Upload
ahmad-fatikhul-khasan
View
298
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Aplikasi marketing cartel untuk mengefisienkan pemasaran kakao.
Citation preview
APLIKASI MODEL MARKETING CARTEL UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI KEGIATAN DAN ALIRAN INFORMASI DALAM PEMASARAN
KOMODITAS KAKAO EKSPOR INDONESIA
TUGAS INDIVIDU
diajukan guna memenuhi salah satu syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Kapita Selekta pada Program Studi Agribisnis
Fakultas Pertanian Universitas Jember
Oleh:
Ahmad Fatikhul Khasan
NIM. 111510601073
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan
sumberdaya alam, terutama dari hasil pertanian. Peran sektor pertanian antara
lain sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peran sektor
pertanian Indonesia dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik,
mengingat semakin langkanya atau menurunnya mutu sumber daya alam,
seperti minyak bumi dan air serta lingkungan secara global. Sektor pertanian
akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan,
memperbesar kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional, dan
penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk
meningkatkan nilai tambah di sektor industri dan jasa (Deptan, 2007). Oleh
karena itu, sektor pertanian berpengaruh dalam struktur perekonomian
Indonesia.
Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang
mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang
tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan harga yang berlaku, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi
yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang
dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak,
subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. MenuruT
Deptan (2007), subsektor perkebunan sebagai bagian integral dari sektor
pertanian, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) ditinjau dari cakupan
komoditasnya, meliputi sekitar 145 jenis tanaman berupa tanaman tahunan dan
tanaman semusim, (ii) ditinjau dari hasil produksinya, merupakan bahan baku
industri atau ekspor, dan (iii) ditinjau dari pengusahaanya, sekitar 85%
merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah.
Menurut Zamdan Hamra (2008), komoditi perkebunan mempunyai peran
penting dalam aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial maupun
ekologi. Dari aspek ekonomi, perkebunan telah menghasilkan devisa negara, dari
aspek sosial dapat mengatasi pengangguran dengan kemampuannya menyerap
tenaga kerja, serta dari aspek ekologi, marnpu menjaga dan mempertahankan
kelestarian alam. Perkebunan mampu mempercepat pembangunan dari
ketertinggalan suatu daerah. Beberapa komoditas perkebunan yang dianggap
penting di Indonesia, yaitu: karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu
yang merupakan komoditas unggulan sebagai penyumbang devisa negara.
Menurut Amran Arman (2011), tanaman kakao (Theobroma cacao L.)
merupakan tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomis cukup baik dan
peluang pasar cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan permintaan
pasar dunia yang semakin meningkat dengan rata-rata 1.500.000 ton/tahun.
Peluang pasar semakin terbuka seiring dengan adanya kemunduran produksi
yang dialami oleh negara-negara penghasil kakao lainnya. Kakao cukup penting
bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,
sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao juga berperan dalam mendorong
pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal
tanaman kakao Indonesia + 1,4 juta hektar dengan produksi + 500 ribu ton/tahun
menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah
Pantai Gading dan Ghana sedangkan dari sisi industri (world cocoa brinding),
Indonesia berada di nomor tujuh dunia di bawah Belanda, Amerika, Jerman,
Pantai Gading, Malaysia, dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus
meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Dengan demikian, peluang peningkatan
produksi terbuka luas termasuk penambahan nilai tambah produk dari kakao.
Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan
meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di
Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan
negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan
baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan
untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia
di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar.
Peningkatan daya saing kakao dapat dilakukan dengan efisiensi biaya produksi
dan pemasaran, dan peningkatan mutu kakao (Ragimun, 2012).
Peningkatan mutu kakao dilakukan dengan pengembangan agribisnis, yaitu
pendekatan dalam pembangunan pertanian yang tidak hanya memandang
pertanian sebagai produksi primer di usahatani saja melainkan mencakup juga
produksi dan distribusi alat, bahan input dan jasa pertanian, serta distribusi dan
pengolahan hasil pertanian. Sistem agribisnis kakao merupakan rangkaian
beberapa kegiatan yang saling mempengaruhi dan terkait yaitu kegiatan dari
hulu sampai hilir, usaha pengadaan input, usahatani kakao, usaha perkebunan
kakao, usaha pengolahan hasil atau agroindustri kakao, usaha perdagangan atau
pemasaran kakao, usaha jasa, dan pendukung agribisnis kakao (Maswadi, 2011).
