Upload
rahmi-nur-fitriani-misilu
View
241
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ujian
Citation preview
BAB I
STATUS UJIAN
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Umur : 55 Tahun
JenisKelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Tipar cakung RT 010 RW 001 No. 65 kel. Sukapura kec. Celincing
Agama : Islam
Status : Menikah
Nomor RM : 210533
Masuk RS : 22 Agustus 2015
ANAMNESIS (Auto dan Alloanamnesis) tanggal 24/8/2015
KU : Benjolan pada bahu kiri
RPS : Pada Awalnya sekitar sebulan yang lalu pasien baru menyadari ada
benjolan pada bahu kiri sampai lengan bagian atas sebelah kiri sebesar buah
pir kadang-kadang terasa agak ngilu jika terlalu banyak beraktifitas tapi tidak
menggangu kegiatan sehari-hari. Pasien tidak sadar awal timbulnya benjolan
karena selama ini menurut pasien badannya naik berat badan bertambah
gemuk. Tidak nyeri jika ditekan dan tidak terasa panas pada bagian benjolan.
Demam, mual, muntah, nyeri kepala disangkal oleh pasien.
R Peny.Dahulu : Pasien pernah berobat 1 bulan yang lalu ke puskesmas dan langsung
dirujuk ke Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura . Riwayat hipertensi
(-), Riwayat jantung (-) , Riwayat asma (-), riwayat DM (-), riwayat
operasi (-).
R Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami riwayat Hipertensi, DM
dan jantung disangkal
1
R. Pengobatan : Os tidak pernah mengkonsumsi obat obatan yang berhubungan dengan
penyakitnya.
R. Alergi : Os menyangkal memiliki alergi seperti obat -, makanan -, zat tertentu
R. Psikososial : Os tidak merokok -, Konsumsi alkohol -
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TTV : TD : 140/90 mmHg
HR :88 x/menit
RR : 22 x/menit
S : 36,5
Antropometri : BB : 65 kg
TB : 152 cm
Kepala : Normocephal
Mata : konjungtiva anemis (-/-),sclera ikterus (-/-), sianosis (-)
ODS : reflex cahaya+/+
Mulut : Gigi geligi dbn, gigi palsu -
Leher : bruit (-) pembesaran KGB (-)
Thorax :
Inspeksi : bentuk dada normochest, simetriskiri=kanan, ikutgeraknapas
Palpasi : MT (-), NT (-), focal fremituskiri=kanan
Perkusi : sonor kiri=kanan
Auskultasi : vesikuler (+/+), Rh -/-, Wh-/-
Jantung :
Inspeksi : IC tidak tampak
2
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi : Batas kanan jantung di linea para sternal dextra
Batas kiri jantung di interkostalis 5 midclavicularis sinistra
Auskultasi : S1/S2murni, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : peristaltik (-)
Palpasi : pembesaran hepar/lien tidakteraba
Perkusi : timpani (-), ballottement (-)
Extremitas :
Atas : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-, RCT <2 dtk +/+
Bawah : akral hangat +/+, sianosis -/-, edema -/-, RCT <2 dtk +/+
STATUS LOKALIS
a/r. deltoid sinistra
Benjolan berukuran 7 x 5 cm, permukaan rata (+), mobile (+), nyeri tekan (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan
HEMATOLOGI RUTIN
Hb 12,9 11,7-15,5 g/dL
leukosit 6900 3,60-11,00 10 D3 /µl
Ht 37,4 35-47 %
trombosit 380.000 150-440 10 D3 /µL
3
Masa Perdarahan 2’00”
Masa Pembekuan 4’00”
RESUME
benjolan pada bahu kiri sampai lengan bagian atas sebelah kiri sebesar buah pir kadang-
kadang terasa agak ngilu jika terlalu banyak beraktifitas tapi tidak menggangu kegiatan
sehari-hari. Tidak nyeri jika ditekan dan tidak terasa panas pada bagian benjolan.
