82
STRATEGI PEMERINTAH TUVALU MENGENAI PERUBAHAN IKLIM DUNIA (STUDI KASUS: SEA LEVEL RISE) (Skripsi) Oleh DESI OKTAVIA JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

STRATEGI PEMERINTAH TUVALU MENGENAI PERUBAHAN IKLIM DUNIA ...digilib.unila.ac.id/54501/3/SKRIPSI TANPA BAB PEMBAHASAN.pdf · dimulai dari Taman Kanak-Kanak Islam di Kotagung, Tanggamus,

Embed Size (px)

Citation preview

STRATEGI PEMERINTAH TUVALU MENGENAI

PERUBAHAN IKLIM DUNIA

(STUDI KASUS: SEA LEVEL RISE)

(Skripsi)

Oleh

DESI OKTAVIA

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

ABSTRAK

STRATEGI PEMERINTAH TUVALU MENGENAI PERUBAHAN

IKLIM DUNIA

(STUDI CASE: SEA-LEVEL RISE)

By

DESI OKTAVIA

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui strategi pemerintah Tuvalu

mengenai perubahan iklim dunia dengan studi kasus kenaikan permukaan laut.

Metode penelitian skripsi ini menggunakan deskriptif kualitatif. Teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan telaah

pustaka dan studi dokumentasi kemudian analisis data dilakukan dengan

menjelaskan permasalahan berdasarkan data yang diperoleh lalu mengaitkannya

dengan teori dan konsep yang digunakan yaitu teori Enviromental Diplomacy dan

teori rezim lingkungan serta konsep perubahan iklim, dan sea-level rise. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa Strategi Tuvalu untuk menangani isu kenaikan

permukaan laut adalah ikut serta dalam forum internasional Converence of Parties

(COP). Pada forum tersebut, Tuvalu membawa kepentingan nasionalnya untuk

membuat negara industri meratifikasi protokol perubahan iklim dan bersama

dengan United Nation Development Programme, Tuvalu melakukan negosiasi

iklim untuk membentuk sebuah proyek adaptasi pesisir dengan melibatkan

beberapa organisasi kawasan seperti Small Island Development States (SIDS) dan

Alliance of Small Island States (AOSIS) untuk bekerja sama membantu Tuvalu

dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Sedangkan, strategi untuk

menangani krisis air Tuvalu mengembangkan sebuah kebijakan dalam negeri

yaitu Water and Sanitation Policy (2012-2021). Dalam pelaksanaan strategi

tersebut, Tuvalu mendapatkan bantuan dari Australia, New Zealand dan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Kata kunci: Perubahan iklim, kenaikan permukan laut Tuvalu, krisis air Tuvalu

ABSTRACT

TUVALU GOVERNMENT’S STRATEGY ON GLOBAL

CLIMATE CHANGE

(STUDY CASE: SEA-LEVEL RISE)

By

DESI OKTAVIA

The research question on this research is how the Tuvalu government's

strategy on climate change with sea level rise’s case study. This method is using

qualitative descriptive. Techniques data collection is used in this study using

literature review and documentation studies and then explain the problem based

on the data obtain then with using theory of environmental diplomacy,

environmental regime theory as well the concept of climate change, and sea-level

rise. The results showed that Tuvalu's strategy to deal with the issue of sea level

rise was to participate in the international Conference of Parties (COP) forum. At

the forum, Tuvalu bringing national interests to allow industrial countries to ratify

the climate change protocol and with the United Nations Development Program,

Tuvalu do climate negotiations to establish an adaptation project of coastal

involving several regional organizations such as SIDS and OASIS to work

together to help Tuvalu in the confront impact of climate change. Meanwhile, a

strategy to deal with the water crisis, Tuvalu develops a domestic policy called

Water and Sanitation Policy (2012-2021). In implementing this strategy, Tuvalu

receives International Aid from Australia, New Zealand and the

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Keywords: Climate Change, Tuvalu’s Sea level Rise, Tuvalu’s Water Security.

STRATEGI PEMERINTAH TUVALU MENGENAI PERUBAHAN

IKLIM DUNIA

(STUDI KASUS: SEA LEVEL RISE)

Oleh

DESI OKTAVIA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pada

Jurusan Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2018

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis Desi Oktavia. Lahir di Gisting,

Tanggamus, Lampung pada tanggal 19 April 1995

sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, buah hati dari

pasangan Almarhum Bapak Marsis Haditoro dan Ibu Siti

Marhamah.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis

dimulai dari Taman Kanak-Kanak Islam di Kotagung, Tanggamus, kemudian ke

jenjang Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Pasar Madang pada tahun 2001 dan lulus di

tahun 2007. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP

Negeri 1 Kotagung pada tahun 2007 dan lulus di tahun 2010. Selanjutnya pada

tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kotagung pada tahun 2010 dan

lulus di tahun 2013.

Penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi dengan terdaftar sebagai

mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas lampung pada tahun 2013 melalui jalur masuk Seleksi Bersama

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Penulis telah menyelesaikan KKN

Tematik di Desa Talangrejo Kecamatan Kotagung Timur Kabupaten Tanggamus

pada tahun 2016. Penulis menyelesaikan magang di Dinas Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung pada tahun 2016.

MOTTO

“Tidak ada yang bisa kau dapatkan tanpa berusaha”

(Desi Oktavia, 2018)

“Once of your life, try something. Work hard at something. Try to

change. Nothing bad can happen”

(Jack Ma)

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karya sederhana ini untuk

Kedua orangtuaku tercinta,

Alm. Bapak Marsis Haditoro dan Ibu Siti Marhamah

Sebagai bentuk cinta kasih dan baktiku

Kakak-adikku tersayang,

Harry Chandra, Dewi Septinia Putri dan Devi Handayani

Keluarga Besar Mbah (Alm.) Sohirin,

atas semua dukungan,doa dan kasih sayang yang diberikan kepadaku

Serta, Almamater tercinta

Universitas Lampung

SANWACANA

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Strategi Kebijakan Pemerintah Tuvalu Mengenai

Perubahan Iklim Dunia (Studi Kasus Sea Level Rise)” ini. Shalawat serta

salam penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan

syafaatnya di hari akhir nanti.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan

memperoleh gelar Sarjana Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Lampung. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih

jauh dari sempurna sebagai bentuk keterbatasan kemampuan dan motivasi untuk

terus belajar ke depannya. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca dan perkembangan penelitian dalam kajian ilmu sosial dan ilmu politik

khususnya ilmu hubungan internasional.

Pada kesempatan ini, penulis menympaikan terima kasih kepada pihak-ihak yang

telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Bapak Dr. Syarief Makhya, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas lampung.

2. Bapak Drs. Aman Toto Dwijono, M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu

Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Lampung.

3. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Akademik

dan Dosen Pembimbing Utama Skripsi yang selalu meluangkan waktu

untuk membimbing, memberikan kritik dan saran serta motivasi sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak hasbi Sidik, M.A., selaku Dosen Pembimbing Kedua Skripsi yang

telah meluangkan waktu untuk membantu, membimbing, mengarahkan,

memberikan kritik dan saran serta motivasi sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Dr. Pitojo Budiono, M.Si., selaku Dosen Pembahas/penguji yang

telah memberikan kritik dan saran yang sangat berguna dalam penyusunan

skripsi ini.

6. Seluruh jajaran dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas

Lampung, Ibu Dwi, Mas gara, Mba Gigi, Mas Hasbi, Mas Tyo, Mba Tiwi,

Mba Gita Dj, Mba Pipit, Mbak Tety, Mas Indra, Mas Fredrik, atas

dukungan dan pembelajaran selama menempuh perkuliahan.

7. Staf Jurusan Hubungan Internasional Universitas Lampung, Mba Febri

dan Mba Ata yang telah membantu dan mempermudah dalam proses

administrasi selama perkuliahan.

8. Kedua orangtuaku, Ayahhandaku Alm. Marsis Haditoro dan Ibundaku Siti

Marhamah atas semua kasih sayang, doa, ridho, dukungan dan materi yang

selama ini berikan. Terimakasih telah bekerja keras untuk menjadikan

Desi sebagai anak yang berpendidikan. Semoga bapak dan ibu selalu

diberkahi rahmat dan senantiasa dalam perlindungan Allah SWT serta

cinta dan kasih-Nya.

9. Kakak dan adikku, Harry Chandra, Dewi Septinia Putri, dan Devi

Handayani yang telah memberikan dukungan moral dan semangat untuk

segera menyelesaikan pendidikan S1 ini. Semoga kita semua selalu

diberikan jalan untuk menggapai cita-cita dan menjadi kebanggan kedua

orang tua.

10. Sahabat perkuliahan Muhammad Suprani, Antonius Yudi, Venti Nurbaiti,

Widia Ningsih, Hardani Kurniawan, Ana Marlina, Erika Widiastuti,

Rahma Nuharja, Dwi Putri Anggraini, M. Reza Renaldy, Nova Indah

Antonio, dan Limena Haryati.

11. Seluruh teman-teman hubungan internasional angkatan 2013. Semoga kita

semua bisa menggapai mimpi kita masing-masing.

12. Semua pihak yang telah mendoakan dan mendukung penulis dalam bentuk

apapun.

Semoga Allah SWT. membalas segala keikhlasan dan kebaikan dari semua pihak

yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi

ini bisa bermanfaat.. Aamiin.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Bandar Lampung, 17 September 2018

Penulis,

Desi Oktavia

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ......................................................................................... i

DAFTAR GAMBAR ............................................................................ iv

DAFTAR TABEL ................................................................................. v

DAFTAR SINGKATAN ...................................................................... vi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................. 1

B. Rumusan Masalah. ..................................................................... 5

C. Tujuan Penelitian. ...................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian. .................................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu ................................................................. 7

B. Teori dan Konsep. ..................................................................... 18

1. Environmental Diplomacy ................................................. 18

2. Konsep Perubahan Iklim .................................................... 21

3. Teori Rezim Lingkungan .................................................. 24

4. Konsep Sea Level Rise ....................................................... 27

C. Kerangka Pikir .......................................................................... 29

III. METODE PENELITAN

A. Tipe Penelitian ............................................................................ 33

B. Fokus Penelitian .......................................................................... 33

C. Jenis dan Sumber Data ................................................................ 34

D. Teknik Pengumpulan Data .......................................................... 34

E. Teknik Analisis Data. .................................................................. 35

IV. GAMBARAN UMUM

A. Pemerintahan di Tuvalu .............................................................. 37

B. Tuvalu Foreign Relation ............................................................. 39

1. Hubungan Tuvalu dengan Organisasi Internasional. ............ 39

2. Hubungan Tuvalu dengan Negara Lain Dalam Hal

Diplomasi Iklim .................................................................... 43

a. Tuvalu - Australia .......................................................... 43

b. Tuvalu - New Zealand ..................................................... 44

c. Tuvalu – Fizi .................................................................. 44

d. Tuvalu – Perancis ........................................................... 45

e. Tuvalu – Uni Eropa ........................................................ 46

f. Tuvalu – Jepang ............................................................. 46

3. Komoditi Ekspor-Impor ....................................................... 47

4. Kondisi Geografi Tuvalu ...................................................... 49

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Dampak Perubahan Iklim di Tuvalu ........................................... 52

1. Dampak Kenaikan Permukaan Laut di Tuvalu .................... 53

2. Dampak Krisis Air di Tuvalu pada tahun 2011 .................... 59

B. Strategi Pemerintah Tuvalu Dalam Menghadapi Ancaman

Perubahan Iklim Global Pada Isu Kenaikan Permukaan

Laut dan Krisis Air Pada Tahun 2011 ........................................ 63

1. Strategi Tuvalu Dalam Menghadapi Isu Kenaikan

Permukaan Laut .................................................................... 63

a. Negosiasi Iklim Tuvalu di COP ...................................... 63

b. Negosiasi Iklim Tuvalu Bersama UNDP Melalui

Pembentukan Proyek Adaptasi Pesisir Tuvalu .............. 68

2. Strategi Tuvalu Dalam Menghadapi Krisis Air pada

Tahun 2011 .......................................................................... 76

a. Strategi Tuvalu Melalui Kebijakan Dalam Negeri

Water and Sanitation Policy .......................................... 76

b. Bantuan Luar Negeri ...................................................... 97

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ..................................................................................... 101

B. Saran. ........................................................................................... 102

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan Kerangka Pikir ............................................................ ......... 32

2. Bendera Negara Tuvalu ...................................................................... 37

3. Peta Negara Tuvalu ............................................................................. 50

4. Sea level Rise Curves at Tide Gauge Sites Since 1950 ...................... 54

5. Tuvalu Rainfall and Temperature Curves .......................................... 60

6. Tuvalu’s Water Crisis curve in 2011 .................................................. 62

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Daftar Perdana Menteri Tuvalu ........................................................ 38

2. Daftar Perwakilan Tetap Tuvalu untuk PBB ................................... 40

3. Ekspor-Impor Tuvalu ........................................................................ 48

4. Water and Sanitation Risk and Goals ............................................... 80

DAFTAR SINGKATAN

ACP : Africa Caribbean Pacific

AOSIS : Alliance of Small Island State

COP : Conference of Parties

ENSO : El Nino-Southern Oscillation

EU : European Union

GCF : Green Climate Fund

IPCC : Intergovermental Panel of Climate Change

IWRM : Integrated Water Resource Management

JICA : Japan International Cooperation Agency

KTT : Konferensi Tingkat Tinggi

LDCs : Least Development Countries

NAPA : National Adaptation Programme of Action

NASA : National Aeronautics and Space Administration

NBSAP : National Biodiversity Strategy and Action Plan

NSAP : National Strategic Action Plan

NSSD : National Summit Sustainable Development

NZAIDP : New Zealand Aid Programme

PACC : Pasific Adaptation to Climate Change

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

PEC : Pasific Environment Community

PIF : Pasific Island Forum

SDG : Sustainable Development Goals

SIDS : Small Island Development States

SNAP : Strategy National Action Plan

SPREP : Secretariat of the Pasific Regional Environment Programme

TCAP : Tuvalu Coastal Adaptation Project :

UNDP : United Nation Development Programme

UNEP : United Nations Environment Programme

UNFCCC : United Nation Framework Convention on Climate Change

UNPS : United Nation Pasific Strategy

WMO : World Meteorogical Organization

WSP : Water and Sanitation Policy

WRI : World Resource Institute

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan fenomena global yang dalam penyelesaiannya

melibatkan seluruh negara didunia. Fenomena perubahan iklim menjadi isu

keamanan manusia yang mendapat banyak perhatian karena di pandang sebagai

ancaman keberlangsungan hidup manusia. Perubahan iklim merupakan tantangan

ekologi yang memiliki beberapa karakteristik yang diantaranya disebabkan oleh

aktivitas manusia, konsekuensi dari pola produksi dan konsumsi modern lalu

diperparah oleh pertumbuhan populasi manusia. Perubahan iklim merupakan

bahaya yang bersifat global melintasi batas-batas nasional dan mempengaruhi

seluruh manusia.

