13
1 Bab 1 Pendahuluan Latar Belakang Industri rokok di Indonesia semakin tertekan dengan banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok bersumber dari persaingan di antara pabrik rokok dalam industri; tekanan masyarakat anti rokok dan kebijakan industri hasil tembakau. Kultur dan struktur industri rokok di Indonesia berbeda dengan industri rokok di berbagai negara produsen rokok lainnya. Industri rokok di Indonesia tidak semua besar, tetapi yang terbanyak jumlahnya justru pabrik rokok mikro atau rumahan. Untuk kepentingan pengawasan sebagai barang kena cukai, pabrik dibagi menjadi tiga golongan yaitu golongan I (besar); golongan II (menengah/sedang) dan golongan III (kecil). Berdasarkan jumlah produksi maksimal yang diijinkan selama satu tahun, golongan I, minimal 2 milyar batang; golongan II, 500 juta batang sampai 2 milyar batang; golongan III, paling banyak jumlah produksi dalam satu tahun adalah 500 juta batang. Rokok mengacu pada pasar bebas. Persaingan terjadi di antara pabrik golongan I; pabrik golongan I dengan pabrik golongan II ; pabrik golongan I dengan pabrik golongan III; pabrik golongan II dengan golongan III; pabrik golongan III dengan pabrik golongan III; serta industri rokok nasional dengan industri rokok global. Masing-masing pabrik memiliki pangsa pasarnya sendiri, dan konsumen bebas melakukan pilihan berdasarkan kesukaan (aroma dan rasa), tanpa melihat golongan pabrik. Pabrik golongan I dan II pada

Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

1

Bab 1

Pendahuluan

Latar Belakang Industri rokok di Indonesia semakin tertekan dengan

banyaknya masalah yang dihadapi. Permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok bersumber dari persaingan di antara pabrik rokok dalam industri; tekanan masyarakat anti rokok dan kebijakan industri hasil tembakau.

Kultur dan struktur industri rokok di Indonesia berbeda dengan industri rokok di berbagai negara produsen rokok lainnya. Industri rokok di Indonesia tidak semua besar, tetapi yang terbanyak jumlahnya justru pabrik rokok mikro atau rumahan. Untuk kepentingan pengawasan sebagai barang kena cukai, pabrik dibagi menjadi tiga golongan yaitu golongan I (besar); golongan II (menengah/sedang) dan golongan III (kecil). Berdasarkan jumlah produksi maksimal yang diijinkan selama satu tahun, golongan I, minimal 2 milyar batang; golongan II, 500 juta batang sampai 2 milyar batang; golongan III, paling banyak jumlah produksi dalam satu tahun adalah 500 juta batang.

Rokok mengacu pada pasar bebas. Persaingan terjadi di antara pabrik golongan I; pabrik golongan I dengan pabrik golongan II ; pabrik golongan I dengan pabrik golongan III; pabrik golongan II dengan golongan III; pabrik golongan III dengan pabrik golongan III; serta industri rokok nasional dengan industri rokok global.

Masing-masing pabrik memiliki pangsa pasarnya sendiri, dan konsumen bebas melakukan pilihan berdasarkan kesukaan (aroma dan rasa), tanpa melihat golongan pabrik. Pabrik golongan I dan II pada

Page 2: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

2

umumnya memproduksi rokok kretek dan rokok putih. Baik menggunakan tangan (sigaret kretek tangan) maupun menggunakan mesin (sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin). Sedangkan pabrik golongan III, memproduksi rokok kretek buatan tangan. Meski demikian pabrik dengan masing-masing golongan bersaing untuk mempertahankan pasar dan mencari pasar baru.

Persaingan pasar bebas rokok tidak sepenuhnya bebas, karena ada tekanan masyarakat anti rokok terhadap keberadaan rokok karena rokok mengandung zat adiktif yang merugikan kesehatan. Penolakan masyarakat tersebut harus diperhatikan oleh industri dan pabrik karena menetapkan persyaratan – persyaratan yang bertujuan untuk membatasi produksi, distribusi dan konsumsi rokok.

