Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STRATEGI REGULASI EMOSI ANGGOTA PENYIDIK
KASUS PEMBUNUHAN DI WILAYAH HUKUM
POLRES SALATIGA
OLEH
MAXIMIANUS AMBROSIUS NGGAI
802014146
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
STRATEGI REGULASI EMOSI ANGGOTA PENYIDIK
KASUS PEMBUNUHAN DI WILAYAH HUKUM
POLRES SALATIGA
Maximianus Ambrosius Nggai
Wahyuni Kristinawati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi regulasi emosi anggota
penyidik kasus pembunuhan di wilayah hukum Polres Salatiga. Partisipan penelitian
tiga orang anggota penyidik kasus pembunuhan reskrim Polres Salatiga, berjenis
kelamin pria, masing-masing berusia 40 tahun, 38 tahun dan 31 tahun. Pengumpulan
data menggunakan metode kualitatif dengan wawancara dan observasi. Pedoman
wawancara dan indikator regulasi emosi disusun berdasarkan teori strategi regulasi
emosi yang dikemukakan oleh Gross dan Thompson (2013) serta derajat stres kerja
polisi yang dicatat oleh Jayanegara (2007) dan Kusuma (2005). Ketiga subjek
mengembangkan strategi regulasi emosi cognitive reappraisal. Ketiganya juga
melakukan expressive suppression yang disesuaikan dengan kondisi stressful yang
dihadapi oleh tugas kepolisian khususnya fungsi reskrim dan rutinitas harian. Mengenali
emosi dan mengembangkan strategi regulasi emosi merupakan keterampilan yang
penting untuk dimiliki dan dapat dikembangkan anggota kepolisian dapat memberikan
performa terbaik dalam menyelesaikan tugas dan mengatasi situasi stressful.
Kata kunci : strategi regulasi emosi, polisi, reserse, pembunuhan.
ii
Abstract
This study aims to determine the emotional regulation strategies of members of
investigators of murder cases in the jurisdiction of the Salatiga Police Station (Polres
Salatiga). The participants of the study were three members of the Salatiga Regional
Police Criminal Investigation Investigator (Satreskrim Polres Salatiga), male, 40 years
old, 38 years old and 31 years old respectively. Data collection uses qualitative
methods with interviews and observations. Interview guidelines and emotion regulation
indicators are compiled based on the emotion regulation strategy theory proposed by
Gross and Thompson (2013) and the stress levels of police work noted by Jayanegara
(2007) and Kusuma (2005). The three subjects developed a cognitive emotion
regulation strategy reappraisal. The three also expressive suppressing adapted to the
stressful conditions faced by police duties, especially the Criminal Investigation
Investigator’s function and daily routine function. Recognizing emotions and
developing emotional regulation strategies are skills that are important to have and can
be developed by police members to provide the best performance in completing tasks
and dealing with stressful situations.
Keywords: emotion regulation strategy, police, detective, murder.
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kasus pembunuhan adalah tindakan kriminal yang tergolong dalam kategori
berat. Menurut data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistika (BPS), kasus kriminal
tindak pidana pembunuhan pada tahun 2016 di Indonesia tercatat sebanyak 1.292 kasus.
Sedangkan, di tingkat provinsi Jawa Tengah, kasus pembunuhan berjumlah 33 kasus di
tahun 2016. Hal ini menjadikan Jawa Tengah berada di posisi 13 dari total 32 wilayah
Polda yang tersebar di seluruh Indonesia dalam tingkat kriminalitas (Badan Pusat
Statistika, 2017). Salatiga sebagai salah satu kota yang cukup berkembang di provinsi
Jawa Tengah tidak terlepas dari persoalan ini. Dalam rentang waktu 5 tahun yaitu sejak
tahun 2013 hingga 2018, telah tercatat 8 kasus pembunuhan di kota Salatiga, sedangkan
untuk jumlah penyidik 1 unit yang menangani kasus tersebut hanya 5 orang.
Dari beberapa kasus tersebut, salah satunya adalah kasus pembunuhan pemilik
studio di Cungkup, Salatiga pada tanggal 18 Juli 2016 pukul 22.00 WIB. Pelaku
menusuk bagian punggung korban dengan belati kemudian kabur dengan mengendarai
sepeda motor. Dalam waktu 1x24 jam pihak Polres Salatiga menangkap dua orang
pelaku pembunuhan pemilik studio musik. Setelah dilakukan penyidikan diketahui
bahwa motif tersangka melakukan pembunuhan tersebut adalah balas dendam.Dalam
bulan yang sama, kasus serupa kembali terjadi pada 28 Juli 2016 di salah satu karaoke
yang beralamat di jalan Diponegoro Salatiga. Pelaku yang berada dibawah pengaruh
alkohol melakukan penganiayaan hingga korban meninggal. Dari hasil penyidikan dan
hasil visum, pihak Polres Salatiga akhirnya meringkus kedua pelaku dan pelaku dijerat
pasal berlapis dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Keberhasilan Satuan
2
Reserse Kriminal Polres Salatiga dalam mengungkapkan kasus-kasus tersebut
merupakan bukti kerja keras dan kerja sama yang baik antar anggota Sat Reskrim.
Satuan Reserse Kriminal adalah salah satu unit dalam lima fungsi Polri yang
menangani tindakan kriminal. Sutanto (2003) mengemukakan bahwa tugas Polisi
Republik Indonesia (Polri) dibagi dalam lima fungsi teknis operasional yaitu fungsi
teknis sabhara, fungsi teknis lalu lintas, fungsi teknis reserse, fungsi teknis intelijen
keamanan serta fungsi teknis bimbingan masyarakat. Selanjutnya Wasono (2004)
mengemukakan bahwa fungsi reserse lebih cenderung kepada tindakan represif yaitu
tindakan pemberantasan kejahatan.
Dilansir dari situs Polres Cimahi, Sat Reskrim bertugas membina fungsi dan
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,
termasuk fungsi identifikasi dalam rangka penegakan hukum, koordinasi dan
pengawasan operasional dan administrasi penyidikan PPNS sesuai ketentuan hukum
dan peraturan yang berlaku. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya Kasat Reskrim
dibantu oleh Kanit dan Kasubnit. Kasat Reskrim Polres bertanggung jawab atas
pelaksanaan tugasnya kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di
bawah kendali Wakapolres. Salah satu tugas penyidik adalah menangani kasus
pembunuhan. Anggota penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan (Sanudin, 2004). Adapun
tugas dan tanggung jawab sebagai penyidik dalam mengatasi tindak pidana diantaranya
adalah pencurian, penganiayaan hingga pembunuhan. Dalam menjalankan tugas
penyidikan tersebut, seorang anggota penyidik dihadapkan kepada hal yang tentunya
tidak mudah. Maka dari itu, diperlukan ketahanan kerja yang prima dari seorang
anggota penyidik.
3
Penulis melakukan wawancara untuk memetakan fenomena mengenai dinamika
psikologi yang dialami oleh anggota Sat Reskrim. Berdasarkan hasil wawancara pada
tanggal 18 Oktober 2017 terhadap dua orang narasumber anggota Reskrim Polres
Salatiga (AP, 31 tahun dan ZR, 38 tahun) diketahui bahwa para anggota penyidik Polres
tersebut mengalami kelelahan secara fisik dan emosional. Salah satu kasus yang
dianggap cukup rumit dan berat adalah dalam menangani kasus pembunuhan karena
cukup menyita waktu dan tenaga yang lebih. Seorang partisipan mengungkapkan
perasaan cemas dan takut ketika akan menghadapi penyidikan kasus yang berkaitan
dengan pembunuhan. Narasumber menyampaikan bahwa baik di kantor maupun di
rumah ia kerap merasa pusing, mudah lelah, jenuh, sebagai rasa stres yang muncul
karena tekanan dari tuntutan pekerjaan.Tuntutan pekerjaan yang mereka rasakan adalah
harus menyelesaikan kasus-kasus dalam waktu secepat mungkin. Hal ini dirasa cukup
memberikan tekanan yang berat bagi para anggota, ditambah dengan aduan tindak
kriminal dari masyarakat yang semakin menumpuk namun tidak sebanding dengan
jumlah petugas yang ada. Selain tuntutan pekerjaan, petugas penyidik memiliki masalah
pribadi sehingga secara tidak langsung menambah beban psikis mereka. Kesulitan-
kesulitan dan permasalahan yang dihadapi oleh anggota Sat Reskrim membuat
peningkatan stres dan emosi negatif seperti marah, sedih, takut, yang ternyata
mempengaruhi kinerja mereka.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jayanegara (2007), menghasilkan temuan
bahwa derajat stres kerja polisi secara keseluruhan berada pada tingkat tinggi. Hal
serupa juga dipaparkan dalam hasil riset dari Mabes Polri (2015) Bahkan dalam kasus
tertentu, polisi dapat melakukan hal yang tidak senonoh dan membunuh orang lain
(Kusuma, 2015). Karena itu anggota Sat Reskrim perlu memiliki kemampuan untuk
4
mengelola emosi dengan baik. Beberapa penelitian mengungkap bahwa kesehatan fisik
dan emosi saling berkaitan satu sama lain. Individu yang memiliki perasaan marah,
sedih, atau takut berlebihan akan menghambat individu tersebut untuk melihat
permasalahan dengan jelas, sehingga tidak mampu mengambil keputusan dengan tepat
(Leahy, et al., 2011).
Kemampuan individu untuk dapat mengelola emosi dengan baik disebut dengan
regulasi emosi (Gross, 2013). Regulasi emosi merupakan serangkaian strategi untuk
mengendalikan atau mempengaruhi emosi yang dialami individu dan kapan terjadinya
emosi tersebut (Gross dalam Gross & John, 2003), memulai atau memunculkan,
mempertahankan, memodifikasi atau menampilkan emosi, baik secara otomatis atau
terkontrol, sadar (conscious) atau tidak sadar (unconscious), serta dapat menimbulkan
dampak pada proses pembentukan emosi (Gross & Thompson, 2007, dalam Lane, et al.
