer, 2000)

Untuk diagnosis pasti dalam skenario, masih harus menunggu hasil pemeriksaan gas darah dan urin rutin. Penilaian Pasien Gawat Darurat dalam Skenario

Syok hipovolemik bias terjadi karena kehilangan cairan dan elektrolit seperti diare, muntah, keringat yang berlebihan, keadaan hiperosmolar (Ketoasidosis diabetic, koma hiperosmolar non ketotik). Manifestasi klinis syok adalah tekanan darah sistemik rendah dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau lebih dari 10 % dibawah tekanan darah yang telah diketahui, hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianonis, status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma, oligouria atau anuria dan asidosis metabolic (Mansjoer et al., 2000).

Pemeriksaan pada Kasus Gawat Darurat

Departemen kegawatdaruratan harus menentukan pemeriksaan apa yang harus dilakukan sebagai pemeriksaan dasar dan pemeriksaan yang dibutuhkan tetapi tidak memerlukan analisis yang cepat. Contoh pemeriksaan yang dibutuhkan sebagai pemeriksaan dasar pada departemen kegawatdaruratan adalah pemeriksaan darah lengkap, kreatinin fosfokinase total, elektrolit, glukosa, amilase, kalsium, analisis gas darah, dan skrining toksikologi dasar yang terdiri dari aspirin, asetaminofen, fenitoin, dan kadar etanol. Pemeriksaan lain yang dapat dipertimbangkan sebagai pemeriksaan dasar adalah kadar digoksin dan fenobarbital, kreatinin fosfokinase (CPK-MB), karbon monoksida, dan mengukur saturasi oksigen. Ketika menentukan pemeriksaan apakah yang harus dilakukan sebagai pemeriksaan dasar atau tidak harus mempertimbangkan beberapa hal seperti (Hardin, 1996) :

Manfaat potensial untuk pasien

Apakah hasil segera dari pemeriksaan bisa mengubah rencana pengobatan

Biaya dari pemeriksaan yang dilakukan

Sumber daya yang tersedia pada departemen kegawatdaruratan seperti dokter jaga

Standar pelayanan yang diterapkan

Ketersediaan dari beberapa pemeriksaan atau prosedur pada tempat pelayanan kesehatan tersier (jika departemen kegawatdaruratan merupakan bagian dari fasilitas komunitas kecil)

Aspek medikolegal

Prinsip Penanganan Kasus Gawat Darurat Non Trauma Berdasarkan Triage dan Guidline AHA

Penilaian triage dapat menggunakan metode START (Simple, Triage, Rapid, Treatment) seperti skema di bawah ini:

5.Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat dalam Skenario

Captopril

A. FarmakodinamikACE inhibitor memiliki mekanisme aksi menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi dan mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron. Oleh karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin maka ACE inhibitor menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxide. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari ACE inhibitor.B. Farmakokinetik

Captopril diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral dengan bioavaliabilitas 70 75 %. Pemberian bersama makanan mengurangi absorbsi sekitar 30% maka diberikan 1 jam sebelum makan. Captopril mengalami metabolisme di hati dan eliminasi melalui ginjal.C. Indikasi

1. Hipertensi esensial (ringan sampai sedang) dan hipertensi yang parah.

2. Hipertensi berkaitan dengan gangguan ginjal (renal hypertension).

3. Diabetic nephropathy dan albuminuria.

4. Gagal jantung (Congestive Heart Failure).

5. Postmyocardial infarction

6. Terapi pada krisis scleroderma renal.D. Kontraindikasi

1. Hipersensitif terhadap ACE inhibitor.

2. Kehamilan.

3. Wanita menyusui.

4. Angioneurotic edema yang berkaitan dengan penggunaan ACE inhibitor sebelumnya.

5. Penyempitan arteri pada salah satu atau kedua ginjal.E. Dosis

1. Dosis inisial : 6,25-12,5mg 2-3 kali/hari dan diberikan dengan pengawasan yang tepat. Dosis ini perlu ditingkatkan secara bertingkat sampai tercapai target dosis.2. Target dosis : 50mg 3 kali/hari (150mg sehari)F. Efek samping

1. Batuk kering

2. Hipotensi

3. Pusing

4. Disfungsi ginjal

5. Hiperkalemia

6. Angioedema

7. Ruam kulit

8. Takikardi

9. ProteinuriaINSULIN2. Definisi

Insulin adalah hormon alami yang dikeluarkan oleh pankreas.Insulin dibutuhkan oleh sel tubuh untuk mengubah dan menggunakan glukosa darah (gula darah), dari glukosa, sel membuat energi yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsinya. Pasien diabetes mellitus (kencing manis) tidak memiliki kemampuan untukmengambil dan menggunakan gula darah, sehingga kadar gula darah meningkat. Pada diabetes tipe I, pancreas tidak dapat memporduksi insulin.Sehingga pemberian insulin diperlukan.Pada diabetes tipe 2, pasien memproduksi insulin, tetapi sel tubuh tidak meerespon insulin dengan normal.Namun demikian, insulin juga digunakan pada diabetes tipe 2 untuk mengatasi resistensi sel terhadap insulin. Dengan peningkatan pengambilan glukosa oleh sel dan menurunnya kadar gula darah, akan mencegah dan mengurangi komplikasi lebih lanjut dari diabetes, seperti kerusakan pembuluh darah, mata, ginjal, dan saraf. Insulin diberikan dengan cara disuntikan di bawah kulit (subkutan). Jaringan subkutan perut adalah yang terbaik karena penyerapan insulin lebih konsistendisbanding tempat lainnya.Terdapat banyak bentuk insulin. Insulin dikasifikasikan berdasarkan dari berapa cepat insulin mulai bekerja dan berapa lama insulin bekerja (Handoko and Suharto, 2004).