Penolakan masyarakat anti rokok dengan alasan dampak asap rokok bagi kesehatan, telah diakomodasi pamerintah melalui berbagai kebijakan yang bertujuan membatasi produksi, peredaran dan konsumsi rokok dalam berbagai bentuk. Secara internasional WHO (2005) menerbitkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Indonesia belum meratifikasi konvensi tersebut. Tetapi telah diadopsi oleh pemerintah dalam berbagai peraturan, seperti lahirnya Undang-Undang No 39 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; kebijakan pembatasan iklan (UU Penyiaran); aturan tentang peringatan bahaya merokok; pembatasan kawasan merokok dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), fatwa haram terhadap rokok, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

Bagi industri rokok, tuduhan tentang kandungan rokok (nikotin) sebagai zat adiktif dianggap sebagai tuduhan yang berlebihan dan dianggap tidak adil. Nikotin bukan hanya terdapat dalam tembakau tetapi juga pada sayuran dan buah yang satu famili dengan tanaman tembakau, seperti tomat, kentang, cabai, dan lain-lain.

Dampak tuduhan terhadap zat adiktif pada tembakau tersebut mempengaruhi keberadaan rokok, dan pada akhirnya industri merespon dengan berbagai inovasi produk yang berorientasi membuat

Page 3: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Pendahuluan

3

rokok “sehat”, dengan mengembangkan rokok putih rendah tar dan nikotin.

Rokok kretek, awalnya berkembang karena manfaatnya menyembuhkan sakit asma Hj. Jamhari, penemunya. Selanjutnya Zahar dan Sutiman, mengembangkan teknologi “nano” dan menemukan divine kretek sebagai rokok sehat. Temuan ini melahirkan metode kesehatan berbasis rokok, yaitu metode balur tembakau sebagai media untuk mengeluarkan racun dari dalam tubuh (detoksifikasi) bukan hanya mengembalikan metabolisme tubuh tetapi sebagai pengobatan berbagai macam penyakit, seperti kanker, sakit yang disebabkan penyumbatan pada aliran darah seperti jantung, paru-paru, dan ginjal.

Rokok, adalah salah satu barang kena cukai yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 11 Tahun 1995 Tentang Cukai, yang diubah menjadi Undang-Undang No 39 Tahun 2007 Tentang Cukai. Oleh karenanya rokok dikenakan cukai. Cukai merupakan pajak negara yang dibebankan kepada pemakai dan bersifat selektif serta pengenaannya berdasarkan sifat atau karakteristik obyek cukai. Pengenaan cukai juga mendasarkan pada prinsip keadilan dan keseimbangan, sebagai bagian dari insentif, pembatasan untuk perlindungan, netral sehingga tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian, kelayakan administrasi, serta kepentingan penerimaan negara.

Pada saat yang bersamaan negara berkepentingan terhadap pendapatan cukai. Intervensi pemerintah ditujukan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kebijakan kenaikan dan perubahan cukai. Kebijakan industri hasil tembakau (IHT) rokok, khususnya yang terkait dengan perubahan dan peningkatan tarif cukai, mendapat respon dari industri dan pabrik secara individu berbeda karena permasalahan dan kapasitasnya berbeda. Respon diberikan terhadap kebijakan sebagai bagian dari upaya untuk terus bertahan. Upaya tersebut dilakukan dengan berbagai inovasi produk serta pasarnya karena pasar masih sangat potensial. Semakin banyak merek

Page 4: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

4

serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan persaingan semakin ketat.

Pabrik rokok menghadapi permasalahan internal usaha karena kapasitas usahanya. Sekalipun dari sisi negara, industri rokok sebagai penghasil cukai dan oleh karenanya harus memenuhi persyaratan sebagai produsen barang kena cukai dan bersifat formal. Karena itu ditetapkan golongan pabrik dengan segala konsekuensinya tetapi faktanya industri rokok tidak semuanya bersifat formal.

Rokok berkembang berbasis masyarakat, sehingga pelaku usahanya memiliki kultur yang embedded dengan kultur masyarakat. Rokok berkembang sebagai klaster alamiah, dan memiliki keterkaitan dengan industri lain. Terkait dengan banyak institusi sebagai pembina maupun pengawas, misalnya sebagai industri, berkaitan dengan Dinas Perindustrian; aspek ketenagakerjaannya dengan Dinas Tenaga Kerja, dan skala usaha produknya yang mikro/rumahan dan sedang terkait dengan Dinas UMKM. Sehingga klasifikasi pada industri rokok menggunakan ukuran yang berbeda-beda, sesuai dengan kepentingan instansi yang terkait.