Isu mengenai pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan

iklim tidak hanya sekedar cuaca yang menjadi panas namun, beberapa jenis

peristiwa cuaca ekstrim yang berkaitan dengan dampak perubahan iklim menjadi

semakin sering dan intens. Tidak hanya cuaca ekstrim juga termasuk periode

panas yang berkepanjangan, hujan deras, dibeberapa wilayah, banjir dan

kekeringan. Selain itu, pemanasan menyebabkan permukaan laut naik dan gletser

es laut di Arktik mencair. Lautan menjadi lebih asam karena menyerap karbon

dioksida dari atmosfer, dan perubahan iklim berdampak pada keanekaragaman

hayati dan mengganggu ekosistem.

2

Dilihat dari rentetan dampak perubahan iklim, ada beberapa pendapat

tersendiri mengenai definisi dari perubahan iklim. Menurut United Nation

Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) perubahan iklim

merupakan fenomena yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung

oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga

variablitas iklim alami selama periode waktu tertentu (United Nation Framework

on Climate Change, 1992). Sementara Intergovermental Panel on Climate

Change (IPCC) menilai perubahan iklim merupakan proses alam internal maupun

eksternal atau akibat aktivitas manusia yang secara terus menerus merubah

komposisi atmosfer dan tata guna lahan. Sumber :

https://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/mains1.html (Diakses pada

10 Febuari 2017)

Perubahan iklim membawa banyak dampak negatif dan salah satu dampak

yang menjadi perhatian khusus adalah kenaikan permukaan laut. Dikatakan

khusus karena meskipun banyak negara mengalami dampak perubahan iklim,

namun tidak dengan kenaikan permukaan laut. Sumber : (National Geographic,

2015). Kenaikan permukaan laut terjadi ketika temperatur global terus meningkat,

es di daerah kutub dan gletser akan mencair, membuang banyak air tambahan ke

lautan. Faktor-faktor ini akan menyebabkan permukaan laut meningkat.

Meskipun banjir adalah konsekuensi nyata dari naiknya permukaan laut, ada

beberapa efek lain yang perlu dipertimbangkan (Harvey, 2015) yaitu:

a. Pencemaran air bersih,

b. Mengganggu proses pertanian,

3

c. Mengubah tanaman pesisir,

d. Mengancam populasi satwa liar, dan

e. Merugikan perekonomian suatu negara

Kelima efek tersebut terjadi di Tuvalu yang merupakan salah satu negara

yang terkena dampak perubahan dari pemanasan global. Tuvalu merupakan

negara yang berada di Pasifik Barat yang secara geografis memiliki kemungkinan

resiko bencana akibat perubahan iklim cukup besar dibandingkan negara lain.

Tuvalu memiliki luas wilayah sekitar 26 km2

dan memiliki titik tertinggi sekitar

15 kaki membuat Tuvalu sangat rentan terhadap salah satu dampak perubahan

iklim yaitu kenaikan permukaan laut.

Tuvalu menjadi sorotan dunia ketika negara ini membahas mengenai bukti

perubahan iklim pada pertemuan di forum Internasional yaitu Tuvalu Demands

Tougher Deal at Copenhagen COP15 Climate Talks Negosiasi di KTT iklim PBB

di Copenhagen yang dipimpin oleh Tuvalu pada tahun 2009 (Tuvalu News,

2009). Pada pertemuan itu, Tuvalu memaparkan kondisi negaranya yang sedang

menghadapi kondisi krisis karena dampak perubahan iklim serta dan memberikan

pendapat dan saran dari negara-negara kecil lainnya untuk membuat protokol

yang lebih mengikat guna mengurangi dampak perubahan iklim.

Dampak dari kenaikan permukaan laut bahkan telah sampai mengganggu

kedaulatan Negara Tuvalu karena akibat dampak tersebut beberapa pulau di

Tuvalu tenggelam. Savilivili adalah satu dari delapan pulau di Tuvalu telah

tenggelam pada tahun 1997 (Aung, 2009). Hal yang sama mengancam Tuvalu

secara keseluruhan. Pasalnya, titik tertinggi wilayah ini hanya setinggi 4.6 meter

4

(15 kaki). Pada wilayah ini, air laut naik sekitar 40 mm setiap tahunnya, jika hal

yang demikian terus terjadi, maka dalam beberapa puluh tahun lagi Tuvalu akan

hilang dari permukaan bumi. Bahkan jika air laut naik dua kali lipat atau sekitar

80 mm setiap tahunnya, maka Tuvalu diprediksi akan hilang pada tahun 2060.

Sumber:https://medialingkungan.com/index.php/news/internasional/efek-

pemanasan-global-negara-tuvalu-terancam-hilang (Di akses pada 20 Januari

2017).

Panapasi Nelesone, Sekretaris Pemerintahan Tuvalu mengungkapkan

keadaan negaranya pada dunia yang ditulis di buku “High Tide: The Truth about

Our Climate Crisis” oleh Mark Lynas (2004). Dalam buku tersebut dijelaskan

bahwa Tuvalu sedang bersiap menuju akhir peradaban. Pemerintah tidak hanya

berpangku tangan pada keadaan ini. Dampak-dampak lain bahkan telah dialami

oleh penduduk Tuvalu jauh sebelum tahun tersebut datang di mana isu tersebut

terkait dengan perubahan iklim, masalah air, masalah kesehatan dan masalah

makanan.

Kenaikan air laut telah meresap sampai ke dalam air tanah membuat air di

Tuvalu menjadi semakin asin untuk diminum. Hal tersebut berdampak kepada

kegagalan hasil panen, seperti tanaman Pulaka, yaitu makanan pokok rakyat

Tuvalu yang jarang bisa ditanam lagi karena tidak bisa hidup di tanah dengan

kadar air yang tinggi. Selain itu juga banyak tanaman yang mati sehingga

membuat masyarakat Tuvalu terpaksa untuk impor makanan dari Selandia Baru

atau Australia. Sumber : http://www.tuvaluislands.com/news/archives/2011/2011-

04-08.html (Di akses pada 10 Febuari 2017). Berdasarkan perubahan iklim

5

tersebut, maka pemerintah Tuvalu membuat berbagai macam langkah dalam

menghadapi perubahan Iklim. Langkah tersebut berupa pembuatan strategi

kebijakan untuk menangani masalah dampak perubahan iklim khususnya

kenaikan permukaan laut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengambil

sebuah rumusan masalah, yaitu “Bagaimana Strategi Pemerintah Tuvalu dalam

Menghadapi Perubahan Iklim global dalam isu kenaikan permukaan laut dan

krisis air pada tahun 2011?”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka penulis menetapkan tujuan dari

penulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana strategi yang diambil oleh

Pemerintah Tuvalu dalam menangani ancaman perubahan iklim dalam isu

kenaikan permukaan laut dan krisis air yang terjadi pada tahun 2011.

D. Kegunaan Penelitian

1. Secara Teoritis:

a. Turut mengembangkan teori-teori Hubungan Internasional khusus

nya teori-teori yang berkaitan dengan diplomasi dan perubahan

iklim

b. Diharapkan penelitian ini dapat ikut berkontribusi dalam

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu

6

Hubungan Internasional khususnya kebijakan luar negeri dan

perubahan iklim dunia.

2. Secara Praktis

a. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan untuk terutama

Pemerintah Tuvalu dalam mengatasi masalah perubahan iklim.

b. Diharapkan penelitian ini dapat berguna untuk kalangan mahasiswa

Hubungan Internasional maupun untuk kalangan umum.

c. Diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian-penelitian

terdahulu terkait kebijakan pemerintah Tuvalu dalam kasus

dampak perubahan iklim.

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai isu perubahan iklim telah banyak dilakukan.

Penelitian terdahulu yang telah dilakukan berada pada tema yang sama, yaitu

berkaitan dengan efek nyata perubahan iklim global dan kenaikan permukaan laut

di Tuvalu. Pada bagian ini, peneliti berupaya memaparkan ulang kelima sumber.

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Laura Kati Corlew, East-West

Center Sharon M. Johnson-Hakim, dan komunitas SCRA Mini-Grant Team terkait

dengan isu perubahan iklim di Tuvalu berjudul Community and Cultural

Responsivity: Climate Change Research in Tuvalu yang dipublikasikan oleh

Community Psychology Practice yang membahas mengenai dampak budaya yang

timbul akibat perubahan iklim di Tuvalu. Perubahan iklim yang terjadi di Tuvalu

bukan hanya menjadi pembahasan dalam ilmu fisika melainkan juga dalam ilmu

sosial. Cuaca dan iklim secara langsung dapat mempengaruhi sistem sosial dan

kesejaterahan masyarakat. Akibatnya perubahan iklim yang terjadi, banyak

negara-negara dikepualauan pasifik mengalami kekeringan serta peningkatan

fenomena badai. Hujan lebat dan badai menganggu musim kemarau yang

dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menanam tanaman pangan (Corlew, et al,

No.3, Oktober 2013:3).

8

Hal ini bukan hanya menjadi permasalahan utama dalam perubahan iklim,

kenaikan permukaan laut juga menjadikan Negara Tuvalu krisis air bersih yang

tentunya mengganggu stabilitas kehidupan masyarakat Tuvalu. Kenaikan

permukaan laut membuat air di Tuvalu menjadi asin. Hal inilah yang membuat

krisis air menjadi masalah yang cukup besar karena menyangkut hal air minum,

tanaman pangan dan ternak serta ekosistem pulau di mana negara-negara

kepualuan pasifik bergantung untuk bertahan hidup (Bender, 2013). Seringnya

terjadi badai atau bencana alam lainnya mengancam struktur sosial dan kegiatan

masyarakat sehari-hari. Waktu dan sumber daya yang seharusnya bisa lebih

dikhususkan untuk kesejaterahan dan kehidupan sehari-hari kini justru dilakukan

untuk pemulihan serta bertahan hidup.

Pemerintah Tuvalu menegaskan bahwa migrasi bukan jawaban untuk

menyelesaikan permasalah perubahan iklim dan lebih kepada menekan negara-

negara maju untuk mengurangi emisi gas dalam beberapa dekade mendatang.

Imigrasi dipandang sebagai jalan untuk mengurangi tekanana pda negara maju.

Jika kebijakan imigrasi dilakukan maka tidak ada insentif untuk menyelamatkan

pulau-pulau Tuvalu. Pemerintah Tuvalu bermaksuud untuk mengejar tindakan

pengurangan emisi gas. Oleh karena itu, penelitian dari komunitas Minigrand

tersebut memposisikan penelitian kepada prespektif sosial bahwa masyarakat

Tuvalu tetap dapat tinggal di Tuvalu dan imigrasi tidak dianggap jalan terbaik

atau pilihan yang tersedia untuk Tuvalu.

Kedua, penelitian ini dilakukan oleh Elaine Stratford, Carol Farbotko dan

Heather Lazrus berjudul Tuvalu, Sovereignty and Climate Change: Considering

9

Fenua, the Archipelago and Emigration yang dipublikasikan oleh Island Study

Journal membahas mengenai kedaulatan, Nation-State dan imigrasi. Tuvalu

menjadi negara yang relatif baru yang telah mencapai kestabilan ekonomi dan

sosial yang cukup pesat namun, kini dihadapkan kepada dampak perubahan iklim

seperti food and water security yang mengancam wilayah teritoralnya (Stratford,

Farbotko & Lazrus, Island Studies Journal, No.1, 2013: 68). Berbagai prediksi

pun bermunculan mengenai tenggelamnya negara ini dan menjadi beban tersendiri

yang harus dihadapi oleh masyarakat Tuvalu.

Selama dekade terakhir, Tuvalu bersikap tegas terhadap beberapa krisis

yang saling terkait mengenai perubahan iklim, kenaikan permukaan laut dan

prospek yang menghubungkan imigrasi paksa dan pemukiman kembali serta

hilangnya kedaulatan akibat hilangnya wilayah. Fokus internasional pada Tuvalu

dan negara-negara kepulauan lainnya dalam menghadapi perubahan iklim telah

intens seperti perhatian tentang hilangnya beberapa tempat dan nilai guna

masyarakat dianggap tidak terlalu membantu karena peningkatan emisi gas.

Pada pasal satu konvensi Montevidio tahun 1933 menetapkan bahwa

negara menurut Hukum Internasional harus memiliki kualifikasi yaitu memiliki

populasi, wilayah yang sah, pemerintah dan kemampuan Negara tersebut untuk

berinteraksi dengan Negara lain (United Nation, 1993) maka, ketika wilayah

terdiri dari totalitas Negara-bangsa hilang maka, kedaulatan dan identitas negara

tersebut tentu dipertanyakan. Pertanyaan seperti ini telah diajukan oleh banyak

orang termaksud masyarakat Tuvalu yang sadar akan keberadaan dan tujuan yang

berbeda serta spesifik hak yang berdaulat atas zona ekonomi eksklusif, landas

10

kontinental dan menyadari upaya pada bagian dari organisasi yang disebut The

Seastading Institude. Tuvalu menghadapi banyak kendala di negara mereka akibat

Negara-negara maju lainnya yang lebih berorientasi pada ekonomi ketimbang

kepentingan politik dan tidak memberikan intensif untuk pengurangan emisi gas

atau bentuk extentionism moral yang sangat dibutuhkan.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Rana Blesh berjudul Submerging

Islands: Tuvalu and Kiribati as Case Studies Illustrating the Need for a Climate

Refugee Treaty yang dipublikasikan oleh Scholary Commons membahas

mengenai adaptasi dan pemberian hak serta perlindungan untuk pengungsi iklim

akibat perubahan iklim di negara Tuvalu dan Kiribati. Tuvalu dan Kiribati

merupakan Negara yang terpengaruh oleh perubahan iklim yang membuat

masyarakatnya harus menghadapi adaptasi untuk mengatasi efek dari perubahan

iklim.

Masyarakat Tuvalu sangat terhubung dengan tanah mereka. Tanah Tuvalu

tidak hanya mewakili tempat tinggal namun juga identitas. Adanya dampak

perubahan iklim mengganggu sistem masyarakat Tuvalu dengan tanah mereka.

Perubahan iklim tidak hanya membuat masyarakat kehilangan wilayah tetapi juga

identitas budaya dan sosial. Tuvalu berkontribusi sangat sedikit terhadap

peningkatan emisi gas namun menerima dampak sangat besar.