Pengembangan kakao di Indonesia tersebar di beberapa wilayah. Sentra
produksi kakao antara lain, Propinsi Sulawesi Selatan, Indonesia, Sulawesi
Tengah, Lampung, dan Propinsi Bali. Sulawesi merupakan salah satu daerah di
Indonesia yang memiliki perkebunan kakao rakyat dan pemerintah yang cukup
luas. Sektor perkebunan merupakan andalan bagi pemerintah Indonesia dan
tanaman perkebunan yang potensial serta paling banyak ditanam oleh
masyarakat adalah tanaman kakao. Berikut adalah tabel luas areal, produksi, dan
produktifitas kakao di Indonesia tahun 1998-2002.
Tabel 1. Perkembangan Areal, Produksi, dan Produktivitas Kakao di Indonesia
2008-2012
Tahun Luas Areal Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)
2008 96658 106323,8 1129,51
2009 99847 94854,6 951,35
2010 100393 90253,3 899,19
2011 110293 111395,9 1019,51
2012 127547 125761,3 986,99
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2008-2012
Dari tabel 1, dapat dilihat bahwa peningkatan luas areal produksi kakao
tidak mempengaruhi peningkatan produksi dan produktivitas kakao. Luas areal
tertinggi yaitu 127,547 ha tahun 2012 dan luas areal terendah yaitu 96,658 ha
tahun 2008. Produksi kakao tertinggi yaitu 125761,3 ton tahun 2002 dan
produksi kakao terendah yaitu 90253,3 ton tahun 2010. Sedangkan produktivitas
kakao 2008-2012 tertinggi yaitu 1129,51 kg/ha tahun 2008 dan produktivitas
kakao terendah 899,19 kg/ha tahun 2010. Oleh karena itu, luas areal yang tinggi
tidak dapat menjamin produksi dan produktivitas kakao tinggi karena sistem
agribisnis saling mempengaruhi dan terkait antar subsistem dalam melakukan
budidaya kakao. Hendaknya dapat meningkatkan mutu produk dari kakao dan
pengembangan produk hilir kakao guna meningkatkan daya saing kakao. Hal ini
menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkan usaha dan meraih
nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.
1.2 Identifikasi Masalah Sesuai dengan uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa
permasalahan di daerah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana sistem agribisnis kakao di Indonesia ?
2. Bagaimana strategi pengembangan pemasaran kakao melalui pembentukan
marketing cartel ?
1.3 Manfaat
1. Untuk mengetahui sistem agribisnis kakao di Indonesia.
2. Untuk mengetahui strategi-strategi yang dilakukan dalam pengembangan
agribisnis kakao di Indonesia
1.4 Tujuan
1. Sebagai bahan informasi bagi petani kakao dalam menjalakan usahatani.
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak terkait dalam melakukan
pengembangan budidaya kakao.
3. Sebagai sumber referensi dan studi bagi peneliti selanjutnya.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Menurut penelitian Maswadi (2011), berjudul prospek dan strategi
pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan di Sumatera Barat bahwa
pertanian masih menjadi penyumbang terbesar bagi PDRB Sumatera Barat
dengan pangsa 24,46%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan
pangsa 17,74%, sektor jasa 15,68% dan sektor angkutan dan komunikasi 15,02%.
Sub sektor perkebunan memberikan sumbangan terbesar kedua di sektor
pertanian setelah tanaman pangan dan hortikultura yaitu dengan pangsa 5,45%,
sedikit menurun dibanding tahun 2007 yang pangsanya sebesar 5,61% ( Disbun
Sumbar, 2009a). Disamping itu beberapa tahun terakhir, kakao menunjukkan
peran yang makin nyata bagi perekonomian regional Sumatera Barat khusunya
sebagai penyedia lapangan kerja, penyumbang PDRB dan penghasil devisa
melalui ekspor.
