21
APLIKASI MODEL MARKETING CARTEL UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI KEGIATAN DAN ALIRAN INFORMASI DALAM PEMASARAN KOMODITAS KAKAO EKSPOR INDONESIA TUGAS INDIVIDU diajukan guna memenuhi salah satu syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Kapita Selekta pada Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Jember Oleh: Ahmad Fatikhul Khasan NIM. 111510601073 PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS JEMBER 2014

Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Aplikasi marketing cartel untuk mengefisienkan pemasaran kakao.

Citation preview

Page 1: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

APLIKASI MODEL MARKETING CARTEL UNTUK MENINGKATKAN EFISIENSI KEGIATAN DAN ALIRAN INFORMASI DALAM PEMASARAN

KOMODITAS KAKAO EKSPOR INDONESIA

TUGAS INDIVIDU

diajukan guna memenuhi salah satu syarat menyelesaikan tugas mata kuliah Kapita Selekta pada Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Jember

Oleh:

Ahmad Fatikhul Khasan

NIM. 111510601073

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JEMBER

2014

Page 2: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

sumberdaya alam, terutama dari hasil pertanian. Peran sektor pertanian antara

lain sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi. Peran sektor

pertanian Indonesia dapat ditingkatkan lagi apabila dikelola dengan baik,

mengingat semakin langkanya atau menurunnya mutu sumber daya alam,

seperti minyak bumi dan air serta lingkungan secara global. Sektor pertanian

akan terus menjadi sektor penting dalam upaya pengentasan kemiskinan,

memperbesar kesempatan kerja, peningkatan pendapatan nasional, dan

penerimaan ekspor serta berperan sebagai produsen bahan baku untuk

meningkatkan nilai tambah di sektor industri dan jasa (Deptan, 2007). Oleh

karena itu, sektor pertanian berpengaruh dalam struktur perekonomian

Indonesia.

Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang

mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah yang

tercermin dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB).

Berdasarkan harga yang berlaku, subsektor perkebunan mempunyai kontribusi

yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Sebagai negara berkembang

dimana penyediaan lapangan kerja merupakan masalah yang mendesak,

subsektor perkebunan mempunyai kontribusi yang cukup signifikan. MenuruT

Deptan (2007), subsektor perkebunan sebagai bagian integral dari sektor

pertanian, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (i) ditinjau dari cakupan

komoditasnya, meliputi sekitar 145 jenis tanaman berupa tanaman tahunan dan

tanaman semusim, (ii) ditinjau dari hasil produksinya, merupakan bahan baku

industri atau ekspor, dan (iii) ditinjau dari pengusahaanya, sekitar 85%

merupakan usaha perkebunan rakyat yang tersebar di berbagai daerah.

Page 3: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

Menurut Zamdan Hamra (2008), komoditi perkebunan mempunyai peran

penting dalam aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, sosial maupun

ekologi. Dari aspek ekonomi, perkebunan telah menghasilkan devisa negara, dari

aspek sosial dapat mengatasi pengangguran dengan kemampuannya menyerap

tenaga kerja, serta dari aspek ekologi, marnpu menjaga dan mempertahankan

kelestarian alam. Perkebunan mampu mempercepat pembangunan dari

ketertinggalan suatu daerah. Beberapa komoditas perkebunan yang dianggap

penting di Indonesia, yaitu: karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, kakao, teh, dan tebu

yang merupakan komoditas unggulan sebagai penyumbang devisa negara.

Menurut Amran Arman (2011), tanaman kakao (Theobroma cacao L.)

merupakan tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomis cukup baik dan

peluang pasar cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan permintaan

pasar dunia yang semakin meningkat dengan rata-rata 1.500.000 ton/tahun.

Peluang pasar semakin terbuka seiring dengan adanya kemunduran produksi

yang dialami oleh negara-negara penghasil kakao lainnya. Kakao cukup penting

bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja,

sumber pendapatan, dan devisa negara. Kakao juga berperan dalam mendorong

pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.

Indonesia merupakan negara produsen utama kakao dunia. Luas areal

tanaman kakao Indonesia + 1,4 juta hektar dengan produksi + 500 ribu ton/tahun

menempatkan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia setelah

Pantai Gading dan Ghana sedangkan dari sisi industri (world cocoa brinding),

Indonesia berada di nomor tujuh dunia di bawah Belanda, Amerika, Jerman,

Pantai Gading, Malaysia, dan Brazil. Luas perkebunan kakao di Indonesia terus

meningkat sepanjang 5 tahun terakhir. Dengan demikian, peluang peningkatan

produksi terbuka luas termasuk penambahan nilai tambah produk dari kakao.