(2012). Thompson (1994) melengkapi dengan pendapat bahwa regulasi emosi
merupakan proses ekstrinsik maupun intrinsik yang bertanggung jawab untuk
memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosional khususnya pada bagian
intensitas emosi agar tujuan individu tercapai.
Menurut Dantzer (dalam Schaible & Six, 2016), karena pengorganisasian dan
tuntutan pekerjaan polisi yang unik, profesi polisi dianggap berada dalam deretan
pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi. Akibat dari stres yang muncul pada anggota
Kepolisian ini rupanya berdampak buruk. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka
pembunuhan, perceraian, penyalahgunaan zat-zat terlarang hingga terjadinya kekerasan
di antara polisi-polisi tersebut (Burke dalam Schaible & Six, 2016). Hasil penelitian uji
korelasi oleh Mayangsari dan Ranakusuma (2014), memperlihatkan korelasi negatif
yang signifikan antara reappraisal dan state anxiety. Reappraisal adalah bagaimana
5
individu membuat suatu aspek penilaian kembali dari sebuah peristiwa yang
menjelaskan bagaimana pengaruh atribusi yang berdampak pada emosi (Gross, 2007).
Sedangkan state anxiety menurut Spielberger (2004), didefinisikan emosi tidak
menyenangkan dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam atau membahayakan.
Dalam penelitian Lutfiyah (2011) disebutkan bahwa polisi mengalami stres kerja
yang cukup tinggi mayoritas disebabkan oleh variabel beban kerja yang cukup tinggi
selain variabel lain yaitu konflik peran, pengembangan karir dan iklim organisasi. Hal
tersebut tentu saja bisa mengganggu polisi dalam menjalankan tugas. Selain beberapa
temuan dan berita yang menunjukkan bahwa kondisi stressful dalam pekerjaan polisi
mempengaruhi kehidupan sehari-hari anggotanya, Lane et al.(2012) menambahkan
bahwa cara anggota polisi menghadapi situasi stressful dalam kehidupan sehari-hari
menjadi suatu prediktor kemampuannya meregulasi emosi dalam menjalankan tugas
mereka. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan suatu strategi regulasi emosi baik
dalam lingkup penugasan penyelidikan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil penelitian Yunis dan Rahardjo (2011) menunjukkan bahwa ada korelasi
yang sangat signifikan antara regulasi emosi dengan sikap terhadap efektivitas kerja
dimana semakin tinggi regulasi emosi semakin baik pula sikap terhadap efektivitas
kerjanya. Dan sebaliknya semakin rendah regulasi emosi semakin buruk pula sikap
terhadap efektivitas kerja. Menurut Pusvitasari, et al., (2016), hasil analisis data
menunjukkan bahwa pelatihan regulasi emosi efektif dalam menurunkan stres kerja
pada anggota reskrim. Sejauh ini, peneliti belum menemukan penelitian yang secara
spesifik dan mendalam menggali tentang regulasi emosi pada petugas penyidik yang
menangani kasus pembunuhan. Dari fenomena yang dipaparkan di atas, dapat diketahui
kemampuan mengelola emosi pada penyidik adalah penting.
6
Berdasarkan latar belakang mengenai regulasi emosi yang telah diuraikan diatas,
peneliti hendak melaksanakan penelitian dengan judul “Strategi Regulasi Emosi
Anggota Penyidik Kasus Pembunuhan di Wilayah Hukum Polres Salatiga”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah “bagaimana strategi regulasi emosi pada anggota penyidik
reskrim dalam menangani kasus pembunuhan?”
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi regulasi emosi pada anggota
penyidik reskrim dalam menangani kasus pembunuhan.
Manfaat Penelitian
1. Aspek Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian-penelitian yang
terkait dengan strategi regulasi emosi khususnya pada anggota penyidik
Reskrim.
2. Aspek Praktis
a. Anggota Reskrim
Penelitian ini diharapkan berguna bagi anggota Polri khususnya satuan
Reserse yang tugasnya bersinggungan dengan dunia kriminal, yaitu dalam
hal penanganan kasus pembunuhan.
7
b. Pengembangan Program di Polri
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi mengenai
regulasi emosi anggota Penyidik Reskrim, sehingga dapat menjadi
pertimbangan dalam mengembangkan strategi untuk menurunkan tingkat
stres petugas Penyidik Reskrim di lingkungan Polres.
LANDASAN TEORI
A. Regulasi Emosi
Pengertian Regulasi Emosi
Emosi adalah proses yang melibatkan banyak komponen yang bekerja
terus-menerus sepanjang waktu. Gross dan Thompson (dalam Kusumaningrum,
2012) mengemukakan regulasi emosi adalah sekumpulan berbagai proses tempat
emosi diatur. Proses regulasi emosi dapat otomatis atau dikontrol, disadari atau
tidak disadari dan dapat memiliki efek pada satu atau lebih proses yang
membangkitkan emosi. Regulasi emosi melibatkan perubahan dalam dinamika
emosi, atau waktu munculnya, besarnya, lamanya dan mengimbangi respon
perilaku, pengalaman atau fisiologis. Regulasi emosi dapat mengurangi,
memperkuat atau memelihara emosi tergantung pada tujuan individu. Menurut
Cole (2014) ada dua jenis pengaturan emosi, yaitu sebagai pengatur dan emosi
yang diatur. Emosi sebagai pengatur menunjukkan adanya perubahan yang
tampak sebagai hasil emosi yang aktif, sedangkan emosi yang diatur berhubungan
dengan perubahan jenis emosi aktif, termasuk perubahan dalam pengaturan emosi
itu sendiri, intensitas serta durasi emosi yang terjadi dalam individu, seperti
mengurangi stres dengan menenangkan diri.
8
Regulasi dapat mempengaruhi perilaku dan pengalaman seseorang. Hasil
dari regulasi dapat berupa perilaku yang ditingkatkan, dikurangi atau dihambat
dalam ekspresinya. Ketika seseorang dapat mengenali emosinya dan dapat
mengelola emosinya tersebut, menurut penelitian Ghom (dalam Kusumaningrum,
2012) akan dapat menghindarkan individu dalam keadaan distress psikologis.
Sedangkan state anxiety menurut Spielberger (2004), didefinisikan emosi
tidak menyenangkan dihadapkan dengan sesuatu yang mengancam atau
membahayakan. Dalam bentuk supresi regulasi emosi lebih banyak dilakukan
oleh Penyidik Polri dan lebih banyak dilakukan oleh Penyidik yang sudah
menikah.
Aspek – Aspek Regulasi Emosi
Aspek-aspek regulasi emosi menurut Gross & Thompson (2007) adalah
sebagai berikut :
a. Mampu mengatur emosi dengan baik yaitu dengan emosi baik maupun
emosi negatif. Emosi negatif yang dimaksud adalah seperti marah, sedih,
cemas, takut, khawatir. Sedangkan emosi positif adalah perasaan seperti
bahagia, senang, bersyukur, tersenyum.
b. Mampu mengendalikan emosi sadar, mudah dan otomatis. Ketika
menyadari perasaan yang dialaminya, secara mudah dan otomatis akan
langsung melakukan regulasi emosi dengan tepat.
c. Mampu menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang
sedang dihadapi.
9
Indikator – Indikator Regulasi Emosi
Indikator-indikator regulasi emosi yang dikemukakan oleh Greenberg
(2002) yang terdiri atas :
a. Keterampilan mengenal emosi yang merupakan suatu kemampuan untuk
mengidentifikasi, menjelaskan, dan memberikan label dari emosi yang
dialami, tidak hanya sebatas mengenali adanya perasaan positif maupun
negatif saja.
b. Keterampilan mengekspresikan emosi merupakan kemampuan individu
untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya, baik positif maupun negatif
kepada orang lain.
c. Keterampilan mengubah emosi negatif menjadi emosi positif adalah
kemampuan individu untuk menilai dan bertanggung jawab terhadap emosi-
emosi yang dirasakan sehingga individu tersebut dapat membuat keputusan
yang tepat dalam kehidupannya sehari-hari.
Strategi Regulasi Emosi
Strategi regulasi emosi menurut Gross dan Thompson (2013) dibagi
menjadi dua :
a. Cognitive Reappraisal (Accidental-Focused)
Reappraisal adalah bagaimana individu membuat suatu penilaian
kembali dari sebuah peristiwa yang menjelaskan bagaimana pengaruh
atribusi yang berdampak pada emosi (Gross, 2007). Regulasi emosi yang
berfokus pada antecedent menyangkut hal-hal individu atau orang lain
lakukan sebelum emosi tersebut diekspresikan. Strategi ini adalah suatu
bentuk perubahan kognitif yang meliputi penguraian satu situasi yang
10
secara potensial mendatangkan emosi dengan cara mengubah akibat
emosional. Penjelasannya adalah sebagai berikut: hal ini terjadi di awal,
dan menghalangi sebelum kecenderungan respon emosi muncul semuanya.
Lazarus dan Alfert (1964) dalam Gross (2003) menguraikan bahwa
cognitive reappraisal adalah suatu strategi perubahan kognitif yang
melibatkan tindakan menguraikan atau mengevaluasi situasi yang
berpotensi memicu munculnya emosi dengan suatu cara yang dapat
mengubah dampak emosional.
Gross dan John (2003) menambahkan, strategi cognitive reappraisal
merupakan strategi regulasi emosi yang efektif untuk mengurangi
pengalaman dan perilaku emosi negatif.
b. Expressive Suppression (Response-Focused)
Expressive Suppressionmerupakan suatu bentuk modulasi respon
yang melibatkan hambatan perilaku ekspresif emosi terus menerus.
