50
BAB 1 PENDAHULUAN Gangguan tidur merupakan gangguan neuropsikologi yang memiliki kejadian yang signifikan pada fase akut stroke. Gangguan tidur sering terjadi pada stroke hemoragik maupun stroke iskhemik. Sleep Apnea dan mendengkur merupakan jenis yang paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan stroke Gangguan tidur sering diabaikan dalam diagnosis dan pengobatan, dimana sebenarnya gangguan tidur ini, selanjutnya akan berpengaruh dalam mengurangi fungsi tubuh dan secara signifikan mempengaruhi penurunan kualitas hidup untuk pasien. Dilaporkan bahwa orang yang mendengkur keras memiliki risiko 67% lebih tinggi untuk stroke dan risiko 34% untuk penyakit jantung dibandingkan dengan orang yang tidak mendengkur. Kehadiran tenang mendengkur tidak menimbulkan risiko tinggi untuk penyakit jantung dan Stroke.Studi retrospektif menunjukkan bahwa tidur terganggu dan apnea tidur dikaitkan dengan peningkatan prevalensi stroke. Apnea obstruktif adalah kondisi yang sangat umum pada pasien dengan stroke dan ditemukan di lebih dari separuh pasien dengan stroke. Hubungan antara apnea obstruktif dan stroke adalah kompleks dan ada faktor risiko yang lebih umum. Ada banyak mekanisme dimana apnea obstruktif memberikan kontribusi untuk peningkatan 1

Sleep Apnea Stroke

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sleep Apnea Stroke

BAB 1

PENDAHULUAN

Gangguan tidur merupakan gangguan neuropsikologi yang memiliki kejadian

yang signifikan pada fase akut stroke. Gangguan tidur sering terjadi pada stroke

hemoragik maupun stroke iskhemik. Sleep Apnea dan mendengkur merupakan

jenis yang paling sering ditemukan pada pasien dengan gangguan stroke

Gangguan tidur sering diabaikan dalam diagnosis dan pengobatan, dimana

sebenarnya gangguan tidur ini, selanjutnya akan berpengaruh dalam mengurangi

fungsi tubuh dan secara signifikan mempengaruhi penurunan kualitas hidup untuk

pasien. Dilaporkan bahwa orang yang mendengkur keras memiliki risiko 67%

lebih tinggi untuk stroke dan risiko 34% untuk penyakit jantung dibandingkan

dengan orang yang tidak mendengkur. Kehadiran tenang mendengkur tidak

menimbulkan risiko tinggi untuk penyakit jantung dan Stroke.Studi retrospektif

menunjukkan bahwa tidur terganggu dan apnea tidur dikaitkan dengan

peningkatan prevalensi stroke. Apnea obstruktif adalah kondisi yang sangat umum

pada pasien dengan stroke dan ditemukan di lebih dari separuh pasien dengan

stroke. Hubungan antara apnea obstruktif dan stroke adalah kompleks dan ada

faktor risiko yang lebih umum. Ada banyak mekanisme dimana apnea obstruktif

memberikan kontribusi untuk peningkatan risiko stroke. Apnea obstruktif

merupakan faktor risiko untuk hipertensi, fibrilasi atrium dan diabetes, yang pada

gilirannya merupakan faktor risiko untuk stroke .

Suatu penatalaksanaan terhadap sleep apnoe sangat diperlukan sebagai salah satu

pencegahan stroke. Sehingga dalam pembahasan berikutnya, akan dibahas

mengenai proses terjadinya stroke akibat adanya sleep apnoe dan

penatalaksanaan yang dapat dilakukan.

1

Page 2: Sleep Apnea Stroke

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Sleep Apnea

Definisi Tidur

Tidur merupakan keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap

rangsangan internal. Perbedaan tidur dengan keadaan tidak sadar lainnya adalah

pada keadaan tidur siklusnya dapat diprediksi dan kurang respons terhadap

rangsangan eksternal. Otak berangsur-angsur menjadi kurang responsif terhadap

rangsang visual, auditori dan rangsangan lingkungan lainnya. Tidur dianggap

sebagai keadaan pasif yang dimulai dari input sensorik walaupun mekanisme

inisiasi aktif juga mempengaruhi keadaan tidur.

1. Fungsi Tidur

Fungsi tidur adalah sebagai pemulihan kembali organ-organ tubuh. Kegiatan

pemulihan kembali tersebut berbeda saat Rapid Eye Movement (REM) dan

Non Rapid Eye Movement (NREM). NREM mempengaruhi proses anabolik

dan sintesis makromolekul ribonukleic acid (RNA). REM akan

mempengaruhi pembentukan hubungan baru pada korteks dan sistem

neuroendokrin yang menuju otak. Selain fungsi di atas, tidur dapat juga

menjadi penanda terdapatnya kelainan pada tubuh yaitu terdapatnya gangguan

tidur yang menjadi peringatan dini keadaan patologis yang terjadi di tubuh.

2. Fisiologi Tidur

Tidur dibagi menjadi dua tahap secara garis besarnya yaitu :

1. Fase rapid eye movement (REM) disebut juga active sleep.

2. Fase nonrapid eye movement (NREM) disebut juga quiet sleep.

Non Rapid Eye Movement merupakan keadaan aktif yang terjadi melalui

osilasi antara talamus dan korteks. Tiga sistem utama osilasi adalah kumparan

tidur, delta osilasi, dan osilasi kortikal lambat. Kumparan tidur merupakan

sebuah ciri tahap tidur NREM yang dihasilkan dari hiperpolarisasi neuron

GABAnergik dalam nukleus retikulotalamus. Hiperpolarisasi ini menghambat

proyeksi neuron kortikotalamus. Sebagai penyebaran diferensiasi proyeksi

kortikotalamus akan kembali ke sinkronisasi talamus. Gelombang delta

2

Page 3: Sleep Apnea Stroke

dihasilkan oleh interaksi dari retikulotalamus dan piramidokortikal, sedangkan

osilasi kortikal lambat dihasilkan di jaringan neokorteks oleh siklus

hiperpolarisasi dan depolarisasi.

Fase REM (tahap R) ditandai oleh atonia otot, aktivasi kortikal, desinkronisasi

bertegangan rendah dari EEG dan gerakan cepat dari mata. Fase REM

memiliki komponen saraf parasimpatomimetik dan saraf simpatik yang

ditandai oleh otot rangka berkedut, peningkatan denyut jantung, variabilitas

pelebaran pupil, dan peningkatan laju pernapasan. Atonia otot terdapat pada

seluruh fase REM sebagai hasil dari inhibisi neuron motor alfa oleh

kelompok-kelompok seruleus peri-lokus neuron yang secara kolektif disebut

sebagai korteks retikuler sel kecil.

Fungsi tidur NREM masih merupakan dugaan beberapa teori telah diajukan

salah satu teorinya menyatakan bahwa penurunan metabolisme akan

memfasilitasi peningkatan penyimpanan glikogen. Selama fase NREM

permintaan metabolik otak berkurang. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian

menggunakan oksigen positron emission tomography (PET) yaitu selama fase

NREM aliran darah ke seluruh otak semakin menurun. Selama fase REM

aliran darah meningkat di talamus dan visual utama, sedangkan pada korteks

motorik dan sensorik relatif menurun di prefrontal dan daerah parietal

asosiasional. Peningkatan aliran darah ke daerah visual utama dari korteks

dapat menjelaskan sifat alamiah bermimpi saat REM, penurunan aliran darah

ke korteks prefrontal dapat menjelaskan penerimaan isi mimpi.

Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu :

1. Tahapan terjaga

Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan

tenang mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz)

mendominasi seluruh rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa

gerakan mata. Keadaan ini biasanya berlangsung antara lima sampai

sepuluh menit.

2. Fase 1

Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut

juga twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang

3

Page 4: Sleep Apnea Stroke

alfa dan munculnya gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang

low voltage mix frequencies (LVM). Pada elektrookulografi (EOG) tidak

tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan rolling (R) yang

lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal fase 1 ini

tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh menit kemudian

memasuki fase berikutnya.

3. Fase 2

Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S)

atau gelombang delta (maksimum 20%). Padaa EOG sama sekali tidak

terdapat REM atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari

fase 1. Fase 2 ini berjalan relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20

sampai 40 menit dan bervariasi pada tiap individu.

4. Fase 3

Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan

gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa

tua, tetapi lebih singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5-10

menit fase 3 akan diikuti fase 4.