Indonesia memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing dengan

meningkatkan produk olahan kakao. Namun, industri pengolahan kakao di

Indonesia hingga saat ini belum berkembang, bahkan tertinggal dibandingkan

Page 4: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

negara-negara produsen olahan kakao yang tidak didukung ketersediaan bahan

baku yang memadai, seperti Malaysia. Pengembangan daya saing diperlukan

untuk meningkatkan kemampuan penetrasi kakao dan produk kakao Indonesia

di pasar ekspor, baik dalam kaitan pendalaman maupun perluasan pasar.

Peningkatan daya saing kakao dapat dilakukan dengan efisiensi biaya produksi

dan pemasaran, dan peningkatan mutu kakao (Ragimun, 2012).

Peningkatan mutu kakao dilakukan dengan pengembangan agribisnis, yaitu

pendekatan dalam pembangunan pertanian yang tidak hanya memandang

pertanian sebagai produksi primer di usahatani saja melainkan mencakup juga

produksi dan distribusi alat, bahan input dan jasa pertanian, serta distribusi dan

pengolahan hasil pertanian. Sistem agribisnis kakao merupakan rangkaian

beberapa kegiatan yang saling mempengaruhi dan terkait yaitu kegiatan dari

hulu sampai hilir, usaha pengadaan input, usahatani kakao, usaha perkebunan

kakao, usaha pengolahan hasil atau agroindustri kakao, usaha perdagangan atau

pemasaran kakao, usaha jasa, dan pendukung agribisnis kakao (Maswadi, 2011).

Pengembangan kakao di Indonesia tersebar di beberapa wilayah. Sentra

produksi kakao antara lain, Propinsi Sulawesi Selatan, Indonesia, Sulawesi

Tengah, Lampung, dan Propinsi Bali. Sulawesi merupakan salah satu daerah di

Indonesia yang memiliki perkebunan kakao rakyat dan pemerintah yang cukup

luas. Sektor perkebunan merupakan andalan bagi pemerintah Indonesia dan

tanaman perkebunan yang potensial serta paling banyak ditanam oleh

masyarakat adalah tanaman kakao. Berikut adalah tabel luas areal, produksi, dan

produktifitas kakao di Indonesia tahun 1998-2002.

Page 5: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

Tabel 1. Perkembangan Areal, Produksi, dan Produktivitas Kakao di Indonesia

2008-2012

Tahun Luas Areal Produksi (ton) Produktivitas (kg/ha)

2008 96658 106323,8 1129,51

2009 99847 94854,6 951,35

2010 100393 90253,3 899,19

2011 110293 111395,9 1019,51

2012 127547 125761,3 986,99

Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2008-2012

Dari tabel 1, dapat dilihat bahwa peningkatan luas areal produksi kakao

tidak mempengaruhi peningkatan produksi dan produktivitas kakao. Luas areal

tertinggi yaitu 127,547 ha tahun 2012 dan luas areal terendah yaitu 96,658 ha

tahun 2008. Produksi kakao tertinggi yaitu 125761,3 ton tahun 2002 dan

produksi kakao terendah yaitu 90253,3 ton tahun 2010. Sedangkan produktivitas

kakao 2008-2012 tertinggi yaitu 1129,51 kg/ha tahun 2008 dan produktivitas

kakao terendah 899,19 kg/ha tahun 2010. Oleh karena itu, luas areal yang tinggi

tidak dapat menjamin produksi dan produktivitas kakao tinggi karena sistem

agribisnis saling mempengaruhi dan terkait antar subsistem dalam melakukan

budidaya kakao. Hendaknya dapat meningkatkan mutu produk dari kakao dan

pengembangan produk hilir kakao guna meningkatkan daya saing kakao. Hal ini

menjadi tantangan sekaligus peluang untuk mengembangkan usaha dan meraih

nilai tambah yang lebih besar dari agribisnis kakao.

Page 6: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

1.2 Identifikasi Masalah Sesuai dengan uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa

permasalahan di daerah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana sistem agribisnis kakao di Indonesia ?

2. Bagaimana strategi pengembangan pemasaran kakao melalui pembentukan

marketing cartel ?