Suppression adalah strategi yang berfokus pada respon, munculnya relatif
belakangan pada proses yang membangkitkan emosi. Strategi ini efektif
untuk mengurangi ekspresi emosi negatif. Expressive suppression
berpotensi menimbulkan berbagai dampak secara afektif, sosial, dan
mempengaruhi psychological well-being individu. Strategi expressive
suppression efektif untuk mengurangi perilaku ekspresi negatif namun
memiliki efek samping mengurangi kemampuan individu
mengekspresikan emosi positif dan berpotensi menimbulkan akumulasi
kondisi emosi negatif (Gross & John, 2003).
11
Proses Regulasi Emosi
Gambar 1. Proses Regulasi Emosi oleh Gross dan Thompson (2013)
Tahapan situasi yang stressful dan potensial menimbulkan emosi, individu
melakukan strategi regulasi emosi yang melibatkan serangkaian tindakan
intervensi terhadap situasi yang dialami, yaitu situation selection (seleksi situasi)
dan situation modification (modifikasi situasi) (Gross & Thompson, 2013).
Proses regulasi emosi lima menurut Gross (2013) :
a. Pemilihan situasi yaitu individu mendekati atau menghindari orang, tempat,
atau objek.
b. Perubahan situasi yang bertujuan untuk mengubah situasi sehingga mengubah
dampak emosionalnya, sama dengan problem-focused coping.
c. Penyebaran perhatian yang mencakup strategi seperti gangguan/bingung dan
penurunan konsentrasi.
d. Perubahan kognitif, yaitu perubahan penilaian termasuk disini pertahanan
psikologis dan pembuatan perbandingan sosial, pada umumnya merupakan
transformasi kognisi untuk mengubah pengaruh juat emosi dan situasi.
Perubahan respon, bertujuan untuk mempengaruhi fisiologis, pengalaman,
atau perilaku aspek dari respon emosional.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kusumaningrum (2012) mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menggunakan regulasi emosi.
12
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan regulasi emosi antara lain
stressor, faktor fisiologis, faktor usia, kognitif, aspek sosial dan budaya.
a. Stressor
Sumber stres disebut dengan sebutan “stressor”. Sebenarnya stressor
hanya memberikan rangsangan dan mendorong sehingga terjadi stres pada
seseorang. Stressor berperan sebagai pemicu stres pada individu. Menurut
Thoits (1995), sumber stres (stressor) dapat dikategorikan menjadi 3 jenis
yaitu : (1) peristiwa-peristiwa kehidupan (life events), (2) ketegangan kronis
(chronic strain), dan (3) permasalahan-permasalahan sehari-hari (daily
hassless).
Peristiwa-peristiwa kehidupan (life events) berfokus pada peranan
perubahan-perubahan kehidupan yang begitu banyak terjadi dalam waktu
yang singkat sehingga meningkatkan kerentanan pada penyakit (Lyon, 2012).
Suatu peristiwa kehidupan bisa terjadi sumber stres terhadap seseorang.
Apabila kejadian tersebut membutuhkan penyelesaian perilaku dalam waktu
yang sangat singkat (Thoits, 1995). Ketegangan kronis (chronic strain)
merupakan kesulitan-kesulitan yang konsisten atau berulang-ulang terjadi
dalam kehidupan sehari-hari. Ketegangan kronis bisa mempengaruhi terhadap
kesehatan manusia termasuk fisik dan psikologi (Thoits, 1995). Hal tersebut
dikarenakan ketegangan kronis yang terus berlanjut dan menjadi ancaman
terhadap seseorang (Serido, Almeida & Wethington, 2004).
Permasalahan-permasalahan sehari-hari (daily hassless) adalah
peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang
memerlukan tindakan penyesuaian dalam sehari saja (Thoits, 1995).
13
Misalnya, seseorang mengalami kesulitan-kesulitan, dan kesulitan tersebut
tidak berlanjut terus menerus. Kesulitan yang dihadapi itu pun bisa
terselesaikan dalam kurun waktu yang singkat.
b. Faktor Fisiologis
Faktor fisiologis adalah faktor yang berkaitan dengan kondisi fisik
seseorang. Kondisi fisik yang baik dan sehat akan mempengaruhi emosi dari
individu tersebut.
c. Faktor Usia
Faktor usia turut berpengaruh dalam kemampuan regulasi emosi.
Menurut Beer dan Lombardo (Gross, 2007) faktor usia berkaitan dengan
kemampuan organ dimana regulasi emosi seseorang melibatkan peran dari
proses kerja lobus frontal di otak, cingulate anterior, lobus temporal, dan
kemungkinan amygdala. Calkins (Gross, 2007) menyatakan bahwa lobus
stimulus yang menimbulkan emosi. Kemampuan ini semakin berkembang
seiring usia, dari kemampuan instrumental hingga bersifat afektif dan
kognitif. Implikasi lain dari faktor biologis ini adalah bahwa kemampuan
regulasi emosi pada seseorang saat awal-awal usia kehidupan lebih dilakukan
secara ekstrinsik dalam arti dalam arti lebih diregulasi oleh pihak eksternal
dirinya. Seiring meningkatnya usia bentuk regulasi emosi dari bersifat
interpersonal (lebih dipengaruhi faktor eksternal) menjadi lebih bersifat
interpersonal (bersifat internal, dilakukan secara mandiri baik instrumental
maupun kognitif).
14
d. Kognitif
Zelazo (Gross, 2007) menyatakan bahwa regulasi emosi berhubungan
langsung dengan executive function (EF). EF merupakan pemahaman tentang
kontrol kesadaran akan pemikiran dan aksi.
e. Aspek Sosial
Keluarga dan teman sebaya dianggap dapat menjadi komponen dalam
konstruksi sosial pada berbagai keadaan individu. Begitu pula regulasi emosi
dibentuk oleh berbagai pengaruh ekstrinsik yang berinteraksi dengan
pengaruh intrinsik, dan dari sudut perkembangan, Thompson dan Meyer
(Gross, 2007) menyatakan bahwa regulasi emosi dipengaruhi oleh keluarga
dan teman sebaya.
f. Budaya
Cultural models theory menekankan bahwa proses sosial dan psikologis
bermakna secara bervariasi di berbagai budaya. Mesquita (Gross, 2007) dan
menurutnya begitu pun dalam hal regulasi emosi. Regulasi emosi tidak hanya
berkaitan dengan proses interpersonal, akan tetapi emosi diregulasi sesuai
dengan cara individu menjalani kehidupan. Regulasi emosi terjadi pada
tataran budaya praktis melalui penstrukturan situasi sosial dan dinamika
interaksi sosial, usaha orang terdekat untuk memodifikasi situasi individu
yang bersangkutan, fokus perhatian seseorang atau makna yang diambil
dalam berbagai situasi, dan kesempatan yang tersedia dalam perilaku
emosional dalam hal ini regulasi emosi. Kemudian dalam tataran
kecenderungan psikologis individu menunjukkan perbedaan budaya melalui
orientasi yang berbeda seperti menghindari atau menghadapi suatu situasi
15
tertentu, perspektif umum tentang situasi dan makna yang menonjol di
dalamnya, dan kecenderungan perilaku yang berkaitan dengan emosi yang
ada. Aspek budaya ini menjadi berhubungan dengan motivasi, regulasi emosi
dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan orang.
Penyidikan Kasus Pembunuhan
Penyidikan menurut Hartono (2010) adalah suatu upaya yang dilakukan
oleh polisi sebagai penyidik untuk mencari dan mengungkap keterangan atau
informasi tentang peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana atau peristiwa
kejahatan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh seseorang yang belum
diketahui identitas pelakunya. Dalam penyidikan penyidik mengumpulkan data-
data atau informasi yang harus mampu membongkar pelaku pelanggar hukum
yang sebenarnya.Menurut Hamzah (2014), mengenai penyidikan untuk
membuktikan alat-alat bukti dari tersangka yaitu berupaya dari penyidik untuk
mencari informasi dan sebagai bukti-bukti pelaku tindak pidana yang harus sesuai
dengan peraturan Perundang-Undangan, Bagian-bagian hukum acara pidana yang
menyangkut tentang penyidikan yaitu sebagai berikut:
(a). Ketentuan tentang alat-alat penyidik,
(b). Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik,
(c). Pemeriksaan di tempat kejadian,
(d). Pemanggilan tersangka atau terdakwa
(e). Penahanan sementara
(f). Pemeriksaan atau interogasi
(g). Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat),
(h). Penyitaan,
16
(i). Penyampingan perkara,
(j). Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembalian kepada
penyidik untuk disempurnakan.
Dalam hal melakukan penyidikan sebagai penyidik haruslah mengetahui
tentang aturan-aturan penyidikan, aturan-aturan dalam penyidikan adalah sebagai
berikut:
a. Penyidikan dilakukan segera setelah adanya laporan atau pengaduan
terjadinya tindak pidana atau mengetahui terjadinya perbuatan pidana.
b. Penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil diberi petunjuk oleh penyidik
Kepolisian Republik Indonesia (Makarao & Suhasril, 2002).
Strategi Regulasi Emosi Anggota Penyidik Kasus Pembunuhan
Penyidik memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak sedikit seperti
menerima laporan dari masyarakat, “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa”
yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana sebagaimana telah dijelaskan
dalam KUHAP membuat penyidik banyak dihadapkan pada berbagai persoalan
seperti kesulitan menghadapi pelaku tindak pidana, menemukan barang bukti,
bahkan sampai melakukan pembuktian di persidangan. Apalagi ditambah dengan
beberapa persoalan beban kerja yang tidak seimbang antara jumlah penyidik
dengan kasus yang ditangani (Marbun, 2011). Hal ini rentan sekali menimbulkan
situasi yang menekan pada diri penyidik yang bisa jadi berupa emosi negatif yang
berwujud rasa cemas, sedih, marah, takut, dan khawatir.
