Upload
nguyenxuyen
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
158 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Program
Dana Penguatan Modal
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP)1
Oleh Syaifuddin Azhari2
ABSTRAKABSTRAKABSTRAKABSTRAKABSTRAK
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui efektitaspelaksanaan program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha EkonomiPedesaan (DPM-LUEP) dalam rangka mengendalikan harga gabah/beras di tingkat petani. Secara khusus, penelitian ini juga inginmengetahui kontribusi Program DPM-LUEP dalam mendukungketahanan pangan di Kabupaten Banjar, dan untuk mengetahui manfaatprogam DPM-LUEP dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesepakatan pembelian gabah/beras antara petani dan pengelola program DPM-LUEP telah dibuatsesuai dengan prosedur dan partisipasi anggota kelompok tani. Bahkanprogram DPM-LUEP dapat disimpulkan menguntungkan petani,karena pembelian gabah/beras yang telah dilakukan oleh LUEP lebihtinggi daripada Harga Patokan Pemerintah (HPP) yaitu Rp3.251/kgGKG. Tingginya harga pembelian gabah/beras itu tentu sajaberpengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan petani; dankondisi tersebut diakui para petani memberikan motivasi kepada merekauntuk meningkatkan produksi, dan pada akhirnya mestinya dapatmendukung strategi program ketahanan pangan. Namun, penyalurandan pemanfaatan DPM oleh LUEP dalam kegiatan membeli gabah/beras ternyata masih tidak sesuai dengan ketepatan waktu panen padi.
1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Evaluasi Program Dana Penguatan Modal LembagaUsaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) dalam Mendukung Ketahanan Pangan diKabupaten Banjar” yang dibuat oleh Syaifuddin Azhari di bawah bimbingan Dr.Dr.Dr.Dr.Dr.Muhammad Aswan, MSiMuhammad Aswan, MSiMuhammad Aswan, MSiMuhammad Aswan, MSiMuhammad Aswan, MSi dan Dr. Emy Rahmawati, MPDr. Emy Rahmawati, MPDr. Emy Rahmawati, MPDr. Emy Rahmawati, MPDr. Emy Rahmawati, MP.
2 Syaifuddin AzhariSyaifuddin AzhariSyaifuddin AzhariSyaifuddin AzhariSyaifuddin Azhari adalah mahasiswa Program Magister Sains AdministrasiPembangunan Universitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan II, danstatus pekerjaannya saat itu adalah PNS di Pemkab Banjar, Kalimantan Selatan.
159FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
A. PENDAHULUANA.1 Latar Belakang.
Hakikat Pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat seutuhnya yang dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat
secara bersama-sama dengan pemerintah melalui perencanaan yang
bertahap dan berkesinambungan dengan kondisi, potensi dan aspirasi
masyarakat yang tumbuh dan berkembang selaras dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri (Anonimous, 1994) Di negara-
negara sedang berkembang seperti Indonesia pembangunan dalam
rangka memperbaiki kualitas hidup yang lebih baik menghadapi
tantangan yang sangat kompleks. Tantangan pembangunan tersebut
meliputi bidang pendidikan, kesehatan, pemberantasan kemiskinan,
perbaikan kondisi lingkungan, pertanian dan lain-lain (Tjokrowinoto,
l996). Dengan demikian hakikat pembangunan harus mencerminkan
perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem secara
keseluruhan tanpa mengabaikan kelompok sosial yang ada di dalamnya
menuju pada kondisi yang lebih baik (Todaro, 1999).
Pembangunan nasional haruslah berdimensi berkelanjutan, di
dalamnya mengandung pengertian adanya peningkatan,
pengembangan dan pemeliharaan, dan ditujukan untuk seluruh
masyarakat dan wilayah Indonesia (Wahyu, 2005). Namun pada
kenyataannya terjadi berbagai ketimpangan dan kesenjangan
pembangunan antara wilayah. Implikasi dari adanya ketimpangan
pembangunan tersebut bertambahnya penduduk miskin. Dengan kata
lain, kemiskinan ternyata juga mengindikasikan adanya kesenjangan
wilayah antara desa dan kota bahkan yang tebih spesifik lagi bahwa
ketimpangan pembangunan juga terjadi antara sektor pertanian dan
sektor lainnya (Fatah, 2007).
Dalam konteks upaya mengatasi ketimpangan pembangunan di
sektor pertanian itu pada tanggal 11 Juni 2005 Pemerintah telah
mencanangkan revitalisasi pertanian guna mengembalikan sektor
pertanian sebagai motor penggerak bagi majunya perekonomian
nasional. Gagasannya didasarkan pada kemampuan sektor pertanian
sebagai penyangga perekonomian negara pada saat terjadinya krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun l997/1998. Dalam
sejarahnya, sektor pertanian memang mampu bertahan dan
160 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
menghindari terjadinya krisis yang lebih buruk lagi (Kuncoro, 2006).
Untuk mengimplentasikan revitalisasi pertanian tersebut, pemerintah
membuat berbagai program pembangunan pertanian, yang salah
satunya adalah dibidang ketahanan pangan dan menjadikannya
sebagai pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan
ketahanan nasional. Salah satu targetnya adalah dapat dicapainya
kembali kondisi surplus produksi beras nasional.
Beras/padi sebagai sumber pangan utama masyarakat mempunyai
posisi yang sangat strategis dalam sistem ketahanan pangan Indone-
sia. Menurut Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang
dimaksud ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
setiap rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Pengertian mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek
makro, yaitu tersedianya pangan yang cukup dan sekaligus aspek mikro
yaitu terpenuhinya kebutuhan pangan setiap rumah tangga untuk
menjalani hidup yang sehat dan aktif. Produksi pangan sebagai
komponen utama penopang ketahanan pangan, merupakan hasil kerja
suatu agribisnis pangan yang terdiri dari subsistem penyediaan sarana
dan prasarana- subsistem produksi komoditas pertanian serta subsistem
pasca panen dan pengolahan. hoduk pangan tidak akan efektif dalam
mendukung ketahanan pangan, jika tidak didukung sisrem distribusi
dan pemasaran (Apriantono, 2007).
Terwujudnya kemandirian pangan menurut dicirikan oleh
indikator makro dan mikro. Dalam perspektif indikator makro, pangan
tersedia, terdistribusi dan terkonsumsi dengan kualitas gizi yang
berimbang pada tingkat rumah tangga, wilayah dan nasional. Indikator
makro ini dicirikan oleh meningkatnya produksi pangan dalam negeri
yang berbasis pada sumberdaya lokal, guna mempertahankan standar
kecukupan penyediaan energi yang diwujudkan melalui pemantapan
swasembada beras berkelanjutan. Sedangkan dari perspektif indikator
mikro, pangan terjangkau secara langsung oleh masyarakat dan rumah
tangga. Salah satu indikator mikro dari kemandirian pangan adalah
dipertahankannya ketersediaan energi perkapita minimal 2.200
kilokalori/hari, dan penyediaan protein perkapita minimal 57 gram/
hari.
161FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Itulah sebabnya Pemerintah berkewajiban menjaga pasokan
maupun harga gabah/beras. Menurut Badan Ketahanan Pangan (2006)
adanya kondisi harga gabah/beras yang tidak stabil bukan hanya
berdampak negatif terhadap kesejahteraan petani, tetapi juga terhadap
konsumen terutama kelompok yang masyarakat yang berada di bawah
garis kemiskinan. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya ketidak
stabilan produksi beras secara nasional.
Dalam rangka menjaga stabilitas ketahanan pangan, khusunya
yang bersumber pada produksi beras, Pemerintah melakukan berbagai
upaya untuk mengendalikan harga beras/gabah di tingkat petani.
Kebijakan stabilitas harga secara umum agar terpelihara kepastian harga
kepada produsen, pedagang dan konsumen, kepastian ini akan
melahirkan rasa aman dan keyakinan, sehingga kalkulasi-kalkulasi
investasi, pengeluaran dan pendapatan dapat dilakukan dengan
terukur (Dirhamsyah, 2007).
Keberadaan berbagai lembaga pelayanan kelompok tani yang ada
di daerah pedesaan seperti KUD, Koperasi Tani, Lumbung Pangan,
Penggilingan Padi pada dasarnya dimaksudkan sebagai wadah untuk
menampung produksi padi yang melimpah pada saat panen sehingga
dapat menjaga kestabilan harga padi/beras, namun keterbatasan dana
yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut selalu menjadi alasan
ketidak mampuan mereka mewujudkan maksud tersebut. Dalam
rangka meningkatkan kemampuan lembaga-lembaga ekonomi
pedesaan tersebut Pemerintah Pusat melalui Departemen Pertanian
sejak tahun 2003 telah melaksanakan Program Dana Penguatan Modal
Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP). Program ini
dilaksanakan dengan tujuan untuk membantu petani dan kelompok
tani untuk memperoleh harga gabah atau beras sesuai Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) atau di atas harga HPP pada saat panen raya
(Anonimous, 2006).
Implementasi dari program DPM ini adalah memberikan sejumlah
dana pinjaman kepada LUEP untuk membeli harga gabah/beras petani
dengan harga pokok yang ditetapkan pemerintah dan sebagai
imbalannya LUEP tidak perlu membayar bunga untuk penerimaan
DPM tersebut. Program DPM-LUEP ini hanya ditujukan kepada
Provinsi atau Kabupaten/Kota di Indonesia yang menjadi sentra
162 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
produksi padi/beras dan mengalami surplus setiap tahunnya
(Anonimous, 2006).