3. Tipe Insulin

Tipe insulin terdiri dari :

a. Aksi cepat (rapid acting)

b. Aksi pendek short acting)

c. Aksi menengah (intermediate acting)

d. Aksi lama (long-acting)

e. Campuran (Pre-mixed) (Handoko and Suharto, 2004).

4. Penggunaan Insulin

Pemilihan tipe insulin tergantung pada beberapa factor, yaitu :

a. Respon tubuh individu terhadap insulin (berapa lama menyerap

insulin ke dalam tubuh dan tetap aktif di dalam tubuh sangat bervariasi dari setiap individu)

b. Pilihan gaya hidup seperti : jenis makanan, berapa banyak

konsumsi alcohol, berapa sering berolah raga, yang semuanya mempengaruhi tubuh untuk merespon insulin.

c. Berapa banyak suntikan per hari yang ingin dilakukan.

d. Berapa sering melakukan pengecekan kadar gula darah.

e. Usia

f. Target pengaturan gula darah (Soegondo S, 2004).

Masih terdapatnya beberapa kendala penggunaan insulin sering menyebabkan keterlambatan kendali glukosa darah yang baik bagi pasien Diabetes mellitus. Menurut Gklinis (2004), Pasien DM Tipe 2 (DMT2) yang memiliki control glukosa darah yang tidakbaik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal. Insulin yang diberikan lebih dini dan dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas.Hal tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pancreas.Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel, menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian, secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis.

Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes mellitus tipe 1 (DMT1), namun demikian pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1. Terapi insulin pada DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c > 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl), riwayat pankreatektomi atau disfungsi pancreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidodis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.

Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi harian multiple dengan tujuan mencapai kendali kadar gluksa darah yang baik. Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan menggunakan pompa insulin (continous subcutaneous insulin infusion,CSII). Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2.

Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik, Hb (A1C>7,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin. Pada keadaan tertentu dimana kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glukosa darah puasa > 250mg/dl, kadar glukosa darah acak menetap > 300mg/dl, Hb A1C > 10 %, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu, terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuri, polifagia pan penurunan berat badan).Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DMT1 atau DMT2dengan defisiensi insulin yang berat.Apabila gejala hilang, obatanti diabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Seperti telah diketahui, pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan demikan bahwa hakikat pengobatan DM adalah menurunkan kadar glukosa darah baik puasa maupun setelah makan.

Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal, selain insulin prandial, merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glukosa darah basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut turun. Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja panjang secara subkutan.

Idealnya, sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian, terapi insulin yang diberikan dapat bervariasi sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, namun prinsip dasarnya adalah sama ; yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insulin basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis (Soegondo S, 2004)4. Indikasi pemberian infus ringer laktat dan bolus insulina. Infus ringer laktat

Tujuan dari resusitasi cairan adalah mempertahankan distribusi oksigen ke jaringan. Besar volum cairan yang hilang serta jenis cairan yang digunakan mempengaruhi jumlah cairan yang diberikan. Perbandingan cairan kristaloid dengan volum cairan yang hilang adalah 3:1. Sedangkan perbandingan cairan koloid dengan volum cairan yang hilang adalah 1:1. Lebih dianjurkan cairan yang diberikan ialah garam seimbang seperti Ringers laktat (RL) 2-4 L dalam 20-30 menit.Indikasi penggantian cairan:

PerdarahanTiap 1 mL darah yang hilang digantikan dengan 3 mL cairan kristaloid isotonis seimbang atau 1 mL cairan koloid/darah

Third space lossesDigantikan dengan cairan kristaloid isotonis seimbang (contoh: Ringer Laktat)

Keringat berlebihanDigantikan dengan D5W NS dengan 5 mEq KCl/L

Gastric and colonic lossesDigantikan dengan D5W NS dengan 30 mEq KCl/L

Bile, pancreas, and small bowel lossesDigantikan dengan cairan kristaloid isotonis seimbang (contoh: Ringer Laktat)

b. Bolus insulin

Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka membutuhkan terapi insulin yang diberikan secara infus intravena, misalnya pada pasien kritis/akut, seperti :

-hiperglikemia gawat darurat

-infark miokard akut

-stroke

-fraktur

-infeksi sistemik

-syok kardiogenik

-pasien transplantasi organ

-edema anasarka

-kelainan kulit yang luas

-persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi,-pasien pada periode perioperatif.7. Diagnosis banding

a. Syok

i. Pengertian

Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Shock juga didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah yang bersirkulasi secara efektif.

ii. Tipe syok

Syok secara klasik dibagi menjadi tiga katagori, yaitu kardiogenik, hipovolemik, dan distributif syok. Syok kardiogenik terjadi apabila jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Disfungsi dapat terjadi pada saat sistole atau diastole atau dapat merupakan akibat dari obstruksi. Kegagalan sistole atau pengaliran darahdapat diakibatkan oleh kardiomiopati terkembang (dilated cardiomyopathy) yang menyebabkan buruknya kontraktilitas, atau toksin/obat yang menyebabkan depresi atau kerusakan miokardium. Kegagalan diastole atau pengisian jantung dapat diakibatkan oleh kardiomiopati hipertropik yang mengakibatkan buruknya preload, regurgitasi seperti pada cacat katup, tamponad atau fibrosis perikardiaum yang mengakibatkan rendahnya preload, atau aritmia parah yang mengakibatkan buruknya preload dan kontraktilitas takefisien.