Tuvalu sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim. Kenaikan permukaan

laut menjadi masalah serius yang menyebabkan kerusakan besar pada kebanyakan

bangunan di Tuvalu. Selain itu, kenaikan permukaan laut menyebabkan

terkontaminasinya air tawar didalam tanah dan menyebabkan kekeringan yang

11

berakibat kepada pembatasan suplay air di Tuvalu. Kerusakan garis pantai

menyebabkan hilangnya lahan pertanian yang berakibat pula kepada hilangnya

pendapatan. Pertanian dibagian dalam pulau telah terpengaruh secara negatif

karena tingginya kadar garam ditanah. Selain itu, terdapat kekhawatiran mengenai

perkembangan penyakit yang akan diderita oleh masyarakat Tuvalu dan

peningkatan perkembangan penyakit akibat kurangnya persediaan air minum

serta produksi pangan yang memadai.

Pada tahun 2002, Tuvalu mengumumkan mengenai pertimbangan untuk

menggugat Amerika dan Australia ke Mahkamah Internasional atas dampak

negatif dari perubahan iklim dan menyatakan bahwa kedua negara tersebut adalah

negara paling bertanggung jawab atas meningkatnya emisi gas yang berkontribusi

terhadap perubahan iklim. Namun Tuvalu mengalami kesulitan untuk menuntas

masalah ini dikarenakan Amerika belum menerima yuridiksi wajib dibawah

Mahkamah Internasional. Tuvalu mengalami masalah yang rumit untuk membawa

gugatan Amerika dan Australia didepan Mahkamah Internasional. Sumber:

http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/1854118.stm (Diakses pada 20 Oktober

2018)

Dalam menghadapi perubahan iklim, Pemerintah Tuvalu mengadakan

kebiajakan adaptasi. Proses adaptasi sendiri merupakan proses terkait masalah

lingkungan dan mengacu pada kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri

terhadap suatu perubahan. Langkah langkah adaptasi, yaitu dengan mencipkatan

cara baru untuk menanam dan memanen tanaman pangan, penyimpanan air,

relokasi dan mengubah kebijakan pemerintah tentang perubahan iklim. Sumber :

12

https://www.epa.gov/arc-x/strategies-climate-change-adaptation (Diakses pada 29

Juli 2018). Jika masayarakat yang masih tinggal di negaranya harus melakukan

adaptasi, beda hal yang harus dihadapi oleh pengungsi iklim. Pengungsi iklim

(Climate Refugees) merupakan orang-orang yang telah meninggalkan rumah dan

negara mereka akibat efek dari perubahan iklim. Pengungsi iklim sendiri mulai

diakui pada tahun 1987. Pada tahun 2009, ada sekitar 25-30 juta orang terlantar

yang diketahui mereka adalah pengungsi iklim (Atapattu, Wisconsin International

Law Journal, Januari 2017:610-611). Angka ini diperkirakan akan terus

meningkat. sebagian besar masyarakat memilih meninggalkan negaranya karena

daerah mereka memiliki resiko tinggi terendam air laut. Meskipun ada apresiasi

yang cukup besar terhadap pengungsi iklim terjadi namun tidak ada kerangka

hukum yang melindungi para pengungsi iklim. Sayangnya, tidak ada instrument

legal dibawah hukum internasional untuk memberikan hak-hak serta perlindungan

kepada para pengungsi iklim untuk bertahan hidup.

Didalam penelitiannya, Rana Blesh membuat pengadaan kerangka hukum

internasional untuk pengungsi iklim yang berisi soal beberapa perjanjian

mengenai diadakannya kedaulatan serta status untuk para pengungsi iklim.

Pengadaan ini juga ditujukkan untuk UNFCCC sebagai badan resmi PBB karena

sebelumnya seperti yang ada di Perjanjian Genewa, hak serta perlindungan

memang diberikan untuk berbagai jenis pengungsi namun belum pernah

disebutkan untuk para pengungsi iklim (Rana Balesh, Environmental Earth Law

Journal, No.6, 2015: 102-104).

13

Keempat, penelitian yang dilakukan oleh Petra Ďurková, Anna Gromilova,

Barbara Kiss dan Megi Plaku berjudul Climate Refugees in the 21st Century yang

dipublikasikan oleh Regional Academy on the United Nations berisi pemaparan

mengenai efek perubahan iklim Tuvalu dan sikap pemerintah Tuvalu yang enggan

terhadap relokasi. Tuvalu menjadi contoh negara yang sempurna untuk

menggambarkan efek nyata dari perubahan iklim dunia.

Tuvalu berada pada peringkat negara berkembang yang perekonomiannya

bergantung kepada bantuan asing terutama New Zealand, Australia dan Inggris.

Tuvalu merupakan negara yang sepenuhnya berada didaratan rendah yang titik

tertingginya hanya 4,6m diatas permukaan laut dan secara jelas, kenaikan

permukaan laut menjadi perhatian utama penduduk Tuvalu. Selain kenaikan

permukaan laut, fakta lain juga memprihatinkan adalah kekurangan sumber daya

air tawar sehingga masyarakat Tuvalu harus mengandalkan air hujan untuk

pemenuhan kebutuhan utama (Colette & Jon, 2009:105-107).

Bagi negara dengan perekonomian seperti Tuvalu, kehilangan tanah, garis

pantai mundur dan erosi pantai sudah mempengaruhi kondisi pantai. Pada saat

yang sama, kontaminasi air menjadi payau akan mempengaruhi kesehatan

masyarakat seperti meningkatnya penyebaran penyakit. Jika kondisi ini terus

berlanjut, maka akan banyak penduduk Tuvalu yang akan termotivasi untuk

meninggalkan rumah dan negara mereka. Namun, uniknya tidak sedikit dari

penduduk Tuvalu yang enggan meninggalkan rumah mereka. Penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Tuvalu enggan meninggalkan

negaranya dan begitu terikat dengan tanah, keluarga dan budaya Tuvalu

14

disebabkan oleh beberapa faktor salah satunya adalah agama mayoritas yang

dianut. Agama Kristen adalah fitur penting lainnya dari penduduk Tuvalu karena

mayoritas percaya bahwa Tuhan tidak akan membiarkan apapun terjadi pada

Tuvalu (Durkova, Gromilova, Kiss, & Plak, Regional Academy on the United

Nation, 2012:18).

Akibat dampak perubahan iklim, masyarakat Tuvaku terancam menjadi

pengungsi ikim. Hak pengungsi terdapat di dalam undang-undang hukum

internasional namun tidak untuk pengungsi iklim. Sikap PBB yang tidak

menganggap peduduk Tuvalu sebagai pengungsi iklim menjadi permasalahan.

Selain itu, PBB tidak dapat menentukan langkah-langkah mengenai permasalahan

di Tuvalu sehingga menjadikannya tidak efektif. Hal ini menjadi lebih rumit

mengetahui Pemerintah Tuvalu yang menolak relokasi dalam perjanjian

internasional dan lebih memilih mengajak negara-negara maju untuk mengurangi

emisi gas (Jane, International Journal of Refugee Law, 2011:15).

New Zealand membuka sebuah akses untuk penduduk Tuvalu yang ingin

bermigrasi meskipun pada dasarnya, New Zealand tidak memiliki kebijakan

eksplisit untuk menerima orang-orang dari negara kepulauan pasifik yang ingin

pindah karena dampak perubahan iklim. Setiap tahunnya, New Zealand memberi

tujuh puluh lima tempat yang dialokasikan untuk penduduk Tuvalu agar mendapat

kewarganegaraan New Zealand yang disebut Pasific Access Countries (PAC).

Namun proyek ini mendapat banyak kritikan karena syarat yang diajukan oleh

pemerintah New Zealand yaitu adanya batasan usia dari 18 hingga 45 tahun.

15

Syarat tersebut memberatkan masyarakat Tuvalu karena harus meninggalkan yang

berusia masih terlalu muda dan yang sudah tua.

Seperti halnya New Zealand, Australia ikut serta dalam menangani

permasalah pengungsi iklim namun lebih berfokus kepada mitigasi dan pemberian

bantuan finansial serta bernegosiasi pada PBB untuk memastikan adanya

pengakuan yang tepat terhadap pengungsi iklim dalam konvensi yang ada atau

melalui pembentukan konvensi baru tetang pengungsi perubahan iklim.Meskipun

ada upaya dari New Zealand dan Australia untuk ikut menangani masalah

pengungsi iklim Tuvalu, kerangka kerja hukum regional yang berfungsi

menangani masalah tersebut belum ada.

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa dalam menangani kasus Tuvalu,

untuk mengembangkan kebijakan yang efektif, orang-orang harus mengingat

beebrapa faktor. Pertama, adalah suatu hal yang sulit untuk membedakan antara

masyarakat Tuvaku yang memang bermigrasi karena dampak perubahan iklim

atau karena masalah sosial dan ekonomi. kedua, relokasi bagi masyarakat Tuvaku

adalah hal yang tidak dapat dianggap sebagai sebuah pilihan. Masyarakat Tuvalu

terlalu terikat dengan tanah dan budaya serta masyarakat Tuvalu memiliki hak

bangsa untuk tetap tinggal di negaara asalnya. Ketiga, permasalahan mengenai

perubahan iklim tidak hanya dapat dilihat dalam tingkat regional karena fenomena

perubahan iklim terkait dengan seluruh masyarakat dunia yang terancam punah

akibat keengganan negara-negara maju untuk mengurangi emisi gas yang mereka

hasilkan.

16

Kelima, penelitian yang dilakukan oleh Carol Farbotko dan Heather

Lazrus berjudul The First Climate Fefugees? Contesting Global Narratives of

Climate Change in Tuvalu yang dipublikasikan oleh University of Wollongong

Research Online berisi tentang masalah pengungsi iklim (Climate Refugees) dan

migrasi. Perubahan iklim merupakan sebuah fenomena diskursif dan material.

Disebutkan bahwa bagaimana sebuah narasi perubahan iklim dapat

mempengaruhi identifikasi populasi sebagai korban dari perubahan iklim.

Penelitian pada jurnal tersebut ditujukan untuk memahami dampak sepenuhnya

dari perubahan iklim, analisis yang dilakukan yaitu mengintegrasikan prespektif,

nilai-nilai dan pengetahuan dari penduduk itu sendiri bersama dengan perubahan

biofisik yang terjadi.

Perubahan-perubahan yang terjadi di pulau-pulau kecil di pasifik meliputi

kenaikan permukaan laut, erosi pantai, peningkatan kekeringan, pemutihan karang

dan badai, namun masyarakat lokal memiliki penilaian mereka sendiri dalam

mengubah pola ekologi dan iklim seperti pasang surut dan narasi perubahan iklim

dunia. Banyak penduduk Tuvalu yang mulai melakukan adaptasi seiring dengan

semakin banyaknya perubahan yang terjadi di negaranya. Beberapa dari penduduk

Tuvalu sendiri sering melakukan migrasi. Bagi mereka, migrasi merupakan bagian

dari kehidupan sehari-hari penduduk Tuvalu yang perekonomiannya ditandai

dengan ketergantungan pada migrasi, pengiriman uang, bantuan dan birokrasi

(Farbotko & Lazrus, Social & Behavioral Science, 2012:8-9).

Secara konseptual, istilah pengungsi iklim erat kaitannya dengan

pengungsi lingkungan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan

17

orang-orang tang menjalani migrasi secara paksa akibat dampaak perubahan

iklim. Migrasi yang berkaitan dengan perubahan iklim bukan merupakan

fenomena baru. Konsep pengungsi lingkungan pertama kali muncul pada tahun

1970-an bersamaan dengan krisis lingkungan khususnya di Afrika. Istilah

pengungsi iklim secara khusus telah di mobilisasi untuk menggambarkan populasi

yang akan bermigrasi secara permanen atau sementara diakibatkan dampak

perubahan iklim seperti kekeringan, krisis air dan kenaikan permukaan laut.

Terdapat perdebatan luas tentang jumlah pengungsi iklim dan pengunsi

lingkungan, bagaimana para pengungsi mendapat perlindungan dibawah hukum

dan bagaimana perlindungan tersebut dapat ditingkatkan. Kurangnya

perlindungan hukum menjadi masalah yang signifikan.

Tuvalu merupakan negara yang jauh dari ancaman konflik kekerasan,

politik, kemisikinan absolut atau negara dengan kasus pelanggaran HAM seperti

beberapa negara lainnya melainkan Tuvalu menjadi negara yang terancam karena

perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas dari negara-negara

maju. Penduduk Tuvalu berhubungan sangat erat dengan lautan sebagai mata

pencarian namun terganggu karena fenomena kenaikan permukaan laut. Tuvalu

menderita kerugian ekonomi yang sangat tinggi akibat dampak perubahan iklim.

Dari kelima penelitian terdahulu yang disajikan di atas, dapat diketahui

bahwa penelitian terdahulu memiliki pandangan yang sama, yaitu perubahan iklim

yang terjadi di Tuvalu adalah efek nyata yang sedang dialami penduduk di

Tuvalu. Dampak negatif dari perubahan iklim ini mempengaruhi berbagai aspek

dari kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa kemiripan dengan penelitian yang

18

akan dilakukan berdasarkan penelitian sebelumnya, tetapi memiliki perbedaan.

Penelitian yang akan dilakukan pada skripsi ini, yaitu membahas mengenai

beberapa strategi yang dibuat oleh pemerintah Tuvalu dalam menghadaapi

perubahan iklim

B. Teori dan Konsep

1. Environmental Diplomacy

Kerusakan lingkungan telah menghadirkan beberapa negosiasi multilateral

yang ditujukan untuk mengatasi masalah lingkungan global diantaranya Konvensi

Wina tahun 1985 tentang melindungi lapisan ozon, Protokol Montreal tahun 1987

tentang zat-zat yang menguraslLapisan ozon, Konvensi Basel tahun 1989 tentang

pengendalian pergerakan lintas batas limbah berbahaya, Konferensi PBB tahun

1992 tentang lingkungan dan pembangunan, Konvensi Kerangka Kerja PBB tahun

1992 tentang perubahan iklim, Konferensi PBB tahun 1994 tentang pembangunan

berkelanjutanpPulau kecil negara-negara berkembang, Protokol Kyoto tahun 1997

tentang perubahan iklim dan banyak negosiasi antar pemerintah dan kelompok

kerja lainnya tentang hal-hal seperi pengelolaan hutan lestari, sumber daya lahan

dan air, instrumen ekonomi dan bioteknologi. Negosiasi-negosiasi tersebut telah

meluncurkan proses pelaporan dan peninjauan kebijakan nasional dan bukti ilmiah

yang berkelanjutan. Kerangka kerja institusional dibentuk untuk mendukung

negosiasi berkelanjutan yang menilai dan memperbaiki komitmen nasional

dengan mempertimbangkan perubahan pengetahuan dan kondisi. Hal tersebut

dibentuk sebagai sistem tata kelola lingkungan hidup yang terus berubah.

