Upload
arif-wijaya
View
296
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN
INDUSTRI KECIL TAPIOKA DI DESA KARANG TENGAH
KABUPATEN BOGOR
Oleh
KEMAS BUYUNG FIKRY WARDHANA
H 24102071
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN
INDUSTRI KECIL TAPIOKA DI DESA KARANG TENGAH
KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA EKONOMI
pada Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KEMAS BUYUNG FIKRY WARDHANA
H 24102071
DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN MANAJEMEN
ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN
INDUSTRI KECIL TAPIOKA DI DESA KARANG TENGAH
KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA EKONOMI
pada Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor
Oleh
KEMAS BUYUNG FIKRY WARDHANA
H 24102071
Menyetujui, Juni 2006
Prof.Dr.Ir.H. Musa Hubeis, MS, Dipl. Ing, DEA Farida Ratna Dewi, SE, MM Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dr.Ir. Jono M. Munandar, M.Sc Ketua Departemen
Tanggal Ujian : 6 Juni 2006 Tanggal Lulus :
ABSTRAK
Kemas Buyung Fikry Wardhana H24102071. Analisis Strategi Pengembangan Industri Kecil Tapioka Di Desa Karang Tengah, Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan H. Musa Hubeis dan Farida Ratna Dewi.
Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi sumber daya yang dimiliki Kabupaten Bogor, salah satunya sebagai sentra produsen ubikayu. Desa di Bogor yang merupakan sentra ubikayu ialah Desa Karang Tengah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi posisi industri kecil (IK) tapioka dalam persaingan industri, mengidentifikasi kondisi IK tapioka saat ini, mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi IK tapioka dan merumuskan strategi yang tepat bagi IK tapioka.
Proses pengumpulan data menggunakan metodologi Penelitian Aksi Partisipatif atau Participatory Action Research (PAR). Tahap pengumpulan data dibagi menjadi dua, yaitu pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan menggunakan 3 (tiga) metode yaitu wawancara, Focus Group Discussion (FGD) dan Resource Mapping. Data sekunder diambil dari instansi pemerintah dan pengambil kebijakan, serta sumber lainnya yang bersifat dokumenter.
Dalam input stage metode pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah analisis lingkungan ekternal dan internal perusahaan melalui Internal Factor Evaluation (IFE), External Factor Evaluation (EFE) dan matriks Competitive Profile (CP). Dalam matching stage, untuk mengetahui posisi perusahaan dalam menghadapi persaingan dianalisis menggunakan matriks IE dan SWOT. Dan pengambilan keputusan alternatif strategi menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM).
Nilai pada matriks IFE 2,173, dengan kekuatan paling besar ditunjukkan oleh faktor iklim kerja yang baik (nilai 0,264), serta kelemahan terbesar diperoleh dari faktor mutu produk dan harga yang kurang bersaing (nilai 0,096). Nilai pada matriks EFE 2,321, peluang utama ialah faktor kurangnya ancaman dari produk pengganti (nilai 0,325) dan ancaman terbesar ialah faktor cuaca dan kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi (nilai 0,116).
Pada matriks CP diketahui bahwa nilai Desa Karang Tengah didasarkan pada faktor penentu keberhasilan 2,239. Desa Cibuluh mendapatkan nilai 2,830, desa Ciluar mendapatkan nilai 3,112 dan Desa Kadumangu mendapatkan nilai 3,383. Pada matriks IE, posisi perusahaan terletak pada sel 5 yang berarti sebaiknya menggunakan strategi hold dan maintain, yang dalam pelaksanaannya terdapat strategi diversifikasi konsentrik, diversifikasi konglomerasi dan strategi pengembangan produk. Berdasarkan matriks QSP, nilai Total Atractive Score (TAS) tertinggi terletak pada strategi penggunaan teknologi yang efisien (nilai 5,515).
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota pahlawan, Surabaya pada tanggal 30 Oktober
1984 dari pasangan Kemas Abdul Rochim dan Niken Lila Widyawati sebagai
anak pertama dari tiga bersaudara.
Dalam pendidikan formal, dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai SMU,
penulis menghabiskan di sebuah kota kecil di Jawa Timur, yaitu Mojokerto.
Mengawali pada Taman Kanak-kanak Shandy Putera pada tahun 1989-1990,
setelah itu penulis melanjutkan pada Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kranggan III
dan lulus pada tahun 1996. Selepas dari Sekolah Dasar, penulis melanjutkan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 1 hingga tahun 1999. Lalu
selepas itu penulis melanjutkan ke SMU Negeri 1 Puri dan lulus pada tahun 2002.
Pada tahun yang sama, penulis diterima di Departemen Manajemen Institut
Pertanian Bogor (IPB) lewat jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama masa pendidikan, penulis aktif mengikut kegiatan dan organisasi
baik intra maupun ekstra kampus. Pada waktu kuliah, penulis pernah aktif di
Dewan Perwakilan Mahasiswa/Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga
Mahasiswa IPB (DPM/MPM KM IPB) sebagai anggota komisi keuangan. Pada
waktu di Fakultas pernah menjabat sebagai Sekjen Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB periode 2003/2004, anggota komisi
Internal DPM FEM IPB periode 2004/2005. Pada tataran ekstra kampus, pernah
menjabat sebagai Staf Departemen Komunikasi Umat HMI Cabang Bogor periode
2004/2005 (ressufle), Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Bogor
Komisariat FEM periode 2004/2005 dan Ketua Umum HMI Cabang Bogor
Komisariat FEM IPB 2005/2006 dan Ketua Bidang Kewirausahaan Himpunan
Mahasiswa Surabaya dan Sekitarnya (Himasurya). Selain di kelembagaan kampus
juga menjadi pegiat pada LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup yaitu
Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILI-NGO Movement) melalui
program Sahabat PILI.
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, tiada daya dan upaya
melainkan atas izin-Nya. Ungkapan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT
yang telah memberikan nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
berjudul ”Analisis Strategi Pengembangan Industri Kecil Tapioka Di Desa Karang
Tengah Kabupaten Bogor” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan
Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, penulis sepenuhnya sadar akan
banyaknya dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung, oleh karena itu ucapan terima kasih yang sebanyak-banyaknya penulis
ucapkan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H Musa Hubeis, MS. Dipl. Ing, DEA dan Farida Ratna Dewi SE,
MM sebagai dosen pembimbing yang telah memotivasi, mengarahkan dan
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Hardiana Widiyastuti, S.Hut, MM yang telah bersedia menjadi penguji
pada sidang skripsi, sehingga ujian sidang dapat terlaksana.
3. Seluruh staf pengajar Departemen Manajemen yang telah memberikan ilmu
dan pengetahuan kepada penulis.
4. Kedua orang tuaku Kemas Abdul Rochim, MM dan Niken Lila Widyawati,
S.Pd serta adik-adikku Oby dan Ica, yang telah mendoakan dan terus
memberikan dukungan moril dan materiil kepada penulis. Semoga penulis
dapat memberikan yang terbaik untuk membalas semuanya.
5. Dhesy Purwandhany, yang tak pernah lelah untuk memberikan inspirasi dan
perhatiannya selama proses skripsi.
6. Pusat Informasi Lingkungan Indonesia selaku LSM yang telah memberikan
data dan informasi mengenai Desa Karang Tengah.
7. Mas Thomas dan Mas Bogel yang telah membantu dalam pelaksanaan teknis
penelitian ini.
8. Seluruh kawan-kawan di kelas Manajemen Angkatan 39 untuk warna-warni
persahabatan, dan kerjasamanya selama 4 tahun kuliah di IPB.
9. Rini, Mimi, Novianti, Nani, Griselda, Ade Holis dan rekan-rekan di HMI
khususnya HMI Komisariat FEM yang telah membantu dalam meringankan
beban skripsi. Terima kasih banyak untuk semuanya.
10. Teman-teman Perumdos, Arya, Ihsan, Aghi, Gempar, Andri, Hendra, Nanto
Denden, Mpu atas semua bantuannya.
11. Berbagai pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga
penulis sangat terbuka untuk menerima kritik dan masukan yang konstruktif, agar
skripsi ini berguna bagi orang banyak, khususnya para pengusaha kecil yang
bergerak di sektor pertanian. Semoga.
Bogor, Juni 2006
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... x
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................. 4 1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................... . 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 6
2.1. Definisi Industri kecil .............................................................................. 6 2.2. Karakteristik dan Manfaat Tapioka ......................................................... 7 2.3. Definisi dan Konsep Perumusan Strategi ................................................ 7 2.4. Hasil Penelitian Terdahulu ....................................................................... 9
III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 10
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian .............................................................. 10 3.2. Pengambilan Contoh .............................................................................. 12 3.3. Pengolahan dan Analisis Data ............................................................... 14 3.4. Definisi Operasional .............................................................................. 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 18
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian ...................................................... 18 4.1.1. Desa Karang Tengah ..................................................................... 18 4.1.2. Karakteristik Tanaman Singkong dan Hubungannya Dengan
Ekosistem Desa Karang Tengah .................................................... 23 4.1.3. Sejarah Industri Kecil Tapioka ..................................................... 24 4.1.4. Profil Responden .......................................................................... 26 4.1.5. Lokasi Industri Kecil Tapioka di Desa Karang Tengah ............... 26 4.1.6. Aspek Teknis dan Teknologi ........................................................ 27 4.1.7. Proses Pembuatan Tapioka ........................................................... 30 4.1.8. Aspek Manajemen ........................................................................ 33
4.2. Proses Perumusan Strategi...................................................................... 37 4.2.1. Peumusan Strategi Industri Kecil Tapioka ................................... 37 4.2.2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Industri........................ 49 4.2.3. Tahap Masukan.............................................................................. 55
4.2.4. Tahap Pencocokan ......................................................................... 59 4.2.4.1. Matriks IE ......................................................................... 59 4.2.4.2. Matriks SWOT ................................................................. 61
4.2.5. Tahap Keputusan .......................................................................... 67
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 68
1. Kesimpulan ..................................................................................................... 68
2. Saran ................................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 70
LAMPIRAN........................................................................................................ 72
DAFTAR TABEL
No Halaman
1. Perkembangan penyerapan tenaga kerja menurut kelompok usaha pada tahun 2000 dan 2003 ....................................................................................... 2
2. Daftar pembeli tapioka yang diproduksi oleh pengusaha tapioka di Bogor . 36
3. Standar mutu tapioka SNI 01-3451-1994 ..................................................... 41
4. Hasil analisis matriks IFE ............................................................................. 56
5. Hasil analisis matriks EFE ............................................................................ 58
6. Matriks CP .................................................................................................... 59
7. Matriks SWOT .............................................................................................. 66
DAFTAR GAMBAR
No Halaman
1. Model manajemen strategik ........................................................................... 8
2. Kerangka pemikiran penelitian ..................................................................... 12
3. Matriks IE ..................................................................................................... 16
4. Pola distribusi poduk ekonomi dari Desa Karang Tengah ke luar daerah ataupun sebaliknya......................................................................................... 22
5. Diagram alir pembuatan tapioka ................................................................... 33
6. Hasil Matriks IE ............................................................................................ 61
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Kuesioner penelitian ..................................................................................... 73
2. Profil responden ............................................................................................ 77
3. Penentuan bobot ............................................................................................ 78
4. Penentuan bobot faktor strategik internal IK tapioka di Desa Karang Tengah.................................................................................. 79
5. Hasil pengisian kuesioner pembobotan faktor internal industri ................... 80
6. Penentuan bobot faktor strategik eksternal IK tapioka di Desa Karang Tengah ................................................................................. 82
7. Hasil pengisian kuesioner pembobotan faktor eksternal industri ................. 83
8. Penentuan rating ........................................................................................... 85
9. Penentuan rating strategik internal IK tapioka di Desa Karang Tengah ....... 87
10. Hasil pengisian kuesioner penilaian rating faktor internal industri .............. 88
11. Penentuan rating faktor strategik eksternal IK tapioka di Desa Karang Tengah ................................................................................. 90
12. Hasil pengisian kuesioner penelitian rating faktor eksternal industri ........... 91
13. Kuesioner penelitian penentuan strategi terpilih dengan QSPM .................. 93
14. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada strategi diversivikasi konsentrik ................................................................................ 94
15. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada strategi diversivikasi konglomerasi ........................................................................... 96
16. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada strategi pengembangan produk................................................................................... 98
17. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada strategi penggunaan teknologi yang efisien dalam proses produksi ........................ 100
18. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada strategi pembuatan kelembagaan yang dapat melindungi para pengrajin dari kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi ................................. 102
19. Hasil matriks QSP ....................................................................................... 104
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia yang terlalu menitikberatkan pada usaha
ekonomi skala besar telah meletakkan ekonomi Indonesia pada krisis
ekonomi yang berkepanjangan hingga saat ini. Sebagian besar bahan baku
industri berskala besar di Indonesia masih bergantung kepada impor. Oleh
karena itu ketika krisis ekonomi melanda, maka biaya bahan baku ikut
melambung tinggi akibat nilai rupiah pada waktu itu terlalu berfluktuatif.
Dengan ikut terpuruknya sektor perbankan dan meningkatnya bunga
pinjaman, telah memperparah sektor usaha dari segi permodalan, khususnya
industri berskala besar. Industri kecil memang turut terpengaruh dampak
dari krisis tersebut, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama, karena sektor
tersebut relatif sedikit menggunakan bahan baku impor.
Anggaran belanja pemerintah setiap tahunnya dianggarkan 93%
untuk usaha berskala besar dan sisanya (7%) untuk usaha kecil menengah
(Dinsi, 2004). Padahal pada tahun 2000-2003 peranan industri kecil
menengah (IKM) dalam meningkatkan nilai tambah telah meningkat dari
54,51% pada tahun 2000 menjadi 56,72% pada tahun 2003, di sisi lain
usaha berskala besar mengalami penurunan dari 45,49% pada tahun 2000
menjadi 43,28% pada tahun 2003. Selain itu pada tahun 2003, pertumbuhan
ekonomi usaha mikro dan kecil (UMK) sebesar 4,1%, usaha menengah
tumbuh 5,1%, sedang usaha besar hanya tumbuh 3,5%. Pertumbuhan usaha
mikro, kecil dan menengah telah meningkatkan kontribusi usaha mikro,
kecil dan menengah untuk pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 2,37%
dari total pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 4,1% (Departemen
KUKM, 2004).
Dari segi penyerapan tenaga kerja, usaha mikro kecil dan menengah
(UMKM) merupakan kelompok usaha yang lebih banyak menyerap tenaga
kerja apabila dibandingkan dengan kelompok industri berskala besar. Hal
tersebut menandakan bahwa kelompok usaha kecil dan menengah (UKM)
merupakan sebuah jawaban bagi perekonomian Indonesia, sekaligus perlu
dikembangkan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah untuk
membangun struktur perekonomian yang lebih berkeadilan bagi rakyat
Indonesia.
Tabel 1. Perkembangan penyerapan tenaga kerja menurut kelompok usaha pada tahun 2000 dan 2003
No Skala Usaha 2000 2003 Pertumbuhan
1 Usaha Mikro dan Kecil (UMK : unit)
62.856.765 (88,79%)
70.282.178 (88,43%)
7.425.413 (11,81%)
2 Usaha Menengah (UM : unit)
7.550.674 (10,67%)
8.754.615 (11,02%)
1.203.941 (15,94%)
3 Usaha Besar (UB : unit)
382.438 (0.54%)
438.198 (0,55%)
55.760 (14,58%)
Jumlah Tenaga Kerja 70.789.877 (100%)
79.474.991 (100%)
8.685.114 (12,27%)
Sumber: Departemen KUKM, 2004.
UMK umumnya memiliki keunggulan dalam bidang yang
memanfaatkan sumber daya alam (SDA) dan padat karya, seperti pertanian
tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, perdagangan, dan
restoran. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan
kelompok usaha yang memiliki kontribusi cukup besar terhadap struktur
PDB (16,89%) dan sektor tersebut didominasi oleh kelompok usaha kecil,
maka sektor ini harus dikembangkan.
Dalam era otonomi daerah (otoda), masing-masing daerah berusaha
untuk mengembangkan potensi daerahnya. Salah satu daerah yang
mengembangkan potensinya adalah Kabupaten Bogor. Pengembangan
UMKM dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi sumber daya
yang dimiliki Kabupaten Bogor, salah satunya sebagai sentra produsen
ubikayu (Hafsah, 2003).
Produsen ubikayu tersebar di tiap desa dari 10 kecamatan di wilayah
Bogor, yaitu Sukaraja, Babakan Madang, Sukamakmur, Cariu,
Klapanunggal, Gunung Putri, Citereup, Cibinong, Bojonggede dan Kemang
(Firdaus, 2002). Ubikayu merupakan salah satu komoditas tanaman pangan
yang prospektif untuk dikembangkan, baik sebagai bahan pangan, bahan
baku industri maupun komoditi ekspor.
Dalam perspektif ekonomi, ubikayu (Manihot utilissima) juga
mempunyai keunggulan. Ekspor ubikayu Indonesia dalam bentuk gaplek
(keratan ubikayu yang dikeringkan), tepung gaplek, ataupun tepung tapioka
cukup meyakinkan dan dapat bersaing, seperti gaplek Indonesia sangat
terkenal di mancanegara, terutama di Masyarakat Eropa (ME), sehingga
harganya mampu bersaing dengan produk sejenis dari beberapa negara di
Afrika, juga dari India dan Thailand, yaitu rataan dengan harga 65-75 dollar
AS/ton, dan meningkat sampai 130 dollar AS/ ton, padahal produk yang
sama dari India, Thailand, dan negara-negara di Afrika, hanya mencapai 60
dollar AS/ ton dan tidak lebih dari 80 dollar AS/ton (Suriawiria, 2002).
Produksi ubikayu di kabupaten Bogor berada di atas rataan produksi
nasional. Rataan produksi nasional berada pada 9,4 ton per hektar
(Suriawiria, 2002), sedangkan di Kabupaten Bogor mencapai 18,9 ton per
hektar (Hafsah, 2003). Hal tersebut menandakan bahwa, Kabupaten Bogor
merupakan sentra ubikayu yang perlu dikembangkan.
Ditinjau dari perspektif ketahanan pangan, kondisi pangan di
Indonesia masih dihadapkan pada ketergantungan kepada beras. Impor beras
di tahun 1998, sebesar 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada tahun 1999, serta
rataan 2 juta ton/tahun, telah menjadikan Indonesia sebagai importir beras
terbesar di dunia (Husodo, 2002). Dalam kondisi seperti ini, tepat kiranya
apabila Indonesia menerapkan diversifikasi pangan dengan sumber daya
lokal. Dalam diversifikasi pangan, ubikayu sangat potensial peranannya.
Kandungan ubikayu atau ketela pohon atau ubikayu, mempunyai kandungan
karbohidrat cukup tinggi (32.4) dan kalori 567,0 dalam 100 g ubikayu.
Maka ubikayu dapat dipakai sebagai pengganti beras (LIPI, 2006), atau
dengan kata lain, ketergantungan pada beras harus sedikit demi sedikit
dikurangi.
Salah satu produk olahan dari ubikayu adalah tepung tapioka yang
dapat digunakan sebagai bahan makanan atau pakan ternak. Pembuatan
tepung tapioka ini relatif sederhana, tidak memerlukan modal kerja dan
sumber daya manusia (SDM) yang terlalu banyak. Oleh karena itu, pada
kegiatan produksi sampai pemasaran dapat digolongkan sebagai industri
kecil (IK). IK tersebut diharapkan dapat mengangkat keadaan ekonomi
melalui penyerapan tenaga kerja.
Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang merupakan
salah satu lokasi produksi ubikayu dan IK tapioka (Veriasa, 2005), tetapi
pengelolaannya masih belum optimal. Misalnya, jarang sekali UK tapioka
yang menggunakan mesin dalam mengubah ubikayu menjadi tapioka,
sehingga menyebabkan kuantitas produksinya kalah dengan UK tapioka di
daerah lain yang menggunakan mesin dalam proses produksinya. Selain itu,
produk olahan ubikayu berupa tapioka hanya dijual berupa tepung tapioka
mentah dan ampas, padahal tapioka tersebut akan bernilai ekonomi lebih
besar jika diolah lebih lanjut. Dari sisi SDM, desa Karang Tengah dapat
dikatakan desa yang relatif tertinggal apabila dibandingkan dengan desa
lain. Hal ini menyebabkan keterbatasan pengetahuan tentang pengolahan
tapioka yang baik dan efisien secara ekonomi. Jika ditinjau secara lokasi,
desa Karang Tengah tidaklah jauh dari kota Bogor maupun Jakarta sebagai
pusat dari sumber daya teknologi yang dapat membantu mengangkat potensi
IK tersebut, yang menjadi masalah ialah infrastruktur yang jelek telah
mengakibatkan transportasi tidak lancar dan apabila menggunakan jasa
transportasi, maka diperlukan biaya relatif besar (Veriasa, 2005).
Untuk memajukan IK tapioka di desa Karang Tengah diperlukan
suatu strategi yang tepat dan benar agar dapat bertahan dan bersaing,
sehingga nantinya akan menciptakan suatu nilai tambah produk,
menciptakan sumber pendapatan bagi penduduk dan dapat berkontribusi
terhadap negara melalui perannya sebagai UKM.
1.2. Perumusan Masalah
IK merupakan jawaban bagi kondisi perekonomian Indonesia yang
terlalu menitikberatkan pada industri berskala besar, karena IK telah
berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi Indonesia, baik melalui indikator
pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penyerapan
tenaga kerja. Sebagai ilustrasi, sektor pertanian sebagian besar didominasi
oleh kelompok usaha kecil (UK), maka sektor ini perlu diperhatikan dan
dikembangkan. Kabupaten Bogor yang merupakan sentra ubikayu dan
produk olahannya, yaitu tepung tapioka sudah semestinya untuk
mengembangkan hasil pertanian tersebut yang sebagian besar berasal dari
UK.