Kemampuan dalam meregulasi rasa cemas sebagai suatu bentuk emosi sangat
dibutuhkan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan dan lingkungan
kerja itu sendiri. Pekerjaan sehari-hari seorang penyidik tidak jarang
17
menimbulkan situasi yang menekan dan tidak menyenangkan, sehingga
membutuhkan regulasi emosi yang baik. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas,
penulis tertarik untuk melakukan studi yang melihat strategi regulasi emosi
anggota penyidik kasus pembunuhan di wilayah hukum Polres Salatiga.
Diharapkan penyidik memiliki regulasi emosi yang tepat dalam mengelola emosi
negatif yang dialaminya di tempat kerja.
METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif,
yaitu metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang
alamiah, dan peneliti sebagai instrumen kunci dalam penelitian tersebut (Sugiono,
2010).
Bentuk studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini yakni studi kasus
deskriptif (descriptive case-study). Studi kasus deskriptif dilakukan ketika penelitian
mengangkat sebuah teori yang melandasi riset yang dilakukan untuk mengacu kepada
pendekatan teori tersebut. Teori tersebut digunakan sebagai landasan berpikir dan
landasan bertindak bagi peneliti untuk merumuskan pernyataan penelitian yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan analisis.
Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengangkat tema strategi regulasi emosi anggota penyidik Sat
Reskrim dalam menangani kasus pembunuhan, maka lokasi penelitian akan dilakukan
di Polres Salatiga. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain lokasi
yang strategis untuk dijangkau oleh peneliti serta keberadaan satuan fungsi tugas Polri
18
yang memudahkan peneliti untuk mengambil data atau melakukan penelitian di tempat
tersebut.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah anggota penyidik yang pernah menangani kasus
pembunuhan selama bertugas di wilayah hukum Polres Salatiga. Subjek sejumlah tiga
orang seluruhnya berjenis kelamin pria dengan batasan usia dewasa awal menurut
Hurlock (1990), yaitu 18-40 tahun, memiliki pengalaman kerja selama minimal 3
hingga 6 tahun sebagai anggota penyidik kepolisian
Teknik Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan
observasi sesuai dengan rujukan Rahmat (2009) :
a. Wawancara
Wawancara melibatkan komunikasi dua arah antara kedua kubu dan
adanya tujuan yang akan dicapai melalui komunikasi tersebut. Dalam
penelitian ini, peneliti membangun rapport dengan subjek agar subjek merasa
nyaman selama proses wawancara. Jenis wawancara yang digunakan yaitu
autoanamnesa (wawancara dilakukan dengan subjek atau responden).
Penelitian ini menggunakan wawancara semi-terstruktur. Willig (2013)
menyatakan bahwa wawancara semi-terstruktur merupakan metode yang
berada diantara metode terstruktur dan metode tidak terstruktur. Dengan semi-
terstruktur, maka secara teoritis masih terikat dengan konsep teori yang
digunakan. Kemudian dalam proses penyusunan pertanyaan, peneliti juga
dibebaskan dalam melakukan eksplorasi dengan tetap berkaitan dengan
kerangka atau dimensi teori atau konstruk yang diteliti.
19
b. Observasi
Peneliti melakukan observasi untuk mengamati secara langsung selama
wawancara berlangsung. Berkaitan keterlibatan observer penelitian ini
menggunakan jenis observasi semi partisipan, yakni peneliti melakukan
pengamatan dari dua sisi yang berbeda, satu waktu ia ikut larut dalam aktivitas
subjek penelitian, tetapi di waktu lainnya ia melakukan pengamatan dari luar
atau tidak ikut terlibat aktif bersama subjek. Seluruh prosedur pengumpulan
data dilakukan oleh peneliti di Polres Salatiga sejak tanggal 18 April 2018
sampai dengan 20 Oktober 2018.
Teknik Analisis Data
Menurut Bogdan (dalam Sugiyono, 2013), analisis data adalah proses mencari dan
menyusun data secara sistematis yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan dokumentasi. Dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang
penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan, sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri maupun orang lain.
Menurut Milles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013), dalam melakukan
analisis data, terdapat tiga langkah, yaitu: (1) reduksi data, (2) display data, (3)
verifikasi data.
1. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang
muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
20
2. Display Data atau Penyajian Data
Display data atau penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
3. Verifikasi atau Menarik Kesimpulan
Verifikasi atau menarik kesimpulan merupakan permulaan dari
pengumpulan data, kemudian data tersebut mulai dianalisis dan mulai mencari
arti benda-benda, mencatat keteraturan, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi
yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi. Dalam melakukan analisis
data, peneliti menggunakan langkah-langkah tersebut. Setelah peneliti
melakukan wawancara dan observasi, peneliti akan melakukan pemadatan data,
dan memfokuskan sesuai dengan tujuan penelitian. Kemudian data yang ada
akan dibentuk menjadi kategori-kategori atau melakukan proses koding, agar
mempermudah dalam menarik kesimpulan.
Kredibilitas Data
Moleong (2006), menyatakan bahwa credibility atau derajat kepercayaan dapat
dicapai dengan salah satu cara, yaitu triangulasi atau pengecekan data dengan berbagai
sumber sebagai pembanding terhadap data tersebut. Triangulasi adalah teknik
pemeriksaan data atau uji keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain
diluar data itu sendiri untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap
data itu. Triangulasi sumber yang digunakan adalah membandingkan atau mengecek
ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui sumber yang berbeda,
yaitu membandingkan hasil pengamatan dengan wawancara, membandingkan dengan
apa yang dilakukan dengan apa yang dikatakan secara pribadi, membandingkan hasil
21
wawancara dengan dokumen yang ada.Dalam penelitian ini, triangulasi dilakukan
dengan mewawancarai dua orang rekan satu unit dari ketiga subjek dengan inisial Aipda
A dan Brigadir H.
Teknik yang digunakan untuk mendukung hasil wawancara pada penelitian ini
adalah dengan observasi, yang dilakukan pada masing-masing partisipan memiliki
waktu yang berbeda-beda. Observasi dilakukan pada saat wawancara dan satu hari
setelah wawancara. Hal ini dilakukan untuk melihat kesesuaian pernyataan partisipan
selama wawancara dengan perilaku mereka sehari-hari. Peneliti melakukan observasi
dengan mengikuti kegiatan para partisipan dari pagi sekitar pukul 09.00 sampai dengan
pukul 14.00 WIB. Dari hasil observasi yang dilakukan para partisipan, didapati bahwa
masing-masing partisipan sudah mampu meregulasi emosi mereka sendiri, hal ini
terlihat dari perilaku para partisipan selama melakukan penyidikan terhadap tersangka
dengan kasus yang berbeda pada saat interogasi berlangsung, terlihat mampu berpikir
positif serta menyadari akan tugas dan tanggungjawab mereka untuk melayani dan
mengayomi masyarakat dengan baik. Partisipan juga mampu mempengaruhi diri sendiri
dalam memunculkan sugesti positif ketika interogasi berlangsung, hal ini terlihat ketika
tersangka tidak kooperatif saat dimintai keterangan sehingga penyidik sedikit
mengeluarkan suara yang keras serta memukul meja, hal serupa dilakukan karena
tuntutan tugas tetapi tetap sesuai dengan Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang
ada. Dalam relasi sosial para partisipan juga terlihat bahwa mereka menjalin komunikasi
yang baik dengan atasan maupun rekan kerja dalam satu unit, hal ini ditunjukkan
dengan para partisipan mengobrol, berkoordinasi dengan pimpinan, makan bersama
ketika sedang piket dan bercanda bersama rekan kerja mereka. Dapat dikatakan bahwa
hasil wawancara sesuai dengan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti di lapangan.
22
HASIL PENELITIAN
Partisipan P1 bergabung dengan kepolisian sejak 1997 dan masih bertugas aktif di
unit 2 Sat Reskrim bertanggung jawab sebagai Kepala Unit (Kanit). P1 selalu terlibat
dalam penanganan kasus-kasus pembunuhan di wilayah hukum Polres Salatiga sejak
bergabung dengan unit Reserse. Pengalaman penyidikan kasus pembunuhan sadis yang
cukup membekas pada P1 adalah kasus pembunuhan di salah satu lokasi karaoke,
kemudian di sebuah perumahan di kota Salatiga dan di sebuah salon kecantikan di
Salatiga.
Kemudian P2 adalah seorang anggota Polri yang bergabung pada 1999, saat ini
masih bertugas aktif dengan jabatan Bintara Unit (Banit) Sat Reskrim Polres Salatiga.
Selama bertugas di Reserse, P2 sering terlibat dalam kasus besar yang tergolong
kategori kasus berat seperti pembunuhan dan tindak pidana korupsi (tipikor). Dalam
pengalaman penyidikan, P2 memiliki pengalaman yang berkesan hingga saat ini masih
terus ia ingat, antara lain: kasus pembunuhan pemilik salon, kasus pembunuhan pemilik
studio musik, kasus penikaman salah satu mahasiswa perguruan tinggi swasta di
Salatiga, dan kasus pembunuhan seorang guru di salah satu perumahan di Salatiga.
Partisipan terakhir atau P3, seorang anggota Polri yang bergabung sejak tahun
2007. Sekarang masih menjadi anggota aktif di unit Reskrim dengan tugas sebagai
Penyidik Pembantu. Pengalaman penugasan penyidikan kasus pembunuhan yang telah
diikuti oleh P3 antara lain kasus penikaman mahasiswa di salah satu lokasi karaoke,
kemudian kasus pembunuhan pemilik studio musik. Dalam menghadapi kasus yang
mereka tangani ketiga partisipan menerapkan strategi kognitif reapraisal dan ekspresif
supresif dengan caranya masing-masing.