Klasifikasi industri menurut Dinas Perindustrian sebagai institusi yang berwenang membina, mendasarkan diri pada UU Nomor 20 tahun 2008 Tentang UMKM berdasarkan aset yang dimiliki dan hasil penjualan. Berbeda dengan Dinas Tenaga Kerja yang mendasarkan pada penggunaan tenaga kerja. Sebagai barang kena cukai, Departemen Keuangan melalui kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai membagi industri rokok berdasarkan produksi maksimal yang diperbolehkan dalam waktu satu tahun. Bagi industri hal ini sangat membingungkan, apalagi bagi usaha skala kecil yang memiliki banyak keterbatasan, termasuk kapasitas sumber daya manusianya.

Kebijakan pemerintah terhadap rokok tersebut dikenal dengan kebijakan industri hasil tembakau (IHT), khususnya rokok. Kebijakan tersebut juga ditujukan untuk mengurangi jumlah pabrik rokok, khususnya pabrik rokok kecil/mikro /rumahan yang memproduksi

Page 5: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Pendahuluan

5

rokok kretek. Pabrik akan menjadi industri besar.1 Untuk mewujudkannya, ditetapkan kebijakan persyaratan lokasi usaha dengan minimal 200m², yang dimuat dalam Permenkeu Nomor 200/ PMK 0.4/ 2008 tentang Persyaratan Lokasi Pabrik. Aplikasi kebijakan tersebut menjadi akhir hidup industri rokok kecil, walaupun patuh membayar pajak, berkontribusi terhadap pendapatan negara, berjasa untuk mengurangi pengangguran di lingkungannya, tetapi telah “dimatikan” oleh pemerintah dengan cara tidak diberikan cukai karena tidak dapat memenuhi persyaratan lokasi pabrik yang diajukan pemerintah.

Kepentingan negara sebagai sumber pendapatan di satu sisi, menjadi pertimbangan untuk membiarkan rokok tetap hidup walaupun tarif cukainya harus dinaikan. Negara menghadapi problem APBN jika industri rokok mengurangi setoran pajak (cukai), karena menurunnya jumlah perokok sebagai dampak isu bahaya merokok. Untuk menyelamatkan kondisi yang dilematis tersebut tanpa melanggar HAM dan hak kesehatan masyarakat yang harus dilindungi, maka ditetapkan berbagai kebijakan melalui berbagai institusi yang tidak secara tegas melarang produksi dan konsumsi rokok.

Demi kepentingan pendapatan negara, pabrik rokok besar diposisikan sebagai “teman” oleh negara karena memberikan kontribusi setoran cukai secara signifikan. Pada saat yang sama demi kepentingan masyarakat anti rokok, rokok dalam posisi yang berhadapan dengan negara, industri rokok dianggap sebagai musuh. Industri rokok besar adakalanya berkolaborasi2 menghadapi pabrik rokok kecil, karena dianggap tidak mempunyai peran yang sama, dan dianggap mengganggu keberadaan rokok besar dalam meraih konsumen sebanyak-banyaknya. Hal tersebut akan mempengaruhi pencapaian target cukai yang ditetapkan. Sekalipun ruang gerak rokok semakin dipersempit tetapi target penerimaan cukai selalu terlampaui.

1 Roadmap IHT , pada tahun 2020 industri rokok hanya akan menjadi 3-5 buah seperti di negara maju. 2 Kolaborasi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya memberikan masukan untuk kebijakan IHT rokok.

Page 6: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

6

Untuk kepentingan pembinaan industri rokok secara nasional, disusun peta jalan (roadmap) oleh Direktorat Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian pada tahun 2005. Di dalam roadmap, pembinaan diarahkan untuk mencapai target berkembangnya industri rokok, dengan indikator nilai ekspor ditetapkan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Di dalam roadmap industri hasil tembakau (IHT) secara eksplisit tidak bertujuan membinasakan industri rokok, tetapi membina. Roadmap akan berakhir pada tahun 2020, dengan tiga tahapan kondisi yang akan dicapai. Pada tahun 2005-2010, berorientasi pada tenaga kerja. Tahun 2010-2015, pembinaan berorientasi pada kepentingan pendapatan dan kesehatan. Tahun 2015-2020, mendukung kebijakan Indonesia Sehat.