Dari hal yang telah dikemukakan, maka dapat disusun perumusan
masalah yang diteliti, yaitu :
1. Bagaimana kondisi dan posisi IK tapioka di desa Karang Tengah,
Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor ?
2. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi IK tapioka di desa
Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor?
3. Rumusan strategi apakah yang tepat bagi IK tapioka di desa Karang
Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi kondisi dan posisi IK tapioka di desa Karang Tengah,
Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor dalam persaingan
industri.
2. Mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi IK
tapioka di desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang,
Kabupaten Bogor.
3. Merumuskan strategi yang tepat bagi IK tapioka di desa Karang Tengah,
Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Industri Kecil
Pembahasan UKM mengenai pengelompokan jenis usaha meliputi
usaha industri dan usaha perdagangan. Definisi usaha kecil mencakup paling
tidak dua aspek, yaitu aspek penyerapan tenaga kerja dan aspek
pengelompokan perusahaan ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang diserap
dalam gugusan atau kelompok perusahaan tersebut (Partomo dan
Soejoedono, 2004).
Departemen KUMKM (2004) mendefinisikan UK sebagai kegiatan
ekonomi rakyat yang memenuhi kriteria berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
c. Milik Warga Negara Indonesia.
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung
maupun tidak langsung dengan UM atau UB.
e. Berbentuk usaha perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan
hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum (termasuk koperasi).
Selain itu, Industri ini memiliki total aset maksimal Rp 600 juta, termasuk
rumah dan tanah yang ditempati dengan tenaga kerja dibawah 250 orang
dikategorikan sebagai industri kecil (KADIN dalam Suhendar, 2002).
Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang UK,
kriterianya dilihat dari segi keuangan dan modal yang dimiliki, yaitu :
1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta (tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha)
2. Memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 1 miliar/tahun.
2.2. Karakteristik dan Manfaat Tapioka
Ubikayu (Manihot utilissima) disebut juga ubikayu atau ketela
pohon, mempunyai kandungan karbohidrat cukup tinggi, yaitu 32,4 dan
kalori 567,0 dalam 100 g ubikayu. Dengan demikian ubikayu dapat dipakai
sebagai pengganti beras. Aneka olahan dan bahan baku ubikayu cukup
beragam, mulai dari makanan tradisional seperti makanan getuk, timus,
keripik, gemblong, putu, dll. Produk olahan ubikayu dalam industri dapat
digolongkan menjadi tiga, yaitu hasil fermentasi ubikayu (tape/peuyem),
ubikayu yang dikeringkan (gaplek) dan tepung ubikayu atau tepung tapioka.
Tepung tapioka digunakan dalam industri makanan atau pakan ternak,
dekstrin dan glukosa (gula). Dekstrin digunakan dalam industri tekstil,
industri farmasi, atau industri lain. Sedangkan glukosa digunakan dalam
industri makanan, dan industri kimia seperti etanol, dan senyawa organik
lainnya (LIPI, 2006). Selain kegunaan tersebut, tapioka digunakan sebagai
bahan baku kerupuk (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman
Pangan, 2003).
2.3. Definisi dan Konsep Perumusan Strategi
Manajemen strategik sangat dibutuhkan perusahaan untuk mengetahui
posisinya pada suatu industri, dan selanjutnya merumuskan kebijakan yang
tepat untuk mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya guna mencapai
tujuan perusahaan. Stephanie K. Marrus dalam Umar (2003) menyebutkan
bahwa strategi ialah proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang
berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi, disertai penyusunan suatu
cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat tercapai. Dirgantoro
(2004) mengartikan bahwa manajemen strategi sebagai suatu proses
berkesinambungan yang membuat organisasi secara keseluruhan sesuai
dengan lingkungannya. David (2003) mendefinisikan manajemen strategis
sebagai ilmu tentang perumusan, pelaksanaan dan evaluasi keputusan-
keputusan lintas fungsi (pemasaran, keuangan, SDM, produksi/operasi,
penelitian dan pengembangan, sistem informasi) yang memungkinkan
organisasi mencapai tujuannya. Pearce dan Robinson (1997) mendefinisikan
manajemen strategik sebagai kumpulan keputusan dan tindakan yang
menghasilkan perumusan (formulasi) dan pelaksanaan (implementasi)
rencana-rencana yang dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran
perusahaan.
Perumusan strategi merupakan tahap yang harus dilalui dalam
manajemen strategis sebelum tahap penerapan dan evaluasi strategi.
Indentifikasi visi, misi dan tujuan merupakan awal yang harus dilalui dalam
perumusan strategi, lalu mempertimbangkan kondisi internal dan eksternal
organisasi dalam menetapkan tujuan jangka panjangnya melalui perumusan
strategi yang tepat. Proses manajemen strategi melingkupi proses
perumusan, pelaksanaan dan evaluasi strategi (Gambar 1).
Feedback
Gambar 1. Model manajemen strategik (David, 2004)
Membuat pernyataan
visi dan misi
Melakukan audit
eksternal
Membuat, mengevalu
asi dan memilih strategi
Melaksanakan
strategi isu-isu
manajemen
Melaksanakan
strategi Isu-isu
pemasaran, keuangan, akuntansi,
litbang, dan SIM
Melakukan audit
internal
Menetapkan tujuan jangka
panjang Mengukur
dan mengevalua
si kinerja
Perumusan strategi Pelaksanan strategi Evaluasi strategi
2.4. Hasil Penelitian Terdahulu
Kesenja (2005) menyatakan bahwa faktor yang menentukan permintaan
tapioka kasar ialah faktor pendapatan usaha tapioka dan penawaran tapioka
kasar. Penawaran tepung tapioka kasar adalah tersedianya tapioka kasar
yang diproduksi oleh pengusaha tapioka kasar. Apabila faktor cuaca, harga
dan permodalan tidak mendukung, maka produksi tapioka kasar akan
berkurang untuk sementara waktu.
Firdaus (2002) melakukan penelitian tentang strategi pemasaran
koperasi tapioka sebagai perusahaan yang membeli tapioka kasar dari
industri kecil tapioka kasar dan mengubahnya menjadi tapioka halus,
menyatakan bahwa faktor yang menjadi peluang terbesar industri tapioka
ialah potensi pasar yang besar dan tingginya permintaan tapioka. Industri
pengolahan tapioka halus sebaiknya menerapkan strategi integrasi ke
belakang dengan pengadaan unit bisnis tapioka basah, mempertahankan dan
meningkatkan kualitas dan diferensiasi produk, mengoptimalkan kegiatan
penelitian dan pengembangan pasar untuk mendukung proses produksi dan
produk-produk bermutu, mempertahankan dan meningkatkan volume
penjualan dengan melakukan penetrasi pasar.
Purba (2002) menyatakan bahwa pendapatan IK tapioka dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu skala usaha yang meliputi banyaknya tenaga
kerja, besarnya modal dan jumlah produksi. Selain itu juga dipengaruhi oleh
harga dan biaya usaha.
Berdasarkan penelitian terdahulu diatas, penelitian tentang strategi IK
tapioka kasar perlu untuk dilaksanakan, agar industri tapioka khususnya di
Desa Karang Tengah memiliki daya saing.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
IK tapioka perlu dikembangkan, karena berbasis sumber daya lokal,
yaitu ubikayu, sedikit banyak akan menyerap tenaga kerja di sekitarnya dan
berkontribusi positif terhadap perekonomian negara. Upaya untuk
mengembangkan IK tersebut memerlukan strategi yang tepat. Langkah
pertama mengetahui secara rinci tentang gambaran industri tapioka di desa
Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang Kabupaten Bogor. Dengan
mengetahui gambaran industri, dapat digambarkan misi dan tujuan
organisasi. Misi merupakan pernyataan yang menyebutkan mengapa
perusahaan harus ada, sedangkan tujuan merupakan hasil akhir yang ingin
dicapai oleh perusahaan. Misi dan tujuan memiliki kedudukan penting,
karena keduanya dapat menuntun agar strategi yang dikembangkan dapat
sesuai dengan misi dan tujuan akhir perusahaan.
Langkah berikutnya menganalisis lingkungan internal dan eksternal
dari industri tapioka. Lingkungan internal dapat digambarkan dengan
kekuatan dan kelemahan industri, sedangkan analisis eksternal direfleksikan
oleh peluang, ancaman industri, ketersediaan lahan di desa tersebut dan
dampak pengembangan IK tapioka terhadap lingkungan perdesaan (batasan-
batasan pengembangan, misalnya intensifikasi atau ekstensifikasi).
Untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan utama pesaing
dalam hubungannya dengan posisi strategis industri. Pengidentifikasian
tersebut dijabarkan dalam matriks Competitive Profile (matriks CP).
Perbandingan tersebut dapat memberikan informasi relevan tentang strategi
internal yang penting. Tahap selanjutnya memadukan antara analisis
kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman industri dalam bentuk analisis
Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats (SWOT). Dengan analisis
SWOT dapat dikembangkan 4 tipe strategi, yaitu strategi kekuatan dan
peluang (SO), kelemahan dan peluang (WO), kekuatan dan ancaman (ST),
serta kelemahan dan ancaman (WT). Selanjutnya memposisikan suatu
perusahaan ke dalam matriks yang terdiri dari 9 sel yang disebut matriks
Internal Eksternal (IE).
Keluaran dari alternatif strategi tersebut akhirnya dipilih strategi
yang terbaik melalui matriks Quantitative Strategic Planning Matrix
(QSPM). Output matriks QSPM berbentuk skor. Skor tertinggi merupakan
prioritas utama untuk diterapkan, sehingga dihasilkan umpan balik yang
akan dipertimbangkan dalam penentuan visi dan misi berikutnya. Dengan
dipilihnya strategi terbaik dan manfaat dari IK tapioka sebagai penyedia
lapangan kerja bagi masyarakat, maka diharapkan IK tapioka di desa Karang
Tengah dapat bersaing dengan IK berbahan baku ubikayu lain maupun yang
sejenis di daerah lain, sehingga pada gilirannya dapat mensejahterakan
masyarakat disekitarnya.
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
3.2. Pengambilan Contoh
Penelitian ini diadakan di desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan
Madang, Kabupaten Bogor yang merupakan sentra produksi tapioka di
wilayah Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret
sampai Mei 2006.
Menurut Sugiyono (1999), jumlah responden pada penelitian
deskriptif paling tidak sebnyak 10% dari jumlah populasi atau 20% untuk
jumlah populasi yang sedikit. Jumlah pengusaha tapioka kasar di Desa
Karang Tengah sebanyak 40 UK. Oleh karena itu, contoh yang diambil
sebanyak tujuh. Yang akan dijadikan responden pada penelitian ini ialah
IK yang dikembangkan : - berbasis bahan baku lokal - banyak menyerap tenaga kerja
berpengaruh positif terhadap negara (pendapatan dari pajak)
IK tapioka
Misi, visi dan tujuan organisasi
Analisis lingkungan internal
Analisis lingkungan eksternal
Analisis SWOT Matriks IE
Penentuan strategi alternatif terbaik melalui matriks QSPM
Identifikasi kekuatan dan kelemahan pesaing (matriks CP)
para pengusaha tapioka (7 orang), pengambil kebijakan (2 orang) dan
pengusaha pengolahan tapioka halus (2 orang).
Proses pengumpulan data menggunakan metodologi Penelitian Aksi
Partisipatif (PAP) atau Participatory Action Research (PAR), yaitu sebuah
metode yang melibatkan dan sekaligus mendorong masyarakat mengenali
potensi dan permasalahan (usaha kecil ubikayu) yang ada di desa sehingga
masyarakat berinisiatif untuk melakukan tindakan penyelesaian masalahnya
sendiri.
Penelitian Aksi Partisipatif (PAP) ini akan melalui beberapa tahapan
yaitu tahap pra kondisi, tahap pengumpulan data dan tahap validasi data.
Tahap pra kondisi dimulai dengan merancang proses dimana masyarakat
terlibat dalam penelitian ini. Berikutnya, sosialisasi akan dilakukan untuk
memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang tujuan penelitian serta
manfaatnya bagi masyarakat.
Tahap pengumpulan data dibagi menjadi dua yaitu pengumpulan
data primer dan data sekunder. Data primer diambil dengan menggunakan 3
(tiga) metode, yaitu :
1. Wawancara langsung dengan obyek penelitian alat bantu kuesioner
(Lampiran 1) kepada para pengusaha tapioka dan pihak yang terkait
dalam penelitian ini.
2. Focus Group Discussion (FGD), yaitu diskusi kelompok terfokus yang
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam industri tapioka.
3. Resource Mapping adalah kajian lapang bersama masyarakat untuk
memetakan potensi dan permasalahan sumber daya (ubikayu).
Sedangkan data sekunder diambil dari instansi pemerintah dan
pengambil kebijakan, yang berkaitan dengan penelitian seperti
Depperindag, BPS, Pemkab Bogor, Pemerintah Desa maupun Pusat
Informasi Lingkungan Indonesia (PILI) sebagai LSM yang selama ini
menjadikan desa Karang Tengah sebagai desa binaan.
Tahap validasi data adalah sebuah proses untuk melakukan cross
check dan verifikasi kebenaran data yang telah dikumpulkan. Proses ini
mengunakan metode Focus Group Discussion (FGD), yaitu diskusi
kelompok terfokus yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan
dalam industri tapioka. Secara umum, data pada penelitian ini ialah data
kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif akan disajikan dalam bentuk
tabel, diagram dan grafik sedangkan data kualitatif akan dijelaskan secara
deskriptif.
3.3. Pengolahan dan Analisis Data
Proses penentuan strategi dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu
tahap pengumpulan data atau input stage, tahap pencocokan atau matching
stage dan terakhir adalah tahap pengambilan keputusan atau decision stage.
Rincian dari proses penentuan strategi adalah :
a. Pengumpulan Data
Pada tahap ini, data yang diambil berkaitan dengan visi, misi,
tujuan organisasi, faktor internal industri, yaitu kelemahan dan kekuatan
industri, serta faktor eksternal yang berkaitan dengan peluang dan
ancaman industri. Data aspek internal organisasi digali dari beberapa
fungsional dan dapat dikontrol oleh perusahaan seperti aspek
manajemen, keuangan, SDM, pemasaran, sistem informasi dan
produksi/operasi. Sedangkan data dari aspek eksternal dikumpulkan
untuk menganalisis peubah yang tidak dapat dikontrol oleh perusahaan
seperti aspek ekonomi, sosial budaya, hukum, stabilitas politik,
teknologi dan data eksternal lainnya. Hal ini penting, karena faktor
eksternal akan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung
terhadap perusahaan.
Data tentang faktor internal akan dirumuskan dalam sebuah
matriks yang dinamakan matriks IFE dan data tentang faktor eksternal
akan dirumuskan dalam matriks EFE. Selain itu juga akan dipergunakan
matriks CP yang berguna untuk mengetahui posisi industri kecil tapioka
di Desa Karang Tengah dengan industri lain yang sejenis di desa lain
berdasarkan faktor penentu keberhasilan tertentu.
b. Pencocokan Data
Tahap pencocokan data merupakan tahap dimana terdapat usaha
untuk mengkombinasikan antara sumber daya internal dengan peluang
dan risiko yang terdapat pada faktor-faktor eksternal. Pada tahap ini
digunakan perangkat berikut :
a. Analisis SWOT
Analisis ini merupakan model untuk merumuskan alternatif strategi
yang dikombinasikan dari data internal dan eksternal organisasi.
Alternatif strategi tersebut ialah strategi kekuatan-peluang (strategi
SO) strategi kelemahan-peluang (strategi WO), strategi kelemahan-
ancaman (strategi WT) dan strategi kekuatan-ancaman (strategi ST).
Penjabaran dari alternatif strategi adalah :
i. Strategi SO : strategi untuk mengerahkan segala kekuatan
organisasi dalam merebut peluang yang terjadi di eksternal
organisasi (strategi ofensif).
ii. Strategi WO : strategi untuk meminimalkan kelemahan dalam
merebut peluang yang ada (strategi defensif atau konsolidasi).
iii. Strategi WT : strategi meminimalkan kelemahan agar terhindar
dari ancaman eksternal (strategi diversifikasi).
iv. Strategi ST : strategi ini diterapkan dengan mengerahkan seluruh
kekuatan yang ada untuk mengatasi ancaman yang ada (strategi
diferensiasi).
b. Matriks IE
Matriks IE menempatkan suatu organiasi ke dalam 9 sel, yang
didasarkan pada dua dimensi kunci, yaitu total nilai IFE yang diberi
bobot pada sumbu X dan total EFE yang diberi bobot pada sumbu
Y. Pada sumbu X matriks IE, total nilai IFE yang dibobot dari 1,0 -
1,99 menunjukkan posisi internal yang lemah, nilai 2,0 - 2,99
dianggap sedang, sedangkan nilai 3,0-4,0 dianggap kuat. Demikian
pula dengan sumbu Y, total nilai EFE diberi bobot dari 1,0-1,99
dianggap rendah, nilai 2,0-2,99 dianggap sedang, dan nilai 3,0-4,0
dianggap tinggi.
4,0 Kuat (3,0-4,0) 3,0 Rataan (2,0-2,99) 2,0 lemah (1,0-1,99) 1,0
Tinggi 3,0 - 4,0
3,0 Sedang
2,0 - 2,99
2,0
Rendah 1,0 - 1,99
1,0
Gambar 3. Matriks IE (David, 2003)
c. Pengambilan Keputusan
Pada tahap ini, strategi alternatif terbaik akan diputuskan melalui
metode QSPM. Metode tersebut secara obyektif menunjukkan strategi
alternatif yang paling baik karena metode QSPM menggunakan
masukan dari analisis tahap pertama yaitu tahap masukan dan hasil
analisis tahap pencocokan (David, 2004). Beberapa langkah untuk
mengembangkan QSPM adalah :
1) Membuat daftar peluang/ancaman eksternal kunci dan
kekuatan/kelemahan internal kunci dari perusahaan di kolom kiri
QSPM
2) Memberi bobot pada setiap faktor eksternal dan internal
3) Memeriksa matriks-matriks pada tahap pencocokan dan mengenali
strategi alternatif yang harus dipertimbangkan organisasi untuk
diterapkan.
4) Menentukan Nilai Daya Tarik atau Atractiveness Score (AS) yang
didefinisikan sebagai angka yang menunjukkan daya tarik relatif
masing-masing strategi pada suatu rangkaian alternatif tertentu.
5) Menghitung Total Nilai Daya Tarik atau Total Atractiveness Score
(TAS)
I (Strategi Intensif)
II (Strategi Intensif)
III (Hold dan Maintain)
IV (Strategi Intensif)
V (Hold dan Maintain)
VI (Harvest dan Divestiture)
VII (Hold dan Maintain)
VIII (Harvest dan Divestiture)
IX (Harvest dan Divestiture)
6) Menghitung jumlah Total Nilai Daya Tarik (TAS). Jumlah TAS
mengungkapkan strategi yang paling menarik dari masing-masing
rangkaian alternatif.
3.4. Definisi Operasional
Pada penelitian ini digunakan beberapa istilah yang akan dijelaskan
sebagai berikut :
a. Diversifikasi Konglomerasi adalah strategi untuk menambah produk
baru dan tidak terkait dengan produk atau jasa lama.
b. Diversifikasi Konsentrik adalah strategi untuk menambah produk atau
jasa baru, namun masih terkait dengan produk atau jasa lama.
c. Focus Group Discussion (FGD) adalah diskusi kelompok terfokus yang
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Matriks Competitive Profile (CP) adalah matriks yang digunakan untuk
mengidentifikasi pada pesaing utama perusahaan mengenai kekuatan
dan kelemahan utama mereka dalam hubungannya dengan posisi
strategis perusahaan.
e. Matriks External Factor Evaluation (IFE) adalah matriks yang
digunakan untuk mengevaluasi faktor eksternal industri.
f. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) adalah matriks yang
digunakan untuk mengevaluasi faktor internal industri.
g. Matriks Internal External adalah matriks yang bertujuan untuk
memposisikan perusahaan kedalam matriks yang terdiri dari sembilan
sel.
h. Matriks SWOT adalah matriks yang menghasilkan beberapa alternatif
strategi seperti strategi SO (ofensif), WO (defensif/konsolidasi), ST
(diferensiasi), dan WT (diversifikasi).
i. Matriks Quantitative Strategic Planing adalah matriks yang digunakan
untuk menentukan kemenarikan relatif dari pelaksanaan strategi
alternatif.
j. Participatory Action Research (PAR) adalah metode yang melibatkan
sekaligus mendorong masyarakat mengenali potensi dan
permasalahannya, sehingga memiliki inisiatif untuk melakukan tindakan
penyelesaian masalahnya sendiri.
k. Resource Mapping adalah kajian lapang bersama masyarakat untuk
memetakan potensi dan permasalahan sumber daya (ubikayu).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian
4.1.1. Desa Karang Tengah
Desa Karang Tengah terletak didalam wilayah administratif
kecamatan Babakan Madang kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat
dan merupakan desa yang paling luas se-kecamatan Babakan
Madang dari sembilan desa yang ada, yaitu 28.590 m2. Kondisi
wilayah desa Karang Tengah sangat beragam mulai dari daerah
dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian mencapai
1.529 m dari permukaan laut. Batas-batas desa Karang Tengah
adalah sebagai berikut, sebelah utara berbatasan dengan desa
Hambalang, sebelah selatan berbatasan dengan desa Bojong
Koneng, sebelah barat berbatasan dengan desa Sumur Batu dan
sebelah timur berbatasan dengan desa Cibadak. Secara administratif
wilayah, desa Karang Tengah terbagi atas 3 Dusun dan 11 RW.