Pemeriksaan fisik:
TD : 140/90 mmHg
HR : 88 x/menit
RR : 22 x/menit
Status lokalis
a/r. deltoid sinistra
Benjolan berukuran 7 x 5 cm, permukaan rata (+), mobile (+), nyeri tekan (-)
Diagnosis : Giant Lipoma dan Hipertensi
LAPORAN STATUS ANASTESIA
Nama :Ny. N
Umur : 55 Tahun
Ruangan : Abudzar 1
Anastesiologis : Dr. Eva Susana, Sp.An.
Operator : Dr. Sunaryo,Sp. B
4
Jenis Operasi : Eksterpasi
Jenis Anastesi : General Anasthesia
Respirasi : Kendali, O2 nasal : 2 lt/ mnt
Anastesia dengan : ketalar, recofol
TekhnikAnastesia : TIVA
a) Diagnosis pra-bedah : Giant Lipoma dan Hipertensi
b) Diagnosis post-bedah : Giant Lipoma dan hipertensi
c) Jenis pembedahan : Ekterpasi
Preoperatif :
TD: 160/90 mmHg; HR: 95x/menit; RR : 21x/menit; T : 36,50C
TB : 152 cm; BB : 65 kg
HB : 12,9; HT : 37,4
Riwayat asma (-)
Riwayat Hipertensi (+)
Riwayat jantung ( -)
Riwayat DM (-)
Riwayat alergi obat2an (-)
Riwayat operasi (-)
Premedikasi :
Tidak Terdapat gigi palsu
ASA : II (Terdapat penyakit sistemik ringan/sedang “hipertensi”)
Persiapan Operasi :
Dipuasakan 6-8 jam sebelum op. :
Intake oral terakhir :03.00 WIB tgl 24 Agustus 2015
Saat di ruang persiapan, pasien di infus dg Rl.
5
Lalu pasien masuk ruang op jam 09.00 WIB
Dilakukan pemasangan pengukur saturasi 02, manset utk mengukur TD
Catatan Anasthesia :
Jenis Anestesi : General Anesthesia
Teknik Anestesi : TIVA
Pelaksanaan :
Pasien diinduksi pd jam 09.20
Dg obat :
o Prozepam 7,5 mg
o Ketalar 30 mg
o Recofol 50 mg
Monitoring :
o TTV :
o TD : 170/95 mmHg, Nadi : 91 x/menit, RR : 20 x/menit kendali, SpO2 99%.
Dilakukan pemsangan kanul oksigen 2 liter permenit
Monitoring TTV, SpO2
Pemberian Obat-obatan :
Pukul 09.30:
o Ketalar 30 mg
o Recofol 50 mg
Pukul 09.35
o Ketalar 20 mg
o Recofol 50 mg
Stlh nafas pasien adekuat, lalu pasien dipindahkan ke ruang observasi.
Dilakukan monitoring Skor ALDRETE, TD, Nadi dan SpO2
Skor Aldrete
Pasien pulih sesuai skor aldrete jam 09.45
6
Skor Aldrete 10.
* Aktivitas 2 pasien mampu menggerakkan ke 4 ekstremitas
* Respirasi 2 pasien mampu bernapas spontan/batuk
* TD 2 20% pra anestesi
* Kesadaran 2 Sadar
* Saturasi 02 2 > 99%
Pasca anastesia :
TTV :
* TD : 140/70 mmHg
* Nadi : 68 x/menit
* RR : 20 x/menit
* Sp O2 : 99% dan tanpa O2
Jumlah Medikasi :
(1) Prozepam 7,5 mg
(2) Ketalar 80 mg
(3) Recofol 150 mg
(4) Cairan : Ringer Laktat 20 tpm
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANASTESI PADA PASIEN HIPERTENSI
a. Penilaian Preopertaif dan Persiapan Preoperative Pasien Hipertensi
Sebuah pertanyaan sering muncul dalam praktek anestesi adalah derajat hipertensi pra
operasi yang dapat diterima pada pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif.Kecuali
untuk pasien secara optimal dikontrol, kebanyakan pasien hipertensi masuk ke ruang operasi
dengan beberapa derajat hipertensi.Meskipun pada saat preoperative pasien memiliki
hipertensi sedang (tekanan <diastolik 90-110 mm Hg) namun hal ini tidak menutup
kemungkinan terjadinya komplikasi pasca operasi.Penelitian lainnya menunjukkan bahwa
pasien hipertensi yang tidak diobati atau tidak terkontrol lebih cenderung untuk mengalami
episode iskemia intraoperatif infark, aritmia, atau hipertensi, dan hipotensi.Penyesuaian
intrabedah selama anestesi serta penggunaan obat vasoaktif diharapkan dapat mengurangi
insiden komplikasi postoperasi yang disebabkan preoperatif tidak memadai untuk mengontrol
hipertensi. (Morgan, 2002)
pemeriksaan dengan melakukan anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya,
pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya.Penilaian status
volume cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan
vasodilator).Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan
hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya
aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat membantu. Adanya LVH
dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan
BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim
ginjal.Jika ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan
peningkatan volume plasma perlu diperhatikan.Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat
adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.Tujuan pengobatan
hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk
penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
8
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya bisa
dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu layak atau
selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.Penurunan tekanan darah yang
berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral. Selain itu, keputusan apakah akan menunda