Syok hipovolemik terjadi apabila ada defisit volume darah 15%, sehingga menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen dan nutrisi ke jaringan dan penumpukan sisa-sisa metabolisme sel. Berkurangnya volume intravaskular dapat diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik, misalnya karena oligemia, hemoragi, atau kebakaran.

Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi aliran darah karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan. Vasodilatasi perifer menimbulkan hipovelemia relatif. Contoh klasik dari syok distributif adalah syok septik. Akan tetapi, keadaan vasodilatasi akibat faktor lain juga dapat menimbulkan syok distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis, syok neurogenik, dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS). Syok septik merupakan komplikasi umum yang dijumpai pada praktik hewan kecil dan dilaporkan merupakan penyebab kematian yang paling umum pada unit perawatan intensif bukan kardium.Tipe-tipe syok tersebut bervariasi dalam etiologi, tanda klinik, dan penanganan. Seringkali terjadi lebih dari satu tipe syok pada seekor pasien; hewan yang mengalami syok distributif juga akan mengalami hipovolemi. Syok distributif dan hipovolemik dapat menimbulkan syok kardiogenik.

iii. Etiologi

Etiologi spesifik dari syok tidak diketahui, tetapi syok dapat terjadi karena stres yang serius, misalnya karena trauma yang hebat, kegagalan jantung, perdarahan, terbakar, anestesi, infeksi berat, obstruksi intestinal, anemia, dehidrasi, anafilaksis, dan intoksikasi.

iv. Tanda Klinis

Tanda klinik syok bervariasi tergantung pada penyebabnya. Secara umum, tanda kliniknya dapat berupa apatis, lemah, membrana mukosa pucat, kualitas pulsus jelek, respirasi cepat, temperatur tubuh rendah, tekanan darah rendah, capillary refill time lambat, takikardia atau bradikardia (kucing), oliguria, dan hemokonsentrasi (kecuali pada hemoragi). Tekanan arteri rendah, membrana mukosa pucat, capiilarity refill time (CRT) lambat (>2 detik), temperatur rektal rendah atau normal, takipnea, dan ekstremitas terasa dingin merupakan tanda klinik syok kardiogenik dan hipovolemik. Untuk membedakan syok kardiogenik dengan syok hipovolemik dibutuhkan anamnesis lengkap dan evaluasi jantung.

Pasien yang mengalami syok septik awal, membrana mukosanya mungkin masih merah, CRT cepat (2 detik), pulsus menjadi lemah, dan ekstremitas menjadi dingin. Gambaran unik terjadi pada syok distributif pada kucing yang seringkali menunjukkan bradikardia daripada tekikardia

v. Penatalaksanaan

Tujuan penanganan syok tahap awal adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi jaringan dengan mengembalikan volume dan tekanan darah. Pada syok tahap lebih lanjut, pengembalian perfusi jaringan saja biasanya tidak cukup untuk menghentikan perkembangan peradangan sehingga perlu dilakukan upaya menghilangkan faktor toksik yang terutama disebabkan oleh bakteri. Pemberian oksigen merupakan penanganan yang sangat umum, tanpa memperhatikan penyebab syok. Terapi lainnya tergantung pada penyebab syok.

Terapi cairan merupakan terapi yang paling penting terhadap pasien yang mengalami syok hipovolemik dan distributif. Pemberian cairan secara IV akan memperbaiki volume darah yang bersirkulai, menurunkan viskositas darah, dan meningkatkan aliran darah vena, sehingga membantu memperbaiki curah jantung. Akibat selanjutnya adalah meningkatkan perfusi jaringan dan memberikan pasokan oksigen kepada sel. Terapi awal dapat berupa pemberian cairan kristaloid atau koloid. Pada hewan yang mengalami hipovolemik dengan fungsi jantung normal, cairan Ringer laktat atau Ringer asetat diberikan dengan cepat. Dosis yang direkomendasikan untuk syoktersebut harus dihentikan. Perikardiosentesis harus dilakukan jika efusi perikardium cukup banyak dan menyebabkan tamponad.