Wilayah ini dibagi lagi ke dalam wilayah kelompok masyarakat,
yakni 45 RT, yang menyebar di 13 kampung.
Desa Karang Tengah didalamnya terdapat sebagian kawasan
Taman Wisata Alam Gunung Pancar (TWAGP) yang termasuk
hutan dataran rendah dan merupakan wilayah kerja Balai Konservasi
Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat I. Taman Wisata Alam
Gunung Pancar ini mempunyai luas 447,5 Ha dan berbatasan
langsung dengan:
Sebelah Utara : Kampung Ciburial, Sukamantri dan Leuwigoong
Sebelah Timur : Kampung Cimandala
Sebelah Selatan : Cibimbing, Bojong Koneng
Sebelah Barat : Kampung Karang Tengah dan Tegal Luhur.
Kekayaan keanekaragaman hayati dan hutan yang dimiliki
kawasan TWAGP menjadi sangat penting sebagai pendukung
fungsi-fungsi hidrologis di daerah tangkapan air dan daerah
penyangga kawasan. Manfaat sebagai penyediaan air, baik untuk
kebutuhan air minum maupun untuk pengairan bagi pertanian
masyarakat, menjadi sangat vital jika keutuhan lanskap hutan
terganggu. Sedikitnya ada beberapa anak sungai yang mengalir dari
beberapa mata air yang ada di kawasan TWAGP. Anak-anak sungai
itu ada yang mengalir ke Sungai Cimandala dan menyatu dengan
Sungai Ciherang, selanjutnya bermuara ke Sungai Citeureup. Ada
lagi mata air dari atas Kampung Leuwigoong yang menjadi anak
sungai, lalu sebagian menyatu dengan Sungai Ciherang dan sebagian
lagi ke Sungai Cipanas dan menyatu ke Sungai Cikeruh terus
bermuara di Sungai Citeureup. Sebagian lagi mata air yang berasal
dari atas Kampung Karang Tengah, membentuk anak Sungai
Cibarengkok dan bersama anak-anak sungai kecil lain menyatu
menjadi sungai kecil Cimalaya, yang kemudian menyatu dengan
Sungai Ciparigi mengalir ke Sungai Cikeruh dan bermuara ke
Sungai Citeureup.
Sementara di daerah Kampung Wangun dan daerah sekitar
Kampung Karang Tengah bagian Timur, tepatnya di kawasan
pegunungan di banyak terdapat mata air yang kemudian menjadi
anak sungai kecil dan menyatu ke Sungai Cibadak, seterusnya
bertemu dengan Sungai Cijanggel yang berasal dari wilayah
Kecamatan Jonggol (sebelah Timur Kec. Babakan Madang), dan
bermuara di Sungai Cileungsi. Dua sungai besar yang berasal dari
kawasan Gunung pancar ini yang kemudian menyatu menjadi sungai
Ciliwung, dan terus ke Jakarta dan bermuara di Laut Jawa.
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat ialah sebagai
petani, yang menggunakan lahan kawasan Perhutani RPH Babakan
Madang, karena kebanyakan lahan masyarakat telah dijual ke pihak
asing, baik itu untuk perumahan ataupun yang masih berupa lahan
tidur. Selain itu masyarakat desa Karang Tengah juga berprofesi
sebagai pedagang kecil, tukang ojek, buruh kasar, pegawai negeri
dan swasta (sangat sedikit). Para pengrajin seperti pengrajin bambu
dan kayu sangat sedikit.
Jumlah penduduk saat ini adalah 12.830 jiwa, (laki-laki
6.385 jiwa dan perempuan 6.545 jiwa), dengan jumlah Kepala
Keluarga 7.561 KK (BPS Bogor, 2005). Mutu sumber daya manusia
di desa Karang termasuk rendah, hal itu dikarenakan kurangnya
keinginan masyarakat untuk mengenyam pendidikan, sulitnya sarana
transportasi ke kota sebagai pusat pendidikan, dan orang tua yang
mengharuskan anak-anaknya pada usia sekolah untuk membantu
mengangkat ekonomi keluarga dengan bekerja.
Desa Karang Tengah kaya akan potensi ekonomi, baik itu
berupa benda fisik yang akan habis bila ditambang terus menerus
seperti pasir dan batu. Selain itu, kaya akan sayur-mayur, palawija,
dan buah-buahan yang semuanya itu tumbuh dengan subur. Barang–
barang yang dihasilkan dijual ke Citeureup dan sebagian ke Jakarta.
Masyarakat menjualnya melalui tengkulak, sehingga harganya
sangat murah. Padahal kebutuhan yang didatangkan dari luar lebih
banyak dan mahal. Hal ini cenderung menyebabkan masyarakat
melakukan pembukaan lahan di kawasan Perum Perhutani dan pihak
Wana Wisata Indah selaku pengelola taman wisata di Gunung
Pancar, dan hal itu tidak dapat dibendung oleh instansi terkait.
Jakarta
Desa Karang Tengah
Pasar Citeureup/Bogor
Tengkulak
Barang yang dijual dari desa Karang Tengah : Pasir Rebung Pisang Batu Pecah Pandan Wangi Sirih Nangka Kunyit Lengkuas Bakung Tapioka Bawang Kacang Pete Talas Daun Salam Pepaya Jagung Durian Daun Ubikayu Kelapa Ubi Kambing
Barang yang dijual ke desa Karang Tengah : Shampo Sabun mandi Pakaian BBM Minyak sayur Barang elektronik Sikat ijuk Motor Mobil Mie Ikan asin Daging Sandal Sepatu sepeda Perhiasan Obat-obatan Tepung Bahan bangunan
Gambar 4. Pola distribusi poduk ekonomi dari Desa Karang Tengah ke luar daerah ataupun sebaliknya.
Terdapat permasalahan desa yang secara tidak langsung
merupakan suatu hubungan sebab-akibat sekaligus berpengaruh
terhadap perkembangan industri kecil tapioka. Permasalahan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Rusaknya Sarana dan Prasarana Yang Ada
Hampir semua sarana yang ada di desa Karang Tengah
rusak, sehingga menyulitkan masyarakat dalam melakukan
kegiatan sehari-hari. Contoh yang paling nyata adalah rusaknya
jalan desa yang memanjang dari pangkal desa sampai ke ujung.
Bahkan di bagian ujung desa belum ada jalan yang dapat di
lewati kendaraan roda empat. Pada saat musim hujan tiba
kondisi jalan semakin parah, kerusakan terutama di sebabkan
oleh pengangkutan batu dari lereng gunung Pancar, yang setiap
harinya bisa mencapai puluhan truk pengangkut batu. Beratnya
muatan tidak sebanding dengan kondisi jalan yang ada,
sehingga menyebabkan kondisi jalan semakin parah dan
memprihatinkan. Kondisi tersebut menyebabkan terhambatnya
akses pengusaha tapioka terhadap pasar, sumber permodalan dan
sebagainya.
2. Lemahnya SDM
Mutu SDM di Karang Tengah umumnya masih rendah,
karena sebagian besar berpendidikan rendah. Hal tersebut
disebabkan karena mereka kesulitan dalam masalah biaya untuk
menyekolahkan anak-anaknya, karena hasil yang ada dari
bertani hanya cukup untuk makan saja dan kesadaran pentingnya
pendidikan masih rendah. Lemahnya SDM di desa Karang
Tengah menyebabkan kurangnya pengetahuan tentang cara
pengolahan SDA yang mereka miliki secara optimal. Ubikayu
sebagai hasil alam dari desa Karang Tengah misalnya, dalam
meningkatkan nilai tambah hanya dijadikan tapioka dan onggok
(ampas) secara tradisional. Padahal hasil olahan dari ubikayu
sangat beragam.
3. Rusaknya lingkungan
Kerusakan lingkungan ini banyak terjadi di Gunung
Pancar yang masih termasuk dalam wilayah administratif desa
Karang Tengah. Banyak hutan yang gundul akibat ditebang oleh
masyarakat. Masyarakat yang hidup dalam ketidakcukupan,
terpaksa menebang hutan dan mengambil kayunya untuk dijual.
Selain itu, dalam mengembangkan usaha tapioka, masyarakat
terkadang tidak mengindahkan aspek-aspek lingkungan.
4.1.2. Karakteristik Tanaman Ubikayu dan Hubungannya Dengan Keadaan Ekosistem Desa Karang Tengah.
Desa Karang Tengah merupakan desa yang sebagian
wilayahnya terdiri dari hutan dataran tinggi dan perbukitan yang
sudah dalam keadaan kritis dan sudah harus dikonservasi. Adanya
lahan kritis tersebut dikarenakan banyaknya aktivitas penggundulan
hutan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang belum
mengerti akan fungsi hutan dalam ekosistem dan pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab lainnya. Pembukaan lahan oleh masyarakat
sekitar hutan bertujuan untuk membuka ladang sebagai tempat
bercocok tanam. Tanaman yang ditanam berupa ubikayu, pepaya,
durian, pisang dan sebagainya. Erosi merupakan persoalan yang
serius pada areal Gunung Pancar sebagai bagian wilayah
administratif Desa Karang Tengah. Pada sebagian kecil tetapi
penting dari lahan yang berada di areal Gunung Pancar merupakan
lereng-lereng yang curam, tanah yang mudah longsor dan
penggunaan tanah yang tidak tepat dapat mengakibatkan erosi.
Karena ubikayu bersifat khas dalam kemampuan tumbuhnya pada
kondisi tanah yang tidak menguntungkan, maka ubikayu cenderung
merupakan tanaman utama pada tanah-tanah semacam itu.
Menurut Falcon, et al (1986), ubikayu merupakan tanaman
yang mempunyai karakteristik tertentu yang menyebabkan tanaman
ini mempercepat erosi, terutama pada daerah cukup curam dengan
curah hujan cukup tinggi. Pertama, terbatasnya daun-daun yang
menutupi selama pertumbuhan awal menyebabkan tingginya daya
tumbuk air hujan langsung mencapai tanah. Kedua, menyangkut
tanah yang bergerak saat dipanen. Selain itu ubikayu juga menyerap
unsur hara yang banyak yang juga dapat mengurangi mutu tanah dan
dapat menyebabkan erosi atau bahkan longsor. Oleh karena itu,
penanaman ubikayu oleh pengusaha tapioka yang merangkap
sebagai petani ubikayu di daerah yang curam seperti di sebagian
wilayah Gunung Pancar perlu dihindari. Untuk mengganti pasokan
bahan baku dari daerah tersebut maka bahan baku dapat dipasok dari
wilayah lain.
4.1.3. Sejarah IK Trapioka
IK tapioka sudah dijalani oleh penduduk desa Karang Tengah
sejak dekade 60-an dan usaha tersebut berada dalam skala rumah
tangga. Sebagian rumah tangga menjadikan UK ini sebagai mata
pencaharian pokok dan sebagian lagi sebagai sampingan. Apabila
sedang tidak bekerja sebagai pengusaha tapioka karena faktor cuaca
atau faktor yang lain, maka sebagian pengusaha tersebut bekerja
sebagai petani ladang. Tanaman yang ditanam antara lain ubikayu,
jagung, pisang dan sebagainya.
Para pengusaha tapioka ini memiliki sebuah pabrik tempat
mengolah ubikayu menjadi tapioka yang disebut penggilingan.
Penggilingan ini tersebar di seluruh desa, dan rata-rata setiap RW
mempunyai kurang lebih 5 penggilingan, namun tidak seluruh RW
terdapat penggilingan tapioka. Alasan yang menyebabkan
pengusaha menekuni usaha ini diantaranya karena tersedianya bahan
baku, satu-satunya usaha yang bisa dilakukan dan dapat memberikan
tambahan penghasilan bagi keluarganya.
IK tapioka masih menggunakan alat-alat tradisonal dalam
merubah input (ubikayu) menjadi output (tapioka), seperti saringan
saripati perasan ubikayu masih berasal dari kain bekas, penggiling
ubikayu yang berasal dari kayu, tempat penjemuran tapioka basah
yang masih terbuat dari bambu dan sebagainya. Implikasi dari itu
semua, dalam merubah input menjadi output usaha kecil tapioka
tersebut sangat mengandalkan tenaga manusia.
Dilihat dari kepemilikan usahanya, kegiatan usaha merupakan
usaha milik sendiri dan tidak memiliki badan hukum. Pengelolaan
usaha ini dilakukan secara berkelompok. Biasanya satu penggilingan
dikelola oleh tiga sampai lima orang pengusaha, tergantung besar
kecilnya skala produksi. Usaha kecil ini belum pernah melakukan
kemitraan dengan pihak lain yang nantinya dapat berfungsi untuk
meningkatkan produksinya, mengontrol harga, memperluas daerah
pemasaran, membantu permnodalan dan sebagainya. Namun pada
saat ini baru saja didirikan Koperasi Desa Karang Tengah yang
nantinya dapat membantu pengusaha tapioka dalam memajukan
usahanya, hanya saja koperasi tersebut belum bekerja sebagaimana
mestinya.
Selain menjual produk olahan ubikayu berupa tapioka,
pengusaha tapioka juga menjual ampas dari ubikayu setelah diperas
yang disebut onggok. Produk sampingan tersebut biasanya
digunakan sebagai pakan ternak, bahan baku saos dan sebagainya.
Harga jual produk sampingan tersebut sekitar Rp 800-Rp 1.000/kg
atau kurang lebih 30 % dari harga jual tapioka.
4.1.4. Profil Responden
UK tapioka di desa Karang Tengah saat ini berjumlah kurang
lebih 40 unit, dengan rataan 5 unit dari setiap RW. Dalam hal ini
diambil satu contoh dari setiap RW yang terdapat usaha tapioka
dengan alasan sampel tersebut dapat mewakili populasi pengusaha
tapioka yang terdapat di desa Karang Tengah serta melibatkan pihak
pemerintah dalam hal ini Dinas Perindustrian Kabupaten Bogor dan
Pemerintah Desa (termasuk di dalamnya Tim Desa) sebagai
responden untuk mengetahui kebijakan pemerintah yang berkaitan
dengan usaha kecil tapioka di desa Karang Tengah. Selain itu
dimasukkan pihak pabrik pengolahan tapioka yang berperan sebagai
pembeli dari pengusaha tapioka untuk mengetahui keadaan industri
tapioka di desa lain.
Usaha tapioka sebagian besar dikelola oleh pria dewasa dan
remaja. Umur pengusaha tapioka berkisar 25-55 tahun. Rataan
pengusaha tapioka tidak tamat sekolah, pendidikan paling tinggi
ialah tamatan SD. Dalam operasinya, industri tapioka ini
menggunakan tenaga kerja yang masih ada hubungan keluarga. Oleh
karena itu, usaha ini merupakan usaha yang turun-temurun.
Tenaga kerja industri tapioka merupakan tenaga kerja
borongan. Yaitu tenaga kerja yang diupah berdasarkan satu kali
pengolahan ubikayu menjadi tapioka. Pendapatan pekerja berkisar
antara Rp 5.000-Rp 10.000 per kuintal tapioka.
4.1.5. Lokasi Industri Tapioka di Desa Karang Tengah
Industri tapioka tersebar di seluruh RW di Desa Karang
Tengah, rata-rata di setiap RW terdapat kurang lebih lima usaha
tapioka. Lokasi industri tapioka ini sebagian terletak di lahan sendiri
dan sebagian lain menumpang di lahan milik PT. Sentul dan Perum
Perhutani. Para pengusaha tapioka tidak memiliki tanah untuk
menjadi lokasi produksi, karena pada dekade lalu sebagian telah
dijual dalam rangka pembebasan tanah yang disebabkan perluasan
komplek perumahan Bukit Sentul. Hal tersebut diijinkan oleh PT.
Sentul, tetapi apabila nantinya akan diadakan perluasan bangunan
perumahan, maka pengusaha tapioka harus memindahkan
penggilingan ke tempat yang lain.
Dalam memilih tempat produksi, pengusaha tapioka memilih
tempat yang relatif dekat dengan sungai, agar suplai air dapat
berjalan dengan lancar. Selain itu, faktor jarak dengan pasar
merupakan hal yang dipertimbangkan, karena berpengaruh terhadap
ongkos angkut dari penggilingan ke tempat tapioka dipasarkan.
Ongkos angkut tapioka berkisar Rp 10.000-Rp 15.000/kw,
tergantung dari jarang tempuh yang diperlukan. Sekali angkut ke
pasar biasanya berkisar antara 3-5 kw.
4.1.6. Aspek Teknis dan Teknologi
Pada aspek teknis dan teknologi dibahas bahan baku dan
bahan penolong yang digunakan dalam pembuatan tapioka. Selain
itu dibahas mengenai teknologi yang digunakan dalam proses
pembuatan tapioka, meliputi peralatan-peralatan yang digunakan.
a. Bahan Baku dan Bahan Penunjang
Ketersediaan bahan baku dan bahan penunjang
mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelangsungan
proses produksi, karena apabila bahan baku dan bahan penolong
tidak tersedia, maka proses produksi tapioka tidak dapat
berlangsung. Bahan baku yang diperlukan dalam pembuatan
tapioka adalah ubikayu sedangkan bahan penolong yang
diperlukan ialah air bersih, pemutih (Sulfur Dioksida) dan
minyak solar.
1) Ubikayu
Bahan baku pembuatan tapioka adalah ubikayu.
Ubikayu yang bermutu baik mempunyai ciri keras, masa
panen 11-12 bulan dan apabila dipatahkan akan terasa
apakah ubikayu tersebut banyak mengandung butiran aci.
Penggunaan ubikayu yang bermutu baik berpengaruh nyata
terhadap mutu tapioka. Apabila ubikayu yang digunakan
baik maka hasilnya akan lebih banyak tapioka yang
dihasilkan. Ubikayu yang ditanam di daerah Karang Tengah
rawan serangan hama yang menyerang bagian umbi tanaman
yang oleh masyarakat disebut ku’uk atau Pseudo Cocidae.
Ubikayu dipasok para petani yang menanam ubikayu di
daerah Sukabumi, Kedung Halang, Karang Tengah dan
sebagainya. Ubikayu yang didapatkan oleh para pengusaha
tapioka sudah berupa ubikayu kupasan. Harga dari ubikayu
berkisar 550-650/kg tergantung dari mutunya dan banyaknya
suplai. Menurut Ouwueme dalam Falcon et al. (1986), tanpa
memperhatikan sistem penanamannya, ubikayu akan tumbuh
dengan baik bila ditanam pada waktu curah hujan yang lebat,
karena tanaman dapat bertoleransi dengan kekeringan
kecuali pada periode dini pertumbuhannya. Musim
penghujan pada tahun lalu (2005) berlangsung pada bulan
September- Mei dan para petani ubikayu menanam ubikayu
pada bulan Februari-April. Oleh karena itu, dengan
memperhatikan bahwa umur ubikayu berkisar antara 11-12
bulan, maka panen akan terjadi pada bulan Januari-April dan
hal tersebut berimbas pada harga tapioka.
Para pengusaha tapioka mendapatkan ubikayu dari
para petani serta ada juga yang melalui tengkulak dengan
cara berhutang dan baru akan dibayar setelah ubikayu yang
menjadi tapioka telah terjual. Tetapi ada juga yang dibayar
pada saat penyerahan barang, hal tersebut tergantung pada
kecukupan modal.
2) Air
Air merupakan bahan penolong yang digunakan dalam
pembuatan tapioka. Pada industri tapioka ini sebagian
mengambil air sungai yang telah diendapkan dan sebagian
mengambil dari mata air. Kebersihan air merupakan hal
yang penting dalam pembuatan tapioka. Semakin bersih dan
jernih air yang digunakan maka tapioka yang dihasilkan
akan semakin putih dan bersih. Hal tersebut merupakan
peubah yang menentukan mutu tapioka. Dinding bak untuk
menampung air ada yang langsung dari semen, tapi ada juga
yang dilapisi plastik. Untuk yang dilapisi plastik akan lebih
tahan lama sekitar 4-5 hari dan untuk yang hanya dilapisi
semen, air hanya bertahan 2 hari.
3) Pemutih
Pemutih atau Sulfur Dioksida kerap dibutuhkan untuk
merubah tapioka agar dapat menjadi lebih putih dan tidak
berbau apek akibat tapioka telah disimpan agak lama
(beberapa hari). Peran pemutih disini bukanlah sesuatu yang
dilarang, tatapi terkadang dianjurkan oleh pabrik sebagai
pembeli. Harga dari pemutih tersebut 35.000/kg. Satu
kwintal tapioka membutuhkan sekitar 2 sendok makan
pemutih (kurang lebih 20 g).
4) Solar
Solar digunakan sebagai bahan bakar dari mesin
yang digunakan untuk menyaring tapioka dari tapioka kasar
menjadi tapioka halus. Harga solar di pasaran saat ini Rp
4.300 per liter di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum
(SPBU) resmi. Tidak semua usaha tapioka di Desa Karang
Tengah ini menggunakan mesin, sebagian besar masih
menggunakan tenaga manusia dalam proses produksinya.
b. Peralatan Dalam Industri
Peralatan yang digunakan dalam pembuatan tapioka
dikelompokkan menjadi peralatan pembangkit tenaga, peralatan
pendukung, peralatan pengolah.