23
Tabel 2. Deskripsi Strategi Regulasi Emosi Partisipan
PARTISIPAN PERILAKU
P1
Cognitive Reappraisal
● selalu berusaha untuk profesional dalam menjalankan tugas ● tetap berpikir positif dalam keadaan tertekan yang berpotensi
memunculkan emosi
Expressive Suppression
● ekspresi emosi dikendalikan karena ada SOP penyidik ● merasa tidak nyaman ketika ada hambatan dalam penyidikan ● mengapresiasi anggotanya jika berhasil dalam tugas
P2
Cognitive Reappraisal
● lebih hati-hati dalam mengambil tindakan supaya tidak terjadi gesekan
● berpola pikir bahwa ia adalah orang yang terlatih, sehingga siap
dalam menangani tugas apapun
Expressive Suppression
● ketika sudah menyelesaikan satu kasus, biasanya mencari tempat yang lebih santai untuk membahas kasus lainnya, seperti nongkrong di kafe, dan saat karaoke
● merasa gelisah bila ada kasus yang belum selesai atau pelaku
belum tertangkap
P3
Cognitive Reappraisal
● berpikir bahwa beban kerja serta pelayanan merupakan tanggung
jawabnya kepada atasan dan sang pencipta, jika ada masalah ia
selalu berdoa untuk menenangkan dirinya
Expressive Suppression
● berusaha untuk menutupi
● tidak sembarangan menceritakan permasalahan kepada orang
lain termasuk emosi atau situasi yang sedang dia rasakan
● ketika banyak tugas lebih memilih untuk membahasnya diluar
kantor seperti di kafe dan rumah makan agar lebih santai
Dalam kesehariannya, P1 cenderung dapat berlaku profesional dalam
menjalankan tugas dan tetap berusaha untuk berpikir positif meskipun P1 berada dalam
situasi yang memungkinkan untuk munculnya tekanan atau emosi negatif yang lain.
Selain hal itu, P1 sangat memperhatikan standar operasional penyidikan yang berlaku
24
sehingga P1 mampu untuk mengendalikan ekspresi emosi yang dimilikinya. P1 tetap
merasa kurang nyaman apabila ia mendapati kesulitan atau hambatan dalam proses
penyidikan, seperti misalnya tersangka yang terlalu bertele-tele. Meskipun demikian, P1
merupakan sosok yang mampu mengapresiasi anggotanya secara langsung apabila
berhasil menjalankan tugas, P1 menuturkan bahwa:
“Bahkan ketika kasus-kasus seperti di TKP Tegalrejo kami dari tim pada saat
olah TKP ada anggota sempat bilang kow tega-teganya sampai nekat seperti ini, ya rasa prihatin itu muncul karena kita tidak bisa pungkiri kedepannya hal serupa mungkin menimpah keluarga kita, makanya dalam beberapa penanganan
kasus dan olah TKP pun kita laksanakan sesuai dengan SOP kita dan secara profesional, yang jelas kita bekerja secara maksimal mungkin supaya perkarja
tersebut bisa terungkap serta ada titik terangnya kepada masyarakat khususnya dari keluarga korban”
P2 merupakan anggota Polri yang cenderung lebih berhati-hati dalam bertindak
guna mengurangi kemungkinan terjadinya situasi yang kurang menguntungkan. P2 juga
mampu membangun pola pikir dimana P2 adalah anggota yang terlatih sehingga ia
merasa siap untuk menangani dan menjalankan tugas yang diberikan. P2 merupakan
orang yang tabah dalam menjalankan tugas, namun apabila ia telah menyelesaikan
sebuah kasus, ia akan tetap mencari tempat yang lebih santai seperti kafe dan saat
karaoke bersama untuk menenangkan diri atau guna membahas tugas selanjutnya. P2
akan merasakan gelisah apabila ada kasus yang belum selesai atau tersangka belum
dapat ditangkap. P2 mengatakan: “karena kita suda terlatih, kita sudah dididik untuk
menjadi seorang Reserse dan kita dididik dari bintara remaja sampai dengan sekarang
bintara tinggi memang kita berkecimpung dunia reserse jadi kita tidak terlalu
terbebani”.
Hal yang berbeda dengan P1 dan P2, partisipan P3 cenderung menggunakan
expressive suppression dimana P3 jauh lebih tertutup kepada lingkungan sekitarnya. P3
juga lebih berhati-hati dalam menyampaikan permasalahan yang sedang dia hadapi
25
kepada orang lain, termasuk perihal emosi atau situasi yang sedang P3 rasakan atau
alami. Dalam menjalankan tugas, P3 cenderung terus mengikuti Standard of Procedure
(SOP) penyelidikan yang berlaku dan tidak memaksakan suatu hal tertentu atau
mengintervensi tersangka. Ketika partisipan P3 merasakan kepenatan dan sedang
banyak tugas menumpuk, maka dia memilih untuk menyelesaikan atau membahas
tugasnya di luar kantor seperti kafe atau rumah makan guna menciptakan suasana
nyaman dan santai bagi P3. Meskipun demikian, P3 tetap mampu membangun pola
pikir bahwa beban kerja serta pelayanan merupakan bagian dari tanggung jawabnya
selaku anggota Polri, baik kepada atasan, masyarakat serta Sang Pencipta. P3 lebih
memilih memanjatkan doa apabila sedang memiliki masalah dan mengadu kepada
Tuhan. P3 juga memaparkan bahwa: “ya namanya juga manusia pasti banyak
kekurangan kalau saya banyak berdoa ya. Karena tuhan kan yang sudah memberi
rejeki sampai saat ini. bersyukur, kemudian minta perlindungan dan pertolongan dalam
segala urusan. Kira-kira demikian mas”
Regulasi emosi juga merujuk pada ruminasi, dimana perilaku dan pikiran dari satu
gejala depresi. Nolen-Hoeksema memaparkan dalam Gross (2013) pada contoh yang
termasuk dengan permasalahan-permasalahan di tempat kerja, fokus pada perasaan lelah
atau sakit fisik dan kecemasan mengenai kualitas tidur. Hal ini tidak terjadi pada seluruh
partisipan, namun partisipan tetap saja terkadang merasa kelelahan. Represi tidak
ditemukan secara mencolok pada ketiga partisipan karena partisipan adalah orang yang
terlatih dan sudah berpengalaman di bidangnya. Menurut Bonano dan Singer (1990)
dalam Gross (2013) represi muncul menjadi perasaan perlindungan secara defensif
melawan stimuli yang tidak mengenakkan. Formasi defensif yang dilakukan ketiga
partisipan adalah bentuk kewaspadaan tetapi tidak sampai mencurigai sembarang orang.
26
Ketiga subjek menjelaskan bahwa ketiganya mampu berusaha untuk berpikir
positif dalam setiap kesempatan penugasan, khususnya penyidikan kasus pembunuhan.
Namun, ketiga subjek memiliki pandangan dan cara berpikir berbeda-beda dalam
membangun pikiran positifnya masing-masing ketika dihadapkan dalam situasi tertentu.
P1 dapat berpikir positif dalam keadaan tertentu sekalipun ada tuntutan dari masyarakat
maupun dari pimpinan yang bersifat mendesak untuk mempercepat penyidikan kasus.
P1 berusaha untuk selalu profesional dalam melayani masyarakat. P2 berpola pikir
bahwa ia adalah orang yang terlatih dan terdidik dalam menghadapi kasus. Ia bisa
berpikir positif dan menguasai keadaan, namun bagi P2 apabila pelaku sebuah kasus
sudah ditangkap, maka ia dapat bersikap santai dan pikirannya menjadi jauh lebih
tenang. P3 hampir serupa dengan P2, dimana pola pikir sebagai anggota Polri yang
terdidik dan terlatih mampu membangun pola pikir positif. P3 juga berkeyakinan bahwa
setiap masalah memiliki titik terang atau penyelesaiannya, termasuk setiap kasus yang
ia tangani.
“Kalau selama ini ya.. to.. jujur pernah merasa sedikit tertekan, karena kita
sudah terlatih sehingga sedikit biasa, dan kita sudah dididik untuk menjadi seorang Reserse, memang kita berkecimpung dunia reserse jadi kita tidak terbebani, ya memang kita punya masalah… masalah keluarga, apa lagi begini..