Pada syok distributif apabila hipotensi tetap terjadi walaupun telah dilakukan terapi cairan yang cukup maka dibutuhkan pemberian vasopresor. Oleh karena curah jantung dan tahanan pembuluh darah sistemik mempengaruhi penghantaran oksigen ke jaringan, maka pada pasien hipotensi harus dilakukan terapi untuk memaksimalkan fungsi jantung dengan terapi cairan dan obat inotropik, dan/atau memodifikasi tonus pembuluh darah dengan agen vasopresor. Penggunaan glukokortikoid untuk menangani syok masih kontroversial. Namun apabila digunakan, glukokortikoid harus digunakan pada penanganan awal dan tidak diulang penggunaannya. Prednisolon direkomendasikan pada dosis 22-24 mg/kg secara IV. Glukokortikoid kerja cepat (rapid-acting glucocorticoid) yang lain yang tersedia dalam bentuk parenteral adalah deksametason sodium fosfat, direkomendasikan pada dosis 2-4 mg/kg secara IV.

b.Syok sepsis

vi. PengertianSepsis atau syok septik adalah sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) sekunder terhadap infeksi yang terjadi. Respons yang terjadi adalah keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi arteri persisten meskipun resusitasi cairan yang cukup atau dengan hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat > 4 mg / dL) yang disebabkan oleh penyebab lain (Kalil, 2014).

vii. Tanda dan Gejalaa. Demam, menggigil, atau kaku (rigor)

b. Kebingungan

c. Kegelisahan

d. Kesulitan bernapas

e. Kelelahan, malaise

f. Mual dan muntah

viii. DiagnosisDiagnosis ditegakkan dengan tanda klinis dan pemeriksaan penunjang, meliputi:a. Hitung darah lengkap dengan diferensial

b. Pemeriksaan koagulasi (misalnya, waktu protrombin [PT], waktu tromboplastin parsial teraktivasi [aPTT], kadar fibrinogen)

c. Kimia darah (misalnya, natrium, klorida, magnesium, kalsium, fosfat, glukosa, laktat)

d. Tes fungsi ginjal dan hati (misalnya, kreatinin, nitrogen urea darah, bilirubin, alkaline phosphatase, alanine aminotransferase, aspartat aminotransferase, albumin, lipase)

e. Kultur darah

f. Kultur urin

g. Pewarnaan Gram dan kultur sekret dan jaringan (Kalil, 2014).

ix. Penatalaksanaan

Pasien dengan sepsis, sepsis berat, dan syok septik membutuhkan perawatan inap ke rumah sakit. Perawatan awal termasuk bantuan pernapasan dan fungsi peredaran darah, bantuan oksigen, ventilasi mekanis, dan infus. Pengobatan pasien dengan syok septik memiliki tujuan utama sebagai berikut :

a. Mulai dengan antibiotik yang memadai (spektrum dan dosis yang tepat) sedini mungkin.

b. Menyadarkan pasien dari syok septik dengan menggunakan langkah-langkah dukungan untuk memperbaiki hipoksia, hipotensi, dan gangguan oksigenasi jaringan (hipoperfusi).

c. Mengidentifikasi sumber infeksi dan mengobati dengan terapi antimikroba, operasi, atau keduanya (kontrol sumber).

d. Mempertahankan fungsi sistem organ yang memadai, dipandu oleh pemantauan kardiovaskular , dan menghambat perkembangan sindrom disfungsi beberapa organ (multiple organ dysfunction syndrome [MODS]) (Kalil, 2014).

c. Hipertensi

i. PengertianMenurut JNC VII (2003), hipertensi adalah keadaan dimana tekanan darah 140/90 mmHg. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam tabel berikut:

KlasifikasiSistoleDiastole

Normal< 120< 80

Prehipertensi120 13980 89

Hipertensi

Derajat I

Derajat II140 159

16090 99

100

ii. EtiologiBerdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 Yaitu :

a. Hipertensi primer / Hipertensi esensial yang (tidak diketahui penyebabnya) disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 % kasus. Faktor yang mempengaruhuinya seperti : genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi na, peningkatan na dan ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti obesitas, alkohol, dan merokok.

b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat 5 % kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penyakit ginjal (stenosis arteri renalis, pielonefritis, glomerulonefritis, tumor-tumor ginjal, penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan), trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal), terapi penyinaran yang mengenai ginjal, penggunaan estrogen, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom cushing, preeklamsi pada kehamilan, dll.

iii. PatogenesisTekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer. Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meningkat, tahanan perifer normal, disebabkan peningkatan aktifitas simpatik. Tahap selanjutnya, curah jantung kembali normal sedangkan tahanan perifer meningkat (ini disebabkan refleks autoregulasi, yaitu : mekanisme tubuh mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal). Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui beberapa cara:

Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak cairan pada setiap detiknya Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku, sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan. (arteriosklerosis ). Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.iv. Penegakan diagnosis Hipertensi ditegakkan dengan dua kali atau lebih pengukuran pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang tinggi atau gejala-gejala klinis

Pengukuran tekanan darah darah dilakukan dalam keadaan pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit

Anamnesis : Lama menderitanya, riwayat dan gejala penyakit-penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal jantung, riwayat penyakit dalam keluarga, kebiasaan seperti merokok, makanan, pemakaian obat bebas, hasil antihipertensi sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan ( keluarga, pekerjaan, dll )

v. Penatalaksanaan Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan

Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 90 mmHg dan mengontrol faktor risiko. Hal ini dapat dicapai melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat anti hipertensi.