1) Peralatan pembangkit tenaga
Peralatan pembangkit tenaga dipergunakan dalam
menghasilkan tenaga dalam pengoperasian peralatan
mekanik lainnya. Peralatan tersebut ialah motor solar yang
digunakan untuk menggerakkan alat
penyaringan/pengayakan tapioka yang oleh pengusaha
tapioka disebut gobegan.
2) Peralatan pendukung
Peralatan pendukung yang digunakan dalam industri
tapioka ialah ember plastik untuk menampung tapioka yang
telah diparut, pipa air untuk menyalurkan air dari sungai atau
mata air ke bak tempat penampungan air atau dari bak
penampungan air ke tempat penyaringan. Plastik untuk
melapisi bak tempat menampung air. Kegunaan lapisan
plastik ialah agar lebih tahan lama dalam penyimpanan air.
Alat pendukung berikutnya ialah tampah yang digunakan
untuk menjemur tapioka yang masih basah, dan yang
terakhir ialah rak bambu untuk menjemur onggok.
3) Peralatan pengolah
Peralatan pengolah yang digunakan ialah parutan,
yang berfungsi memarut ubikayu menjadi halus. Kain
pemeras digunakan untuk menyaring ubikayu yang sudah
diparut dengan bantuan air.
4.1.7. Proses Pembuatan Tapioka
Untuk memperoleh tepung tapioka yang bermutu tinggi,
dipilih ubikayu dari jenis yang baik dan tidak mempunyai rasa pahit.
Di samping itu, ubikayu yang akan proses ialah ubikayu yang
dicabut pada hari itu juga atau masih dalam keadaan segar. Ubikayu
yang disimpan selama 2 hari atau terlalu lama, akan menyebabkan
terjadi perubahan warna menjadi hitam akibat kerja enzim
polifenolase yang terdapat dalam lendir daging ketela, yang
mengakibatkan sarinya akan berkurang (Direktorat Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, 2003). Pembuatannya mengikuti
prinsip berikut :
1. Pengupasan
Daging ubikayu dipisahkan dari kulit dengan cara pengupasan.
Selama pengupasan dilakukan sortasi bahan baku dengan
pemilihan ubikayu yang bagus. Ubikayu yang jelek dipisahkan
dan tidak diikutkan pada proses berikutnya.
2. Pencucian
Pencucian dilakukan dengan cara meremas-remas ubikayu di
dalam bak berisi air, untuk memisahkan kotoran yang menempel
pada ubikayu.
3. Pemarutan
Umbi-umbi yang sudah dikupas dan dicuci selanjutnya ialah
diparut, ini menghasilkan bubut atau parutan yang berisi zat
tepung atau serat . Parut yang digunakan ada dua, yaitu :
a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan
memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya. Ubikayu segar
kupasan digiling diantara drum berputar (dipasangi pisau
parut).
b. Parut semi mekanis, yang digerakkan dengan generator.
4. Pemerasan/Ekstraksi
Dengan bantuan air, residu berserabut itu disaring dan
meninggalkan cairan semacam susu yang mengandung aci dan
air pencuci. Ada dua cara untuk melakukan pemerasan yaitu:
a. Pemerasan bubur ubikayu dengan menggunakan kain saring.
lalu diremas-rernas dengan penambahan air Cairan yang
diperoleh berupa pati yang ditampung di dalam ember atau
bak kayu atau semen. Beberapa kilogram bubuk parutan itu
ditempatkan di dalam kain, air dituangkan dan campuran itu
diremas-remas dengan tangan. Penyaringan dilakukan
menggunakan air yang cukup sampai air saringan jernih
untuk memisahkan butir tepung pati dari ampas.
b. Pemerasan bubur ubikayu dengan saringan goyang (sintrik).
Bubur ubikayu diletakkan di atas saringan yang digerakkan
dengan mesin. sementara saringan tersebut bergoyang,
ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang
dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.
5. Pengendapan
Pati hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama
5-6 jam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang,
sedangkan endapan diambil dan siap dikeringkan.
6. Pengeringan
Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dengan cara
menjemur tapioka dalam nampan atau widig yang diletakkan di
atas rak-rak bambu. Biasanya penjemuran dilakukan pada pukul
07.00-14.00 atau tergantung cuaca. Bila cuaca kurang baik,
misalnya hujan, maka penjemuran dilakukan berkali-kali dan
lebih dari satu hari. Tapioka yang bermutu baik ialah tapioka
yang melalui proses penjemuran selama satu hari. Apabila lebih
dari satu hari, akan timbul warna hitam akibat aktivitas mikroba
yang dapat menyebabkan turunnya mutu tapioka.
7. Penepungan
Tapioka kering yang masih kasar selanjutnya dihaluskan lagi
melalui saringan. Setelah proses penepungan, produknya disebut
tapioka halus.
Dalam pembuatan tapioka tersebut terdapat produk sampingan
yang disebut ampas atau onggok. Untuk produk sampingan, ampas
yang dihasilkan dikumpulkan pada tempat tertentu, lalu dibentuk
menjadi bulat-bulat. Selanjutnya dijemur pada tempat penjemuran
tertentu yang biasanya sudah diatur. Penjemuran tersebut memakan
waktu 1-4 minggu tergantung pada cuaca. Setiap 7 kw ubikayu
dihasilkan kurang lebih 50 kg onggok.
Ubikayu Segar
Pengupasan Kulit dan Pencucian
Pemarutan dan Penyaringan Penambahan air Pengambilan pati dan pemerasan
Pengendapan dan pencucian
Pembuangan dan penghilangan air
Pengeringan
Penepungan
Tapioka
Gambar 5. Diagram alir pembuatan tapioka
4.1.8. Aspek Manajemen
Aspek manajemen memegang peranan yang penting dalam
kelangsungan suatu usaha. Penerapan manajemen yang profesional
diharapkan dapat membantu IK untuk dapat bersaing dan
selanjutnya tumbuh menjadi usaha menengah atau usaha skala besar.
Kegiatan usaha perlu mengkombinasikan fungsi-fungsi
manajemen seperti produksi/operasi, keuangan, SDM, pemasaran
agar sumber daya perusahaan seperti manusia, modal, peralatan
dapat difungsikan secara maksimal dan selanjutnya diharapkan IK
tersebut dapat meningkatkan nilai tambah yang dimilikinya.
a. Permodalan
Modal yang diperlukan untuk mendirikan sebuah
penggilingan kurang lebih Rp 30-80 juta. Modal tersebut
digunakan untuk membeli alat-alat produksi, tanah, bahan
bangunan dan sebagainya. Modal tersebut diperoleh dari dana
swadaya dan pengusaha tapioka belum pernah memperoleh
bantuan modal dari pemerintah ataupun dari lembaga keuangan.
b. Tenaga Kerja
Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha kecil tapioka
meliputi kegiatan pencarian bahan baku, penyortiran, pencucian,
penggilingan, penjemuran, pengepakan, pengangkutan dan
pemasaran. Kegiatan mulai dari pencarian bahan baku sampai
dengan pemasaran diperlukan sekitar 4-10 tenaga kerja. Pekerja
satu dengan pekerja lain tidak mempunyai tugas khusus dalam
kegiatan produksi, tetapi dalam pencarian bahan baku dan
pemasaran diperlukan tenaga kerja yang khusus karena tenaga
kerja tersebut biasanya sudah mempunyai nama di tataran para
pemasok ubikayu dan di pasar. Tenaga kerja yang dipakai yaitu
laki-laki dewasa, anak-anak dan perempuan. Tenaga kerja
perempuan biasanya bertugas untuk menjemur tapioka basah.
Upah untuk tenaga kerja hingga menjadi tapioka basah sebesar
Rp 5.000- Rp 6.000/kw, sedangkan untuk menjemur tapioka
basah upahnya sebesar Rp 3.500 – Rp 4000/kw. Tenaga kerja
yang dipakai dalam industri tapioka ini pada umumnya masih
merupakan kerabat atau tetangga dekat dengan pemilik
penggilingan. Pemilik penggilingan yang merangkap sebagai
pengusaha tapioka lebih suka memakai tenaga kerja yang masih
tergolong kerabat atau tetangga karena lebih fleksibel dalam
penggajian tenaga kerja, waktu kerja dan lebih akrab dalam
hubungan kerja.
Dalam industri tapioka ini memakai sistem borongan
dalam pemakaian tenaga kerja, yaitu sampai menjadi tapioka
kering atau sampai menjadi tapioka basah yang siap dijemur.
Dalam sistem pembayaran upah menggunakan dua sistem, yaitu
tenaga kerja akan dibayar jika tapioka telah terjual atau langsung
dibayar sesuai dengan kesepakatan. Dalam sistem penggajian
sistem bagi hasil digunakan proporsi yang sama rata baik dengan
pemilik maupun dengan pekerja yang lain. Waktu kerja dalam
industri ini sangat fleksibel, yaitu 13 jam sehari dan 7 hari
seminggu.
c. Struktur Organisasi
Struktur kerja dalam IK pada umumnya masih sangat
sederhana, begitu juga dalaam industri tapioka ini. Pemilik
modal biasanya juga merangkap sebagai pengelola dan
karyawan. Keputusan strategis dilakukan oleh pemilik modal
yang merangkap sebagai pengelola.
d. Pemasaran
Kotler (1999) mendefinisikan pemasaran sebagai proses
sosial dimana manusia baik individu maupun kelompok
mendapatkan apa yang dibutuhkan dan diinginkan dengan
menciptakan dan mempertukarkan nilai dengan individu
kelompok lainnya. Pemasaran tapioka dilakukan oleh seseorang
yang telah dipercaya oleh pemilik UK tapioka dan biasanya
dilakukan juga oleh pemilik sendiri. Tapioka dari Desa Karang
Tengah ini dipasarkan pada beberapa pembeli, seperti Koperasi
Tapioka Ciluar (KOPTAR) dan beberapa pabrik yang berlokasi
di Ciluar yang untuk selanjutnya dikemas lebih rapi, diberi
merek dan dijual ke pabrik tekstil, kerupuk di kota lain di daerah
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Nama pabrik tersebut
tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Daftar pembeli tapioka yang diproduksi oleh pengusaha tapioka di Bogor
Nama Pabrik Produk Merek PT Kujang Semua Jenis Tapioka Kujang
PT Setia Semua Jenis Tapioka Kupu-Kupu
PT Benteng Tapioka Super dan nomor Satu Dua Lombok
Liaow Cui Kang Tapioka Super Orang T ani
Liaow Liong Yap Tapioka Super Pak Tani
PT Dua Udang Tapioka Nomor Satu Dua Udang
Nagamas Semua Jenis Tapioka Nagamas
KOPTAR Semua Jenis Tapioka Anak Satu
Tepung Tapioka
KOPTAR Arifin Makmur Semua Jenis Tapioka -
CV Bambu
Kuning
Tapioka nomor Satu dan nomor Dua Bambu Kuning
Sumber: Firdaus, 2002
Pengusaha tapioka dalam memasarkan produknya
cenderung memilih pabrik yang memberikan harga jual produk
paling tinggi diantara pabrik lainnya. Pengusaha tapioka terlebih
dahulu berkeliling dari pabrik ke pabrik untuk menemukan
pabrik yang memberikan harga jual paling tinggi. Dalam
penentuan harga jual dilakukan tawar-menawar antara pihak
pengusaha tapioka dan pabrik, tetapi harga awal ditentukan oleh
pabrik. Apabila terdapat kecocokan harga, dilakukan transaksi,
tetapi jika terdapat ketidakcocokan harga maka pengusaha
tapioka membawa kembali tapiokanya dengan harapan besok
dapat dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi.
Dalam menentukan mutu tapioka yang dijual, penentuan
mutu dilakukan oleh pihak pabrik dengan cara konvensional,
yaitu dengan rabaan tangan dan beberapa pabrik melakukannya
dengan bantuan kaca untuk menentukan kadar air dalam tapioka
tersebut.
e. Keuangan
Pencatatan keuangan yang dilakukan industri tapioka di
Desa Karang Tengah masih sangat sederhana. Tidak ada laporan
keuangan yang menggambarkan pendapatan ataupun biaya
produksi yang diperlukan, yang ada hanya catatan penjualan
yang menggambarkan data-data historis penjualan. Jadi
perusahaan tidak dapat menganalisis secara pasti berapa biaya
yang dikeluarkan untuk memproduksi tapioka dalam sekali
giling.
4.2. Proses Perumusan Strategi.
4.2.1. Perumusan Strategi IK Tapioka
a. Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal bertujuan untuk mengetahui
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh industri kecil
tapioka. Kelemahan maupun kekuatan dari industri ini nantinya
dapat digunakan sebagai masukan untuk pengembangan strategi
yang baik. Faktor yang akan dianalisis ialah struktur organisasi,
fasilitas dan kegiatan produksi, produk, harga, lokasi, pemasaran
dan sumber daya.
1. Struktur Organisasi IK Tapioka
Pada umumnya, struktur organisasi pada IK tapioka ini
sangat sederhana, yaitu terdiri dari pemilik modal yang
merangkap menjadi pengelola atau karyawan yang langsung
menangani aktivitas produksi, keuangan hingga pemasaran
produk. Struktur organisasi ini memberikan kemudahan
tersendiri dalam mengontrol jalannya kegiatan operasional
perusahaan. Efektivitas dan efisiensi aliran tanggungjawab
dapat lebih memungkinkan untuk dikontrol dan hal tersebut
dapat meminimalkan terjadinya kesalahan.
2. Budaya dalam Industri Tapioka
Pengusaha tapioka pada umumnya memiliki etos
kerja yang tinggi, memiliki disiplin dalam bekerja dan
bersifat kekeluargaan. Berdasarkan pengamatan lapangan,
etos kerja dan disiplin yang tinggi tersebut tercermin dari
waktu kerja yang tidak mengenal lelah, yaitu kurang lebih 13
jam sehari dalam seminggu. Waktu kerja yang relatif lama
dan disiplin yang tinggi tersebut disebabkan tingginya
permintaan akan tapioka dan masa simpan tapioka yang
relatif pendek, sehingga tidak dapat menyimpan persediaan
seperti barang tahan lama lainnya.
Faktor kekeluargaan menimbulkan semangat saling
membantu, gotong-royong dan menimbulkan iklim yang
baik dalam bekerja. Faktor kekeluargaan dalam masyarakat
tersebut menyebabkan tidak adanya kesulitan bagi
pengusaha tapioka dalam merekrut pekerja.
Di sisi lain, waktu kerja yang terlalu lama tersebut
menyebabkan fisik pekerja menjadi mudah lelah dan apabila
dipaksakan dalam jangka waktu lama secara terus-menerus
akan mempengaruhi hasil akhir produksi, yaitu mutu
tapioka.
3. Sumber Daya Manusia
Pengusaha tapioka memiliki mutu SDM yang minim.
Hal tersebut digambarkan dalam contoh pengusaha tapioka
yang dijadikan responden, yaitu 100% responden merupakan
lulusan Sekolah Dasar (SD). Tingkat pendidikan yang masih
rendah tersebut mengakibatkan rendahnya tingkat
pengetahuan tentang pengelolaan, pemasaran,
pendistribusian, menetapkan daya tawar, penerapan inovasi
dan sanitasi.
Arsyad dalam Hafsah (2003) menyatakan bahwa
pembangunan sistem usaha agribisnis akan lebih cepat
terwujud, apabila sebagian besar masyarakat terutama
masyarakat pedesaan berpendidikan, menguasai ketrampilan
agribisnis (hulu, tengah, hilir). Jika sumber daya yang
dimiliki rendah, maka hal tersebut akan berdampak negatif
terhadap tingkat akseptabilitas dalam mengadopsi teknologi
yang disebarkan kepada masyarakat tani.
4. Keuangan
Permodalan yang dimiliki oleh para pengusaha
tapioka seluruhnya berasal dari dana swadaya. Masyarakat
masih cenderung takut untuk mengusahakan tambahan
modal dari lembaga keuangan seperti bank. Selain itu, masih
sedikit usaha-usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk
merangsang kemajuan IK khususnya IK tapioka di Bogor
dari sisi permodalan. Sejauh ini ada beberapa program
pemerintah yang ditujukan untuk membantu industri kecil
secara umum, yaitu Program Pembinaan Kecamatan (PPK)
dan Pembinaan Usaha Kredit Kecil (PUKK) yang
dilaksanakan oleh Pemerintah Kecamatan, Program Dana
Bergulir dan Kerjasama Antara Dinas Perindustrian
Kabupaten Bogor dan Bank Jabar Unit Syariah dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II. PPK dilakukan oleh
pemerintah desa dan pemerintah kecamatan, sasarannya
ialah usaha mikro seperti warung kecil-kecilan, usaha skala
rumah tangga dan obyeknya biasanya kaum ibu rumah
tangga dengan sistem kelompok. Besarnya pinjaman PPK
berkisar antara Rp 500.000-Rp 1.000.000 dengan bunga
yang relatif tinggi (20% per tahun). Sedangkan PUKK
dilaksanakan oleh Perhutani melalui Kelompok Tani Hutan
(KTH) dengan sasaran masyarakat sekitar hutan, sehingga
tidak semua IK mendapatkan bantuan tersebut. Besarnya
kredit PUKK antara Rp 1.000.000- Rp 3.000.000. Program
Dana Bergulir ditujukan untuk IK pada umumnya di
Kabupaten Bogor, besarnya bantuan sekitar 25 juta rupiah
per usaha dan sudah berjalan 7 tahun, sedangkan permodalan
yang diselengarakan oleh Dinas Perindustrian dan Bank
Jabar Unit Syariah besarnya mencapai Rp 75.000.000 per
usaha.
Belum maksimalnya koperasi yang ada di Karang
Tengah telah menyebabkan kurang berkembangnya IK
tapioka dari sisi modal. Tidak maksimalnya fungsi koperasi
dikarenakan belum pahamnya pengurus maupun masyarakat
akan arti koperasi. Apabila koperasi telah berjalan maksimal,
dalam artian banyak pengusaha tapioka yang menjadi
anggota dan pemahaman akan manfaat sudah kuat ditataran
masyarakat diharapkan sisi permodalan dapat diatasi. Di sisi
lain ada hal yang menyebabkan sulitnya industri kecil di
Desa Karang Tengah mendapatkan bantuan modal, yaitu
kesadaran masyarakat untuk mengembalikan dana bantuan
relatif rendah dan apabila mendapatkan bantuan modal,
bantuan tersebut terkadang dialokasikan untuk hal-hal yang
bersifat konsumtif.
Selain itu, sistem pencatatan keuangan yang
dilaksanakan oleh industri tapioka di Desa Karang Tengah
masih sangat sederhana. Pencatatan yang dilakukan hanya
mencakup data-data historis penjualan. Atau dengan kata
lain, perusahaan tidak dapat menganalisis secara pasti
tentang biaya produksi yang diperlukan untuk satu kali
giling, karena perusahaan tidak membuat laporan keuangan.
5. Produk dan Harga
IK tapioka menghasilkan tapioka kasar dengan tingkatan
mutu nomor 1-3, selain itu menghasilkan onggok atau
ampas. Produk tapioka dari Desa Karang Tengah rataan
mutunya di bawah produk sejenis dari desa sekitar, seperti
Desa Kadumangu, Cibuluh, Pasir Laja dan Ciluar. Salah
satunya karena mekanisasi peralatan di Desa Karang Tengah
belum secanggih di Desa Kadumangu, Cibuluh, Pasir Laja
ataupun Ciluar. Hal tersebut mempengaruhi mutu tapioka
pada akhirnya. Mutu tapioka menurut SNI dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Standar mutu tapioka (SNI 01-3451-1994)
Mutu no Persyaratan Mutu
I II III 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
- Kadar air (% maks.) - Kadar abu (% maks.) - Serat & kotoran (% maks.) - Derajat keasaman ( IN NaOH / 100 g ) - Kadar HCN (% maks.) - Derajat putih (BAS0 4 = 100) - Kekentalan (oEngler)
15 0,60 0,60 < 3 ml negatif 94,5 3 - 4
15 0,60 0,60 < 3 ml negatif 92,0 2,5 - 3
15 0,60 0,69 < 3 ml negatif 92,0 < 2,5
Sumber : Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan, 2003
Mutu berbanding lurus dengan harga, yaitu apabila
mutunya baik maka harga akan semakin tinggi dan berlaku
sebaliknya. Dari segi harga, rata-rata produk tapioka Desa
Karang Tengah masih kalah dengan Desa Kadumangu
Cibuluh, Pasir Laja maupun Ciluar. Jika pengusaha tapioka
dan pihak pabrik telah bertemu untuk menentukan harga,
maka kesepakatan harga melibatkan kedua belah pihak,
tetapi untuk harga pembukaan dalam tawar-menawar hanya
pihak pabrik yang dapat menentukan. Dalam hal ini posisi
tawar para pengusaha tapioka sangat lemah terhadap pabrik,
hal tersebut disebabkan tidak adanya himpunan pengusaha
tapioka.
Daya simpan tapioka yang relatif singkat juga
menyebabkan pengusaha tapioka tidak mempunyai pilihan
lain selain menjual tapioka pada tingkat harga berapapun.
