Stomatitis Aftosa Rekuren SAR Yang Dipicu Oleh Stres Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi USU

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SAR

Citation preview

1

STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR)

YANG DIPICU OLEH STRES

PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARAhttps://books.google.co.id/books?id=krc8HYwOfUcC&pg=PA164&lpg=PA164&dq=mengapa+sar+lebih+sering+pada+wanita+dari+pria&source=bl&ots=8rtpVKpi8s&sig=ZGHqprfMn6ilkJz3mn2pyEyK_nM&hl=id&sa=X&ei=kvMMVeL-GY6IuASeg4KADw&ved=0CEsQ6AEwCA#v=onepage&q=mengapa%20sar%20lebih%20sering%20pada%20wanita%20dari%20pria&f=true SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RAFEATUN NISANIM : 070600140DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUTFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011 Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Ilmu Penyakit Mulut

Tahun 2011

Rafeatun Nisa

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang dipicu oleh Stres pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

x + 69 halaman

Stomatitis Aftosa Rekuren merupakan salah satu masalah klinis yang sering dijumpai oleh dokter gigi. Penyakit ini seringkali dihubungkan dengan kondisi psikiatrik penderita sebagai salah satu predisposisinya, antara lain stres. Insiden SAR cenderung ditemukan antara yang tertinggi pada mahasiswa kedokteran gigi daripada populasi umum lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi SAR yang diderita oleh mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara, untuk mengetahui tingkat keparahan stres, untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres dari lingkungan dental dikalangan mahasiswa kedokteran gigi dan untuk mengetahui tanggapan dan perhatian mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara terhadap SAR yang diderita.Rancangan penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan cross-sectional yang melibatkan 95 orang mahasiswa kedokteran gigi yang mempunyai riwayat SAR. Subjek kemudian diberikan kuesioner untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada lembar kuesioner untuk mengetahui tingkat keparahan stres dan faktor penyebab stres melalui lingkungan dental serta tanggapan dan perawatan yang mereka lakukan terhadap SAR yang pernah mereka derita. Penilaian tingkat keparahan stres diukur dengan menggunakan Skala Likert, sedangkan penilaian faktor penyebab stres diukur menggunakan Skala Penilaian Grafik. Analisa data dilakukan dengan data diolah secara deskriptif yaitu dihitung dalam bentuk persentase.Hasil penelitian didapati bahwa proporsi faktor stres sebagai salah satu faktor predisposisi SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara yaitu sebanyak 56,8%. Sebagian besar mahasiswa mengalami tingkat stres tinggi yaitu sebanyak 77,8%. Faktor utama penyebab stres dikalangan adalah faktor akademik yaitu sebanyak 49,3%. Diantara stresor tertinggi dari lingkungan dental adalah ujian dan nilai ujian (64%), pasien yang terlambat atau tidak hadir seperti dijanjikan (60%), dan jumlah tugas kuliah (56,7%).

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi bagi mahasiswa kedokteran gigi, para ahli maupun dokter gigi bahwa mengetahui stresor yang dialami amatlah penting supaya dapat diketahui dengan pasti faktor apakah yang menyebabkan timbulnya SAR. Dengan demikian, dapat memperkecil resiko terjadinya SAR dan dapat menentukan perawatan yang tepat dan adekuat bagi SAR.

Daftar rujukan : 43 (1975-2009)

STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR)

YANG DIPICU OLEH STRES

PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

RAFEATUN NISANIM : 070600140DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUTFAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan

di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 1 Maret 2011Pembimbing : Tanda tangan

Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si

NIP . 19510611 198303 2001

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

pada tanggal 1 Maret 2011TIM PENGUJI

KETUA: Wilda Hafny Lubis, drg., M.SiANGGOTA: 1. Syuaibah Lubis, drg 2. Ravina Naomi Tarigan, drg., Sp.PM

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang dipicu oleh Stres pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Salawat berserta salam juga penulis sampaikan pada junjungan Nabi Muhammad Rasulullah SAW atas suri teladan yang baik.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan segenap cinta dan ketulusan hati kepada keluarga tersayang. Ayahanda Ahamadul Kaber Ali dan ibunda Aminah Moimuny, kakak- kakak penulis Radziatun Nisa, Mardziatun Nisa dan Mahfuzatun Nisa atas segala perhatian, dukungan moril dan materil, motivasi, harapan dan doa, serta cinta dan kasih sayang yang melimpah.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Ibu Wilda Hafny Lubis, drg., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Sp.Ort., Ph.D selaku Dekan FKG-USU, Sayuti Hasibuan, drg., Sp.PM selaku ketua Departemen Ilmu Penyakit Mulut dan koordinator skripsi, Syuaibah Lubis, drg., dan Ravina Naomi Tarigan, drg., Sp.PM selaku tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktu dan memberikan saran, seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Penyakit Mulut FKG-USU, serta Drs. Abdul Jalil AA. M.Kes selaku Pembantu Dekan III FKM-USU yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam mengerjakan metode penelitian, dan Nevi Yanti, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik serta seluruh staf pengajar dan pegawai di FKG-USU yang telah membimbing, mendidik dan membantu penulis selama menuntut ilmu di masa pendidikan.

Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Paramjit Singh, Umaiyal Sockalingam, Mohanasri Balachandran, Navissha Devi, Noorliyana Marzuki, Lavanyah Rajagopal, Joel Jebaraj, Kristina Hutagalung dan teman-teman seangkatan 2007 lainnya atas bantuan, semangat, motivasi dan kebersamaan di FKG-USU ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan selama penulis melaksanakan penelitian penulisan skripsi ini. Akhir sekali, penulis juga mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat. Medan, 1 Maret 2011 Penulis, ( Rafeatun Nisa )

NIM : 070600140

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI

KATA PENGANTAR

ivDAFTAR ISI

vi

DAFTAR GAMBAR

viiiDAFTAR TABEL

ixDAFTAR LAMPIRAN

x

BAB 1PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1

1.2. Permasalahan

41.3. Tujuan Penelitian

41.3.1. Tujuan Umum

41.3.2. Tujuan Khusus

41.4. Manfaat Penelitian

5BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stomatitis Aftosa Rekuren

62.1.1. Definisi

62.1.2. Epidemiologi

72.1.3. Faktor Predisposisi

82.1.4. Gambaran Klinis

132.1.5. Diagnosa

172.1.6. Perawatan

182.2. Peranan Faktor Stres

202.2.1. Stres dan Stresor

212.2.2. Respon Stres

222.2.3. Stres dan Stomatitis Aftosa Rekuren

232.2.4. Perawatan

242.3. Mahasiswa Kedokteran Gigi dan Stres

24KERANGKA TEORI

27KERANGKA KONSEP

28BAB 3METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

293.2. Tempat dan Waktu Penelitian

293.3. Populasi dan Sampel

293.3.1. Populasi

293.3.2. Sampel

293.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

313.5. Variabel Penelitian

313.6. Definisi Operasional

313.7. Sarana Penelitian

323.8. Cara Pengumpulan Data

333.9. Pengolahan Data

343.10. Analisa Data

34BAB 4HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Responden

354.2. Status Stomatitis Aftosa Rekuren

364.3. Tingkat Stres dan Stomatitis Aftosa Rekuren

384.4. Faktor Pencetus Stres dan Stomatitis Aftosa Rekuren

40BAB 5PEMBAHASAN

44BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

516.2. Saran

52DAFTAR RUJUKAN.............................................................................................

53LAMPIRAN

DAFTAR GAMBAR

GambarHalaman

1. Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Minor

15

2. Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Mayor

16

3. Stomatitis Aftosa Rekuren Tipe Herpetiformis

17

4. Karakteristik Gambaran Klinis dari Stomatitis Aftosa Rekuren

175. Persentase Berdasarkan Faktor Predisposisi SAR pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

376. Persentase Tingkat Stres Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang Mempunyai Riwayat SAR, Tahun 2011

397. Persentase Berdasarkan Stresor Utama pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang Mempunyai Riwayat SAR, Tahun 2011

43

DAFTAR TABEL

TabelHalaman

1. Informasi Karakteristik Responden, Tahun 2011

352. Distribusi dan Frekuensi SAR Berdasarkan Faktor Predisposisi pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Tahun 2011

363. Distribusi dan Frekuensi SAR Berdasarkan Tindakan Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Tahun 2011

384. Distribusi dan Frekuensi Tingkat Stres Berdasarkan Jenis Kelamin Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang Mempunyai Riwayat SAR, Tahun 2011