1.3 Manfaat

1. Untuk mengetahui sistem agribisnis kakao di Indonesia.

2. Untuk mengetahui strategi-strategi yang dilakukan dalam pengembangan

agribisnis kakao di Indonesia

1.4 Tujuan

1. Sebagai bahan informasi bagi petani kakao dalam menjalakan usahatani.

2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak terkait dalam melakukan

pengembangan budidaya kakao.

3. Sebagai sumber referensi dan studi bagi peneliti selanjutnya.

Page 7: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Menurut penelitian Maswadi (2011), berjudul prospek dan strategi

pengembangan perkebunan kakao berkelanjutan di Sumatera Barat bahwa

pertanian masih menjadi penyumbang terbesar bagi PDRB Sumatera Barat

dengan pangsa 24,46%, diikuti sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan

pangsa 17,74%, sektor jasa 15,68% dan sektor angkutan dan komunikasi 15,02%.

Sub sektor perkebunan memberikan sumbangan terbesar kedua di sektor

pertanian setelah tanaman pangan dan hortikultura yaitu dengan pangsa 5,45%,

sedikit menurun dibanding tahun 2007 yang pangsanya sebesar 5,61% ( Disbun

Sumbar, 2009a). Disamping itu beberapa tahun terakhir, kakao menunjukkan

peran yang makin nyata bagi perekonomian regional Sumatera Barat khusunya

sebagai penyedia lapangan kerja, penyumbang PDRB dan penghasil devisa

melalui ekspor.

Hal ini merupakan buah keberhasilan pencanangan Sumatera Barat sebagai

sentra produksi kakao. Selaras dengan kegiatan pengembangan, produksi

perkebunan kakao Sumatera Barat terus meningkat dari yang belum begitu

diperhitungkan secara nasional hingga tahun 2004 (urutan ke 13 luas areal dan

urutan ke 12 produksi), maka sejak tahun 2007 Sumatera Barat dengan total

produksi 20.917 ton biji kakao tercatat sebagai penghasil kakao urutan ke 8, baik

dari segi luas maupun produksi. Pada tahun 2008, produksi kakao Sumatera

Barat tercatat sebesar 32.376 ton. Dengan total produksi tersebut Sumatera

Barat diperkirakan berada pada posisi ke 6 produsen kakao terbesar secara

nasional dan berada pada posisi kedua wilayah

Pengembangan perkebunan kakao dilakukan secara tradisional dan masih

memegang kuat ketentuan-ketentuan adat khususnya terkait dengan konservasi

sumberdaya alam. Hal ini mereka lakukan karena mereka hidup di lingkungan

alam pegunungan dengan kemiringan yang cukup tajam dan membutuhkan

Page 8: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

pengelolaan yang baik agar tidak terjadi bencana. Karena itu penentuan lokasi

kebun kakao dan cara pengelolaan oleh petani dilakukan dengan sangat hati-

hati, sehingga pengembangan perkebunan kakao dapat dikatakan tidak

menimbulkan permasalahan lingkungan yang berarti (Disbun Sumbar, 2009).

2.2 Kakao

Menurut Tjitrosoepomo dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia

(2008), kakao merupakan saatu-satunya diantara 22 jenis marga Theobroma,

suku Sterculiaceae yang diusahakan secara komersial. Kakao sebagai tanaman

budidaya memerlukan kondisi lingkungan yang baik agar mampu tumbuh

optimal. Keadaan iklim dan tanah merupakan faktor utama pertumbuhan

tanaman kakao selain faktor lain seperti sifat genetis dan perlakuan kultur teknis.

Adapun klasifikasi kelapa sawit sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Malvales

Suku : Sterculiaceae

Marga : Theobroma

Jenis :Theobroma cacao L.

Beberapa sifat dari buah dan biji digunakan sebagai dasar klasifikasi dalam

sistem taksonomi. Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan

dalam empat populasi, yaitu Forma Cacao, Forma Pentagonum, Forma

Leiocarpum, dan Forma Lacandonense. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat

beragam, demikian juga daya dan mutu hasilnya.

Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-

pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta

kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam habitat seperti itu, tanaman kakao

akan tumbuh tinggi tetapi bungan dan buahnya sedikit.

Page 9: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

Tanaman kakao bersfifat dimorfisme (mempunyai dua bentuk tunas

vegetatif). Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas

ortrotop atau tunas air, sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping

disebut plagiotrop. Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0.9-1.5

meter akan berhenti tumbuh dan membentuk jorket. Jorket adalah tempat

percabangan dari pola percabangan ortrotop ke plagiotrop dan khas hanya pada

tanaman kakao.