Harga tapioka sangat berfluktuatif, yaitu tergantung pada
kualitas tapioka kasar yang dipasok oleh pengusaha tapioka
dan jumlah pangusaha yang memasok tapioka. Apabila
banyak penawaran dari pengusaha tapioka, maka harga
tapioka kasar yang dipasok cenderung rendah, dan
sebaliknya. Harga tapioka kasar tertinggi di tingkat
pengusaha tapioka sampai saat ini berkisar Rp 400.000- Rp
420.000 /ku. Untuk saat ini harganya berkisar Rp 2.300-Rp
3.500 /kg. Sedangkan harga onggok berkisar antara Rp 800-
Rp 1.000 per kilogram atau sekitar 30% dari harga tapioka
kasar. Penetapan harga yang dilakukan oleh pabrik
pengolahan tapioka kepada produsen pangan
mempertimbangkan kondisi dan situasi pemasaran yang
terjadi. Kondisi pasar dengan permintaan yang rendah dan
penawaran tinggi, maka pabrik pengolahan akan
memberikan harga pokok penjualan pada produknya dengan
harga tambahan terendah Rp 50,- /kg. Bila permintaan tinggi
sedang penawaran rendah, sehingga harga tambahan yang
diberikan Rp 200,- /kg.
6. Lokasi Industri
Umumnya industri tapioka berlokasi di sekitar
pemukiman penduduk, sebagian di tanah milik PT. Sentul
atau Perum Perhutani dan sekitar aliran sungai. Perekrutan
tenaga kerja akan lebih mudah sehubungan dengan dekatnya
lokasi industri dengan pemukiman penduduk. Selain itu,
pasokan air dan pembuangan limbah akan lebih lancar,
karena lokasi industri yang berdekatan dengan sungai.
Lokasi industri di daerah yang bukan milik pribadi
merupakan suatu kelemahan, karena lahan yang digunakan
merupakan milik PT. Sentul dan Perum Perhutani.
Lokasi yang relatif dekat dengan pasar merupakan
keunggulan tersendiri bagi industri tapioka di Desa Karang
Tengah. Biaya transportasi lebih murah dibandingkan
dengan industri sejenis yang terletak di luar Bogor, seperti di
Tasikmalaya, Lampung, Cianjur, Purwakarta, Sukabumi dan
sebagainya.
7. Kegiatan Produksi
Kegiatan produksi tapioka di Desa Karang Tengah
sebagian besar masih menggunakan tenaga manusia dan
secara teknologi relatif tertinggal, hal tersebut menyebabkan
kurang bersaingnya industri tapioka di Desa Karang Tengah
dengan industri sejenis di desa-desa lain. Untuk penyaringan
misalnya, beberapa masih menggunakan tenaga manusia.
Padahal di daerah lain seperti Desa Kadumangu, Desa
Ciampea sudah menggunakan penyaringan dengan
menggunakan mesin yang disebut sintrik, akibatnya
kapasitas produksi masih kalah dibandingkan desa tersebut.
Pada beberapa kasus, dalam memperoleh air para pengusaha
tapioka menggali sumur, akibatnya mutu air dalam hal
kejernihan atau kebersihan tidak tergantung pada cuaca.
Mekanisasi sudah tentu memerlukan investasi modal
yang besar. Apabila mekanisasi tersebut benar-benar
dilaksanakan, maka untuk mempertahankan operasi yang
terus-menerus diperlukan input (ubikayu) dan modal yang
besar pula. Dan hal itu bagi industri kecil skala rumah
tangga seperti industri tapioka di Desa Karang Tengah
merupakan masalah tersendiri.
8. Pemasaran
Pemasaran produk dilakukan oleh pengusaha tapioka
ada yang melalui tengkulak ada yang tidak. Target pasarnya
ialah pabrik pengolahan yang ada di Ciluar. Tapioka dibagi
menjadi tiga kelas, yaitu kelas satu, dua dan tiga. Yang
membedakan mutu dari ketiga kelas tapioka tersebut secara
kasat mata ialah warna, aroma dan kandungan air. Penentuan
mutu tapioka biasanya didasarkan berdasarkan contoh yang
diambil dari karung dan selanjutnya diperiksa dengan
memegang contoh tersebut. Penentuan mutu tapioka
dilakukan oleh pihak dari pabrik karena sudah
berpengalaman.
Untuk penjualan onggok, ada pengusaha tapioka
yang menjual melalui tengkulak. Rata-rata pengusaha
menjual sendiri onggok ke pabrik. Sedangkan yang menjual
melalui tengkulak biasanya berpandangan bahwa perbedaan
terjadi pada ongkos transportasi, sehingga tidak merasa
dirugikan bila menjual melalui tengkulak.
Semakin banyaknya pabrik pengolahan tapioka,
membuat pengusaha tapioka kasar memiliki alternatif dalam
menjual produknya. Pengusaha tapioka tersebut terlebih
dahulu melakukan survai harga ke beberapa pabrik
pengolahan dan selanjutnya menjualnya ke pabrik yang
memberikan harga tertinggi.
b. Analisis Lingkungan Eksternal
1. Analisis Lingkungan Makro
a. Kebijakan Pemerintah
Pembangunan ekonomi yang berbasis masyarakat
seharusnya menjadi prioritas utama pembangunan
ekonomi nasional, karena tujuan pembangunan ekonomi
rakyat sesuai dengan amanat konstitusi yaitu
meningkatkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Departemen Koperasi dan Usaha Mikro Kecil
Menengah (Departemen KUMKM) dalam Rencana
Strategis 2005-2009 berusaha mengembangkan UMKM
dengan meningkatkan SDM yang dimiliki UMKM,
meningkatkan aksesabilitas KUKM terhadap sumber-
sumber pembiayaan, memperluas sumber pembiayaan bagi
KUKM, baik bank maupun nonbank. Selain itu, Dinas
Perindustrian Kabupaten Bogor mempunyai program yang
bertujuan untuk mengembangkan industri kecil secara
umum di Kabupaten Bogor. Programnya termasuk
pelatihan yang meliputi pelatihan manajemen administrasi,
peningkatan mutu, diversifikasi produk dan bantuan
permodalan. Bantuan permodalan ini disebut Bantuan
Dana Bergulir dan dikucurkan pemerintah sebesar Rp
25.000.000 dan sudah berlangsung tujuh tahun. Tapi
sejauh ini usaha-usaha pemerintah tersebut belum dapat
dirasakan oleh para pengusaha tapioka secara maksimal
baik bantuan permodalan, upaya pencerahan teknologi,
pembentukan kelembagaan, bantuan pemasaran dan lain-
lain.
b. Kondisi Ekonomi
Pendapatan per kapita masyarakat yang meningkat
yang dapat diktahui dari naiknya Upah Minimum Wilayah
juga merupakan pengaruh positif bagi pengusaha tapioka.
Peningkatan pengeluaran rataan per kapita sebulan untuk
makanan merupakan indikasi bagi peningkatan permintaan
bahan makanan seperti tepung tapioka.
Rendahnya inflasi juga mendukung daya beli
masyarakat. Inflasi yang menggambarkan kenaikan harga-
harga secara umum, masih pada level satu digit. Inflasi
pada tahun 2006 bulan Januari sebesar 1,36%, Februari
0,58% dan Maret sebesar 0,03% (BPS, 2006a).
c. Sosial Budaya
Meningkatnya kesadaran dan pengetahuan
masyarakat akan pentingnya diversifikasi pangan dan
kandungan pada ubikayu menimbulkan efek positif bagi
tapioka. Tapioka sebagai hasil olahan dari ubikayu yang
mengandung banyak karbohidrat dapat menggantikan
kebutuhan akan beras.
Selain itu, pada saat ini semakin banyak gerakan
kampanye atau promosi yang diarahkan kepada seluruh
lapisan masyarakat, mulai lapisan bawah, sampai lapisan
atas. Bahkan Departemen Pertanian RI mulai gencar
mempromosikan hasil olahan makanan non beras yang
mengandung karbohidrat tinggi. Peran dari ahli tata boga
dan peneliti juga cukup besar dalam menciptakan variasi
yang menarik dari makanan hasil olahan ubikayu atau
tapioka.
Lokasi ibukota negara yang berdekatan dengan
Bogor juga berpengaruh terhadap tumbuhkembangnya
industri tapioka di Desa Karang Tengah. Disisi lian, para
pemuda dari desa banyak yang mencari kerja keluar desa
sehingga jarang yang berprofesi sebagai pengusaha
tapioka.
d. Demografi
Semakin meningkatnya jumlah penduduk
Indonesia tentu akan meningkatkan kebutuhan pangan.
Meningkatnya jumlah penduduk harus diiringi oleh
diversifikasi pangan untuk mengurangi ketergantungan
terhadap beras. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2000 sebanyak 206,264,595 jiwa dengan laju pertumbuhan
1,35 persen pertahun (BPS, 2006 b).
e. Lingkungan
Faktor lingkungan harus juga dipertimbangkan
dalam pengembangan industri tapioka. Industri tapioka di
Desa Karang Tengah banyak mengambil pasokan ubikayu
dari daerah sekitar, terutama Gunung Pancar. Padahal
ubikayu sendiri memiliki karakteristik banyak menyerap
unsur hara, sehingga apabila dibiarkan dalam waktu yang
lama akan merusak struktur kimia tanah dan selain itu
dapat menyebabkan erosi, hal tersebut berkaitan dengan
terbatasnya daun-daun yang menutupi selama
pertumbuhan awal yang menyebabkan tingginya daya
tumbuk air hujan langsung mencapai tanah. Kedua,
menyangkut tanah yang bergerak saat dipanen (Falcon et
al., 1986). Gunung Pancar merupakan kawasan dataran
tinggi yang mempunyai ketinggian 1.529 m diatas
permukaan laut, dan dalam keadaan yang memprihatinkan
dikarenakan banyaknya hutan yang gundul pada kawasan
tersebut.
Selain itu, lahan yang digunakan petani untuk
bersawah dan berladang banyak yang dirubah menjadi
areal pemukiman penduduk. Oleh karena itu pasokan
ubikayu dari Desa Karang Tengah sendiri terancam akan
berkurang, sehingga pengusaha tapioka akan mencari
pemasok dari daerah lain dengan konsekuensi menambah
biaya produksi yang disebabkan oleh biaya transportasi
atau biaya angkut.
2. Analisis Lingkungan Industri
a. Persaingan Industri
Persaingan industri merupkan hal yang wajar dan
tidak dapat dihindari, begitu juga dengan industri tapioka.
Rendahnya hambatan masuk merupakan ancaman
tersendiri bagi industri tapioka yang sudah terlebih dahulu
ada dan sudah mapan. Hambatan masuk tersebut bisa
berupa mutu produk yang telah ada, sistem produksi yang
relatif sedarhana dan mudah untuk ditiru. Industri tapioka
ini telah ada selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Industri yang bertahan ialah industri yang menghasilkan
tapioka kasar bermutu tinggi dan didukung dengan modal
yang cukup.
b. Produk Substitusi
Tapioka memiliki fungsi dan kandungan yang berbeda
dengan jenis tepung yang lain seperti tepung maizena,
tepung beras, tepung terigu, tepung kedelai dan tepung
gaplek. Pada kasus tertentu seperti pada pembuatan bakso,
tepung kedelai dapat menjadi barang substitusi bagi
tapioka, tetapi hal tersebut tidak dianjurkan, sebab akan
berpengaruh pada aspek rasa, warna dan bau (Purnomo,
2003)
c. Kekuatan Tawar-Menawar Pembeli
Pembeli dalam hal ini pabrik memiliki daya
tawar yang cukup tinggi. Dalam penentuan harga tapioka
ataupun onggok, pembeli memegang kendali. Karena
pasokan tapioka tidak hanya datang dari pengusaha
tapioka dari Desa Karang Tengah, tetapi juga dari desa-
desa lain di Bogor. Harga tapioka tergantung pada
banyaknya permintaan akan tapioka dan pasokan tapioka.
d. Kekuatan Tawar-Menawar Pemasok
Penyediaan bahan baku tapioka yaitu ubikayu
dilakukan oleh tengkulak dan petani ubikayu. Tengkulak
tersebut membeli ubikayu dari para petani kemudian dijual
kepada pengusaha tapioka, tetapi ada juga pengusaha
tapioka yang membeli langsung dari petani ubikayu.
Penetapan harga beli dan kuantitas ubikayu ini tergantung
mutu barang dan kesepakatan dari kedua belah pihak, baik
pengusaha tapioka dengan petani ataupun tengkulak tetapi
harga awal dibuka oleh pengusaha ubikayu. Dalam
mencari bahan baku, sering pemilik ubikayu mendatangi
pengusaha tapioka dan jarang sebaliknya. Dalam hal ini,
penjual ubikayu akan mencari pembeli dengan harga
tertinggi, sedangkan pengusaha ubikayu akan mencari
penjual dengan harga terendah. Beberapa pengusaha
tapioka memiliki langganan tertentu karena dirasa sudah
cocok, tetapi sebagian besar pengusaha tapioka memiliki
banyak alternatif penyedia bahan baku. Pembayaran
sebagian besar dilakukan setelah tapioka laku di pasar.
4.2.2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Industri Tapioka
1. Faktor Internal Industri
a. Kekuatan Industri
1) Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan.
Struktur organisasi perusahaan yang sederhana, yaitu
pemilik modal merangkap sebagai pengelola dan
karyawan, memudahkan pemilik modal untuk mengontrol
kegiatan operasional perusahaan. Selain itu, eketivitas dan
efisiensi aliran tanggungjawab dapat lebih dikontrol dan
mengurangi adanya kesalahan.
2) Etos kerja dan disiplin yang tinggi.
Etos kerja dan disiplin tinggi diantara karyawan
menyebabkan kapasitas produksi berada dalam keadaan
maksimal. Tidak pernah terjadi inefisiensi produksi yang
disebabkan kinerja karyawan yang buruk.
3) Iklim kerja yang baik.
Hubungan yang terjadi antar karyawan dan pemilik
modal berjalan harmonis dan kekeluargaan. Jarang terjadi
keluhan-keluhan yang menyebabkan renggangnya
hubungan antar karyawan atau dengan pemilik modal. Hal
ini disebabkan karyawan yang direkrut masih merupakan
kerabat atau tetangga dekat.
4) Tidak adanya kesulitan dalam merekrut tenaga kerja.
Tenaga kerja yang dipekerjakan masih terhitung
kerabat atau tetangga dekat. Oleh karena itu, pengusaha
tapioka tidak pernah kesulitan dalam merekrut tenaga
kerja. Selain itu pengangguran yang tinggi juga merupakan
faktor pendukung mudahnya perekrutan tenaga kerja.
5) Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar.
Letak perusahaan relatif dekat dengan pasar, yaitu
masih terbilang di daerah Bogor merupakan kekuatan
tersendiri dibandingkan perusahaan sejenis yang berlokasi
di luar kota. Jarak perusahaan dengan pasar mempengaruhi
ongkos transportasi yang dibutuhkan dan akhirnya
berpengaruh terhadap biaya produksi.
b. Kelemahan Industri
1) SDM yang rendah.
Sumber daya manusia yang rendah berpengaruh
terhadap kemampuan perusahaan untuk berinovasi,
mengaplikasikan pembuatan tapioka yang efisien,
mengurangi kemampulabaan perusahaan serta berdampak
negatif terhadap tingkat akseptabilitas dalam mengadopsi
teknologi yang diberikan kepada masyarakat tani.
2) Terbatasnya modal.
Terbatasnya modal usaha membuat industri tapioka
mengalami stagnasi. Terbatasnya pengetahuan masyarakat
akan tatacara pengajuan pinjaman modal kepada bank
merupakan hambatan tersendiri.
3) Mutu produk dan harga yang kurang bersaing.
Mutu produk tapioka Desa Karang Tengah masih
kurang bersaing dibandingkan dengan tapioka dari desa
lain, seperti Desa Kadumangu atau Ciluar. Hal ini
disebabkan oleh kandungan air yang berbeda pada daerah
tersebut. Masalah teknologi dan sanitasi juga menjadi
hambatan bagi industri tapioka Desa Karang Tengah.
Rataan industri tapioka Desa Karang Tengah
mengandalkan tenaga manusia yang terkadang tidak
konsisten dan hal tersebut mempengaruhi mutu produk.
Begitupun dengan sanitasi, industri tapioka di Desa
Karang Tengah kurang mempehatikan sanitasi produksi,
sehingga berpengaruh juga terhadap mutu produk. Mutu
akan berbanding lurus dengan harga. Apabila mutu produk
baik, maka harga akan tinggi, dan sebaliknya.
4) Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak
lain.
Sebagian industri tapioka Desa Karang Tengah
berlokasi di lahan milik pihak lain, seperti PT. Sentul dan
Perum Perhutani. Hal tersebut dalam jangka panjang akan
mengancam keberadaan industri ini, karena jika sewaktu-
waktu pihak yang memiliki lahan berniat mengambil
haknya, maka hal tersebut akan mengancam keberadaan
perusahaan.
5) Penggunaan teknologi yang masih terbatas.
Keterlibatan teknologi pada proses produksi tapioka
di Desa Karang Tengah dibilang masih kurang. Hal
tersebut mempengaruhi mutu dan kuantitas produk,
sehingga menjadi kurang bersaing dengan produk dari
desa atau daerah lain.
6) Pencatatan keuangan yang masih sederhana.
Pencatatan yang dilakukan oleh industri tapioka
hanya mencakup data historis penjualan. Dan rataan
perusahaan tidak dapat menganalisis biaya produksi yang
dibutuhkan dalam pembuatan tapioka, karena tidak
memiliki laporan keuangan. Perusahaan juga tidak dapat
menentukan apakah sebenarnya mendapat laba atau
mendapatkan kerugian.
7) Kesadaran dalam pengembalian pinjaman pada sebagian pengusaha dan masyarakat yang relatif rendah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pabrik
pengolahan tapioka, rataan pengusaha tapioka dari Desa
Karang Tengah relatif sulit untuk diberi masukan
konstruktif dalam rangka meningkatkan mutu produk
tapioka kasar yang dihasilkan. Bagi rataan pengusaha
tapioka, yang penting ialah menghasilkan laba. Selain itu,
ditataran masyarakat, kesadaran untuk mengembalikan
hutang masih rendah. Kebiasaan tersebut secara tidak
langsung berpengaruh terhadap pengusaha tapioka.
8) Rusaknya Infrastruktur
Infrastruktur seperti jalan raya, jembatan berada
dalam kondisi yang memprihatinkan sehingga sangat
menyulitkan masyarakat dalam melakukan kegiatan
sehari-hari. Kondisi tersebut menyebabkan sedikit
terhambatnya akses pengusaha tapioka terhadap sumber
permodalan, akses informasi di tingkat pengambil
kebijakan dan sebagainya.
2. Faktor Eksternal Industri
a. Peluang Industri
1) Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
Tingkat kesadaran masyarakat akan kebutuhan
nutrisi telah mengubah persepsi bahwa bahan makanan
yang merupakan sumber karbohidrat tidak hanya beras,
tetapi juga didapatkan dari sumber-sumber yang lain.
Selain itu, pada saat ini banyak pihak-pihak seperti
pemerintah melalui Departemen Pertanian, restoran, hotel,
pendidikan boga yang mempromosikan makanan
berkarbohidrat pengganti beras.
2) Kondisi ekonomi yang stabil
Kondisi ekonomi yang stabil digambarkan oleh
inflasi yang berada pada level satu digit, naiknya
pendapatan masyarakat yang digambarkan oleh naiknya
Upah Minimum Wilayah. Hal tersebut memberikan
peluang daya beli masyarakat akan bertambah.
3) Semakin bertambahnya jumlah penduduk.
Semakin bertambahnya penduduk Indonesa dari
tahun-ketahun secara otomatis akan meningkatkan
permintaan akan bahan makanan terutama yang
mengandung nutrisi yang sama dengan makanan pokok.
4) Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
Tapioka memiliki produk pengganti, khususnya dari
produk umbi-umbian seperti kimpul, ubi jalar bahkan
tepung kedelai. Tetapi dalam substitusi produk, produk
pengganti tersebut tidak dapat mengganti sebesar 100%
karena hal tersebut tergantung dari uji organoleptik yang
paling diterima. Pada kasus pembuatan bakso sapi,
penggunaan produk substitusi yaitu tepung kedelai terbukti
kurang disukai karena berpengaruh terhadap rasa, bau dan
warna (Purnomo, 2003).
a. Ancaman Industri
1) Kurangnya peranserta dari pemerintah.
Baik pemerintah daerah, kecamatan maupun desa
sejauh ini belum membuat program yang bertujuan untuk
mengembangkan industri tapioka di Desa Karang Tengah.
Bantuan seperti permodalan, penelitian, alih teknologi dan
fasilitasi kelembagaan belum dirasakan oleh kalangan
pengusaha tapioka.
2) Hambatan masuk industri relatif rendah.
Hambatan masuk dalam industri ini relatif rendah.
Ada beberapa peubah yang menyebabkan hal tersebut,
yaitu modal yang dibutuhkan tidak terlalu besar, SDM
yang tidak menuntut syarat yang terlalu banyak dan rumit,
dan sistem produksi mudah untuk ditiru.
3) Kurangnya regenerasi kepemilikan
Lokasi ibukota negara yang relatif dekat dengan
segala daya tariknya membuat generasi muda lebih
menyukai untuk bekerja disana. Hal ini menyebabkan
kurang adanya regenerasi usaha tapioka yang diwarisi dari
orang tua ke anak-anaknya.
4) Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi
Banyaknya pengrajin tapioka yang menjual tapioka
kasar ke pabrik pengolahan tapioka menyebabkan harga
tapioka sangat berfluktuasi. Pembeli memiliki kekuatan
untuk menentukan harga tapioka pada tingkat harga
tertentu dan pengusaha tapioka tidak memiliki pilihan lain
selain menjualnya.
5) Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
Tidak adanya lembaga atau himpunan yang
melindungi pengusaha tapioka merupakan ancaman
tersendiri. Lembaga tersebut nantinya dapat berguna untuk
memperkuat posisi tawar petani dalam negosiasi harga,
permodalan dan lain-lain.
6) Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
Kurangnya sarana telekomunikasi seperti telepon
dan informasi seperti televisi dan surat kabar
menyebabkan masyarakat relatif terlambat dalam
mengakses informasi dari luar desa. Hal tersebut
berpengaruh pada tingkat kesadaran industri tapioka pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk
meningkatkan kapasistas internal dalam menghadapi
persaingan dunia usaha yang semakin mengglobal.
7) Faktor Cuaca
Cuaca sangat mempengaruhi berlangsungnya
kegiatan pada industri pembuatan tapioka. Apabila cuaca
cerah, maka tapioka akan bermutu baik dan apabila cuaca
mendung atau hujan maka tapioka akan bermutu jelek
bahkan jika cuaca buruk tersebut berlangsung lama maka
hal itu akan mengancam keberlangsungan industri tapioka.
4.2.3. Tahap Masukan (Input Stage)
a. Matriks IFE
Berdasarkan faktor-faktor internal yang telah dianalisis,
maka dilakukan pembobotan dan pemberian rating oleh
pengusaha tapioka dan para pembuat kebijakan untuk
membentuk matriks IFE (tabel 4). Pada matriks IFE dapat dilihat
nilai sebesar 2,173 yang menandakan bahwa dalam rata-rata
industri secara internal perusahaan lemah atau dengan kata lain
perusahaan belum memiliki strategi yang baik dalam
mengantisipasi ancaman internal yang ada.
Kekuatan utama yang dimiliki oleh industri kecil tapioka
ialah iklim kerja yang baik, karena masih tingginya budaya
gotong-royong dalam masyarakat desa. Sedangkan kekuatan
yang lain ialah etos kerja dan disiplin yang tinggi, kontrol yang
relatif mudah terhadap perusahaan, tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja dan kedekatan lokasi perusahaan dengan
pasar. Sedangkan kelemahan utama yang dimiliki ialah tentang
mutu produk dan harga yang kurang bersaing, karena faktor
proses pembuatan yang kurang baik.
Tabel 4. Hasil analisis matriks IFE
Faktor Strategis Internal
No A. Kekuatan
Bobot* (a)
Rating (b)
Nilai
(c = a x b)
1.
2. 3. 4.
5.
Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan Etos kerja dan disiplin yang tinggi Iklim kerja yang baik Tidak adanya kesulitan dalam merekrut tenaga kerja Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
0,066
0,081 0,081 0,061
0,051
3
2,75 3,25 2,5
2
0,198
0,223 0,264 0,152
0,101
Jumlah A
0,340
0,939
Kelemahan
1.
2. 3. 4.
5.
6.
7.
8.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah. Terbatasnya modal. Mutu produk dan harga kurang bersaing. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain Penggunaan teknologi yang masih terbatas Pencatatan keuangan yang masih sederhana. Kesadaran pengembalian pinjaman pada sebagian pengusaha dan masyarakat yang relatif rendah. Rusaknya infrastruktur
0,086
0,096 0,096 0,081
0,081
0,051
0,086
0,081
2 2 1
2,25
1,5 3 2
1,75
0,173
0,193 0,096 0,183
0,122
0,152
0,172
0,142
Jumlah B
0,660
1,233
Total IFE (A+B)
1,000
2,173
* Penentuan bobot internal dilakukan oleh para ahli yang mengetahui keadaan industri tapioka Desa Karang Tengah, yaitu Kepala Desa Karang Tengah (Ahmad Sugih), Ketua Tim Desa (Suheri) dan pengusaha tapioka (Rosyidin dan Neneng).
b. Matriks EFE
Berdasarkan analisis faktor-faktor eksternal perusahaan,
dilakukan pembobotan, pemberian rating dan penetapan nilai
(Tabel 5). Pada tabel matriks EFE menunjukkan skor terbobot
sebesar 2,321. Hal tersebut menandakan bahwa kemampuan
pengusaha untuk memanfaatkan peluang-peluang dalam
mengatasi ancaman-ancaman yang dihadapi masih kurang, atau
dengan kata lain industri kecil tapioka di Desa Karang Tengah
belum memiliki strategi yang baik dalam mengatasi ancaman
eksternal yang ada.
Faktor yang menjadi peluang utama dalam industri ini
ialah kurangnya ancaman dari produk pengganti, dikarenakan
tapioka memiliki karakteristik yang khas, sehingga tidak dapat
diganti dengan tepung yang menggunakan bahan baku selain
ubikayu. Sedangkan faktor lain yang menjadi peluang
diantaranya semakin bertambahnya jumlah penduduk, perubahan
persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras dan
kondisi ekonomi yang stabil.
Faktor yang menjadi ancaman utama ialah faktor cuaca
dan kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi.
Sedangkan ancaman lainnya dari faktor yang paling
mengancam, berturut-turut ialah rusaknya infrastruktur,
kurangnya peran serta dari pemerintah, tidak adanya
kelembagaan yang mendukung industri tapioka, hambatan
masuk industri relatif rendah, kurangnya sarana telekomunikasi
dan informasi dan kurangnya regenerasi kepemilikan.
Tabel 5. Hasil analisis matriks EFE
Faktor Strategis Eksternal
No A. Peluang
Bobot* (a)
Rating (b)
Nilai (c = a x b)
1.
2.
3. 4.
Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras. Semakin bertambahnya jumlah penduduk. Kondisi ekonomi yang stabil Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
0,081
0,075
0,064 0,087
2,25
3,25
2,5 3,75
0,182
0,244
0,159 0,325
B. Total skor Peluang
0,306
0,910
Ancaman
1. 2. 3. 4.
5.
6.
7.
Kurangnya peran serta dari pemerintah. Hambatan masuk industri relatif rendah. Kurangnya regenerasi kepemilikan Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi Faktor cuaca
0,116 0,069 0,081 0,116
0,110
0,087
0,116
1,5 3
3,25 1
1,75 3 1
0,376 0,173 0,243 0,116
0,192
0,195
0,116
Jumlah B
0,694
1,410
Total EFE (A+B)
1,000
2,321
* Penentuan bobot eksternal dilakukan oleh para ahli yang mengetahui keadaan industri tapioka Desa Karang Tengah, yaitu Kepala Desa Karang Tengah (Ahmad Sugih), Ketua Tim Desa (Suheri) dan pengusaha tapioka (Rosyidin dan Neneng).
c. CPM
Dalam penelitian ini digunakan CPM yang menganalisis
mengenai kekuatan dan kelemahan pesaing utama industtri kecil
tapioka di Desa Karang Tengah berkaitan dengan posisi strategis
perusahaan. Pada matriks ini yang digunakan sebagai faktor
penentu keberhasilan ialah mutu, harga, teknologi, modal, lokasi
industri dan kesadaran pengembalian pinjaman. Sedangkan desa
yang dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai pesaing utama
ialah Desa Cibuluh, Kadumangu dan Ciluar. Hal ini dikarenakan
desa tersebut merupakan desa yang relatif banyak memasok
tapioka di pasaran Ciluar. Faktor penentu keberhasilan, bobot
dan peringkat pada matriks CP diperoleh dari penilaian
responden, diantarany pengusaha tapioka (Neneng, Rosyidin),
kepala desa (Ahmad Sugih), dan ketua Tim Desa (Suheri).
Pada matriks CP, Desa Karang Tengah mendapatkan nilai
2,239, Desa Cibuluh mendapatkan nilai 2,830, Desa Kadumangu
mendapatkan nilai 3,383 dan Desa Ciluar mendapatkan nilai
3,112. Nilai tersebut menunjukkan bahwa respon Desa Karang
Tengah dalam menanggapi faktor penentu keberhasilan masih
kurang, apabila dibandingkan dengan desa-desa lain yang
memasok tapioka kasar.
Tabel 6. Matriks CP Desa
Karang Tengah Desa Cibuluh Desa
Kadumangu Desa Ciluar Faktor
Penentu Keberhasilan
Bobot
Peringkat Nilai Peringkat Nilai Peringkat Nilai Peringkat Nilai Mutu produk 0,191 2,25 0,430 3 0,573 4 0,764 3,25 0,621
Harga 0,213 1,75 0,373 3 0,639 3,75 0,799 3,5 0,746 Teknologi 0,128 2 0,256 3 0,384 3,25 0,416 3 0,384
Modal awal 0,170 3,25 0,553 2 0,340 3 0,510 2,75 0,468 Lokasi industri
0,128 2,25 0,288 3 0,384 3 0,384 3 0,384
Kesadaran pengembalian
pinjaman
0,170 2 0,340 3 0,510 3 0,510 3 0,510
Total 1,000 2,239 2,830 3,383 3,112
4.2.4. Tahap Pencocokan (Matching Stage)
4.2.4.1. Matriks Internal-Eksternal (IE)
Matriks IE bertujuan untuk memposisikan industri
ke dalam sebuah matriks yang terdiri dari 9 sel.
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai IFE 2,173 dan
EFE 2,321, sehingga industri berada pada sel V matriks IE.
Strategi pada posisi tersebut ialah strategi hold dan
maintain, yang dapat berupa diversifikasi konsentris,
diversifikasi konglomerasi atau strategi pengembangan
produk. Hal-hal yang mendukung industri untuk
melaksanakan strategi tersebut diantaranya bahwa IK
tapioka di Desa karang Tengah telah berjalan dengan baik
walaupun belum dapat merespon ancaman internal dan
eksternal dengan baik. Hal ini terlihat dari penjualan yang
bersifat massal dan bekesinambungan.
Strategi diversifikasi konsentris artinya menambah
produk atau jasa baru, namun terkait dengan produk lama.
Ketergantungan tapioka terhadap faktor cuaca dapat diatasi
dengan diproduksinya produk olahan dari ubikayu selain
tapioka yang juga memiliki nilai ekonomis tinggi,
misalnya keripik ubikayu. Dengan begitu diharapkan
kegiatan perusahaan dapat terus berjalan dan selain itu,
diharapkan produk baru memiliki fluktuasi penjualan
musiman yang menyeimbangkan fluktuasi penjualan
perusahaan saat ini. Strategi diversifikasi konglomerasi
ialah menambah produk atau jasa baru yang tidak terkait
dengan produk atau jasa yang lama. Desa Karang Tengah
juga merupakan wilayah sentra produksi pisang dan kopi,
maka dalam rangka penerapan strategi konglomerasi,
industri tapioka harus memanfaatkan potensi tersebut.
Hasil olahan dari pisang atau kopi merupakan bahan
makanan yang bernilai ekonomi tinggi dan berinvestasi
pada keduanya merupakan hal menarik. Strategi
pengembangan produk adalah strategi yang berupaya
meningkatkan penjualan dengan memperbaiki atau
memodifikasi produk atau jasa yang sudah ada. Penerapan
dari strategi ini ialah IK tapioka di Desa Karang Tengah
harus mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi mutu
produk agar produk yang dihasilkan dapat bersaing dengan
industri sejenis dari desa lain.
Kuat Rataan Lemah
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
Gambar 6. Hasil Matriks IE
4.2.4.2. Matriks SWOT
Pada matriks ini didapatkan strategi berdasarkan
gabungan antara faktor internal (kekuatan dan kelemahan)
dan faktor eksternal (peluang dan ancaman). Empat
strategi utama yang disarankan yaitu strategi SO, ST, WO
dan WT. Matriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan analisis SWOT pada industri tapioka di Desa
Karang Tengah dapat dirumuskan 14 alternatif strategi,
yaitu :
1. Strategi SO
a. Meningkatkan produksi perusahaan dengan memanfaatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan.
Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan,
etos kerja dan disiplin yang tinggi, iklim kerja
yang baik, rekrutmen tenaga kerja yang mudah
dan lokasi perusahaan yang dekat dengan pasar
dapat dijadikan faktor pendukung agar perusahaan
dapat meningkatkan produksinya untuk memenuhi
kebutuhan pangan khusunya tapioka.
4,0 3,0 2,0 1,0
3,0
2,0
1,0
Tinggi
Sedang
Lemah
Total nilai faktor internal = 2,173
Total nilai faktor ekster-nal = 2,321 2,0
b. Meningkatkan mutu produk dengan mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mutu.
Faktor mutu merupakan hal yang paling mendasar
dalam industri tapioka agar permintaan yang ada
dapat terpenuhi, karena mutu akan mempengaruhi
harga jual produk. Dengan dekatnya lokasi industri
terhadap pasar, didukung etos kerja dan disiplin
yang tinggi dari para pengusaha tapioka, maka
pengusaha tapioka dapat mempelajari faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap mutu tapioka dari
sesama pengusaha tapioka dari desa lain. Selain
itu, dengan dan selanjutnya memfokuskan
perbaikan pada faktor-faktor tersebut.
2. Strategi ST
a. Mempertahankan budaya dan etos kerja karyawan perusahaan.
Iklim kerja yang baik dan etos kerja yang tinggi
diantara karyawan perusahaan dapat dipertahankan
dan ditingkatkan untuk meningkatkan efisiensi dan
produkstivitas industri tapioka di Desa Karang
Tengah, sehingga dapat meningkatkan daya saing
dan hambatan masuk industri .
b. Memperhatikan anggota keluarga yang lebih muda dalam merekrut karyawan.
Dalam melakukan rekrutmen karyawan dengan
segala kemudahannya, pengusaha tapioka harus
mempertimbangkan anggota keluarga yang lebih
muda dari segi usia, agar dalam perjalanan
organisasi terdapat regenerasi dalam industri
tapioka.
c. Mengembangkan produk tapioka halus.
Untuk mengatasi ancaman berupa hambatan masuk
industri yang relatif rendah dan daya tawar
pembeli yang terlalu tinggi, maka dapat diatasi
dengan mendirikan pabrik pengolahan tapioka
halus. Dengan kekuatan industri, diantaranya
kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan,
etos kerja dan disiplin yang tinggi, iklim kerja
yang baik, tidak adanya kesulitan dalam merekrut
tenaga kerja diharapkan industri tapioka di Desa
Karang Tengah dapat memperluas skala usaha
dengan menguasai industri pengolahan tapioka
halus, sehingga pasar tidak terlalu terkonsentrasi di
wilayah Ciluar dan pengusaha tapioka dari Desa
Karang Tengah tidak terlalu tergantung pada
pabrik pengolahan di wilayah Ciluar.
d. Menciptakan diversifikasi produk olahan dari
ubikayu.
Keadaan yang tidak mendukung seperti kekuatan
tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi, tidak
adanya kelembagaan dan ketergantungan pada
faktor cuaca dapat diatasi industri tapioka dengan
diversifikasi produk, hal tersebut didukung dengan
dekatnya lokasi perusahaan dengan pasar, baik di
Bogor maupun Jakarta. Hal tersebut dapat
memudahkan perusahaan memasarkan produk
olahan yang dimilikinya.
3. Strategi WO
a. Meningkatkan penggunaan sekaligus efisiensi teknologi dalam kegiatan produksi tapioka.
Salah satu penyebab kalahnya mutu produk tapioka
dari Desa Karang Tengah ialah kurang
dimanfaatkannya teknologi dalam proses produksi.
Ketika industri tapioka dari desa lain menggunakan
teknologi, maka produksi akan meningkat tetapi
hal tersebut akan mengurangi fungsi IK sebagai
penyerap tenaga kerja. Tetapi disisi lain, industri
tapioka dapat bersaing dengan industri sejenis di
desa lain dan permintaan tapioka dapat terpenuhi.
b. Merelokasi sejak dini lokasi perusahaan yang menumpang pada lahan pihak lain.
Lokasi perusahaan yang menggunakan lahan pihak
lain seminimal mungkin harus dihindari. Oleh
karena itu relokasi perusahaan harus dilakukan,
karena apabila terjadi relokasi secara paksa oleh
pemilik lahan maka hal itu akan merugikan
pengusaha tapioka itu sendiri, dan akan
menimbulkan biaya untuk membangun lokasi
perusahaan yang baru. Sehingga perusahaan tidak
akan bersaing dengan perusahaan yang sejenis dan
permintaan akan tapioka tidak dapat terpenuhi.
c. Mengajukan permohonan modal tambahan untuk peningkatan usaha baik kepada bank atau lembaga keuangan non bank.
Modal merupakan permasalahan klasik pada IK.
Modal untuk peningkatan usaha dapat diperoleh
melalui bank atau pihak non bank seperti koperasi.
Dengan mendapatkan modal tambahan, maka
industri dapat berkembang dengan baik dan semua
peluang yang menandakan akan meningkatnya
permintaan tapioka dapat termanfaatkan.
4. Strategi WT
a. Meningkatkan mutu SDM dengan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh pemerintah maupun institusi pendidikan.
Lemahnya SDM merupakan faktor penyebab
kurang bisa bersaingnya industri tapioka pada
khususnya dan pertanian pada umumnya.
Lemahnya SDM merupakan penyebab kurangnya
penyerapan teknologi atau solusi yang dilakukan
pemerintah terhadap industri tapioka pada
khususnya dan agribisnis pada umumnya.
b. Bekerjasama dengan pemerintah dan atau pihak institusi pendidikan untuk mengembang alat pengering tapioka basah dan pelatihan pembuatan tapioka yang bermutu baik dan efisien.
Faktor cuaca merupakan hal yang sangat
menentukan keberlangsungan industri tapioka
kasar. Sudah berpuluh tahun industri tapioka kasar
hanya bergantung pada panas sinar matahari.
Apabila cuaca panas, maka industri tapioka akan
tetap berlangsung, tapi jika cuaca kurang baik atau
hujan maka industri ini terancam tutup untuk
sementara, padahal permintaan akan tapioka selalu
ada. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah
maupun institusi pendidikan bekerjasama untuk
membuat alat pengering tapioka, sehingga industri
tapioka tidak akan bergantung pada cuaca dan
dapat memasok permintaan tapioka kasar setiap
dibutuhkan.
c. Pembuatan kelembagaan yang dapat melindungi para pengrajin dari kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi
Kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu
tinggi dan rendahnya SDM merupakan keadaan
yang kurang menguntungkan bagi industri tapioka
Desa Karang Tengah. Pembentukan kelembagaan
atau usaha memperkuat fungsi koperasi dapat
mengangkat daya tawar industri tapioka, selain itu
juga berfungsi melindungi pengrajin dari harga
yang terlalu rendah. Kelembagaan tersebut dapat
berupa himpunan pengusaha tapioka atau
sejenisnya.
Tabel 7. Matriks SWOT
Analisis Internal Analisis Eksternal
Kekuatan (S) 1. Kontrol yang relatif mudah
terhadap perusahaan. 2. Etos kerja dan disiplin yang
tinggi. 3. Iklim kerja yang baik. 4. Tidak adanya kesulitan
dalam merekrut tenaga kerja.
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar.
Kelemahan (W) 1. Mutu SDM yang rendah. 2. Terbatasnya modal. 3. Mutu produk dan harga
yang kurang bersaing. 4. Sebagian lokasi industri
menggunakan lahan pihak lain.
5. Penggunaan teknologi masih minim.
6. Pencatatan keuangan masih sederhana.
7. Kesadaran pengembalian pinjaman pada sebagian pengusaha dan masyarakat relatif rendah.
Peluang (O) 1. Perubahan persepsi
terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
2. Semakin bertambahnya jumlah penduduk.
3. Kondisi ekonomi yang stabil
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
Strategi S-O 1. Meningkatkan produksi
perusahaan dengan memanfaatkan efektifitas dan efisiensi perusahaan (S1-S5,O2-O4)
2. Meningkatkan mutu produk dengan mempelajari faktor-faktor yang berpengaruh terhadap mutu.(S2&S5,O1-4)
Strategi W-O 1. Meningkatkan
penggunaan teknologi yang efisien dalam kegiatan produksi tapioka (W1&W5,O1-4)
2. Merelokasi sejak dini lokasi perusahaan yang menumpang pada lahan pihak lain (W4,O1- 4)
3. Mengajukan permohonan modal tambahan untuk peningkatan usaha baik kepada bank atau lembaga keuangan non bank (W2,O3)
Ancaman (T) 1. Kurangnya peranserta
dari pemerintah. 2. Hambatan masuk
industri relatif rendah. 3. Kurangnya regenerasi
kepemilikan 4. Kekuatan tawar-
menawar pembeli yang tinggi
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
7. Rusaknya Infrastruktur
Strategi S-T 1. Mempertahankan budaya
dan etos kerja karyawan perusahaan (S2,T2)
2. Memperhatikan anggota keluarga yang lebih muda dalam merekrut karyawan (S4,W3)
3. Mengembangkan produk tapioka halus (S2-S4,T2&T4)
4. Menciptakan diversifikasi produk olahan dari ubikayu (S5,W4,W5,W8)
Strategi W-T 1. Meningkatkan mutu
SDM dengan mengikuti pelatihan yang diadakan institusi pendidikan (W1,T1)
2. Bekerjasama dengan pemerintah dan atau pihak institusi pendidikan untuk mengembang alat pengering tapioka basah dan pelatihan pembuatan tapioka yang bermutu baik dan efisien (W5&W8,T1)
3. Pembuatan kelembagaan yang dapat melindungi
8. Faktor cuaca para pengrajin dari kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi (W1,T5)
4.2.5. Tahap Keputusan (Decision Stage)
Analisis QSPM digunakan untuk mengevaluasi kemenarikan
relatif (relative attractiveness) dari analisis yang dihasilkan oleh
matriks IE, dan matriks SWOT. Proses pemilihan prioritas strategi
berdasarakan kesepakatan antara Kepala Desa Karang Tengah,
Ketua Tim Desa dan Pengusaha Tapioka yang memiliki kemampuan
dalam memilih strategi. Beberapa alternatif strategi yang dipilih
adalah :
1. Strategi diversifikasi konsentris
2. Strategi diversifikasi konglomerasi
3. Strategi pengembangan produk
4. Strategi penggunaan teknologi yang efisien
5. Strategi membangun kelembagaan
Alternatif strategi lain yang tidak termasuk dalam daftar
alternatif strategi di atas sudah termasuk ke dalam kesatuan strategi
pilihan. Berdasarkan matriks QSP, maka nilai TAS tertinggi pada
strategi strategi penggunaan teknologi yang efisien 5,515, berturut-
turut ialah strategi membangun kelembagaan 5,139, strategi
pengembangan produk 5,029, strategi diversifikasi konsentris 4,917,
sedangkan nilai TAS terendah ialah strategi diversifikasi
konglomerasi 4,451. Dalam melaksanakan strategi, industri tapioka
menyesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki. Selain itu, harus
dilakukan eveluasi secara terus-menerus agar IK tapioka di Desa
Karang Tengah memiliki daya saing dan dapat bersaing dengan
industri sejenis pada daerah lain.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
a. Desa Karang Tengah merupakan salah satu lokasi produksi ubikayu dan
industri tapioka, tetapi pengelolaannya masih belum optimal, maka perlu
dikembangkan. Proses pengembangan IK tapioka tersebut memerlukan
sebuah strategi yang disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki oleh
Desa Karang Tengah. Nilai pada matriks IFE 2,173, dengan kekuatan
paling besar ditunjukkan oleh faktor iklim kerja yang baik (nilai 0,264),
serta kelemahan terbesar diperoleh dari faktor mutu produk dan harga
yang kurang bersaing (nilai 0,096). Nilai pada matriks EFE 2,321, peluang
utama ialah faktor kurangnya ancaman dari produk pengganti (nilai 0,325)
dan ancaman terbesar ialah faktor cuaca dan kekuatan tawar-menawar
pembeli yang tinggi (nilai 0,116).
b. Pada matriks CP diketahui bahwa nilai Desa Karang Tengah didasarkan
pada faktor penentu keberhasilan 2,239. Desa Cibuluh mendapatkan nilai
2,830, desa Ciluar mendapatkan nilai 3,112 dan Desa Kadumangu
mendapatkan nilai 3,383. Pada matriks IE, posisi perusahaan terletak pada
sel 5, berarti sebaiknya menggunakan strategi hold dan maintain, dengan
pelaksanaan melalui strategi diversifikasi konsentrik, diversifikasi
konglomerasi dan strategi pengembangan produk.
c. Pada matriks QSP diperoleh beberapa alternatif strategi dari matriks IE
dan SWOT, yaitu strategi diversifikasi konsentrik, diversifikasi
konglomerasi, strategi pengembangan produk, strategi penggunaan
teknologi yang efisien dan strategi membangun kelembagaan.