405. Hasil Kuesioner Dental Environment Stress (DES) pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Tahun 2011

41

DAFTAR LAMPIRANLampiran Halaman 1. Lembar Persetujuan Komisi Etik

58

2. Lembar informed consent

59

3. Lembar Kuesioner Penelitian

62

BAB 1

PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) atau lebih dikenali oleh masyarakat awam dengan sariawan merupakan salah satu penyakit yang ulang kambuh pada mukosa mulut yang paling sering terjadi.1 SAR merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai oleh dokter gigi diseluruh dunia sehingga dihasilkan beberapa penelitian-penelitian yang berhubungan dengan SAR.2 Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang diteliti. Dari penelitian-penelitian epidemiologi menunjukkan pada umumnya, prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi.3-8 Di Amerika, prevalensi tertinggi ditemukan pada mahasiswa keperawatan 60%, mahasiswa kedokteran gigi 56% dan mahasiswa profesi 55%.9 Resiko terkena SAR cenderung meningkat pada kelompok sosioekonomi menengah ke atas, ini berhubungan dengan meningkatnya beban kerja yang dialami kalangan profesi atau jabatan-jabatan yang memerlukan tanggung jawab yang cukup besar, pada wanita dan individu yang stres, seperti mahasiswa yang sedang menghadapi ujian.6,7 Hasil dari beberapa penelitian menemukan bahwa gangguan psikologis seperti stres dan ansietas dapat berperan dalam permulaan dan berulangnya lesi SAR.4 Dalam upaya mencari hubungan antara stres dengan SAR, Yaacob & Ab-Hamid (1985) melakukan perawatan pada 12 pasien yang mengalami SAR dan stres emosi yang berat. Perawatan dilakukan dengan pemberian obat anti-psikotik dan anti-depresi, hasilnya mayoritas pasien menjalani penyembuhan setelah diberikan obat penenang. Yaacob & Ab-Hamid (1985) melihat ini sebagai indikasi adanya hubungan pengaruh negatif dan terjadinya SAR.2Beberapa peneliti dalam penelitiannya berkaitan dengan SAR, salah satu oleh Ship (1967), menemukan prevalensi tertinggi yaitu 66% pada mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Kedokteran Gigi. Stres lingkungan juga telah dilaporkan mendahului munculnya SAR pada 60% pasien dan kira-kira 20% pada kasus rekuren.10,11 Menurut Donatsky (1973), 56% mahasiswa kedokteran gigi di Denmark memiliki pengalaman terjadinya SAR.9 Mahasiswa kedokteran gigi cenderung mengalami prevalensi SAR yang tertinggi dalam beberapa penelitian karena pendidikan ilmu kedokteran gigi dinyatakan sebagai salah satu pendidikan yang amat dibutuhkan, penuh tantangan, dan bidang studi yang dapat menimbulkan stres karena mahasiswa kedokteran gigi diharapkan memperoleh pelbagai kompetensi seperti kompetensi dalam bidang akademik dan klinikal serta keterampilan interpersonal.12 Beberapa penelitian menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran gigi sering mengalami gejala stres, ansietas yang lebih tinggi daripada populasi umum, tingkat depresi yang tinggi, dan mengalami sensitifitas interpersonal.13 Stresor dari lingkungan dental dapat meliputi dari beberapa aspek antaranya fisikokimia, sosial, biologis, dan psikis. Beberapa contoh stres yang sering dilaporkan dalam beberapa penelitian antaranya berkaitan dengan kepaniteraan klinik, manajemen pasien, kebutuhan memenuhi akademik dan persyaratan klinis, interaksi dengan rekan mahasiswa, dosen dan staf pendukung, hubungan dengan teman dan keluarga serta takut mengalami kegagalan. Akibat dari lingkungan yang stres ini kemungkinan besar menyebabkan kebanyakan mahasiswa kedokteran gigi sering menderita SAR tanpa menyadari penyebab utamanya.14,15Pada dasarnya SAR dapat memicu dalam meningkatkan stres dan ketidaknyamanan, kemudian akan dapat meningkatkan kemungkinan terjadi penyakit infeksi selain dapat mengganggu penyakit lainnya yang terjadi secara psikoneuroimunologi.2 Walaupun SAR tidak mengancam kehidupan tetapi keluhan rasa sakit yang hebat sangat mengganggu penderita pada saat makan, menelan atau berbicara terutama pada penderita yang sering berulang kejadiannya.2,3 Selanjutnya akan terjadi penurunan kualitas hidup dan kondisi kesehatan secara menyeluruh. Dengan latar belakang yang demikian maka SAR sampai sekarang masih merupakan penyakit mulut yang dianggap penting.2

Dari beberapa laporan penelitian diatas yang menyatakan stres dapat memicu terjadinya stomatitis aftosa rekuren, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui proporsi SAR yang dipicu oleh stres pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup seseorang dengan usaha memberikan pengetahuan tentang faktor terjadinya dan gejala stres yang dapat menyebabkan timbulnya ulser dan menurunnya prevalensi SAR.1.2 PermasalahanBerdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:Berapakah proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara?1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan Umum :Untuk mengetahui proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi SAR yang diderita oleh mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara.1.3.2 Tujuan Khusus :1. Untuk mengetahui tingkat keparahan stres pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara yang menderita SAR.2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres dari lingkungan dental dikalangan mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara.3. Untuk mengetahui tanggapan dan perhatian mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara terhadap SAR yang diderita.1.4 Manfaat PenelitianHasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat seperti:1. Bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara:Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar bagi Fakultas Kedokteran Gigi dalam menghasilkan lingkungan yang menyenangkan bagi mahasiswa agar mereka dapat melanjutkan studi tanpa berasa takut dan cemas.2. Bagi mahasiswa kedokteran gigi:

Dapat memberi informasi mengenai cara-cara menanggulangi stres yang dihadapi terhadap terjadinya SAR dan menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut untuk meningkatkan kualitas hidup.

3. Bagi dokter gigi:

Diharapkan dokter gigi dapat memberikan edukasi, preventif, dan perawatan yang sebaiknya terhadap terjadinya SAR dalam menunjang kesehatan mahasiswa baik kesehatan rongga mulut maupun keseluruhannya.BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser tunggal maupun lebih dari satu.3,6-8,16 SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring.16

2.1.1 DefinisiSAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-tanda adanya penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara.3,4ListenRead phonetically Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi orang orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan gejala klinis yang sama.3,8 SAR dapat membuat frustasi pasien dan dokter gigi dalam merawatnya karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama sembuh ulser baru dapat timbul dalam jumlah yang lebih banyak.172.1.2 Epidemiologi

Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang di teliti. Angka prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk di seluruh dunia.3,9 Penelitian telah menemukan terjadinya SAR pada dewasa sekitar 2% di Swedia (1985), 1,9% di Spanyol (2002) dan 0,5% di Malaysia (2000). SAR tampaknya jarang terjadi di Bedouins Kuwaiti yaitu sekitar 5% dan ditemukan 0,1% pada masyarakat India di Malaysia. Namun, SAR sangat sering terjadi di Amerika Utara.9 Di Indonesia belum diketahui berapa prevalensi SAR di masyarakat, tetapi dari data klinik penyakit mulut di rumah sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988 sampai dengan 1990 dijumpai kasus SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalensi SAR dari 101 pasien terdapat kasus SAR 17,3%.18SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang dibawah 40 tahun, orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-anak.9 Menurut Smith dan Wray (1999), SAR dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda.2 SAR paling sering dimulai selama dekade kedua dari kehidupan seseorang. Pada sebagian besar keadaan, ulser akan makin jarang terjadi pada pasien yang memasuki dekade keempat dan tidak pernah terjadi pada pasien yang memasuki dekade kelima dan keenam.5 2.1.4 Faktor Predisposisi

Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari pasta gigi dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok, infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya mempertimbangkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat memicu perkembangan ulser SAR.3,16,232.1.4.1 Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS

Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang menggandung SLS.3,8,24

2.1.4.2 Trauma

Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.20 Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut.22 Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi.25 Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.262.1.4.3 Genetik

Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium.9,16,26 Sicrus (1957) berpendapat bahwa bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.9,242.1.4.4 Gangguan Immunologi

Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR, adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui.16 Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.92.1.4.5 StresStres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini.11 Faktor stres ini akan dibahas dengan lebih rinci pada subbab selanjutnya.

2.1.4.6 Defisiensi Nutrisi

Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15% defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan.27

Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.27

Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien tersebut diterapi dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama tiga bulan. Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak pernah kambuh dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal.282.1.4.7 Hormonal

Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesteron.20,26

Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa mulut.26

2.1.4.8 Infeksi BakteriGraykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan adanya hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan penelitian lebih lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai penyebab SAR. Donatsky dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptokokus sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.92.1.4.9 Alergi dan Sensitifitas

Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk antibodinya sendiri.29

SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan.29,30 Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.292.1.4.10 Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.3,242.1.4.11 Penyakit Sistemik

Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcets, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweets.32.1.4.12 Merokok

Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok.3,242.1.3 Gambaran Klinis

Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada metode diagnosa laboratoriam spesifik yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR diawali gejala prodormal yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam sebelum terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau oval, tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan, dan dikelilingi pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan.3Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:

1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai berkembang.

2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.

3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang berkurang.

4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.6,9,19

Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa rekuren tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis.2.1.3.1 SAR Tipe Minor

Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.3,8,9,20

Gambar 1. Stomatitis aftosa rekuren tipe minor.212.1.3.2 SAR Tipe Mayor

Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin.3Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.3,8,20,22

Gambar 2. Stomatitis aftosa rekuren tipe mayor.32.1.3.3 SAR Tipe Herpetiformis

Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan jaringan parut ketika sembuh.3,8,20,22

Gambar 3. Stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis.3

Gambar 4. Karateristik gambaran klinis dari stomatitis aftosa rekuren.32.1.5 DiagnosaDiagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser. Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan faktor predisposisi juga harus dicatat.16 Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi 1 cm yang jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.8,11,172.1.6 Perawatan

Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya adalah :

1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.

2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.

3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan.

Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi.24Karena penyebab SAR sulit diketahui maka pengobatannya hanya untuk mengobati keluhannya saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan untuk mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan periode bebas penyakit.3

Bagi pasien yang mengalami stomatitis aftosa rekuren mayor, perawatan diberikan dengan pemberian obat untuk penyembuhan ulser dan diinstruksikan cara pencegahan. Bagi pasien yang mengalami SAR akibat trauma pengobatan tidak diindikasikan. 3,6,17Pasien yang menderita SAR dengan kesakitan yang sedang atau parah, dapat diberikan obat kumur yang mengandung benzokain dan lidokain yang kental untuk menghilangkan rasa sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit. Bagi menghilangkan rasa sakit yang berlangsung sehingga enam jam, dapat diberikan zilactin secara topikal. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. Dapat juga diberikan ziladent yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesia. Selain itu, dapat juga menggunakan larutan betadyne secara topikal dengan efek yang sama. Dyclone digunakan sebagai obat kumur tetapi hanya sebelum makan dan sebelum tidur. Aphthasol merupakan pasta oral amlexanox yang mirip dengan zilactin yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk lapisan pelindung pada ulser. 3,6,17Bagi mempercepat penyembuhan ulser, glukokortikoid, baik secara oral atau topikal adalah andalan terapi. Topikal betametason yang mengandung sirup dan fluocinonide ointment dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan. Pemberian prednison secara oral ( sampai 15 mg / hari) pada ksaus SAR yang lebih parah. Hasil terapeutik dalam dilihat dalam satu minggu. 3,6 Thalidomide adalah obat hipnotis yang mengandung imunosupresif dan anti-inflamasi. Obat ini telah digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren mayor, sindrom Behcet, serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis telah membatasi penggunaannya.6Klorheksidin adalah obat kumur antibakteri yang mempercepatkan penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc sirup direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu. 3,6,17Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR, namun oleh karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini kurang diindikasikan. 3,6Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan hanya dapat merusak jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya berlebihan maka akan mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.82.2 Peranan Faktor StresStres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antara individu yang makin berat.312.2.1 Stres dan Stresor

Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.31Dalam menghadapai stres seseorang dapat mengadakan penyesuaian diri secara efektif yaitu bersifat objektif, resional, dan efektif. Setiap orang mempunyai cara-cara penyesuaian diri yang khusus terhadap stres yang dialami, yang tergantung dari kemampuan, pengaruh lingkungan, pendidikan dan pengembangan diri.32

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Beberapa tipe stresor yaitu : 33a) Fisikokimia : lingkungan eksternal misalnya perubahan iklim dan cuaca, polusi, bencana dan zat kimia.b) Sosial : lingkungan sosial misalnya lingkungan hidup seperti pekerjaan, rumah, pendidikan, dan hubungan antara manusia.c) Biologis : lingkungan internal yaitu beberapa perubahan yang terjadi di dalam tubuh. Misalnya penyakit, cedera, kelelahan, dan lain-lain.d) Psikis : kondisi psikologis seperti perkara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.

2.2.2 Respon Stres

Menurut Selye (1956), General Adaptation Syndrome (GAS) merupakan salah satu teori yang paling banyak diterima mengenai stres dan dampaknya terhadap tubuh manusia. Ketika tubuh bertemu stresor, penyesuaian terjadi dalam upaya tubuh mendapatkan kembali keseimbangannya (homeostatis).2

Pada tahap pertama GAS, terjadinya reaksi alarm. Setiap trauma fisik atau mental akan memicu reaksi yang segera dalam menghambat stres. Akibat dari sistem imun tubuh yang pada awalnya tertekan, tingkat normal daya tahan tubuh akan menurun menyebabkan tubuh lebih rentan terhadap infeksi dan penyakit. Jika stres yang dihadapi ringan dan tidak berlangsung lama, tubuh akan kembali normal dan pulih dengan cepat.2

Pada tahap kedua GAS, terjadinya resistensi atau adaptasi tubuh akibat dari stresor yang tidak dapat diatasi. Akhirnya, tubuh beradaptasi terhadap stres dan cenderung menyebabkan tubuh lebih tahan terhadap penyakit. Pada keadaan ini, sistem imun bekerja lebih supaya dapat mengikuti kebutuhan yang diharapkan. Sering kali individu merasa bahwa telah berhasil mengatasi efek stres dan tubuh mereka kebal terhadap efek stres. 2

Pada tahap ketiga GAS, terjadinya kelelahan yaitu tubuh telah kehabisan energi dan daya tahan tubuh. Tubuh mengalami kelelahan adrenal yang hebat dari segi mental, fisik dan emosi. Apabila adrenal semakin berkurang, terjadinya penurunan kadar gula darah menyebabkan penurunan toleransi terhadap stres, kelelahan mental dan fisik yang terus berkembang maka tubuh tidak berdaya, dan timbulnya penyakit. Bagi mendukung asumsi ini, Mcnally telah melakukan penelitian dan ditemukan SAR pada responden yang mengalami tingkat stres yang tinggi.2

2.2.3 Stres dan Stomatitis Aftosa Rekuren

Telah beberapa dekade dilakukan penelitian empiris klinis yang menunjukkan bahwa faktor psikis mempunyai peranan dalam terjadinya penyakit SAR.11 Genco et.al. (1998) menuliskan stres jalur umum dari terjadinya sejumlah penyakit kronik, salah satu bagian tubuh yang dapat dipengaruhi oleh stres adalah rongga mulut.34

Beberapa peneliti telah membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara stresor psikologis dengan pengaruh sistem imun, dimana respon imun tubuh dapat dimodulasi oleh stresor psikologis. Pada kondisi stres, hipotalamus memicu aktivitas sepanjang aksis HPA (hypothalamus-pituitary-adrenal cortex). Aderenal korteks mengeluarkan kortisol yang menghambat komponen dari respon imun. Kortisol ini akan melepaskan glukokortikoid dan katekolamin yang akan menyebabkan penurunan produksi INF- (sitokin tipe 1) dan meningkatkan produksi IL-10 dan IL-4 (sitokin tipe 2) yang akan memicu terjadinya perubahan keseimbangan sitokin tipe 1/tipe 2 yang lebih ke arah respon tipe 2. Namun, penelitian terbaru menyatakan bahwa disregulasi dari keseimbangan sitokin tipe 1/tipe 2 inilah yang memainkan peranan penting dalam menghubungkan pengaruh stres terhadap sistem imun. Dalam upaya menghasilkan homeostatis akibat stres sering menghasilkan kondisi patologis terhadap tubuh.35ListenRead phonetically

Dictionary - View detailed dictionary1. noun

1. perubahan

2. perpindahan

3. giliran

4. regu

5. alih

6. penggeseran

7. persneling

8. perkisaran

9. perbelokan

10. pakaian dalam wanita

2. verb

1. bergeser

2. beralih

3. mengubah

4. mengalihkan

5. memindahkan

6. berubah

7. pindah

8. mengganti

9. menukar

10. memindah-mindahkan

11. menggeserkan

12. mengasak

13. berubah arah

Stres akibat stresor psikologis dapat mengakibatkan perubahan tingkat molekul pada berbagai sel imunokompeten. Berbagai perubahan tersebut dapat mengakibatkan keadaan patologis pada sel epitel mukosa rongga mulut, sehingga sel epitel lebih peka terhadap rangsangan.36

Menurut penelitian Mcnally, menunjukkan kebanyakan orang yang menderita ulser mempunyai level stres yang meningkat. Sedangkan pasien yang menderita ulser pada waktu stres, maka ulser akan menjadi lebih parah, dan pada beberapa studi telah dilaporkan ada hubungan diantara keduanya. Dengan meningkatnya stresor seiring perkembangan zaman, maka prevalensi SAR yang berhubungan dengan stresor psikologis dapat diduga akan lebih tinggi.2,11,36

2.2.4 Perawatan

Perawatan pasien SAR yang berhubungan dengan stres psikologis, dapat dilakukan dengan mengurangi tingkat stres yang diamati, dengan cara konseling dan psikoterapi pada kasus SAR yang parah dan dukungan sosial teman atau keluarga pada kasus yang kurang parah.11 Menurut Janicki (1971), konseling dan psikoterapi kelihatannya mempunyai efek terhadap seringnya dan rekurensi dalam mengurangi terjadinya SAR. Selain itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial mempunyai efek pendukung sistem imun.2 Terapi stomatitis aftosa rekuren tidak memuaskan dan tidak ada yang pasti. Terapi dilakukan secara siptomatik. Telah banyak obat yang dicoba menanggulangi stomatitis namun tidak ada yang efektif. Penatalaksanaan stomatitis aftosa rekuren ditujukan untuk mengurangi rasa sakit, atau mencegah timbulnya lesi baru. Rasa sakit dapat dikurangi dengan cara menghindari makanan yang berbumbu, asam, atau minuman beralkohol. Anastetikum topikal merupakan obat yang umumnya digunakan dalam pengobatan stomatitis. Pengolesan anastetikum sebelum makan dapat mengurangi rasa sakit. Faktor predisposisi yang berperan perlu ditelusuri agar dapat meringankan penderitaan pasien. Tujuan dari pengobatan adalah untuk meringankan penderitaan pasien dengan ulserasi. Pasien perlu diyakinkan bahwa stomatitis aftosa rekuren bukan suatu penyakit yang berbahaya walaupun merepotkan. Masa perjalanan dapat dipersingkat dengan pemberian kortikosteroid topikal, seperti triamcinolone acetonide 0,1% dalam orabase yang bersifat adesif. Contoh lain adalah fluocinonide gel yang lebih kuat dan rasanya lebih enak. Obat dioleskan pada ulserasi 48 kali sehari. Untuk lesi yang parah dapat diberikan kortikosteroid sistemik. Lesi akan segera sembuh sehingga memperpendek perjalanan lesi selama obat digunakan. Penggunaan secara sistemik perlu berhatihati karena apabila terlalu lama digunakan dapat menimbulkan efek samping. Beberapa ahli ada yang mencoba tetrasiklin yang dipakai secara topikal atau sistemik. Penggunaan secara topikal dilakukan dengan melarutkan obat dalam 30 mL air dan digunakan sebagai obat kumur.17