Kabupaten Banjar adalah salah satu daerah penerima program
DPM-LUEP. Sejak tahun 2003 hingga 2008 telah disalurkan Dana APBN
melalui Departemen Pertanian sebesar Rp5,5 milyar untuk pelaksanaan
program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan
(DPM-LUEP) di Kabupaten Banjar. Partisipasi Pemerintah Provinsi
untuk mendukung program DPM-LUEP baru dilakukan sejak tahun
2004 dengan nilai dana APBD sebesar Rp5, 1 milyar. Sedangkan
partisipasi Pemerintah Kabupaten Banjar sendiri hanya ada pada
tahun 2006 ketika menyalurkan dana APBD sebesar Rp539,760 juta
karena belum adanya payung hukum dalam hal penyaluran dana
tersebut berdasarkan hasil rekomendasi pemeriksaan BPK (Kantor
Ketahanan Pangan Kabupaten Banjar, 2009)
A.2. Pokok Permasalahan
Pelaksanaan kegiatan DPM-LUEP yang dimulai sejak tahun 2003
hingga 2008 mewajibkan kepada LUEP untuk membeli gabah/beras
terhadap mitranya, yaitu kelompok tani, minimal sesuai dengan HPP.
Adanya jaminan kepada petani bahwa hasil produksi gabah/beras
mereka akan dibeli minimal sesuai dengan HPP, diasumsikan dapat
mendorong petani untuk meningkatkan produksinya dan pada
gilirannya akan dapat meningkatkan pendapatan petani juga. Dalam
konteks program DPM-LUEP, sasarannya adalah untuk meningkatkan
ketersediaan bahan pangan yang berasal dari beras sehingga ketahanan
pangan dapat dicapai.
Dalam perjalanannya Program DPM-LUEP menghadapi masalah
klasik, seperti adanya anggapan masyarakat tani bahwa bantuan dari
pemerintah tersebut selalu gratis, atau bila terjadi kemacetan dalam
pengembaliannya niscaya tidak akan berakibat hukum terhadap
mereka. Berdasarkan pengalaman dari kasus Kredit Usaha Tani dan
program sejenisnya, program DPM-LUEP pun bukanlah sebuah
perkecualian. Namun untuk mengetahui bagaimana realitas faktual
memang dibutuhkan kajian lapangan yang komprehensif. Namun
demikian, dari sejumlah isu yang dianggap relevan, isu yang dianggap
paling urgen adalah informasi tentang indikator input, proses dan out-
163FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
put dari program DPM-LUEP dan dukungannya terhadap ketahanan
pangan di Kabupaten Banjar.
A.3. Perumusan Masalah
Dengan asumsi bahwa pelaksanaan program DPM LUEP yang
efektif akan dapat mendukung terwujudnya ketahanan pangan yang
kokoh melalui stabilnya harga padi/beras pada tingkatan yang
menguntungkan usaha tani padi, maka dalam penelitian ini
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: Sejauh mana
pelaksanaan program DPM-LUEP dalam mendukung ketahananan
pangan dan memberikan manfaat bagi petani di Kabupaten Banjar?
A.4. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian
ini dilakukan dengan tujuan: (1) untuk mengetahui efektitas
pelaksanaan program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) dalam mengendalikan harga gabah/
beras di tingkat petani; (2) untuk mengetahui kontribusi Program DPM-
LUEP dalam mendukung ketahanan pangan di Kabupaten Banjar, dan
(3) untuk mengetahui manfaat progam DPM-LUEP dalam
meningkatkan kesejahteraan petani.
B. METODOLOGI
B.1. Teorisasi Masalah
Anjloknya harga gabah/beras pada saat panen raya menjadi
permasalahan klasik yang memerlukan perhatian pemerintah karena
menyangkut nasib jutaan petani padi. Dalam rangka menjaga stabilitas
harga, Pemerintah telah melaksanakan pembelian gabah melalui Perum
BULOG. Akan tetapi dengan kemampuan pendanaan dan jangkauan
yang terbatas, perum BULOG hanya mampu melakukan pembelian
gabah/beras sekitar 7-8 % dari total produksi nasional (Ashari, 2007).
Dengan demikian diperlukan adanya kebijakan lain seperti kebijakan
program DPM-LUEP yang telah dilaksanakan sejak tahun 2003.
Penelitian tentang DPM-LUEP sebenarnya telah dilakukan dengan
mengambil berbagai lokasi, seperti yang dilakukan Dirhamsyah (2007)
164 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
di Kabupaten Subang, atau Sume (2008) di Kabupaten Bogor, Yusdja
(2004) di Kabupaten Tasikmalaya, Ashari (2005) di Kabupaten Ngawi,
dan Nugroho (2005) di Kabupaten Bantul.
Dalam penelitiannya Dirham sampai pada kesimpulan bahwa
terdapat pengaruh yang nyata dari program DPM-LUEP terhadap
stabilitas harga gabah/beras serta pendapatan petani. Untuk
mempertegas hasil penelitian tersebut Dirham mengutip pernyataan
Sankri (2003) bahwa evaluasi kebijakan merupakan suatu analisis
kebijakan yang memberi perhatian sepenuhnya pada efek atau dampak
yang telah benar-benar terjadi. Oleh karena itu evaluasi kinerja
kebijakan merupakan penilaian yang bersifat sistematis terhadap
kebijakan/program dalam rangka membuat penetapan tentang efek/
dampak kebijakan/program baik untuk jangka waktu pendek maupun
jangka panjang.
Departemen Pertanian telah membuat indikator untuk menilai
keberhasilan DPM-LUEP, yakni berupa indikator input, output, out-
come, benefit, dan dampak. Untuk melihat seberapa besar manfaat
DPM, ada altematif indikator yang dapat digunakan sebagaimana
dikemukakan Yudja et al. (2007). lndikator altematif tersebut
diantaranya adalah Indek harga Petani (IHP) dan Ratio manfaat DPM.
Hasil perhitungan IHP di Kabupaten Ngawi dari tahun 2003-2006 rata-
rata IHP masih kurang dari angka 100, kecuali pada tahun 2005 untuk
kualitas GKP. Hal ini menunjukkan bahwa secara makro program DPM-
LUEP belum mampu untuk mengatasi masalah harga gabah/beras
sesuai dengan HPP yang diinginkan oleh pemerintah. Sedangkan Ra-
tio manfaat DPM di Kabupaten Ngawi menunjukan kinerja LUEP dalam
pemanfaatan DPM dinilai cukup berhasil berdasarkan hasil perputaran
dana yang telah digunakan sebanyak 4 kali sampai dengan 1l kali
putaran jauh di atas putaran yang ditetapkan pemerintah sebanyak 2
kali putaran. Dari penelitian dengan pendekatan kuantitatif tersebut
diketahui bahwa variabel independen yaitu harga gabah/beras
berdasarkan harga patokan pemerintah berpengaruh terhadap variabel
dependen keputusan petani untuk bekerjasama dengan LUEP dalam
menjual gabah/berasnya.
Pada tahun 2004 Departemen Pertanian melakukan kaji ulang
model pembangunan pertanian berbasis LUEP (Yusdja, et.al., 2004).
165FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan tentang evaluasi
prinsip kebijakan implementasi dan dampak kebijakan dalam studi
kasus DPM-LUEP. Pada tingkat konsep kebijakan ada dua hal yang
dipelajari yakni latar belakang kelahiran suatu kebijakan dan konsep
kebijakan itu sendiri. Beberapa hal pokok evalusi mencakup kesesuaian
latar belakang dan permasalahan yang diajukan dan yang dihadapi,
kesesuaian variabel-variabel atau instrumen kebijakan yang diajukan
dengan teori sehingga kegagalan dan keberhasilan dapat dipelajari.
Tiga sasaran pokok pembangunan pertanian tahun 2005-2009
yakni meningkatkan ketahanan pangan, mengentaskan kemiskinan dan
pengembangn agribisis. Untuk mencapai sasaran tersebut pemerintah
telah melaksanakan salah satu kebijakan dibidang perberasan dan
kelembagaan usaha tani yaitu Program DPM-LUEP. Atas dasar itu
dianggap perlu dilakukan kaji ulang apakah program tersebut
memberikan dampak positif terhadap stabilitas harga gabah/beras dan
peningkatan pendapatan petani. Adapun lokasi yang menjadi tempat
dilakukannya penelitian adalah di Kabupaten Subang, Tasikmalaya
(Provinsi Jawa Barat) dan Kabupaten Ngawi (Provinsi Jawa Timur)
dengan metode yang digunakan melalui metode deskriptif dengan
rancangan evaluatif.
Berdasarkan hasil kajian itu diperoleh informasi yang berkaitan
dengan: (1) dampak perubahan harga gabah dan beras di tingkat
pertani, (2) Dampak Program DPM LUEP terhadap IHP, dan (3) Rasio
Manfaat DPM LUEP.
Dampak Perubahan Harga Gabah dan Beras berkaitan dengan
ihwal: (a) Harga GKP yang diterima LUEP dari pembelian gabah petani
berpengaruh negatif terhadap pembelian gabah petani tetapi tidak nyata
artinya ketetapan pemerintah terhadap besarnya harga GKP yakni
HPP tidak nyata mempengaruhi pembelian gabah oleh LUEP, dengan
demikian kebijakan DPM bukanlah kebijakan yang keliru karena
kebijakan tersebut sejalan dengan kebijakan HPP; (b) Harga beras yang
diterima LUEP berpengaruh positif dan sangat nyata (99 %) artinya
bahwa penurunan harga beras 10 % menyebabkan menurunya
penawaran beras atau penerimaan LUEP sebesar 4.1 %. Kenyataan ini
sangat penting jika dikaitkan dengan impor beras yang cendrung
berdampak pada penurunan harga beras; dan (c) Kenaikan harga beras
166 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
akan menyebabkan penawaran beras dan gabah LUEP meningkat dan
akan berdampak pada kenaikan jumlah pembelian gabah dari petani,
jika pembelian gabah meningkat l0 % akan menyebabkan kenaikan
penerimaan LUEP sebesar 5 %.