Berdasarkan matriks QSP maka nilai TAS tertinggi pada strategi
penggunaan teknologi yang efisien (5,515).
2. Saran
a. Untuk menanggulangi kekuatan tawar-menawar pembeli yang sangat
tinggi, perlu dibentuk kelembagaan yang beranggotakan para pengusaha
tapioka khususnya di Desa Karang Tengah dan umumnya seluruh desa
pemasok tapioka.
b. Faktor-faktor yang menentukan mutu sebaiknya dipelajari seperti
teknologi, sanitasi dan selain itu kerjasama antara pemerintah dan intitusi
pendidikan dengan IK tapioka untuk memberikan pelatihan tentang
pembuatan tapioka yang baik sangat diperlukan.
c. Industri tapioka di Desa Karang Tengah sebaiknya juga memperhatikan
potensi lain yang dimilikinya seperti kopi, pisang maupun olahan ubikayu
yang lain juga sangat layak untuk dikembangkan. Karena selain
berpeluang untuk menjadi produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi,
pengolahan potensi tersebut relaif tidak terlalu tergantung pada faktor-
faktor yang menjadi kelemahan dan ancaman dari pengolahan tapioka
seperti faktor cuaca dan daya tawar pembeli yang pada saat ini dirasa
terlalu tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2006a
. Inflasi tahun 2006. http://www.bps.go.id. [24 April 2006]
2006b. Populasi tahun 2000.
http://www.bps.go.id/sector/population/table1.shtml. [24 April 2006] David, F. R. 2004. Manajemen Strategis : Konsep-konsep (Terjemahan). PT
Indeks, Jakarta
Departemen KUMKM. 2004. Rencana Strategis Pembangunan KUMKM. Departemen KUMKM RI, Jakarta.
Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2003 Pedoman Pengolahan Ubikayu. Jakarta.
Dinsi, V. 2004. Jangan Mau Seumur Hidup Jadi Orang Gajian. LET’S GO Indonesia, Jakarta.
Dirgantoro, C. 2004. Manajemen Stratejik. Grasindo, Jakarta.
Falcon, W.P., et al. 1986. Ekonomi Ubikayu di Jawa. Standford University Press bekerjasama dengan Penerbit Sinar Harapan. Jakarta
Firdaus, H. 2004. Analisis Strategi Pemasaran Tapioka (Studi Kasus: Koperasi Pengrajin Tapioka Ciluar, Desa Pasir Laja Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hafsah, M.J. 2003. Bisnis Ubikayu Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta
Husodo, S.Y. 2002. Membangun Kemandirian di Bidang Pangan : Suatu Kebutuhan Bagi Indonesia. Makalah pada Seminar Kemandirian Ekonomi Nasional. Pada tanggal 22 November 2002. Jakarta.
LIPI. 2006. Tepung Tapioka. http://www.pdii.lipi.go.id , [20 Januari 2006].
Kesenja, Y.Y. 2005. Analisis Industri Kecil Tepung Tapioka di Bogor (Kasus: Industri Kecil Tepung Tapioka di Kelurahan Ciluar & Tanah Baru, Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor). Skripsi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kotler, P. 1999. Manajemen Pemasaran (Terjemahan). Ghalia Indonesia. Jakarta
Partomo dan Soejoedono. 2004. Ekonomi Skala Kecil/Menengah dan Koperasi.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Pearce, J.A dan Robinson, R. 1997. Manajemen Strategik : Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. (Terjemahan). Binarupa Aksara. Jakarta.
Purba, R.P. 2002. Analisis Pendapatan dan Nilai Tambah Pada Industri Kecil Tapioka (Kasus Industri Kecil Tapioka di Desa Ciparigi, Bogor Utara, Bogor). Skripsi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Purnomo, H. 2003. Pengaruh Subtitusi Tepung Tapioka dan Tepung Kedelai Terhadap Kualitas Bakso. Agrivita vol.20 no.3. Jakarta.
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Jakarta
Suhendar, H. 2002. Analisis Nilai Tambah dan Strategi Pengembangan Industri Kecil Tahu Sumedang (Studi Kasus di Bogor, Jawa Barat). Skripsi pada Departemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Suriawiria, H. U. 25 September 2002. Potensi Ubikayu. Kompas Cyber Media. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0209/25/iptek/pote30.htm [20 Januari 2006].
Umar, H. 2003. Strategic Management in Action. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Veriasa, T. O. 2005. Kajian Lapang di TWA. Gunung Pancar, Kabupaten Bogor. Di dalam : Hasil Belajar. Meminang Lawan Menjadi Kawan (Prosiding Shared Learning II); Taman Wisata Alam Gunung Pancar, 18-27 Agustus 2005. Bogor : CIFOR dan PILI-NGO Movement.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner penelitian
I. Pengrajin tapioka (IK tapioka) A. Identitas pengrajin dan Keluarga
1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan Formal/Non Formal : 5. Alamat : 6. Jumlah Anggota Keluarga :
No. Nama Umur L/P Pendidikan Pekerjaan
B. Informasi Umum Usaha
1. Bagaimana sejarah tapioka di desa ini ? siapa yang memulai ? mengapa memilih lokasi desa Karang Tengah ?
2. Sejak kapan Bapak/Ibu mengusahakan tapioka? 3. Bagaimana struktur organisasinya ? 4. Alasan memilih usaha tapioka ? 5. Sebelum mengusahakan tapioka, pernahkan mengusahakan tanaman
produksi yang lain ? (Sebutkan....) 6. Usaha tapioka merupakan pekerjaan sambilan atau utama ? 7. Jelaskan kemudahan dan atau kesulitan dalam mengusahakan tapioka ! 8. Bagaimana prospek usaha tapioka ? 9. Bagaimana pemanfaatan pendapatan usahatani tapioka ? (kebutuhan
primer atau sekunder) dan apakah mencukupi/tidak? 10. Apakah ada intervensi pemerintah dalam memajukan IK tapioka di desa
Karang Tengah ? 11. Adakah pesaing dari desa lain ? jika ada, sejak kapan ? 12. Bagaimana kondisi pesaing tersebut ? (keunggulan dan kelemahan) 13. Apakah ada jalinan kerjasama yang berbentuk organisasi antar pengrajin
tapioka di desa Karang Tengah ? mengapa ? 14. Mengapa anda memilih tempat disini ? 15. Apa kelebihan tapioka dari desa Karang Tengah ?
C. Permodalan
1. Bagaimana memperoleh modal usaha ? 2. Berapa modal awal yang dibutuhkan dalam usaha ini ? 3. Berapa lama usaha ini mencapai Break Event Point ?
D. Ketenagakerjaan
1. Darimana pengetahuan anda tentang pengolahan tapioka ?
Lanjutan Lampiran 1.
2. Berapa jumlah tenaga kerja dalam pabrik (rinci menurut jenis pekerjaan, jenis kelamin, umur dan pendidikan) ?
3. Bagaimana siklus kerja di pabrik ? 4. Berapa rataan jam kerja per hari ? (bedakan antara pria dewasa, wanita
dewasa dan anak-anak) 5. Besarnya upah/gaji untuk pria dewasa, wanita dewasa dan anak-anak?
(Sebutkan alasannya) ? 6. Cara pembayaran upah gaji ? Sebutkan jika lebih dari satu cara dan
Adakah bonus/premi ? 7. Bagaimana cara merekrut tenaga kerja (jelaskan syarat yang diperlukan) ? 8. Dari mana saja asal pekerja itu ? 9. Dari desa setempat........orang (L/P atau anak-anak) 10. Dari luar desa..........orang (L/P atau anak-anak) 11. Adakah pendidikan/kursus tertentu yang diberikan kepada pekerja ? atau
adakah keterampilan khusus yang harus dimiliki pekerja ? 12. Apakah ada pekerja yang memiliki pekerjaan lain? 13. Adakah perlindungan tenaga kerja ? dan bagaimana bentuknya ? 14. Apa masalah ketenagakerjaan yang dihadapi ?
E. Perolehan input
1. Petani pemasok singkong: a. Siapa/darimana pemasok singkong ? b. Jumlah pemasok singkong ? c. Sudah langganan atau tidak ?
2. Apakah bapak/ibu mendatangi petani untuk memperoleh singkong ? bila tidak, bagaimana caranya ?
3. Bagaimana cara mengetahui tempat yang ada singkong ? 4. Berapa jumlah singkong yang ditampung/dibeli :
a. Rataan perhari.... b. Jumlah terendah (kapan) ? c. Jumlah tertinggi (kapan) ?
5. Pertimbangan apa dalam menentukan jumlah yang ditampung/dibeli ? (demand pabrik, supply dari petani )
6. Bagaimana fluktuasi jumlah yang ditampung (kenapa ) ? 7. Pernahkan mengalami over supply singkong dari petani (kenapa dan
kapan) ? dan bagaimana mengatasinya ? 8. Jenis singkong yang ditampung/dibeli ? 9. Berapa harga singkong yang didapatkan dari petani (Rp/kg)
a. Harga rataan ? b. Harga terendah ? (kapan dan kenapa) ? c. Harga ter tinggi ? (kapan dan kenapa) ?
10. Apakah singkong yang dibeli dalam bentuk kupasan ? 11. Apakah ada perbedaan harga beli untuk setiap jenis singkong yang dibeli ?
bila ya, mengapa itu terjadi ? 12. Apakah ada perbedaan harga beli antara pemasok singkong ? bila ya
mengapa itu terjadi ?
Lanjutan Lampiran 1.
13. Bagaimana fluktuasi harga beli singkong ? 14. Bagaimana penentuan harga beli dan siapa yang menentukan ? 15. Darimana memperoleh informasi harga ? 16. Bagaimana pembayaran ke petani/pemasok singkong ? 17. Bagaimana sarana transportasi yang ada ? 18. Bagaimana ciri/karakteristik bahan baku yang bermutu ? apa efeknya
terhadap tapioka yang diproduksi ? 19. Apakah ada ’kelas’ bahan baku ?
F. Produksi
1. Bahan baku utama dan penunjang ? 2. Jumlah produksi pada awal beroperasi ? 3. Perkembangan jumlah produksi ? 4. Rataan kapasitas produksi sekarang ? 5. Produksi tertinggi dan terendah ? 6. Produksi secara kontinu atau pesanan ? 7. Jenis produk yang dihasilkan (utama dan sampingan) ? 8. Berapa jam kerja pabrik sehari, hari kerja pabrik dalam satu bulan dan
berapa bulan dalam satu tahun ? 9. Sebutkan tahap-tahap proses produksi dan jumlah tenaga kerja yang
terlibat dalam setiap tahap menurut jenis kelamin dan lama setiap tahap produksi ?
10. Gambarkan bagan organisasi produksi ! 11. Masalah/hambatan yang dirasakan dalam proses produksi (bahan baku,
tenaga kerja, modal dan peralatan) ? 12. Pernahkah kesukaran dalam mendapatkan bahan baku ? kalau ada, sejak
kapan dan kalau tidak ada, kenapa ? 13. Pernahkah mengalami kelebihan bahan baku (kapan dan mengapa) ? 14. Peralatan apa saja yang digunakan dalam industri ?
G. Pemasaran output
1. Adakah proses promosi dalam pemasaran output ? 2. Jumlah output yang dijual...........kg 3. Harga jual (Rp/kg) 4. Output dijual kemana ? sebutkan alasannya? 5. Apakah penjualan output hanya kepada orang tertentu/langganan atau
berubah-ubah menurut harga ? 6. Dimanakah penyerahan barang dilakukan ? 7. Adakah biaya angkut dan bongkar muat ? 8. Bagaimana fluktuasi harga output ?
a. Berapa harga tertinggi dan kapan hal tersebut terjadi ? b. Berapa harga terendah dan kapan hal tersebut terjadi ? c. Berapa harga rataan ?
9. Siapa dan bagaimana yang menentukan harga output ? 10. Bagaimana cara pembayaran oleh pembeli ? 12. Jika disimpan :
Lanjutan Lampiran 1.
a. Dimana disimpannya ? b. Berapa lama disimpan ? c. Berapa biaya penyimpanan ? d. Berapa susut berat/mutu ? e. Berapa susut harga ?
13. Adakah permasalahan/kesulitan dalam pemasaran output, jelaskan ! 14. Apakah terdapat hubungan tertentu antara pengrajin dengan pabrik atau
pedagang perantara (misalnya, ikatan hutang dan kontrak) ? dan bagaimana aturan mainnya ?
15. Adakah intervensi pemerintah dalam pemasaran output ? II. Pihak pengambil kebijakan A. Identitas
1. Nama : 2. Umur : 3. Jenis Kelamin : 4. Pendidikan Formal/Non Formal : 5. Alamat : 6. Jabatan : 7. Jumlah Anggota Keluarga :
No. Nama Umur L/P Pendidikan Pekerjaan
B. Kebijakan
1. Berapakah jumlah UK tapioka di desa Karang Tengah ? 2. Apakah pihak Desa/Kecamatan/Pemkab Bogor pernah memfasilitasi UK
tapioka untuk melakukan pertemuan khusus ? 3. Apakah ada insentif/subsidi khusus kepada IK tapioka di desa Karang
Tengah ? 4. Bagaimana menurut Anda tentang prospek IK tapioka di desa Karang
Tengah ? 5. Apakah ada sebuah program pembinaan untuk IK tapioka ? jika ada,
seperti apakah program tersebut ? 6. Pernahkan IK tapioka meminta bantuan permodalan kepada pihak
pengambil kebijakan ? 7. Bagaimanakan hubungan antara pihak pengambil kebijakan dengan IK
tapioka di desa Karang Tengah ?
Lampiran 2. Profil responden
No Nama Umur (tahun)
Alamat Pendidikan Jenis Kelamin
Rataan Kapasitas Produksi
(kuintal/hari)
Jumlah Tenaga Kerja
(orang)
Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
H. Mukti
Mulyana
H. Juhri
Ukar
H. Uki
H. Rosyidin
Neneng
Achmad Sugih
Ardi
H. Idris
Erwin Syarif
51
32
60
45
50
55
50
40
45
46
45
RW 8
RW 1
RW 6
RW 9
RW 8
RW 5
RW 4
RW 1
Ds. Ciluar kec.
Sukaraja
Ds. Pasir Laja kec.
Sukaraja -
SD
SD
SD
SD
SD
SD
SD
Sarjana
Sarjana
SLTA
Sarjana
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
Laki-laki
3
5
3
5
5
4
6 -
200
200 -
3
4
5
4
4
4
6 -
20
20 -
Pemilik
penggilingan
Karyawan penggilingan
Pemilik
penggilingan
Pemilik penggilingan
Pemilik
penggilingan
Pemilik penggilingan
Pemilik
penggilingan
Kepala Desa
Bagian pemasaran
UD. Nagamas
Pemilik
UD. Anak Tani
Staf Seksi Industri Agro
dan Hasil Hutan Dinas Perindustrian Kab. Bogor
Lampiran 3. Penentuan bobot
PENENTUAN BOBOT
Tujuan :
Mendapatkan penilaian para responden mengenai faktor-faktor strategik internal
maupun eksternal industri, yaitu dengan cara memberikan bobot terhadap
seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi atau membentuk keberhasilan
pada IK tapioka di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang,
Kabupaten Bogor.
Pentunjuk Umum :
1. Pengisian kuesioner dilakukan secara tertulis oleh responden.
2. Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.
3. Dalam pengisian kuesioner, responden diharapkan untuk melakukan secara
langsung (tidak menunda) untuk menghindari inkonsistensi jawaban.
4. Responden berhak untuk menambahkan atau mengurangi hal-hal yang sudah
tercantum dalam kuesioner ini, dengan responden lainnya atau dengan peneliti.
Hal ini dibenarkan jika dilengkapi dengan alasan yang kuat.
Petunjuk Khusus :
1. Alternatif pemberian bobot terhadap faktor-faktor strategik internal dan
eksternal yang tersedia untuk kuesioner ini adalah :
1 = tidak penting
2 = kurang penting
3 = biasa
4 = penting
5 = sangat penting
Pemberian bobot masing-masing faktor strategik dilakukan dengan
memberikan tanda X pada tingkat kepentingan (1-5) yang paling sesuai
menurut responden.
2. Penentuan bobot merupakan pandang masing-masing responden terhadap
faktor-faktor strategik internal dan eksternal yang telah ditinjau
Lampiran 4. Penentuan bobot faktor strategik internal IK tapioka di
Desa Karang Tengah
Bobot
No
Faktor Internal 1 2 3 4 5
Kekuatan
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi
3. Iklim kerja yang baik
4. Tidak adanya kesulitan dalam merekrut tenaga
kerja
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
Kelemahan
1. SDM yang rendah.
2. Terbatasnya modal.
3. Mutu produk dan harga kurang bersaing.
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak
lain.
5. Penggunaan teknologi yang masih minim.
6. Pencatatan keuangan yang masih sederhana.
7. Kesadaran pengembalian pinjaman sebagian
pengusaha dan masyarakt yang relatif rendah.
8. Rusaknya Infrastruktur
Lampiran 5. Hasil pengisian kuesioner pembobotan faktor internal industri*
Bobot No Faktor Internal
Kekuatan
R1 R2 R3 R4 Rataan
(R1-R4/4)Nilai Bobot**
1.
2. 3.
4.
5.
Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan Etos kerja dan disiplin yang tinggi Iklim kerja yang baik Tidak adanya kesulitan dalam merekrut tenaga kerja Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
3 5 5 4 1
3 4 4 2 3
4 3 3 3 4
3 4 4 3 2
3,25
4 4 3
2,5
0,066
0,081
0,081
0,061
0,051
Total
0,340
Kelemahan
1.
2.
3.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah. Terbatasnya modal. Mutu produk dan harga yang kurang bersaing.
5 5 5
4 5 4
4 4 5
4 5 5
4,25
4,75
4,75
0,086
0,096
0,096
Lanjutan Lampiran 5.
Faktor Internal
Bobot No.
Kelemahan R1 R2 R3 R4
Rataan (R1-R4/4)
Nilai Bobot **
4.
5.
6.
7.
8.
Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain. Penggunaan teknologi yang masih minim Pencatatan keuangan yang masih sederhana. Kesadaran pengembalian modal pada sebagian pengusaha dan masyarakat yang relatif rendah. Rusaknya infrastriktur
4 3 3 5 5
4 4 3 4 4
4 5 2 4 3
4 4 2 4 4
4 4
2,5
4,25 4
0,081
0,081
0,051
0,086
0,081
Total 0,660
Total 49,25 1
*) Hasil rataan dari responden 1-4 **) Penentuan bobot internal dilakukan oleh para ahli yang mengetahui keadaan
industri tapioka Desa Karang Tengah, yaitu Kepala Desa Karang Tengah (Ahmad Sugih), Ketua Tim Desa (Suheri) dan pengusaha tapioka (Rosyidin dan Neneng).