Hal ini merupakan buah keberhasilan pencanangan Sumatera Barat sebagai
sentra produksi kakao. Selaras dengan kegiatan pengembangan, produksi
perkebunan kakao Sumatera Barat terus meningkat dari yang belum begitu
diperhitungkan secara nasional hingga tahun 2004 (urutan ke 13 luas areal dan
urutan ke 12 produksi), maka sejak tahun 2007 Sumatera Barat dengan total
produksi 20.917 ton biji kakao tercatat sebagai penghasil kakao urutan ke 8, baik
dari segi luas maupun produksi. Pada tahun 2008, produksi kakao Sumatera
Barat tercatat sebesar 32.376 ton. Dengan total produksi tersebut Sumatera
Barat diperkirakan berada pada posisi ke 6 produsen kakao terbesar secara
nasional dan berada pada posisi kedua wilayah
Pengembangan perkebunan kakao dilakukan secara tradisional dan masih
memegang kuat ketentuan-ketentuan adat khususnya terkait dengan konservasi
sumberdaya alam. Hal ini mereka lakukan karena mereka hidup di lingkungan
alam pegunungan dengan kemiringan yang cukup tajam dan membutuhkan
pengelolaan yang baik agar tidak terjadi bencana. Karena itu penentuan lokasi
kebun kakao dan cara pengelolaan oleh petani dilakukan dengan sangat hati-
hati, sehingga pengembangan perkebunan kakao dapat dikatakan tidak
menimbulkan permasalahan lingkungan yang berarti (Disbun Sumbar, 2009).
2.2 Kakao
Menurut Tjitrosoepomo dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(2008), kakao merupakan saatu-satunya diantara 22 jenis marga Theobroma,
suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Kakao sebagai tanaman
budidaya memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu tumbuh
optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama pertumbuhan
tanaman kakao selain faktor lain seperti sifat genetis dan perlakuan kultur teknis.
Adapun klasifikasi kelapa sawit sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Malvales
Suku : Sterculiaceae
Marga : Theobroma
Jenis :Theobroma cacao L.
Beberapa sifat dari buah dan biji digunakan sebagai dasar klasifikasi dalam
sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan
dalam empat populasi, yaitu Forma Cacao, Forma Pentagonum, Forma
Leiocarpum, dan Forma Lacandonense. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat
beragam, demikian juga daya dan mutu hasilnya.
Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-
pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta
kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam habitat seperti itu, tanaman kakao
akan tumbuh tinggi tetapi bungan dan buahnya sedikit.
Tanaman kakao bersfifat dimorfisme (mempunyai dua bentuk tunas
vegetatif). Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas
ortrotop atau tunas air, sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping
disebut plagiotrop. Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0.9-1.5
meter akan berhenti tumbuh dan membentuk jorket. Jorket adalah tempat
percabangan dari pola percabangan ortrotop ke plagiotrop dan khas hanya pada
tanaman kakao.
Daun kakao bersifat dimorfisme. Pada tunas ortrotop, tangkai daun
memiliki panjang 7.5-10 cm. Tangkai daun berbentuk silinder dan bersisik halus
serta bergantung. Sifat khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian yang
terletak di pangkal dan ujung tangkai daun. Bentuk helai daun bulat memanjang,
ujung daun meruncing, dan pangkal daun runcing. Susunan tulang daun menyirip
dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun.
Akar tanaman kakao sebagian besar merupakan akar lateral berkembang
dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah 0-30 cm. Jangkauan akar
lateral tanaman kakao dinyatakan jah di luar proyeksi tajuk. Ujungnya
membentuk cabang-cabang kecil yang susunannya berlapis-lapis.
Bunga tanaman kakao bersifat kauliflori yaitu bunga tumbuh dan
berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh
bunga semakin lama membesar dan menebal. Bunga kakao mempunyai rumus
K5C5A5+5G(5) yang artinya bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu
sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan
masing-masing terdiri dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil dan
5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu, atau
kemerahan.warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota.
Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua
macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika
sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda
berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Buah akan masak
setelah berumur enam bulan. Pada saat itu, ukurannya beragam dari 10-30 cm
sesuai pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah.
Oleh karena itu, mutu produksi buah kakao juga dipengaruhi dari usaha tani
kakao tersebut.
2.3 Perkebunan Kakao
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2008) bahwa usahatani (farm)
adalah organisasi dari alam (lahan), tenaga kerja, dan modal yang ditujukan
kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi tersebut berdiri sendiri dan
sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang sebagai
pengelolanya. Istilah usahatani telah mencakup pengertian yang luas, dari
bentuk yang paling sederhana hingga modern. Usahatani di Indonesia
merupakan usahatani yang dilaksanakan secara komersil, yaitu perkebunan.
Subsektor pertanian yaitu perkebunan kakao merupakan salah satu
komoditas yang pertumbuhannya paling pesat dibandingkan dengan komoditas
perkebunan lainnya. Perkebunan kakao berkembang sangat pesat pada era
tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an. Areal produksi juga
meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Laju pertumbuhan yang pesat menandai
era dimana kelapa sawit bukan lagi merupakan primadona perkebunan.
Usaha tani merupakan bagian dari subsistem agribisnis yang mengandung
pengertian sebagai rangkaian kegiatan dari beberapa sub-sistem yang saling
terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Setidaknya ada Lima sub-sistem yang
saling terkait adalah (1) sub-sistem faktor input pertanian (input factor sub-
system), (2) sub-sistem produksi pertanian (production sub-system), (3) sub-
sistem pengolahan hasil pertanian (processing subsystem), (4) sub-sistem
pemasaran (marketing subsystem), dan (5) sub-sistem kelembagaan penunjang
(Sumardjo, 2010). Subsistem agribisnis saling mempengaruhi antar masing-
masing subsistem, sehingga perlu adanya keterkaiatan dalam pengembangan
sistem agribisnis yang nantinya dijalankan, misalnya yaitu oengembangan
agribisnis kakao.
Kakao berasal dari Benua Amerika pada bagian yang mempunyai iklim
tropis. Sangat sulit untuk mengetahui negara bagian mana tepatnya tanaman ini
berasal, karena tanaman ini telah tersebar secara luas semenjak penduduk
daerah itu masih hidup mengembara. Tanaman ini mulai masuk ke Indonesia
sekitar tahun 1560 oleh orang Spanyol melalui Sulawesi dan kakao mulai
dibudidayakan secara luas sejak tahun 1970.
Pengembangan kakao di Indonesia tersebar di beberapa wilayah, dan yang
termasuk propinsi sentra produksi kakao adalah Propinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia, Sulawesi Tengah, Lampung dan Propinsi Bali. Dalam agribisnis kakao
ada beberapa kendala yang dihadapi, khususnya dalam peningkatan
produktivitas dan kualitas yang dihasilkan antara lain adalah masih
mempergunakan teknologi tradisional dengan bahan tanaman yang tidak berasal
dari klon atau biji yang terpilih dan dengan budidaya yang kurang memadai, serta
serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) berupa hama dan penyakit.
Selain permasalahan tersebut, dalam era globalisasi dewasa ini terdapat
tuntutan terhadap produk yang dihasilkan harus memenuhi kualitas yang tinggi
dan proses produksi akrab lingkungan. Fakta di lapang menunjukkan bahwa
pengendalian hama di tingkat produsen saat ini masih terbatas pada penggunaan
pestisida saja, sementara tuntutan konsumen mengarah kepada persyaratan
lingkungan yang diakui oleh WTO (ISO 14000) dan Codex Alimentarius (adanya
ambang batas maksimum kandungan zat tambahan, logam berat, residu
pestisida, dan bahan pencemar lainnya). Artinya, apabila kakao Indonesia ingin
bersaing di pasar global maka persyaratan tersebut harus dipenuhi. Dengan
melihat permasalahan dan tantangan yang dihadapi tersebut, maka tulisan ini
bertujuan untuk melihat agribisnis kakao (Darwis, 2008).