Daun kakao bersifat dimorfisme. Pada tunas ortrotop, tangkai daun

memiliki panjang 7.5-10 cm. Tangkai daun berbentuk silinder dan bersisik halus

serta bergantung. Sifat khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian yang

terletak di pangkal dan ujung tangkai daun. Bentuk helai daun bulat memanjang,

ujung daun meruncing, dan pangkal daun runcing. Susunan tulang daun menyirip

dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun.

Akar tanaman kakao sebagian besar merupakan akar lateral berkembang

dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah 0-30 cm. Jangkauan akar

lateral tanaman kakao dinyatakan jah di luar proyeksi tajuk. Ujungnya

membentuk cabang-cabang kecil yang susunannya berlapis-lapis.

Bunga tanaman kakao bersifat kauliflori yaitu bunga tumbuh dan

berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh

bunga semakin lama membesar dan menebal. Bunga kakao mempunyai rumus

K5C5A5+5G(5) yang artinya bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu

sama lain, 5 daun mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan

masing-masing terdiri dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil dan

5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu, atau

kemerahan.warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota.

Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua

macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika

sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda

berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Buah akan masak

Page 10: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

setelah berumur enam bulan. Pada saat itu, ukurannya beragam dari 10-30 cm

sesuai pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah.

Oleh karena itu, mutu produksi buah kakao juga dipengaruhi dari usaha tani

kakao tersebut.

2.3 Perkebunan Kakao

Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (2008) bahwa usahatani (farm)

adalah organisasi dari alam (lahan), tenaga kerja, dan modal yang ditujukan

kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi tersebut berdiri sendiri dan

sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang sebagai

pengelolanya. Istilah usahatani telah mencakup pengertian yang luas, dari

bentuk yang paling sederhana hingga modern. Usahatani di Indonesia

merupakan usahatani yang dilaksanakan secara komersil, yaitu perkebunan.

Subsektor pertanian yaitu perkebunan kakao merupakan salah satu

komoditas yang pertumbuhannya paling pesat dibandingkan dengan komoditas

perkebunan lainnya. Perkebunan kakao berkembang sangat pesat pada era

tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an. Areal produksi juga

meningkat dengan laju 9.4% per tahun. Laju pertumbuhan yang pesat menandai

era dimana kelapa sawit bukan lagi merupakan primadona perkebunan.

Usaha tani merupakan bagian dari subsistem agribisnis yang mengandung

pengertian sebagai rangkaian kegiatan dari beberapa sub-sistem yang saling

terkait dan mempengaruhi satu sama lain. Setidaknya ada Lima sub-sistem yang

saling terkait adalah (1) sub-sistem faktor input pertanian (input factor sub-

system), (2) sub-sistem produksi pertanian (production sub-system), (3) sub-

sistem pengolahan hasil pertanian (processing subsystem), (4) sub-sistem

pemasaran (marketing subsystem), dan (5) sub-sistem kelembagaan penunjang

(Sumardjo, 2010). Subsistem agribisnis saling mempengaruhi antar masing-

masing subsistem, sehingga perlu adanya keterkaiatan dalam pengembangan

Page 11: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

sistem agribisnis yang nantinya dijalankan, misalnya yaitu oengembangan

agribisnis kakao.

Kakao berasal dari Benua Amerika pada bagian yang mempunyai iklim

tropis. Sangat sulit untuk mengetahui negara bagian mana tepatnya tanaman ini

berasal, karena tanaman ini telah tersebar secara luas semenjak penduduk

daerah itu masih hidup mengembara. Tanaman ini mulai masuk ke Indonesia

sekitar tahun 1560 oleh orang Spanyol melalui Sulawesi dan kakao mulai

dibudidayakan secara luas sejak tahun 1970.

Pengembangan kakao di Indonesia tersebar di beberapa wilayah, dan yang

termasuk propinsi sentra produksi kakao adalah Propinsi Sulawesi Selatan,

Indonesia, Sulawesi Tengah, Lampung dan Propinsi Bali. Dalam agribisnis kakao

ada beberapa kendala yang dihadapi, khususnya dalam peningkatan

produktivitas dan kualitas yang dihasilkan antara lain adalah masih

mempergunakan teknologi tradisional dengan bahan tanaman yang tidak berasal

dari klon atau biji yang terpilih dan dengan budidaya yang kurang memadai, serta

serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) berupa hama dan penyakit.