19

Diplomasi lingkungan muncul sebagai jawaban atas semakin maraknya

eksploitasi yang dilakukan manusia yang berdampak terhadap permasalahan

lingkungan yang memicu kekhawatiran dari berbagai aktor akan implikasinya

terhadap skala global termaksud akan berdampak kepada kepentingan politik luar

negeri suatu negara. Diplomasi lingkungan sebagai salah satu cabang baru yang

muncul dalam bidang hubungan diplomatik karena pengaruh munculnya

persoalan lingkungan hidup diangkat menjadi persoalan politik global. Sejak

Deklarasi Stockhlom 1972 dicanangkan maka persoalan lingkungan hidup yang

tadinya bersifat ilmiah kini dimunculkan menjadi persoalan politik dan hubungan

internasional. Prinsip-prinsip dalam deklarasi tersebut banyak memberikan

gambaran bahwa konsep-konsep pembangunan dan lingkungan hidup tidak

terpisah begitu saja. Richard (1998:3) mengungkapkan:

Environmental diplomacy entails some rather unique issues of equity. The

global environmental threats have their historical origins in the untrammeled

production and consumption over the last half-century of a relatively small

number of industrialized nations. These approximately 35 countries have

achieved remarkable levels of economic prosperity. But in the process they

have inflicted great potential damage albeit unintentionally—on the global

commons, through their use of energy, their generation of hazardous wastes

and chemicals, and their huge demand for forest products, beef cattle, fish

supplies, and other natural resources

Pada dasarnya, Richard mengatakan bahwa Diplomasi lingkungan

mensyaratkan beberapa masalah ekuitas yag unik. Ancaman lingkungan memiliki

sejarah yang berkaitan erat dengan negara industri. Negara-negara industri besar

telah telah mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi namun dalam prosesnya

telah menimbulkan kerusakan lingkungan meskipun tidak disengaja.

United Nation Conference on the Human Environment yang diadakan di

Stockholm pada 1972 hadir sebagai sebuah respon terhadap permasalahan

20

lingkungan yang menerpa dunia internasional. Konferensi ini menggambarkan

awal mula seni diplomasi yang membahas tentang lingkungan masuk dalam ranah

internasional. Konferensi tersebut menghasilkan beberapa agenda action

plan dan Declaration of Principlesyang telah disetujui oleh berbagai negara.

Namun, dikarenakan implementasi dari konferensi tersebut kurang bisa dirasakan

manfaatnya dalam perbaikan lingkungan, 20 tahun kemudian diadakan „Earth

Summit Committee’ di Rio de Janeiro 1992 sebagai follow up konferensi

Stockholm yang telah diadakan sebelumnya dan dikenal sebagai KTT bumi.

UNCED menjadi pertemuan kepala negara terbesar yang pernah diadakan pada

saat itu dengan 180 negara berpartisipasi, 188 ditingkat negara, organisasi antar

pemerintah, ribuan pengamat yang mewakili ratusan organisasi non-pemerintahan

dan sumber media dari setiap sudut dunia (Environmental Diplomacy, 1998:4).

Satu dekade sebelum UNCED diadakan, Protokol Ozon menjadi

perjanjian internasional pertama yang mengamanatkan tindakan pencegahan

lingkungan (Environmental Diplomacy, 1998:6). . Perjanjian tersebut dirancang

untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan terhadap ancaman masa

depan yang pada saat itu sebagian besar masih dalam bidang teori ilmiah yang

belum terbukti. Perjanjian Ozon berisi ketentuan yang belum pernah ada

sebelumnya yang secara sigifikan mempengaruhi perundingan dimas depan dan

mewakili perubahan besar dalam diplomasi internasional.

Environtment Diplomacy didefinisikan sebagai kombinasi perangkat dan

pendekatan yang digunakan untuk membantu pihak yang berselisih dalam

menciptakan peluang kerjasama, membangun kepercayaan, dan resolusi konflik

21

yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan dan sumber daya alam bersama. Hal

yang menjadi ciri khas dari diplomasi ini adalah kepentingan dan pemikiran kritis

mengenai sikap-sikap pencegahan, manajemen dan resolusi konflik mengenai

sumber daya alam. Minyak, mineral, kayu, tanah, dan air merupakan kekayaan

alam yang mampu mempertahankan kehidupan dan mata pencaharian masyarakat

di seluruh dunia. Akibatnya, semakin besar kekhawatiran masyarakat dan negara

dalam hal sumberdaya yang berpeluang menciptakan konflik seiring dengan

kelangkaan yang dimilikinya. Globalisasi ekologi yang didorong oleh fakta

mengenai korelasi antar produksi dan konsumsi yang dilakukan antar negara

mengingatkan bahwa setiap kebijakan yang diambil negara akan berpengaruh

pada kelangsungan hidup negara lain.

Tujuan pokok yang dicapai dalam diplomasi lingkungan diantaranya

adalah berupaya untuk mencoba menerapkan hukum lingkungan internasional dan

melanjutkan dengan apa yang telah disepakati. Hukum lingkungan internasional

ini telah memberikan hak dan kewajiban yang menjaga sistem keseimbangan

diantara negara, satuan bukan negara dan masyarakat internasional lainnya.

Karena itu diplomasi lingkungan akan berperan penting dalam sistem politik

internasional.

2. Konsep Perubahan Iklim

Sejak tahun 1970, pemahaman mengenai perubahan iklim mulai berubah

sehingga sebuah jurnal akademik tentang studi perubahan iklim pertama kali

diterbitkan pada tahun 1977 dengan judul Climatic Change. Sebuah penemuan

berkembang bahwa selain alami karena proses alam, berbagai kegiatan manusia

22

mulai dari penggunaan energi memiliki potensi untuk mrngubah fungsi fisik dari

sistem global yang saling berhubungan. Perubahan iklim menjadi masalah yang

sama daruratnya seperti kemiskinan global, hak asasi manusia dan polusi air

sehingga dibentuklah sebuah lembaga internasional baru khusus menangani

masalah perubahan iklim yaitu IPCC dan UNFCCC (Mike Hulme, 2016:1-2)

Pertumbuhan emisi gas yang berasal dari industri dan transportasi

dianggap sebagai ancaman terbesar bagi kelangsungan ekosistem darat dan laut.

Prediksi model bervariasi mengenai jumlah aktual gas rumah kaca yang akan

berinteraksi dengan samudra global. Banyak konsekuensi akibat perubahan iklim

yang diprediksi untuk lautan global diantaranya:

1. Peningkatan radiasi ultraviolet dan suhu air.

2. Perubahan sirkulasi laut karena peningkatan stabilitas vertikal.

3. Melemahnya kutub dan perubahan musim badai, arus permukaan, dan

curah hujan.

4. Turunnya es di kutub dan gletser.

5. Meningkatnya permukaan laut.

Semua perubahan ini akan berdampak pada kehidupan di Bumi. Beberapa

ilmuwan telah memperingatkan bahwa prediksi ini sangat tidak pasti, mengingat

variasi alami yang sangat besar dari iklim bumi. Dampak perubahan iklim pun

menyebar pada beberapa ekosistem tertentu, seperti hutan bakau dan terumbu

karang (Alongi, 1998: 353-356).

Perubahan iklim global antropogenik (disebabkan oleh manusia) menjadi

isu lingkungan yang penting. Manusia memiliki kemungkinan untuk mengubah

23

iklim dunia. sebelumnya, fakta ini telah dibicarakan oleh Svante Arhenius yang

menerima penghargaan Nobel pada tahun 1895 karena karyanya dibidang kimia.

Arhenius meramalkan bahwa karbondioksida yang dilepaskan melalui

pembakararan batu bara dapat menyebabkan pemanasan global. Meskipun

ramalan Arhenius lebih kepada kemungkina kecil namun faktanya perubahan

iklim benar terjadi dengan perhitungan yang sangat tinggi. hal tersebut dapat

dibuktikan melalui fakta bahwa aktivitas manusia yang meningkatkan karbon

dioksida di atmosfer berasal dari sebuah observatorium diatas gunung berapi

Mauna Loa di hawaii. Observatorium ini didirikan pada tahun 1957 sebagai

bagian dari International Geophysical Year dan digunakan untuk menyediakan

data tentang kimia udara di lingkungan yang terpencil dan murni. Pengukuran

menunjukkan bahwa karbon dioksida meningkat sekitar 0,5 persen per tahun,

meningkat dari 315 ppm pada tahun 1958 menjadi 372 ppm pada tahun 2002

(William & Marry 2004: 203-204).

Selain itu, perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia memberikan

efek mulai dari periode kekeringan yang berkepanjangan hingga intensitas badai

salju dan perubahan cuaca yang ekstrim. Efek perubahan iklim tidak hanya

mempengaruhi kehidupan manusia namun pemanasan suhu lautan meningkatkan

frekuensi pemutihan terumbu karang, cuaca yang panas dan kering menyebabkan

hutan di beberapa wilayah rentan terhadap kebakaran serta terganggunya habitat

satwa liar. Ekonomi dan sosial politik ikut terpengaruh oleh efek perubahan iklim

yang dapat meningkatkan terjadinya kemungkinan konflik militer. Sumber:

https://www.wired.co.uk/article/what-is-climate-change-definition-causes-effects

(Diakses pada 17 Oktober 2018)

24

Selama tiga dekade terakhir, komunitas internasional semakin menyadari

bahwa perubahan iklim membawa dampak yang sangat serius bagi bumi. Pada

tahun 1992 setelah KTT Rio De Jeneiro, 196 negara anggota UNFCCC

meratifikasi sebuah komitmen untuk membangun inventarisasi gas rumah kaca

serta program adaptasi dan mitigasi nasional. Para negara COP terikat untuk

mendukung penelitian ilmiah, transfer teknologi dan peningkatan kesadaran.

Selanjutnya pada tahun 1997 pada forum COP 3 protokol Kyoto pertama kali

diadaptasi dan berisi komitmen pengurangan emisi gas yang mengikat bagi

snegara-negara maju. Pada tahun 2009, pada kesempatan KTT Kopenhagen

komitmen pertama untuk pembiayaan iklim dibuat. Kontribusi negara-negara

maju ditetapkan sebesar 30 miliar dolar untuk periode 2010-2012. Pada tahun

2012 di Doha, beberapa negara memutuskan untuk memperpanjang Protokol

Kyoto dari 2013 hingga 2020 namun Kanada, Jepang dan Rusia menarik diri dari

Protokol Kyoto. Cop 21 di Paris mengasilkan Paris Agreement sebagai pengganti

protokol Kyoto yang dianggap lebih mengikat dan diadopsi oleh oleh 195 negara.

Perjanjian ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam perang melawan

perubahan iklim bertujuan untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global ke

bawah 2 ° C di atas tingkat pra-industri dan untuk mengejar upaya untuk

membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 ° C (TBC, 2017: 6-8).

3. Teori Rezim Lingkungan

Rezim internasional merupakan sebuah bentuk kerjasama internasional

yang fleksibel tidak hanya membahas mengenai kerjasama antar negara terkait isu

politik dan ekonomi melainkan isu-isu mengenai kemanusiaan dan lingkungan.

25

Efektifitas rezim internasional yang membahas mengenai lingkungan merupakan

suatu bentuk responsif dari pembangunan era globalisasi yang tidak diimbangi

dengan pemberdayaan lingkungan hidup secara konferhensif. Rezim lingkungan

dapat secara efektif mengelola kepentingan-kepentingan yang menyangkut

lingkungan hidup secara global.

Stephen Krasner mengungkapkan bahwa rezim internasional merupakan

seperangkat norma, prinsip, aturan dan prosedur pengambilan keputusan dimana

harapan aktor-aktor bertemu di sebuah area dalam hubungan internasional

(Haggard & Simmons, 1987:493). Rezim lingkungan dapat didefinisikan sebagai

sebuah rezim yang mengatur dan membahas tentang lingkungan pada lingkup

internasional. Secara garis besar, rezim lingkungan muncul dikarena perubahan

alam yang signifikan dan menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya. Negara

merasa membutuhkan suatu rezim lingkungan untuk mengatasi isu tersebut

(Sabenius, 1991:110-112)

Rezim lingkungan muncul karena aktivitas manusia. Aktifitas tersebut

meliputi aktivitas industri yang menyumbang polusi dan limbah, aktivitas

pengundulan hutan serta sumber daya alam lainnya yang menyebabkan naiknya

suhu permukaan bumi. Kenaikan suhu permukaan bumi mengakibatkan rusaknya

lapisan ozon yang berpengaruh besar terhadap terjadinya perubahan iklim dan

masalah lingkungan. Faktor-faktor tersebut menyebabkan adanya perubahan

terhadap alam yang signifikan sehingga membuah negara-negara memerlukan

adanya sebuah pengaturan untuk mengatasi perubahan tersebut.

26

Awalnya, tidak ada rezim internasional yang ditujukan untuk menangani

perubahan iklim melainkan hanya untuk negosiasi mengenai perjanjian untuk

membatasi aktivitas gas rumah kaca sehingga membentuk a new institutional

bargain dalam isu area tertentu. Pada Desember 1998, dimulailah sebuah usaha

diplomasi mengenai permasalahn lingkungan. Permasalahan ini dibicarakan oleh

Duta Besar PBB dengan mengadopsi framework convention yang telah ada

sebelumnya mengenai perubahan iklim. United Nations Enviromental Program

(UNEP) dan World Meteorological Organization (WMO) menyusun The

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk menjalankan tinjauan

area yang meliputi pembuatan rekomendasi.