Lampiran 6. Penentuan bobot faktor strategik eksternal IK tapioka di Desa
Karang Tengah
Bobot
No
Faktor Eksternal 1 2 3 4 5
Peluang 1. Perubahan persepsi terhadap
makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
2. Kondisi ekonomi yang stabil 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk.
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
Ancaman 1. Kurangnya peranserta dari
pemerintah.
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 4. Kekuatan tawar-menawar pembeli
yang tinggi
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
7. Faktor cuaca
Lampiran 7. Hasil pengisian kuesioner pembobotan faktor eksternal industri.*
Bobot No Faktor Eksternal
Peluang
R1 R2 R3 R4 Rataan
(R1-R4/4)
Nilai
Bobot**
1.
2. 3.
4.
Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras. Semakin bertambahnya jumlah penduduk. Kondisi ekonomi yang stabil Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
5 4 1 2
3 3 3 5
4 3 4 4
2 3 3 4
3,5
3,25
2,75
3,75
0,081
0,075
0,064
0,087
Ancaman
1.
2.
3.
4.
5.
Kurangnya peranserta dari pemerintah. Hambatan masuk industri relatif rendah. Kurangnya regenerasi kepemilikan Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
5 3 5 5 4
5 3 3 5 5
5 3 3 5 5
5 3 3 5 5
5 3
3,5 5
4,75
0,116
0,069
0,081
0,116
0,110
Lanjutan Lampiran 7.
Faktor Eksternal Bobot No.
Ancaman R1 R2 R3 R4
Rataan
(R1-R4/4)
Nilai Bobot
6. 7.
Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi Faktor cuaca
5
5
3
5
3
5
4
5
3,75
5
0,087
0,116
Total 43,25 1, 000
*) Hasil rataan dari responden 1-4 **) Penentuan bobot eksternal dilakukan oleh para ahli yang mengetahui keadaan
industri tapioka Desa Karang Tengah, yaitu Kepala Desa Karang Tengah (Ahmad Sugih), Ketua Tim Desa (Suheri), dan pengusaha tapioka (Rosyidin dan Neneng).
Lampiran 8. Penentuan rating
PENENTUAN RATING
Tujuan :
Untuk mendapatkan penilaian para responden mengenai faktor-faktor strategik
internal maupun eksternal industri yaitu melalui pemberian rating terhadap
seberapa besar faktor tersebut dapat mempengaruhi atau membentuk keberhasilan
IK tapioka di Desa Karang Tengah.
Petunjuk Umum :
1. Pengisian kuesioner dilakukan secara tertulis oleh responden.
2. Jawaban merupakan pendapat pribadi dari masing-masing responden.
3. Dalam pengisian kuesioner, responden diharapkan melakukan secara langsung
(tidak menunda) untuk menghindari inkonsistensi jawaban.
4. Responden berhak untuk menambahkan atau mengurangi hal-hal yang sudah
tercantum dalam kuesioner ini, dengan alasan yang jelas dan kuat.
5. Responden dapat memiliki pandangan berbeda mengenai suatu faktor dalam
kuesioner ini, dengan responden lainnya atau dengan peneliti. Hal ini
dibenarkan, jika disertai dengan alasan yang kuat.
Petunjuk Khusus :
1. Alternatif pemberian rating terhadap faktor-faktor strategik internal (kekuatan)
dan eksternal (peluang) yang bersifat positif adalah sebagai berikut :
1 = sangat lemah
2 = lemah
3 = kuat
4 = sangat kuat
Sedangkan untuk faktor-faktor strategik internal (kelemahan) dan faktor
strategik eksternal (ancaman) yang bersifat negatif adalah sebagai berikut :
1 = sangat sulit diatasi
2 = sulit diatasi
3 = mudah diatasi
4 = sangat mudah diatasi
Pemberian rating masing-masing faktor strategik dilakukan dengan
memberikan √ pada tingkat kepentingan (1-4) yang paling sesuai menurut
responden.
2. Penentuan rating merupakan pandangan masing-masing responden terhadap
kemampuan kegiatan industri tapioka di Desa Karang Tengah dalam
menghadapi faktor-faktor stategik internal dan eksternal.
Lampiran 9. Penentuan rating faktor strategik internal IK tapioka di Desa Karang
Tengah
Rating
No
Faktor Internal 1 2 3 4
Kekuatan
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi
3. Iklim kerja yang baik
4. Tidak adanya kesulitan dalam merekrut tenaga kerja
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
Kelemahan
1 Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah.
2. Terbatasnya modal.
3. Mutu produk dan harga yang kurang bersaing.
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak
lain.
5. Penggunaan teknologi yang masih minim.
6. Pencatatan keuangan yang masih sederhana.
7. Kesadaran pengembalian pada sebagian pengusaha
dan masyarakat yang relatif rendah.
8. Rusaknya infrastruktur
Lampiran 10. Hasil pengisian kuesioner penilaian rating faktor internal industri.
Rating No Faktor Internal
R1 R2 R3 R4
Kekuatan
Rataan
Rating
(R1-R4/4)
1. 2.
3.
4.
5.
Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan Etos kerja dan disiplin yang tinggi Iklim kerja yang baik Tidak adanya kesulitan dalam merekrut tenaga kerja Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
4 3 4 1 2
3 3 3 3 2
2 3 3 3 2
3 2 3 3 2
3
2,75
3,25
2,5 2
Kelemahan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Manusia (SDM) yang rendah. Terbatasnya modal. Mutu produk dan harga kurang bersaing. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain Penggunaan teknologi masih minim Pencatatan keuangan masih sederhana.
2 1 1 2 1 3
2 2 1 2 2 3
2 3 1 3 1 3
2 2 1 2 2 3
2 2 1
2,25
1,5 3
Lanjutan Lampiran 10.
No Faktor Internal Rating Kelemahan R1 R2 R3 R4
Rataan
Rating
(R1-R4/4) 7.
8.
Kesadaran pengembalian pinjaman pada sebagian pengusaha dan masyarakat relatif rendah. Rusaknya infrastruktur
1 1
3 2
2 2
2 2
2
1,75
Lampiran 11. Penentuan rating faktor strategik eksternal IK tapioka di Desa
Karang Tengah.
Rating
No
Faktor Eksternal 1 2 3 4
Peluang
1. Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif
pengganti nutrisi beras.
2. Kondisi ekonomi yang stabil
3. Semakin bertambahnya jumlah penduduk.
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
Ancaman
1. Kurangnya peranserta dari pemerintah.
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan
4. Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung
industri tapioka.
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
7. Faktor cuaca
Lampiran 12. Hasil pengisian kuesioner penilaian rating faktor eksternal industri
Rating No Faktor Eksternal
R1 R2 R3 R4
Peluang
Rataan
Rating
(R1-R4/4)
1. 2.
3.
4.
Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras. Semakin bertambahnya jumlah penduduk. Kondisi ekonomi yang stabil Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
1 4 3 4
3 3 3 4
3 3 2 3
2 3 2 4
2,25
3,25
2,5
3,75
Ancaman
1. 2.
3.
4.
5.
6.
Kurangnya peran serta dari pemerintah. Hambatan masuk industri relatif rendah. Kurangnya regenerasi kepemilikan Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
2 1 3 1 1 3
4 3 3 1 2 2
4 3 3 1 2 2
3 3 3 1 2 2
3,25
2,5 3 1
1,75
2,25
Lanjutan Lampiran 12.
No Faktor Eksternal
Rating
Ancaman R1 R2 R3 R4
Rataan Rating
(R1-R4/4)
7. Faktor cuaca
1 1 1 1 1
Lampiran 13. Kuesioner penelitian penentuan strategi terpilih dengan QSPM
KUESIONER PENELITIAN
PENENTUAN STRATEGI TERPILIH
DENGAN QSPM
Tujuan :
Untuk menentapkan kemenarikan relatif dari alternatif-alternatif strategi yang
telah diperoleh melalui analisi matriks SWOT dan matriks IE, untuk menetapkan
strategi yang terbaik untuk direkomendasikan kepada industri. Alternatif strategi
pemasaran yang dihasilkan adalah :
6. Strategi diversifikasi konsentris, artinya ialah menambah produk atau jasa
baru, namun terkait dengan produk lama.
7. Strategi diversifikasi konglomerasi, ialah menambah produk atau jasa baru
yang tidak terkait dengan produk atau jasa yang lama.
8. Strategi pengembangan produk, adalah strategi yang berupaya meningkatkan
penjualan dengan memperbaiki atau memodifikasi produk atau jasa yang
sudah ada.
9. Strategi penggunaan teknologi yang efisien.
10. Strategi membangun kelembagaan, yaitu membangun kelembagaan yang
dapat melindungi para pengrajin dari kekuatan tawar-menawar pembeli yang
terlalu tinggi.
Petunjuk Pengisian :
Tentukan Attractive Score (AS) atau daya tarik dari masing-masing faktor internal
(kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) untuk
masing-masing alternatif strategi sebagaimana disebut di atas dengan cara
memberikan tanda ( √ ) pada pilihan bapak/Ibu.
Pilihan AS pada isian berikut terdiri dari :
1 = tidak menarik 2 = agak menarik
3 = secara logis menarik 4 = sangat menarik
Lampiran 14. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada
strategi diversifikasi konsentrik
Faktor Internal Attractive Score No
Kekuatan R1 R2 R3 R4
Rataan (R1-R4/4)
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
4 4 3 4 3,75
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi 3 3 3 3 3 3. Iklim kerja yang baik 3 3 4 3 3,25 4. Tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja 3 3 3 3 3
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
2 1 2 2 1,75
Kelemahan
1. SDM yang rendah. 2 2 1 2 1,75 2. Terbatasnya modal. 1 1 1 1 1 3. Mutu produk dan harga kurang
bersaing. 3 3 3 3 3
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain.
2 2 1 2 1,75
5. Penggunaan teknologi masih minim. 2 2 2 2 2 6. Pencatatan keuangan masih sederhana. 2 2 2 2 2 7. Kesadaran pengembalian pinajaman
pada sebagian pengusaha dan masyarakt relatif rendah.
1 2 2 1 1,5
8. Rusaknya infrastruktur 2 2 2 2 2 Faktor Eksternal No
Peluang
1. Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
3 2 3 2 2,5
2. Kondisi ekonomi yang stabil 3 3 3 4 3,25 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk. 3 3 3 3 3
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
2 2 2 2 2
Ancaman
1. Kurangnya peranserta dari pemerintah.
2 2 2 2 2
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
3 3 3 4 3,25
Lanjutan Lampiran 14.
Faktor Internal Attractive Score No.
Ancaman R1 R2 R3 R4
Rataan
(R1-R4/4)
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 2 2 2 2 2
4. Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi
3 4 3 3 3,25
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
3 3 3 3 3
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
2 2 2 2 2
7. Faktor cuaca 3 3 3 3 3
Lampiran 15. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada
strategi diversifikasi konglomerasi.
Faktor Internal Attractive Score No
Kekuatan R1 R2 R3 R4
Rataan (R1-R4/4)
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
3 3 4 4 3,5
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi 4 4 4 4 4 3. Iklim kerja yang baik 4 4 4 4 4 4. Tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja 4 3 4 3 3,5
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
3 3 3 3 3
Kelemahan
1. SDM yang rendah. 2 2 2 2 2 2. Terbatasnya modal. 2 1 1 1 1,25 3. Mutu produk dan harga kurang
bersaing. 2 2 2 2 2
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain..
2 2 2 2 2
5. Penggunaan teknologi masih minim. 1 2 1 2 1,5 6. Pencatatan keuangan masih sederhana. 2 2 2 2 2 7. Kesadaran pengembalian pinjaman
pada sebagian pengusaha dan masyarakat relatif rendah.
1 2 2 2 1,75
8. Rusaknya Infrastruktur 2 2 2 2 2
Faktor Eksternal No
Peluang
1. Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
2 2 2 2 2
2. Kondisi ekonomi yang stabil 4 4 4 3 3,75 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk. 4 4 4 4 4
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
3 2 2 2 2,25
Ancaman
1. Kurangnya peran serta dari pemerintah.
1 1 2 1 1,25
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
2 2 2 2 2
Lanjutan Lampiran 15.
Faktor Internal Attractive Score No.
Ancaman R1 R2 R3 R4
Rataan
(R1-R4/4)
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 2 2 2 2 2
4. Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi
1 2 1 2 1,5
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
2 2 2 2 2
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
2 2 2 2 2
7. Faktor Cuaca 1 1 1 1 1
Lampiran 16. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada
strategi pengembangan produk.
Faktor Internal Attractive Score No
Kekuatan R1 R2 R3 R4
Rataan (R1-R4/4)
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
3 3 3 3 3
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi 3 4 4 3 3,5 3. Iklim kerja yang baik 4 4 4 4 4 4. Tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja 3 4 3 3 3,25
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
3 3 3 3 3
Kelemahan
1. SDM yang rendah. 2 1 1 1 1,25 2. Terbatasnya modal. 1 1 1 2 1,25 3. Mutu produk dan harga kurang
bersaing. 3 3 3 3 3
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain.
2 2 1 2 1,75
5. Penggunaan teknologi masih minim. 2 2 2 2 2 6. Pencatatan keuangan masih sederhana. 2 2 1 2 1,75 7. Kesaradan pengembalian pinjaman
pada sebagian pengusaha dan masyarakat relatif rendah.
2 2 2 1 1,75
7. Rusaknya infrastruktur 2 1 1 1 1,25
Faktor Eksternal No
Peluang
1. Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
2 2 2 2 2
2. Kondisi ekonomi yang stabil 3 3 3 3 3 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk. 3 3 3 4 3,25
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
2 2 2 2 2
Ancaman
1. Kurangnya peranserta dari pemerintah.
2 2 2 2 2
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
3 3 3 3 3
Lanjutan Lampiran 16.
Faktor Internal Attractive Score No.
Ancaman R1 R2 R3 R4
Rataan
(R1-R4/4)
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 2 2 2 2 2
4. Kekuatan tawar-menawar pembeli tinggi
3 4 4 4 3,75
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
3 3 4 4 3,5
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
2 2 2 2 2
7. Faktor cuaca 3 3 3 3 3
Lampiran 17. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada
Strategi Penggunaan teknologi yang efisien dalam proses produksi.
Faktor Internal Attractive Score No
Kekuatan R1 R2 R3 R4
Rataan (R1-R4/4)
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
3 3 3 3 3
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi 3 4 3 3 3,25 3. Iklim kerja yang baik 3 3 3 3 3 4. Tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja 3 2 3 3 2,75
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
3 2 3 3 2,75
Kelemahan
1. SDM yang rendah. 2 2 2 2 2
2. Terbatasnya modal. 1 1 2 1 1,25 3. Mutu produk dan harga yang kurang
bersaing. 4 4 4 4 4
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain..
2 2 3 3 2,5
5. Penggunaan teknologi yang masih minim.
3 3 3 3 3
6. Pencatatan keuangan yang masih sederhana.
2 3 2 3 2,5
7. Kesadaran pengembalian pinjaman sebagian pengusaha dan masyarakat yang relatif rendah.
3 2 3 3 2,75
8. Rusaknya Infrastruktur 3 3 3 3 3
Faktor Eksternal No
Peluang
1. Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
3 3 3 3 3
2. Kondisi ekonomi yang stabil 3 4 3 3 3,25 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk. 2 3 3 2 2,5
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
3 3 3 3 3
Lanjutan Lampiran 17.
Faktor Internal Attractive Score No.
Ancaman
Rataan
(R1-R4/4)
1. Kurangnya peranserta dari pemerintah.
3 3 3 3 3
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
2 2 2 2 2
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 2 1 1 2 1,5
4. Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi
4 4 4 4 4
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
4 4 4 4 4
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
2 2 4 3 2,75
7. Faktor Cuaca 1 1 1 1 1
Lampiran 18. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada
strategi pembuatan kelembagaan yang dapat melindungi para pengrajin dari kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi.
Faktor Internal Attractive Score No
Kekuatan R1 R2 R3 R4
Rataan (R1-R4/4)
1. Kontrol yang relatif mudah terhadap perusahaan
4 4 4 4 4
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi 3 3 3 3 3 3. Iklim kerja yang baik 4 3 4 3 3,5 4. Tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja 3 4 4 3 3,5
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
3 3 3 3 3
Kelemahan
1. SDM yang rendah. 3 2 3 2 2,5
2. Terbatasnya modal. 2 2 2 2 2 3. Mutu produk dan harga kurang
bersaing. 3 3 4 4 3,5
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain.
2 2 2 2 2
5. Penggunaan teknologi masih minim. 4 4 4 4 4 6. Pencatatan keuangan masih sederhana. 2 2 2 2 2 7.
Kesadaran pengembalian pinjaman pada sebagian pengusaha dan masyarakt yang relatif rendah.
1 2 2 2 1,75
8. Rusaknya infrastruktur 2 2 2 2 2
Faktor Eksternal No
Peluang
1. Perubahan persepsi terhadap makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
4 4 4 4 4
2. Kondisi ekonomi yang stabil 3 3 3 3 3 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk. 3 3 3 3 3
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
4 4 4 4 4
Ancaman
1. Kurangnya peranserta dari pemerintah.
2 2 2 2 2
Lanjutan lampiran 18. Hasil pengisian kuesioner QSPM untuk menentukan AS pada strategi pembuatan kelembagaan yang dapat melindungi para pengrajin dari kekuatan tawar-menawar pembeli yang terlalu tinggi.
Faktor Internal Attractive Score No
Ancaman R1 R2 R3 R4
Rataan
(R1-R4/4)
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
2 3 3 2 2,5
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 2 2 2 2 2
4. Kekuatan tawar-menawar pembeli yang tinggi
1 1 1 1 1
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
2 2 3 2 2,25
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
2 2 2 2 2
7. Faktor cuaca 1 1 2 1 1,25
Lampiran 19. Hasil matriks QSP
Critical Success Factor Strategi Diversifikasi Konsentris
Strategi Diversifikasi Konglomerat
Strategi Pengembangan
Produk
Strategi Penggunaan
teknologi yang efisien
Strategi Membangun kelembagaan
No.
Kekuatan
Bobot
AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS 1. Kontrol yang relatif mudah
terhadap perusahaan
0,066
3,75 0,248
3,5 0,231 3 0,198
3 0,198
4 0,264
2. Etos kerja dan disiplin yang tinggi 0,081 3 0,243 4 0,324 3,5 0,284 3,25 0,263 3 0,243 3. Iklim kerja yang baik 0,081 3,25 0,263 4 0,324 4 0,324 3 0,243 3,5 0,284 4. Tidak adanya kesulitan dalam
merekrut tenaga kerja
0,061 3 0,183
3,5 0,214
3,25 0,198
2,75 0,168
3,5 0,213
5. Kedekatan lokasi perusahaan dengan pasar
0,051
1,75 0,089
3 0,153
3 0,153
2,75 0,140
3 0,153
Kelemahan 1. SDM yang rendah. 0,086 1,75 0,151 2 0,172 1,25 0,108 2 0,172 2,5 0,215 2. Terbatasnya modal. 0,096 1 0,096 1,25 0,12 1,25 0,12 1,25 0,12 2 0,192 3. Mutu produk dan harga kurang
bersaing.
0,096 3 0,288
2 0,192
3 0,288
4 0,384
3,5 0,336
4. Sebagian lokasi industri menggunakan lahan pihak lain.
0,081
1,75 0,142
2 0,162
1,75 0,142
2,5 0,202
2 0,162
5. Penggunaan teknologi masih minim.
0,081
2 0,162
1,5 0,1215
2 0,162
3 0,243
4 0,324
6. Pencatatan keuangan masih sederhana.
0,051
2 0,102
2 0,102
1,75 0,089
2,5 0,128
2 0,102
7. Kesadaran pengembalian pinjaman sebagian pengusaha dan masyarakt
yang relatif rendah.
0,086
1,5 0,129
1,75 0,151
1,75 0,151
2,75 0,237
1,75 0,151
Lanjutan Lampiran 19.
8. Rusaknya infrastruktur 0,081 2 0,162 2 0,162 1,25 0,101 3 0,243 2 0,162 Peluang 1. Perubahan persepsi terhadap
makanan alternatif pengganti nutrisi beras.
0,081
2,5 0,203
2 0,162
2 0,162
3 0,243
4 0,324
2. Kondisi ekonomi yang stabil 0,075 3,25 0,244 3,75 0,281 3 0,225 3,25 0,244 3 0,225 3. Semakin bertambahnya jumlah
penduduk.
0,064 3 0,192
4 0,256
3,25 0,208
2,5 0,16
3 0,192
4. Kurangnya ancaman dari produk pengganti.
0,087
2 0,174
2,25 0,196
2 0,174
3 0,261
4 0,348
Ancaman 1. Kurangnya peranserta dari
pemerintah.
0,116 2 0,232
1,25 0,145
2 0,232
3 0,348
2 0,232
2. Hambatan masuk industri relatif rendah.
0,069
3,25 0,224
2 0,138
3 0,207
2 0,138
2,5 0,173
3. Kurangnya regenerasi kepemilikan 0,081 2 0,162 2 0,162 2 0,162 1,5 0,121 2 0,162 4. Kekuatan tawar-menawar pembeli
tinggi
0,116
3,25 0,377
1,5 0,174
3,75 0,435 4 0,464
1 0,116
5. Tidak adanya kelembagaan yang mendukung industri tapioka.
0,11
3 0,33
2 0,22
3,5 0,385
4 0,44
2,25 0,248
6. Kurangnya sarana telekomunikasi dan informasi
0,087
2 0,174
2 0,174
2 0,174
2,75 0,239
2 0,174
7. Faktor cuaca 0,116 3 0,348 1 0,116 3 0,348 1 0,116 1,25 0,145 Total 4,917 4,451 5,029 5,515 5,139
106