Selain permasalahan tersebut, dalam era globalisasi dewasa ini terdapat

tuntutan terhadap produk yang dihasilkan harus memenuhi kualitas yang tinggi

dan proses produksi akrab lingkungan. Fakta di lapang menunjukkan bahwa

pengendalian hama di tingkat produsen saat ini masih terbatas pada penggunaan

pestisida saja, sementara tuntutan konsumen mengarah kepada persyaratan

lingkungan yang diakui oleh WTO (ISO 14000) dan Codex Alimentarius (adanya

ambang batas maksimum kandungan zat tambahan, logam berat, residu

pestisida, dan bahan pencemar lainnya). Artinya, apabila kakao Indonesia ingin

bersaing di pasar global maka persyaratan tersebut harus dipenuhi. Dengan

melihat permasalahan dan tantangan yang dihadapi tersebut, maka tulisan ini

bertujuan untuk melihat agribisnis kakao (Darwis, 2008).

Page 12: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Sistem Agribisnis Kakao di Indonesia 3.1.1 Usaha Perkebunan Kakao

Sistem agribisnis kakao tidak dapat dipisahkan dari subsistem utama yaitu

budidaya kakao atau usaha perkebunan kakao yang pelakunya adalah petani.

Petani kakao dapat menjalankan fungsinya baik sebagai petani yang mengelola

usaha perkebunannya dan juga sebagai pengusaha yang melakukan fungsi

agroindustri yaitu mengolah hasil kebun kakao menjadi produk biji kakao yang

siap untuk dipasarkan, juga petani dapatmenjalankan fungsi pemasaran yaitu

memasarkan produk berupa buah atau biji kakao ke konsumen. Berdasarkan

status kepemilikan, usaha perkebunan kakao di Indonesia terbagi atas Usaha

Perkebunan Rakyat (PR), Usaha Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan

Besar Swasta (PBS)

Berdasarkan status pengusahaannya, perkebunan kakao di Indonesia

didominasi oleh usaha Perkebunan Rakyat yang mencapai 87,4%, Perkebunan

Besar Negara 6,0% dan Perkebunan Besar Swasta 6,67%. Tentunya kebijakan

pengembangan usaha perkebunan kakao oleh pemerintah akan mengarah pada

petani kebun kakao juga segala akibat persaingan produksi dan pasar produk

kakao domestik maupun mancanegara secara jelas yang terkena dampak adalah

petani kakao. Mulai tahun 2009 sampai 2011, Departemen Pertanian telah

melaksanakan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional melalui

program rehabilitasi, peremajaan dan intensifikasi perkebunan rakyat.

3.1.2 Agroindustri Kakao

Kakao adalah komoditas perkebunan yang memiliki produk turunan yang

cukup beragam. Produk turunan kakao tidak hanya berbahan baku biji kakao saja

namun juga berbahan baku bagian lain buah kako. Bagian lain buah kakao seperti

kulit kakao, kulit ari pelapis biji kakao serta bagian yang lain juga merupakan

bahan baku bagi produk turunan kakao yang juga memiliki nilai ekonomis yang

Page 13: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

tinggi. Berikut adalah pohon agroindustri kakao yang menggambarkan produk-

produk turunan kakao.

Gambar 1 Pohon Agroindustri Kakao

Produk kakao selama ini lebih banyak diekspor dalam wujud biji kering

kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya terhadap

perekonomian sedikit. Diduga yang menjadi faktor pendorong adalah selain

Page 14: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

harga yang semakin tinggi, juga pembebasan tarif ekspor sehingga tanpa

pengolahan lanjut setelah fermentasi dan pengemasan biji kakao sudah dapat

diekspor. Namun ini merupakan faktor penyebab eksportir tidak memperhatikan

kualitas biji kakao yang ditentukan di pasar dunia. Selanjutnya kualitas biji kakao

yang diekspor oleh Indonesia dikenal sangat rendah (beradadi kelas 3 dan 4). Hal

ini disebabkan oleh, pengelolaan produk kakao yang masih tradisional (85% biji

kakao produksi nasionaltidak difermentasi) sehingga kualitas kakao Indonesia

menjadi rendah. Kualitas rendah menyebabkan harga biji dan produk kakao

Indonesia di pasar internasional dikenai diskon USD200/ton atau 10%-15% dari

harga pasar. Selain itu, beban pajak ekspor kakao olahan(sebesar 30%) relatif

lebih tinggi dibandingkan dengan beban pajak impor produk kakao (5%),kondisi

tersebut telah menyebabkan jumlahpabrik olahan kakao Indonesia terus

menyusut(Suryani, 2007). Selain itu para pedagang (terutama trader asing) lebih

senang mengekspor dalam bentuk biji kakao (nonolahan).