Hasil pehitungan Nilai Indek Harga Petani (IHP) rata-rata dibawah
l00 % dari tahun 2003 - 2006 dimana nilai terendah sebesar 84 % dan
tertinggi 128 % Rendahnya IHP terkait erat dengan penetapan HPP
yang dalam perhitungan ini terlalu tinggi dan harga yang dipakai
adalah harga ditingkat penggilingan. Sedangkan Nilai Rasio mamfaat
DPM menunjukan kinerja LUEP dalam pemanfaatan dana cukup
berhasil, Rasio DPM juga dipengaruhi oleh besaran dana yang dicairkan
semakin besar dana yang dicairkan dan diterima LUEP maka rasio
DPM semakin besar.
Namun, hasil penelitian Nugroho (2005) tampaknya patut dicatat,
karena ternyata aktivitas pembelian oleh tim pasca panen terhadap
harga pasar tidak berpengaruh positif. Dengan kata lain, pelaksanaan
kebijakan pengamanan harga pasca panen hasil pertanian tidak
berpengaruh terhadap kebijakan kenaikan harga pasar komoditas
pertanian secara menyeluruh. Padahal secara umum kebijakan
pengamanan harga pasca panen hasil pertanian dirasakan sangat
bermamfaat bagi petani dalam mengatasi permasalahan anjloknya
harga hasil pertanian pasca panen yang mereka hadapi dan ini sudah
sesuai dengan apa yang menjadi harapan petani.
B.2. Kerangka Konseptual
Untuk kebutuhan penelitian, kerangka konseptual difokuskan
pada upaya memahami urgensi sebuah kebijakan, dan bagaimana
kebijakan itu harus dievaluasi. Kebijakan program seperti DPM-LUEP
adalah kebijakan pemerintah yang secara umum dapat didefinisikan
sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau
tidak dilakukan (Dye, 1975). Pemerintah memegang peranan penting
bukannya melakukan tindakan tertentu, tetapi juga untuk berbuat
sesuatu atas menetapkan kebijakan untuk melaksanakan program
sesuatu dalam mengatasi permasalahan. Oleh karena itu ketika
dikaitkan dengan isu evaluasi, maka maksudnya tidak lain adalah
bagaimana kebijakan pemerintah itu dinilai dari perspektif kinerja dan
167FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
bagaimana dampaknya pada kelompok sasaran dan daerah tertentu
(Wahab, 2007).
Evaluasi kebijakan publik (public policy evaluation) merupakan
salah satu tahapan dari proses kebijakan publik (public policy process)
yang merupakan kegiatan untuk menilai atau melihat keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Oleh karena itu evaluasi
merupakan penilaian atas suatu “fenomena” didalam terkandung
pertimbangan nilai (value judgment) tertentu (Mustopadidjaja, 2000).
Pertanyaan adalah, fenomena apa yang patut dinilai dari sebuah pro-
gram kebijakan seperti DPM LUEP? Manakala konteksnya kebijakan
publik maka yang dinilai adalah yang berkaitan dengan “tujuan,
sasaran kebijakan kelompok sasaran (target groups) yang ingin
dipengaruhi, berbagai instrumen kebijakan yang digunakan, respon
dari lingkungan kebijakan, kinerja yang dicapai dan dampak yang
terjadi”. Dalam kaitan itu Muhadjir (2000) berpendapat bahwa evaluasi
kebijakan publik tidak hanya untuk melihat hasil (outcomes) atau
dampak (impacts), akan tetapi dapat pula untuk melihat bagaimana
proses pelaksanaan suatu kebijakan dilaksanakan. Oleh karena itu,
evaluasi kebijakan publik dibedakan menjadi dua macam tipe: evaluasi
hasil (outcomes of public policy implementation) dan evaluasi proses
(process of public policy implementation). Ukuran keberhasilan
pelaksanaan kebijakan adalah sejauhmana apa yang menjadi tujuan
program dapat dicapai. Sedangkan ukuran keberhasilan pelaksanaa
suatu kebijakan adalah kesesuaian proses implementasi suatu kebijakan
dengan garis petunjuk (guide lines) yang telah ditetapkan.
Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa sebuah kebijakan
pemerintah itu dirancang sedemikian rupa agar bisa mencapai tujuan
(goal) yang diinginkan. Padahal tidak semua kebijakan publik tersebut
bisa mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain
disebabkan oleh lemahnya daya antisipasi para pembuat kebijakan
maupun perancang program dan proyek, juga disebabkan karena
terganggunya implementasi (pelaksanaan) kebijakan publik, atau
mungkin juga karena pengaruh dari berbagai kondisi lingkungan yang
tidak terkira sebelumnya (Wibawa, 1994).
Pemantauan (monitoring) merupakan prosedur analisis kebijakan
yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat
168 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
dari kebijakan publik. Karena memungkinkan analisis mendeskripsikan
hubungan anatara operasi progam kebijakan dan hasilnya, maka
pemantauan merupakan sumber informasi utama tentang
implementasi. Pemantauan hanyalah sebuah istilah lain bagi usaha
mendeskripsikan dan menjelaskan kebijakan publik. Jadi pemantauan
merupakan cara untuk membuat pernyataan yang sifatnya penjelasan
(designative claims) tentang tindakan kebijakan dimasa lalu maupun
dimasa sekarang. Dengan demikian pemantauan bermaksud untuk
menetapkan premis faktual tentang kebijakan publik, sementara premis
faktual dan nilai selalu naik turun, dan “fakta” serta “nilai” itu
interdependen, hanya rekomendasi dan evaluasilah yang benar-benar
dimaksud untuk membuat analisis sistematis tentang berbagai premis
nilai (Dunn, 2000).
Efektivitas suatu kebijakan yang dimaksudkan untuk
memberdayakan masyarakat pada dasarnya hanya bisa dipahami dari
perspektif manfaat program bagi kelompok masyarakat yang jadi
sasaran program. Pendekatan pembangunan yang berusaha
menumbuhkan keberdayaan kepada masyarakat hendaknya
menempatkan manusia sebagai subjek pembangunan, bukan sebaliknya
hanya berposisi sebagai objek pembangunan, sehingga pembangunan
masyarakat miskin hendaknya lebih bernuansa pemberdayaan
(Anonimous, 2006). Untuk itu sudah saatnya paradigma pembangunan
yang berorientasi pada pertumbuhan yang menempatkan kapital
finansial dan kapital fisik sebagai modal utama pembangun harus
digantikan dengan paradigma pembangunan yang berpusat pada
pemberdayaan masyarakat dan lebih mengutamakan perhatiannya
pada masyarakat miskin (Kuncoro, 2006)
Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat berpengaruh
secara langsung terhadap efektivitas dan efisiensi dalam keberhasilan
program. Sesuatu yang telah dirumuskan dengan baik didukung
dengan peraturan yang kuat namun bila tidak didukung dengan
sumber daya manusia yang cukup baiik, baik kualitas maupun
kuantitas, maka kemungkinan besar progtam tersebut akan mengalami
kegagalan dalam pelaksanaannya.
Pengertian sumber daya manusia menurut Ndraha (1999) adalah
penduduk yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan terhadap
169FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
usaha mencapaian tujuan organisasional. Tetapi merujuk pada
Edwards (1990), sumber daya adalah “important resources include staff
of indicator size and indicator the proper skills to cerry out their as-
signments and the information, authority, andfacilities neccesarry to
transtale proposals on paper into functioning public services”. Jadi
pengertian sumber daya itu tidak hanya sumber daya fisik (fasilitas)
dan non fisik (jumlah staf dan kompotensinya) tetapi informasi juga
politik (authority). Bahkan sumber daya manusia sebagai pelaksana
suatu program atau proyek dapat diukur dari tingkat pendidikan dan
pengalaman karena dari tingkat pendidikan dan pengalaman
pelaksana dapat dilihat kualitas dalam mengembangkan daya dan
memahami prosedur (Thoha, 1989).
Aspek pendidikan kelompok penerima program itu dianggap
penting untuk diperhatikan karena dalam konteks program DPM-LUEP
persoalannya berkaitan dengan sistem kredit. Menurut Sinungan
(1987), kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada
pihak yang lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu
masa tertentu yang akan datang disertai dengan kontra prestasi berupa
bunga. Dengan kata lain, seseorang yang memperoleh kredit pada
dasarnya adalah memperoleh kepercayaan. Didalam pemberian kredit
terdapat dua pihak yang berkepentingan langsung, yaitu pihak yang
kelebihan uang yang disebut pemberi kredit dan yang membutuhkan
uang disebut penerima kredit.
Kredit yang diberikan atas dasar kepercayaan yang berarti bahwa
prestasi yang diberikan benar-benar diyakini dapat dikembalikan oleh
penerima sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang disetujui
bersama. Karena itulah dalam sistem kredit melibatkan unsur-unsur
kepercayaan, waktu, tingkatan risiko, dan prestasi. Tujuannya adalah
untuk menjamin tercapainya fungsi pokok kredit yang berorientasi pada
keuntungan (profitability) dan keamanan (safety). Dan untuk
memahami itu semua tentu saja dibutuhkan tingkat pendidikan yang
memadai.