Industri rokok dikondisikan dalam posisi yang tidak pasti dan “abu-abu”. Negara dan industri dihadapkan pada problematik perlindungan kesehatan masyarakat, pendapatan negara dan kepentingan industri memenangkan persaingan. Pemerintah berkepentingan terhadap pendapatan cukai yang masih potensial, didorong untuk naik dengan cara meningkatkan tarif cukai, tetapi di sisi lain industri terus ditekan agar berkurang jumlahnya dengan cara “dimatikan” dengan berbagai kebijakan. Industri rokok berkepentingan untuk bertahan hidup dari tekanan negara. Tekanan kebijakan mendorong munculnya berbagai upaya industri rokok untuk bertahan hidup, karena ketika industri rokok tunduk pada peraturan pemerintah berarti akan mati. Pabrik perlu menetapkan strategi untuk bertahan atau melawan kebijakan dan kondisi yang dianggap menekan dengan berbagai kreativitas untuk membuat rokok, tetapi oleh negara dianggap sebagai rokok “illegal”. Peraturan yang dibuat memposisikan negara lebih kepada kepentingannya sendiri, dan mengorbankan industri rokok, serta kepentingan nasional.

Kebijakan yang terkait rokok tingkat daerah pada masa otonomi daerah, salah satunya adalah melakukan pembagian kewenangan, dan sharing pendapatan atau pembagian hasil dari sumber daya daerah kepada pemerintah pusat. Sharing pendapatan dalam bentuk alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau

Page 7: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Pendahuluan

7

(DBHCHT). Selama ini daerah lebih banyak menanggung beban, dan tidak semua hasil dinikmati oleh daerah. DBHCHT diberikan kepada daerah secara proporsional sesuai perannya, apakah sebagai produsen, pendukung industri rokok, atau daerah distribusi, disertai rambu-rambu penggunaannya yang ditujukan untuk pembinaan langsung dan tidak langsung kepada industri dan lingkungannya, serta secara eksplisit digunakan untuk membiayai pemberantasan rokok “illegal”.

Kebijakan pemberian dan alokasi DBHCHT rokok mengandung kontroversi bagi daerah. Daerah akan mendapatkan pengembalian DBHCHT rokok semakin besar apabila menyetorkan cukai semakin besar. Oleh karena itu daerah akan terus mendorong pengembangan industri rokok (produk, distribusi dan konsumsi) agar setoran semakin besar, dan pengembalian juga besar. Upaya secara tidak langsung untuk mengamankan penerimaan DBHCHT rokok tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi oleh berbagai lembaga dan masyarakat yang dapat mengakses dana tersebut. Tidak hanya oleh daerah produsen, karena daerah distribusi dan daerah penyangga industri semua mendapatkan bagian walaupun dengan proporsi yang berbeda. Sehingga sebetulnya semua daerah mendapatkan pengembalian DBHCHT rokok. Gerakan untuk mengamankan pengembalian DBHCHT rokok berbentuk perlawanan, penolakan atau pengabaian terhadap kebijakan pengendalian tembakau, dengan suatu kerja sama antara masyarakat, aparat dan pengusaha. Kerja sama aparat dan pengusaha banyak ditemukan di lapangan, salah satu bentuknya adalah implementasi kebijakan yang berbeda untuk pengusaha yang berbeda dan daerah yang berbeda.

Di satu sisi kebijakan pengembalian DBHCHT rokok tersebut dapat membantu daerah untuk membangun. Secara regional memperluas lingkup dukungan terhadap industri hasil tembakau, misalnya pertanian tembakau, produsen rokok, dan daerah penyangga industri tembakau atau rokok lainnya. Tetapi di sisi lain merugikan pabrik rokok yang telah eksis karena menambah jumlah pabrik baru di daerah yang semula tidak memiliki pabrik, sehingga mendorong persaingan yang semakin ketat untuk memperebutkan pasar.