Untuk pasien dengan gangguan hematologi diberikan tablet zat besi yang berisi ferrous sulfate, ferrous gluconate, dan ferrous fumarate yang diberikan peroral. Respon tubuh pada terapi biasanya cepat, sel darah merah akan kembali normal setelah 1-2 bulan. diberikan sulemen 2x1 sehari Beberapa literatur menyebutkan bahwa lidah buaya memiliki khasiat bagi kesehatan terutama untuk mukosa mulut antara lain sebagai analgesik, antiseptik, dan antiinflamasi karena bahan yang terkandung antara lain aloktin A dan asam salisilat

2.3 Mahasiswa Kedokteran Gigi dan Stres

Tingkat stres yang tinggi dalam bidang kedokteran gigi telah banyak dilaporkan, bahkan profesi dokter gigi merupakan diantara profesi yang mengalami tingkat stres tertinggi. Akar dari terjadinya stres ini masih belum diketahui tetapi beberapa penelitian menyatakan kemungkinan berasal dari pengalaman sewaktu proses pembelajaran sebagai mahasiswa kedokteran gigi.14,15 Prevalensi stres dikalangan mahasiswa kedokteran gigi telah dilaporkan di beberapa negara antaranya Amerika Serikat, United Kingdom, German, Greece, Jordan, Nigeria, Afrika Selatan, India, Singapura, Malaysia, Jepang, Australia, dan West Indies.15

Menurut penelitian yang diterbitkan, menemukan bahwa sumber stres terjadi pada semua tahapan karier kedokteran gigi yang dimulai dari awal pendidikan sarjana kedokteran gigi.12,13 Tingginya tingkat stres yang dirasakan dikalangan mahasiswa kedokteran gigi sering dikaitkan dengan gejala fisik, tekanan psikologis, kelelahan karir, dan kelelahan emosi.12 Beberapa penelitian menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran gigi sering mengalami gejala stres, ansietas yang lebih tinggi daripada populasi umum, tingkat depresi yang tinggi, dan mengalami sensitivitas interpersonal.13

Diantara faktor pencetus yang paling tinggi terjadinya stres adalah beban tugas, tekanan prestasi, ujian, takut gagal, dan keyakinan diri. Intensitas stres sangat berbeda mengikut tahun studi. Analisa dari beberapa penelitian berpendapat bahwa mahasiswa kedokteran gigi tahun ke-4 dan yang telah lulus kurang khawatir dengan beban tugasan yang banyak, kesulitan kepaniteraan klinik, dan kegagalan tetapi mereka lebih khawatir akan masa depan profesi mereka. Bagi mahasiswa baru, mereka lebih prihatin mengenai kurangnya waktu untuk relaksasi.13

Stres khusus yang dilaporkan dalam beberapa penelitian meliputi banyak faktor antaranya berkaitan dengan kepaniteraan klinik, manajemen pasien seperti pasien terlambat atau tidak tampil sebagaimana yang dijanjikan, kebutuhan untuk memenuhi akademik dan persyaratan klinis, interaksi dengan rekan mahasiswa, dosen dan staf pendukung, hubungan dengan teman dan keluarga, takut mengalami kegagalan, dan ketakutan menghadapi orang tua setelah mengalami kegagalan. Perbedaan jenis kelamin juga telah dilaporkan, mahasiswa wanita sering mengalami stres yang lebih tinggi daripada mahasiswa laki-laki. Masalah yang sering ditemukan pada mahasiswa wanita adalah berkaitan dengan kepercayaan diri, memperoleh keterampilan klinis dan memenuhi persyaratan akademik.14,15 Selain itu, pengaruh orangtua dalam terjadinya stres juga memainkan peranan penting. Orangtua yang tidak dapat memenuhi impian mereka untuk menjadi dokter gigi akan mencoba memenuhinya melalui anak-anak mereka. Dalam banyak kasus, anak-anak dipaksa untuk mempelajari bidang yang bukan pilihan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa seperti ini akan mengalami tingkat stres yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang mempelajari bidang yang merupakan pilihan mereka.37

Tingginya tingkat stres dapat mengakibatkan prestasi akademik mahasiswa kedokteran gigi menurun.14 Oleh karena itu, mengetahui pemicu terjadinya stres dikalangan mahasiswa kedokteran gigi adalah amat penting dalam upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan belajar di seluruh fakultas kedokteran gigi.12ListenKERANGKA TEORI

KERANGKA KONSEP

BAB 3METODE PENELITIAN3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan potong silang (cross-sectional), yaitu mengetahui proporsi SAR yang disebabkan stres pada mahasiswa kedokteran gigi, dimana tiap subjek hanya diperiksa satu kali saja.383.2 Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian adalah dari bulan Desember 2010 sehingga Januari 2011.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa yang terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara yang menderita atau pernah menderita SAR.

3.3.2 SampelMetode pemilihan sampel dalam penelitian ini adalah metode purposive non probability sampling, dimana pemilihan sekelompok subjek berdasarkan atas ciri-ciri tertentu dari populasi yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya.38

Untuk mendapatkan besar sampel yang akan diambil dalam penelitian ini, penulis menggunakan persentase insiden SAR dikalangan mahasiswa kedokteran gigi dari hasil penelitian Ship (1967) yaitu 66%,10,11 diperoleh sampel dengan menggunakan rumus besar sampel untuk data nominal terhadap sampel tunggal untuk estimasi proporsi suatu populasi (Sudigdo,S .2008) yaitu sebagai berikut: 38

n = Z2. P. Q d2

= 1,962. 0,66 . (1-0,66) (0.10)2

= 86,2Dengan ketentuan :

n : jumlah sampel

Z : tingkat kemaknaan yang dikehendaki = 1,96P : prevalensi SAR (dari penelitian terdahulu) = 0,66 Q : ( 1- P ) = 1- 0,66 = 0,34d

: tingkat ketetapan absolut yang dikehendaki = 0,10Jadi besar sampel minimum yang diperoleh adalah 86 orang yang akan diambil dari fakultas kedokteran gigi USU. 3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi sampel mahasiswa kedokteran gigi USU :

Mahasiswa yang mempunyai riwayat SAR

Kriteria eksklusi sampel mahasiswa kedokteran gigi USU :

Mahasiswa yang menolak diwawancarai

3.5 Variabel PenelitianVariabel bebas

: Stres

Variabel terikat

: Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR)Variabel terkendali

: Mahasiswa Kedokteran Gigi USU

3.6 Definisi Operasional a) SAR merupakan suatu lesi yang ulang kambuh berbentuk bulat atau oval dengan ukuran bervariasi 1- 10 mm tertutup selaput putih kekuningan, berbatas tegas dan dikelilingi oleh batas eritematus.2,3,6,8

b) Penderita SAR merupakan mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang mempunyai riwayat penyakit SAR, dimana data diperoleh melalui anamnesa.

c) Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi,11 dimana data diketahui melalui kuesioner stres yang disajikan.d) Genetik adalah faktor keturunan dimana ada atau tidak riwayat SAR pada orang tua atau keluarga lainnya,24 yang diperoleh dari kuesioner SAR.e) Trauma adalah luka atau cedera yang terjadi pada jaringan mukosa mulut akibat kontak fisik, kimia, thermis,24 yang dapat diketahui dari kuesioner SAR.

f) Alergi adalah reaksi hipersensitifitas akibat kontak dengan sesuatu bahan tertentu,24 yang dapat diketahui dari kuesioner SAR.g) Gangguan hormonal, misalnya siklus menstruasi,24 yang diperoleh dari kuesioner SAR.

3.7 Sarana PenelitianAlat yang digunakan dalam penelitian ini berupa tiga jenis kuesioner yaitu:

a) Kuesioner SAR : untuk mengetahui penyebab timbulnya SAR pada mahasiswa kedokteran gigi.

b) Kuesioner Perceived Stress Scale (PSS); (Cohen et al, 1983) : untuk mengetahui dan mengukur tingkat keparahan stres pada mahasiswa kedokteran gigi. Skala ini merupakan instrumen psikologis yang paling banyak digunakan untuk mengukur persepsi stres. Ini adalah untuk mengukur situasi atau pengalaman yang telah dialami individu selama satu bulan terakhir yang dinilai sebagai stres. Item didesain untuk mengetahui betapa seseorang individu merasa bahwa hidupnya dibebani, tidak terduga, dan tidak terkendali. Pertanyaan dan jawaban mudah difahami dan bersifat umum sehingga dapat digunakan pada semua kelompok populasi.2

c) Kuesioner Dental Environment Stress (DES) : untuk mengetahui penyebab terjadinya stres dari lingkungan dental dikalangan mahasiswa kedokteran gigi. Kuesioner ini diambil dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.12-15,37,393.8 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi USU yang mempunyai riwayat penyakit SAR, data diperoleh melalui anamnesa, kemudian diberikan informed consent bagi mahasiswa yang bersedia menjadi sampel. Kemudian diberikan lembaran kuesioner yang bertujuan untuk mengetahui penyebab yang dapat menimbulkan ulser rekuren pada mahasiswa.