Lembaga usaha ekonomi pedesaan (LUEP) adalah lembaga yang
berbadan hukum atau berbadan usaha di pedesaan yang bergerak di
bidang pembelian, pengolahan pengemasan dan pemasaran gabah/
beras, jagung dan kedelai. Lembaga berbadan hukum tersebut dapat
170 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
berupa Koperasi tani (KOPTANI), Koperasi Unit Desa (KUD). Lembaga
berbadan usaha dapat berupa milik perorangan atau kolektif yang
berintegrasi dengan kelompok tani/gabungan kelompok tani
(Gapoktan), usaha milik kelompok tani, atau gabungan kelompok tani
(Anonimous, 2006).
Agar kegiatan DPM-LUEP lebih berpihak dan memberi manfaat
yang lebih besar bagi petani, maka LUEP perorangan atau kolektif
penerima DPM diwajibkan untuk berintegrasi dengan kelompok tani
untuk membentuk gapoktan atau berintegrasi ke dalam Gapoktan yang
telah eksis. Integrasi dilakukan untuk meningkatkan peran LUEP dalam
memberdayakan petani yang tergabung dalam kelompok tani atau
gapoktan.
Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi
Pedesaan (DPM-LUEP) merupakan suatu kegiatan untuk membantu
petani dan kelompok tani untuk memperoleh harga gabah atau beras
sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) atau diatas harga HPP pada
saat panen raya melalui pemebelian gabah/beras. Gabah/beras
merupakan komoditi strategis dalam kehidupan sosial ekonomi nasional,
karena beras merupakan makanan pokok hampir 95 % penduduk di
Indonesia dan usahatani merupakan sumber pendapat utama bagian
sebagian besar rumah tangga petani. Karena posisinya yang strategis
itulah, pemerintah berkepentingan untuk selalu menjaga stabilitas
pasokan maupun harganya, ketidak stabilan atau gejolak harga gabah/
beras yang tajam berdampak negatif terhadap usahatani padi serta
kesejahteraan petani dan buruh tani, juga terhadap para konsumen
terutama kelompok miskin (Anonimous, 2006).
Maksud penyelenggaraan kegiatan dari program pembelian gabah,
beras dari DPM-LUEP adalah: (1) menjamin pemasaran gabah/beras
petani dengan harra jual yang menguntungkan petani; (2)
meningkatkan kemampuan Lembaga Usaha Ekonomi pedesaan seperti
Koperasi tani, KUD, Pengusaha penggilingan padi dan Lumbung
Pangan dalam melakukan distribusi gabah/beras; dan (3)
memantapkan ketahanan pangan daerah secara berkelanjutan
(Anonimous, 2006). Tujuan Umum yang ingin dicapai melalui kegiatan
pembelian gabah/beras ini adalah mengendalikan harga gabah/beras
pada tingkat harga yang wajar dan layak bagi petani. Sedangkan tujuan
171FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
yang lebih khusus yang ingin dicapai adalah: (a) mengefektifkan dan
mengendalikan harga juar gabah/beras petani sesuai harga pembelian
pemerintah, terutama saat penawaran melebih permintaan atau pada
saat penawaran di atas normal; (b) mendekatkan petani dan atau
kelompok tani terhadap pasar melalui kerjasama dengan Lembaga
Usaha Ekonomi pedesaan; (c) meningkatkan kesinambungan
penyediaan gabah/beras terutama yang berasal dari sentra; (d)
meningkatkan efektivitas dan efesiensi distribusi pangan lintas daerah
dan lintas waktu; (e) menumbuhkembangkan dan menggerakkan
kelembagaan usaha ekonomi di pedesaan; dan (f) memperkuat posisi
daerah dalam ketahanan pangan.
Oleh karena itu sasaran kegiatan yang ingin dicapai pada pro-
gram pembelian gabah/beras melalui DPM-LUEP adalah: (1)
terlaksananya pembelian gabah/beras dengan harga serendah-
rendahnya sesuai dengan HPP; (2) terjadinya hubungan kerjasama
petani dan arau kelompok tani dengan LUEP; (3) terwujudnya tingkat
harga dan pendapatan yang layak bagi petani; (4) terwujudnya
kecukupan ketersediaan gabah/beras secara berkelanjutan; dan (5)
terjaminnya kelancaran dan pemerataan distribusi gabah/beras lintas
daerah, antar kelompok masyarakat sampai pada tingkat rumah
tangga. sehingga keterjangkauan gabah, beras sccara fisik maupun
ekonomis dapat dinikmati secara berkelanjutan (Anonimous, 2006).
B.3 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang merujuk pada
model rancangan evaluatif dengan fokus pada dampak kebijakan pro-
gram DPM-LUEP terhadap stabilitas harga gabah/beras. Dipilihnya
metode ini dilandasi oleh pemikiran bahwa penelitian evaluatif adalah
sebuah model penelitian yang berorientasi pada upaya memberikan
penilaian (evaluasi) apakah atau sampai dimana suatu aktivitas pro-
gram menghasilkan suatu akibat yang diharapkan atau yang tidak
diharapkan oleh pelaksanaan aktivitas program tersebut. Sifat “akibat”
disini lebih diorientasikan pada upaya menjelaskan aspek manfaat atau
hasil dari sebuah kegiatan atau program untuk kemudian menjadi
bahan masukan dan perbaikan atau peningkatan pelaksanaan pro-
gram selanjutnya. Oleh karena itu dalam setiap merancang penelitian
172 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
evaluatif pihak peneliti harus menetapkan adanya tolok ukur tertentu
terhadap program yang diteliti (Sarman (2004).
Merujuk pada Strauss dan Corbin (1990), penelitian disusun
berdasarkan pada rumusan masalah dan kerangka teoritis. Berdasarkan
rumusan masalah dan kerangka konseptual yang telah disusun untuk
penelitian ini, maka pengamatan dalam penelitian ini difokuskan pada
dampak program DPM-LUEP terhadap pengendalian harga gabah/
beras dengan ukuran-ukuran yang digunakan berupa: input program,
proses dan output program; dan fokus penelitian itu selanjutnya
berkaitan dengan sumber data yang dibutuhkan untuk mendukungnya
(Tabel 1).
Tabel 1. Fokus PenelitianTabel 1. Fokus PenelitianTabel 1. Fokus PenelitianTabel 1. Fokus PenelitianTabel 1. Fokus Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada lokasi pelaksana Program DPM-
LUEP di wilayah Kabupaten Banjar yaitu: di Kecamatan Aluh-Aluh,
Beruntung Baru, Gambut dan Sungai Tabuk yang merupakan salah
satu sentra produksi padi Kalimantan Selatan. Pengumpulan data
dalam bentuk observasi dan wawancara dilakukan selama 3 (tiga)
bulan yaitu selama bulan Oktober hingga Desember 2009.
173FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Untuk menilai manfaat program, dalam penelitian ini dilakukan
analisis data dengan mengukur Indeks Harga Petani (IHP) serta Ratio
manfaat DPM sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Yusdja et.al.
(2007). IHP dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diterima petani
dibagi dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah sebagai harga
rujukan atau yang dikenal dengan Harga Patokan Pemerintah (HPP).
Untuk mendapatkan nilai IHP dapat dihitung dengan rumus pada
persamaan (l). DPM dianggap berhasil atau efektif jika nilai IHP 100.
RHP
IHP = ———————— x 100% (1)
HPP
Sementara itu, Ratio Manfaat DPM adalah besaran yang
memperlihatkan jumlah uang penguat atau DPM yang diberikan
kepada LUEP dibagi dengan jumlah uang yang diterima LUEP dalam
jangka waktu tertentu sebagai akibat perputaran uang DPM tersebut.
Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
JPG
Rasio DPM = ——————————— (2)
JGHPP
JPG = Total Volume Gabah yang dibeli LUEP dengan menggunakan
DPM dalam waktu tertentu dalam Kg/ton.
JGHPP = Nilai DPM yang diterima LUEP disetarakan dengan jumlah
gabah dalam Kg/ton.
C. HASIL PENELITIANProgram Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi
Pedesaan (DPM-LUEP) merupakan salah satu program aksi
pemantapan ketahanan pangan dalam mendukung pengamanan harga
gabah/baras yang diperuntukkan bagi wilayah sentra produksi padi.
Mengingat bahwa terdapat kecenderungan terjadinya instabilitas harga
gabah/beras pada saat panen raya sehingga berdampak negatif
174 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
terhadap usaha tani, kesejahteraan para petani dan buruh tani, serta
para konsumen terutama kelompok miskin, maka program dana
talangan merupakan salah satu solusi terbaik terhadap kondisi jatuhnya
harga gabah/baras di tingkat petani.
C.1. Proses Pelaksanaan Kesepakatan dari Indikator Input.
Pada indikator input ini yang menjadi ukuran dalam penelitian
ini adalah adanya perjanjian kesepakatan jual beli gabah/beras yang
disusun antara LUEP dengan kelompok tani dan bersama-sama dengan
anggotanya.
Penyaluran dana Program DPM-LUEP sebelummya didahului
dengan terbit dan disyahkannya DPA-SKPD Kantor Ketahanan pangan
Kabupeten Banjar yang didalamnya termuat diktum tentang
pelaksanaan program DPM-LUEP. Selanjutnya Bupati Banjar melalui
Kantor Ketahanan Pangan membentuk dan menetapkan Tim Teknis
Kabupaten yang salah satu tugasnya untuk melakukan identifikasi dan
penilaian terhadap LUEP dan Kelompok tani sebagai calon peserta
kegiatan penerima DPM.