yah... kita ini sebenarnya tidak ada masalah kasarnya begitu, tapi ketika kita punya tanggungan perkara, akhirnya masalah orang lain pun akhirnya ya kita
lagi yang mikir gitu lho. Hahaa..... Ya memang sih, reserse ini adalah gudang masalah. Gitu lo, karena apa? Karena seluruh masalah di kepolisian yaa semua yang nangani ya reserse. Hlaa kalo resersenya aja nggak siap, njuk piye
masyarakate? Kan ngono… hla wong polisine mutungan. Kalau mutungan tu apa ya Bahasa indonesianya? Ngambekan gitu ya? Hlawong pak polisine ngambekan
kok, gini-gini aja nggak mau terus gimana?” (P2)
Dalam proses membangun pola pikir positif, partisipan selalu mengalami titik
kejenuhan. P1 merasa jenuh ketika tugas bertumpuk. Namun ia menyalurkannya lewat
kegiatan yang bersifat santai dan rekreasi seperti karaoke bersama keluarga atau sekadar
bersosialisasi dengan rekan kerja di kafe. Hal ini ia lakukan untuk mengurangi rasa
27
jenuh terhadap pekerjaan. P1 menjelaskan kepada pihak korban bahwa hal ini adalah
cobaan dan sudah semestinya untuk tetap dan tabah menghadapi cobaan ini. Meski P1
tidak terikat hubungan keluarga namun P1 tetap berusaha menyampaikan sugesti positif
terhadap orang lain. P2 mampu memunculkan sugesti-sugesti positif dari dirinya sendiri
dan mengarahkan diri dalam pengaruh emosi positif ketika dihadapkan dengan
tersangka yang dikenal sebelumnya. P2 bisa memposisikan dirinya dan memberi
pemahaman tentang tugas dan fungsi penegak hukum. P2 selalu mengedepankan
pelayanan, memberi wejangan kepada tersangka agar menyadari perbuatannya,
membangkitkan rasa empati pada keluarga korban. Lewat cara ini, P2 mampu memberi
sugesti positif kepada keluarga korban. Ketika P2 merasakan kejenuhan, maka ia
melakukan kegiatan rekreasi bersama keluarga khususnya bersama kedua putrinya di
saat ia tidak bertugas. P3 dapat mempengaruhi diri sendiri ketika dihadapkan dengan
tuntutan tugas yang menumpuk. Ia selalu mengambil istirahat sejenak di sela-sela
pekerjaan dan sama dengan P1-P2 saat sedang jenuh maka P3 juga melakukan kegiatan
rekreasi berupa jalan-jalan atau bermain game bersama teman-temannya. Ketika P3
dihadapkan dengan tersangka yang ia kenal sebelumnya, P3 lebih memberi pemahaman
tentang posisi terkait tugas pokok dan fungsinya sebagai seorang anggota Polri yang
tidak pandang bulu dalam menyelesaikan kasus.
“... Ketika kita dituntut untuk menyelesaikan kasus yang banyak, contoh : misale
mas, iki ki ono laporan siji mlebu, terus laporan liyane (lainnya) masuk lagi mas. posisi kita lagi piket. Jadi ya kita juga yang nangani gitu lho. Hahaha. Ya kadang
jenuh ya, satu kasus belum kelar, satunya sudah datang lagi. Yang berat misalnya ya seperti pembunuhan, yang berkaitan dengan BB (barang bukti), kemudian ada muncul laporan kasus lain lagi. Kadang ya merasa, kita malah seperti tidak
mengurusi keluarga. Menyalurkan ya kita kadang karaoke bareng keluarga, main dengan anak. Kalau dengan rekan rekan ya kita cari tempat yang enak ya, untuk
sekadar sharing-sharing, sambil rokok bareng, ya sambil bahas kasus atau pekerjaan yang sambil santai-santai lah. Jadi ya kita rasa jenuh iya, manusiawi. Tapi ada cara lain untuk mengatasinya lah Mas.” (P1)
28
Ketiga partisipan dapat mengubah cara berpikir mereka untuk menilai situasi yang
dihadapi. Ketika menghadapi permasalahan, P1 sering bertukar cerita dengan rekan
kerjanya terkait permasalahan tersebut baik itu perkara kecil maupun perkara besar
seperti kasus pembunuhan. P1 tidak mencampuradukkan urusan dinas dengan masalah
keluarga. Jika tugas dan tanggung jawab pekerjaan belum selesai secara tuntas
penanganannya, P1 tetap pulang ke rumah dengan keadaan seolah tidak sedang
menanggung beban berat. Untuk P2 sendiri ketika menghadapi situasi lebih sering
bercerita atau sharing ke teman kerja mengenai urusan dinas, sedangkan untuk urusan
keluarga jika ada masalah P2 membicarakannya dengan istri secara terbuka tanpa
melibatkan anak. Dalam mencapai ketenangan batin, P2 melaksanakan ibadah shalat
agar setiap kegiatan ia selalu dilindungi dan berkeyakinan bahwa setiap masalah
memiliki jalan keluar serta keputusan-keputusan yang tepat. P3 cenderung sama dengan
P2 namun ia lebih tertutup dibanding P2. P3 juga tidak melibatkan keluarga dalam
urusan dinas dan sebaliknya, karena ia tidak ingin membebani orang lain. P3 memilih
untuk lebih mencurahkan permasalahannya dalam doa yang ia panjatkan kepada Tuhan.
Ketiga subyek dapat mengekspresikan emosi mereka dengan baik. P1 selalu
berusaha lebih santai dalam membawa diri ketika tersangka yang ditanganinya tidak
kooperatif, maka ekspresi yang dilontarkan adalah dengan membentak terkadang
sampai memukul meja untuk menggertak mental tersangka guna mempermudah
penggalian alibi dari tersangka. P2 cenderung tetap tenang dalam menghadapi
permasalahan dan apabila tersangka tidak mengaku, maka ia menggunakan teknik
interogasi tertentu milik Polri guna menguji kejujuran tersangka. P2 tidak pernah
meninggikan suara karena apapun yang diungkapkan tersangka akan menentukan
posisinya di persidangan. P3 tidak terlalu menampakkan ekspresi emosinya pada orang
29
lain dan dalam menangani tersangka, P3 lebih cenderung membujuk dibanding
membentak karena P3 mengingatkan kepada tersangka bahwa segala bentuk keterangan
akan menentukan posisi tersangka di peradilan, sama dengan P2. P3 memiliki cara
tersendiri dalam metode penyidikan untuk mengungkap alibi dari tersangka.
Ketiga partisipan cenderung bersikap tertutup mengenai bentuk emosi yang
sedang mereka rasakan. P1 terkadang jujur kepada lingkungan, terkadang tidak. P1
lebih mempertimbangkan situasi dan kondisi agar ia dapat mengekspresikan emosinya
disaat yang tepat. P2 dan P3 cenderung tidak jujur terhadap lingkungan kerja karena
prinsipnya yang bangga akan statusnya sebagai anggota Polri. P2 berpendapat bahwa
menjadi polisi adalah sebuah tanggung jawab dan apabila ia hanya mengeluh tidak akan
memberi kepuasan terhadap dirinya.
Ketiga partisipan tidak pernah berburuk sangka pada orang lain, namun sebagai
anggota Polri ketiganya memiliki naluri untuk terus waspada pada segala kemungkinan
bahaya yang terjadi di lapangan. Ketiganya memaparkan bahwa:
“ ... sebagai polisi, apalagi reskrim harus lebih jeli terhadap situasi sekitar, artinya was-was lah dengan keadaan apapun. Misalnya dalam penanganan
kasus-kasus besar seperti kasus-kasus besar seperti pencurian dengan pemberatan..” (P1)
“ndak pernah..saya sama sekali ndak pernah. Makanya tingkat kewaspadaan kita ini tinggi tapi kita ndak sampai menaruh curiga.” (P2)
“Tidak mas.. kalau maksudnya terancam dari tersangka yang mungkin
dendam itu tidak ya haha karena saya usaha pokoknya sebaik mungkin
memperlakukan mereka. ...” (P3)
30
PEMBAHASAN
Ketiga partisipan dalam penelitian ini kemudian disebut dengan (P1); (P2) dan
(P3) dengan pangkat Iptu, Aipda dan Brigadir Polisi menunjukkan tentang strategi
regulasi emosi dalam penyidikan kasus pembunuhan. Gross dan Thompson (dalam
Kusumaningrum, 2012) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah sekumpulan berbagai
proses tempat emosi diatur secara otomatis atau dikontrol, disadari, atau tidak disadari
dan dapat memiliki efek pada satu atau lebih proses yang membangkitkan emosi. Dalam
dunia kerja kepolisian, terdapat banyak sekali faktor pemicu stress atau yang disebut
dengan stressor. Seperti yang dipaparkan oleh Lane dkk (2012) bahwasanya cara
menghadapi suasana stressful dalam kehidupannya dapat dikatakan sebagai prediktor
kemampuannya meregulasi emosi dalam menjalankan tugas-tugas mereka.
Berdasarkan hasil penelitian, dalam meregulasi emosi, setiap partisipan dapat
dilihat aspek-aspek regulasi emosi yang telah diterapkan. Gross dan Thompson (2007)
menyatakan aspek pertama adalah mampu mengatur emosi positif maupun negatif. P1
adalah tipe orang yang kurang dapat mengendalikan emosi dengan baik saat
menghadapi pelaku seperti lebih mudah marah saat menghadapi pelaku yang kurang
kooperatif. Saat P1 sedang mendapat tekanan dari luar dan cenderung ekspresif. Tidak
seperti P2 dan P3 cenderung lebih dapat mengontrol emosi positif maupun negatif yang
sedang dia rasakan karena bagi P2 dan P3, stressor berupa tingkah laku tersangka yang
mungkin tidak kooperatif tidak merugikan mereka karena P2 dan P3 hanya sebagai
orang yang memproses hukum hal tersebut. Hal kedua yang dipaparkan Gross dan
Thompson (2007) dari aspek regulasi emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan
emosi sadar,mudah dan otomatis. P1 dan P2 lebih cenderung menggunakan cognitive
reappraisal, dimana kedua partisipan sesuai dengan paparan Gross (2007) yaitu
31
mengubah cara berpikir tentang kejadian yang berpotensi memunculkan emosi serta
mengubah dampak emosional. P3 adalah tipe orang yang cenderung menggunakan
strategi regulasi emosi expressive suppression, dimana P3 lebih mampu untuk
mengubah respon atau perilaku terhadap kejadian yang memunculkan emosi. Menurut
Gross (2007), supresi berfokus terhadap respon dan munculnya belakangan pada proses
yang membangkitkan emosi. Strategi ini berpeluang untuk menekan perilaku ekspresi
negatif.