5. Fase 4

Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta

(gelombang delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada

fase 4 ini berlangsung cukup lama yaitu hampir 30 menit.

6. Fase REM

Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti

fase 1, sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran

EMG tetap sama seperti pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM

yang biasanya berlangsung 10 –15 menit.

Sistem Respirasi Saat Tidur

Saat ini diketahui bahwa pada keadaan tidur, seluruh tubuh tidak seluruhnya

beristirahat. akan tetapi terdapat aktivitas pada fase-fase tidur. Sistem respirasi,

esofagus, kardiovaskular, dan fisiologi otak menunjukkan perubahan selama tidur.

Pada orang normal sistem respirasi akan menurun selama tidur yaitu terjadi

hipoventilasi alveolar. Frekuensi pernapasan dan ventilasi semenit akan menurun

4

Page 5: Sleep Apnea Stroke

selama tidur gelombang lambat dan pada umumnya bertambah cepat, dangkal dan

tak menentu pada REM. Penurunan pengurangan fungsi respirasi selama tidur

yang terutama terjadi pada fase REM adalah akibat kolapsnya sebagian saluran

napas atas yang disertai penurunan tonus otot interkostal dan genioglosus.

Penurunan refleks batuk dan bersihan mukosilier (mucocilliary clearance) selama

kedua fase tidur yang akan menyebabkan retensi sputum. Keadaan ini kurang

berpengaruh terhadap orang normal tetapi merupakan keadaan darurat yang

mengancam jiwa pada penderita asma, PPOK, sleep apnea atau keadaan kelainan

respirasi yang lain. Kontrol pernapasan selama REM bukan melalui reflek vagal

seperti pada fase terjaga dan pada tidur NREM. Fase REM dianggap berasal dari

penghambatan homeostatic feedback regulation hipotalamus. Penelitian

menunjukkan bahwa kelainan pernapasan pada penderita sleep apnea yang

dipengaruhi oleh kelainan pada mekanisme perangsangan sentral. Saat mulai tidur

gambaran EEG terlihat perlambatan gelombang serta penurunan ventilasi semenit.

Pada pasien dengan obstructive sleep apnea (OSA), penurunan atau penghentian

aliran udara disebabkan oleh kolapsnya jalan napas atas yang progresif yang

menyebabkan penurunan saturasi oksihemoglobin (O2 saturation) serta terjadi

stimulasi kemoreseptor perifer carotid bodies. Stimulasi kemorefleks terjadi

melalui sistem saraf pusat sehingga meningkatkan sympathetic neural activity

(SNA) yang ditandai dengan lonjakan microneurographic. Saat terbangun dari

tidur, ventilasi akan normal kembali dan saturasi oksihemoglobin akan kembali

normal.

Perubahan sistem mekanik pernapasan selama fase NREM menyebabkan

peningkatan tahanan saluran napas terutama pada saluran napas bagian atas.

Peningkatan tahanan saluran napas atas berhubungan dengan penyempitan saluran

napas di sekitar faring yang terjadi akibat hipotoni dari otot faring. Penurunan

aktivitas otot saluran napas atas seperti genioglosus nampak pada fase NREM

lebih jelas terlihat pada pasien OSA. Pada orang yang mendengkur saat tidur,

tahanan saluran napas bagian atas meningkat 10 kali lipat dibandingkan pada

orang normal yang hanya meningkat 2 – 4 kali lipat. Pada keadaan tidur sistem

respirasi mendapat tambahan beban mekanik yang disebabkan oleh peningkatan

tahanan saluran napas atas. Secara ringkas dapat dilihat pada tabel 1 yaitu

5

Page 6: Sleep Apnea Stroke

pengaruh fisiologis tidur terhadap organ pernapasan berdasarkan fase REM dan

NREM.

Tabel 1. Perbedaan gambaran fisiologis pada fase tidur

S indrom Obstruktif Sleep Apnea ( OSA)

Sindrom obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu gangguan tidur

yang ditandai dengan episode berulang dari obstruksi jalan napas bagian atas saat

tidur yang menyebabkan aliran udara berkurang (hipopnea) atau tidak ada (apnea)

aliran udara di hidung/mulut. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan

mendengkur keras dan hipoksemia, dan apneas biasanya diakhiri oleh

perangsangan singkat, yang mengakibatkan tidur ditandai fragmentasi dan

berkurangnya fase slow wave sleep (SWS) dan rapid-eye-movement (REM).

Pasien dengan OSA biasanya tidak menyadari hal ini gangguan tidur, tetapi

perubahan dalam pola tidur berkontribusi signifikan terhadap gejala yang

menonjol pada siang hari yaitu adanya rasa kantuk kronis. Namun, karena temuan

ini terdapat selama tidur, mungkin tidak ada terdeteksi kelainan pernafasan saat

pasien tersadar.

Patofisiologi yang mendasari OSA adalah kompleks dan tidak sepenuhnya

dipahami. Namun, secara umum dikatakan bahwa hal ini berhubungan dengan

stabilitas dan patensi jalan napas bagian atas yang tergantung pada aksi otot

dilator orofaringeal dan otot abductor, yang biasanya bertugas dalam pengaturan

mode ritmis selama inspirasi. Suatu saluran napas bagian atas mengalami collaps

atau menutup ketika kekuatan yang dihasilkan oleh otot-otot itu untuk area cross-

sectional (CSA) adalah terlalu negatif akibat aktivitas inspirasi dari diafragma dan

6

Page 7: Sleep Apnea Stroke

otot interkostal. Obstruksi saluran napas atas dapat terjadi jika tekanan penarik

terlalu tinggi atau kekuatan menangkal dari saluran udara bagian atas oleh otot

dilatasi terlalu lemah untuk setiap tekanan yang diberikan. Faktor yang

berkontribusi menyebabkan obstruksi saluran nafas bagian atas meliputi

penyempitan anatomis saluran udara bagian atas; berkurangnya kekuatan dari otot

saluran udara bagian atas, dan rusaknya fungsi refleks pelindung saluran nafas

bagian atas.

Faktor-faktor yang berkotribusi terhadap patofisiologi OSA meliputi faktor

umum, penurunan kaliber saluran napas atas, faktor mekanik, fungsi otot

pernafasan bagian atas, fungsi refleks saluran napas atas, faktor sentral, dan

arousal. Faktor umum meliputi antopometri, obat-obatan dan genetik.

Antopometri yang berpengaruh meliputi umur dimana diketahui bahwa resistensi

faring akan meningkat bersamaan dengan pertambahan umur. Obesitas juga akan

menyebabkan menyempitnya saluran napas atas akibat peningkatan deposisi

lemak pada dinding faring. Diketahui pula obat-obatan seperti ethanol dan

diazepam akan mengurangi kekuatan otot saluran napas atas dan mengurangi

respon arousal.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap patofisiologi OSA adalah berkurangnya

kaliber saluran napas atas yang dipengaruhi oleh posisi kepala dan obstruksi nasal.

Posisi kepala dan leher merupakan faktor penting terhadap kaliber saluran napas

atas, dimana posisi fleksi leher akan menyebabkan peningkatan resistensi faring

selama pasien kelelahan atau dalam keadaan anastesia terutama pada pasien

obese. Adanya lesi anatomis seperti tonsil yang membesar dan mikrognathia akan

berpengaruh pula terhadap kaliber saluran napas atas.

Faktor mekanik yang mempengaruhi patofisiologi OSA meliputi postur tubuh

saat tertidur, dimana dikatakan adanya faktor yang merugikan bagi saluran napas

atas saat kita tertidur dalam posisi supinasi, tapi tidak akan merpengaruh apabila

fungsi otot dilator saluran napas atas masih berfungsi dengan baik. Saluran napas

atas yang menyempit diyakini tergantung pada fungsi dari otot dilator faring yang

berfungsi menempitkan atau melebarkan jalan napas faring selama inspirasi.

Gangguan pada fungsi otot-otot pernafasan sangat mempengaruhi patofisiologi

OSA. Aktiitas dari otot-otot pernafasan atas di modulasi oleh stimulus kimia,

7

Page 8: Sleep Apnea Stroke

input vagal, perubahan tekanan udara, dan aktifitas baroreseptor. Pernafasan

melalui saluran napas atas yang sempit menyebabkan tekanan hisapan yang tinggi

dan menyebabkan terjadinya penyempitan saluran nafas atau kolaps, sehingga

otot-otot dilator faring harus bekerja lebih keras untuk mencegah obstruksi saluran

nafas atas. Hiperkapnia, hipoksia, dan asfiksia yang progresif akan memaksa oto-

otot dilator saluran nafas atas untuk bekerja lebih keras. Tetapi kelainan yang akan

berdampak pada respon otot saluran nafas dan aktivitas diafragma akan

menyebabkan terjadinya OSA.