Page 8: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

8

Semakin banyak daerah yang menyetor cukai, semakin besar pengembalian DBHCHT rokok diberikan. Ada kontradiksi kebijakan pada tingkat daerah antara mengembangkan industri rokok untuk tujuan pengembalian DBHCHT rokok atau mendukung kebijakan yang mengendalikan produksi, mengurangi jumlah pabrik, dan tarif cukai dinaikan sedemikian rupa. Problematik pusat daerah, bukan hanya sharing pendapatan tetapi kepentingan untuk saling menguntungkan yang menyebabkan posisi pusat dan daerah berada pada area “abu-abu”.

Kenaikan tarif cukai menyebabkan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE), dan sebaliknya kenaikan HJE menyebabkan perubahan (kenaikan) penetapan tarif pita cukai. Pabrik rokok kecil banyak yang mati atau bangkrut karena tidak mampu bertahan dengan HJE yang sama sehingga ditinggalkan konsumennya dan beralih pada rokok lain (buatan pabrik golongan III milik pabrik golongan I), akibat tidak mampu bersaing dengan rokok buatan pabrik pada golongan yang sama (III) yang mampu merekayasa bahan baku sehingga dapat menghemat biaya produksi (efisien). Realitasnya bahwa pengusaha dan rantainya harus terus hidup, sehingga terus memproduksi rokok dengan berbagai cara sekalipun tidak menggunakan pita cukai.

Kepentingan yang berbeda antara industri, masyarakat, dan negara membawa konsekuensi yang dihadapi industri rokok, menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi (fisik pabrik, golongan). Dampak dari kebijakan atau intervensi negara, serta persaingan menyebabkan tekanan yang melumpuhkan usaha bahkan “mematikan” banyak pabrik rokok kecil (golongan III) dan pabrik yang memproduksi rokok kretek. Kematian kretek berarti matinya kebanggaan bangsa.

Permasalahan dalam penelitian adalah terdapat rokok “illegal” yang semakin ditindak semakin marak. Maraknya rokok “illegal” didasarkan pada hasil penindakan oleh Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Kudus yang semakin meningkat baik jumlah maupun modusnya. Dilihat dari modusnya rokok “illegal” sebagai rokok yang tidak berpita cukai, berpita cukai

Page 9: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Pendahuluan

9

palsu, dan menggunakan pita cukai yang bukan peruntukannya. Lembaga usaha/ industri yang tidak berijin lengkap sebagai produsen barang kena cukai serta menggunakan alat yang tidak didaftarkan.

Maraknya rokok “illegal” terjadi secara bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok, perubahan dan kenaikan tarif cukai, kontroversi rokok yang semakin berkembang dan meluas di kalangan masyarakat yang menolak keberadaan rokok maupun yang mendukungnya, serta semakin ketatnya persaingan rokok pada skala nasional maupun global.

Pernyataan penelitian adalah: bahwa tekanan yang dihadapi industri rokok mendorong munculnya rokok “illegal”. Selanjutnya timbul pertanyaan : bagaimana persaingan industri rokok terjadi dan mendorong maraknya rokok “illegal”; bagaimana kebijakan pemerintah terhadap rokok diimplementasikan dan mendorong maraknya rokok ”illegal”, serta bagaimana penolakan masyarakat mendorong maraknya rokok “illegal”?

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap studi ekonomi kelembagaan baru pada industri rokok. Secara praktis hasil penelitian akan berkontribusi untuk memberikan masukan kepada para penentu kebijakan. Karena pada industri rokok merupakan industri yang kompleks, dan terdapat wilayah abu-abu yang menyebabkan adanya fenomena “legal” dan “illegal” baik dari sisi orang, lembaga, produk, kelembagaan, cukai, dan lain-lainnya yang tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, tetapi sosial, budaya, dan politik kelembagaan. Penerapan program yang terkait dengan pembinaan industri rokok secara luas kesejahteraan buruh, peningkatan kepatuhan pengusaha terhadap kewajiban cukai, dan program lain yang mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis industri.

Memahami kondisi yang menekan industri rokok berarti harus memiliki perspektif dari sisi pelaku industri rokok. Berbagai publikasi dan kajian terhadap permasalahan yang dihadapi oleh industri rokok dari perspektif kepentingan masing-masing pihak yang melakukan.