Kelebihan P1 dalam menghadapi situasi adalah ia lebih sadar akan keadaan
sekitar sehingga P1 lebih mudah mengekspresikan emosinya secara tepat sehingga ia
dapat mengatur perasaannya. P2 dan P3 juga memenuhi aspek ini, namun P2 lebih
cenderung mengendalikan emosi negatifnya daripada emosi positifnya. Sebagai contoh,
P2 banyak tertawa dan bersemangat ketika ia sedang merasakan emosi positif. Akan
tetapi, apabila P2 sedang dalam emosi negatif maka ia akan lebih banyak bersabar dan
mengendalikan dirinya. P3 cenderung lebih tertutup dan tidak sesering P1 dan P2 dalam
mengekspresikan emosinya namun ia tetap mengendalikan perasaan dan apa yang ia
pikirkan. Aspek ketiga yang dipaparkan oleh Gross dan Thompson (2007) adalah
mampu menguasai situasi stress yang menekan dari masalah yang sedang dihadapi.
Ketiga partisipan sendiri sudah dapat menguasai stres yang terjadi di kehidupannya
masing-masing. Untuk P1 dan P2 adalah orang yang sudah berkeluarga, sehingga
kemungkinan masalahnya tentu lebih banyak dibanding P3. Urusan rumah tangga
adalah salah satu sumber tekanan selain dari urusan pekerjaan. Hal ini dialami oleh
ketiga partisipan. Dalam hal ini, P1 dan P2 dapat menguasai emosi dan stres sehingga
tetap dapat bekerja dengan profesional. Begitu pula dengan P3 yang tidak
mencampurkan urusan pekerjaan dengan urusan lain. Keterangan yang dihimpun dari
32
Aipda A dan Brigadir H menyatakan pula bahwa seluruh subjek lebih mampu
menguasai emosi dan stres sehingga lebih profesional dan tidak mencampurkan urusan
pribadi dengan permasalahan pekerjaan.
Menurut paparan Greenberg (2002), terdapat tiga indikator regulasi emosi.
Indikator yang pertama adalah keterampilan mengenal emosi. P1 dan P2 mampu
mengidentifikasi perasaan positif dan negatif dan menjelaskan alasan mengapa mereka
dapat bersikap demikian, serta memberi arahan-arahan terhadap tersangka yang P1 dan
P2 hadapi selama proses penyidikan berlangsung. Sementara itu, P3 lebih
berkemampuan dalam mengidentifikasi dan menjelaskan apa yang ia alami. Indikator
yang kedua adalah keterampilan mengekspresikan emosi. Ketiga partisipan mampu
mengungkapkan perasaan atau emosinya kepada orang lain baik emosi positif maupun
negatif dengan mengobrol atau bercerita dengan rekan yang bisa mereka percaya.
Dalam mengapresiasi kinerja anggota, P1 memberikan reward kepada anggota yang
berprestasi. P2 dan P3 merasa lega jika telah berhasil mengamankan atau sudah berhasil
menangkap tersangka. Indikator yang ketiga adalah keterampilan mengubah emosi
negatif menjadi emosi positif. Ketiga partisipan mampu menilai dan bertanggungjawab
terhadap ekspresi emosi yang mereka rasakan. P2 dalam olah TKP di salah satu salon
meluapkan ekspresi emosinya berupa teguran terhadap masyarakat yang menghambat
proses rekonstruksi. Pada saat yang bersamaan juga, P2 menyampaikan atau
menjelaskan bahwa TKP sudah terpasang garis polisi sehingga warga tidak boleh
melewati garis tersebut. P1 dan P3 dalam proses penyidikan kerap kali ketika
dihadapkan dengan tersangka yang susah dimintai keterangan atau tidak jujur dengan
penyidik, P1 dan P3 memperingatkan bahwa tersangka harus terbuka dan sejujur-
jujurnya karena dengan barang bukti yang ada, lambat laun akan terungkap dan
33
tindakan yang dilakukan apabila tersangka tidak kooperatif adalah dengan membentak
dan mmukul meja. Hal serupa dilakukan hanya semata-mata dilakukan untuk menggali
alibi tersangka. Selebihnya, sudah sesuai dengan Standar Operasional dan Prosedur
(SOP) yang ada, dalam arti ketiga partisipan dapat bertanggung jawab terhadap reaksi
emosi yang mereka rasakan.
Dalam strategi regulasi emosi, dikenal dua macam strategi regulasi emosi yang
dipaparkan oleh Gross dan Thompson (2013). Tipe pertama adalah cognitive
reappraisal (accidental-focused). Reappraisal adalah bagaimana individu membuat
suatu aspek penilaian kembali dari sebuah peristiwa yang menjelaskan bagaimana
pengaruh atribusi yang berdampak pada emosi (Gross, 2007). Regulasi emosi yang
berfokus pada antecedent menyangkut hal-hal individu atau orang lain lakukan sebelum
emosi tersebut diekspresikan. Strategi ini adalah suatu bentuk perubahan kognitif yang
meliputi penguraian satu situasi yang secara potensial mendatangkan emosi dengan cara
mengubah akibat emosional. Dalam penelitian ini, partisipan merupakan anggota
penyidik reserse kriminal yang setiap harinya berhadapan langsung dengan tugas-tugas
kriminal, sehingga diharapkan masing-masing individu menunjukan perilaku strategi
regulasi emosi yang positif. Ketika dihadapi dengan situasi dalam penanganan kasus
pembunuhan yang dimana dalam melakukan pengolahan TKP, mereka bersentuhan
langsung dengan mayat bahkan mendapatkan tekanan dari masyarakat yang prihatin
dengan kejadian tersebut sehingga penyidik melakukan pendekatan terhadap keluarga
korban yang mengalami musibah. Ketiga partisipan melakukan serangkaian strategi
regulasi emosi dan mencapai tujuan mereka masing-masing, dalam indikator berpikir
positif P1 berusaha untuk selalu profesional dalam melayani masyarakat, sedangkan P2
dan P3 berpola pikir bahwa ia adalah orang yang terlatih dalam menghadapi kasus,
34
sehingga mereka meyakini bahwa setiap masalah memiliki titik terang atau
penyelesaiannya. Lazarus dan Alfert (1964) dalam Gross (2003) menguraikan bahwa
cognitive reappraisal adalah suatu strategi perubahan kognitif yang melibatkan tindakan
menguraikan atau mengevaluasi situasi yang berpotensi memicu munculnya emosi
dengan suatu cara yang dapat mengubah dampak emosional. Ketiga partisipan pernah
mengalami titik kejenuhan. P1 merasa jenuh ketika tugas bertumpuk, namun ia
menyalurkan lewat kegiatan yang bersifat santai. Hal serupa dilakukan juga oleh P3 dan
P2 ketika sudah jenuh, mereka melakukan rekreasi berupa jalan-jalan atau bermain
game bersama rekan kerja lainnya. Gross dan John (2003) menambahkan, strategi
cognitive reappraisal merupakan strategi regulasi emosi yang efektif untuk mengurangi
pengalaman dan perilaku emosi negatif, ketiga partisipan dapat mengubah cara berpikir
untuk mengurang pengalaman dan perilaku emosi negatif yang dihadapi, dalam
indikator mengubah cara berpikir masing individu tidak mencampurkan urusan dinas
dengan urusan keluarga. Dimana P1 ketika diberikan tugas dari atasan seberat apapun
pasti bisa diselesaikan dengan baik, jika belum bisa diselesaikan P1 pulang ke rumah
dengan keadaan seolah tidak sedang menanggung beban berat. P2 jika menghadapi hal
serupa lebih kepada sharing ke teman-teman kerja terkait urusan dinasnya, berbeda
halnya dengan P3 ketika dihadapkan dengan banyak pekerjaan yang beresiko
berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya P3 memilih untuk mencurahkan
permasalahan dalam setiap doa yang ia panjatkan kepada Tuhan.
Strategi regulasi emosi menurut Gross dan Thompson (2013). Tipe kedua adalah
Expressive Suppression (Response-Focused). Expressive Suppression merupakan suatu
bentuk modulasi respon yang melibatkan hambatan perilaku ekspresif emosi terus
menerus. Suppression adalah strategi yang berfokus pada respon, munculnya relatif
35
belakangan pada proses yang membangkitkan emosi. Strategi ini efektif untuk
mengurangi ekspresi emosi negatif. Ketiga subjek dapat mengekspresikan emosi mereka
dengan baik, P1 berusaha untuk lebih santai dalam membawa diri, dan selalu berpikir
positif dalam melakukan tugas-tugasnya, jika tersangka tidak kooperatif maka ekspresi
yang dilontarkan adalah memukul meja bahkan membentak dengan tujuan untuk
menegangkan suasana dan dapat menggali lebih dalam terkait informasi dari tersangka.
P2 malah sebaliknya dari P1 dimana tidak pernah suara meninggi, cenderung tetap
tenang serta melakukan metode-metode penyelidikan yang lebih humanis. P3 tidak
terlalu menampakkan ekspresi emosinya, ia cenderung membujuk tersangka untuk
kooperatif dengan petugas yang sedang memintai keterangan, P2 dan P3 memilih
strategi khusus dalam metode penyelidikan agar tidak menghambat berlangsungnya
interogasi atau menggali informasi dari tersangka.
Strategi ini efektif untuk mengurangi ekspresi emosi negatif. Expressive
suppression berpotensi menimbulkan berbagai dampak secara afektif, sosial, dan
mempengaruhi psychological well-being individu, dalam indikator tingkat kejujuran
ketiga partisipan cenderung tidak terlalu jujur kepada lingkungan terkait bentuk emosi
yang sedang mereka rasakan. P1 lebih melihat situasi dan kondisi untuk
mengekspresikan emosinya, sedangkan P2 dan P3 cenderung tidak jujur terhadap
lingkungan kerja, mereka memiliki prinsip bahwa menjadi polisi adalah sebuah
tanggung jawab dan apabila mereka hanya mengeluh tidak akan memberi kepuasan.