atau melanjutkan dengan intervensi bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya
elevasi tekanan darah sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel
atau komplikasi vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar
yang disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan). Dalam banyak
kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena ketidakpatuhan pasien dengan pola obat
yang diberikan.Dengan sedikit pengecualian, antihipertensi harus dilanjutkan sampai
operasi.Beberapa dokter mempertahankan pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum
operasi karena hubungannya dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE
inhibitor diketahui dapat mencegah terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu
mencukupi kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik
preoperatif lebih besar dari 110 mmHg, terutama pada pasien yang telah diketahui pasti
mengalami kerusakan organ akhir maka operasi harus ditunda sampai tekanan darah lebih
terkontrol selama beberapa hari. (morgan, 2002)
b. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestesi
Mengurangi mual-muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat dibutuhkan pada pasien
hipertensi.Preoperatif hipertensi ringan hingga menengah sering sembuh setelah pemberian
agen anxiolytic, seperti midazolam.pemberian antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan
sesuai jadwal dan dapat diberikan dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan sebelumnya,
9
beberapa dokter melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena diketahui dapat mencegah
menurunkan tekanan darah intraoperatif. Pemberian α2adrenergik agonis sentral dapat
dijadikan sebagai tambahan yang berguna untuk premedikasi penderita hipertensi, pemberian
sedasi tambahan klonidine dosis 0,2 mg dapat mengurangi penggunaan obat anestesi
intraoperatif dan mengurangi terjadinya hipertensi perioperative. Sayangnya, pemerian
klonidine selama selain dapat menimbulkan hipotensi tapi juga menyebabkan terjadinya
bradikardi selama operatisi. (morgan, 2002)
c. Manajemen Intraoperatif
Objektif
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien.Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati
seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran
darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran darah
otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi
jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.
Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya
iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya.Tekanan darah arteri
umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi terjadi
sebelum operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah
arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg.
(morgan, 2002)
Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan intraoperatif
khusus.Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan pada pasien dengan
tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur pembedahan utama yang
terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai dengan preload jantung atau
afterload.Pemantauan elektrokardiografi bertujuan untuk mengetahui dengan cepat
tanda-tanda iskemia.Produksi urin harus dipantau melalui kateter urin terutama pada
pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani tindakan dan diharapkan dapat
bertahan lebih dari 2 jam.Selama pemantauan hemodinamik invasive dilakukan,
10
pemenuhan kebutuhan ventrikel sering berkurang terutama pada pasien dengan
hipertrofi ventrikel.
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu tinggi.
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama
pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Pada hipertensi
kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan autoregulasi dari serebral dan ginjal.
Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi penurunan aliran darah
serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi
jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi
kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan
beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama dengan
yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa
digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipilih sebagai
teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering menyebabkan
hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan
hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang diberikan,
maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti phaeochromacytoma,
carcinoid syndrome dan tyroid storm.