Page 10: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

10

Memahami permasalahan dari perspektif industri memerlukan empati, karena selama ini industri tetap tegak berdiri berkat dukungan masyarakat. Sekalipun mengalami tekanan dan pasang surut, industri rokok merupakan industri nasional yang berbasis masyarakat sesungguhnya. Beberapa publikasi dan kajian dari perspektif industri antara lain: Salamuddin Daeng, et al. (2011), dalam bukunya yang berjudul “Kriminalisasi Berujung Monopoli”, membahas posisi dilematis industri rokok di Indonesia yang berdampak matinya produsen rokok. Kabupaten Kudus sebagai daerah produsen merupakan contoh di mana jumlah pabrik rokok menurun secara drastis akibat tekanan kebijakan. Selanjutnya Daeng (2013) menyatakan bahwa indikasi terjadinya dominasi asing pada industri rokok di Indonesia sudah semakin nyata ketika dilihat dari kecenderungan industri tembakau global dan pergerakan perusahaan rokok transnasional, serta lahirnya regulasi dalam PP Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif, Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan oleh Departemen Kesehatan. yang memuat persyaratan ketat bagi pertanian tembakau dan industri rokok nasional. Hal ini membawa konsekuensi terhadap keberadaan industri rokok di Indonesia, yang memiliki kultur dan struktur yang beragam. Sebagian telah menuju pada industri berskala global tetapi selebihnya masih berorientasi pada pasar domestik. Industri rokok di Indonesia berakar pada masyarakat dan masih menjadi tumpuan hidup masyarakat.

Tata niaga rokok yang panjang, terintegrasi dari hulu sampai hilir dan problematiknya terhadap anggota, berada dalam mata rantai baik produk maupun bisnisnya (Wedhaswary, 2010). Petani tembakau menempati mata rantai paling ujung di posisi hulu, sebagai pihak yang tidak memiliki bargaining terhadap tembakau dan nasibnya sangat tergantung pada pabrik rokok yang berada pada posisi hilir. Pabrik rokok mendapatkan keuntungan paling besar dari rantai yang memberikan nilai tambah paling besar dibanding industri lainnya di Indonesia. Problematik petani tembakau dan asosiasinya menjadi pihak yang dikorbankan dalam persaingan industri, karena ketergantungannya pada pabrik rokok.

Page 11: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Pendahuluan

11

Bagaimana peran pabrik rokok dan aksi petani merespon berbagai kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) khususnya rokok (Latif, 2010). “Dilema dan Problematika Rokok di Indonesia Dari Sisi Hukum dan Ancamannya”, menjadi rangkuman hasil diskusi di Universitas Muria Kudus, disunting oleh Zamhuri (2011), yang berisi tentang berbagai pandangan pro dan kontra keberadaan industri rokok di Indonesia dari perspektif pengusaha, petani, MUI, dan komponen masyarakat lainnya. Wibowo (2003), dalam “Potret Industri Rokok di Indonesia”, memberikan gambaran tentang kondisi dan keberadaannya hingga saat ini. Aditama (2011), membahas tentang jumlah kematian akibat rokok yang semakin meningkat, dan Indonesia termasuk negara peringkat tinggi sebagai produsen dan konsumen rokok. Ahira (2010), memaparkan dampak negatif rokok yang mengerikan. Zahar dan Sutiman (2011) menemukan divine kretek yang menggunakan teknologi nano untuk mengubah dampak zat yang terkandung dalam rokok kretek yang dituduh merugikan menjadi suatu manfaat bagi kesehatan. Penelitian yang saat ini diaplikasikan pada berbagai layanan kesehatan alternatif berupa “balur tembakau” berdiri di berbagai kota di Indonesia. Upaya ini dimaksudkan sebagai bentuk bukti argumen bahwa nikotin bukan zat yang merugikan kesehatan seperti yang dituduhkan selama ini terhadap dampak kesehatan akibat kepulan asap rokok. Wisnu Brata (2012), sebagai seorang petani menggambarkan bagaimana kesaksian, kegelisahan, dan harapan petani tembakau sehingga hanya memiliki pilihan “tembakau atau mati” yang menjadi judul tulisannya. Rokok dari sisi yang dianggap merugikan, antara lain : aspek ekonomi, kesehatan, dan bisnis global antara lain: Adioetomo (2001), yang menkaji perilaku merokok dan pola konsumsi masyarakat, di mana semakin miskin keluarga tersebut semakin besar alokasi belanjanya terhadap rokok. Ahsan dan Wiyono (2003), LDFEUI bekerjasama dengan SEACTA mengkaji tentang Dampak Peningkatan Cukai Tembakau terhadap perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia.