Dalam proses pelaksanaanya, LUEP baik dalam bentuk
perorangan dan mandiri seperti Penggilingan Padi yang berbadan
hukum maupun yang berbentuk koperasi seperti KUD dan Koperasi
Tani mengajukan permohonan kepada Bupati Banjar melalui Kantor
Ketahanan Pangan dalam bentuk proposal yang dilampiri dengan
adanya kesepakatan perjanjian antara LUEP dengan kelompok tani,
dimana dalam isi perjanjian tersebut LUEP bersedia membeli gabah/
beras dengan harga dan jumlah yang telah disepakati bersama. Hasil
kesepakatan/perjanjian antara LUEP dan Kelompok rani tersebut
dilampiri dengan dokumen identitas dan kemampuan kelompok.
Dalam petunjuk teknis dan pelaksanaan program DPM-LUEP
Kabupaten disebutkan bahwa setelah permohonan LUEP masuk ke
Bupati Banjar melalui Kantor Ketahanan pangan, Tim Teknis
Kabupaten melakukan identifikasi dan penilaian terhadap LUEP dan
kelompok tani sebagai calon peserta kegiatan DPM. Ada format khusus
untuk identifikasi pemilihan/penetapan LUEP dan identifikasi
pemilihan kelompok tani. Berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian
175FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
oleh tim teknis kabupaten LUEP yang memenuhi persyaratan membuat
perjanjian/kesepakatan pembelian gabah/beras dengan kelompok tani.
Atas dasar Surat Perjanjian/Kesepakatan tersebut dan hasil
identifikasi tim teknis Kabupaten, Bupati mengusulkan Calon penerima
DPM-LUEP kepada Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi dan
Tim Teknis dari Provinsi melakukan verifikasi kembali usulan tersebut,
hasil verifikasi tersebut disampaikan kepada Kepala Badan Ketahanan
Pangan Provinsi untuk kemudian ditetapkan sebagai pelaksana pro-
gram/kegiatan DPM-LUEP, dan jumlah dana penguatan modal bagi
LUEP untuk pembelian gabah/beras petani.
Identifikasi pemilihan dan penetapan LUEP dan Kelompok Tani
penerima DPM-LUEP serta Perjanjian/kesepakatan jual beli gabah/
beras antara LUEP dan Kelompok Tani bersifat formal karena ditanda
tangani oleh LUEP, ketua Kelompok Tani, ketua TIM Teknis Kabupaten
dengan diketahui Kepala Desa dan Camat setempat.
Dalam penelitian ini LUEP yang menjadi sampel sebanyak lima
buah, yaitu LUEP Penggilingan Padi Titian Mas II Desa Sungai Lulut
Kecamatan Sungai Tabuk Koperasi Tani Putra Harapan Kecamaran
Aluh-Aluh. Penggilingan Padi Berkat Hasil Tani Desa Tambak Sirang
Kecamatan Gambut, penggilingan padi Berkat Hasil Tani, dan
penggilingan padi Berkat Yuli Desa Simpang Warga Kecamatan Aluh-
Aluh. Dari hasil wawancara dengan lima orang ketua LUEP pada
umumnya mereka menyatakan bahwa hasil kesepakatan/perjanjian
jual beli Gabah/Beras dengan Kelompok tani sudah sesuai dengan
aturan dan ditanda tangani oleh ketua LUEP dengan Ketua Kelompok
tani beserta anggotanya. Namun, hasil verifikasi dengan Kelompok Tani
penerima program ternyata tidak semua anggota Kelompok Tani yang
mengaku terlibat dalam prosesnya; dan bahkan ada yang tidak mengerti
apa yang dimaksud dengan LUEP.
“Kami tidak mengetahui adanya perjanjian kesepakatan jual
beli Gabah/Beras antara Kelompok Tani Kami dengan
pinggilingan padi Berkat Yuli dan kami sendiri tidak
mengetahui apa itu program LUEP” (Wawancara dengan
Bapak Kas, 23 Desember 2009).
176 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Namun demikian, secara umum dapat dinilai bahwa program
LUEP di Kabupaten Banjar memang dapat dilaksanakan; dan selama
kurun waktu 2003 - 2009 jumlah LUEP yang ditetapkan sebagai
pelaksana program DPM meliputi 15 kelompok tani dan alokasi dana
yang telah disalurkan mencapai Rp397 juta (Tabel 2).
Tabel 2. lndikator Input Program DPM-LUEP Tahun 2009Tabel 2. lndikator Input Program DPM-LUEP Tahun 2009Tabel 2. lndikator Input Program DPM-LUEP Tahun 2009Tabel 2. lndikator Input Program DPM-LUEP Tahun 2009Tabel 2. lndikator Input Program DPM-LUEP Tahun 2009
Penyelenggaraan DPM - LUEP untuk pembelian gabah/beras
petani dilakukan melalui tiga mekanisme yang saling terkait, yaitu
mekanisme pencairan dana mekanisme penyaluran dana dan
mekanisme pengembalian dana yang ditunjang dengan mekanisme
koordinasi pengawasan dan mekanisme pelaporan. Salah satu
indikator yang digunakan dalam penelitian ini adalah: penyaluran dan
pemanfaatan dana Penguatan Modal LUEP yang tepat sasaran dilihat
dari: (a) mekanisme pencairan, (b) mekanisme pemanfaatan, dan (c)
mekanisme pengembalian.
a. MekanismePencairan.
Setelah ditetapkannya LUEP oleh Kepala Badan Ketahanan
Pangan Provinsi sebagai pelaksana kegiatan program DPM-LUEP
beserta alokasi DPM, kepada masing-masing LUEP disalurkan dana
yang nominalnya maksimal Rp 500 juta. Jika DPM yang diberikan
kepada LUEP melebih dari jumlah yang ditentukan tersebut, maka
perlu disertakan dasar pertimbangan rekomendasi khusus dari Tim
Teknis Provinsi dan Kabupaten dengan tetap mempertimbangkan azas
pemerataan dan keadilan dalam pengalokasian dana.
177FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
“Apabila ada salah satu LUEP yang mengajukan permohonan
diatas nilai plafon maksimal dari ketentuan yang berlaku maka
permohonan tersebut harus dilampiri dengan rekomendasi Tim
Teknis Kabupaten dan Provinsi dan jika dilihat subtansinya dapat
membuat terjadinya praktek kolusi dan pada akhirnya
dimungkinkan akan terjadi kemacetan dalam pengembalian
pinjaman tersebut, akan tetapi pada kenyataannya hingga saat
ini tidak ada jumlah pinjaman yang melampaui nilai maksimal”
(wawancara dengan Bapak Pon, 21 Desember 2009).
Berdasarkan pedoman pelaksanaan program DPM-LUEP, jika
sudah ditetapkan LUEP penerima DPM maka LUEP membuka rekening
pada Bank Pembangunan Daerah cabang Martapura atau Bank lainnya
yang ditunjuk sebanyak dua rekening, yaitu giro I dan giro II. LUEP
mengajukan usulan penarikan dana pembelian gabah ke Bank
Pembangunan Daerah cabang Martapura atau Bank lainnya yang
ditunjuk berdasarkan rekomendasi Tim Teknis Kabupaten. Untuk
Tahap pertama, usulan pengambilan dana oleh LUEP hanya
diperkenankan maksimal 40 persen dari nilai kontrak.
Pencairan untuk tahap berikutnya dapat dilaksanakan setelah
penggunaan pencairan tahap pertama dipertanggung jawabkan dan
berdasarkan rekomendasi Tim Teknis Kabupaten sesuai penilaian
kinerja LUEP. Berdasarkan usulan penarikan dana oleh LUEP dan
rekomenadasi Tim Tenis Kabupaten. Bank Pelaksana mentransfer ke
rekening II LUEP. LUEP dapat mencairkan DPM dari rekening giro ll,
untuk selanjutnya digunakan membeli gabah/beras petani sesuai
dengan perjanjian kontrak jual bcli dengan kelompok tani. LUEP wajib
membeli gabah/beras petani mitranya kepada wilayah kerja LUEP
sesuai kontrak yang disepakati.
Dari hasil wawancara dapat diketahui bahwa Kelompok Tani
penerima LUEP yang yang menjadi sampel penelitian membagi
penarikan dana DPM-LUEP menjadi dua bagian dengan nilai sesuai
dengan ketentuan yang ada yaitu maksimal 40% pada tahap I dan 60
% pada tahap II. Dana tahap I dicairkan apabila LUEP sudah
memenuhi persyaratan dengan menlusun rencana kerja bulanan untuk
pembelian gabah/beras serta mendapat persetujuan dari Kepala Kantor
178 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Ketahanan Pangan Kabupaten. Hal ini misalnya terungkap dari
wawancara dengan salah seorang pengelola penggilingan padi Titian
Mas II di Desa Sungai Lulut Kecamatan sungai Tabuk:
“Sebelum kami mencairkan dana yang masuk dalam giro
tabungan, kami terlebih dahulu menyusun rencana bulanan
untuk pembelian gabah/beras terhadap kelompok tani yang
bermitra dengan kami, kemudian kami mengusulkan kepada
Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten untuk
mendapatkan rekomendasi pencairan/penarikan dana yang
masuk kegiro kami dan dana yang disetujui adalah sebesar Rp
17.6 juta untuk tahap I dan lahap II sebesir Rp 26,4 juta, dalam
penarikan tahap pertama kami hanya menarik sebesar Rp 17
Juta” (Wawancara dengan Bapak Luth, 19 Desember 2009).