Sementara mengenai pengolahan biji kakao di Indonesia, dari 16 industri

pengolahan kakao dengan kapasitas mencapai230.000 ton, hanya terdapat lima

pabrik diantaranya yang masih tetap berproduksi sesuai dengan kapasitas

terpasang. Total kapasitasterpasang kelima industri tersebut mencapai 140.000

ton.

3.1.3 Pemasaran Kakao

Negara-negara penghasil kakao dominan adalah negara-negara Afrika, Asia

dan Oceania juga negara-negara Amerika. Negara negara di Eropa tidak

memproduksi kakao namun sebagai konsumen dari produk kakao. Negara-

negara konsumen kakao terbesar masih dipegang negara-negara Eropa sebanyak

42,10 persen, sedangkan produsen kakao terbesar masih dipegang negara-

negara Afrika, Asia dan Oceania. Permintaan tertinggi berasal dari Negara

Belanda, Amerika Serikat dan Jerman. Konsumsi kakao cenderung meningkat tiap

tahun di negara-negara maju.

Page 15: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

Dalam hal pemasaran dan penguasaan pangsa pasar internasional,

komoditas perkebunan dan pertanian umumnya menderita gejala struktur pasar

yang sangaat asimetris antara pasar internasional dan pasar domestik. Gejala

asimetris tersebut sering dianalogikan dengan fenomena serupa pada hubungan

antara petani produsen dan pedagang atau konsumen, karena produsen

komoditas perkebunan sebagian besar berada di negaranegara berkembang

sementara konsumen produk hilir perkebunan berada di negaranegara maju.

Bagi negara-negara berkembang yang lebih banyak mengandalkan ekspor

komoditas pertanian dan agroindustri, struktur pasar yang asimetris jelas

merupakan ancaman serius bagi peningkatan produksi, produktivitas dan ekspor

komoditas.

Pasar ekspor produk kakao Indonesia yang kebutuhannya lebih dari 20.000

ton beberapa tahun terakhir adalah China, Malaysia, Singapura, Amerika Serikat,

Australia dan Brasil. Data Askindo tahun 2008, total ekspor kakao mencapai

142.000 ton dan 40% di antaranya dipasarkan ke Amerika Serikat, sedang sisanya

60% persen dipasarkan ke pasar Asia dibanding Eropa. Sekitar 70 persen dari

total produksi biji kakao nasional diekspor dalam bentuk biji kakao mentah,

hanya 30 persen yang diolah di dalam negeri jadi produk kakao olahan seperti

cocoa butter, cocoa liquor, cocoa cake dan cocoa powder untuk kebutuhan

dalam negeri dan diekspor. Kakao yang diimpor Uni Eropa dari negara

berkembang kemudian diolah menjadi berbagai komoditi berbeda. Produk hasil

olahan kakao tersebut kemudian diekspor kembali ke berbagai negara asal bahan

mentahnya termasuk Indonesia. Umumnya produk olahan kakao yang diekspor

kembali oleh Uni Eropa adalah coklat dan produk makanan yang mengandung

coklat. Namun demikian disamping produk olahan kakao, diantara negara Uni

Eropa juga terjadi perdagangan ekspor biji kakao untuk keperluan industri

pengolahan yang membutuhkan kakao sebagai bahan bakunya.

Page 16: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

3.2 Strategi Pengembangan Pemasaran Kakao melalui Pembentukan Marketing Cartel

3.2.1 Struktur Marketing Cartel Pemasaran hasil perkebunan kakao secara konvensional memiliki banyak

kelemahan yang menyebabkan pasar kakao berjalan tidak efisien. Tidak

efisisiensinya pemasaran kakao ini berdampak pada besarnya margin pemasaran

dan juga terputusnya aliran informasi dari pasar ke petani kakao Terputusnya

informasi ini mengurangi pengetahuan petani tentang criteria-kriteria kakao

yang diinginkan oleh pasar yang pada ahirnya menyebabkan tidak optimalnya

hasil yang diperoleh oleh petani.