Pada orang normal, apabila terdapat tekanan udara negatif yang terjadi tiba-tiba

pada saluran nafas atas, akan menimbulkan suatu reflek saluran nafas yang diatur

oleh bagian sentral tubuh. Refleks saluran nafas atas akan mempengaruhi aktivitas

otot-otot pernafasan untuk mencegah obstruksi. Respon ini akan berkurang pada

fase tidur NREM.

Selain refleks otot-otot pernafasan akan terdapat suatu feedback dari paru-paru.

Resistensi saluran nafas atas akan berkurang dengan peningkatan inflasi paru-paru

dan peningkatan pernafasan pada volume rendah atau hiperventilasi. Respon

tubuh itu dipengaruhi oleh faktor sentral dalam tubuh apabila faktor sentral ini

mengalami gangguan,maka akan menyebabkan terjadinya OSA.

Pada manusia yang normal, saat terjadi resistensi pada faring akan diikuti dengan

arousal atau terbangun untuk selanjutnya menurunkan tekanan CO2 dengan cara

hiperventilasi. Namun, bila tidak terjadi bangkitan, hiperventilasi tidak akan

terjadi, sehingga resistensi faring akan tetap tinggi. Keseluruhan faktor yang

dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi terjadinya OSA, yang bisa dilihat

pada gambar di bawah ini.

8

Page 9: Sleep Apnea Stroke

Gambar 1. Patofisiologi terjadinya Obstructive Sleep Apnea (OSA)

2.2 StrokeDefinisi dan Epidemiologi Stroke

Stroke merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan defisit neurologi

fokal atau global yang terjadi secara mendadak dan cepat, berlangsung lebih dari

24 jam atau berakhir dengan kematian dalam waktu kurang dari 24 jam tanpa

ditemukan penyebab lain selain gangguan vaskular.

Berdasarkan perjalanan klinisnya, stroke dapat dibagi menjadi :

1. Stroke in resolution : Stroke in resolution dapat dibagi menjadi 2 yaitu

Transient Ischemic Attack (TIA) dan Reversible Ischemic Neurological

Deficit (RIND). TIA merupakan suatu defisit neurologi fokal akut yang

timbul karena iskemia otak sepintas dan menghilang tanpa sisa dalam

waktu kurang dari 24 jam. RIND merupakan defisit neurologi yang terjadi

lebih dari 24 jam dan berlangsung dalam 1-3 minggu.

2. Stroke in evolution : defisit neurologi fokal akut karena gangguan

peredaran darah otak yang berlangsung progresif dan mengalami

perburukan.

3. Completed stroke : defisit neurologi fokal akut yang telah stabil tanpa

perburukan lagi.

Berdasarkan lokalisasinya, stroke dibedakan menjadi:

9

Page 10: Sleep Apnea Stroke

1. Sistem karotis

2. Sistem vertebrobasiler

Berdasarkan lesi serebral atau patologi anatomi, stroke dapat dibagi menjadi:

1. Stroke hemorrhagic

2. Stroke non hemorrhagic atau stroke iskemik.

Stroke non hemorrhagic (SNH) dapat disebabkan oleh emboli, trombus,

atau tromboemboli. Stroke trombosis disebabkan oleh agregasi dari faktor-

faktor trombosis dimana pembuluh darah tersebut menyempit. Sedangkan

stroke emboli disebabkan karena sumbatan secara mendadak pada arteri

yang mensuplai darah di otak.

Stroke dapat mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar

kasus dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Semakin tua

umur, resiko terjangkit stroke semakin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal

jenis kelamin. Tetapi, stroke lebih banyak mengenai laki-laki daripada

perempuan. Dari segi warna kulit, orang berkulit berwarna berpeluang terkena

stroke lebih besar daripada orang berkulit putih. Stroke adalah penyebab cacat

nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia. Penyakit ini telah

menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua

pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia

sudah terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal

dunia. Penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta

kasus stroke di dunia.

Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang

menyebabkan kematian setelah penyakit jantung dan kanker. Setiap tahun terdapat

laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus serangan

pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75

persen penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.

Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker.

Sebanyak 28,5 persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita

10

Page 11: Sleep Apnea Stroke

kelumpuhan sebagian maupun total. Hanya 15 persen yang dapat sembuh total

dari serangan stroke dan kecacatan.

Patofisiologi

Stroke iskemik adalah tanda klinis gangguan fungsi atau kerusakan jaringan otak

sebagai akibat dari berkurangnya aliran darah ke otak, sehingga mengganggu

pemenuhan kebutuhan darah dan oksigen di jaringan otak. Dalam kondisi normal,

aliran darah otak orang dewasa adalah 50-60 ml/100gram/otak/menit. Berat otak

normal rata-rata orang dewasa adalah 1300-1400gram (±2% dari berat badan

orang dewasa). Sehingga dapat disimpulkan jumlah aliran darah otak orang

dewasa adalah ±800ml/menit atau 20% dari seluruh curah jantung harus beredar

ke otak setiap menitnya. Pada keadaan demikian, kecepatan otak untuk

memetabolisme oksigen ±3,5ml/100gr/otak/menit. Bila aliran darah otak turun

menjadi 20-25ml/100gr/otak/menit akan terjadi kompensasi berupa peningkatan

ekstraksi oksigen ke jaringan otak sehingga fungsi-fungsi sel saraf dapat

dipertahankan.

Glukosa merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh otak, oksidasinya akan

menghasilkan karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Secara fisiologis 90%

glukosa mengalami metabolisme oksidatif secara lengkap, hanya 10% yang

diubah menjadi asam piruvat dan asam laktat melalui metabolisme anaerob.

Energi yang dihasilkan oleh metabolisme aerob melalui siklus Kreb adalah 38 mol

Adenosin Trifosfat (ATP)/mol glukosa, sedangkan pada glikolisis anaerob hanya

dihasilkan 2 mol ATP/mol glukosa. Adapun energi yang dibutuhkan oleh neuron-

neuron otak ini digunakan untuk keperluan:

1. Menjalankan fungsi-fungsi otak dalam sintesis, penyimpanan, transport

dan pelepasan neurotransmiter, serta mempertahankan respon elektrik.

2. Mempertahankan integritas sel membran dan konsentrasi ion di dalam/di

luar sel serta membuang produk toksik siklus biokimiawi molekuler.

Proses patofisiologi stroke iskemik selain kompleks dan melibatkan patofisiologi

permeabilitas sawar darah otak (terutama di daerah yang mengalami trauma,

11

Page 12: Sleep Apnea Stroke

kegagalan energi, hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium

intraseluler, eksitotoksisitas dan toksisitas radikal bebas), juga menyebabkan

kerusakan neuronal yang mengakibatkan akumulasi glutamat di ruang

ekstraseluler, sehingga kadar kalsium intraseluler akan meningkat melalui

transpor glutamat, dan akan menyebabkan ketidakseimbangan ion natrium yang

menembus membran.

Glutamat merupakan eksitator utama asam amino di otak, bekerja melalui aktivasi

reseptor ionotropiknya. Reseptor-reseptor tersebut dapat dibedakan melalui sifat

farmakologi dan elektrofisiologinya: α-amino-3-hidroksi-5-metil-4-isosaksol

propionic acid (AMPA), asam kainat, dan N-metil-D-aspartat (NMDA). Aktivasi

reseptor-reseptor tersebut akan menyebabkan terjadinya eksitasi neuronal dan

depolarisasi. Glutamat yang menstimulasi reseptor NMDA akan mengaktifkan

Nitric Oxide Syntase (NOS). Sedangkan glutamat yang mengaktifkan reseptor

AMPA akan memproduksi superoksida.

Secara umum patofisiologi stroke iskemik meliputi dua proses yang terkait, yaitu:

1. Perubahan fisiologi pada aliran darah otak.

2. Perubahan kimiawi yang terjadi pada sel otak akibat iskemik.

Perubahan Fisiologi Pada Aliran Darah Otak

Adanya sumbatan pembuluh darah akan menyebabkan otak mengalami

kekurangan nutrisi penting seperti oksigen dan glukosa, sehingga daerah pusat

yang diperdarahi pembuluh darah tersebut akan mengalami iskemik sampai

dengan infark.