Untuk mengukur dan mengetahui ada tidaknya faktor stres pada mahasiswa sebagai penyebab SAR, dilakukan dengan menyajikan kuesioner Perceived Stress Scale (PSS). Metode skala yang digunakan adalah metode Skala Likert. Metode ini meliputi 5 jawaban yaitu sangat sering (SS), sering (S), kadang-kadang (KK), hampir tidak pernah (HTP), tidak pernah (TP). Untuk item positif skornya bergerak dari 0 SS, 1 S, 2 KK, 3 HTP, 4 TP dan item negatif 4 SS, 3 S, 2 KK, 1 HTP, 0 TP. Skor stres diklasifikasikan ke dalam empat kategori; tingkat stres rendah (skor 0 hingga 11), tingkat stres normal (skor 12 hingga 15), tingkat stres tinggi (skor 16 hingga 26), dan tingkat stres sangat tinggi (skor 27 dan lebih).2

Untuk mengetahui penyebab terjadinya stres dari lingkungan dental dikalangan mahasiswa diberikan kuesioner Dental Environment Stress (DES). Metode skala yang digunakan adalah Skala Penilaian Grafik. Di sini, subjek diminta untuk mencek titik tertentu dari suatu kontinum pada garis tertentu.40 Nilai skala yang di gunakan adalah 0 (tidak stres) hingga 5 (sangat stres). Bagi mempermudahkan dalam menganalisis data, item dibagikan kedalam lima stressor utama yaitu : penyesuaian diri (item 1 hingga 4), faktor pribadi (item 5 hingga 14), lingkungan pendidikan (item 15 hingga 19), faktor akademik (item 20 hingga 29), dan faktor klinis (item 30 hingga 37).14

3.9 Pengolahan Data

Pengolahan data ditabulasi dengan menggunakan Mictosoft Office Excel 2007.

3.10 Analisa Data

Data diolah secara deskriptif yaitu data univariant dan dihitung dalam bentuk persentase. Data tersebut disajikan dalam bentuk tabel berdasarkan riwayat SAR yang diderita mahasiswa dengan tingkat keparahan stres dan faktor-faktor terjadinya stres dari lingkungan dental.BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karekteristik Responden

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebanyak 95 orang mahasiswa yang mempunyai riwayat SAR diambil dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Dari 95 orang mahasiswa, 63 orang (66,3%) mahasiswa masih kuliah dan 32 orang (33,7%) mahasiswa sedang menjalani kepaniteraan klinik. Sebagian besar sampel berdasarkan jenis kelamin merupakan mahasiswa perempuan sebanyak 80 orang (84,2%) dan mahasiswa laki-laki sebanyak 15 orang (15,8%). Informasi karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel1. INFORMASI KARAKTERISTIK RESPONDEN, TAHUN 2011

No.Kriterian

(nT = 95 )%

1.Mahasiswa

Kuliah

Kepaniteraan Klinik63

3266,3%

33,7%

2.Jenis Kelamin

Laki laki

Perempuan 15

8015,8%

84,2%

Keterangan : n dinyatakan dalam orang4.2 Status Stomatitis Aftosa Rekuren

Dari 95 orang mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara, ditemukan bahwa ada beberapa faktor predisposisi terjadinya SAR yang terdiri dari trauma, hormonal, alergi, genetik dan stres. Distribusi dan frekuensi berdasarkan faktor predisposisi dapat dilihat pada Tabel 2 dan grafik persentase berdasarkan faktor predisposisi dapat dilihat pada Gambar 5.

Tabel 2. Distribusi dan frekuensi SAR berdasarkan faktor predisposisi PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, TAHUN 2011

No.Faktor Predisposisin

(nT = 95 )

1.Trauma16

2.Hormonal12

3.Alergi 8

4.Genetik5

5.Stres54

Keterangan : n dinyatakan dalam orang

Gambar 5. persentase berdasarkan faktor predisposisi SAR PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, TAHUN 2011

Dari 95 orang mahasiswa yang mempunyai riwayat SAR, dijumpai 59 orang (62,1%) mahasiswa tidak melakukan perawatan, 36 orang (37,9%) mahasiswa melakukan perawatan. Pada yang melakukan perawatan, 5 orang (5,3%) melakukan perawatan ke dokter, 12 orang (12,6%) minum vitamin, dan 19 orang (20%) meningkatkan konsumsi buah dan sayur. Adapun tindakan pencegaham yang dilakukan ialah 84 orang (88.4%) dengan menjaga kebersihan mulut dan 11 orang (11,6%) dengan menggunakan obat kumur. Distribusi dan frekuensi SAR berdasarkan tindakan mahasiswa dapat dilihat pada Tabel 3.Tabel 3. Distribusi dan frekuensi SAR berdasarkan tindakan mahasiswa kedokteran gigi universitas sumatera utara, TAHUN 2011

No.Kriterian

(nT = 95 )%

1.Perawatan

Ya

Tidak36

5937,9%

62,1%

2.Jenis Perawatan

Berobat ke dokter

Minum vitamin

Makan buah dan sayur5

12

195,3%

12,6%

20,0%

3.Pencegahan

Menjaga kebersihan mulut

Menggunakan obat kumur84

1188,4%

11,6%

Keterangan : n dinyatakan dalam orang

4.3 Tingkat Stres dan Stomatitis Aftosa Rekuren

Menurut persentase faktor predisposisi yang didapat, dijumpai sebanyak 54 orang (56,8%) mahasiswa mengalami riwayat SAR disebabkan faktor stres. Dari 54 orang, jumlah mahasiswa perempuan 43 orang (79,6%) dan 11 orang (20,4%) mahasiswa laki-laki.

Berdasarkan pengukuran tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara, dijumpai 2 orang (3,7%) mahasiswa dengan tingkat stres rendah, 9 orang (16,6%) mahasiswa dengan tingkat stres normal, 42 orang (77,8%) mahasiswa dengan tingkat stres tinggi, dan 1 orang (1,9%) mahasiswa dengan tingkat stres sangat tinggi. Grafik persentase tingkat stress dapat dilihat pada Gambar 6. dan distribusi dan frekuensi tingkat stres berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.

Gambar 6. PERSENTASE TINGKAT STRES MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA YANG MEMPUNYAI RIWAYAT SAR, TAHUN 2011

Tabel 4. DISTRIBUSI DAN FREKUENSI TINGKAT STRES BERDASARKAN JENIS KELAMIN MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA YANG MEMPUNYAI RIWAYAT SAR, TAHUN 2011

No.Jenis KelaminTingkat Stresn

(nT = 54 )%

1.Laki - lakiRendah

Normal

Tinggi

Sangat Tinggi-2

9

--3.7%

16,7%

-

2.Perempuan Rendah

Normal

Tinggi

Sangat Tinggi2

7

33

13,7%

12,9%

61,1%

1,9%

Keterangan : n dinyatakan dalam orang4.4 Faktor Pencetus Stres dan Stomatitis Aftosa RekurenPada penelitian ini didapati, hasil kuesioner dari dental environment stress (DES) yang merupakan faktor pencetus stres dari lingkungan dental yang dialami pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Tabel 5. menunjukkan persentase item DES dalam rangka penurunan.Tabel 5. HASIL KUESIONER DENTAL ENVIRONMENT STRESS (DES) PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, TAHUN 2011No.Stressor%

1Ujian dan nilai ujian64.0%

2Pasien yang terlambat atau tidak tampil seperti yang dijanjikan60.0%

3Jumlah tugas kuliah56.7%

4Kekurangan waktu klinis yang diberikan53.7%

5Masalah keuangan53.0%

6Takut mengalami kegagalan dalam pelajaran53.0%

7Kurangnya waktu untuk melakukan pekerjaan kuliah yang ditugaskan52.6%

8Takut tidak mampu untuk mengejar karena ketinggalan dalam pelajaran52.6%

9Kurangnya waktu untuk relaksasi51.1%

10Takut menghadapi orang tua setelah mengalami kegagalan49.6%

11Kesulitan tugasan kuliah49.3%

12Kurangnya suasana seperti rumah di tempat tinggal46.7%

13Persaingan nilai ujian43.0%

14Jauh dari pangkuan keluarga42.6%

15Perbedaan pendapat staf klinis mengenai perawatan pasien42.6%

16Kesulitan dalam mempelajari prosedur klinis41.5%

17Kesulitan dalam pemahaman literatur40.4%

18Kesulitan dalam mempelajari ketelitian ketrampilan manual yang diperlukan dalam pekerjaan praklinis dan laboratorium40.0%

19Melengkapi persyaratan klinis38.5%

20Kurangnya kepercayaan dalam pengambilan keputusan klinis38.2%

21Menerima kritikkan mengenai pekerjaan klinis atau akademik36.3%

22Keberadaan dokter jaga di klinik36.0%

23Peralihan ke kepaniteraan klinik35.2%

24Kesehatan fisik diri34.8%

25Peraturan dan persyaratan fakultas34.8%

26Melengkapi persyaratan wisuda34.0%

27Kurangnya kepercayaan untuk menjadi mahasiswa kedokteran gigi yang sukses33.7%

28Keberadaan teknisi lab32.6%

29Konflik dengan rekan 31.9%

30Bekerja pada pasien dengan kebersihan oral yang jelek31.9%

31Masalah lain yang berkaitan dengan tempat tinggal30.0%

32Kurangnya kepercayaan untuk menjadi dokter gigi yang sukses30.0%

33Diskriminasi karena ras, status kelas, atau kelompok etnis27.8%

34Hubungan dengan pacar26.0%

35Lingkungan belajar yang sesuai23.0%

36Ingin berteman 18.5%

37Ketergantungan (misalnya narkoba, alkohol, merokok)7.8%

Dari hasil kuesioner ini dapat dibagikan kedalam lima stresor utama yaitu faktor akademik (49,3%), klinis (42,1%), pribadi (33,6%), lingkungan pendidikan (33%), dan penyesuaian diri (35,6%) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 7.Gambar 7. PERSENTASE BERDASARKAN STRESOR UTAMA PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA YANG MEMPUNYAI RIWAYAT SAR, TAHUN 2011

BAB 5

PEMBAHASAN

SAR telah menjadi salah satu penyakit ulang kambuh pada mukosa mulut yang paling sering terjadi pada mahasiswa kedokteran gigi berdasarkan prevalensi tertinggi yaitu 66% dalam penelitian Ship (1967).10,11 Prevalensi ini cukup tinggi sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara.