Pembentukan marketing cartel adalah salah satu solusi untuk mengatasi

hambatan-hambatan aliran informasi dari pasar kepada petani kakao. Marketing

cartel disini adalah kelompok pemasaran kakao yang dibentuk untuk menaungi

petani-petani kakao dalam hal pemasaran hasil kakaonya. Pelibatan pihak-pihak

yang berperan vital dalam kegiatan pemasaran kakao dalam marketing cartel

menjadi prioritas utama dari strategi ini. Pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam

marketing cartel antara lain eksportir, lembaga penelitian, pemerintah, dan

petani kakao itu sendiri. Skema struktur marketing cartel adalah sebagai berikut.

Gambar 2. Struktur Marketing Cartel

Struktur teratas dari marketing cartel adalah eksportir kakao, Pemeilihan

eksportir kakao sebagai ujung tombak dari marketing cartel adalah status kakao

sebagai komoditas ekspor. Keadaan ini menjadikan hanya eksportir kakao yang

lebih mengetahui secara rinci bagaimana keadaan pasar kakao ekspor, baik dari

Marketing

Cartel

Eksportir

Lembaga

Penelitian

Pemerintah

Petani Anggota

Page 17: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

sisi teknis maupun non teknis. Informasi pasar yang dimiliki oleh eksportir kakao

dapat langsung disampaikan kepada pihak-pihak yang terdapat dalam marketing

cartel. Informasi mengenai kualitas kakao yang diinginkan pasar dapat langsung

diberikan kepada petani sehingga petani mengetahui pasti kakao yang seperti

apa yang harus mereka produksi.

Adanya marketing cartel juga mampu menghubungkan lembaga penelitian

dengan petani sehingga para peneliti mengetahui dengan pasti permasalahan

apa yang sedang dihadapi oleh petani. Selain itu adanaya marketing cartel juga

memudahkan sosialisasi dan penerapan hasil penelitian. Kemudian bertemunya

lembaga penelitian dengan pihak eksportir juga membuka peluang untuk

penelitian tentang pengembangan kualitas kakao secara tepat sasaran. Tepat

sasaran karena pengetahuan eksportir kakao tentang kualitas kakao yang

diinginkan pasar bisa diterima langsung oleh lembaga penelitian, sehingga

lembaga penelitian dapat melakukan penelitian sesuai dengan keadaan pasar.

Kemudian terlibatnya Pemerintah dalam marketing cartel juga membantu

terciptanya kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran. Kebijakan tepat sasaran

karena bertemunya pemerintah dengan pihak petani dan pihak eksportir akan

memperbesar peluang terciptanya kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan

pihak-pihak tersebut. Seperti contoh untuk kebijakan di bidang produksi,

Pemerintah dapat mengetahui secara pasti dan langsung tentang apa yang

sebenarnya dibutuhkan petani dan juga dalam kebijakan yang berkaitan dengan

ekspor kakao Pemerintah juga bisa merumuskan kebijakan yang dibutuhkan oleh

para eksportir kakao.

Adanya marketing cartel juga menguntungkan bagi petani karena mendapat

kepastian pasar. Adanya kepastian pasar ini mampu meningkatkan minat petani

dalam melakukan kegiatan budidaya kakao yang pada ahirnya akan berdampak

pada meningkatnya kualitas dan kuantita produksi kakao.

Page 18: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

3.2.2 Mekanisme Marketing Cartel sebagai Lembaga Pengembang Agribisnis Kakao di Indonesia

Permasalahan utama yang dihadapi oleh pemasaran kakao adalah

rendahnya kualitas biji kakao yang dihasilkan petani. Rendahnya biji kakao ini

dicirikan dengan tingginya kandungan asam dalam biji kakao yang disebabkan

oleh tidak difermentasinya biji kakao pada tingkat petani. Keengganan petani

untuk melakukan fermentasi disebabkan karena harga biji kakao di tingkat petani

pada saluran pemasaran konvensional tidak ada perbedaan antara biji kakao

yang difermentasi yang tidak. Sehingga petani memilih untuk tidak

memfermentasi biji kakao yang dihasikannya.

Adanya marketing cartel mampu mengatasi permasalahan pemasaran

pada saluran pemasaran kakao yang konvensional. Adanya marketing cartel

mampu memberikan petani akses pasar yang lebih dalam sehingga selain

menjadikan efisiensi kegiatan pemasaran tinggi juga dimungkinkan untuk

memperoleh nilai tambah biji kakao dengan melaakukan fermentasi. Nilai

tambah ini bisa diperoleh karena dengan adanya marketing cartel biji kakao

fermentasi bisa diarahkan kepada pasar kakao kualitas premium dengan

mengandalkan kinerja eksportir.