Pada otak yang mengalami iskemik, terdapat gradien yang terdiri dari “ischemic

core” (inti iskemik) dan “penumbra” (terletak disekeliling ischemic core). Pada

daerah ischemic core, sel mengalami nekrosis sebagai akibat dari kegagalan

energi yang merusak dinding sel beserta isinya sehingga sel akan mengalami lisis

(sitolisis). Sedangkan di daerah sekelilingnya, dengan adanya sirkulasi kolateral

maka sel-selnya belum mati, tetapi metabolisme oksidatif dan proses depolarisasi

neuronal oleh pompa ion akan berkurang. Daerah ini disebut sebagai daerah

“penumbra iskemik”. Bila proses tersebut berlangsung terus menerus, maka sel

tidak lagi dapat mempertahankan integritasnya sehingga akan terjadi kematian sel

12

Page 13: Sleep Apnea Stroke

yang secara akut timbul melalui proses apoptosis, yaitu disintegrasi elemen-

elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel, dikenal sebagai

kematian sel terprogram.

Daerah penumbra berkaitan erat dengan penanganan stroke, dimana terdapat

periode yang dikenal sebagai “window therapy”, yaitu 6 jam setelah awitan. Bila

ditangani dengan baik dan tepat, maka daerah penumbra akan dapat diselamatkan

sehingga infark tidak bertambah luas.

Secara makroskopik, daerah penumbra iskemik yang pucat akan dikelilingi oleh

daerah yang hiperemis dibagian luarnya, yaitu daerah “luxury perfusion”, sebagai

kompensasi mekanisme sistem kolateral untuk mengatasi keadaan iskemik.

Perubahan fisiologis yang terjadi pada stroke iskemik tergantung dari seberapa

besar berkurangnya cerebral blood flow (CBF):

1. CBF berkurang hingga 20-30% (<50-55ml/100gr/otak/menit). Otak akan

menghambat sintesa protein.

2. CBF berkurang hingga 50% (35ml/100gr/otak/menit). Otak masih mampu

beradaptasi dengan mengaktivasi glikolisis anaerob serta peningkatan

konsentrasi laktat yang selanjutnya akan berkembang menjadi asidosis

laktat dan edema sitotoksik.

3. CBF hanya 30% dari nilai normal (20ml/100gr/otak/menit). Produksi ATP

akan berkurang, terjadi defisit energi dan gangguan transport aktif ion dan

ketidakstabilan membran sel serta neurotransmiter eksitatorik. Pada

keadaan ini sel-sel otak tidak dapat berfungsi secara normal karena otak

dalam keadaan iskemik akibat kekurangan oksigen, sehingga akan terjadi

penekanan aktifitas neuronal tanpa perubahan struktural sel.

4. CBF hanya 20% dari nilai normal (10-15ml/100gr/otak/menit). Pada

keadaan ini sel-sel saraf otak akan kehilangan gradien ion, selanjutnya

terjadi depolarisasi anoksik dari membran.

Pada 3 jam permulaan iskemik akan terjadi kenaikan kadar air dan natrium di

substansi kelabu. Setelah 12-48 jam terjadi kenaikan kadar air dan natrium yang

13

Page 14: Sleep Apnea Stroke

progresif pada substansi putih, sehingga memperberat edema otak dan

meningkatkan tekanan intra kranial.

Ambang kegagalan fungsi sel saraf ialah bila aliran darah otak menurun sampai

kurang dari 10ml/100gr/otak/menit. Pada tingkat ini terjadi kerusakan yang

bersifat menetap dalam waktu 6-8 menit, sehingga akan mengakibatkan kematian

sel otak. Daerah ini dikenal sebagai ischemic core.

Perubahan Kimiawi Sel Otak

1. Pengurangan terus menerus ATP yang diperlukan untuk metabolisme sel.

Bila aliran darah dan ATP tidak segera dipulihkan maka akan

mengakibatkan kematian sel. Otak hanya dapat bertahan tanpa

penambahan ATP baru selama beberapa menit saja.

2. Berkurangnya aliran darah ke otak sebesar 10-15cc/100gr/otak/menit akan

mengakibatkan kekurangan glukosa dan oksigen sehingga proses

metabolisme oksidatif terganggu. Keadaan ini menyebabkan penimbunan

asam laktat sebagai hasil metabolisme anaerob, sehingga akan

mempercepat proses kerusakan otak.

3. Terganggunya keseimbangan asam basa dan rusaknya pompa ion karena

kurang tersedianya energi yang diperlukan untuk menjalankan pompa ion.

Gagalnya pompa ion akan menyebabkan depolarisasi anoksik disertai

penimbunan glutamat dan aspartat. Akibat dari depolarisasi anoksik ini

adalah keluarnya kalium disertai masuknya natrium dan kalsium.

Masuknya natrium dan kalsium akan diikuti oleh air, sehingga

menimbulkan edema dan kerusakan sel.

Integritas struktur endotelium pembuluh darah otak tidak terlalu tergantung pada

metabolisme. Endotelium tersebut bertahan dalam keadaan hipoksia dan iskemia

lebih lama daripada sel-sel jaringan otak. Neuron tidak dapat hidup bila ia

kekurangan oksigen selama 6-8 menit. Sel glia dapat bertahan sedikit lebih lama.

Sebaliknya endotelium darah otak dapat bertahan jauh lebih lama daripada sel-sel

glia. Desintegrasi sel-sel endotelium pembuluh darah otak dimulai setelah terjadi

nekrosis neuron dan glia. Selama masa iskemik otak berlangsung neuron serta sel

14

Page 15: Sleep Apnea Stroke

glia berdegenerasi. Sehubungan dengan itu pH otak menurun, adenosin dan

mungkin prostaglandin diproduksi. Oleh sebab itu pembuluh darah otak

berdilatasi dan autoregulasinya lenyap. Keadaan ini menimbulkan edema yang

mencapai puncaknya dalam 1 sampai 3 hari. Karena keadaan tersebut sawar darah

otak tidak berfungsi lagi.

Gambar 2. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik

Manifestasi Klinik

Pada stroke trombotik permulaan gejala sering pada waktu tidur, bangun tidur,

atau sedang istirahat. Kemudian berkembang dengan cepat, lambat laun, atau

secara bertahap sampai mencapai gejala maksimal dalam beberapa jam, kadang-

15

Oklusi pembuluh darah otakiskemi

Pompa Na/K gagal a.Cerebri

posterior

a.cerebri media

a.cerebri anterior

Edema interstitium, sel neuron membengkak

Respon Tubuh

Perfusi cerebral menurun

Ca intrasel ditingkatkan

infark

Eksitoksisitas terjadi

Release neurotransmitter eksitatorik, ex glutamate dalam jumlah berlebih

Release NO

Rangsang aktivitas kimiawi dan listrik sel otak lain dengan melekat ke reseptor molekul lain

Koma

Hemiparesis kontralateral

Aleksia

Hemiparesis atau monoparesis kontralateral

Afasia global

Kelemahan kontralateral yang lebih besar pada tungkai

Defisit sensorik kontalateral

Kerusakan dan kematian neuron progresif

Aktivitas enzim NO

Faktor risiko : modified dan unmodified

debris arteriosklerosis Plak, ateromatosa sinus carotis, arteri carotis interna

trombus

Pembentukan ATP berkurang

Pasokan darah berkurang

emboli

Monoparesis-tetraparesis

Hiperefleks

Ataksia

Tremor, vertigo

Tanda babinski bilateral

Disfagia

a.vertebralis

Page 16: Sleep Apnea Stroke

kadang beberapa hari (2-3 hari). Kesadaran biasanya tidak terganggu dan ada

kecenderungan untuk membaik dalam beberapa hari, minggu atau bulan.

Sedangkan pada stroke emboli, permulaan gejala terlihat sangat mendadak,

berkembang sangat cepat, dimana complete stoke biasanya sudah tercapai dalam

beberapa detik atau menit. Kesadaran biasanya tidak terganggu. Kemungkinan

juga disertai emboli pada organ lain. Pada stroke emboli, ada kecenderungan

untuk membaik dalam beberapa hari, minggu, atau bulan. Jantung merupakan

sumber embolus utama. Stroke emboli sering menimbulkan infark hemorrhagic,

dimana gejala neurologis yang terjadi sudah stabil bisa memburuk lagi.