Upaya untuk mencegah dampak perubahan iklim didukung oleh adanya

perjanjian internasional, pemerintah domestik dan lembaga terkait masalah

perubahan iklim serta jaringan internasional. UNFCCC merupakan salah satu

rezim lingkungan yang ada. UNFCCC merupaka hasil dari proses panjang tawar

menawar global dan nasional yang dimulai pada tahun 1980-an oleh badan-badan

peneliti yang berbasis di maerika Serikat. UNFCCC awalnya dibentuk untuk

melindungi tenaga nuklir dari serangan lingkungan pada tahun 1970-an. UNFCCC

disusun oleh beberapa jaringan dari pakar internasional yang bekerja untuk

sejumlah kecil pemerintah. UNFCCC merupakan rezim yang secara efektif

mengkodifikasikan penelitian dan oengumpulan data dari "Komunitas ilmiah

internasional" dibawah bimbingan birokrasin antar pemerintah tertentu yang pada

gilirannya bertanggung jawab untuk pengumpulkan dana penelitian dan

perencanaan masa depan global. Tujuan UNFCCC tetap pada stabilisasi

konsentrasi gas rumah kaca (Handmer,Norton & Dovers, 2001: 117)

27

Pemahaman mengenai perilaku ekosistem perlu ditingkatkan sebelum

kesepakatan mengenai pengurangan emisi gas dapat dicapai. Untuk itu, ada

banyak proses yang harus dilalui untuk mendapat kesepakatan dalam

pemgurangan emisi. Dibawah UNFCCC, rencana pengurangan dan mitigasi harus

disusun untuk:

“formulate, implement, publish and regularly update national and, where

appropriate, regional programs with measures to mitigate climate change by

addressing anthropogenic emissions by sources and removals by sinks of all

greenhouses. . and measures to facilitate adequate adaption to climate

change; and promote and co-operate in the development, application and

diffusion, including transfers, of technologies, control processes and

processes, reduce or prevent anthropogenic emissions”

Sejalan dengan UNFCCC, rencana pengurangan emisi dan mitigasi disusun untuk

merumuskan, melaksanakan, mempublikasikan dan memperbaruinya secara

teratur dalam lingkup nasional. Jika sesuai, maka program nasional dapat berisi

langkah-langkah untuk mengurangi dampak resiko perubahan iklim dan

mengatasi emisi antropogenik (emisi yang dihasilkan dari aktifitas manusia) dan

langkah-langkah dalam memfasilitasi program adaptasi harus memadai terhadap

perubahan iklim seperti mempromosikan dan bekerja sama dalam pengembangan,

penerapan dan difusi termaksud dana, teknologi, dan proses pengendalian,

pengurangan serta pencegahan penambahan emisi antropogenik (Handmer,Norton

& Dovers, 2001: 118-119)

4. Konsep Sea-Level Rise

Kenaikan permukaan laut disebabkan oleh dua faktor yaitu ekspansi termal

yang disebabkan oleh pemanasan laut dan meningkatnya pencairan es yang

berasal dari daratan seperti gletser dan lapisan es. lautan menyerap lebih dari 90

28

persen dari jenis peningkatan panas atmosfer yang terkait dengan emisi dari

aktifitas manusia. Jika penasasan atmorfer terus berlanjut maka kemungkinan

meningkatnya permukaan laut lebih tinggi diabad selanjutnya (Spence, 2003:

210). Kenaikan permukaan laut di lokasi tertentu mungkin lebih atau kurang dari

rata-rata global karena faktor-faktor lokal seperti penurunan tanah dari proses

alami dan penarikan air tanah, bahan bakar fosil, perubahan dalam arus laut

regional. Di lingkungan perkotaan, naiknya laut mengancam infrastruktur yang

diperlukan untuk pekerjaan lokal dan industri regional. Jalan, jembatan, kereta

bawah tanah, pasokan air, sumur minyak dan gas, pembangkit listrik, pabrik

pengolahan limbah, tempat pembuangan sampah dimana hampir seluruhnya

adalah infrastruktur manusia. Sumber: https://oceanservice.noaa.gov/facts/

sealevel.html (Diakses pada 1 Oktober 2018).

Pada dasarnya sulit untuk mengukur peningkatan permukaan laut

dikarenakan dasar samudra dapat bergerak elastis namun pada ilmuan dapat

secara akurat mengukur peningkatan permukaan laut global dengan tiga cara.

Yang pertama, pengumpulan data melalui satelit oleh NASA yang telah

dilakukan sejak tahun 1992. Yang kedua, NASA menggunakan alat pengukur

pasang yang telah disebar dibanyak wilayah bagian dunia untuk mendapatkan

rata-rata global. Alat pengukur memblokir dampak gelombang dan gelombang

untuk mendapatkan pembacaan yang akurat. Yang terakhir, meninjau formasi

batuan. Para ilmuwan menggunakan metode ini untuk menentukan permukaan

laut jutaan tahun yang lalu melalui fosil organisme laut, endapan sedimen, dan

bahkan aksi gelombang. Sumber: https://www.thebalance.com/sea-level-rise-and-

climate-change-4158037 (Diakses pada 17 Oktober 2018).

29

Naiknya permukaan laut meningkatkan angka migrasi dan munculnya

pengungsi iklim. Penduduk dari daerah pesisir di negara-negara pasar berkembang

harus pindah karena tidak memiliki kemampuan untuk mendirikan penghalang

atau memasang pompa. Beberapa negara kepulauan atol, seperti Tuvalu akan

segera sepenuhnya tenggelam. Meningkatnya permukaan laut ikut mengancam

kerusakan lokasi wisata dan sejarah. Selain itu Naiknya permukaan laut

mengancam 12 bandara tersibuk di dunia yang terletak kurang dari 16 kaki di atas

lautan. Khususnya untuk negara Tuvalu, Kenaikan permukaan laut sangat nyata

dirasakan penduduk Tuvalu. Kenaikan permukaan laut membuat dampak-dampak

lain ikut muncul seperti water and food security. Konsep Sea-level rise dapat

membantu menganalis kondisi Tuvalu serta keluarnya kebijakan-kebijakan dari

pemerintah Tuvalu untuk di teliti.

C. Kerangka Pemikiran

Pada kerangka pemikiran, peneliti mencoba menjelaskan masalah utama dari

penelitian yang akan dilakukan. Penjelasan yang disusun akan menggabungkan

antara teori dan konsep dengan masalah yang akan diangkat dalam penelitian.

Perubahan iklim merupakan fenomena global di mana setiap negara terus

mengembangkan solusi efektif dalam perbaikan resiko bencana termaksud

deklarasi penurusan emisi gas dibawah 2 drajat celcius. Perubahan iklim

membawa berbagai dampak negatif yang dirasakan masyarakat dunia salah satu

nya kenaikan permukaan laut dan munculnya fenomena la nina yang membawa

kondisi kering dibeberapa daerah di belahan bumi.

30

Kenaikan permukaan laut di Tuvalu menjadi dampak perubahan iklim yang

paling signifikan. Kekhawatiran mengenai berkurangnya lahan karena genangan

dan erosi pantai paling tinggi dirasakan oleh negara-negara yang berada di daerah

daratan rendah serta pulau-pulau kecil yang mengakibatkan sebagian besar

populasi dipaksa untuk bermigrasi ke negara lain. Selain itu, krisis air bersih kerap

terjadi akibat air asin yang terserap ditanah lalu tercampur dengan sumber air

bersih mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Krisis air menjadi masalah

yang besar mengingat hal mendasar yang diperlukan manusia terlebih banyak

akibat lain yang ditimbulkan akibat krisis air. Kekeringan yang terjadi akibat la

nina telah mengganggu stablititas persediaan air di Tuvalu yang didapat melalu air

hujan dan banyaknya air asin yang terserap dalam tanah kemungkinan besar akan

mengubah kandungan zat dalam tanah yang berakibat berubahnya kondisi

kehidupan tanaman pesisir. Tanaman yang tidak mampu mengatasi salinitas tanah

mungkin akan hilang dari garis pantai. Tuvalu sebagai negara penerima dampak

nyata perubahan iklim membuat beberapa strategi yang dilihat dari beberapa

aspek seperti aspek sosial, lingkungan dan kedaulatannya. Strategi kebiajakan ini

tentunya akan dianalisis melalui teori serta konsep dari hubungan internasional.

Teori Diplomasi lingkungan digunakan untuk menganalisis strategi Tuvalu

yang dilakukan melalui pembentukan strategi dalam negeri dan melalui negosiasi

Internasional sebagai respon Tuvalu dalam menangani masalah perubahan iklim.

Negosiasi tersebut dilakukan dibeberapa forum internasional seperti Conference

of Parties (COP) dan beberapa forum internasional dalam lingkup kawasan

Pasifik.

31

Teori rezim lingkungan sebagai instrumen yang mengatur atau memecahkan

konflik perihal masalah lingkungan digunakan untuk menganalisis negara Tuvalu

dalam memperjuangkan kepentingan nasional, berpolitik serta bernegosiasi.

Sedangkan konsep-konsep yang diuraikan digunakan untuk menganalisis posisis

Tuvalu secara umum.

Teori dan konsep tersebut dapat membantu menjelaskan kemunculan strategi

yang diambil oleh pemerintah Tuvalu terkait isu perubahan iklim. Selain itu, akan

dilihat pula faktor apa saja yang mempengaruhi pembuatan strategi dari

Pemerintah Tuvalu serta mengetahui sebab-akibatnya. Dengan demikian, akan

terlihat hambatan-hambatan dan solusi penyelesaian yang dilakukan Pemerintah

Tuvalu dalam membuat strategi. Kerangka pemikiran skripsi yang saya akan teliti

jika dibuat dalam bentuk skema maka, akan terlihat seperti gambar 2.2

32

Pemerintah Tuvalu merespon dampak yang terjadi dengan membuat strategi untuk dampak

kenaikan permukaan laut dan krisis air pada tahun 2011

Gambar.1 Kerangka Pikir Penelitian

Fenomena Perubahan Iklim Global

Dampak Perubahan Iklim

Global pada Kenaikan

permukaan laut di Tuvalu

Strategi Pemerintah Tuvalu dalam

Menangani Ancaman Perubahan

Iklim dalam Isu Kenaikan Permukaan

Laut dan Krisis Air pada Tahun 2011

Dampak Perubahan Iklim

Global pada Krisis Airdi Tuvalu

Tahun 2011

33

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Bogdan dan Biklen menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah salah

satu prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif yang diharapkan

mampu menghasilkan uraian yang mendalam tentang ucapan, tulisan atau perilaku

yang dapat diamati dari suatu individu, kelompok, masyarakat dan organisasi

tertentu. (Pupu Rahmat Saeful, 2009:2-3)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif dengan desain studi kasus. Peneliti memulai pembahasan mengenai

kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Tuvalu terkait permasalahan perubahan

iklim melalui gambaran secara umum lalu selanjutnya berdasarkan pembahasan

sebelumnya kemudian peneliti akan menggambarkan permasalahan secara khusus.

B. Fokus Penelitian

Fokus peneliti dalam penelitian ini adalah :

1. Menjelaskan strategi Pemerintah Tuvalu dalam lingkup domestik

mengenai isu dalam negeri.

34

2. Menjelaskan perilaku Tuvalu dalam lingkup internasional sebagai respon

dan pembentukan strategi dari isu perubahan iklim dan kenaikan

perumukaan laut.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah jenis data perimer dan sekunder. Peneliti

memperoleh data primer melalui buku dan dokumen resmi yang diunduh peneliti

melalui website resmi Pemerintah Tuvalu dan beberapa dokumen resmi dari

departemen luar negeri beberapa negara yang terkait dalam penelitian. Sedangkan

data sekunder pada penelitian diperoleh melalui sumber-sumber baik berupa

jurnal dan laporan tertulis yang berkaitan dengan objek yang diteliti, terutama

yang menyangkut perubahan iklim dunia, sea-level rise, krisis air dan Pemerintah

Tuvalu serta untuk informasi tambahan lain, peneliti memperolehnya dari situs-

situs berita online untuk mendukung penelitian ini. Data ini kemudian akan

peneliti gunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian.

Menurut Lofland yang dikutip oleh Moleong mengungkapkan bahwa

sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan.

Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data utama yang dicatat melalui

cacatan tertulis maupun melalui perekaman, foto atau film, lalu selebihnya adalah

data tambahan seperti dokumen dan lainnya (Moloeng , 2012:6).

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti yaitu telaah pustaka

(Library Research). Data yang dikumpulkan oleh penneliti merupakan data

teoritis yang umumnya bersumber dari literatur seperti buku, artikel, jurnal, koran,

35

makalah, dokumen serta situs-situs resmi mengenai Perubahan Iklim Dunia, Sea-

Level Rise. Selain itu data diambil dari beberapa buku dan jurnal antara lain buku

Politik Perubahan Iklim dari Anthony Giddens sebagai buku pengarahan, Pacific

Climate Change Science Program oleh Australia Government, Sea Level

Variations at Tropical Pacific Islands Since 1950 oleh M. Baker dkk,

Environmental Diplomacy oleh American Institute for Contemporary German

Studies dan dokumen resmi kebijakan pembanguna berkelanjutan dari Tuvalu

Government. Data ini didapat oleh peneliti melalui akses internet.

E. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen sebagaimana dikutip

Moleong (2010:248), adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan

data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat

dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang

penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan

kepada orang lain. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa langkah

awal dari analisis data adalah mengumpulkan data yang ada lalu disusun secara

sistematis.

Teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti adalah teknik analisis

data kualitatif. Penggunaan teknik analisis data kualitatif bertujuan agar peneliti

mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat menjawab

masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Hubungan antar semantik sangat

penting karena dalam analisis kualitatif, peneliti tidak menggunakan angka-angka

seperti pada penelitian kuantitatif. Peneliti menganalisis dan menjelaskan

36

permasalahan berdasarkan data yang diperoleh lalu mengaitkannya dengan teori

dan konsep yang digunakan. Data yang akan dianalisis sebagian besar berasal dari

catatan pengamatan dokumen dan rekaman arsip, baik yang dipublikasikan oleh

pihak Pemerintah Tuvalu maupun organisasi yang menangani masalah Perubahan

Iklim Dunia. Adapun catatan pengamatan diperoleh melalui dokumen, berita, dan

sumber fakta lain yang akan memperkuat analisa validitas data.

37

BAB IV

GAMBARAN UMUM

A. Pemerintahan di Tuvalu

Tuvalu adalah negara monarki konstitusional dengan sistem demokrasi

parlementer. Tuvalu menjadi negara yang tergabung dalam persemakmuran

Inggris. Kepemerintahan Tuvalu diwakili oleh Gubernur Jenderal yang harus

menjadi warga negara Tuvalu dan diangkat oleh kepala negara berdasarkan

rekomendasi Perdana Menteri. Perdana Menteri dipilih oleh parlemen dan

merupakan kepala pemerintahan. Kabinet terdiri dari Perdana Menteri yang

diikuti oleh beberapa menteri lainnya dan diangkat oleh Gubernur Jenderal dari

kalangan anggota parlemen atas saran Perdana Menteri. (Union, 1981)

Gambar 1. Bendera Nasional Tuvalu

Tuvalu memiliki sistem parlemen unikameral yang merupakan sistem

parlementer dimana fungsi dewan atau majelis legislatif berpusat pada suatu

badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Parlemen unikameral di Tuvalu

memiliki 15 anggota terpilih diantaranya 14 anggota berasal dari tujuh pulau

sedangkan pulau Nukulaelae mengirimkan satu anggota. Parlemen dipimpin

38

seorang pembicara yang dipilih oleh anggota dari jajaran mereka. Parlemen dapat

menurunkan jabatan seorang Perdana Menteri (Government of Tuvalu, 2016).

Konstitusi mengatur operasi peradilan dan untuk layanan publik yang independe

yang menjamin perlindungan terhadap semua hak dan kebebasan mendasar dan

menetapkan penentuan kewarganegaraan.