Responden yang mempunyai riwayat SAR terdiri 15 (15,8%) mahasiswa laki-laki dan 80 (84,2%) mahasiswa perempuan. Adanya bias dalam penelitian ini dapat terjadi karena jumlah sampel laki-laki dan perempuan tidak seimbang, sehingga perbandingan SAR berdasarkan jenis kelamin tidak dapat membuktikan literatur yang menyatakan bahwa perempuan lebih sering terserang SAR dari laki-laki dengan ratio 3:2.6-8 Dari hasil penelitian pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa faktor stres menjadi penyebab utama terjadinya SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara yaitu 56,8% dibanding faktor predisposisi lain. Hasil ini sangat sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa mahasiswa kedokteran gigi diantara mahasiswa yang tertinggi mengalami stres.14,37,39 Berdasarkan dari hasil penelitian, dapat dihubungkan bahwa faktor stres dapat menyebabkan Hipotalamus mensekresi CRF (Corticotropin Releasing Factor) dan AVP (Argininevasopresin) yang menstimulasi Hiposfisis anterior mensekresi ACTH ( Adenocortictropin Hormone). ACTH menstimulasi korteks adrenal mensekresi hormon glukokortikoid (kortisol). Hormon kortisol ini akan meningkatkan aktifitas Th-2 melalui IL-4, IL-4 akan menstimuli mast cell, basofil, dan sel plasma menghasilkan Ig E sehingga menimbulkan reaksi anafilatik pada jaringan menyebabkan jaringan rentan terhadap jejas. Hal inilah yang kemungkinan besar menyebabkan seseorang yang stres rentan terhadap SAR. 35,41SAR merupakan penyakit rongga mulut yang dapat sembuh sendiri dalam waktu 10-14 hari tanpa pengobatan dan dapat kambuh kembali.3,6-8 Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa 59 (62,1%) orang dari responden tidak melakukan perawatan terhadap SAR yang dialami, ulser tersebut sembuh dengan sendirinya dan 36 (37,9%) orang responden melakukan perawatan khusus terhadap SAR. Data ini sesuai dengan sebagian besar literatur yang menyebutkan bahwa SAR tidak memerlukan perawatan. Perawatan terhadap pasien SAR pada umumnya bersifat non spesifik dan dilakukan dengan tujuan menghilangkan rasa sakit, mengurangi besar dan lamanya ulser.3,6-8,11 Sedangkan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi tingkat rekurensi dari SAR yaitu 84 (88,4%) orang mahasiswa menjaga kebersihan mulut dan 11 (11,6%) orang mahasiswa hanya menggunakan obat kumur. Tindakan pencegahan dengan menjaga kebersihan rongga mulut bertujuan untuk mencegah berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen rongga mulut yang dapat memicu terjadinya ulser dan penyakit mulut lainnya.1,7 Selain itu, banyak juga para ahli yang menyatakan bahwa obat kumur dapat mengurangi rasa sakit dan tingkat rekurensi dari SAR, dengan dosis yang telah ditetapkan.7,9 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 19 (20%) orang mahasiswa merawat lesi SAR yang mereka alami dengan meningkatkan konsumsi buah dan sayur, hasil ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa untuk mencegah atau mengurangi timbulnya SAR dapat diimbangi dengan banyak mengkonsumsi buah dan sayur, sebab faktor lain penyebab timbulnya SAR adalah defisiensi nutrisi.27 Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tanggapan dan tindakan pencegahan mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara sangatlah baik sesuai dengan tujuan penelitian.Hasil pengukuran tingkat stres menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa (77,8%) mengalami tingkat stres tinggi, yang mendeskripsikan kecenderungan stres pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara cukup besar. Hal ini dipengaruhi oleh pelbagai faktor, dimana mahasiswa sekitar umur 18-25 tahun merupakan masa penyesuaian diri seseorang terhadap pola kehidupan mereka yang baru, dan merupakan masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa.42 Sebagai contoh, pada mahasiswa kedokteran gigi yang harus mandiri sebagai anak kos dan jauh dari orang tua yang dituntut untuk dapat mengatasi permasalahan beban hidup dengan sendirinya, tuntutan akademis kuliah yang berat memaksa untuk memperoleh nilai dan prestasi yang tinggi, tuntutan klinis yang harus mengendalikan pasien yang tidak kooperatif, pengaturan waktu dan sebagainya. Sehingga pada masa ini seseorang cenderung labil, resah dan mudah memberontak serta emosinya sangat bergelora dan mudah tegang.13-15,37,39 Ketika hal ini terjadi secara terus menerus maka seseorang akan mudah mengalami stres yang kemudian akan mempermudah untuk mengalami penyakit-penyakit kronis berhubungan dengan sistem imun, seperti SAR.35,41Hasil penelitian mengenai pengukuran tingkat stres pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara, mayoritas mahasiswa yang mengalami tingka stress tinggi berjenis kelamin perempuan. Hal ini sesuai dengan literatur yang menjelaskan bahwa perempuan lebih cenderung mudah emosi dan labil.42 Menurut Baldwin (2002) sumber stres pada remaja laki-laki dan perempuan pada umumnya sama, namun dampak beban ini berbeda pada perempuan dan laki-laki, dimana perempuan lebih peka terhadap lingkungannya dan lebih mudah menderita beban psikis seperti cemas dan merasa tidak senang.42Berdasarkan dari hasil kuesioner DES, didapati stresor utama pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara adalah faktor akademik yaitu sebanyak 49,3%. Hasil ini amat mendukung literatur yang menunjukkan bahwa stresor disebabkan akademik dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis mahasiswa. Menurut Polychronopoulou A, dkk (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa faktor akademik juga merupakan stresor utama pada mahasiswa kedokteran gigi di Greek.13

Dalam pembahasan ini, peneliti akan membahas lima item stresor tertinggi yang dialami mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Stresor tertinggi adalah Ujian dan nilai ujian yaitu sebanyak 64%. Hal ini juga ditemukan pada penelitian Muirhead V, dkk (2007) terhadap mahasiswa kedokteran gigi di Kanada, dimana Ujian dan nilai ujian juga mencatatkan stresor tertinggi.43 Hal ini karena, kemungkinan mahasiswa berasa takut akan memperpanjang masa perkuliahan karena mengalami kegagalan dan harus mengulang mata kuliah itu pada semester berikutnya.

Stresor kedua tertinggi merupakan item yang terkait dengan faktor klinis pada kuesioner DES yaitu Pasien yang terlambat atau tidak tampil seperti yang dijanjikan dengan persentase sebanyak 60%. Stresor ini merupakan yang paling sering terjadi pada mahasiswa kedokteran gigi yang sedang mengalami kepaniteraan klinik.12-14,37,39 Hal ini karena, kehadiran pasien merupakan perkara yang amat penting dalam melengkapi persyaratan klinis supaya dapat meneruskan kegiatan klinis ke tahap selanjutnya.

Stresor ketiga tertinggi adalah Jumlah tugas kuliah yaitu sebanyak 56,7%. Hasil ini amat sesuai dengan beberapa literatur yang menyatakan bahwa beban tugasan kuliah amat mendorong dalam terjadinya stres pada mahasiswa kedokteran gigi.12-14,37,39 Hal ini disebabkan beban tugasan yang banyak dapat mengurangi waktu untuk melakukan revisi karena hampir semua waktu digunakan untuk menyelesaikan tugasan kuliah sehingga pada akhirnya mahasiwa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk relaksasi dan akan merasa kelelahan. Sekiranya hal ini berlanjut, ini akan mendatangkan efek negatif terhadap prestasi akademik mahasiswa.

Kurangnya waktu klinis yang diberikan merupakan stresor keempat tertinggi yaitu sebanyak 53,7%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terlalu banyak persyaratan yang harus dilengkapi di setiap departemen klinis sehingga mahasiswa khawatir waktu klinis yang diberikan tidak mencukupi untuk melengkapi semua persyaratan.Dari hasil penelitian, didapati bahwa stres disebabkan oleh faktor keuangan mencatatkan kelima tertinggi pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara yaitu sebanyak 53%. Hal ini karena, didapati mahasiswa harus membelanjakan uang untuk materi kuliah termasuk buku, instrumen dan bahan-bahan klinis. Selain itu, mahasiswa juga sering kali harus menanggung segala biaya perawatan yang dilakukan terhadap pasien.