Trombosis suatu arteri tertentu akan menimbulkan gejala-gejala yang khas bagi

penyumbatan arteri tersebut.

a) Trombosis Arteri Karotis Interna

Pada penderita muda yang masih memiliki sirkulus arteriosus willis yang

bagus tidak akan tampak suatu defisit neurologis. Tetapi pada orang yang

telah lanjut usia dan memiliki sirkulus arteriosus willis yang tidak dapat

berfungsi dengan baik akan tampak gejala-gejala seperti : hemiplegi di sisi

kontralateral, Afasia, bila arteri karotis interna mendarahi hemisfer yang

dominan. Buta pada sisi ipsilateral karena ikut tersumbatnya arterib

oftalmika disisi ipsilateral.

b) Trombosis Arteri Serebri Anterior

Gejala-gejala yang tampak berupa monoplegi tungkai di sisi kontralateral,

hemianastesia atau gangguan sensibilitas yang terbatas pada kaki di sisi

kontralateral.

c) Trombosis Arteri Serebri Media

Gejala-gejala berupa hemiparese kontralateral, hemianastesi kontralateral,

afasia bila yang tersumbat adalah arteri serebri media di hemisfer yang

dominan.

d) Trombosis Arteri Serebri Posterior

Gejala-gejala yang tampak adalah transient hemiparesis di sisi

kontralateral, transient hemianastesi di sisi kontralateral, hemianopsia

homonin dengan bagian sentral yang bebas, afasia sensorik, bila arteri

serebri posterior yang tersumbat adalah di hemisfer yang dominan.

16

Page 17: Sleep Apnea Stroke

e) Trombosis Arteri Serebellaris Posterior Inferior

Gejala berupa hemihipalgesia dan hemitermhipestesi alternans, parese

N.IX dan N.X di sisi kontralateral, vertigo, ataksia (di sisi homolateral),

Horner di sisi homolateral

f) Trombosis Arteri Serebellaris Superior

Gejala berupa ataksia hemiserebellaris ipsilateral, hemianastesi

kontralateral.

g) Trombosis Arteri Basilaris

Gejala yang tampak berupa vertigo, anesthesia di seluruh tubuh, tetraplegi,

komadengan pupil yang isokor dan kecil.

h) Trombosis Arteri Spinalis Anterior

Thrombosis arteri spinlis anterior akan menimbulkan mielomalasia dengan

gejala-gejala berupa paraplegi, gangguan sensibilitas setinggi lesi, dan

gangguan miksi, defekasi dan fungsi genitalia.

2.3 Sleep Apnea Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Stroke

Terjadinya OSA saat tidur menyebabkan oklusi jalan nafas berulang yang

menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan perubahan tekanan intratorakal yang

signifikan. Perubahan dinamika tersebut menyebabkan perubahan pada aktivitas

otonom, hemodinamik, cairan tubuh, dan vaskuler yang dapat berkontribusi

terhadap terjadinya stroke. Perubahan pada aktivitas otonomik yang

mempengaruhi pembuluh darah menyebabkan terjadinya vasokontriksi, dengan

peningkatan katekolamin dalam sirkulasi dan peningkatan produksi endothelin-1

(vasokonstriktor poten). Mekanisme tersebut menyebabkan hipertensi diurnal.

Penurunan fungsi endotel dan terjadinya aterogenesis yang cepat dapat

menyebabkan hipoksia berulang dan pressure surges pada pasien dengan OSA.

Penurunan CBF, fluktuasi tekanan darah, kelainan autoregulasi serebrovaskuler,

peningkatan agregasi platelet, peningkatan fibrinogen, dan peningkatan

homosistein plasma juga berkontribusi dalam menyebabkan stroke. (---)

17

Page 18: Sleep Apnea Stroke

Gambar 3. Obstructive Sleep Apnea (OSA) meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular (OSA-implic for cv)

Mekanisme peningkatan risiko stroke pada OSA antara lain:

Peningkatan aktivitas saraf simpatis

Pada orang normal terjadi sedikit perubahan regulasi sirkulasi darah saat tidur.

Aktivitas saraf simpatis, contohnya pengaturan detak jantung, tekanan darah,

cardiac output, dan resistensi pembuluh darah menurun secara progresif saat fase

tidur non-REM. Sementara itu, saat fase REM terjadi peningkatan aktivitas saraf

simpatis. Tekanan darah dan detak jantung sangat labil saat fase REM. Episode

apnea berulang akan mengganggu interaksi fisiologis normal antara tidur dan

sistem kardiovaskuler. Akibat langsung dari OSA terhadap hemodinamik adalah

terjadinya vasokonstriksi akibat peningkatan aktivitas saraf simpatis, peningkatan

keluaran ventrikel kiri, serta perubahan pada cardiac output. (OSA-implic for cv)

Sleep apnea meningkatkan aktivitas saraf simpatis sebagai akibat dari terjadinya

hipoksia, hiperkapnia, dan penurunan input dari thoracic stretch receptors.

Desaturasi O2 dan retensi CO2 saat terjadinya apnea meningkatkan aktivitas saraf

simpatis akibat stimulasi kemorefleks sentral dan perifer. Peningkatan aktivitas

saraf simpatis yang berujung pada terjadinya vasokonstriksi tersebut membantu

mempertahankan tekanan darah selama episode apnea saat terjadinya penurunan

cardiac output akibat penurunan venous return yang disebabkan karena adanya

manuver Muellers. (symphatetic)

Hipotesis bahwa hipertensi pada OSA dapat menyebabkan stroke didukung dari

data mikroneurografi yang mengukur aktivitas simpatis secara langsung. Pada

18

Page 19: Sleep Apnea Stroke

penelitian dengan 10 subyek OSA, aktivitas simpatis meningkat sebanyak 246%

selama 10 detik terakhir dari episode apnea, dengan peningkatan tekanan darah

dari rata-rata 92 mmHg saat terjaga sampai 127 mmHg saat tidur fase REM.

Peningkatan aktivitas simpatis yang persisten menunjukkan bahwa OSA dapat

menginduksi perubahan jangka panjang yang juga dapat menjadi faktor

predisposisi dari stroke. Efek otonomik juga dapat menyebabkan aritmia jantung,

yang prevalensinya 48% pada pasien apnea. Risiko terjadinya OSA sekitar 49%

pada pasien dengan fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium merupakan faktor risiko yang

kuat pada stroke, dan dapat juga meningkatkan risiko stroke pada pasien dengan

OSA. (--OSA N STROKE)

Saat apnea berakhir, terjadi terminasi dari aktivitas simpatis. Hal ini disebabkan

oleh berbagai hal, yaitu pernafasan dan stimulasi aferen paru, peningkatan tekanan

darah yang merangsang barorefleks, berakhirnya episode hipoksia dan

hiperkapnia, dan peningkatan tonus otot saat berakhirnya episode apnea akan

menghambat aktivitas saraf simpatis. (symphatetic)

Penurunan tekanan intratorakal

Usaha inspirasi melawan jalan nafas yang tertutup (manuver Mueller) merupakan

gejala kardinal dari OSA yang mengakibatkan terjadinya tekanan negatif

intratorakal yang rendah mencapai 80 cmH2O, yang tentu saja mempengaruhi

hemodinamika intratorakal. Perubahan tersebut mengakibatkan peningkatan

keluaran ventrikel kiri akibat peningkatan tekanan transmural, akan tetapi terjadi

penurunan pengisian ventrikel kiri akibat tekanan negatif intratorakal yang

mengganggu relaksasi ventrikel kiri. Kombinasi tersebut mengakibatkan

penurunan pada cardiac output. (OSA-implic for cv)

Perubahan tekanan intratorakal pada apnea juga dapat menyebabkan shunting

interatrial pada pasien dengan foramen ovale yang paten. Pada keadaan

hiperkoagulasi, anomali ini dapat menyebabkan risiko tinggi terjadinya emboli.

Penelitian terbaru mendapatkan hasil bahwa OSA merupakan penyebab yang

mungkin dalam terjadinya stroke kriptogenik. (pato of SA) Perubahan besar pada

tekanan intratorakal saat inspirasi juga meningkatkan pengisian pada jantung

kanan dan menyebabkan pergeseran septum interventrikel ke sebelah kiri. (---)

19

Page 20: Sleep Apnea Stroke

Perubahan tekanan darah drastis

Berhubungan dengan penjelasan d atas, tekanan darah yang meningkat pada

pasien stroke dengan sleep apnea dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain

oscillations pada cardiac output dan denyut jantung, peningkatan aktivitas saraf

simpatis, dan kelainan pada kontrol baroreseptor. Jika peningkatan tekanan darah

pada pasien dengan sleep apnea dan tanpa sleep apnea dibandingkan, maka

terlihat bahwa pada kelompok pasien stroke dengan sleep apnea memiliki

peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi, sehingga sleep apnea kemingkinan

merupakan faktor yang berkontribusi pada peningkatan tekanan darah post stroke.