Dikarenakan ukuran populasi kecil dan skala dari 15 kursi parlemen,

Tuvalu tidak memiliki partai politik, yang berarti bahwa sistem politik di Tuvalu

menunjukkan ciri-ciri demokrasi non-partisan. Pemilu di Tuvalu diadakan selama

empat tahun sekali. Pemilu dilakukan dengan hak pilih yang secara menyeluruh

kepada warga yang telah atau melebihi usia 19 tahun. Berikut adalah Daftar

Perdana Menteri yang pernah menjabat di Tuvalu:

Tabel 1. Daftar Perdana Menteri Tuvalu

No Name

(Birth-Death)

Tenure Political

Affiliation Took Office Left Office

1 Sir Taoripi Lauti

(1928-2014)

1 October

1978

8 September

1981

Independent

2 Tomasi Puapua

(1938-)

8 Septermber

1981

16 October

1989

Independent

3 Bikenibeu Paeniu

(1936-)

16 October

1989

10 December

1993

Independent

4 Sir Kamuta Latasi

(1936-)

10 December

1993

24 December

1996

Independent

5 Bikenibeu Paeniu

(1936-)

24 December

1996

27 April 1999 Independent

6 Ionatana Ionatana

(1938-2000)

27 April 1999 8 December

2000

Independent

7 Koloa talake

(1934-2008)

14 December

2001

24 August

2002

Independent

8 Saufatu Sopoangan

(1954-)

27 August

2002

27 August

2004

Independent

9 Maatia Toafa

(1954-)

27 August

2004

14 August

2006

Independent

10 Apeisai Ielemia

(1955-)

14 August

2006

29 September

2010

Independent

39

11 Maatia Toafa

(1954-)

29 September

2010

24 December

2010

Independent

12 Willy Telavi

(1954-)

24 December

2010

1 August

2013

Independent

13 Enele Sapoaga

(1956-)

1 August 2013 Incumbent Independent

Sumber: Government of Tuvalu (http://www.tuvaluislands.com/gov_addresses.htm)

Sir Taoripi Lauti menjadi Perdana Menteri Tuvalu pertama sejak Tuvalu

mendapat kemerdekaan. Namun Sir Taoripi Lauti diturunkan secara paksa karena

skandal menggunakan uang negara untuk keperluan pribadi. Setelah Sir Taoripi

Lauti, Tomasi Puapua menjadi Perdana Menteri Tuvalu yang memiliki masa

jabatan terlama yaitu dua periode hingga 1989. Perdana menteri selanjutnya

adalah Bikenibeu Paeniu yang menjadi Perdana Menteri wanita pertama Tuvalu

dan mengakhiri masa jabatannya pada 1993. Kemudian digantikan oleh Ionatana

Ionatana yang dilantik menjadi Perdana Menteri ke enam Tuvalu namun, setahun

sejak menjabat, Ionatana Ionatana meninggal dunia dan kemudian digantikan oleh

Koloa Talake. Setelah masa jabatan Koloa Talake berakhir, pemilu di Tuvalu

tidak dilaksanakan selama empat tahun sekali dikarenakan pemelihan bisa

dilakukan lebih cepat jika hanya ada kondisi dimana DPR dibubarkan oleh

Gubernur Jendral. Pemilihan terus dilakukan dan pada 1 Agustus tahun 2013,

parlemen berdiskusi dan mengangkat Enele Sapoanga sebagi perdana menteri.

B. Tuvalu Foreign Relation

1. Hubungan Tuvalu dengan Organisasi Internasional

Sejak mendapat kemerdekaan pada 1 Oktober 1978 Tuvalu mewujudkan

salah satu syarat berdirinya sebuah negara yaitu kemampuan dalam melakukan

hubungan dengan negara lain. Pada tahun 2000 Tuvalu menjadi anggota penuh

40

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tuvalu telah menjadi anggota PBB sejak

berdiri sebagai negara merdeka tetapi tanpa hak suara dalam organisasi yang

menyatukan 54 negara di mana sebagian besar adalah mantan koloni Inggris

Raya. Penerimaan Tuvalu sebagai anggota penuh PBB telah disetujui oleh

anggota pesemakmuran dengan suara bulat dan menjadikan Tuvalu sebagai

anggota PBB ke-189 (United Nation Information Service, 2000). Sejak 2000,

Tuvalu telah empat kali melakukan pergantian Perwakilan tetap Negara untuk

PBB.

Tabel 2. Daftar Perwakilan Tetap Tuvalu untuk PBB

No Ambassador Terms of Office

1. Mr. Enele Sosene Sopoaga 2001-2006

2. Mr. Afelee Falema Pita 2006-2012

3. Mr. Aunese Makoi Simati 2013-2017

4. Mr. Samuelu Laloniu 2017-Present

Sumber: The Permanent Mission of Tuvalu to the United Nation:

https://www.un.int/tuvalu/staff/he-samuelu-laloniu

PBB menetapkan Tuvalu sebagai Least Developed Country (LDC) karena

potensi terbatasnya untuk pembangunan ekonomi, tidak adanya sumber daya yang

dapat dieksploitasi dan ukuran negaranya yang kecil serta kerentanan terhadap

guncangan ekonomi dan lingkungan eksternal (Daniel, Jurnal ISBN, No.3,

20010:26) namun, Tuvalu memainkan peran aktif dalam Konferensi Perubahan

Iklim PBB tahun 2009 di Kopenhagen dan menarik perhatian media serta publik

dengan protokol yang diusukan untuk memberlakukan pemotongan emisi yang

mengikat secara hukum termaksud pada negara-negara berkembang. Tidak hanya

41

itu, Tuvalu juga berpartisipasi dalam Enhanced Integrated Framework yang

disempurnakan untuk bantuan teknis terkait perdagangan ke negara-negara kecil

yang didirikan pada oktober 1997 dibawah naungan World Trade Organization

(The Australian, 17 Desember 2009).

Pada tahun 2013, Tuvalu menunda kelulusannya dari status LDC ke status

negara berkembang hingga tahun 2015. Hal ini disampaikan oleh Perdana Menteri

Tuvalu, Enele Sapoaga bahwa penundaan ini dilakukan untuk tetap

mempertahankan akses Tuvalu ke dana yang disediakan oleh National

Adaptation Programme of Action (NAPA) karena ketika Tuvalu telah masuk pada

status negara berkembang, bantuan tersebut tidak dapat lagi dipertimbangkan

sebagai bantuan program adaptasi perubahan iklim (Island Bussiness, 27

September 2013). Enele Sapoaga juga menyampaikan pada PBB untuk kembali

mempertimbangkan keriteria untuk kelulusan Tuvalu dari status LDC karena

status tersebut masih cukup berat untuk ditanggung oleh negara dengan keadaan

lingkungan yang mengalami resiko bencana akibat perubahan iklim sepeti Tuvalu

dalam penerapan Environment Vulnerability Index (Radio New Zealand

International, 23 September 2013).

Selain keanggotaan Tuvalu di PBB, diluar kawasan tersebut Tuvalu adalah

anggota Africa, Carribean and Pasific (ACP) atau disebut dengan Lomé

Convention yaitu Kelompok Negara Afrika, Karibia dan Pasifik. Tujuan utama

kelompok ini adalah pembangunan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan di

negara-negara anggotanya serta integrasi anggota yang lebih besar ke dalam

ekonomi dunia. ACP bersama EU mendeklarasikan keikutsertaan mereka dalam

42

upaya mengatasi perubahan iklim yang diadopsi pada pertemuan dewan di Lomé,

1 June 2018 (ACP-EU COTONOU Agreement, 2018). Dalam lingkup Kawasan

Pasifik, Tuvalu juga turut aktif berpartisipasi dalam hubungan organisasi regional.

Tuvalu merupakan anggota tetap di Pacific Islands Forum, South Pacific Applied

Geoscience Commission, the South Pacific Tourism Organisation, Secretariat of

the Pacific Regional Environment Programme dan Secretariat of the Pacific

Community. Pada tahun 2011, Tuvalu menjadi salah satu dari delapan anggota

pendiri Polynesian Leaders Group yang merupakan sebuah kelompok regional

yang bertujuan untuk bekerjasama dalam berbagai masalah termaksud budaya dan

bahasa, pendidikan, tanggapan terhadap perubahan iklim dan perdagangan serta

investasi (Pasific Scoop, 19 September 2011). Tuvalu juga berpartisipasi dalam

Alliance of Small Island State (AOSIS) yang merupakan koalisis pulai-pulau kecil

dan negara-negara kepulauan yang memiliki daratan rendah dan memiliki

kekhawatiran tentang kerentanan akibat efek perubahan iklim global. Di bawah

Deklarasi Majuro yang ditandatangani pada tanggal 5 September 2013, Tuvalu

memiliki komitmen untuk menerapkan pembangkit listrik dari energi terbarukan

100% (antara 2013 dan 2020) yang diusulkan untuk diimplementasikan dengan

menggunakan Solar PV (95% of demand) dan biodiesel ( 5% of demand). Berikut

kelayakan pembangkit listrik tenaga angin akan dipertimbangkan (Pasific Island

Forum, 5 September 2013).

43

2. Hubungan Tuvalu dengan Negara Lain Dalam Hal Diplomasi Iklim

a. Tuvalu-Australia

Tuvalu adalah negara yang memiliki hubungan yang dekat dan kooperatif

dengan Australia. Hubungan tersebut berlandaskan pada kepentingan regional,

keamanan regional, program bantuan dan dukungan pengawasan maritim.

Bantuan Australia untuk Tuvalu fokus dalam bidang pembangunan yang

bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup warga Tuvalu dan membangun

ketahanan pangan terhadap perubahan lingkungan. Sumber:

http://www.dfat.gov.au/geo/tuvalu/tuvalu_brief.html, (diakses pada 2 Agustus

2018). Australia memberikan bantuan untuk membangun ketahanan Tuvalu

terhadap perubahan iklim dan untuk memperkuat respon bencana dan manajemen

risiko.

Australia menyediakan paket $ 1 juta untuk membantu Tuvalu pulih dari

efek bencana yang disebabkan oleh Topan Tropis Pam pada bulan Maret 2015.

Pada saat darurat, Australia bekerja dengan Palang Merah untuk segera memberi

bantuan persediaan air dan medis yang telah diposisikan sebelumnya dan

menyebarkan para ahli di logistik dan air serta sanitasi. Australia kini mendukung

upaya pemulihan dan rekonstruksi jangka panjang Tuvalu. Ini termasuk dukungan

untuk memperbaiki layanan kesehatan, membangun kembali tanaman dan untuk

memperkuat operasi Palang Merah Tuvalu dan Pemerintah Tuvalu dan Koordinasi

Penanggulangan Bencana. Sumber: http://www.ifrc.org/en/news-and-media/news-

stories/asia-pacific/tuvalu/red-cross-responds-to-water-crisis-in-drought-stricken-

tuvalu/ (pada 2 Agustus 2018). Pada tahun 2016, Australia mendanai sebuah

44

penasehat untuk mendukung Pemerintah untuk mengembangkan sebuah rencana

dan prosedur operasi standar untuk memperbaiki kesiagaan dan respons Tuvalu

terhadap bencana (OECD Development Co-operation Australia, 2013:96).

b. Tuvalu-New Zealand

Selandia Baru memiliki hubungan yang kuat dengan Tuvalu dan

merupakan salah satu dari tiga negara donor pendiri ke Tuvalu Trust Fund

bersama dengan Selendia Baru dan Inggris dan berlanjut sebagai donor utama

bantuan dan bantuan teknis kepada Tuvalu. Pemerintah Selandia Baru

menanggapi krisis air tawar yang disebabkan oleh kekeringan Tuvalu pada tahun

2011 dengan memasok pabrik dan personel desalinasi sementara untuk

memperbaiki instalasi desalinasi yang ada (New Zealand Herald. 3 October 2011).

Selain itu, Pada tahun 2015, program bantuan Selandia Baru akan memperluas

pelaksanaan energi terbarukan di Tuvalu. Proyek ini akan menghasilkan pasokan

dan pemasangan sistem surya fotovoltaik (PV) bertenaga baterai yang akan

berlokasi di Vaitupu, Nanumanga, Niutao dan Nanumea, dengan sistem hibrida

pertama yang dibangun di Vaitupu pada awal 2015. Sumber:

https://www.infratec.co.nz/projects/funafuti-government-rooftops-pv-project,-

tuvalu, diakses pada 2 Agustus 2018).

c. Tuvalu-Fiji

Tuvalu memiliki hubungan diplomatik yang kuat dengan Fiji. Negara-

negara yang memberi pengakuan diplomatik kepada Tuvalu mengerahkan

kedutaan mereka di Fiji. Hal tersebut menjadikan Fiji sebagai pusat diplomatik

penting bagi Tuvalu. Selain itu, Hubungan dengan Fiji juga penting karena sejauh

45

ini sumber impor Tuvalu terbesar. Pada tahun 2010, Fiji adalah sumber 46,1%

dari seluruh impor ke Tuvalu. Sumber:

http://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/fiji, diakses pada 2 Agustus 2018).

Presiden Fiji, Ratu Epeli Nailatikau pernah mengunjungi Tuvalu pada

tahun 2014. Ratu Epeli menggambarkan Tuvalu sedang menjadi mitra penting

dalam Forum Pembangunan Kepulauan Pasifik (PIDF) dan berbicara tentang Fiji

dan Tuvalu sebagai negara yang memiliki minat bersama dalam Pacific Small

Island Developing States forum untuk mendorong seluruh dunia mengambil

tindakan tegas terhadap perubahan iklim (Pacific Islands Development Forum, 20

February 2014).

d. Tuvalu-Perancis

Melalui French Polynesia, Perancis berbagi perbatasan laut dengan Tuvalu

dan Tuvalu mempertahankan hubungan yang sangat kuat dengan Perancis untuk

bekerja sama dalam upaya lingkungan Perancis dan mempertahankan hubungan

dekat dengan posisi Perancis dalam pemilihan di PBB. Sumber:

https://www.spc.int/updates/news/2018/05/to-save-tuvalu-is-to-save-the-world-

high-level-dialogue-on-climate-change-and (diakses pada 2 Agustus 2018). Tidak

hanya itu, Perancis adalah satu-satunya negara selain Taiwan yang memiliki

kejadiran Diplomatik formal di Tuvalu. Sejak 2003, Perancis telah

mempertahankan konsulat kehormatan yang terletak di Biro Filateli Tuvalu. Di

antara tugas-tugas lainnya, konsulat mengawasi proyek-proyek yang didanai oleh

Dana Pasifik Perancis untuk Pengembangan Budaya, Sosial, dan Ekonomi.