Langkah-langkah yang dianjurkan dalam modifikasi gaya hidup:

1. Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks massa tubuh 27)

2. Membatasi alkohol

3. Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)

4. Mengurangi asupan natrium ( < 100 mmol Na / 2,4 g Na / 6 g NaCl / hari)

5. Mempertahankan asupan kalium yang adekuat ( 90 mmol / hari )

6. Mempertahankan asupan kalsium dan dan magnesium yang adekuat

7. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan

Penatalaksanaan farmakologi dimulai dengan dosis terendah dan menggunakan obat kombinasi dari golongan berbeda, yaitu:

1. Diuretik: menurunkan volume ekstraselular dan plasma sehingga menurunkan curah jantung. Dosis : Tiazid 20-50 mg, 1-2 kali sehari

2. Vasodilator : Hidralazin 10-25 mg setiap hari

3. Penghambat Enzim konversi angiotensin : Kaptopril, Enapril. 2 x 12.5 mg, 3 x 25 - 50 mg

4. Penyekat Beta : Propanolol, Metropolol, dll

Krisis Hipertensi

a. Hipertensi emergensi/emergency hipertension (darurat)

Ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari organ sasaran yang bersifat progresif yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut. Tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) dengan obat antihipertensi parenteral, keterlambatan pengobatan akan menyebebabkan timbulnyasequeleatau kematian. Penderita perlu dirawat di ruanganintensive care unit.

Kerusakan yang dapat terjadi antara lain :1) Neurologik : Encephalopati Hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral atau subdural) atau iskemik, papil edema.

2) Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung dengan edema peru, diseksi aorta.

3) Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.

4) Mikroangiopati : anemia hemolitik.

5) Preeklampsia dan eklampsia (Sustrani L et al., 2004).b. Hipertensi urgensi/urgency hipertension (mendesak)Terdapat peningkatan tekanan darah yang bermakna (tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg) dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari) (Sustrani L et al., 2004).d. Diabetes Mellitus

i. PengertianDiabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.

ii. Klasifikasia. DM tipe 1

Terjadi karena kerusakan sel pankreas (reaksi autoimun). Sel pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam tubuh. Bila kerusakan sel pankreas telah mencapai 80-90% maka gejala DM mulai muncul.

b. DM tipe 2

Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel . Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.

c. DM gestasional

Adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM, kegemukan dan glikosuria.

iii. Diagnosisa. Gejala klasik (polidipsi, polifagi, poliuri, berat badan berkurang) dengan kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl (11,1 mmol).

b. Glukosa plasma puasa 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan puasa sedikitnya 8 jam, atau dua jam setelah pemberian, glukosa darah 200 mg/dl (11,1 mmol) pada saat TTGO.

c. Pada keadaan tidak adanya hiperglikemia dengan gangguan metabolik akut kriteria ini harus diulang dengan melakukan tes pada hari yang berbeda.

E. Ketoasidosis Diabetik

Definisi

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak. Keadaan ini merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan insulin (Carpenito and Lynda Juall, 2000).

Etiologi

Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada pasien yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang.

Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, serta menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Tidak adanya insulin atau tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, yang dapat disebabkan oleh :

a. Insulin tidak diberikan atau diberikan dengan dosis yang dikurangi.

b. Keadaan sakit atau infeksi.

c. Manifestasi pertama pada penyakit diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati (Carpenito and Lynda Juall, 2000).Patofisiologi

Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya (Price and Sylvia, 1995).

Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik (KAD) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.

Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklusinterlocking viciousyang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal (Price and Sylvia, 1995).

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga . Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam. Akibat defisiensi insulin yang lain adlah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan asidosis metabolik (Price and Sylvia, 1995).

Manifestasi klinisManifestasi klinis dari KAD adalah :

a. Hiperglikemi

b. Poliuri dan polidipsi (peningktan rasa haus)

c. Penglihatan yang kabur

d. Kelemahan

e. Sakit kepala

f. Pasien dengan penurunan volume intravaskuler yang nyata mungkin akan menderita hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik sebesar 20 mmHg atau lebih pada saat berdiri).

g. Penurunan volume dapat menimbulkan hipotensi yang nyata disertai denyut nadi lemah dan cepat.

h. Anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen.

i. Pernapasan Kussmaul ini menggambarkan upaya tubuh untuk mengurangi asidosis guna melawan efek dari pembentukan badan keton.

j. Mengantuk (letargi) atau koma.

k. Glukosuria berat.

l. Asidosis metabolik.

m. Diuresis osmotik, dengan hasil akhir dehidrasi dan penurunan elektrolit.

n. Hipotensi dan syok.

o. Koma atau penurunan kesadaran (Price and Sylvia, 1995).Penatalaksanaan

Penanganan KAD (ketoasidosis diabetikum) memerlukan pemberian tiga agen berikut:

a. Cairan.

Pasien penderita KAD biasanya mengalami depresi cairan yang hebat. NaCl 0,9 % diberikan 500-1000 ml/jam selama 2-3 jam. Pemberian cairan normal salin hipotonik (0,45 %) dapat digunakan pada pasien-pasien yang menderita hipertensi atau hipernatremia atau yang beresiko mengalami gagal jantung kongestif. Infus dengan kecepatan sedang hingga tinggi (200-500 ml/jam) dapat dilanjutkan untuk beberapa jam selanjutnya.

b. Insulin.

intravena paling umum dipergunakan. Insulin intramuskular adalah alterantif bila pompa infusi tidak tersedia atau bila akses vena mengalami kesulitan, misalnya pada anak anak kecil. Asidosis yang terjadi dapat diatasi melalui pemberian insulin yang akn menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam. Insulin diberikan melalui infus dengan kecaptan lambat tapi kontinu ( misal 5 unti /jam). Kadar glukosa harus diukur tiap jam. Dektrosa ditambahkan kedalam cairan infus bila kadar glukosa darah mencpai 250 300 mg/dl untuk menghindari penurunan kadar glukosa darah yang terlalu cepat.

c. Potassium.