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Sistem Agribisnis Kakao di Indonesia 3.1.1 Usaha Perkebunan Kakao
Sistem agribisnis kakao tidak dapat dipisahkan dari subsistem utama yaitu
budidaya kakao atau usaha perkebunan kakao yang pelakunya adalah petani.
Petani kakao dapat menjalankan fungsinya baik sebagai petani yang mengelola
usaha perkebunannya dan juga sebagai pengusaha yang melakukan fungsi
agroindustri yaitu mengolah hasil kebun kakao menjadi produk biji kakao yang
siap untuk dipasarkan, juga petani dapatmenjalankan fungsi pemasaran yaitu
memasarkan produk berupa buah atau biji kakao ke konsumen. Berdasarkan
status kepemilikan, usaha perkebunan kakao di Indonesia terbagi atas Usaha
Perkebunan Rakyat (PR), Usaha Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan
Besar Swasta (PBS)
Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan kakao di Indonesia
didominasi oleh usaha Perkebunan Rakyat yang mencapai 87,4%, Perkebunan
Besar Negara 6,0% dan Perkebunan Besar Swasta 6,67%. Tentunya kebijakan
pengembangan usaha perkebunan kakao oleh pemerintah akan mengarah pada
petani kebun kakao juga segala akibat persaingan produksi dan pasar produk
kakao domestik maupun mancanegara secara jelas yang terkena dampak adalah
petani kakao. Mulai tahun 2009 sampai 2011, Departemen Pertanian telah
melaksanakan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional melalui
program rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi perkebunan rakyat.
3.1.2 Agroindustri Kakao
Kakao adalah komoditas perkebunan yang memiliki produk turunan yang
cukup beragam. Produk turunan kakao tidak hanya berbahan baku biji kakao saja
namun juga berbahan baku bagian lain buah kako. Bagian lain buah kakao seperti
kulit kakao, kulit ari pelapis biji kakao serta bagian yang lain juga merupakan
bahan baku bagi produk turunan kakao yang juga memiliki nilai ekonomis yang
tinggi. Berikut adalah pohon agroindustri kakao yang menggambarkan produk-
produk turunan kakao.
Gambar 1 Pohon Agroindustri Kakao
Produk kakao selama ini lebih banyak diekspor dalam wujud biji kering
kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya terhadap
perekonomian sedikit. Diduga yang menjadi faktor pendorong adalah selain
harga yang semakin tinggi, juga pembebasan tarif ekspor sehingga tanpa
pengolahan lanjut setelah fermentasi dan pengemasan biji kakao sudah dapat
diekspor. Namun ini merupakan faktor penyebab eksportir tidak memperhatikan
kualitas biji kakao yang ditentukan di pasar dunia. Selanjutnya kualitas biji kakao
yang diekspor oleh Indonesia dikenal sangat rendah (beradadi kelas 3 dan 4). Hal
ini disebabkan oleh, pengelolaan produk kakao yang masih tradisional (85% biji
kakao produksi nasionaltidak difermentasi) sehingga kualitas kakao Indonesia
menjadi rendah. Kualitas rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao
Indonesia di pasar internasional dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari
harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor kakao olahan(sebesar 30%) relatif
lebih tinggi dibandingkan dengan beban pajak impor produk kakao (5%),kondisi
tersebut telah menyebabkan jumlahpabrik olahan kakao Indonesia terus
menyusut(Suryani, 2007). Selain itu para pedagang (terutama trader asing) lebih
senang mengekspor dalam bentuk biji kakao (nonolahan).
Sementara mengenai pengolahan biji kakao di Indonesia, dari 16 industri
pengolahan kakao dengan kapasitas mencapai230.000 ton, hanya terdapat lima
pabrik diantaranya yang masih tetap berproduksi sesuai dengan kapasitas
terpasang. Total kapasitasterpasang kelima industri tersebut mencapai 140.000
ton.