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi.Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat
intubasi sering menimbulkan hipertensi.Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi perifer
terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga pemberian cairan
sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
11
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena efek dari
obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita,
seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi
biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea yang
bisa menyebabkan takikardia dan iskemia miokard.Angka kejadian hipertensi akibat
tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi
dibawah 15 detik dapat membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik
Beberapa teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi
untuk menghindari terjadinya hipertensi (morgan, 2002)
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.
Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25 mikrogram/kgbb,
sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb, propanolol 1-3
mg, atau labetatol 5-20 mg).
Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.
d. Pemilihan obat anestesi
Obat induksi
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas
bagi agen hipertensi.Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah
yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan
pasien normotensi.Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah
induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi. Pemberian
ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena dapat memicu
terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian dosis
kecil bersama dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau
propofol(morgan, 2002)
Rumatan
Anestesi bisa aman dilanjutkan dengan agen volatile (tunggal atau dengan
oksida nitrous), suatu teknik seimbang (oksida opioid + nitrous + relaksan otot),
atau sama sekali teknik intravena. Terlepas dari teknik pengobatan primer,
penambahan agen volatile atau vasodilator intravena umumnya memungkinkan
kontrol lebih memuaskan tekanan darah intraoperatif.vasodilatasi Depresi dan
12
miokard yang relatif cepat dan reversibel yang diberikan oleh agen volatile dapat
berpengaruh terhadap tekanan darah arteri.Oleh sebab itu, beberapa dokter
percaya bahwa pemberian opioid dan sufentanil dapat menekan saraf otonom serta
mengontrol tekanan darah. (morgan, 2002)
Pelumpuh otot
Dengan beberapa pengecualian seperti pankuronium, setiap pelumpuh otot
dapat digunakan secara rutin.Pankuronium memiliki efek memblokade syaraf
vagal dan melepaskan katekolamin sehingga dapat memperburuk keadaan pasien
hipertensi yang tidak terkontrol. Ketika pankuronium diberikan perlahan-lahan
dan sedikit demi sedikit akan terjadi peningkatan detak jantung serta naiknya
tekanan darah. Tetapi pankuronium berguna utnuk mengimbangi kekuatan vagal
berlebihan yang disebabkan oleh manipulasi opioid atau bedah. Pemberian obat
hipotensi seperti tubocurarine, merocurine, acracurium, atau mungkin mivacurium
dapat dijadikan pilihan untuk pasien hipertensi.1
Vasopressors
Penderita hipertensi dapat menampilkan respon berlebihan untuk kedua
ranjau-catechola endogen (dari inkubasi atau stimulasi bedah) dan agonis simpatik
eksogen diberikan.Jika seorang vasopresor diperlukan untuk mengobati hipotensi
berlebihan, dosis kecil agen langsung penuaan seperti fenilefrin (25-50 Âμg)
mungkin lebih baik untuk agen langsung.Namun demikian, dosis kecil efedrin (5-
10 mg) lebih tepat bila tinggi nada vagal. Kesabaran sympatholytics diambil
sebelum operasi mungkin menunjukkan respon jatuh ke vasopressors, terutama
efedrin.1
e. Hipertensi Intraoperatif
Hipertensi intraoperatif tidak menanggapi peningkatan kedalaman anestesi
(terutama dengan agen volatile) dapat diobati dengan berbagai agen parenteral
(Tabel 20-5).menyebabkan Reversible siap seperti kedalaman anestesi yang tidak
memadai, hipoksemia, atau hypercapnia harus selalu dikecualikan sebelum
memulai terapi antihipertensi. Pemilihan agen hipotensi tergantung pada
ketajaman, keparahan, dan menyebabkan hipertensi, fungsi dasar ventrikel, tingkat
hem, dan adanya penyakit paru-paru bronchospastic.β-adrenergik blokade sendiri
atau sebagai dukungan-plement merupakan pilihan yang baik untuk pasien dengan
13
fungsi ventrikel yang baik dan detak jantung tinggi tetapi kontraindikasi pada
pasien dengan penyakit bronchospastic. Nicardipine mungkin lebih baik untuk
pasien dengan penyakit bronchospastic. Reflex tachycardia berikut nifedipin
sublingual telah associted dengan infark ischernia.Nitroprusside tetap menjadi
agen yang paling cepat dan efektif untuk pengobatan intraoperarive hipertensi
sedang sampai parah.Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga berguna
dalam mengobati atau mencegah iskemia miokard.Fenoldopam juga merupakan
agen yang berguna dan dapat meningkatkan atau mempertahankan fungsi
ginjal.hydralazine Berkelanjutan menyediakan kontrol tekanan darah namun
memiliki onset tertunda dan sering dikaitkan dengan takikardi refleks. Yang
terakhir ini tidak terlihat dengan labetalol karena kombinasi blockade α dan β
adrenergik(morgan, 2002)
f. Manajemen Postoperratif
Hipertensi pascaoperasi harus diantisipasi terutama pada pasien dengan
hipertensi kurang terkontrol.Pemantauan tekanan darah harus terus dilanjutkan
baik di ruang pemulihan dan periode pasca operasi dini.Iskemia miokard dan
gagal jantung kongestif dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah
sehingga terjadi hematoma dan luka pada garis jahitan gangguan pembuluh darah.