Proses tersebut ternyata berlaku sama untuk seluruh LUEP yang
menerima DPM di Kabupaten Banjar. Sedangkan proses pencairan
tahap II selain kelengkapan sama dengan proses tahap I juga harus
dilampiri dengan bukti-bukti pertanggung jawaban penggunaan dana
dalam pembelian gabah/beras dari kelompok tani yang menjadi
mitranya. Hal itu kemudian terbukti menyebabkan aktivitas
pemanfaatan dana LUEP bisa tidak sesuai dengan perencanaan. Fakta
ini antara lain terungkap dari wawancara dengan salah seorang
pengelola LUEP Harapan Makmur:
“Proses pencairan dana sering tidak sesuai dengan rencana
pembelian gabah/beras antara LUEP dengan Kelompok Tani
karena dana baru cair bisa sampai pada pertengahan bulan Juli
untuk tahap 1”. (Wawancara dengan Bapak Sem, 3l Desember
2009).
b. Mekanisme Pemanfaatan.Pada pelaksanaan penggunaan dana yang telah dicairkan oleh
LUEP secara umum sudah digunakan untuk pembelian gabah petani,
tetapi tidak sepenuhnya kesepakatan atau perjanjian yang telah dibuat
ditaati kedua belah pihak. Hal itu misalnya terungkap dari wawancara
dengan salah seorang ketua kelompok tani:
179FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
“Pada saat panen raya harga masih dibawah kesepakatan dan
LUEP tidak mau memberinya saat itu, karena LUEP tidak mau
mengambil resiko kerugian sehingga menunggu saat yang tepat
dimana harga pasar mendekati harga kesepakatan dan ada juga
anggota kelompok tani menjualnya ke pihak lain dikarenakan
harga di luar lebih tinggi dari harga kesepakatan dan tentunya
petani mempunyai pandangan untuk mendapatkan harga yang
layak” (Wawancara dengan Bapak Kus, 30 Desember 2009).
c. Mekanisme PengembalianHasil wawancara dengan pengelola program LUEP di lima kasus
dan dengan melakukan verifikasi dengan penanggung jawab program,
ternyata proses pengembalian yang dilakukan lima buah LUEP yang
menjadi objek penelitian menunjukkan tepat waktu. Hal ini
memberikan indikasi bahwa program LUEP memang efektif dari
perspektif fungsi kreditnya.
C.2. Pelaksanaan Program Dilihat dari Indikator Output.
Keluaran yang dicapai dari program DPM-LUEP pada tahun 2008
yang meliputi DPM yang dicairkan, DPM yang digunakan untuk
pembelian gabah/beras. rata-rata harga gabah/beras yang dibeli oleh
LUEP, Jumlah gabah/beras yang dibeli oleh LUEP sekurang-kurangnya
2 kali volume kontrak, Jumlah DPM yang dikembalikan oleh LUEP
yang tepat waktu, ternyata cukup impresif (lihat Table 3).
Tabel 3. Output Program DPM-LUEPTabel 3. Output Program DPM-LUEPTabel 3. Output Program DPM-LUEPTabel 3. Output Program DPM-LUEPTabel 3. Output Program DPM-LUEP
Sumber: diolah dari Pengelola Program LUEP Kabupaten Banjar, 2009.
180 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Outcome yang dicapai dari program DPM-LUEP yang meliputi:
Harga yang diterima petani mitra LUEP dan atau di Wilayah sasaran
kegiatan DPM-LUEP minimal sesuai harga referensi pemerintah, Modal
usaha LUEP bertambah dari hasil keuntungan menunjukkan nilai yang
positif (Tabel 4).
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel 4. Outcome program DPM-LUEP di Kabupaten Banjar4. Outcome program DPM-LUEP di Kabupaten Banjar4. Outcome program DPM-LUEP di Kabupaten Banjar4. Outcome program DPM-LUEP di Kabupaten Banjar4. Outcome program DPM-LUEP di Kabupaten Banjar
Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008
Keuntungan dan dampak yang telah dicapai program DPM-LUEP
dari data berdasarkan lndek Harga ditingkat petani (IHP) seperti
tergambar pada Tabel 4. Salah satu indikator yang dapat digunakan
untuk menilai keberhasilan DPM-LUEP adalah dengan mengukur
Indeks Harga Petani (lHP) serta Ratio manfaat DPM.
Tabel 5. Benefit program DPM LUEP di Kabupaten BanjarTabel 5. Benefit program DPM LUEP di Kabupaten BanjarTabel 5. Benefit program DPM LUEP di Kabupaten BanjarTabel 5. Benefit program DPM LUEP di Kabupaten BanjarTabel 5. Benefit program DPM LUEP di Kabupaten Banjar
Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008
lndek Harga ditingkat petani (IHP) dihitung berdasarkan harga
rata-rata yang diterima petani dibagi dengan harga yang ditentukan
oleh pemerintah sebagai harga rujukan atau yang dikenal dengan
Harga Patokan Pemerintah (HPP). Untuk mendapatkan nilai IHP dapat
dihitung dengan rumus pada persamaan (l). DPM dianggap berhasil
atau efektif jika nilai IHP lebih besar dari 100. Sedangkan Ratio Manfaat
181FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
DPM adalah besaran yang memperlihatkan jumlah uang penguat atau
DPM yang diberikan kepada LUEP setara dengan nilai gabah/beras
dibagi dengan jumlah uang yang diterima LUEP setara gabah/beras
dalam jangka waktu tertentu sebagai akibat perputaran uang DPM
tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dapat dilihat
Rasio DPM seperti tergambar pada Tabel 6.
Tabel 6. Rasio DPM-LUEP Kabupaten Banjar Tahun 2008Tabel 6. Rasio DPM-LUEP Kabupaten Banjar Tahun 2008Tabel 6. Rasio DPM-LUEP Kabupaten Banjar Tahun 2008Tabel 6. Rasio DPM-LUEP Kabupaten Banjar Tahun 2008Tabel 6. Rasio DPM-LUEP Kabupaten Banjar Tahun 2008
Kemampuan penyerapan DPM dalam membeli kelebihan produksi
padi/gabah di Kabupaten Banjar, khususnya pada daerah yang menjadi
lokasi penelitian, menggambarkan bahwa kecenderungan yang positif
(Tabel 7).
TabelTabelTabelTabelTabel 7. Surplus Produksi Padi da 7. Surplus Produksi Padi da 7. Surplus Produksi Padi da 7. Surplus Produksi Padi da 7. Surplus Produksi Padi dan Penyerapan DPM-LUEPn Penyerapan DPM-LUEPn Penyerapan DPM-LUEPn Penyerapan DPM-LUEPn Penyerapan DPM-LUEP
Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008Tahun 2008
Pada tahun 2008 dana talangan yang bersumber dari APBN
ditangguhkan untuk dicairkan, sehingga sumber dana talangan hanya
berasal dari APBD Provinsi Kalimantan Selatan yang berjumlah Rp
7.500.000.000. Usulan untuk Kabupaten diprioritaskan bagi LUEP
yang lama atau yang sudah pernah diberikan pinjaman pada tahun
sebelumnya, dan Kabupaten Banjar diberikan plafon sebesar
Rp1.585.000.000. Berkenaan dengan plafon yang diberikan oleh Badan
Ketahanan Pangan Provinsi Kalimantan Selatan kepada Kabupaten
Banjar tersebut, maka disusunlah alokasi DPM-LUEP kepada 19 LUEP
dan termasuk 5 LUEP yang menjadi obyek penelitian.
182 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Berdasarkan data pada Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten
Banjar, realisasi dana talangan tahun 2008 ini lebih lambat
dibandingkan dengan tahun 2007. Pada tahun 2007 dana talangan
sudah dapat dicairkan pada bulan April, sedangkan realisasi dana
talangan/DPM-LUEP tahun 2008 di Kabupaten Banjar baru dapat
dicairkan pada pertengahan bulan Juli 2008; dengan 2 tahap pencairan,
yakni: tahap I dana yang boleh diambil oleh LUEP hanya 40 persen,
dan tahap ke II sebesar 60 persen.
Sampai dengan bulan Juli 2008, pembelian gabah oleh LUEP di
lokasi penelitian baru mencapai Rp271.040.000 atau terjadi perputaran
sebesar 0,7 kali, yang berarti menggambarkan bahwa belum semua
dana talangan digunakan untuk membeli gabah petani. Fakta di
lapangan, pada saat ini belum semua terjadi panen, dan atau kalaupun
sudah ada yang panen tetapi baru sebagian saja. Hal itu dapat
dibuktikan pada kasus bulan Agustus 2008, pembelian gabah petani
oleh LUEP mencapai Rp813.120.000 atau terjadi perputaran sebesar
2,1 kali; yang menggambarkan pemanfaatan dan telah terjadi
peningkatan dibandingkan dengan bulan Juli 2008. Sedangkan pada
bulan September 2008, pembelian gabah oleh LUEP mencapai
Rp1.200.320.000 atau terjadi perputaran sebesar 3,1 kali, yang
menggambarkan pemanfaatan dana juga terjadi peningkatan
dibandingkan dengan bulan Agustus.
Perkembangan sampai dengan bulan Oktober 2008, pembelian
gabah oleh LUEP mencapai Rp1.819840.000 atau terjadi perputaran
sebesar 4,7 kali, yang menggambarkan pemanfaatan dana juga terjadi
peningkatan dibandingkan dengan bulan September 2008. Sedangkan
perkembangan sampai dengan bulan Nopember 2008, pembelian gabah
oleh LUEP mencapaiRp 2.013.440.000 atau terajadi perputaran sebesar
5,2 kali. Dan sampai dengan bulan Desember 2008, pembelian gabah
oleh LUEP mencapai Rp2.095.991.000 atau terjadi perputaran sebesar
5,4132 kali.