Namun, seperti yang dinyatakan dalam penelitian sebelumnya bahwa variasi stresor yang dirasakan oleh mahasiswa kedokteran gigi sangat berbeda mengikut fakultasnya.12 Westerman et al, (1993) dalam penelitiannya menyatakan bahwa mahasiswa yang sedang berkuliah lebih tinggi mengalami stres dari mahasiswa kepaniteraan klinik.37 Dalam penelitian ini peneliti tidak dapat untuk membuktikan pernyataan tersebut karena peneliti hanya mencari faktor-faktor penyebab stres secara umum pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara yang mempunyai riwayat SAR. Untuk itu perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari perbandingan mengenai faktor-faktor apa saja yang menyebabkan stres mengikut jenis kelamin dan tingkat studi mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Ini karena mahasiswa pada tingkat studi yang berbeda akan memberikan stresor yang berbeda.13 Kesimpulan dari hasil penelitian ini ialah stres dapat dialami hampir setiap orang dan reaksinya berbeda pada setiap individu. Stresor psikologi saat ini semakin banyak menimpa kehidupan manusia, sehingga dapat diperkirakan juga bahwa kasus SAR akan semakin bertambah, mengingat salah satu faktor predisposisi terjadinya SAR yaitu stres. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi mahasiswa kedokteran gigi, para ahli maupun dokter gigi bahwa mengetahui stresor yang dialami amatlah penting supaya dapat diketahui dengan pasti faktor apakah yang menyebabkan timbulnya SAR. Dengan demikian, akan memperkecil resiko terjadinya SAR dan dapat menentukan perawatan yang tepat dan adekuat bagi SAR.BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diambil kesimpulan antara lain sebagai berikut :1. Faktor predisposisi terjadinya SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara terdiri dari trauma (16,8%), hormonal (12,6%), alergi (8,4%), genetik (5,3%) dan stres (56,8%).2. Proporsi faktor stres sebagai salah satu predisposisi SAR pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara mencatatkan jumlah tertinggi yaitu sebanyak 56,8%.3. Sebagian besar mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara mengalami tingkat stres tinggi yaitu sebanyak 77,8%.4. Faktor utama penyebab stres dikalangan mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara adalah faktor akademik yaitu sebanyak 49,3%.5. Diantara stresor tertinggi dari lingkungan dental dikalangan mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara adalah ujian dan nilai (64%), pasien yang terlambat atau tidak hadir seperti dijanjikan (60%), dan jumlah tugas kuliah (56,7%).6.2 Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan adalah :

1. Perlunya relaksasi pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara untuk mengurangi tingkat stres dan kejenuhan yang dialami.2. Melakukan penelitian lebih lanjut mengenai perbandingan faktor yang dapat menyebabkan stres sehingga terjadinya SAR berdasarkan jenis kelamin dan tingkat studi mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara.3. Diharapkan agar fakultas kedokteran gigi dapat meningkatkan kualitas lingkungan yang menyenangkan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dalam memaksimalkan prestasi mahasiswa dan meminimalkan stres yang dialami.4. Diharapkan mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara supaya mengetahui dan menyadari penyebab yang memicu terjadinya SAR dan tidak menganggap enteng akan penyakit ini agar dapat memperkecil resiko terjadinya SAR dalam upaya meningkatkan kualitas hidup.DAFTAR RUJUKAN

1. Anonymous. Sariawan/stomatitis. 24 Januari 2008. (http://kesehatangigi.blogspot.com/2008/01/sariawanstomstitis.html) (24 Agustus 2010).2. Nally M. I.M. Recurrent aphthous stomatitis and perceived stress (a preliminary study). (http://apthous-stressutdy.tripod.com/html) (23 Agustus 2010).

3. Scully C, Gorsky M, Lozada-Nur F. The diagnosis and management of recurrent aphthous stomatitis: a consensus approach. J Am Dent Assoc. 2003;134:200-7.

4. Gallo CB, Mimura MAM, Sugaya NN. Psychological stress and recurrent aphthous stomatitis. Clinics. 2009;64(7):645-8.5. Rosarina A, Hendarti H.T, Soenartyo H. Prevalensi stomatitis aftosa rekuren (SAR) yang dipicu oleh stress psikologis: di Klinik Penyakit Mulut Psgm Fkg Unair September-oktober 2009. O Me Dent Journal. 2009;1;2:42-5.

6. Melamed F. Aphthous stomatitis. 17 April 2001. (http://www.med.ucla.edu/modules/wfsection/article.php?articleid=207) (23 Agusuts 2010).7. Scully C. Aphthous ulceration. N Engl J Med. 2006;355(2):165-72

8. Greenberg MS, Glick M. Burkets oral medicines diagnosis and treatment. 10th ed., Philadelphia, London, Mexico City, New York, St. Louis, San Paulo, Sydney: J.B. Lippincott Company., 2004; 63-65.

9. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SK. Mucosal Disease Series; Number VI Recurrent Aphthous Stomatitis. (www.biomedexperts.com/Abstract.bme/16390463/mucosal_disease_series_Number_VI_Recurrent_apthous_stomatitis-) (23 Agusutus 2010)10. Zain R.B. Classification, epidemiology and aetiology of oral recurrent ulceration/stomatitis, Annal Dent Univ Malaya 1999;6:34-37.

11. Lubis S. Stomatitis aftosa rekuren & lichen planus: kasus yang berhubungan dengan stress. Dentika J Dent 2005;10:(2):102-7.

12. Polychronopoulou A, Divaris K. Dental Students Perceived Sources of Stress: A Multi-Country Study. J Dent Educ 2009;73(5):631-9.

13. Polychronopoulou A, Divaris K. Perceived Sources of Stress Among Greek Dental Students. J Dent Educ 2005;69(6):687-692.

14. Naidu R.S, Adams J.S, Simeon D, Persad S. Sources of stress and Psychological Disturbance Among Dental Students in the West Indies. J Dent Educ 2002;66(9):1021-30.15. Pau A, Rowland M.L, Naidoo S, Abdulkadir R, Makrynika E, Moraru R, et al. Emotional Intelligence and Perceived Stress in Dental Undergraduates: A Multinational Survey. J Dent Educ 2007;71(2):197-204.

16. Casiglia JM. Aphthous stomatitis (http://www.emedicine.com/emedicine specialties/dermatology/diseases of the oral mucosa.html) (23 Agustus 2010).

17. Zunt L. Susan. Recurrent Aphthous Ulcers: Prevention And Treatment. (http://www.mmcpub.com/pdf/2001jph/200104jph_pdf/01jphv10n4p17.pdf)

18. Harahap, A.O. Kesembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor Dengan Pemberian Daun Pegagan (Centella asiatica). Jakarta: Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran GigiFKG UPDM, November 2006; 92-95.19. Roger RS. Recurrent aphthous stomatitis : clinical characteristic and associated systemic disorder. Seminars in Cutaneus Medicine and Surgery 1997; 16 (4); 278-283.

20. Lewis M.A.O, Lamey P.J. Tinjauan Klinis Penyakit Mulut (Clinical Oral Medicine). Cetakan I. Alih bahasa Elly Wiriawan. Jakarta: Widya Medika, 1998: 48-49.

21. Mcbride DR. Management of Aphthous Ulcers (http://www.aafp.org/afp/20000701/149.html ) (23 Agustus 2010).

22. Gayford JJ, Haskel R. Penyakit mulut (clinical oral medicine). Edisi ke 2. Alih bahasa lilian yuwono, Jakarta: EGC, 1990: 1-11.23. Kilic SS. Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) In Children. Jaypee Brothes Publishers, New Delhi, 2004. (http://immunoloji.uludag.edu.tr/notlar_seminerler/aphthous_eng_w.htm)

24. Anonym. Cancer Sores (Recureent Aphthous Stomatitis). (http://www.animated-teeth.com/canker_sores/t1_canker_sores.htm)

25. Houston G. Traumatic Ulcers. (emedicine.medscape.com/article/1079501-overview)

26. Adhwa. Faktor Predisposisi Recurrent Aphthous Stomatitis (Sariawan). (http://adhwanotebook.blogspot.com/2009/01/faktor-predisposisi-recurrent-aphthous.html)

27. Wray D, Ferguson MM, Mason DK, Hutcheon AW, Dagg JH. Recurrent aphthae: treatment with Vitamin B12, folic acid and iron. Br Med J, 1975; 2:490-493.28. Bor N.M, Karabiyikoglu A, Karabiyikoglu T. Treatment of Recurrent Aphthous Stomatitis with Systemic Zinc Sulfate. J Islamic Academy of Sciences 1990; 3(4): 343-47.29. Pratiknyo M, Hendarmin S. Aspek Klinik dan Penanggulangan Penyakit Alergi (Clinical Aspect and Treatment of Allergy). Jakarta: Jurnal PDGI, Agustus 2007; Vol. 57 No. 3; 77-81.30. Fernandes R, Tuckey T, Lam P, Allidina S, Sharifi S, Nia D. The Best Treatment For Aphthous Ulcers, An Evidence-Based Study of The Liteature. (www.utoronto.ca/dentistry/newsresources/evidence_based/aphtousulcer.pdf)

31. Gunawan B, Sumadiono. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi. Cerm Dun Kedokteran 2007;154: 13-6.

32. Wade C, Tavris C. Psikologi. Edisi ke 9. Jilid 2, Alih bahasa Mursalin P, Dinastuti., Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007; 285-91.