Hipertensi pada periode pemulihan sering multi-faktorial dan ditingkatkan
dengan gangguan pernapasan, rasa sakit, volume overload, atau distensi kandung
kemih.Masalah tambahan harus diatasi dan pemberian obat antihipertensi
parenteral dapat dilakukan jika perlu.Pemberian nicardipine melalui intravena
berguna dalam mengontrol tekanan darah terutama jika dicurigai iskemia miokard
dan bronkospasme.Ketika pasien kembali mendapatkan asupan oral, maka
pengobatan preoperatif harus ulang diulang kembali. (morgan, 2002)
B. LIPOMA
Definisi
Lipoma adalah tumor mesenkim jinak (benign mesenchymal tumors) yang
berada dibawah kulit yang berasal dari jaringan lemak (adipocytes). Biasanya lipoma
dijumpai pada usia lanjut (40-60 tahun). Karena lipoma merupakan lemak, maka
dapat muncul dimanapun pada tubuh. Jenis yang paling sering adalah yang berada
14
lebih ke permukaan kulit (superficial). Biasanya lipoma berlokasi di kepala, leher,
bahu, badan, punggung, atau lengan. Jenis yang lain adalah yang letaknya lebih dalam
dari kulit seperti dalam otot, saraf, sendi, ataupun tendon.
Prevalensi
Lipoma adalah tumor jaringan lunak yang paling umum dengan prevalensi
sebesar 2,1 per 1.000 orang. Lipoma terjadi pada 1% penduduk dengan tingkat
prevalensi 1/5.000 pada orang dewasa.
Gejala Klinis
Lipoma berbentuk seperti benjolan dengan diameter 2-10 cm, terasa kenyal
dan lembut. Serta bergerak bebas di kulit, namun overlying skin ini secara khas
normal. Sering terdapat pada leher, lengan dan dada. Tetapi bisa muncul di bagian
tubuh manapun. Pada umumnya orang orang tidak menyadari jika mereka mengidap
lipoma sampai benjolannya tumbuh besar dan terlihat.
Lipoma bersifat lunak pada perabaan, dapat digerakkan, dan tidak nyeri.
Pertumbuhannya sangat lambat dan jarang sekali menjadi ganas. Lipoma kebanyakan
berukuran kecil, namun dapat tumbuh hingga mencapai lebih dari diameter 6 cm.
memiliki batas dengan jaringan yang tidak nyata. Kapsul yang membungkus merupakan
pseudokapsul yang berasal dari jaringan lemak yang tidak rata maka akan muncul
gambaran pseudolobulated pada palpasi. Oleh karena sifat sel lemak yang lunak seperti
cairan maka sering dikatakan sebagai pseudokistik.
C. TOTAL INTRAVENA ANESTESI (TIVA)
15
TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat
anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi
termasuk N2O. TIVA digunakan buat mencapai 4 komponen penting dalam anestesi
yang menurut Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik.
Atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
Amnesia
Arefleksia otonomik
Analgesik
+/- relaksasi otot
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita membutuhkan
kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat melengkapi keempat komponen
tersebut. Kebanyakan obat anestesi intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di
atas kecuali Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai agen
anestesi intravena yang paling lengkap.