Dalam indikator terakhir yaitu perasaan negatif, dari ketiga partisipan masing-masing
pernah berburuk sangka pada orang lain disekitar mereka berada, namun sebagai
anggota reserse yang sudah terlatih harus memiliki naluri dan insting untuk terus
waspada, strategi expressive suppression efektif untuk mengurangi perilaku ekspresi
36
negatif namun memiliki efek samping mengurangi kemampuan individu
mengekspresikan emosi positif dan berpotensi menimbulkan akumulasi kondisi emosi
negatif (Gross & John, 2003).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa ketiga partisipan pada dasarnya
memiliki cara regulasi emosi yang baik, namun disampaikan dengan cara dan gaya
penyampaian masing-masing partisipan. Seluruh partisipan pada dasarnya memiliki cara
yang sama dalam meregulasi emosi mereka, yaitu mereka mampu menekan stressor
yang ada dengan baik. Ketiganya mampu untuk membentuk persepsi-persepsi positif,
serta mampu mensugesti dan mengubah cara berpikir diri sendiri secara positif untuk
dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Ketiga partisipan memang cenderung
berbeda-beda. Meskipun demikian, ketiga partisipan adalah orang-orang yang terlatih
dan terdidik secara kepolisian, dimana ketiganya tidak pernah berprasangka buruk pada
orang lain, namun tetap waspada di setiap kesempatan.
Strategi regulasi emosi yang dikembangkan oleh partisipan dan bentuk perilaku
yang dilakukan dipengaruhi oleh konteks situasi yang dialami dan ketersediaan
alternatif situasi yang diharapkan dapat menciptakan kondisi emosi yang diinginkan
atau tidak diinginkan dan para partisipan meregulasi baik emosi positif dan negatif. Dari
kedua strategi regulasi emosi yang digunakan oleh partisipan, cognitive reappraisal
adalah strategi regulasi emosi yang dirasa paling efektif dikarenakan dinilai lebih
berdampak positif apabila para penyidik mengembangkan strategi kognitif dan
melakukan banyak pertimbangan (reappraisal dan evaluasi situasi). Kemampuan
37
intelektual dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan dengan segera sangat
berpengaruh dalam hal ini.
Dalam dunia kepolisian, permasalahan pekerjaan seorang polisi sangat beresiko
dan penuh stressor, oleh karenanya dibutuhkan pemahaman mengenai regulasi emosi
yang baik. Hal ini tidak hanya berimbas bagi dunia pekerjaannya, namun juga berimbas
pada kehidupan sosial dari anggota Polri, baik dengan interaksi lingkungan maupun
dengan keluarga serta kondisi kejiwaannya.
SARAN
1. Bagi Partisipan
Partisipan dapat memahami emosi-emosi yang dialami dan mempelajari strategi
emosi yang sesuai sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam menyelesaikan
tugas-tugas sebagai anggota kepolisian khususnya fungsi reserse.
2. Bagi Keluarga Partisipan
Anggota keluarga perlu memberikan respon berupa dukungan dan simpatis
ketika anggota kepolisian sedang menghadapi situasi stressful serta mempunyai
interpersonal yang positif dan meminimalisir stress dalam aktivitas keluarga.
3. Bagi Instansi Kepolisian
Bagi instansi Kepolisian khususnya Polres Salatiga, instansi perlu memfasilitasi
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan para anggota polisi khususnya reserse
dalam mengendalikan emosi dan mengembangkan strategi regulasi emosi dalam
situasi stressful. Dalam hal ini, salah satu saran kegiatan selain olahraga bersama,
dapat diadakan forum khusus yang membahas mengenai regulasi emosi. Hal ini
38
dapat meningkatkan fleksibilitas koping terhadap stres dan self-efficacy para
anggota fungsi reserse dalam menangani kasus-kasus berat.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti merekomendasikan penelitian selanjutnya mengeksplorasikan faktor-
faktor yang mempengaruhi anggota kepolisian khususnya reserse dalam
mengembangkan strategi regulasi emosi. Salah satu variabel yang
direkomendasikan adalah tentang self-efficacy anggota kepolisian.
39
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2018). Profil Sat Reskrim. http://cimahi.jabar.polri.go.id/sat-fungsi/sat-
reskrim. Diakses pada 21 Februari 2018.
Arikunto. (2007). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Aksara.
Arisona, A. A., (2015). Perbedaan tingkat stres kerja antara anggota Polri fungsi
reserse dengan satlantas di Salatiga. Tugas Akhir. Salatiga: Fakultas Psikologi
UKSW.
Badan Pusat Statistik. (2017). Statistika Kriminal 2017. Jakarta: Badan Pusat
Statistik.
Berking, M., Caroline M. & Peggilee W. (2010). Enhancing emotion regulation skills in
police officers : result of a pilot controlled study. Behavior Therapy, 41(3) : 329
– 339.
Cole, P.M., Martin, S.E. & Dennis, T.A., (2004). Emotion regulation as a scientific
construct: methodological challenges and directions for child development
research. Child Development, 75 (2) : 317 – 333.
Creswell, J. W., (1998). Qualitative Inquiry and Research Design. London: Sage
Publication.
Greenberg, L. S. (2002). Emotion-Focused Therapy: Coaching Clients to Work Through
Their Feelings. Washington DC : American Psychological Association.
Gross, J. J. (2013). Emotion regulation: taking stock and moving forward. Emotion, 13
(3) : 359 – 365.
Gross, J. J., (2007). Handbook of Emotion Regulation. New York: Guilford Press.
Gross, J. J. & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation
process : implication for effect, relationship, and well-being. Journal of
Personality and Social Psychology, 85: 348 – 362.
Gross, J. J. & Thompson, R. A. (2007). Emotion regulation conceptual foundation. In J.
J. Gross (Ed.). Handbook of Emotion Regulation (pp.3- 24).New York: Guilford
Press.
Hamzah, A. (2014). Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
40
Hartono. (2010). Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan
Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Hurlock, E. B. (1990). Psikologi Perkembangan, ed. ke-5. Terjemahan: Istiwidayanti,
Ridwan M. Sijabat, Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Jayanegara. (2007). Stres kerja dan coping pada polisi Indonesia Thesis. Jakarta :
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Kwak, H., McNeeley, S. & Kim, S. H., (2018). Emotional labor, role
characteristics, and police officer burnout in South Korea: The Mediating Effect
of Emotional Dissonance. Police Quarterly, 21(2): 1-27.
Lane, A. M., Bucknall, G., Davis, P. A., & Beedie, C. J. (2012). Emotion and
emotion regulation among novice military parachutists. Military Psychology, 24,
331-345.
Leahy, R. L., Denis, T., Lisa, A.N. (2011). Emotion Regulation in Psychotherapy. New
York, London: The Guilford Press.
Lyon, B. L. (2012). Stress, coping, and health. In Rice, H. V. (Eds.) Handbook of stress,
coping and health: Implications for nursing research, theory,and practice (pp.3-
23). USA: Sage Publication, Inc.
Lutfiyah. (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja pada Polisi Lalu
Lintas Skripsi. Jakarta. Universitas Islam Syarif Hidayatullah.
Makarao, M. T & Suhasril. (2002). Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mayangsari, E. D. & Ranakusuma, O. I. (2014). Hubungan regulasi emosi dan
kecemasan pada penyidik Polri dan penyidik PNS. Jurnal Psikogenesis, 3(1) :
13 – 27.
Moleong, L. J., (2006). Metodologi Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Pusvitasari, P., Wahyuningsih, H. & Astuti, Y. U., (2016). Efektivitas pelatihan
regulasi emosi untuk menurunkan stres kerja pada anggota Reskrim.
Jurnal Intervensi Psikologi, 6(1) : 127 – 145.
Rahmat, P. F. (2009). Penelitian kualitatif. Equilibrium, 5(9) : 1 – 9.
41
Sanudin. (2004). Bahan ajaran kapita selekta khusus di bidang penyidikan.
Megamendung Lembaga pendidikan dan pelatihan Polri, Pusdik Reserse dan
Kriminal.
Serido, J., Almeida, D. M., & Wethington, E., (2004). Chronic stressor and daily
hassles: unique and interactive relationships with psychological distress.
Journal Health Social Behavior, 45(1) : 17 – 33.
Spielberger, C. D., & Reheiser, E. C. (2004). Measuring anxiety, anger, depression, and
curiosity as emotional states & personality traits with the STAI, STAXI, and
STPI in M. J. Hilsenroth & D. L. Seagal (Eds). Comprehensive Handbook of
Psychological Assessment Vol. 2 Personality Assessment (pp. 70 – 86). Hoboken
: John Wiley
Sugiyono. (2006). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,Kualitatif,
dan R&D).Bandung : Alfabeta.
Sutanto. (2003). Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Bintara POLRI di Lapangan.
Jakarta : Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Thoits, P. A., (1995). Stress, coping, and social support process : where are we? what
next?. Journal of Health and Social Behavior, 35, 53 – 79
Thompson, R. A. (1994). Emotion regulation: A theme in search of definition.
Monographs of the Society for Research in Child Development , 59, 2(3), 25-52.
Wasono, A. (2004). Perbandingan Rating Peristiwa yang Menimbulkan Stres Antara
Anggota POLRI Fungsi Reserse dan Sabhara di Jakarta. Jurnal Psikologi Sosial,
11(01).
William, J. D. & Johnson, F. P., (1995). Joining Together, Group Theory and Group
Skill. New Jersey: Englewood Cliffs Prentice Hall.
Willig, C. (2013). Introducing Qualitative Research in Psychology. United Kingdom :
McGraw-Hill Education.
Yunis, A. N. & Rahardjo, P., (2011). Hubungan antara regulasi emosi dengan sikap
anggota Polisi Sektor Polres Purbalingga terhadap efektivitas kerja. Psycho
Idea, 9(2) : 30 – 36.