33. Anonymous. Stress. (http://library.thinkquest.org/20017/eh/advanced.html) (22 November 2010).

34. Dewi NH, Hayatun S. Stressor sebagai faktor predisposisi berbagai penyakit kronik temasuk penyakit periodontium. IJD (edisi khusus). KPPIKG XIV, 2006: 32-6.

35. Agarwal SK, Marshall GD. Stress effects on immunity and its application to clinical immunology. Clinical and Experimental Allergy 2001;31: 25-31.

36. Sulistyani E. Mekanisme eksaserbasi recurrent aphthous stomatitis yang dipicu oleh stressor psikologis. J Dent (edisi khusus temu ilmiah nasional III), 2003; 334-37.

37. Acharya S. Factors Affecting Stress Among Indian Dental Students. J Dent Educ 2004;67(10):1140-8.

38. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Sagung Seto. Jakarta, 2008 : 78-109

39. Sanders AE, Lushington K. Effect of Perceived Stress on Student Performance in Dental School. J Dent Educ 2002;66(1):75-81.

40. Nazir M. Metode Penelitian Edisi ke-3. Ghalia Indonesia. Jakarta, 1988 : 383-404.

41. Tsigos C, Kyrou I, Chrousos G. Stress, Endocrine Physiology and Pathophysiology. (http://www.endotext.org/adrenal/adrenal8/adrenal8.htm) (2 Nov 2010).

42. Nasution IK. Stres pada remaja. USU Repository; Medan: 2007.

43. Muirhead V, Locker D. Canadian Dental Students Perceptions of Stress. JCDA 2007;73(4):323-323e.

Lampiran 1

Lembar Persetujuan Komisi Etik

Lampiran 2Lembar informed consentLEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBJEK PENELITIAN

Selamat Sejahtera Saudara / Saudari,

Perkenalkan nama saya Rafeatun Nisa, saat ini saya sedang menjalani pendidikan dokter gigi di Universitas Sumatera Utara. Saya ingin memberitahukan kepada Saudara/Saudari bahwa saya sedang melakukan penelitian dengan judul Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Yang Dipicu Oleh Stres Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi SAR (sariawan) yang dipicu oleh stres pada mahasiswa kedokteran gigi Universitas Sumatera Utara. Manfaat dari penelitian ini adalah supaya dapat memberikan informasi mengenai stres yang dapat menyebabkan SAR (sariwan) agar dapat memberikan edukasi, pencegahan dan perawatan yang sebaiknya dalam menunjang kesehatan mahasiswa baik kesehatan rongga mulut maupun keseluruhannya.

Penelitian akan dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi yang memenuhi kriteria sampel, yaitu mempunyai riwayat penyakit SAR (sariawan). Mahasiswa yang dapat meluangkan waktu dan bersedia menjadi sampel akan diminta untuk mengisi kuesioner yang tersedia dengan memilih jawaban yang tertera dalam lembar kuesioner. Sebelum itu, saya akan mencatat identitas Saudara/Saudari (nama, umur, jenis kelamin, nim). Kemudian, Saudara/Saudari akan diberikan 3 lembaran kuesioner yaitu: 1) Kuesioner SAR(sariwan) yang bertujuan untuk mengetahui penyebab Saudara/Saudari mengalami sariawan, 2) Kuesioner Perceived Stress Scale (PSS) untuk mengetahui dan mengukur tingkat keparahan stres yang dialami pada Saudara/Saudari, 3) Kuesioner Dental Environment Stress (DES) yang bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya stres dari lingkungan dental yang dialami pada Saudara/Saudari.

Partisipasi Saudara/Saudari dalam penelitian ini bersifat sukarela. Tidak akan terjadi efek samping sama sekali.

Demikian penjelasan dari saya. Atas partisipasi dan kesediaan waktu Saudara/Saudari, saya ucapkan terima kasih.

Peneliti,

( Rafeatun Nisa )

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

Saya yang namanya tersebut di bawah ini :

Nama

:

Umur

:

Jenis Kelamin:

Nim

:

Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan, Saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini berjudul :

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Yang Dipicu Oleh Stres Pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Medan, / / 2011

Peneliti, Peserta Penelitian,( Rafeatun Nisa ) Lampiran 3Lembar Kuesioner Penelitian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MULUT

STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR) YANG DIPICU OLEH STRES PADA MAHASISWA KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

No. Kartu ::

Tanggal ::

IDENTITAS RESPONDEN1. Nama

:

2. Jenis kelamin

: L P

3. Umur

:

4. Nim

:PETUNJUK: Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan melingkari jawaban yang tepat.

KUESIONER STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR)1. Adakah anda pernah mengalami ulser sariawan (SAR) di rongga mulut?

a) Pernah

b) Tidak pernah

2. Sekiranya pernah adakah anda mengalaminya pada bulan lalu?

a) Yab) Tidak3. Sejak kapan anda pernah mengalami SAR?

a) Sejak usia dini

b) Sejak mulai remaja

c) Sejak memasuki FKG4. Biasanya setelah berapa lamakah SAR tersebut sembuh?

a) Kurang dari 1 minggu

b) 1-2 minggu

c) Lebih 2 minggu

5. Biasanya berapa seringkah anda mengalami SAR?

a) Lebih dari 1 kali dalam sebulan

b) Sebulan sekali

c) Setahun sekali

d) Di saat tertentu sahaja

6. Apakah anda mempunyai riwayat penyakit sistemik? Jika Ya, nyatakan.

a) Ya:

b) Tidak

7. Apakah anda menyadari adanya alergi yang memicu terjadinya SAR?

a) Ya

b) Tidak

8. Apakah anda menyadari adanya trauma yang memicu terjadinya SAR?

a) Ya

b) Tidak

9. Khusus mahasiswi: Adakah anda sering mengalami SAR pada pra, sewaktu, dan pasca menstruasi?

a) Ya

b) Tidak

10. Apakah orang tua atau anggota keluarga anda sering menderita SAR?

a) Ya

b) Tidak

11. Disaat anda sedang menghadapi suatu masalah, dan tidak dapat

menyelesaikannya, apakah anda sering mengalami SAR?

a) Ya

b) Tidak

12. Apakah anda melakukan perawatan?

a) Ya

b) Tidak13. Jika ya, perawatan apa?

a) Berobat ke dokter

b) Minum vitamin

c) Konsumsi banyak buah dan sayur

14. Biasanya apa yang anda lakukan untuk mencegah timbulnya SAR?

a) Menjaga kebersihan mulut

b) Menggunakan obat kumur

KUESIONER PERCEIVED STRESS SCALE (PSS)

PETUNJUK: Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan melingkari jawaban yang tepat.

Pada bulan lalu :1. Seberapa sering Anda merasa terganggu mengenai sesuatu yang terjadi tanpa terduga?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

2. Seberapa sering Anda merasa bahwa tidak dapat mengendalikan hal-hal penting dalam kehidupan Anda?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

3. Seberapa sering Anda merasa gelisah dan tegang?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

4. Seberapa sering Anda merasa yakin mengenai kemampuan Anda dalam menangani masalah-masalah pribadi Anda?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

5. Seberapa sering Anda merasa bahwa segalanya berjalan mengikut kehendak Anda?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

6. Seberapa sering Anda menemukan bahwa Anda tidak dapat mengatasi segala hal yang harus Anda lakukan? Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

7. Seberapa sering Anda mampu mengontrol gangguan dalam kehidupan Anda? Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

8. Seberapa sering Anda merasa senang dalam segala hal yang Anda lakukan?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

9. Seberapa sering Anda merasa marah karena hal-hal yang berada di luar pengawasan Anda?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering10. Seberapa sering Anda merasa kesulitan yang menumpuk sehingga Anda tidak dapat mengatasinya?

Tidak pernah

Hampir tidak pernah

Kadang-kadang

Sering

Sangat sering

KUESIONER DENTAL ENVIRONMENT STRESS (DES)

PETUNJUK: Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan memberikan nilai yang sesuai di ruang yang disediakan.

No.Pertanyaan

0 1 2 3 4 5

Tidak Sangat

stres stres

1.Jauh dari pangkuan keluarga

2.Kurangnya suasana seperti rumah di tempat tinggal

3.Lingkungan belajar yang sesuai

4.Masalah lain yang berkaitan dengan tempat tinggal

5.Ingin berteman

6.Masalah keuangan

7.Kesehatan fisik diri

8.Hubungan dengan pacar

9.Konflik dengan rekan

10.Takut menghadapi orang tua setelah mengalami kegagalan

11.Kurangnya waktu untuk relaksasi

12.Ketergantungan (misalnya narkoba, alkohol, merokok)

13.Kurangnya kepercayaan untuk menjadi mahasiswa kedokteran gigi yang sukses

14.Kurangnya kepercayaan untuk menjadi dokter gigi yang sukses

15.Menerima kritikkan mengenai pekerjaan klinis atau akademik

16.Peraturan dan persyaratan fakultas

17.Melengkapi persyaratan wisuda

18.Diskriminasi karena ras, status kelas, atau kelompok etnis

19.Bekerja pada pasien dengan kebersihan oral yang jelek

20.Jumlah tugas kuliah

21.Kesulitan tugasan kuliah

22.Persaingan nilai ujian

23.Kesulitan dalam mempelajari prosedur klinis

24.Ujian dan nilai ujian

25.Kesulitan dalam mempelajari ketelitian ketrampilan manual yang diperlukan dalam pekerjaan praklinis dan laboratorium

26.Takut mengalami kegagalan dalam pelajaran

27.Kurangnya waktu untuk melakukan pekerjaan kuliah yang ditugaskan