Kelebihan TIVA:
Kombinasi obat-obat intravena secara terpisah dapat di titrasi dalam dosis yang lebih
akurat sesuai yang dibutuhkan.
Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada operasi sekitar jalan
nafas atau paru-paru.
Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin yang khusus.
a. DEFINISI
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan dengan
memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara parenteral, obat-obat
tersebut digunakan untuk premedikasi seperti diazepam dan analgetik narkotik.
Induksi anestesi seperti misalnya tiopenton yang juga digunakan sebagai
pemeliharaan dan juga sebagai tambahan pada tindakan analgesia regional.10
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat – obat anestesi
dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis obat saja seperti, Tiopenton,
Diazepam , Dehidrobenzoperidol, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
b. INDIKASI ANESTESI INTRAVENA
1. Obat induksi anesthesia umum
16
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP sedasi)
c. CARA PEMBERIAN
Sebagai obat tunggal :
· Induksi anestesi
· Operasi singkat: cabut gigi
Suntikan berulang :
· Sesuai kebutuhan : curetase
Diteteskan lewat infus :
· Menambah kekuatan anestesi
d. JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA
Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena
dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum,
pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung
lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh
adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada
pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga
kompatibel dengan D5W.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek
primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma,
eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh
propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh
lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi
cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif
17
singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni
tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi
(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular
sebanyak 35%.
Cp50 - respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 - 3.5 mcg/ml
Pemeliharaan : 1.5-6 mcg/ml
Pasien bangun: < 1.6 mcg/ml
Pasien terorientasi: < 1.2 mcg/ml
Pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh
darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini
diakibatkan Propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung
tergantung dari :
- Pernafasan spontan – mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali
- Pemberian drip lewat infus – mengurangi depresi jantung berbanding
pemberian secara bolus
- Umur – makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung
Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus
dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih
detail konsentrasi yang menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:
· Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apnoe setelah diberikan dosis induksi
yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.
Pemberian 2,4 mg/kg:
18
Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit
ü Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit
Pemberian 100 µg/kg/min:
ü Respons CO2 sedikit menurun
ü VT berkurang 40% ,frekuensi pernafasan meningkat 20%
Pemberian 200 µg/kg/min:
ü Hanya sedikit mendepresi VT
ü paCO2 menurun
Dosis dan penggunaan
a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila digabung
penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang
steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
kontaminasi dari bakteri.
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri ini bisa
muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan
dengan menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2
menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara
I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien
setelah operasi menggunakan propofol.Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti
hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik
(thiopental < propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan
terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang.Terdapat juga kasus
19
terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian
propofol.
Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih dikenal dengan
nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat
anestesi umum barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan
memiliki onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai
puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan
kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis yang banyak atau dengan menggunakan infus akan
menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.
Beberapa jenis barbiturat seperti thiopental [5-ethyl-5-(1-methylbutyl)-2-
thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1-methyl-2-pentynyl)barbituric acid],
dan thiamylal [5-allyl-5-(1-methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan barbiturat
yang dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi penggunaannya
sangat jarang. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal (Surital) merupakan thiobarbiturates,
sedangan methohexital (Brevital) adalah oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra singkat , tiopental merupakan
obat terlazim yang dipergunakan untuk induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk
induksi anestesi.
Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana barbiturat akan
menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada sistem saraf pusat, barbiturat menekan
sistem aktivasi retikuler, suatu jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa fungsi vital termasuk
kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps
saraf dari pada akson.Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam
gamma aminobutirik (GABA).Mekanisme spesifik diantaranya dengan pelepasan transmitter
(presinap) dan interaksi selektif dengan reseptor (postsinap).
Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan secara intravena untuk induksi
anestesi umum pada orang dewasa dan anak – anak.Perkecualian pada tiopental rektal atau
sekobarbital atau metoheksital untuk induksi pada anak – anak.Sedangkan phenobarbital atau
sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada semua kelompok umur.