Meskipun ada kadar potassium serum normal, namun semua pasien penderita KAD mengalami depresi kalium tubuh yang mungkin terjadi secara hebat.

Input saline fisiologis awal yang tinggi yakni 0.9% akan pulih kembali selama defisit cairan dan elektrolite pasien semakin baik. Insulin intravena diberikan melalui infusi kontinu dengan menggunakan pompa otomatis, dan suplemen potasium ditambahkan kedalam regimen cairan. Bentuk penanganan yang baik atas seorang pasien penderita KAD (ketoasidosis diabetikum) adalah melalui monitoring klinis dan biokimia yang cermat (Doengoes and Marilyn, 1989).Komplikasi

Komplikasi dari ketoasidoisis diabetikum dapat berupa:

a. Ginjal diabetik ( Nefropati Diabetik )

Nefropati diabetik atau ginjal diabetik dapat dideteksi cukup dini. Bila penderita mencapai stadium nefropati diabetik, didalam air kencingnya terdapat protein. Dengan menurunnya fungsi ginjal akan disertai naiknya tekanan darah. Pada kurun waktu yang lama penderita nefropati diabetik akan berakhir dengan gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Selain itu nefropati diabetik bisa menimbulkan gagal jantung kongesif.

b. Kebutaan ( Retinopati Diabetik )

Kadar glukosa darah yang tinggi bisa menyebabkan sembab pada lensa mata. Penglihatan menjadi kabur dan dapat berakhir dengan kebutaan. Tetapi bila tidak terlambat dan segera ditangani secara dini dimana kadar glukosa darah dapat terkontrol, maka penglihatan bisa normal kembali

c. Syaraf ( Neuropati Diabetik )

Neuropati diabetik adalah akibat kerusakan pada saraf. Penderita bisa stres, perasaan berkurang sehingga apa yang dipegang tidak dapat dirasakan (mati rasa). Telapak kaki hilang rasa membuat penderita tidak merasa bila kakinya terluka, kena bara api atau tersiram air panas. Dengan demikian luka kecil cepat menjadi besar dan tidak jarang harus berakhir dengan amputasi.

d. Kelainan Jantung.

Terganggunya kadar lemak darah adalah satu faktor timbulnya aterosklerosis pada pembuluh darah jantung. Bila diabetesi mempunyai komplikasi jantung koroner dan mendapat serangan kematian otot jantung akut, maka serangan tersebut tidak disertai rasa nyeri. Ini merupakan penyebab kematian mendadak. Selain itu terganggunya saraf otonom yang tidak berfungsi, sewaktu istirahat jantung berdebar cepat. Akibatnya timbul rasa sesak, bengkak, dan lekas lelah.

e. Hipoglikemia.

Hipoglikemia terjadi bila kadar gula darah sangat rendah. Bila penurunan kadar glukosa darah terjadi sangat cepat, harus diatasi dengan segera. Keterlambatan dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul mulai dari rasa gelisah sampai berupa koma dan kejang-kejang.

f. Impotensi.

Sangat banyak diabetisi laki-laki yang mengeluhkan tentang impotensi yang dialami. Hal ini terjadi bila diabetes yang diderita telah menyerang saraf. Keluhan ini tidak hanya diutarakan oleh penderita lanjut usia, tetapi juga mereka yang masih berusia 35 40 tahun. Pada tingkat yang lebih lanjut, jumlah sperma yang ada akan menjadi sedikit atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. Ini terjadi karena sperma masuk ke dalam kandung seni (ejaculation retrograde).

Penderita yang mengalami komplikasi ini, dimungkinkan mengalami kemandulan. Sangat tidak dibenarkan, bila untuk mengatasi keluhan ini penderita menggunakan obat-obatan yang mengandung hormon dengan tujuan meningkatkan kemampuan seksualnya. Karena obat-obatan hormon tersebut akan menekan produksi hormon tubuh yang sebenarnya kondisinya masih baik. Bila hal ini tidak diperhatikan maka sel produksi hormon akan menjadi rusak. Bagi diabetes wanita, keluhan seksual tidak banyak dikeluhkan.

Walau demikian diabetes millitus mempunyai pengaruh jelek pada proses kehamilan. Pengaruh tersebut diantaranya adalah mudah mengalami keguguran yang bahkan bisa terjadi sampai 3-4 kali berturut-turut, berat bayi saat lahir bisa mencapai 4 kg atau lebih, air ketuban yang berlebihan, bayi lahir mati atau cacat dan lainnya.

g. Hipertensi.