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana menjadikan petani yang

sebelumnya tidak mau memfermentasi biji kakao yang dihasilkannya menjadi

mau untuk melakukan fermentasi. Adanya marketing cartel juga merupakan

alternatif dalam menyelesaikan permasalahan ini. Salah satu pihak yang

tergabung dalam marketing cartel adalah lembaga penelitian. Lembaga

penelitian khususnya ICCRI (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia) memiliki

konsep pengolahan pasca panen kakao berbasis UKM yang disebut dengan UPH

(Unit Pengolahan Hasil) Kakao, yang didalamnya mencakup seluruh aspek usaha

teknis pengolahan kakao (mulai dari pemanenan, fermenasi hingga

penyimpanan), aspek manajemen usaha serta pemasaran. UPH ini merupakan

unit pengolahan yang berbasis UKM sehingga petani kakao dapat

mengaplikasikan model UPH ini secara swadaya. Selain itu adanya lembaga

Page 19: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

penelitian juga menjadi pembimbing dalam proses adopsi inovasi UPH ini.

Marketing cartel juga berperan dalam mempercepat adopsi inovasi ini dengan

mekanisme sebagai berikut.

Gambar 3. Mekanisme Pengembangan Pengolahan Hasil Kakao oleh Marketing Cartel

Berdasarkan skema diatas dapat diketahui bahwa masing-masing pihak

yang tergabung dalam marketing cartel terlibat juga dalam upaya

pengembangan pengolahan biji kakao. Masing-masing pihak yang terlibat dalam

marketing cartel memiliki peran yang vital dimana petani merupakan pihak

dalam marketing cartel yang didukung oleh pihak lainnya. Pada dasarnya adanya

marketing cartel ini bertujuan untuk meningkatkan posisi tawar petani kakao

dalam struktur agribisnis kakao. Setelah petani memiliki posisi tawar yang baik

maka pengembangan selanjutnya tidak akan lagi menyudutkan petani.

Pemerintah

(Bantuan pendanaan dan Kebijakan Pengembangan

UKM)

UPH Kakao

(Pemanenan, pengolahan awal biji, fermentasi, dan

penggudangan)

Lembaga Penelitian

(Bimbingan teknis pengelolaan

UPH dan Pengembangan UPH)

Eksportir Kakao

(Pemasaran Biji Kakao

hasil olahan UPH Kakao)

Petani

(Peneyedia Bahan Baku UPH sekaligus pelaksanan

UPH Kakao)

Page 20: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

BAB 4. SIMPULAN DAN REKOMENDASI

4.1 Simpulan

1. Tidak efisiensinya saluran pemasaran kakao adalah penyebab utama

terputusnya aliran informasi permintaan pasar kepada petani kakao dan

besarnya margin pemasaran.

2. Pelibatan pihak Pemerintah, Eksportir Kakao, Lembaga Pemelitian dan

Petani kakao dalam marketing cartel mampu mengatasi hambatan-

hamabatan aliran informasi dan memperkecil margin pemasaran.

4.2 Rekomendasi

1. Sebaiknya pengembangan sistem agribisnis kakao lebih difokuskan pada

usaha mengefisiensikan kegiatan pemasaran kakao dibandingkan dengan

perluasan lahan ataupun pengembangan industri pengolahan kakao,

kegiatan pemasaran kakao yang tidak efisien akan selalu mengurangi nilai

ekonomi dari kakao.

2. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki wewenang paling besar seharusnya

menjadi inisiator pembentukan marketing cartel.

Page 21: Strategi Pengembangan Agribisnis Kakao

DAFTAR PUSTAKA

Amran, A. 2011. Studi Evaluasi Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu

Kakao (Gernas Kakao).

Deptan. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa Sawit. Jakarta:

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Maswadi. 2011. Prospek dan Strategi Pengembangan Perkebunan Kakao

di Sumatera Barat. ISSN: 2088-6381 Vol 1, No 2, hal 23-30.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2008. Budidaya Kakao. Jakarta: PT.

Agromedia Pustaka.

Ragimun. 2012. Analisis Daya Saing Komoditas Kakao Indonesia. Jurnal

Pembangunan Manusia Vol.6, No.2.