3.1.3 Pemasaran Kakao
Negara-negara penghasil kakao dominan adalah negara-negara Afrika, Asia
dan Oceania juga negara-negara Amerika. Negara negara di Eropa tidak
memproduksi kakao namun sebagai konsumen dari produk kakao. Negara-
negara konsumen kakao terbesar masih dipegang negara-negara Eropa sebanyak
42,10 persen, sedangkan produsen kakao terbesar masih dipegang negara-
negara Afrika, Asia dan Oceania. Permintaan tertinggi berasal dari Negara
Belanda, Amerika Serikat dan Jerman. Konsumsi kakao cenderung meningkat tiap
tahun di negara-negara maju.
Dalam hal pemasaran dan penguasaan pangsa pasar internasional,
komoditas perkebunan dan pertanian umumnya menderita gejala struktur pasar
yang sangaat asimetris antara pasar internasional dan pasar domestik. Gejala
asimetris tersebut sering dianalogikan dengan fenomena serupa pada hubungan
antara petani produsen dan pedagang atau konsumen, karena produsen
komoditas perkebunan sebagian besar berada di negaranegara berkembang
sementara konsumen produk hilir perkebunan berada di negaranegara maju.
Bagi negara-negara berkembang yang lebih banyak mengandalkan ekspor
komoditas pertanian dan agroindustri, struktur pasar yang asimetris jelas
merupakan ancaman serius bagi peningkatan produksi, produktivitas dan ekspor
komoditas.
Pasar ekspor produk kakao Indonesia yang kebutuhannya lebih dari 20.000
ton beberapa tahun terakhir adalah China, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat,
Australia dan Brasil. Data Askindo tahun 2008, total ekspor kakao mencapai
142.000 ton dan 40% di antaranya dipasarkan ke Amerika Serikat, sedang sisanya
60% persen dipasarkan ke pasar Asia dibanding Eropa. Sekitar 70 persen dari
total produksi biji kakao nasional diekspor dalam bentuk biji kakao mentah,
hanya 30 persen yang diolah di dalam negeri jadi produk kakao olahan seperti
cocoa butter, cocoa liquor, cocoa cake dan cocoa powder untuk kebutuhan
dalam negeri dan diekspor. Kakao yang diimpor Uni Eropa dari negara
berkembang kemudian diolah menjadi berbagai komoditi berbeda. Produk hasil
olahan kakao tersebut kemudian diekspor kembali ke berbagai negara asal bahan
mentahnya termasuk Indonesia. Umumnya produk olahan kakao yang diekspor
kembali oleh Uni Eropa adalah coklat dan produk makanan yang mengandung
coklat. Namun demikian disamping produk olahan kakao, diantara negara Uni
Eropa juga terjadi perdagangan ekspor biji kakao untuk keperluan industri
pengolahan yang membutuhkan kakao sebagai bahan bakunya.
3.2 Strategi Pengembangan Pemasaran Kakao melalui Pembentukan Marketing Cartel
3.2.1 Struktur Marketing Cartel Pemasaran hasil perkebunan kakao secara konvensional memiliki banyak
kelemahan yang menyebabkan pasar kakao berjalan tidak efisien. Tidak
efisisiensinya pemasaran kakao ini berdampak pada besarnya margin pemasaran
dan juga terputusnya aliran informasi dari pasar ke petani kakao Terputusnya
informasi ini mengurangi pengetahuan petani tentang criteria-kriteria kakao
yang diinginkan oleh pasar yang pada ahirnya menyebabkan tidak optimalnya
hasil yang diperoleh oleh petani.
Pembentukan marketing cartel adalah salah satu solusi untuk mengatasi
hambatan-hambatan aliran informasi dari pasar kepada petani kakao. Marketing
cartel disini adalah kelompok pemasaran kakao yang dibentuk untuk menaungi
petani-petani kakao dalam hal pemasaran hasil kakaonya. Pelibatan pihak-pihak
yang berperan vital dalam kegiatan pemasaran kakao dalam marketing cartel
menjadi prioritas utama dari strategi ini. Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam
marketing cartel antara lain eksportir, lembaga penelitian, pemerintah, dan
petani kakao itu sendiri. Skema struktur marketing cartel adalah sebagai berikut.