Karena harus membuang kelebihan glokosa darah melalui air seni, ginjal penderita diabetes harus bekerja ekstra berat. Selain itu tingkat kekentalan darah pada diabetisi juga lebih tinggi. Ditambah dengan kerusakan-kerusakan pembuluh kapiler serta penyempitan yang terjadi, secara otomatis syaraf akan mengirimkan signal ke otak untuk menambah takanan darah (Carpenito and Lynda Juall, 2000).PrognosisPrognosis dari ketoasidosis diabetik biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pada pasien ini bukan disebabkan oleh sindom hiperosmolarnya sendiri tetapi oleh penyakit yang mendasar atau menyertainya. Angka kematian masih berkisar 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang sangat tinggi. Di negara maju angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12%.

Ketoasidosis diabetik sebesar 14% dari seluruh rumah sakit penerimaan pasien dengan diabetes dan 16% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan diabetes. Angka kematian keseluruhan adalah 2% atau kurang saat ini. Pada anak-anak muda dari 10 tahun, ketoasidosis diabetikum menyebabkan 70% kematian terkait diabetes (Carpenito and Lynda Juall, 2000).F.Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

iv. Pengertian

Adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus dimana penderita akan mengalami dehidrasi berat, kesadaran menurun, hiperosmolar dan tanpa adanya ketogenesis atau ada namun minimal.

v. Etiologi

a. Insufisiensi insulin

b. Peningkatan glukosa eksogen

c. Peningkatan glukosa endogen

d. Infeksi

e. Pembedahan/operasi

f. Pemberian cairan hipertonik

g. Luka bakar

vi. Manifestasi Klinis

a. Agak mengantuk, sering koma.

b. Poliuri selama 1-3 hari sebelum gejala klinis timbul.

c. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau nafas.

d. Dehidrasi

e. Hipovolemia

f. Glukosa serum mencapai > 600 mg/dL

g. Hipernatremia

h. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat)

i. Kerusakan fungsi ginjal

j. Kadar HCO3 75 mg/dL/jam, kurangi dosis 1-2 U/jam (0,05-0,1 U/kgBB/jam). Ketika kadar gula darah mencapai 250 mg/dl, cairan diganti atau ditambahkan dengan cairan yang mengandung dextrose seperti (dextrose 5%, dextrose 5% pada NaCl 0,9%, atau dextrose 5% pada NaCl 0,45%) untuk menghindari hipoglikemia dan mengurangi kemunginan edema serebral akibat penurunan gula darah yang terlalu cepa. Bila kadar glukosa darah dibawah 80 mg/dL, hentikan infus insulin paling lama 1 jam; kemudian lanjutkan infus insulin. Bila kadar glukosa darah dibawah 100 mg/dL terus menerus, infus diganti dextrose 10 % untuk mempertahankan kadar glukosa 140-180 mg/dL.

(PERKENI, 2006)

EVALUASI PADA PASIEN

Evaluasi pasien dengan hiperglikemi berat yang dapat menimbulkan KAD maupun HONK dan asidosis laktat perlu observasi klinik yang ketat. Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan meliputi :

Tanda vital tubuh dinilai setiap jam.

Suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam.

Pengukuran balans cairan setiap jam.

Pemberian infus kristaloid dimonitori dengan keluaran urine yang meningkat. Urine dinilai setiap jam untuk mengetahui keefektivan dari pemberian cairan intravena.

Kadar glukosa darah kapiler setiap jam.

Pemberian insulin intravena perlu diperhatikan kadar glukosa setiap jam. Kestabilan glukosa bila kadarnya 140-180 mg/dl. Apabila kadar glukosa sudah mencapai 250 mg/dl dapat dimonitori setiap empat jam. Bila pasien sudah dapat makan pertimbangkan pemberian insulin subkutan. Insulin infus intravena jangan dulu dihentikan pada saat insulin subkutan mulai diberikan, tetapi lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam. Apabila kadar glukosa sudah terkendali, dosis insulin dapat diberikan sesuai dosis awal/sebelumnya. Pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat insulin berikan dosis subkutan 0,6 U/kgBB/24 jam (50 % insulin basal + 50 % insulin prandial).

Adanya resiko edema cerebri. Penurunan osmolalitas cairan intravaskular yang terlalu cepat dapat meningkatkan resiko terjadinya edema cerebri.Tanda klinis dan neurologis apabila terdapat edema cerebri, yaitu :

1. Pusing,

2. Penurunan Nadi / frekuensui denyut jantung

3. Perubahan status neurologis : gelisah, iritable drowsiness, kejang, inkontenensia urine, reflek cahaya menurun, penurunan fungsi saraf kranial.

4. Peningkatan tekanan darah.

EKG : untuk menilai gelombang T, menentukan tanda hipo/hiperkalemia.

Elektrolit dan analisis gas darah dievaluasi setiap jam. Beberapa yang penting untuk dinilai: natrium, kalium, keton, pH, bikarbonat, keton,

Keton urine sampai negatif, atau keton darah (bila terdapat fasilitas). Hal ini untuk menentukan diagnosis dan tatalaksana selanjutnya.

(Kitabchi et al., 2001; Wallace dan Matthews, 2004)

Komplikasi dan Prognosis

Dalam pengobatan KAD dapat timbul keadaan hipoksia dan sindrom gawat nafas dewasa (ARDS), hipertrigliseridimia yang dapat menyebabkan pancreatitis akut, dan dapat mengalami infark miokard akut pada proses pengobtan pada lansia. Juga ada komplikasi iatrogenic seperti hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia (Mansjoer et al., 2000).