Pratiwi (2011), melakukan “analisis struktur, kinerja dan perilaku industri rokok kretek dan industri rokok putih di Indonesia selama periode 1991 dan 2008”, menemukan bahwa struktur industri rokok

Page 12: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Stigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya

12

mengalami perubahan trend dari monopoli ketat kepada oligopoly sedang. Industri rokok putih memiliki kinerja yang lebih baik dibanding rokok kretek. Sebabnya adalah intervensi pemerintah dalam penentuan harga jual rokok melalui sistem penentuan tarif cukai. Hal ini mempengaruhi kinerja industri dalam mencapai dan mempertahankan rokok. Upaya yang dilakukan untuk memenangkan persaingan pasar oleh industri meningkatkan belanja iklan dan promosi. Strategi tersebut dipilih berdasarkan strategi bisnis setiap pabrik berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pabrik secara spesifik, yang ditemukan oleh Noorida (2000) dalam “perumusan strategi bisnis dengan pendekatan “game theory”. Saputra (2003) dalam “analisis industri rokok kretek di Indonesia” menemukan bahwa industri rokok (kretek) khususnya, mengalami banyak tantangan yang berdampak terhadap daya saing. Seperti krisis yang berkepenjangan, daya beli masyarakat yang menurun, tarif cukai yang terus meningkat, upah buruh dan biaya hidup masyarakat yang semakin naik.

Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gajah Mada melakukan kajian yang berhasil mengestimasi potensi kerugian negara akibat beredarnya rokok illegal mencapai Rp. 200 miliar sampai Rp. 300 miliar rupiah per tahunnya, dalam sebuah kajian tentang “Survey Rokok Illegal di Indonesia”. Kajian tersebut menemukan potensi adanya rokok illegal yang bersumber dari adanya pengusaha yang tidak memiliki ijin usaha. Dalam kenyataannya pengusaha dan barang bukti tidak selalu dibuat oleh pabrik yang tidak berijin, tetapi juga pabrik yang berijin tetapi tidak memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC). Dalam kajian tersebut tidak membahas penyebab munculnya rokok “illegal”, sekalipun dapat mengidentifikasi rokok “illegal” sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 Tentang Cukai.

Mengkaji rokok “illegal” dan penyebabnya dari sisi persaingan, penolakan masyarakat terhadap keberadaan rokok serta kebijakan yang ditetapkan untuk rokok, belum pernah ditemukan. Rokok “illegal” disinggung dalam penelitian hanya sebagai dampak kebijakan.

Page 13: Stigma “Illegal” Rokok, Dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya I.pdfStigma “Illegal” Rokok, dan Kompleksitas Relasi Di Dalamnya 4 serta jenis rokok yang beredar di pasaran, menyebabkan

Pendahuluan

13

Dari berbagai kajian belum memperhatikan bagaimana menangkap penyebab munculnya rokok “illegal” dari pendekatan kelembangaan ekonomi baru, dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi industri rokok.

Hasil penelitian ini merupakan akhir proses penyusunan disertasi. Sistematika penyajiannya disusun menjadi: Bab 1, merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang problematika yang dihadapi industri rokok yang berawal dari persaingan, tekanan masyarakat anti rokok dan kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok. Permasalahan penelitian; pertanyaan penelitian; sistematika penulisan hasil penelitian.

Bab 2, berisi tinjauan pustaka. Pada bagian ini akan memaparkan teori yang dipinjam untuk memahami fenomena yang ditemukan di lapangan, teori New Institusional Economics (NIE) dalam kompleksitas industri. Kebijakan dan persaingan dalam industri rokok;

Bab 3, menjelaskan pengalaman penelitian yang telah dilakukan.

Bab 4, Konteks penelitian, industri rokok di Kabupaten Kudus.

Bab 5, Persaingan industri rokok.

Bab 6, Rokok dan tekanan masyarakat.

Bab 7, Penerapan kebijakan Industri Hasil Tembakau (IHT) rokok.

Bab 8, Sintesa, Kelembagaan industri rokok yang semakin fleksibel dan informal.

Bab 9, Kesimpulan.