C.3. Proses Kesepakatan Dilihat dari Input program
Dari hasil pengolahan data pada Tabel 5 yang telah dilakukan
terhadap lima buah DPM LUEP diketahui bahwa jumlah kelompok
tani yang menjadi mitra LUEP sebanyak l5 buah dan jumlah DPM
183FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
yang diserap sebesar Rp387.200.000, sedangkan yang menjadi ukuran
pada indikator input dalam peneltian dari DPM LUEP adalah adanya
perjanjian kesepakatan jual beli gabah/beras yang disusun antara
LUEP dengan kelompok tani dan bersama- sama dengan anggotanya
yang merupakan bentuk dari adanya rencana tertulis yang harus
dilaksanakan kedua belah pihak baik LUEP maupun kelompok tani
dalam jangka waktu tertentu, seperti pada saat musim panen.
Hasil kesepakatan/perjanjian jual beli gabah/beras tersebut bersifat
formal, mengikat kedua belah pihak dan harus ditaati bersama. Oleh
karena itu semestinya semuil anggota kelompok tani mengetahui dan
menjalankannya bersama-sama dengan LUEP. Hal ini sesuai dengan
pemahaman Delmar dan Shane (2003) dan Henry (2010) yang
mengatakan bahwa, rencana formal adalah rencana tertulis yang harus
dilaksanakan suatu organisasi dalam jangka waktu tertentu untuk
mencapai tujuan yang biasanya mencakup alokasi sumberdaya, jadwal
dan tindakan-tindakan penting serta harus diketahui oleh semua
anggota.
Hasil kesepakatan/perjanjian jual beli gabah/beras antara LUEP
dengan Kelompok Tani merupakan salah satu tahapan dalam proses
pelaksanaan program DPM-LUEP. Dari hasil penelitian terhadap
sampel objek yang diteliti diketahui bahwa semua LUEP bersama-sama
dengan kelompok tani dan diketahui oleh pambakal/kepala desa
setempat telah membuat kesepakatan/perjanjian jual beli gabah/beras
seperti pada. Akan tetapi tidak semua anggota kelompok tani
mengetahui perjanjian tersebut. Hal ini menunjukan bahwa
kesepakatan tersebut mempunyai kelemahan dan dapat dikatakan
cacat formal, padahal menurut Ife (2004), semakin banyak orang yang
menjadi peserta aktif dan semakin lengkap partisipasinya, maka
semakin ideal kepemilikan dan proses masyarakat serta proses-proses
inklusif yang akan diwujudnya oleh kelompok masyarakat tersebut.
Jika dilihat dari tujuan adanya kesepakatan/perjanjian pembelian
gabah/beras dari LUEP kepada kelompok tani maka maksudnya
adalah agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan, dimana
kelompok tani lebih dapat diberdayakan dalam proses tersebut. Tetapi
beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwa kelompok tani itu
bukan diberdayakan, tetapi diam-diam mereka itu seperti diperdaya
184 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
dan sekadar dijadikan alat untuk mencapai tujuan dari pelaksana pro-
gram.
C.4. Proses Pelaksanaan DPM-LUEP
Dalam proses pelakanaan DPM-LUEP yang menjadi bahan kajian
dalam penelitian ini adalah penyaluran dan pemanfaatan DPM-LUEP.
Proses tersebut dapat dilihat dari: (a) mekanisme pencairan, (b)
mekanisme pemanfaatan, dan (c) mekanisme pengembalian.
a. Mekanisme Pencairan
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengelola program dan
anggota kelompok tani yang menerima program diperoleh informasi
bahwa secara umum DPM dapat tersalurkan kepada LUEP sesuai
dengan mekanisme yang ada pada petunjuk teknis dan pelaksanaan
program DPM LUEP. Namun. dalam proses pencairan DPM kepada
LUEP tidak ada kesesuaian dengan waktu menjelang atau saat panen
padi, dan hal ini menyebabkan terganggunya kesepakatan pembelian
gabah/beras bagi LUEP terhadap Kelompok Tani. Hal itu terjadi karena
panen padi di daerah sampel terjadi antara bulan Maret-April untuk
padi unggul pada bulan Juli, Agustus dan Oktober, sedangkan
pencairan terjadi pada bulan Juli 2008.
b. Mekanisme Pemanfaatan
Penggunaan dana yang telah dicairkan oleh LUEP ternyata
seluruhnya dimanfaatan untuk membeli gabah, tetapi tidak sepenuhnya
perjanjian/kesepakatan ditaati. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat
kesadaran LUEP dan kelompok tani, serta tidak adanya sanksi. bagi
yang melanggar dalam kesepakatan/perjanjian tersebut. Jika dilihat
dari permasalahan tersebut yang terletak pada manusia maupun aturan
yang mengikatnya, maka faktor tersebut akan sangat mempengaruh
secara langsung terhadap efektivitas dalam keberhasilan program.
Sesuatu yang telah dirumuskan dengan baih didukung dengan
peraturan yang kuat namun bila tidak didukung dengan sumber daya
manusia yang cukup, dan kualitas yang bailq maka kemungkinan besar
program tersebut akan dapat mengalami kegagalan. Seperti diyakini
oleh Gomes (2000), sumber daya manusia merupakan salah satu sumber
185FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
daya yang terdapat dalam organisasi, meliputi semua orang yang
melakukan aktivitas. Semua potensi sumber daya manusia sangat
berpengaruh terhadap upaya organisasi dalam mencapai tujuannya.
Betapapun majunya teknologi, berkembangnya informasi, tersedianya
modal dan memadainya bahan, namun jika tanpa sumber daya
manusia yang berkualitas maka akan sulit bagi organisasi untuk
mencapai tujuannya.
c. MekanismePengembalianProses mekanisme pengembalian oleh lima buah LUEP yang
diamati dalam penelitian ini dilakukan sebelum jatuh tempo pada
tanggal 25 Desember. Kondisi ini sudah sesuai dengan perjanjian/akad
bantuan yang dibuat oleh LUEP pada saat menerima DPM.
C.5. Pelaksanaan Program Dilihat dari Output
Output program yang ingin dicapai adalah terlaksananya
pembelian gabah/beras dengan harga yang wajar dan serendah-
rendahnya sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah dan
berkembangnya usaha LUEP dan Kelompok Tani. Hasil penelitian
menunjukkan hal yang positif. Berdasarkan dari Tabel 3 tentang out-
put program DPM-LUEP diketahui DPM yang telah diserap sebesar
Rp387.200.000 dengan jumlah gabah yang dibeli 119.10181 ton GKG,
rata-rata harga pembelian sebcsar Rp351/Kg GKG dengan volume
perputaran 5,4132 kali atau setara dengan Rp2.095.991.000 dan DPM
yang dikembalikan tepar waktu sebesar Rp387.200.000 dengan tidak
adanya tunggakan. Jika dilihat dari tujuan program DPM-LUEP yang
telah ditetapkan oleh Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian
dari output yang diinginkan khususnya dilihat dari perputaran DPM
yang telah diberikan sebesar 2 kali perputaran, maka LUEP yang
diterapkan di lokasi penelitian mengalami perputaran DPM 5,4132 kali
dan ini menunjukan program DPM-LUEP tersebut telah berhasil.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa kondisi ini dipengaruhi
oleh: (a) Orientasi bisnis para LUEP yang hanya melepas gabah/beras
yang dibelinya pada saat harga sedang tinggi-tingginya tidak berorintasi
pada perputaran modal; dan (b) Jika dilihat dari segi waktu pencairan
DPM oleh LUEP terjadi pada bulan juli sedangkan pola panen padi
186 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
yang terjadi di daerah Kabupaten Banjar untuk padi unggul pada bulan
Maret-April sedangkan padi Lokal pada bulan Juli sampai dengan
Oktober ini menunjukan bahwa hanya ada waktu untuk
memanfaatkan DPM antara bulan Juli sampai dengan Desember, dari
rentang waktu hanya selama 6 bulan tersebut akan menyebabkan
kesempatan LUEP untuk memutar DPM menjadi terbatas.
Hasil analisis dari Tabel 4 memperlihatkan bahwa outcome dari
program DPM-LUEP dari harga rata-rata yang diterima petani yang
menjadi sampel sebesar Rp3.251/kg GKG, jauh berada dari Harga
Patokan pemerintah (HPP) yang hanya Rp2.800 /kg GKG atau ada
selisih harga sebesar Rp451. Sedangkan harga yang diterima oleh LUEP
rata-rata dengan harga pembelian pada petani sebesar Rp366.
Untuk mengetahui benefit dari kegiatan DPM-LUEP salah satunya
dengan cara menghitung IHP. Perhitungan IHP dilakukan dengan
menggunakan data ditingkat makro karena program DPM-LUEP
merupakan bagian instrumen kebijakan. Berdasarkan analisis dari
Tabel 4 menunjukan bahwa nilai IHP program DPM-LUEP sebesar
116,342. Kondisi tersebut dikarenakan permintaan gabah/beras yang
cukup stabil sepanjang tahunnya. Nilai IHP yang rata-rata di atas 100
menunjukan bahwa tingkat pendapatan petani berada pada titik yang
menguntungkan. Sementara itu untuk mengetahui dampak dari pro-
gram DPM-LUEP dapat diketahui dengan cara menghitung nilai Rasio
manfaat DPM. Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata Rasio Manfaat
DPM yang diketahui sebesar 5.4132. Semakin banyak perputaran DPM
maka semakin memberikan keuntungan kepada LUEP.