Gambar 2. Struktur Marketing Cartel
Struktur teratas dari marketing cartel adalah eksportir kakao, Pemeilihan
eksportir kakao sebagai ujung tombak dari marketing cartel adalah status kakao
sebagai komoditas ekspor. Keadaan ini menjadikan hanya eksportir kakao yang
lebih mengetahui secara rinci bagaimana keadaan pasar kakao ekspor, baik dari
Marketing
Cartel
Eksportir
Lembaga
Penelitian
Pemerintah
Petani Anggota
sisi teknis maupun non teknis. Informasi pasar yang dimiliki oleh eksportir kakao
dapat langsung disampaikan kepada pihak-pihak yang terdapat dalam marketing
cartel. Informasi mengenai kualitas kakao yang diinginkan pasar dapat langsung
diberikan kepada petani sehingga petani mengetahui pasti kakao yang seperti
apa yang harus mereka produksi.
Adanya marketing cartel juga mampu menghubungkan lembaga penelitian
dengan petani sehingga para peneliti mengetahui dengan pasti permasalahan
apa yang sedang dihadapi oleh petani. Selain itu adanaya marketing cartel juga
memudahkan sosialisasi dan penerapan hasil penelitian. Kemudian bertemunya
lembaga penelitian dengan pihak eksportir juga membuka peluang untuk
penelitian tentang pengembangan kualitas kakao secara tepat sasaran. Tepat
sasaran karena pengetahuan eksportir kakao tentang kualitas kakao yang
diinginkan pasar bisa diterima langsung oleh lembaga penelitian, sehingga
lembaga penelitian dapat melakukan penelitian sesuai dengan keadaan pasar.
Kemudian terlibatnya Pemerintah dalam marketing cartel juga membantu
terciptanya kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran. Kebijakan tepat sasaran
karena bertemunya pemerintah dengan pihak petani dan pihak eksportir akan
memperbesar peluang terciptanya kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan
pihak-pihak tersebut. Seperti contoh untuk kebijakan di bidang produksi,
Pemerintah dapat mengetahui secara pasti dan langsung tentang apa yang
sebenarnya dibutuhkan petani dan juga dalam kebijakan yang berkaitan dengan
ekspor kakao Pemerintah juga bisa merumuskan kebijakan yang dibutuhkan oleh
para eksportir kakao.
Adanya marketing cartel juga menguntungkan bagi petani karena mendapat
kepastian pasar. Adanya kepastian pasar ini mampu meningkatkan minat petani
dalam melakukan kegiatan budidaya kakao yang pada ahirnya akan berdampak
pada meningkatnya kualitas dan kuantita produksi kakao.
3.2.2 Mekanisme Marketing Cartel sebagai Lembaga Pengembang Agribisnis Kakao di Indonesia
Permasalahan utama yang dihadapi oleh pemasaran kakao adalah
rendahnya kualitas biji kakao yang dihasilkan petani. Rendahnya biji kakao ini
dicirikan dengan tingginya kandungan asam dalam biji kakao yang disebabkan
oleh tidak difermentasinya biji kakao pada tingkat petani. Keengganan petani
untuk melakukan fermentasi disebabkan karena harga biji kakao di tingkat petani
pada saluran pemasaran konvensional tidak ada perbedaan antara biji kakao
yang difermentasi yang tidak. Sehingga petani memilih untuk tidak
memfermentasi biji kakao yang dihasikannya.
Adanya marketing cartel mampu mengatasi permasalahan pemasaran
pada saluran pemasaran kakao yang konvensional. Adanya marketing cartel
mampu memberikan petani akses pasar yang lebih dalam sehingga selain
menjadikan efisiensi kegiatan pemasaran tinggi juga dimungkinkan untuk
memperoleh nilai tambah biji kakao dengan melaakukan fermentasi. Nilai
tambah ini bisa diperoleh karena dengan adanya marketing cartel biji kakao
fermentasi bisa diarahkan kepada pasar kakao kualitas premium dengan
mengandalkan kinerja eksportir.
Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana menjadikan petani yang
sebelumnya tidak mau memfermentasi biji kakao yang dihasilkannya menjadi
mau untuk melakukan fermentasi. Adanya marketing cartel juga merupakan
alternatif dalam menyelesaikan permasalahan ini. Salah satu pihak yang
tergabung dalam marketing cartel adalah lembaga penelitian. Lembaga
penelitian khususnya ICCRI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia) memiliki
konsep pengolahan pasca panen kakao berbasis UKM yang disebut dengan UPH
(Unit Pengolahan Hasil) Kakao, yang didalamnya mencakup seluruh aspek usaha
teknis pengolahan kakao (mulai dari pemanenan, fermenasi hingga
penyimpanan), aspek manajemen usaha serta pemasaran. UPH ini merupakan
unit pengolahan yang berbasis UKM sehingga petani kakao dapat
mengaplikasikan model UPH ini secara swadaya. Selain itu adanya lembaga
penelitian juga menjadi pembimbing dalam proses adopsi inovasi UPH ini.
Marketing cartel juga berperan dalam mempercepat adopsi inovasi ini dengan
mekanisme sebagai berikut.
Gambar 3. Mekanisme Pengembangan Pengolahan Hasil Kakao oleh Marketing Cartel
Berdasarkan skema diatas dapat diketahui bahwa masing-masing pihak
yang tergabung dalam marketing cartel terlibat juga dalam upaya
pengembangan pengolahan biji kakao. Masing-masing pihak yang terlibat dalam
marketing cartel memiliki peran yang vital dimana petani merupakan pihak
dalam marketing cartel yang didukung oleh pihak lainnya. Pada dasarnya adanya
marketing cartel ini bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar petani kakao
dalam struktur agribisnis kakao. Setelah petani memiliki posisi tawar yang baik
maka pengembangan selanjutnya tidak akan lagi menyudutkan petani.
Pemerintah
(Bantuan pendanaan dan Kebijakan Pengembangan
UKM)
UPH Kakao
(Pemanenan, pengolahan awal biji, fermentasi, dan
penggudangan)
Lembaga Penelitian
(Bimbingan teknis pengelolaan
UPH dan Pengembangan UPH)
Eksportir Kakao
(Pemasaran Biji Kakao
hasil olahan UPH Kakao)
Petani
(Peneyedia Bahan Baku UPH sekaligus pelaksanan
UPH Kakao)
BAB 4. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1 Simpulan
1. Tidak efisiensinya saluran pemasaran kakao adalah penyebab utama
terputusnya aliran informasi permintaan pasar kepada petani kakao dan
besarnya margin pemasaran.
2. Pelibatan pihak Pemerintah, Eksportir Kakao, Lembaga Pemelitian dan
Petani kakao dalam marketing cartel mampu mengatasi hambatan-
hamabatan aliran informasi dan memperkecil margin pemasaran.
4.2 Rekomendasi
1. Sebaiknya pengembangan sistem agribisnis kakao lebih difokuskan pada
usaha mengefisiensikan kegiatan pemasaran kakao dibandingkan dengan
perluasan lahan ataupun pengembangan industri pengolahan kakao,
kegiatan pemasaran kakao yang tidak efisien akan selalu mengurangi nilai
ekonomi dari kakao.
2. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang paling besar seharusnya
menjadi inisiator pembentukan marketing cartel.
DAFTAR PUSTAKA
Amran, A. 2011. Studi Evaluasi Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu
Kakao (Gernas Kakao).
Deptan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Maswadi. 2011. Prospek dan Strategi Pengembangan Perkebunan Kakao
di Sumatera Barat. ISSN: 2088-6381 Vol 1, No 2, hal 23-30.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Budidaya Kakao. Jakarta: PT.
Agromedia Pustaka.
Ragimun. 2012. Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia. Jurnal
Pembangunan Manusia Vol.6, No.2.