NDS kemungkinan meningkat akibat ketidakseimbangan aktivitas simpatis dan

parasimpatis. Hal ini disebabkan karena peningkatan pengeluaran katekolamin

dan kortisol yang merupakan respon otak terhadap penurunan perfusi pada daerah

iskemia penumbra. Selain itu peningkatan katekolamin dan kortisol juga dapat

disebabkan oleh perubahan siklus tidur dan stres akibat rawat inap di rumah sakit.

(blood presure)

Penurunan Cerebral Blood Flow (CBF)

Saat terjadinya episode sleep apnea, saturasi O2 menurun, sementara CO2

meningkat. Hal tersebut dapat menyebabkan dilatasi pada pembuluh darah otak

dan berujung pada peningkatan CBF. (..the eff)

CBF memang secara normal meningkat pada tidur fase REM, dimana terjadinya

apnea dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan menurunkan tekanan perfusi

otak. Pada apnea, kejadian-kejadian tersebut jika digabungkan dengan

peningkatan aktivitas saraf simpatis pada tidur fase REM dapat menjadi faktor

predisposisi stroke. (--OSA n stroke)

Penurunan aktivitas fibrinolitik dan peningkatan agregasi platelet

Pada OSA, terjadi peningkatan fibrinogen dan aktivasi platelet yang menyebabkan

tingginya kemungkinan untuk terjadi trombus. Waktu pagi hari berkaitan dengan

aktivitas fibrinolitik yang rendah serta tingginya level katekolamin, viskositas

darah, dan aktivitas agregasi platelet, di saat aktivasi sistem saraf simpatis saat

20

Page 21: Sleep Apnea Stroke

tidur REM dan instabilitas hemodinamis dapat meningkatkan agregasi platelet dan

pertumbuhan plak. Peningkatan katekolamin dan aktivasi platelet pada OSA dapat

meningkatkan pembentukan trombus dan emboli yang berakibat pada

meningkatnya risiko terjadinya stroke. Peningkatan protein aktivasi platelet yaitu

ligan CD40 dan P-selektin berhubungan dengan terjadinya infark otak. MRI otak

menunjukkan adanya infark pada 25% kelompok dengan OSA derajat sedang

sampai berat, sedangkan hanya 6,7% pada kelompok kontrol (Minoguchi dkk).

Jumlah ligan CD40 dan P-selektin meningkat secara signifikan pada pasien apnea.

(--OSA n stroke)

Pada pasien dengan OSA derajat sedang sampai berat, terjadi peningkatan jumlah

CRP, sCD40L, and sP-selectin dibandingkan dengan pasien obesitas dan pasien

dengan OSA derajat ringan. Jumlah penanda inflamasi dan aktivasi platelet

tersebut juga lebih tinggi pada pasien OSA yang mengalami SBI dibandingkan

dengan yang tidak mengalami SBI. CRP merupakan penanda inflamasi, sekaligus

juga faktor yang berkontribusi dalam patogenesis aterosklerosis dengan peran

untuk mengaktivasi sel endotelium dan sel otot polos arteri koroner. CRP

merupakan prooksidan yang menginduksi produksi monocyte chemoattractant

protein-1 (MCP-1) dan ekspresi molekul adesi yaitu intracellular adhesion

molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1). Jumlah

sCD40L dan sP-selektin juga meningkat pada pasien OSA. Jumlah CRP dalam

serum berhubungan secara signifikan dengan jumlah sCD40L dan sP-selektin

pada pasien OSA. OSA merupakan mediator dalam peningkatan inflamasi

sistemik dan aktivasi platelet, dimana faktor-faktor tersebut memegang peran

potensial dalam progresivitas terjadinya aterosklerosis pada OSA.

Stres hipoksia pada OSA merupakan mediator inflamasi sistemik dan aktivasi

platelet yang dapat berujung pada terjadinya SBI pada pasien OSA. Terdapat

korelasi yang signifikan antara penurunan saturasi oksigen arteri dengan jumlah

CRP, sCD40L, dan sP-selektin salam serum. Hasil tersebut menunjukkan bahwa

hipoksia berhubungan dengan peningkatan inflamasi sistemik dan aktivasi platelet

yang berujung pada terjadinya SBI. (--silent)

Peningkatan fibrinogen dalam plasma juga berhubungan dengan peningkatan

risiko stroke. Fibrinogen plasma adalah protein fase akut yang disintesis di hati

21

Page 22: Sleep Apnea Stroke

dan berperan secara intrinsik dalam koagulasi. Fibrinogen plasma meningkatkan

terjadinya trombosis dan aterosklerosis melalui efeknya pada agregasi platelet,

dinding pembuluh darah, dan kerusakan sel endotelium. Pasien dengan OSA

menunjukkan adanya peningkatan fibrinogen pada pagi hari. Jumlah fibrinogen

berkorelasi positif dengan RDI dan lamanya episode respirasi, serta berkorelasi

negatif dengan desaturasi oksigen saat tidur.

Agregasi platelet meningkat secara signifikan pada pagi hari selama sekitar pukul

6 sampai pukul 9, yang berhubungan dengan peningkatan katekolamin plasma.

Periode tersebut merupakan periode dengan risiko tertinggi terjadinya kejadian

serebrovaskuler dan kardiovaskuler. Sebuah penelitian prospektif pada laki-laki

dengan OSA yang diperiksa dengan polisomnografi menunjukkan adanya

peningkatan aktivasi dan agregasi platelet yang signifikan pada pasien OSA

dibandingkan dengan kontrol. Setelah diuji dengan terapi CPAP (Continuous

Positive Airway Pressure) ternyata terdapat penurunan dari reaktivitas platelet.

Mekanisme peningkatan reaktivitas plateket pada pasien OSA kemungkinan

karena adanya hipoksemia, hiperkarbia, dan peningkatan katekolamin. (---)

Disfungsi endotel

Terjadi penurunan CBF sekitar 20-24% seiring terjadinya penuaan. Penurunan ini

berhubungan dengan atropi otak dan peningkatan resistensi pembuluh darah otak

sekunder akibat arteriosklerosis. Terdapat penumpukan beta amiloid di otak dan

pembuluh darah otak pada individu usia lanjut. Beta amiloid dapat menghasilkan

anion superoksida yang dapat mengganggu relaksasi pembuluh darah. Gangguan

relaksasi tersebut dapat disebabkan oleh degradasi NO (nitric oxide) karena

adanya reactive oxygen species pada dinding pembuluh darah. Terjadinya

hipoksia yang intermiten juga menyebabkan terjadinya disfungsi endotel serta

meningkatnya stres oksidatif pada pembuluh darah, dimana terjadi peningkatan

pada homosistein plasma, endothelin-1 (vasokonstriktor poten), vascular cell

adhesion molecule-1 (VCAM-1), intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1),

dan L-selektin. (---)

22

Page 23: Sleep Apnea Stroke

Gambar 4. Patofisiologi sleep apnea menyebabkan penyakit kardiovaskular (pato of SA)

Disfungsi baroreseptor

Respon pembuluh darah otak terhadap CO2 merupakan faktor proteksi yang

penting dalam mempertahankan homeostasis dengan meregulasi CBF dan arteri

terhadap perubahan pCO2. Penurunan respon pembuluh darah otak dan regulasi

CBF terhadap hipokapnia atau hiperkapnia mengakibatkan terjadinya perubahan

hemodinamis yang lebih besar di otak dan kemoreseptor sentral. Sensitivitas yang

tinggi terhadap ventilasi saat episode apnea dan perubahan CO2 yang

menyebabkan autoregulasi CBF diteliti pada hewan dengan cara mengoklusi

aliran arteri karotis, serta pada manusia dengan menggunakan indometasin

(inhibitor siklooksigenase) untuk menurunkan reaktivitas pembuluh darah

terhadap CO2 secara selektif. Penurunan respon pembuluh darah otak dan regulasi

CBF terhadap CO2 terjadi pada usia tua, pasien dengan gagal jantung kongestif,

dan pasien dengan OSA yang berat. (pato of SA)

Pembuluh darah otak sangat sensitif terhadap perubahan PaO2 dan PaCO2. CBF

meningkat secara progresif saat episode apnea, akan tetapi menurun drastis saat

periode hiperventilasi post apnea. (pato of SA)

23

Page 24: Sleep Apnea Stroke

Gambar 5. Patofisiologi sleep apnea menyebabkan stroke (----)

2.4 Penatalaksanaan Sleep Apnea pada Stroke

Memutuskan yang mana dari berbagai pilihan pengobatan yang paling sesuai

untuk manajemen OSA sabgat bergantung pada keparahan kondisi dan

karakteristik dari masing-masing pasien. Perawatan yang dianjurkan untuk OSA

yang sedang dan berat yaitu tekanan udara positif terus-menerus (Continuous

Positive Airway Pressure /CPAP) tidak selalu diterima dengan mudah oleh pasien

dan akhirnya keputusan untuk menggunakannya kembali pada pilihan pasien.