Dengan kondisi tersebut mestinya mendorong petani untuk
berproduksi dan meningkatkan produktivitas usahataninya khususnya
pada petani padi menjadi lebih bergairah, pada akhirnya kebutuhan
dan ketersedian akan beras dapat tercukupi bahkan berlebih dan
terciptalah ketahanan pangan daerah.
Manfaat DPM-LUEP bagi petani tergambar dari Table 5, dimana
Harga Rata-rata yang diterima petani (RHP) sebesar Rp3.251/Kg GKG;
sedangkan HPP sebesar Rp2.800/Kg GkG, yang menunjukkan bahwa
selisih harga sebesar Rp 45l yang telah diterima petani tersebut
menunjukan adanya keuntungan. Sedangkan jika dilihat dari Tabel 6
tampak bahwa kemampuan DPM yang diterima LUEP dalam
187FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
penyerapan gabah petani pada lokasi penelitian sebesar 645,788 ton
GKG dari total surplus produksi sebesar 78.541 ton GKG atau baru
mencapai 0,816 %. Data ini menunjukkan bahwa kemampuan DPM
dalam menyerap hasil produksi gabah petani sangat kecil, sedangkan
sisanya tetap melalui mekanisme pasar.
C.6. Kontribusi DPM-LUEP dalam Mendukung Ketahanan
Pangan
Berdasarkan tujuan program DPM-LUEP yang telah ditetapkan
dan merujuk pada IHP dan Rasio manfaat DPM-LUEP dapat diketahui
bahwa:
a. Harga gabah./beras yang diterima petani/kelompok tani yang
bermitra dengan LUEP di atas rata-rata Harga Patokan
Pemerintah GPP) dimana harga rata-rata yang diterima petani
pada lokasi sasaran sebesar Rp3.251/Kg GKG, jauh berada dari
Harga Patokan Pemerintah (HPP) yang hanya rara-rata
Rp2.800/Kg GKG atau ada selisih harga sebesar Rp451. Selisih
harga gabah yang diterima petani paling tinggi itu terjadi pada
LUEP Harapan Makmur, yakni sebesar Rp488/Kg GKG; dan
yang terendah terjadi pada LUEP Titian Mas ll, yakni sebesar
Rp425/Kg GKG.
b. Hasil analisis nilai IHP program DPM-LUEP di lokasi penelitian
menunjukkan rata-rata sebesar 116,342%, dimana IHP tertinggi
terjadi pada LUEP Harapan Makmur sebesar 117,426% dan
yang terendah terjadi pada LUEP Titian Mas II sebesar ll5, l78%.
Kondisi nilai IHP yang rata-rata di atas 100 menunjukkan
bahwa telah terjadi peningkatan pendapatan bagi petani yang
cukup tinggi.
c. Secara psikologis petani/kelompok tani mendapatkan rasa aman
dengan adanya insentif dan jaminan bahwa produksi padi yang
mereka hasilkan akan dibeli oleh LUEP, dengan harga minimal
sesuai HPP, dengan pembayaran langsung dan tunai.
d. Nilai manfaat dari program DPM-LUEP untuk petani dapat dilihat
dari adanya selisih harga gabah antara HPP dan RHP yang
diterima petani sebesar Rp45l/Kg GKG yang merupakan bagian
dari keuntungan petani.
188 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Karena terjaminnya harga sepanjang tahun di atas HPP mestinya
memberikan motivasi terhadap petani dalam berproduksi pada
usahatani padi. Dengan kembali berproduksinya usahatani padi yang
dilakukan petani maka ketersediaan akan sumber bahan pangan yang
berasal dari padi/beras dapat memberikan andil dalam mendukung
ketahanan pangan.
D. KESIMPULANProgram pembelian gabah/beras melalui DPM LUEP adalah
merupakan bentuk kepedulian pemerintah untuk melindungi petani,
dimana program ini diharapkan memberikan sumbangan yang
signifikan bagi upaya pengendalian harga gabah/beras saat panen
raya, serta peningkatan produksi dan pendapatan petani sehingga pada
akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil
analisis data dan pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
l. Pelaksanaan Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) mampu menjaga stabilitas
harga gabah/beras ditingkat petani dengan indikasi berupa
kemampuan lembaga usaha ekonomi membeli harga gabah/
beras ditingkat petani minimal setara dengan Harga Patokan
Pemerintah HPP).
2. Kontribusi Program Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha
Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) dalam mendukung ketahanan
pangan di Kabupaten Banjar adalah dalam hal penjaminan
bahwa harga gabah/beras yang dibeli oleh lembaga usaha
ekonomi dari petani minimal setara dengan Harga Patokan
Pemerintah (HPP). Hal ini merupakan insentif atau dorongan
bagi petani untuk terus berproduksi bahkan dapat meningkatkan
produksinya. Produksi padi yang meningkat akan berimbas
pada meningkatnya ketersediaan pangan khususnya beras, hal
ini tentunya dapat mendukung terwujudnya ketahanan pangan.
3. Manfaat Program Dana Penguatan Modal Lembaga usaha
Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) dalam meningkatkan
kesejahteraan petani adalah dalam hal kemampuan lembaga
usaha ekonomi membeli harga gabah/beras dari petani mini-
189FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
mal setara dengan Harga Patokan Pemerintah (HPP) sehingga
memberikan dampak pada kesinambungan petani dalam
berproduksi bahkan menjadi dorongan untuk meningkatkan
produksinya. Kesinambungan petani dalam berproduksi atau
bahkan meningkatkan produksinya serta jaminan harga yang
menguntungkan (minimal setara HPP) tentunya berdampak
pada peningkatan kesejahteraan petani.
DAFTAR RUJUKANAdma, RY, 2001. Implementasi Kebijakan Pembangunan prasarana
Pendudukung Desa Tertinggal (P3DT) Terhadap Pembangunan
Desa (Studi Kasus di Kecamatan Tenggarong Seberang
Kabupaten Kutai). Tesis Program Pasca Sarjana Universitas
Brawijaya, Malang.
Arifin, B, 2004. Pengembangan Kelembagaan untuk Ketahanan Pangan
Dalam Buku Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Penerbit
PT Kompas Media Nusantara. Jakatla.
Apriantono, A. 2007. Impor Beras dan Kesejahteraan Petani, Work-
shop Impor Beras, Departemen Pertanian, Jakarta.
Bryant Coralie and White G Louise, 1989, Manajemen Pembangunan
untuk Negara Berkembang. LP3ES, Jakarta.
Dunn, William N, 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
Dye, R. Thomas, 1975. Understanding Public policy. Englewood Cliff,
N.J.Prentice Hall.
Fatah, Luthfi,. 2007. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
Pustaka Banua. Banjarmasin.
Gomes, Cardoso, Faustino, 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia.
Andi offset, Yogyakarta.
Hadna, H.A dan Hadriyanus Suharyanto, 2005. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Media Wacana, Yogyakarta.
Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2008. Comunity Development Alternatif
Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
190 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Islamy. M. lrfan, 1991. Prinsip-prinsip Kebijakan Negara. PT. Bumi
Aksara, Jakarta.
Jenkins. W.I, 1978. Policy Analysis: A Political and Organizational Per-
spective. London.
Jones, Gareth. R. 1995. Organizational Theory: Text and Cases. Addison
Wesley Publishing Company.
Kuncoro, Mudrajad, 2006. Ekonomi Pembagunan: Teori, Masalah dan
Kebijakan. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Rais, Amin, 1999, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Aditya
Media, Yogyakarta.
Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.
Pustaka Fisip Unlam, Banjarmasin.
Sarman, Mukhtar dkk. 2008. Program Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis LERD (Peluang Kalimantan Selatan). PK2PD dan Pro-
gram MSAP Unlam bekerja dengan Sekretariat Daerah Provinsi
Kalimantan Selatan. Banjarmasin.
Santosa, S, 2004. Dinamika Kelompok. Bumi Aksara, Jakarta.
Sinungan, M. 1987. Dasar-Dasar dan Teknik Managemen Kredit. Bina
Aksara. Jakarta.
Sterrs, Richard. M., 1985. Efektifitas Organisasi: Kaidah Prilaku.
Erlangga, Jakarta.
Subarsono, 2005. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan Aplikasi.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sulistiyani, Ambar, Teguh, 2004. Kemitraan dan Model-Model
Pemberdayaan. Gava Media, Yogyakarta.
Sumodiningrat, Gunawan, 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan JPS.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suparjan & Hempri Suyatno, 2003. Pengembangan Masyarakat
Pembangunan Sampai Pemberdayaan. Aditya Media,
Yogyakarta.
Suyanto, Bagong, 1996. Perangkap Kemiskinan, Problema dan Strategi
Pengentasannya dalam Pengembangan Desa. Aditya Media,
Yogyakarta.
191FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Thoha Mitfah, 1989. Pembinaan Organisasi: Proses Diagnosa dan
Intervensi. Rajawali Press, Jakarta
Tjokrowinoto, Moeljarto, 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Todaro, 1999. Pembangunan Dunia Ketiga. Erlangga. Jakarta
Usman, Sunyoto, 2003. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wahyu. 2005. Perubahan Sosial dan Pembungunan. PT Hecca Mitra
Utama, Jakarta.
Wibawa, Samudra, dkk, 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Widodo, 2006. Analisis Kebijakan Publik. Bayumedia Publishing,
Malang.
192 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011