Proyek terbesar Tuvalu dan Perancis adalah studi utama energi terbarukan pada

46

tahun 2005. Proyek lain yang masih berjalan hingga saat ini termasuk

pembangunan La Pérouse School (1992), pelatihan navigasi udara (1996),

Amatuku Maritime School (1996) dan proyek untuk meningkatkan produksi

pangan di Nanumaga (1998). (The National Bussiness, 14 Oktober 2015).

e. Tuvalu-Uni Eropa

Uni Eropa memberikan sejumlah besar bantuan dan bantuan teknis kepada

Tuvalu. Program bantuan untuk pasokan air dan perbaikan untuk pengolahan

limbah dan masalah lingkungan lainnya diumumkan pada tahun 2009. Pada tahun

2014, Uni Eropa memberikan bantuan keuangan kepada Pemerintah Tuvalu untuk

penyediaan dan pemasangan sistem surya fotovoltaik (PV) bertenaga baterai

untuk pulau-pulau terluar. Proyek 191kWp memperluas penerapan energi

terbarukan di Tuvalu dan akan menyediakan pulau-pulau dengan listrik 24 jam

sehari. Tuvalu akan dapat mengurangi konsumsi bahan bakar yang digunakan

untuk menghasilkan listrik dengan 120.000 liter solar per tahun, sebesar

pengurangan pengeluaran untuk solar sekitar AU $ 200.000. Sumber:

http://ec.europa.eu/environment/waterurbanwaste/index_en.html, diakses pada 2

Agustus 2018).

f. Tuvalu-Jepang

Jepang dan Tuvalu telah membangun hubungan diplomatik pada tahun

1979. Jepang adalah penyedia bantuan penting dalam bentuk dana keuangan dan

kerjasama teknis termasuk menyumbang kapal 50 meter, Manu Folau. Pada tahun

2015, Nivaga III disumbangkan oleh pemerintah Jepang yang memiliki kapasitas

untuk 380 penumpang dan juga pengiriman barang (Department of Foreign

47

Affairs of Japan. 1998). Pada tahun 2011 Pemerintah Jepang menyediakan tiga

unit desalinasi baru dan bagian untuk memperbaiki unit desalinasi air laut yang

ada melalui Japan International Cooperation Agency (JICA) setelah Tuvalu

mengalami krisis air yang parah yang disebabkan oleh kekeringan Tuvalu pada

tahun 2011. Jepang telah menyediakan unit desalinasi pada tahun 1999 dan 2006.

Menanggapi kekeringan 2011, Jepang telah mendanai pembelian pembangkit

desalinasi 100 m³ / d bertenaga surya dan dua portabel 10 m³/d tanaman sebagai

bagian dari program Pacific Environment Community (PEC). (Embassy of Japan

in the Republic of the Fiji Islands, 2011).

3. Komoditi Ekspor-Impor Tuvalu

Pada tahun 1987, Tuvalu dibantu oleh Inggris, Australia dan New Zealand

mendirikan Tuvalu Trust Fund yang bertujuan untuk membantu menambah defisit

nasional, mendukung pembangunan ekonomi dan membantu negara mencapai

otonomi keuangan yang lebih besar. Tuvalu Trust Fund telah berkontribusi

sekitar A$ 79 juta atau sekitar 15% dari anggaran tahunan pemerintah setiap tahun

sejak 1990. Dengan nilai modal sekitar 2,5 kali PDB, Tuvalu Trust Fund

menyediakan bantuan penting bagi sumber pendapatan volatil Tuvalu

(International Monetary Fund Country Report No. 11/46, 8 February 2011).

Sebagian besar pendapatan nasional Tuvalu diperoleh melalui jalur

mempekerjakan 15% pria dewasa Tuvalu di luar negeri dalam industri maritim.

Nilai pengiriman uang ini bernilai A$ 4 juta di tahun 2006 dan rata-rata

menyumbang 10% dari PDB. Laporan PBB mengacu pada fakta bahwa aliran

pendapatan ini rentan terhadap perubahan ekonomi makro sementara anggaran

48

nasional tetap disubsidi melalui bantuan internasional dan skema pendanaan

seperti Tuvalu Trust Fund dengan ketergantungan yang kuat pada impor

makanan. Sumber: https://data.worldbank.org/country/tuvalu, diakses pada 2

Agustus 2018).

Tuvalu adalah negara dengan ekonomi ekspor terbesar ke-195 di dunia.

Pada 2016, Tuvalu mengekspor $ 43,5 juta dan mengimpor $ 39 juta,

menghasilkan neraca perdagangan positif $ 4,43 juta. Pada tahun 2016 GDP

Tuvalu adalah $ 34,2 juta dan PDB per kapita adalah $ 3,65k. Berikut adalah

Ekspor dan Impor utama Tuvalu:

Tabel 3. Ekspor-Impor Utama Tuvalu

No Ekspor Nilai Impor Nilai

1. Tug Boats $ 32.8M Penumpang dan

Kapal Cargo

$ 10.9M

2. Ikan Beku Non-

fillet

$ 8.3M Refined Petroleum $ 4.14M

3. Integrated Circuits $ 872k Tug Boats $ 2.47M

4. Suku Cadang

Mesin Kantor

$ 424k Iron Structures $ 1.92M

5. Reagen

Laboratorium

$ 231k Fishing Ships $ 1.82M

Sumber: SITC (Standard International Trade Classification)

Pada 2016 Tuvalu mengekspor $ 43,5 juta sehingga menjadikan Tuvalu

eksportir terbesar ke-195 di dunia. Selama lima tahun terakhir ekspor Tuvalu telah

meningkat pada tingkat tahunan sebesar 28,1%, dari $ 11,9 juta pada tahun 2011

menjadi $ 43,5 juta pada tahun 2016. Ekspor terbaru dipimpin oleh Tug Boats

yang mewakili 75,5% dari total ekspor Tuvalu, diikuti oleh Non-fillet Frozen

Fish, yang mencapai 19,1%. Negara Tujuan ekspor Tuvalu adalah Jepang,

Thailand, Hongkong, Singapura dan Irlandia. Sedangkan untuk Impor pada 2016,

Tuvalu mengimpor $ 39 juta, menjadikannya pengimpor terbesar 211 di dunia.

49

Selama lima tahun terakhir impor Tuvalu telah menurun pada tingkat tahunan

sebesar -9,2%, dari $ 61,5 juta pada tahun 2011 menjadi $ 39 juta pada tahun

2016. Impor terbaru dipimpin oleh Penumpang dan Kapal Kargo yang mewakili

28% dari total impor Tuvalu, diikuti oleh Refined Petroleum, yang mencapai

10,6%. Selain itu, Tuvalu juga mengimpor Binatang untuk kebun binatang, food

product, mineral dan bahan bakar. Selain itu, Tuvalu pada tahun 2016 memiliki

neraca perdagangan positif sebesar $4,43 juta dalam ekspor bersih. Dibandingkan

dengan neraca perdagangan Tuvalu pada tahun 1995 di mana Tuvalu memiliki

neraca perdagangan negatif sebesar $ 3,29 juta dalam impor bersih (Observatory

of Economic Complexity,http://atlas.media.mit.edu/en/, diakses pada 2 Agustus

2018)

4. Kondisi Geografi Tuvalu

Pulau Tuvalu tersebar antara lintang dari 5 ° ke 10 ° selatan dan bujur dari

176 ° ke 180 °, barat International Date Line. Negara ini terdiri dari empat pulau

karang dan lima atol besar dan secara keseluruhan luas wilayah Tuvalu mencapai

26km2, memiliki titik tertinggi sebesar 15 kaki atau 4,6m yang menjadikan

Tuvalu sebagai negara kepulauan terkecil setelah Vatikan. (Population In Tuvalu.

2017)

50

Gambar 2. Peta Negara Tuvalu

Pada bulan Oktober 2014, Perdana Menteri Fiji, Voreqe Bainimarama

melakukan pertemuan dengan perdana menteri Tuvalu, Enele Sopoaga untuk

menandatangani Perjanjian Batas Maritim Fiji-Tuvalu setelah bertahun-tahun

melakukan negosiasi. Fiji-Tuvalu Maritime Boundary Treaty adalah perjanjian

secara formal menetapkan luas wilayah yurisdiksi nasional antara Fiji dan Tuvalu

sebagaimana diakui dalam hukum internasional berdasarkan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tahun 1982. (Tuvalu&Kiribati

Agreement, 2012)

Tuvalu merupakan negara tropis sehingga mengalami dua musim yang

berbeda, musim hujan dari bulan November sampai April dan musim kemarau

dari bulan Mei sampai Oktober. Angin barat dan hujan lebat adalah kondisi cuaca

mendominasi dari Oktober sampai Maret, periode yang dikenal sebagai lalo Tau-

o-, dengan suhu tropis dimoderatori oleh angin timur dari bulan April sampai

51

November.(Rodgers&Caral,1988). Tuvalu mengalami banyak resiko berhubungan

dengan iklim seperti terjadinya el nino dan la nina yang mengalir dari perubahan

suhu laut di Khaktulistiwa dan pasifik tengah. El Nino berefek pada meningkatnya

kemungkinan badai tropis sedangkan La Nina berefek pada meningkatnya kondisi

kemungkinan kekeringan di Tuvalu.

Sumber: https://oceanservice.noaa.gov/facts/ninonina.html (diakses pada 5

Septermber 2017)

Pada 3 Oktober 2011, Tuvalu dilanda kodisi kekeringan yang melibatkan

keadaan darurat krisis air. Biasanya Tuvalu menerima antara 200mm-400mm

curah hujan per bulan namun efek La Nina menyebabkan kekeringan dengan

mendinginkan permukaan laut disekitar Tuvalu. Selain el nino dan la nina, Tuvalu

sering mengalami banyak bencana alam seperti badai tropis. Sumber:

http//www.bon.gov.au/climate/enso/lslist/ (Diakses pada 10 September 2017).

Angin topan Bebe pada tahun 1972 dan angin topan Meli pada tahun 1979 pernah

mengancurkan hampir sebuah pulau milik Tuvalu bernama Tepuka Vili Vili.

Tidak hanya itu, topan Ofa pada tahun 1990 terjadi di pulau Vaitupu dan

menghancurkan rumah, pohon dan tanaman pangan dengan persentasi kehancuran

mencapai 80%. Pada tahun 2015 lalu, topan Pam juga terjadi dan penyebabkan

kerusakan parah pada rumah, tanaman pangan serta infrastruktur dipulau-pulau

terluar. Sumber: www.tuvaluisland.com/island/tuvalu/funafuti kogatabu.html

(diakses pada 4 September 2017)

101

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dan pembahasan dengan judul “Strategi

Pemerintah Tuvalu Mengenai Perubahan Iklim (Studi Terhadap Isu Sea-Level

Rise) maka peneliti menyimpulkan:

1. Strategi yang digunakan Tuvalu dalam menghadapi ancaman

perubahan iklim pada isu kenaikan permukaan iklim yaitu dengan

melakukan negosiasi dan politik iklim melalui forum COP untuk

menuntut negara maju mengurangi emisi gas. Dalam negosiasi

tersebut, Tuvalu membuat sebuah komitmen dibawah UNFCCC untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor pembangkit listrik

(listrik), sebesar 100%, yaitu hampir nol emisi pada tahun 2025.

Indikatif target ekonomi Tuvalu terukur untuk pengurangan total emisi

Gas Rumah Kaca dari seluruh sektor energi hingga 60% di bawah

tingkat 2010 pada tahun 2025. Hal ini dilakukan sebagai tindak nyata

langsung dalam upaya mengurangi emisi gas. selain itu, didapatkan

beberapa organisasi dan kementrian di Tuvalu yang khusus menangani

masalah perubahan iklim yaitu National Adaptation Programme of

Action (NAPA) dan Kementerian Sumber Daya Alam, Energi dan

Lingkungan merupakan kementerian pemerintah utama yang

102

bertanggung jawab atas perubahan iklim. Kementrian ini yang

memiliki andil dalam melakukan negosiasi dengan berbagai organinasi

internasional seperi UNDP yang menghasilkan Tuvalu Coastal

Adaptation Project sebagai salah satu strategi penanganan dampak

perubahan iklim. Selain UNDP, SIDS selaku forum internasiaol

bekerjasama dengan UNDP juga membuat proyek adaptasi untuk

negara-negara kecil termaksud Tuvalu.

2. Strategi yang digunakan Tuvalu dalam menghadapi ancaman

perubahan iklim pada kasus krisis air yaitu dengan mengembangkan

sebuah kebijakan dalam negeri yaitu Water and Sanitation Policy.

Pendeklarasian kondisi krisis air Tuvalu pada konteks internasional

membuat Tuvalu memperoleh bantuan luar negeri dari beberapa pihak

seperti Australia, New Zealand dan PACC. Bentuk bantuan tersebut

diantaranya unit desalinasi.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang diambil, maka peneliti mengajukan

beberapa saran yang dapat menjadi masukan untuk melakukan penelitian terkait

dengan strategi kebijakan Tuvalu dalam menghadapi perubahan iklim global.

Adapun saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai berikut

1. Meskipun kebijakan Water and Sanitation telah terlaksana oleh

pemerintah Tuvalu namum hanya dapat sementara memperbaiki

dampak perubahan iklim di Tuvalu, diharapkan para penerus generasi

Tuvalu yang telah mendapatkan bekal mengenai bahaya dampak

perubahan iklim dapat berkontribusi dalam permbuatan strategi

103

kebijakan untuk penanganan perubahan iklim dan mewujudkan visi

Tuvalu untuk menuju kesejaterahan

2. Untuk strategi Tuvalu dalam konteks internasional diharapkan strategi

yang dilakukan oleh Tuvalu dapat dilihat sebagai upaya dalam

mempertahankan negaranya dari dampak nyata perubahan iklim

sehingga dapat memberikan pengaruh pada dunia.

3. Peneliti menyarankan para mahasiswa Hubungan Internasional yang

memiliki minat untuk melakukan penelitian sejenis dengan Strategi

Pemerintah Tuvalu dalam menghadapi perubahan iklim dapat

mengkaji tentang peran NGO Tuvalu dalam penanganan dampak

perubahan iklim global.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Alongi, Daniel 1998, Coastal Ecosystem Processes, CRC Press, United State

Bender,B 2013.Chief of U.S Pasific Forces Call Climate Biggest Worry.

TheBoston Globe

Edited by Houngton, J.T. et al, Cambridge University Press, Cambridge, UK

Conservation International.2010, Perubahan Iklim dan peran Hutan, Jakarta

George,A,Findlay 1851. A Directory for the Navigation of the Pasific Ocean: with

Description of its Coasts, Island, etc. from the Strait of Megalhaens to the

Artic Sea. R.H Laurie. London

Haggard,S & Simmons, BA.1987, Theories of International Regimes,

International Organization

Lynas,Mark, 2004. High Tide: The Truth About Our Climate Crisis. Picador;

First Edition

Handmer,JW., Norton, TW., Dovers, SR 2001, Ecology, Uncertainty and Policy:

managing Ecosystem for Sustainable, Pearson Education Limited, England

Hulme, Mike 2016, Climate Change, Concept of, King College London, United

Kingdom

Munro,D 1996. “Samoan Pastors in Tuvalu” in D. Munro & A. Thornley. The

Covenant Makers: Islander Missionaries the Pasific. Suva, Fiji, Pasific

Tecnological College and the University of The South Pasific.