Secara garis besar, pilihan pengobatan OSA dapat dibagi menjadi tiga yaitu

intervensi perilaku, intervensi non-pembedahan, dan intervensi pembedahan.1

Intervensi Perilaku

Pada beberapa kasus, intervensi perilaku dan self-care merupakan cara terbaik

dalam menangani OSA. Beberapa cara yang dapat dilakukan diantaranya:

Menurunkan berat badan

Penurunan berat badan yang berlebih, bahkan dalam jumlah sedikit dapat

membantu mengurangi konstriksi dari tenggorokan. Pada beberapa kasus,

24

Page 25: Sleep Apnea Stroke

OSA dapat sembuh ketika berat badan telah mencapai berat badan ideal.

Dalam menurunkan berat badan diharapkan untuk selalu berkonsultasi dengan

dokter untuk menentukan program penurunan berat badan yang aman dan

sesuai dengan kondisi penderita.

Hindari alkohol dan obat-obatan tertentu

Zat dan obat-obatan seperti obat penenang dan obat tidur dapat

merelaksasikan otot pada bagian belakang tenggorokan sehingga akan

mengurangi fungsi dilator saluran nafas dan mengakibatkan terganggunya

proses pernafasan.

Pengubahan posisi tidur

Tidur menghadap ke samping atau tidur telungkup sangat disarankan pada

penderita OSA daripada tidur telentang Tidur telentang dapat mengakibatkan

lidah dan soft palate jatuh sesuai dengan gaya gravitasi dan menekan bagian

belakang dari tenggorokan yang kemudian akan menyebabkan tertutupnya

saluran pernafasan. Pencegah agar tidak tidur telentang dapat dengan

dilakukan dengan cara menaruh pengganjal pada bagian atas dari baju tidur,

misalnya dengan menjahit bola tenis pada bagian atas baju tidur.

Jaga saluran hidung terbuka pada malam hari.

Penggunaan spray hidung berupa salin dapat membantu menjaga saluran

hidung tetap terbuka, akan tetapi penggunaan dekongestan hidung atau

antihistamin lainnya harus dengan pengawasan dokter karena pengobatan ini

umumnya hanya direkomendasikan sebagai terapi jangka pendek.1

Intervensi Non-Pembedahan

Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

Tekanan udara positif terus-menerus (continuous positive airway pressure

/CPAP) berfungsi sebagai belat pneumatik yang akan menjaga patensi saluran

nafas pada seluruh fase pernafasan tidur. Alat ini bekerja dengan bantuan

generator yang akan menghasilkan aliran udara bertekanan melalui selang

udara yang akan dihubungkan dengan masker hidung atau muka yang

dikenakan sepanjang malam. Sebagian besar pasien biasanya memerlukan

25

Page 26: Sleep Apnea Stroke

pengobatan seumur hidup, sehingga memerlukan akses jangka panjang pada

mesin CPAP.1

Gambar 6. Masker Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)

Bi-Level Positive Airway Pressure (BPAP)

Alat ini memiliki kegunaan yang serupa dengan CPAP, hanya saja tekanan

inspiratori dan ekspiratorinya dapat diatur secara bebas, dibandingkan dengan

CPAP yang memiliki tekanan yang konstan terus-menerus. Dengan

menggunakan alat ini, tekanan yang lebih tinggi akan diberikan ketika

inspirasi dan tekanan akan diturunkan ketika ekspirasi, sehingga memberikan

keuntungan pada pasien yang menderita kegagalan ventilasi.1

Intra-oral Devices (IODs)

Merupakan serangkaian peralatan yang dipasang di dalam mulut dan

dirancang untuk mengubah patensi dari saluran nafas atas. Beberapa teknik

telah dikembangkan, tetapi pemajuan mandibula merupakan yang paling

sering dilakukan. Peralatan ini akan mengakibatkan pemindahan dari

mandibula ke arah anterior sehingga akan menambah diameter saluran nafas

atas. Derajat dari protrusi mandibula dapat disesuaikan dan diatur kemudian.1

Gambar 7. Intra-oral Devices (IODs)1

26

Page 27: Sleep Apnea Stroke

Terapi farmakologis

Sangat sedikit data yang mendukung terapi farmakologis sebagai pilihan

terapi yang efektif pada OSA. Tinjauan sistematis utama dari farmakoterapi

menyimpulkan tidak ada medikasi yang memberikan respon yang konsisten

terhadap OSA. Obat-obat yang menekan rapid eye movement (REM), seperti

protryptyline, acetozolamide dan progesteron, tidak menunjukkan manfaat

klinis dalam mengobati OSA pada suatu uji terkontrol. Penggunaan teofilin

juga menunjukkan efek yang tidak konsisten dengan kecenderungan untuk

mengganggu tidur pada pasien dengan OSA, tetapi membantu pada respirasi

Cheyne-Stokes. Sementara itu golongan hipnotik, seperti benzodiazepin, dapat

memperburuk OSA.

Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa penambahan obat yang

mewaspadakan (alerting), seperti modafanil, mungkin memiliki sedikit efek

menguntungkan terhadap rasa kantuk pada beberapa pasien yang tetap

mengantuk meskipun kepatuhan CPAP baik. Namun penggunaan obat ini

dapat mengurangi penggunaan CPAP dan suatu penelitian jangka panjang

untuk menilai keuntungan dan resiko dari obat ini perlu dilakukan.1

Intervensi Pembedahan

Banyak intervensi pembedahan yang telah digunakan dalam pengobatan OSA,

dimana semuanya bertujuan untuk meningkatkan diameter faring dan mengurangi

resistensi faring selama tidur. Beberapa intervensi pembedahan yang dapat

dilakukan diantaranya uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), tracheostomy, laser-

assisted uvuloplasty (LAUP), mandibular osteotomy, reduction glossectomy,

nasal reconstruction, tonsillectomy dan adenoidectomy, dan pemajuan dari rahang

atas atau rahang bawah.2

Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP)

UPPP pertama kali diperkenalkan oleh Ikematsu tahun 1964 sebagai

pengobatan dari kebiasaan mendengkur. Fujita kemudian memodifikasi teknik

ini untuk meningkatkan celah jalan nafas dengan cara memotong uvula dan

aspek posterior dari soft palate sepanjang 8-15 mm, serta mukosa pada

27

Page 28: Sleep Apnea Stroke

dinding lateral faring yang berlebihan. Meskipun UPPP memberikan

perbaikan gejala pada kebiasaan mendengkur yakni hingga 90% dari total

kasus, hanya 41%-66% yang mengalami perbaikan atau eliminasi dari OSA.

Alasan UPPP bisa gagal adalah bahwa prosedur ini hanya memperbaiki

obstruksi pada daerah soft palate saja, tanpa memperbaiki jalan napas di dasar

lidah (daerah hypopharyngeal) atau rongga hidung. Selain itu, bekas luka

berupa kontraktur di batas posterior soft palate dapat menciptakan sebuah efek

“tirai” yang menarik soft palate ke bawah ke arah lidah dan menyebabkan

penyempitan melintang signifikan antara pilar faucial posterior, yang akan

memberikan kontribusi bagi OSA ke depannya. Komplikasi dari UPPP

meliputi regurgitasi nasal, velopharyngeal incompetence, stenosis palatal, dan

OSA residual.

Wolford kemudian mengembangkan suatu modifikasi dari prosedur UPPP

tradisional yang meminimalisasi insisi di batas posterior dari soft palate,

sehingga mengurangi bekas luka akibat operasi dan secara efektif

meningkatkan celah jalan nafas setelah operasi.