Prognosis dari HONK angka kematiannya lebih besar dari KAD, dan lebih sering pada usia lanjut, angka kematiannya berkisar 30 50 % (Mansjoer et al., 2000).

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN1. Pada kasus kegawatdaruratan diperlukan penanganan yang cepat dan tepat karena pasien dapat terancam jiwanya. Sebagai dokter umum, sudah seharusnya mengetahui dan dapat melaksanakan pertolongan pada pasien kegawatdaruratan medik. Selain itu penilaian kondisi pasien yang tepat dan teratur juga merupakan hal yang tak kalah penting. Setelah kondisi pasien stabil, dokter umum juga diharuskan mengetahui bagaimana alur rujukan yang tepat.

2. Pada kasus dalam skenario pasien diperkirakan menderita kegawatdaruratan medik yang berhubungan dengan proses metabolik tubuh. Sambil menunggu hasil pemeriksaan lanjutan untuk memperoleh diagnosis lebih pasti, diperlukan penilaian dan penanganan yang cepat dan tepat.Pada kasus diperlukan pemberian cairan kristaloid dan insulin dengan cepat.Ditambahin ya huhu

B. SARAN

1. Pasien sudah mendapatkan perawatan yang tepat dengan dikirim ke UGD

dan diberikan infus Ringer Lactat dengan tetesan cepat untuk rehidrasi.

2. Pasien selanjutnya dirawat HCU dan diberiakan insulin untuk

mendapatkan insulin yang akan menghambat pemecahan lemak sehingga menghentikan pembentukan senyawa-senyawa yang bersifat asam.

3. Pasien hendaknya juga mendapatkan infus larutan elektrolit untuk

mengganti elektrolit yang hilang.

Sarannya buat tutorial apa buat skenario ya ak lupa wkwk

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2010. American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122:S640-S656.

Arifin AL, Natalia N, Kariadi SHKS (2011). Krisis Hiperglikemia pada Diabetes Melitus. Bandung: Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

BadanPenyelenggaraJaminanSosial. 2014. Panduanpraktissystemrujukanberjenjang

Ganiswara SG (Eds) (1995). Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi UI

Hanafiah MJ,Amir A (2009). Etika kedokteran & hukum kesehatan. Jakarta: EGC.

Hardin, Eugene. 1996. Emergency Medicine and the Laboratory. Journal Of The National Medical Association. 88(5): 279-282.

Hemphill RR (2014). Hyperosmolar hyperglycemic state. MedscapeHerkutanto. 2007. Aspekmedikolegalpelayanangawatdarurat.BagianIlmuKedokteranForensikdanMedikolegalFakultasKedokteran Universitas Indonesia/ RumahSakitCiptoMangunkusumo.MajKedoktIndon, Volum: 57, Nomor: 2

KementrianKesehatanNasional. 2014. SistemRujukanterstrukturdanberjenjang.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI, Setiowulan W (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media Aeusculapius FK UI

Nafrialdi (2011). Antihipertensi. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth (ed). Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta:Badan Penerbit FKUI, pp:355-6.

OCallaghan CA (2009). At a glance sistem ginjal. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga

Powers AC. 2008. Diabetes Mellitus. Dalam: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E. Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J (eds.) Harrisons Principles of Internal Medicine. New York: Mc Graw Hill Medical, pp: 2275-2304.

Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit Buku Kedokteran Jakarta:EGC

Raghavan V.A., Hamdy O.,Khardori R., Bessen H.A.,Brenner B.E.,Schade D.S.,Schalch D.S. 2014. Diabetic Ketoacidosis.http://emedicine.medscape.com/article/118361-overview. Diakses pada 11 Mei 2014.

Rehmani R. and Amanullah S. 1999. Analysis of blood tests in the emergency department of a tertiary care hospital. Postgrad Med J. 75:662666.

Setyohadi B, Arsana PM, Soeroto AY, Suryanto A, Abdullah M (2012). Kegawatdaruratan Penyakit Dalam. Jakarta : Internal Publishing

Wulandari DS (2011). Penurunan Kesadaran. Serang: SMF Neurologi RSUD Serang, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi.

Laki laki

Usia 68 tahun

Dibawa ke IGD Rumah Sakit Tipe D

Alloanamnesis: 5 jam sebelum masuk Rumah Sakit tidak sadar,bisa dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak nyambung.3 hari lalu mual , muntah, sering kencing,nyeri pinggang,urin keruh, makan dan minum sdikit

Riwayat penyakit: DM dan Hipertensi tidak terkontrol

Pemeriksaan fisik: TD= 80/40 mmHg, suhu= 38C, RR= 32x/menit. HR= 128x/menit, lemah.

Pemeriksaan lab: Hb= 13 gr%, Leukosit 25.000/L, trombosit= 350.000/L, GDs= 600 mg/dL, Ureum 60 mg/dL, Kreatinin= 1 mg/dL, Kalium 4,5 mmol/L.

Tatalksana awal dan Informed consent?

Terapi : Infus Ringer Laktat 2 jalur,tetesan cepat dan bolus nsulin 0,1 Unit/kgBB

Riwayat pengobatan: Insulin Rapid 6 -6 4 dan Captopril