20
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh selanjutnya akan
diikat oleh jaringan saraf dan jaringan lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan
akan mengalami difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak. Setelah
terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama oleh karena redistribusi obat
dari otak ke dalam jaringan lemak.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan
pada anak – anak terjadi 6 ml/kg/menit.
Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan hiperalgesia pada dosis
subhipnotik, menghasilkan penurunan metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada
dosis yang tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental turut
menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat menyebabkan kejang setelah
pemberian dosis tinggi.
Mata
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi thiopental atau
methohexital.Biasanya diberikan suksinilkolin setelah pemberian induksi thiopental supaya
tekanan intraokular kembali ke nilai sebelum induksi.
Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat meningkatkan frekwensi jantung,
penurunan tekanan darah sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini
disebabkan karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan
dilatasi pembuluh darah.Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan
disritmia bila terjadi resistensi CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat
ringan akan pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara cepat atau
dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh
darah karena depresi pusat vasomotor.Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi
oleh karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Sistem pernafasan
21
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap CO2 menurun terjadi
penurunan frekwensi nafas dan volume tidal bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya
asidosis respiratorik.Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif berbanding
propofol sehingga menyebabkan laringospasme.Jarang menyebabkan bronkospasme.
Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg.Untuk menghindarkan efek negatif
dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien
Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan memberikan obat ini
kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat
menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi
pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi enzim d-
aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan
kerusakan jaringan akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat
diatasi dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip
dengan phencyclidine.Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini
disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering
menyebabkan halusinasi dan kejang.Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika
selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non
barbiturate general anesthesia”. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi,
hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah
, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan
mimpi gembira yang mengikuti anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan
medulla spinalis yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor
metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
Farmakokinetik
22
Absorbsi
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan ke seluruh
organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis
induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek
baru akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi beberapa metabolit
yang masih aktif.
Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui ginjal.
Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien akan mengalami perubahan
tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan
dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic
appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.Itu merupakan efek
anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Apabila
diberikan secara intramuskular, efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan
mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi.
Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi kurang
lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml (sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun
jika Cp dibawah 0,5µg/ml
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non
kompetitif yang menyebabkan :
· Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
· Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
· Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang berupa:
· Mimpi buruk
· Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari badan)
· Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
23
· Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
· 20%-30% terjadi pada orang dewasa
· Dewasa > anak-anak
· Perempuan > laki-laki
Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka spontan, terjadi peningkatan
tekanan intraokuler akibat peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
Sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan
tekanan darah dan jantung.Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik positif dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem respirasi.dapat menimbulkan
dilatasi bronkus karena sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada
pasien asma.
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara intramuskular apabila akses pembuluh
darah sulit didapat contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat
diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10
mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk
mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian secara
intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai
operasi selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8
mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau 5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.
Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air liur pada mulut,selain itu
dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca
operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin
juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya
nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks seperti yang telah disebutkan
diatas, maka penggunaannya terbatas pada pasien normal saja.Pada pasien yang menderita
24
penyakit sistemik penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang
meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi intrakranial, tekanan
intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler.
Pasien yang menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat simpatomimetik,
seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
Opioid
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama ratusan tahun. Obat opium
didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum somniferum, dan kata “opium “ berasal dari
bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.Morphine, meperidine, fentanyl,
sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan
dalam general anestesi.efek utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid
kadang digunakan dalam operasi kardiak.Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan
efek samping.
Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada system saraf pusat dan jaringan
lain. Empat tipe mayor reseptor opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit
efek sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari spesifik opioid
tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan dan apakah reseptornya aktif.Aktivasi
reseptor opiat menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter
ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.
Farmakokinetik
Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin intramuskuler, dengan puncak
level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif
menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada
anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).
Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit).Kelarutan lemak yang rendah dan morfin
memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja
juga Iebih panjang.Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat
setelah injeksi bolus.
Metabolisme
25
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran darah hepar.Produk
akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung
pada aliran darah hepar. 5 – 10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit
aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.
Farmakodinamik
Sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun
tonus otot pembuluh darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi
penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun hebat pada pemberian
meperidin atau morfin karena adanya pelepasan histamin.
Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan frekuensi nafas,
dengan jumlah volume tidal yang menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2
tumpul sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu
menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid
juga bisa merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.
Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga terhambat.
Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik akibat stress anesthesia dan
pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
Dosis dan pemberian
Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb atau intravena 0,5 mg/Kgbb,
sedangakan morfin sepersepuluh dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.
Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut
dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan
emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis
tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan
benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.
26
Mekanisme kerja
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik,
antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral.Benzodiazepine bekerja di reseptor
ikatan GABAA.Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam >
midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen
gamma yang terdapat pada reseptor GABA.
Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan muncul setelah 4 -
8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini
adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan
efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus,
metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.
Farmakodinamik
Sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi,
efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.
Sistem Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Ttidak
mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada
dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas mungkin
dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
Sistem saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal ,
sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.
Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
- Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb
- Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg
- Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena
27
- Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi.Lorazepam
dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.Benzodiazepine turut
memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di
reverse dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1
mcg/kg/menit berikutnya.
BAB III
PEMBAHASAN
28
Pada pasien ini didagnosis dengan Giant Lipoma di bahu kiri dengan status fisik ASA II
dengan hipertensi dan akan dilakukan tindakan pembedahan berupa eksterpasi. Pada
pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi TIVA karena memenuhi indikasi untuk
dilakukan anestesi TIVA yaitu durasi pembedahan yang singkat. TIVA merupakan tindakan
anestesi yang aman bagi pasien dengan hipertensi. Tujuan anestesi untuk pasien dengan
hipertensi adalah menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pada pasien usia lanjut atau
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran
darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran darah otak yang
memadai. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra
operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120
mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-
140/90-80 mm Hg.
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan anestesia adalah
meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu tinggi. Mempertahankan
kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan
pengontrolan hipertensi pada periode preoperative. Dalam mengukur autoregulasi serebral
dengan acuan ini yaitu :
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal yang
dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala hipoperfusi otak.
Pada kasus ini menggunakan prozepam yaitu termasuk golongan benzodiazepine bekerja
sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja
di sentral.
Pada saat induksi digunakan ketalar dan propofol. Efek samping ketalar salah satunya adalah
hipertensi sedangkan pada pasien sudah terdapat hipertensi akan tetapi ketalar memiliki efek
sedasi dan analgetik kuat sehingga masih tetap dipakai dan diseimbangkan dengan pemberian
propofol karena propofol mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%.
Operasi selesai dalam waktu 25 menit, pasien masuk ke ruang pulih sadar dengan tekanan darah TD:
140/70 mmHg, nadi: 68 x/menit dan Sp O2 : 99% dengan aldrete score 10.
Selama operasi diberikan 1 colf infuse RL dikarenakan untuk mengganti kebutuhan cairan karena
puasa selama 6 jam dan stress operasi
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2002.
30
2. “Intravenous Anesthetics” didapat dari http://www.metrohealthanesthesia.com/edu.htm
3. “Intravenous anesthesic” didapat dari http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic
4. “Anestesi Intravena” didapat dari http://ryan-mul.blogspot.com/2009/04/anestesi
intravena.html
5. “Opioid” didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia: Opioid
6. “Anestesi Umum” didapat dari http://www.scribd.com/anestesiumum
7. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC,2003:p.283.
8. Cuschieri A, Grace P, Darzi A, Borley N, Rowley D. Clinical Surgery. 2nd ed. Oxford:
Blackwell Publishing, 2003:p.7-9.
9. Charlton ed. The managemnt of post operative pain. Accesed on 25th September 2012.
Available on : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_004.htm
10. Davidson,J.K.,Eckhardt III William F., Perese Deniz A., Clinical anesthesia Procedures
of the Massachusetts General Hospital. 4 th edition. Boston, Little, Brown and Company,
1993: 582-588
11. G. Edward Morgan, dkk., Clinical Anesthesiology, London,McGraw-Hill,2006 : 359
12. Vadebouncer Timothy R, Management of Post Operative Pain in Introduction to
Anasthesia, W.B. SAUNDERS COMPANY, 1989.
31