Trakeostomi

Trakeostomi permanen merupakan prosedur pertama yang memberikan efek

positif terhadap OSA dan merupakan prosedur yang paling umum dilakukan

untuk mengobati OSA pada tahun 1970-1980an. Trakeostomi memiliki angka

keberhasilan yang sangat tinggi dalam mengatasi keluhan OSA, kecuali pada

pasien dengan obesity-hypoventilation syndrome, dikarenakan prosedur ini

akan membuat bypass langsung melewati semua tempat yang potensial

menyebabkan obstruksi di saluran nafas atas. Walaupun memiliki efektifitas

yang sangat tinggi, trakeostomi jarang digunakan sebagai pengobatan OSA

lini pertama dikarenakan kerugian serius yang dapat diakibatkan, diantaranya

stenosis trakea, erosi pembuluh darah, bronkitis purulen yang rekuren,

kesulitan bicara dan masalah estetika.

Anterior Mandibular Osteotomy With Genioglossus Advancement

Pada prosedur ini dilakukan osteotomi pada mandibula anterior, sehingga

membentuk sebuah blok segmen yang menggabungkan genial tubercles dan

28

Page 29: Sleep Apnea Stroke

perlekatan otot terkait. Blok tulang kemudian direposisi ke arah anterior untuk

memajukan dan menggantung tulang hyoid pada mandibula. Angka

keberhasilan dari prosedur ini mencapai 67%, dimana kegagalan biasanya

berhubungan dengan obesitas dan perkembangan tulang mandibula yang

abnormal. Selain itu, beberapa kerugian yang dapat diakibatkan diantaranya

prosedur ini tidak memperbesar rongga mulut, dapat memnyebabkan

terlepasnya otot genioglossus dan tidak efektif pada kasus OSA berat.

Anterior Mandibular Osteotomy With Inferior Border Advancement

(Genioplasty)

Pada prosedur ini dilakukan osteotomi horizontal pada mandibula anterior

dengan pemajuan otot genioglossus dan batas bawah mandibula. Keuntungan

dan kerugian dari prosedur ini mirip dengan prosedur Anterior Mandibular

Osteotomy With Genioglossus Advancement. Akan tetapi, prosedur ini juga

dapat mengakibatkan perubahan pada profil wajah pasien.

Laser-assisted Uvuloplasty (LAUP)

LAUP mulai terkenal sebagai pengobatan dari mendengkur dengan angka

kesuksesan mencapai 80%-85%. Kelebihan prosedur ini dibandingkan UPPP

adalah pasien dapat dirawat jalan dan hanya memerlukan anastesi lokal, dapat

diulang, dan mengurangi komplikasi postoperatif. Akan tetapi, laporan terbaru

menyebutkan bahwa efikasi dari LAUP untuk mengobati OSA adalah 27%

pasien memiliki respon yang baik, 34% memiliki respon yang buruk, dan 30%

malah mengalami perburukan.

Reduction Glossectomy

Makroglosia sejati atau relatif dapat ditemukan pada beberapa pasien OSA.

Lidah yang membesar dapat mengurangi posterior airway space (PAS) pada

orofaring. Hasil dari CT scan telah mengkonfirmasi bahwa volume dari lidah

bertambah dengan meningkatnya derajat obesitas. Sementara pada

makroglosia relatif, lidah masih berukuran normal namun terlihat lebih besar

dibanding normal akibat volume rongga mulut yang berkurang karena rahang

yang retroposisi. Jika ditemukan adanya makroglosia sejati, reduction

glossectomy dapat dilakukan dengan cara memotong bagian anterior dan

29

Page 30: Sleep Apnea Stroke

sepertiga tengah dari lidah. Pengaruh terhadap kemampuan pengecap dan

sensoris biasanya sangat minimal setelah operasi.

Gambar 8. Prosedur Reduction Glossectomy

Rekonstruksi Nasal

Prosedur seperti nasoseptoplasty, nasal turbinectomies, columella

narrowing, pembesaran dari katup luminal, nasal polypectomies, dan

rekonstruksi dari kartilago dan tulang eksternal merupakan prosedur yang

dapat dilakukan untuk memperbaiki obstruksi saluran nafas pada hidung.

Tonsillectomy dan Adenoidectomy

Hipertropi jaringan tonsilar dan adenoid dapat berkontribusi terhadap

obstruksi jalan nafas pada level nasofaring dan orofaring, terutama pada

anak-anak dan remaja. Pemeriksaan klinis dan radiografi, serta

nasopharyngoscopy, biasanya dapat mengidentifikasi keterlibatan struktur

ini. Tonsilektomi dan adenoidektomi dapat dilakukan untuk

menghilangkan obstruksi ini.

Maxillomandibular Advancement Surgery (Orthognathic Surgery)

Selama beberapa tahun terakhir, kombinasi dari pemajuan rahang atas dan

rahang bawah telah menjadi prosedur operasi pilihan untuk pengobatan

OSA pada pasien dengan penurunan saluran udara orofaringeal, dan

banyak penelitian telah melaporkan efek menguntungkan pada posterior

airway space (PAS). Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pasien

dengan area crosssectional faring yang berkurang sangat rentan

mengalami kolaps faring dan OSA. Prosedur maxillomandibular

advancement surgery sangat efektif dalam menghilangkan OSA dengan

30

Page 31: Sleep Apnea Stroke

memperbesar PAS dan mengencangkan otot dan tendon dari saluran nafas

atas seperti otot velopharyngeal dan suprahyoid, dengan cara memajukan

tulang origo mereka.

31

Page 32: Sleep Apnea Stroke

BAB 3

SIMPULAN

Sindrom obstructive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu gangguan tidur

yang ditandai dengan episode berulang obstruksi jalan napas bagian atas saat tidur

yang menyebabkan hipopnea atau apnea aliran udara di hidung/mulut. Sementara

itu, stroke non hemoragik (SNH) merupakan stroke yang dapat disebabkan oleh

trombus, emboli, atau tromboemboli. Stroke trombosis disebabkan oleh agregasi

dari faktor-faktor trombosis dimana lumen pembuluh darah tersebut menjadi

menyempit. Sedangkan stroke emboli disebabkan karena sumbatan secara

mendadak pada arteri yang mensuplai darah di otak. Stroke iskemik adalah tanda

klinis gangguan fungsi atau kerusakan jaringan otak sebagai akibat dari

berkurangnya aliran darah ke otak, sehingga mengganggu pemenuhan kebutuhan

darah dan oksigen di jaringan otak. Hal tersebut salah satunya dipengaruhi oleh

terjadinya obstructive sleep apnea (OSA).

Terjadinya OSA saat tidur menyebabkan oklusi jalan nafas berulang yang

menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan perubahan tekanan intratorakal yang

signifikan. Perubahan dinamika tersebut menyebabkan perubahan pada aktivitas

otonom, hemodinamik, cairan tubuh, dan vaskuler yang dapat berkontribusi

terhadap terjadinya stroke. Perubahan pada aktivitas otonomik yang

mempengaruhi pembuluh darah dapat pula menyebabkan terjadinya

vasokonstriksi. Mekanisme tersebut menyebabkan hipertensi diurnal. Penurunan

fungsi endotel dan terjadinya aterogenesis yang cepat dapat menyebabkan

hipoksia berulang dan pressure surges pada pasien dengan OSA. Penurunan CBF,

fluktuasi tekanan darah, kelainan autoregulasi serebrovaskuler, peningkatan

agregasi platelet, peningkatan fibrinogen, dan peningkatan homosistein plasma

juga berkontribusi dalam menyebabkan stroke.

Secara garis besar, pilihan pengobatan OSA dapat dibagi menjadi tiga yaitu

intervensi perilaku, intervensi non-pembedahan, dan intervensi pembedahan.

Intervensi perilaku antara lain adalah menurunkan berat badan, hindari alkohol

dan obat-obatan tertentu, pengubahan posisi tidur, dan jaga saluran hidung terbuka

pada malam hari. Intervensi non pembedahan antara lain Continuous Positive

32

Page 33: Sleep Apnea Stroke

Airway Pressure (CPAP), Bi-Level Positive Airway Pressure (BPAP), serta Intra-

oral Devices (IODs). Intervensi pembedahan bertujuan untuk meningkatkan

diameter faring dan mengurangi resistensi faring selama tidur, yang terdiri dari

uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), tracheostomy, laser-assisted uvuloplasty

(LAUP), mandibular osteotomy, reduction glossectomy, nasal reconstruction,

tonsillectomy dan adenoidectomy, dan pemajuan dari rahang atas atau rahang

bawah.

33