Moloeng.2013, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Rosda karya, Bandung

Spencer, Edgar 2003, Earth Science: Understanding Environmental System,

MCGraw-Hill

William Cunningham, Marry Cunningham 2004, Principle of Environmental

Science: Inquiry and Application, Mergaret J. Camp

Internet:

Agreement Between Tuvalu and Kiribati Concerning Their Maritime Boundary.

PDF. Diakses melalui goo.gl/dxiMke pada 4 September 2017

Alliance of Small Island States. Negosiation Position. Diakses melalui

http://climateobserver.org/country-profiles/alliance-of-small-island-states/

pada 30 Januari 2018

Amadeo, Kimberly 2018, Rising sea level and impact on the economy and you:

How rising sea level changing your world. Diaskes melalui

https://www.thebalance.com/sea-level-rise-and-climate-change-4158037 pada

17 Oktober 2018

Australian Government Bureau of Meteorology.EL Nino La Nina. Diakse melalui

http://www.bon.gov.au/climate/enso/lslist/ pada 10 September 2017

Aziz, Marwan 2009. Negara Kepulauan Tuntut Amandemen Protokol Kyoto.

Diakses melalui http://www.greenpress.co.id/2009/12/negara-kepulauan-

tuntut amandemen.html pada 30 Januari 2018.

Climate Change in Tuvalu 2011, diakses melalui

http://research.omicsgroup.org/index.php/Climate_change_in_Tuvalu pada

16 Januari 2017

Corlette, Mortreux, Jon, Barret, 2009, Climate Change: Tuvalu Report of

International Country Consultation. Diakses melalui www.sprep.org/att/irc/

ecopies/countries/tuvalu/49.pdf

Efek Pemanasan Global, Negara Tuvalu Terancam Hilang.2014. Publish In

International. Diakses melalui

https://medialingkungan.com/index.php/news/internasional/efek-pemanasan-

global-negara-tuvalu-terancam-hilang pada 20 Januari 2017

Esvandi, Dedi 2017. Akibat Pemanasan Global, Tuvalu Krisis Air, diakses

melalui http://www.tribunnews.com/internasional/2011/10/03/ akibat-

pemanasan-global-tuvalu-krisis-air-bersih pada 16 januari 2017

Giay, C Eliisabeth 2017. Pemerintah Tuvalu dan PBB tandatangi Strategi Pasifik

2018-2022. Diakses melalui http://tabloidjubi.com/artikel-9304-pemerintah-

tuvalu-dan-pbb-tandatangani-strategi-pasifik-2018--2022.html pada 29

Januari 2018

Government of Tuvalu Launches New Coastal Protection Project to Bloster

Resilience to Climate Change 2017..

http://www.pacific.undp.org/content/pacific/en/home/presscenter/pressrelease

s/2017/07/08/government-of-tuvalu-launches-new-coastal-protection-project-

to-bolster-resilience-to-climate-change.html Diakses pada 29 Januari 2018

Government of Tuvalu 2016.Basic Information and Electoral History.Tuvalu

Island. Diakses melalui www.tuvaluisland.com/gov_info.html pada 5

Septermber 2017

Government Tuvalu 2007. The Permanent Mission of Tuvalu to the United

Nation. Diakses melalui https://sustainabledevelopment.un.org/content/

documents/tuvalu_26feb.pdf pada 28 januari 2018

Harvey,Chealsea 2015, Sea Level Rise Will Cause More Than Floding: These 5

Other Impacts of Rising Ocean are Just as Bad. Diakses melalui

http://www.businessinsider.com/5-terrifying-impacts-of-rising-sea-levels-

2015-2/?IR=T pada 12 April 2018

IPCC Fourth Assessment Report: Climate Change, 2007. Diakses melalui

https://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/mains1.html pada 10

Febuari 2017

National Ocean Service: Nation Oceanic and Atmospheric Administration.What

Are El Nino and La Nina.U.S Departement of Commerce. Diakses melalui

http://oceanservice.noaa.gov/fact/ninonina.html pada 5 September 2017

McAuley, Anthony 2015, Masdar completes Pacific islands solar power projects,

diakses melalui https://www.thenational.ae/business/masdar-completes-

pacific-islands-solar-power-projects-1.639395

Pacific Islands Development Forum 2014, President Nailatikau: Tuvalu a valued

PIDF Partner diaskes melalui http://atlas.media.mit.edu/en/profile/country/

fiji

Pareti, Samisoni 2015. Tuvalu Cries Foul at Slow, Delaying Tactics at COP 21.

Island Business Magazine. Diakses melalui https://www.sprep.org/climate-

change/tuvalu-cries-foul-at-slow-delaying-tactics-at-cop21 pada 30 Januari

2018

Pasific Island Forum Secretariat. Diakses melalui

http://www.forumsec.org/pages.cfm/about-us/ pada 30 Januari 2018.

Penelitian NASA: Ulah Manusia Penyebab Perubahan Iklim 2012, diakses

melalui

http://www.voaindonesia.com/a/indikasi-baru-ulah-manusia-penyebab-

perubahan-iklim-138634439/104362.html pada 11 Febuari 2017

Population In Tuvalu. 2017. Tuvalu Population 2017. Diakses melalui

http://www.worldometers.info/world-population/tuvalu-population pada 4

September 2017

Resture,Jane 2004.Tuvalu and the Hurricanes:The Hurricane in Funafuti,Tuvalu.

Diakses melalui janeresture.com/hurricanes/index.htm pada 10 September

2017

Sand, Neil 2011, Second Pacific island declares drought emergency

Diakses melalui https://phys.org/news/2011-10-pacific-island-declares-

drought-emergency.html

Sustainable Development Knowlegde Platform. Diakses melalui http://sustainable

development.un.org/about melalui pada 29 Januari 2018

Syarief,Labih.,Raharjo,Guntomo.,Yacob, Amrullah 2014. Hubungan Australia

dan kawasan Pasifik. Diakses melalui http://www.mfat.govt.nz/en/aid-and-

development/our-work-in-the-pasific/tuvalu/ pada 29 Januari 208

The Australian 2009, Tuvalu No Longer Small Fry on World Stage. Diakses

melalui https://www.theaustralian.com.au/news/world/tuvalu-no-longer-

small-fry-on-world-stage/story-e6frg6so-1225811159361?sv=df6d8b

52a28c287d0b4398c03a7a9b

The Commonwealth 2017. Tuvalu: Constitutional and Politics. Diakses melalui

thecommonwealth.org/our-member-countries/Tuvalu/constitution-politics

pada 5 September 2017.

Tuvalu Coastal Project UNDP 2017. Details Project/Programme Description

Green Climate Fund Proposal. Diakses melalui http://www.greenclimate.

fund/documents/20182/574712/Form_02_Funding_Proposal.docx/dbade9ba-

0359 0359-4efc-9c86-40e9d245463f pada 29 Januari 2018

Tuvalu Island.Kogatabu Funafuti Conservation Area. Diakses melalui

www.tuvaluisland.com/island/tuvalu/funafuti_kogatabu.html

pada 4 September 2017

Tuvalu News, 8 April 2011, Tuvalu pleads for climate change assistance from

Australia, diakses melalui http://www.tuvaluislands.com/news/archives/2011/

2011-04-08.html pada 10 Febuari 2017

Tuvalu News, 9 Desember 2009, Tuvalu Demands Tougher Deal at Copenhagen

COP15 Climate Talks, diakses melalui http://tuvaluislands.com//news/

archives/2009/2009-12-09.html pada 10 Febuari 2017

Tuvalu Population (2017). Diakses melalui http://www.worldometers.info/world-

population/ tuvalu-population pada 16 Januari 2017

Tuvalu National Strategic Action Plan for Climate Change and Disaster Risk

Management diakses melalui http://prdrse4all.spc.int/sites/ default/files

/tuvalu_national_strategy_for_sustainable_development.pdf pada 28 Januari

2018

Tuvalu Surveys Road Demage After Tide 2015. Diakses melalui

www.radionz.co.nz/international/pasific-news/266995/tuvalu-surveys-road-

demage-after-king-tides pada 10 September 2017

UNFCCC. Diakses melalui http://unfccc.int/2860.php pada 10 Febuari 2017

Population In Tuvalu. 2017.

United Nation Development Program 2017. Climate Change Adaptation. Diakses

melalui http://www.adaptation-undp.org/projects/tuvalu-coastal-adaptation

-project pada 29 Januari 2018

United Nation Development Programme 2017. Small Island Nation at Frontline

of Climate Action. Diakses melalui http://www.undp.org/content/undp/en

/home/news-centre/news/2017/09/18/small-island-nations-at-the-frontline-of-

climate-action-.html pada 29 Januari 2018.

United Nation Development Programme 2010. Rsponding to Climate Change in

Small Island Development States. Diakses melalui

https://sustainabledevelopment.un.org/content/.../960SIDS_Flyer_SEPT_27_

09[1].pdf pada 29 Januari 2018.

United Nation Framework Convention on Climate Change’s Consern 1992.

Diakses melalui https://goo.gl/r2mVx5 pada 11 Febuari 2017

Water Shortage in Paradise 2014, Diakses melalui

https://sinkingislands.com/2014/09/20/water-shortage-in-paradise/ pada 28

Januari 2018.

Wired 2018, What is climate change? The Definition, cause and effect. Diakses

melalui https://www.wired.co.uk/article/what-is-climate-change-definition-

causes-effects pada 17 oktober 2018

What‟s Happening to Tuvalu Sea Level? 2015, Diakses melalui

https://skepticalscience.com/Tuvalu-sea-level-rise.htm pada 28 Januari 2018.

Jurnal:

Aung, Than. Singh, Awnesh. Prasad, Uma. 2009. Sea Level Threat in Tuvalu.

American Journal Apllied Scriences, Vol 6 No.6

Atapattu, Sumudu, 2017, Climate Change, Human Right and Forced Migration:

Implication for International Law, Vol 27, Wisconsin Internastional Journal

Law

Backer,M. Meyssignac,B. Letretel,C. Llovel,W. Cazenave,A. Delcroix,T 2012,

Sea Level Variation at Tripical Pasific Island Since 1950. Global & Planetary

Change

Balesh,Hana, 2015, Submerging Islands: Tuvalu and Kiribati as Case Studies

Illustrating the Need for a Climate Change Refugee Treaty, Enveronmental

and Earth Law Journal, Vol 5 No. 1

Corlew LK, Jonhson Sm, Hakim, East West Centre & SCRA Mini Grand

Community, 2013, Community and Cultural Responsivity: Climate Change

Research in Tuvalu, Global Journal of Community Psychology Practice, Vol

4 no.3

Daniel Gay, editor , 2010. Tuvalu Diagnostic Trade Intergration Study. ISBN

978-982-304-036-3

Durkova, Petra.Gromilova,Ana.Kiss, Barbara & Plaku, Megi 2012, Climate

Refugees in the 21st Century, Regional Academy on the United Nation

Farbotko,C & Lazrus,H, 2012, The First Climate Refugees? Contesting Global

Narratives of Climate Change in Tuvalu, Global Environment Change, Vol

22 No. 2

Helm,Carsten & Sprintz, Detlef 2000, Measuring the Effectiveness of

International Environmenntal Regimes, Journal of Conflict Resolution, vol 44

no 5

Maude,HE 1986. Post-Spanish Discoveries in central Pasific. Journal of the

Polynesian Society. Vol. 70, No. 1. Hal 67-111

Munro,Doug 1980. The “Mistery” of Gran Cocal: European Discovery and Miss-

Discovery in Tuvalu. University of South Pasific. Vol.89, No. 2, Hal 167-198

Murray, Williamson, Allan R, Millet 2001. A War to be Won: Fighting the Second

World War. United State of America: Belknap, Press. ISBN 0-674-00680-1

Paeniu,L. Holland, E. Miller, C. Anderson, G 2007, Rainfall Trend, Drought,

Frequency & La Nina in Tuvalu: A Smaal Equatorial Island States in Pasific

Ocean. Journal of Environment & Analytical Toxicology Vol.7 No. 5

Pupu,Rahmat, 2009, Penelitian Kualitatif, EQUILIBRIUM, vol.5, no 9

Rodgers,K.A. Cantrell, Caral.1988.The Biology and Geology of Tuvalu: An

Annotated Bibliography.No1. Australia Museum

Sibenius,James 1991, Designing Negotiation Toward a New Regime: The Case of

Global Warming, International Security, Vol 15 no. 4

Straitford E, Farbotko C & Lazrus,2013, Tuvalu Sovereignty and Climate

Change: Considering Fenua, the Archipelago and Emigration, Island Studies

Journal, Vol 8 No.1

Laporan dan Publikasi:

Aselu,Bateteba 2015. A Tuvaluan Concept of Well-Being: Reflektion on National

Planing- Te Kakeega II. Aucland University of Tegnology

Chua, Reeni Amin 2011, Red Cross Response to Water Crisis in Drought Stricken

Tuvalu

Climate Change.2001, The Scientific Basis. Contributor of Working Group I to the

Third Assement Report of the Intergovermental Panel on Climate Change.

Current and Future Climate of Tuvalu 2011, Pasific Climate Change Science

Programe. Australia Government

American Institute for Contenpory German Studies 1998, Environment

Diplomacy, The John Hopkins University, Realease, 18 November 1998

Wangsinton Dc

Esvandi,D 2011, Akibat Pemanasan Global: Tuvalu Krisis Air Bersih, Media

Release, 3 Oktober 2011, Tribun

Declaration between the Government of German empire relating to the

Democration of the British and German Sphere of influence in the Western

Island Bussiness 2013, Tuvalu Wants to Maintain LDC Status

OECD Development Co-operation Peer Review 2013, The Development

Assistance Committee: Enabling Effective Development, Australia

Jane, Mc Adam, 2011, Swimming against the tide: Why Climate Change

Displacement Treaty is Not the Answer, International Journal of Refugee

Law

Government of Japan 2011, Japan-New Zealand aid Cooperation response Savere

Water Shortage Tuvalu

Pasific. Sign at Berlin, April 6, 1886. Diakses pada 28 Januari 2018

Mason,K Moya 2005. Tuvalu: Flooding, Global Warming and Media

Converagi

Pasific Island Forum 2013, Majuro Deklaration for Climate Leadership

Pasific Scoops 2011, NZ May Be Invited to Join Proposed „Polynesian Triangle‟

Ginger Group

Radio New Zealand, 2013, Tuvalu Wants Changes in Assassment of LDC Criteria

Tuvalu;s National Adaptation Programe of Action 2007, Ministry of Natural

Resource, environment, agriculture and Lands. Departement of Environment

United Nation Economic Social Commission fo Asia and Pasific. Climate Change

and Migration in Pasific: Link, Attitude and Future Scenarios in Nauru,

Tuvalu and Kiribati

World Meteorological Organization 2014, WMO Statement on the Status of the

Global Climate in 2013, Chair Publication Board, Switzerland